BAB I
PENDAHULUAN
1
SKRIPSI OPTIMASI FORMULA NANOSUSPENSI... AZAN TAKWIMAN
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 2
Suatu obat dapat saja memiliki kelarutan yang baik namun laju
disolusinya lambat (Liversidge et al., 2013). Terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi laju disolusi obat yakni ukuran partikel, luas
permukaan dan keterbasahan (Butler et al., 2012). Secara umum,
terdapat beberapa strategi untuk memperbaiki laju disolusi yang rendah
yakni kompleksasi, mikroenkapsulasi, solubilisasi (sistem berbasis
lipid atau kosolven), penggunaan ko-kristal, pembentukan garam, dan
reduksi ukuran partikel (nanopartikel) (Craig, 2002; Gao et al., 2006;
Möschwitzer, 2013; Tang et al., 2008). Dari strategi-strategi tersebut,
reduksi ukuran partikel merupakan strategi yang banyak dipergunakan
(Möschwitzer, 2013; Shid et al., 2013). Pengecilan ukuran partikel
menyebabkan luas permukaan meningkat. Sesuai dengan hukum Noyes
Whitney, semakin kecil ukuran partikel, maka akan semakin besar luas
permukaan sehingga laju disolusinya juga akan meningkat (Noyes
Whitney, 1897). Selain meningkatkan laju disolusi, pengecilan ukuran
partikel dalam rentang nanometer dapat meningkatkan kelarutan jenuh
sehingga bioavailabilitas obat dapat meningkat (Junyaprasert et al.,
2015). Kelarutan dapat meningkat secara signifikan apabila ukuran
partikel kurang dari 200 nm (Kipp, 2004). Salah satu metode reduksi
ukuran partikel yang biasa digunakan untuk memperbaiki kelarutan
yang buruk pada bahan aktif adalah dengan teknologi nanokristal (Wei
et al., 2018).
Nanokristal adalah partikel kristal dengan ukuran submikron
(kurang dari 1000 nm) dan distabilkan oleh stabilisator di permukaan
partikel (Merisko-liversidge et al., 2003; Wang et al., 2013).
Nanokristal seringkali disebut juga sebagai nanosuspensi karena kristal
obat yang berukuran nanometer tersebut terdispersi dalam medium
pendispersinya berupa larutan stabilisator. Peningkatan bioavailabilitas
90, PVA, Pluronic 188, dan Kollicoat IR® (Eerdenbrugh et al., 2008).
Tipe polimer juga berpengaruh terhadap ukuran dan stabilitas
nanosuspensi. Polimer terdiri dari homopolimer dan kopolimer.
Homopolimer memiliki sifat hidrofilitas yang tinggi sedangkan
kopolimer memiliki sifat hidrofil dan hidrofob (Liu, 2013). Polimer
dengan sifat hidrofobisitas yang tinggi seperti kopolimer dapat
teradsorpsi dengan mudah karena memiliki kekuatan pendorong pada
partikel (Ghosh et al., 2011; Liu, 2013). Sifat hidrofob polimer akan
mencegah terjadinya agregasi dan nukleasi partikel sehingga
menghambat terjadinya Ostwald ripening selama penyimpanan
(Berglund et al., 2003). Semakin tinggi hidrofobisitas suatu polimer,
difusi terhadap partikel lebih cepat, penyerapan lebih kuat dan waktu
desorpsi terhadap polimer lebih lama (Liu, 2013). Selain itu, sifat
hidrofilitas dari polimer juga sangat berpengaruh terhadap pembuatan
nanosuspensi. Semakin hidrofil polimer akan menghambat proses
adsorpsi polimer ke permukaan partikel obat (Choi et al., 2005). Artikel
review dari Liu (Liu, 2013) menyatakan bahwa polimer hidrofob
dengan konsentrasi lebih tinggi dari 15% akan lebih efektif dalam
menstabilkan nanosuspensi.
Pada proses pembuatan nanosuspensi, terdapat dua metode yang
dapat dipergunakan yakni metode bottom up dan metode top down
(Rabinow, 2004). Metode top down adalah metode dimana partikel
besar diperkecil ukurannya secara mekanis menjadi partikel berukuran
nanometer dalam larutan stabilisator (Zhang et al., 2017). Metode
bottom up jarang digunakan karena pembuatannya menggunakan
pelarut organik yang harus diuapkan sehingga menyebabkan biaya
produksi menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan metode top down
(Junyaprasert et al., 2015). Metode bottom up juga memiliki