Anda di halaman 1dari 4

B.

Dinamika dan Pemikiran Salafi

Munculnya kelompok yang berpakaian ala Timur Tengah akhirakhir ini, seperti bagi
kalangan laki-laki memakai jubah panjang (jalabiyah), serban (imamah), celana panjang di atas
mata kaki (isbal), dan memelihara jenggot (lihyah), sedangkan di kalangan perempuan memakai
pakaian hitam yang menutupi seluruh tubuh (niqab) merupakan sebuah fenomena tersendiri bagi
perkembangan umat Islam. Mereka hadir di beberapa kota, misalnya Yogyakarta, Solo,
Semarang, Bandung, Cirebon, Jakarta, dan Makasar.14
Cara berpakain model tersebut merupakan salah satu aturan dan anjuran yang
dikembangkan oleh kelompok Salafi.15 Kalau dirunut sejarahnya, ajaran Salafi sekarang hampir
mirip bahkan bisa dikatakan sebagai Wahhabi kontemporer.16
Benih Salafi modern berasal dari pemikiran Jamaluddin alAfghani (1839-1897) dan
Muhammad Abduh (1849-1905) di awal abad ke-20. Tujuan utamanya yaitu menyingkirkan
mentalitas taqlid dan jumud dari pemikiran umat Islam selama berabad-abad, mengembalikan
Islam pada bentuk aslinya, dan mereformasi kondisi moral, budaya dan politik Muslim.22
Namun, ajaran Salafi yang berkembang belakangan ini lebih mirip dengan ajaran Salafi klasik
masa Ibn Hambal yang berfokus pada masalah keyakinan dan moralitas, seperti tauhid ketat,
atribut Ilahiyah, memerangi bid’ah, antisufisme, dan mengembangkan integritas moral
individu.23
Gerakan dakwah Salafi tampaknya tidak bisa dilepas dari konflik di Arab Saudi. Hal ini
berimbas pada pecahnya gerakan Salafi internasional menjadi dua kubu. Pertama, kelompok
yang pro atau mengikuti ulama resmi pemerintah, termasuk jaringan Markaz Nashiruddin al-
Albani di Yordan dan Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i di Yaman. Kedua, kelompok oposisi
atau bersikap kritis terhadap pemerintah. Tokoh penggeraknya yaitu Muhammad Surur bin
Zainal Abidin. Setelah diusir dari Arab Saudi, ia mendirikan Yayasan alMuntada dari Inggris.
Ada juga Abdurrahman Abdul Khaliq yang mengendalikan Yayasan Ihya al-Turats dari Kuwait.
Kelompok ini dikenal dengan Salafi Sururiyah. Disamping itu, ada pula Salman bin Fahd al-
Audah yang dituduh sebagai penasehat Osama bin Laden, Safar bin Abdurrahman al-Hawali
ulama yang menentang kebijakan Amerika Serikat dan Arab Saudi, dan Muhammad bin
Abdillah alMasari tokoh pelopor Hizbut Tahrir Arab Saudi.24 Di kalangan Salafi, kelompok
Sururiyah mentolelir kehidupan berpolitik.25
Sementara itu, Salafi di Indonesia bukanlah komunitas monolitik. Keterkaitannya pada
negara-negara di Timur Tengah, Yaman, dan Arab Saudi, menunjukkan adanya kecenderungan
atas ideologi yang berbeda-beda. Pada 1990-an, muncul tanda-tanda perpecahan antara reformis
(academic Salafism/Salafiyyah alilmiyyah) dan Salafime Jihad (Salafiyyah al-Jihadiyyah).26
Setidaknya ada dua konflik yang terjadi di kalangan Salafi, yaitu: (a) konflik antara Ja’far Umar
Thalib dengan Yusuf Baisa; dan (b) konflik antara Ja’far Umar Thalib dengan Muhammad
Assewed dan Yazid Jawwaz. Konflik ini berimbas pada jaringan-jaringan mereka.27

C. Perkembangan Gerakan Salafisme di Indonesia

Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) sangat berperan dalam penyebaran
Salafisme di Indonesia. LIPIA memberikan beasiswa penuh bagi semua mahasiswanya, bahkan
lembaga ini mengirimkan mahasiswa-mahasiswa terbaiknya untuk studi lebih lanjut ke Saudi
Arabia dan Pakistan. Sewaktu kembali ke Indonesia, sebagain dari alumni Saudi Arabia tidak
kembali ke induk organisasi pengirim, melainkan aktif menyiarkan dakwah Salafi. Tokoh yang
termasuk dalam generasi awal ini adalah Chamsaha Shofwan yang dikenal dengan Abu Nida,
Ahmad Faiz Asifuddin, dan Aunurrafiq Ghufran. Abu Nida dan Aunurrafiq merupakan alumni
Pendidikan Guru Agama Muhammadiyah di Lamongan, sebelum akhirnya bergabung dengan
DDII. Sementara Faiz Asifuddin adalah seorang kader Madrasah Wathaniyah Islamiyyah,
Kebarongan, Banyumas.1

Sebelum keluar dari DDII, Abu Nida dan Asifuddin sempat mengajar di Pondok
Pesantren al-Mukmin Ngruki, Solo, Jawa Tengah. Kemudian mereka memutuskan keluar dari
pesantren tersebut untuk menyebarkan dakwah Salafi. Di mana para jama'ahnya sebagian besar
adalah intelektual muda Muslim di kampus-kampus di Yogyakarta. Mereka merupakan
mahasiwa-mahasiswa aktivis di perguruan tinggi umum, terutama di Universitas Gajah Mada.
Pada masa-masa awal, Abu Nida bekerjasama dengan para aktivis dari Ikhwanul Muslimin,
seperti Abu Ridlo. Mereka memadukan gerakan Salafi dengan Ikhwani, seperti yang terlihat
dalam slogan mereka “Aqidah Salafi, Manhaj Ikhwani”.2

1
Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militancy and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia, (New York: Cornell
University, 2006), hlm. 52.

2
Ibid., hlm. 54.
Setelah berhasil mendapatkan pengikut yang cukup, Abu Nida memilih untuk
memisahkan diri dari kelompok Ikhwanul Muslim, dan melaksanakan pengajian yang terpisah
dari mereka di masjid-masjid sekitar UGM, seperti masjid Mardiyah dekat Mirota Kampus, dan
masjid Mujahidin dekat Fakultas Teknik dan Fakultas Kedokteran. Kemudian, Dakwah Salafi
mendapatkan dukungan tambahan ketika Ja’far Umar Thalib, Yazid Abdul Qadir Jawwas, dan
Yusuf Usman Baisa bergabung dengan mereka. Mereka diamanahi untuk mengajar di Pondok
Pesantren al-Irsyad Tengaran, Salatiga, Jawa Tengah. Pada akhirnya, pesantren ini menjadi
kiblat gerakan Salafi di Indonesia di bawah pimpinan Ja’far Umar Thalib, di mana hampir semua
ustadz-ustadz Salafi senior pernah menjadi “santri” di pesantren ini. Seiring berjalannya waktu,
pesantren al-Irsyad juga menjadi saksi dari awal perpecahan di kalangan Salafi. Perpecahan ini
disebabkan oleh penggantian kepemimpinan dari Thalib ke Yusuf Usman Baisa. Thalib tidak
setuju dengan penggantian tersebut, sehingga ia meninggalkan pesantren dan mendirikan
pesantren sendiri, yaitu pesantren Ihya Al-Sunnah di Degolan, Kaliurang, Yogyakarta.

Di samping itu, kedatangan Abdul Rahman Abd. al-Khaliq dari Ihya al-Turath di Kuwait
ke pesantren ini yang kemudian disusul dengan kedatangan Sharif Fu’ad Haza pada tahun 1996,
membuat konflik semakin tajam. Thalib menuduh kedua orang tersebut dan pengikutnya sebagai
pengikut gerakan Sururi. Sejak saat itulah kelompok utama Salafi terbelah menjadi dua: Yamani
dan Haraki. Yamani sendiri ditujukan kepada kelompok dari Ja’far Umar Thalib. Sebagian besar
ustadz dari kelompok Yamani adalah murid-murid Ja’far yang dikirim ke Yaman untuk belajar di
pusat pengajaran Salafi yang berada di bawah pimpinan Sheikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i,
yaitu Darul Hadits Dammaj. Kelompok lainnya yaitu kelompok “haraki” yang berarti
pergerakan. Disebut demikian karena kelompok Yamani menuduh bahwa kelompok ini
menerapkan strategi pergerakan dalam dakwah mereka. Di dalam kelompok ini tergabung Abu
Nida, Abdul Qadir Jawwas, Ahmad Faiz Asifuddin, Aunurrafiq Ghufran, dan Abdul Hakim
Abdat. Berbagai rekonsiliasi telah diusahakan untuk menyatukan gerakan Salafi, namun
semuanya gagal.3

3
Din Wahid, Gerakan Salafi: Sejarah, Tipologi, dan Ajaran, diakses dari https://ibtimes.id/gerakan-salafi-sejarah-
tipologi-dan-ajaran/, pada tanggal 9 April 2022, pukul 22:56.

Anda mungkin juga menyukai