11911023115
TIPA 6B
KAPITA SELEKTA PENDIDIKAN IPA
REVIEW JURNAL 1
Kata ethnoscience (etnosains) berasal dari kata ethnos (bahasa Yunani) yang
berarti bangsa, dan scientia (bahasa Latin) artinya pengetahuan. Oleh sebab
itu etnosains adalah pengetahuan yang dimiliki oleh suatu bangsa atau lebih
Kajian tepat lagi suatu suku bangsa atau kelmpok sosial tertentu sebagai system of
Pustaka knowledge and cognition typical of a givel culture (Parmin, 2017)
penekanannya pada sistem atau perangkat pengetahuan yang merupakan
pengetahuan yang khas dari suatu masyarakat karena berbeda dengan
masyarakat lainnya. Menurut Sardjiyo (2005) pendekatan etnosains
merupakan strategi penciptaan lingkungan belajar dan perancangan
pengalaman belajar yang mengintregasikan budaya sebagai bagian dari proses
pembelajaran Pembelajaran sains hendaknya menuntun peserta didik untuk
melek tentang ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu karakteristik
pembelajaran etnosains menurut Holbrook & Rannikmae (2009) adalah
pengembangan sikap positif terhadap sains.
2
Metodologi penulisan yang digunakan pada artikel ini adalah kajian pustaka.
Artikel ini berisi kajian tentang pentingnya pembelajaran berbasis etnosains
Metode dalam upaya meningkatkan literasi sains yang dikaji dari berbagai macam
penelitian
sumber pustaka.
Pada akhir pembelajaran diberikan quiz dan untuk kelompok dengan nilai
Hasil tertinggi akan mendapatkan reward sehinga para siswa menjadi terpacu untuk
penelitian saling berkompetisi dan memahami pelajaran dengan baik. Para anggota
kelompok juga memastikan anggota kelompoknya supaya paham dengan
materi yang diajarkan. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan
perangkat LKS bermuatan etnosains materi hidrolisis garam berhasil dapat
meningkatkan literasi sains siswa. Bahan ajar yang baik, salah satunya LKS
harus memuat interaksi antara sains, teknologi dan masyarakat seperti LKS
bermuatan etnosains yang dikembangkan oleh peneliti. Interaksi ini
dimaksudkan untuk memberikan gambaran pengaruh sains terhadap
masyarakat. Aspek melek ilmiah (scientific literacy) menyinggung penerapan
sains dan bagaimana teknologi membantu kehidupan manusia(Allchin, 2014).
Dengan meningkatkan literasi sains dalam pembelajaran mampu memperbaiki
aspek pendidikan, sedangkan tingkat literasi di Indonesia masih dirasa kurang.
Upaya peningkatan literasi sains di Indonesia dapat dilakukan dengan
Kesimpulan pembelajaran berbasis etnosains. Dimana pendekatan etnosains merupakan
strategi penciptaan lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar
yang mengintregasikan budaya sebagai bagian dari proses pembelajaran.
Pentingnya pembelajaran menggunakan pendekatan budaya lokal dan
lingkungan sekitar atau pendekatan etnosains sebagai sumber belajar supaya
proses belajar lebih bermakna bagi peserta didik dan dapat mempengaruhi
peningkatan hasil akademik peserta didik. Dengan demikian, Pembelajaran
berbasis etnosains dapat dijadikan acuan sebagai upaya untuk meningkatkan
literasi sains.
Membangun kesadaran akan pentingnya pembelajaran berbasis etnosains
dalam pembelajaran IPA sebagai upaya untuk meningkatkan literasi sains
Kelebihan terutama pada pembelajaran IPA abad 21. Artikel ini disusun berdasarkan
penilaian PISA dimana Indonesia berada pada peringkat yang rendah dalam
pencapaian peserta didik untuk bidang sains, membaca, dan matematika.
Jurnal ini hanya membahas mengenai etnosains pada bagian literasi sains nya
Kekurangan saja, tidak bagian materi IPA nya.
1
REVIEW JURNAL 2
2
Satu dari banyak pertanyaan penting tak terselesaikan di dunia pendidikan
adalah bagaimana meningkatkan prestasi belajar pada siswa disetiap level. Ada
dua alasan
atas prestasi akademik yang tidak memuaskan. Kemampuan akademik yang
kurang, dan kurangnya usaha yang dilakukan. Ada banyak faktor yang
menyebabkan siswa memiliki sedikit usaha dalam belajar. Sebagai contoh
adalah tugas sekolah yang terlalu sulit atau membosankan, guru yang terlalu
Pendahuluan menuntut, dan mungkin karena aktivitas diluar akademik. Akan tetapi tidak
adanya motivasi dan minat juga menjadi penyebab siswa yang mengabaikan
pendidikannya. Sejak tahun 2000, penelitian demi penelitian telah dilakukan
dan hasilnya sangat jelas bahwa ada krisis yang mengkhawatirkan yang
kaitannya dengan minat siswa dalam ilmu pengetahuan terutama sains.
Kurangnya minat ini disebabkan oleh faktor yang kompleks termasuk keadaan
sosial yang berada di luar sekolah. Misalnya, ketidaktahuan tentang prospek
pekerjaan di bidang ilmu sains dan teknologi. Dalam pendidikan, terdapat bukti
bahwa pengalaman sains di sekolah memberikan kontribusi atas ketidaktahuan
ini.
PISA 2006 yang didalamnya terdapat satu set kuisioner tentang sikap,
memasukan komponen ketertarikan siswa pada sains. Selain itu, ada bagian
khusus dari kuisioner ini yang berupa serangkaian pertanyaan untuk mengukur
minat siswa pada sains, dan ketertarikan siswa pada topik permasalahan tentang
Kajian
sains yang nantinya akan menarik minat pekerjaan mereka. Studi internasional
Pustaka melaporkan adanya korelasi antara prestasi belajar sains siswa di sekolah dan
minat mereka dalam pelajaran sains. Sebuah studi besar yang ditemukan bahwa
dari siswa tahun ke-6 sampai ke-9 mengalami penurunan minat sebagian besar
mata pelajaran, tetapi hanya ilmu sains dan matematika yang terlihat signifikan.
Sains adalah sebagai salah satu usaha terbesar manusia dalam sejarah
peradaban. Setiap konsep dan prinsip dalam buku teks sains diakui sebagai hasil
dari drama manusia yang besar. Sains, bila diterapkan di masyarakat sebagai
ide atau teknologi, bukan hanya solusi teknis, tetapi menjadi agen perubahan
bagi masyarakat, dan dalam kehidupan manusia. Pengajaran sains sebagai suatu
cerita atau kisah adalah pedagogi baru di beberapa kurikulum sains baru-baru
ini. Cerita yang melibatkan karakter, alur dan tujuan, telah menjadi cara yang
universal di mana masyarakat mendidik anak-anak mereka, tetapi di sekolah
cara ini hampir diabaikan dalam mengajar sains.
3
mensistesis penelitian yang telah dipublikasikan tentang minat siswa terhadap
sains dan etnosains yang termasuk didalamnya terdapat sains asli (Indigenous
science).
Metode
penelitian
PISA 2006 mendefinisikan situasi sains sebagai suatu literasi ilmiah dan
pertanyaan tentang penilaian sains yang terdapat dalam kerangka pemikiran
Hasil yang mengikuti bebrapa komponen, yaitu scientific contexts seperti situasi
kehidupan yang meliputi sains dan teknologi, scientific competencies seperti
penelitian
mengidentifikasi permasalahan secara ilmiah, dan menggunakan bukti-bukti
secara ilmiah, scientific knowledge seperti memahamitentang konsep-konsep,
dan terahir student attitudes toward science seperti minat siswa pada sains,
dukungan yang diberikan, dan juga keadaan sekitar. Ada dua aspek afektif sains
yang ditambahkan pada Proyek PISA tahun 2006, personal interest in science
dan support for science in. Keduanya ada dalam pernyataan target literasi sains,
dan termasuk aspek untuk mengukur dalam tes prestasi. Hal tersebut adalah
usaha yang disengaja untuk menunjukkan bahwa unsur intrinsik dan ekstrinsik
dalam sains harus dimasukan dan menjadi harapan sebagai hasil pembelajaran
sains disekolah
Pembelajaran berbasis etnosains yang tidak memisahkan antara sains, budaya
dan kearifan lokal juga masyarakat dapat digunakan sebagai suatu pendekatan
pembelajaran guna meningkatkan minat atau motivasi siswa juga prestasi belajar
siswa terhadap sains. Dengan etnosains siswa tidak memandang sains sebagai
Kesimpulan
suatu budaya asing yang mereka pelajari, tetapi dipandang sebagai bagian dari
budaya dan kearifan lokal yang ada. Cara ini dapat diajarkan dengan
pembelajaran yang berpusat pada siswa sehingga dapat memperbaiki respon
siswa terhadap sains dan meningkatkan kegunaan praktis dari sains, nilai
kemanusiaan, dan hubungan antara individu dengan lingkungan.
Membahas permasalahan minat tentang sains, penerapan etnosains dan sains
asli dibidang pembelajaran sains (fisika, kimia , biologi, matematika) juga
Kelebihan bidang sosial.
1
REVIEW JURNAL 3
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil keterampilan proses sains dan
apresiasi siswa terhadap profesi pengrajin tempe dalam pembelajaran IPA
berpendekatan etnosains. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata persentase
keterampilan proses sains siswa pada uji coba I sebesar 64,58%, pada uji coba
Abstrak II sebesar 70,10% dan sebesar 74,26 % pada uji coba III. Hasil perhitungan
terhadap angket apresiasi siswa terhadap profesi pengrajin tempe diperoleh
nilai N-gain > 0,70 yang berarti peningkatan apresiasi siswa berada pada
kategori tinggi.
Pembelajaran selama ini cenderung hanya mengutamakan pengembangan
aspek intelektual dengan buku teks pegangan guru menjadi sumber belajar
utama. Berdasarkan observasi yang dilakukan kenyataan tersebut merupakan
gambaran umum yang terjadi di Kedungtuban Kabupaten Blora karena proses
pendidikan formal cenderung dipandang sebagai proses pembelajaran yang
terpisah dari proses akulturasi dan terpisah dari konteks suatu komunitas
budaya. Di samping itu, banyak orang yang memandang mata pelajaran di
Pendahuluan sekolah memiliki tempat yang lebih tinggi (social prestige), dari pada tradisi
budaya lokal yang dipandang tidak berarti dan rendah (discreditation). Saat ini
banyak masyarakat Kedungtuban yang berprofesi sebagai pembuat tempe.
Profesi sebagai pengrajin tempe dapat dinyatakan sebagai bagian dari budaya,
karena menurut Siregar (2002) kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari
masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang
dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan. Budaya merupakan suatu cara hidup
yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan
diwariskan dari generasi ke generasi. Akan tetapi cara hidup atau budaya
masyarakat ini kurang mendapat apresiasi positif dihati para siswa. Kurangnya
apresiasi siswa terhadap profesi tersebut dikarenakan selama ini siswa belum
mengetahui bahwa dalam proses pembuatan tempe tersebut juga menggunakan
prinsip sains.
2
Pembelajaran berpendekatan etnosains dilandaskan pada pengakuan terhadap
budaya
sebagai bagian yang fundamental (mendasar dan penting) bagi pendidikan
sebagai ekspresi dan komunikasi suatu gagasan dan perkembangan
Kajian
pengetahuan (Joseph, 2010). Apresiasi merupakan pemahaman dan
Pustaka penghargaan atas suatu hasil seni atau budaya serta menimbang suatu nilai,
merasakan bahwa benda itu baik dan mengerti mengapa baik (Sukmadinata,
2010). Apresiasi dapat diketahui dengan pengamatan, bertanya langsung
maupun tidak langsung, dan angket. Dalam penelitian ini apresiasi akan diukur
menggunakan angket. Keterampilan proses sains adalah wawasan atau anutan
pengembangan keterampilan- keterampilan intelektual, sosial, dan fisik yang
bersumber dari kemampuan-kemampuan mendasar yang pada prinsipnya telah
ada
dalam diri pebelajar (Dimyati, 2006).
3
Penelitian ini dilakukan dengan mengobservasi aspek keterampilan proses
sains yang yang dilakukan oleh siswa. Apresiasi diketahui dengan memberikan
angket apresiasi sebelum dan sesudah pembelajaran IPA berpendekatan
etnosains.
Metode
penelitian
Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar antara siswa
dalam
Hasil pembelajaran dengan pendekatan etnosains, hal ini disebabkan dalam
pembelajaran IPA dengan menggunakan pendekatan etnosains siswa lebih
penelitian
tertarik dan antusias terhadap pembelajaran karena siswa merasa pembelajaran
IPA berpendekatan etnosains lebih menyenangkan dibandingkan dengan
pembelajaran konvensional. Disamping itu juga pada pembelajaran
konvensional guru memegang peranan yang dominan sedangkan
siswa cenderung bersikap pasif. Peningkatan hasil belajar siswa tersebut
dikarenakan adanya keterlibatan siswa selama proses pembelajaran, karena salah
satu prinsip belajar adalah mengalami sendiri, artinya siswa yang melakukan
dengan sendiri akan memperoleh hasil belajar yang optimal. Dalam
pembelajaran menggunakan perangkat
pembelajaran berpendekatan etnosains siswa terlibat aktif dalam pembelajaran
sehingga
memiliki pemahaman yang lebih baik dari siswa yang belajar secara
konvensional.
Pembelajaran IPA yang selama ini berlangsung di SMP Bhakti Kedungtuban
Blora cenderung tidak kontekstual dan guru kurang memanfaatkan budaya yang
Kesimpulan berkembang , skor rata-rata keterampilan proses sains siswa ( 60% ≤ 𝐾𝑃𝑆 ≥
80 % ) berada pada kategori tinggi, peningkatan apresiasi siswa sebelum dan
sesudah pembelajaran terhadap profesi pengrajin tempe berada pada kriteria
tinggi (𝑔 ≥ 0,70 ).
Siswa menjadi lebih tahu mengenai proses sains yang terjadi pada makanan
yang dikonsumsi sehari-hari, dan juga siswa bisa membandingkan data yang
Kelebihan didapat dari pengetahuan masyarakat dengan pengetahuan secara proses
ilmiahnya.
1
REVIEW JURNAL 4
Judul
MODEL PEMBELAJARAN KIMIA BERBASIS ETNOSAINS
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS
SISWA
Jurnal Jurnal Pengajaran MIPA
Vol. & Hal. Vol.21 nomor 1, halaman 46-51
Tahun 2016
Penulis Siti Arfianawati, Sudarmin, dan Woro Sumarni
Tanggal April 2016
Reviewer Hartica Putri Ardana/11911023115
(Nama
Mahasiswa/
NIM)
2
Pembelajaran adalah suatu proses interaksi antara siswa dengan lingkungan
sehingga dapat menyebabkan terjadinya perubahan sikap dan perilaku
menuju arah yang lebih baik (Winarni, 2013). Perubahan kearah yang lebih
baik ini pen-ting mengingat siswa nantinya akan menjadi bagian dari
masyarakat dan harus berkontribusi pada masyarakat. Salah satu kemampuan
Pendahuluan yang diperlukan agar seseorang dapat berkontribusi terhadap masyarakat
adalah kemampuan berpikir kritis (Facione, 2015). Berpikir kritis adalah
pengenalan yang komprehensif supaya dapat melakukan penalaran yang
lebih baik (Hughes dan Lavery, 2014). Mulnix (2012) berpendapat bahwa
berpikir kritis terdiri dari memperoleh, mengembangkan, dan mengolah
kemampuan un-tuk memahami kesimpulan dalam suatu pernya-taan.
3
Instrumen penelitian terdiri dari penggalan silabus yang disesuaikan dengan
sekolah, rencana pelaksanaan pembe-lajaran (RPP) untuk kelas kontrol dan
kelas eks-perimen (MPKBE), kisi-kisi, handout, soal tes yaitu soal pretes-
postes untuk penilaian kognitif dan berpikir kritis.
Metode
penelitian
Model pembelajaran kimia berbasis etnosains sangat berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari sehingga dapat membantu siswa untuk memahami
Hasil materi pelajaran kimia. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
penelitian penggunaan pengetahuan-pengetahuan lokal dalam pembe-lajaran memang
diperlukan. Hal ini sejalan dengan pendapat Rai (2001) bahwa pendidik harus
menjembatani jurang antara pengetahuan mainstream dengan kearifan lokal
yakni dengan menggunakan aspek-aspek kearifan lokal dalam pembelajaran.
1
REVIEW JURNAL 5
Judul
Pengembangan Model Pembelajaran IPA Terintegrasi Etnosains untuk Meningkatkan
Hasil Belajar dan Kemampuan Berpikir Kreatif
Jurnal
Journal of Innovative Science Education
Vol. & Hal. Vol.6(1) hal.117-128
Tahun 2017
Penulis
Cristian Damayanti, Ani Rusilowati, Suharto
Linuwih
Tanggal Agustus 2017
Reviewer Hartica Putri Ardana/11911023115
(Nama
Mahasiswa/
NIM)
2
Pendidikan IPA menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari alam sekitar
dan prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam
kehidupan sehari-hari. Hal ini selaras dengan pendapat Listyawati (2012)
bahwa proses pembelajaran IPA memadukan konsep fisika, kimia, dan
biologi lebih berpotensi untuk mengembangkan pengalaman dan kompetensi
Pendahuluan siswa memahami alam sekitar. Kartono et al. (2010) menyatakan bahwa
pendidikan IPA dapat dikembangkan dengan bertumpu pada keunikan dan
keunggulan suatu daerah, termasuk budaya dan teknologi lokal
(tradisional).Pembelajaran yang mengimplementasikan tradisi budaya lokal
mampu menghantarkan siswa untuk mencintai daerah dan bangsanya.
3
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yaitu pengembangan
model pembelajaran IPA terintegrasi etnosains. Proses pengembanganmodel
pembelajaran IPA terintegrasi etnosains mengacu pada model pengembangan
Metode
perangkat 4-D (Four-D) Model yang dikembangkan oleh Thiagarajan et al
penelitian (1974)
Penggunaan model pembelajaran dalam penelitian ini dapat dikatakan berhasil
karena adanya perbedaan hasil belajar siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol
Hasil yakni kelas eksperimen lebih besar dari pada kelas kontrol. Sutimin (2015)
penelitian menyatakan model pembelajaran berbasis kearifan lokal dapat meningkatkan
kreativitas dan kerja keras siswa untuk belajar.Siswa diarahkan belajar secara
langsung dengan budaya lokal untuk memperoleh pengalaman-pengalaman
baru dan diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengungkapkan ide/
gagasannya, sehingga siswa dapat mengeksplor kemampuan
1
REVIEW JURNAL 6
2
Pentingnya literasi kimia berhubungan dengan bagaimana peserta didik
mampu menghargai alam dengan memanfaatkan sains dan teknologi yang telah
dikuasainya (Nisa, et al., 2015). Rendahnya kemampuan literasi sains/kimia
peserta didik terbukti dari hasil survey Programme for Internasional Students
Kajian
Assesment (PISA) bahawa tahun 2000 sampai 2015 menunjukkan bahwa
Pustaka tingkat pencapaian literasi sains peserta
didik Indonesia masih dalam level rendah. Salah satu model pembelajaran yang
dapat digunakan untuk memfasilitasi peserta didik dalam meningkatkan literasi
kimia peserta didik yaitu model pembelajaran inkuiri. Adapun sintak model
pembelajaran inkuiri terbimbing yang diginakan adalah orientasi, merumuskan
masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis, dan
merumuskan kesimpulan (Sanjaya,2012: 200).
3
Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan desain penelitian
One- Shot Case Study. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive
sampling. Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode tes, dan lembar
angket.
Metode
penelitian
Menunjukan bahwa hasil kemampuan literasi kimia peserta didik sebanyak 15
anak dalam kriteria minimal “baik”. Namun demikian, pada umumnya sebagian
Hasil besar peserta didik masih dalam kategori “cukup”, meskipun masih ada
sebanyak 24 anak yang berada dalam kategori “kurang”. Hal ini menunjukan
penelitian
bahwa melalui model pembelajaran inkuiri bermuatan etnosains dapat
melatihkan kemampuan literasi kimia peserta didik, meskipun belum secara
keseluruhan. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian.
Indikator menginterpretasikan data dan bukti ilmiah juga berada dalam kategori
Kekurangan “kurang”. Hal tersebut menunjukan bahwa indikator menginterpretasi data dan
bukti ilmiah belum dapat dicapai oleh peserta didik secara keseluruhan.
1
REVIEW JURNAL 7
Judul
PENGEMBANGAN MODUL IPA TERPADU BERBASIS ETNOSAINS
TEMA ENERGI DALAM KEHIDUPAN UNTUK MENANAMKAN
JIWA KONSERVASI SISWA
Jurnal Unnes Science Education Journal
Vol. & Hal. Vol. 4 (2) hal. 920- 926
Tahun 2015
Penulis Wiwin Eka Rahayu, Sudarmin
Tanggal Juli 2015
Reviewer Hartica Putri Ardana/11911023115
(Nama
Mahasiswa/
NIM)
2
Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi, oleh karena itu
pengembangan kurikulum diarahkan pada pencapaian kompetensi yang
dirumuskan dari SKL. Dalam mata pelajaran IPA pada kurikulum 2013
dikembangkan menjadi integrative science studies. Sebagai pendidikan yang
berorientasi aplikatif, pengembangan kemampuan berpikir, kemampuan
belajar, rasa ingin tahu, dan pengembangan sikap peduli dan bertanggung
Pendahuluan jawab terhadap lingkungan alam.. Pada Kurikulum 2013, KD mata pelajaran
IPA sudah memadukan konsep dari aspek fisika, biologi, kimia serta bumi
dan antariksa, tetapi tidak semua aspek tersebut dapat dipadukan karena pada
suatu topik IPA tidak semua aspek dapat dipadukan satu sama lain. Proses
pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk
mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar
secara ilmiah (Kemendikbud, 2013).
3
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode R n D (Research
and Development) dari Sugiyono (2012) yang telah dimodifikasi.
Metode
penelitian
Tingkat karakter yang diharapkan dalam penelitian ini adalah pada tingkat
sudah membudidaya. Akan tetapi berdasarkan hasil observasi, tingkat karakter
Hasil konservasi siswa berada pada tingkat mulai berkembang dan hasil analisis
penelitian angket siswa pun menunjukkan hasil mulai berkembang. Hal ini disebabkan
oleh waktu penelitian selama satu bulan. Karena pembentukan karakter
memerlukan waktu yang lama dan bertahap untuk mencapai tingkatan criteria
yang paling tinggi.
Observasi tingkat karakter pada siswa diketahui melalui dua cara yaitu melalui
Kekurangan pengamatan atau observasi dan angket ini dirasa kurang efektif jika menilai
karakter hanya dari lembaran angket tanpa tahu siswa nya seperti apa.
1
REVIEW JURNAL 8
Judul
PENGEMBANGAN MODUL IPA BERBASIS ETNOSAINS ZAT
ADITIF DALAM BAHAN MAKANAN UNTUK KELAS VIII
SMP NEGERI 1 PEGANDON KENDAL
Jurnal
Unnes Science Education Journal
Vol. & Hal. Vol. 2 (1), Hal. 133 - 139
Tahun 2013
Penulis
Anis Nur Rosyidah , Sudarmin, Kusoro Siadi
Tanggal Juli 2013
Reviewer Hartica Putri Ardana/1191023115
(Nama
Mahasiswa/
NIM)
2
Saat ini pelajaran IPA masih dianggap sebagai pelajaran hafalan yang
monoton karena hasil belajar IPA belum memuaskan. Sebagian peserta didik
cenderung menganggap IPA adalah mata pelajaran yang sulit dipahami, hal
ini dapat dilihat dari nilai ulangan zat aditif dalam bahan makanan peserta
didik kelas VIII tahun ajaran 2012/2013 SMP Negeri 1 Pegandon rata-rata
dibawah KKM. Seharusnya hasil belajar peserta didik mencapai KKM dan
Pendahuluan lebih dari 85% tuntas secara klasikal (Hamdani, 2011). Guru IPA SMP
Negeri 1 Pegandon menyatakan bahwa pembelajaran IPA masih
menggunakan buku dan LKS (Lembar Kerja Siswa) yang sudah tersedia.
Buku dan LKS yang digunakan belum menyajikan contoh makanan
tradisional dan makanan khas pada materi zat aditif dalam bahan makanan.
3
Model penelitian yang akan dilakukan merupakan model penelitian dan
pengembangan R and D (research and development). Penelitian dan
pengembangan ini menggunakan model yang diadaptasi dari Sugiyono
(2010:409).
Metode
penelitian
Hasil tanggapan guru mengenai penerapan modul IPA berbasis etnosains zat
Hasil aditif dalam bahan makanan didapatkan persentase 91,67% maka kualitas
penelitian modul dalam kategori sangat baik. Tanggapan penerapan modul diperoleh
persentase terendah untuk tanggapan penerapan modul oleh guru yaitu
keaktifan peserta didik yang kurang.
Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa modul IPA
berbasis etnosains zat aditif dalam bahan makanan layak diterapkan pada
Kesimpulan pembelajaran IPA kelas VIII SMP Negeri 1 Pegandon Kendal. Modul juga
sudah memenuhi penilaian buku teks BSNP. Hasil belajar kognitif yang
dicapai peserta didik dengan penerapan modul IPA berbasis etnosains zat
aditif dalam bahan makanan di SMP Negeri 1 Pegandon didapatkan hasil
sebanyak 93,75% peserta didik telah mencapai KKM.
Keunggulan modul IPA berbasis etnosains zat aditif dalam makanan yaitu
peserta didik lebih aktif dalam pembelajaran karena peserta didik dituntut untuk
Kelebihan mencari dan membaca buku lain serta mencari informasi dari internet, materi
yang disajikan menarik karena mengaitkan makanan tradisional dan makanan
khas Indonesia..
Kelemahan modul IPA berbasis etnosains zat aditif dalam bahan makanan
Kekurangan yaitu membutuhkan bacaan buku teks lain dan media internet untuk mengisi
bacaan yang kosong dalam modul dan pengetahuan rumus kimia sebaiknya
tidak perlu diberikan kepada peserta didik yang sulit dipahami.
1
REVIEW JURNAL 9
Fisika merupakan salah satu ranah etnosains dan cabang ilmu pengetahuan
yang mempelajari tentang fenomena alam meliputi material, manusia, dan
interaksi antara manusia dan material lainnya. Etnosains merupakan kegiatan
mentransformasikan antara sains asli masyarakat dengan sains ilmiah. Sains
Abstrak asli tercermin dalam kearifan lokal sebagai suatu pemahaman terhadap alam
dan budaya yang berkembang di kalangan masyarakat. Lahirnya etnosains tidak
terlepas dari trial and error sebagai salah satu metode ilmiah yang digunakan
orang jaman dahulu, dan telah menghasilkan pengetahuan baru tetapi tidak
mampu menggali potensi sains yang terkandung karena keterbatasan
pengetahuan. Tidak dapat dipisahkan antara fisika, etnosains, dan pembelajaran
sains karena ketiganya saling berkaitan dan terintegrasi menjadi satu kesatuan
yang utuh. Peran fisika dan etnosains sangat penting dalam pembelajaran sains
mengingat luasnya cakupan ilmu fisika sebagai salah satu ranah etnosains.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap etnosains dan kearifan lokal budaya
di Indonesia. Metode yang digunakan adalah kajian literatur dengan sampel
bahan kajian meliputi (1) tradisi sedekah laut di Teleng Ria Pacitan, (2)
kesenian Reog Ponorogo, (3) seni bela diri pencak silat di Madiun.
Fisika merupakan salah satu ranah etnosains dan cabang ilmu pengetahuan
yang mempelajari tentang fenomena alam meliputi material, manusia, dan
interaksi antara manusia dengan material lainnya. Fisika menjadi materi
kebijakan pendidikan pemerintah di beberapa negara sebagai bekal sumber
daya manusia. Hal ini karena fisika dianggap sebagai batang pengetahuan yang
bermanfaat bagi pengembangan teknologi, penemuan-penemuan, dan ilmu
pengetahuan lainnya (Azhar, 2008). Menjadi bagian dari pengetahuan sains,
Pendahuluan fisika turut berpengaruh pada perkembangan keilmuan dalam kehidupan.
Umumnya masyarakat menerjemahkan fenomena yang dialaminya sesuai
kepercayaan yang berkembang di lingkungan tersebut. Cara ini merupakan
salah satu pengetahuan yang disebut sains asli masyarakat. Sains asli
masyarakat tercermin dalam kearifan lokal sebagai suatu pemahaman terhadap
alam dan budaya yang berkembang di kalangan masyarakat.
2
Secara umum kearifan lokal muncul melalui proses internalisasi yang panjang
dan berlangsung turun-temurun sebagai akibat interaksi antara manusia dengan
lingkungannya. Proses evolusi nilai yang berlangsung cukup panjang ini
berujung pada terbentuknya sistem nilai yang terkristalisasi dalam bentuk
Kajian
hukum adat, kepercayaan dan budaya setempat (Wikantiyoso & Tutuko, 2009).
Pustaka Seiring kemajuan jaman dan perkembangan teknologi, pengetahuan pun harus
berkembang. Upaya pengembangan pengetahuan bukan saja dilakukan para
ilmuwan dan pakar-pakar yang ahli di bidangnya. Lebih dari itu, hal terpenting
yang perlu diterapkan adalah penggalian potensi pengetahuan sains pada
budaya yang berkembang di masyarakat. Cara pandang yang sempit akan
menghasilkan pengetahuan yang sempit pula. Artinya, cara pandang dan
penerjemahan budaya masyarakat yang hanya menggunakan satu sisi, dalam
hal ini sains asli saja, maka tidak akan meningkatkan pola pikir. Seperti yang
diketahui bahwa sebenarnya jaman dahulu sudah ada sains. Akan tetapi, sains
pada saat itu adalah hasil penemuan berdasarkan metode trial and error yang
merupakan hasil temuan tanpa disengaja, lalu menguntungkan banyak pihak
baik individu maupun golongan.
3
Penelitian ini menggunakan metode kajian literatur. Bahan kajian yang diteliti
adalah budaya di Indonesia, dimana peneliti mengambil sampel tiga budaya dari
Metode wilayah yang berbeda meliputi (1) tradisi sedekah laut di Pantai Teleng Ria
penelitian Pacitan, (2) kesenian Reog Ponorogo, (3) Ssni bela diri pencak silat di Madiun.
Hasil analisis peneliti dari kajian pada berbagai literatur menunjukkan, baik
tradisi sedekah laut, seni reog, maupun seni bela diri pencak silat mempunyai
Hasil kesamaan dari sudut pandang budaya sebagai warisan budaya yang dipelajari
secara turun temurun dari generasi ke generasi. Begitu pula sebaliknya, tidak
penelitian
terdapat perbedaan yang terlalu signifikan antara ketiganya. Hanya saja dari segi
minat generasi muda untuk melestarikan budaya tersebut yang paling banyak
peminatnya adalah seni budaya pencak silat. Hal ini disebabkan adanya
perpaduan antara olahraga dan seni pada pencak silat yang lebih sesuai dengan
dunia generasi muda termasuk anak remaja. Sedangkan pada tradisi sedekah laut
dan seni Reog Ponorogo secara umum lebih diminati sebagai hiburan karena
unsur pertunjukannya yang lebih menonjol Hal ini disebabkan adanya perpaduan
antara olahraga dan seni pada pencak silat yang lebih sesuai dengan dunia
generasi muda termasuk anak remaja. Sedangkan pada tradisi sedekah laut dan
seni Reog Ponorogo secara umum lebih diminati sebagai hiburan karena unsur
pertunjukannya yang lebih menonjol.
Pembahasan mengenai sains asli tercermin dalam kearifan lokal sebagai suatu
pemahaman terhadap alam dan budaya yang berkembang dikalangan masyarakat
Kelebihan dapat menumbuhkan pengetahuan siswa yang kurang mengenai budaya lokal.
Isi yang dijabarkan dalam jurnal penelitian ini hanya sebatas mengenai
Kekurangan kegiatan masyrakat disuatu daerah yang sudah membudaya, tidak disertakan
unsur IPA yang terkait.
1
REVIEW JURNAL 10
2
Tinjauan filsafat sebagai ruh dari aspek ontologi yang menjelaskan apa,
mengapa dan alasan yang kuat untuk mempelajari model Pembelajaran E-
STEM, aspek epistimologi untuk menjelaskan bagaimana model dikaji dan
dimodifikasi sehingga mendapatkan model baru dari E-STEM, dan aspek
Kajian
aksiologi sebagai bentuk implikasi dari pengembangan model pembalajaran E-
Pustaka STEM dan sejauh mana kontribusi terhadap keterampilan capaian
pembelajaran IPAApa yang dapat dikaji dari pendekatan etnosains dan
pembelajaran STEM tentang bagaimana cara merekonstruksi pengetahuan
sains asli menjadi sains ilmiah dengan STEM, dan sejauh mana Implikasi
pendekatan etnosains yang dimodifikasi dengan pembelajaran STEM (E-
STEM).
3
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan cara mendeskripsikan data
melalui library research. Jenis penelitian riset pustaka (library research ).
Metode
penelitian
Pendidikan formal dan proses akulturasi masyarakat serta tradisi budaya yang
melekat di masyarakat seakan masih terpisah berdiri masing-masing, budaya
Hasil sebagai bentuk cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Akibatnya kurangnya
penelitian
penghargaan terhadap budaya yang dimiliki daerahnya sendiri. Pentingnya
pendekatan etnosains dalam implementasi pendidikan supaya budaya
masyarakat tidak hilang, relevan dengan tujuan IPA yang diorientasikan pada
penguasaan pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap agar siswa mampu
berpartisipasi dalam lingkungan.
Penelitian pada jurnal ini dapat mempersiapkan generasi unggul di bidang karir
Kelebihan dan tantangan global (STEM literacy).