Anda di halaman 1dari 2

RANGKUMAN MATERI

KELOMPOK 3:
1. Muh. Fiqry Ahsabannur Amri - 4520023017
2. Dewi Kartika Tempali - 4520023028
3. Putri Amalia Pratiwi - 4520023019
4. Ziyad Ilman Mashur - 4520023007
5. Annisa Irianto - 4520023015
6. Ricky D. Engels - 4518023082
7. Siana – 4519023039
8. Vira Fajriani Dedi - 4520023027
9. Chaerunnisa - 4520023023
10. Muh Fadliansyah Taruna - 4520023038
11. Moh.Eko Adhitya Sakaria - 4520023071
12. Rana Eliza Zulham A - 4520023026

Tujuan Diskusi : Menganalisis dampak perubahan iklim terhadap keimigrasian global


ditinjau dari berbagai studi kasus dan rezin perlindungan pengungsi.

Status Hukum Environmentally Displaced Persons


Negara-negara maju dianggap penyumbang terbesar emisi dan gas rumah kaca yang
menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim. Negara-negara kecil seperti Maladewa, Tuvalu
dan beberapa negara-negara kepulauan lainnya yang tergabung dalam AOSIS menghadapi
ancaman nyata dari pemanasan global, banjir, dan bencana alam lainnya. Dampak terburuknya
adalah hilangnya suatu wilayah secara permanen yang memaksa penduduk melakukan migrasi.
Perubahan Iklim yang telah terjadi dalam beberapa dekade terakhir membuat sekitar 25 juta
orang harus mengungsi. UNHCR berperan penting dalam perlindungan pengungsi sesuai
Hukum Internasional, seperti menginterpretasikan hukum pengungsi Internasional untuk
pemanfaatan maksimal dari perlindungan pengungsi; mengeluarkan buku panduan dan
pelatihan untuk meningkatkan kualitas personel UNHCR; memberikan pelatihan teknis dan
memperkuat kemitraan dengan negara-negara, intergovernmental, NGO’s, dan lainnya.
IOM dan UNHCR menyepakati istilah Environmentally Displaced Persons.
Pengertiannya adalah individu, keluarga, populasi yang dihadapkan pada bencana lingkungan
yang tiba-tiba dan tak terhindarkan dan memaksanya untuk pindah dari tempat asalnya dan
membutuhkan relokasi serta pemukiman kembali. Status Hukum dan Perlindungan
Environmentally Displaced Persons belum mendapatkan keputusan yang jelas meskipun
cenderung ke arah penolakan dari masyarakat internasional. Beberapa ahli menganggap bahwa
Environmentally Displaced Persons akan membawa masalah baru yaitu, membludaknya
pengungsi yang melampaui kapasitas dari masyarakat internasional. Oleh karena itu perlunya
untuk menguji elemen pengungsi dalam menentukan apakah Environmentally Displaced
Persons layak disebut pengungsi, karena dilindungi oleh konvensi 1951 dan protokol 1967.
Elemen yang pertama adalah adanya pengingkaran HAM terhadap Environmentally
Displaced Persons sebagai pengungsi yang mengalami kerugian akibat lingkungan yang
mengancam kesehatan jiwa dan kebebasan seseorang. Tidak hanya memenuhi elemen
penganiayaan, namun juga berdasarkan alasan-alasan yang disebut dalam Konvensi 1951 yang
membatasi ras,agama,kebangsaan, kelompok sosial tertentu, atau opini politik sebagai alasan
penganiayaan. Sarjana lain berpendapat bahwa ketika sekelompok orang menderita akibat
terparah dari bencana alam, maka mereka memenuhi kategori kriteria kelompok tertentu. Ada
beberapa pendapat yang menyatakan bahwa pihak penganiaya adalah masyarakat internasional
yang gagal mengurangi emisi gas rumah kaca dan memicu bencana alam di negara-negara
tertentu, namun belum ada bukti yang valid terhdap pendapat tersebut. Sebagian ahli
berpendapat bahwa Environmentally Displaced Persons berasal dari negara-negara
terbelakang yang memenuhi elemen tersebut, di mana pemerintahnya tidak mampu
menyediakan perlindungan karena keterbatasan dana atau mampu namun tidak bersedia
memberikan perlindungan terhadap warganya. Di sisi lain, beberapa negara di pasifik selatan
yang tergabung dalam AOSIS berupaya melobi negara-negara industri untuk mengurangi emisi
gas rumah kaca dan. Selain itu, mengalokasikan dana khusus pendidikan dan kesehatan
menjadi program persiapan menghadapi perubahan iklim.
Negara-negara tidak terlepas dari kewajibannya memberi perlindungan kepada
Environmentally Displaced Persons, baik sebagai pengungsi ataupun bukan. Negara
diwajibkan menjamin HAM yang diatur meliputi hak untuk hidup, kebebasan, dan kekayaan.
Environmentally Displaced Persons tidak berhak atas status pengungsi dan kehilangan
kewarganegaraan, maka mereka menjadi Stateless persons (orang-orang tanpa
kewarganegaraan) yang berhak atas perlindungan internasional. Stateless persons tersebut
terbagi dalam dua golongan, yaitu de jure stalessness dan de facto stalessness. Negara-negara
peserta konvensi tentang stalessness diwajibkan memberikan hak-hak tertentu seperti hak atas
status hukum yang diatur dengan hukum negara ia bertempat tinggal dan beberapa hak lainnya.
Negara-negara juga diwajibkan memberikan bantuan administrasi seperti memberikan
dokumen atau sertifikasi yang diberikan kepada orang asing. Selain itu, negara-negara dalam
membuat maupun menjalankan peraturan nasionalnya tidak boleh mendiskriminasi seseorang
dari ras, jenis kelamin, agama, pendapat politik, negara asal dan status kelahirannya.

Anda mungkin juga menyukai