Anda di halaman 1dari 8

Nama : Nurjannah

NIM : 220103020129
Prodi : Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
Tugas UAS : Meresume buku Tasawuf
Judul buku : "Tasawuf Irfani" Tutup Nasut Buka Luhut, Karya Dr. H. Dahlan Tamrin
M.Ag, Penerbit UIN-Maliki Press, Terbitan tahun 2010

BAB 1 : Tasawuf sebagai Salah Satu Ajaran Islam


A. Pengertian Tasawuf
Secara etimologis, kata ini berasal dari bahasa Arab yakni Tasawwafa. Tetapi para
ulama berbeda pendapat tentang asal usul akar katanya antara "suf' (bulu domba), "saff
(barisan), "safy/Safa" (jernih). Sebagian sufi mendefinisikan tasawuf sebagai "tasawuf
merupakan tahap untuk mencari hakikat sesuatu yang ada disisi al-Haqq dan menjauhi
segala yang ada ditangan manusia.

B. Kedudukan Tasawuf
Kedudukan Tasawuf dalam ajaran Islam adalah sebuah bagian yang tertinggi dan
mulia yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam itu sendiri. Karena memang dasar
rujukan dalam tasawuf adalah Al-Qur'an, Al-Sunnah dan Al-Athar (amalan dan pendapat
para sahabat dan tabi'in) serta Al-aqwal (pendapat para ulama al-Salaf al-Salih) terpercaya.

C. Sebutan bagi Pengenal Tasawuf


Al-Hujwiri menyatakan bahwa sufi adalah sebuah nama yang diberikan kepada
wali-wali dan ahli-ahli keruhanian yang sempurna. Al-sufi adalah orang yang mati pada
dirinya dan hidup oleh Yang Maha Benar (Al-Haqq) : ia bebas dari batas-batas kemampuan
manusiawi dan benar-benar telah sampai kepada al-Haqq.

D. Asal-usul Tasawuf
Terdapat banyak teori yang berbeda beda mengenai timbulnya sufisme dalam Islam,
ada yang mengatakan bahwa sufisme muncul ketika memahami faham menjauhi dunia dan
hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Penelitian modern membuktikan bahwa asal
usul sufime dapt dilacak hanya melalui satu lintasan saja. Sebagian besar ahli sejarah
mengatakan bahwa pada pertengahan abad kedua atau di penghujung abad kedua adalah
masa dimana munculnya istilah tasawuf atau sufi.

E. Tipe-tipe Aliran Tasawuf dan Perkembangannya


Dalam perkembangannya tasawuf bila dilihat dari sisi keragaman objeknya dapat
dibagi dalam tiga tipe induk yaitu sebagai berikut :
1. Tasawuf Akhlaqi
Ada tokohnya al-Hasan al-Basri, dia mengatakan bahwa tasawuf akhlaqi
sebagai tasawuf yang menekankan pada pembahasan estetika, etika yang
mulia, dan bahkan etika yang sangat sempurna sebagaimana yang dikendaki
oleh Rasulullah SAW :
ِ َ‫ار َم ْاِلَ ْخال‬
‫ق‬ ُ ‫اِنَّ َما بُ ِع ْث‬
ِ ‫ت ِِلُتَم َما ِم َك‬

“ Hanya saja aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia”

2. Tasawuf Amali
Sering disebut tasawuf ‘irfani atau tasawuf dzauqi yang menekankan
intensitas dan ekstensitas ibadah agar diperoleh penghayatan spiritual dalam
beribadah (al-ibadah) sehingga mencapai tingkat al-ubudiyah dan selanjutnya
berada tingkat tertinggi menjadi al-abuddah.
3. Tasawuf falsafi
Adalah tasawuf yang menekankan pada mistik metafisis, diantara
tokohnya adalah al-hallaj, Ibn’ Araby, dan lain lain. Tasawuf ini menekankan
kajian filsafat tentang Allah.

F. Tujuan Tasawuf
Secara umum tujuan tasawuf yang terpenting adalah agar berada sedekat mungkin
dengan al-Haqq. Namun apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum,
terlihat tiga sasaran “antara” dari tasawuf yaitu :
1. Tasawuf yang menekankan pembinaan aspek moralitas yang tinggi sebagaimana
yang dikehendaki oleh Rasul di atas, contohnya : seseorang ketika mendapatkan
musibah dia bisa sabar dan bahkan dia bisa sabar atau bahkan dia bisa bersyukur
terhadap musibah yang menimpanya, karena ternyata yang diterimanya adalah
musibah yang kecil karena ada musibah yang lebih besar.

2. Tasawuf irfani adalah tasawuf yang bertujuan bisa ma’rifat kepada Allah melalui
penyingkapan langsung yang sering disebut dengan Kasf al-hijab.

3. Tasawuf yang berujuan untuk membahas bagaimana sistim pengenalan dan


pendekatan diri kepada al-Haqq secara mistis filosofis, pengkajian garis hubungan
antara hamba dengan al-Haqq dan makna hubungan itu.

BAB 2 : Maqamat dan Ahwal


A. Maqamat
Di kalangan sufi, orang pertama yang membahas masalah maqamat adalah Al-
Muhasibi.
Pada abad 3 H ini setiap orang yang ingin mencapai tujuan tasawuf atau ingin
menjadi sufi dia harus melewati pendakian yang berat dan panjang, melakukan berbagai
macam amalan lahiriyah maupun batiniyah.
Sufi berbeda pandangan tentang macam maqamat, al-Thusi mengemukakan
kebanyakan para sufi menjadikan hal-hal berikut sebagai al-maqomat yakni : al-taubah,
al-zuhd, al-wara’, al-sabr, al-tawakkul, dan al-rida. Namun ada yang lebih tinggi dari
al-rida yaitu al-ma’rifat, al-mahabbah, dan al-ittihad. Maqamat dalam pandangan al-
Qhusairi adalah pembuktian seorang hamba berada dalam kedudukan tertentu dari etika
dan setiap orang berada di makamnya sendiri, dan hal ini melalui al-riyadah.
Perjalanan dari satu etape ke etape yang lain adalah safari yang berat dan sulit
namun bisa dicapai dengan usaha yang keras penuh pengorbanan (al-mujahadah) dan
latihan rohani (al-riyadah). Dengan usaha keras dan latihan rohani setiap saat akan
terbiasakan pada situasi baru yang lambat laun akan menjadi kepribadian.
Adapun uraian tahapan tahapan itu sebagai berikut :

1. Al-Shari’ah
a. Al-Taubah
Taubat dari kata al-Taubah adalah muradif (padanan kata) dari al-Inabah
dan al-Aubah yang terjemahan lughawi-nya adalah kembali (al-Ruju’). Sufi dalam
mengartikan taubat berbeda pandangan. Pertama, taubat dalam pengertian
meninggalkan segala kemaksiatan menuju melakukan kebajikan secara terus-
menerus. Kedua, taubat keluar dari kejahatan dan memasuki kebaikan karena takut
murka Allah. Ketiga, taubat dengan terus-menerus bertaubat walaupun sudah tidak
pernah lagi berbuat dosa, hal ini disebut taubat abadi (taubat al-dawam) atau
pelakunya berada pada maqam al-taubah.

b. Al-Taqwa
Seorang salik yang telah menapaki maqam taubat maka agar bisa
menghampiri al-Haqq maka dia haruslah menapaki maqam yang kedua yaitu
maqam Al-Taqwa sebagimana firman Allah ta’ala dalam Surat al-Hadid ayat 28
yang berbunyi :

ٰ ٰ ‫ّللاَ َو ٰا ِمنُوْ ا بِ َرسُوْ لِ ٖه ي ُْؤتِ ُك ْم ِك ْفلَ ْي ِن ِم ْن رَّحْ َمتِ ٖه َويَجْ َعلْ لَّ ُك ْم نُوْ رًا تَ ْم ُشوْ نَ بِ ٖه َويَ ْغفِرْ لَ ُك ْۗ ْم َو‬
‫ّللاُ َغفُوْ ٌر‬ ٰ ٰ ‫ٰيٰٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوا اتَّقُوا‬
‫َّر ِح ْي ٌم‬

Fuqaha’ memberikan pengertian bahwa Al-Taqwa adalah melaksanakan


semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Perintah dan larangan ini
merupakan takwa lahiriah.

c. Al-Istiqamah
Al-Istiqomah dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan dengan terus-
menerus (ajeg-kontinu). Al-Istiqamah adalah ajeg ini Allah akan memberikan
kenikmatan yang besar, sebagaimana firman –Nya dalam surah Al-Jin ayat 16. Dan
juga firman-Nya dalam surat Fusshilat 30 yang menjelaskan tentang hasil dari
istiqomah yakni dilimpahkannya kenikmatan yang berupa hilangnya rasa takut dan
susah melalui perantaraan.

2. Al-Tariqah
Al-Tariqah jamaknya “al-Tara’iq”, secara etimologis berarti : 1) jalan,
cara 2) metode, sistem 3) mazhab, aliran, haluan 4) keadaan 5) pohon kurma yang
tinggi 6) tiang tempat berteduh, tongkat payung 7) yang mulia, terkemuka dari
kaum 8) goresan/garis pada sesuatu. Pengertian Al-Tariqah disini bukanlah sebagai
Al-Tariqah dalam pengertian di atas akan tetapi Al-Tariqah sebagai salah satu dari
Al-maqomat dalam tasawuf. Dalam kajian tingkatan ini ada tiga Al-Maqamat yaitu
a. Al-Ikhlas
Al-Ikhlas dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan bersih. Al-
Ghazali menjelaskan bahwa Ikhlas dalam beramal sangatlah diutamakan hanya saja
dia mengingatkan bahwa orang yang ikhlas beramal itu fii khatarin ‘azim.
b. Al-Sidqu
Al-Sidqu diterjemahkan dengan jujur. Jujur yang dimaksudkan adalah jujur
lisan, perbaikan dan hati. Seseorang yang sudah menapaki maqam Al-Ikhlas
hendaklah dia memasuki maqam Al-Sidqu.
c. Al-Tuma’ninah
Bagi salik yang selesai menapaki jejak Al-Ikhlas dan Al-Sidqu,yang
keduanya masuk pada jenjang Al-Tariqah, maka selanjutnya ia harus menapaki
jenjang Al-Tuma’ninah.

3. Al-Haqiqah
Allah memberikan hambanya dua penglihatan, dua pendengaran, penglihatan
melalui mata kepala (al-Basar) dan melalui mata hati (al-Basiroh). Mata kepala
melihat yang kasat mata, nampak jelas hanya berdasar pada perkiraan, berbeda
dengan mata hati yang melihat makna yang halus berdasarkan cahaya ke-Allah-an.
Penglihatan manusia melalui mata hati (al-Basiroh) dengan pertimbangan
temuan cahaya makna yang halus, dibagi dalam lima bagian, yakni :
a. Rusaknya pandangan dan bahkan buta serta mengingkari cahaya kebenaran dari
aslinya. Ini Bashiroh orang kafir sebagaimana dalam Al-Qur’an surah al-Hajj
ayat 42 :

‫ح َّوعَا ٌد َّوثَ ُموْ ُد‬ ْ َ‫ك فَقَ ْد َك َّذب‬


ٍ ْ‫ت قَ ْبلَهُ ْم قَوْ ُم نُو‬ َ ْ‫َواِ ْن يُّ َكذبُو‬

b. Pandangannya benar akan tetapi terhalang lemahnya pandangan karena sakit.


c. Pandangannya benar dan kuat, sehingga terbuka matanya, hanya karena kuatnya
sinar dan sangat dekat sehingga tidak kuat membuka matanya.
d. Pandangannya kuat sehingga terbuka mata hatinya dan menemukan cahaya yang
meliputinya hingga hilang dengan menyaksikan cahaya.
e. Pandangan mata hatinya benar dan cahayanya sangat kuat sehingga bertemu
cahayanya dengasn cahaya aslinya, dan tidak melihat melainkan cahaya aslinya
dan mengingkari tambahan dari cahaya aslinya.

Kemampuan seseorang yang berada pada tingkatan ini bisa melihat makna
dibalik sesuatu yakni melihat dengan mata hati, maka dia telah memasuki lautan al-
Musahadah dan al-Muraqabah.
a. Al-Mushahadah
Al-Mushahadah secara bahasa adalah menyaksikan sesuatu, sedangkan
secara istilahi adalah kelanggengan seseorang dalam melihat al-Haqq dengan mata
hati karena kebersihan hatinya melalui tazkiyah al-Nafs, tazkiyah al-ruh, dan
tazkiyat al-asrar.
Al-Mushahadah adalah maqam awal dalam maqam al-Haqaqah yang
harus ditempuh oleh setiap salik usai menyelesaikan maqam al-Tuma’ninah yakni
maqam dimana seseorang mampu menstabilkan ruhaninya walaupun banyak
godaan yang mengelilinginya.
b. Al-Muraqabah
Al-Muraqabah secara bahasa diartikan dengan kelanggengan dalam
memperhatikan tujuan (al-Maqsud), sedangkan secara istilah adalah kesadaran hati
seseorang bahwa dia senantiasa diawasi oleh Allah baik perbuatan lahiriah maupun
kondisi batinnya.

4. Al-Ma’rifah
Setelah salik mengarungi samudera al-Haqiqah maka sampailah dia
memasuki kedalaman samudera makrifat (al-Ma’rifah). Al-Qushairi berpandangan
bahwa ma’rifat dalam pandangan ualama fiqh adalah ilmu, setiap ilmu adalah
ma’rifah dan setiap ma’rifah adalah ilmu, setiap yang tahu terhadap al-Haqq adalah
‘arif dan setiap ‘arif adalah ‘alim. Abu ‘Ali al-Daqqaq mengatakan bahwa tanda-
tanda ma’rifat kepada al-Haqq adalah munculnya rasa takut pada Allah, apabila
bertambah ma’rifatnya maka bertambahlah rasa takutnya kepada Allah.
Seseorang yang ‘arif bi Allah memiliki tiga kondisi batin, yakni al-Rida,
al-Mahabbah, dan al-ittihad.
a. Al-Rida
Al-Rida adalah sebuah kata yang sudah menjadi Bahasa Indonesia
ridla/rela. Secara istilah al-Rida kerelaan yang tinggi terhadap apapun yang
diberikan oleh al-Haqq baik sesuatu yang menyenangkan atau tidak sebagai
sebuah anugerah yang istimewa pada dirinya. Al-Rida dalam pandangan al-
Ghazali sebagai maqam dibawah mahabbah dan di atas maqam sabar. Karena
itu sabar yang terus menerus akan menghasilkan al-Rida.

b. Al-Mahabbah
Al-Mahabbah dalam kajian ini dibedakan dengan Al-Mawaddah.
Namun secara bahasa keduanya sama yakni sama-sama bermakna cinta. Hanya
Al-Mahabbah secara khusus disebut sebagai cinta antara hamba dengan Allah
atau sebaliknya cinta Allah kepada hamba-Nya. Sedangkan Al-Mawaddah
adalah cinta antar hamba Allah. Al-Mahabbah dalam pengertian cinta antar
hamba dan Allah atau sebaliknya, sebagaimana firman Allah dalam Surat Ali
‘Imran 31 :
ٰ ٰ ‫ّللاُ َويَ ْغفِرْ لَ ُك ْم ُذنُوْ بَ ُك ْم ْۗ َو‬
‫ّللاُ َغفُوْ ٌر َّر ِح ْي ٌم‬ ٰ ٰ ‫ّللاَ فَاتَّبِعُوْ نِ ْي يُحْ بِ ْب ُك ُم‬
ٰ ٰ َ‫قُلْ اِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ِحبُّوْ ن‬

Al-Mahabbah dalam kaitannya dengan pandangan sufi sebagai salah


satu maqam dari maqamat dalam tasawuf adalah kecintaan salik kepada Dzat
Yang Maha Benar (al-Haqq) dalam segala macam ibadah Ilahiyah maupun
mu’amalah insaniah.
c. Al-Ittihad
Al-Ittihad sebagaimana dalam kamus al-Munawir diterjemahkan
dengan kesatuan, persatuan, atau menjadi satu. Maka dalam kajian tasawuf ini
yang dimaksudkan dengan al-Ittihad adalah menyatunya hamba dengan al-
Haqq setelah mengarungi samudera ma’rifat dengan jalan ridla dan mahabbah
sampailah dia pada al-Ittihad.
Al-Hulul, al-Haqq mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu,
yang telah membersihkannya dirinya dari sifat-sifat kemanusiaan melalui al-
Fana’.
Abu Yazid berpandangan manusia pada hakikatnya memiliki esensi
dengan al-Haqq, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu meleburkan
eksistensi sebagai pribadi (fana’al-nafs), sebagai hilangnya kesadaran
kemanusiaan dan menyatu dalam iradah al-Haqq, bukan jasad tubuhnya yang
menyatu dengan Dzat al-Haqq.

B. Al-Ahwal
Al-ahwal jama’ dari kata al-Hal, secara bahasa diartikan dengan kondisi
batin bagi salik. Al-Hal dalam pandangan sufi adalah kondisi yang lewat di hati salik
tanpa sengaja, tanpa dipaksa, dan tanpa usaha, baik senang maupun susah. Menurut
al-Qusyairi, al-Hal selalu bergerak setapak demi setapak sampai ke tingkat puncak
rohani. Keadannya terus menerus bergerak dan beralih berganti mka karena itulah
disebut dengan al-Hal. Maqam adalah tingkatan pelatihan dalam membina sikap
hidup dan hasilnya dapat dibaca pada perilaku seseorang secara lahiriah, sedangkan
al-Hal bersifat abstrak dan tidak bisa dilihat dengan kasat mata dan tidak bisa
dijelaskan dengan bahasa tulisan atau lisan.

BAB 3 : Tazkiyah
Al-Tazkiyah dari kata tazakka yang secara bahasa diartikan dengan suci,
pensucisn, atau pembersihan. Sebagaimana firman Alah Ta’ala dalam surat al-A’la
16:

‫قَ ْد اَ ْفلَ َح َم ْن تَ َز ٰ ٰكى‬

Salik sebagai al-Muttaqin, sebelum mengarungi samudera tasawuf agar


bisa bertemu (al-Liqa) dengan al-Haqq, hendaknya membersihkan terlebih dahulu
semua kotoran yang ada pada diriinya, lahiriah maupun batiniyah. Pembersihan
kotoran lahiriah melalui dua jalan yakni dengan membersihkan badan, tubuh
manusia dari semua najis yang menempel di tubuhnya melalui dua jalan yakni
dengan membersihkan badan, tubuh manusia dari semua najis yang menempel di
tubuhnya melalui tayamum, wudhu atau mandi jinabat, sedangkan tubuh yang
terkontaminasi makanan yang haram, syubhat atau makruh harus dibersihkan
melalui jalan puiasa dengan niyat membersihkan badan dari kotoran makanan dan
kemudian memakan yang halal dan thayyib dan tidak berlebihan, sebagaimananya
firman Allah dalam surah al-Maidah 88 yang berbunyi :
ٰ ٰ ‫ّللاُ َح ٰل ًال طَيبًا ۖوَّاتَّقُوا‬
ْٰٓ ‫ّللاَ الَّ ِذ‬
َ‫ي اَ ْنتُ ْم بِ ٖه ُم ْؤ ِمنُوْ ن‬ ٰ ٰ ‫َو ُكلُوْ ا ِم َّما َر َزقَ ُك ُم‬

Al-Nahrujuri mengatakan bahwa bila salik hatinya telah menggapai


cahaya ketuhanan, maka dia akan menyaksikan kesembronoan dalam ikhlasnya, lupa
dalam dzikirnya, kurang dalam kejujurannya, rendah dalam mujahadahnya, yang
akhirnya merasa semua kondisi batin dan perbuatannya tidak diridhai oleh al-Haqq,
sehingga al-salik berusaha keras meningkatkan kedekatannya dengan al-Haqq dan
terjauhkan dari segala sesuatu selain al-Haqq.

Bab 4 :
Tutup Nasut Singkap Lahut (Menutup Sifat Kemanusiaan dan Menyingkap
Tabir Ketuhanan)

A. Shalat
Secara lughawi, shalat diterjemahkan dengan do’a, menghubungkan,
menghampirkan, mengingat, dan menundukkan. Sedangkan secara istilah, oleh
fuqaha diaplikasikan sebagai ibadah yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan
salam di dalamnya terdapat bacaan dan gerakan tubuh tertentu dengan syarat dan
rukun tertentu pula.
Di dalam tawajjuh kepada Allah melalui shalat hendaknya konsentrasi
(fokus), sambil berusaha mengarahkan semua potensi diri kepada Allah SWT .
Potensi diri meliputi anggota badan, hati, akal, dan, nafsu (rogo, roso, cipto lan
karso-jawa).

B. Puasa
Puasa secara bahasa dalam pandangan syari’at adalah mencegah dari
sesuatu baik ucapan maupun perbuatan, sebagaimana firman Allah dalam surat
Maryam 26 sebagai hikayat maryam as :
ۚ ‫صوْ ًما فَلَ ْن اُ َكل َم ْاليَوْ َم اِ ْن ِِيًٰا‬ ِ ‫فَ ُكلِ ْي َوا ْش َربِ ْي َوقَريْ َع ْينًا ۚفَا ِ َّما تَ َريِ َّن ِمنَ ْالبَش‬
ُ ْ‫َر اَ َحدًا فَقُوْ لِ ْٰٓي اِن ْي نَ َذر‬
َ ‫ت لِلرَّحْ مٰ ِن‬

Sedangkan puasa secara istilah adalah mencegah dari sesuatu yang


membatalkan mulai terbit sampai terbenam matahari disertai dengan niat. Puasa
adalah ibadah yang penuh misteri yang tidak berhubungan dengan hal-hal luar
apapun, suatu misteri dimana tidak seorangpun selain al-Haqq yang turut serta di
dalamnya, karena itu balasannya tidak terbatas.
Puasa adalah menahan nafsu, dan ini mencakup seluruh metiode dalam
tasawuf (tarekat). Tingkatan terendah adalah lapar dan secara universal dihargai
dihadapan syariat dan akal. Sedangkan yang tertinggi adalah kemampuan
mengembalikan semua nafsu yang dimiliki menuju nafsu muthmainnah yakni nafsu
yang penuh konsentrasi dengan al-Haqq pada semua aktivitasnya.
C. Haji
Haji bukan hanya sekedar ritual yang rutin ditunaikan, namun sebagai
ibadah yang paripurna (lengkap), yang memerlukan pemahaman yang memerlukan
pemahaman yang lengkap pula. Bahwa haji ibadah murni untuk bertemu dengan al-
Haqq dalam situasi dan kondisi sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan
dialami oleh Nabi Muhammad.
Haji yang demikian sebagai ibadah haji melalui mujahadah yang bisa
sampai tingkat musyahadah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Yazid al-
Bisthami sebagai pengalaman rohani hajinya, bahwa pertama kali aku menunaikan
ibadah haji yang nampak adalah ka’bah. Kali yang kedua nampak Pemilik Ka’bah
dan kali yang ketiga nampaklah pemilik itu sendiri. Jadi, kalau begitu dalam
menunaikan haji bukanlah haji itu sendiri atau Ka’bah dan kalau pulang dipanggil
haji atau hajjah, tetapi kefanaan diri akibat mujahadah yang sampai pada
musyahadah. Maka apakah perlunya berangkat menunaikan haji kalau tidak sampai
bertemu dan menyaksikan dengan Pemilik dunia ini.

Anda mungkin juga menyukai