Anda di halaman 1dari 57

MAKALAH

LAPORAN KASUS FRAKTUR TERBUKA

Makalah ini diajukan sebagai salah satu persyaratan


untuk kenaikan pangkat dari golongan IV a ke golongan IV b
jabatan Fungsional Dokter Umum

OLEH :
dr. Dalmasia Yustina Sile
NIP : 19821205 201101 2 009

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LEWOLEBA


KABUPATEN LEMBATA
2020

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL 1

DAFTAR ISI........................................................................................................................................2

BAB I IDENTITAS......................................................................................................................3

BAB II ANAMNESIS....................................................................................................................4

BAB III PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG................................................................6

BAB IV PENGKAJIAN MASALAH..........................................................................................10

BAB V FOLLOW UP..................................................................................................................14

BAB VI TINJAUAN TEORITIS.................................................................................................17

BAB VII DISKUSI.........................................................................................................................53

BAB VII KESIMPULAN..............................................................................................................55

DAFTAR PUSKATA........................................................................................................................56

2
BAB I
IDENTITAS

Nama : MPB
Nomor Rekam Medik : 131034
Tanggal lahir / Umur : 31-12-1918 / 108 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Wangatoa
Pendidikan terakhir : Pelajar
Pekerjaan : Tidak bekerja
Agama : Katolik

3
BAB II
ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan pada tanggal 16 Februari 2020 melalui autoanamnesis dan


alloanamnesis.

1.
2.
2.1 Keluhan Utama

Nyeri pada tungkai kanan setelah tertabrak sepeda motor 15 menit SMRS.

2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Sekitar 15 menit SMRS, pasien ditabrak oleh sepeda motor dengan kecepatan sedang.
Pasien tertabrak pada bagian kaki kanan, kemudian jatuh tersungkur dengan kepala
membentur aspal. Riwayat pingsan saat kejadian disangkal. keluhan sakit kepala, mual
muntah disangkal. Setelah tertabrak, pasien tidak mampu berdiri dan mengeluh kesakitan
pada kaki kanan. Terdapat luka pada lokasi benturan pada kaki kanan pasien dan pada
kepala pasien. Pada kepala juga terdapat benjolan.
Benturan pada dada, perut, dan bagian lain disangkal. Keluhan sesak, nyeri perut
disangkal. Riwayat penyakit gula, jantung, darah tinggi, alergi disangkal.
• Allergies : tidak ada
• Medication : tidak ada
• Past medical history : tidak ada penyakit kronis
• Last meal : 45 menit SMRS
• Event surrounding injury : riwayat pingsan (-), sesak (-), tidak dapat berjalan (+)

2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat patah tulang sebelumnya, operasi, dan dirawat di RS disangkal
 Riwayat penyakit jantung, ginjal, alergi, asma sebelumnya disangkal

2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat asma, alergi, penyakit paru, penyakit jantung, gula, darah tinggi dalam keluarga
disangkal.

4
2.5 Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Pasien sehari-hari masih dapat mengerjakan pekerjaan harian dengan mandiri. Pasien dulu
bekerja sebagai petani, namun saat ini lebih banyak membantu pekerjaan rumah tangga.
Pasien tinggal bersama anak pasien. Makan dikatakan tiga kali sehari dengan nasi, lauk-
pauk, dan sayur-sayuran. Terkadang pasien makan rebusan ubi atau pisang. Kebiasaan
minum jamu, obat-obatan, alkohol disangkal.

2.6 Riwayat Imunisasi


Imunisasi tetanus dan imunisasi lainnya tidak diingat pasien.

2.7 Analisis Keuangan


Pasien dirawat dengan pembiayaan BPJS (KIS) dengan bantuan pemerintah daerah

5
BAB III
PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG

PRIMARY SURVEY

Airway: aman

Breathing:

 Napas 22x/menit, cepat, isi cukup

• Stridor(-),wheezing (-), Ronchi (-)

• Saturasi 99%

Circulation:

 Tekanan darah 110/70


 Nadi 110x/menit, regular, kuat, isi cukup

Disability:

• Kesadaran compos mentis (GCS 15)

• ROM cruris dextra terbatas

• Paresis (-)

• Reflek pupil +/+

Exposure:

• Luka dengan dasar tulang pada cruris dextra

• Perdarahan (+)

• Suhu 36.5 (eutermia)

Secondary Survey

Status generalis

VAS :8

Kulit : tidak ada kelainan kulit, turgor baik

6
Kepala : normocephal, Rambut keputihan persebaran merata, tidak mudah
dicabut. Pada region temporal sisi kanan terdapat hematom
dengan vulnus ekskoriatum diatasnya. Perdarahan aktif (-)
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, refleks cahaya
langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung
Telinga : normotia, tidak ada tanda radang, liang lapang, sekret (-)
Hidung : tidak tampak kelainan, concahe tidak edem, nafas cuping hidung (-)
Mulut : oral hygiene baik
Tenggorokan : arkus faring simetris, faring tidak hiperemis, tonsil T1/T1
Leher : KGB tidak teraba, kelenjar tiroid tidak membesar, JVP 5-3 cm H 2O,
Deviasi trakea (-)
Dada : simetris, dimensi antero-lateral 1:2, penggunaan otot bantu napas (-),
retraksi interkosta (-), jejas (-)
Paru
• Inspeksi : dada simetris statis-dinamis, dimensi AP:Lateral 1:2, penggunaan
otot bantu napas (-), retraksi interkosta (-)
• Palpasi : ekspansi normal, fremitus tidak dinilai
• Perkusi : sonor kedua lapang paru
• Auskultasi : vesikuler +/+, wheezing -/-, Ronchi -/-
Jantung
• Inspeksi : iktus kordis terlihat pada sela iga 5 linea midklavikularis kiri
• Palpasi : thrill, heaving (-)
• Perkusi : Tidak dilakukan
• Auskultasi : BJ I dan II irreguler, murmur (-) dan gallop (-)

Abdomen
• Inspeksi : datar, tidak ada jejas
• Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba
• Perkusi : timpani
• Auskultasi : BU (+) normal

Punggung : simetris, tidak ada deformitas, nyeri ketok CVA (-)


Ekstremitas : Akral hangat, edema -/-, CRT <2”

7
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium 16/2/2020

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hemoglobin 9.5 Dewasa pria : 13.5-17.5 g/dl


Dewasa wanita : 12.1-15.1 g/dl
Anak : 9.4-13.0 g/dl
Bayi :14.9-23.7 g/dl
Hematokrit 28.3 Dewasa pria : 39-52.5 %
Dewasa wanita : 35-49.5 %
Anak : 28-42%
Bayi :47-75%
RBC 3.31 Dewasa : 4.50-5.90 juta/ul
Anak : 3.10-4.30 juta/ul
Bayi :3.70-6.50 juta/ul
MCV 85.5 76.4-102/um
MCHC 33.6 29.7-36.8 g/dl
RDW 13.5 11.3-16.7 %
Leukosit 5.900 Dewasa : 4.500-11.000/ul
Gra% 70.0 Anak : 5.000-19.500/ul
MID% 5.6 44.0-80.9%
Lym% 20.4 1.8-17.0%
10.8-45.4%
Platelet 83 150-450 ribu/ul

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

SGOT (AST) 28 <31 u/l


SGPT (ALT) 13 <34 u/l
GDS 116 60-160 mg/dl
Kreatinin 0.9 0.6-1.2 g/dl
Ureum 56 < 50mg/dl

8
Pemeriksaan Radiologi

Gambar 1. Rontgen cruris dextra AP/lateral

Rontgen cruris dextra:

 Densitas tulang terlihat baik

 Articulatio genu tibio-femorale (genu) intak, celah sendi baik, osteofit (-)

 Tampak fraktur complete pada 1/3 tengah diafisis tibia et fibula dextra dengan garis
fraktur oblique. Translasi fragmen distal ke postero-lateral.

Gambar 2. Rontgen Cranium AP/Lateral

Rontgen cranium:

 Tulang wajah dan cranium tampak intak

 Tidak tampak kelainan pada sinus dan periorbita.

9
BAB IV
PENGKAJIAN MASALAH

DAFTAR MASALAH
1. Fraktur terbuka 1/3 tengah diafisis tibia et fibula dextra complete displaced garis
fraktur oblique dengan pergeseran segmen distal ke postero-lateral, gustilo grade 1

2. Cedera Kepala Ringan

3. Anemia Ringan

4. Thrombositopenia

PENGKAJIAN MASALAH

1. Fraktur terbuka 1/3 tengah diafisis tibia et fibula dextra complete displaced garis
fraktur oblique dengan pergeseran segmen distal ke postero-lateral, gustilo grade 1

Atas Dasar

 Anamnesis:

Direct injury pada tungkai kanan, nyeri (+), tidak dapat berdiri. Luka (+).

 PF:

Status lokalis

Luka terbuka pada 1/3 tengah cruris dextra ukuran 1 cm, cedera soft tissue minimal

Deformitas (+), edema (+), nyeri tekan (+) NVD baik, ROM terbatas pada daerah sekitar
fraktur

 Pemeriksaan penunjang:

10
Pemeriksaan radiologi

Tampak fraktur complete pada 1/3 tengah diafisis tibia et fibula dextra dengan garis
fraktur oblique. Translasi fragmen distal ke postero-lateral

 Tatalaksana:

• Mencuci luka dengan NS 4 L • Ketorolac 3 x 30 mg

• Menghentikan perdarahan dengan • Tramadol inj 1amp K/P


balut tekan
• ATS 3000 IU IM
• Imobilisasi dengan bidai
• Debridement-reduksi tertutup-
• IVFD RL 20 tpm backslab fraktur (17/2/2020)

• Ceftriaxone 2x1 gr Inj

 Rencana follow up

 Keluhan dan tanda vital


 Tanda sindrom kompartemen dan infeksi
 Rontgen ulang post debridement-reduksi tertutup-backslab fraktur

2. Cedera Kepala Ringan

Atas Dasar

 Anamnesis:

Direct injury pada tungkai kanan, kemudian jatuh kepala membentur aspal. Benjol (+),
nyeri kepala (-), mual muntah (-), pingsan (-)

 PF:

11
Defisit neurologis (-)

Status lokalis

Pada regio temporal, terdapat hematom dengan dasar vulnus ekskoriatum diameter 4 cm

 Pemeriksaan penunjang:

Pemeriksaan radiologi

Tulang-tulang kranium tampak intak

 Tatalaksana:

• Mencuci luka dengan NS, tutup luka dengan kassa

• Gentamicin salep 2 x 1

• Ketorolac 3 x 30 mg

 Rencana follow up

• Keluhan dan tanda vital

• Observasi kesadaran, nyeri kepala, mual muntah, dan fungsi neurologis

3. Anemia Normositik Normokrom

Atas Dasar

 Anamnesis:

Direct injury pada tungkai kanan, Luka (+),

 PF:

Defisit neurologis (-)

Konjungtiva anemi (-)

Luka dengan dasar tulang pada cruris D

 Pemeriksaan penunjang:

Pemeriksaan laboratorium

12
Hb 9.5 g/dl, normositik, normokrom

Dipikirkan anemia normositik normokrom ec. Perdarahan

 Tatalaksana:

Tranfusi PRC 1 kolf

 Follow up

Cek darah lengkap ulang post tranfusi

4. Thrombositopenia

Atas Dasar

 Anamnesis:

Direct injury pada tungkai kanan, Luka (+),

 PF:

Defisit neurologis (-), Konjungtiva anemi (-)

Luka dengan dasar tulang pada cruris D

 Pemeriksaan penunjang:

Pemeriksaan laboratorium

Hb 9.5 g/dl, normositik, normokrom

Thrombosit 83.000/ul

Dipikirkan thrombositopenia akibat usage untuk menghentikan perdarahan

 Tatalaksana:

 Follow up:

Pantau perdarahan

13
BAB V
FOLLOW UP

19 November 2019, Pukul 21.30 WITA

Subjective

• Nyeri + berkurang, sakit kepala (-), mual muntah (-), sesak (-)

Objective

• TD 120/70 mmHg • Status generalis dbn

• Nadi: 81x/menit kuat reguler • Status lokalis:

• Suhu 36.5°C Region cruris dextra  tertutup elastic


bandage. NVD baik, rembesan (-)
• RR 18 x/menit, isi cukup Regio Temporal  hematom
• VAS 2 mengecil, vulnus ekskoriatum kering,
pus (-)

14
Assesment

• Post debridement-reduksi tertutup-backslab fraktur terbuka tibia et fibula dextra

• CKR perbaikan

• Anemia normositik normokrom perbaikan

• Thrombositopenia perbaikan

Planning

• IVFD RL 20 tpm • Tablet kalsium dan vitamin D 3 x


500 mg
• Ceftriaxone 2 x 1 gr IV
• Diet biasa, ekstra putih telur
• Ketorolac 3 x 30 mg IV
• Edukasi untuk mobilisasi dini
• As. Tranexamat 3 x 500 mg IV
• Edukasi menghindari aktivitas
berat dan risiko cedera berulang

20 Februari 2020, Pukul 21.30 WITA

Subjective

• Nyeri + berkurang, sakit kepala (-), mual muntah (-), sesak (-)

Objective

• TD 120/70 mmHg • Status lokalis:

• Nadi: 79x/menit kuat reguler Region cruris dextra  tertutup elastic


bandage. NVD baik, rembesan (-)
• Suhu 36.9°C Regio Temporal  hematom
• RR 18 x/menit, isi cukup mengecil, vulnus ekskoriatum kering,
pus (-)
• VAS 2

• Status generalis dbn

15
Assesment

• Post debridement-reduksi tertutup-backslab fraktur terbuka tibia et fibula dextra

• CKR perbaikan

• Anemia normositik normokrom perbaikan

• Thrombositopenia perbaikan

Planning

• AFF infus • Diet biasa, ekstra putih telur

• Cefixime 2 x 200 mg • Edukasi untuk mobilisasi dini

• Sodium diclofenac 2 x 50 mg • Edukasi menghindari aktivitas


berat dan risiko cedera berulang
• Tablet kalsium dan vitamin D 3 x
500 mg • Pasien dapat pulang dan kontrol
poli bedah 27/2/2020

16
BAB VI
TINJAUAN TEORITIS

6.1Definisi Fraktur

Di Amerika Serikat, kecelakaan merupakan penyebab kematian terbanyak pada kelompok


usia antara 1- 44 tahun, serta merupakan salah satu dari sepuluh penyebab kematian pada
kelompok usia di atas 10 tahun. Dari seluruh kasus kecelakaan tersebut, setidaknya dua
pertiganya mengenai sistem muskuloskeletal (fraktur, dislokasi, dan cedera jaringan lunak).
Walaupun cedera muskuloskeletal pada individu yang sehat jarang bersifat fatal (mortalitas
rendah), tetapi dapat mengakibatkan penderitaan fisik, stres mental dan kehilangan waktu
produktif (morbiditas yang tinggi).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas (diskontinuitas) struktur tulang, lempeng


epifisis, atau permukaan tulang rawan sendi. Bila fragmen fraktur masih tertutup oleh
jaringan kulit sehinga tidak berhubungan dengan lingkungan luar, fraktur tersebut disebut
fraktur tertutup (fraktur simple). Sedangkan, fraktur dikatakan terbuka bila fraktur
berhubungan dengan lingkungan luar akibat robeknya kulit, baik akibat fragmen fraktur yang
menembus kulit atau karena gaya dari luar yang menyebabkan robeknya kulit (compound
fracture). Fraktur terbuka memiliki risiko infeksi yang lebih tinggi (gambar 3).

17
Gambar . Fraktur adalah terputusnya kontinuitas (diskontinuitas) struktur tulang,
lempeng epifisis, atau permukaan tulang rawan sendi. Bila fragmen fraktur masih
tertutup oleh jaringan kulit sehinga tidak berhubungan dengan lingkungan luar, fraktur
tersebut disebut fraktur tertutup (fraktur simple). Sedangkan, fraktur dikatakan terbuka bila
fraktur berhubungan dengan lingkungan luar akibat robeknya kulit, baik akibat fragmen
fraktur yang menembus kulit atau karena gaya dari luar yang menyebabkan robeknya kulit
(compound fracture
Fraktur dapat terjadi akibat : 1) satu kejadian trauma; 2) repetitive stress; atau 3) kelemahan
tulang akibat adanya kelainan tertentu. Gaya penyebab fraktur dan gaya yang dihasilkan
akibat pergeseran fragmen fraktur akan mengakibatkan cedera jaringan lunak sekitar tulang.
Dengan demikian, ketika terjadi fraktur, kita juga harus membayangkan/mempertimbangkan
terjadinya cedera jaringan lunak sekitar fraktur. Sering kali gejala klinis yang timbul akibat
cedera organ tertentu seperti otak, medula spinalis, organ di dalam rongga toraks dan
abdomen lebih berat dibandingkan fraktur itu sendiri.

6.2 Mekanisme Trauma : Faktor-Faktor Penyebab Fraktur

Untuk memahami mengapa dan bagaimana fraktur terjadi, kita perlu mengerti tentang
karakteristik alamiah tulang dan gaya yang menyebabkan terjadinya fraktur (gambar 4 A).
Sebagian besar fraktur terjadi akibat gaya yang berlebihan dan datang secara tiba-tiba baik
secara langsung (direct force) maupun tidak langsung (indirect force). Direct force (blow)
dapat menyebabkan fraktur pada area tulang yang langsung mendapat trauma. Direct force
biasanya menghasilkan fraktur transversal dan merusak jaringan kulit di atas area fraktur.
Indirect force dapat menyebabkan fraktur pada tulang yang jauh dari tempat di mana gaya
diterima.

Walaupun sebagian besar fraktur terjadi akibat kombinasi beberapa gaya, tetapi kita dapat
menduga mekanisme gaya yang menyebabkan fraktur berdasarkan gambaran radiografi
(gambar 4B):

 Twisting force menyebabkan fraktur spiral


 Compression force menyebabkan short oblique fracture
 Bending force menyebabkan fraktur kominutif dengan butterfly fragment
 Tension force cenderung menyebabkan fraktur transversal atau fraktur avulsi

18
FORCE overcomes

FR
viscoelastic coefficient

Gambar 4A. mekanisme terjadinya fraktur terjadi : gaya penyebab fraktur melebihi

AC
koefisisen elastisitas tulang .

Sebagai contoh ketika bending force melebihi kemampuan tulang untuk menahan
pembebanan (tulang tidak mampu lagi menahan tension force pada sisi konveks tulang

TU
panjang) akan terjadi fraktur transversal atau fraktur oblik dengan atau tanpa butterfly
fragment.

RE
sio res

n
g

ng

ing
mp

sio
rin
n

isti

nd
ea
Co

en
Tw

Be
Sh

Ta

Gambar 4B. Mekanisme gaya yang menyebabkan fraktur

Selain oleh jenis gaya, pola garis fraktur juga dipengaruhi oleh jenis tulang. Tulang kortikal
lebih tahan terhadap pembebanan gaya kompresi dan shearing force daripada tension force.
Atau dengan kata lain, tulang kortikal lebih rentan terhadap fraktur ketika mendapat
pembebanan tension force. Berbeda dengan tulang kortikal, tulang spongiosum dengan
struktur mirip spons lebih rentan tehadap gaya kompresi. Gaya kompresi yang terjadi secara
tiba-tiba dapat menyebabkan satu permukaan tulang terdorong/terdesak (impacted) ke arah
permukaan tulang yang berlawanan dan menghasilkan fraktur kompresi (seperti fraktur
kompresi vertebra dan fraktur collum humeri) (gambar 5) .

19
Gambar 5. fraktur kompresi vertebra

Pada anak-anak, tulang kortikalnya memiliki periosteum yang tebal menyerupai lapisan
kambium dahan pohon hidup. Gaya bending dapat menyebabkan fraktur pada sisi konveks
korteks tulang dan hanya menghasilkan angulasi pada sisi konkav-nya disebut sebagai fraktur
greenstick (gambar 6A). Daerah metafisis (tulang spongiosum) tulang panjang anak-anak
dapat mengalami fraktur akibat gaya kompresi yang dikenal dengan buckle fracture (buckle :
sabuk) atau disebut juga fraktur torrus (gambar 6B).

Gambar 6A dan 6B. fraktur greenstick dan buckle fracture

6.3 Cara Mendiagnosis Fraktur

Lebih dari separuh diagnosis bidang muskuloskeletal dapat disimpulkan atas dasar anamnesis
yang baik. Dan lebih dari tujuh puluh lima persen diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang baik. Ketika seseorang mengalami fraktur, biasanya ia akan
menyadari bahwa tulangnya telah fraktur (patah). Pada situasi tertentu yang kurang

20
jelas/tidak jelas, seperti pada anak-anak dan pasien tidak sadar, pemeriksaan lebih lanjut
diperlukan untuk menghindari kemungkinan tidak terdeteksinya diagnosis fraktur. Kadang-
kadang, gambaran fraktur tidak begitu jelas secara klinis apabila frakturnya undisplaced atau
impaksi dan stabil (gambar 7).

Gambar 7. Fraktur undisplaced

6.3.1 Evaluasi dan Penatalaksanaan Emirgency Life Support System

Sebagai peserta didik (mahasiswa kedokteran khususnya) kita harus memahami basic life
support (BLS) – bantuan hidup dasar (BHD) dan Advanced Trauma Life Support (ATLS).
BLS merupakan prosedur penyelamatan hidup emirgensi yang didesain untuk menangani
kegagalan sistem respirasi [A—Airway (obstruksi) dan B—Breathing (henti nafas)],
kardiovaskular [(C—Circulation (henti jantung)] tanpa menggunakan peralatan yang
kompleks. Prosedur tersebut merupakan Resusitasi Jantung Paru (RJP) yang harus dimulai
segera setelah kondisi emergensinya terjadi. Sedangkan ATLS merupakan prosedur
penyelamatan hidup lanjut di rumah sakit, yang meliputi pengawasan fungsi jantung,
defibrilasi, dan administrasi cairan intravena, medikasi, dan penggunaan peralatan medis
(seperti endotracheal tube).

Airway (Obstruksi Jalan nafas) :

Pengenalan dan penatalaksanaan masalah airway harus menjadi prioritas pertama (terpenting)
dalam menghadapi pasien dengan cedera berat. Namun, kita harus melakukan kontrol adanya
cedera tulang belakang cervical yang dapat membahayakan keselamatan pasien saat
melakukan manuver pembebasan jalan nafas. Pembebasan jalan nafas dapat dilakukan
dengan cara : chin lift - jaw thrust - finger sweep –suction - oropharingeal tube, orotracheal
tube, dan bila perlu cricotithyroidotomy.

21
Breathing (Henti nafas) :

Setelah airway dipastikan bebas, evaluasi breathing dilakukan dengan meng-expose dan
melakukan inspeksi frekuensi nafas, memar atau luka terbuka dinding dada, dan pergerakan
nafas yang tidak simetris. Pemeriksaan inspeksi dilanjutkan dengan perkusi untuk menilai
bunyi redup atau hipersonor dan auskultasi kedua sisi dinding dada untuk menilai suara nafas.
Adanya kelainan tension pneumothorax, open pneumothorax, massive haemothorax dan flail
chest merupakan trauma dinding dada yang mengancam keselamatan nyawa dan harus segera
diatasi. Prinsip penatalaksanaannya dengan mengurangi/menghilangkan tekanan dengan
thoracosentesis dan pemasangan chest tube dilanjutkan pemberin oksigen.

Circulation (Henti jantung dan perdarahan masif) :

Perdarahan merupakan salah satu penyebab kematian pasca trauma yang dapat dicegah.
Sebagai dokter kita harus mengenal segera adanya tanda-tanda perdarahan yang
mengganggu sirkulasi selama primary survey . Tanda-tanda ganguan sirkulasi akibat
perdarahan meliputi : penurunan kesadaran, akral pucat dan frekuensi nadi yang cepat. Bila
terjadi syok hipovolemik akibat perdarahan : harus dilakukan kontrol perdarahan dan
resusitasi cairan secara intravena melalui paling tidak dua jalur IV lines. Pemberian cairan
resusitasi awal lactated Ringer’s hangat diberikan dengan volume 2 sampai 3 liter. Bila tidak
memberikan respons yang baik ditandai dengan dengan perbaikan tanda vital, harus
dilanjukan pemberian darah.

6.3.2 Riwayat Pasien

Riwayat trauma seperti jatuh, twisting injury, benturan langsung, atau kecelakaan lalu lintas
biasanya disadari oleh pasien; tetapi bagaimana mekanisme trauma sesungguhnya, umumnya
tidak dapat dijelaskan secara pasti oleh pasien. Sering kali pasien menyebutkan bahwa,
“semuanya terjadi begitu saja”. Usia dan mekanisme trauma sangatlah penting untuk menjadi
pertimbangan jenis fraktur.

Perlu menjadi perhatian : bahwa fraktur tidak selalu terjadi pada daerah yang mendapat
trauma. Benturan (gaya) pada daerah genu dapat menyebabkan fraktur patella, kondilus

22
femur, diafisis femur atau bahkan acetabulum. Bila suatu fraktur terjadi akibat trauma yang
ringan, harus dicurigai adanya kelainan patologis (fraktur patologis) (gambar 8).

Gambar 8. Mekanisme trauma pada fraktur patologis osteoporosis

Gejala tersering dari fraktur adalah nyeri pada lokasi tertentu yang bertambah berat dengan
pergerakan dan menurunnya fungsi dari ekstremitas atau bagian yang terkena. Kadang-
kadang pasien “mendengar suara tulang fraktur ” atau bagian ujung fragmen tulang
berbunyi (krepitus). Tidak semua fraktur memiliki derajat nyeri atau menghasilkan gangguan
fungsi yang sama. Manifestasi nyeri hebat dijumpai pada fraktur tidak stabil. Jadi, ketika
pasien mengalami fraktur yang stabil dan fraktur tidak stabil di lokasi yang lainnya, nyeri
hebat dari fraktur yang tidak stabil bisa menutupi fraktur yang stabil.

6.3.3 Pemeriksaan Fisik

Sebelum melakukan pemeriksaan fisik daerah tertentu yang diduga fraktur (status lokalis),
harus dilakukan penilaian keadaan umum pasien (A: airway obstruction, B : breathing
problems, C: circulatory problems) dan evaluasi adanya cedera yang menyertai fraktur
seperti cedera otak, sumsum tulang belakang, pembuluh besar, organ visera toraks dan
abdomen (gambar 9).

Gambar 9. Evaluasi pemeriksaan fisik primary survey sebelum melakukan sebelum


pemeriksaan status lokalis (secondary survey)

23
Pemeriksaan fisik dimulai ketika pasien datang ke dokter atau rumah sakit. Gambaran
tertentu pasien (habitus, wajah pasien, cara berjalan (gait) atau posisi duduk, dapat
memberikan tanda penting. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan sebaik-baiknya (gentle)
sehingga tidak menimbulkan rasa nyeri yang tidak perlu.

6.3.4 Pemeriksaan status lokalis

Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematik : 1) inspeksi (looking); 2) palpasi


(feeling) ; evaluasi range of motion (moving), secara aktif dan pasif; 4) auskultasi sendi dan
pembuluh darah; 5) special physical test ; dan pemeriksaan neurologi.

Pada inspeksi (looking) kita dapat mengamati nyeri melalui ekspresi wajah pasien dan cara
pasien memproteksi daerah yang fraktur, kulit (memar/hematom, intak atau tidak, bila ada
luka dekripsikan ukuran luka, dasar luka, derajat kontaminasi), adanya atrofi, hipertrofi dan
skar bekas operasi sebelumnya. Pada pemeriksaan inspeksi dapat ditemukan pembengkakan,
deformitas (angulasi, rotasi, atau shortening/pemendekan), atau pergerakan abnormal
(terjadi pada lokasi fraktur) (gambar 10). Diskolorasi kulit akibat ekstravasasi darah
(ekimosis) biasanya tampak nyata setelah beberapa hari. Penilaian shortening atau atrofi
harus selalu membandingkan dengan ekstremitas kontralateral.

Gambar 10. Evaluasi status lokalis : secondary survey

Pada pemeriksaan palpasi yang lembut (feel) dapat ditemukan nyeri tekan (tenderness) lokal
pada area fraktur dan adanya spasme otot. Pemeriksaan “krepitus” tulang tidak diperlukan
karena akan menimbulkan rasa nyeri. Pemeriksaan di sekitar ekstremitas termasuk daerah
sendi yang mengalami trauma atau daerah lainnya harus dilakukan untuk menilai
kemungkinan fraktur atau cedera yang kurang jelas (mungkin terdapat lebih dari satu daerah
yang fraktur) atau adanya dislokasi atau fraktur dislokasi. Oleh karena banyak fraktur yang
tidak terdiagnosis disebabkan pemeriksaan fisik yang sempurna (tidak adekuat). Pada trauma

24
high energy harus selalu diperiksa regio tulang belakang dan pelvis. Pemeriksaan pulsasi
pembuluh darah dan saraf tepi harus dilakukan sebelum dan sesudah penatalaksaan.

Pada pemeriksaan move : krepitus dan pergerakan akan menyebabkan nyeri, tidak perlu
dilakukan. Kita hanya perlu meminta pasien menggerakan sendi distal terhadap trauma.

6.3.5 Pencitraan Radiologi

Diagnosis fraktur biasanya dapat dicurigai bahkan ditegakkan melalui pemeriksaan fisik saja.
Pemeriksaan pencitraan radiografi (X-ray) diperlukan untuk menentukan lokasi, ekstensi
garis fraktur, konfigurasi, dan hubungan fragmen fraktur (gambar 11A). Sebelum dilakukan
pencitraan radiografi, ekstremitas yang cedera/fraktur harus dibidai/dilakukan pemasangan
splint (yang bersifat radiolusen) terlebih dahulu untuk mencegah nyeri yang tidak perlu atau
cedera jaringan lunak lebih lanjut.

Pemeriksaan radiografi merupakan pencitraan dua dimensi sehingga hanya menggambarkan


satu proyeksi, sehingga diperlukan setidaknya dua proyeksi (antero-posterior dan lateral)
untuk mencapai diagnosis yang akurat. Pada fraktur tulang daerah tangan dan kaki proyeksi
oblik sering kali diperlukan. Pada pemeriksaan radiografi dikenal rule of twos :

1. Two views (projections)


2. Two joints
3. Two limbs
4. Two injuris
5. Two occasions

Gambar 11 A. Pemeriksaan pencitraan radiografi berguna untuk menentukan lokasi, ekstensi


garis fraktur, konfigurasi, dan hubungan fragmen fraktur

25
Gambar 11 B. CT Scan juga memungkinkan kita menyusun rekonstruksi tiga dimensi dan
menganalisis regio anatomi yang kompleks
Karena merupakan pencitraan dua dimensi, pemeriksaan radiografi sulit dan terbatas dalam
menggambarkan fraktur tulang vertebra, pelvis dan daerah bahu. Pada daerah tersebut
diperlukan pemeriksaan radiologi yang lebih canggih (advance), computed tomography (CT)
scanning dan magnetic resonance imaging (MRI) yang dapat memberikan data tambahan
yang berguna dan lebih akurat.

CT scan merupakan modalitas pencitraan radiologi yang juga menggunakan sumber X rays,
dilengkapi dengan detektor dan sistem proses data dengan komputer. Kelebihan pemeriksaan
CT scanning dibandingkan dengan pemeriksaan radiografi konvensional : 1) CT scan dapat
menghilangkan superposisi struktur (area) tertentu; 2) Karena memiliki resolusi kontras
tinggi, CT Scan dapat membedakan antara satu jaringan dengan jaringan lainnya dengan
perbedaan densitas (kepadatan fisik) kurang dari 1%, 3) Data yang diperoleh dari CT scan
dapat dilihat dari beberapa proyeksi aksial, koronal, atau sagital (multiplanar reformatted
imaging). Dengan CT scan kita dapat melihat gambaran yang sangat jelas fraktur dislokasi,
kelainan intra-artikular (kerusakan kartilago sendi). Dengan CT Scan juga memungkinkan
kita menyusun rekonstruksi tiga dimensi dan menganalisis regio anatomi yang kompleks
seperti wajah, pelvis, vertebra, dll (gambar 11B).

MRI sangat sensitif dan akurat untuk menilai jaringan lunak dan sumsum tulang. Prinsip
dasar MRI adalah menggunakan radiofrekuensi pada medan magnet (tanpa menggunakan
radiasi) dan menampilkan gambar sesuai dengan bidang yang diinginkan. Gambaran MRI
merefleksikan intensitas proton (hydrogen) pada jaringan dan bagaimana respons proton
hidrogen yang mobile terhadap berbagai sekuens stimulasi radiofrekuensi. Jaringan lemak
sumsum tulang akan tampak terang bright, dan tulang kortikal akan tampak gelap. Beberapa
jaringan (edema, hematoma, tumor) memiliki intensitas yang rendah pada pencitraan T1 dan
intensitas tinggi pada pencitraan T2. Pada T1 weighted MRI jaringan yang banyak

26
mengandung lemak akan bright, sedangkan pada T2 weighted jaringan yang banyak
mengandung air akan tampak bright.

Sensitivitas MRI yang tinggi memungkinkan deteksi kelainan yang mungkin tidak tampak
pada radiografi polos. Hal seperti ini biasa terjadi pada kasus fraktur vertebra yang
melibatkan sumsum tulang, occult fracture pada hip, dan nicrofracture trabekula tulang, atau
adanya cedera pada jaringan lunak sekitarnya. Kekurangan MRI karena dinilai mahal dan
tidak bisa digunakan pada pasien dengan implan metal, alat pacu jantung (pacemakers),
cerebral aneurismal clips, dll.

6.4 Deskripsi Fraktur

Deskripsi fraktur yang akurat sangatlah penting, karena berhubungan dengan permasalahan
klinis dan rencana penatalaksanaan yang diperlukan pasien. Deskripsi fraktur harus disusun
secara lengkap sesuai dengan lokasi fraktur, ekstensi garis fraktur, konfigurasi fraktur,
hubungan sesama fragmen fraktur, hubungan fraktur dengan lingkungan luar dan ada atau
tidaknya komplikasi.

1. Lokasi. Suatu fraktur dapat terjadi pada diafisis, metafisis, epifisis, atau intra-
artikular. Bila fraktur yang terjadi disertai dengan dislokasi di sendi di dekatnya
disebut dengan fraktur-dislokasi (gambar 12).
2. Ekstensi garis fraktur. Berdasarkan ekstensinya, fraktur terbagi menjadi fraktur
komplit dan tidak komplit (incomplete). Contoh fraktur yang incomplite : fraktur
buckle, fraktur greenstick dan hairline fracture (gambar 12).
3. Konfigurasi. Konfigurasi fraktur dapat berupa fraktur transversal, oblik atau spiral
(gambar 12). Fraktur yang memiliki lebih dari satu garis fraktur atau memiliki lebih
dari dua fragmen dapat berupa fraktur kominutif atau segmental. Dikatakan fraktur
kominutif, bila terdapat lebih dari satu garis fraktur (lebih dari dua fragmen) dan
garis-garis yang ditarik melalui fragmen fraktur akan bertemu pada titik tertentu pada
daerah fraktur (gambar 12). Sedangkan fraktur dikatakan segmental bila terdapat lebih
dari satu garis fraktur yang berjalan sejajar.
4. Hubungan antar fragmen fraktur. Berdasarkan hubungan antar fragmen, fraktur
dapat merupakan undisplaced fracture (fragmen fraktur yang tidak berubah
posisinya), atau displaced fracture. Pergeseran fragmen fraktur terjadi dengan salah
satu dari enam cara berikut: 1) translasi (bergeser sepanjang sisi), 2) angulasi, 3)
rotasi, 4) distraksi, 5) over-riding, 6) impaksi.

27
5. Hubungan fraktur dengan lingkungan luar (fraktur tertutup atau terbuka)
(gambar 12).
6. Komplikasi. Fraktur dapat disertai komplikasi tertentu. Komplikasi fraktur dapat
bersifat lokal atau sistemik, dan bisa juga iatrogenik.

Gambar 12. Gambar radiologi menunjukkan berbagai pola garis fraktur dan gambar
klinis menunjukkan hubungan frktur dengan lingkungan (fraktur terbuka)

Pada fraktur terbuka, fraktur dapat diklasifikasikan berdasarkan luas fraktur, keadaan jaringan
lunak, dan keterliba

6.5 Penyembuhan fraktur

Penyembuhan fraktur merupakan proses biologi yang unik (dibandingkan dengan


penyembuhan jaringan lain), karena tidak meninggalkan bekas jaringan parut. Pada proses
penyembuhan fraktur diperlukan dua faktor yang sangat penting yaitu faktor mekanik seperti
imobilisasi fragmen fraktur dan faktor biologis (biofactor) seperti suplai darah dari
periosteum, faktor selular dan faktor pertumbuhan (growth factor). Walaupun faktor mekanik

28
merupakan faktor yang penting, namun faktor biologi merupakan faktor yang jauh lebih
penting untuk proses penyembuhan fraktur.

Ketika terjadi benturan yang kuat, energi akan diabsorbsi oleh tulang dan menyebabkan
kerusakan atau kegagalan secara mekanik dan struktur tulang. Di samping terjadi
diskontinuitas tulang, terjadi juga kerusakan jaringan sekitar tulang berupa terputusnya suplai
darah ke tulang. Dalam beberapa jam setelah fraktur, akan terjadi: hematoma, kehilangan
arsitektur normal sumsum tulang, penyumbatan pembuluh darah di sekitar faktur, dan re-
organisasi komponen selular sumsum tulang menjadi sel-sel endotel (polymorphic cells).
Hematoma terjadi di daerah fraktur dan diketahui memainkan peranan penting dalam
penyembuhan tulang. Menurut Mizuno dkk. hematoma dari fraktur memiliki potensi
osteogenik yang berperan besar terhadap penyembuhan fraktur. Hal serupa dilaporkan oleh
Grundnes dan Reikeras yang menyebutkan bahwa evakuasi hematoma pada saat tindakan
pembedahan akan mengganggu penyembuhan fraktur.

Sejumlah faktor pertumbuhan terdapat di dalam hematoma yang disekresi oleh sel-sel lokal
daerah fraktur saat penyembuhan fraktur berlangsung. Faktor-faktor pertumbuhan ini
merupakan kelompok transforming growth factor beta (TGF-b), acid dan basic fibroblast
growth factor (aFGF dan bFGF), insulin-like growth factor (IGF), platelet-derived growth
factor (PDGF), vascular endothelial growth factor (VEGF) dan bone morphogenic proteins
(BMPs) berperan pada penyembuhan fraktur. FGF merupakan mitogen yang kuat bagi sel
osteoprogenitor dan berperan penting pada metabolisme tulang dan regulasi proliferasi dan
diferensiasi sel osteoblas. Pada manusia diduga FGF dapat meningkatkan potensi diferensiasi
sel mesenkimal menjadi sel osteoblas dan kondroblas. Penelitian yang dilakukan oleh Cheng
dkk. menjelaskan terdapat 14 jenis BMPs pada manusia. BMP-2, 6, dan 9 berperan penting
dalam aktivitas osteogenik. Selain itu interleukin juga berperan untuk meningkatkan
penyembuhan fraktur. VEGF berperan mendorong dan meningkatkan angiogenesis serta
menstimulasi dan memengaruhi kemotaksis, proliferasi, dan aktivitas osteoblas, osteoklas dan
kondroblas.

Secara histologis proses penyembuhan fraktur dibagi menjadi penyembuhan primer dan
sekunder. Penyembuhan primer atau primary cortical healing adalah peyembuhan langsung
melalui korteks satu fragmen tulang dengan korteks dari fragmen tulang lainnya.
Penyembuhan primer terjadi pada reposisi tulang yang anatomis dan fiksasi interna yang
rigid. Segera setelah reposisi tulang yang anatomis dan fiksasi interna yang rigid, pembuluh
darah mengalami pertumbuhan secara ingrowth melalui celah minimal diantara dua fragmen

29
tulang. Sel punca mesenkimal akan berdiferensiasi menjadi osteoblas yang akan
memproduksi osteoid dan meletakkannya pada permukaan tulang yang kemudian
membentuk kalus. Selanjutnya tepi-tepi tulang yang nekrotik dan kalus yang terbentuk dalam
celah fraktur akan mengalami resorpsi. Osteoklas yang terdapat pada cutting cones satu sisi
fracture site akan melakukan resorpsi, membentuk tunnel yang akan membentuk sistem
Havers yang baru, sebagai jalan untuk penetrasi pembuluh darah. Semua pembuluh darah
yang baru terbentuk ini disertai oleh sel-sel endotel, sel mesenkimal perivaskular dan sel-sel
osteoprogenitor. Proses ini menyebabkan kalus yang terbentuk digantikan dengan osteon baru
dan menghasilkan stabilisasi.

Penyembuhan fraktur secara sekunder merupakan penyembuhan fraktur secara spontan tanpa
fiksasi interna yang rigid. Proses tersebut melibatkan respons periosteum dan jaringan lunak
sekitarnya. Diduga respons terpenting pada penyembuhan fraktur terjadi pada periosteum.
Dari periosteum ini sel-sel osteoprogenitor dan sel punca mesenkimal (SPM) berkontribusi
pada proses penyembuhan fraktur baik melalui osifikasi intramembran maupun osifikasi
endokondral.

Mayoritas fraktur mengalami penyembuhan melalui kombinasi osifikasi intramembran dan


endokondral. Osifikasi intramembran adalah pembentukan tulang secara langsung tanpa
melalui pembentukan tulang rawan, dari sel-sel osteoprogenitor dan SPM yang berada dalam
periosteum. Pada lokasi yang jauh dari fraktur akan terbentuk kalus, secara histologi disebut
sebagai ‘hard callus’.

Osifikasi endokondral melibatkan perekrutan, proliferasi dan diferensiasi SPM menjadi


tulang rawan, yang kemudian mengalami kalsifikasi dan akhirnya digantikan oleh tulang.
Karakteristik penyembuhan ini meliputi beberapa tahapan termasuk tahap awal pembentukan
hematoma dan peradangan, angiogenesis, formation of cartilage, cartilage calcification,
cartilage removal, bone formation, dan akhirnya bone remodelling. Penyembuhan fraktur
tipe ini dijumpai pada daerah yang berdekatan dengan daerah fraktur, yang ditandai dengan
terbentuknya molekul-molekul yang berhubungan dengan berbagai jenis jaringan
muskuloskeletal.

McKibbin menggambarkan proses penyembuhan fraktur merupakan proses fisiologi yang


kompleks dibagi menjadi lima tahap. Tahap pertama berupa pembentukan hematoma. Pada
saat terjadi fraktur, pembuluh darah kecil yang melalui kanalikuli pada sistem Havers robek.
Bekuan darah akan terbentuk dan menyumbat pembuluh darah kecil yang meluas sampai

30
beberapa milimeter dari lokasi fraktur. Selain itu fungsi bekuan darah adalah sebagai scaffold
yang terbentuk dari fibrin serta memberikan sumber molekul yang memberikan sinyal untuk
memulai serangkaian kaskada proses selular. Osteosit di lakuna yang bejarak beberapa
milimeter dari garis fraktur kehilangan suplai darah dan mati. Hal ini akan menyebabkan
tulang di sekitar garis fraktur menjadi nekrosis. Segmen tulang yang mati pada akhirnya akan
digantikan oleh tulang hidup melalui serangkain proses resorpsi dan deposisi yang simultan.
Pada tahap awal ini kedua permukaan tulang yang mati tidak berperan dalam penyembuhan
fraktur.

Tahap dua : tahap inflamasi. Reaksi inflamasi akut disertai dengan proliferasi sel yang
bersifat osteogenik dari lapisan dalam periosteum yang akan membentuk kalus eksterna dan
sebagian kecil dari endosteum yang akan membentuk kalus interna. Hematoma diserap secara
perlahan dan selanjutnya terbentuk pembuluh darah baru di daerah tersebut atau disebut
neovaskularisasi. Selama tahapan ini terjadi ledakan sel-sel osteogenik yang berdampak pada
pertumbuhan jaringan yang sangat cepat sekali, bahkan lebih cepat dari pertumbuhan tumor
yang paling ganas sekalipun. Kalus yang terbentuk belum mengandung tulang (woven bone)
dan bersifat radiolusen pada pemeriksaan radiologi. Sel-sel radang akan menyekresi sitokin
seperti IL-1 dan IL-6 yang berperan pada regulasi kejadian proses penyembuhan fraktur
dengan menciptakan lingkungan yang sesuai untuk migrasi SPM. Selain itu degranulasi
trombosit akan melepaskan sinyal molekul-molekul seperti TGF-b dan PDGF yang berperan
penting dalam regulasi proliferasi sel dan diferensiasi SPM. SPM akan berdiferensiasi
menjadi osteoblas dan kondroblas yang selanjutnya kedua jenis sel ini menghasilkan matriks
osteoid dan tulang rawan untuk pembentukan kalus fraktur.

Tahap ketiga : tahap soft callus/clinical union., Osteoid akan mengalami mineralisasi dan
tulang rawan akan mengalami osifikasi endokondral untuk membentuk tulang dan
menjembatani celah fraktur. Kalus eksterna dan interna (campuran woven bone dan tulang
rawan) yang bersifat sementara akan mengelilingi area fraktur (fracture site) membentuk lem
biologis (biological glue) yang secara bertahap mengeras bila komponen tulang rawan pada
kalus digantikan oleh tulang, melalui proses osifikasi endokondral. Ketika kalus yang
terbentuk cukup padat sehingga tidak terjadi lagi gerakan pada area fraktur dikatakan sebagai
clinical union. Tahap ini ditandai dengan meningkatnya vaskularisasi dan pertumbuhan
kapiler menuju kalus dan selanjutnya diikuti peningkatan jumlah sel. Sel-sel yang
berproliferasi mempunyai potensi kondrogenik dan osteogenik, sehingga akan mulai
membentuk tulang dan kartilago. Pada tahap ini didapatkan osteoklas yang bertugas

31
meresorpsi tulang mati. Massa selular yang tebal, tulang imatur dan kartilago membentuk
kalus pada periosteum. Pada pemeriksaan radiologi ditemukan adanya tulang pada kalus
tetapi garis frakturnya masih tampak.

Tahap keempat adalah konsolidasi (radiographic union2/hard callus). Pada tahap ini, kalus
secara bertahap diganti dengan tulang lamelar matur. Ketika seluruh tulang yang imatur
digantikan oleh tulang lamelar, maka fraktur dikatakan telah mengalami konsolidasi atau
radiographic union. Tahap kelima terjadi remodeling, tulang lamelar yang tebal akan
diresorpsi secara berangsur-angsur serta terbentuk kavitas medula. Ketika union telah
terbentuk sempurna, kelebihan massa kalus akan diresorpsi dan akhirnya tulang akan kembali
ke diameter semula (gambar 13 ).

Gambar 13. Proses penyembuhan fraktur sekunder pada diafisis femur

6.5.1 Penyembuhan Fraktur Primer pada Tulang Kortikal dengan Fiksasi interna

Ketika fragmen fraktur tulang kortikal direposisi/direduksi secara anatomi melalui operasi
terbuka dan dipertahankan dengan fiksasi interna yang rigid (osteo-synthesis), area fraktur
akan dilindungi dari pembebanan (stress). Akibatnya, tidak terdapat stimulus untuk
memproduksi kalus eksterna periosteum atau kalus interna dari endosteum, sehingga
penyembuhan fraktur terjadi secara langsung (penyembuhan primer) antar korteks dari satu
fragmen fraktur dengan fragmen lainnya. Pada area garis fraktur yang kontak dengan
kompresi, cutter head melintasi area fraktur diikuti oleh jembatan osteon yang baru.

32
Selama fiksasi plate screw tetap dipertahakan (pada tempatnya), tulang yang berada di bawah
plate screw akan terlindungi dari pembebanan/stress (karena pembebanan/stres normal akan
melalui plate ). Sebagai akibatnya, tulang pada area ini menjadi disuse osteoporosis, yang
kadang disebut juga dengan “osteoporosis stress-relief”.

6.5.2 Penyembuhan Fraktur pada Tulang Spongiosum

Sebagaimana penjelasan sebelumnya, tulang spongiosum terdiri atas rongga trabekulae


berbentuk seperti spons yang saling berhubungan. Pada potongan melintang, korteks tulang
spongiosum (yang mengelilinginya) relatif tipis dibandingkan dengan diafisis tulang panjang.
Dengan struktur yang berbeda, proses penyembuhan fraktur pada kedua jenis tulang tersebut
pun berbeda. Penyembuhan fraktur tulang spongiosum terjadi terutama melalui pembentukan
kalus interna atau endosteal callus (kalus interna)

Trabekula tulang spongiosum memiliki suplai darah yang kaya dan area kontak permukaan
tulang yang luas, sehingga pada fraktur undisplaced dan fraktur yang telah tereduksi dengan
baik, proses union fraktur tulang spongiosum terjadi lebih cepat dibandingkan dengan fraktur
tulang kortikal. Sel-sel osteogenik dari lapisan endosteum berproliferasi membentuk woven
bone di dalam area hematom fraktur. selanjutnya kalus interna akan mengisi “rongga
terbuka” permukaan fraktur dan menyebar kesepanjang garis fraktur dengan area kontak yang
baik. Proses penyembuhan fraktur tulang spongiosum diawali pada daerah permukaaan
fraktur yang memiliki kontak langsung (yang baik). Begitu tercapai union pada satu area
kontak tertentu, maka terjadi clinical union dan proses penyembuhan akan menyebar
keseluruh garis fraktur. Selanjutnya, woven bone akan digantikan oleh tulang lamelar dan
memasuki fase konsolidasi (gambar 14).

Gambar 14. Penyembuhan Fraktur pada Tulang Spongiosum

6.5.3 Penyembuhan Fraktur pada Kartigo Artikular

33
Berbeda dengan proses union pada tulang (seperti penjelasan di atas), kartilago hyalin
permukaan sendi memiliki kemampuan penyembuhan atau regenerasi yang sangat terbatas.
Bila fraktur pada tulang biasanya sembuh dengan jaringan tulang, kartilago hyalin sendi yang
mengalami fraktur akan digantikan oleh jaringan ikat fibrosa atau bahkan tidak mencapai
penyembuhan sama sekali. Ketika permukaan fraktur kartilago sendi direposisi sempurna,
skar jaringan ikat tipis yang terbentuk akan menyebabkan arthritis degeneratif lokal pada area
tertentu.

Sebaliknya bila terdapat gap yang besar (reposisi tidak anatomis), jaringan ikat fibrosa akan
mengisi celah tersebut. Jaringan ikat fibrosa tidak mampu menahan pembebanan “fungsi
wear and tear normal sendi” sehingga proses degeneratif akan semakin meluas ke seluruh
permukaan sendi. Dengan kata lain iregularitas permukaan sendi akibat fraktur intra-artikular
akan menyebabkan arthritis degenerative pasca trauma.

Satu studi tentang pengaruh imobilisasi (pengunaan cast plaster of paris), pergerakan aktif
intermiten (cage activity), dan pergerakan pasif secara kontiniu (CPM-continuous passive
motion) terhadap proses penyembuhan fraktur intra-artikular kelinci pasca reduksi anatomi
dan fiksasi interna, menunjukkan penyembuhan kartilago hyaline pada kelompok lutut yang
diimobilisasi castplaster of paris, cage activity dan kelompok CPM masing-masing : tidak
sembuh dengan kartilago, hanya terjadi pada 20% kasus dan 80% kasus.

Studi jangka panjang selama 6 bulan pada kelinci yang mendapat perlakuan seperti di atas
selama1-3 minggu menunjukkan arthritis degenerative muncul pada : 90% lutut yang diterapi
pasca operasi dengan imobilisasi selama 1-3 minggu, 76% pada kelompok diterapi dengan
cage activity selama 6 bulan, dan 20% pada kelompok yang mendapat perlakuan CPM.

6.6 Waktu Penyembuhan Fraktur

Waktu penyembuhan fraktur sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor penting
berikut ini:

a. usia pasien,
b. lokasi dan konfigurasi dari fraktur,
c. displacement awal, dan
d. suplai darah ke fragmen fraktur.

a. Usia pasien

34
Kecepatan penyembuhan fraktur sangat berhubungan erat dengan faktor usia seseorang
(semakin muda usia seseorang, semakin tinggi aktifitas osteogenik dari periosteum dan
endosteum). Proses penyembuhan fraktur sangat cepat pada usia neonatus, tetapi berkurang
setiap tahunnya selama masa kanak-kanak. Pada masa dewasa muda hingga usia tua,
kecepatan penyembuhan fraktur relatif konstan. Fraktur diafisis femur dapat dijadikan contoh
untuk fenomena ini: Fraktur yang terjadi pada saat lahir akan mencapai union setelah 3
minggu; dibandingkan fraktur pada usia 8 tahun akan menyatu selama 8 minggu; dan pada
usia 20 tahun atau lebih akan mengalami union sekitar 20 minggu.

b. Lokasi dan konfigurasi dari fraktur

Penyembuhan fraktur pada tulang yang dikelilingi otot lebih cepat dibandingkan fraktur
tulang yang terletak subkutan atau di dalam sendi (intra-articular). Fraktur tulang
spongiosum akan sembuh lebih cepat dibandingkan dengan fraktur tulang kortikal;
penyembuhan epiphyseal separation (fraktur melalui lempeng epifisis) kira-kira dua kali
lebih cepat dibandingkan fraktur metafisis tulang yang sama dan pada kelompok usia yang
sama. Fraktur oblik panjang dan fraktur spiral diafisis tulang panjang (permukaan fraktur
yang lebih luas) akan sembuh lebih cepat dibandingkan fraktur dengan permukaan yang lebih
kecil.

c. Displacement awal pada fraktur

Fraktur yang undisplace memiliki periosteum yang intak, sehingga penyembuhan frakturnya
kira-kira dua kali lebih cepat daripada fraktur yang displace. Semakin displace pergeseran
fragmen fraktur, maka semakin besar robekan periosteum. Semakin besar robekan periosteum
maka semakin lama waktu penyembuhan frakturnya.

d. Suplai darah ke fragmen

Jika fragmen fraktur memiliki suplai darah yang baik (hidup), maka fraktur akan mencapai
union asalkan tidak terdapat komplikasi lainnya. Jika salah satu fragmen tulang kehilangan
suplai darah, maka fragmen tersebut akan mati. Proses penyembuhannya hanya bergantung
pada tulang yang hidup. Fragmen tulang yang hidup akan berfusi (union) dengan fragmen
tulang mati. Proses penyembuhan ini menyerupai fusi/union tulang yang hidup dengan bone
graft dan menjadi lebih lambat dibandingkan dengan penyembhan kedua fagmen yang hidup.
Jika kedua fragmen avaskular, union tulang tidak akan terjadi kecuali terjadi revaskularisasi.

35
6.7 Penyembuhan Fraktur Abnormal

Penyembuhan fraktur yang abnormal terjadi berupa :

1. Malunion : proses union fraktur terjadi sesuai dengan waktu penyembuhan yang
diharapkan, tetapi dengan posisi yang tidak memuaskan sehingga menyisakan
deformitas tulang.
2. Delayed union : fraktur mengalami proses union, tetapi membutuhkan waktu yang
lebih panjang dari waktu yang diperkirakan
3. Nonunion : fraktur tidak sembuh sama sekali (tidak mengalami union) dan ditandai
dengan pembentukan jaringan ikat fibrosa (fibrous union) atau sendi palsu
(pseudoarthrosis). gambar

6.8 Prinsip Dasar Penatalaksanaan Fraktur

Prinsip umum penatalaksanaan muskuloskeletal dapat dijadikan panduan dalam melakukan


tatalaksana cedera musculoskeletal. Sangat penting bagi kita untuk tidak hanya mengetahui
apa rencana yang akan dilakukan, tetapi juga perlu mengetahui mengapa kita memilih metode
tersebut. Prinsip umum tatalaksanan muskuloskeletal adalah sebagai berikut :

1. Do no harm
2. Penatalaksanaan dilakukan atas dasar diagnosis dan prognosis yang tepat
3. Pilih penatalaksanaan sesuai tujuan spesifik
4. Penatalaksanaan sejalan dengan “Hukum Alam” (cooperate with the law
of nature)
5. Jadikan penatalaksanaan yang realistik dan praktikal
6. Pilih penatalaksanaan untuk pasien secara individual

6.8.1. Do no harm

Dalam melakukan penatalaksanaan kita harus mempertimbangkan dan memilih metode yang
sesuai bagi seorang pasien. Setiap metode penatalaksanaan seperti pisau bermata dua, di
samping memiliki manfaat juga berpotensi menimbulkan kerugian terhadap pasien. Di dalam
merencanakan penatalaksanaan, manfaat yang akan diperoleh harus lebih besar dibandingkan
dengan potensi bahaya yang mungkin dihadapi oleh pasien. Komplikasi yang terjadi pada
fraktur misalnya, dapat disebabkan oleh cedera itu sendiri atau akibat penatalaksanaan
cedera yang kurang hati-hati (iatrogenik). Peningkatan insidens komplikasi iatrogenik

36
ditandai dengan peningkatan frekuensi dan besarnya tuntutan hukum oleh pasien (keluarga)
yang tidak puas terhadap dokter.

6.8.2. Penatalaksanaan dilakukan berdasarkan diagnosis dan prognosis yang akurat

Sebagai dokter, kita tidak dapat menolong seorang pasien bila melakukan penatalaksaaan
berdasarkan diagnosis yang salah atau hanya mengobati gejalanya saja. Pada kasus fraktur,
diagnosis klinis dan radiologis yang akurat merupakan landasan penatalaksanaan fraktur
secara benar. Dengan mengetahui diagnosis fraktur dan cedera jaringan lunak sekitarnya, kita
dapat memperkirakan prognosis dan menentukan metode spesifik penatalaksanaannya.
Sebagai contoh : apabila kalus eksterna dapat terbentuk pada fraktur impacted metafisis
tulang panjang, reduksi sempurna dan fiksasi yang rigid tidak diperlukan. Sebaliknya, ketika
penyembuhan diperkirakan terjadi hanya melalui kalus interna (endosteum) saja, seperti pada
fraktur dari collum femur dengan periosteum sangat tipis maka reduksi sempurna dan fiksasi
rigid sangat diperlukan (mandatory).

Ketika kita mendapatkan pasien dengan fraktur, pertanyaan pertama yang muncul adalah
apakah frakturnya memerlukan tindakan reposisi atau tidak? dan jika diperlukan, apakah
dengan reposisi terbuka atau tertutup. Selanjutnya tentang apakah memerlukan fiksasi, dan
jika ya : fiksasi eksterna atau interna.

6.8.3. Pilih penatalaksanaan untuk tujuan spesifik

Walaupun tujuan umum pengobatan adalah menolong pasien, tetapi penatalaksanaan harus
memiliki tujuan yang jelas (spesifik). Secara umum keluhan utama yang mendorong
seseorang untuk datang ke dokter (rumah sakit) adalah : karena nyeri, adanya gangguan
fungsi atau adanya deformitas tertentu. Dengan demikian tujuan spesifik penatalaksanaan
fraktur meliputi satu atau lebih: a) menghilangkan nyeri, b) memperoleh dan
mempertahankan posisi farktur yang memuaskan, c) mencapai penyembuhan fraktur, dan d)
mengembalikan fungsi optimal dari tulang yang fraktur.

a) Menghilangkan nyeri.
Nyeri pada fraktur berasal dari cedera jaringan lunak periosteum dan endosteum (tulang
relatif insensitive). Nyeri diperberat oleh pergerakan fragmen fraktur, spasme otot, dan
progresivitas pembengkakan pada rongga tertutup. Dengan demikian nyeri akibat fraktur
biasanya dapat dikurangi/dihilangkan dengan imobilisasi fraktur dan mencegah terlau
ketatnya verban atau plaster cast yang melingkarinya.

37
b) Memperoleh dan mempertahan posisi fraktur yang memuaskan.
Reduksi fraktur hanya diperlukan pada fraktur yang displace dengan tujuan : untuk
mendapatkan fungsi yang baik, mencegah arthritis, atau mendapatkan tampilan klinis
posisi yang memuaskan (acceptable). Dengan demikian kita tidak perlu mencapai
gambaran radiografi yang sempurna, tetapi mencapai posisi yang acceptable (ingat yang
ditatalaksana adalah pasien dan frakturnya bukan gambaran radiografinya).
Mempertahankan posisi fragmen fraktur yang memuaskan biasanya membutuhkan
imobilisasi (yang bisa didapatkan melalui berbagai metode) termasuk: traksi, cast
Plaster of Paris, fiksasi eksterna, dan fiksasi interna .
c) Untuk penyembuhan fraktur.
Sebagian besar fraktur akan mencapai union apabila proses penyembuhan normal terjadi.
Walaupun begitu pada beberapa fraktur, seperti pada fraktur dengan robekan periosteum
yang luas atau nekrosis avaskular pada satu atau kedua fragmen, proses union harus
ditunjang dengan bone graft pada fase awal atau akhir dari proses penyembuhan normal.

d) Untuk mengembalikan fungsi optimal.


Selama periode imobilisasi fraktur, disuse atrophy pada otot regional harus dicegah
dengan cara latihan aktif statis (isometrik) dan latihan aktif dinamis (isotonik).
Preservasi kekuatan otot yang baik dan tonus sepanjang periode ini akan meningkatkan
sirkulasi lokal dan memfasilitasi pemulihan pergerakan sendi normal dan fungsi optimal
pada ekstremitas yang fraktur pada pasien sebagai seorang manusia seutuhnya. Setelah
periode imobilisasi, latihan aktif harus dilanjutkan dengan lebih intensif.

6.8.4. Bekerja sama dengan “Hukum Alam”

Kemampuan pemulihan alamiah manusia (laws of the behavior of body tissue) yang berasal
dari Tuhan Yang Maha Pencipta sungguh amat luar biasa. Bila kita (sebagai dokter)
mengetahui, memanfaatkan dan bekerja sama dengan laws of the behavior of body tissue, kita
akan menolong pasien dengan sebaik baiknya. Sebaliknya ketika kita mengabaikannya, hanya
sedikit peran yang bisa kita lakukan untuk menolong seorang pasien.

Penatalaksanaan fraktur harus mempertimbangkan dan sesuai dengan laws of the behavior of
body tissue, untuk menghindari terhambatnya atau bahkan gagalnya proses penyembuhan
fraktur. Sebagai contohnya, proteksi atau imobilisasi yang tidak adekuat, traksi berlebihan

38
(distraksi fragmen fraktur), kerusakan suplai darah fragmen tulang saat operasi, dan infeksi
pasca operasi semuanya akan menghambat bahkan mencegah proses penyembuhan.

6.8.5. Jadikan penatalaksanaan realistik dan praktikal

Metode penatalaksanaan tertentu yang mungkin sangat menarik secara teori, tetapi belum
tentu dapat diaplikasikan pada pasien tertentu. Ketika menentukan metode spesifik
penatalaksanaan fraktur, analisis dan keputusan yang tepat akan mengarahkan kita untuk
menanyakan pada diri kita sendiri beberapa pertanyaan penting terkait metode yang
dianjurkan.

a. Apa tujuan dan hasil akhir yang ingin kita capai ?


b. Apakah kita bisa mencapai tujuan dan hasil akhir dengan metode penatalaksanaan ini?
c. Apakah cara penatalaksaan yang akan dipilih telah sesuai dengan hasil akhir yang
diharapkan; apakah hasil akhir yang ingin dicapai akan seimbang dengan metode
penatalaksanann untuk pasien tertentu, dengan mempertimbangkan— resiko,
ketidaknyamanan, periode waktu jauh dari rumah, pekerjaan atau sekolah,
komplikasi? Sebagai contoh, fraktur intertrokanterik femur hampir selalu mencapai
union dengan traksi dan imobilisasi tungkai (tirah baring) atau dengan reduksi secara
operatif dan fiksasi interna sehingga pasien dapat mobilisasi dini. Pada pasien usia
lanjut resiko tirah baring berkepanjangan menimbulkan berbagai komplikasi dan
mengakibatkan perburukan yang dapat berakibat pada kematian. Pada kondisi
tersebut, penatalaksanaan operatif lebih dianjurkan karena membawa resiko yang
lebih kecil dibandingkan imobilisasi tirah baring lama.

6.8.6. Pilihlah penatalaksanaan untuk pasien sebagai seorang individu

Masalah fraktur dapat berbeda dari satu individu ke individu lainnya, tergantung kepada:
usia, jenis kelamin, pekerjaan dan penyakit yang menyertai. Sebagai contoh, deformitas
malunion fraktur klavikula umumnya hanya menyebabkan sedikit masalah pada
anak-anak/usia muda atau pada pria yang bekerja, tetapi dapat menyebabkan masalah besar
(stress) pada model wanita atau aktris. Serupa dengan hal ini, malunion dari fraktur jari tidak
akan mengganggu secara bermakna pada pengemudi taksi, tetapi akan menjadi masalah besar
untuk seorang pianis konser. Dengan demikian, penatalaksanaan fraktur harus dipilih sesuai
dengan kebutuhan pasien.

6.8.7. Penatalaksanaan Fraktur Tertutup

39
Perawatan pasien secara holistik dan penatalaksanaan ekstremitas/jaringan yang cedera, serta
komunikasi yang baik dan ramah kepada kerabat harus dilaksanakan dengan baik. Informasi
tentang pasien, terutama yang terkait dengan cedera/fraktur yang terjadi dan penatalaksanaan
yang didapatkan sebelumnya harus diperoleh sebanyak-banyaknya sebelum penatalaksanaan
definitif dilakukan.

Prinsip dasar penatalaksanaan fraktur terdiri dari manipulasi (reduksi/reposisi) fraktur diikuti
oleh fiksasi (spinting) untuk mempertahankan posisi fragmen sampai proses union tercapai;
sambil mempertahankan gerakan dan fungsi sendi. Reduksi tidak diperlukan bila posisi
fraktur undisplace atau minimal displace atau upaya reposisi tidak mungkin berhasil
(misalnya pada fraktur kompresi vertebra).

Tujuan reduksi adalah mencapai posisi fragmen yang adekuat dan normal alignment
(acceaptable). Semakin besar kontak antara fragmen fraktur, semakin besar kemungkinan
penyembuhan (union) terjadi. Adanya gap (celah) antara fragmen dapat menyebabkan
delayed atau nonunion. Ada dua cara reduksi fraktur reduksi tertutup dan reduksi terbuka.

6.8.7.1 Jenis-jenis Metode Penataksanaan Spesifik pada Fraktur Tertutup

Non-operative

1. Protection alone ( tanpa reduksi atau imobilisasi) : Perlindungan saja


2. Imobilisasi dengan menggunakan splint eksterna (tanpa reduksi)
3. Reduksi Tertutup dan Imobilisasi
4. Reduksi Tertutup dengan continous traction diikuti imobilisasi
5. Reduksi Tertutup dan Pemasangan Fungtional Brace

Operasi

6. Reduksi Tertutup dan Fiksasi Eksterna


7. Reduksi Tertutup dan Fiksasi Interna
8. Reduksi Terbuka dan Fiksasi Interna (ORIF)
9. Eksisi Fragmen Fraktur dan Penggantian dengan Endoprosthesis (Artroplasti)
1. Protection alone (tanpa reduksi atau imobilisasi)
Protection alone diindikasikan untuk fraktur undisplaced atau relatif undisplaced, fraktur iga
stabil, falang, metacarpal dan fraktur klavikula. Indikasi lainnya adalah fraktur kompresi
ringan vertebra, fraktur impaksi (impacted) humerus proksimal juga setelah clinical union.

40
Protection alone mungkin tidak sesuai untuk pasien tertentu (pasien anak-anak atau dewasa
yang tidak kooperatif).
2. Imobilisasi dengan menggunakan splint eksterna (tanpa reduksi)

Imobilisasi fraktur dengan splint eksterna (plaster of paris) merupakan imobilisasi yang
bersifat relatif (masih terdapat pergerakan fraktur minimal selama awal penyembuhan).
Metode ini diindikasikan untuk fraktur undisplace tetapi tidak stabil. Selama imobilisasi
adanya tarikan gaya otot atau gaya gravitasi dapat menyebabkan pergeseran fragmen fraktur
(angulasi, rotasi atau over-riding yang tidak acceptable);

3. Reduksi Tertutup (dengan manipulasi) dan Imobilisasi

Reduksi tertutup merupakan salah satu cara manipulasi “operatif” tersering yang
diindikasikan untuk fraktur displace. Pasca reduksi tertutup, fragmen fraktur pada umumnya
di-imobilisasi dengan plaster-of-paris. Reduksi tertutup yang dilakukan secara tidak tepat
(gaya traksi berlebihan dapat menyebabkan cedera jaringan lunak : pembuluh darah, saraf
dan periosteum). Traksi yang berlebihan pada aksis longitudinal selama reduksi bahkan dapat
menyebabkan spasme arteri dan Volkmann’s ischemia (sindrom kompartemen). Komplikasi
dari penggunaan cast plaster-of-paris : gangguan sirkulasi akibat bengkak yang berkembang
secara progresif di dalam rongga cast plaster-of-paris; pressure sore (luka) akibat tekanan
cast plaster-of-paris pada tulang prominen; dan cedera saraf perifer.

4. Reduksi Tertutup dengan countinous traction dan Imobilisasi

Reduksi tertutup fraktur dengan countinous traction dilakukan dengan cara: traksi kulit
untuk fraktur pada anak dan traksi skeletal yang diindikasikan untuk anak yang lebih tua dan
orang dewasa yang memerlukan gaya tarikan lebih besar. Alat traksi dapat difiksasi pada
ujung tempat tidur (fixed traction) atau dengan menggunakan tali dengan katrol dan beban
(balanced traction). Traksi sesuai dengan aksis ekstremitas efektif mencapai fragmen distal
segaris dengan fragmen proksimal. Setelah mencapai sticky tanpa disertai nyeri (clinical
union), traksi dihentikan dan dilanjutkan imobilisasi dengan cast. Metode ini diindikasikan
untuk fraktur oblik, spiral atau kominutif yang tidak stabil Traksi skeletal juga dapat
diaplikasikan pada penatalaksanaan fraktur dengan cedera vaskular, bengkak yang
berlebihan.

Traksi longitudinal yang berlebihan dapat menyebabkan spasme arteri iskemia


Volkmann (sindrom kompartemen), mengakibatkan kehilangan kulit superfisial,

41
infeksi melalui pin, distraksi fragmen fraktur yang berakhir dengan delayed union atau
nonunion.

5. Reduksi Tertutup dan functional bracing


Metode ini terdiri dari reduksi tertutup atau countinous traction selama beberapa hari
diikuti imobilisasi dengan gips Plaster of Paris selama 3 - 4 minggu (hingga nyeri dan
bengkak berkurang: clinical union). Paster of Paris dilepas dan digantikan oleh hinged
cast-brace atau plastic-brace untuk meng-imobilasi daerah fraktur tersebut (clinical
union), tetapi memungkinkan gerakan sendi proksimal dan distal-nya. Sebagian besar
pasien dengan fraktur tulang panjang yang dilakukan penatalaksanaan dengan metode ini
mencapai union, dengan angka insidens nonunion hanya terjadi pada 1% dari total kasus.

Prinsip dari functional bracing pada penatalaksanaan fraktur : 1) imobilisasi fragmen fraktur
yang rigid bukan hanya tidak perlu dilakukan tetapi juga tidak diharapkan pada proses
penyembuhan fraktur); 2) gerakan fragmen fraktur yang terkontrol akan menstimulasi proses
penyembuhan melalui pembetukan kalus; 3) functional bracing dapat mencegah kekakuan
sendi iatrogenic; 4) reduksi fraktur diafisis tulang panjang yang kurang anatomis tidak
menyebabkan gangguan fungsi dan bentuk (kosmetik) yang bermakna. Manfaat secara sosio-
ekonomi metode ini: masa rawat yang singkat, tidak ada resiko infeksi, dan kembalinya
pasien ke aktivitas normal lebih cepat.

Metode ini di-indikasikan untuk : fraktur diafisis tibia, distal femur, humerus dan ulna pada
orang dewasa. Metode ini tidak sesuai untuk penatalaksanaan (merupakan kontraindikasi)
pada fraktur yang diindikasikan reduksi terbuka dan fiksasi interna atau
eksterna,seperti :fraktur intertrokanter femur, subtrokanter dan fraktur mid-shaft femur,
diafisis radius dan fraktur intra-artikular.

Operasi

1. Reduksi Tertutup dan Fiksasi Eksterna

Fiksasi eksterna pertama kali dihasilkan oleh Stader (ahli bedah hewan), untuk menggantikan
penggunaan cast plaster of Paris. Bentuk paling sederhana fiksasi eksterna terdiri dari dua
atau tiga pin yang diinsersikan secara perkutaneus melalui tulang, pada proksimal dan distal
terhadap area fraktur dan dipegang oleh Bar untuk mendapatkan fiksasi yang stabil.

42
Reduksi tertutup dan fiksasi eksterna diindikasikan untuk fraktur kominutif berat (severe
comminutive) diafisis tibia atau femur, terutama fraktur terbuka dengan cedera jaringan lunak
ekstensif. Fiksasi eksterna juga diindikasikan untuk fraktur pelvis, humerus, radius, dan
metacarpal yang tidak stabil. Dengan metode ini akan memudahkan penggantian balutan luka
dan perawatan skin graft. Risiko utama fiksasi skeletal eksterna adalah infeksi pada lokasi pin
dengan atau tanpa osteomyelitis.

2. Reduksi Tertutup dan Fiksasi Interna (percutaneus)

Pasca reduksi fraktur, reduksi dipertahankan dengan pin/intramedullary nail secara


perkutaneus dengan panduan modalitas radiologi C Arm (image intensifier)/fluoroskopi.
Reduksi Tertutup dan fiksasi interna diindikasikan untuk fraktur yang dapat direposisi
secara tertutup tetapi tidak dapat diimobilisasi eksterna, seperti fraktur colum femur pada
anak dan dewasa (gambar ).

3. Reduksi Terbuka dan Fiksasi Interna

“Seorang ahli orthopaedi dan traumatologi harus senantiasa berpikir dan bertindak
sebagai seorang ahli biologi dan bukan laksana tukang kayu yang melakukan fiksasi
tulang kortikal”.
Keterampilan pembedahan sangat diperlukan untuk mencegah cedera jaringan
lunak sekitarnya terutama suplai darah ke fragmen fraktur.

Reduksi terbuka memiliki peran yang penting dalam penatalaksanaan fraktur terutup. Dengan
prosedur reduksi terbuka, kita dapat melihat fragmen fraktur secara langsung. Reduksi
terbuka harus dilakukan oleh ahli orthopaedi yang berpengalaman dan hanya dilakukan di
kamar operasi dengan angka infeksi yang rendah dan instrument bedah yang cukup lengkap.
Setelah fraktur direduksi secara terbuka, hasil reduksinya harus dipertahankan (difiksasi
interna) dengan implant yang terbuat dari logam (osteosynthesis). Reduksi terbuka dan
fiksasi interna dilakukan menurut prinsip-prinsip sistem AO/ASIF, yaitu mencapai fiksasi
interna yang cukup rigid dan mobilisasi fungsi otot dan sendi segera setelah operasi. Prinsip
tersebut bertujuan untuk menghindari apa yang disebut fracture disease (penyakit akibat
imobilisasi ekstremitas yang lama, berupa kekakuan sendi, atrofi otot, disuse osteoporosis,
dan edema kronik.

Reduksi terbuka dan fiksasi interna pada fraktur tertutup dilakukan bila metode reduksi
tertutup tidak memungkinkan atau telah dilakukan tetapi gagal mencapai posisi yang

43
acceptable atau gagal mempertahankan hasil reduksi (fraktur tidak stabil), seperti: fraktur
avulsi patella displace, fraktur intra-artikular, dan fraktur displaced lempeng epifisis.
Contoh fraktur yang tidak stabil: fraktur intertrokanter femur, fraktur radius ulna orang
dewasa, dan fraktur displaced falang.

Reduksi terbuka dan fiksasi interna juga diindikasikan untuk : fraktur dengan cedera
pembuluh darah, fraktur intertrokhanter femur tidak stabil pada orang tua, fraktur ekstremitas
dengan cedera kepala berat, dan fraktur dislokasi tulang belakang, serta fraktur patologis
akibat metastasis.

Risiko. Risiko paling serius dari operasi terbuka adalah infeksi, bahkan bila dilakukan di
dalam kamar operasi yang terbaik. Luka terbuka pada saat operasi dapat terkontaminasi oleh
bakteri dari udara. Lebih lama luka tersebut terbuka, lebih banyak bakteri yang memasuki
luka tersebut. Otot yang robek dan memar dan hematoma merupakan suatu medium kultur
yang ideal untuk bakteri. Walaupun kontaminasi tidak selalu terbukti menimbulkan infeksi,
namun, risiko fraktur yang terinfeksi merupakan sebuah “bencana”. Operasi reduksi terbuka
juga membawa risiko cedera pada suplai darah ke fragmen fraktur dan dapat menyebabkan
delayed union dan bahkan nonunion.

4. Eksisi Fragmen Fraktur dan Penggantian dengan Endoprosthesis

Pada fraktur proksimal femur (collum femur), proksimal humerus dan radius kominutif,
operasi reduksi terbuka dan fiksasi interna terkadang tidak memberikan hasil yang
memuaskan dan dapat mengakibatkan: avascular necrosis fragmen artikular, non-union, dan
degeneratif sendi pasca-trauma. Pada keadaan tersebut, metode pembedahan yang sesuai
agar memberikan fungsi ekstremitas yang optimal adalah eksisi fragmen artikular dan
mengganti dengan endoprosthesis (joint replacement) . Eksisi fragmen collum femur dan
penggantian dengan endoprosthesis memungkinkan mobilisasi lebih awal pada pasien orang
tua dengan fraktur collum femur. Begitu pula pada fraktur kominutif caput radius dan caput
humerus pada orang dewasa yang tidak sesuai dengan indikasi ORIF, eksisi fragmen tulang
kominutif dan penggantian dengan endoprosthesis memungkinkan mobilisasi dan rehabilisasi
lebih awal. Tindakan Eksisi fragmen tulang dan penggantian dengan endoprostesis di atas
dikontraindikasikan pada pasien anak (karena akan kehilangan lempeng pertumbuhan
epifisisnya).

Penatalaksanaan Fraktur Terbuka

44
“Fraktur terbuka merupakan suatu kegawat-daruratan bedah.”

Karena terdapat hubungan dengan lingkungan dan telah terkontaminasi bakteri, fraktur
terbuka memiliki risiko serius dan komplikasi lebih lanjut akibat infeksi. Sehingga, tujuan
penatalaksanaan fraktur terbuka ditekankan pada upaya pencegahan infeksi dan mencapai
union. Karena cedera jaringan lunak yang terjadi lebih luas, penyembuhan fraktur terbuka
memerlukan waktu lebih lama daripada fraktur tertutup.

Gustilo dan Anderson membedakan tiga kategori fraktur terbuka berdasarkan pada derajat
keparahan cedera jaringan lunak: tipe 1- luka bersih dengan panjang kurang dari 1 cm
(biasanya dari dalam dengan cedera jaringan lunak kecil) dengan konfigurasi fraktur simple
tidak kominutif; tipe 2- laserasi dengan panjang lebih dari 1 cm tetapi tanpa cedera jaringan
lunak yang luas, tanpa flap kulit, atau avulsi dan dengan fraktur sederhana (transversal atau
oblik); tipe 3- kerusakan jaringan lunak yang luas, berupa flap kulit, avulsi, dan cedera otot
dan saraf. Lebih lanjut, Gustilo membagi tiga kategori dari tipe 3 fraktur terbuka: 3A-
kerusakan jaringan lunak yang luas tetapi tulang dapat tertutup jaringan lunak setalah
dilakukan tindakan pembedahan (fraktur segmental, dan luka tembak yang adekuat); 3B-
kerusakan jaringan lunak yang luas dengan terkelupasnya periosteum luas dan tulang yang
mengalami devaskularisasi, yang memerlukan flap kulit atau free flap; 3C- berhubungan
dengan cedera vaskular yang membutuhkan tindakan repair segera.

6.8.8 Prinsip Penatalaksanaan Fraktur Terbuka

“Seluruh fraktur terbuka harus diasumsikan telah terkontaminasi oleh bakteri.

Hal itu sedemikian penting dalam upaya pencegahan infeksi”

Prinsip dasar penatalaksanaan fraktur terbuka terdiri atas :

a. Pembersihan Luka
b. Eksisi Jaringan yang Tidak Vital (Debridemen)
c. Penatalaksanaan Fraktur.
d. Penutupan Luka
e. Obat Antibakterial

Pembersihan Luka. Luka harus segera ditutup dan dipertahankan dengan kassa steril sampai
pasien siap dilakukan tindakan di kamar operasi. Pada saat pembedahan: berbagai kotoran,
potongan pakaian, dan materi asing lainnya harus dibersihkan secara mekanik dan irigasi

45
(extensive pulsating irrigation) dengan air steril atau cairan salin isotonik dengan volume
yang besar (bukan menggunakan cairan antiseptik kuat yang dapat menyebabkan
trauma/bersifat toksik terhadap jaringan). Luka terbuka harus diperlebar untuk menilai derajat
kontaminasi dan membersihkan secara adekuat.

Eksisi Jaringan yang Tidak Vital (Debridemen). Jaringan yang telah kehilangan suplai
darah (tidak vital) akan mencegah penyembuhan luka primer dan menambah berat infeksi.
Dengan demikian eksisi semua jaringan yang tidak vital secara sistematis: kulit, lemak
subkutan, fasia, otot, dan fragmen yang lepas dari tulang merupakan prosedur sangat penting
yang harus dilakukan.

Penatalaksanaan Fraktur. Banyak penelitian menyebutkan bahwa stabilisasi (fiksasi)


fraktur sangat penting dalam mengurangi kemungkinan infeksi dan membantu pemulihan
jaringan lunak. Pemilihan metode fiksasi fraktur terbuka ditentukan oleh beberapa faktor :
derajat kontaminasi, lama periode fraktur terbuka sejak trauma sampai dilakukan tindakan
pembedahan, dan luasnya kerusakan jaringan lunak. Fraktur terbuka dengan kontaminasi
minimal (tidak disertai dengan kontaminasi yang jelas) penatalaksanaan fiksasinya dilakukan
seperti fiksasi pada fraktur tetutup. Ketika luka tersebut sedemian ekstensif, fiksasi fraktur
dapat menggunakan traksi skeletal atau fiksasi eksterna.

Penutupan Luka. Luka fraktur terbuka tipe 1 dapat ditutup secara primer pasca tindakan
debridemen. Pada fraktur terbuka tipe lainnya (khususnya tipe 3) penutupan luka dilakukan
setelah dinilai tidak ada tanda-tanda tension dan infeksi “bahkan ketika fraktur terbuka
ditangani dalam “periode emas” pada 6 sampai 7 jam pertama. Dengan kata lain dilakukan
penundaan penutupan luka (delayed primary suture) 4 sampai 7 hari pertama pasca tindakan
debridemen. Kehilangan kulit pada fraktur terbuka yang memerlukan tandur kulit (STSG)
juga dipertimbangkan ditunda.

Obat Antibiotik. Agar pencegahan infeksi menjadi efektif, obat anti bakteri harus diberikan
sesegera mungkin sebelum, selama, dan setelah penatalaksanaan fraktur terbuka. Pemberian
antibakteri tidak memberi jaminan dapat mengatasi infeksi karena kemungkinan resistensi
bakteri terhadap obat. Obat antibakteri juga tidak dapat mencapai setiap jaringan luka yang
telah kehilangan suplai darah. Dengan demikian, penatalaksanaan bedah (pembersihan luka
dan debridement) pada fraktur terbuka lebih penting daripada terapi antibakteri.

46
Pencegahan Tetanus. Semua pasien dengan fraktur terbuka memerlukan pencegahan terhadap
komplikasi tetanus. Bila seorang pasien telah memperoleh imunisasi tetanus toksoid
sebelumnya, pemberian dosis tambahan toksoid diperlukan. Jika tidak memiliki riwayat
imunisasi atau informasi tentang imunisasi tidak adekuat, imunitas pasif yang cepat dapat
dilakukan melalui pemberikan 250 unit tetanus imunoglobulin. Secara bersamaan imunitas
aktif dengan tetanus toksoid juga dilakukan.

6.9. Komplikasi Fraktur

Dengan penatalaksanaan yang adekuat, pada umumnya seorang pasien akan mencapai
kesembuhan tanpa disertai disabilitas bermakna. Walaupun demikian, sebagian fraktur dapat
menimbulkan komplikasi dan beberapa diantaranya cukup serius yang tidak hanya
membahayakan ekstremitas tetapi juga dapat mengancam keselamatan pasien. Komplikasi
fraktur dapat terjadi segera setelah trauma, dini (early) akibat cedera atau bisa datang
kemudian (delayed). Komplikasi juga dapat terjadi lokal pada area fraktur tetapi juga di
daerah yang jauh (pada organ lainnya).

6.9.1. Klasifikasi Komplikasi Fraktur

I. Komplikasi segera
A. Komplikasi lokal
1. Cedera kulit
a) Dari luar: abrasi, laserasi, vulnus pungtum, avulsi dan hilangnya kulit
b) Dari dalam: penetrasi ke kulit oleh fragmen fraktur
2. Cedera pembuluh darah
a) Cedera arteri besar
b) Cedera vena besar
c) Perdarahan: ke dalam jaringan lunak (hematoma), ke dalam rongga
tubuh (perdarahan intrakranial, hemothoraks, hemoperitoneum,
hemarthrosis)
3. Cedera neurologis
a) Otak
b) Sumsum tulang belakang
c) Saraf tepi
4. Cedera otot
5. Cedera organ viseral

47
a) Thoraks : jantung dan pembuluh besar, trakea, bronkus dan paru-paru.
b) Abdomen/pelvis : traktus gastrointestinal (liver, limpa) dan traktus
urinarius
B. Komplikasi jauh
1. Cedera multipel. Cedera simultan bagian tubuh lainnya (tidak terkait
fraktur)
2. Syok hemoragik
II. Komplikasi awal
A. Komplikasi lokal
1. Gejala sisa dari komplikasi segera: nekrosis kulit, gangren, iskemia
Volkmann (sindrom kompartemen), gas gangren, thrombosis vena,
komplikasi viseral
2. Komplikasi sendi : infeksi (arthritis septik) — dari cedera terbuka
3. Komplikas tulang. Infeksi (osteomielitis) pada lokasi fraktur dan avaskular
nekrosis tulang.
B. Komplikasi jauh.
1. Emboli lemak
2. Emboli paru
3. Pneumonia
4. Tetanus
III. Komplikasi datang kemudian (delayed)
A. Komplikasi lokal
1. Komplikas pada sendi
a) Kekakuan sendi persisten
b) Arthritis degeneratif pasca-trauma
2. Komplikasi pada tulang
a) Penyembuhan fraktur abnormal: malunion, delayed union, dan
nonunion
b) Ganguan pertumbuhan dari cedera lempeng epifisial (fisial)
c) Infeksi persisten (osteomielitis kronis)
d) Osteoporosis pasca-trauma
e) Nyeri pasca-trauma Sudeck (refleks distrofi simpatetik, sindrom nyeri
dimediasi simpatis)
f) Re-fraktur
48
3. Komplikasi otot
a) Osifikasi myositis pascatrauma
b) Ruptur tendon
4. Komplikasi neurologis : tardy nerve palsy
B. Komplikasi jauh
1. Batu ginjal
2. Neurosis cedera

6.9.2 Sindrom Kompartemen.

Bila terjadi peningkatan tekanan di dalam suatu kompartemen osteofasial akibat edema yang
progresif, keadaan tersebut dapat mengancam sirkulasi darah ke otot dan saraf di dalam
kompartemen tersebut. Fenomena ini disebut sindrom kompartemen. Semua kondisi yang
meningkatkan isi kompartemen atau mengurangi volume kompartemen atau keduanya akan
menyebabkan peningkatan tekanan intrakompartemen. Sindrom kompartemen paling sering
mengenai kompartemen fleksor antebrachii dan anterior tibia. Sindrom kompartemen berbeda
dengan gangren. Pada sindrom kompartemen, hanya jaringan intrakompartemen yang
mengalami iskemia, sehingga jaringan di luar kompartemen (kulit) dan di bagian distal
terhadap area yang iskemia tetap bertahan.

Peningkatan tekanan intrakompartemen yang progresif akibat edema akan menekan aliran
darah kapiler ke otot. Hal tersebut menyebabkan edema jaringan yang lebih banyak sehingga
terjadi lingkaran setan. Saraf perifer yang terdapat di dalam kompartemen hanya mampu
bertahan 2 sampai 4 jam terhadap iskemia (tetapi memiliki potensi regenerasi). Sedangkan
otot walaupun dapat bertahan sampai dengan 6 jam terhadap iskemia, tetapi tidak dapat
beregenerasi. Akibatnya, otot yang nekrosis akan digantikan dengan jaringan ikat fibrosa
tebal yang memendek dan menghasilkan suatu kontraktur iskemia Volkmann (Gbr 15 ).

49
Gambar 15. Patofisiologi sindrom kompartemen

Sindrom kompartemen dapat terjadi akibat sekunder dari salah satu dua peristiwa yang
berbeda: 1) penekanan/oklusi arteri utama yang menyuplai kompartemen
(ekstrakompartemen); 2) cedera intrakompartemen baik pada tulang, jaringan lunak, atau
keduanya yang menyebabkan perdarahan. Peningkatan tekanan intrakompartemen secara
cepat sampai pada tingkat yang membahayakan akan mengakibatkan nekrosis iskemia dan
pada akhirnya terjadi kontraktur iskemia.

Cedera paling sering disertai dengan komplikasi sindrom kompartemen adalah 1) fraktur
suprakondilar displaced humerus distal (fraktur suprakondiler) pada anak dengan gangguan
pada arteri brakhialis; 2) traksi longitudinal pada pengobatan fraktur diafisi femur pada anak
(dengan hasil spasme arteri); 3) fraktur sepertiga proksimal tibia; (4) koma dengan tekanan
pada arteri utama karena berbaring pada permukaan keras untuk periode yang lama.

Gambaran klinis sindrom kompartemen atau iskemia Volkmann ditandai dengan nyeri hebat
(pain), penurun sirkulasi perifer dengan kulit yang pucat dan rasa dingin (pale), dengan
tangan atau kaki yang membengkak, dan gangguan iskemia pada fungsi saraf perifer yang
terlibat ditandai dengan gejala/tanda paresthesia, hipoesthesia, dan paralisis.

“Tanda klinis sindrom kompartemen (iskemia intrakompartemen) adalah nyeri, pucat,


bengkak, dan paresthesia. Kompartemen yang terlibat terasa tegang atau ketat (tense).
Otot yang paralisis merupakan manifestasi yang muncul paling akhir (belakangan)”.

50
Jika penyebab sindrom kompartemen berasal dari ekstra-kompartemmen, pulsasi nadi perifer
dapat tidak teraba (pulselessness); sebaliknya bila penyebabnya intrakompartemen, pulsasi
nadi perifer masih dapat teraba. Cedera ekstrakompartemen melibatkan kerusakan berat saraf
perifer yang mempersarafi sensibilitas kompartemen yang terkena, rasa nyeri dapat tidak
muncul; hal itu dapat sangat berbahaya. Ketika saraf perifer intak, ekstensi pasif pada jari dan
pergelangan tangan (atau tumit dan pergelangan kaki) secara memperberat rasa nyeri (passive
stretch pain).

Beberapa tahun belakangan ini, telah dimungkinkan untuk mengukur tekanan cairan
interstisial intrakompartemen dengan cara insersi transkutan kateter misalnya slit catheter
(Rorabeck). Tekanan intrakompartemen istirahat yang normal ada dari 0 sampai 8 mm Hg.
Tekanan di atas 30 sampai 40 mm Hg (≤ 30 mm Hg dari tekanan darah diastolik pasien)
menggambarkan indikasi absolut untuk dekompresi kompartemen segera dengan fasiotomi
komplit seluruh panjang kompartemen. Fasia dan kulit harus dibiarkan terbuka (untuk
sekurangnya 7 hari).

6.9.3. Penyembuhan fraktur yang abnormal. Penyembuhan fraktur yang abnormal


meliputi: 1) proses union terjadi sesuai dengan waktu yang diharapkan tetapi posisinya
abnormal (malunion); 2) proses union terlambat melebihi waktu penyembuhan lazimnya
(delayed union); 3) proses union tidak/gagal terjadi (nonunion).

Malunion. Pada umumnya deformitas ringan (angulasi, rotasi, shortening, distraksi) tidak
menyebabkan masalah dalam penampilan (kosmetik) maupun fungsi. Sedangkan deformitas
yang berat terutama angulasi, akan menyebabkan masalah penampilan maupun gangguan
fungsi ekstremitas yang terkena dan dapat berlanjut sebagai arthritis degeneratif pasca
trauma. Malunion sering memerlukan koreksi osteotomi untuk mencegah komplikasi lebih
lanjut.

Delayed union. Penyembuhan fraktur tetap terjadi, tetapi lebih lambat daripada waktu
perkiraan penyembuhan fraktur lazimnya. Evaluasi pemeriksaan klinis dan radiografi secara
rutin diperlukan untuk menilai delayed union. Secara radiologis, kemajuan penyembuhan
pada delayed union ditandai tanpa sklerosis pada ujung fragmen tulang. Untuk mempercepat
proses union, kadang kala seorang ahli orthopaedi harus melakukan tandur tulang (bone
graft).

51
Nonunion. Kegagalan fraktur untuk mencapai union pada periode yang lebih lama daripada
waktu penyembuhan normal. Ada dua jenis nonunion: fibrous nonunion dan pseudo-
arthrosis. Pada jenis yang pertama, fraktur sembuh dengan jaringan fibrosa (fibrous
nonunion). Pada jenis tersebut potensi union dapat terjadi bila dilakukan fiksasi interna yang
stabil/rigid dan mencegah hal-hal yang menghambat penyembuhan fraktur seperti infeksi.
Pada pemeriksaan radiografi ujung fragmen tulang menunjukkan gambaran sklerosis.
Pada jenis kedua, gerakan secara terus-menerus pada fraktur akan menstimulasi pembentukan
pseudo-arthrosis lengkap dengan kapsul menyerupai jaringan sinovium, rongga sinovium,
dan cairan sinovial . Pseudo-arthrosis nonunion yang terjadi tidak mungkin mengalami union
walaupun diimobilisasi/difiksasi dalam waktu lama, membuang jaringan patologisnya
(jaringan ikat) dan menanam bone graft.
Berbagai metode yang dapat digunakan untuk mempercepat penyembuhan fraktur meliputi :
bone graft autogenik, bone graft allogenik, pemberian komponen osteokonduktif (seperti
calcium-based ceramic graft), dan osteoinduktif (seperti freeze-dried demineralized
allogeneic bone dikombinasikan dengan kolagen, growth factor TGF beta, bone
morphogenetic protein, fibroblast growth factor, dan platelet-derived growth factor).
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan delayed union dan nonunion: 1) robekan periosteum
yang luas pada waktu terjadinya fraktur atau pada waktu operasi; 2) kehilangan suplai darah
pada satu atau kedua fragmen fraktur; 3) imobilisasi/fiksasi fraktur yang tidak adekuat;; 4)
imobilisasi yang tidak adekuat; 5) distraksi fragmen fraktur oleh traksi yang berlebihan; 6)
interposisi jaringan lunak di antara fragmen fraktur; 7) infeksi di tempat fraktur dari suatu
fraktur terbuka; 8) suatu penyakit tulang progresif (misalnya fraktur patologis tertentu)

52
BAB VII
DISKUSI

Pasien pada kasus merupakan kasus kecelakaan lalulintas pada pasien usia tua. Ketidak
mampuan untuk menumpu pada kaki kanan, nyeri hebat, disertai luka menimbulkan
kecurigaan akan adanya fraktur pada pasien. Sama seperti kasus kegawatan lainnya,
penanganan ABCDE awal pada pasien merupakan hal yang pertama yang dilakukan. Pada
pasien terdapat perdarahan aktif pada luka dengan dasar tulang cruris dextra, sehingga
dilakukan kontrol perdarahan awal pada cruris dextra.

Setelah memastikan tidak ada perdarahan dan ABCDE aman, dilakukan secondary
survey, dimana didapatkan luka pada cruris dextra, deformitas, dan edema. Motorik, sensorik,
dan vaskularisasi distal (dinilai dengan meraba pulsasi dorsalis pedis dan tibialis posterior)
intak. Berdasarkan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi, shortening, dan translasi pada
1/3 tengah cruris pasien, diagnosis klinis fraktur terbuka displaced unstable dengan NVD
baik dapat ditegakkan. Pada pemeriksaan rontgen didapatkan fraktur komplit tibia et fibula
dextra garis fraktur oblique simple, dimana garis fraktur ini sesuai dengan mekanisme fraktur
pada anamnesis (benturan langsung dengan sepeda motor dengan kecepatan rendah).

Pasien mendapat tatalaksana awal yang sesuai untuk fraktur terbuka, dimana
dilakukan pencucian luka dengan NS 4 L, bebat tekan luka untuk menghentikan perdarahan,
dan pemasangan bidai untuk imobilisasi awal. Pasien mendapat antibiotik cephalosporine
golongan 3 (ceftriaxone 2 x 1 gr) sesuai dengan antibiotik pilihan pada kasus fraktur terbuka.
Karena riwayat imunisasi tetanus yang tidak jelas dan luka berisiko tinggi, pasien mendapat
ATS, namun sebaiknya juga disertai dengan vaksinasi tetanus toxoid.

Pemilihan metode reduksi dan retain pada pasien disesuaikan dengan sumber daya
yang ada dan dari pertimbangan faktor internal-eksternal pasien. Fraktur komplit pada tibia
dan fibula yang displaced dan tidak stabil, pilihan tatalaksana terbaik adalah reduksi terbuka
dan fiksasi internal. Namun hal ini tidak dapat dilakukan karena keterbatasan fasilitas di
RSUD Lewoleba. Karena pasien juga berasal dari kalangan tidak mampu, pasien dan
keluarga tidak mampu untuk membeli akomodasi rujuk ke RS yang dapat melakukan ORIF
di luar pulau. Dengan mempertimbangkan cost dan benefit, serta kemungkinan mencapai
posisi anatomis terbaik, maka pada pasien dipilih reduksi tertutup dan imobilisasi dengan

53
backslab. Pilihan cast, walau dapat memberikan imobilisasi yang lebih baik, tidak diambil
karena mempertimbangkan kemungkinan sindrom kompartemen dan tidak tersedianya alat
untuk membuka cast nantinya.

Setelah dilakukan reduksi tertutup dan pemasangan backslab, nyeri pasien berkurang
dan tidak ada perdarahan aktif. Dievaluasi dengan foto rontgen cruris dextra lanjutan,
didapatkan lebih dari 50% permukaan fragmen fraktur os. tibia bertemu, walau kedua
fragmen fraktur os fibula tidak bertemu. Tulang yang berpengaruh dalam weightbearing
ekstremitas bawah adalah os. tibia, sehingga tidak menyatunya fibula post-op tidak akan
menyebabkan gangguan fungsi pada pasien. Diharapkan dengan latihan dan rehabilitasi yang
baik, fungsi weightbearing tibia pasien dapat kembali normal.

54
BAB VII
KESIMPULAN

 Fraktur adalah terputusnya kontinuitas (diskontinuitas) struktur tulang, lempeng


epifisis, atau permukaan tulang rawan sendi
 Fraktur dapat dideskripsikan berdasarkan lokasi, ekstensi garis fraktur, konfigurasi,
hubungan antar fragmen fraktur, hubungan fraktur dengan lingkungan luar,
komplikasi
 Pada kasus trauma, pemeriksaan dan tatalaksana airway breathing, circulation
merupakan hal yang wajib dilakukan pada semua pasien sebelum melakukan
secondary survey
 Fraktur dapat didiagnosis secara klinis dengan mendapatkan tanda pathognomonik
fraktur
 Penatalaksanaan fraktur terbuka meliputi pembersihan dan debridement luka,
antibiotik, antinyeri, 4R, dan penutupan luka.

55
DAFTAR PUSKATA

1. Salter RB. Diagnosis of disorders and injuries of musculoskeletal system. 3 rd edition.


Philadelphia: Lippincott-Williams-Wilkins; 1999.
2. Louis Solomon, David Warwick, Selvadurai Nayagam. Apley's System of Orthopaedics and
Fractures, Ninth Edition. Boca reton :CRC Press;2010
3. Sherwood L. Human physiology from cells to systems. 5th edition. Belmont: Brooks/Cole;
2004.
4. Li XJ, Jee WSS. Integrated bone tissue anatomy and physiology. In: Deng HW, Liu YZ, Guo
CY, Chen D, editors. Current topics in bone biology. 1st edition. Singapore: World Scientific;
2005.p.11-56.
5. Junqeira L, Carneiro J. Bone. In: Junqeira L, Carneiro J, editors. Basic histology 11thedition.
NewYork: Mc Graw Hills; 2005.
6. Bostrom MPG, Boskey A, Kaufman JK, Einhorn TA. Form and function of bone. In:
Buckwalter JA, Einhorn TA, Simon SR. editors. Ortopaedic basic science, biology and
biomechanics of the musculoskeletal system. 2nd edition. Iowa: AAOS; 2000.p.319-68.
7. Blue histology-skeletal tissue-bone. School of Anatomy and Human Biology – The Western
University of Australia. Available from URL://www.lab.anhb.uwa.edu.au.
8. Ferdiansyah. Regenerasi pada massive bone defect dengan bovine hydroxyapatite sebagai
scaffold mesenchymal stem cell: penelitian eksperimental pada hewan coba. Surabaya:
Universitas Airlangga; 2010.
9. McKibbin B. The Biology of Fracture Healing in Long Bones. J Bone Join surg
10. Sfeir C, Ho L, Doll BA, Azari A, Hollinger JO. Fracture repair. In : Liebermans JR,
Friedlaender GE (eds). Bone Regeneration and Repair: Biology and Clinical Applications.
Humana Press Inc
11. Gaston MS, Simpson AH. Inhibition of fracture healing. J Bone Joint Surg (Br). 2007;89-
B:1553-60.
12. Kraus KH, Kirker-Head C. Mesenchymal stem cells and bone regeneration. Vet Surg.
2006;35:232-42.
13. Hasegawa T, Miwa M, Sakai Y, Niikura T, Kurosaka M, Komori T. Osteogenic activity of
human fracture haematoma-derived progenitor cells is stimulated by low-intensity pulsed
ultrasound in vitro. J Bone Joint Surg (Br). 2009;91-B:264-70.
14. Oe K, Miwa M, Sakai Y, Lee SY, Kuroda R, Kurosaka M. An in vitro study demonstrating
that haematomas found at the site of human fractures contain progenitor cells with
multilineage capacity. J Bone Joint Surg (Br). 2007;89-B:133-8.

56
15. Buckwalter JA, Einhorn TA, Simon SR. editors. Ortopaedic basic science, biology and
biomechanics of the musculoskeletal system. 2nd edition. Iowa: AAOS; 2000.
16. Khan Y, Yaszemski MJ, Mikos AG, Laurencin CT. Tissue engineering of bone: material and
matrix considerations. J Bone Joint Surg (Am). 2008;90:36-42.
17. Goldberg VM, Stevenson S. Biology of bone and cartilage allografts. In: Czitrom AA, Gross
AE, editors. Allografts in orthopaedic pratice. Baltimore: Williams & Wilkins; 1992.p.1-14.
18. Salkeld SL, Patron LP, Barrack RL, Cook SD. The effect of osteogenic protein-1 on the
healing of segmental bone defects treated with autograft or allograft bone. J Bone Joint Surg
(Am). 2001;83:803-16.
19. James D, Heckman WE, Brooks BP, Aufdemorte TB, Lohmann CH, Morgan T, et al. Bone
morphogenetic protein but not transforming growth factor-β enhances bone formation in
canine diaphyseal nonunions implanted with a biodegradable composite polymer. J Bone
Joint Surg (Am). 1999;81:1717-29.
20. Diabach JA. Acute Dislocation. In : Canale ST, Beaty JA (sds). Campbell”s Operative
Orthopaedics.11 edition. Philadelphia; Mosby: 2008.

57

Anda mungkin juga menyukai