PEMICU 2
Disusun Oleh:
200600169
KELOMPOK 5
Fasilitator:
2022
Nama Pemicu : Kebas dan bengkak di pipi kiri
Penyusun : Dr. Olivia A.H., drg., Sp.BM (K), Cek Dara Manja drg., Sp.RKG (K),
Syafrinani drg., Sp.Pros (K)
Skenario:
Seorang pria, usia 20 tahun datang ke RSGM USU dengan keluhan bengkak, adanya
rasa kebas dan tidak nyaman pada rahang bawah kiri sejak 1 tahun yang lalu. Dari anamnesis
diketahui pembengkakan sejak 1 tahun yang lalu, awalnya kecil makin lama makin besar,
tidak ada rasa sakit, tidak ada gigi yang berlubang. Mulanya pasien tidak menyadari adanya
pembengkakan sampai terlihat adanya perbedaan antara rahang sebelah kiri dan kanan.
Riwayat demam (-), pembengkakan di tempat lain (-), penurunan berat badan (-). Dari
pemeriksaan intraoral didapatkan, oral hygiene sedang, gigi 36 dan 37 mobiliti grade 2,
pembengkakan dan peninggian vestibulum dari regio 36-38 ukuran 4x4x4 cm, warna sama
dengan sekitar, terfiksir, nyeri tekan (-), ulkus (-), krepitasi (+). Dari aspirasi, didapatkan
cairan berwarna merah kehitaman. Dari hasil rontgen didapatkan gambaran seperti berikut:
More Info:
Pasien datang kontrol pada hari ke 7 pasca tindakan, dan didapatkan rasa kebas pada
pipi dan bibir sisi kiri, dan ingin membuat gigi tiruan.
Pertanyaan:
Menurut drg. Janti Sudiono, dkk (2001) ameloblastoma mungkin berasal dari1:
Sisa sel organ enamel, sisa dental lamina, sisa selubung Hertwig atau sisa sel
epitel Malassez
Epitel dari kista terutama kista dentigerous
Epitel heterotropik dari bagian tubuh lain terutama kelenjar hipofisis
Sel Basal dari permukaan epitel yang membentuk rahang
Penelitian Stanley dan Diehl (1965) pada 641 kasus ameloblastoma melaporkan
bahwa 33% dan 17% dari kasus ameloblastoma berasal dari atau berhubungan dengan
kista dentigerous. Etiologi kista dentigerous biasanya berhubungan dengan gigi
impaksi; gigi yang erupsinya tertunda; perkembangan gigi; dan odontoma.
6. Jelaskan komplikasi dari kasus tersebut!
Komplikasi ameloblastoma10,11,12:
1) Resorpsi akar
Resorpsi akar pada kasus ameloblastoma berbentuk seperti knife edge yang
membentuk sudut dengan axis gigi dan menyentuh tumir secara tangensial.
Berikut mekanisme terjadinya resorpsi akar:
- Epithelial islands dan cord pada massa neoplastik ameloblastoma bergerak
menuju akar dan menekan pembuluh darah di ligamen periodontal.
- Adanya hipoxia, yang selanjutnya diikuti dengan anoxia yang menyebabkan
kematian sementoblas. Dimana sementoblas merupakan sel yang bertanggung
jawab menjaga integritas akar. Keadaan ini diakibatkan oleh kurangnya
reseptor untuk mediator resorpsi tulang secara lokal dan sistemik pada
membran sel.
- Kematian odontoblas mengakibatkan tereksposnya struktur akar yang
terminiralisasi. Dikarenakan ukuran ketebalan ligament periodontal rata-rata
0,25 mm, maka dapat menginduksi kemotaksis dari abundant class dia area
periodontal.
- Class yang berada pada permukaan akar yang terekspos bersandingan dengan
epithelial islands dan cord massa neoplastik ameloblastoma secara paralel
sehingga memulai terjadinya resorpsi akar.
- Resorpsi umumnya terjadi secara teratur sejajar dengan epithelial islands dari
massa ameloblastoma dan dekat dengan akar, sehingga terjadi bentuk knife
edge root pada akar.
- Resoprsi akan terus berlanjut oleh karena keluarnya mediator resorpsi dari
tulang atau ggi oleh ameloblastoma, seperti EGF, interleukin-1.
Resorpsi yang terus-menerus terjadi akan mengakibatkan terjadinya
kegoyangan pada gigi. Pada kasus dikatakan bahwa pasien mengakam mobiliti
grade 2 pada gigi 36 dan 37, keadaan tersebut diakibatkan terjadinya resorpsi yang
merupakan komplikasi dari ameloblastoma.
2) Paresthesia
Parestesia merupakan salah satu manifestasi klinis adanya sensasi yang tidak
normal, yang diakibatkan karena perubahan sensasi pada sistem saraf perifer.
Secara umum, parastesi didefinisikan sebagai perasaan sakit atau perasaan
menyimpang maupun rasa abnormal seperti kesemutan, rasa terbakar, tertusuk,
berkeringat, dll. Ameloblastoma merupakan tumor odontogenik yang biasanya
terjadi pada daerah posterior mandibula dan daerah molar ketiga. Lesi dari
ameloblastoma ini dapat merusak secara lokal dan menyebabkan terjadinya
perpindahan dari inferior alveolar nerve. Kanal dari inferior alveolar nerve sering
terletak berdampingan dengan lesi ameoblastoma. Oleh karena itu, ameoblastoma
dapat menyebkan terjadinta parestesia.
3) Komplikasi lainnya dari ameloblastoma, dimana ameloblastoma yang dibiarkan
tanpa dilakukannya pengobatan dapat menyebabkan kesulitan bernafas, rasa sakit
oleh karena adanya infeksi sekunder, dan facial deformity. Selain itu, lesi tumor
yang terus dibiarkan dapat menimbulkan perforasi tulang dan menyebar ke
jaringan lunak yang kedepannya dapat menyulitkan tindakan eksisi.
4) Beberapa peneliti seperti Simmons; Vorzimer dan Perla; Schweitzer dan
Barnfield; dan Lee et al melaporkan adanya metastasis ke paru-paru dan nodus
limfe disekitar tumor.
5) Caldwell, Separsky, dan Luccbesi (1970) serta Shatkin dan Hoffmeister (1965)
berpendapat bahwa ameloblastoma bisa berujung pada kematian karena ekstensi
lokal atau komplikasi seperti infeksi dan malnutrisi.
7. Jelaskan rencana perawatan dari lesi di atas!
Pada kasus, akan dilakukan reseksi mandibula. Mengingat besarnya tingkat
rekurensi tersebut, pendekatan secara radikal (reseksi) dapat dipertimbangkan sesuai
indikasi, meskipun berakibat hilangnya sebagian tulang rahang, bridging plate
titanium dapat digunakan untuk mengganti sebagian tulang yang hilang dan berfungsi
sebagai alat rekonstruksi. Dapat juga rekonstruksi dengan memasang tandur ahli
tulang kalau mungkin bisa dikerjakan. Indikasi perawatan ditentukan berdasarkan luas
dan besarnya jaringan yang terlibat, struktur histologis dari tumor dan keuntungan
yang didapat.
Perawatan pasca operasi reseksi mandibula, yaitu medikasi antibiotik dan analgetik,
tidak perlu intermaksila fiksasi. Hindarkan trauma fisik pada muka atau rahang karena
dapat menyebabkan fraktur mandibula. Jaga oral hygiene hingga luka operasi sembuh
sempurna. Diet lunak dipertahankan 4-6 minggu. Jika diperlukan dapat dibuatkan
prostesa gigi setelah dipertimbangkan bahwa telah terjadi internal bone remodelling
tulang mandibula, lebih kurang 6 bulan pasca operasi.
8. Jelaskan diagnosa dari keluhan yang dialami pasien!
Berdasarkan kasus, pasien didiagnosis mengalami parestesia yang sering
digambarkan sebagai sensasi terbakar, mati rasa, kesemutan, gatal atau tertusuk.
Parestesia dapat disebabkan oleh akibat ameloblastoma yang menekan percabangan
nervus trigeminal yang berfungsi sebagai saraf sensoris untuk daerah maksila dan
mandibula.8a Selain itu, penyebab utama parestesia iatrogenik dalam kedokteran gigi
termasuk pencabutan molar ketiga mandibula impaksi, perawatan saluran akar, blok
saraf alveolar inferior (anestesi lokal), bedah ortognatik, penempatan implan,
pengangkatan kista atau tumor secara bedah, dan trauma wajah.
Parestesia adalah berbagai nyeri neuropatik yang muncul sebagai sensasi
spontan dan abnormal. Masalahnya mungkin timbul dari kelainan di mana saja di
sepanjang jalur sensorik dari saraf perifer ke korteks sensorik.8b Nyeri neuropatik
timbul dari sistem transmisi atau modulasi nyeri yang cedera. Intervensi bedah atau
trauma sering menjadi penyebabnya, misalnya pada daerah infraorbital dapat
menyebabkan mati rasa atau nyeri pada distribusi saraf infraorbital. Dalam operasi
gigi, pencabutan gigi molar ketiga mandibula yang impaksi memiliki risiko kerusakan
saraf yang terukur pada saraf mandibula dan lingual. Pada sebagian besar kasus ini,
kerusakan dapat menyebabkan parestesia, sensasi abnormal pada saraf yang terkena
Keterlibatan saraf yang terkait dengan tumor dapat menyebabkan sensasi
alternatif pada pasien (hypoaesthesia atau hyperaesthesia). Karena saraf alveolar
inferior berjalan di dalam ramus mandibula, segmen yang besar pada mandibula perlu
direseksi karena adanya tumor dan kadang-kadang mungkin memerlukan
pengangkatan mandibula pada kasus yang parah. Operasi reseksi mandibula dapat
mengakibatkan terjadinya beberapa gejala seperti hilangnya sensasi saraf,
menyebabkan air liur yang tidak terkendali, hambatan bicara, menggigit bibir secara
tidak sengaja, nyeri terbakar, kesemutan bibir dan parestesia.13,14,15,16
9. Jelaskan patofisiologi terjadinya keluhan pada pasien tersebut!
Parastesia akibat kerusakan saraf dan gejala klinis secara fisiologis menurut
Seddon dan Sunderland kerusakan saraf dapat di bagi kedalam tiga kelompok besar
yaitu17,18,19:
a) Neuropraksia
Kerusakan saraf tanpa kehilangan kontinuitas akson. Dalam hal ini terdapat
gangguan penghantaran impuls yang bersifat sementara. Prognosanya baik, karena
perbaikan fungsi sensoris terjadi secara spontan, cepat dan sempurna. Perbaikan
paling lambat berlangsung selama 4 minggu. Kerusakan saraf ini terjadi akibat
gangguan pada selubung mielin sedangkan akson tidak rusak. Penyebabnya dapat
berupa tekanan tumpul, peradangan disekeliling saraf atau jaringangranulasi.
b) Aksonotmesis
Kerusakan saraf yang cukup berat, dimana terjadi kehilangan kontinuitas akson
tetapi selubung endonerium tetap utuh. Sehingga diperlukan regenerasi akson
dalam proses perbaikannya. Proses perbaikan biasanya berlangsung cukup lama
dapat terjadi 2 sampai 6 bulan, tetapi fungsi sensoris dapat kembali secara
sempurna. Keadaan ini dapat disebabkan oleh kompresi yang panjang atau adanya
iskemi lokal yang mengganggu mielin dan akson.
c) Neurotmesis
Kerusakan saraf yang parah dimana semua susunan dan struktur saraf terputus.
Penyembuhan dapat berlangsung lama hingga 2 tahun, bahkan kehilangan sensasi
biasanya bersifat menetap. Keadaan ini biasanya disebabkan trauma benda tajam.
Proses perbaikan pada pembuluh saraf perifer mempunyai harapan besar untuk
mengadakan regenerasi, bila kedua ujung saraf yang terpotong berdekatan dan
tidak ada penghalang serta tidak terjadi infeksi.
Mekanisme terjadinya parestesia sebagai respon terhadap kerusakan saraf perifer
dapat dijelaskan melalui proses Wallerian degeneration bahwa kerusakan anatomi
saraf menyebabkan kelainan sensasi, sentuhan ringan saja dapat menimbulkan
kelainan sensasi. Pada sistem saraf perifer, jika terjadi kerusakan maka ujung akson
pada sisi distal akan mengalami degenerasi. Makrofag akan bermigrasi untuk
melaksanakan fungsi fagositosis terhadap debris maupun benda-benda asing di daerah
kerusakan. Sel-sel Schwan tidak berdegenerasi tetapi berproliferasi dan berubah
membentuk sel yang solid menyerupai bentuk sel yang asli seperti sel-sel schwan
pada akson bagian proksimal. Kemudian akson distal sebagai akson baru yang
dibungkus oleh sel-sel Schwan, akan masuk dan bersatu dengan akson proksimal. Jika
pembentukan berlangsung terus secara normal maka akan terbentuk akson baru yang
akan menghubungkannya dengan sinaps. Dengan terbentuknya kembali selubung
akson maka peristiwa penghanteran impuls akan kembali normal. Selama fase
regenerasi didaerah kerusakan maka peristiwa penghantaran impuls tidak sebaik
sebagaimana mestinya. Kelainan sensasi pada daerah penyembuhan jaringan yang
teriritasi kronis oleh karena adanya kontak jaringan saraf baru dengan jaringan saraf
semula disekitarnya, dapat menyebabkan penghentian penghantaran impuls saraf
secara spontan selama fase regenerasi saraf. Jembatan saraf yang dihasilkan oleh fase
regenerasi saraf biasanya tidak sama dalam hal bentuk dan ukuran semula sehingga
sifat dan kemam puan jaringan saraf yang baru dalam penghantaran impuls jadi
berubah. Disamping itu daya regenerasi dari pembuluh saraf tergantung atas sifat gen
dan umur individu.17,18,19
10. Jelaskan rencana perawatan selanjutnya dari kasus tersebut pasca tindakan
bedah!
1) Observasi: Pasien dengan parestesi paska pembedahan harus dirawat dan
dievaluasi secara klinis segera mungkin.Untuk mengobservasi pemulihan sensasi
akibat parestesi dapat dilakukan dengan tes sensorik sederhana.
2) Terapi fisiologik: Terapi fisologik dalam penanganan parestesi dapat dilakukan
dengan berbagai cara, diantaranya yaitu: Cryotherapy. Pemberian es di jaringan
sekitar saraf 24 jam pertama setelah terjadi cedera saraf dan dilakukan secara
berkala selama minggu pertama. Terapi ini bertujuan untuk mengurangi
kemungkinan cedera saraf sekunder akibat edema dan tekanan, sehingga
memperlambat pembentukan neuroma dan jaringan parut.
3) Terapi farmakologi: Terapi dengan obat-obatan selain bertujuan mempercepat
proses regenerasi saraf, juga bertujuan untuk mengatasi penyebab terjadinya
parestesi. Ada beberapa terapi farmakologi untuk penanganan parestesi,
diantaranya yaitu:
- Antibiotik. Parestesi yang disebabkan oleh peradangan atau infeksi dianjurkan
untuk menggunakan antibiotik. Pengobatan dengan antibiotik selama tujuh
hari dengan penisilin merupakan standar untuk mencegah infeksi.
- Anti inflamasi. Pasien yang mengalami parestesi paska pembedahan sebaiknya
menggunakan kortikosteroid untuk meminimalisasi terjadinya inflamasi. Obat
ini harus digunakan secepat mungkin. Pada pasien yang mengalami gejala
parestesi ringan dapat juga diberikan obat anti inflamasi yaitu, ibuprofen atau
aspirin.
4) Terapi perilaku: Terapi perilaku dilakukan segera setelah terjadi cedera saraf.
Pasien diberikan konseling yaitu, pemberitahuan mengenai pemeriksaan lanjutan
untuk memonitor dan membantu penyembuhan saraf, gejalagejala yang akan
timbul, dan perawatan yang akan dilakukan.
5) Pada kasus parestesi yang menetap atau cedera saraf yang tidak kunjung sembuh
dengan penatalaksanaan secara non bedah maka direncanakan untuk melakukan
penatalaksanaan secara bedah. Dalam kebanyakan kasus, penatalaksanaan ini
dilakukan setelah 6-12 bulan setelah mengalami cedera saraf yang telah
mendapatkan penatalaksanaan secara non bedah.20
11. Jelaskan tahapan kerja untuk membuat gigi tiruan definitif pasien tersebut!
Adapun tahap pembuatan gigi tiruan definitive pada pasien tersebut yaitu21:
1) Pembuatan cetakan studi model memakai sendok cetak dan bahan hydrocolloid
impression material (alginate) untuk membuat desain obturator definitive
mandibula
2) Membuat cetakan model kerja dari alginate kemudian hasil cetakan diisi
menggunakan glasstone, setelah itu dibuat base plate, oklusal rest mesial gigi,
lebar sayap lingual diperlebar sampai dibawah lidah dan sayap bukal sampai
sebatas fornix, kemudian dilakukan try in pada pasien
3) Membuat occlusal bite rim setinggi gigi yang masih ada pada sisi ayng sehat,
kemudian dilakukan pencatatan relasi maksila dan mandibula atau
maxillomandibular relation (MMR) dengan mengukur dimensi vertical est posisi
dan mengukur relasi sentrik. Setelah dilakukan pencatatan relasi sentrik kemudian
dilakukan pencetakan ketika pasien masih memakai base plate, gasil cetakan diisi
dengan glasstone. Model rahang bawah dengan baseplate dan galangan gigit
dioklusikan dengan model rahang atas, kemudian dipasang pada articulator
4) Pemasangan gigi tiruan dengan model malam, pemilihan warna gigi tiruan sesuai
dengan warna gigi asli dengan bantuan shade guide. Berikutnya dilakukan try in
protesa obturator. Pada waktu try in diperiksa retensi, stabilitasi, oklusi, estetik
dan fonetik. Selain itu apakah protesa obtrurator menyebabkan tekanan pada
jaringan sekitarnya atau sakit pada jaringan mulut
5) Dilakukan processing di laboratorium. Tahap terakhir yaitu insersi protesa
obturator mandibula dan diperhatikan retensi, stabilitas, oklusi, estetik dan
fonetik. Instruksi pasien antara lain:
- Cara melepas dan memasang obturator
- Belajar beradaptasi
- Membersihkan obturator setiap selesai makan
- Melepas pada saat tidur/malam hari dan direndam dalam air bersih
- Menjaga kebersihan mulut
- Kontrol satu minggu kemudian. Pasien dianjurkan kontrol rutin setiap 1 atau 2
bulan sekali
DAFTAR PUSTAKA