Anda di halaman 1dari 2

Tugas MSI

Rendi Herdiyanto (2285110002)

1. Pengertian Qurban

Qurban berasal dari bahasa Arab, “Qurban” yang berarti dekat (‫)قربان‬. Kurban dalam
Islam juga disebut dengan al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang berarti binatang
sembelihan, seperti unta, sapi (kerbau), dan kambing yang disembelih pada hari raya Idul
Adha dan hari-hari tasyriq sebagai bentuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah.

2. Sumber

Al-Quran dan Hadist

3. Dalil

Qs.Al-Kautsar ayar 2 yang berbunyi ْ‫ر‬44‫ك َوا ْن َح‬ َ َ‫ ف‬yang


َ ِّ‫لِّ لِ َرب‬4‫ص‬ berarti; “Maka
laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan
diri kepada Allah)”

Nabi Muhammad SAW dalam hadits juga telah mengingatkan umatnya tentang perintah

berkurban. Berikut haditsnya,

Dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada amalan anak cucu Adam pada hari raya
qurban yang lebih disukai Allah melebihi dari mengucurkan darah (menyembelih hewan
qurban). sesungguhnya pada hari kiamat nanti hewan-hewan tersebut akan datang lengkap
dengan tanduk-tanduknya, kuku-kukunya, dan bulu- bulunya. Sesungguhnya darahnya akan
sampai kepada Allah sebagai qurban di manapun hewan itu disembelih sebelum darahnya
sampai ke tanah, maka ikhlaskanlah menyembelihnya.” (HR. Ibn Majah dan Tirmidzi)

4. Pendapat Para Ulama

a. Hukum Berkurban Menurut Mazhab Imam Hanafi

Dalam hukum berkurban, Imam Hanafi berpendapat bahwa apabila seseorang yang
mampu secara finansial, maka diwajibkan baginya untuk berkurban. Mampu dalam ukuran,
memiliki kekayaan minimal sebesar 200 dirham, atau kekayaan harta yang dimiliki telah
mencapai nisab zakat.
Jika seseorang yang telah memiliki harta yang berlebih, namun tidak berkurban, maka orang
tersebut telah berdosa karena meninggalkan ibadah wajib. Hal ini berdasar hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah yang berbunyi, “Dari Abu Hurairah, Nabi
SAW bersabda: Barang siapa mendapatkan kelapangan tetapi tidak berkurban, maka
janganlah dia mendekati tempat shalat kami.”

b. Hukum Berkurban Menurut Mazhab Imam Maliki

Bagi Imam Maliki, hukum berkurban memiliki nilai sunnah muakkad, namun dapat
berubah menjadi makruh bagi seseorang yang mampu berkurban namun tidak melakukannya.
Makruh adalah hukum yang bernilai sebuah pelarangan, namun bisa dilakukan tidak
mendapat konsekuensi dosa. Bagi seorang mussafir, hukum berkurban menjadi sunnah.
Sedangkan bagi anak yang belum baligh, hukumnya sama seperti Mazhan Hanafi, yaitu
sunnah dengan mengambil harta dari walinya.

c. Hukum Berkurban Menurut Mazhab Imam Syafi’i

Bagi Mazhab Syafi’i, seseorang yang dinilai telah memiliki kelapangan harta dan
mampu membeli hewan kurban, dengan catatan telah memenuhi kebutuhan diri dan
keluarganya pada hari Idul Adha serta hari-hari tasryik, maka diwajibkan berkurban. Namun
apabila hartanya tidak ada sisa lebih setelah memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya, maka
tidak diwajibkan berkurban. Hukum berkurban menurut Imam Syafi’i, bernilai sunnah
muakad. Cukup sekali berkurban dalam seumur hidup. Tidak perlu dilakukan selama setahun
sekali.

d. Hukum Berkurban Menurut Mazhab Imam Hambali

Imam Hambali berpendapat jika seseorang bisa mengusahakan diri untuk membeli
hewan kurban, walaupun dengan cara berutang, maka dia dianjurkan untuk berkurban.
Hukum berkurban wajib bagi seseorang yang mampu melakukannya, namun menjadi sunnah
bila seorang muslim tidak mampu menunaikannya. Jika seorang muslim menjadi musafir,
disunnahkan baginya untuk berkurban. Sedangkan bagi anak-anak yang belum baligh, tidak
disunnahkan.

5. Wujud dalam keseharian

Berqurban Ketika hari raya Idhul Adha

Anda mungkin juga menyukai