Anda di halaman 1dari 96

Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga

(Mendidik Anak Tanpa Kekerasan)

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana
Pendidikan Islam

Oleh:
Rizka Hendariah
NIM 108011000043

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga
(Mendidik Anak Tanpa Kekerasan)

Sltripsi:
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dar Kegur.ual (FITK)
untuk Memenuhi Peisyaratan Memperoleh Geiar Sarjana

Pendidikan Islam (S.pd.I)

Oleh :

Rizka Hendariah
108011000043

Di Barvah Bimbingan:

Drs. Masan A.F. M.Pd


NrP. 19510716 198103 r 005

PROGRAM STT,IDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKITILTAS ILMLT TARBIYAH DAN KEGI-]RUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARII HIDAYATULLAH
JAKAPJA
2013
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

Skripsi ini beljudui Konsep Pendidikan An{k dalam Kelurrga (Mendidik


Anak'fanpa KekerasaD) disusur oleh Rizka Hcndariah, NIM. 108011000043.
Progianl studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu 1'arbiyah dan Keguruan,
Universilas Islam Negeri Syarif llidayatullah Jakafia. Telah melalui bimbingan
dan dinyatakar sa11 sebagai karya ilmia.h yeng berhak untuk Ciujikan paCa sidang

mLrnaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkal oleh fakultas.

Jakarta, 1I Desernber 2012

Yang mengesahkan,

Pcmbimbing

D$. Masar AF., M.Pd


NIP. 195107r6198103 r 005
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul : Pendidikan Atrak dalam Keluarga (Mendidik Anak Tanpa
Kekerasan), disusun oleh Rizka Hendariah Nomor Induk Mahasisrva
108011000043, diajukal kepada Fakultas llmu Ta$iyah dan Keguruao UIN Sya.if
Hida)atullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal
23 April 2013 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak mernperoleh
gelar Sarjaoa S1 (S.Pd.I) dalam bidang Pendidikan Agama Islam.

.lakarta,23 Ap l2013
Panitia Ujian Munaqasah
Ketua Panitia (ketua Jurusan/Prodi) Tanggal Tanda tangan

Bahrissalim. MA
NIP: 19803071 99803 1 002

Sekretaris (Sekretaris Jurusan/Prodi)

Dls. Sapiudin Shiddiq. MA


-t"l)
NIP: 196?0328 200003 1 001

Penguji I

Drs. Rusdi Jamil. MA *.t=-L^*!.L.


NIP: 19621231 199503 1 005

Perguji II

Siti Khadiiah. MA )t / M<\ 1011


NIP: 19700727 199703 2 00,1

engetahui:

it i Nawawi. MA
198103 1 001
STJRAT PE R]\ryATAATI KARYA ILIVIIA}I

Yang bertanda tangan di bauah ini:

Nama Rizka Hendariah


N]M 10801 r 000043

Program Studi Perdidikar Agama Islam


Alamat Kemanggisan Rt 001/012 No. 44D Kec. Palmerah

Kel. Palmerah, Jakarta Bamt 11480

MENYATAKAII DENGAIT SESI]NGGUIINYA


Bahwa Skipsi yang berjudul Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga
(Mendidik Anak Tanpa Kekerasan) adalah benar hasil karya sendfui di bawah
bimbingan dosen:
Nama Pembimbing : Drs. MasaB AI., M.Pd
NIP :19510716 198103 t 005

Demikian surat pemyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya
siap menerima segala konsekuensi apabila iertrukti bahwa skripsi ini bukar hasil
karya ssndfui.

Jakarta ll Desember 2012

Rizka Hendariah
ABSTRAK

Rizka Hendariah (NIM: 108011000043). Konsep Pendidikan Anak dalam


Keluarga (Mendidik Anak Tanpa Kekerasan)

Pendidikan anak dalam keluarga dengan mengedepankan kekerasan


merupakan pendidikan yang tidak dianjurkan dalam agama. Kekerasan diartikan
sebagai perilaku yang dapat menyebabkan keadaan perasaan atau badan menjadi tidak
nyaman. Kajian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang berbagai macam
perilaku atau pola asuh orangtua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga dengan
mengedepankan cinta dan kasih sayang, serta menghindari perilaku kekerasan dari
berbagai pendapat para ahli dan media cetak serta mengetahui konsep pendidikan anak
dalam keluarga tanpa melalui kekerasan, sehingga tidak ada lagi orangtua atau
pendidik mendidik anak dengan kekerasan. Jenis penelitian ini adalah studi
kepustakaan (Library Research) yaitu menganalisa data yang telah diperoleh
melalui surat kabar, jurnal pendidikan anak serta buku-buku tentang pendidikan
anak dalam keluarga yang mengedapankan kasih sayang dalam penyampaiannya.
Metode penelitian ini adalah metode kepustakaan atau (Library Research). Teknik
pengumpulan data yaitu dengan mengumpulkan buku-buku, jurnal-jurnal, dan
hasil penelitian lainnya dari berbagai perpustakaan. Analisa data dengan cara
analisis isi (Content Analysis).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mendidik anak dengan cara
kekerasan akan tidak efektif. Dilihat dari kacamata Pendidikan Islam, pendidikan
dengan kekerasan bukanlah pendidikan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-
Nya. Pendidikan melalui kekerasan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu
kekerasan verbal dan kekerasan non verbal (kekerasan psikologis dan fisik).
Konsep pendidikan anak tanpa kekerasan dapat dilakukan dengan memahami arti
anak sesungguhnya dan mencintainya karena Allah SWT., samakan pandangan
orangtua, selalu mendoakan kebaikan kepada anak, mendidik dengan keteladanan,
menasehati melalui perkataan yang baik, menjalin komunikasi yang baik antara
orangtua dan anak, tidak membedakan jenis kelamin, pendidikan yang demokratis
bukan otoriter, hargai perilaku baik anak, memberi hukuman yang tidak kasar dan
tidak menyakitkan.Untuk menghindari pendidikan kekerasan terhadap anak
dengan menggunakan prinsip dalam memberikan hukuman yaitu: beritahu
kesalahannya, hukuman bertahap, tidak boleh keluar kata kasar, kesalahan anak
menjadi bahan evaluasi orangtua, mengukum atas dasar prilaku, adil dan
konsisten dalam menghukum, serta menghukum dengan tujuan memperbaiki
bukan menyakiti. Dampak pendidikan dengan kekerasan bagi anak diantaranya:
anak menjadi stres atau depresi, mogok melakukan sesuatu, berbohong karena
takut dimarahi, mencoba berontak, menyandang predikat “anak nakal”,
menurunkan tingkat kecerdasan, trauma yang berlanjut, menghambat proses
perkembangan jiwa, menyebabkan anak menjadi durhaka. Sebagai rekomendasi
pengkajian ini, disarankan perlu adanya penyuluhan dan bimbingan sosial
terhadap keluarga dengan pembelajaran keluarga untuk menghindari tindakan
sewenang-wenang, dan penerapan pola asuh yang bijaksana.
Kata Kunci: Pendidikan Anak – Keluarga - Kekerasan

i
KATA PENGANTAR
‫بسم اهلل الرّحمن الرّحيم‬

Dengan segala kerendahan dan keikhlasan penuh penulis mengucapkan


Alhamdulillahi Rabbil’alamin, segala puji hanyalah milik Allah Ta’ala, Pencipta
semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada
Rasulullah SAW., beserta keluarga, para sahabat, dan para siapa saja yang selalu
berittiba’, mengikuti sunnah-sunnah beliau sampai akhir zaman. Alhamdulillah,
dengan izin Allah SWT., penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul
“Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga (Mendidik Anak tanpa
Kekerasan)”.
Selanjutnya, penulis menyadari bahwa kehadiran skripsi ini tidak terlepas
dari bantuan banyak pihak. Pada kesempatan ini, perkenankan penulis
menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih
layak penulis sampaikan kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, MA
2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Bahrissalim, MA
3. Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Sapiuddin Shiddiq, M.A
4. Drs. Masan A.F., M.Pd. yang telah banyak memberikan sumbangsihnya dalam
membimbing penulisan dan penelitian hingga akhir penyusunan skripsi ini
5. Seluruh dosen, staf, dan karyawan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah banyak memberikan pengetahuan, pemahaman, dan pelayanan
selama melaksanakan studi
6. Seluruh staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan FITK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Daerah Nyi Ageng Serang Jakarta,
Perpustakaan Departemen Sosial RI, Perpustakaan Komisi Nasional

ii
iii

Perlindungan Anak Indonesia, yang telah memberikan kemudahan selama


penyusunan laporan skripsi ini
7. Ayahanda tercinta Bapak Nandan Suhendan dan Ibunda tersayang Ibu
Herliyah yang tak kenal lelah memberikan motivasi moril dan materil kepada
ananda, pengorbanannya yang senantiasa mendorong dan mendo’akan ananda
untuk berjuang dan menyelesaikan studi
8. Untuk adik-adik manis Hanni Khairunisa, Hanna Khairunisa, Nabillah
Nurjihan, dan Rizqillah yang kesediaan kalian mendo’akan, menemani, dan
membantu menghadirkan banyak inspirasi
9. Fachrizal Dwi Ramandharu, SH yang selalu hadir menemani, memberikan
motivasi, dan mendengarkan curahan hati adinda
10. Teman-teman terbaik Siti Qory Maryam, Haifa Sayuti Usman, Dina Nurina,
Nidaul Islamiyyah yang selalu bersedia untuk saling berbagi dan menemani
saat susah maupun senang
11. Untuk Abu Dzar Al-Ghifari, Ahmad Ubay, Fatimatuzzahra, Khairul Bariyyah
dan teman-teman seperjuangan mahasiswa PAI “B” angkatan 2008 yang telah
sama-sama berjuang dalam studi. Terima kasih kalian telah menjadi sahabat
dan tempat berbagi ilmu, cerita, tawa, dan tangis. Thanks for everything my
best friends
12. Serta semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini,
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis tidak dapat membalas kebaikan semua pihak yang terlibat,


semoga Allah SWT., membalas dengan kebaikan dan dapat melahirkan kebaikan
yang berikutnya. Aamiin.
iv

Sungguh, kekurangan dan kesalahan terdapat di sana-sini dalam skripsi


ini adalah murni dari penulis sebagai manusia biasa yang penuh dengan
kelemahan, baik dari sisi pengetahuan maupun yang lainnya. Dengan segala
kerendahan hati, maka saran-saran dan kritik yang bersifat membangun dari para
pembaca, akan senantiasa penulis harapkan.

Jakarta, 11 Desember 2012


Penulis,

Rizka Hendariah
v

DAFTAR ISI
ABSTRAK .......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................... 7
C. Pembatasan Masalah .................................................................... 7
D. Perumusan Masalah ..................................................................... 8
E. Tujuan Penelitian ......................................................................... 8
F. Manfaat Hasil Penelitian .............................................................. 9
BAB II KAJIAN TEORETIK ........................................................................ 10
A. Acuan Teori .................................................................................. 10
1. Konsep Pendidikan Anak ....................................................... 10
2. Konsep Pendidikan Keluarga ................................................. 22
3. Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga ............................ 34
4. Konsep Mendidik Anak Tanpa Kekerasan ............................ 37
B. Pandangan Islam Terhadap Kekerasan dalam Keluarga ............. 41
C. Hasil Penelitian yang Relevan ..................................................... 42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...................................................... 46
A. Objek dan Waktu Penelitian......................................................... 46
B. Metode Penelitian......................................................................... 46
C. Fokus Penelitian ........................................................................... 48
D. Prosedur Penelitian....................................................................... 48
BAB VI TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .......................... 49
A. Temuan Hasil Analisis Kritis Deskriptif ...................................... 49
B. Temuan Hasil Analisis Kritis Komparatif.................................... 53
C. Pembahasan .................................................................................. 55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 75
A. Kesimpulan .................................................................................. 75
B. Implikasi ....................................................................................... 76
vi

C. Saran ............................................................................................. 76
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 78
LAMPIRAN ......................................................................................................... 81
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kegiatan dan Waktu Penelitian

Tabel 4.1 Hasil Analisis Kompratif Keempat Buku

vii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam amandemen keempat UUD 1945 tahun 2002, lahir pasal baru
yang secara khusus bicara soal perlindungan anak, yaitu pasal 28 B ayat 2
UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh kembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.1
Tanggung jawab kependidikan anak adalah tanggung jawab bersama
antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dari ketiga lembaga tersebut salah
satunya adalah keluarga. “Keluarga adalah wadah pertama dan utama bagi
pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika suasana dalam keluarga itu baik
dan menyenangkan, maka anak akan tumbuh dengan baik pula. Jika tidak,
tentu akan terlambatlah pertumbuhan anak tersebut”.2
Anak adalah belahan jiwa yang berjalan di atas bumi. Karena mereka
para orangtua atau pasangan suami istri merasakan makna hidup setelah cinta
kepada Allah dan Rasul-Nya. Semua yang dilakukan para orangtua adalah
untuk membawa mereka kepada kehidupan yang baik. Mereka adalah

1
Tim Buku Pintar, Undang-Undang Dasar dan Perubahannya UUD No.23 Tahun
2002 BAB XA Tentang Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Buku Pintar, 2011), Cet. II, h. 32.
2
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: CV
Ruhama, 1995), Cet. II, h. 47.

1
2

generasi masa depan. Di bahu mereka terdapat harapan dan cita-cita bangsa
baik dengan tanggung jawab mereka atas masyarakat dan negara atau
tanggung jawab paling mulia yaitu menyebarkan dakwah Islam. Kondisi
anak saat ini akan sangat mempengaruhi terhadap kondisi bangsa yang akan
datang. Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi orangtua untuk
memperhatikan anak-anak karena mereka memegang tanggung jawab di
hadapan Allah dalam mengasuh dan menunjukan anak kepada jalan kebaikan.
Melalui keluargalah anak-anak dapat belajar segala hal yang baik untuk bekal
kehidupan. Keluarga dimanapun harus mampu mengemban tugas mulia
menghasilkan generasi baru yang berkualitas. Kelak akan dijumpai
masyarakat yang sejahtera lahir dan batin serta damai, dan bermartabat,
demokratis, serta saling menghormati dalam keberagamaan. Menurut sabda
Rasulullah SAW., anak juga merupakan investasi akhirat:

‫ت‬
َ ‫ِا ذَا مَا‬: ‫ل‬
َ ‫ل ا هللِ لَىَى اهللُ عَىَيْوِ وَسَىَمَ قَا‬
ُ ‫ّن رَ سُو‬
َ ‫ن اَبِى ىُرَ يْرَ َة َا‬
ْ َ‫ع‬
ٍ‫ن ثَىَاثٍ لَدَقَ ٍة جَارِيَ ٍة اَوْ عِىْ ٍم يُنْتَفَعُ بِ ِو اَ ْو وَّلَد‬
ْ ِ‫ن آدَ َم اِنْقَطَ َع عَمَىُ ُو اِّلَا م‬
ُ ْ‫اب‬
) ‫ح يَدْعُ ْو ّلَ ُو (رواه مسىم‬
ٍ ِ‫لَاّل‬
“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: “Jika seorang
anak Adam meninggal dunia, maka semua (pahala) amalnya
terputus, kecuali (pahala) shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat,
anak shalih yang selalu memanjatkan do’a untuknya.” (HR.
Muslim).3

Untuk melahirkan generasi yang berkualitas, maka anak mempunyai


hak dan kebutuhan untuk mendapatkan kasih sayang, perhatian makanan
yang cukup dan bergizi, kesehatan yang baik, bermain, pengembangan
spiritual dan moral, pendidikan, serta memerlukan lingkungan keluarga dan
sosial yang mendukung kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan
perlindungan. Masa anak-anak adalah masa belajar dan masa berkembangnya
aspek-aspek penting dalam kehidupan manusia, seperti perkembangan fisik,

3
Imam Nawawi, Ringkasan Riyadhush Shalihin, Terj. Dari Mukhtashor Riyaadhush
Shoolihiin oleh Abu Khodijah Ibnu Abdurrohim, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006), Cet.
I, h. 56.
3

kematangan intelektual, emosi, dan hubungan sosial. Pada masa ini, mereka
mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan
yang umum, membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai
makhluk yang sedang tumbuh, belajar menyesuaikan diri dengan teman-
teman seusianya, mulai mengembangkan peran sosialnya, mengembangkan
keterampilan-keterampilan dasar, untuk membaca, menulis, dan berhitung.
Setiap hari baik melalui media cetak, elektronik, dan secara langsung
banyak ditemui adanya anak yang mendapat perlakuan kasar, diperlakukan
sewenang-wenang, disakiti, disiksa baik fisik maupun mentalnya. “Sekitar
60% orangtua diduga melakukan tindak kekerasan. Dengan dalih
mendisiplinkan anak dan mengatasnamakan pendidikan, mereka menjewer,
menampar, memukul, mencaci maki, padahal bukan kepatuhan yang muncul
setelahnya.”4
Berdasarkan data Komisi Pelindungan Anak, kasus tindak
kekerasan terhadap anak tahun 2004 mencapai 544 kasus. Tahun
2005 meningkat menjadi 736 kasus, dan Januari 2006 telah terjadi 69
kasus. Jumlah ini diyakini lebih banyak lagi dan merupakan
fenomena gunung es mengingat banyaknya kasus yang tidak
terlaporkan maupun yang sengaja dirahasiakan karena dianggap aib,
baik oleh korban, keluarga maupun masyarakat sekitar.5

“Adapun jumlah anak korban tindak kekerasan dan perlakuan salah


pada tahun 2004 mencapai 48.526 kasus.”6 “Menurut kompilasi dari 9 surat
kabar nasional tanggal 10 Desember 2009 menyebutkan jumlah anak yang
membutuhkan perlindungan khusus dan perlakuan salah terhadap anak,
sekitar 7.778 anak. Sedangkan pada tingkat lokal di Bayumas tercatat 36
korban tindak kekerasan pada anak dalam keluarga atau rumah tangga.”7
Kekerasan pada anak merupakan refleksi kegagalan pengasuhan
yang berlangsung lintas generasi, oleh sebab itu pemotongan siklus kekerasan

4
Suryani, Kebutuhan Pelayanan Sosial Bagi Anak Korban Tindak Kekerasan dalam
Keluarga, Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, (Yogyakarta: Badan Pendidikan
dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, 1 Maret 2010), Vol. 34, h. 47.
5
Harian Kompas, 3 Maret 2006
6
Suryani, loc. cit. h. 36. Departemen Sosial Republik Indonesia,
dalamhttp//www.google.co.id/anakkorbantindakkekerasan
7
Kedaulatan Rakyat, Desember 2009.
4

harus dimulai dari keluarga. Hal yang perlu diperhatikan dalam memutus
siklus kekerasan dalam kehidupan bukan dimulai dengan mengajarkan apa itu
kekerasan pada anak, melainkan orang dewasalah atau orangtua sebagai
pendidik yang belajar untuk tidak melakukan kekerasan dalam keluarga atau
kehidupan. Keluarga memiliki potensi yang besar untuk menekan tindak
kekerasan terhadap anak. Untuk itu perlu adanya kasih sayang, perhatian, dan
perlindungan yang harus diberikan kepada anak agar tumbuh kembang dalam
atmosfer yang penuh dengan cinta kasih dan perdamaian.
Mendidik anak hendaknya dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Dengan menyadari kembali bahwa anak adalah amanah Allah SWT., yang
harus dipertanggungjawabkan di akhir masa kehidupan setiap orangtua.
“Orangtua dan keluarga boleh saja tidak memiliki harta melimpah, tetapi
mereka tidak boleh kehilangan cinta dan kasih sayang terhadap anak. Sebab,
cinta dan kasih sayang adalah kebutuhan elementer yang mutlak harus
8
diperoleh seorang anak pada masa tumbuh kembang”. Anak yang
kehilangan cinta dan kasih sayang akan tumbuh dengan penuh deviasi dan
patologis (keadaan berupa penyimpangan perilaku dalam bentuk merugikan
atau merusak diri sendiri dan orang lain). Sebaliknya, anak yang tumbuh
dalam lingkungan keluarga yang kokoh, penuh cinta, dan jauh dari
eksploitasi, akan lahir sebagai generasi yang berkarakter, dan pada gilirannya
akan menjadi warga masyarakat dan warga negara yang berkarakter pula.
Walaupun pada umumnya masyarakat, khususnya para orangtua sudah
mengetahui betapa pentingnya peran orangtua bagi pertumbuhan dan
pendidikan anak, tetapi pada kenyataannya masih banyak orangtua yang tidak
melaksanakan cara-cara mendidik anak dengan baik. Masih saja ada orangtua
yang mendidik anaknya dengan cara yang keliru, seperti: menggunakan kata-
kata yang kasar untuk menasehati, kurangnya memberikan penghargaan
terhadap keberhasilan yang anak capai untuk membesarkan hatinya, perilaku
membanding-bandingan kasih sayang dan prestasi anak dengan anak yang

8
Maria Ulfah Anshor dan Abdullah Ghalib, Parenting with Love, (Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2010), Cet. I, h. 8.
5

lain, menggunakan kekerasan dalam mendidik (memukul, mencubit,


menjewer, dan sebagainya), bahkan terjadinya eksploitasi anak. Pelaku tindak
kekerasan dan eksploitasi anak bukanlah oleh negara sebagaimana terjadi
pada masa lalu, tetapi justru dilakukan oleh perorangan dan kelompok
masyarakat atau non state actor. Maka jadilah sebagaimana mudah
ditemukan di surat kabar, televisi, atau internet, orangtua dengan mudah
menjual bayinya, keluarga dekat memperdagangkan saudara dekatnya, ayah
dan ibu kandung memaksa anak-anaknya mengemis, bahkan melacurkannya.
Seolah-olah tidak ada lagi cinta dalam hubungan orangtua dengan anak, yang
ada hanya hubungan kepentingan transaksional. Nilai anak rupanya telah
berubah, dari anak sebagai amanah Allah SWT., menjadi anak sebagai nilai
ekonomi. Padahal dalam Al-Qur’an dijelaskan janganlah kamu
menghilangkan anakmu karena takut miskin. Sesungguhnya Allah lah Maha
Pemberi Rizki. Sebagaimana firman-Nya dalam (Q.S. Al-An’am [6]: 151)

“Katakanlah (Muhammad): "Marilah kubacakan apa yang


diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu
mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap
kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak
kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu
dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-
perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang
tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah [membunuhnya] melainkan dengan sesuatu [sebab] yang
benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu
supaya kamu memahami [nya]” (Q.S. Al-An’am [6]: 151)
6

Kompleks memang permasalahan kekerasan terhadap anak. Namun


penelitian ini tidak akan membahas permasalahan tersebut secara
keseluruhan, yang akan difokuskan adalah bagaimana cara orangtua
mendidik anaknya di dalam keluarga dengan baik, sesuai dengan ajaran
agama Islam, lebih mendahulukan kasih sayang dibanding menggunakan
kekerasan dalam penyampaiannya. Karena pada dasarnya kembali lagi,
prestasi generasi tua bangsa ini menjadi tidak berarti jika generasi
berikutnya tidak terdidik atau salah didik sebagai generasi penerus. Anak-
anak terbentuk karakternya melalui tiga lingkaran pendidikan, seperti
dikatakan di paragraf sebelumnya yaitu: keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Salah satu dari ketiga lingkungan pendidikan tadi adalah keluarga.
Seperti telah disingung di atas, dewasa ini banyak orangtua yang tidak tahu
bagaimana menyalurkan rasa kasih sayang kepada anak secara baik dan
benar atau mendekati tepat. Banyak orangtua mendidik anaknya dengan
kekerasan, meskipun orangtua melakukan itu didasarkan rasa kasih sayang
yang amat teramat sangat kepada anaknya agar anaknya menjadi pribadi
yang baik dan dapat menjadi insan kamil serta sebaik-baiknya khalifah di
bumi Allah SWT. Anak adalah amanah Allah yang harus dididik dengan
sebaik-baiknya didikan. Tentu akan sangat berbeda ketika dewasa, antara
anak yang dididik dengan pola kasih sayang, dan dengan anak yang diasuh
melalui cara kekerasan dan sikap otoriter.
Sebait puisi Dorothy Law Nolte tentang pendidikan anak yang
menggugah kesadaran dalam bukunya Children Learn What They Live,
sebagaimana dikutip oleh Asadulloh Al-Faruq bertutur sebagai berikut :
Jika anak dibersarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah
Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian
Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa
bersalah
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
7

Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai


Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai.9

Berangkat dari hal tersebut, menarik sekiranya penulis membahas


mengenai bagaimana ”Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga
(Mendidik Anak Tanpa Kekerasan)”.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi
beberapa masalah yang akan dimunculkan, diantaranya :
1. Sebagian orangtua masih menggunakan kata-kata kasar untuk menasehati
anak
2. Orangtua kurang memberikan penghargaan terhadap keberhasilan yang
anak capai untuk membesarkan hatinya
3. Masih terdapat kekeliruan orangtua dalam memberikan kasih sayang
kepada anak
4. Perilaku membanding-bandingan kasih sayang dan prestasi anak dengan
anak yang lain
5. Menggunakan kekerasan dalam mendidik seperti: memukul atau menyakiti
fisik
6. Kurang memperhatikan kebutuhan anak di rumah
7. Kurang memberikan kesempatan kepada anak untuk bertanya atau
membuat anak takut bertanya, dan
8. Ada sebagian orangtua yang mengeksploitasi anak.

C. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, karena cukup luasnya mengenai
masalah pendidikan anak dalam keluarga, maka penulis membatasi masalah
yang akan diteliti hanya pada masalah menggunakan kata-kata kasar untuk

9
Asadulloh Al-Faruq, Ibu Galak Kasihan Anak, (Solo: Kiswah Media, 2011), Cet.
I, h.14.
8

menasehati anak, kurangnya memberikan penghargaan terhadap keberhasilan


yang anak capai untuk membesarkan hatinya, dan menggunakan kekerasan
dalam mendidik seperti: memukul atau menyakiti fisik seputar bagaimana
sebaiknya perlakuan atau pola asuh orangtua dalam mendidik anak dengan
mengedepankan kasih sayang dibanding menggunakan kekerasan. Kekerasan
yang dimaksud yaitu nasehat dengan kata-kata kasar disertai menyakiti fisik
seperti memukul, mencubit, menjewer, dan sebagainya. Anak di sini adalah
bayi yang masih di dalam kandungan hingga anak usia 17 tahun.
Buku-buku yang menjadi acuan pada skripsi ini diantaranya:
1. Buku karangan Maria Ulfah anshor dan Abdullah Ghalib dengan judul
Parenting with Love,
2. Buku karangan Asadulloh Al-Faruk dengan judul “Ibu Galak Kasihan
Anak,
3. Buku karangan Wendi Zarman dengan judul “Ternyata Mendidik Anak
Cara Rasulullah itu Mudah dan Lebih Efektif.,
4. Buku karangan Dr. Musthafa Abu Sa’ad dengan judul Istratijiyyah at-
Tarbiyyah al-Ijabiyyah (Judul Terjemahan: Smart Parenting, 30 Strategi
Mendidik Anak; Cerdas Emosional, Spiritual, Intelektual) yang
diterjemahkan oleh Fatkhurozi dan Nashirul Haq.

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang dikemukakan di atas, maka
dalam penulisan skripsi ini, masalah yang diteliti dapat dirumuskan sebagai
berikut:
”Bagaimana cara mendidik anak dalam keluarga tanpa menggunakan
kekerasan? ”

E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Memperoleh informasi tentang berbagai macam perilaku atau pola asuh
orangtua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga dengan
9

mengedepankan cinta dan kasih sayang, serta menghindari perilaku


kekerasan dari berbagai pendapat para ahli dan media cetak
2. Mengetahui konsep pendidikan anak dalam keluarga tanpa melalui
kekerasan.

F. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut :
1. Memberikan informasi kepada para orangtua dan calon orangtua tentang
pentingnya mendidik anak dengan cinta dan kasih sayang serta
menghindari didikan dengan kekerasan
2. Sebagai informasi kepada umumnya masyarakat, khususnya keluarga atau
orangtua maupun calon orangtua tentang pandangan Islam dalam mendidik
anak di keluarga
3. Memberikan sumbangan dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan
dalam lingkungan keluarga.
4. Memberikan kesadaran kepada masyarakat pada umumnya dan orangtua
pada khususnya, bahwa mendidik anak dengan kekerasan akan berakibat
buruk bagi perkembangan anak. Dengan demikian orangtua tidak akan
melakukan tindakan yang merugikan anak tersebut.
BAB II
KAJIAN TEORETIK

A. Acuan Teori
1. Konsep Pendidikan Anak
a. Pendidikan
Pengertian pendidikan telah banyak dikemukakan oleh para pakar
pendidikan, salah satunya sebagai berikut “Pendidikan adalah
pemindahan nilai-nilai, ilmu, dan keterampilan dari generasi tua kepada
generasi muda untuk melanjutkan dan memelihara identitas masyarakat
tersebut.”8 Manusia berbeda dengan makhluk lainnya karena kondisi
psikologisnya. Berkat kemampuan-kemampuan psikologis yang lebih
tinggi dan kompleks dibanding dengan binatang inilah yang menjadikan
manusia menjadi lebih maju, lebih banyak memiliki kecakapan,
pengetahuan, dan keterampilan.
“Kondisi atau kemampuan psikologis yang dimiliki manusia itu
merupakan karakteristik psikofisik seorang sebagai individu, yang
dinyatakan dalam berbagai bentuk perilaku dan interaksi dengan
lingkungannya. Perilaku-perilaku tersebut merupakan manifestasi
dan ciri-ciri kehidupannya, baik yang tampak maupun yang tidak
tampak, perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor”.9

Dilihat dari kacamata individu “Pendidikan adalah upaya


pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi, yaitu

8
Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 163-164.
9
Abudin Nata, Ibid, h. 165.

10
11

untuk menggali, mengembangkan, dan memberdayakan kemampuan


individual manusia agar ia dapat dinikmati oleh individu dan selanjutnya
oleh masyarakat.”10 Dengan kata lain “pendidikan adalah transfer
budaya, sementara kebudayaan masyarakat mana pun mengandung unsur
akhlak atau etik, estetika, ilmu pengetahuan, dan teknologi”11 tujuan dari
adanya pendidikan ini adalah pembentukan pola tingkah laku dan
karakter. Dalam pencapaian pembentukan karakter seseorang, hal-hal
yang perlu dijadikan kebiasaan tingkah laku adalah sopan santun atau
etika, kebersihan dan kerapihan, kejujuran serta disiplin.
Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha
manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di
dalam masyarakat dan kebudayaan. “Dalam perkembangannya, istilah
pendidikan atau paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang
diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa.”12
Kenyataannya pengertian pendidikan ini selalu mengalami
perkembangan, meskipun secara essensial tidak jauh berbeda. Untuk
lebih memperkaya pemahaman tentang pendidikan dikemukakan oleh
para ahli pendidikan, antara lain sebagai berikut:
1) “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan bagi peranannya
di masa yang akan datang”.13
2) “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spirtual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

10
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al- Husna,
1987), Cet. I, h. 4.
11
Maria Ulfah Anshor dan Abdullah Ghalib, Op.Cit., h. 25.
12
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2006), h. 1.
13
UU Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 1 Ayat 1),
Lihat Departemen Agama RI Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan
Nasional, (Dirjend. Binbaga Islam, Jakarta , 1991/1992), h. 3.
12

akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,


14
masyarakat, bangsa, dan negara.”
3) Menurut Ki Hajar Dewantara (1889-1959 M) memandang,
Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi
pekerti (karakter, kekuatan batin), pikiran (intellect), dan jasmani
anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya.
4) “Pendidikan adalah suatu pimpinan jasmani dan ruhani menuju
kesempurnaan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti
sesungguhnya.”15
5) John Stuart Mill (filsuf Inggris, 1806-1873 M) mengemukakan bahwa
pendidikan itu meliputi segala sesuatu yang dikerjakan oleh
seseorang untuk dirinya atau yang dikerjakan oleh orang lain untuk
dia, dengan tujuan mendekatkan dia kepada tingkat kesempurnaan.
6) H. Horne berpendapat bahwa pendidikan adalah proses yang terus
menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi manusia
yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas, dan
sadar kepada Tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar
intelektual, emosional, dan kemanusiaan dari manusia.
7) Edgar Dalle menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar
yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan yang berlangsung di
sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan
peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai
lingkungan hidup secara tetap untuk masa yang akan datang.
8) M.J. Longeveled menuliskan bahwa pendidikan merupakan usaha,
pengaruh, perlindungan, bantuan yang diberikan kepada anak agar
tertuju kepada kedewasaannya, atau lebih tepatnya membantu anak
agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.

14
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional .
15
Muhammad Natsir, Kapita Selekta, (Bandung: Gravenhage, 1954), h. 87.
13

9) Serta Plato menjelaskan bahwa pendidikan itu membantu


perkembangan masing-masing dari jasmani dan akal dengan sesuatu
yang memungkinkan tercapainya kesempurnaan.
Pendidikan adalah proses pematangan kualitas hidup.
Melalui proses tersebut diharapkan manusia dapat memahami apa
arti, hakikat hidup, untuk apa, bagaimana menjalankan tugas
hidup, dan kehidupan secara benar. Karena itulah fokus
pendidikan diarahkan pada pembentukan kepribadian unggul
dengan menitikberatkan pada proses pematangan kualitas logika,
hati, akhlak, dan keimanan. Puncak pendidikan adalah
tercapainya titik kesempurnaan kualitas hidup.16

“Hendaknya pendidikan dilaksanakan dengan memilih tindakan


dan perkataan yang sesuai, menciptakan syarat-syarat dan faktor-faktor
yang diperlukan”.17 Sehingga membantu seorang individu yang menjadi
objek pendidikan supaya dapat dengan sempurna mengembangkan
segenap potensi yang ada dalam dirinya, dan secara perlahan-lahan
bergerak maju menuju tujuan dan kesempurnaan yang diharapkan.
Dari berbagai pandangan para tokoh ahli yang dikemukakan di
atas penulis menyimpulkan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah
serangkaian proses pematangan kualitas hidup yang dilaksanakan secara
sadar dan terencana di sekolah maupun di luar sekolah dari generasi tua
(orang dewasa) kepada generasi muda serta dilakukan secara
berkesinambungan dengan memilih tindakan dan perkataan yang sesuai.
Melalui proses tersebut diharapkan manusia dapat mengembangkan
potensi yang ada di dalam dirinya dan dapat memahami apa arti, hakikat,
untuk apa, serta bagaimana menjalankan tugas hidup dan kehidupan
dengan benar. Oleh karena itu fokus pendidikan diarahkan pada
pembentukan kepribadian yang unggul dengan menitikberatkan pada
proses pematangan kualitas hati, keimanan, akhlak, kepribadian, logika
(kecerdasan), serta keterampilan yang kiranya dibutuhkan oleh dirinya,

16
Dedy Mulyasana, Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. I, h.2.
17
Ibrahim Amini, Agar Tak Salah Mendidik Anak, (Jakarta: Al-Huda, 2006), Cet. I,
h. 4.
14

masyarakat, bangsa dan negara. Puncaknya adalah tercapainya


kesempurnaan hidup dengan menjalankan syariat Allah SWT.
b. Anak
Anak merupakan amanah bagi orangtua. Amanah tersebut adalah
titipan Allah SWT., yang harus dijaga dan dipelihara dengan sebaik-
baiknya. Anak merupakan makhluk ciptaan Allah SWT., yang wajib
dilindungi dan dijaga kehormatan, martabat, dan harga dirinya secara
wajar, baik secara hukum, ekonomi, politik, sosial, maupun budaya tanpa
membedakan suku, agama, ras, dan golongan. Anak adalah generasi
penerus bangsa yang akan sangat menentukan nasib dan masa depan
bangsa secara keseluruhan di masa yang akan datang.
Pengertian anak berkaitan dengan batas usia anak. Dalam
berbagai peraturan perundang-undangan terdapat perbedaan tentang
batasan yang dipakai berdasarkan kepentingan anak, apakah kepentingan
anak mengenai kesejahteraan anak, perkawinan, ketenagakerjaan, atau
berkaitan dengan kepentingan pidana, dan kepentingan perdata. Dalam
Undang-undang No. 4 tahun 1979 yang mengatur tentang kesejahteraan
anak, dinyatakan “anak adalah seseorang yang belum berusia 21 tahun
dan belum kawin.” Jadi jika seorang belum berusia 21 tahun tetapi sudah
kawin maka tidak lagi sebagai anak. Batasan ini berbeda dengan apa
yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 Bab I Pasal I
tentang perlindungan anak menyebut “anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”18 Dalam
Undang-undang ini tidak dapat perbedaan apakah seseorang itu belum
kawin atau sudah kawin. Dengan demikian bagi “seseorang yang berusia
dibawah 18 tahun meskipun sudah atau pernah kawin dan mempunyai
anak, masih kategori anak.”19

18
Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN-
Malang Press, 2008), Cet. I, h. 302.
19
Endang Sumiami, Penddekatan Hukum pada Penanganan Kekerasan dan
Penelantaran Anak, (Yogyakarta: UGM/RS. Dr Sardjito, 2002)
15

Ketentuan Undang-Undang Perdata menyebutkan, seseorang yang


masih dalam kandungan jika kepentingannya menghendaki dianggap
sebagai ahli waris jika lahir hidup, tetapi jika lahir mati dianggap tidak
pernah ada (Pasal 2 B.W) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) menegaskan seseorang yang berusia 16 tahun (pada waktu
terjadi kasus) dianggap belum dewasa (Pasal 45 KUHP).
PBB tahun 1989 memberi batasan anak di bawah 18 tahun.
Undang-Undang No.1 tahun 1974 yang mengatur perkawinan memberi
batasan sebagai berikut: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai usia 19 tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur
16 tahun” (Pasal 7 ayat 1 UU No.4 tahun 1979).
Semua anak terlahir di dunia berhak mendapatkan pendidikan dan
pengajaran dengan baik dan benar. Hak pendidikan ini bagi anak bersifat
komprehensif, baik dalam mengembangkan nalar berfikirnya
(pengembangan intelektual), dan menanamkan sikap perilaku yang mulia
(penanaman akhlak), memiliki keterampilan untuk kehidupannya, dan
menjadikannya sebagai manusia yang memiliki kepribadian yang baik
sehingga dapat menjalankan kehidupan sesuai syariat Allah SWT.
Berikut ini adalah pengertian anak menurut firman Allah SWT.,:
1) Merupakan karunia serta nikmat dari Allah SWT.

‫جعَهۡىَـٰكُمۡ َأڪۡثَشَ وَفِيشًا‬


َ ََ َ‫َََأمۡذَدۡوَـٰكُم ِبَأمۡ َُٲلٍ۬ ََبَىِيه‬
“... dan Kami membantu dengan harta kekayaan dan anak, dan
kami jadikan kamu kelompok yang besar” (Q.S. Al-Isra[17]: 6)
2) Perhiasan kehidupan dunia

‫ٱنۡمَالُ ََٱنۡبَىُُنَ صِي َىتُ ٱنۡحَيَُٰ ِة ٱنذُوۡيَا‬


“Harta dan anak-anak merupakan perhiasan dunia...” (Q.S. Al-
Kahfi[18]: 46)
3) Pelengkap kebahagiaan hidup dalam keluarga

... ٍ۬‫سَبَىَا ٌَبۡ نَىَا مِهۡ أَصۡ ََٲجِىَا ََ ُرسِيَـٰتِىَا ُق َشةَ أَعۡيُه‬...
16

“... Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami


dan anak-anak kami sebagai penyenang hati...” (Q.S. Al-
Furqon[25]: 74)
4) Sebagai bentuk anugerah Allah SWT., bagi orang yang senang
berdzikir dan senantiasa mohon ampun20

“Maka aku katakan kepada mereka’ mohon ampunanlah kalian


kepada Tuhan kalian. Sesungguhnya Dia MahaPengampun,
niscaya Dia akan mengirimkan hujan dengan lebat, dan
membanyakan harta, dan anak-anakmu, dan mengadakan untuk
kalian kebun-kebun dan sungai-sungai.” (Q.S. Nuh[71]: 10-12).

Dalam pengertian khusus menurut ajaran Islam, anak adalah


generasi penerus untuk melanjutkan kelangsungan turunan. Sedangkan
dalam arti yang lebih luas, anak adalah generasi penerus yang akan
mewarisi kepemimpinan dibidang keagamaan, kebangsaan dan
kenegaraan. “Anak harus dijamin hak-hak hidupnya untuk tumbuh dan
berkembang sesuai dengan fitrah dan kodratnya, oleh karena itu segala
bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak anak dalam
berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi yang tidak
berprikemanusiaan harus dihapuskan tanpa kecuali.”21
Pendidikan bagi anak meupakan kebutuhan vital yang harus
diberikan dengan cara-cara yang bijak untuk menghantarkan menuju
kedewasaan dengan baik. Kesalahan dalam mendidik anak di masa kecil
akan mengakibatkan rusaknya generasi yang akan datang. Ayah, Ibu,
atau orang dewasa lainnya yang turut mempengaruhi pembentukan

20
Mufidah Ch, Op.Cit., h. 300-301.
21
Mufidah Ch, Ibid., h. 299-300.
17

kepribadian anaklah yang paling besar pengaruhnya terhadap tumbuh


kembang anak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.,:

ََْ‫ّصشَاوًِِ أ‬
ِ َ‫ط َشةِ َفأَبََُايُ ُيٍَُِدَا ِوًِ أََْ يُى‬
ْ ‫كُمُ مَُْنُُ ٍد يُُنَذُ عَهَى انْ ِف‬
ًِ‫ُيمَّجِسَا ِو‬
“Setiap anak lahir dalam keadaan suci, orangtua-nyalah yang
menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (H.R. Ahmad,
Thabrani, dan Baihaqi). (311-312)

Mengacu berbagai peraturan Undang-Undang dan dari beberapa


pengertian yang telah dikemukakan di atas, penulis mengambil
kesimpulan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun
termasuk yang masih berada di dalam kandungan atau anak adalah
seseorang yang berusia di bawah 17 tahun. Hal ini berdasarkan bahwa
secara psikologis seseorang yang berusia 17 tahun telah muncul
kesadaran akan kepribadian dan kehidupan batiniyah sendiri, sekaligus
perkuatan rasa AKU. Anak mulai menemukan nilai-nilai tertentu dan
melakukan nilai-nilai tertentu dan melakukan perenungan terhadap
pemikiran filosofis dan etnis.22 Dengan kata lain, seseorang yang berusia
17 tahun yang mempunyai kesadaran dan kepribadian sehingga
perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan. Pada usia 17 tahun seorang
juga sudah harus mempunyai KTP dan pada usia ini seseorang juga
sudah harus mempunyai KTP dan pada usia ini seseorang mempunyai
hak kewarganegaraan antara lain untuk menyalurkan aspirasinya melalui
pemilihan umum.
Anak merupakan titipan Allah SWT., yang diamanahkan kepada
orangtua dan menjadikannya sebagai penyenang hati dan perhiasan dunia
yang nantinya amanah Allah SWT., tersebut akan dimintai
pertanggungjawabannya di akhir masa kehidupan setiap individu
(orangtua). Karenanya pendidik (orangtua) dapat ditempatkan Allah
SWT., di dalam surga maupun neraka. Anak pula yang nantinya akan

22
Kartini Kartono, Psikologi, (Bandung: Alumni, 1979)
18

melanjutkan kelangsungan hidup keturunan sebagai generasi mewarisi


penerus kepemimpinan dalam bidang agama, bangsa, dan kenegaraan.

b. Pendidikan Anak
Bagi orang yang beragama Islam, berbicara pendidikan anak tidak
lepas dari pendidikan Islam. Pendidikan Islam adalah upaya sadar dan
terencana dalam menyiapkan anak didik untuk mengenal, memahami,
menghayati hingga mengimani, bertakwa, dan berakhlak mulia dalam
mengamalkan ajaran agama Islam yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Tujuan pendidikan Islam adalah meningkatkan keimanan,
pemahaman, pengetahuan, pengalaman anak didik tentang agama Islam
sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah
serta berakhlak manusia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan
bernegara.
Dasar pendidikan Islam, dasar atau fundamen dari suatu
bangunan adalah bagian dari bangunan yang menjadi sumber kekuatan,
keteguhan, serta tetap berdirinya bangunan itu. Pada suatu pohon, dasar
itu adalah akarnya. Dasar pendidikan Islam itu adalah Firman Allah
SWT., dan Sunnah Rasulullah SAW. Kalau pendidikan diibaratkan
bangunan, maka isi Al-Qur’an dan Al-Sunnah-lah yang menjadi
fundamennya.23 Sebagaimana firman Allah SWT., dalam Q.S. An-
Nisa[4]: 59 sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah


Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia

23
Abudin Nata, Op.Cit., h. 56.
19

kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu


benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu), dan lebih baik akibatnya”
(Q.S. An-Nisa [4]: 59).

Dengan merujuk pada Al-Qur’an dan Al-sunnah, para


ahli pendidikan Islam telah sepakat bahwa maksud dari
pendidikan dan pengajaran bukanlah memenuhi otak anak
dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi
maksudnya ialah mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanam
rasa fadillah (keutamaan), membiasakan mereka dengan
kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu
kehidupan yang suci seluruhnya, ikhlas, jujur. Maka tujuan
pokok dan yang paling utama dari pendidikan Islam ialah
mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa.24
Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa “tujuan pendidik Islam
adalah indentik dengan tujuan hidup setiap Muslim.”25 Tujuan tersebut di
dasarkan pada ayat Al-Qur’an sebagai berikut:

“Dan aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan


untuk menyembah Aku” (Q.S. al-Dzariyat [51]: 56)

Pendapat lain mengatakan bahwa “tujuan akhir dari pendidikan Islam itu
terletak dalam realisasi sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah,
baik secara perorangan, masyarakat, maupun sebagai umat manusia
secara keseluruhan.”26

... َ‫ََ َمآ ُأ ِمشَُٓاْ إِنَا نِ َيعۡبُذَُاْ ٱنَهًَ مُخۡهِّصِيهَ َنًُ ٱنذِيه‬
“Dan mereka tidak disuruh melainkan agar menyembah Allah
dan dengan ikhlas beragama kepada-Nya...” (Q.S. Al-Bayyinah
[98]: 5).

24
Moh. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Dari al-
Tarbiyyah al-Islamiyyah oleh H. Butami A. Gani, dan Djohar Bahry, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1974), Cet. II, hlm. 15.
25
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Al-
Ma’arif, 1980), Cet. VI, h. 48.
26
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bina Aksara, 1991), Cet. I, h. 41.
20

Tujuan Pendidikan Islam yang ditetapkan dalam Kongres Sedunia


tentang Pendidikan Islam sebagai berikut:
Education should aim at the ballanced growth of total personality
of man through the training of man’s spirit, intelect the rational
self, feeling and bodily else. Education should therefore cater for
the growth of man in all its aspect, spiritual, intelektual,
imaginative, physical, scientifict, linguistic, both individually and
collectively, and motivate all these aspect toward goodness and
attainment of perfection. The ultimate aim of education lies in the
realizatoin of complex submission to Allah on the level of
individual, the community and humanity at large.27

Selain itu, tujuan pendidikan Islam juga dalam rangka menjadikan


manusia agar dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka
bumi. Tujuan ini sejalan dengan ayat sebagai berikut:

...ً۬‫ََإِرۡ قَالَ سَ ُبكَ نِهۡمَهَـٰٓٮِٕكَتِ إِوِى جَاعِمٌ۬ فِى ٱنَۡأسۡضِ خَهِيفَ ۖت‬
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi...” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 30).

Rumusan tujuan pendidikan Islam juga diarahkan pada terbentuknya


manusia yang memiliki sikap hidup yang seimbang antara mementingkan
urusan dunia dan mementingkan urusan akhirat.
Rumusan tujuan pendidikan Islam memiliki karakteristik sebagai
berikut:28
1) Diarahkan pada terwujudnya manusia yang baik dan ideal, yaitu
manusia yang berakhlak mulia, berkepribadian utama, menjadi orang
yang taat kepada Allah, melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di
muka bumi, bersikap seimbang mencapai kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat, dan terbina seluruh potensinya secara maksimal, baik
potensi fisik biologis, intelektual, spiritual, dan sosialnya.

27
Second Word Conference on Muslim Education, International Seminar on
Islamic Concept and Curricula, Recommendation, (Islamabad, 15- to 20, March, 1980).
28
Abuddin Nata, Op.Cit., h. 62.
21

2) Membimbing dan mengembangkan segenap potensi yang dimiliki


manusia, baik potensi fisik biologis, intelektual, spiritual maupun
sosial dengan berdasarkan pada keimanan dan akhlak mulia.
Kesimpulannya di dalam Islam, tujuan tertinggi pendidikan
adalah untuk mewujudkan manusia yang baik. Pengertian manusia baik
di sini bukanlah sosok manusia yang kuat, pintar, kaya, berpengaruh atau
populer, melainkan manusia yang memahami hakikat dirinya sebagai
hamba Allah yang menjadikan kehidupannya sebagai sarana pengabdian
kepada-Nya.
Orang yang paling sempurna penghambaannya kepada Allah
adalah Nabi Muhammad SAW., Hal itu tercermin dari perilakunya.
Beliau adalah contoh ideal dalam segala hal. Bila bicara tentang rumah
tangga, beliau adalah suami dan ayah terbaik. Bila bicara mengenai
pendidikan, beliau adalah guru yang paling baik. Bila bicara mengenai
negara, beliau adalah pemimpin atau negarawan yang paling baik. Bila
bicara mengenai peran di masyarakat, beliau adalah anggota masyarakat
yang paling baik. Bila bicara mengenai perniagaan beliau adalah
pedagang yang paling baik. Bila bicara mengenai pergaulan beliau
merupakan sahabat yang paling baik. Pendeknya, semua kebaikan
terhimpun pada diri beliau. Itu sebabnya Al-Qur’an menyebutkan:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suru teladan


yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 21).

Jadi pada dasarnya, visi pendidikan Islam adalah untuk membentuk


manusia shaleh. Sedangkan penjabarannya dapat ditemukan pada diri
Rasulullah karena semua gambaran mengenai kepribadian yang terbaik
22

dapat ditemukan pada diri beliau. Itu sebabnya beliau dijadikan Allah
sebagai teladan bagi seluruh manusia.
2. Konsep Pendidikan Keluarga
a. Pengertian Keluarga
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan “Keluarga:
Ibu, bapak dan anak-anaknya, satuan kekerabatan yang sangat mendasar
di masyarakat.”29 Keluarga (kawla warga) merupakan sebuah institusi
terkecil di dalam masyarakat yang memiliki tempat tinggal dan ditandai
kerjasama ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat, dan
sebagainya, serta berfungsi sebagai wahana untuk mewujudkan
kehidupan yang tentram, aman, damai, dan sejahtera dalam suasana cinta
dan kasih sayang anggotanya. Suatu ikatan hidup yang didasarkan karena
terjadinya perkawinan, juga bisa disebabkan karena persusuan atau
muncul perilaku pengasuhan.
Menurut psikologi, keluarga bisa diartikan sebagai dua
orang yang berjanji hidup bersama yang memiliki komitmen atas
dasar cinta, menjalankan tugas dan fungsi yang saling terkait
karena sebuah ikatan batin, atau hubungan perkawinan yang
kemudian melahirkan ikatan sedarah, terdapat pula nilai
kesepahaman, watak, kepribadian yang satu sama lain saling
mempengaruhi walaupun terdapat keragaman, menganut
ketentuan norma, adat, nilai, yang diyakini dalam membatasi
keluarga dan yang bukan keluarga. Keluarga merupakan unit
terkecil dalam struktur masyarakat yang dibangun di atas
perkawinan/pernikahan terdiri dari ayah/suami, ibu/istri, dan
anak.30

“Keluarga sebagai pranata sosial pertama dan utama, mempunyai arti


paling strategis dalam mengisi dan membekali nilai-nilai kehidupan yang
dibutuhkan anggotanya dalam mencari makna kehidupan.”31

29
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 471.
30
Mufidah Ch, Op.Cit., h. 38.
31
A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press,
2008), Cet. I, h. 203.
23

Sebagaimana yang ditulis Mufidah Ch, “bentuk-bentuk keluarga,


keluarga dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:” 32
1) Keluarga inti, yang terdiri dari bapak, ibu, dan anak-anak, atau hanya
ibu atau bapak atau nenek dan kakek.
2) Keluarga inti terbatas, yang terdiri ayah dan anak-anaknya, atau ibu
dan anak-anaknya.
3) Keluarga luas (exended family), yang cukup banyak ragamnya seperti
rumah tangga nenek yang hidup dengan cucu yang masih sekolah,
atau nenek dengan cucu yang telah kawin, sehingga istri dan anak-
anaknya hidup numpang juga.
Keluarga memiliki beberapa jenis, Robert R. Bell (1979)
mengatakan ada tiga jenis hubungan keluarga: 33
1) Kerabat dekat (conventional kin), kerabat dekat yang terdiri dari
individu yang terikat dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi,
dan atau perkawinan, seperti suami istri, orangtua, anak, dan antar
saudara (siblings).
2) Kerabat jauh (discretionari kin), kerabat jauh terdiri dari individu
yang terikat dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi atau
perkawinan, tetapi ikatan keluarganya lebih lemah daripada kerabat
dekat. Anggota kerabat jauh kadang-kadang tidak menyadari akan
adanya hubungan keluarga tersebut. Hubungan yang terjadi diantara
mereka biasanya karena kepentingan pribadi dan bukan karena
adanya kewajiban sebagai anggota keluarga. Biasanya mereka terdiri
atas paman, bibi, ponakan, dan sepupu.
3) Orang yang dianggap kerabat (fictive kin), seorang dianggap kerabat
karena adanya hubungan yang khusus, misalnya hubungan antar
teman akrab.

32
Mufidah Ch, Loc.Cit., h. 40. Lihat juga Atashendartini Habsjah, Jender dan Pola
Kekerabatan dalam TO Ihromi (ed), Bunga Ramapai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2004) h. 218.
33
Mufidah Ch, Ibid., h. 41. Liat juga Evelyn Suleema, Hubungan-hubungan dalam
Keluarga, dalam TO Ihromi (ed), Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2004), h. 91.
24

Dilihat dari fungsinya, menurut Djudju Sudjana (1990) fungsi


keluarga, secara sosiologis ada tujuh macam fungsi, yaitu:
1) Fungsi biologis, perkawinan dilakukan antara lain bertujuan agar
memperoleh keturunan, dapat memelihara kehormatan serta martabat
manusia sebagai makhluk yang berakal dan beradab. Fungsi biologis
inilah yang membedakan perkawinan manusia dengan binatang,
sebab fungsi ini diatur dalam suatu norma perkawinan yang diakui
bersama.
2) Fungsi edukatif, keluarga merupakan tempat pendidikan bagi semua
anggotanya dimana orangtua memiliki peran yang cukup penting
untuk membawa anak menuju kedewasaan jasmani dan ruhani dalam
dimensi kognisi, afektif maupun skill, dengan tujuan untuk
mengembangkan aspek mental spiritual, moral, intelektual, dan
profesional. Pendidikan keluarga Islam sebagaimana firman Allah
SWT., dalam Q.S. At-Tahrim[66]: 6 sebagai berikut:

‫سكُمۡ ََأٌَۡهِيكُمۡ وَاسً۬ا ََقُُدٌَُا‬


َ ُ‫يَـٰٓأَيُہَا ٱنَزِيهَ ءَامَىُُاْ قُُٓاْ أَوف‬
ُ‫ٱنىَاسُ ََٱنۡحِّجَاسَة‬
“Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu...” (Q.S. At-
Tahrim[66]: 6)

Fungsi edukatif ini merupakan bentuk penjagaan hak dasar


manusia dalam memelihara dan mengembangkan potensi akalnya.
Pendidikan keluarga sekarang ini pada umumnya telah mengikuti
pola keluarga demokratis dimana tidak dapat dipilah-pilah siapa
belajar kepada siapa. Peningkatan pendidikan generasi penerus
berdampak pada pergeseran relasi dan peran-peran anggota keluarga.
Karena itu bisa terjadi suami belajar kepada istri, bapak atau ibu
belajar kepada anaknya. Namun teladan baik dan tugas-tugas
pendidikan dalam keluarga tetap menjadi tanggungjawab kedua
orangtua.
25

3) Fungsi religius, keluarga merupakan tempat penanaman nilai moral


agama melalui moral agama melalui pemahaman, penyadaran dan
praktek dalam kehidupan sehari-hari sehingga tercipta iklim
keagamaan di dalamnya. Dalam Q.S. Al-Luqman: 13 mengisahkan
peran orangtua dalam keluarga menanamkan aqidah kepada anaknya
sebagaimana yang dilakukan Luqman al-Hakim terhadap anaknya.

“Dan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya,


diwaktu ia memberi pelajaran; hai ananda, janganlah kamu
mempersekutukan Allah sesungguhnya mempersekutukan
Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar.”(Q.S. Al-
Luqman [31]: 13).

Dengan demikian keluarga merupakan awal mula seorang mengenal


siapa dirinya dan siapa Tuhannya. Penanaman aqidah yang benar,
pembiasaan ibadah dengan disiplin, dan pembentukan kepribadian
sebagai seorang yang beriman sangat penting dalam mewarnai
terwujudnya masyarakat religius.
4) Fungsi Protektif, dimana keluarga menjadi tempat yang aman dari
gangguan internal maupun eksternal keluarga dan untuk menangkal
segala pengaruh negatif yang masuk di dalamnya. Gangguan internal
dapat terjadi dalam kaitannya dengan keragaman kepribadian anggota
keluarga, perbedaan pendapat dan kepentingan, dapat menjadi
pemicu lahirnya konflik bahkan juga kekerasan. Kekerasan dalam
keluarga biasanya tidak mudah dikenali karena berada di wilayah
privat, dan terdapat hambatan psikis dan sosial maupun norma
budaya dan agama untuk diungkap secara publik. Adapun gangguan
eksternal keluarga biasanya lebih mudah dikenali oleh masyarakat
karena berada pada wilayah publik. 34

34
Mufidah Ch, Ibid., h. 45-46.
26

5) Fungsi sosialisasi, adalah berkaitan dengan mempersiapkan anak


menjadi anggota masyarakat yang baik, maupun memegang norma-
norma kehidupan secara universal baik inter relasi dalam keluarga itu
sendiri maupun dalam menyikapi masyarakat yang pluralistik lintas
suku, bangsa, ras, golongan, agama, budaya, bahasa, maupun jenis
kelaminnya. Fungsi sosialisasi ini diharapkan anggota keluarga dapat
memposisikan diri sesuai dengan status dan struktur keluarga,
misalnya dalam konteks masyarakat Indonesia selalu memperhatikan
bagaimana anggota keluarga satu memanggil dan menempatkan
anggota keluarga lainnya agar posisi nasab tetap terjaga.
6) Fungsi rekreatif, bahwa keluarga merupakan tempat yang dapat
memberikan kesejukan dan melepas lelah dari seluruh aktifitas
masing-masing anggota keluarga. Fungsi rekreatif ini dapat
mewujudkan suasana keluarga yang menyenangkan, saling
menghargai, menghormati, dan menghibur masing-masing anggota
keluarga sehingga tercipta hubungan harmonis, damai, kasih sayang,
dan setiap anggota keluarga merasa “rumahku adalah surgaku”.
7) Fungsi ekonomis, yaitu keluarga merupakan kesatuan ekonomis
dimana keluarga memiliki aktifitas mencari nafkah, pembinaan
usaha, perencanaan anggaran, pengelolaan, dan bagaimana
memanfaatkan sumber-sumber penghasilan dengan baik,
mendistribusikan secara adil, dan proporsional serta dapat
mempertanggungjawabkan kekayaan dan harta bendanya secara
sosial maupun moral.
Ditinjau dari ketujuh fungsi keluarga tersebut, maka jelaslah
bahwa “keluarga memiliki fungsi vital dalam pembentukan individu.
Oleh karena itu keseluruhan fungsi tersebut harus terus menerus
dipelihara. Jika salah satu dari fungsi-fungsi tersebut tidak berjalan, maka
akan terjadi ketidakharmonisan dalam sistem keteraturan dalam
27

keluarga.”35 Terkait dengan pendidikan anak, keluarga sebagai kelompok


inti dari masyarakat dan sebagai lingkungan yang alami bagi
pertumbuhan dan kesejahteraan, khususnya bagi anak-anak. Melalui
keluargalah anak-anak dapat belajar segala hal yang baik untuk bekal
kehidupannya kelak.

b. Pendidikan Anak dalam Keluarga


Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, keluarga sekurang-
kurangnya terdiri atas ayah, ibu (orangtua), dan anak.
1) Pengertian orangtua
Orangtua dalam kamus bahasa Indonesia diartikan dengan: “1)
ayah dan ibu kandung, 2) orang yang dianggap tua (cerdik, pandai,
ahli, dan sebagainya), 3) orang yang disegani/dihormati
36
dikampung.” Orangtua merupakan sebutan yang umum digunakan
bagi bapak dan ibu oleh seorang anak. Sebutan bapak untuk orangtua
yang berjenis kelamin laki-laki dan ibu adalah untuk sebutan orangtua
yang berjenis kelamin perempuan.
Orangtua adalah yang pertama kali bertanggunng jawab penuh
untuk membesarkan anaknya hingga tumbuh menjadi besar dan
dewasa, dengan memberikan kasih sayang yang tulus baik berupa
moril maupun materil, karena adanya pertalian darah yang erat.
Dengan harapan kelak anaknya tumbuh menjadi anak yang cerdas,
berguna bagi keluarga, agama, bangsa, dan negara.
Orangtua dalam hal ini yaitu ayah dan ibu memiliki kedudukan
masing-masing. Dimana ayah sebagai kepala keluarga dan ibu sebagai
ibu rumah tangga. Namun pada hakekatnya mempunyai tugas dan
tanggung jawab yang sama dalam memelihara, membina, mendidik,
dan mematuhi kebutuhan anak-anaknya.

35
Mufidah Ch, Ibid., h. 42-47. Lihat juga Djudju Sudjana, dalam Jalaludin Rahmat,
(ed), Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern, (Bandung: Remaja Rosyda Karya, 1990).
36
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h. 709.
28

“Islam menegaskan bahwa ayah adalah pemimpin


keluarga. Tugas pemimpin keluarga adalah memberi dan
mengatur ke mana arah biduk rumah tangga ini akan dituju.
Dalam pendidikan anak, ayah menempati posisi yang cukup
penting. Penelitian di dunia psikologi modern menunjukan
bahwa ternyata pola pengasuhan ayah memiliki peran yang
sangat penting dalam membentuk kepercayaan diri dan
kecerdasan anak di masa yang kan datang. Menutrut Erik H.
Erikson, seorang tokoh psikologi perkembangan anak, pada
masa awal kehidupannya, bayi memerlukan kepercayaan dasar
(basic trust). Kehangatan dan kasih sayang yang diperoleh
bayi pada saat ini akan membentuk kepercayaan anak terhadap
lingkungannya, apakah ia akan percaya”atau tidak dengan
orang-orang di sekitarnya.”37

Peran dan kasih sayang orangtua tidak pernah mengenal batas


sampai kapanpun, orangtua adalah pendidik yang pertama bagi anak
dilingkungan keluarga. Pengorbanan seorang ibu tidak mungkin
tergantikan dengan uang sebanyak apapun. Kesulitan semasa hamil,
kesakitan melahirkan, serta kesabaran tatkala mengasuh, merawat, dan
mendidik anak, semuanya dilakukan dengan penuh ketulusan tanpa
mengharap suatu pamrih atau imbalan. Tidak ada keluh kesah dan
penyesalan di hatinya. Seperti kata pepatah “Kasih Ibu sepanjang
masa hanya memberi tak harap kembali”. Dari pepatah tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa kasih sayang Sang Ibu terhadap anak-
anaknya dilakukan dengan tulus murni dan ikhlas tanpa
mengharapkan imbalan apapun dari anaknya, walaupun pada saat
melahirkan nyawa menjadi taruhannya.
Ibu merupakan “madrasah pertama” bagi anaknya, dan tak ayal
lagi ibu menjadi sosok yang sangat dicintai dan dihormati. Dari ibu
seorang anak belajar memupuk mimpi tentang masa depan dan
berlatih menghadapi kerasnya kehidupan. Seorang ibu memiliki
kedudukan yang mulia dan berpengaruh besar terhadap perkembangan
anak.

37
Wendi Zarman, Ternyata Mendidik Anak Cara Rasulullah itu Mudah dan lebih
Efektif, (Bandung: Ruang Kata, 2011), Cet. I, h. 8-10.
29

Begitu pula seorang ayah sebagai orangtua kandung laki-laki


dan sekaligus sebagai kepala keluarga pasti juga menginginkan yang
terbaik bagi anak-anaknya, karena ayah merupakan sosok manusia
yang sangat diandalkan dalam keluarga. Dalam hal ini Ngalim
Purwanto menyatakan, bahwa “peran ayah dalam pendidikan anaknya
yang lebih dominan sebagai berikut”:38
a) Sumber kekuasaan di dalam keluarga
b) Penghubung intern keluarga dengan masyarakat atau dunia luar
c) Pemberi perasaan aman bagi seluruh anggota keluarga
d) Pelindung terhadap ancaman dari luar
e) Hakim atau yang mengadili jika terjadi perselisihan
f) Pendidik dalam segi rasional.
2) Tugas dan tanggung jawab orangtua
Orangtua adalah orang dewasa yang memikul tanggung jawab
dalam pendidikan sehingga orangtua yang selalu memperhatikan
terhadap pendidikan anaknya pasti ia akan menanamkan pendidikan
yang mengarah pada intelegensi juga pendidikan agama (moral).
Adalah pendidikan akal yang harus diberikan orangtua terhadap anak
yang tujuannya untuk meningkatkan kualitas pengetahuan dirinya.
Setiap orangtua ingin memberi pelajaran dan pendidikan menurut
moral yang dianutnya, agar keturunannya memperoleh kehidupan
yang lebih baik. Karena moral itulah yang akan membentuk tingkah
laku dalam kehidupannya serta dapat memperoleh kebahagiaan dalam
kehidupan dunia dan akhirat.
Orangtua amat besar dalam mendidik anak dengan pendidikan
jasmani, intelektual, dan mental spiritual, baik melalui teladan yang
baik atau pengajaran (nasihat-nasihat), sehingga kelak ia dapat
memetik tradisi-tradisi yanng benar dan pijakkan moral sempurna.

38
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teorits dan Praktis, (Bandung: PT Remaja
Rosda Karya, 1991), h. 91-92.
30

Orangtua bertanggung jawab atas kelangsungan hidup dan


perkemangan anak, dengan dasar bahwa anak adalah titipan yang
dipercayakan Allah SWT., untuk dipelihara dan harus
dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Jadi tugas dan
tanggung jawab orangtua dalam mendidik dan memberikan dukungan
motivasi, fasilitas, dan perilaku yang baik agar tertanam dalam diri
seorang anak pendidikan yang mengarah kepada intelegensi dan
pendidikan agama (moral).
Menjadi orangtua berarti siap menjadi seorang pendidik, dan
siap dengan pengetahuan untuk mendidik. Mendidik berarti
membimbing anak kearah kedewasaan, untuk itu diri orangtua sendiri
harus telah dewasa, dan harus menyadari akan tanggungjawabnya
sebagai pendidik bagi anaknya.
3) Sikap dan gaya orangtua dari perspektif psikologi
Sangatlah penting bahwa orangtua atau pendidik menyadari ciri-ciri
anak didik manakah yang perlu dipupuk untuk menumbuhkan pribadi-
pribadi yang kreatif. Biasanya pendidik atau orangtua kurang
menyadari dampak dari sikap mereka terhadap perkembangan
kepribadian anak.
Beberapa contoh sikap pendidik yang kurang menunjang
kreatifitas anak adalah:
a) Sikap terlalu khawatir atau takut-takut, sehingga anak terlalu
dibatasi dalam kegiatan.
b) Sikap terlalu mengawasi anak.
c) Sikap yang menekankan pada kebersihan dan keteraturan yang
berlebihan.
d) Sikap menuntut kepatuhan mutlak dari anak tanpa memandang
perlu mempertimbangkan alasan-alasan anak.
e) Sikap yang lebih tahu dan sikap yang lebih benar.
f) Sikap yang menganggap bahwa berkhayal itu tidak baik, tidak
berguna karena membuang-buang waktu.
31

g) Sikap mengkritik prilaku dan pekerjaan anak.


h) Sikap yang jarang memberi pujian atau penghargaan terhadap
usaha untuk karya anak.
Adapun Santrock, “seorang psikolog pendidikan Universitas
Texas mengemukakan ada empat gaya pengasuhan orangtua yang bisa
berdampak positif dan negatif terhadap anak.”39 Gaya pengasuhan
tersebut adalah:
a) Gaya otoriter (Outoritative Parenting)
b) Gaya berwibawa (Authoritarian Parenting)
c) Gaya acuh-tak acuh (Neglectful Parenting), dan
d) Gaya pemanja (Indulguent Parenting).
Orangtua dengan gaya otoriter (Outoritative Parenting) akan
mendesak anak-anaknya untuk mengikuti petunjuk-petunjuk dan
menghormati mereka. Untuk itu, mereka tidak segan-segan
menghukum anak secara fisik. Orangtua memberi batasan-batasan
pada anak-anaknya secara keras mengontrol mereka dengan ketat.
Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga seperti ini mengalami
banyak masalah psikologis yang dapat menghambat mereka untuk
belajar. Di rumah mereka cenderung cemas dan merasa tidak aman. Di
sekolah, mereka juga tidak bisa bersosialisasi dengan baik. Dengan
demikian mengalami banyak kesulitan dalam bergaul dengan teman-
temannya. Mereka memiliki keterampilan berkomunikasi yang sangat
rendah sehingga menimbulkan banyak hambatan psikologis.
Orangtua dengan gaya berwibawa (Authoritarian Parenting)
akan mendorong anak-anaknya untuk hidup mandiri. Ketika
dibutuhkan mereka memberi pengarahan dan dukungan. Bila anak-
anaknya membuat kesalahan, orangtua mungkin menaruh tangan di
pundak anaknya dan dengan menghibur berkata “kamu tahu, harusnya
kamu tidak melakukan hal itu. Mari kita bicarakan bagaimana kamu

39
Monty P, Satia darma, dan Fidelis F. Waruwu, Mendidik Kecerdasan, (Jakarta:
Pustaka Populer Obor, 2003), h. 123-125.
32

bisa mengatasi situasi ini lain kali”. Dengan demikian, anak-anak


sudah diajarkan bagaimana mengatasi masalah mereka sendiri. Anak-
anak mengembangkan kemampuan bersosialisasi, percaya diri, dan
mampu bekerja sama dengan orang lain. Kesulitan-kesulitan yang
mereka alami tidak menjadi beban psikologis yang menghambat
mereka untuk belajar.
Orangtua dengan gaya acuh-tak acuh (Neglectful Parenting)
akan cenderung bersikap permisif, membolehkan anaknya melakukan
apa saja. Biasanya, orangtua tidak terlalu terlibat dalam kehidupan
anaknya. Anak-anaknya disini mengalami kekurangan kasih sayang
dan kurang mendapat “perhatian” yang sangat mereka butuhkan.
Anak-anak seperti ini tidak mampu bersosialisasi dan memiliki
kontrol diri yang sangat rendah. Tidak ada kontrol diri ini
mengakibatkan banyak masalah psikologis yang mereka hadapi dan
mengganggu konsentrasi belajar mereka baik di rumah maupun di
sekolah. Selain itu, anak-anak biasanya tidak memiliki motivasi untuk
belajar apalagi berprestasi.
Orangtua dengan gaya pemanja (Indulguent Parenting),
hampir setiap orangtua dengan gaya pemanja, akan terlalu terlibat
dalam urusan anak-anaknya dengan memberikan semua yang diminta
oleh anaknya. Orangtua juga sering memberikan anak-anaknya
melakukan apa yang mereka inginkan dan mendapatkan dengan cara
mereka apa yang mereka maui. Hasilnya, anak-anak dalam keluarga
ini biasanya tidak belajar untuk mengontrol diri atas tingkah lakunya
dan menemui banyak kesulitan psikologis karena ketidak mandirian
mereka atau karena ketergantungan mereka pada orang lain.
“Prof. Dr Singgih D Guna dan Dra. Singgih Gunarsa
mengemukakan bahwa corak hubungan orangtua-anak dapat
dibedakan menjadi tiga pola, yaitu:” 40

40
Singgih D Gunarsa dan Ny. Singgih D Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak
dan Remaja, (Jakarta: Gunung Mulia, 1995), Cet. VII, h. 82-84.
33

a) Pola Asuh Otoriter


Pola ini menentukan aturan-aturan dan batasan-batasan yang
mutlak harus ditaati oleh anak. Anak harus patuh dan tunduk dan
tidak ada pilihan lain yang sesuai dengan kemauan atau
pendapatnya sendiri. Cirinya : orangtua menentukan apa yang
perlu diperbuat anak tanpa memberikan penjelasan dan alasannya,
apabila anak melanggar ketentuan yang telah digariskan, anak
tidak diberi kesempatan untuk memberikan alasan sebelum
hukuman diterima, pada umumnya hukuman berbentuk hukuman
fisik, orangtua tidak atau jarang memberi hadiah baik berupa
kata-kata atau bentuk lain apabila anak berbuat sesuai dengan
harapan orang tua.
b) Pola Asuh Demokratis
Pola ini memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun
kebebasan yang tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh
pengertian antara kedua belah pihak, anak dan orangtua. Cirinya:
apabila anak harus melakukan aktifitas, orangtua memberikan
penjelasan alasan perlunya hal tersebut dilaksanakan, anak diberi
kesempatan untuk memberi alasan mengapa ketentuan dilanggar
sebelum menerima hukuman, hukuman diberikan berkaitan
dengan perbuatannya berat atau ringan tergantung pada
pelanggarannya, serta hadiah atau pujian diberikan orangtua.
c) Pola Asuh Bebas (Permisif)
Pola ini mengarahkan orangtua membiarkan anak mencari dan
menemukan sendiri tata cara yang yang memberi batasan-batasan
dari tingkah lakunya. Hanya pada hal-hal yang dianggapnya
sudah “keterlaluan” orangtua baru bertindak. Cirinya: tidak ada
aturan yang diberikan orangtua, tidak ada hukuman, dan ada
anggapan bahwa anak akan belajar dari tindakannya yang salah.
34

3. Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga


Keluarga adalah kelompok manusia pertama yang ditemui setiap anak
yang baru dilahirkan. Keluarga juga merupakan media pertama dan satu-
satunya selama beberapa tahun yang mentransformasikan nilai-nilai, baik
secara sengaja ataupun tidak sengaja, yang sangat berpengaruh dalam
kehidupan anak selanjutnya. “Hal ini akan tampak jelas ketika anak itu
kemudian dewasa, anak-anak yang mendapat pengasuhan baik dan
memperoleh pendidikan cukup dalam keluarga akan berbeda dengan anak-
anak yang pengasuhannya dalam keluarga tidak baik dan tidak memperoleh
dasar pendidikan yang cukup”.41 Ada beberapa hal penting yang perlu
ditanamkan oleh keluarga muslim kepada anak-anaknya, diantaranya sebagai
berikut:
a. Adab kepada Allah
Adab kepada Allah yang paling utama adalah mengesakan Allah
(Tauhidullah). Ini merupakan prinsip yang paling utama di dalam Islam
karena semua nilai di dalam Islam dibangun atas prinsip ini. Ini pulalah
yang menjadi misi utama para Nabi dan Rasul yang diutus Allah ke
bumi. Meskipun Nabi dan Rasul diutus dengan syariat yang berbeda-
berbeda, namun mereka disatukan oleh misi ini.
Dalam mengajarkan tauhidullah ini, hal pertama yang perlu
ditanamkann kepada anak adalah bahwa Allah itu ada, dan Dia tunggal.
Hanya ada satu Tuhan, tidak ada Tuhan selain Allah. Ia mencipta,
memelihara, dan memiliki segala sesuatu. Ia tidak punya dan tidak
memerlukan apapun dalam mengerjakan semua ini. Semua makhluk
bergantung kepada-Nya. Tidak pula ada yang serupa dengan-Nya. Ia
mengetahui segala yang ada di langit dan bumi dengan serinci-rincinya,
serta Ia tidak hanya mengetahui segala yang nampak, tetapi juga segala
sesuatu yang tersembunyi.

41
Muchlis M. Hanafi, Tafsir Al-Qur’an Tematik; Pembangunan Generasi
Muda,(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2011 ), h. 129.
35

Keberadaan Allah dapat dikenali melalui berbagai ciptaan-Nya,


baik yang ada di langit dan di bumi. Itu merupakan salah satu hikmah
Allah menciptakan alam semesta ini, yaitu sebagai sarana bagi manusia
untuk mengenal-Nya. “Untuk menanamkan keyakinan Allah itu ada,
maka ajaklah anak-anak untuk memikirkan berbagai ciptaan Allah yang
dikenalnya. Seperti dengan menyelami keindahan yang ada di alam
semesta, seperti matahari, bintang, bulan, bumi, gunung, laut, daratan,
pepohonan, hewan-hewan, dan termasuk dirinya sendiri.”42
b. Adab kepada Rasulullah
Rasulullah adalah orang yang paling mulia dikalangan manusia.
Ia dimuliakan oleh Allah dan seluruh malaikat, serta orang-orang yang
beriman. Maka adab kepada Rasulullah adalah dengan cara memuliakan
dan menghormati beliau. “Anak-anak hendaknya sejak awal
diperkenalkan kepada kepribadian Rasulullah yang mulia sehingga
menimbulkan rasa kagum bagi anak-anak. Pengenalan ini termasuk
kebiasaan-kebiasaannya, tutur katanya, tingkahlakunya, nasehat-
nasehatnya, para keluarganya, para sahabatnya, dan lain-lain.”43
c. Adab kepada Orangtua
Orangtua hendaknya mengajarkan tentang pentingnya untuk
berbuat baik kepada orangtua, dengan bersikap hormat, patuh, berbakti
dan selalu berkata dengan perkataan dan cara yang baik.
d. Adab kepada Diri Sendiri
Orangtua hendaknya mengajarkan anak tentang hakikat diri sang
anak sebagai manusia. Anak perlu diarahkan dan dituntun untuk
mengenali hal apa saja yang baik dan apa yang buruk bagi dirinya. Hal
ini agar cenderung kepada hal-hal yang baik dan menghindari yang
buruk. Seperti kata semboyan “Jika kamu mengenal dirimu, maka kamu
akan mengenal Tuhanmu”.

42
Wendi Zarman, Op.Cit., h. 85.
43
Wendi Zarman, Ibid., h. 89.
36

e. Adab kepada Orang Lain


Dalam kehidupan, manusia merupakan makhluk sosial yang pasti
dan akan selalu berinterkasi satu sama lain. Karenanya manusia akan
membutuhkan pertolongan dan bantuan orang lain dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam interaksi ini, anak-anak harus diajarkan mengenai
kedudukan dirinya terhadap orang lain. Setiap orang yang berintraksi
dengan sang anak memiliki kedukukan yang berbeda-beda sehingga adab
kepada masing-masing orang pun berbeda. Perbedaan ini dapat timbul
misalnya, ketakwaan, keilmuan, dan usia, serta dapat juga timbul dari
peran seseorang di masyarakat.
Pengetahuan terhadap kedudukan ini memberikan pemahaman
kepada anak mengenai adab-adab bergaul dengan orang lain. Ada
beberapa adab yang perlu diajarkan kepada anak dalam bersikap kepada
orang lain. Orang lain yang dimaksud dibatasi pada orang-orang yang
paling sering berinteraksi dengan anak, yaitu orangtua, saudara, guru, dan
teman. Secara umum, seorang anak harus diajarkan untuk selalu bersikap
ramah kepada siapapun. Anak juga perlu menunjukkan sifat sederhana,
rendah hati, dan tidak semena-semena terhadap siapapun.
f. Adab kepada Alam
Alam ini adalah amanah Allah, dan setiap amanah harus dijaga
sebagaimana keinginan Pemberi Amanah. Manusia tidak bisa bertindak
semaunya dalam memperlakukan alam. Oleh karena inu anak-anak harus
dididik untuk senantiasa menjaga kelestarian alam dengan cara tidak
merusaknya, memperlakukan semena-mena, tidak digunakan secara
berlebihan, tidak digunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, tidak
boleh digunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan syariat.
g. Adab kepada Ilmu
Anak-anak harus ditanamkan mengenai keutamaan ilmu, sehingga
tumbuh kecintaannya terhadap ilmu dan keinginan untuk mendalaminya.
Menuntut ilmu hendaknya menjadi prioritas anak yang harus diupayakan
37

semaksimal mungkin, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Ini


merupakan adab pertama terhadap ilmu.
4. Konsep Mendidik Anak Tanpa Kekerasan
a. Pengertian Kekerasan
Menunurut Heddy Shri Ahimsa Putra dalam buku Endang
Sumiarni, secara umum kekerasan diartikan sebagai perilaku yang dapat
menyebabkan keadaan perasaan atau badan menjadi tidak nyaman.
Perasaan tidak nyaman ini dapat berupa kekhawatiran, ketakutan,
kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan. Keadaan fisik
tidak nyaman dapat berupa lecet, luka, memar, patah tulang, dan
sebagainya.44 Dengan demikian kekerasan dapat dikelompokkan dalam
kategori kekerasan fisik, mental, dan seksual.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UUPKDRT)
secara lebih rinci menjelaskan pengertian-pengertian tentang kekerasan
fisik, psikis, dan seksual. Menurut ketentuan pasal 6 Undang-Undang
tersebut, “kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit, atau luka berat.” Kemudian mengenai kekerasan psikis,
di dalam pasal 7 Undang-Undang Tersebut dikatakan bahwa “Kekerasan
psikis adalah adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang”. Selanjutrnya,
mengenai kekerasan seksual, pasal 8 ayat (a) dan (b) UUPKDRT
menggariskan bahwa kekerasan seksual meliputi: pemaksaan hubungan
seksual seseorang untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Melihat pengertian-pengertian di atas maka kekerasan dapat diartikan
bukan semata-mata kekerasan fisik tetapi juga kekerasan mental dan
sosial.

44
Endang Sumiarni, Pendekatan Hukum pada Penanganan Kekerasan dan
Penelantaran Anak, (Yogyakarta: UGM Dr Sardjito, 2002)
38

b. Bentuk-bentuk kekerasan
Berdasarkan data yang direkam dari berbagai lembaga
pendampingan kekerasan dalam keluarga (rumah tangga) dan kasus yang
ditangani kepolisian, bentuk kekerasan yang terjadi adalah:
1) Kekerasan fisik, merupakan bentuk kekerasan dimana korban
mengalami penderitaan yang secara fisik baik dalam bentuk ringan
maupun berat. Kekerasan fisik dalam bentuk ringan misalnya
mencubit, menjambak, memukul dengan pukulan yang tidak
menyebabkan cidera, dan sejenisnya. Sebagaimana disebutkan pada
pasal 6 bahwa kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 5
huruf a adalah “perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh saki,
atau luka berat.”45 Kekerasan fisik kategori berat misalnya memukul
hingga cidera, menganiaya, melukai, membunuh, dan sejenisnya.
Kekerasan fisik dengan bekas yang dapat dilihat dengan kasat mata
biasanya mudah diproses melalui hukum, karena terdapat bukti
materiil yang digunakan sebagai alasan.
2) Kekerasan seksual, adalah kekerasan yang dapat berbentuk pelecehan
seksual seperti ucapan simbol, dan sikap yang mengarah pada porno,
perbuatan cabul, perkosaan, dan sejenisnya. Kekerasan seksual
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 huruf c meliputi: 1)
“pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkungan rumah tangga tersebut; 2) pemaksaan
hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkungan rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan
tertentu.”46
3) Kekerasan psikis, adalah bentuk kekerasan yang tidak tampak bukti
yang dapat dilihat secara kasat mata. Kekerasan psikis sering
menimbulkan dampak yang lebih lama, lebih dalam, dan memerlukan
rehabilitasi secara intensif. Bentuk kekerasan psikis antara lain

45
UU RI Penghapusan Kekerasan dalam rumah Tangga Nomor 23 tahun 2004
46
UU RI Penghapusan Kekerasan dalam rumah Tangga Nomor 23 tahun 2004
39

berupa ungkapan verbal, sikap atau tindakan yang tidak


menyenangkan yang menyebabkan seorang korbannya merasa
tertekan, ketakutan, merasa bersalah, depresi, trauma, kehilangan
masa depan, bahkan ingin bunuh diri. Pada pasal 7 kekerasan psikis
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 huruf b adalah “perbuatan
yang mengakibatkan ketakutan, kehilangan percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan penderitaan
psikis berat pada seseorang.”47
4) Kekerasan ekonomi/penelantaran ekonomi, kekerasan ini pada
umumnya berbentuk tidak menjalankan tanggungjawabnya dalam
memberikan nafkah dan hak-hak lainnya, terhadap istri, anak, atau
anggota keluarga lainnya dalam lingkup rumah tangga. Pasal 9 (1)
setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
c. Faktor-faktor Penyebab Pendidikan dalam Keluarga dengan
Kekerasan
Ada beberapa faktor yang melatar belakangi mengapa orangtua
lebih mengedepankan kekerasan dalam pendidikan di keluarga. Mengutip
tulisan Asadulloh Al-Faruq dalam bukunya “Ibu Galak Kasihan Anak”
diantaranya yaitu:
1) Latar belakang pendidikan dan pengalaman orangtua
Ada kemungkinan kurangnya pengetahuan orangtua dalam
mendidik anak dan karena masa lalunya. Mungkin dulu orangtua
mendidiknya dengan gaya yang otoriter dan selalu menuntut
anaknya untuk menjadi sebagaimana yang diinginkannya. Dari sikap
tersebut, sadar atau tidak sadar, suka atau tidak, sikap karakter
orangtua tersebut menurun kepada anaknya.
2) Buah kasih sayang yang berlebihan

47
UU RI Penghapusan Kekerasan dalam rumah Tangga Nomor 23 tahun 2004
40

Kasih sayang merupakan pola hubungan yang unik antara dua orang
atau lebih. Kasih sayang yang berlebihan dari para orangtua kepada
anak merupakan hal yang dapat berdampak negatif bagi anak. Anak
yang dibesarkan dalam asuhan kasih sayang yang berlebihan dapat
menjadi anak yang rentan masalah, kehilangan kepercayaan diri,
tidak berani mengambil resiko, tidak mau melakukan pekerjaan-
pekerjaan yang penting dan selalu mengharapkan uluran tangan
orang lain.
3) Menganggap pendidikan gaya keras lebih efektif
Setiap orangtua memiliki gaya yang berbeda-beda ketika
berkomunikasi dan berinteraksi dengan anaknya. Model pendidikan
yang belainan dan dipengaruhi oleh latar belakang serta lingkungan
masing-masing. Salah satu yang menjadi pilihan bagi orangtua
adalah pendidikan dengan gaya keras dan otoriter, cenderung
memaksa serta mudah memberikan hukuman. Pendidikan semacam
ini pada akhirnya akan melahirkan orangtua yang berkarakter keras,
meskipun ada kelebihan dan kekurangan di dalamnya.
4) Adanya tuntutan berlebihan pada anak atau harapan (espektasi) yang
berlebih pada anak
Faktor berikutnya yang dapat menjadikan orangtua memiliki
karakter keras dalam mendidik adalah harapan (espektasi) yang
berlebihan kepada anak. Orangtua sering kali tidak menyadari
manakala melampiaskan obsesi terpendamnya kepada anak, atau
keinginan orangtua untuk menjadikan anaknya seperti yang ia
kehendaki tanpa memperdulikan kemauan dan keinginan anak
merupakan pemicu paling umum terjadinya stres pada anak.
5) Suka membanding-bandingkan dengan orang lain
Tipe pendidikan gaya keras atau otoriter orangtua disebabkan keirian
orangtua kepada orang lain. Orangtua berharap anaknya bisa seperti
orang lain yang sukses. Orangtua yang demikian sering
membanding-bandingkan anaknya dengan orang lain. Kemudian
41

orangtua melanjutkannya dengan memberikan tuntutan agar si anak


bisa seperti orang yang dibandingkannya.
6) Pelampiasan dari beban hidupnya
Orangtua adalah manusia biasa yang menjalani hidupnya dengan
berbagai macam skenario yang tak luput dari sekian banyak masalah.
Serentetan keadaan yang berbeda-beda setiap harinya harus
dihadapi. Terkadang permasalahan itu datang dalam jumlah yang
banyak secara bersamaan dan tiba-tiba. Di saat kondisi seperti itu,
emosi menjadi labil dan sering tidak terkontrol. Hal yang sepele
dijadikan sebagai faktor pemicu baginya untuk marah-marah kepada
orang lain yang ada di sekitarnya, termasuk anak.
Dari beberapa faktor diatas penulis menyimpulkan bahwa yang
menjadi penyebab orangtua mengedepankan kekerasan dalam
penyampaian pendidikan kepada anak dibagi menjadi lima garis besar,
yaitu latar belakang pendidikan dan pengalaman orangtua, aplikasi dari
rasa kasih sayang yang berlebihan, adanya espektasi atau harapan yang
berlebihan kepada anak, dan pelampiasan dari beban hidup. Belajar dari
itu semua hendaknya khususnya penulis sendiri, umumnya orangtua,
calon orangtua, pendidik, atau calon pendidik yang mengemban
kewajiban mendidik anak hendaknya mencoba menata masa depannya
untuk memulai perubahan ke arah yang positif.

B. Pandangan Islam Terhadap Kekerasan dalam Keluarga


Islam merupakan agama rahmatan lil alamin yang ramah pada
siapapun, melindungi, menyelamatkan, dan memberikan penghargaan pada
semua manusia tanpa kecuali, dari beragam suku, warna kulit, perbedaan
kelas sosial ekonomi, hingga laki-laki dan prempuan. Kekerasan dalam
rumah tangga yang tidak mengindahkan nilai-nilai luhur Islam ini seringkali
digunakan sebagai alat untuk menjatuhkan Islam karena Islam dianggap
sebagai agama yang melegitimasi kekerasan. Sebagai umat Islam yang
konsekuen dan bertanggungjawab dalam mengamalkan nilai-nilai Islam
42

dengan benar, maka implementasi keagamaannya juga diharapkan bisa


memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak dari segala
tindak kekerasan.
“Dari Jabir bin Abdullah telah diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW.,
bersabda takutlah kalian semua terhadap kedzaliman karena
sesungguhnya kedzaliman itu membawa kesengsaraan di hari
kiamat”48
Islam menghendaki seseorang tidak boleh melakukan kekerasan
kepada siapapun (menjadi pelaku), dan memerintahkan untuk tidak menjadi
korban. Karena itu pelaku kekerasan harus ditindak tegas, demikian pula
perlindungan terhadap korban kekerasan harus dilakukan sebagai bentuk
keberkiprahan kepada perempuan atau anak korban kekerasan untuk pulih
dan bisa hidup normal.

C. Hasil Penelitian yang Relevan


1. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan “Hubungan Pola Asuh Orangtua
dengan Agresivitas Remaja”
Berdasarkan analisis data dengan metode korelasi seperti yang
terdapat dalam jurnal Pendidikan dan Kebudayaan “Hubungan Pola Asuh
Orangtua dengan Agresivitas Remaja” karya Tarsis Tarmudji disimpulkan
bahwa “setiap pola asuh memberi kontribusi terhadap perilaku agresif.
Kontribusi yang diberikan dapat negatif maupun positif. Oleh karena itu, pada
masing-masing tipe pola asuh terdapat sisi kelemahan dan sisi
49
kekuatannya.” Berkaitan dengan temuan ini maka orangtua harus semakin
menyadari posisinya dan menerapkan pola asuh yang paling sedikit atau
bahkan tidak merangsang potensi agresif pada anak-anak asuhannya.
“Disadari bahwa hampir tidak ada orangtua yang mempraktikkan pola asuh
secara murni pada salah satu tipe. Kecenderungan-kecenderungan pada tipe
pola asuh tertentu nampaknya lebih banyak digunakan oleh orangtua. Atau

48
Abu Husain al-Qusyairi Al Naisaburi, Shahih Muslim Juz 4, (Beirut, Dar Fikr,
TT), h. 1996.
49
Tarsis Tarmudji, Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Agresifitas Remaja,
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 2002, h. 504-518.
43

bahkan orangtua mempraktikkan pola asuh secara elektik.”50 Artinya


melakukan pengasuhan kepada anaknya secara situsional. Namun
berdasarkan penelitian tersebut disarankan agar orangtua lebih dominan
menggunakan pola asuh demokratis (PAD). PAD terbukti memberi kontribusi
negatif bagi munculnya agresifitas.

2. Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial “Pengaruh Sikap


Orangtua terhadap Tingkat Kenakalan Anak”
Melalui media informasi penelitian kesejahteraan sosial, volume 33
nomor 3 September 2009 yang ditulis oleh Siti Wahyu Iryani “Pengaruh
Sikap Orangtua terhadap Tingkat Kenakalan Anak” bahwa hasil penelitian
menunjukkan “adanya pengaruh sikap orangtua terhadap tingkat kenakalan
anak, dimana sikap orangtua yang otoriter dan permisif menyumbangkan
paling besar terjadinya tingkat kenakalan anak. Sedangkan sikap orangtua
yang demokratis dapat mencegah terjadinya kenakalan anak.”51
3. Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial “Relevansi Keluarga
Harmonis terhadap Kenakalan Remaja”
Masih dari tulisan Siti Wahyu Iryani dalam media informasi penelitian
kesejahteraan sosial, volume 35 nomor 4 Desember 2011 “Relevansi
Keluarga Harmonis terhadap Kenakalan Remaja”. “Hasil penelitian
menunjukkan, bahwa terdapat relevansi antara keluarga yang harmonis dalam
mereduksi kenakalan remaja. Semakin harmonis peran orangtua terhadap
anak, maka semakin kecil kecenderungan anak remaja melakukan tindak
kenakalan, demikian juga sebaliknya.”52

50
Tarsis Tarmudji, Ibid., h. 504-518.
51
Siti Wahyu Iryani, Pengaruh Sikap Orangtua terhadap Tingkat Kenakalan Anak,
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, (Yogyakarta: Badan Pendidikan dan
Penelitian Kesejahteraan Sosial, September 2009), Vol. 33 nomor 3, h. 288.
52
Siti Wahyu Iryani, Relevansi Keluarga Harmonis terhadap Kenakalan Remaja,
Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, (Yogyakarta: Badan Pendidikan dan Penelitian
Kesejahteraan Sosial, Desember 2011), Vol. 35 nomor 4, h. 314.
44

4. Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial “Pengkajian Tindak Kekerasan


dan Penelantaran Anak ditinjau dari Aspek Kesejahteraan Sosial,
Psikologi, dan Hukum”
Dalam jurnal penelitian kesejahteraan sosial volume IV nomor 1,
Maret 2005, yang ditulis oleh Eny Hikmawati “Pengkajian tindak Kekerasan
dan Penelantaran Anak ditinjau dari Aspek Kesejahteraan Sosial, Psikologi,
dan Hukum” pengkajian tersebut menyimpulkan bahwa tindak kekerasan dan
penelantaran terhadap anak merupakan tindakan yang dapat mengakibatkan
trauma psikologis yang berpengaruh pada tumbuh kembang anak yang
mengakibatkan anak mengalami permasalahan kesejahteraan sosial. Selain
itu, secara yuridis tindakan kekerasan dan penelantaran terhadap anak
merupakan tindakan melawan hukum sehingga pelakunya dapat dijatuhi
pidana.
Penulis menyimpulkan dari penelitian yang ditemukan, pola asuh
orangtua terhadap anak akan selalu memberikan kontribusi sikap dan perilaku
anak. Kontribusi yang dihasilkan dapat berupa perbuatan negatif atau positif.
Maka orangtua atau pendidik harus semakin menyadari posisinya dan
menerapkan pola asuh yang paling sedikit atau bahkan tidak merangsang
potensi negatif terhadap anak asuh atau anak didiknya. Tidak ada orangtua
yang menerapkan pola asuh secara murni pada satu tipe melainkan
kecenderungan pada tipe-tipe pola asuh tertentu nampaknya lebih banyak
digunakan atau mempraktikakannya secara elektik (secara situsional).
Penulis menyimpulkan dari penelitian yang ditemukan, pola asuh
orang tua terhadap anakakan selalu memberikan kontribusi pada sikap dan
perilaku anak. Kontribusi yang diberikan dapat berupa perbuatan negatif atau
positif. Maka orangtua atau pendidik harus semakin menyadari posisinya dan
menerapkan pola asuh yang paling sedikit bahkan tidak merangsang potensi
negatif terhadap anak asuhnya atau anak didiknya. Dari penelitian yang ada
tidak ditemukan orangtua yang meggunakan atau mempraktikkan pola asuh
secara murni pada satu tipe melainkansebuah kecenderungan pada tipe-tipe
pola asuh tertentu atau mempraktikkannya secara elektik (secara situsional).
45

Dari keempat penelitian di atas disimpulkan bahwa pola asuh


demokratis terbukti memberi kontribusi negatif bagi munculnya agresifitas
dan kenakalan anak. Keharmonisan peran orangtua terhadap anakpun menjadi
hal yang turut membantu untuk mengurangi kenakalan anak. Sebaliknya
sikap kekerasan dan penelantaran anak justru akan mengakibatkan trauma
psikologis yang berpengaruh pada tumbuh kembang anak.
Perbedaan skripsi yang akan digarap dengan penelelitian yang sudah
ada di atas adalah dari segi metode yaitu metode yang akan digunakan yaitu
metode kepustakaan (Library Research) yang mana akan lebih berfokus pada
buku-buku yang berkaitan dengan pendidikan anak tanpa kekerasan, dan
hasilnya akan lebih kepada penyelesaian masalah bagaimana cara mendidik
anak dalam keluarga tanpa menggunakan kekerasan, melaikan dengan
mengutamakan kasih sayang dalam penyampaiannya.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Objek dan Waktu Penelitian


Dalam penelitian ini yang menjadi objek adalah konsep pendidikan
anak dalam keluarga tanpa mengedepankan kekerasan, dengan perincian
sebagai berikut:
No. Kegiatan Waktu Pelaksanaan
1. Mencari informasi yang Mei-Agustus 2012
relevan
2. Mengumpulkan buku-buku September 2012
yang berkaitan
3. Mencari jurnal di Komisi November 2012
Nasional Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI)
4. Mencari jurnal di Perpustakaan November 2012
Departemen Sosial RI
5. Menyusun laporan penelitian November-Desember
atau menyelesaikan penulisan 2012
skripsi

B. Metode Penelitian
Penulis menggunakan metode kepustakaan atau (Library Research)
yang mana penelitian ini dengan cara mengkaji pelbagai buku yang berkaitan
dengan penelitian di atas guna menemukan penyelesaian rumusan masalah

46
47

yang ada serta mengiterpretasikan hasil temuan yang ada atau disebut juga
riset kepustakaan. “Riset kepustakaan atau sering disebut studi pustaka, ialah
serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data
pustaka, membaca, mencatat, serta mengolah bahan penelitian.”58 Seperti
yang dijelaskan diawal bahwa riset kepustakaan membatasi kegiatannya
hanya pada bahan-bahan koleksi perpustakaan saja tanpa melakukan riset
lapangan.
Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan
mengumpulkan buku-buku, jurnal-jurnal, dan hasil penelitian lainnya dari
berbagai perpustakaan seperti Perpustakaan Komisi Perlindungan Anak,
Perpustakaan Departemen Sosial Perpustakaan Nasional, Perpustakaan
daerah, Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Umum
lainnya guna mendapatkan literatur yang berkaitan dengan Konsep
Pendidikan Anak dalam Keluarga (Mendidik Anak Tanpa Kekerasan).
Analisis data, penulis menggunakan analisis isi (Content Analysis)
yaitu dengan mengumpulkan data sistematis dan konsisten, kemudian
menganalisis, menyeleksi, menarasikan untuk diambil kesimpulan. “Dengan
analisis isi, peneliti bekerja secara objektif dan sistematis untuk
mendeskripsikan isi bahan komunikasi melalui pendekatan kuantitatif.”59
Analisis isi pada awalnya dianggap sebagai salah satu ciri metode kuantitatif
sebab memberikan intensitas pada objektivitas dan sistematis seperti
dipahami dalam ilmu positivistik. “Menurut Muhadjir, analisis isi dengan ciri
kuantitatif positivistik ini berkembang menjadi posivistik kualitatif,
naturalistik, dan analisis ini dengan ciri interaksi simbolik.”60 Pada penelitian
ini penulis menggunakan analisis isi (Content Analysis) dengan pendekatan
kualitatif. Langkah penelitian yang penulis lakukan adalah dengan mengkaji
Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga dari sumber primer yaitu pelbagai

58
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia,2008), Cet.II, h.3.
59
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005),
Cet. V, h. 321.
60
Nyoman Kutha Ratna, Metodelogi Penelitian; Kajian Budaya dan Ilmu Sosial
Humaniora Pada Umumnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet.I, h.358.
48

macam buku pendidikan anak dalam keluarga diantaranya buku Parenting


with Love karangan Maria Ulfah Anshor dan Abdullah Ghalib, Ibu Galak
Kasihan Anak karangan Asadulloh Al-Faruq, Ternyata Mendidik Anak Cara
Rasulullah itu Mudah dan Lebih Efektif karangan Wendi Zarman, dan Smart.
Parenting karangan Musthafa Abu Sa’ad. Kemudian mengetengahkan dan
menganalisis bagaimanakah konsep pendidikan anak dalam keluarga yang
ramah terhadap anak yaitu tanpa mengedepankan kekerasan dalam
penerapannya.

C. Fokus Penelitian
Penelitian ini berfokus kepada pengungkapan tentang bagaimana cara
atau konsep mendidik anak di dalam keluarga tanpa mengedepankan
kekerasan dalam penyampaiannya.

D. Prosedur Penelitian
1. Memiliki ide umum tentang topik penelitian yaitu: Konsep Pendidikan
Anak dalam Keluarga (Mendidik Anak Tanpa Kekerasan)
2. Mencari informasi pendukung (buku-buku yang relevan, ensiklopedi
umum dan khusus, abstrak penelitian, jurnal, dan lain-lain)
3. Mempertegas fokus pembahasan (mempersempit) dan mengorganisasikan
bahan bacaan
4. Mencari dan menemukan bahan yang diperlukan
5. Mengreorganisasikan bahan dan membuat catatan penelitian (paling
sentral)
6. Mereview dan memperkaya lagi bahan bacaan
7. Lalu mereorganisasikan kembali bahan atau catatan dan penyusunan
penulisan laporan penilitian.
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Temuan Hasil Analisis Kritis Deskriptif


Dalam penelitian ini penulis mengetengahkan beberapa buku yang
berkaitan dengan pendidikan anak dalam keluarga (mendidik anak tanpa
kekerasan), buku-buku tersebut antara lain:

1. Buku karangan Maria Ulfah anshor dan Abdullah Ghalib dengan judul
Parenting with Love (Panduan Islami Mendidik Anak Penuh Cinta dan
Kasih Sayang).
Buku ini membahas pentingnya pendidikan bagi anak berbasis kasih
sayang dan cinta, sehingga bisa berpengaruh positif dalam pembentukan
karakternya. Islam sangat menekankan kepada orangtua untuk memenuhi
hak-hak anak, seperti pendidikan, perlakuan lembut, serta perawatan dan
pemeliharaan.
Buku karangan Maria Ulfah Anshor ini merupakan salah satu buku
yang relevan dengan topik atau materi penelitian yang peneliti cari atau kaji
yaitu “Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga (Mendidik Anak tanpa
Kekerasan)”. Relevansinya menurut buku ini memfokuskan terhadap
pendidikan yang ramah terhadap anak. Agar anak-anak dapat berkembang
secara baik membutuhkan pendidikan, keterampilan, serta rekreasi, dan
kegiatan seni budaya.
Orangtua memiliki kewajiban untuk mendidik dan mengasuh anak-
anaknya seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuannya. Perintah tersebut

49
50

sangat beralasan karena kualitas sumber daya manusia di muka bumi sangat
ditentukan oleh faktor pendidikan dasar yang diberikan oleh orangtuanya.
Begitu juga dalam pandangan Islam, peran orangtua sangat penting dalam
menentukan masa depan anaknya. Pernyataan Rasulullah SAW., sebagaimana
diriwayatkan oleh Al-Bukhari menganalogikan peran orangtua terhadap
agama yang dianut anaknya sebagai berikut: “Setiap anak dilahirkan dalam
keadaan suci, maka orangtuanya yang membuatnya Yahudi, Nasrani, atau
Majusi.”
Pendidikan yang ramah terhadap anak adalah pola pendidikan yang
menggunakan perspektif gender, yaitu suatu model pendidikan yang
meniscayakan keadilan, baik laki-laki mapun perempuan. Artinya penanaman
nilai dalam proses pendidikan anak ditekankan pada pemahaman bahwa sifat
feminin dan sifat maskulin memiliki nilai yang sama pentingnya dalam
kehidupan sosial. Menurut buku ini ada beberapa persyaratan yang harus
dilakukan dalam menerapkan pola pendidikan yang ramah terhadap anak,
anatara lain:
a. Tidak membeda-bedakan jenis kelamin
b. Menumbuhkan sikap kritis pada anak
c. Tidak diskriminatif dan menghargai perbedaan
d. Demokratis.

2. Buku karangan Asadulloh Al-Faruk dengan judul “Ibu Galak Kasihan


Anak”
Buku ini membahas fenomena orangtua yang lebih mengedepankan
kekerasan, sikap kasar, bentakan, cacian, dan paksaan dalam mendidik anak-
anaknya. Dengan adanya buku ini diharapkan para orangtua khususnya ibu
untuk tidak mengedepankan kekerasan dalam mendidik anak.
Menurut buku karangan Asadulloh Al-Faruk ini ada beberapa tips
mendidik anak tanpa kekerasan, diantaranya yaitu:
a. Cintailah anak karena Allah
b. Mendidik dengan lemah lembut
51

c. Menjadi teladan di setiap keadaan


d. Disiplin yang positif
e. Ganti model sanksi

3. Buku yang ketiga yaitu buku karangan Wendi Zarman dengan judul
“Ternyata Mendidik Anak Cara Rasulullah itu Mudah dan Lebih
Efektif.”
Buku ini berisikan cara mendidik, gambaran kehidupan anak secara
Islami dalam keluarga muslim untuk mencetak anak hebat yang cocok di
terapkan untuk anak zaman sekarang. Memberikan sumbangan pemikiran,
inspirasi, gambaran kehidupan secara menyeluruh dan sangat berharga
terutama di saat bangsa ini sedang kehilangan jati dirinya. Buku ini juga
dapat menjadi solusi dan pendamping orangtua dan guru, ketika menjalankan
tugas sebagai pendidik untuk anak mendidik secara Islami tanpa
mengedepankan kekerasan tentunya.
Kontennya mengenai metode yang diterapkan Rasulullah SAW.,
dalam mendidik. Seperti yang pernah disebutkan dalam bab sebelumnya
orang yang paling sempurna penghambaannya kepada Allah SWT., adalah
Nabi Muhammad SAW. Hal itu tecermin dari perilakunya. Beliau adalah
contoh ideal dalam segala hal. Bila bicara tentang rumah tangga, beliau
adalah suami dan ayah yang terbaik. Bila bicara pendidikan, beliau adalah
guru yang paling baik. Bila bicara mengenai negara beliau adalah pemimpin
atau negarawan yang paling baik. Bila bicara mengenai peran di masyarakat,
beliau adalah anggota masyarakat yang paling baik. Bila bicara mengenai
perniagaan beliau adalah pedagang yang paling baik. Bila bicara mengenai
pergaulan beliau merupakan sahabat yang paling baik. Pendeknya, semua
kebaikan terhimpun pada diri beliau.
Metode pendidikan Rasulullah SAW., masih dapat diterapkan dalam
pendidikan di dalam rumah tangga ataupun di sekolah. Secara umum, metode
ini saling menunjang antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu tidak
bisa dikatakan bahwa cara yang satu lebih unggul daripada yang lain.
52

Semuanya merupakan satu kesatuan dalam proses pendidikan dan oleh


karenanya harus diterapkan secara seimbang dan adil sesuai dengan
kebutuhan pendidikan itu sendiri. Diantaranya sebagai berikut:
a. Menasehati melalui perkataan
b. Mendo‟akan anak
c. Pujian sebagai motivasi
d. Kasih sayang yang tulus
e. Mendidik dengan keteladanan

4. Buku yang keempat yaitu buku karangan Dr. Musthafa Abu Sa’ad
dengan judul Istratijiyyah at-Tarbiyyah al-Ijabiyyah (Judul Terjemahan:
Smart Parenting, 30 Strategi Mendidik Anak; Cerdas Emosional,
Spiritual, Intelektual) yang diterjemahkan oleh Fatkhurozi dan Nashirul
Haq.
Buku ini berisikan sejumlah wawasan baru tentang strategi
pendidikan yang dapat membentuk langkah-langkah yang positif dalam
membangun perilaku yang baik, akidah yang kokoh, nilai-nilai yang positif,
serta perasaan-perasaan yang istimewa. Strategi-strategi yang terdapat di
dalam buku ini adalah strategi pendidikan yang akan memberikan kekuatan
bagi orangtua maupun pendidik, yaitu kekuatan untuk berkomunikasi dan
membangun, serta akan memberikan kebahagiaan dalam mendidik anak.
Temuan dalam buku keempat sekaligus buku terakhir ini, akan diuraikan
sebagai berikut.
Menurut Dr. Musthafa Abu Sa‟ad banyak strategi yang dapat
digunakan dalam mendidik anak atau Smart Parenting, beberapa diantaranya
yaitu:
a. Fokus pada solusi
b. Ungkapkan perasaan (orangtua atau pendidik)
c. Bertanyalah, “kenapa?”
d. Berilah contoh, jangan hanya perintah
e. Jadi pendengar yang baik
53

f. Hargailah perilaku yang baik


g. Pujilah tanpa berlebihan
h. Didiklah anak sikap toleransi
i. Berilah pilihan bukan doktrin
j. Bertanya pada diri apakah sudah mencintai anak
k. Jagalah lisan anak
l. Samakan pandangan antara orangtua
m. Memberikan penghargaan dan hukuman yang ramah terhadap anak

B. Temuan Hasil Analisis Kritis Komparatif


Ditemukan dari 4 (empat) judul buku yang dikaji penulis terdapat
banyak kesamaan pandangan para penulis buku yang berkaitan dengan
Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga (Mendidik Anak tanpa Kekerasan).
Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan yang paling utama. Anak
akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan apa dan bagaimana cara orangtua
mendidiknya. Pendidikan yang keras dan tidak ramah terhadap anak yang
dilakukan oleh orangtua seharusnya tidak terjadi, karena anak merupakan aset
keluarga dan juga penerus keturunan bagi orangtua. Anak yang dididik tanpa
cinta dan kasih sayang akan tumbuh dengan penuh deviasi dan patologis
(keadaan berupa penyimpangan perilaku dalam bentuk merugikan atau
merusak diri sendiri dan orang lain). Sebaliknya, anak yang tumbuh dalam
lingkungan keluarga yang kokoh, penuh cinta, dan jauh dari eksploitasi, akan
lahir sebagai generasi yang berkarakter, dan pada gilirannya akan menjadi
warga masyarakat dan warga negara yang berkarakter pula.
Oleh karena itu anak perlu dididik dengan cinta dan kasih sayang,
dengan mengedepankan kelemahlembutan daripada kekerasan dalam
penyampaiannya. Setiap anak sebagimana manusia mempunyai kebutuhan
dasar yang menuntut untuk dipenuhi agar anak dapat tumbuh dan berkembang
secara wajar.
54

Tabel 4.1
Hasil Analisis Komparatif Keempat Buku

1. Tidak membeda-bedakan jenis kelamin


Parenting with Love: Maria
2. Menumbuhkan sikap kritis pada anak
Ulfah Anshor dan Abdullah
3. Tidak diskriminatif dan menghargai
Ghalib
perbedaan
4. Demokratis.

1. Cintailah anak karena Allah


Ibu Galak kasihan Anak:
2. Mendidik dengan lemah lembut
Asadulloh Al-Faruq
3. Menjadi teladan di setiap keadaan
4. Disiplin yang positif
5. Ganti model sanksi

Ternyata Mendidik Anak 1. Menasehati melalui perkataan

Cara Rasulullah itu Mudah 2. Mendo‟akan anak

dan Efektif: Wendi Zarman 3. Pujian sebagai motivasi


4. Kasih sayang yang tulus
5. Mendidik dengan keteladanan
55

Smart Parenting: Musthafa 1. Fokus pada solusi


Abu Sa'ad 2. Ungkapkan perasaan (orangtua atau
pendidik)
3. Bertanyalah, “kenapa?”
4. Berilah contoh, jangan hanya perintah
5. Jadi pendengar yang baik
6. Hargailah perilaku yang baik
7. Pujilah tanpa berlebihan
8. Didiklah anak sikap toleransi
9. Berilah pilihan bukan doktrin
10. Bertanya pada diri apakah sudah
mencintai anak?
11. Jagalah lisan anak
12. Samakan pandangan antara orangtua
13. Memberikan penghargaan dan hukuman
yang ramah terhadap anak

C. Pembahasan
1. Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga (Mendidik Anak Tanpa
Kekerasan)
a. Buku karangan Maria Ulfah anshor dan Abdullah Ghalib dengan
judul Parenting with Love (Panduan Islami Mendidik Anak Penuh
Cinta dan Kasih Sayang).
Seperti yang telah disebutkan di atas menurut buku ini ada 4
persyaratan yang harus dilakukan dalam menerapkan pola pendidikan yang
ramah terhadap anak, yaitu:
1) Tidak membeda-bedakan jenis kelamin
Orangtua hendaknya tidak membeda-bedakan perlakuan anak
laki-laki dengan anak perempuan. Namun tetap pada awalnya anak
perlu diperkenalkan kepada hal-hal kecil. Misalnya pemilihan warna,
mainan, dan yang lainnya tidak disosialisasikan kepada anak secara
56

stereotype. Setelah anak mulai mengenal lingkungannya, berikan


kebebasan kepada anak laki-laki dan perempuan untuk tumbuh dan
mengekspresikan keingintahuannya.
Dalam hal pendidikan, Islam tidak pernah menganjurkan
orangtua untuk mengistimewakan atau mengutamakan anak laki-laki
ataupun anak perempuannya. Fakta membuktikan apabila dalam
sebuah keluarga anak perempuan dan laki-laki diberikan kesempatan
yang sama tidak jarang kemampuan anak perempuan dapat
mengungguli saudara lelakinya.
2) Menumbuhkan sikap kritis pada anak
Biasakan kepada anak sejak dini untuk diajak mempertanyakan
hal-hal yang dilihat, dialami, dirasakan, dan memberikan jawaban
dengan logika berpikir yang sesuai dengan usia dan kondisi anak.
Pendidikan kritis untuk anak dapat juga diartikan bahwa anak dapat
menanyakan apa saja yang ingin diketahuinya tanpa merasa takut dan
ragu, dan orangtua atau pengasuh harus mampu menjawab seluruh
pertanyaan anak secara tepat dan benar. Jika kemudian pengetahuan
yang ia ketahui berbeda dengan pengetahuan baru didapatnya, ia
berhak mendapatkan klarifikasi serta dapat mengoreksi menurut
pengetahuannya, dan sebaiknya orangtua tidak menyalahkan sikap
kritis anak dalam segala sesuatu.
3) Tidak diskriminatif dan menghargai perbedaan
Orangtua hendaknya tidak membeda-bedakan perlakuan
terhadap anak laki-laki dan perempuan, baik di rumah, sekolah,
maupun masyarakat. Baik dalam hal pendidikan, pemilihan minat, dan
bakat, maupun dalam memberikan fasilitas kepada anak. Perbedaan
perlakuan orangtua terhadap anak laki-laki dan perempuan pada masa
anak-anak dapat berdampak langsung pada pembentukan karakter
anak. Hal tersebut sering kali tidak disadari oleh orangtua. Apabila
orangtua menerapkan pola hidup tidak pilih kasih terhadap anak-
57

anaknya, dengan sendirinya akan tumbuh sikap egaliter diantara


mereka satu sama lain saling menghargai dan menghormati.
4) Demokratis
Sikap demokratis sangat penting dalam pengasuhan anak, agar
anak merasa dihargai dan memiliki konsep diri yang matang. Berikan
kesempatan kepada anak untuk mengemukakan pendapatnya, dan
orangtua mendengarkan apa yang diungkapkan anak kemudian
musyawarahkan bersama-sama. Tanamkan kepada anak bahwa
berbeda pendapat tidak berarti salah, tetapi harus saling menghargai
perbedaan maupun pendapat orang lain.
Pengasuhan yang ramah terhadap anak. Pola asuh yang ramah
bagi anak-anak perlu diciptakan oleh orangtua dan didukung dengan
lingkungan yang juga ramah terhadap anak. Tidak ada satupun cara
yang baku dan ideal untuk dapat mengasuh dan mendidik anak
menjadi seperti yang dicita-citakan oleh orangtuanya. Karena masing-
masing anak memiliki karakter yang berbeda dan begitu juga setiap
orangtua yang memiliki anak secara pribadi mempunyai keunikan
masing-masing dalam mengasuh anak-anaknya. Akan tetapi secara
umum dapat diciptakan suasana yang kondusif, dengan cara:
a) Ciptakan suasana yang sarat akan nilai religi di dalam rumah
tangga
b) Jika terjadi perselisihan anatara kedua orangtua (suami-isteri)
hendaknya tidak diselesaikan dengan cara kekerasan, seperti:
bertengkar atau saling memaki. Kewajiban orangtua ketika anak-
anak berada di rumah adalah memberi contoh yang baik dan
memberikan bimbingan sesuai norma agama dan norma-norma
yang berlaku di masyarakat.
c) Hindari mendidik anak dan mengasuh anak dengan kekerasan.
Jika membiasakan mendidik dengan kekerasan, setelah dewasa
mereka akan bersikap serupa, bahkan bukan mustahil berani
melawan orangtuanya dengan kekerasan pula.
58

d) Ajak anak-anak bermain dan rekreasi ke tempat yang


menyenangkan, karena hal itu bagian dari hak anak yang harus
dipenuhi oleh orangtua. Jangan terlalu mengekang anak untuk hal-
hal yang tidak perlu. Anak yang di dalam rumahnya terlalu
dikekang, bila berada di luar rumah cenderung menjadi anak yang
penakut atau kadang sebaliknya, menjadi anak yang sulit
dikendalikan.
e) Berikan rasa aman kepada anak baik dalam maupun di luar rumah.
f) Biasakan anak-anak berperilaku hidup bersih, sehat, teratur, serta
rapih.
g) Pujilah bila anak melakukan suatu perbuatan yang baik, karena
pada umumnya anak senang mendapatkan pujian.
h) Biasakan meminta maaf kepada anak jika orangtua melakukan
kesalahan sekecil apapun.
i) Carilah tempat tinggal yang memiliki lingkungan yang baik,
karena lingkungan baik akam memengaruhi watak dan
perkembangan kehidupan anak di kemudian hari.
j) Ajarkan kepada anak-anak cara berterima kasih kepada orang lain
yang telah membantu dan berbuat baik kepadanya.

b. Buku karangan Asadulloh Al-Faruk dengan judul “Ibu Galak Kasihan


Anak”
5 tips mendidik anak tanpa kekerasan dalam buku ini, yaitu:
1) Cintailah anak karena Allah
Mencintai anak karena Allah SWT., berarti mencintai anak
sebagaimana kecintaan terhadap diri sendiri. Sebagaimana kebaikan
yang diharapkan untuk diri sendiri maka orangtuapun berharap agar
yang demikian juga dirasakan oleh anak. Sebagaimana hadis
Rasulullah SAW.,:
“Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik R.A, pembantu
Rasulullah SAW, dari Rasulullah SAW., bersabda:
59

“Tidak beriman salah seorang di antara kamu sehingga ia


mencintai untuk saudaranya apa yanag dicintainya untuk
dirinya”(H.R. Bukhari dan Muslim).
Orangtua yang mencintai anaknya karena Allah SWT., maka ia
akan memperlakukan anaknya sesuai apa yang dikehendaki Allah
SWT. Tidaklah ia mendidik anak kecuali dengan pendidikan yang
didasarkan atas pedoman Allah SWT., dan Rasul-Nya. Dan, tidaklah
ia menghukum anaknya karena kesalahan yang diperbuat anak,
melainkan dengan penuh cinta kasih dan perhatian.
2) Mendidik dengan lemah lembut
Model pendidikan yang paling tepat bagi anak adalah
pendidikan dengan kelemahlembutan dari orangtua. Karakter lemah
lembut akan meningkatkan rasa cinta dan sayang dari orangtua kepada
anaknya dan dari anak kepada orangtuanya. Sebagai mana hadis
Rasulullah SAW.,:
“Dari Aisyah R.A., ia berkata, Rasullah SAW., bersabda:
Tidaklah kelemahlembutan itu ada pada sesuatu kecuali pasti
akan memperindahnya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu
kecuali pasti memperburuknya.”

Lemah lembut juga merupakan sikap yang sangat dicintai


Allah SWT.
Diriwayatkan dari Aisyah R.A., ia berkata: Rasulullah SAW.,
bersabda: “Sesungguhnya Allah itu Maha Lemah Lembut, Dia
mencintai kelemahlembutan dalam segala urusan ”
Sikap lemah lembut dan kasih sayang adalah modal utama dan
kunci keberhasilan orangtua dalam mendidik anaknya. Inilah cara
yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Orangtua yang baik
hendaknya memilih cara mendidik dengan lemah lembut, bukan
dengan kekerasan.
3) Menjadi teladan di setiap keadaan
Kunci terpenting dari pendidikan orangtua kepada anaknya
adalah dengan cara memberikan teladan yang baik. Sangat
disayangkan manakala orangtua mengharapkan dan memerintahkan
anak untuk berkata dan berperilaku baik, sementara orangtuanya tidak
60

pernah melakukan yang demikian. Perlu diingat, anak adalah peniru


ulung. Apapun yang diperbuat orangtuanya, anak memiliki
kecenderungan menirunya.
4) Disiplin yang positif
Disiplin perlu diajarkan kepada anak sejak usia dini.
Mengajarkan disiplin akan menjadikan ia sebagai pribadi yang teratur
setelah tumbuh dewasa. Hal terpenting dalam mendidik anak untuk
disiplin adalah dengan menerapkan disiplin secara konsisten. Jangan
mengubah-ubah sesuatu yang harus dilakukan secara disiplin.
Konsistensi akan mendidik anak berperilaku semestinya. Tahap
berikutnya dalam mendidik kedisiplinan anak adalah memberikan
sanksi apabila melanggarnya. Sanksi tersebut bukan sanksi yang berat
dan tidak perlu dilakukan dengan marah-marah. Sanksi bagi anak
harus bersifat mendidik dan lebih lagi jika dilakukan dengan ceria.
5) Ganti model sanksi
Penting bagi orangtua meluruskan kesalahan yang
dilakukan oleh anak. Meluruskan artinya memberikan penjelasan
dengan bahasa yang jelas bahwa yang dilakukan anak adalah
perbuatan yang salah, sembari mengarahkan bagaimana
seharusnya. Anak yang mendapatkan penjelasan tentang kesalahan
yang diperbuatnya, niscaya tidak akan mengulangi kesalahan yang
serupa diwaktu yang akan datang. Cara meluruskan kesalahan
dengan menegur. Karim Ash-Shazilid menuturkan, “menegur, yang
harus diarahkan kepada perbuatannya, bukan pelakunya. Kemudian
jelaskan apa kesalahannya, dengan tetap memperhatikan perasaan
si anak. Perlu diingat, jauhi perasaan marah. Dengan begini
optimistis dengan semangat untuk merubah diri akan tetap lestari
dairi anak.” Meluruskan kesalahan, bukan menyalahkan pelakunya.
Itu kunci penting dalam memperbaiki kesalahan anak. Tegurlah
karena perbuatan anak, bukan karena anaknya. Selanjutnya, buatlah
anak memperbaiki diri dan belajar dari kesalahan. Ganti model
61

sanksi dengan cara yang kreatif. Jangan melibatkan emosi dan


amarah yang berlebih. Sebaliknya, hendaknya memberikan sanksi
yang dapat membuat anak berpikir, sehingga ia bersedia berubah
dengan sendirinya tanpa perlu dipaksa.

c. Buku karangan Wendi Zarman dengan judul “Ternyata Mendidik


Anak Cara Rasulullah itu Mudah dan Lebih Efektif.”
Metode pendidikan Rasulullah SAW., masih dapat diterapkan
dalam pendidikan di dalam rumah tangga ataupun di sekolah. Secara
umum, metode-metode pendidikan saling menunjang antara satu dengan
yang lainnya. Oleh karena itu tidak bisa dikatakan bahwa cara yang satu
lebih unggul daripada yang lain. Semuanya merupakan satu kesatuan
dalam proses pendidikan dan oleh karenanya harus diterapkan secara
seimbang dan adil sesuai dengan kebutuhan pendidikan itu sendiri. Seperti:
1) Menasehati melalui perkataan
Metode menasehati dengan perkataan adalah metode yang
paling dasar di dalam pendidikan. Dalam hal ini, mendidik dengan
cara menasehati melalui perkataan merupakan metode yang paling
sering digunakan Rasulullah SAW., dalam mengajari sahabat-
sahabatnya. Jika diperhatikan, sebagian besar kandungan ayat-ayat Al-
Qur‟an merupakan nasehat langsung kepada pembacanya.
2) Mendo‟akan anak
Rasulullah SAW., adalah orang yang sangat suka berdo‟a.
Do‟a ini tidak hanya dilakukan pada waktu ibadah, tetapi dalam
keadaan apapun. Beliau mendo‟akan siapa saja di antara keluarga,
sahabat-sahabatnya, dan umat Islam pada umumnya. Bahkan orang
yang berbuat buruk kepadanya pun tidak luput dari do‟anya.
Demikianlah Rasulullah SAW., mencontohkan do‟a sebagai salah satu
metode pendidikan anak. Betapapun kerasnya orangtua
mengupayakan keberhasilan anak, maka pada akhirnya Allah SWT.,
juga yang menentukannya. Jangan sekali-kali mendoakan keburukan
62

bagi anak. Meskipun orangtua normal tidak akan melakukan hal itu,
boleh jadi hal itu dilakukannya tanpa sadar. Terkadang orangtua tidak
berhati-hati sehingga mengucapkan sesuatu yang buruk, padahal itu
bisa menjadi do‟a yang dikabulkan oleh Allah SWT.
3) Pujian sebagai motivasi
Para orangtua dan pendidik dapat mempraktikan metode
motivasi Rasulullah yang sangat sederhana. Dengan sebaris kalimat
singkat, Rasulullah mampu memotivasi seorang anak untuk
mengerjakan suatu amal kebajikan sepanjang hidupnya. Inilah yang
dirasakan sahabat beliau, Abdullah bin Umar atau ibnu Umar.
Ibnu Umar bercerita, “Pada masa Rasulullah, ketika aku masih
muda dan belum menikah, aku sering tidur di masjid. Dalam tidurku
aku bermimpi seakan-akan ada dua malaikat yang membawaku ke
neraka.” Ibnu umar kemudian melanjutkan kisahnya,”Kami didatangi
oleh malaikat lain yang berkata, „kamu jangan takut‟.” Lalu ibnu
Umar menceritakan mimpinya kepada Hafshah. Lalu Hafshah
menceritakannya kepada Rasulullah SAW., mendengar cerita itu
Rasulullah SAW., bersabda, “Sebaik-baiknya lelaki adalah Abdullah,
seandainya ia mengerjakan sholat malam”. Sejak saat itu Ibnu Umar
senantiasa tidur hanya sebentar di malam hari dan memanfaatkannya
untuk mengerjakan shalat malam. Lihatlah, betapa efektifnya cara
Rasulullah SAW., memotivasi Ibnu Umar yaitu memujinya setinggi
langit kemudian menutupnya dengan nasihat.
Pada dasarnya setiap orangtua atau guru berkewajiban
mengkritik atau menasehati anak bila mereka melakukan kesalahan
atau kebiasaan buruk. Sayangnya ketika mengkritik, orangtua lebih
sering melakukan dengan pendekatan menyalahkan atau menyuruh
saja. Padahal kritikanpun dapat dilakukan dengan memulainya dengan
pujian tanpa menghilangkan esensi nasihat itu sendiri.
Tidak ada salahnya orangtua memuji anak di hadapan orang
lain saat sang anak berada di dekat sang orangtua. Sudah menjadi
63

tabiat manusia suka di puji, apalagi anak-anak. Berilah pujian secara


wajar supaya anak mampu memilliki sifat-sifat terpuji itu dan tidak
membuatnya menjadi sombong. Jangan lupa, bahwa perkataan orang
lain kepada anak sering kali mempengaruhi pandangan anak terhadap
dirinya. Pujian dalam hal ini akan membantu anak untuk
mengidentifikasi siapa dirinya. Jika seorang anak sering dipuji sebagai
anak pintar, ia akan memandang dirinya memang pintar. Lain halnya
jika anak sedikit-sedikit dibilang bodoh atau nakal, ia akan
menganggap bahwa dirinya memang demikian adanya.
4) Kasih sayang yang tulus
Banyak orangtua yang sebenarnya sayang kepada anak-anak
mereka, hanya mereka tidak pandai menunjukkan secara fisik. Ada
kesan bahwa ekspresi kasih sayang ini dapat menurunkan wibawa
orangtua. Cara seperti ini bukan cara yang dianjurkan oleh Rasulullah
SAW. Rasulullah SAW., menyuruh setiap orangtua menunjukkan
ekspresi kasih sayang mereka kepada anak, seperti mencium,
memeluk, merangkul, mengusap rambut, dan sebagainya.
Bahkan, sesungguhnya ciuman kepada seorang anak tidak
hanya sekedar tanda kecintaan orangtua kepada anaknya, tetapi juga
bisa bernilai ibadah yang dapat mengantarkan orangtua menjadi ahli
surga, sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Rasulullah SAW.,:
“Perbanyaklah kamu mencium anak cucumu, karena imbalan
dari setiap ciuman adalah surga.” (H.R. Bukhari)

Ada banyak kebaikan yang diperoleh dari sentuhan kasih sayang ini,
diantaranya:
a) Dapat mendekatkan jiwa orangtua dengan anak.
b) Adanya kepercayaan yang timbul dari ekspresi kasih sayang ini
menjadikan anak selalu terbuka kepada orangtua.
c) Dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan emosi
anak. Anak akan merasa berharga dan memiliki martabat,
sehingga menumbuhkan kepercayaan diri.
64

5) Mendidik dengan keteladanan


a) Keteladanan sebagai ruh pendidikan
Keteladanan adalah ruh dari pendidikan. Dengan keteladanan,
pendidikan menjadi bermakna dan tanpa keteladanan pendidikan
hanyalah suatu indoktrinasi dan kemunafikan.
b) Prinsip peneladanan
Ada beberapa prinsip yang perlu dipahami mengenai keteladanan
agar dapat efektif diterapkan dalam pendidikan anak, diantaranya
yaitu:
1) Seseorang yang memberikan teladan adalah seorang yang
memiliki kepribadian yang kuat, sehingga pantas untuk
diteladani.
2) Anak harus mengenal baik pribadi yang diteladani itu.
3) Keteladanan harus dilakukan secara alamiah, bukan sesuatu
yang dibuat-buat.
4) Keteladanan harus dilakukan secara terus-menerus
(konsisten).
c) Tidak berlebihan dalam menasehati
Sebagai orangtua harus bijak dalam menasehati, sebab jika tidak,
nasehat itu bukan semakin tertanam kepada diri anak, tetapi justru
menimbulkan penolakan dalam diri anak. Bentuk tidak berlebihan
dalam menasehati ada dua yaitu:
1) Tidak terlalu sering menasehati.
2) Dengan cara menasehati anak secara singkat atau tidak
berpanjang-panjang. Sebagai mana yang dicontohkan
Rasulullah SAW., beliau adalah orang yang singkat dan jelas
dalam menyampaikan nasihat.
d) Pembiasaan secara bertahap
Meskipun orang cenderung mempertahankan kebiasaannya
sehari-hari, tetapi kebiasaan tersebut dapat diubah menjadi
kebiasaan baru. Ini mirip dengan mengubah benda yang tadinya
65

bergerak, menjadi diam atau benda yang tadinya diam menjadi


begerak. Syaratnya adalah adanya campur tangan/ kekuatan dari
luar. Peran kekuatan dari luar inilah sebenarnya yang dilakukan
oleh orangtua atau pendidik. Tujuannya adalah membentuk anak
agar terbentuk kebiasaan yang baik dan meninggalkan kebiasaan
buruk.
e) Antara menghukum dan memberi penghargaan
Secara umum pendidikan dalam Islam adalah pendidikan yang
menekankan kelemahlembutan dan keramahtamahan. Hal ini
dapat dilihat dari cara Rasulullah SAW., dalam mengajar para
sahabatnya.
“Hendaknya kamu bersifat lemah lembut, kasih sayang, dan
hindari sikap keras dan keji.” (H.R. Bukhari).
Pemberian hukuman dan penghargaan merupakan metode
pendidikan yang berangkat dari dua prinsip dasar, yaitu:
1) Bahwa manusia itu tidak suka terhadap ancaman, kesulitan,
dan kerugian, sehingga ia akan beruaha menghindarinya.
Disinilah kemudian lahir konsep hukuman.
2) Manusia itu menyukai kesenangan, kenikmatan, dan
keinginannya terpenuhi, sehingga ia akan berupaya
meraihnya.
Dalam konteks pendidikan Rasulullah SAW., terbilang
sangat jarang menghukum dan cenderung lebih sering memberi
penghargaan. Beliau sangat suka memuji, memberi hadiah, dan
mendo‟akan para sahabat sebagai alat untuk memotivasinya. Al-
Qur‟an pun memiliki pola yang sama, mereka yang melakukan
kebajikan dibalas dengan balasan yang berlipat ganda. Sedangkan
bagi orang yang berbuat dosa akan dibalas setimpal dengan
perbuatannya. Ini menunjukkan bahwa meskipun Islam
membolehkan memberikan hukuman, tetapi pemberian
penghargaan lebih dianjurkan.
66

d. Buku karangan Dr. Musthafa Abu Sa’ad dengan judul Istratijiyyah at-
Tarbiyyah al-Ijabiyyah (Judul Terjemahan: 30 Strategi Mendidik
Anak; Cerdas Emosional, Spiritual, Intelektual) Smart Parenting yang
diterjemahkan oleh Fatkhurozi dan Nashirul Haq.
Hasil temuan mendidik anak tanpa kekerasan dari buku Smart
Parenting ini, diantaranya yaitu:
1) Fokus pada solusi
Bagi seorang pendidik yang baik, memfokuskan perhatian pada
pemecahan masalah termasuk langkah yang terpenting dalam
menyusun program pendidikan positif.
2) Ungkapkan perasaan (orangtua atau pendidik)
Setelah fokus pada penyelesaian masalah, teknik berikutnya adalah
mengungkapkan segenap perasaan orangtua kepada anak tentang
suatu perilaku negatif anak, tanpa menyinggung perasaannya. Tujuan
utama dari mengungkapkan perasaan dengan baik adalah agar
orangtua dapat menyampaikan pesan utama kepada anak tanpa harus
menyinggung perasaannya.
3) Bertanyalah, “kenapa?”
Ajukanlah sebuah pertanyaan ketika orangtua atau pendidik tidak
dapat memahami perilaku anak. Melalui bertanya, jadikanlah sang
anak mau mengungkapkan isi hatinya, karena hal tersebut lebih baik
daripada orangtua atau pendidik harus membuang-buang waktu hanya
sekedar menerka isi pikiran sang anak saja. Perlu diketahui
kesuksesan strategi “mengapa?” ini sangat tergantung kepada bahasa
dan raut wajah orang yang menanyakan dalam hal ini orangtua atau
pendidik.
4) Berilah contoh, jangan hanya perintah
Upaya membentuk pribadi anak yang baik diawali dengan
mendorongnya agar mau memerhatikan pernyataan sang orangtua,
sekaligus jawabannya. Diusahakan hindari pemberian perintah secara
kaku dan tidak disukai anak.
67

5) Jadi pendengar yang baik


Menjadi pendengar yang baik bagi sang anak berarti memerhatikan
apa yang ingin diungkapkan oleh sang anak, sekaligus menjadi media
penyampaian pesan positif kepada sang anak dengan baik pula. Kunci
keberhasilan strategi “menjadi pendengar yang baik” terletak pada
sejumlah pesan yang tersembunyi, dan komunikasi non-lisan yang
disampaikan oleh orangtua kepada anaknya.
6) Hargailah perilaku yang baik
Menghindari hukuman termasuk cara yang sangat efektif untuk
meredakan ketegangan antara anak dengan orangtuanya, sekaligus
menghilangkan perilaku tidak menyenangkan si anak. Efektifitas
langkah ini telah dibuktikan oleh sejumlah pakar pendidikan dalam
eksperimennya. Diantara mereka adalah Rasulullah SAW., beliau
sosok yang selalu memberikan penghargaan terhadap perilaku orang-
orang di sekelilingnya, baik anak kecil maupun orang dewasa.
7) Pujilah tanpa berlebihan
Termasuk dalam kategori menghargai perilaku baik sang anak adalah
dengan memuji perilakunya tanpa berlebihan. Pujian yang berlebihan
bisa kontraproduktif dengan proses pendidikan sang anak itu sendiri.
8) Didiklah anak sikap toleransi
Yang dimaksud dengan sikap toleransi di sini adalah tidak bersikap
fanatik, kemampuan untuk berinteraksi sosial dengan sempurna, dan
kemampuan untuk menyikapi perbedaan (perselisihan) dengan cara
yang terdidik, serta menghargai orang lain dan tidak meremehkannya.
Hendaklah rumah-rumah menjadi tempat diskusi terbuka bagi seluruh
anggota keluarga yang ada di dalam rumah. Sebagai orangtua atau
pendidik harus dapat memberikan dorongan kepada putra-putrinya
agar mereka mau menerima pendapat orang lain dengan cara
menerima pandangan-pandangan mereka.
68

9) Berilah pilihan bukan doktrin


Memberikan beberapa pilihan kepada anak adalah cara yang sangat
efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir mereka. Hal itu
disebabkan anak-anak umumnya sangat senang jika mereka memiliki
kesempatan memilih. Memberikan pilihan kepada anak membuat
mereka dapat memelajari bagaimana cara mendengarkan perasaan
(naluri mereka). Hal ini merupakan keterampilan berharga yang akan
terus mereka bawa hingga dewasa.
10) Tanya pada diri, apakah sudah mencintai anak?
Maksudnya adalah orangtua tersebut mengucapkan “saya
mencintainya.” Bagi seorang anak, cinta adalah ucapan dan gerakan.
Ekspresi cinta harus ditujukan terus-menerus dan tidak boleh terkikis
dengan sikap dan perilaku orangtua yang berlawanan dengan perasaan
cinta itu sendiri. Apalah artinya orangtua menyatakan cinta kepadanya
jika ia masih memarahi, mengecam, dan memukul hanya karena sang
anak senang bermain dan melakukan kegaduhan di rumah.
11) Jagalah lisan anak
Ketika anak mulai mengucapkan kata-kata kotor, dan tidak pantas,
ungkapan hinaan, ejekan, dan yang menyakitkan hati maka orangtua
merasakan menyesal dan sakit hati terhadap sikap anak yang tidak ia
sadari itu. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban orangtua selalu
mengawasi grak-grik anak. Pengawasan dimulai dari hubungannya
dengan sesama manusia dan bahasa yang digunakan oleh orang-orang
yang berinteraksi dengannya. Umumnya dengan keluarga, khususnya
dengan anak-anak sebayanya. Selain itu program televisi yang
didengar dan disaksikan anak harus diawasi pula. Terpenting adalah
orangtua mengontrol bahasa (tutur kata) yang digunakan, baik ketika
berbicara dengan anak atau berbicara antar mereka.

12) Samakan pandangan antara orangtua


69

Perbedaan pendapat atau pandangan antara ayah dan ibu akan


memberikan pengaruh bagi perkembangan kejiwaan anak. Kedua
orangtua hendaknya mematuhi kaidah yang telah disepakati bersama,
jika ingin melihat anaknya tumbuh dengan kondisi jiwa yang
seimbang, perkembangan fisik yang signifikan, dan berinteraksi sosial
dengan baik. Hal itu dapat dicapai jika ada kesepakatan (kesamaan)
pandangan dan kesatuan tujuan diantara orangtua dalam mengurus
persoalan anak.
13) Pemberian penghargaan dan hukuman yang ramah terhadap anak
a) Memberikan penghargaan atas perilaku baik anak
Penghargaan dan pengakuan adalah metode pendidikan dasar
untuk membentuk kepribadian anak, mengarahkan perilaku, dan
mengembangkan sikap baiknya. Pemberian penghargaan juga
merupakan alat yang penting untuk menciptakan motivasi,
meningkatkan harga diri, dan menumbuhkan rasa percaya dirinya.
b) Pemberian hukuman kepada anak (hukuman yang tidak kasar dan
tidak menyakitkan)
Dalam rangka mengarahkan perilaku anak, salah satu cara
mendidik yang diperlukan adalah prinsip pemberian hadiah dan
hukuman yang adil serta logis. Tanpanya, anak akan
menghasilkan perilaku yang menyimpang ketika beranjak
dewasa. Hukuman harus diberikan dengan cara yang ringan, tanpa
diikuti dengan kekerasan. Hal ini dikarenakan tujuan hukuman
adalah agar anak tidak mengulangi perbuatan buruknya dimasa
yang akan datang, bukan untuk menyakiti. Hukuman yang kasar
dan menyakikan harus benar-benar dihindari, misalnya dengan
ucapan yang menghina anak, cercaan, dan pukulan fisik yang
keras. Sikap seperti ini akan menimbulkan reaksi negatif dari
anak. Hal tersebut nanti akan terlihat pada sikapnya yang suka
melakukan tipu muslihat (berbohong), menunjukkan permusuhan
terhadap keluarga, bersikeras untuk tetap melakukan perbuatan
70

negatif meski karenanya ia diberi hukuman. Anak melakukan hal


tersebut untuk menunjukkan pertentangan terhadap sikap
orangtuanya dan untuk menunjukkan tidak suka karena sikap
kasar orangtuanya terhadap dirinya.

2. Bahaya Mendidik Anak dengan Kekerasan


Kekerasan terhadap anak akan berdampak buruk secara fisik,
mengakibatkan organ-organ tubuh anak mengalami kerusakan, seperti memar
dan luka-luka. Anak yang mengalami kekerasan fisik. Dampak terhadap
psikologis anak adalah timbulnya trauma, rasa takut, rasa tidak aman, dan
dendam. Selain itu dapat menurunkan semangat belajar, daya konsentrasi,
kreativitas, hilangnya inisiatif dan tahan (mental), menurunkan rasa percaya
diri, inferior, stres, bahkan depresi.dalam lingkungan sosial, anak yang
mengalami tindakan kekerasan tanpa penanggulangan bisa menarik diri dari
lingkungan pergaulan karena takut, merasa terancam, dan merasa tidak
bahagia. Mereka akan pendiam dan sulit berkomunikasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak kekerasan secara fisik
adalah semua kerusakan pada bagian fisik-biologis anak. Biasanya kekerasan
fisik seperti ini akan terlihat nyata oleh pancaindra. Adapun dampak psikis
kekerasan terhadap anak adalah dapat mengakibatkan gangguan jiwa, seperti
rasa takut, minder, malu, over acting, dan lain sebagainya.

3. Konsep Pendidikan Anak tanpa Kekerasan


Menyadari kembali bahwa anak adalah amanah Allah SWT., yang
harus dipertanggungjawabkan di akhir masa kehidupan setiap individu
(orangtua). Prestasi generasi tua bangsa ini menjadi tidak berarti jika generasi
berikutnya tidak terdidik atau salah didik sebagai generasi penerus. Anak-
anak terbentuk karakternya melalui tiga lingkaran pendidikan, yaitu keluarga,
sekolah, dan masyarakat. Dalam persoalan ini keluarga merupakan
pendidikan yang palling utama dan yang pertama diterima anak. Masa depan
anak sangat bergantung pada bagaimana orangtua merawat dan memelihara,
71

serta mendidik anak pada waktu mereka masih kecil, termasuk menanamkan
budi pekerti yang luhur (al-akhlak al-karimah).
Tidak ada satupun cara yang baku dan ideal untuk dapat mengasuh
dan mendidik anak menjadi seperti yang dicita-citakan oleh orangtuanya,
karena masing-masing anak memiliki karakter yang berbeda. Begitu juga
orangtua yang memiliki anak, secara pribadi mereka mempunyai keunikan
masing-masing dalam mengasuh anak-anaknya. Akan tetapi, pendidikan yang
baik dan seharusnya diberikan kepada anak adalah pendidikan yang ramah,
mengutamakan kelemahlembutan, dan menghindari adanya kekerasan di
dalam penyampaiannya. Tidak mudah memang menjalankan pendidikan yang
sempurna, tapi paling tidak mendekati sempurna insya Allah bisa.
Kesuksesan mendidik anak mensyaratkan adanya sifat-sifat yang harus
dimiliki oleh orangtua yaitu sabar, penyayang, disiplin, dan tegas.
Orangtua sebagai pendidik harus sabar menghadapi berbagai tingkah
laku anak dengan beragam karakter. Apapun kondisinya harus mampu
bersikap penuh kasih sayang terhadap anak, bersikap tegas, dan disiplin
terhadap berbagai tindakan pelanggaran yang dapat membahayakan anak,
agar anak kelak menjadi anak yang shaleh dan shalihah. Anak yang shaleh
dan shalihah akan menjadi amal jariyah bagi orangtuanya, meskipun orangtua
tersebut telah meninggal dunia. pendidikan yang dianjurkan Islam adalah
pendidikan yang berdasarkan cinta dan kasih sayang. Sebagaimana hadis
Rasulullah SAW.,
“Tidaklah kelemahlembutan itu ada pada sesuatu kecuali pasti akan
memperindahnya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu kecuali pasti
memperburuknya” (H.R. Muslim)

Konsep mendidik anak tanpa kekerasan dapat dilakukan dengan cara:


a. Mencintai anak karena Allah SWT.
b. Samakan pandangan orangtua
c. Selalu mendoakan kebaikan kepada anak
d. Mendidik dengan keteladanan
e. Menasehati melalui perkataan
72

f. Jalin komunikasi yang baik antara orangtua dan anak


g. Tidak membedakan jenis kelamin
h. Pendidikan yang demokratis bukan otoriter
i. Hargai perilaku baik anak
j. Memberi hukuman yang tidak kasar dan tidak menyakitkan.

4. Prinsip memberi hukuman


a. Beritahu kesalahannya
Orangtua tidak boleh menerapkan hukuman bila anak tidak diberi
peringatan dan pemahaman terlebih dahulu.
b. Hukuman bertahap
Hukuman yang diberikan hendaknya dilakukan secara bertahap, mulai
dari yang ringan, hingga yang tegas. Meskipun demikian, sedapat
mungkin hukuman fisik harus dihindadri.
c. Tidak boleh keluar kata kasar
Seringkali orangtua terlalu emosi dalam memarahi dan menghukum
anak, sehingga tanpa sadar keluar kata-kata kasar atau caci maki. Hal ini
harus dihindari, karena akan melukai jiwa anak. Orang terkadang tidak
menyadari bahwa kata-kata yang menyakitkan terkadang lebih kuat
pengaruhnya dibandingkan hukuman fisik.
d. Orangtua ikut andil dalam kesalahan anak
Kesalahan seorang anak hendaklah dijadikan evaluasi bagi orangtua,
boleh jadi orangtua ikut andil dalam masalah ini.
e. Hukum atas dasar prilaku
Orangtua harus menunjukkan bahwa anak dihukum karena prilakunya,
bukan karena orangtua membencinya. Oleh karena itu dalam
menghukum, orangtua harus fokus pada kesalahan anak, dan tidak
mengungkit-ngungkit masalah lain.
f. Adil dalam menghukum
Dalam menerapkan hukuman, oran tua harus benar-benar bijaksana, tidak
terlalu lunak atau terlalu keras.
73

g. Konsisten dalam menghukum


h. Hukuman bertujuan memperbaiki
Pendidikan Islam pada dasarnya bertujuan membentuk anak agar
memiliki kepribadian Islami. Oleh karena itu, pemberian hukuman
haruslah bertujuan untuk memperbaiki anak agar memiliki kepribadian
Islami.
b. Prinsip memberi penghargaan
a) Penghargaan tidak harus berupa materi
Artinya, penghargaan sederhana pun kadang sudah sangat memadai,
pujian misalnya. Selain itu jangan segan-segan untuk memberi
penghargaan berupa sentuhan fisik seperti ciuman, pelukan, atau usapan
kepala. Dan jangan lupa bahwa doa merupakan penghargaan yang sangat
baik.
b) Penghargaan karena proses, bukan hasil
Anak harus dihargai atas usaha yang dilakukan, bukan Hanya dinilai dari
sisi keberhasilannya saja. Sesungguhnya, usaha anak lebih penting
daripada hasil yang diperolehnya, dan inilah yang lebih patut dihargai.
c) Penghargaan tidak harus mengikuti keinginan anak
Penghargaan itu tidak harus mengikuti keinginan Sang anak. Orangtua
lebih tahu apa yang terbaik bagi anak, sehingga mempertimbangkan baik
buruknya penghargaan tersebut bagi anak perlu dicermati orangtua.
d) Penghargaan harus sepantasnya dan tidak berlebihan
Sebaiknya usaha yang sulit, dibalas dengan penghargaan yang lebih
tinggi, dibandingkan usaha yang lebih mudah. Selain itu, penghargaan itu
merupakan sesuatu yang bermanfaat bagi perkembangan anak, bukan
sesuatu yang membuat anak menjadi lalai, dan bukan pula menyebabkan
anak bermewah-mewahan.
e) Penghargaan harus ditepati
Orangtua harus berhati-hati bila berjanji, jangan sampai ia menjanjikan
suatu hadiah tetapi tidak dapat memenuhinya. Hal ini akan menimbulkan
pengaruh buruk bagi anak. Pertama, ia akan kecewa sehingga ia tidak
74

termotivasi lagi melakukan kebaikan. Kedua, anak akan belajar berdusta


dari tingkah orangtuanya ini.
f) Tidak terlalu mengandalkan hadiah untuk memotivasi anak
Hadiah hendaknya berfungsi sebagai penyempurna atau pelengkap
motivasi saja, bukan menjadi alasan utama anak-anak untuk melakukan
kebaikan.

5. Bahaya Mendidik Anak dengan Kekerasan


Kekerasan terhadap anak akan berdampak buruk secara fisik,
mengakibatkan organ-organ tubuh anak mengalami kerusakan, seperti memar
dan luka-luka. Anak yang mengalami kekerasan fisik dampak terhadap
psikologisnya adalah timbulnya trauma, rasa takut, rasa tidak aman, dendam,
menurunkan semangat belajar, daya konsentrasi, kreativitas, hilangnya
inisiatif, dan tahan (mental). Dalam lingkungan sosial, anak yang mengalami
tindakan kekerasan tanpa penanggulangan bisa menarik diri dari lingkungan
karena takut, merasa terancam, mearsa tidak bahagia, cenderung pendiam dan
sulit berkomunikasi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan konsep pendidikan anak dalam keluarga
(mendidik anak tanpa kekerasan) dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Dilihat dari kacamata Pendidikan Islam, pendidikan dengan kekerasan
bukanlah pendidikan yang dianjurkan oleh Allah SWT., dan Rasul-Nya.
2. Pendidikan melalui kekerasan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu
kekerasan verbal dan kekerasan non verbal (kekerasan psikologis dan
fisik).
3. Konsep pendidikan anak tanpa kekerasan dapat dilakukan dengan
memahami arti anak sesungguhnya dan mencintainya karena Allah SWT,
samakan pandangan orangtua, selalu mendoakan kebaikan kepada anak,
mendidik dengan keteladanan, menasehati melalui perkataan yang baik,
menjalin komunikasi yang baik antara orangtua dan anak, tidak
membedakan jenis kelamin, pendidikan yang demokratis bukan otoriter,
hargai perilaku baik anak, memberi hukuman yang tidak kasar dan tidak
menyakitkan.
4. Untuk menghindari pendidikan dengan kekerasan terhadap anak dengan
menggunakan prinsip dalam memberikan hukuman yaitu: beritahu
kesalahannya, hukuman bertahap, tidak keluar kata kasar, kesalahan anak
menjadi bahan evaluasi bagi orangtua, menghukum atas dasar prilaku,
adil dan konsisten dalam menghukum, serta hukuman bertujuan
memperbaiki bukan menyakiti.

75
76

5. Dampak pendidikan dengan kekerasan bagi anak diantaranya: anak


menjadi stres atau depresi, mogok melakukan sesuatu, berbohong karena
takut dimarahi, mencoba berontak, menyandang predikat “anak nakal”,
menurunkan tingkat kecerdasan, trauma yang berlanjut, menghambat
proses perkembangan jiwa, menyebabkan anak menjadi durhaka.
6. Dari 4 (empat) buku yang dibahas dalam skripsi ini semuanya
mengedepankan tentang konsep mendidik anak tanpa kekerasan. Intinya
mendidik anak harus dilakukan dengan penuh kasih sayang dan
demokratis.

B. Implikasi
Secara normal tidak ada orangtua yang tidak menyayangi anak-
anaknya. Namun masih banyak orangtua yang salah dalam perilaku
menyayangi anak. Misalnya memaksa sampai memukul anak untuk rajin
belajar agar kelak menjadi anak yang pandai. Cara seperti itu termasuk
kekerasan yang harus dihindari karena akan berakibat buruk bagi
perkembangan anak.
Mendidik anak dengan kasih sayang, memberi contoh, memuji, dan
dengan cara-cara yang santun membuat anak merasa diakui keberadaannya
dan mendorong anak untuk berperilaku baik. Cara-cara mendidik anak seperti
ini perlu dibiasakan dalam keluarga.

C. Saran
Pendidikan anak dengan menggunakan kekerasan masih banyak
dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya. Oleh karena itu, perlu adanya
penyuluhan dan bimbingan sosial terhadap keluarga dengan pembelajaran
keluarga untuk menghindari tindakan sewenang-wenang, dan penerapan pola
asuh yang bijaksana.
Khususnya kepada orangtua dan calon orangtua disarankan agar
menempuh cara-cara mendidik anak tanpa kekerasan sebagaimana yang telah
77

diajarkan oleh Allah SWT., dan Rasulullah SAW., serta cara-cara yang telah
dikemukakan dalam buku-buku yang dibahas pada skripsi ini.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Abrasyi, Moh. Athiyah. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Terj. Dari al-
Tarbiyyah al-Islamiyyah oleh H. Butami A. Gani, dan Djohar Bahry,
(Jakarta: Bulan Bintang, Cet. II, 1974.

Al-Faruq, Asadulloh. Ibu Galak Kasihan Anak. Solo: Kiswah Media, Cet. I, 2011.

Al Naisaburi, Abu Husain al-Qusyairi. Shahih Muslim Juz 4. Beirut, Dar Fikr, TT.

Al Tamimiy, Muhammad bin Hiban Abu Hatim. Shahih Ibnu Hibban, Juz I.
Beirut: Muasasah Risalah, 1993.

Al-Qur’an Al Karim

Amini, Ibrahim. Agar Tak Salah Mendidik Anak. Jakarta: Al-Huda, Cet. I, 2006.

Anshor, Maria Ulfah dan Abdullah Ghalib, Parenting with Love. Bandung: PT
Mizan Pustaka, Cet. I. 2010.

Arifin, H.M. Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bina Aksara, Cet. I,
1991.

Arikunto, Suharsimi. Manajemen Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet. V,


2005.

Ch, Mufidah. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Malang: UIN-


Malang Press, Cet. I, 2008.

Daradjat, Zakiah. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: CV


Ruhama, Cet. II. 1995.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi


Kedua. Jakarta: Balai Pustaka, 1996.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.


Jakarta: Balai Pustaka, 1999.

Gunarsa, Singgih D dan Ny. Singgih D Gunarsa. Psikologi Perkembangan Anak


dan Remaja. Jakarta: Gunung Mulia, Cet. VII, 1995.

Habsjah,Atashendartini.Jender dan Pola Kekerabatan dalam TO Ihromi (ed),


Bunga Ramapai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2004.

78
79

Hanafi,Muchlis M. Tafsir Al-Qur’an Tematik; Pembangunan Generasi Muda.


Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2011.

Harian Kompas, 3 Maret 2006

Hasbullah.Dasar-dasar Ilmu Pendidikan.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.

Iryani,Siti Wahyu Pengaruh Sikap Orang Tua terhadap Tingkat Kenakalan Anak,
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta: Badan
Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 33 nomor 3,
September 2009.

Kartono,Kartini.Psikologi. Bandung: Alumni, 1979.

Kedaulatan Rakyat, Desember 2009.

Langgulung,Hasan.Asas-asas Pendidikan Islam.Jakarta: Pustaka Al- Husna, Cet.


I, 1987.

Marimba,Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam.Bandung: PT Al-


Ma’arif, Cet. VI, 1980.

Mulyasana,Dedy.Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing.Bandung: PT Remaja


Rosdakarya, Cet. I, 2011.

Nata,Abudin.Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, Jakarta:


PT Raja Grafindo Persada, 2009.

Nawawi,Imam.Ringkasan Riyadhush Shalihin, Terj. Dari Mukhtashor Riyaadhush


Shoolihiin oleh Abu Khodijah Ibnu Abdurrohim. Bandung: Irsyad Baitus
Salam, Cet. I,2006.

Natsir, Muhammad.Kapita Selekta.Bandung: Gravenhage, 1954.

P,MontySatia Darma, dan Fidelis F. Waruwu.Mendidik Kecerdasan. Jakarta:


Pustaka Populer Obor, 2003.

Purwanto,Ngalim Ilmu Pendidikan Teorits dan Praktis.Bandung: PT Remaja


Rosda Karya, 1991.

Rahmat, Jalaludin.KeluargaMuslim dalam Masyarakat Modern.Bandung: Remaja


Rosyda Karya, 1990.

Ratna, NyomanKutha. Metodelogi Penelitian;Kajian Budaya dan IlmuSosial


Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: PustakaPelajar, Cet.I, 2010.
80

Sa’ad, Musthafa Abu. Smart Parenting 30 Strategi Mendidik Anak Cerdas


Emosional, Spiritual, Intelektual. Jakarta: Maghfirah Pustaka, Cet. II,
2008.

Second Word Conference on Muslim Education, International Seminar on


Islamic Concept and Curricula, Recommendation. Islamabad, 15- to 20,
March, 1980.

Siti Wahyu Iryani, Relevansi Keluarga Harmonis terhadap Kenakalan Remaja,


Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta: Badan Pendidikan
dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 35 nomor 4, Desember 2011.

Suleema,Evelyn.Hubungan-hubungan dalam Keluarga.dalam TO Ihromi (ed),


Bunga Rampai Sosiologi Keluarga.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2004.

Sumiami,Endang.Penddekatan Hukum pada Penanganan Kekerasan dan


Penelantaran Anak.Yogyakarta: UGM/RS. Dr Sardjito, 2002.

Suryani. Kebutuhan Pelayanan Sosial Bagi Anak Korban Tindak Kekerasan


dalam Keluarga,Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial.
Yogyakarta: Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, 1
Maret, Vol. 34, 2010.

Tarmudji, Tarsis. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Agresifitas Remaja,
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan.2002.

UU Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 1 Ayat 1),
Lihat Departemen Agama RI Himpunan Peraturan Perundang-undangan
Sistem Pendidikan Nasional, (Dirjend. Binbaga Islam, Jakarta ,
1991/1992).

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004, Pasal 1.

UU RI Penghapusan Kekerasan dalam rumah Tangga Nomor 23 tahun 2004.

Yasin,A. Fatah.Dimensi-dimensi Pendidikan Islam.Malang: UIN Malang Press,


Cet. I, 2008.

Zarman,Wendi.Ternyata Mendidik Anak Cara Rasulullah itu Mudah dan lebih


Efektif.Bandung: Ruang Kata, Cet. I, 2011.

Zed,Mestika.MetodePenelitianKepustakaan.Jakarta: YayasanObor Indonesia,


Cet.II,2008.
LEMBAR UJI REFERENSI
Nama : Rizka Hendaxiah
NIM : 108011000043
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Judul Skripsi : Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga (Mendidik Tanpa
Kekerasarl)

Paraf
No Judul Buku/Referensi
Pembimbing
BAB I
1. Zaktah Darudjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan
Sekolah, (IakaJtat Cy Ruhama, 1995), Cet. II, h. 47
2 Imam Nawawi, Ringkasan Riyadhush Shalihin, Terj. Dari
Mukhtashor Riyaadhush Shoolihiin oleh Abu Khodijah
Ibnu Abdurrohim, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006),
Cet. I, h. 56.

3 Suryani, Kebutuhan Pelayanan Sosial Bagi Arak Korban


Tindak Kekerasar dalam Keluarga Media Informasi
Penelitian Kesejahteraan Sosial, (Yogyakarta: Badan
Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraar Sosial, 1 Maret
2010), Vol.34, h.47.

4 Harian Kompas, 3 Maret 2006.


,'v1
5 Kedaulatar Rakyat, Desember 2009.
zna
6 Maria Ulfah Aashor dan Abdullah Ghalib, Palenting vith
Zore, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2010), Cet. I, h. 8. /'i.4
7 Asadulloh Al-Faruq, Ibu Galak Kasihan Anak, (Solo:
Kiswah Media, 2011), Cet. I, h.14. ..41'"{
BAB II
8 Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan
Multi.lisipliner, (JakaJta: PT Raja Grahndo Persada, 2009),
/12'=-
h. t63-164.

81
82

9 Hasaa Langgulung, lsas-asas Pendidikan Islam, (lakarta:


Pustaka A1- Husna, 1987), CeL I, h. 4.
-4^{
10 Hasbullah, Dasar-dasar llmu Pendidikak, (Jakaxta: pT
RajaGrahndo Persada, 2006), h. 1.
1t IJU Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Pasal 1 Ayat 1), Lihal Departemen Agama RI
Hinlpuan Perdtulan Petwldang-unddngah Sistem
Pendidil.,on Nasional, (D:qetd. Birbaga Islam, Jakaxta ,
1991/1992),h.3.
.d
t2 Undang-Undang No. 20 Tahm 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional .

13 Muhammad Natsir, Kapita Selekta, @aadung:


Gravenhage, 1954), h. 8',7.

l4 Dedy Mulyasana, Pendidifutn Bermutu dan Berdaya Saing,


(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. I, h.2. ,'?"{-
15 Ibrahim Amini, Agar Tak Salah Mendidik Andk. (lakaia:
Al-Huda, 2006), Cet. I, h. 4.
16 Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Bet-wawasan
Gezder, (Malang: UN-Malang Press, 2008), Cet. I, h. 302.

1',7 Endang Sumiami, Penddekatan Hulcum pada Penanganan


Kekerasan dan Penelantaran Anal<, (Yogyakaxta:
UGM/RS. Dr Sardjito, 2002)
t8
..-1h.
19 Moh. Athiyah al-Abmsyi, Dasar-datsar Pokak Pendidikan
Islam, Terj. Dai al-Tarbiyyah al-Islamiyyah oleh H,
Butami A. Gani, dan Djohar Bahry, (Jakafia: Bular /{
Bintang, 1974), Cet. II, hlm. 15,
20 Ahmad D, Marimba, Pengq tat Filsafat Pendidikak L;lam,
(Bandung: PT Al-Ma'arif, 1980), Cet. VI, h. 48.

2t H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Ti jaua


/"7n'
83

Teoritis dan Praktis Berfutsarkan pendekatan

22
lnteftlisipliner, (Jakarta: Bina Aksara, l99l), Cet. I, h. 41. ,4rd
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besdr
Bahasa Indonesia. Edisl Kedu4 (Jakarta: Balai Pustaka,
1996),h.47t.
23 A. Falah Yasin, Di ensi-dimensi Pendidikan Islam.
(Malang: UIN Malang Press, 2008), Cet. I, h. 203.
24 Depafiemen Pendidikan daa Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakana: Balai Pustaka, 1999),h.709.
25 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidiktn Teotits dan Praktis,
@andung: PT Remaja Rosda Ka.rya, t991).h.91-92.
26 Monty P, Satia darma, dan Fidelis F. Was*"t, Mendidik
Kecetddsak. (Jakafiai Pustaka Populer Obor, 2003), h.
123-12s.
,4r{
2',7 Singgih D Gunarsa daa Ny. Singgih D Guna.rsa, Psi,tologi
Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta: Gunung Mulia,

1995), Cet. vII, h. 82-84.


28 Muchlis M. Hatafi, Tafsir Al-Qur'an Tematik;
Pembangunan Generasi Mudd,(Jakafia: Lajnah
Pentashihan MushafAI-Qur'an, 2011 ), h. 129.
,M
29 Endang Sumiami, Pendekatan Hukum pada Penangetnan
Kekerasan dan Penelantdtd Anak, (Yogyakalta: UGM Dr
Sardiito,2002)
,7{
30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahtm
2004, Pasal 1.

31 Tarsis Tarmudji, Hubungan Pola Asuh Orangtua dengail


Agresifitas Remaj4 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan,
2002. h. 504-518.

32 Siti Wahlu Iryani, Pengaruh Sikap Orangtua terhadap


Tingkat Kenakalan l'l]€k, Media Informasi Penelitian
84

Kesejahteraan Sosia| (Yogyakarta: Badan Pendidikan dan


Penelitian Kesejahteraan Sosial, September 2009), Vol. 33
nomor 3, h. 288. /'7{
33 Siti Wallu Iryani, Relevansi Keluarga Hamonis terhadap
Kenakalan Remaja, Informasi Pehelitian KesejahterAan
So.rial, (Yogyakarta: Badan Pendidikan dan Penelitian
Kesejahteman Sosial, Desember 2011), Vol. 35 nomor 4, h.
314.

BAB III
34 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, gakatlai
Yayasan Obor Indonesia,20O8), Cet.II, h.3.
35 Suharsimi Arikunto, Manajemen Pe elitian, (Jakafia'. PT
Rineka Cipta, 2005), Cet. V, h.321. ,h{
36 Nyoman Kutha Ratna, Metodelogi Penelitian; Kqjiak
Budaya dan llmu Sosial Humaniora Pada Umumnya,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet.I, h.358.

BAB IV
37 Maria Ulfah Anshor dan Abdullah chalib, Parcnti11g lith
Zove, @andung: PT Mizan Pustaka, 2010), Cet. I.

38 Asadulloh Al-Faruq, Ibu Galak Kasihan Anak, (Solo


Kiswah Media, 2011), Cet. I, h.14.
39 Wendi Zarmaa, Ter yata Mendidik Anak Cara Rasulullah
itu Mudah & Lebih
Cet. I.
Efeitf (Bandung: Ruang Kata, 20l l),
o^.
40 Musthafa Abu Sa'ad, S a/t Parenting 3A Sffategi
Mendidik Anaft(lakarta: Maghfirah Pustaka, 2008) CeL II.

Anda mungkin juga menyukai