Anda di halaman 1dari 4

Pengembangan Beras Analog Tinggi Antioksidan Berbasis Tepung Biji

Mangga Demi Terciptanya Sustainable Development Goals (SDG’s)

Meningkatnya populasi penduduk Indonesia diiringi dengan bertambahnya


jumlah kebutuhan pangan. Hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah konsumsi
beras yang merupakan makanan pokok sehari-hari. Disisi lain, Badan Pusat
Statistik (BPS) mengatakan bahwa produksi padi pada tahun 2021 sebesar 54,42
juta ton GKG. Produksi tersebut mengalami penurunan sebanyak 233,91 ribu ton
atau 0,43% dibandingkan produksi padi pada tahun 2020 sebesar 54,65 juta ton
GKG. Permasalahan serius yang dihadapi oleh Indonesia saat ini adalah jumlah
produksi padi terus menurun sementara kebutuhan terus meningkat, sehingga
terjadi krisis pangan. Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan pada tahun 2035
jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan akan meningkat menjadi sekitar 305,7
juta jiwa serta pada tahun tersebut diprediksi kebutuhan beras nasional akan
mencapai 35 juta ton (konsumsi per kapita 114,6 kg/kap/tahun).

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka peneliti mengintensifkan riset


dan penemuan dengan tujuan menghasilkan sumber pangan alternatif
menggunakan bahan lokal dan lebih terjamin keberlanjutannya (sustainable).
Salah satu contoh bentuk pangan alternatif adalah beras analog. Beras analog
merupakan beras pengganti yang dibuat dari bahan nonpadi, seperti jagung,
singkong, sorgum, umbi-umbian, dan lainnya. Bahan nonpadi yang dipilih
merupakan bahan yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi. Selain kandungan
nutrisinya, bahan dasar beras analog dipilih berdasarkan sifat fungsionalnya.
Penelitian tentang beras analog sudah banyak dilakukan, antara lain beras analog
dari shorgum dan mocaf (Noviasari dkk, 2017), campuran tepung shorgum dan
rempah-rempah (Rasyid dkk, 2016), kacang merah dan shorgum (Fauziyah dkk,
2017), beras analog yang berasal dari tepung dan pati ubi ungu (Handayani dkk,
2017), dan lainnya.

Pemilihan tepung biji mangga sebagai bahan dasar beras analog bertujuan
untuk mengurangi limbah biji mangga. Berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik (BPS), mencatat bahwa jumlah produksi mangga di Indonesia mencapai
2,8 juta ton pada tahun 2021, sedangkan biji mangga memiliki kadar sebesar 14-
22% dari buahnya (Pangestika dkk., 2019). Menurut Desriani (2021), limbah biji
mangga yang dibuang ternyata memiliki nilai kandungan gizi cukup tinggi, yaitu
kadar air 41,38%, kadar abu 2,23%, kadar karbohidrat 38,68%, dan kadar protein
3,08%. Selain itu, biji mangga memiliki aktivitas antioksidan yang kuat karena
kandungan senyawa fenolik yang tinggi (Aritonang dkk., 2013). Inovasi pangan
alternatif ini merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk dapat
mewujudkan Sustainable Development Goal’s atau SDG’s. Terutama pada pokok
tujuan ke-dua, yaitu mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan,
memperbaiki nutrisi, dan mempromosikan pertanian yang berkelanjutan.
Tercapainya Sustainable Development Goals (SDG’s) mampu mendorong
Indonesia emas pada tahun 2045.

Tepung biji mangga merupakan hasil olahan dari buah mangga yang
diperoleh dari biji mangga, Cara pengolahan tepung biji mangga, yaitu mengambil
bagian tengah biji buah mangga dengan cara membuang bagian selaput luarnya,
dicuci bersih, dan dikeringkan. Setelah biji mulai mengering sempurna, kemudian
ditumbuk menjadi tepung dan dijemur kembali (Khotimah, 2017). Menurut
Istianah dkk.,(2018), biji mangga yang dijadikan tepung mengalami peningkatan
dan penurunan dari kandungan nutrisinya. Kadar air biji mangga menurun
menjadi 12,34%, kadar abu 0,97%, kadar karbohidrat 52,74%, dan kadar protein
3,40%. Untuk penurunan kandungan biji mangga dilakukan penambahan bahan
lain agar kandungan nutrisinya tetap seimbang. Kemudian, senyawa antioksidan
yang terkandung di dalam biji mangga diketahui mampu menyerap atau
menetralisir radikal bebas sehingga dapat mencegah penyakit-penyakit degeneratif
seperti kardiovaskuler, karsinogenesis, dan penyakit lainnya. Sifat fungsional
inilah yang membuat biji mangga berpotensi sebagai substitusi tepung pada
pembuatan beras analog.

Pembuatan beras analog berbasis tepung biji mangga menggunakan


metode yang umum digunakan, yaitu ekstrusi/pencetakan. Penggunaan teknologi
ekstrusi lebih banyak dikembangkan karena memiliki banyak kelebihan, seperti
kapasitas besar, terjadinya proses pengaliran, pencampuran, pengadonan,
pemanasan, dan pembentukan sehingga beras analog yang dihasilkan mempunyai
karakteristik yang serupa dengan beras dari padi. Metode ini mengacu pada
penelitian yang dilakukan oleh Damat dkk., (2021). Langkah pertama yang
dilakukan adalah mencampurkan tepung biji mangga dengan bahan-bahan lain
hingga menjadi sebuah adonan. Setelah itu, dilakukan pengukusan selama 30
menit. Kemudian, dilanjutkan ke dalam proses ekstrusi. Selanjutnya, dilakukan
pengeringan di dalam cabinet dryer selama 24 jam dengan suhu 50ᵒC. Kemudian,
dihasilkan beras analog dan dilanjutkan ke dalam proses pemasakan.

Cara mengkonsumsi beras analog layaknya mengkonsumsi beras padi.


Kelebihan yang dimiliki oleh beras analog, yakni kandungan gizi dapat dirancang
agar memiliki gizi yang sama atau bahkan melebihi beras padi, serta dapat
memiliki sifat fungsional sesuai bahan baku yang digunakan (Noviasari, 2013).
Beras analog terbuat dari bahan baku antara lain 50-98% bahan yang mengandung
pati atau turunannya, 2-45% bahan yang dapat memperkaya beras analog, dan 0,1-
10% hidrokoloid (Sari, 2014). Selain itu, beras analog lebih tahan lama dan tidak
perlu dicuci saat akan dimasak. Keunggulan lain dari beras analog dibanding
beras padi adalah memiliki indeks glikemik rendah, menyehatkan bagi penderita
diabetes, memperlancar sistem pencernaan, kaya akan serat, dan menggunakan
bahan baku lokal.

Pengolahan biji mangga menjadi tepung dapat meningkatkan diversifikasi


produk pangan. Selain itu, dapat memberi nilai tambah dan mengangkat biji
mangga menjadi komoditas yang benilai tinggi. Bentuk fisiknya yang mirip
butiran beras dapat membantu psikologis konsumen agar tetap merasa seperti
makan nasi dari beras padi yang ditanam. Optimalisasi tepung biji mangga
sebagai bahan dasar pembuatan beras analog diharapkan dapat membantu dalam
mengatasi krisis pangan. Selain itu, inovasi ini diharapkan mampu menyukseskan
pembangunan berkelanjutan atau SDG’s di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai