Anda di halaman 1dari 18

BLOK 17 MAKSILOFASIAL II

PEMICU 2

“KEBAS DAN BENGKAK DI PIPI KIRI”

Disusun Oleh:

Fayza Adinda Jasmine

200600169

KELOMPOK 5

Fasilitator:

Ika Devi, drg., MDSc

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2022
Nama Pemicu : Kebas dan bengkak di pipi kiri

Penyusun : Dr. Olivia A.H., drg., Sp.BM (K), Cek Dara Manja drg., Sp.RKG (K),
Syafrinani drg., Sp.Pros (K)

Hari/Tanggal : Senin/05 Desember 2022

Jam : 13.30-15.30 WIB

Skenario:

Seorang pria, usia 20 tahun datang ke RSGM USU dengan keluhan bengkak, adanya
rasa kebas dan tidak nyaman pada rahang bawah kiri sejak 1 tahun yang lalu. Dari anamnesis
diketahui pembengkakan sejak 1 tahun yang lalu, awalnya kecil makin lama makin besar,
tidak ada rasa sakit, tidak ada gigi yang berlubang. Mulanya pasien tidak menyadari adanya
pembengkakan sampai terlihat adanya perbedaan antara rahang sebelah kiri dan kanan.
Riwayat demam (-), pembengkakan di tempat lain (-), penurunan berat badan (-). Dari
pemeriksaan intraoral didapatkan, oral hygiene sedang, gigi 36 dan 37 mobiliti grade 2,
pembengkakan dan peninggian vestibulum dari regio 36-38 ukuran 4x4x4 cm, warna sama
dengan sekitar, terfiksir, nyeri tekan (-), ulkus (-), krepitasi (+). Dari aspirasi, didapatkan
cairan berwarna merah kehitaman. Dari hasil rontgen didapatkan gambaran seperti berikut:

More Info:

Pasien datang kontrol pada hari ke 7 pasca tindakan, dan didapatkan rasa kebas pada
pipi dan bibir sisi kiri, dan ingin membuat gigi tiruan.
Pertanyaan:

1. Apa kemungkinan diagnosa pada kasus di atas dan diagnosa bandingnya?


Ameloblastoma adalah suatu neoplasma epitelial jinak dan berkisar 10% dari
keseluruhan tumor odontogenik. Neoplasma ini berasal dari sel pembentuk enamel
dari epitel odontogenik yang gagal mengalami regresi selama perkembangan
embrional. Ameloblastoma ditandai dengan pola pertumbuhan yang lambat dan dapat
tumbuh menjadi ukuran yang sangat besar dan menyebabkan deformitas fasial yang
berat. Kelainan ini biasanya asimtomatik dan tidak menyebabkan perubahan fungsi
nervus sensorik. Ameloblastoma paling sering terjadi di mandibula posterior,
terutama pada regio gigi molar ketiga, dan berhubungan dengan kista folikular atau
gigi yang impacted.1
Ameloblastoma tumbuh perlahan, dan gejalanya terjadi di tahap awal. Tumor
ini sering ditemukan selama pemeriksaan gigi rutin. Gejalanya adanya pembengkakan
pipi, asimetris pada wajah, dalam kebanyakan kasus, pasien dengan ameloblastoma
tidak mengalami nyeri, paresthesia, fistula, pembentukan ulkus, atau gigi mengalami
mobilitas. Tumor membesar, palpasi, adanya sensasi tulang yang keras atau krepitasi
seperti tulang menipis. Jika lesi menghancurkan tulang, pembengkakan mungkin
terasa keras atau berfluktuasi. Seiring pertumbuhannya, tumor ini dapat menyebabkan
ekspansi tulang dan kadang-kadang erosi pada lempeng kortikal yang berdekatan
dengan invasi dari jaringan lunak yang berdekatan.1
Diagnosa banding ameloblastoma adalah kista dentigerous unilokuler yang
terletak di sekitar mahkota gigi tidak erupsi sering tidak bisa dibedakan. Penampilan
dari septa tulang internal merupakan identifikasi untuk ameloblastoma, tetapi lesi lain
juga memiliki septa internal seperti odontogenic keratocyst, giant cell granuloma,
odontogenic myxoma, and ossifying fibroma.2
2. Jelaskan tahapan pemeriksaan apa yang dibutuhkan untuk menegakkan kasus
tersebut!
a) Anamnesis3,4,5
Wawancara medis bertujuan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin informasi
dari pasien mengenai keadaan penyakitnya sebagai bagian dari proses untuk
membuat diagnosis dan merencanakan perawatan. Dokter dapat memulai
anamnesis dengan pertanyaan terbuka yang memberikan kesempatan pada pasien
untuk menceritakan keluhan. Dua konsep agar tidak kehilangan arah ketika
melakukan anamnesis, yaitu the basic (fundamental) four dan the sacred seven.
1) Identitas pasien
Identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, umur, status, agama, suku/ras,
pekerjaan dan pendidikan terakhir, nomor telepon, alamat, tinggi badan, dan berat
badan. Pada kasus, seorang perempuan yang berusia 25 tahun.
2) Penilaian pasien secara umum
Hal-hal yang dinilai adalah status mental dan emosional, temperamen, sikap, usia
fisiologis, perubahan warna kulit pasien yang dapat menggambarkan adanya
penyakit, cara bernafas pasien, obesitas dan anggota gerak pasien. Pengamatan ini
dilakukan guna untuk mengetahui karakter dan tipe pasien yang dihadapinya serta
kemungkinan adanya penyakit atau kondisi sistemik yang harus diungkapkan
lebih lanjut dengan pemeriksaan subjektif.
3) Riwayat medis pasien
 Riwayat medis sekarang
Proses diagnosik dimulai dengan menanyakan pada pasien tentang mengapa
mereka mencari perawatan gigi. Kemudian, riwayat keluhan utama harus
dieksplorasi untuk mengetahui berapa lama pasien telah mengalami keluhan
tersebut, apakah atau bagaimana gejala berubah seiring waktu.
 Riwayat medis dahulu
Tujuan pemeriksaan riwayat medis yaitu memastikan apakah ada kondisi
medis yang secara langsung atau tidak langsung dapat memengaruhi
penatalaksanaan pasien. Pasien ditanya mengenai penyakit-penyakit yang
relevan dengan keluhan yang dihadapi, riwayat perawatan yang lama, riwayat
pengobatan, riwayat kesehatan umum sebelum terjadinya sakit yang sekarang.
 Riwayat Penyakit Keluarga
Anamnesis ini digunakan untuk mencari ada tidaknya penyakit keturunan dari
pihak keluarga atau riwayat penyakit yang menular.
 Riwayat sosial dan ekonomi
Hal ini berguna untuk mendapatkan informasi tentang gaya hidup personal dan
pekerjaan pasien karena dapat menjadi petunjuk mengenai faktor yang
etiologic yang menyababkan keluhan pasien saat ini. Operator dapat
mengetahui status sosial pasien, yang meliputi pendidikan, pekerjaan,
pernikahan, kebiasaan yang sering dilakukan.
 Riwayat dental
Riwayat kesehatan gigi merupakan ringkasan dari penyakit gigi yang pernah
diderita pasien dan perawatan dental yang pernah dilakukan pasien. Riwayat
ini memberi informasi mengenai sikap pasien terhadap kesehatan gigi,
pemeliharaan, serta perawatannya. Penting mengetahui riwayat gigi di masa
lampau untuk mengetahui apakah pasien dating secara berkala atau hanya
dating ketika ada nyeri.
b) Pemeriksaan klinis6
Terdiri atas:
4) Pemeriksaan Ekstraoral
Pemeriksaan ekstra oral meliputi penampilan umum, warna kulit, asimetri
wajah, pembengkakan, perubahan warna, kemerahan, bekas luka ekstraoral
atau saluran sinus, dan limfadenopati. Adanya pemeriksaan ekstra oral
membantu dalam mengidentifikasi penyebab dari keluhan utama pasien dan
juga keberadaan dan luasnya reaksi inflamasi yang mungkin terjadi. Di
samping itu klinisi juga harus melakukan pemeriksaan wajah dan leher untuk
melihat ada atau tidaknya kemerahan dan pembengkakan yang berhubungan
dengan infeksi. Bibir bawah dilakukan pengecekan apakah terdapat anesthesia
atau paraesthesia. Regio nodus limfatikus harus dinilai dengan cara palpasi
untuk mengetahui ada atau tidaknya nyeri atau pembesaran. Pada kasus,
terjadinya pembengkakan pada rahang kiri bawah sehingga terjadinya ketidak
simetrisan antara rahang sebelah kiri dan kanan.
5) Pemeriksaan Intraoral
 Status bukaan mulut – dianalisis dari kemampuan pasien untuk membuka
mulut, apakah terdapat trismus, fibrosis, atau hipermobilitas dari sendi.
Ukuran dari rongga mulut juga di cek (mikrosomia, makrosomia).
 Pemeriksaan General dari rongga mulut – mukosa oral, gigi dan OHI.
 Pemeriksaan jaringan lunak, meliputi pemeriksaan visual, digital, dan
pemeriksaan probing pada bibir, mukosa mulut, pipi, lidah, periodonsium,
palatum, dan otot.
 Pemeriksaan gigi dilakukan dengan kaca mulut dan explorer untuk melihat
ada atau tidaknya perubahan warna, fraktur, abrasi, erosi, karies, restorasi
yang gagal, atau kelainan lainnya. Perubahan warna pada mahkota sering
kali patognomonik dari patosis pulpa atau merupakan kelanjutan dari
perawatan saluran akar sebelumnya.
Menurut skenario diketahui bahwa pasien memiliki oral hygien yang
tergolong sedang, adanya mobiliti grade 2 pada gigi 36 dan 37, pembengkakan
dan peninggian vestibulum dari regio 36-38 dengan ukuran 4x4x4 cm, warna
sama dengan daerah sekitar, terfiksir, tidak ada nyeri tekan, tidak ada ulkus, serta
terjadi krepitasi.
c) Pemeriksaan penunjang/Pemeriksaan objektif lainnya2
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada
kasus ialah pemeriksaan secara radiografi dan pemeriksaan secara histopatologi.
Pemeriksaan radiografi pada kasus dapat dilakukan berupa radiografi dua dimensi
panoramik dan radiografi tiga dimensi berupa Cone beam computed tomography
(CBCT) serta MRI. Pada kasus diatas telah dilakukan radiografi panoramik.
Untuk menegakkan kasus ameloblastoma tidak cukup hanya melalui anamnesis,
pemeriksaan klinis, dan radiografi saja. Diperlukannya pemeriksaan histopatologi
untuk melihat gambaran histologi dari sel. Berdasarkan pada kasus pasien telah
dilakukan biopsi aspirasi sehingga didapatkan cairan berwarna hitam kemerahan.
3. Jelaskan pemeriksaan pendukung dari kasus tersebut berserta intrepretasinya!
1) Radiografi7
Lokasi yang paling umum adalah regio molar dari mandibula (80%), dan 20% dari
rahang atas atau maksila. Ameloblastoma maksila juga paling umum dijumpai
pada regio molar. Ameloblastoma dapat terjadi pada usia 20-50 tahun dan dengan
frekuensi yang sama pada pria dan wanita. 6 Secara klinis, ameloblastoma muncul
sebagai odontogenik tumor agresif, sering tanpa gejala dan tumbuhnya lambat,
dengan tidak ada pembengkakan. Kadang-kadang dapat menyebabkan gejala
seperti pembengkakan, maloklusi gigi, nyeri dan paresthesia yang terkena.
Menyebar dengan membentuk pseudopods dalam ruang sumsum tanpa resorpsi
seiring tulang trabekular. Akibatnya, margin tumor tidak jelas terlihat pada
radiografi atau selama operasi dan tumor sering kambuh setelah operasi
pengangkatan yang tidak sempurna. 6 Secara radiologi, lesi meluas, dengan
penipisan korteks pada bidang bukal-lingual. Lesi yang diklasifikasikan-cally
cystic multilokular dengan "gelembung sabun" atau "sarang lebah" penampilan.
Radiografi konvensional mengungkapkan ameloblastoma unilocular, menyerupai
kista dentigerous atau odontogenik keratocysts. Penampilan radiografi
ameloblastoma dapat bervariasi sesuai dengan jenis tumor. CT scan biasanya
membantu dalam menentukan kontur lesi, isinya dan ekstensi ke dalam jaringan
lunak.
Pada pasien dengan pembengkakan pada rahang, langkah pertama dalam
diagnosis adalah radiografi panoramik. Namun, jika pembengkakan yang keras
dan tetap ke jaringan yang berdekatan, CT scan lebih disukai. Meskipun dosis
radiasi CT jauh lebih tinggi, perlunya mengidentifikasi kontur lesi isinya, dan
ekstensi ke dalam jaringan lunak, membuatnya disukai untuk diagnosis.6
Pandangan aksial dalam kontras ditingkatkan CT scan gambar dan pandangan
koronal dan aksial dalam magnetic resonance imaging (MRI) jelas menunjukkan
kedua jenis interface. Meskipun tidak ada perbedaan yang cukup antara MRI dan
CT untuk mendeteksi komponen kistik tumor, untuk memvisualisasikan proyeksi
papiler ke dalam rongga kistik, MRI adalah sedikit lebih unggul. MRI sangat
penting untuk menegakkan diagnosis yang tepat dari sebuah ameloblastoma
rahang atas dan dengan demikian menentukan prognosis untuk operasi.
2) Biopsy (FNAB)
Biopsi aspirasi jarum halus (FNAB) adalah teknik di mana jarum halus
dimasukkan ke dalam massa, bahan seluler disedot, dan diagnosis sitologi dibuat.
Ini memisahkan proses reaktif dan inflamasi yang tidak memerlukan intervensi
bedah dari neoplasia dan jinak dari tumor ganas. FNAB cocok untuk diagnosis
massa kepala dan leher yang teraba, khususnya, yang bertahan setelah pengobatan
antibiotik. Penggunaan teknik ini secara hati-hati dapat menghemat biaya dan
meniadakan kebutuhan akan prosedur diagnostik yang lebih invasif. FNAB
merupakan teknik yang hemat biaya dan cepat untuk menilai nodul dan massa di
kepala dan leher. FNAB memberikan diagnosis yang akurat dari sebagian besar
lesi kelenjar ludah dan memberikan kontribusi untuk manajemen konservatif pada
banyak pasien dengan kondisi nonneoplastik.
4. Jelaskan suspek radiodiagnosis lesi tersebut beserta diagnosis bandingnya!
Suspek radiodiagnosis lesi tersebut adalah ameloblastoma. Tampilan
ameloblastoma secara radiografi adalah sebagai berikut8:
- Lokasi
Sebagian besar ameloblastoma (80%) berkembang di daerah molar-ramus
mandibula, tetapi dapat meluas ke daerah simfisis. Sebagian besar lesi yang terjadi
pada maksila berada di area molar ketiga dan meluas ke sinus maksilaris dan dasar
hidung. Di kedua rahang, tumor ini dapat berasal dari posisi oklusal gigi yang
sedang berkembang.
- Periphery
Ameloblastoma biasanya terdefinisi dengan baik dan sering dibatasi oleh batas
kortikal. Batasnya sering melengkung, dan pada lesi kecil batas dan bentuknya
mungkin tidak dapat dibedakan dari kista. Pinggiran lesi di rahang atas biasanya
lebih tidak jelas.
- Struktur internal
Struktur internal. Struktur internal bervariasi dari radiolusen total hingga
bercampur dengan adanya septa tulang yang menciptakan kompartemen internal.
Septa ini bisa lurus tetapi lebih sering kasar dan melengkung dan berasal dari
tulang normal yang terperangkap di dalam tumor. Karena tumor ini sering
memiliki komponen kistik internal, septa ini sering direnovasi menjadi bentuk
melengkung yang menyediakan pola sarang lebah (banyak kompartemen atau
lokulasi kecil) atau gelembung sabun (kompartemen lebih besar dengan ukuran
bervariasi). Umumnya lokulasi lebih besar pada mandibula posterior dan lebih
kecil pada mandibula anterior. Dalam variasi desmoplastik, struktur internal dapat
terdiri dari tulang sklerotik yang sangat tidak teratur menyerupai displasia tulang
atau tumor pembentuk tulang.
- Efek pada Struktur Sekitarnya.
Ada kecenderungan nyata untuk ameloblastoma menyebabkan resorpsi akar yang
luas. Pergeseran gigi sering terjadi. Karena titik asal yang sama adalah oklusal
gigi, beberapa gigi mungkin tergeser secara apikal. Jenis ameloblastoma unikistik
dapat menyebabkan perluasan ekstrim dari ramus mandibula, dan seringkali batas
anterior ramus tidak lagi terlihat pada gambar panoramik.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari ameloblastoma adalah kista dentigerous, dan lesi lain yang
juga memiliki septa internal seperti odontogenic keratocyst, giant cell granuloma,
odontogenic myxoma, and ossifying fibroma.
1) Kista dentigerous
Ameloblastoma unilokular kecil yang terletak di sekitar mahkota gigi yang tidak
erupsi seringkali tidak dapat dibedakan dari kista dentigerous.
2) Odontogenik keratosis
Keratocyst odontogenik mungkin mengandung septa melengkung, tetapi biasanya
keratocyst cenderung tumbuh sepanjang tulang tanpa perluasan yang nyata
(ekspansi), yang merupakan karakteristik dari ameloblastoma.
3) Giant celll granuloma
Giant cell granuloma terjadi pada kelompok usia yang lebih muda dan memiliki
septa yang lebih berbutir (banyak granular) atau septa yang tipis atau halus yang
tidak jelas.
4) Odontogenic myxoma
Myxoma odontogenik mungkin memiliki septa yang serupa; namun, biasanya
terdapat satu atau dua septa lurus tipis, tajam, yang merupakan ciri khas myxoma.
Bahkan kehadiran satu septum tersebut dapat mengindikasikan myxoma. Selain
itu, myxoma tidak seluas ameloblastoma dan cenderung tumbuh di sepanjang
tulang.
5) Ossifying fibroma
Septa pada ossifying fibroma biasanya lebar, granular, dan tidak jelas dan
seringkali terdapat trabekula kecil yang tidak beraturan.
5. Jelaskan etiologi dari lesi ini!
Pada dasarnya etiologi utama dari terjadinya ameloblastoma tidak diketahui
dengan pasti. Namun beberapa ahli mengelompokkan beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya gangguan histodifrensiasi pada ameloblastoma, yaitu: (1)
adanya faktor iritan non spesifik seperti tindakan ekstraksi, karies, trauma, infeksi,
inflamasi, atau erupsi gigi; (2) adanya kelainan defisit nutrisi; dan (3) patogenesis
viral.9
Menurut Shafer 1974, kemungkinan sumber ameloblastoma adalah sebagai berikut:
 Sisa-sisa sel organ enamel, sisa lamina dental atau sisa lapisan hertwig’s, sisa
epitel malases
 Epitel odontogenik, terutama kista dentigerus dan odontoma
 Gangguan perkembangan organ enamel
 Sel-sel basal dari epitel permukaan rahang
 Epitel heterotopik dalam bagian lain tubuh, khususnya glandula pituitary

Menurut drg. Janti Sudiono, dkk (2001) ameloblastoma mungkin berasal dari1:
 Sisa sel organ enamel, sisa dental lamina, sisa selubung Hertwig atau sisa sel
epitel Malassez
 Epitel dari kista terutama kista dentigerous
 Epitel heterotropik dari bagian tubuh lain terutama kelenjar hipofisis
 Sel Basal dari permukaan epitel yang membentuk rahang
Penelitian Stanley dan Diehl (1965) pada 641 kasus ameloblastoma melaporkan
bahwa 33% dan 17% dari kasus ameloblastoma berasal dari atau berhubungan dengan
kista dentigerous. Etiologi kista dentigerous biasanya berhubungan dengan gigi
impaksi; gigi yang erupsinya tertunda; perkembangan gigi; dan odontoma.
6. Jelaskan komplikasi dari kasus tersebut!
Komplikasi ameloblastoma10,11,12:
1) Resorpsi akar
Resorpsi akar pada kasus ameloblastoma berbentuk seperti knife edge yang
membentuk sudut dengan axis gigi dan menyentuh tumir secara tangensial.
Berikut mekanisme terjadinya resorpsi akar:
- Epithelial islands dan cord pada massa neoplastik ameloblastoma bergerak
menuju akar dan menekan pembuluh darah di ligamen periodontal.
- Adanya hipoxia, yang selanjutnya diikuti dengan anoxia yang menyebabkan
kematian sementoblas. Dimana sementoblas merupakan sel yang bertanggung
jawab menjaga integritas akar. Keadaan ini diakibatkan oleh kurangnya
reseptor untuk mediator resorpsi tulang secara lokal dan sistemik pada
membran sel.
- Kematian odontoblas mengakibatkan tereksposnya struktur akar yang
terminiralisasi. Dikarenakan ukuran ketebalan ligament periodontal rata-rata
0,25 mm, maka dapat menginduksi kemotaksis dari abundant class dia area
periodontal.
- Class yang berada pada permukaan akar yang terekspos bersandingan dengan
epithelial islands dan cord massa neoplastik ameloblastoma secara paralel
sehingga memulai terjadinya resorpsi akar.
- Resorpsi umumnya terjadi secara teratur sejajar dengan epithelial islands dari
massa ameloblastoma dan dekat dengan akar, sehingga terjadi bentuk knife
edge root pada akar.
- Resoprsi akan terus berlanjut oleh karena keluarnya mediator resorpsi dari
tulang atau ggi oleh ameloblastoma, seperti EGF, interleukin-1.
Resorpsi yang terus-menerus terjadi akan mengakibatkan terjadinya
kegoyangan pada gigi. Pada kasus dikatakan bahwa pasien mengakam mobiliti
grade 2 pada gigi 36 dan 37, keadaan tersebut diakibatkan terjadinya resorpsi yang
merupakan komplikasi dari ameloblastoma.
2) Paresthesia
Parestesia merupakan salah satu manifestasi klinis adanya sensasi yang tidak
normal, yang diakibatkan karena perubahan sensasi pada sistem saraf perifer.
Secara umum, parastesi didefinisikan sebagai perasaan sakit atau perasaan
menyimpang maupun rasa abnormal seperti kesemutan, rasa terbakar, tertusuk,
berkeringat, dll. Ameloblastoma merupakan tumor odontogenik yang biasanya
terjadi pada daerah posterior mandibula dan daerah molar ketiga. Lesi dari
ameloblastoma ini dapat merusak secara lokal dan menyebabkan terjadinya
perpindahan dari inferior alveolar nerve. Kanal dari inferior alveolar nerve sering
terletak berdampingan dengan lesi ameoblastoma. Oleh karena itu, ameoblastoma
dapat menyebkan terjadinta parestesia.
3) Komplikasi lainnya dari ameloblastoma, dimana ameloblastoma yang dibiarkan
tanpa dilakukannya pengobatan dapat menyebabkan kesulitan bernafas, rasa sakit
oleh karena adanya infeksi sekunder, dan facial deformity. Selain itu, lesi tumor
yang terus dibiarkan dapat menimbulkan perforasi tulang dan menyebar ke
jaringan lunak yang kedepannya dapat menyulitkan tindakan eksisi.
4) Beberapa peneliti seperti Simmons; Vorzimer dan Perla; Schweitzer dan
Barnfield; dan Lee et al melaporkan adanya metastasis ke paru-paru dan nodus
limfe disekitar tumor.
5) Caldwell, Separsky, dan Luccbesi (1970) serta Shatkin dan Hoffmeister (1965)
berpendapat bahwa ameloblastoma bisa berujung pada kematian karena ekstensi
lokal atau komplikasi seperti infeksi dan malnutrisi.
7. Jelaskan rencana perawatan dari lesi di atas!
Pada kasus, akan dilakukan reseksi mandibula. Mengingat besarnya tingkat
rekurensi tersebut, pendekatan secara radikal (reseksi) dapat dipertimbangkan sesuai
indikasi, meskipun berakibat hilangnya sebagian tulang rahang, bridging plate
titanium dapat digunakan untuk mengganti sebagian tulang yang hilang dan berfungsi
sebagai alat rekonstruksi. Dapat juga rekonstruksi dengan memasang tandur ahli
tulang kalau mungkin bisa dikerjakan. Indikasi perawatan ditentukan berdasarkan luas
dan besarnya jaringan yang terlibat, struktur histologis dari tumor dan keuntungan
yang didapat.
Perawatan pasca operasi reseksi mandibula, yaitu medikasi antibiotik dan analgetik,
tidak perlu intermaksila fiksasi. Hindarkan trauma fisik pada muka atau rahang karena
dapat menyebabkan fraktur mandibula. Jaga oral hygiene hingga luka operasi sembuh
sempurna. Diet lunak dipertahankan 4-6 minggu. Jika diperlukan dapat dibuatkan
prostesa gigi setelah dipertimbangkan bahwa telah terjadi internal bone remodelling
tulang mandibula, lebih kurang 6 bulan pasca operasi.
8. Jelaskan diagnosa dari keluhan yang dialami pasien!
Berdasarkan kasus, pasien didiagnosis mengalami parestesia yang sering
digambarkan sebagai sensasi terbakar, mati rasa, kesemutan, gatal atau tertusuk.
Parestesia dapat disebabkan oleh akibat ameloblastoma yang menekan percabangan
nervus trigeminal yang berfungsi sebagai saraf sensoris untuk daerah maksila dan
mandibula.8a Selain itu, penyebab utama parestesia iatrogenik dalam kedokteran gigi
termasuk pencabutan molar ketiga mandibula impaksi, perawatan saluran akar, blok
saraf alveolar inferior (anestesi lokal), bedah ortognatik, penempatan implan,
pengangkatan kista atau tumor secara bedah, dan trauma wajah.
Parestesia adalah berbagai nyeri neuropatik yang muncul sebagai sensasi
spontan dan abnormal. Masalahnya mungkin timbul dari kelainan di mana saja di
sepanjang jalur sensorik dari saraf perifer ke korteks sensorik.8b Nyeri neuropatik
timbul dari sistem transmisi atau modulasi nyeri yang cedera. Intervensi bedah atau
trauma sering menjadi penyebabnya, misalnya pada daerah infraorbital dapat
menyebabkan mati rasa atau nyeri pada distribusi saraf infraorbital. Dalam operasi
gigi, pencabutan gigi molar ketiga mandibula yang impaksi memiliki risiko kerusakan
saraf yang terukur pada saraf mandibula dan lingual. Pada sebagian besar kasus ini,
kerusakan dapat menyebabkan parestesia, sensasi abnormal pada saraf yang terkena
Keterlibatan saraf yang terkait dengan tumor dapat menyebabkan sensasi
alternatif pada pasien (hypoaesthesia atau hyperaesthesia). Karena saraf alveolar
inferior berjalan di dalam ramus mandibula, segmen yang besar pada mandibula perlu
direseksi karena adanya tumor dan kadang-kadang mungkin memerlukan
pengangkatan mandibula pada kasus yang parah. Operasi reseksi mandibula dapat
mengakibatkan terjadinya beberapa gejala seperti hilangnya sensasi saraf,
menyebabkan air liur yang tidak terkendali, hambatan bicara, menggigit bibir secara
tidak sengaja, nyeri terbakar, kesemutan bibir dan parestesia.13,14,15,16
9. Jelaskan patofisiologi terjadinya keluhan pada pasien tersebut!
Parastesia akibat kerusakan saraf dan gejala klinis secara fisiologis menurut
Seddon dan Sunderland kerusakan saraf dapat di bagi kedalam tiga kelompok besar
yaitu17,18,19:
a) Neuropraksia
Kerusakan saraf tanpa kehilangan kontinuitas akson. Dalam hal ini terdapat
gangguan penghantaran impuls yang bersifat sementara. Prognosanya baik, karena
perbaikan fungsi sensoris terjadi secara spontan, cepat dan sempurna. Perbaikan
paling lambat berlangsung selama 4 minggu. Kerusakan saraf ini terjadi akibat
gangguan pada selubung mielin sedangkan akson tidak rusak. Penyebabnya dapat
berupa tekanan tumpul, peradangan disekeliling saraf atau jaringangranulasi.
b) Aksonotmesis
Kerusakan saraf yang cukup berat, dimana terjadi kehilangan kontinuitas akson
tetapi selubung endonerium tetap utuh. Sehingga diperlukan regenerasi akson
dalam proses perbaikannya. Proses perbaikan biasanya berlangsung cukup lama
dapat terjadi 2 sampai 6 bulan, tetapi fungsi sensoris dapat kembali secara
sempurna. Keadaan ini dapat disebabkan oleh kompresi yang panjang atau adanya
iskemi lokal yang mengganggu mielin dan akson.
c) Neurotmesis
Kerusakan saraf yang parah dimana semua susunan dan struktur saraf terputus.
Penyembuhan dapat berlangsung lama hingga 2 tahun, bahkan kehilangan sensasi
biasanya bersifat menetap. Keadaan ini biasanya disebabkan trauma benda tajam.
Proses perbaikan pada pembuluh saraf perifer mempunyai harapan besar untuk
mengadakan regenerasi, bila kedua ujung saraf yang terpotong berdekatan dan
tidak ada penghalang serta tidak terjadi infeksi.
Mekanisme terjadinya parestesia sebagai respon terhadap kerusakan saraf perifer
dapat dijelaskan melalui proses Wallerian degeneration bahwa kerusakan anatomi
saraf menyebabkan kelainan sensasi, sentuhan ringan saja dapat menimbulkan
kelainan sensasi. Pada sistem saraf perifer, jika terjadi kerusakan maka ujung akson
pada sisi distal akan mengalami degenerasi. Makrofag akan bermigrasi untuk
melaksanakan fungsi fagositosis terhadap debris maupun benda-benda asing di daerah
kerusakan. Sel-sel Schwan tidak berdegenerasi tetapi berproliferasi dan berubah
membentuk sel yang solid menyerupai bentuk sel yang asli seperti sel-sel schwan
pada akson bagian proksimal. Kemudian akson distal sebagai akson baru yang
dibungkus oleh sel-sel Schwan, akan masuk dan bersatu dengan akson proksimal. Jika
pembentukan berlangsung terus secara normal maka akan terbentuk akson baru yang
akan menghubungkannya dengan sinaps. Dengan terbentuknya kembali selubung
akson maka peristiwa penghanteran impuls akan kembali normal. Selama fase
regenerasi didaerah kerusakan maka peristiwa penghantaran impuls tidak sebaik
sebagaimana mestinya. Kelainan sensasi pada daerah penyembuhan jaringan yang
teriritasi kronis oleh karena adanya kontak jaringan saraf baru dengan jaringan saraf
semula disekitarnya, dapat menyebabkan penghentian penghantaran impuls saraf
secara spontan selama fase regenerasi saraf. Jembatan saraf yang dihasilkan oleh fase
regenerasi saraf biasanya tidak sama dalam hal bentuk dan ukuran semula sehingga
sifat dan kemam puan jaringan saraf yang baru dalam penghantaran impuls jadi
berubah. Disamping itu daya regenerasi dari pembuluh saraf tergantung atas sifat gen
dan umur individu.17,18,19
10. Jelaskan rencana perawatan selanjutnya dari kasus tersebut pasca tindakan
bedah!
1) Observasi: Pasien dengan parestesi paska pembedahan harus dirawat dan
dievaluasi secara klinis segera mungkin.Untuk mengobservasi pemulihan sensasi
akibat parestesi dapat dilakukan dengan tes sensorik sederhana.
2) Terapi fisiologik: Terapi fisologik dalam penanganan parestesi dapat dilakukan
dengan berbagai cara, diantaranya yaitu: Cryotherapy. Pemberian es di jaringan
sekitar saraf 24 jam pertama setelah terjadi cedera saraf dan dilakukan secara
berkala selama minggu pertama. Terapi ini bertujuan untuk mengurangi
kemungkinan cedera saraf sekunder akibat edema dan tekanan, sehingga
memperlambat pembentukan neuroma dan jaringan parut.
3) Terapi farmakologi: Terapi dengan obat-obatan selain bertujuan mempercepat
proses regenerasi saraf, juga bertujuan untuk mengatasi penyebab terjadinya
parestesi. Ada beberapa terapi farmakologi untuk penanganan parestesi,
diantaranya yaitu:
- Antibiotik. Parestesi yang disebabkan oleh peradangan atau infeksi dianjurkan
untuk menggunakan antibiotik. Pengobatan dengan antibiotik selama tujuh
hari dengan penisilin merupakan standar untuk mencegah infeksi.
- Anti inflamasi. Pasien yang mengalami parestesi paska pembedahan sebaiknya
menggunakan kortikosteroid untuk meminimalisasi terjadinya inflamasi. Obat
ini harus digunakan secepat mungkin. Pada pasien yang mengalami gejala
parestesi ringan dapat juga diberikan obat anti inflamasi yaitu, ibuprofen atau
aspirin.
4) Terapi perilaku: Terapi perilaku dilakukan segera setelah terjadi cedera saraf.
Pasien diberikan konseling yaitu, pemberitahuan mengenai pemeriksaan lanjutan
untuk memonitor dan membantu penyembuhan saraf, gejalagejala yang akan
timbul, dan perawatan yang akan dilakukan.
5) Pada kasus parestesi yang menetap atau cedera saraf yang tidak kunjung sembuh
dengan penatalaksanaan secara non bedah maka direncanakan untuk melakukan
penatalaksanaan secara bedah. Dalam kebanyakan kasus, penatalaksanaan ini
dilakukan setelah 6-12 bulan setelah mengalami cedera saraf yang telah
mendapatkan penatalaksanaan secara non bedah.20
11. Jelaskan tahapan kerja untuk membuat gigi tiruan definitif pasien tersebut!
Adapun tahap pembuatan gigi tiruan definitive pada pasien tersebut yaitu21:
1) Pembuatan cetakan studi model memakai sendok cetak dan bahan hydrocolloid
impression material (alginate) untuk membuat desain obturator definitive
mandibula
2) Membuat cetakan model kerja dari alginate kemudian hasil cetakan diisi
menggunakan glasstone, setelah itu dibuat base plate, oklusal rest mesial gigi,
lebar sayap lingual diperlebar sampai dibawah lidah dan sayap bukal sampai
sebatas fornix, kemudian dilakukan try in pada pasien
3) Membuat occlusal bite rim setinggi gigi yang masih ada pada sisi ayng sehat,
kemudian dilakukan pencatatan relasi maksila dan mandibula atau
maxillomandibular relation (MMR) dengan mengukur dimensi vertical est posisi
dan mengukur relasi sentrik. Setelah dilakukan pencatatan relasi sentrik kemudian
dilakukan pencetakan ketika pasien masih memakai base plate, gasil cetakan diisi
dengan glasstone. Model rahang bawah dengan baseplate dan galangan gigit
dioklusikan dengan model rahang atas, kemudian dipasang pada articulator
4) Pemasangan gigi tiruan dengan model malam, pemilihan warna gigi tiruan sesuai
dengan warna gigi asli dengan bantuan shade guide. Berikutnya dilakukan try in
protesa obturator. Pada waktu try in diperiksa retensi, stabilitasi, oklusi, estetik
dan fonetik. Selain itu apakah protesa obtrurator menyebabkan tekanan pada
jaringan sekitarnya atau sakit pada jaringan mulut
5) Dilakukan processing di laboratorium. Tahap terakhir yaitu insersi protesa
obturator mandibula dan diperhatikan retensi, stabilitas, oklusi, estetik dan
fonetik. Instruksi pasien antara lain:
- Cara melepas dan memasang obturator
- Belajar beradaptasi
- Membersihkan obturator setiap selesai makan
- Melepas pada saat tidur/malam hari dan direndam dalam air bersih
- Menjaga kebersihan mulut
- Kontrol satu minggu kemudian. Pasien dianjurkan kontrol rutin setiap 1 atau 2
bulan sekali
DAFTAR PUSTAKA

1. Cahyawati TD. Ameloblastoma. Jurnal Kedokteran Urnam 2018; 7(1): 19-25


2. Agung Feranasari AAI, Epsilawati L, Pramanik F. Fitur radiografis
ameloblastoma pada CBCT dan panoramic. Jurnal Kedokteran gigi Universitas
Padjadjaran 2020; 32(1): 47-51
3. Bruckmann C, Wimmer G. Gingival Recession: Clinical Examination and
Diagnostics. Springer, Cham. 2018: 33-50.
4. Hourdin S, Glez D, Gagnot G, dkk. A screening method for periodontal disease.
Journal of Dentofacial Anomalies and Orthodontics 2013; 16(1): 1-10.
5. Newman MG, Carranza FA. Clinical periodontology. 13th ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2019. p.628
6. Apriyono DK. Kedaruratan Endodonsia. STOMATOGNATIC-Jurnal Kedokteran
Gigi. 2015 Dec 15;7(1):45-6.
7. Gümgüm S, Hosgören B. Clinical and radiologic behaviour of ameloblastoma in 4
cases. J Can Dent Assoc 2005; 71 (7):481–4
8. White SC and Pharaoh MJ., Oral Radiology Principles and Interpretation 6th ed,
Canada, Mosby Elsevier, 2009: 373-7.
9. Gupta N, Saxena S, Rathod VC, Aggarwal P. Unicystic ameloblastoma of the
mandible. J Oral Maxillofac Pathol 2011; 15:228.
10. Abdi I, Taheri Talesh K, Yazdani J, Keshavarz Meshkin Fam S, Ghavimi MA,
Arta SA. The effect of ameloblastoma and keratocystic odontogenic tumor on the
displacement pattern of inferior alveolar canal in CBCT examinations. J Dent Res
Dent Clin Dent Prospects 2016;10(3):157.
11. Martins GG, De Oliveira IA, Consolaro A. The mechanism: how dental
resorptions occur in ameloblastoma. Dental Press J Orthod 2019; 24(4): 29-30.
12. Mukhopadhyay S, Raha K, Mondal SC (July 2005). "Huge ameloblastoma of jaw-
A case report". Indian J Otolaryngol Head Neck Surg 2005; 57 (3): 247.
13. Kawulusan N, Tajrin A, Chasanah NR. Penatalaksanaan ameloblastoma dengan
menggunakan metode dredging. Makassar Dental Journal 2014; 3(6): 2.
14. Al Luwimi I, Ammar A, Al Awami M. Pathophysiology of paresthesia.
Paresthesia 2012: 1-7.
15. Hupp JR, Ellis III E, Tucker MR. Contemporary oral and maxillofacial surgery.
7th ed. Missouri: Mosby Elsevier, 2019.
16. Widodo A, Rahmat MM, Prihartiningsih P, dkk. Inferior alveolar nerve
preservation for hamimandibulectomy and bridging plate reconstruction in
monostotic fibrous dysplasia case. J Dentomaxillofac Sci 2020; 5: 198.
17. Handoyo B. 2009. Parestesi Sebagai Salah Satu Komplikasi Dari Anestesi Blok
Pada Mandibula. Skripsi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
H. 17-21.
18. Juodzbalys G, et al. Injury of the Inferior Alveolar Nerve during Implant
Placement: a Literature Review.
19. Meshram VS. 2013. Assessment of Nerve Injuries after Surgical Removal of
Third Molar: A Prospective Study. Hindawi Journal Publishing Corporation. Vol.
2013.
20. Dewi KK, Damayanti A. Penatalaksanaan parestesi paska pencabutan molar tiga
rahang bawah impaksi secara non bedah (Kajian Pustaka). JITEKGI 2017, 13 (2):
22-27. ISSN 1693-3079
21. Sugiyo P, Kusuma HA, Tjahjanti E. Obturayor definitive mandibula post
hemimandibulectomy sinistra. Maj Ked Gi 2012; 19(2): 158-61

Anda mungkin juga menyukai