Anda di halaman 1dari 172

KEMISKINAN DAN KRITIK ATAS

GLOBALISME NEO-LIBERAL

Zakiyuddin Baidhawy
KEMISKINAN DAN KRITIK ATAS GLOBALISME NEO-LIBERAL
Zakiyuddin Baidhawy

Edior: Fakih Nabhan

Cetakan Pertama: Oktober 2015


16 x 23,5 cm; vi+164 hlm.

Penerbit:
LP2M-Press,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) SALATIGA
Jl. Tentara Pelajar 02, Kode Pos 50721, Salatiga
Email: lp2miainsalatiga@gmail.com

ISBN 978-602-73757-1-0

All Rights reserved. Hak cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa
pun tanpa ijin tertulis dari penerbit.
PRAKATA

Sudah beberapa tahun yang lalu, niat untuk menulis buku tentang kritik atas
globalisme model neo-liberal, dan pemikiran alternatif untuk mengatasi
kebuntuan ideologi ini dalam meng­hasil­kan tatanan dunia berkeadilan,
muncul. Akhirnya niat itu kesam­paian juga berkat pergumulan pemikir­
an yang semakin mendorong niat itu untuk direalisasikan.
Ini tidak lain beranjak dari kegelisahan yang tidak lagi kuasa di­
pendam. Melalui berbagai forum kaum muda Muhammadiyah yang
meng­organisir diri secara informal dalam Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah, penulis dapat merampungkan buku ini. Karena itu,
kuhaturkan banyak terima kasih atas sumbang pikir dan dialog yang
mengalir dari teman-teman penulis, baik melalui obrolan ringan, tatap
muka, via email, facebook, seminar, workshop dan jaringan. Mereka yang
berjasa telah memperkaya pemikiran penulis adalah: teman-teman di
Solo; Norma, Sarbini, Jinan, Dewi, Helmi, Almuntaqa, Farid, M. Ali,
Syifaul, Yusuf, Mahmud, Shalahuddin, Imun, Fattah, Yayah, Thoyibi,
dan Abdullah Aly, dll; teman-teman Jogja: Zuly Qodir, Budi Asyhari,
Wiyadi, Beni Setiawan, Kunny, Maya, Mitha, Elis, Subkhi Ridho, Dani
Muhtada, Muqowim, Nurwanto, Asep PB, Irvan Mawardi, Fauzi Fashri
dll; teman-teman di Jawa Timur: Pradana Boy, Choirul Mahfud, Siddiq
Notonegoro, Aji, Biyanto, Sufiyanto, Cholid, dll; teman-teman di Jakarta:
Moeslim Abdurrahman, Fuad Fanani, Fajar, Said Ramadhan, Ayu,
Ninik Annisa, Najib Burhani, Tuti Alawiyah, Alfa Amirrachman, David
Alka, Raja Juli, Joko Sustanto, Sarah Muwahidah, dll; teman-teman kerja

iii
di Salatiga, Tomo, Saerozi, Baehaqi, Miftahuddin, Adang Kuswaya,
Hammam, Irfan Helmy, Agus Suaidi, Nafis, Abdul Aziz, Mochlasin,
Mukti Ali, Farkhani, Noormalihah, dll. Semoga Allah berkenan memberi
balasan terbaik atas kontribusi mereka.
Akhirnya, penulis juga sangat berterima kasih atas pengorbanan
waktu dan kesetiaan dari istri tercinta Nur, dan anak-anakku Nadia dan
Azca, yang dari hari ke hari, waktu ke waktu, bersama membangun se­
mangat “berjuang”. Dan penulis berharap buku ini memberi manfaat
bagi mereka yang membacanya, mendiskusikannya, lebih-lebih mewu­
jud­kannya dalam aksi dan gerakan pemihakan kepada mereka yang dhuafa
dan mustadh`afin. Amin.

Omah Nderes, Soditan, Sukoharjo


10 Februari 2015

Zakiyuddin Baidhawy

iv Zakiyuddin Baidhawy
DAFTAR ISI

Prakata .......................................................................................iii
Daftar Isi....................................................................................... v
Pendahuluan................................................................................. 1
BAB I GLOBALISASI MELIPATGANDAKAN
KEMISKINAN DAN PEMISKINAN..........................11
A. Kilas Balik Globalisasi........................................................ 11
B. Beberapa Perspektif Globalisasi....................................... 13
C. Rahwana Globalisasi: Massifikasi Kemiskin­an
versus Janji Kemakmuran................................................... 18

BAB II ARTI DAN FENOMENA KEMISKINAN


GLOBAL...................................................................... 57
A. Teori tentang Kemiskinan.................................................. 57
B. Perspektif Islam tentang Kemiskinan Kontemporer.... 63
C. Tiga Dimensi Kemiskinan................................................. 73
D. Mustadh`afin Kontemporer: Bukan Sekadar Penerima
Zakat...................................................................................... 75

BAB III VISI BARU KEBERPIHAKAN.................................. 82


A. Mempertegas Visi Keberpihakan: al-Maun
sebagai option for the poor...................................................... 85

v
B. Mencerdaskan visi al-Takathur: “Kapitalisasi” untuk
Pemihakan............................................................................ 89
C. Ummah wasath: Pejuang Keadilan dan Kemanusiaan... 91
D. Pendekatan Berbasis maqasid al-syariah.......................... 93

BAB IV VISI KEPEMIMPINAN PROFETIK-


TRANSFORMATIF AL-MAUN................................106
A. Wahyu Transformatif: Sebuah Ancangan ..................... 107
B. Model Kepemimpinan ..................................................... 111

BAB V PENDIDIKAN AL-MAUN: PENYADARAN


DAN POLITIK KEBERPIHAKAN...........................134
A. Baldah Thayyibah: Merevitalisasi Peran Komplementer
Negara................................................................................. 135
C. Keluarga Sakinah: Menggerakkan Kepedu­li­an dari
Lingkup Terkecil................................................................ 147

Daftar Pustaka...........................................................................157
BIOGRAFI PENULIS..............................................................163

vi Zakiyuddin Baidhawy
PENDAHULUAN

Globalisasi memang tak terelakkan sebagai akibat langsung perkem­


bangan teknologi komunikasi, informasi, transportasi yang memper­
cepat hubungan antar manusia tanpa mengenal batas ruang dan
waktu. Globalisasi di satu sisi berjasa membuat hidup manusia lebih
ber­ke­majuan, progresif; di sisi lain globalisasi juga bertanggung jawab
telah membuat kehidupan sebagian umat manusia lebih menderita.
Bila kemajuan merupakan tujuan dari globalisasi, para penentangnya
meman­dang telah mengalami kegagalan kolosal. Kekuatan-kekuatan
pasar dan birokrasi internasional telah mendikte aturan-aturan dengan
akibat-akibatnya yang telah terbukti di seputar kita.
Setelah krisis dan devaluasi dialami Mexico pada 1994-1995, separuh
penduduk Mexico jatuh di bawah garis kemiskinan. Mulai pertengahan
1997, negara-negara macan Asia baru bergelimpangan ditimpa krisis
ekonomi. Dalam satu dekade terakhir, kemiskinan mendera bangsa
Indonesia. Jumlah bunuh diri di Korea dan Thailand meningkat tajam
karena para pekerja tidak mempunyai harapan bagi diri mereka sendiri
dan keluarganya. Di Rusia, harapan hidup kaum lelaki merosot tujuh
tahun hanya dalam satu dekade, suatu peristiwa yang jarang didengar
pada abad 20.
Pertumbuhan spekulasi finansial makin tidak terkontrol di pasar-
pasar yang sedang bangkit. Ini membawa pada bencana bagi kebanyak­
an penduduk di negara-negara terdampak. Warga negara dan pemerintah
kadang-kadang bermanfaat bagi penggerak utama globalisasi. Warga

1
negara tanpa disadari dipaksa membayar pajak untuk pemberian jaminan
(bail-out) kepada IMF, yang pada akhirnya kebanyakan pajak itu tidak ber­
kontribusi bagi mereka yang menderita, tetapi justru dimanfaatkan oleh
para spekulator yang menyebabkan krisis. Warga negara lebih jauh di­
wajibkan untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan swasta yang
seram­ pang­an, perusahaan-perusahaan yang sudah jelas-jelas gagal,
se­­perti kegagalan tabungan dan pinjaman di Amerika Serikat, Kredit
Lyonnais di Perancis, dan bank-bank serta perusahaan-perusahaan raksasa
di Jepang.
Ketika Manajemen Kapital Jangka Panjang hedge fund swasta di
Amerika Serikat akhir-akhir ini guncang setelah meminjam ratusan kali
dari basis kapital awalnya, the Federal Reserve New York mengkoordinasi
bail-out dana yang wajib dibayarkan oleh bank-bank karena takut jika
kegagalan ini dapat mendestabilisasi keseluruhan ekonomi global.
Apa yang dipaparkan di muka menggambarkan bahwa globalisasi
menciptakan lebih banyak pecundang dari pada pemenang, dan tak
se­orang pun punya rencana untuk menjadi pecundang. Orang-orang
yang tidak akan pernah bertemu ditempatkan dalam suatu persaingan
langsung, seperti halnya “setiap manusia adalah musuh bagi yang lainnya”,
mengutip Thomas Hobbes. Persaingan semacam ini menciptakan apa
yang sekarang disebut sebagai race to the bottom dan telah menghancurkan
standar-standar pekerjaan dan lingkungan hidup seiring negara-negara
mem­buka laju investasi asing secara langsung. Semua ini membiarkan
kebebasan modal untuk melintas batas, sementara kaum pekerja atau
buruh berakar dan tidak dapat bergerak secara bebas.
Persaingan bebas membiarkan modal transnasional lari dari tang­
gung jawab pajak hampir secara menyeluruh. Menurut kantor akuntan
pemerintah Amerika Serikat, tiga perempat perusahaan-perusahaan
asing di negara ini tidak membayar pajak sama sekali. Di Eropa, pajak
perusahaan memberi kontribusi kurang dari sepertiga pendapatan
negara. Di AS hanya 17% pendapatan negara diperoleh dari mereka.
Tidak adanya pajak modal membuat proteksi sosial jauh lebih sulit di­
berikan karena pemerintah kemudian mengambil pajak upah, gaji, dan
konsumsi lebih besar sehingga warga negara mengalami kerugian.
Persaingan bebas dalam membuka investasi asing secara langsung
telah menghadiahkan kepada banyak kawasan yang memiliki modal

2 Zakiyuddin Baidhawy
sumber daya alam kerusakan lingkungan. Secara sistematis persaing­
an telah memarjinalkan biaya-biaya lingkungan dan sosial. Globalisasi
ekonomi dalam bentuknya yang sekarang bukanlah suatu kecelakaan.
Meskipun teknologi membuatnya menjadi mungkin, globalisasi ekonomi
secara sengaja didesain oleh ekonom-ekonom dan pemerintah-peme­
rintah neo-liberal, institusi-institusi keuangan internasional (IFIs), kor­
porasi dan para pemimpin perbankan. Bertindak atas nama kepen­tingan
kelompok paling minoritas, sistem ini telah menyebabkan penderitaan
mayoritas. Penderitaan dan kesengsaraan sosial telah tampak ke per­
mukaan sebagai akibat langsung globalisasi yang pada akhirnya juga
me­mukul kelompok paling minoritas itu sendiri. Kesalahan besar pada
penganjur globalisasi adalah ketidakmampuan mereka menjamin proteksi
jangka panjang bagi sistem yang dapat terus menerus melimpahkan ke­
kuasaan dan keuntungan.
Para pembuat keputusan harus mengakui bahwa model globalisasi
semacam ini hanya akan menghasilkan dan melipat­gandakan kemiskinan,
pemiskinan, marjinalisasi, dan konflik sosial. Tantangannya adalah bagai­
mana kita bisa menghapus ideologi yang sedang berkuasa sehingga
globalisasi neo-liberal disumbat, dan keuntungannya dapat melimpah
kepada semua warga dunia. Ini bukan realitas tetapi doktrin, sesuatu yang
sedikit di bawah agama.
Lebih jauh, karena globalisasi lebih menggambarkan masalah eko­
nomi, dan karena itu kekuatan sosial dari warga negara, komunitas, dan
negara-bangsa secara simultan terus mengalami penurunan kapasitas
untuk melindungi diri mereka sendiri dari serangan gencar pasar, ada
kebutuhan mendesak untuk mem­­­ber­dayakan warga negara, komunitas
dan negara sembari mengupayakan pelembagaan aturan-aturan demo­
kratis dan berkeadilan pada tingkat internasional.
Akhirnya, pada tingkat yang paling fundamental, kita harus meng­
uji kembali makna otoritas dan legitimasi. Aktor-aktor besar dalam
sistem dunia sekarang ini memperlihatkan pengaruh luar biasa atas basis
legitimasi mereka. Para direktur perusahaan dan banker, manajer pen­
siun dan hedge-fund, ekonom IMF, para hakim perdagangan WTO, dan
ke­banyakan peserta pertemuan tahunan World Economic Forum di
Davos, Swiss, semuanya tidak bertanggung jawab. Mereka memper­
oleh kekuasaan besar melampaui kehidupan banyak penduduk dunia.

Pendahuluan 3
Legitimasi dan otoritas mereka telah meminggirkan semua suara yang
lain. Peminggiran dari proses pengambilan keputusan tidak kurang
pen­ ting­
nya dibandingkan dengan peminggiran dari keuntungan-ke­
untungan material dan perlu diuji kembali jika solidaritas di dalam dan
antara bangsa-bangsa hendak diperbaiki demi dunia yang lebih baik dan
manusiawi.
Kini Amerika Serikat jatuh dalam krisis kepercayaan dan krisis
finansial, kemudian diikuti oleh negara-negara maju lainnya di Eropa
dan menyebarkan ancaman krisis kepada seluruh bagian dunia ini.
Skandal kredit macet perumahan, skandal Madoff, runtuhnya perusa­
haan-perusahaan transnasional raksasa, merupakan tengara kegagalan
globalisasi ala neo-liberal. Inilah peluang bagi ideologi-ideologi alternatif
untuk maju dan menawarkan sebuah dunia lain yang mungkin, another
worlds are possible.
Kehadiran buku ini merupakan satu upaya bagaimana kita bisa
memandang dunia global yang penuh dengan ketidakadilan ini dengan
kritik radikal, dan semangat menyajikan berbagai kemungkinan yang
dapat memberikan pilihan lain di tengah-tengah pemaksaan oleh rejim
hegemoni dan homogenisasi itu. Alternatif apa pun akan bermakna
ketika kita menyadarinya bukan semata sebagai state of mind, namun lebih
dari itu dapat dimanifestasikan ke dalam aksi-aksi dan praksis sosial yang
membumi. Seperti kata pepatah, menyalakan lilin sekecil apa pun adalah
lebih baik daripada mengumpat dalam kegelapan. Dalam kegelapan dan ke­
tidakadilan globalisasi itu, kita perlu melakukan dua hal: bicara lantang
dan mempertajam wacana akan kebangkrutan globalisasi model neo-
liberalisme, dan menawarkan diskursus baru dan lain yang menge­de­
pankan keadilan sosial dan kesejahteraan; dan memperbanyak aksi dan
gerakan sosial yang membela harkat dan martabat penduduk dunia yang
terpinggirkan dan termarjinalisasi sebagai akibat ketimpangan dan ke­
senjangan yang menyakitkan mata kepala dan mata batin kemanusiaan
kita.
Buku ini memulai dari kupasan mengenai kejahatan-kejahatan
globalisasi yang perlu secara terus-menerus diperbincangkan dan di­
sebarluaskan kepada seluruh penduduk dunia agar mereka melek akan
sisi hitam dari ideologi ini. Globalisasi tanpa arah merupakan kejahat­
an kemanusiaan karena ia telah merusak tatanan kehidupan melalui

4 Zakiyuddin Baidhawy
pelipatgandaan kemiskinan dan pemiskinan. Ketidakadilan global se­
macam ini sepertinya merupakan representasi kontemporer dari empat
gembong kriminal yang pernah diilustrasikan oleh al-Quran: Qarun,
Fir`aun, Haman, dan Samiri.
Qorun adalah wajah dari rejim neo-liberalisme yang merupakan
corong dari kekuatan-kekuatan ekonomi global hegemonik dan me­
nindas banyak penduduk dunia. Lembaga-lembaga keuangan global
(IFIs) yang siap mengucurkan dana bantuan dalam skema jeratan hutang
dan bunganya yang mencekik.
Fir`aun adalah gambaran penguasa-penguasa politik yang korup
dan dipaksa korup untuk melahirkan sejumlah deregulasi-deregulasi yang
memenangkan kepentingan-kepentingan kekuatan-kekuatan ekonomi
global di atas, melalui forum-forum pertemuan atau konferensi tingkat
tinggi kepala-kepala negara; juga rezim-rezim nasional dan lokal yang
diperalat untuk mendahulukan kepentingan mereka dengan tumbal ke­
pentingan rakyat dan kemaslahatan publik umumnya. Mereka ialah pe­
nguasa ”penyembelih” yang kemaruk harta/uang walau harus meng­
khianati amanah rakyat yang telah memilihnya.
Haman merupakan kaum intelektual ”begundal” dan teknokrat
tukang yang digaji besar dan diberi kedudukan terhormat oleh para
Qarun dan Fir`aun globalisasi neo-liberal. Tugas suci mereka adalah
mem­buat rasionalisasi dan justifikasi atas segala kepentingan dan ke­
bijakan yang menguntungkan rezim ekonomi dan penguasa global itu.
Mereka juga menciptakan teori-teori ekonomi dan pembangunan yang
melegitimasi perampasan, perampokan, pencurian atas aset-aset negara-
negara di dunia, menindas warga negaranya, dan mengeruk keuntungan
sebesar-besar di atas penderitaan penduduk dunia lainnya. Karakter kaum
intelektual dan teknokrat tukang ini mudah dikenali: mereka suka mem­
buat penyataan dukungan atas kebijakan penguasanya yang sudah pasti
menyesengsarakan rakyatnya; kerja intelektual dan teknokrasinya ialah
melanggengkan kemiskinan dan pemiskinan.
Samiri adalah kaum agamawan ”bandit” yang cenderung pro status
quo. Mereka suka berdalil, mengutip firman-firman suci namun tujuan­
nya untuk memanipulasi doktrin-doktrin dan hukum-hukum agama
untuk eksploitasi terhadap kaum fakir miskin dan mustadh`afin. Me­
lalui cara ini mereka memperoleh keuntungan finansial dan material

Pendahuluan 5
dari Qarun, Fir`aun dan Haman globalisasi neo-liberal yang menjadi
patronnya. Inilah tipikal agamawan candu, sebagaimana disitir oleh Karl
Marx, agama adalah opium bagi masyarakat karena ia meninabobokan
mereka dalam kesadaran palsu dan membuat mereka lemah, letih dan
lesu gairahnya untuk bangkit melawan kemiskinan, pemiskinan dan pe­
nindasan.
Bab II menghadirkan upaya untuk memahami fakta dan realitas
kemiskinan yang makin kompleks. Dalam bab ini kemiskinan dipahami
sebagai suatu kondisi multidimensi dan multiaspek yang mencakup
antara lain: Pertama, kemiskinan karitas, yaitu kelangkaan dalam meme­
nuhi kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs), pendapatan pribadi, akses
kesejahteraan publik, aset fisik (physical capital termasuk tanah dan kepe­
milikan materi, kesehatan), aset lingkungan seperti pepohonan, hutan,
air, dan produk-produk non kayu-kayuan. Kedua, kemiskinan kapasitas,
yaitu ketidakpastian harapan dan masa depan disebabkan mereka
miskin dalam hal pendidikan, life skill, training, kekuatan bekerja. Ketiga,
kemiskinan otoritas, yakni ketidakberdayaan yang mencakup mar­ ji­
nalisasi sosial, marjinalisasi partisipasi, marjinalisasi hak-hak asasi, dan
marjinalisasi perlindungan hukum. Karena definisi kemiskinan meng­
alami perluasan dan kompleksitasnya semakin rumit, maka upaya-upaya
pemberdayaannya pun perlu dilakukan secara kompehensif. Mem­
perlakukan fakir miskin hanya sebatas sebagai orang-orang yang berhak
menerima zakat (mustahiq) sudahlah usang. Karena pemahaman ini sering
menjerumuskan distribusi zakat dalam kerangka karitatif, sekali pakai
habis, dan tidak pernah dapat mengentaskan kaum miskin dan papa dapat
meningkatkan kelayakan dan kesejahteraan mereka sendiri.
Upaya-upaya pemberdayaan komprehensif dan simultan membu­
tuhkan visi keberpihakan yang lugas dan bernas. Karena itu Bab III me­
na­warkan kerangka pemahaman baru yang komprehensif dan simultan
mengenai pandangan, aksi dan gerakan keberpihakan kepada kaum
miskin dan mustadh`afin. Inilah visi keberpihakan al-Maun, suatu ma­
nifes­to option for the poors. Upaya ini diiringi dengan visi kapitalisasi yang
cerdas, yakni al-takathur yang bertujuan untuk mengembangkan filantropi
sosial-keagamaan, bukan untuk tujuan kapitalisasi dan ambil untung itu
sendiri. Agen dari pembumian wahyu transformatif yang tegas visi
keberpihakannya dan cerdas visi filantropinya adalah mereka yang mem­

6 Zakiyuddin Baidhawy
persiapkan diri sebagai pejuang keadilan dan kemanusiaan (ummah
wasath).
Dalam bab ini dibahas pula tentang alternatif untuk memahami
kemiskinan dan upaya pengentasannya yang mencermin keberpihakan
itu. Yaitu menawarkan pendekatan berbasis maqashid al-syariah meliputi:
pendekatan kesadaran religius yang profetik-transformatif, pendekatan
pro kehidupan, pendekatan pro penguatan akal, pengetahuan dan pen­
didikan, pendekatan pro keluarga dan keturunan yang sejahtera dan
bahagia, pendekatan pendapatan dan kekayaan, serta pendekatan ling­
kungan.
Untuk mengimplementasikan visi keberpihakan pada tingkat paksis
sosial, kepemimpinan merupakan keniscayaan tak terelakkan. Kerangka
ini dilandasi paham teologis yang memaknai kitab suci, firman/kalam
suci sebagai wahyu transformatif. Wahyu transformatif menjadi ancangan
keberpihakan di mana kitab suci merupakan titik pijak untuk perubahan
dan transformasi sosial. Karena itu, satu surat al-Qur’an yang sangat
populer, yakni al-Maun diletakkan dalam bingkai keberpihakan terhadap
kaum miskin dan mustadh`afin. Inilah kepemimpinan bervisi profetik-
transformatif yang dikenal sebagai kepemimpinan al-Maun. Disebut se­
bagai kepemimpinan profetik karena ia diderivasi dari gerakan-gerakan
yang pernah dilakukan oleh para nabi revolusioner; disebut kepe­mim­
pinan transformatif karena visinya adalah perubahan ke arah kehi­
dupan sosial yang lebih adil dan baik. Kepemimpinan ini bisa terjadi
dalam banyak level dan aksi sesuai dengan kebutuhan yang dihadapi,
baik dijalankan secara parsial maupun menyeluruh, antara lain: model
advokasi politik Harun yang bertujuan untuk memengaruhi regulasi
negara untuk redistribusi ekonomi, sosial, dan politik; model pendidik­
an kritis Musa dengan “exodus” sebagai pendidikan politik untuk
masya­rakat madani vis a vis negara/rezim menindas; model partisipatoris
Muhammad yang meneladankan hidup sederhana sebagai counter culture
atas konsumtivisme, dan hidup bersama orang miskin dan tertindas
(pendampingan); model propaganda Ibrahim melalui gerakan simbolik
penghancuran berhala ideologi hegemonik-dominatif-eksploitatif (the
end of unfair globalism, Neo-liberalism); dan model masjid al-Maun untuk
orang yang hendak mewujudkan rumah/surga Allah di muka bumi ini.
Inilah yang menjadi inti bab IV.

Pendahuluan 7
Terakhir, pendidikan pada akhirnya merupakan salah satu upaya
kultural yang perlu ditempuh untuk menjawab tantangan-tantangan glo­
balisme itu dan akibat-akibatnya yang negatif dan menindas. Pendidikan
di sini tentu saja bukan pendidikan dalam pengertian biasanya. Ia me­
rupakan pendidikan penyadaran kepada semua tingkatan, baik pada
negara, komunitas maupun keluarga akan bahaya globalisme. Pendi­
dikan ini juga membangkitkan semangat keberpihakan atas mereka
yang menjadi korban pemiskinan dan penindasan struktural baik oleh
agen-agen kekuatan ekonomi maupun kekuatan politik global yang ber­
kolaborasi dalam neo-liberalisme. Penyadaran kepada negara ber­tujuan
untuk mengembalikan dan memberdayakan perannya dalam melaku­
kan intervensi ketika ketidakadilan terjadi. Ketika pasar yang dipercaya
oleh neo-liberalism sebagai petugas alokasi dan distribusi sumber daya,
gagal memenuhi janji-janji keadilan dan kesejahteraan bagi kebanyak­
an warga negara. Negara perlu melakukan peran dan tanggung jawab
komplementer atas pasar agar menjadi lokus persaingan sempurna
(bukan persaingan bebas). Kala pasar tidak lagi menjamin distribusi ke­
kayaan dan pendapatan secara adil, negara campur tangan menjadi agen
redistributor bagi semua warga negara. Negara juga memiliki peran dalam
mengelola kepemilikan publik dan hajat hidup orang banyak, serta peran
regulator yang menjaga performa tatanan kehidupan berbangsa yang
berkeadilan dan berkesejahteraan.
Pada tingkat komunitas, pendidikan penyadaran dan keberpihak­
an dimaksudkan untuk membangkitkan daulat komunitas/masyarakat
guna melakukan fungsi-fungsi civil society pada aras politik, ekonomi mau­
pun kebudayaan. Pada aras politik, komunitas/masyarakat perlu di­
pahamkan bahwa mereka mengemban tanggung jawab menciptakan
ruang publik dalam rangka mendemokratiskan negara, mengkristal­kan
opini publik sebagai alat check and control atas kebijakan-kebijakan negara
bagi warga negaranya. Pada aras ekonomi, komunitas/masyarakat
niscaya untuk disadarkan bahwa mereka mempunyai kewajiban bersama
untuk membangun kemandirian, keadilan dan kesejahteraan ekonomi.
Bila negara gagal, komunitas/masyarakat sipil dapat menopang kehi­
dupannya dari keswadayaan, menegakkan keadilan dan kesejahteraan
melalui filantropi sosial dan keagamaan. Pada aras kultural, pendidikan
penyadaran dan keberpihakan berupaya memberikan pencerahan

8 Zakiyuddin Baidhawy
intelektual dan moral kepada kekuatan-kekuatan dalam komunitas/
masyarakat untuk mampu membuat counter hegemoni atas negara. Pen­
cerahan intelektual dan moral merupakan modal untuk menjalankan
aksi dan gerakan perlawanan pada negara, ketika negara gagal (failed
state) dan pemerintahan tidak memerintah (governless) untuk memenuhi
amanah keadilan dan kesejahteraan bagi warganya.
Adapun pada tingkat keluarga, pendidikan penyadaran dan keber­
pihakan ialah usaha untuk mengarahkan dan membimbing keluarga
untuk memahami pentingnya gaya hidup sederhana sebagai budaya
tandingan atas konsumtivisme dan konsumerisme yang menjadi watak
globalisasi neo-liberal. Gaya hidup sederhana dapat menyelamatkan
keluarga dari rayuan dan godaan hedonisme dan ketamakan yang me­
rupakan titik awal kehancuran peradaban kemanusiaan. Gaya hidup
sederhana juga membentengi keluarga dari perilaku konsumsi yang cen­
derung tidak rasional (hanya memenuhi keinginan tanpa batas) dan tidak
ramah lingkungan.
Akhirnya, upaya-upaya untuk memahami realitas kemiskinan, pe­
miskinan, penindasan, marjinalisasi, harus terus-menerus diper­barui
me­lalui refleksi, semacam gerak antara wacana kritis dan aksi nyata.
Kaum intelektual dan para aktivis jangan terjebak pada kesibukan
masing-masing. Ibarat gayung bersambut, keduanya perlu bersinergi:
kaum intelektual melakukan refleksi terhadap realitas dan aksi-aksi yang
dilakukan para aktivis; para aktivis mempertimbangkan refleksi itu untuk
perbaikan dan transformasi aksi-aksi mereka. Jika dua pihak ini be­kerja­
sama, refleksi atas semua wacana dan praksis sosial niscaya mene­
mukan paduan dan kesalinghubungan satu dengan yang lain, dan pada
gilirannya perjuangan mereka dapat menuai hasil. Fawq dhi `ilm `Alim.

Pendahuluan 9
BAB
GLOBALISASI MELIPATGANDAKAN
I KEMISKINAN DAN PEMISKINAN

A. KILAS BALIK GLOBALISASI


Globalisasi adalah seperangkat proses pertautan dan integrasi
ekonomi, politik dan kultural, baik pada tingkat global maupun regional.
Kekuatan-kekuatan dan peristiwa-peristiwa yang meng­antarkan ke arah
globalisasi dapat ditelusuri jauh ke belakang sejak 1492 SM ketika orang-
orang mulai menghubungkan lokasi-lokasi yang tersebar di dunia ini ke
dalam suatu sistem komunikasi, migrasi dan interkoneksi yang makin
luas. Pembentukan sistem-sistem interaksi antara global dan lokal ini
men­jadi kekuatan pengendali utama dalam sejarah dunia (Imade, 2003).
Perspektif sejarah melihat globalisasi memiliki hubungan dengan
sejarah sosial dan ekonomi relasi internasional, dan khususnya dengan
sejarah periode-periode awal pertumbuhan pesat dalam perdagangan,
investasi, komunikasi dan pengaruh in­ter­nasional (Rothschild, 1999:2).
Ledakan ekspor investasi pada 1860-an dan awal abad 20 hanyalah dua
dari contoh-contoh dramatis. Peristiwa-peristiwa dan kekuatan-ke­
kuatan utama lain yang membentuk globalisasi sehingga memberikan
impak terhadap sejarah global dapat digambarkan sebagai berikut. Pada
325 M Chandragupta Maurya, seorang Budha memicu revolusi globa­
lisasi kali pertama dengan menggabungkan kekuatan perluasan agama
dunia, ekonomi perdagangan, dan pasukan-pasukan penjajah unuk kali
pertamanya menghubungkan kawasan Mediterania, Persia, India dan Asia
Tengah. Antara 650-850 M, Islam ikut mengglobal dengan melakukan

11
ekspansi dari Mediterania Barat hingga India. Pada 1492, Christoper
Columbus dan pada 1498 Vasco da Gama memulai navigasinya menge­
lilingi dunia melalui jalan air dalam rangka menghubungkan dunia ini.
Yang pertama diduga menemukan Amerika dan yang terakhir me­
nemukan jalur menuju India. Penemuan ini merupakan satu tahapan
bagi persaingan-persaingan imperialisme yang meliputi negara-negara
kapitalis maju antara abad 17 dan 19. Kesalingkaitan ini juga membuka
jalan bagi perdagangan budak yang segera diikuti mercantilisme pada 1650.
Hingga 1648, kekuatan penjajah menciptakan sistem negara modern yang
dimulai oleh pakta Westphalia.
Karya monumental Adam Smith The Wealth of Nation menyingkap
era baru fundamentalisme pasar di Eropa. Dalam karya itu, Smith meng­
gunakan invisible hand sebagai istilah yang merujuk pada sistem per­
dagangan bebas dan cepat berkembang pada masa itu. Karya ini terus
mempengaruhi pemikiran lain tentang prinsip-prinsip dan gagasan
ekonomi. Antara 1867 dan 1871, mekanisme yang melahirkan Uni Eropa
telah mulai muncul. Perjuangan kekuasaan dan persaingan ekonomi
telah menghasilkan terpecah-pecahnya Afrika berdasarkan Konferensi
Berlin pada 1885. Krisis ekonomi dan kontradiksi berkaitan dengan
perjuangan-perjuangan antara negara imperialis membawa pada ber­
bagai konflik di dunia, secara lebih khusus melahirkan Depresi Besar
pada 1930-an. Negara bangsa-negara bangsa menarik diri dari pasar
internasional yang telah menyebabkan penderitaan tak terperikan
dalam bentuk kemiskinan dan pengangguran. Akibat-akibat kumulatif
dari per­saingan dan kontradiksi dalam kapitalisme ini telah memukul
seluruh bagian dunia. Ini dapat menjelaskan terjadinya Perang Dunia I
pada 1914 dan Perang Dunia II pada 1935. Liga Bangsa-bangsa, yang
didirikan pada pasca PD I dan bermaksud untuk mencegah perang di
masa depan, tidak memberi banyak harapan ketika ia gagal menghenti­
kan PD II dan kemudian diganti menjadi Persyarikatan Bangsa-Bangsa
pada 1945.
Kebanyakan negara Eropa yang mentas dari PD II dalam ke­adaan
lemah, dan tidak berdaya. Kelemahan mereka disebabkan ketidak­
mampuan Eropa untuk meredam gerakan-gerakan nasionalis militan
yang berasal dari wilayah koloni, dan akibatnya berpuncak pada proses
dekolonisasi yang dipicu oleh pemrotes dan demonstran di wilayah-

12 Zakiyuddin Baidhawy
wilayah jajahan, yang secara bertahap membebaskan koloni Eropa di
Asia dan Afrika (Schraeder, 2000: 131).
Untuk mengatasi krisis, akhirnya negara-negara memutuskan untuk
membangun dan memperkuat ikatan-ikatan internasional pasca PD II
yang meletakkan kerangka kerja bagi Sistem Bretton Woods. Hasil per­
temuan itu memperkuat globalisasi yang kemudian melahirkan berbagai
lembaga seperti IMF, Bank Dunia, dan GATT.
Setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1989, demokrasi ditengarai se­
bagai pemenang atas komunisme (Fukuyama, 1992). Globalisasi meng­
ibahkan sayapnya secara penuh tanpa ada perlawanan. Peristiwa-peris­
tiwa tersebut, bersamaan dengan revolusi industri, meraih puncak
ke­jayaan hingga kini. Paparan singkat di muka menunjukkan bahwa
globalisasi sudah melakukan perjalanan panjang. Ia tetap survive, se­buah
fenomena global sejati dan akhir sejarah yang menyimbolkan ke­me­
nangan kapitalisme atas komunisme.
Putaran globalisasi mengalami percepatan pada 1980-an dan 1990-
an seiring dengan berbagai upaya pemerintah-pemerintah di manapun
untuk mengurangi hambatan-hambatan kebijaksanaan yang mengha­
langi perdagangan dan investasi internasional. Terbuka terhadap dunia
luar menjadi bagian dari perubahan yang umum terjadi menuju ke­per­
cayaan lebih besar kepada pasar dan perusahaan-perusahaan swasta,
bersamaan dengan banyak negara, khususnya negara-negara berkembang
dan sosialis, mulai yakin bahwa perencanaan dan intervensi pemerintah
di bidang ekonomi gagal menghasilkan capaian-capaian pembangunan
yang diinginkan. Sebagaimana terjadi pada abad 19, putaran globalisasi
didorong oleh kemajuan teknologi yang telah mengurangi biaya trans­
portasi dan komunikasi antara negara-negara. Penurunan secara drastis
biaya telekomunikasi dan biaya proses, penyebaran dan transmisi infor­
masi, membuatnya sangat mudah untuk me­lakukan kontak-kontak dan
kerjasama bisnis di seluruh dunia, untuk mengkoordinasi operasi di
lokasi-lokasi yang sangat ber­jauhan, dan untuk memperdagangkan jasa
yang sebelumnya tidak dapat diperjualbelikan secara internasional.

B. BEBERAPA PERSPEKTIF GLOBALISASI


Kini, globalisasi seolah sudah menjadi mantra dan dzikir hampir
seluruh penduduk dunia. Kehadirannya yang tak terelakkan telah me­

Globalisasi Melipatgandakan Kemiskinan Dan Pemiskinan 13


nyerupai agama sipil. Di millenium ketiga ini, hakikat dan dampak
globalisasi terus diperbincangkan secara mendalam dan luas di sejumlah
kalangan ekonom. Kontroversi terus mengitari perbincangan yang
belum habis-habisnya mengenai globalisasi, apakah kekuatan-kekuatan
pasar yang bebas dan tak terkekang itu akan menyebabkan terjadinya
kesenjangan atau keseimbangan pendapatan negara-negara di seluruh
dunia. Para penganjur globalisasi yakin bahwa globalisasi mempromo­
sikan pertukaran informasi, membawa kepada pemahaman yang lebih
baik tentang kebudayaan-kebudayaan lain, meningkatkan standar
hidup, me­naikkan daya beli, sangat khusus di Barat, dan membiarkan
demokrasi menjadi pemenang atas komunisme. Sementara itu, para pe­
nentang globalisasi, yang sering memprotes pertemuan-pertemuan WTO
di manapun diselenggarakan, menyatakan ke­untungan negara-negara
Barat diperoleh dari memeras negara-negara berkembang. Mereka me­
mandang globalisasi sama halnya dengan imperialisme baru dan tidak
segan-segan mendorong perusahaan-perusahaan multinasional dan
transnasional untuk memindahkan pabrik-pabrik mereka ke negara-
negara dengan upah buruh termurah dan hukum-hukum lingkungan ter­
lemah (Summers, 1999). Lebih lanjut mereka percaya bahwa bahkan
di negara-negara maju sekalipun, tak seorangpun menjadi pemenang.
Kebebasan yang diberikan globalisasi membawa kepada makin tingginya
ketidaknyamanan di tempat-tempat kerja. Para buruh tidak terampil
selalu dihantui ketakutan-ketakutan tak ber­ke­sudahan akibat ancaman
perusahaan-perusahaan yang dengan gampang memindahkan basis pro­
duksi ke negara yang ekonomi perupahannya sangat murah.
Pemikiran-pemikiran ekonomi arus utama seringkali menjanji­
kan bahwa globalisasi akan mengangkat penduduk miskin melampaui
kemiskinan mereka, meruntuhkan kediktatoran, melindungi lingkung­
an, menyatukan kebudayaan-kebudayaan, dan jauh lebih pening adalah
mengatasi kesenjangan ekonomi antara negara-negara kaya dan miskin
di dunia. Namun terbukti bahwa globalisasi telah memperoleh se­
rangan politik dari demonstrasi dan protes jalanan yang mewabah atas
pertemuan-pertemuan WTO di Seattle pada musim gugur 1999, di Prague
pada musim gugur 2000, Quebec pada musim semi 2001, dan Genoa pada
musim panas 2001. Pukulan balik ini berhasil menyatukan para pemrotes
dari banyak kalangan untuk membentuk suatu front bersama menen­tang

14 Zakiyuddin Baidhawy
ketidakadilan yang disebabkan globalisasi. Misalnya, para penjaga budaya
merasa bahwa kebudayaan dan identitas-identitas nasional berada dalam
ancaman permanen karena penyebarluasan internet, TV satelit, jaringan
media internasional, dan perjalanan individu yang makin meningkat.
Kaum demokrat memandang perusahaan-perusahaan multinasional
(MNCs) menjadi lebih berkuasa dan berpengaruh daripada pemerintah­
an yang dipilih secara demokratis. Kelompok ekologis sangat khawatir
dengan perusahaan-perusahaan raksasa yang menyebabkan degradasi
lingkungan. Para aktivis HAM terancam kehilangan kebebasan karena
kekuasaan korporasi yang menggurita. Para pedagang kecil, pedagang
tradisional di pasar-pasar kecil menangis kehilangan pasar mereka karena
direbut oleh perusahaan-perusahaan besar. Dengan kata lain, ke­
banyakan penduduk dunia ini merasa terkucilkan dari keuntungan-ke­
untungan globalisasi.
Untuk melihat lebih jauh bagaimana globalisasi pada dataran
fakta telah menciptakan tragedi kemanusiaan berupa kelangkaan, ke­
tidakpastian, dan ketidakberdayaan penduduk dunia, kita memulai
dengan menjelaskan terlebih dahulu beberapa sudut pandang tentang
globalisasi. Melalui sudut pandang itu kita bisa memastikan apakah
globalisasi berhasil menciptakan kemakmuran atau sebaliknya kehan­
curan bagi penduduk planet bumi ini.
Globalisasi sebagai sebuah istilah dan konsep kadang-kadang
mem­bingungkan karena terus diperdebatkan dan selalu terbuka atas
beragam interpretasi dan makna. Globalisasi di mata para sarjana, kaum
terpelajar, dan para pengambil keputusan adalah sebuah proses, sistem,
kekuatan, masa, atau bahkan revolusi (Dierks, 2001). Sebagian lain
mem­pergunakan istilah ini dapat dipertukarkan dengan interna­sionali­
sasi, liberalisasi, universalisasi, dan westernisasi (Axford, 1995). Jadi, ada
berbagai perspektif yang saling bersaing.
Mendefinisikan globalisasi bukan persoalan mudah karena sebagai
sebuah konsep ia menerima beragam pemaknaan yang berbeda-beda.
Namun, untuk mempermudah globalisasi kita maknai saja sebagai suatu
proses yang terdiri dari dimensi-dimensi teknologi, ekonomi, politik,
dan kultural yang saling menghubungkan antara individu, pe­r usahaan,
dan pemerintahan melintasi batas-batas nasional (Dierks, 2001). Seorang
ekonom kenamaan David Henderson (1999, dalam Imade, 2003) lebih

Globalisasi Melipatgandakan Kemiskinan Dan Pemiskinan 15


jauh memperluas definisi globalsiasi menjadi lima komponen yang
saling berkaitan namun dapat dibedakan secara jelas:
1) meningkatnya kecenderungan bagi perusahaan-perusahaan untuk
memikirkan, merencanakan, dan berinvestasi demi masa depan
dengan mempertimbangkan pasar-pasar dan peluang-peluang di
se­luruh dunia;
2) tumbuhnya komunikasi internasional yang mudah dan murah
dengan internet sebagai aspek terdepan;
3) kecenderungan menuju integrasi ekonomi lebih erat yang ber­
akibat pada kurang pentingnya batasan-batasan politik, dan kecen­
derungan ini sebagian dipicu oleh dua kecenderungan di muka,
namun yang lebih kuat oleh kebijakan-kebijakan resmi yang ber­
tujuan untuk liberalisasi perdagangan dan investasi;
4) perkembangan signifikan isu-isu dan problem-problem yang me­
lam­paui batasan-batasan nasional dan mendorong terbentuknya
tindakan bersama secara internasional; dan
5) kecenderungan menuju keseragaman atau harmonisasi di mana
norma, standar, nilai, aturan, dan praktik-praktik dimaknai dan di­
perkuat dengan mempertimbangkan kawasan-kawasan atau dunia
secara menyeluruh, daripada di dalam ikatan-ikatan negara-bangsa.

Kita dapat membagi paparan tentang globalisasi secara jelas ke


dalam tiga teori dominan yang menyediakan suatu titik berangkat untuk
memahami globalisasi. Pertama, mazhab realisme. Niccolo Machiavelli
dipandang sebagai representasi tradisi realis. Ia mene­kankan pada “apa
yang senyatanya” sebagai lawan dari “apa yang seharusnya”. Penekanan
ini memiliki pengaruh mendalam terhadap para penulis lain sezaman­
nya. Tiga asumsi dasar dari mazhab ini antara lain: negara-negara
adalah aktor paling penting; mereka selalu mencari kekuasaan; mereka
mengeluarkan kebijakan-kebijakan secara rasional, memperhitungkan
biaya dan memperkirakan ke­untungan (Viotti and Kauppi, tt.).
Kedua, mazhab liberalisme yang disandarkan pada karya-karya
Adam Smith, David Ricardo, dan W.W. Rostow. Kaum liberal memandang
globalisasi sebagai pertumbuhan alamiah dari kapitalisme. Mereka per­
caya bahwa aktor-aktor non-negara merupakan pemain dominan dalam
percaturan globalisasi dan bahwa perdagangan pada hakikatnya adalah

16 Zakiyuddin Baidhawy
“mesin pertumbuhan” karena meningkatkan produktivitas dan pen­
dapatan di negara-negara berkembang. Integrasi dalam ekonomi inter­
nasional melalui perdagangan dimaksudkan untuk merangsang pertum­
buhan, me­nye­barkan teknologi baru, membuka investasi, dan men­
trans­formasi praktik-praktik sosial-kultural tradisional yang tidak cocok
dengan etos pasar (Baylis and Smith, 2001). Mereka juga percaya bahwa
masyarakat internasional yang diatur secara hukum dapat muncul
tanpa adanya suatu pemerintahan dunia, dan bahwa sumber-sumber
utama kemiskinan adalah berasal dari internal masyarakat itu sendiri,
yaitu kurangnya pengetahuan, pendidikan dan sains, lemahnya aturan
hukum, minimnya lembaga-lembaga yang melindungi kehidupan dan
ke­pemilikan penduduk dan menyediakan insentif bagi tindakan individu
dan perusahaan, kurangnya perlengkapan modal, ketidakstabilan makro­
ekonomi masif, dan pemerintahan predator. Problem serupa dapat me­
lintasi batasan-batasan nasional dan menghalangi pasar globalisasi.
Melalui karyanya the Wealth of Nation (1776), Adam Smith mema­
parkan sebuah teori bahwa perdagangan bebas tanpa batas meng­
untungkan bagi sebuah negara. Ia menyatakan bahwa the invisible hand,
dari pada kebijakan pemerintah, harus menentukan apa yang diimpor dan
diekspor sebuah negara. Basis argumennya adalah premis tentang prinsip
laissez faire. Salah satu penilaian paling berpengaruh tentang dilema
pem­bangunan di negara-negara terbelakang (LDCs) adalah karya W.W.
Rostow. Menurutnya, sebagaimana negara-negara maju di Utara, negara-
negara terbelakang di Selatan harus mengalami serangkaian per­ubahan
dalam sistem sosioekonomi mereka untuk membangun dan melakukan
indus­ trialisasi. Perubahan evolusioner disajikan oleh serangkaian
tahapan pertumbuhan ekonomi yang harus dilalui oleh masyarakat
yang berada pada jalur pembangunan. Ia mengidentifikasi lima tahapan
proses modernisasi: masyarakat tradisional, prakondisi lepas landas,
lepas landas, menuju kematangan, dan era konsumsi massal. Teori
pem­­bangunan ekonomi Rostow didasarkan pada pengalaman historis
bangsa-bangsa Barat, khususnya Inggris dan AS. Para kritikus menga­
takan bahwa wacana neo-liberal secara teoretik cacat dan tidak dibenar­
kan oleh bukti-bukti empirik. Sudut pandang ini lahirnya mazhab pe­
mikiran yang menyerang liberalisme karena gagal mempertimbangkan
variabel lain di samping pasar dalam analisis mereka.

Globalisasi Melipatgandakan Kemiskinan Dan Pemiskinan 17


Ketiga, mazhab Marxisme, yang sejak keruntuhan Uni Soviet di­
pandang oleh banyak sarjana dan cendekiawan sebagai ideologi yang
tidak lagi bermanfaat untuk menjawab persoalan-persoalan kon­tem­
porer. Namun, mazhab ini masih dapat eksis dan berguna untuk mem­
perdebatkan kembali tentang kapitalisme dan semangat ekspansinya
yang luar biasa serta kontradiksi-kontradiksi yang ada di dalamnya dan
telah menciptkaan sistem yang fatal bagi kehidupan banyak masyarakat
dunia. Bagi teorisi Marxis dan non-Marxis, evolusi dan penyebaran
ka­­pitalisme di seluruh dunia menjelaskan pertumbuhan kesenjangan
antara negara-negara industri di Utara dan negara-negara terbelakang
di Selatan. Para sarjana Marxis memandang kapitalisme serupa dengan
imperialisme karena agar dirinya tetap survival, kapitalisme harus me­
rambah ke mana pun, bersemayam di mana pun dan memapankan
hubungan-hubungan di mana pun. Sembari membuat semuanya serupa
dan homogen, kapitalisme terus memperdalam jurang-jurang pemisah
antara inti, semi pinggiran, dan pinggiran. Senyampang menekankan
merger modal industri dan bank ke dalam modal finansial, ekspansi
ekspor modal, kapitalisme juga meningkatkan produksi di bidang per­
senjataan dan militarisme.
Kaum Marxis karena itu, mempersoalkan bahwa gagasan-gagasan
tentang konsumsi rendah, kelebihan produksi, dan kele­bihan tabungan
merupakan sumber utama dari ekspansi kapitalis demi survival dan
akibatnya melahirkan krisis tak terelakkan dan metamorfosis menjadi
sosialisme.

C. RAHWANA GLOBALISASI: MASSIFIKASI KEMISKIN­


AN VERSUS JANJI KEMAKMURAN
Untuk melihat lebih jauh kecenderungan globalisasi yang lebih
me­nampakkan wajah laknat ketimbang berkah bagi kemanusiaan dan
lingkungan, ada baiknya kita membingkai globalisasi ke dalam empat
dimensi yang akan dipaparkan berikut: Qarun globalisasi, Fir`aun globa­
lisasi, Haman globalisasi, dan Samiri globalisasi.

18 Zakiyuddin Baidhawy
1. Qarun Globalisasi
Qarun adalah sahabat Nabi Musa yang sangat taat. Ketaatannya
lambat laun namun pasti luntur dan berubah menjadi sosok penuh
kejahatan, ketidakjujuran, pembangkangan. Ia menjadi simbol kekayaan
yang digali dengan cara menggangsir, mengeksploitasi dan tidak segan-
segan menindas orang-orang lemah dan papa. Pendapatan dan kekaya­
an adalah hak mutlak pribadi dan tidak ada kontribusi sosial di dalamya.
Makmur atau hancur berlaku sesuai hukum siapa kuat dia menang, survival
for the fittest.
Dalam konteks percaturan globalisasi, Qarun kontemporer adalah
simbol yang mewujud diri dalam ideologi neo-liberalisme dan kaki
tangan­ nya. Keyakinan-keyakinan neo-liberalisme meng­ garisbawahi
bahwa: pasar harus bekerja secara bebas tanpa campur tangan negara;
menekan pengeluaran upah dan melenyapkan hak-hak buruh; meng­
hilangkan kontrol atas harga; mengurangi pemborosan anggaran negara
dengan memangkas semua subsidi untuk pelayanan sosial seperti
pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial (social safety net), dan pada saat
yang sama subsidi besar-besaran diberikan kepada perusahaan trans­
nasional (TNCs) dan perusahaan multinasional (MNCs) melalui tax
holidays; mem­percayai deregulasi ekonomi; privatisasi adalah jalan me­
nuju persaingan bebas yang dibungkus dengan efisiensi dan mengurangi
korupsi, meski kenyataannya terjadi konsentrasi kapital di tangan sedikit
orang dan memaksa rakyat kecil membayar lebih mahal kebutuhan dasar
mereka; dan mempetieskan paham tentang public goods dan solidaritas
sosial dan menggantinya dengan tanggung jawab individual (Fakih, 2003).
Globalisasi ekonomi neo-liberal memiliki kaki tangan yang kokoh antara
lain IMF, Bank Dunia, WTO, dan globalisasi korporasi MNCs dan TNCs
yang seluruhnya menjadi penganjur perdagangan bebas atau liberali­sasi
pasar.
Ancaman yang sangat jelas dari globalisasi ekonomi adalah bahwa
liberalisasi berjasa melipatgandakan kesenjangan antara negara-negara
kaya dan miskin. Liberalisasi perdagangan di sini adalah pembukaan
batas-batas sehingga barang dan jasa dapat bergerak bebas melampaui
batas tanpa hambatan-hambatan apa pun dari beban tarif maupun non-
tarif. Lebih jauh, definisi ini mencakup prinsip laissez faire, suatu doktrin
ekonomi yang menentang regulasi atau campur tangan pemerintah

Globalisasi Melipatgandakan Kemiskinan Dan Pemiskinan 19


dalam perdagangan komersial. Doktrin ini menjadi ajaran utama dalam
Konsensus Washington. Konsensus ini menyepakati bahwa pasar
mesti efisien, negara tidak dibutuhkan, miskin dan kaya sama sekali
tidak memiliki konflik kepentingan, pasar akan berjalan pada tingkat
tertinggi jika dibebaskan. Juga diyakini bahwa privatisasi, deregulasi,
dan pasar modal terbuka mempromosikan pertumbuhan ekonomi,
pe­me­rintah harus menyeimbangkan budget dan memerangi inflasi dan
hampir dilarang melakukan selain dari dua kerja tersebut. Liberalisasi
perdagangan sudah menjadi kekuatan pengendali paling kuat dari glo­
balisasi. Richard Petrella (1999) mencatat enam logika dalam wacana
neo-liberal: Anda harus menglobal; Secara terus-menerus anda wajib
mengupayakan temuan-temuan tekonologi; Anda harus mengendalikan
pesaing-pesaing bisnis anda, atau mereka yang akan mengendalikanmu;
Anda harus meliberalkan pasar anda sendiri; Anda harus melawan
campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi; dan Anda harus mem­
privatisasi diri.
Para pengkritik globalisasi memandang logika ekonomi sebagai­
mana dikemukakan di atas lebih merupakan ilusi daripada kenyataan.
Kearifan konvensional mengatakan bahwa pasar bebas jauh dari kesem­
purnaan dan keadilan. Mereka juga yakin tentang kegagalan propa­
ganda doktrin laissez faire tersebut. Mereka menunjukkan bukti-bukti
empirik bahwa negara-negara dengan ekonomi lemah — Thailand,
Indonesia, Rusia, dan Brasil — bergelimang dengan uang panas dan
rentan mengalami guncangan oleh arus modal yang terus berubah dan
ber­gerak, serta lebih banyak pengangguran daripada banyak orang yang
dihidupi oleh globalisasi. Globalisasi telah memaksa anak-anak bekerja,
menyebabkan kerusakan lingkungan, konsentrasi kekayaan hanya pada
elite lokal dan perusahaan-perusahaan multinasional, dan menimbul­
kan konflik sosial dan politik yang makin intensif. Alasan mengapa glo­
balisasi gagal memperluas keuntungan dan kemakmuran, karena ia
lebih mempromosikan dan mengistimewakan perusahaan-per­usahaan
raksasa dan para kakitangan politiknya dengan meli­patgandakan bunga
untuk memaksimalkan keuntungan.
Globalisasi melahirkan anak kandung bernama funda­men­talisme
pasar yang mengimplikasikan perdagangan internasional secara luas se­
bagai jalan paling pasti meraih kemakmuran global. Sejak 1950-an,

20 Zakiyuddin Baidhawy
perdagangan global tumbuh lebih cepat daripada output. Setelah stagnan
pada dekade 70-an dan 80-an, perdagangan bebas mengalami ledakan
pada dekade 90-an, yang dipimpin oleh pertumbuhan pesat ekspor oleh
negara-negara Asia Timur. Pertumbuhan pesat perdagangan global
ini dipicu oleh liberalisasi pasar di seluruh dunia, suatu capaian dari
Putaran Uruguay, dan kesepakatan-kesepakatan multilateral lainnya.
Tarif mengalami kejatuhan, dan lebih penting dari itu adalah bahwa rin­
tangan-rintangan non-tarif telah dibongkar.
Amerika dan Inggris adalah dua negara yang paling gigih mem­
perjuangkan liberalisasi. Fakta menunjukkan bahwa negara-negara maju
sendiri tidak selalu tertolong oleh perdagangan bebas. Meskipun ada
kemajuan pasca Perang Dunia II, beban peradagangan negara-negara
maju masih tetap tinggi dalam perdagangan pakaian, tekstil, barang-
barang pertanian, dan banyak produk lainnya di mana negara-negara ter­
belakang memiliki keunggulan komparatif dalam sumber daya alam.
Bank Dunia sendiri menemukan bahwa rerata tarif yang dikenakan oleh
negara-negara kaya atas barang-barang manufaktur dari negara-negara
miskin adalah empat kali lebih tinggi daripada rerata tarif negara-negara
kaya atas barang-barang lainnya.
Ini merupakan ironi dari globalisasi. Premis globalisasi ten­tang per­
dagangan diperluas, bahkan perdagangan bebas yang menjadi kitab
suci kebijakan-kebijakan bagi IMF dan Bank Dunia di negara-negara
berkembang, tidak dipraktikan di negara-negara kapitalis maju di mana
proteksionisme masih cukup besar dan luas diterapkan. Sulit bagi negara-
negara terbelakang dan berkembang untuk mudah masuk ke pasar-
pasar negara maju tanpa hambatan proteksionisme. Lantas, bagai­mana
mungkin negara-negara terbelakang dan berkembang itu memperoleh
manfaat dari globalisasi di tengah-tengah proteksionisme negara-negara
maju?
Pertentangan selalu muncul di seputar syarat-syarat perda­gangan
bebas yang benar-benar tidak menguntungkan negara-negara berkem­
bang. Sebagai misal, syarat-syarat perdagangan secara signifikan mem­
batasi produk-produk pertanian negara-negara berkembang, sedangkan
pada saat yang sama harga minyak bumi telah membuat mereka meng­
alami kesulitan. Hutan negara dan swasta malah meningkat pada saat
terjadi ledakan minyak bumi, dan pada akhirnya menjadi beban berat

Globalisasi Melipatgandakan Kemiskinan Dan Pemiskinan 21


ketika tingkat suku bunga naik. Sementara itu, negara-negara berkem­
bang mengalami kemunduran ekonomi yang diakibatkan oleh aliran
besar modal swasta dari luar negeri. Di sisi lain, konsensus di kalangan
ekonom Keynesian tentang pajak pertanian, industrialisasi, pelayanan
sosial, dan peran aktif negara pasca dekade-dekade kemerdekaan, kini
telah digantikan oleh neo-liberalisme. Bagi negara-negara berkembang
ini artinya pelucutan terhadap peran negara dalam pembangunan.
Premis neo-liberal telah melemparkan negara dari kehidupan ekonomi
dan menghilangkan semua hambatan termasuk kontrol atas bursa efek,
tarif protektif, dan pemotongan layanan sosial masif. Negara-negara
berkembang dipaksa untuk melakukan semua itu. Inilah yang sering
disebut sebagai penyesuaian struktural, suatu obat mujarab dari kebi­
jakan neo-liberal tentang reorientasi ekonomi bagi semua negara Dunia
Ketiga (Freund, 1998). Formula satu ukuran untuk semua pertumbuhan
ekonomi telah memperoleh kritik dan protes dari para aktivis di seluruh
dunia. Formula neo-liberal tersebut sering melahirkan kebijakan-kebi­
jakan yang membahayakan bagi negara-negara yang menjadi klien IMF
dan Bank Dunia. Misalnya, paket-paket bantuan seringkali diiringi
dengan syarat-syarat ter­tentu yang memberatkan negara-negara ber­
kembang, seperti pene­rima paket bantuan harus memprivatisasi badan-
badan usaha milik negara yang tidak efisien, mematahkan korupsi, tarif
yang lebih rendah, mengontrol defisit anggaran, dan seterusnya. Krisis
akibat konsensus Washington sangat jelas bagi setiap orang. Namun tak
seorang pun mau mengakuinya. Kebijakan yang buruk telah melahirkan
kebijakan yang gagal. Selama krisis ekonomi Asia mulai pertengahan
1997, IMF memaksa kliennya untuk meningkatkan tingkat suku bunga
dan memotong defisit anggaran selama masa resesi yang justru mem­
perparah krisis.
Beberapa alasan lain yang menekan negara-negara berkembang
hingga tidak dapat mengambil manfaat dari kemajuan dan keuntungan-
keuntungan globalisasi berangkat dari fakta bahwa komoditas-komo­
ditas pokok dari Dunia Ketiga terus menghadapi perlakuan tidak adil
praktik-praktik perdagangan selama pember­lakuan penyesuaian struk­
tural. Juga sebuah ironi bahwa bangsa-bangsa yang sedang berkem­
bang harus mengkonsumsi apa yang mereka tidak produksi dan harus
mem­produksi apa yang mereka tidak konsumsi. Mereka kebanyakan

22 Zakiyuddin Baidhawy
mengimpor barang-barang manufaktur dan mengekspor bahan-bahan
mentah, utamanya produk-produk pertanian dan mineral. Harga ekspor
negara-negara Selatan terus mengalami kejatuhan sementara nilai
impor terus meningkat. Lebih jauh, pasar-pasar bagi barang-barang
dari Afrika terus menyusut seiring negara-negara maju menetapkan
semua jenis hambatan tarif dan non-tarif. Dengan harga rendah dan
pasar yang makin mengecil, negara-negara berkembang terpaksa ber­
hutang untuk membayar impor barang-barang. Problem ini lebih jauh
diperparah oleh hutang-hutang yang menggelembung yang dikucurkan
oleh negara-negara Barat. Banyak kasus meng­­gambarkan banyak negara
berkembang meminjam lebih untuk membayar hutang-hutang mereka
dengan pertumbuhan pembangunan ekonomi yang tidak seberapa karena
krisis hutang.
Lembaga lain yang bertanggung jawab atas desakan-desak­an neo-
liberal untuk liberalisasi perdagangan adalah WTO (organisasi-organisasi
perdagangan dunia) yang terdiri dari 134 negara. WTO merupakan
forum negosiasi untuk kesepakatan-kesepakatan perdagangan inter­na­
sional dan memonitor serta mengatur badan yang memaksa penerapan
kesepakatan tersebut. Sejarah membuktikan organisasi ini lebih menjadi
babu bagi kepentingan-kepentingan perusahaan-perusahaan besar dari­
pada melayani negara-negara miskin. Para kritikus sering mengatakan
bahwa Amerika memandang hukum internasional dan peradilan dunia
hanya berlaku bagi negara-negara lain, dan Amerika tidak terikat untuk
menjalaninya. WTO juga dianggap telah merampas banyak tanah demi
kepentingan pertumbuhan kapitalisme yang tanpa aturan dan regulasi.
Tanpa aturan dan regulasi, negara-negara terbelakang akan terus ter­
pinggirkan dalam percaturan ini.
Perdebatan yang sering muncul antara para penganjur dan pe­
nentang WTO bukan masalah proteksionisme, namun lebih tentang siapa
yang akan dilindungi dari kesemrawutan persaingan tanpa batas. WTO
tidak memiliki aturan sama sekali untuk melindungi mereka yang bekerja
atau menjaga pertumbuhan ekonomi jangka panjang atau menawarkan
kesinambungan dan keragaman budaya. Tanpa standar-standar semacam
ini, kebanyakan penduduk dunia benar-benar mendapat kerugian dari
perdagangan mereka. Para penentang juga mengkritik WTO sebagai
kendaraan bagi perusahaan untuk mencari keuntungannya sendiri. Dalam

Globalisasi Melipatgandakan Kemiskinan Dan Pemiskinan 23


setiap kasus berkaitan dengan keselamatan lingkungan dan publik, WTO
selalu memenangkan perusahaan-perusahaan besar. Pada akhirnya
mereka menginginkan agar WTO dibubarkan dengan beberapa alasan
antara lain: WTO lebih memprioritaskan perdagangan dan masalah-
masalah komersial lebih berharga di atas segalanya; ia menganjur­kan
demokrasi sembari menekankan pemerintahan yang dikendalikan secara
demokratis, dan memberi­kan hukuman keras bagi mereka yang me­
langgar; ia aktif mem­promosikan perdagangan bebas meskipun mengor­
bankan upaya-upaya untuk mempromosikan pertumbuhan ekonomi
lokal dan kebijakan-kebijakan yang menggerakan komunitas, negara,
dan kawasan menuju kemandirian yang lebih besar; ia memaksa Dunia
Ketiga untuk membuka pasar mereka bagi industri-industri multina­
sional kaya dan membatasi usaha-usaha memproteksi industri-industri
yang baru lahir; ia merintangi negara-negara dari usaha merespon risiko
potensial, men­cegah pemerintah dari upaya untuk mengatasi masalah-
masalah bahaya kesahatan manusia dan lingkungan; ia menawarkan
standar-standar kesehatan dan lingkungan secara internasional, dan me­
letakkan standar lainnya pada tingkat terendah melalui suatu proses
harmonisasi; pengadilan WTO kerapkali mempersoalkan legalitas pada
negara-negara, sementara mereka sendiri sering bermain di belakang
pintu; ia membatasi kemampuan pemerintah untuk menggunakan daya
beli mereka terhadap dollar demi pemenuhan hak-hak asasi manusia,
hak-hak pekerja, dan tujuan non-komersial lainnya; aturan-aturan WTO
melarang negara-negara untuk memperlakukan produk-produk secara
berbeda berdasarkan pada bagaimana produk-produk itu dihasilkan,
tanpa memandang apakah produk-produk itu dibuat dengan melibatkan
para pekerja anak-anak, dengan para pekerja yang terpapar racun atau
dengan tidak memerhatikan perlindungan atas berbagai spesies; dan
aturan-aturan WTO dalam banyak hal mengijinkan paten dan perlin­
dungan eksklusif atas bentuk-bentuk kehidupan (Albert, 2000).
Perusahaan-perusahaan multinasional adalah mesin-mesin pemis­
kinan yang selalu dahaga dan lapar untuk menelan dan mengeksploitas
Dunia Ketiga. Sejak 1960 proliferasi perusahaan-perusahaan multi­
nasional tumbuh 3500 dengan agregat stok sebesar 66 juta dollar Amerika,
dan meningkat menjadi 60.000 pada 1999 dengan lebih dari 4000 bilyun
dollar Amerika (UNCTAD, 1999). Perusahaan-perusahaan ini menjadi

24 Zakiyuddin Baidhawy
kekuatan pengendali pertumbuhan ekonomi di Barat, sebaliknya akti­
vitas mereka di Dunia Ketiga lebih merupakan bayang-bayang dan lebih
banyak membahayakan daripada menyejahterakan. Sejalan perkem­
bangan mereka terus tumbuh dan mendominasi ekonomi Dunia Ketiga,
akibat-akibat globalisasi yang menyengsarakan dan fenomena liberalisasi
perdagangan makin berlimpah dan menghancurkan masyarakat-masya­
rakat mereka. Investasi langsung asing (FDI) menandai puncak kejayaan
peran perusahaan-perusahaan multi­nasional dalam perdagangan dunia.
Kaum neo-liberal berasumsi bahwa investasi asing langsung mem­
berikan kontribusi positif bagi ekonomi negara yang bersangkutan
karena menyuplai modal, teknologi, sumberdaya manajemen yang tidak
dapat disediakan oleh pihak lain. Namun kenyataan kebalikannya, pe­
rusahaan-perusahaan multinasional itu justru mengancam kedaulatan dan
otonomi negara yang bersangkutan. Kita bisa menyaksikan beberapa
lontaran kritik atas persoalan ini. Kadang-kadang pemerintahan-peme­
rintahan setempat khawatir akan pengaruh perusahaan-perusahaan multi­­
nasional yang beroperasi di negara-negara mereka memiliki ke­kuatan
ekonomi lebih besar daripada para pesaing domestik karena mereka men­
jadi bagian dari organisasi internasional yang lebih besar. Di beberapa
negara terbelakang, perusahaan-perusahaan besar yang memonopoli pasar
dan menaikkan harga lebih tinggi dari pasar-pasar lainnya, telah menim­
bulkan dampak buruk dan berbahaya bagi kesejahteraan ekonomi
mereka. Kontrol impor juga dikuasai oleh perusahaan-perusahaan
multi­­nasional dengan tujuan untuk investasi di negara-negara setempat.
Biasa­nya, negara-negara setempat tidak punya pilihan untuk menerima
semua prasyarat untuk memperoleh investasi asing langsung itu. Praktik
semacam ini menghancurkan industri-industri yang masih baru karena
tidak dapat bersaing dengan perusahaan-persuahaan asing. Perusahaan-
perusahaan asing itu juga menerapkan produksi padat modal di negara-
negara terbelakang, dan hasilnya banyak pengangguran yang jumlah­nya
terus merangkak naik. Dengan matinya industri padat karya dan sistem
pertanian tradisional, maka tertutup kesempatan pekerjaan bagi pemuda-
pemudi. Dengan kondisi seperti, bagaimana mungkin mereka menjadi
bagian dari perekonomian global? Dalam banyak hal, perusahaan-
perusahaan raksasa asing juga meruntuhkan kewirausahaan dan pem­
bentukan modal lokal.

Globalisasi Melipatgandakan Kemiskinan Dan Pemiskinan 25


Di sisi lain, kerugian yang sangat mungkin diterima oleh negara-
negara setempat adalah kekurangan modal keuangan. Data menunjuk­
kan bahwa 20% penduduk dunia di negara-negara maju menerima 82,7%
dari pendapatan total dunia, sementara 20% dari penduduk dunia di
negara-negara termiskin hanya menerima 1,4%. Hingga tahun 1991, 81%
stok FDI dunia terletak di negara-negara Utara yang berupah tinggi,
seperti Inggris, Jerman dan Kanada. Konsentrasi investasi di negara-
negara ini meningkat 12% sejak tahun 1967 (Weiss, 1998).
Sementara itu, beroperasinya perusahaan-perusahaan multina­
sional di negara-negara berkembang sangat efektif membuat hilang­nya
kemerdekaan ekonomi negara-negara setempat. Keputus­an-keputusan
penting yang berdampak pada ekonomi negara setempat akan diciptakan
oleh perusahaan asing yang sama sekali tidak punya kesetiaan kepada
negara setempat dan pemerintahan setempat pun tidak punya kuasa me­
ngendalikan mereka.
Perusahaan-perusahaan multinasional juga menekan negara-negara
terbelakang untuk mengkonsentrasikan produksi mereka pada bahan-
bahan mentah sehingga mengganggu ketahanan pangan mereka. Jadi,
produksi tumbuh-tumbuhan sekali panen menjadi modus produksi
dominan di kebanyakan negara-negara terbelakang. Produksi ini mem­
peroleh perhatian utama dari perusahaan-perusahaan asing dengan
cara memberi insentif bagi produksi. Praktik ini telah memarjinalisasi
perempuan dari peran mereka sebagai produsen utama makanan di
negara-negara terbe­lakang. Wajar bila banyak kritikus memandang pe­
rusahaan-per­usahaan multinasional itu seperti pompa sedotan raksasa
yang menguras sumber daya dari negara-negara terbelakang. Semua ini
telah berhasil dilakukan tanpa aturan, regulasi dan kode etika sama
sekali. Jadi, negara-negara berkembang tidak akan mungkin meraup ke­
untungan dari globalisasi.
Peran pemiskinan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
besar transnasional juga dapat disaksikan pada pengaruh mereka dalam
menuliskan aturan-aturan tentang ekonomi global sesuai dengan pan­­
dangan perusahaan-perusahaan itu. Inilah yang disebut sebagai glo­bali­
sasi korporasi. Hubungan antara globalisasi korporasi dengan mem­per­
parah kemiskinan menurut banyak kritikus dapat digambarkan sebagai­
mana kutipan dari website Global Trade Watch (http://www.citizen.

26 Zakiyuddin Baidhawy
org/trade/wto/index.cfm) berikut ini:

“Didirikan pada 1955, WTO adalah agen perdagangan global baru yang
berkuasa, yang mentransformasi General Agreement on Tariffs and Trade
(GATT) menjadi aturan perdagangan global yang memaksa. WTO adalah
salah satu mekanisme utama globalisasi korporasi. Di bawah sistem
WTO tentang perdagangan yang dikelola perusahaan-perusahaan besar,
efisiensi ekonomi, tercermin dalam keuntungan perusahaan jangka
pendek, mendominasi nilai-nilai lainnya. Keputusan-keputusan yang
berpengaruh pada keuntungan ekonomi terbatas pada sektor swasta,
sementara biaya sosial dan lingkungan menjadi tanggung jawab publik.
WTO dan Putaran Uruguay GATT berfungsi utama untuk membuka
pasar demi keuntungan perusahaan-perusahaan transnasional dengan me­
ngorbankan ekonomi nasional dan lokal, buruh tani, pribumi, kelompok-
kelompok perempuan dan sosial lainnya, kesehatan dan keamanan,
lingkungan dan keselamatan hewan. Di samping itu, sistem aturan dan
prosedur WTO tidak demokratis, tidak transparan dan tidak akuntabel
serta beroperasi untuk memarjinalkan kebanyakan penduduk dunia.”

Logika WTO yang menggaris bawahi keuntungan untuk perusa­


haan-perusahaan besar berimplikasi menimbulkan kerugian bagi
setiap orang lainnya terutama kelompok-kelompok paling miskin dan
marjinal. Logika perdagangan bebas dan investasi langsung asing ber­
korelasi dengan pertumbuhan dan pertumbuhan berkaitan dengan pe­
ngu­rangan kemiskinan, pada faktanya ada­lah isapan jempol belaka.
Adalah logika yang tidak waras menya­maratakan bahwa apa yang baik
bagi perusahaan-perusahaan multinasional itu juga baik untuk ekonomi
nasional dan kaum miskin.
Tiga fakta berikut dapat memperkuat argumen di atas (Aisbett,
2003). Pertama, kenyataan menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan
besar itulah yang paling diuntungkan oleh globalisasi, dan pada saat yang
sama banyak ekonomi lokal, kelompok buruh, petani, penduduk pribumi
menderita akibat globalisasi. Ketika sebagian dari kelompok-kelompok
itu boleh jadi menemukan sumber daya pendapatan baru dan lebih baik
sebagai dampak globalisasi, jutaan penduduk dunia justru melawan glo­
balisasi karena mereka merasa kehilangan tradisi dan kehidupan. Kedua,
apa yang baik bagi perusahaan-perusahaan besar adalah buruk bagi

Globalisasi Melipatgandakan Kemiskinan Dan Pemiskinan 27


kaum miskin digambarkan oleh hubungan antara konsumsi dan kua­
litas lingkungan atau sumber daya alam.
Kita sangat yakin bahwa semua konsumsi umat manusia sudah
tersedia dalam sumber daya alam dan lingkungan, dan bahwa lingkungan
global saat ini sudah mendekati tingkat degradasi yang kritis. Karenanya
meningkatnya konsumsi oleh kelompok-kelompok kaya secara pasti ber­
implikasi pada berkurangnya konsumsi oleh kelompok-kelompok miskin.
“Kelompok miskin” di sini bisa juga dimaknai sebagai generasi yang akan
datang.
Vinanda Shiva (2002) dengan baik mengungkapkan bahwa kebijak­
an-kebijakan pertanian berorientasi ekspor telah menyelewengkan peng­
gunaan tanah yang makin menyempit dan air sehingga penduduk lokal
sulit memenuhi kebutuhan pangan mereka, karena semua sumber daya itu
dimanfaatkan untuk me­nye­diakan bagi pasar ekspor. Akibatnya, semua itu
menciptkan kelaparan dan kondisi yang mengenaskan bagi kebanyak­
an komu­nitas yang rentan dan marjinal. Inilah yang terjadi selama masa
kolonialisme dan rekolonialisasi oleh globalisasi.
Argumen semacam ini familiar bagi ekonom sebagai dasar teori
ketergantungan yang dipergunakan untuk membenarkan proteksionisme
di negara-negara berkembang selama dekade 80-an. Teori semacam ini
sering dilecehkan oleh mereka yang mendukung pandangan adanya
korelasi positif antara investasi langsung asing, perdagangan dan per­
tumbuhan. Meskipun demikian, dalam keadaan di mana institusi-insti­
tusi dalam keadaan lemah, globalisasi sangat memungkinkan untuk me­
lipatgandakan problem eksploitasi. Pendek kata, globalisasi melalui jual
beli bahan-bahan mentah dari sumber daya alam di negara-negara dengan
institusi politik yang lemah dan masyarakat sipil yang terkoyak-koyak
dapat menjadi bencana.
Keuntungan perusahaan-perusahaan besar dari globalisasi adalah
bertambah besarnya kekuasaan mereka. Perusahaan-perusahaan besar
dan kaya akan memperoleh kekuatan politik dan pasar yang besar pula.
Kekuasaan perusahaan dan hubungannya dengan globalisasi sering
disuarakan oleh para penentang globalisasi. Para penentang globalisasi
melihat bahwa penguasa utama dari dunia ini adalah perusahaan trans­
nasional, yang beroperasi dengan resep dan aturan kolektif melalui
WTO bersama-sama dengan NAFTA, kolaborator Eropa, Uni Eropa,

28 Zakiyuddin Baidhawy
instrumen-instrumen kawasan derivatifnya seperti APEC dan seterus­
nya. Secara bersama-sama mereka membentuk hirarkhi aturan baru di
luar parlemen.
Globalisasi membuka kemungkinan besar arus sumber daya ma­
nusia dari negara-negara berkembang ke negara-negara maju. Negara-
negara di Selatan telah menginvestasikan bilyunan dolar setiap tahun­
nya untuk pendidikan bagi pekerja-pekerja terampil mereka. Namun
pada akhirnya pekerja-pekerja terampil itu meninggalkan negara mereka
untuk memperoleh peluang yang lebih menjanjikan di negara-negara
Utara. Inilah yang dikenal dengan brain drain, hijrah intelektual dan kaum
terpelajar. Dari semua gembaran di atas nyata dan harus diakui bahwa
globalisasi bukanlah permainan yang berakibat positif karena kenisca­
yaan bagi banyak negara merasa kehilangan dan kerugian luar biasa besar
demi keuntungan dan profit bagi sebagian lainnya. Persis seperti per­
nyataan Thomas Hobbes, semua memangsa semua. Globalisasi adalah
sang predator raksasa yang siap mencaplok mereka yang lemah dan tidak
berdaya.
Mobilisasi modal adalah sisi lain dari globalisasi yang mengancam
banyak pihak. Mobilitas modal ditimbukan oleh pergerakan modal inter­
nasional dan merger modal di seluruh dunia. Mobilitas modal ini telah
membentuk suatu integrasi perekonomian dunia kapitalis. Gerakan ini
mengimplikasi suatu transformasi dalam hubungan-hubungan produksi
sebagai wilayah baru yang tergabung dalam lintasan modal. Dalam be­
berapa hal, gerakan ini melibatkan perluasan hubungan-hubungan pro­
duksi yang sepenuhnya kapitalis dan berkaitan dengan pertumbuhan
kelas pekerja. Di wilayah lainnya, gerakan ini juga melibatkan modifikasi
terhadap atau penguatan hubungan-hubungan sosial yang ada. Dampak
dari pertumbuhan agribisnis transnasional pada hubungan-hubungan
produksi di bidang pertanian memberikan banyak contoh dalam hal ini.
Hubungan-hubungan sosial di negara-negara pinggiran tidak pernah
diperhitungkan dalam perluasan oleh perusahaan-perusahaan multi­
nasional atau bahkan diabaikan sama sekali. Hubungan-hubungan sosial
terus diubah dan definisi ulang oleh internasionalisasi modal namun
bukan dengan cara yang sederhana. Penciptaan kesatuan perekonomi­
an dunia kapitalis dibarengi dengan perluasan proses standarisasi dan
diferensiasi dalam skala dunia. Dengan kata lain, ada fenomena semakin

Globalisasi Melipatgandakan Kemiskinan Dan Pemiskinan 29


meningkatnya kecenderungan bagi produk-produk dan teknik produksi
perusaha­an-perusahaan multinasional menjadi serupa. Pada saat yang
sama, sebagai bagian dari persaingan modal melakukan diferensiasi sen­
diri dengan maksud untuk memperoleh profit berlipat ganda melalui
pengenalan produk-produk dan teknik-teknik baru.
Aliran modal untuk menciptakan sebanyak-banyak peluang ke­
untungan tanpa terikat oleh batas-batas negara tidak hanya tumbuh sejak
akhir 1960-an, bahkan telah mengeksploitasi negara-negara Amerika
Latin, Asia, dan Afrika dalam bentuk monopoli modal yang menyerupai
imperialisme (Berberoglu, 1980). Misalnya, sejalannya dengan perluasan
pasar, perusahaan-perusahaan asing memperoleh masukan ekonomi
lebih seperti bahan-bahan mentah yang mendorong lebih jauh penye­
baran imperialisme untuk meng­­amankan sumber daya tersebut. Perusa­
haan-perusahaan itu telah mengkapitalisasi sistem internasional yang
ditandai dengan anarkhi, yakni tiadanya pemerintahan dunia atau
otoritas pusat dengan mekanisme penguat untuk mengatur jalannya per­
caturan ekonomi. Akibatnya rusaklah kompetisi sehat karena praktik-
praktik monopoli. Kekuatan mereka juga makin merambah ke mana-
mana dalam perekonomian global. Terbukti penghasilan mereka kini
sebanding dengan pendapatan negara-bangsa. Banyak unit ekonomi ter­
besar di dunia adalah perusahaan-perusahaan, bukan negara. Perusaha­
an Mitsubishi (US$ 140 bilyun) lebih besar daripada Malaysia (US$ 98
bilyun), dan perusahaan Exxon (US$ 117 bilyun) lebih besar dari Israel
(US$ 98) dan Philipina (US$ 82) (Forbes, 1998). Dengan kata lain, glo­
balisasi ekonomi di Dunia Ketiga telah berjalan satu arah. Kebanyakan
perusahaan-perusahaan multinasional mengambil alih sumber daya
alam dan tanah di banyak negara Dunia Ketiga, dan keuntungan bagi
pen­duduk lokal hanya sedikit atau tidak ada sama sekali. Mereka berhasil
mela­kukannya dengan mempergunakan teknologi, modal, dan ekonomi
skala, se­hing­ga hampir tidak ada anugerah yang dapat dinikmati oleh
negara-negara miskin. Menurut Laporan Pembangunan Sumber Daya
Manusia PBB terakhir, aset dari tiga orang terkaya Bill gates, Sultan
Brunei, dan keluarga Walton lebih besar dari total GNP dari 43 negara
terbelakang.
Globalisasi keuangan telah meningkatkan spekulasi. Sangat jelas
bahwa tiga monster globlaisasi – IMF, Bank Dunia, dan WTO telah,

30 Zakiyuddin Baidhawy
sedang dan akan terus melakukan tindakan-tindakan yang lebih mem­
bahaya­kan daripada menyejahterakan. Obat-obat yang mereka berikan
laksana racun yang siap menggerogoti kesehatan negara-negara ber­
kembang. Sudah terbukti kebijakan-kebijakan ketiga lembaga ini menuai
banyak protes, kerusuhan dan demonstrasi di negara-negara ter­ be­
lakang. IMF dikritik karena negara-negara yang tergabung dalam G7
telah memanipulasi IMF untuk membuat tuntutan-tuntutan yang tidak
realistik terhadap pemerintahan negara-negara berkembang dan insti­
tusi-institusi perbankannya agar bertanggung jawab, transparan, dan me­
merintah dengan jujur. Anehnya negara-negara maju ini justru tidak
mempraktikan apa yang mereka khutbahkan di dunia internasional. IMF
juga menjadi sasaran sarkasme karena bersama-sama dengan para banker
dan broker yang menuntut akuntabilitas dan tarnsparansi kepada negara-
negara berkembang, sementara mereka sendiri jauh dari syarat-syarat ter­
sebut.
WTO yang membuat dan memperkuat aturan-aturan perdagang­
an internasional mengindoktrinasi dengan kredo eks­klu­­sif berupa pasar
yang menyesuaikan diri. Pada faktanya, doktrin deregulasi perdagangan
internasional sering berarti bahwa perusahaan-perusahaan raksasa bebas
memasuki pasar dan menyerap sumber daya tanpa mengkhawatir­kan
persoalan-persoalan kesehat­an, keamanan dan lingkungan. Selama masa
transisi, Program Penyesuaian Struktural yang dicanangkan IMF gagal
total untuk memberikan kesejahteraan karena akibat-akibat yang tidak
di­inginkan dari program yang sesungguhnya bertujuan untuk me­lin­
dungi masyarakat miskin dan rentan dari keberingasan pasar. Program
penyesuaian struktural IMF di Indonesia misalnya, sama sekali tidak mem­
bangkitkan ekonomi dari keterpurukan bahkan membuatnya semakin
terjerembab dalam depresi, menjerumuskan separuh bisnisnya dalam
ke­bangkrutan, memprovokasi kekacauan sosial-politik.
Intinya, tiga institusi yang mewakili kekuatan globalisasi di atas
jauh lebih banyak dicaci maki daripada disanjung. Globalisasi dan kebi­
jakan-kebijakan lembaga tersebut yang diterapkan kebanyakan pada
negara-negara berkembang telah membuat modal swasta berpindah-
pindah tanpa ada kekuatan pun yang dapat mengendalikannya. Modal
menjadi liar. Beberapa catatan tentang keberadaan IMF di negara-negara
terbelakang dapat dikemukakan di sini sebagai bukti bahwa resep

Globalisasi Melipatgandakan Kemiskinan Dan Pemiskinan 31


mujarab mereka telah membuat sekarat perekonomian Dunia Ketiga
selama dua dekade terakhir, antara lain: ketegangan moneter akibat pe­
ngetatan suplai uang dan peningkatan suku bunga internal yang me­
nurut mereka diperlukan untuk menstabilisasi nilai mata uang lokal;
ketegangan fiskal akibat meningkatnya pungutan pajak dan pengurangan
belanja pemerintah secara dramatis; privatisasi badan usaha milik negara
dengan menjual sahamnya ke sektor swasta; dan liberalisasi finansial
dengan membebaskan hambatan-hambatan bagi arus keluar-masuk
modal internasional sekaligus hambatan-hambatan bagi bisnis dan bank
asing untuk membeli, memiliki, dan beroperasi (Imade, 2003).
Program penyesuaian struktural melahirkan dampak-dam­pak buruk
yang tidak dikehendaki dan ini terasa bagi kaum miskin dan rentan,
yang kebanyakan kaum perempuan dan anak-anak. Kebijakan uang ketat
dan peningkatan suku bunga bukan hanya menghentikan investasi pro­
duktif, mendorong tabungan agar menjadi investasi finansial jangka
pendek maupun investasi produktif jangka panjang, bahkan juga mem­
batasi bisnis dari memperoleh semacam pinjaman dari bulan ke bulan
yang dibutuhkan untuk melanjutkan bisnis keseharian mereka. Ini semua
memperbesar pengangguran dan penurunan dalam produksi dan juga
pendapatan. Ketegangan fiskal — meningkatnya pajak dan reduksi
belanja pemerintah — telah menekan permintaan agregat dan membawa
pada pengurangan output dan meningkatkan pengangguran. Privatisasi
BUMN juga selalu diikuti dengan hilangnya banyak pekerjaan. Pada saat
yang sama, penghilangan hambatan-hambatan bagi aliran modal inter­
nasional membuatnya lebih mudah bagi orang-orang kaya dan investor
asing memperoleh kekayaan mereka di luar negaranya sendiri. Ini ber­
arti hilangnya kendali atas modal mendorong terjadi pelarian modal,
me­­ngurangi investasi produktif, produksi, pendapatan, dan pekerjaan.
Globalisasi ekonomi juga menawarkan model pembagian kerja
baru. Tumbuhnya perdagangan dan investasi memang telah membawa
per­baikan di beberapa negara, namun perekonomian global sulit mem­
bawa pada situasi yang sama-sama menyenangkan bagi semua. Teori ke­
unggulan komparatif menyatakan bahwa negara-negara dapat me­mak­
simalkan potensi ekonomi mereka dengan menspesialisasikan pro­duksi
komoditas sesuai dengan situasi, iklim, keunggulan alamiah dan artifisial
mereka, sehingga mencapai taraf paling efisien dari sisi input, modal, dan

32 Zakiyuddin Baidhawy
pekerjaan. Teori ini menjadi argumen paling kokoh bagi perdagangan
bebas karena aliran bebas produk-produk antar negara dapat membuat
mereka mampu mempergunakan sumber daya produktif mereka sangat
efisien. Spesialisasi produk akan memberikan lebih banyak kekayaan
bagi semua bangsa, dan membawa pada perbaikan sebesar mungkin
terhadap kondisi kehidupan penduduk mereka. Keunggulan kompa­
ratif harus bekerja untuk menyejahterakan semua, dan pemerintahan
negara-negara miskin hanya akan mem­perburuk posisi ekonomi mereka
dengan melepaskan diri dari pasar. Namun pada faktanya, teori ini begitu
simplistik. Teori ini hanya dapat bekerja jika negara-negara miskin di­
per­kenankan untuk melakukan apa yang dilakukan negara-negara kaya
sekarang ini untuk mencapai kemajuan, bukan dipaksa untuk mengadopsi
pendekatan dan prinsip-prinsip laissez faire serta menentang balasan
atas keunggulan komparatif ini dengan upah rendah. Karena industri-
industri yang rendah pertumbuhannya adalah jalan yang pasti membuat
mereka tetap miskin (Scott, 2001).
Setelah negara-negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin merdeka
dari penjajahan, perekonomian mereka berada di bawah asuhan langsung
bekas penjajah yang mengarahkan pola pem­bangunan mereka. Pola
pem­bangunan ini didasarkan atas logika model produksi kapitalis dan
kebutuhan akan akumulasi. Ini semua menyebabkan pertumbuhan yang
tidak merata antara negara-negara pusat dan koloni di satu sisi, dan di
alam koloni itu sendiri di sisi lain. Umumnya kebanyakan koloni men­
spesialisasikan diri pada satu atau sedikit bahan mentah untuk ekspor dan
bebas mengimpor barang-barang manufaktur jadi dari negara-negara
pusat. Hubungan kolonial semacam ini di sejumlah negara berkembang
menghasilkan restrukturisasi hubungan-hubungan sosial ekonomi ber­
dasarkan basis neo-kolonial, yaitu melanjutkan hubungan-hubungan
kolonial melalui perantara kelas penguasa lokal yang tergantung pada
dan diuntungkan oleh imperialisme. Tesis keunggulan komparatif me­­­
ma­­parkan strategi pembangunan negara-negara Selatan secara menye­
luruh pada fase paling awal kemerdekaan mereka. Negara-negara ber­
kembang yang bekerja atas dasar saran Bank Dunia mengubah fokus
mereka dari produksi tumbuh-tumbuhan pangan ke tumbuh-tumbuhan
ekspor yang mengakibatkan defisit pangan dan membuat mereka
harus mengimpor pangan dengan harga mahal dari penguasa kolonial.

Globalisasi Melipatgandakan Kemiskinan Dan Pemiskinan 33


Globali­sasi telah menunjukkan dampak buruk dari teori keunggulan
komparatif pada negara-negara Dunia Ketiga dengan menciptakan ilusi
bahwa perdagangan bebas mendorong Amerika dan bangsa-bangsa
Barat lainnya untuk mengimpor barang-barang yang dibuat dengan upah
rendah dan oleh pekerja tidak terampil, dan mengekspor barang-barang
yang dibuat oleh tenaga terampil. Kenyataan menunjukkan sebalik­
nya. Perusahaan-perusahaan raksasa merusaknya dengan memindahkan
pe­­kerjaan-pekerjaan dengan keahlian tinggi dan teknologi ke negara-
negara berupah rendah. Contohnya perusahaan General Electric telah
menekan unit-unit operasinya untuk menurunkan biaya-biaya dengan
meng­globalkan produksi mereka.
Di samping itu, penemuan-penemuan teknologi telah mem­­per­
cepat internasionalisasi produk. Maksudnya, berbagai komponen dari
sebuah produk yang dibuat dan dibawa bersama-sama dari berbagai
belahan dunia dirakit di sebuah lokasi. Kita bisa lihat bagaimana pe­
rusahaan motor Ford menggunakan outsourcing untuk berbagai kom­
ponen dari banyak perusahaan di seluruh dunia dan kemudian dirakit
di Amerika. Fenomena semacam ini menunjukkan bahwa globalisasi
telah memengaruhi bagaimana pekerjaan diorganisir dan posisi pekerja
di perusahaan-perusahaan multinasional. Jika sebuah perusahaan ber­
pikir tentang keuntungan, ia dapat saja menutup atau memindahkan
operasinya ke lain tempat, dan seringkali situasi semacam ini diman­
faatkan untuk mengancam dengan tujuan agar perusahaan dapat meng­
ambil untung dari konsesi organisasi-organisasi perdagangan (Hayter,
1971). Terobosan teknologi telah membuat internasionalisasi produksi
sebuah cerita tentang kesuksesan negara-negara industri maju dan pen­
deritaan serta kesengsaraan bagi negara-negara Selatan yang diper­
miskin. Seluruh Dunia Ketiga telah menjadi tempat di mana para
pekerja harus membanting tulang untuk memperoleh upah rendah, dan
taman hiburan bagi Dunia Pertama. Para penduduk di kawasan Selatan
hanya punya satu pilihan partisipasi dalam perekonomian global, yaitu
konsumen yang pasif, atau penyedia pekerja murah atau bahan mentah
yang bagus. Mereka yang tersingkirkan dari pilihan-pilihan tersebut
terpaksa menjadi bagian dari perekonomian bawah tanah atau pereko­
nomian kriminal transnasional, seperti perdagangan seks, obat-obatan ter­
larang, trafficking, pekerja anak, penculikan, dan sebagainya (Pena, 2001).

34 Zakiyuddin Baidhawy
Fakta lain yang melukiskan bagaimana pembagian kerja baru telah
melahirkan keterbelakangan adalah upaya-upaya terstruktur dari pe­
rusahaan-perusahaan multinasional untuk mencari tem­pat-tempat yang
dapat memenuhi kebutuhan akan pekerja murah, kedekatan dengan
bahan-bahan mentah, dan pasar bagi produk-produk akhir mereka,
yang dalam jangka panjang juga mendukung janji neo-kolonialisme se­
bagai­mana dibahas di atas, serta menimbulkan krisis ekonomi, degra­dasi
lingkungan, dan kemiskinan di negara-negara berkembang. Glo­ba­lisasi
juga berjasa menghilangkan banyak pekerjaan di negara-negara maju
seiring perusahaan-perusahaan besar memindahkan basis produksi
mereka ke wilayah-wilayah yang biaya pekerjanya lebih murah. Pada
saat yang sama organisasi buruh internasional (ILO) tidak memi­
liki mekanisme kontrol dan penekan dalam menghadapi masalah ini.
Menurut Friends of the Earth, sebuah kelompok lingkungan, globa­
lisasi ekonomi neo-liberal mendorong pencarian profit lebih diuta­ma­
kan tanpa memandang biaya sosial dan lingkungan. Ia sering disama­
kan dengan peningkatan ketidakadilan dan ketidakmerataan, baik antara
negara maupun intern negara. Konsentrasi modal dan kekuasaan ber­­
ada di sedikit tangan sebagai akibat erosi de­­mo­krasi. Marjinalisasi sosial,
ekonomi, dan politik terus menggelembung. Ketidakstabilan ekonomi
bertambah dari tahun ke tahun. Eksploitasi sumber daya alam menye­
babkan hilangnya keanekaragaman hayati dan biologis. Jelas bahwa
globalisasi tidak menawarkan jalan keluar sama-sama meng­untungkan
bagi banyak pihak, sebaliknya merupakan permainan yang membuat
banyak orang jatuh pada titik nadir.
Gambaran ringkas di muka menyimpulkan bahwa akibat-akibat
globalisasi sangat negatif bagi kebanyakan penduduk dunia. Per­
eko­nomian negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan mereka
mengambil untung sangat besar karena kemakmuran tidak terdistribusi
secara adil. Kesenjangan antara kawasan-kawasan kaya dan miskin,
berpunya dan tidak berpunya, berkembang dan maju tumbuh secara me­
ngerikan. Bangsa-bangsa kaya makin rakus mengekspolitasi penduduk,
sumber daya, dan tanah bangsa-bangsa miskin dan sering meninggalkan
degradasi lingkungan yang dahsyat.

Globalisasi Melipatgandakan Kemiskinan Dan Pemiskinan 35


2. Fir`aun Globalisasi
Fir`aun adalah raja Mesir yang sangat berkuasa. Saking berkuasa­
nya ia mengklaim bisa melakukan apa pun yang dikehendakinya. Ke­
kuasaannya yang tiranik dan hegemonik ingin mencengkeram dan
menguasai seluruh rakyatnya. Semuanya harus tunduk dan menghamba
pada kekuasaannya. Fir`aun merupakan simbol penguasa atau rezim
despotik, tiranik, dan hegemonik yang siap memangsa siapa pun. Ke­
kuasaannya berfungsi untuk memperkokoh diri dengan cara memper­
daya rakyatnya yang lemah.
Simbol Fir`aun dalam konteks globalisasi bisa disaksikan pada
para pemegang kekuasaan politik melalui mana kekuasaan itu mem­
benar­kan dominasi globalisme atas negara-negara atau bangsa-bangsa
di bawah kredo politik adikuasa. Penguasaan se­macam ini dapat meng­
gunakan kekuatan dan pengaruhnya untuk mempertaruhkan globalisme
demi kejayaan mereka di atas penderitaan negara-negara dan bangsa-
bangsa yang dikuasainya.
Presiden Amerika Serikat Harry S. Turman adalah representasi
penguasa model Fir`aun. Dengan memanfaatkan barisan Haman, yaitu
kelompok intelektual tukang yang siap mengabdi untuk kekuasaan, ia
berperan dalam memapankan penindasan dan eksploitasi melalui glo­
balisasi ekonomi. Truman memerintahkan kepada para intelektual tukang
ini untuk memberikan rasionalisasi, justifikasi, dan legitimasi apa pun
demi memberikan keuntungan kepada rezim politik dan ekonomi global.
Salah satu gerakan yang dilakukan oleh Truman bersama intelek­
tual tukangnya adalah menciptakan teori developmentalisme dan mo­
der­nisasi. Gagasan developmentalisme dimulai pada 1940-an, khusus­
nya pada tanggal 20 Januari 1949, yakni pada saat Presiden Amerika
Harry S. Truman mengumumkan kebijakan pemerintahannya. Gagas­
an ini dimaksudkan sebagai jawaban atas penolakan Dunia Ketiga atas
kapitalisme dan ketertarikan rakyat Dunia Ketiga terhadap keberhasilan
Uni Soviet sebagai kekuatan baru. Jadi, developmentalisme sesungguh­
nya merupakan kemasan baru dari kapitalisme (Gendzier, 1985).
Developmentalisme disebarkan ke Dunia Ketiga dan yang me­
megang peranan penting dalam diskursus ini adalah para intelektual
tukang yang ahli ilmu-ilmu sosial pada 1950-an dan 1960-an. Mereka ber­
afiliasi pada The Center for International Studies di Massachussetts Institute

36 Zakiyuddin Baidhawy
of Technology (MIT). W.W. Rostow mengembangkan teori pertumbuhan
(Growth Theory, 1960), sementara McLelland dan Inkeles (1974) me­
nemukan teori modernisasi. Keduanya dijadikan pilar utama bagi ke­
bijakan dan kepentingan dari program bantuan dan politik luar negeri
Amerika. Namun ternyata teori developmentalisme dan modernisasi
yang menjadi arus utama teori dan praktik perubahan sosial justru men­
ciptakan berbagai persoalan ketidakadilan, kesenjangan, dan kemiskin­
an.
Di samping Harry S. Truman, ada dua tokoh penting dari rezim
penguasa yang membuat kekuatan globalisme ekonomi makin tumbuh
dengan pesat. Mulai dekade 1980-an, aliran kanan baru yang diwakili
oleh Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher dan Presiden Amerika
Serikat Ronald Reagan, memperjuangkan pasar bebas dan menolak
dengan tegas paham negara intervensionis. Satu dekade kemudian, tepat­
nya pada 1990-an, kapitalisme neo-liberal pasar bebas dari dua tokoh
tersebut telah menjadi ideologi dunia yang dominan.
Dua teori di atas — developmentalisme dan modernisasi — di­
paksakan untuk diterapkan di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk
Indonesia. Sejak pembangunan nasional di mulai melalui tahapan-tahap­
an lima tahunan (repelita dan pelita), Soeharto, bapak developmentalis­
me Indonesia, mulai membuka investasi asing dan menggalakkan pem­
bangunan di bidang ekonomi. Tahapan-tahapan pembangunan lima
tahunan tampaknya menyerupai apa yang direncanakan dalam skenario
developmentalisme dari Rostow. Harmoko adalah salah satu menteri
yang paling senang mengucapkan dalam pidatonya bahwa bangsa Indo­
nesia sedang memasuki era lepas landas, tahap ketiga menurut teori
Rostow.
Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional didu­kung
oleh sejumlah intelektual tukang, yang sering dikenal dengan sebutan
mafia Berkeley. Yaitu sejumlah ekonom alumni Berkeley yang dengan
bangga mendukung dan menopang penerapan developmentalisme di
negeri ini. Hasil dari 32 tahun membangun di bawah hegemoni deve­
lop­mentalisme, dengan daya dukung penguasa tiran Soeharto dan
intelektual tukang mafia Berkeley, akhirnya negara dan bangsa ini harus
merasakan pahitnya tetap “tinggal di landasan”. Satu kegagalan yang tidak
pernah terbayangkan oleh penguasa dan para kaki tangannya.

Globalisasi Melipatgandakan Kemiskinan Dan Pemiskinan 37


Pasca Soeharto, kini pemerintah dan penguasa negeri ini tidak
jauh-jauh dari pendahulunya. Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono
adalah “Fir`aun” baru yang menghamba pada globalisasi ekonomi. Ia
menerbitkan Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2008 tentang Jenis
dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari
Penggunaan Kawasan Hutan, pada 4 Pebruari 2008. Peraturan mem­
buka peluang kepada perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi
di Indonesia untuk mengeksploitasi hutan lindung. Peraturan ini bisa
dimanfaatkan sebagai license to kill and destruct (ijin membunuh dan meng­­
hancurleburkan) kekayaan dan keanekaragaman hayati baik flora mau­
pun fauna yang tumbuh dan berkembang di hutan-hutan lindung yang
dieksploitasi. Kompas (6 Pebruari 2008) menyebut peraturan ini sebagai
kelanjutan dari “rezim deforestasi terpimpin” yang sudah dimulai sejak
1967 ketika pembangunan nasional mulai dirintis. Dapat diduga bahwa
yang bermain di balik lahirnya keputusan ini adalah perusahaan-peru­
sahaan pertambangan multinasional yang mendesak pemerintah untuk
menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-undang No 1 Tahun 2004
(yang diterbitkan oleh Presiden Megawati) yang mengijinkan mereka
melakukan penambangan di kawasan hutan lindung. Tiga belas peru­
sahaan itu antara lain: Freeport Indonesia Comp. (tambang emas dan
tembaga), Karimun Granit, INCO Tbk (nikel), Indomico Mandiri (Batu­
bara), Aneka Tambang Tbk (nikel), Natarang Mining (emas), Nusa
Halmahera Minerals (emas), Pelsart Tambang Kencana (emas), Interex
Sacra Raya (batubara), Weda Bay Nickel (nikel) Gag Nikel, Sorikmas
Mining (emas), dan Aneka Tambang Tbk (nikel).
Tentu saja penerbitan peraturan pemerintah ini sangat berten­
tangan dengan komitmen bangsa-bangsa di dunia untuk mengatasi pe­
manasan global dan perubahan iklim yang dilahirkan dalam Konferensi
PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCC) di Bali beberapa waktu lalu.
Disamping itu, peraturan ini merupakan cermin dari perselingkuhan dan
persekongkolan jahat antara Fir`aun dan Qarun globalisasi dengan
konsensi dan kompensasi tertentu yang dilakukan di bawah meja. Wajar
jika pemerintahan SBY mencari kambing hitam dengan berlindung
dalam lipatan peraturan sebelumnya yang telah dikeluarkan oleh rezim
Megawati. Pada saat yang sama pemerintah telah melakukan kebohongan
publik dengan bermuka dua: di satu sisi mereka berargumen bahwa

38 Zakiyuddin Baidhawy
PP No 2/2008 ini hanya diperuntukkan bagi 13 perusahaan tambang
di atas, namun di sisi lain tidak disebutkan secara definitif 13 nama pe­
rusahaan itu di dalam peraturan tersebut. Jelas bahwa peraturan ini
dibuat hanya untuk keuntungan sepihak, yaitu keuntungan bagi pe­
merintahan SBY yang sedang kebingungan untuk mencari anggaran
tam­bahan bagi defisit APBN; keuntungan bagi perusahaan-perusahaan
tambang multinasional untuk mengeruk pundi-pundi alam nusantara
tanpa batas dan dengan pajak yang sangat kecil. Sementara itu, rakyat
Indonesia tidak memperoleh keuntungan apa pun dari penerbitan PP itu,
bahkan sebaliknya mereka harus bersiap-siap untuk menerima dampak
kerusakan lingkungan yang makin parah. Tampaknya pemerintah SBY
sedang menggaungkan kembali semboyan kampanyenya “Bersama Kita
Bisa Merusak Lingkungan”.
Fir`aun globalisasi juga mewujud dalam isu global governance yang
menjadi istilah payung bagi berbagai macam regulasi internasional.
Sejumlah lembaga global governance bermunculan seperti jamur selama
30 tahun terakhir dan seterusnya dengan regulasi perdagangan dan ke­
uangan yang terbuka bagi pelembagaan global dan menghilangkannya
dari arena domestik. Governance (tata kelola) kini merupakan gejala yang
lebih menyita perhatian ketimbang pemerintahan (government). Ia men­
cakup lembaga-lembaga pemerintahan, mekanisme informal, meka­nisme
non-pemerintahan. Sangat mungkin menerima tata kelola tanpa peme­
rintahan – mekanisme regulasi di wilayah aktivitas yang berfungsi efektif
meskipun tidak diberi otoritas formal (Rosenau dan Czempiel, 1992).
Di bidang lingkungan, sejumlah kesepakatan internasional tentang
lingkungan telah muncul. Ekonomi global dan tata kelola politik yang
secara struktural menentukan tata kelola lingkungan, membawa pada
pertimbangan-pertimbangan ekologis yang memihak mereka yang
selama ini sudah diuntungkan dan kurang memahami hubungan antara
masya­rakat dan lingkungannya. Ini artinya tata kelola global terjadi di
tengah-tengah ketiadaan pemahaman mengenai ketergantungan masya­
rakat terhadap fondasi-fondasi ekologis. Jadi dapat dijelaskan bahwa
tiadanya prioritas ekologis dalam WTO sebagai sistem tata kelola ekonomi
global kurang memberi perhatian pada Dunia Ketiga. Meskipun Bank
Dunia meletakkan kebijakan lingkungan pada agendanya, ini dilaku­
kan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan yang mengasumsi­

Globalisasi Melipatgandakan Kemiskinan Dan Pemiskinan 39


kan pertumbuhan tanpa batas dan menolak realitas-realitas mendasar
tentang keadilan lingkungan dan akses sumber daya. Sebagian besar per­­
debatan akademik tentang tata kelola global fokus pada perubahan
peran negara dalam sistem internasional, penurunan kedaulatan negara
dan bagaimana aktor-aktor lain akan berpotensi menggantikan negara
se­bagai aktor paling penting dalam sistem.
Pada saat yang sama, kekuasaan negara-negara industri atau Utara
sebenarnya telah membangun benteng melalui lem­baga-lembaga tata
kelola ekonomi global yang hingga saat ini mencerminkan kepentingan-
kepentingan negara-negara kaya di atas negara-negara miskin. Jelas bahwa
kerangka ekonomi-politik global dilegitimasi oleh negara-negara maju
dan lembaga-lembaga global yang menyediakan suatu sistem bagi tran­
sfer sumber daya secara efisien dari wilayah-wilayah pinggiran ke wilayah
pusat, dan karenanya juga mendukung kelangsungan kebijakan-kebijak­an
ekspo­litasi yang lebih keras dan langsung. Pada saat yang sama, meskipun
meningkat retorika lingkungan dalam bentuk wacana pembangunan ber­­
kelanjutan (Redclift, 1987), sebetulnya tidak ada upaya nyata untuk
mem­­berlakukan pembatasan bagi tata kelola korporasi global dalam
kaitannya dengan sumber daya alam dan lingkungan, dan ini terjadi
dalam dua tingkatan. Pertama, kebangkitan perusahaan-perusahaan
mul­ ti­
nasional terjadi setelah meningkatnya liberalisasi perdagangan
dan pelembagaan sistem keuangan global melalui organisasi-organisasi
inter­nasional (Newell, 2001). Ada perubahan-perubahan struktural me­
nuju iklim korporasi yang beragam dan dapat dijelaskan sebagai tata
kelola korporasi meskipun entitas korporasi jelas bukan merupakan
legitimator bagi tata kelola itu sendiri. Kedua, perusahaan-perusahaan
multi­nasional telah menyusun di kalangan mereka sendiri aturan-aturan
yang mengikat sebagai bentuk swa tata kelola. Swa tata kelola ini mem­
fasilitasi standarisasi yang menjadi kesempatan baik bagi mereka untuk
melakukan ekspansi bahkan monopoli. Bentuk-bentuk swa tata kelola
terlihat dari penerapan Organisasi Standar Internasional (ISO) seperti ISO
9001 dan ISO 14001. Standar-standar ini diperkenalkan seiring dengan
perusahaan-perusahaan multinasional ini terancam oleh kondisi-kondisi
kerja yang membahayakan bagi produk mereka yang biasanya diproduksi
oleh sub-kontraktor. Standar ini diciptakan oleh perusahaan-perusahaan
itu sendiri yang peduli untuk mengawasi kondisi-kondisi kerja di pabrik-

40 Zakiyuddin Baidhawy
pabrik mereka, dan mereka bertanggung jawab dalam implementasinya.
Jadi, tata kelola korporasi global telah memfasilitasi bagi mapannya pasar-
pasar global namun menghindarkan diri dari regulasi yang berhubung­an
dengan degradasi lingkungan dan sosial (Kütting, 2004).
Rupanya ada repon yang sangat kuat terhadap meningkatnya iklim
korporasi global dan tata kelola berbasis pasar dari masyarakat sipil
global. Masyarakat sipil global berupaya melakukan reformasi bentuk-
bentuk lain tata kelola. Alasan di balik semua ini adalah bahwa negara-
negara Utara atau Barat makin melucuti peran mereka sendiri dalam
me­­ningkatkan kesejahteraan sosial dan menjadi perwakilan atau pen­
jaga dari kepentingan-kepentingan pasar global. Karena itu, peran se­
bagai polisi yang dulu diambil oleh negara-negara, kini diambil alih oleh
aktor-aktor non-negara. Akibatnya para aktor baru ini makin ber­peran
besar di arena internasional.
Singkat kata, dalam hal hubungan masyarakat-lingkungan, proses
tata keola global telah menjadi lebih pluralistik dan transnasional sebagai
akibat globalisasi. Namun ini tidak mesti membawa pada meningkatnya
pertimbangan-pertimbangan keniscayaan lingkungan pada skala global.
Meskipun ada beberapa kelompok aktor dan lembaga yang bekerja di
wilayah lingkungan, ini terjadi dalam subordinasi dari sistem tata kelola
ekonomi global. Dan dapat dikatakan bahwa sistem manajemen ling­
kungan global bukan merupakan sistem tata kelola lingkungan global.

3. HAMAN GLOBALISASI
Haman adalah nama seorang sahabat Fir`aun. Ia adalah seorang
ilmuwan. Ia merupakan simbol ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada
masa rezim Fir`aun berkuasa, Haman adalah tangan kanannya yang se­
lalu taat mengikuti perintah. Ia ahli membuat bangunan-bangunan yang
tinggi dan canggih, sehingga Fir`aun berharap lewat gedung pencakar
langit itu ia dapat melihat Tuhan. Ia merupakan sosok intelektual tukang
yang siap melayani penguasa politik maupun ekonomi tiranik dengan
legitimasi teoretik dan ilmiahnya.
Haman dalam konteks globalisasi adalah inovasi teknologi dan
revolusi informasi. Teknologi merupakan kendali utama globalisasi. Se­
lama dua dekade yang lalu, globalisasi dipercepat oleh lompatan dengan

Globalisasi Melipatgandakan Kemiskinan Dan Pemiskinan 41


bantuan teknologi. Produksi teknologi secara global dan perdagangan
internasional dalam teknologi tingkat tinggi telah memberikan per­
tumbuhan luar biasa pada 1975-1986, melipatgandakan produksi sekitar
enam dan sembilan kali dari tahun-tahun sebelumnya. Ramalan pada
umumnya memperkirakan bahwa teknologi akan menyebar ke negara-
negara terbelakang dan dapat memproduksi “keuntungan digital” yang
gagal diwujudkan dalam bentuk materi, bahkan ia telah melahirkan ke­
senjangan digital. Ramalan ini gagal karena didasarkan pada asumsi
yang salah. Perkembangan teknologi terbukti membawa profit bagi
perusahaan-perusahaan raksasa multinasional dan memberi indi­vidu-
individu di dalamnya hadiah atau keuntungan yang jauh lebih besar dari­
pada perusahaan-perusahaan kecil dan individu-individu miskin. Akibat­
nya, globalisasi telah berjasa memperlebar ke­senjangan antara kaya dan
miskin. Konsep “kesenjangan digital” kini sering disebut sebagai sumber
tipu muslihat pasar dalam percaturan globalisasi yang digunakan oleh
golongan kaya dan negara-negara yang memperoleh berkah globalisasi
untuk memelihara kekuatan globalisasi yang tak dapat diawasi.
Menurut Laporan Pembangunan Sumber daya Manusia PBB (2002),
negara-negara industri dengan hanya 15% penduduk dunia, merupakan
tempat bagi 88% para pengguna internet. Asia Selatan dengan 23%
pen­duduk dunia memiliki kurang dari 1% pengguna internet. Di Asia
Teng­gara, setiap 500 orang terdapat 1 pengguna internet. Situasi ini lebih
buruk lagi di Afrika. Dengan penduduk 739 juta, hanya ada 14 juta seluran
telepon, lebih sedikit dari jumlah yang ada di New York dan Paris. Ini
jelas bahwa ada proses marjinalisasi atas penduduk miskin di dunia dari
revolusi informasi. Isu transfer teknologi ke negara-negara Selatan dalam
banyak kasus yang terjadi adalah transfer eknologi yang sudah usang dan
tidak dibutuhkan lagi oleh negara-negara Utara serta tidak cocok untuk
lingkungan dunia ketiga. Setelah semua transfer teknologi gagal, banyak
negara di dunia berkembang kini melakukan pencurian atas karya-karya
teknologi Utara.
Situasi lebih buruk terjadi di domain pertanian. Kebanyakan negara
berkembang masih tertingal langkah dari mitra mereka di Utara dalam
hal pertanian mekanik. Terlampau jauh kesenjangannya, seperti tahap
agraris dalam pembangunan ekonomi yang ditandai dengan alat-alat
per­tanian primitif dan teknik pertanian tradisional mudah dijumpai

42 Zakiyuddin Baidhawy
di negara-negara terbelakang. Pertanian mekanik meskipun lebih di­
arahkan untuk tujuan ekspor ke negara-negara industri Utara dengan
mengorbankan produksi pangan. Akhirnya, banyak negara-negara ter­
belakang kini mengimpor pangan dari negara-negara industri dengan
harga mahal karena kelaparan dan kekeringan.
Sebagian kritikus mempertanyakan peran perusahaan-per­usahaan
multinasional dalam bidang pertanian di negara terbelakang dan ber­
kembang. Perusahaan-perusahaan itu enggan melakukan investasi di
negara-negara yang ekonominya sedang berkembang. Dalam beberapa
hal, di mana mereka berinvestasi di negara-negara ekonomi berkembang,
mereka memberlakukan teknik-teknik pro­duksi padat modal sehingga
seringkali memberangus penciptaan lapangan pekerjaan dan kreati­vitas
ahli-ahli lokal dan menjadi penghalang bagi revolusi industri dan akibat­nya
merusak industri-industri yang baru lahir di negara-negara ber­kembang.
Informasi cepat seperti internet, TV kabel, dan transportasi modern
juga terlibat dalam mendiseminasikan teknologi-tekno­ logi baru yang
me­mengaruhi secara mendalam atas politik, masyarakat, kebudayaan,
dan kehidupan keseharian warga negara yang hidup di negara-negara
berkembang. Tekanan ruang-waktu yang diproduksi oleh teknologi-tek­
nologi media dan komunikasi baru mengatasi batasan-batasa ruang
dan waktu, menciptakan desa budaya global dan penetrasi dramatis
dari kekuatan-kekuatan global ke dalam setiap aspek kehidupan di
kawasan-kawasan dunia. Telekomunikasi menciptakan permisa global.
Transportasi menciptakan desa global. Banyak orang biasa menyaksikan
MTV, mereka menggunakan celana jin, dan mendengarkan radio Sony
berjalan ketika mereka pergi menuju tempat-tempat kerja mereka. Ke­
budayaan global ini termasuk penyebaran teknologi media yang terbukti
telah menciptakan mimpi tentang desa global, meminjam istilah Marshall
Mcluhan. Teknologi-teknologi ini membiarkan media dan informasi
transnasional menyebar secara global. Pro­ses ini telah membawa ke­
pada perayaan informasi global baru yang serba cepat dan sementara
itu sebagian orang menentang gelombang media baru ini sebagai impe­
rialisme budaya dalam kehidupan mereka. Tujuan globalisasi dalam
konteks ini adalah agar masyarakat-masyarakat non barat diharapkan
me­nanggalkan kebudayaan tradisional mereka dan berasimilasi dengan
cara-cara hidup orang barat yang secara teknologi dan moral superior.

Globalisasi Melipatgandakan Kemiskinan Dan Pemiskinan 43


Tidak semua orang percaya terhadap asumsi globalisasi tersebut.
Kesan bahwa kita sedang bergerak menuju keseragaman McWorld se­
bagian bersifat ilusi. Kebudayaan adalah suatu proses perubahan yang
berkesinambungan, namun meskipun terus ada perubahan, kebudayaan
masih tetap memberikan identitas, martabat, kesinambungan, kenya­
manan bagi komunitas dan ikatan masyarakat bersama (Manenji,
1998). Globalisasi di Afrika melibatkan satu proyek fundamental, yaitu
mem­buka ekonomi negara-negara secara bebas dan luas terhadap pasar
global dan kekuatan-kekuatannya. Dari paparan ini tampak bahwa bagai­
mana inovasi teknologi dan informasi mengkombinasikan diri untuk
memperluas dan memperlebar jarak kesenjangan antara orang-orang
kaya dan miskin. Teknologi memainkan peran utama dalam drama
massifikasi kemiskinan, ketidakadilan, dan telah membuat situasi men­
jadi lebih buruk.
Penderitaan dan kesengsaraan makin terus menggelembung. Sekitar
1,3 bilyun penduduk bumi ini (sepertiga) hidup kurang dari satu dollar
perhari. Jika mereka diberikan pilihan, tentu mereka akan mengutamakan
dapat makan dengan baik, memiliki rumah, pakaian, pendidikan yang
lebih baik, dan memiliki pekerjaan. Untuk memenuhi kebutuhan-ke­
butuhan dasar (basic needs), jutaan orang di dunia ini tanpa keraguan siap
untuk menghempaskan rintangan dan melakukan kekerasan.
Teknologi modern di era globalisasi juga membawa persoalan ling­
kungan. Lingkungan yang merupakan warisan bagi seluruh umat ma­
nusia telah direduksi sedemikian rupa hanya sekadar kepentingan nasional.
Melalui teknologi, eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan melaju
tanpa kendali. Wajar bila para kritikus yang peduli perlindungan ling­
kungan menyatakan bahwa bahaya mutakhir seperti pemanasan global
disebabkan oleh minimalisasi regulasi tentang sumber daya alam untuk
tujuan-tujuan kaum kapitalis. Dengan kata lain, aktivitas perekonomian
yang didukung oleh teknologi modern tanpa regulasi dan pembatasan
dapat membawa pada kerusakan lingkungan dalam skala luas (The Levin
Institute, http://www.globalization101.org).
Dua fenomena kerusakan lingkungan pada skala global dapat di­
sebutkan di sini. Pertama, menipisnya lapisan ozon stratosfer di berba­
gai kawasan bumi. Ini disebabkan oleh aerosol CFC yang diperguna­
kan untuk spray dan sistem pendingin, yang ketika lepas ke atmosfer

44 Zakiyuddin Baidhawy
mengakibatkan rusaknya lapisan ozon. Bila ini terus terjadi, kehidupan
di muka bumi menghadapi masa depan penuh ketidakpastian. Kedua,
ancaman lingkungan global adalah pemanasan global yang disebabkan
oleh penggunaan secara massif bahan bakar minyak bumi yang telah
melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca di atmosfer bumi. Bukti-bukti
ilmiah menunjukkan bahwa pemanasan global ini memengaruhi dan
mengubah pola iklim yang membahayakan baik bagi manusia maupun
spesies lainnya di planet ini (Oosthoek & Gills, 2005).
Dua fenomena kerusakan lingkungan di atas melahirkan tantangan
kepada umat manusia untuk meredefinisi kemajuan. Apakah kemaju­
an hanya berarti perkembangan teknologi yang pesat, meski pada saat
yang sama teknologi itu juga mempercepat kerusakan bagi makhluk
ma­nusia dan non-manusia pada skala global? Bila ini yang dimaksud,
itu maknanya kemajuan dibatasi pada asumsi bahwa sumber daya alam
dan lingkungan adalah disediakan untuk dieksploitasi guna memenuhi
ke­butuhan sekaligus keinginan manusia. Dengan kata lain kita sedang
hidup dalam situasi krisis luar biasa mengenai gagasan kemajuan. Krisis
ini disebabkan oleh kegagalan yang sangat nyata paradigma ekonomi
dan teknologi yang kini sedang berkuasa, bukan hanya berkaitan dengan
lingkungan global, bahkan juga dalam banyak hal dengan perdamaian
dan keamanan manusia, perluasan masif kemiskinan dan kesenjangan.
Karena itu yang dibutuhkan sekarang adalah perubahan pada level ga­
gasan, mentalitas individu dan kolektif bahwa kesadaran lingkungan
perlu memainkan peran utama dan positif untuk mengendalikan tekno­
logi, dan mengeliminasi ekonomi politik usang yang lebih berpihak pada
tujuan-tujuan material dan kekeliruan dalam penggunaan sumber daya
alam dan lingkungan.
Dimensi Haman dari globalisasi juga bisa dirasakan dalam masalah
pencurian keanekaragaman hayati (biopiracy). Isu ini berkaitan dengan
pematenan — khususnya paten terhadap penge­tahuan indigenous dan
DNA oleh agen-agen dari perusahaan-perusahaan dan pemerintahan-
pemerintahan Barat. Kebanyakan keanekaragaman hayati berada di
negara-negara berkembang, yang menyediakan sumber daya ekonomi
yang sangat besar bagi perusahaan-perusahaan obat-obatan, pertanian
dan bioteknologi. Misalnya, menurut Atlas Dunia Keanekaragaman
Hayati versi UNEP, di Amerika sendiri terdapat 56% dari 150 obat-

Globalisasi Melipatgandakan Kemiskinan Dan Pemiskinan 45


obatan papan atas (senilai US$ 80 bilyun pertahun) bersumber dari
alam. Sekitar 70% keanekaragaman hayati dunia ada di negara-negara
berkembang, di mana hukum seringkali lemah karena pegawai peme­
rintahan yang bergaji rendah rentan dengan suap. Dapat diduga dengan
mudah bahwa perusahaan-perusahaan asing mencari kekayaan alam ini
melalui berbagai macam cara yang tersedia. Di samping nilai potensial
ekonomi dari keanekaragaman hayati, juga terdapat tambang emas
genetik yang berlimpah – kekayaan plasma nutfah sekaligus genetik
manusia yang berharga. Kekayaan genetik ini sangat krusial bagi ke­
anekaragaman dan stabilitas kehidupan di bumi. Banyak perusahaan
besar kini meraup untung dan royalti dari paten pohon neem yang di­
kena­kan kepada penduduk pribumi yang mempergunakan varietas bibit
unggul mereka. Semua ini diambil langsung dari alam dengan sedikit
atau kadang-kadang tanpa modifikasi sama sekali. Sayangnya, aturan-
aturan tentang semua ini sudah ditetapkan dalam sebuah kesepakatan
WTO yang dikenal Perdagangan yang Berhubungan dengan Kekayaan
Intelek­­tual atau TRIPs (Trade Related Intellectual Property), yang oleh
Shiva disebut sebagai ijin bagi perusahaan-perusahaan untuk “mencuri
dan mengendalikan sumber daya genetik melalui hak paten” (Anderson,
2000). Perjanjian dagang semacam ini, yang umumnya melegalkan dan
memperkuat biopiracy atau bioprospecting, menjadi bahan perdebatan sengit.
Biopiracy dan isu-isu yang berkaitan relevan dalam konteks glo­
balisasi ekonomi yang rakus dan memangsa. Biopiracy, Hak atas Keka­
yaan Intelektual (HKI), dan dampaknya atas pertanian melibatkan isu-
isu perdagangan, dunia ketiga dan maju, isu buruh, dan lingkungan.
Se­bagian kritikus melihat proses globalisasi sebagai proses penguatan
kolonialisme. Perlu dilihat juga bagaimana biopiracy dan kesepakatan HKI
berimplikasi secara sosial, ekonomi dan kesehatan bagi negara-negara
berkembang. Keduanya memiliki beberapa akibat bagi para petani dan
sta­bilitas pertanian di dunia ketiga.
Dapat dikatakan bahwa biopiracy merupakan dimensi kultural dari
imperialisme Barat yang memangsa. Biopiracy dapat dijelaskan sebagai
sumbangan pengetahuan, bentuk-bentuk kehidupan, dan bagian-bagian­
nya, dan kemudian perusahaan-perusahaan besar me­ng­upayakan pema­
ten­an terhadap barang-barang yang dicuri itu dan mereka meraup ke­
untungan dari penjualannya. Perusahaan-perusahaan itu melaku­kannya

46 Zakiyuddin Baidhawy
tanpa mengalami dilema etika. Namun demikian, banyak akademisi
dan aktivis di dunia semakin khawatir atas aktivitas semacam ini dan
maknanya bagi dunia ketiga. Aktivitas semacam ini biasanya dimulai
dari perusahaan-perusahaan asing masuk ke wilayah negara-negara ber­­
kembang untuk mencari pengetahuan tradisional tentang obat-obat­an
mau­ pun tumbuh-tumbuhan pertanian. Tumbuh-tumbuhan yang di­
pandang berpotensi memiliki nilai kemudian diriset da­lam labora­torium
perusahaan-perusahaan multinasional untuk menemukan kandungan
kimia di dalamnya atau bernilai sebagai tumbuhan pangan. Jika dipan­
dang menguntungkan, mereka akan mengusulkan pematenan guna
melindungi “temuan” tersebut. Tampaknya cukup sederhana. Namun jika
perusahaan telah bekerja untuk “menemukan”, menurut filsafat Lock,
temuan itu menjadi hak milik. Bila orang lain, taruhlah petani misal­nya,
ingin menggunakan hak milik mereka (benih yang dipatenkan), maka pe­­
rusahaan akan menarik bayaran dari mereka.
Ada dua asumsi yang menggarisbawahi istilah biopiracy. Pertama,
perusahaan yang mencuri mengklaim kepemilikan terha­dap sesuatu yang
sesungguhnya tidak dapat dimiliki. Dikatakan “tidak dapat dimiliki”
karena seringkali apa yang dipatenkan itu dipandang sebagai bagian
dari milik semua penduduk bumi. Pengetahuan atau spesies yang dicuri
kadang-kadang dipandang sebagai bagian dari warisan bersama semua
umat manusia atau sesuatu yang ada di alam sehingga tak seorang pun
dapat mengklaimnya. Kedua, kepemilikan yang diklaim perusahaan ber­
akar pada tindakan pencurian atas pengetahuan indigenous. The United
Nations Convention on Biological Diversity (CBD) yang ditandatangani oleh
komunitas internasional pada Earth Summit 1992, mendefinisikan
biopiracy ialah bioprospecting yang dipandang sebagai pengabadian ke­biasa­
an kaum penjajah yang suka mencuri sumber daya biologis negara-negara
lain tanpa kompensasi yang adil dan jujur, yang berakibat pada kerusakan
lingkungan, ekonomi dan sosial. CBD menekankan “pem­­bagian untung
yang adil dan jujur atas penggunaan sumber daya genetik” sekaligus
konservasi dan penggunaan keanekaragaman hayati secara ber­kelanjutan
sebagai tiga tujuannya. Konvensi ini diratifikasi oleh 183 negara anggota,
kecuali Amerika Serikat, sehingga banyak orang me­­man­dang biopiracy
dan ketidakmauan AS meratifikasi konvensi ini sebagai suatu per­luasan
dari kolonialisme gaya Barat yang terjadi selama 500 tahun.

Globalisasi Melipatgandakan Kemiskinan Dan Pemiskinan 47


Traktat tentang TRIPs atau HKI diciptakan oleh WTO pada 1995.
Ketika 146 negara anggota organisasi perdagangan global ini menye­
pakati traktat HKI, saat itulah kali pertama terbukanya pertumbuhan
luar biasa dalam aktivitas biopiracy. Kebanyakan negara-negara anggota
WTO yang sebelumnya dilarang untuk mematenkan sumber daya
biologis, maka HKI memberikan mandat yang memperkenankan paten
ter­sebut. HKI secara efektif meingkatkan potensi margin keuntungan
bagi biopiracy. Pohon Neem yang berasal dari Afrika dan India dipandang
sebagai salah satu lapisan paling produktif dalam tambang genetik dan
sejauh ini menyediakan nilai yang berharga dalam studi kasus tentang
bagaimana HKI telah mendorong biopiracy dan banyak persoalan yang
terkait dengannya. Pohon Neem menyediakan sumber daya obat-obatan
dan lingkungan yang telah lama digunakan oleh penduduk pribumi se­
lama lebih dari 4000 tahun tanpa harus mengeluarkan biaya. Pohon ini
merupakan pohon yang hampir sempurna bagi dunia berkembang. Pohon
ini dianggap sebagai pohon abad 21 oleh PBB karena ia memiliki 15
macam manfaat, kandungan yang aman termasuk untuk obat malaria,
lepra, radang usus, sakit pernafasan, rematik, dan berbagai penyakit lain­
nya. Peneitian mutakhir menyatakan bahwa pohon Neem memiliki kan­
dungan yang dapat melawan AIDS.
Kini pohon Neem asal India telah diambil untuk dipatenkan dengan
70 macam paten oleh perusahaan-perusahaan Barat. Pohon Neem asal
Afrika juga dalam proses eksploitasi serupa. Banyak perusahaan multi­
nasional sangat mungkin memperoleh keuntungan berlipat ganda dari
pohon ini, khususnya di negara-negara maju yang sedang keranjingan
obat-obatan alami. HKI memuluskan jalan bagi proses perusahaan-pe­
rusahaan multinasional untuk memperoleh paten atas produk-produk
pohon ini. Di bawah traktat HKI, mereka dapat mematenkan proses yang
digunakan untuk mengektraksi kandungan-kandungan bermanfaat dari
pohon ini. Implikasi dari proses semacam ini, para praktisi kesehatan
tradisional yang biasanya memberikan layanan dengan biaya minimal
atau bahkan gratis, kini tidak lagi dapat melakukannya, karena paten telah
membuat biaya kesehatan menjadi tidak terjangkau oleh kebanyakan
penduduk Afrika. Praktik semacam ini tentu saja dapat dikatakan se­
bagai pencurian secara terang-terangan atas kekayaan sumber daya alam

48 Zakiyuddin Baidhawy
dan lingkungan dari penduduk lokal oleh perusahaan-perusahaan asing
(Jere-Melanda, 2003).
Tentu saja, kemunafikan dalam menggunakan pengetahuan pribumi
untuk mematenkan sesuatu dan kemudian membebankan royalti bagi
penduduk pribumi karena menggunakan produk paten tersebut, sangat
bertentangan dengan etika ekonomi dan etika sosial, yakni bahwa siapa
pun berhak memperoleh keuntungan dari kerja mereka, bukan orang
lain. Meskipun biopiracy sudah menjadi isu sejak dekade 90-an, dan telah
lama dipraktikan pada kolonialisme mulai, HKI secara drastis mem­
perlebar kesenjangan. Ada banyak isu yang terkait dengan masalah
ling­­kungan, ekonomi dan sosial yang lahir akibat sistem paten yang di­
globalkan terhadap negara-negara di dunia berkembang.
Ada sejumlah ancaman ekonomi, lingkungan dan sosial ber­kaitan
dengan biopiracy dan legitimasi yang diberikan melalui TRIPs atau HKI.
Pencurian atas pengetahuan penduduk pri­bumi membatasi kebebasan
bagi negara-negara miskin untuk mempergunakan kekayaan intelektual
mereka dan menghalangi mereka dari aset-aset yang berharga. Perbaikan
yang terus menerus atas pengetahuan penduduk pribumi ini diperlukan
bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan kemampuan mereka
mempertahankan kesehatan dan stabilitas ekonomi, lingkungan dan
sosial. Sayangnya semua keuntungan yang berhubungan dengan TRIPs
lebih banyak dirasakan oleh negara-negara kaya — bukan sarana untuk
mencapai desa global yang jujur, terbuka, adil dan seimbang — dengan
biaya yang harus ditanggung oleh negara-negara miskin dan tak terwakili
kepentingannya. Pertimbangan-pertimbangan ekonomi, lingkungan dan
sosial dalam TRIPs dan biopiracy perlu diperhatikan lebih serius. Apsek-
aspek yang bertentangan antara CBD (konvensi keanekaragaman hayati)
dan TRIPs harus dipecahkan. Dalam situasi sekarang ini, dorongan untuk
penegakkan CBD, sebuah pakta yang seharusnya memiliki se­tidak­nya
posisi setara dalam hal bobot hukum internasional dengan TRIPs (atau
mungkin lebih berbobot karena CBD dibuat lebih dulu dari TRIPs, kini
dikorbankan demi TRIPs. Melaksanakan statuta CBD atau setidaknya
menemukan solusi yang dapat dijalankan antara dua pakta tersebut akan
memberikan komunitas internasional suatu peluang untuk membuktikan
bahwa keuntungan dan kekuasaan bukanlah segalanya dalam politik
inter­nasional. CBD kebanyakan memberikan keuntungan bagi negara-

Globalisasi Melipatgandakan Kemiskinan Dan Pemiskinan 49


negara berkembang melalui proteksi hak-hak atas kekayaan interlektual
penduduk pribumi dan sebagainya, dan bagi semua manusia sejauh
mereka memiliki lingkungan yang sehat. Sementara TRIPs kebanyakan
memberikan keuntungan bagi perusahaan-perusahaan besar dari negara-
negara maju.
Di samping itu, Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) semata-mata
berpijak pada kepemilikan pribadi (self-interest). Sejauh te­muan-temuan di
bidang sains dan teknologi dan sebagainya merupakan capaian individu
atau organisasi yang berbadan hukum, maka HKI dapat dibenarkan
sebagai upaya “melindungi hak milik pribadi.” HKI sudah melampaui
batas yang menjadi haknya ketika melanggar temuan-temuan milik ma­
syarakat bersama. Banyak pihak di negara-negara berkembang yang
menentang upaya indi­vidu dan perusahaan negara maju untuk mem­
patenkan produk yang didasarkan pada pengetahuan milik umum.
Banyak penemuan pada tingkat masyarakat atau komunal berdasarkan
pengetahuan tradisional dan lokal. Di negara Indonesia misalnya, produk
ramuan jamu tradisional, batik, tenun, subak, pembuatan tempe dan
tahu, dan sebagainya merupakan warisan turun-temurun. Karena sifat­
nya umum sulit menentukan siapa yang menjadi pemilik sah penemuan
tersebut (Djamhatani dan Hanim, 2002).
Wajah lain dari Haman globalisasi adalah barisan kaum intelektual
yang siap mengabdi untuk kepentingan kekuatan-keku­atan ekonomi
global, dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan ekonomi dan
sosial penduduk lokal atau nasional. Dalam konteks Indonesia, sebagai­
mana dipaparkan Kwik Gian Gie (2005), mereka adalah kelompok yang
disebut sebagai Mafia Berkeley. Menurutnya, Mafia Berkeley adalah
Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) yang beranak pinak dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Pinisepuh dari OTB ini adalah para ekonom
Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Soebroto, Moh. Sadli,
J.B. Soemarlin, Adrianus Mooy, dan lain-lain. Dan generasi pe­nerusnya
sekarang adalah Dorodjatun, Boediono, Sri Mulyani, Jusuf Anwar,
Mari Elka Pangestu, Moh. Ikhsan, Chatib Bisri, dan lain-lain. Mereka
tersebar pada seluruh departemen dan menduduki jabatan eselon I dan II,
sampai kepala biro tanpa peduli siapa presidennya. Mereka ber­tanggung
jawab telah membuat Indonesia dikepung oleh kekuatan Barat yang
terorganisasi dengan sangat rapi. Instrumen utamanya adalah pem­berian

50 Zakiyuddin Baidhawy
utang terus-menerus sehingga utang luar negeri semakin lama semakin
besar. Dengan sendirinya, beban pembayaran cicilan utang pokok dan
bunganya semakin lama semakin berat. Ini semua mem­buat negara kita
tidak mandiri karena terlalu bergantung kepada utang luar negeri. Keter­
gantungan ini dijadikan peluang untuk untuk mendikte semua kebijakan
pemerintah Indonesia. Tidak saja dalam bentuk ekonomi dan keuangan,
tetapi jauh lebih luas dari itu. Utang luar negeri kepada Indonesia
diberikan secara sistematis, berkesinambungan, dan terorganisasi secara
sangat rapi dengan sikap yang keras serta persyaratan-persyaratan yang
berat, dan berhasil membuat negeri ini sekarat.

4. Samiri Globalisasi
Samiri adalah tokoh sezaman dengan Fir’aun, Qarun, dan Haman.
Ia adalah pembuat bid’ah dalam sistem kepercayaan dan agama Bani
Israel. Agama dan kepercayaan yang benar dan lurus ia campuri dengan
keahliannya membuat sesembahan baru. Agama baginya adalah alat
untuk mengabdi pada penguasa, dalam bentuk dan wujud apa pun. Yang
ter­penting baginya adalah keuntungan pribadi meski dengan meng­atas­
namakan agama sebagai alat pembenar dan legitimasi bagi penguasa-
penguasa politik dan kapital yang menindas masyarakat kecil. Samiri
adalah representasi dari “agama” yang mempecundangi rakyat kecil,
me­nina­bobokan, dan membutakan mereka dari kesadaran diri akan
bentuk-bentuk penindasan, diskriminasi, pemiskinan dengan bersem­
bunyi di balik topeng agama. Di sisi lain, sebagai representasi Samiri,
globaliasi juga mengancam masyarakat dengan “agama baru”, yaitu
“agama kapital”.
Dalam konteks globalisasi, mempersoalkan tentang hakikat dan
fungsi agama dalam masyarakat menjadi sangat penting. Apakah agama
dan kaum agamawan — pendeta, pastur, ulama, bikhu, dan sebagainya
— mampu menempatkan diri sebagai pembela kaum papa dan marjinal
dari peminggiran dan pemiskinan sistematis dan sturktural globalisasi;
atau mereka menjadi tameng dan pemberi stempel bagi pusat-pusat ke­
kuasaan kapital yang menciptakan ketidakadilan global? Apakah agama,
kaum agamawan dan para penganutnya terjerumus ke dalam kapitalisasi
agama, cenderung merealisasikan fungsi agama privat yang jauh dari

Globalisasi Melipatgandakan Kemiskinan Dan Pemiskinan 51


realitas kehidupan, atau tampil di depan melakukan advokasi publik bagi
kaum miskin dan tertindas?
Pembicaraan tentang hakikat dan fungsi agama dalam masya­rakat
sudah berjalan berabad-abad. Berbagai pendekatan untuk memahami
hakikat dan fungsi agama, baik secara filosofis, teologis, antropologis,
sosiologis, dan dimensi-dimensi gagasan keagamaan yang berkaitan
sudah berjalan cukup panjang. Hubungan antara agama dan masyarakat
sangat dekat, dengan percabangan yang luas, kompleks, dan penuh intrik.
Peran agama dalam memberikan ketahanan spiritual dan moral bagi
individu, regulasi kehidupan sosial dan tatanan moral yang berkaitan,
menciptakan dan mengatur bentuk-bentuk kebudayaan, dan integrasi
sosial telah menjadi kajian banyak kalangan. Namun, peran dan fungsi inti
dari agama adalah merayakan dan memelihara norma-norma yang men­
jadi sandaran bagi integrasi masyarakat (Geertz 1968: 402).
Globalisasi sering didefinisikan sebagai suatu proses kemajuan yang
terus berjalan melalui waktu, menyebarluas melalui ruang, dan tak ter­
elakkan pertumbuhannya. Pada saat yang sama, globalisasi juga merupa­
kan revolusi yang tak pernah terjadi sebelumnya. Efek revolusi glo­balisasi
mengancam banyak tradisi dan kebiasaan masyarakat, tak terkecuali
agama. Karena efeknya yang sangat kuat, globalisasi telah menanamkan
suatu fatalisme baru dalam kesepakatan-kesepakatan global dan setiap
orang dituntut untuk beradaptasi dengannya. Ini melukiskan betapa
globalisasi telah mencapai tahapan dominasi dan hegemoni yang sangat
nyata dan seringkali disajikan sebagai suatu ketakterelakkan yang mem­
ba­hayakan imajinasi dan pemikiran serta aksi bagi lahirnya sistem alter­
natif menuju tatanan sosial-ekonomi lain yang lebih adil (Petras and
Veltmeyer, 2001: 8-13).
Dari perspektif ini, globalisasi hampir menyerupai imperialisme
dalam bentuk baru. Alasannya adalah bahwa globalisasi diciptakan secara
sengaja oleh kebijakan-kebijakan tertentu yang dibuat oleh negara-negara
yang sangat kuat di bawah kendali kelas-kelas do­minan untuk memecah
perhatian dunia dari kekuatan-kekuatan imperialis. Hal itu tidak lain
adalah kekuatan struktural dari sistem kapitalis. Cara pandang lain
melihat globalisasi sebagai kebangkitan pasar global. Ini melibatkan
serangan terhadap kebiasaan-kebiasaan konsumen lokal, nasional, dan
ragional dan produk-produk ma­teri­al, serta praktik-praktik politik dan

52 Zakiyuddin Baidhawy
kultural, termasuk agama, oleh ide-ide, produk dan praktik kultural dan
konsumen yang dikemas dan dipasarkan secara luas. Menurut suatu
analisis, globalisasi bukanlah intergrasi global dengan menghancurkan
batas-batas di kalangan bangsa-bangsa melalui kekompakan global
menuju desa global. Sebaliknya, globalisasi adalah agenda yang meng­
istimewakan hegemoni satu negara di atas dunia dengan kekuatan dan
ancaman (Radhakrisnan, 2004).
Jim Spickard (dalam Radhakrisnan, 2004) membuat sejumlah
peng­amatan atas masalah agama dan globalisasi. Beberapa catatan yang
relevan dalam bahasan ini antara lain: citra populer globalisasi mene­
kankan karakter ekonomi dan politik, khususnya jangkauan global pe­
rusahaan-perusahaan transnasional yang menjadi kekua­tan ­­ pengubah
dan merampas kekuatan ini dari negara — dan juga dari warga negara
— untuk kemudian mengendalikan nasib mereka. Dalam citra ini,
organisasi-organisasi keagamaan merespon globalisasi, kadang-kadang
dengan mendukung gerakan-gerakan anti global, seperti gerakan protes
menentang WTO, neo-fundamentalisme, upaya-upaya menuntut ke­
adilan utara-selatan, dst. Catatan kedua atas globalisasi adalah makin
tumbuhnya migrasi, yang juga selalu memiliki akibat-akibat keagamaan.
Agama-agama ada di garis depan dalam proses globalisasi. Globalisasi
secara fundamental mengubah relasi kuasa, baik secara keagamaan mau­
pun ilmiah. Globalisasi menunjukkan proses-proses “keagamaan” yang
jauh melampaui kehidupan gereja. Ambil sebuah contoh bagaimana
analisis tentang HAM menurut cara pandang Durkheimian bahwa agama
memberi kita citra simbolik dalam kehidupan sosial.
Meskipun pertumbuhan dan penggunaan sains diduga sangat
penting bagi globalisasi, tetap relevan untuk mengetahui apakah sains
dan agama tidak dapat didamaikan. Albert Einstein telah menjelaskan
hubungan keduanya. Selama berabad-abad muncul perselisihan bahkan
pertikaian mengenai hal ini. Lebih banyak jawaban mengarah pada sisi
negatif hubungan keduanya.
Dalam situasi semacam ini, globalisasi sebagai proyek imperialis­
me “memanfaatkan” sains dan agama. Dalam beberapa hal, serangan
atas WTC pada 11 September 2001 adalah suatu serangan balasan atas
globalisasi. Namun, sebagian orang menye­butnya juga sebagai serang­
an teroris terhadap berbagai bagian dunia. Di sini tampak bahwa apa

Globalisasi Melipatgandakan Kemiskinan Dan Pemiskinan 53


yang digunakan bukan sejumlah perintah agama atau kitab suci ter­
tentu, namun versi “agama” yang diplintir atau dimanipulasi oleh
kelompok-kelompok penguasa dengan kolaborasi bersama kelompok
keagamaan tertentu untuk mengukuhkan kerajaan kapitalisme. George
W. Bush adalah suatu gambaran fundamentalisme politik, kapital, dan
keagamaan yang bersekongkol untuk memenangkan pertarungan global
– demokrasi dan kapitalisme. Ia dikenal sebagai seorang Kristen yang
terlahir kembali, yang memandang “serangan balasan” atas Afghanistan
dan Irak (meski tanpa alasan dan bukti yang jelas) sebagai “Perang
Salib” kontemporer. Ia telah memanipulasi agama dan perang salib, dan
memojokkan fundamentalisme Islam dan dunia Islam, untuk tujuan-
tujuan kepentingan ekonomi perusahaan-perusahaan global dalam rangka
mengeruk dan merampas kekayaan minyak bumi dan gas dari dunia ke­
tiga.
Kejahatan Samiri globalisasi membawa agama secara sistematik
menjadi pecundang karena diferensiasi fungsional dan fragmentasi kul­­
tural yang telah menghancurkan norma-norma berbagi. Globalisasi
berhasil melemahkan norma-norma berbagi. Konsensus orang-orang kaya
dan berkuasa telah membuat orang-orang lemah tunduk pada disiplin
pasar, dan pada saat yang sama mereka terus membuat perlindungan di
bawah sayap-sayap negara-negara “kambing betina”. Konsensus global
tercapai untuk memperkaya sektor-sektor kecil, menghancurkan ikatan-
ikatan sosial dan sistem bantuan sosial. Orang-orang lemah dising­kir­
kan dari masyarakat, apakah mereka hidup dalam komunitas urban
yang frustrasi atau komunitas pedesaan yang gagal. Meskipun tingkat
kejahatan menurun, namun pemenjaraan meningkat tajam, dan target­
nya adalah masyarakat miskin dan minoritas oleh karena banyak sebab,
utamanya perang melawan obat-obat terlarang dan kebijakan yang di­
rancang untuk menekan ledakan penduduk.
Di sisi lain, di tengah-tengah gegap gempita globalisasi agama
seringkali menawarkan obat “paliatif ” yang membawa para penganutnya
untuk menjadi “ashabul kahfi”. Yakni manusia beriman yang takut meng­
hadapi kenyataan hidup dan tuntutan akan pembebasan dari tirani dan
penindasan yang terus-menerus dihadirkan oleh globalisasi. Kaum
“ashabul kahfi” yakin bahwa jalan penghambaan kepada Tuhan di
hadapan para penguasa dan kapitalis zalim adalah lari dari keramaian,

54 Zakiyuddin Baidhawy
keterlibatan, partisipasi aktif dalam melawan kekejaman mereka, lalu
asyik masuk dengan Tuhan mereka hingga terlelap tanpa tahu bahwa
dunia sudah berubah. Sebagai kompensasinya, agama mengharu biru­
kan mereka dengan senandung doa-doa dan dzikir yang diiringi sedu
sedan tangis dan bah air mata, menghantar ekstase jiwa meratapi dosa-
dosa, maksiat-maksiat, kecongkrahan-kecongkrahan, yang selalu meng­
hantui para penikmatnya. Selintas keharuan itu merupakan tanda per­
tobatan, sesal atas segala rupa kebusukan. Namun demikian, per­tobatan
via doa dan dzikir itu lebih merupakan alat pembersihan spiritual
(spiritual laundry) setelah sekian lama bergelimang dosa individu dan
sosial. After the fact, pertobatan itu adalah kamuflase untuk menutupi
kebejatan dan memperoleh kembali suatu kondisi dalam mana kejahatan
dan kebejatan yang lebih besar absah dilakukan. Nyatanya, pertobatan
itu sama sekali tidak mengubah apa pun atas nasib bangsa ini yang terus
terjerembab kemiskinan, pemiskinan, pengangguran, busung lapar,
dan rupa-rupa dosa sosial sebagai akibat ketidakpedulian dan hilang
kepekaan terhadap fenomena kepapaan dan kefakiran yang jelas mem­
bawa kepada kekufuran. Kemiskinan, penindasan, marjinalisasi, peng­
gusuran, trafficking anak-anak dan perempuan, tetap terjadi dalam skala
yang semakin meluas.
Di samping kelangkaan solidaritas, spiritualitas agama-agama juga
acapkali dapat dijadikan dalih untuk membesar-besarkan daya linuwih,
ilmu laduni, kasyf dan semacamnya yang dimiliki orang “suci” atau wali.
Spiritualitas telah membelenggu rasionalitas sehingga visi masyarakat
ber­keadilan dilucuti oleh wangsit ala poros langit, atau mabuk ratu adil
yang sepenuhnya utopia.
Dengan spiritualitas semacam ini, kaum agamawan tidak memiliki
kesadaran untuk memasuki lingkaran ketidakadilan dan pemiskinan
global dari sudut praksis pembebasan yang ditentukan secara intelektual
dan aktual. Secara intelektual mereka tidak mandiri dan secara aktual
mereka mandul. Pilihan pemikiran dan aksi keagamaaan mereka apatis,
jika tidak dapat dikatakan sebagai pemberi legitimasi bagi status quo.
Spirit untuk perubahan dan pembebasan tidak menjadi bagian dari unsur
intrinsik keimanan. Oleh karena itu, gerakan intelektual mereka timpang
karena lebih banyak menekankan pada aspek-aspek kognitif (dari wahyu
dan atau pengetahuan apa pun) dan menafikan aspek-aspek praksisnya.

Globalisasi Melipatgandakan Kemiskinan Dan Pemiskinan 55


Mereka buta bahwa misi agama yang paling inti adalah “iman untuk per­
ubahan dan pembebasan” (al-iman li taghyir wa tahrir).

56 Zakiyuddin Baidhawy
BAB
ARTI DAN FENOMENA KEMISKINAN
II GLOBAL

A. TEORI TENTANG KEMISKINAN


Diskursus tentang kemiskinan terus mengalami perkembangan
seiring dengan pertumbuhan bentuk-bentuk kemiskinan dan per­
ubahan ruang dan waktu. Dalam tradisi diskursus Barat dikenal ada dua
cabang besar pembahasan tentang kemiskinan yang telah mengalami
pembentukan dan kristalisasi selama satu periode lebih dari dua abad
lamanya. Tradisi pertama adalah perspektif liberal model Anglo-Saxon.
Tradisi liberal ini memberikan per­hatian pada interaksi kompetitif di
bawah situasi kelangkaan dan hakikat tindakan kolektif yang mela­
hirkannya. Tradisi kedua adalah perspektif merkantilis kontinental yang
menekankan pada pemanfaatan sumber daya manusia untuk mem­
perkaya negara. Kaum miskin diperlakukan seperti kambing dan hewan
potong yang dibudidayakan untuk kejayaan kaum kaya.
Kerbo (1996) mengidentifikasi ada empat macam teori ke­miskinan.
Pertama, teori sosial Darwinian. Teori ini kali pertama muncul dalam
sosiologi dan mencoba menjelaskan kemiskinan dalam pengertian pe­
rilaku dan sikap orang miskin sendiri. Orang miskin itu miskin karena
mereka tidak bekerja keras, mereka mem­pergunakan uang untuk ber­
judi, mabuk-mabukan dan kemewahan yang tidak dibutuhkan dan
mereka juga memiliki kehidupan keluarga yang kacau balau. Mereka
tidak memiliki ambisi, tidak mempunyai panggilan batin untuk bekerja,
fatalisitik dan menderita karena kurang pendidikan (Matza, 1966:294).

57
Bahkan kita pun bisa membingkai sebuah bangsa dengan mengguna­
kan definisi ini. Di manapun orang miskin melukiskan kehidupan kelas
berbahaya di wilayah-wilayah kumuh dan sempit. Baik Malthus maupun
Herbert Spencer berpendapat bahwa hanya orang lapar yang dapat
mengajari orang miskin tentang keadaban dan ketaatan. Para penganjur
perspektif ini adalah kelompok kanan baru di Amerika Serikat. Gilder,
Murray dan Hernstein mengatakan bahwa orang miskin secara genetik
diciptakan menjadi kelompok yang berada di bawah hirarkhi sosial.
Orang miksin itu miskin karena mereka memiliki IQ rendah dan kapa­
sitas mental rendah serta secara ideologis ditakdirkan untuk miskin.
Sistem kesejahteraan yang menjamin kelompok manusia yang di­pan­
dang menyimpang ini dianggap sebagai sistem mubazir dan harus di­
hilangkan (Kerbo, 1996).
Kedua, budaya kemiskinan. Teori ini dikembangkan oleh Oscar
Lewis, seorang antropolog. Ia mengembangkan teori ini dari penga­
lamannya di Mexico. Budaya kemiskinan merupakan sindrom khusus
yang tumbuh dalam beberapa situasi. Budaya ini menghendaki suatu
setting ekonomi tunai, yakni tingginya angka pengangguran dan setengah
pengangguran, upah rendah dan warga dengan keterampilan rendah.
Ketiadaan dukungan lembaga-lembaga volunter atau negara dan ke­
luarga yang stabil, penduduk berpendapatan rendah cenderung mengem­
bangkan budaya kemiskinan untuk menentang ideologi akumulasi
yang dominan di kalangan kelas menengah. Orang miskin menyata­kan
bahwa mereka memiliki posisi marjinal di dalam masyarakat kapitalistik
yang terstrata dan individualistik, yang tidak menawarkan apa pun buat
mereka prospek untuk mobilitas ke atas. Agar bertahan hidup, mereka
harus mengembangkan lembaga-lembaga dan agensi-agensi mereka
sendiri karena masyarakat luas cenderung mengabaikan dan mening­
galkan mereka. Jadi, orang miskin berupaya membentuk seperangkat
nilai, norma, pola perilaku tersendiri yang berbeda dengan budaya umum­
nya. Singkatnya, orang miskin memiliki pandangan hidup sendiri. Lewis
(1959) mengklasifikasikan empat macam ciri budaya kemiskinan sebagai
berikut:
1. Hubungan antara subkultur dan masyarakat luas. Warga tidak ter­
libat atau menjaga jarak dari masyarakat luas. Mereka tidak memiliki
serikat pekerja atau partai politik, pergi ke bank atau rumah sakit

58 Zakiyuddin Baidhawy
atau menikmati fasilitas kesenangan kota. Mereka sangat tidak per­
caya kepada lembaga-lembaga dominan dalam masyarakat.
2. Komunitas dan perkampungan kumuh. Komunitas ini di­tan­­dai
dengan miskinnya perumahan dan kebisingan serta minimalnya
struktur organisasi yang melampaui keluarga. Lembaga-lembaga ini
tumbuh utamanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.
Ekonomi komunitas kumuh biasanya bersifat melihat ke dalam
(inward looking). Ekonomi mereka ditandai dengan kebiasaan meng­
gadaikan barang-barang pribadi, kredit informal dan menggunakan
barang-barang bekas.
3. Sistem keluarga mereka bersifat bilateral, perkawinan yang tidak
stabil, keluarga matrifocal.
4. Sikap, nilai dan kepribadian. Mereka biasanya memiliki pe­rasa­an
fatalisme yang kuat, hilang harapan, tergantung dan inferior, ego
lemah yang bersandar pada belas kasihan orang lain.

Empat ciri subkultur di atas dibentuk dan mengalami transmisi


dari satu generasi ke generasi lainnya melalui sosialisasi. Teori budaya
ke­miskinan ini banyak disalahpahami dan disalahgunakan. Lewis me­
lihatnya sebagai suatu bentuk adaptasi ekstrim bahwa orang miskin
dipaksa untuk berada dalam lingkungan dan tempat tertentu. Orang
miskin menolak budaya dominan dan lembaga-lembaganya karena
mereka tidak mempergunakannya. Subkultur mereka sendiri menum­
buhkan keputusasaan dan protes. Teori ini banyak memberi pengaruh
dalam studi tentang kelas bawah. Myrdal (1962) menggunakan istilah
kelas bawah untuk mengidentifikasi orang Amerika yang berada di
bawah pasar kerja, pengangguran dan setengah pengangguran serta
terpinggirkan dari arus utama kehidupan sosial. Dalam beberapa tahun
terakhir kelas bawah menjadi wilayah penting kemanusiaan di Barat ter­
kait dengan kesejahteraan dan kriminalitas.
Ketiga, teori kemiskinan situasional. Teori ini berkeyakinan bahwa
orang miskin berperilaku berbeda karena mereka tidak memiliki sumber
daya dan kesempatan untuk meniru gaya hidup kelas menengah. Orang-
orang muda memiliki sedikit kesempatan untuk pergi ke perguruan
tinggi dan mereka banyak putus sekolah. Perempuan lebih memilih ke­
luarga matrifocal karena membolehkan mereka untuk mengklaim atas

Arti dan Fenomena Kemiskinan Global 59


anak-anak mereka. Teori ini me­ne­kankan pentingnya kondisi struktural
yang menghasilkan kemiskinan, namun teori ini juga cenderung fokus
pada respon individu terhadap situasi objektif kemiskinan. Teori ini
secara fundamental berbeda dengan teori budaya kemiskinan. Teori ini
tidak berasumsi tentang adanya subkultur yang menimbulkan koherensi
dan soliditas pada perilaku kaum miskin. Teori situasi­onal menyatakan
bahwa individu secara rasional mengikuti pola perilaku yang sesuai
dengan situasi objektif dalam kehidupan mereka. Orang miskin tidak
mengikuti nilai-nilai kelas menengah karena mereka tahu bahwa mereka
tidak dapat melakukannya. Jadi secara praktik, mereka menerima
penyimpangan besar dari aspirasi kelas menengah. Inilah yang dijelaskan
sebagai “rentang nilai” kelas bawah (Rodman, 1963; Della Fave, 1974).
Keempat, teori kemiskinan struktural. Teori ini yakin bahwa ke­
miskinan disebabkan oleh struktur tatanan sosio-ekonomi lebih luas.
Yaitu struktur makro masyarakat yang melahirkan kesenjangan dan
kemiskinan sebagai akibatnya. Struktur kapi­talisme global misalnya, me­
nimbulkan kesenjangan dan kemis­kin­an dalam skala luas di seluruh
dunia. Marxisme dengan berbagai variannya mempertahankan per­
spektif teori ini. Teori ketergantungan yang muncul di Amerika Latin,
secara khusus perhatian pada kemiskinan dunia ketiga. Teori marjinali­
sasi dari Amerika Latin memiliki tradisi yang kaya untuk mengeksplorasi
nasib deprivasi dan marjinalitas manusia. Ada pula teori lain yang
populer dalam beberapa tahun terakhir adalah eksklusi sosial (Friedman,
1996). Istilah eksklusi sosial digunakan juga oleh Rene Lenoir pada
1974. Menurut Renoir, eksklusi sosial merujuk kepada orang-orang
yang terpinggirkan dari sistem jaminan sosial berbasis pekerjaan. Ini
men­jadi istilah populer di Perancis pada 80-an untuk mengungkapkan
bentuk-bentuk kemiskinan baru yang berhubungan dengan perubahan
teknologi dan restrukturisasi ekonomi, seperti pengangguran, ghettoisasi,
hancurnya keluarga. Eksklusi sosial tidak menggantikan kemiskinan
sebagai konsep tetapi merujuk kepada proses disintegrasi sosial yang
lebih luas — semakin runtuhnya ikatan antara individu dan masyarakat.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi di Kopenhagen pada 1995, istilah ini
secara resmi digunakan. Penelitian oleh International Institute of Labour
Studies menemukan empat alasan untuk menggunakan istilah eksklusi
sosial (Clert,1999): istilah eksklusi sosial menye­diakan perluasan analisis

60 Zakiyuddin Baidhawy
tentang kemiskinan konvensional, termasuk hak-hak sipil dan politik; ia
menyediakan ruang ling­kup fokus pada situasi keterbelakangan sosial
dan mekanisme yang menyebabkannya; ia menekankan pada peran
aktor-aktor dalam eksklusi dan inklusi sosial; dan eksklusi sosial di­
pandang sebagai kekayaan dalam kerangka dan proses institusional yang
menyebabkan eksklusi.
Secara bertahap konsep ini diadopsi oleh agen-agen termasuk Bank
Dunia. Popularisasi konsep ini juga karena fakta bahwa para sosiolog
dan antropolog mulai bergabung dalam bidang studi tentang kemis­kinan.
Perubahan wacana ini memperluas arena studi tentang kemis­kinan
dalam beberapa perspektif utama. Perubahan wacana ini membawa
pada kebangkitan kembali tema kesenjangan di dalam dan antar bangsa-
bangsa, yang salah satunya disebabkan oleh globalisasi. Wilayah lain yang
menjadi perhatian adalah berhubungan dengan demokrasi-kebebasan
politik dan hak-hak warga negara. Konsep ini membawa pada perayaan
keragaman budaya dan keragaman nilai. Perspektif ini memberikan ke­
jelasan bahwa identitas-identitas kaum miskin atas dasar umur, jenis
kelamin, etnisitas, dan ketidakmampuan dikonstruk secara sosial. Ke­
lom­pok-kelompok tertentu di dalam masyarakat menjadi rentan karena
diskriminasi. Ini membawa pada studi tentang kemiskinan yang berubah
dari pendekatan berpusat pada barang-barang (goods-centred) kepada
pendekatan berpusat pada warga (people-centred). Pendekatan pertama
menekankan pada komoditas yang menghasilkan utilitas dan kesejah­
teraan lebih besar. Pendekatan kedua menekankan pada kemampuan
manusia dan kebebasan mereka untuk memilih. Perspektif eksklusi
makin memperoleh kejelasan dan kecanggihan teroritiknya. Gore (1995)
menyatakan bahwa proses eksklusi yang terjadi melalui lembaga-lem­
baga pasar, negara dan masyarakat sipil dapat dipahami dalam empat
determinan.
Pertama, transnasionalisasi ekonomi yang pesat, modernisasi masya­
rakat dan menurunnya peran negara. Kedua, perubahan dalam penawaran
dan distribusi aset ekonomi, politik, dan budaya dalam menghadapi
perubahan ekonomi yang tak dapat diprediksi. Ketiga, struktur sosial dan
politik melalui mana kekuasaan diuji dan hubungan-hubungan antara
kelompok-kelompok dan individu-in­dividu didefinisikan. Keempat, watak
negara dan perannya dalam proses alokasi dan akumulasi. Perspektif

Arti dan Fenomena Kemiskinan Global 61


ini dapat dipahami dengan baik dalam tiga paradigma — solidaritas,
spesialisasi dan monopoli. Solidaritas berasal dari filsafat republikan­
isme yang ditulis oleh Rousseau dan Durkheim yang menekankan pada
inter­grasi moral masyarakat dan batasan kultural serta kurangnya hal-
hal yang membawa pada eksklusi. Paradigma ini sangat dipengaruhi
oleh sosiologi, antropologi, dan cultural studies. Paradigma ini sangat
dominan di Perancis. Spesialisasi yang berakar dari liberalisme dan
filsafat Locke dan Madison menekankan pada kesalingkaitan wilayah-
wilayah masyarakat yang terspesialisasi dalam arti pertu­karan barang
dan jasa. Paradigma ini berkaitan dengan ilmu ekonomi neo-klasik,
teori-teori pluralisme politik dan sosiologi arus utama, khususnya teori
pilihan rasional/ publik. Paradigma ini sangat berpengaruh di Amerika.
Paradigma monopoli bersandar pada Weber, Marx, dan Marshal, serta
memandang tatanan sosial sebagai paksaan. Mekanisme kelas, status,
dan kekuasaan politik seperti dikemukakan oleh Weber cenderung untuk
menciptakan kesenjangan dan pembentukan kelompok-kelompok
mono­poli, yang mengutamakan kekuasaan dan keistimewaan mereka
me­lalui pengasingan sosial dan segregasi pasar tenaga kerja. Pengasingan
sosial ini dapat dibalik melalui perluasan demokrasi sosial dan hak-hak
warga negara. Paradigma ini dominan di Inggris.
Kemajuan pendekatan eksklusi sosial sangat jelas di sini. Eksklusi
sosial memiliki banyak kelebihan dalam beberapa hal lain. Ia mem­
beri­kan pandangan lebih luas tentang deprivasi yang fokus pada me­
kanisme sosial, lembaga-lembaga dan aktor-aktor strategis yang menye­
babkannya. Jadi ia bisa digunakan untuk menghubungkan proses makro
dan mikro. Rodgers (1996) menyatakan bahwa terma eksklusi sosial
menawarkan pandangan multidimensi dan multidisiplin tentang ke­
miskinan. Ia membawa kita untuk melihat kemiskinan sebagai sebuah
proses. Dampak dari eksklusi dapat dilihat dalam berbagai tingkatan.
Ia dapat menyoroti relasi antara struktur dan agensi. Jadi, perspektif
eksklusi sosial dapat diterapkan di wilayah Selatan karena analisis yang
koheren tentang kemiskinan dan memberi cetak biru yang konsisten
me­ngenai ukuran-ukuran kebijakan yang anti kemiskinan. Lebih dari itu,
ia membuka ruang lingkup untuk analisis tentang ke­mis­kin­an yang lebih
relasional dan komprehensif. Dapat dikata­kan bahwa perspektif ini
mendorong perkembangan analisis tentang kemiskinan yang membumi

62 Zakiyuddin Baidhawy
secara sosiologis. Ia mem­buat mungkin upaya melihat sebab-sebab,
proses-proses, dan akibat-akibat kemiskinan sekaligus bagaimana wacana
tentang kemiskinan dibangun dan masyarakat miskin bereaksi dalam
berbagai cara terhadap situasi yang ada dalam kehidupan mereka.
Sosiologi kemiskinan dengan fokus pada mekanisme kelembagaan
kesenjangan menyediakan analisis dan aspek wacana kemiskinan materi
lebih mendalam, cara bagaimana kaum miskin dikonstruk sebagai
kategori sosial dan bagaimana stigma dikaitkan dengannya. Ia dapat
saling menghubungkan secara kuat antara struktur, wacana dan agensi
dan mempertunjukkan bahwa kemiskinan adalah suatu konstruksi sosial
beriringan dengan tindak tandingannya. Dalam beberapa tahun ter­
akhir kita mulai mendengar suara-suara kaum miskin. Bahkan kita perlu
untuk mengetahui lebih kauh tentang bagaimana nasib historis masya­
rakat tertindas diciptakan secara material dan simbolik dan bagai­mana
mereka hidup bersama dan berjuang menentang nasib yang di­bangun
secara sosial itu. Ini menuntut perkembangan suatu perspektif tentang
kemiskinan yang lebih layak.

B. PERSPEKTIF ISLAM TENTANG KEMISKINAN


KONTEMPORER
Kemiskinan dan pembangunan adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan dalam konteks nasional dan global. Pembangunan yang di­
selenggarakan oleh negara-negara pada hakikatnya bertuju­ an untuk
memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Sebagai­
mana Islam meyakini adanya tugas mulia “me­makmurkan bumi” (falah,
hayat tayyibah) yang diemban setiap individu. Karenanya penting untuk
memahami kesejahteraan dan kemakmuran itu. Apa yang dimaksud
dengan kehidupan manusia yang sejahtera itu? Apa yang perlu terlibat
dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umat manusia itu? Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas kita perlu mendefinisikan prio­
ritas-prioritas fundamental yang membawa kepada pemikiran tentang
pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial. Lebih dari itu, jawab­
an atas pertanyaan tersebut juga penting guna mengembangkan suatu
konsepsi tentang kemiskinan. Namun demikian, masih ada ketidak­
sepakatan tentang bagaimana mendefinisikan konsep-konsep seperti:

Arti dan Fenomena Kemiskinan Global 63


apakah kehidupan sejahtera itu bermakna sekadar terpenuhinya ke­
butuhan-kebutuhan materi seperti asupan nutrisi, atau haruskan ia
mencakup konteks sosial dan politik yang lebih luas? Namun begitu,
problem-problem semacam ini, yakni kemiskinan — pada skala global,
nasional maupun komunitas — kini sedang menjadi perhatian publik
internasional dan menjadi masalah multidimensi. Perspektif-perspektif
baru tentang kemiskin­an menentang perhatian yang sekadar tertuju
kepada pendapatan dan konsumsi sebagai yang mendefinisikan kondisi
masyarakat miskin. Kemiskinan adalah seperangkat deprivasi yang de­
mikian kompleks.

1. Kemiskinan Karitas
Kemiskinan karitas bukan semata menunjukkan adanya ke­langka­
an dalam hal pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar (Basic Needs). Ke­
butuhan fisiologis dan kebutuhan dasar (basic needs) sangat penting untuk
membuat manusia tetap bertahan hidup (survival). Kebutuhan-kebutuhan
yang sifatnya sangat mendasar ini mencakup sandang, pangan dan
papan (QS. Taha 20:118-119; Al-Nisa’ 4:5; dan al-Ma’idah 5:89). Istilah
miskin karitas ini dapat diperluas hingga mencakup kelangkaan dalam
hal pendapatan pribadi, aset fisik (physical capital, termasuk tanah dan
kepe­milikan materi, kesehatan), dan aset lingkungan seperti pepohonan,
hutan, air, dan produk-produk non kayu-kayuan.
Kemiskinan sebagai kelangkaan pendapatan biasanya diukur dengan
uang. Bank Dunia pada 1993 misalnya, mengukur ke­mis­kin­an dengan
“satu dolar per hari per orang”. Ini disebut sebagai garis kemiskinan.
Caranya dengan memperkirakan jumlah minimum kebutuhan uang
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar agar manusia dapat ber­
tahan hidup. Biasanya cara mengukur pendapatan ini dilihat dari kon­
sumsi, dan kemiskinan dimaknai sebagai kelangkaan konsumsi. Cara ini
sangat populer karena kesederhaannya. Meskipun demikian perlu dicatat
bahwa setiap masyarakat memiliki pandangan sendiri tentang apa yang
menyusun standar hidup minimum dan perbedaan dalam asupan kalori.
Sejumlah akademisi memiliki prasyarat kuat tentang peng­gunaan ukuran
ini (Hulme dan McKay, 2005).
Secara konseptual pendekatan pengukuran kemiskinan ber­dasar­
kan tingkat pendapatan ini diinspirasi oleh kebutuhan-kebutuhan

64 Zakiyuddin Baidhawy
dasar yang menjadi pangkal pemahaman kemiskinan sebagaimana di­
kemukakan di atas. Setiap manusia membutuhkan tingkat kebutuhan
fisik tertentu untuk tetap hidup. Kekurangan kebutuhan ini sangat erat
kaitannya dengan tingkat pendapatan, yang dapat bertindak sebagai
ukuran yang paling mendekati.
Suatu agensi yang mengambil pemahaman kemiskinan deng­an
ukuran moneter semacam ini biasanya sangat yakin bahwa pertumbuhan
ekonomi — pada tingkat komunitas atau nasional — merupakan tujuan
intervensi pembangunan. Secara programatik, ini berarti menyediakan
kesempatan-kesempatan bagi individu-individu untuk meningkatkan pen­
dapatan mereka melalui bantuan keuangan langsung, atau lebih tipikal
program keuangan mikro, dan pelatihan-pelatihan kerja, dan seterusnya.
Keputusan untuk melakukan intervensi dapat dibuat secara mudah
dengan mengkombinasikan tingkat-tingkat kemiskinan pendapatan
(mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan) di dalam sebuah negara,
dan disaring melalui data survei rumah tangga yang membagi penda­
patan rata-rata ke dalam gambaran yang berskala regional. Intervensi
dipilih atas dasar wilayah-wilayah yang menderita kemiskinan tertinggi.
Ini murni pen­dekatan distributif, tentu saja dalam kenyataanya sama
saja dengan menekankan perhatian pada apakah suatu agensi memiliki
keterampilan, reputasi, dan kepercayaan untuk mampu meraih masya­
rakat miskin tersebut.
Memahami kemiskinan karitas sebagai kemiskinan aset ber­ arti
meng­akui bahwa masyarakat miskin memiliki bermacam-macam aset
baik fisik dan lingkungan. Aset-aset ini dapat bersifat potensial, material,
lingkungan, sehingga individu, rumah tangga dan komunitas dapat
mengambilnya pada saat dibutuhkan maupun saat krisis.
Aset fisik di sini termasuk tanah dan kepemilikan material; aset
lingkungan termasuk pepohonan, hutan, air, dan produk-produk non-
kayu-kayuan. Kelangkaan aset yang dibutuhkan untuk hidup sebagai
manusia seutuhnya ini merupakan indikasi bahwa seorang individu di­
sebut miskin. Namun demikian, perlu ditekankan di sini bahwa pen­
dekatan aset terhadap kemiskinan lebih bermanfaat sebagai sarana untuk
memahami jenis masalah yang dihadapi oleh masyarakat miskin.
Di samping itu, pendekatan aset ini juga merupakan cara sederhana
yang mudah diukur. Biasanya cara ini digunakan untuk memahami

Arti dan Fenomena Kemiskinan Global 65


tantangan-tantangan dan strategi-strategi yang dimiliki masyarakat
miskin, sehingga membantu untuk menemukan intervensi apa yang perlu
dilakukan atas mereka. Dengan kata lain, inilah cara untuk menentu­
kan tipe intervensi khusus komunitas, daripada untuk mengidentifikasi
masya­rakat miskin dalam skala makro.
Tidak ada cara standar untuk mengukur aset orang miskin. Apa
yang menyusun aset, bagaimana mengukurnya, dan bagaimana mem­
ban­dingkannya satu negara dengan negara lain merupakan masalah
yang problematis. Namun demikian, aset fisik — seperti materi-materi
pertanian, kepemilikan rumah tangga, perlengkapan yang menghasilkan
pendapatan — sering diukur dalam survey-survey rumah tangga dan
dapat dipertanggungjawabkan hasilnya. Cara ini membutuhkan pene­
litian partisipatoris dan komunitas secara mendalam.

2. Kemiskinan Kapasitas
Kemiskinan kapasitas adalah gambaran tentang ketidakpastian,
ketiadaan harapan dan masa depan (QS. al-Anfal 8:26) yang ber­kaitan
dengan human capital meliputi pendidikan, life skill, training, kekuatan
bekerja; dan social capital mencakup jejaring sosial seperti kekerabatan, ke­
bertetangaan dan asosiasi/organisasi.
Kemiskinan kapasitas, yang dalam bahasa Amartya Sen disebut
kemiskinan kapabilitas, didasarkan pada satu pandangan bahwa kemis­
kinan tidak ditentukan oleh kurang atau rendahnya pendapatan uang,
tetapi lebih disebabkan oleh gagalnya individu untuk merealisasikan
potensi manusia atau membangun kehidupan yang bermartabat, khusus­
nya disebabkan kurangnya kesehatan dan pendidikan (Sen, 1999). Apa
yang dikemukakan Sen kurang komprehensif karena ia hanya menyebut
masalah kesehatan dan pendidikan untuk mendefinisikan kemiskinan.
Kemiskinan kapasitas melampaui ukuran pendapatan dan kon­
sumsi. Kemiskinan harus diukur dengan mempergunakan in­dikator-indi­
kator kebebasan untuk menjalani hidup secara ber­martabat. Dari segi
human capital, kita bisa menyaksikan bagaimana Badan PBB urusan Pem­­
bangunan (UNDP) mengukur­nya dengan Indeks Pembangunan Sumber
Daya Manusia (HDI) sejak 1990. UNDP mendefinisikan pem­bangunan
sumber daya manusia sebagai suatu proses memperluas pilihan-pilihan

66 Zakiyuddin Baidhawy
bagi warga negara. Kemiskinan kapasitas diukur melalui kombinasi
antara pendapatan dan non-pendapatan; melalui GDP riil per orang,
kemampuan baca tulis orang dewasa, angka harapan hidup. Karena
itu, tidak sebagaimana pendapatan, kapasitas adalah tujuan, dan tidak
tercermin dalam input, namun hasil kemanusiaan – dalam bentuk kualitas
hidup warga negara. Erat hubungannya dengan HDI, muncul Indeks
Kemiskinan Manusia (HPI) yang mengukur kemiskinan berdasarkan be­
berapa hal berikut: kemampuan untuk bertahan hidup; kemampuan
untuk berpengetahuan; dan memiliki akses kepada pendapatan pribadi
sekaligus kesejahteraan publik.
Dengan mengemukakan pendekatan ini dalam masalah kemis­
kinan, artinya kita melihat bahwa cara mengentaskan ke­ miskinan
adalah dengan membangun kapasitas manusia dan memperluas kesem­
patan bagi mereka. Model-model pembangunan sumber daya manusia
bersandar pada strategi-strategi utama untuk mengeliminasi kemis­
kinan — khususnya dalam bidang pendidikan dasar untuk semua, pe­
ningkatan keterampilan hidup, pelatihan kerja, kredit bagi kaum miskin,
pertumbuhan yang adil, dan pemberdayaan kaum perempuan.
Di samping masalah human capital yang lebih berorientasi ke dalam
(individual), pendekatan kapasitas juga memandang penting social capital.
Modal sosial di sini adalah seberapa besar kapasitas individu membangun
jejaring sosial (social networks) dengan individu dan komunitas yang
lebih besar, seperti kekerabatan, kebertetangaan dan asosiasi/organi­
sasi. Jejaring sosial ini penting karena memberi banyak peluang dan
kesempatan bagi seseorang untuk bukan semata dapat bertahan hidup,
bahkan lebih dari itu sustainable secara layak. Kemiskinan, dengan de­
mikian, bisa dimaknai sebagai kurangnya kemampuan individu untuk
merajut jejaring sosial yang bermanfaat bagi aktualisasi dan pengem­
bangan diri.
Pendekatan kapasitas mencakup dua unsur dasar dalam kesejah­
teraan hidup manusia (human and social capital) dan masih meninggalkan
beberapa masalah penting lainnya dalam kehidupan ini. Yakni tidak
memasukkan unsur-unsur kebebasan politik, masalah struktural, ke­
amanan, dan transparansi. Di sinilah kita perlu memperluas kemiskinan
dalam pengertian “otoritas”.

Arti dan Fenomena Kemiskinan Global 67


3. Kemiskinan Otoritas
Kemiskinan otoritas adalah sebentuk ketidakberdayaan akibat
marjinalisasi sosial, marjinalisasi partisipasi, marjinalisasi hak-hak asasi,
dan marjinalisasi perlindungan hukum.

a. Marjinalisasi Sosial
Marjinalisasi sosial adalah suatu pendekatan yang mirip dengan
eksklusi sosial, yang menjelaskan proses marjinalisasi dan deprivasi kaum
miskin yang hidup di pinggiran-pinggiran kota. Marjinalisasi ini meru­
pakan suatu proses melalui mana individu-individu atau kelompok-
kelompok dipinggirkan, dikucilkan dari partisipasi penuh dalam ber­
bagai aktivitas masyarakat di mana mereka hidup. Kondisi semacam ini
mencerminkan sebentuk de­privasi — miskin kuasa — sebagai suatu
bentuk kemiskinan yang juga hidup di tengah-tengah masyarakat kon­
tem­porer dan jauh lebih rumit mengurainya.
Marjinalisasi sosial adalah suatu gambaran “kebungkaman” dan
“ketidakberdayaan” yang membawa pada sedikitnya atau tiada­nya ke­
mungkinan bagi orang miskin untuk memperoleh hak-hak mereka
(entitlements), mengorganisir diri mereka sendiri, menciptakan tuntutan
dan memperoleh respon terbuka, menerima dukungan untuk mengem­
bangkan inisiatif mereka sendiri (Laderchi, Saith, Stewart, 2003). Pe­
minggiran sosial semacam ini menciptakan pengalaman diskriminasi
dan stigma bagi kaum miskin, dan memaksa mereka terperangkap dalam
aktivitas-aktivitas perekonomian dan relasi-relasi sosial yang menge­
kalkan kemiskinan mereka.
Marjinalisasi sosial merupakan sesuatu yang dinamis, yang menje­
laskan kemiskinan senyatanya, bukan menerangkan tentang banyak orang
miskin di sana, dan bagaimana marjinalisasi itu berkaitan dengan situasi
sosial, ekonomi dan politik lebih luas di kawasan itu. Marjinalisasi sosial
berhubungan dengan proses yang benar-benar menciptakan kemiskinan.
Memahami kemiskinan sebagai masalah marjinalisasi sosial ber­arti
bekerja untuk merestrukturisasi relasi-relasi sosial. Ini artinya meng­
upayakan pemberdayaan secara serius; menghadapi proses politik yang
sulit dalam menentang lapisan-lapisan diskriminasi dan memerangkap
warga dalam kemiskinan. Memahami kemiskinan sebagai suatu masalah
eksklusi sosial juga berarti perlunya menekankan intervensi dalam

68 Zakiyuddin Baidhawy
wilayah-wilayah pedesaan yang memiliki potensi rendah, kawasan-
kawasan yang secara politik terpinggirkan dan wilayah-wilayah yang tidak
terhubungan secara baik dengan pasar, pelabuhan atau pusat-pusat
kota, dan terabaikan. Di wilayah-wilayah itu pula terdapat konsentrasi
masyarakat miskin kronis, perumahan kumuh di kota-kota kecil maupun
kota-kota besar sekaligus jutaan orang gelandangan yang tidur di jalan-
jalan, stasiun, taman, dan tanah-tanah terlantar.

b. Marjinalisasi Partisipasi
Kemiskinan juga disebabkan oleh marjinalisasi partisipasi (ter­
masuk miskin jejaring di tingkat keluarga, tetangga, dan asosiasi). Kaum
miskin biasanya merana karena mereka tidak memiliki akses untuk
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan-keputusan dan kebijakan-
kebijakan yang penting bagi mereka sendiri. Banyak pemerintahan mau­
pun swasta dan lembaga swadaya masyarakat hendak memberikan
bantuan kepada mereka, namun seringkali lupa mempertimbangkan
partisipasi kaum miskin yang ingin mereka bantu. Maka sangat urgen
untuk mempertimbangkan penilaian atas kemiskinan partisipasi karena
masalah ini terkait dengan upaya melihat secara dekat sebab-sebab men­
dasar dari kemiskinan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan atas dasar
apa yang mereka persepsi. Melalui pertimbangkan partisipasi ini kita bisa
memperoleh gambaran nyata tentang pengalaman hidup orang-orang
miskin yang menyediakan suatu peluang untuk menangkap dimensi-
dimensi lain dari kemiskinan. Pertimbangan atas kemiskin­an partisipasi
ini memberikan bukti lebih nyata tentang banyak bentuk kemiskinan
dan deprivasi yang mereka alami; yang sebagian di antaranya tidak
dapat dipahami melalui pemahaman lain tentang kemiskinan dan se­
bagian lainnya tidak mungkin diukur secara praktis. Dimensi-dimensi
kemiskinan memasukkan kemiskinan pendapatan dan kekurangan
material; bahkan juga kemiskinan waktu, seperti hidup dan bekerja di
tempat yang buruk, relasi sosial, relasi gender yang buruk; aspek-aspek
keamanan, kekhawatiran dan ketakutan; dan juga ketidakberdayaan.
Berbagai fakta menunjukkan bahwa banyak faktor bergabung
untuk menjadikan kemiskinan sebagai fenomena yang kompleks, multi­
dimensional. Bagi kaum miskin sendiri, kemiskinan biasanya di­maknai
sebagai kekurangan apa yang menjadi keniscayaan bagi kesejahteraan

Arti dan Fenomena Kemiskinan Global 69


material mereka — khususnya makanan dan perumahan, tanah, dan
aset-aset lain. Namun lebih dari itu, kaum miskin juga memaknai ke­
miskinan dari sisi aspek psiko­logis, yaitu suatu kondisi di mana mereka
rentan terhadap kekerasan, penghinaan, dan perlakuan-perlakuan tidak
manusiawi. Ketidakmampuan mereka untuk berpartisipasi secara penuh
da­lam kehidupan komunitas membawa kepada hancurnya relasi-relasi
sosial. Di samping itu, kaum miskin lebih fokus pada aset daripada pen­
dapatan dan menghubungkan kurangnya aset fisik, kemanusiaan, sosial,
dan lingkungan dengan kerentanan mereka.
Dengan memerhatikan aspek partisipasi dalam memandang ke­
miskinan, kita akan memperkenankan kaum miskin untuk meng­iden­
tifikasi prioritas-prioritas mereka sendiri. Membuka partisipasi buat
mereka berarti kesiapan untuk “berbagi sejarah dan budaya bersama”
sebagai alat untuk membantu menstabilkan komunitas dan melepaskan
tekanan-tekanan psikologis kemiskinan.
Pertimbangan partisipasi membutuhkan analisis antropologis yang
melibatkan penilaian atas kelas-kelas masyarakat dalam mendefinisi­
kan kemiskinan dan berupaya untuk membuat skala pengukuran yang
secara lokal menentukan dan mencerminkan konteks lokal. Memang,
keputusan-keputusan yang berhubungan dengan upaya-upaya intervensi
untuk mengentaskan kemiskinan dengan melibatkan partisipasi kaum
miskin akan tampak jauh lebih subjektif karena tidak ada seperangkat
definisi atau standar pengukuran, namun ini perlu agar orang-orang
miskin merasa terlibat dan dipertimbangkan suara mereka dalam pem­
bangunan.

c. Marjinalisasi Hak-hak Asasi Manusia


Kemiskinan otoritas juga berkaitan dengan marjinalisasi hak-hak
asasi manusia: peminggiran/perampasan hak-hak atas hidup, berpikir
(pendidikan, informasi), reproduksi sehat, pemenuhan kebutuhan dasar
dan perlindungan kepemilikan.
Kemiskinan sebagai sebuah bentuk pelanggaran atas hak-hak asasi
manusia sering dipahami bukan sebagai sebentuk kemiskinan per se,
bahkan sebagai suatu strategi melalui mana penghapusan kemiskinan
dapat dilandaskan pada hukum internasional. Karena itu penting untuk
keterlibatan badan-badan PBB dan organisasi-organisasi swadaya inter­

70 Zakiyuddin Baidhawy
nasional lainnya untuk memformulasi strategi berdasarkan pada hak-
hak asasi manusia. Inilah yang disebut sebagai memahami kemiskinan
berbasis pada pemenuhan hak-hak asasi manusia.
Menurut sudut pandang kemiskinan hak-hak asasi, seseorang yang
sejumlah hak-haknya tidak terpenuhi, seperti hak atas makanan, kese­
hatan, pendidikan, informasi, adalah orang miskin. Jadi, kemiskinan lebih
dari sekadar kurangnya sumber daya — ia meru­pakan manifestasi pe­
minggiran dan ketidakberdayaan. Pada hakikatnya, merealisasikan hak-
hak asasi manusia tidak berbeda dengan menghapuskan kemiskinan.
Meski pemenuhan hak-hak asasi manusia bukan satu-satunya obat
mujarab bagi masalah kemiskinan, namun ketika hak-hak asasi tersebut
dijamin oleh hukum, orang-orang miskin (dan agensi-agensinya) dapat
menggunakan sarana-sarana hukum untuk mengamankan hak-hak
mereka atas perumahan, pekerjaan, upah yang adil, kebebasan ber­
kumpul, layanan kesehatan publik, pendidikan, tanpa diskriminasi atas
dasar etnik, warna kulit, agama, kelas, gender, perlakuan adil di depan
pengadilan, hak-hak politik, kebebasan berekspresi, kebebasan ber­
agama, dan sebagainya. Nilainya terletak pada ketersediaan kerangka
hukum bagi strategi pengurangan kemiskinan. Sejumlah agensi pem­
bangunan internasional telah melaksanakan pendekatan ini, di mana
kemiskinan dijelaskan dalam kerangka “kewajiban masyarakat” untuk me­
respons hak-hak individu yang tidak bisa diabaikan.
Dengan demikian, secara mendasar kemiskinan sebagai tidak ter­
penuhinya hak-hak asasi mengklaim bahwa orang-orang yang tidak
miskin memiliki kewajiban untuk memfasilitasi terpenuhinya hak-hak
asasi dan kebebasan fundamental kaum miskin. Beberapa ciri dari
pandangan tentang pentingnya pemenuhan hak-hak asasi kaum miskin
sebagai berikut: bekerja menuju hasil akhir dan tujuan proses; mengakui
bahwa hak-hak selalu mengimplikasikan kewajiban negara; mengakui
bahwa hak-hak hanya dapat diwujud­kan dengan pemberdayaan; me­
mandang karitas sebagai motivasi yang belum cukup untuk meme­
nuhi kebutuhan-kebutuhan; mempertimbangkan sebab-sebab struktural
se­kaligus manifestasi-manifestasi dan sebab-sebab langsung dari ke­
miskinan; dan fokus pada konteks sosial, ekonomi, kultural, sipil dan
politik, dan berorientasi kebijakan (After Collins, Pearson & Delany,
2002).

Arti dan Fenomena Kemiskinan Global 71


Oleh karena itu, upaya mengentaskan kemiskinan diperlukan in­
tervensi bantuan yang bertujuan untuk menyediakan jaring pengaman
sosial dan layanan-layanan pubik tradisional lainnya untuk memenuhi
hak-hak atas standar kesejahteraan, makanan, perumahan, kesehatan,
pendidikan dan atau pengaman sosial yang layak.

d. Marjinalisasi Perlindungan Hukum


Kemiskinan otoritas juga tergambar dari lemah atau kurangnya
perlindungan hukum kepada orang-orang miskin. Mereka menjadi ke­
lompok masyarakat yang paling rentan terhadap perlakuan tidak adil
dan sewenang-wenang. Sebagai misal, komunitas tenaga kerja Indonesia
di Malaysia, Singapura, Hongkong, Arab Saudi, sekadar menyebut
beberapa contoh. Mereka banyak mengalami perlakuan buruk dan peng­
aniayaan di tempat-tempat mereka mencari naf­kah. Ada banyak tenaga
kerja Indonesia ilegal di negeri jiran. Di Malaysia saja terdapat 800.000
TKI ilegal pada 2007. Biasanya mereka dikirim melalui agen perorangan
dan PJTKI liar yang lebih mengutamakan keuntungan mereka sendiri
daripada memikirkan kesejahteraan dan keamanan para pekerja migran
itu. Akibatnya TKI yang dikirim hanya berbekal paspor dan visa kun­
jungan. Ini tentu saja sudah merupakan bentuk pelanggaran hukum
yang dilakukan secara sistematis, karena visa kunjungan tidak dapat di­
pergunakan untuk mencari pekerjaan. Dengan bekal seadanya itu, wajar
jika mereka menjadi objek bulan-bulanan para cukong, pengusaha,
aparat kepolisian dan hukum yang bejat. Keadaan ini juga dibarengi
dengan kurangnya upaya penyadaran, pengawasan, dan penegakkan
hukum dari berbagai instansi terkait terhadap mereka yang melakukan
pelanggaran selama rekrutmen hingga pengiriman tenaga kerja. Mereka
juga tidak memahami dengan baik hak dan kewajibannya sebagai buruh
migran. Bila terjadi masalah terkait dengan keadaan mereka di negeri
jiran itu, mereka seringkali tidak memperoleh bantuan hukum secara
me­madai dari pihak-pihak yang berwenang memberikan perlindungan
hukum. Artinya, secara umum para tenaga kerja migran itu adalah ke­
lompok yang diabaikan oleh perlindungan hukum.
Para pedagang di pasar-pasar tradisional, para pedagang kaki
lima dan sektor informal adalah kelompok-kelompok yang menderita
kurang­ nya perlindungan hukum. Pertumbuhan pesat pasar-pasar

72 Zakiyuddin Baidhawy
modern, seperti swalayan, mal, hipermarket, seringkali mematikan
usaha kelompok-kelompok pedagang kecil di pasar-pasar rakyat. Ini
karena kemunculan pasar-pasar modern itu sama sekali tidak memper­
timbangkan jarak dan hak-hak rakyat untuk berusaha secara layak.
Bahkan cukup banyak contoh pasar-pasar tradisional dan rakyat digusur
dan digantikan oleh berdirinya pasar-pasar modern yang megah.
Para pedagang kaki lima sering menjadi objek penggusuran atas
nama ketertiban dan keindahan. Mereka yang tidak per­nah menuntut
pemerintah untuk memberikan lapangan ker­ja yang nyaman, merasakan
penindasan dan hidup selalu da­lam ketidakpastian. Para pedagang kaki
lima ini tumbuh di tempat-tempat tertentu yang sebenarnya tidak sesuai
dengan per­untukannya, namun “dilegitimasi” oleh aparat negara dengan
kompensasi tertentu. Pemerintah daerah pun mengambil manfaat dari
mereka dengan menarik pajak retibusi setiap hari. Namun pada saat
yang sama, mereka tidak memperoleh kepastian hukum dari aparat dan
negara. Jika penggusuran terjadi, mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
Jangankan ganti rugi, alternatif pun seringkali tidak ditawarkan kepada
mereka. Aset para pedagang kaki lima dan sektor informal ini tidak pernah
memperoleh jaminan hukum. Tempat mereka berdagang tidak pernah
dilegitimasi, sehingga mereka tidak memiliki agunan apa pun yang dapat
dijadikan sarana untuk mengakses sekadar kredit mikro sekalipun.
Karenanya wajar jika mereka tidak pernah beranjak dari kemiskinan
mereka, bukan mereka tidak punya pendidikan dan ketrampilan hidup,
namun lebih disebabkan tidak adanya jaminan dan perlindungan hukum
atas usaha mereka dan tiadanya bantuan modal untuk mengembangkan
kegiatan perekonomian. Mereka memang secara sistematis diperangkap
dalam jerat kemiskinan.

C. TIGA DIMENSI KEMISKINAN


Di antara bentuk-bentuk dan fenomena kemiskinan kontem­porer
(the contemporary mustadh`afin) tersebut di muka, kita masih bisa meng­
kategorisasikannya ke dalam tiga dimensi kemiskinan (www.islamic-
relief.com, 2008). Pertama, dimensi waktu. Dari dimensi waktu, kemis­
kinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan kronis dan transisional.
Yang pertama adalah kemiskinan yang menahun dan dalam jangka

Arti dan Fenomena Kemiskinan Global 73


waktu lama; yang terakhir adalah kemiskinan yang bersifat sementara
karena orang miskin memiliki kemungkinan besar pada satu waktu ter­
tentu ia dapat memperbaiki posisi mereka. Berhubungan dengan ke­
miskinan transisional ini, kebijakan harus lebih difokuskan kepada
jejaring pengaman sosial yang membantu mereka tidak jatuh ke dalam
kemiskinan kronis, seperti pinjaman terbatas untuk pengangguran, kredit
mikro dan program-program pelatihan kerja. Berkait dengan kemis­kinan
kronis, kebijakan-kebijakan holistik bisa diarahkan untuk meredistribusi
aset, memperbaiki infrastruktur fisik dasar, mempertahankan tingkat ke­
sehatan, dan berdasarkan apa yang dibutuhkan kaum miskin.
Kedua, dimensi kerentanan. Dari dimensi ini, kita bisa membedakan
kemiskinan aktual dan potensial. Semua yang dibahas di muka merupakan
bentuk kemiskinan aktual. Ada sebagian orang yang sesungguhnya tidak
berada dalam kemiskinan namun rentan terhadap kemiskinan. Dari sudut
pandang ini, kesejahteraan didefinisikan sebagai “kemungkinan atau
risiko saat ini yang dapat menjatuhkan seseorang dalam kemiskinan pada
masa yang akan datang”. Kerentanan atas kemiskinan ini bukan hanya
merupakan masalah penting terkait dengan program pengentasan ke­
miskinan, bahkan juga dipandang sebagai dimensi kunci kesejahteraan
yang patut dipertimbangkan, karena ia berpengaruh pada perilaku indi­
vidu (dalam masalah investasi, pola produksi, dan strategi untuk meng­
hadapinya) dan persepsi mereka terhadap situasi mereka sendiri.
Ketiga, dimensi posisi. Dari dimensi ini kemiskinan dibedakan men­
jadi kemiskinan relatif dan absolut. Dalam kerangka pem­bangunan,
kemiskinan absolut dipahami sebagai orang-orang yang hidup di bawah
tingkat minimum (baik kebutuhan materi, pengetahuan, atau apapun).
Sebagian berpendapat bahwa posisi relatif individu atau rumah tangga
dalam masyarakat juga merupa­kan aspek penting dalam kesejahtera­
an. Di samping itu, seluruh tingkat kesenjangan dalam sebuah negara,
kawasan, atau kelompok populasi, baik dalam masalah keuangan dan non-
keuangan, dalam dirinya sendiri juga indikator penting tingkat kesejah­
teraan dalam kelompok itu.
Dengan demikian jelas banyak unsur yang saling tumpang tindih
untuk memahami kemiskinan. Ini pula yang menjadikan kemiskinan se­
bagai isu yang kompleks. Mereka yang secara sosial marjinal akan cenderung
memiliki sedikit peluang untuk mewujudkan kapasitas mereka, sekaligus

74 Zakiyuddin Baidhawy
memiliki pendapatan yang rendah. Juga penting dicatat bahwa banyak
definisi yang telah dijelaskan di muka secara konseptual menarik dan
menyediakan sudut pandang yang berguna untuk memahami dinamika
kemiskin­an. Namun semua itu juga seringkali membuat sulit untuk meng­
ukur yang aktual dalam satu cara, dan karenanya tidak dapat digunakan
untuk membuat hanya satu keputusan intervensi yang bermakna. Di
samping itu, bukanlah tugas suatu agensi untuk mengidentifikasi satu
bentuk kemiskinan sembari mengabaikan unsur-unsur lainnya. Misalnya,
program keuangan mikro dapat menumbuhkan pendapatan dan menye­
diakan keuntungan melalui pelatihan, sumber daya, kepercayaan, dan
tuntutan pelibatan dalam kegiatan perekonomian. Oleh karena itu,
patut diakui bahwa tidak kesepakatan di sini, yang ada hanyalah banyak
definisi. Namun demikian, ada satu persetujuan luas bahwa memahami
ke­miskinan hanya sekadar kurangnya pendapatan adalah definisi yang
menye­derhanakan. Maka, kemiskinan harus dipandang sebagai feno­
mena multidimensi, yang sebaiknya dipahami dalam pengertian hilang­
nya kemampuan, yang meliputi bukan hanya kemampuan material (yang
biasanya diukur dengan pendapatan dan konsumsi), bahkan juga bentuk-
bentuk lain ketidakmampuan, seperti pengangguran, sakit, kurang pendi­
dikan, kerentanan, ketidakberdayaan, dan eksklusi sosial.

D. MUSTADH`AFIN KONTEMPORER: BUKAN SEKADAR


PENERIMA ZAKAT
Kemiskinan dan ketertindasan selalu ada dan menjadi bagian dari
problem yang tidak pernah usai dibahas dan mencoba dipecahkan oleh
banyak pakar. Bahasan ini akan melihat lebih jauh bagaimana Islam
memahami masalah ini. Islam memiliki pandangan khas tentang ke­
miskinan. Islam sering menyebut istilah kemiskinan dan ketertindasan
dengan dua payung kata kunci, yakni dhuafa atau mustadh`afin. Yang per­
tama lebih merujuk kepada “orang yang lemah” dalam arti bawaan sejak
lahir atau karena musibah dan kecelakaan (QS. al-Tawbah 9:91), yang ter­
akhir merujuk kepada “orang-orang yang dilemahkan/ditindas” oleh
pihak lain yang lebih berkuasa dan kuat (QS. al-Anfal 8:26).
Dalam konteks kontemporer, pemahaman tentang kemiskinan dan
ketertindasan lebih banyak berkaitan dengan problem otoritas dan

Arti dan Fenomena Kemiskinan Global 75


struktural. Oleh karena itu, penyebutan kemiskinan dan ketertindas­
an lebih tepat menggunakan ungkapan “mustadh`afin kontemporer”.
Karakteristik kaum mustadh`afin antara lain: Pertama, mereka adalah
individu dan atau kelompok sosial yang berada dalam posisi “minoritas”
(qalil) baik secara kuantitatif dan atau kualitatif. Kedua, mereka merupakan
individu dan atau kelompok sosial yang menderita kerentanan terhadap
penindasan terstruktur baik oleh kebijakan politik, ekonomi dan sosial
(istidh`af). Ketiga, mereka adalah individu dan atau kelompok sosial yang
belum terbebas dari rasa takut (khawf) dan karenanya juga tidak memiliki
keberanian untuk melakukan perlawanan terhadap penindasnya.
Dalam kenyataannya kini, kehadiran orang-orang miskin dan ter­
tindas (termiskinkan) seperti gelandangan, pengangguran, dan kaum
marjinal lainnya di tengah-tengah gelombang globalisasi tidak hanya
menunjukkan krisis politik dan ekonomi, namun juga krisis spiritual.
Dalam sebuah masyarakat yang terobsesi dengan kekayaan, kekuasaan,
dan imperatif kesuksesan material, kaum mustadh`afin telah terstigma
sebagai manusia yang secara moral mengalami degenerasi, tidak berdaya
dan penuh kegagalan.
Pengalaman keseharian bergelut dengan kaum tertindas dapat
mem­perluas kesadaran kesengsaraan mereka, dan signifikansi ke­tidak­­
berdayaan, ketidakpastian serta kelangkaan sebagai batu pijak mem­
bangun fondasi etis keberpihakan kepada orang-orang tertindas dan
termiskinkan.
Populasi kaum mustadh`afin kontemporer yang merupakan
produk dari kecenderungan politik dan ekonomi struktural selama tiga
dekade terakhir, akan terus tumbuh dan meningkat lebih-lebih setelah
periode krisis ekonomi yang meluas. Keadaan semacam ini membuat
populasi mereka akan menjadi subkultur yang menyebar mulai dari krisis
perumahan dan pekerjaan, penyusutan besar dalam belanja sosial, per­
ubahan-perubahan pada level makro ekonomi, strategi pembangunan
kembali potensi lokal, dan sejumlah sebab-sebab lain. Bahkan banyak
teorisi kontemporer yakin bahwa ledakan kemiskinan yang telah mulai
adalah intrinsik dalam kemajuan Kapitalisme dan neo-liberalisme itu
sendiri yang menganut falsafah Libertarian.
Intinya sistem perekonomian kontemporer telah melahirkan banyak
kategori kemiskinan dan ketertindasan yang menuntut dua hal: Pertama,

76 Zakiyuddin Baidhawy
perlunya perluasan kategori mustadh`afin yang mencakup kelompok-
kelompok “korban baru”, yang belum dikenal dalam konsep-konsep yang
selama ini berkembang. Kedua, bagaimana proses redistribusi secara
sistemik dapat mengangkat derajat mereka yang kurang beruntung itu
dari ketidakberdayaan, ketidakpastian dan kelangkaan.
Mempertimbangkan tuntutan pertama, pengembangan kate­gori ke­
lompok-kelompok dhuafa dan mustadh`afin (ashnaf) tidak hanya meng­
arah pada kelompok-kelompok yang selama ini disebut sebagai penerima
zakat sebagaimana dipahami selama ini: faqir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para muallaf, untuk memerdekakan budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang
sedang dalam perjalanan (QS. al-Tawbah 9:60). Di samping kelompok-
kelompok di atas, ada tiga kelompok penting lainnya, seperti orang yatim,
peminta-minta (sa’il), dan mahrum. Berikut adalah kelompok-kelom­pok
mustadh`afin kontemporer:
1. Faqir. Definisi faqir sering tumpang tindih dengan miskin. Untuk
membedakan faqir dari miskin, setidaknya ada dua ciri utama mereka
yang masuk dalam kategori faqir ini: orang yang tidak me­mi­liki apa
pun, dan orang-orang yang memiliki cacat jasmani (al-Mawardi, tt.:
vol. 2, 374). Dua ciri ini menandakan bahwa faqir adalah orang yang
cacat jasmani (karena bawaan atau aksiden), atau cacat ketrampilan
dan dengannya ia tidak memiliki penghasilan, tidak produktif atau
rendah produktivitasnya (unproductive/low productivity).
2. Miskin. Orang miskin adalah mereka yang sehat jasmaninya dan
memiliki harta namun tidak mencukupi (al-Mawardi, tt.: vol. 2,
374-376). Ciri lain orang miskin adalah lemah dalam hal pekerjaan
(al-Tabari, 1992: vol. 6, 396). Dua ciri ini menunjukkan bahwa
apa yang disebut miskin adalah orang-orang yang secara jasmani
sehat sehingga memungkinkan untuk bekerja secara normal namun
pendapatan mereka jauh dari mencukupi kebutuhan yang layak.
Kategori ini dapat diperluas mencakup mereka yang rendah pen­
dapatannya (low income), dan akibatnya rendah permintaannya akan
kebutuhan-kebutuhan (low demand), dan rendah investasinya (low
investment), serta tidak memiliki pasar (marketless).
3. Amil. Amil adalah mereka yang memiliki tanggung jawab khusus
mengurus zakat, sejak mengumpulkan sampai men­distribusikan.

Arti dan Fenomena Kemiskinan Global 77


Amil bisa berupa individu maupun lembaga resmi yang mengelola
pengambilan sekaligus pemanfaatan zakat. Kini lembaga-lembaga
pengelola zakat telah berbentuk badan hukum dan diakui ke­
absahannya melalui undang-undang zakat. Tentu saja manajemen
berhak untuk mengambil sebagian hasil zakat itu untuk menggaji
pegawainya.
4. Mu’allaf. Sebutan mu’allaf ditujukan kepada mereka yang memper­
oleh atau menerima pemberian zakat dengan maksud untuk men­
jinakkan, membujuk atau melembutkan hati mere­ka terhadap Islam.
Menurut al-Mawardi, mereka terbagi ke dalam dua kelompok:
yakni 1) kaum Muslim: yang niatnya untuk memeluk agama Islam
masih lemah, kemudian diberi bagian zakat agar niatnya semakin
bertambah; dan mereka yang niatnya memeluk agama Islam sudah
bagus sehingga untuk mendorong mereka agar memisahkan diri
dari kemusyrikan lalu diberi bagian zakat; 2) kaum Musyrik: yang
ber­niat melukai atau memusuhi kaum Muslim, kemudian diberi
bagian zakat dengan maksud agar mereka mengurungkan niatnya;
dan mereka yang condong ke Islam kemudian diberi bagian zakat
agar menjadi Muslim (al-Mawardi, tt.: vol. 2, 374-376). Dengan
demikian mu`allaf adalah orang-orang yang perlu dibujuk dan jinak­
kan hatinya melalui pemberian sesuatu untuk kepentingan ke­
maslahatan kaum Muslim secara umum.
5. Riqab. Riqab adalah bentuk jamak dari raqabah. Kata ini berarti budak
atau hamba sahaya yang dibeli dengan cara diundi. Ungkapan wa fi
al-riqab dimaknai sebagai aspek-aspek yang berhubungan langsung
dengan kemasalahatan umum (al-mashalih al-`ammah), yakni bahwa
peruntukan zakat dapat disalurkan untuk memerdekakan budak,
atau diberikan kepada orang Muslim yang tidak memperoleh peng­
hasilan memadai untuk menebus dirinya sendiri kepada majikannya
meski ia telah bekerja keras dengan segala daya (al-mukatabun) (al-
Zuhayli, 1991: vol. 9, 261; 271). Islam berbicara tentang budak
ter­kait dengan perintah untuk memerdekakan mereka melalui
berbagai cara: seperti membayar diyat pembunuhan, kafarat
melanggar sumpah, kafarat bagi mereka yang menarik kembali zihar
terhadap istri. Meskipun sistem perbudakan sudah dihapuskan,
praktik-praktiknya secara terselubung ma­sih terus hidup hingga

78 Zakiyuddin Baidhawy
sekarang. Kebutuhan zaman dan tingkat kompleksitas perbudakan
kontemporer, oleh karena itu definisi riqab perlu diperluas meliputi
mereka yang menjadi korban trafficking, yakni jual beli anak-anak maupun
kaum pe­rempuan, terutama untuk pekerja seks komersial dan
kejahatan lain­nya.
6. Gharim. Gharim adalah orang yang terjerat oleh hutang. Hutang
bisa untuk kepentingan konsumtif maupun produktif. Hutang di
mana jumlahnya sudah terlampau berat dan si gharim tidak me­
miliki kekayaan apa pun untuk menutupi hutangnya karena pailit,
maka hutang semacam ini dapat dibayar dari pembiayaan zakat
(zakat fund) tanpa memandang apakah hutang tersebut berada di
bawah kontrak untuk kepentingan pribadi atau untuk kepentingan
umum. Beberapa contoh hutang dalam kontrak pertama adalah
pin­jaman untuk orang sakit, menikah, kerugian dalam bisnis atau
kepemilikan, dan sebagainya. Contoh-contoh untuk hutang dalam
kontrak jenis kedua bisa berupa kasus-kasus di mana jaminan
pem­­bayaran atas nama orang lain, seperti hutang karena kewa­
jiban membayar uang tebusan atau diyat untuk pembunuhan tak
disengaja, ganti rugi, dan orang tersebut tidak memiliki cukup ke­
kayaan untuk memenuhi tanggung jawabnya. Dalam sejarah kita
mengenal bahwa orang-orang Yahudi, Roma, dan Arab pra-Islam
biasa mengijinkan perbudakan atas mereka yang tidak mampu
mem­bayar hutang. Islam tegas melarang praktik demikian, dan
bahkan selama perbudakan mereka menerima zakat untuk menu­tupi
hutangnya. Inilah keunikan zakat dan kita sering tidak menyadari
bahwa sistem jaminan sosial yang berkembang saat ini sesung­
guhnya paralel dengan pembagian hak bagi mereka yang ber­hutang
dalam zakat.
7. Sabilillah. Pada umumnya Sabilillah dipahami sebagai orang-orang
yang berperang di jalan Allah dan tidak memperoleh hak atau bagian
dalam dewan tentara, atau orang-orang yang mengajarkan al-
Qur’an dan al-Sunnah (al-Zuhayli, 1991: vol. 9, 261; 273). Mereka
ini berkorban harta dan jiwa dalam perang itu, karenanya wajar
jika mereka memperoleh bagian zakat. Dalam konteks sekarang.
Sabilillah bisa diperluas maknanya mencakup mereka yang berjuang
secara sukarela (voluntarisme) untuk kebaikan kemanusiaan dan lingkungan.

Arti dan Fenomena Kemiskinan Global 79


Mereka juga berkorban dengan harta dan jiwa, rela meninggalkan
keluarga untuk mendedikasikan tenaga dan pikiran mereka bagi ke­
pen­tingan orang lain. Individu dan lembaga semacam ini sekarang
terus berkembang.
8. Ibnu Sabil. Ibnu Sabil biasa dipahami sebagai orang-orang yang
dalam perjalanan dan tidak memiliki nafkah atau kehabisan per­
bekalan. Kelompok ini diberikan jaminan secukupnya dari pem­
biayaan zakat sehingga ia mampu kembali pulang ke tempat tinggal­
nya. Untuk konteks kontemporer, makna ibnu sabil sudah tidak
tepat dimaknai sebagai musafir, karena musafir saat ini adalah
orang-orang yang cukup mampu untuk melakukan perjalanan.
Ibnu sabil kontemporer adalah mereka yang disebut tuna wisma
atau gelandangan, hidup terlunta-lunta, tidak punya tempat tinggal
untuk berteduh dari terik matahari dan siraman hujan, dan para
buruh migran yang rentan atas penindasan dan membutuhkan perlu
mendapatkan perlindungan hukum dan sosial, juga para pengungsi
akibat bencana, konflik dan peperangan.
9. Sa’il dan Mahrum. Dua kelompok itu merujuk pada orang melarat
dan papa, bedanya yang pertama “berani” meminta belas kasihan
dari orang lain dan karenanya pantas disebut sebagai pengemis;
sementara yang terakhir masih memiliki harga diri untuk tidak
meminta-minta. Keduanya memiliki hak terhadap harta orang kaya.
10. Yatim. Yatim adalah bagian dari kaum mustadh`afin. Pengerti­an
umum dari kelompok ini adalah anak-anak yang ditinggalkan oleh
salah satu atau kedua orang tuanya karena meninggal dunia. Kini
keberadaan yatim semakin meluas sesuai dengan perkembangan
zaman. Mereka yang dapat dimasukkan dalam kategori ini men­
cakup juga anak-anak yang kelahirannya tidak dikehendaki (unwanted
children) oleh kedua orang tuanya dengan berbagai alasan, seperti
alasan reproduksi dan ekonomi dan anak-anak yang kurang asuh
(nurturing) dari kedua orang tuanya. Untuk kasus pertama, orang
tua biasanya sudah tidak memiliki keinginan untuk mempunyai
keturunan. Untuk itu, mereka mempergunakan alat kontrasepsi,
namun terjadi kegagalan dalam usaha mereka mencegah kehamilan.
Anak-anak semacam ini bisa juga lahir dari hubungan di luar nikah
yang tidak dikehendaki, karena alasan menutup rasa malu atau

80 Zakiyuddin Baidhawy
ketidaksiapan secara mental dan ekonomi, mereka sengaja dibuang
atau dititipkan ke individu maupun lembaga sosial tertentu. Semen­
tara pada kasus kedua, anak-anak lahir dari keinginan orang tua,
namun karena satu atau lain hal, mereka tidak memperoleh asuhan,
belas kasih dan sayang dari orang tuanya.

Kompleksitas kemiskinan dan ketertindasan seperti yang disaksi­


kan pada milenium ketiga ini, tentu saja membutuhkan lebih dari
sekadar keprihatinan atas fenomena ketidakberdayaan, ketidakpastian
dan kelangkaan kaum dhuafa dan mustadh`afin. Individu dan atau
kelompok-kelompok tertindas dan termiskinkan itu juga jangan sampai
direduksi menjadi sekadar golongan-golongan yang berhak menerima
zakat. Yang dibutuhkan ialah sikap, perilaku, dan kebijakan yang men­
cerminkan keberpihakan kepada kaum lemah dan tertindas ini sekaligus
upaya konkret memperkuat posisi sosial, ekonomi dan politik mereka.

Arti dan Fenomena Kemiskinan Global 81


BAB

III
VISI BARU KEBERPIHAKAN

Populasi kaum dhuafa dan mustadh`afin dalam satu dekade terakhir akan
terus tumbuh dan meningkat lebih-lebih setelah periode krisis ekonomi
yang meluas. Reformasi tanpa arah yang jelas menambah ruwet penye­
lenggaraan negara untuk menye­jahterakan warganya. Keadaan se­macam
ini membuat populasi kaum tertindas dan termiskinkan terus meluas.
Orang-orang miskin di perkotaan maupun pedesaan semakin tertekan
dan tidak punya cukup kemampuan untuk melompati gerbang harapan
(treshold of hope) yang membawa mereka lepas dari jurang ke­melaratan
dan penindasan struktural. Dominasi dan hegemoni sistem ekonomi-
politik neo-kapitalis sama sekali tidak memberi kesempatan bagi mereka
untuk menentang ketidakadilan sekaligus melakukan per­ubahan. Nasib
mereka makin terjepit. Kesengsaraan dan deprivasi sis­temik semakin
terasa setidaknya dalam beberapa hal berikut ini.
Pertama, Orang-orang miskin dibuat mati menyedihkan karena
kelaparan dan gizi buruk justru terjadi ”di lumbung padi” sendiri. Ada
”busung lapar di pusat penghasil padi terbesar” di wilayah Indonesia
bagian tengah. Pada saat yang sama, penyakit ”lapar korupsi” juga terus
menjangkiti para pejabat di Nusa Tenggara Timur, di mana angka pen­derita
gizi buruk dan busung lapar sangat tinggi. Kematian satu jiwa adalah
tragedi. Sayangnya, di negeri ini kematian banyak jiwa lebih dipandang
sebagai angka statistik, meminjam Stalin. Akankah ke­miskinan dan
kematian akibat kelangkaan kebutuhan dasar dan pelayanan kesehatan
yang mendera sebagian saudara kita, dibiarkan seperti adanya? Tidak ada

82 Zakiyuddin Baidhawy
jaminan dari negara atas pemenuhan kebutuhan hidup minimum bagi
orang miskin. Mereka yang hidup di bawah garis subsistens ini ”harus”
terus sehat. Jangan sakit, karena obat mahal, jasa dokter setinggi langit.
Kartu jaminan kesehatan bagi kaum miskin bukan jaminan atas pe­layanan
medis yang memadai. Boleh jadi, justru jadi pangkal dis­kri­minasi.
Kedua, situasi deprivasi orang-orang miskin bukan semata pada
urusan perut dan kesehatan. Untuk jadi orang melek huruf sekalipun
mereka sulit setengah hidup. Kasus-kasus siswa-siswi gantung dan bunuh
diri karena malu menunggak SPP, tidak mampu bayar iuran ketram­
pilan sekolah, belakangan makin kerap terjadi. Negara seolah lari dari
tanggung jawab ”mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai bagian
dari tujuan luhur negara ini diproklamirkan. Banyak orang miskin tidak
sanggup menyekolahkan anak-anaknya secara layak. Angka putus sekolah
dari tahun ke tahun terus me­ningkat. Dalam pada itu, sekolah-sekolah
unggulan, terpadu, internasional, berbiaya mahal terus tumbuh bagai
jamur. Sebuah paradoks yang mencolok mata. Pendidikan inklusi ber­basis
pada filosofi education for all. Sayangnya, pendidikan ini tidak termasuk
terbuka bagi mereka papa. Pendidikan inklusi bukan untuk orang miskin
yang berat bayar uang gedung dan SPP. Alhasil, sudah miskin bodoh
lagi. Dijamin indeks pembangunan sumberdaya insani negeri ini makin
karut marut.
Ketiga, orang-orang miskin dibuat nelangsa oleh keadaan dan struktur
karena mereka tidak punya pekerjaan, kehilangan pekerjaan, atau menjadi
setengah pengangguran. Padahal pekerjaan merupakan sarana untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup setiap warga. Kewajiban negara
menyediakan kesempatan yang sama bagi setiap orang dan membuka
lapangan kerja bagi yang membutuhkan. Namun, karena pertumbuhan
ekonomi kurang bagus, bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan dalam
prosentasi cukup drastis (tahun 2005 dan 2008), jumlah pekerjaan men­
jadi semakin berkurang. PHK tak terelakkan. Sementara jumlah pen­
duduk usia produktif mesti bertambah. Ratusan ribu sarjana baru lahir
tiap tahunnya. Pengangguran intelektual otomatis meningkat. Jumlah
pendaftar pegawai negeri membludak. Bursa kerja dikerumuni insan-
insan pencari lowongan kerja.
Berbekal ijazah sarjana jauh dari cukup untuk memperoleh pe­
kerjaan bagus dengan gaji bagus pula. Ijazah hanya syarat administratif.

Visi Baru Keberpihakan 83


Selanjutnya sistem koneksi berlaku. Jaringan jauh lebih efektif untuk
mengisi lowongan. Nah, mereka yang sekolah tinggi saja sulit dapat
kerjaan, lebih-lebih orang miskin sekaligus bodoh dan sakit-sakitan.
Mereka tidak punya cukup kapasitas, apalagi otoritas. Bekal pengetahuan
dan ketrampilan yang minim membuat mereka terus tergilas. Partisipasi
mereka dalam pengambilan keputusan dan mengontrol jalannya imple­
mentasi kebijakan jauh panggang dari api. Orang miskin harus puas
dengan pekerjaan kasar, dengan upah rendah, jongos yang selalu siap jadi
”keranjang sampah” sumpah serapah para majikan kapitalis.
Keempat, beribadah menuntut syarat ”kemampuan”, baik fisik,
material, dan psikis. Berpuasa di bulan Ramadan hukumnya wajib bagi
Muslim. Di beberapa daerah yang memberlakukan syariat Islam, razia
atas orang tidak berpuasa sering dilakukan. Mereka yang tertangkap ke­
banyakan pekerja kasar, buruh bangunan, kuli panggul, dan tentu saja
miskin. Akhirnya Pemda melepaskan mereka. Mereka hutang puasa. Batal
puasa harus diganti pada hari lain. Di bulan Ramadan saja mereka sulit
berpuasa, apalagi harus bayar puasa di luar Ramadan. Mana tahan, karena
puasa di lain hari hampir mustahil karena tantangannya jauh lebih
berat. Kalau tidak mengganti dengan puasa, bisa diganti fidyah. Tapi
mana mungkin bayar fidyah, buat makan sehari-hari saja susah minta
ampun. Membayar zakat juga ibadah. Tapi apa yang akan dizakati dari
orang miskin. Kebutuhan minimal sehari-hari pun sudah senin-kamis.
Memberi infak dan sedekah rasanya juga jauh dari kenyataan. Bahkan
mereka hidup dari uluran tangan orang lain. Demikian juga menunaikan
haji ke tanah suci. Wah, yang ini persis seperti mimpi di siang bolong.
Nelangsanya menjadi orang miskin. Sudah jatuh tertimpa tang­
ga, sengsara murakab (berlapis-lapis). Inilah “rukun Islam kaum dhuafa
dan mustadh`afin”: harus selalu sehat karena sakit biayanya mahal; siap
menjadi ”manusia bodoh” karena pintar ongkosnya selangit; menerima
kerja kasar dengan upah pas-pasan, karena kerja bagus butuh kolusi dan
uang suap; dan marjinal dalam perebutan ”kapling surga” karena ibadah
butuh modal.
Dalam situasi dan kondisi semacam ini, umat manusia dituntut
untuk menunjukkan solidaritas dan keberpihakan yang nyata un­tuk
membela mereka yang selalu menjadi korban ketimpangan dan kebo­
brokan sistem ekonomi, sosial, dan politik. Dengan keber­pihakan ini,

84 Zakiyuddin Baidhawy
kita dapat berbuat demi hidup dan kehidupan kaum miskin dan ter­
miskinkan secara lebih layak dan manusiawi.

A. MEMPERTEGAS VISI KEBERPIHAKAN: AL-MAUN


SEBAGAI OPTION FOR THE POOR
Perubahan iklim global dan globalisasi kemiskinan menengarai
dimulainya suatu masa penuh kekacauan. Keduanya bersumber dari
sistem ekonomi dan sistem politik yang bukan hanya gagal, bahkan juga
hancur. Kita kini hidup dalam suatu masa yang paling “menakjubkan”
sepanjang pengalaman manusia. Sebagai suatu spe­sies, kita sedang meng­
hadapi ancaman bagi seluruh spesies manusia dan non-manusia, peluang
sekaligus keniscayaan untuk menerima tanggung jawab dan peran dalam
membawa dunia ini agar bekerja untuk semua manusia dan alam semesta.
Ada tantangan bersama yang dihadirkan oleh tatanan ekonomi
global dan anak kandungnya berupa disintegritas lingkungan dan
ke­ti­dakadilan. Lebih tepatnya dapat dikatakan ada hubungan antara
globalisasi kapital dengan kehancuran lingkungan hidup dan keti­dak­
adilan.
Bersamaan dengan para politisi di negara-negara maju melaku­
kan pemotongan pajak bagi orang-orang kaya dan melancarkan pre-
emptive war atas terorisme, Organisasi Pangan Dunia (FAO) melaporkan
jumlah penduduk yang menderita kelaparan kronis. Suatu jumlah yang
menurun pada dekade 70an dan 80an, namun meningkat dekade sejak
90an. Departemen Pertanian Amerika memperkirakan pada 2008 dua
pertiga penduduk Sub Sahara Afrika mengalami kekurangan makan.
Empat puluh persen kekurangan makan dialami Asia, dan Indonesia
menyumbang bagian besar dari kemiskinan di kawasan ini. Satu-satunya
cara untuk mengakhiri kemiskinan adalah meredistribusi sumber daya
yang tersedia demi kesinambungan penduduk planet bumi.
Upaya memahami kemiskinan dan cara-cara manusiawi untuk
mengatasinya adalah pekerjaan besar. Karena itu, penting pembahasan
tentang beberapa aspek penting terkait dengan perlunya trans­formasi
kebudayaan dan institusi-institusi dominasi yang bukan hanya merupa­
kan imperatif moral bahkan suatu prasyarat yang harus ada bagi survival
bersama. Pemahaman ini sangat mendasar jika kita hendak menjadi agen

Visi Baru Keberpihakan 85


Islam transformatif yang efektif, beritikad baik untuk menjadi “pejuang
anti-kemiskinan” sekaligus “pembela orang-orang miskin”.

1. Pendusta Agama: Sistem Ekonomi Kemaruk


Ada pertarungan sengit antara Libertarianisme dan Keynesian­isme
mengenai seberapa besar alam semesta ini memiliki kemam­pu­an untuk
menyediakan sumber daya bagi penduduk planet bumi. Kaum liber­
tarian mengklaim bahwa dalam alam ini ter­kandung sumber daya yang
tanpa batas untuk memenuhi semua kebutuhan dan keinginan manusia.
Mereka, karena itu, tidak mempertimbangkan sumber daya alam dan
lingkungan sebagai satu faktor untuk menentukan pendapatan nasional
dan pembangunan berkesinambungan. Sementara itu, kaum Keynesian
memandang sumber daya yang tersedia dalam alam ini terbatas untuk
memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia. Paradoksnya, mereka
juga tidak memasukkan faktor sumber daya alam dan lingkungan
dalam memperhitungkan pendapatan nasional dan pembangunan ber­
ke­lanjutan. Intinya dua sistem ekonomi kontemporer ini sama-sama
mendukung terjadinya eksploitasi dan konsumsi tanpa batas atas sumber
daya alam dan lingkungan, yang berakibat pada kelaparan dan keku­
rangan gizi bagi ratusan juta umat manusia.
Konsumsi manusia modern telah menghabiskan kapital alam, baik
kapital yang tidak dapat diperbarui (non-renewable capital), seperti bahan
bakar minyak fosil, dan kapital yang dapat diperbarui (renewable capital),
seperti hutan, perikanan, tanah, air, dan sistem iklim. Sekitar 85% dari
kapital yang tersisa telah diambil alih oleh 20% orang yang beruntung
dari penduduk dunia untuk mendukung pola konsumsi yang seringkali
boros dan berlebihan. Sekitar 20% penduduk dunia yang tidak beruntung
harus berjuang keras untuk tetap survival dengan kapital lebih dari 1%.
Sayang sekali, kebanyakan orang lupa tentang implikasi yang se­
sungguhnya dari kesenjangan dan ketidakadilan karena mereka mabuk
oleh cara berpikir tentang uang sebagai kekayaan. Uang adalah klaim
tentang kekayaan. Hanya angka yang ada dalam otak sebagian besar
penduduk dunia sekarang ini. Gambaran berikut me­nunjukkan suatu
sistem ekonomi kemaruk yang beraliansi dengan kepentingan-kepen­
tingan korporasi, daripada aliansi dengan kepen­tingan kemanusiaan dan
lingkungan alam.

86 Zakiyuddin Baidhawy
Trio lembaga-lembaga Bretton Woods — World Bank, IMF,
WTO — adalah pemain utama dalam menuliskan aturan-aturan eko­
nomi global yang sesuai dengan konsentrasi kekayaan dan kekuasaan.
Ketiga­nya mengklaim berdedikasi untuk menghilangkan sebab-sebab
kemiskinan. Namun, coba perhatikan kebijakan-kebijakan dan aksi-aksi
mereka yang keblinger, memandang suatu negara ideal adalah negara
yang aset-aset dan sumber dayanya dimiliki oleh korporasi asing yang
memproduksi untuk ekspor dengan tujuan untuk memperoleh foreign
exchange guna membayar hutang-hutang internasional. Negara ideal
menurut mereka adalah yang tidak memiliki jasa layanan publik. Energi
listrik, air, pendidikan, pelayanan kesehatan, jaminan sosial dan jasa
keuangan semuanya dimiliki dan dijalankan oleh korporasi asing untuk
mengeruk profit atas dasar bayaran berbasis layanan. Makanan dan barang-
barang lain untuk konsumsi domestik semuanya diimpor dari luar dan
membayarnya dengan uang yang dipinjam dari bank-bank asing.
Apa yang ada dalam otak trio Bretton Woods kemaruk ini bukan
tentang pemenuhan kebutuhan-kebutuhan penduduk, apalagi orang-
orang miskin. Otak mereka hanya bicara mengenai konsentrasi ke­
kuasaan secara leluasa di tangan-tangan lembaga-lembaga keuangan
global yang mengendalikan korporasi-korporasi yang terus memonopoli
sumber daya dunia, pasar, pekerjaan, informasi, uang, dan politik untuk
tujuan-tujuan mereka sendiri.
Sistem semacam ini tak dapat dimungkiri telah merampas kekayaan
dan kekuasaan dari mayoritas ke minoritas; menciptakan konsentrasi
kekayaan dan kekuasaan yang terus meningkat, sehingga mendorong gaya
hidup extravagan yang mubadzir, boros dan sia-sia pada sebagian kecil
orang, dan pada saat yang sama melahirkan deprivasi dan perbudakan
bagi bilyunan orang; dan mempercepat kehancuran kekayaan alam yang
telah merampas kehidupan bilyunan penduduk bumi. Kecenderungan
semacam ini akan menjegal nasib umat manusia jika dibiarkan terus ber­
lanjut.

2. Shalat yang Memihak


Gambaran seperti di atas menyerupai, meski dengan repre­
sentasi yang lebih sederhana, konteks historis turunnya surat al-Maun.
Sebagaimana trio Bretton Woods, symptom masyarakat Mekkah pra

Visi Baru Keberpihakan 87


Islam mengenal “trio jahiliyah” – Abu Sufyan, Abu Jahl, dan al-`Ash
Ibn Walid (Shihab, 2002: vol. 15, 545). Mereka adalah tokoh-tokoh yang
memiliki sifat kemaruk harta dan kekayaan dan gemar berfoya-foya
secara mencolok di hadapan mayoritas penduduk yang miskin dan serba
kekurangan. Mereka juga tidak memiliki kepekaan sama sekali atas
keter­tindasan kaum papa.
Kutukan sebagai pendusta agama ditujukan kepada individu, ke­
lompok, dan sistem yang apatis dan tidak memiliki solidaritas sosial atas
kaum mustadh`afin. Karakteristik yang mudah dikenali pada diri mereka
adalah suka menghardik, menakut-nakuti, meng­ ancam, menindas
individu, kelompok, masyarakat dan negara “yatim” yang tidak berdaya
secara sosial, ekonomi dan politik; mereka juga tidak peduli kepada
kemiskinan dan pemiskinan; bahkan mereka sendiri pelaku pemiskinan
dan penindasan atau kompradornya; melakukan “pembiaran” (yutm) atas
kemiskinan dan pemiskinan; serta tidak berdiri dalam posisi memihak
kepada kaum dhuafa.
Hal serupa berlaku bagi kaum agamawan, kaum Muslim yang rajin
melakukan shalat lima waktu sehari semalam. Shalat mereka tidak menye­
lamatkan diri mereka sendiri dari api neraka pada hari akhir, karena toh
mereka juga tidak berbuat apa-apa, tidak menyelamatkan orang lain yang
yatim dan miskin selama hidup di dunia. Ini merupakan sifat “shalat yang
mencelakakan” sebagai akibat mereka “lalai, abai” terhadap problem
kemiskinan dan penindasan yang kasat mata di hadapan mereka. Kaum
agamawan dan para penegak shalat yang celaka adalah juga mereka yang
“menghalangi, menghambat” individu, kelompok, atau sistem yang ber­
usaha memberikan bantuan, pertolongan dan pemberdayaan kepada
kaum miskin.
Oleh karena itu, perlawanan atas sistem yang rakus dan menindas
hanya dapat muncul dari kesadaran keagamaan dan “shalat yang me­
mihak”, yakni shalat yang memihak keadilan dan demokrasi – hak setiap
orang untuk bicara dan hak atas sarana-sarana kehidupan dan peng­
hidupan. Siapa yang berjuang untuk mempertahankan kehidupan dari
rezim perompak ini, memberikan bantuan karitas, dan pemberdayaan
kapasitas dan otoritas kepada kaum miskin, itulah dia yang “shalatnya
menyelamatkan” kema­nusia­an, ia mujahid anti-kemiskinan dan pembela
kaum miskin; ia juga siap mati syahid dalam membela hak-hak kaum

88 Zakiyuddin Baidhawy
miskin dari para begundal kapitalis-neoliberalis dan kaki tangannya yang
“jahil murakab” (triple idiots).

B. MENCERDASKAN VISI AL-TAKATHUR:


“KAPITALISASI” UNTUK PEMIHAKAN
Visi keberpihakan terhadap kaum dhuafa dan mustadh`afin sebagai­
mana tersurat dalam teologi al-Maun berhubungan erat dengan al-
Takathur. Pertama, karena surat al-Maun itu sendiri secara kronologis
turun sesudah surat al-Takathur. Kedua, secara substantif ada kesamaan
pesan yang menegaskan larangan bersikap dan bertindak “abai, lalai, dan
lengah, leha-leha” dalam hal kapital dan kepedulian terhadap sesama
yang membutuhkan.
Al-Takathur sendiri secara harfiah bermakna “menumpuk, mem­
perbanyak, menimbun” sesuatu. Secara maknawi mengandung beberapa
hal antara lain: al-takathur secara alamiah merupakan sifat manusiawi
oleh karena setiap individu memiliki kecenderungan untuk menumpuk
harta/kekayaan sebanyak-banyaknya; secara hukum, menumpuk harta
dan kekayaan adalah diperkenankan, karena dianjurkan agar setiap
orang berkecukupan secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dan
ke­inginannya, dan tidak me­min­ta-minta; al-takathur secara sistem meru­
pakan aktivitas “kapitalisasi” melalui proses dan prosedur yang berlaku
dan terjaga keadilannya. Ketika prasyarat ketiga ini tidak terpenuhi,
maka al-takathur telah menjerumuskan diri pada rezim “kapitalisme”,
yang cirinya antara lain: selalu suka “menumpuk dan menimbun” harta/
kekayaan untuk kepentingan sendiri bahkan dalam situasi krisis dan
kelangkaan, termasuk di dalamnya tindakan memonopoli barang dan
atau jasa; senantiasa senang “menghitung-hitung” harta/kekayaan dan
untung rugi dari bisnisnya dari perspektif materialistik semata; dan per­
caya bahwa harta/kekayaan itu abadi dan mengekalkan sehingga abai
terhadap kewajiban-kewajiban yang harus dibayarkan kepada mereka
yang berhak menerimanya (Q.S. Al-Humazah 104:2-3). Ciri lain yang
tak kalah pentingnya adalah bahwa kapitalisme yakin terhadap “per­
saingan bebas” antara dua atau lebih patron melalui cara-cara yang tidak
manusiawi dan tidak beradab.

Visi Baru Keberpihakan 89


Al-Takathur yang dibenci dan harus dilawan adalah rezim yang mem­
buat banyak orang — terutama kaum miskin dan papa — ter­sungkur,
merasakan penderitaan yang mendalam, sampai-sampai banyak di
antara mereka menemukan ajal dan terkubur (maqabir, terpinggirkan,
ter­majinalkan) baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Regim se­
macam ini merupakan manifestasi dari al-Takathur yang “bego, lengah”
atas kesengsaraan dan deprivasi yang dirasakan sebagian besar umat
manusia.
Oleh karena itu, sejalan dengan visi keberpihakan dari teologi al-
Maun, al-Takathur yang rasional-bertujuan adalah kapital­ isasi yang
peduli kepada kemiskinan dan ketertindasan, serta diabdi­kan untuk
membela dan memberdayakan kaum miskin dari kemiskinan karitas,
kapasitas dan otoritas mereka, dan bukan semata-mata kapitalisasi untuk
pelipat gandaan modal itu sendiri. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa visi al-Takathur adalah kapitalisasi atau penumpukan modal dalam
kerangka filantropi ekonomi, sosial, dan politik. Filantropi ekonomi di
sini merujuk pada upaya pengumpulan modal dari berbagai donasi wajib
dan sukarela — zakat, infak, sedekah, dan wakaf — yang bertujuan
untuk mengembangkan kemandirian, keswadayaan, dan swakelola kehi­
dupan perekonomian kaum miskin dan tertindas, serta me­ning­katkan
ketrampilan hidup dan kapasitas mereka. Filantropi sosial merupakan
kapitalisasi dalam kerangka pengentasan kaum mustadh`afin dari marji­
nalisasi sosial, seperti pengucilan di mana mereka mengalami diskri­
minasi dan stigma, dan dipaksa untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi
dan relasi sosial yang memelihara mereka agar tetap miskin. Sedangkan
filantropi politik adalah upaya kapitalisasi yang bermaksud untuk mem­
bebaskan kaum miskin dari marjinalisasi partisipasi, marjinalisasi hak-
hak asasi, dan marjinalisasi perlindungan hukum.
Inilah yang dimaksud dengan kapitalisasi untuk pemihakan; al-
takathur untuk menegakkan visi al-Maun. Visi semacam ini hendaknya
tergambar dalam setiap amal usaha dan layanan sosial yang dibangun
oleh komunitas keagamaan, komunitas Muslim. Artinya, sebuah amal
usaha dan layanan sosial — baik dalam bidang pendidikan, kesehatan,
dan kemaslahatan publik lainnya — bukan berorientasi profit. Lembaga-
lembaga ini perlu dikelola dengan manajemen yang baik agar tetap dapat
survival dan sustainable, menerapkan subsidi silang dalam hal layanan.

90 Zakiyuddin Baidhawy
Sustainabilitas lembaga ini di samping ditopang dengan pemanfaatan
donasi filantropi, juga keuntungan dari layanan yang diberikan. Marjin
keuntungan yang diperoleh disisihkan untuk membantu mereka yang
kurang beruntung. Dengan cara ini, lembaga-lembaga amal usaha dan
layan­an sosial tetap bertahan hidup dengan tetap teguh memegang visi
pemihakan, pembelaan, dan pemberdayaan kepada kaum miskin. Dengan
kata lain, al-Takathur hanya dapat terselamatkan bila ia melandaskan
diri pada solidaritas dan keberpihakan al-Maun; keuntungan mengabdi
kepada kebajikan.

C. UMMAH WASATH: PEJUANG KEADILAN DAN


KEMANUSIAAN
Ide tentang pemihakan dalam kerangka Islam transformatif juga
ditunjukkan melalui ungkapan ummah wasath. Secara bahasa wasath adalah
sesuatu yang terletak di antara dua ujung. Kata ini tertulis sebanyak 5
kali dalam al-Qur’an. Merujuk pada makna yang dikandung dalam ayat-
ayat al-Qur’an, wasath mencakup tiga pengertian yaitu: Pertama, tengah-
tengah (Q.S. Al-Baqarah 2:238). Kedua, adil (Q.S. Al-Baqarah 2:143):
“Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu umat yang adil dan
terpilih agar kamu menjadi pejuang atas nama kemanusiaan dan agar
Rasul menjadi saksi atas kamu.”
Wahbah al-Zuhayli (1998: vol. 2, 14-15) menjelaskan al-wasath
dalam ayat ini dengan menyatakan bahwa umat Muslim adalah umat
yang adil dan cinta keadilan, yang pada hakekatnya melukiskan suatu
keadaan yang terbaik dan terpuji dalam hal anugerah, ciptaan, syariat,
hukum, ibadah, keistimewaan dan fitrah. Umat muslim disebut sebagai
ummah wasath karena mereka mengutamakan prinsip equilibrium/kese­
imbangan (al-tawazun) antara kebutuhan jasmani dan rohani, antara ke­
maslahatan dunia dan akhirat; mereka juga berlomba-lomba untuk men­
jadi kaum yang moderat dan tawassut dalam arti memberikan hak kepada
yang berhak menerima, melaksanakan segala hak dan kewajiban dalam
suatu konstruk kehidupan sosial baik untuk kepentingan yang berjangka
pendek maupun berjangka panjang. Karena sifat al-wasath dan al-‘adl
itulah umat Muslim disebut sebagai ummat wasath (al-Maraghi, 1994.: vol.
2, 5-6).

Visi Baru Keberpihakan 91


Sementara Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha
dalam al-Manar (tt., vol. 2, 4-5) memaknakan wasath sebagai keadilan
dan keterpilihan. Lafaz wasath digunakan karena mencakup pilihan dan
ke­adilan; dan kaum Muslim tidak suka berlebihan maupun minimalis
dalam persoalan-persoalan keagamaan, etika dan praksis sosial. Pendapat
yang serupa dengan al-Manar juga dikemukakan oleh Ahmad Mustafa
al-Maraghi dalam kitab tafsirnya.
Pengertian ketiga dari wasath adalah terbaik (Q.S. Al-Maidah 5:89):
“Maka kaffarat melanggar sumpah itu adalah memberi makan sepuluh
orang miskin dari makanan terbaik yang biasa kamu beri­kan kepada
keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan
seorang budak”. Ditegaskan pula dalam sebuah adagium Arab: “Perkara
yang terbaik adalah yang tengah-tengah”.
Dari paparan di atas, serta memerhatikan kelengkapan ayat al-
Baqarah 2:143, nyata bahwa Muslim transformatif adalah manusia
yang memiliki karakter jelas sebagai pejuang radikal untuk menegak­
kan keadilan dan kemanusiaan (syuhada’ ‘ala al-nas) dengan cara-cara
nir­kekerasan/moderat. Memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan
dengan kesabaran (upaya sistematik) adalah tanda Muslim transformatif.
Ketika diperlukan, mereka harus berjuang menegakkan hukum dan
kondisi sosial yang sepadan dengan mar­ta­bat kemanusiaan. Orang ber­
iman tidak punya pilihan. Dalam menghadapi ketidakadilan dan pe­
nindasan, ia harus berdiri di hadapan Tuhan untuk menjadi penen­
tang abadi ketidakadilan dan penindasan. Pelanggaran atas hak-hak
Tuhan harus dikutuk, dan semua orang yang berkehendak baik harus
terlibat dalam memegang dan memelihara hak-hak tersebut sebagai tugas
suci. Karena itu pula, keyakinan ini harus mampu membangkitkan
para pengikut agama-agama untuk menjadi pelindung aktif terhadap
hak-hak individu. Para pejuang militan demi martabat manusia bisa me­­
nentang ke­ja­hat­an dengan kekerasan, tetapi kekerasan-kekerasan dengan
batasan-batasan yang sangat ketat, daripada menggunakannya atas
nama keistimewaan taqwa dan sebagai sarana suci untuk mencapai tujuan
politik.

92 Zakiyuddin Baidhawy
D. PENDEKATAN BERBASIS MAQASID AL-SYARIAH
Keberpihakan Islam terhadap kaum dhuafa dan mustadh`afin dalam
kerangka teologi al-Maun dan visi transformatif al-Takathur secara lebih
rinci dapat diterjemahkan dengan memanfaatkan enam pendekatan
tujuan-tujuan praksis (maqasid al-syariah). Dengan mengoperasionalkan
basis teologis dan visi di atas, Islam memiliki pandangan yang distingtif
mengenai bagaimana kemiskinan mesti dipahami secara multidimen­
sional serta dijawab secara praksis. Ada enam aktivitas rasional bertujuan
yang utama untuk melihat secara cermat kebutuhan-kebutuhan manusia.
Enam hal tersebut mencakup: kebutuhan agama, kebutuhan hidup/
fisik, kebutuhan akal, kebutuhan keluarga, kebutuhan harta/kekayaan,
dan kebu­tuh­an lingkungan. Pemenuhan atas enam kebutuhan tersebut
se­cara layak dipandang sebagai upaya mewujudkan tujuan-tujuan Islam
dalam kehidupan.
Jelas semua ini penting dalam kerangka bagaimana kita mema­
hami kemiskinan, karena ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya merupakan pertimbangan mendasar untuk
menilai apakah ia termasuk miskin atau tidak. Oleh karena itu, ke­butuhan-
kebutuhan itu juga harus memasukkan kemampuan untuk me­lak­sana­
kan lima rukun Islam dan panggilan menuju jalan Tuhan, yakni melin­
dungi kehidupan, mengamankan makanan, pakaian, dan perumahan,
pendidikan, hak untuk bekerja demi kehidupan, membangun keluarga
dan sebagainya. Semua kebutuhan ini merupakan dasar bagi kehidupan
individu dan sosial yang baik, dan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga ting­
katan atau hirarkhi: kebutuhan primer (daruriyyat), kebutuhan sekunder
(hajiyyat), dan kebutuhan tersier (tahsiniyyat).
Yang dimaksud dalam konsep daruriyyat adalah “kebutuhan dasar”
yang sangat mendesak untuk dipenuhi oleh manusia, dan apabila ke­
butuhan ini tidak terpenuhi maka dapat mengancam kehidupannya
(survival); kekurangan atas pemenuhan kebutuhan dasar ini menimbulkan
kelaparan dan penyakit yang membahayakan jiwa manusia. Daruriyyat
sering digunakan untuk merujuk pada semua barang dan jasa yang me­
menuhi suatu kebutuhan primer (primary goods) atau mengurangi ke­
sukaran dan dengan demikian menjadikan suatu perbedaan nyata dalam
kesejahteraan manusia. Kebutuhan primer itu meliputi pangan, sandang

Visi Baru Keberpihakan 93


dan papan. Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi maka mengancam ke­
langsungan hidup atau survival manusia di muka bumi.
Al-Shatibi menyebutkan hal-hal yang sifatnya daruriyyat, yakni
menjaga kesehatan akal (hifz al-`aql) untuk tegaknya agama (hifz al-din);
menjaga keturunan (hifz al-nasl) untuk menegakkan al-`adah; dan meme­
lihara harta (hifz al-mal) untuk ketahanan hidup manusia (hifz al-nafs)
(al-Shatibi, tt.: vol. 2, 4, 8-12). Satu hal yang juga mendesak untuk di­
per­timbangkan dalam aktivitas-aktivitas rasional bertujuan adalah ke­les­
tarian dan konservasi lingkungan (hifz al-bi’ah). Beberapa contoh yang
termasuk dalam kategori ini di samping yang secara langsung meme­
lihara lima perkara penting di atas, adalah hal-hal yang berkaitan dengan
tindakan-tindakan tersebut antara lain: menegakkan lima rukun Islam,
keamanan hidup manusia dan sanksi bagi pelanggarnya, kebutuhan
sandang, pangan dan papan yang tidak bisa tidak harus tercukupi, institusi
perkawinan dan larangan perzinaan, perlindungan kekayaan dalam arti
luas dan pelarangan atas penghancuran kekayaan, larangan merampas
hak milik orang lain dan perjuangan untuk mempertahankannya, mem­
peroleh pendidikan dasar, dan melaku­kan aktivitas ekonomi yang cukup
untuk menjaga lima hal darurat tersebut. Dengan demikian, kebutuhan
adalah sesuatu yang diperlu­kan agar manusia dapat bertahan hidup, dan
karenanya sifatnya terbatas.
Hajiyyat adalah ungkapan yang dipergunakan untuk semua barang
dan jasa yang tidak mungkin diklasifikasikan secara tegas ke dalam ke­
lengkapan, dan beberapa fleksibilitas sangat dikehendaki dalam men­
definisikan kategori ini. Biasanya kategori ini dalam ilmu ekonomi di­
sebut dengan secondary goods. Kebutuhan sekunder ini merupakan keleng­
kapan yang berada di sekitar kebutuhan pokok dan berfaedah serta
melengkapi daruriyyat. Kelengkapan ini diperlukan untuk kelapangan
dan meniadakan kesempitan hidup pada umumnya, namun bila tak ter­
penuhi tidak menyebabkan kerusakan bagi kelangsungan hidup individu
maupun kemaslahatan umum. Dalam hal al-`adah, dibolehkan berburu
dan menikmati yang baik-baik dari makanan, minuman, pakaian dan
rumah serta kendaraan yang halal dan sebagainya. Berbagai kerajinan,
aktivitas ekonomi dan industri sekaligus produk dan jasanya termasuk
dalam kategori kebutuhan sekunder dengan maksud agar semakin dapat
menghilangkan kesukaran. Namun karena perubahan taraf kehidupan,

94 Zakiyuddin Baidhawy
aktivitas-aktivitas bisa bergerak dari satu kategori ke kategori lainnya.
Seperti transportasi publik bagi komunitas besar dan urban adalah ke­
butuhan sekunder, dan menjadi tersier ketika diperuntukkan komunitas
kecil di pedesaan; perlindungan kesehatan dan promosi pendidikan fisik
untuk memperkuat jasmani. Prinsip yang harus dijaga dalam kategori ini
adalah sikap tengah-tengah (tawassut) dan kesederhanaan (i’tidal), bukan
berlebihan maupun serba kekurangan. Dalam kategori ini biasanya ber­
laku prinsip fiqh Islam “apa yang menyebabkan suatu kewajiban menjadi
tidak sempurna karenanya, maka ia juga menjadi wajib”.
Tahsiniyyat adalah kesenangan, kenikmatan, dan perhiasan di dunia
yang diperbolehkan. Tahsiniyyat adalah istilah yang digunakan untuk
semua barang dan jasa yang dikehendaki untuk “memperindah” atau
“meng­hiasi” kebutuhan dan kelengkapan pada umumnya dan ber­sifat
kom­plementer, dengan menghindarkan diri dari keadaan yang dipan­
dang rendah oleh akal sehat. Jenis-jenis barang kesenangan ini biasa di­
sebut sebagai tertiary goods. Misalnya, mempergunakan perhiasan, me­
makai pakaian terbagus dan mengemudikan kendaraan dengan model
terbaru, kesantuan dalam perilaku dan perkataan, etiket makan, minum,
berpakaian, kebersihan menghindarkan, hobi, rekreasi dan berbagai akti­­
vitas untuk relaksasi jasmani dan pikiran, dan sebagainya. Semua itu di­
perkenankan sepanjang tidak berlebih-lebihan dan bakhil atau kikir,
namun mengambil jalan tengah (qawam) (Q.S. Al-Furqan 25:67).
Enam kebutuhan mendasar seperti disebut di muka adalah se­
suatu yang niscaya untuk dipenuhi, tidak ada prioritas satu di atas yang
lainnya, dan jika satu kebutuhan tidak terpenuhi maka seseorang masih
dikatakan miskin. Memang tidak ada satu pun cara yang paling tepat
untuk mendefinisikan kemiskinan. Namun demikian, perspektif Islam
berada dalam suatu konsensus luas tentang kemiskinan sebagai masalah
multidimensional, yang ber­sandar pada kebutuhan-kebutuhan manusia
yang mencakup enam hal di atas dan tidak dapat direduksi sedemikian
rupa ke dalam masalah pendapatan dan keuangan semata. Sejauh kita
memerhatikan ukuran-ukuran yang sifatnya operasional, empat macam
ke­butuhan terakhir menurut sudut pandang Islam sudah serupa dengan
indikator-indikator dalam Indeks Pembangunan Sumber daya Manusia
yang menekankan pada pentingnya penda­pat­an, pendidikan, dan kese­
hatan. Faktor kebutuhan agama dan kebutuhan kelestarian lingkungan

Visi Baru Keberpihakan 95


belum diakomodasi dalam indeks tersebut. Di sinilah kiranya letak ke­
lebihan dari perspektif Islam dalam memandang kemiskinan secara
komprehensif.
Bentuk-bentuk kemiskinan yang berkaitan dengan keuangan dan
pendapatan dapat diukur secara akurat dan terbuka melalui berbagai
data survey rumah tangga dan statistik nasional yang didasarkan biasa­
nya pada konsumsi rumah tangga daripada penda­patan. Konsep kemis­
kinan yang ada di dunia saat ini menjelaskan tentang sejumlah pendu­
duk dunia yang hidup dengan konsumsi keseharian per kepala dalam
sebuah rumah tangga dengan ekuivalensi sekitar 1.08 dolar (sejak tahun
1993). Ukuran praktis ini sama dengan beban minimum konsumsi yang
dibutuhkan untuk mempertahankan kehidupan manusia. Alternatif
ukuran lain yang biasa digunakan adalah 1 dolar per hari sebagai garis
kemiskinan. Di beberapa negara seperti Amerika dan India misalnya,
menetapkan garis kemiskinan dengan merujuk kepada kebutuhan nutrisi
untuk menjaga kesehatan. Ada juga yang mempergunakan pendekatan
makanan pemasok energi (food energy intake) dengan menghitung total
pen­dapatan atau belanja yang setara dengan kebu­tuh­an nutrisi individu.
Pendekatan ini digunakan oleh Pakistan untuk memprediksi garis ke­
miskinan yang didasarkan pada kebutuhan kalori sebanyak 2550 bagi
orang dewasa per hari, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan.
Pen­dekatan lain adalah biaya kebutuhan dasar untuk menentukan garis
kemiskinan. Garis kemiskinan adalah jumlah total biaya makanan dan
non-makanan dalam keranjang konsumsi dasar dan karenanya ber­beda
dari satu tempat ke tempat lainnya. Jadi garis kemiskinan harus mema­
sukkan total pembiayaan atau belanja item-item makanan dan non-
makanan.
Cara-cara untuk mengukur kemiskinan sebagaimana dijelas­ kan
di muka dipandang sangat objektif, terukur, dan dapat diban­dingkan.
Sementara kita tahu bahwa kemiskinan jauh lebih luas dari sekadar pen­
dapatan dan keuangan. Ia berhubungan dengan ketidakcukupan dalam
hal kesehatan, nutrisi, intelektual, relasi sosial, ketidakamanan, harga
diri rendah dan ketidakberdayaan. Oleh karena itu, masalahnya adalah
bahwa hubungan antara kemiskinan pendapatan dan deprivasi dalam
hal kemampuan dasar masih belum jelas dan dalam banyak hal belum di­
terangkan dengan memadai. Dengan kata lain, meskipun penda­patan jelas

96 Zakiyuddin Baidhawy
merupakan suatu indikator kesejahteraan, namun ia jauh dari ukuran
yang mendekati sempurna dalam melihat dan memihak ke­miskinan.
Karena itu, kita membutuhkan suatu informasi dan cara baru untuk
memahami kemiskinan. Definisi kemiskinan sebagaimana telah dikupas
pada bagian terdahulu membuka peluang dirumus­kannya pendekatan
Islam berbasis enam kebutuhan dasar (maqashid al-syariah) beserta indi­
kator-indikator operasionalnya untuk mem­­bantu memudahkan gam­
baran tentang aspek-aspek penting dalam kehidupan ini. Dengannya kita
menunjukkan bahwa Islam memberikan pemahaman, sikap, dan tindakan
yang jelas memihak kepada kaum miskin.

1. Kebutuhan Agama (Hifz al-Din)


Agama dipandang sebagai kebutuhan dasar atau hak fundamental
bagi setiap individu. Seseorang harus bebas menjalankan agama sesuai
dengan pilihannya. Tidak ada paksaan dalam bentuk apa pun dalam me­
milih agama, tidak ada halangan atau hambatan untuk menjalankannya
(QS. Al-Baqarah 2; 256).
Memang sangat sulit mengukur hak untuk mempraktikan agama
meskipun ada indeks yang berusaha mengukurnya. Ba­nyak negara yang
diklasifikasikan menurut Indeks Virginia seba­gai negara yang tidak bebas,
namun dinyatakan tidak benar menurut paradigma pembangunan tra­
disional. Kebebasan untuk men­jalankan agama adalah masalah proble­
matik karena kita mesti memasuki wilayah hak-hak asasi. Data untuk
mengukurnya dapat dilihat pada indeks kebebasan beragama (http://
religiousfreedom.lib.virginia.edu/pageindex.html).
Kemampuan untuk menjalankan agama sangat tergantung pada
kebebasan beragama, sumber daya, dan waktu untuk melakukannya.
Oleh karena itu, dapat dikemukakan di sini bahwa kemiskinan dari segi
ke­butuhan agama terjadi jika ada peraturan-peraturan hukum yang
mencegah individu untuk menjalankan agamanya; individu memiliki
waktu luang kurang dari lima jam per minggu; individu memiliki tingkat
kon­sumsi sama dengan atau kurang dari kebutuhan minimum yang di­
perlukan untuk mempertahankan biaya kebutuhan-kebutuhan dasar;
tidak adanya tempat ibadah di wilayah tertentu yang dapat dijangkau.

Visi Baru Keberpihakan 97


2. Kebutuhan Fisik (Hifz al-Nafs)
Kebutuhan fisik di sini merujuk pada tubuh/jasmani yang sehat,
yang termasuk di dalamnya item-item dasar seperti pangan, sandang,
papan, transportasi, kesehatan dan sebagainya. Untuk mengukur ke­
miskinan dalam pemenuhan kebutuhan fisik ini ditetapkan beberapa
indikator sebagaimana tertera dalam HDI/HPI antara lain: angka
harapan hidup pada kelahiran, angka kematian anak-anak, penduduk
kurang gizi, penduduk hidup dengan HIV/AIDS/Malaria, kelahiran yang
ditangani oleh tenaga medis terampil, dokter/perawat per seratus ribu
penduduk, dan prosentase penduduk yang diimunisasi. Namun indeks
ini bukan satu-satunya indikator kesehatan. Kesehatan fisik termasuk di
dalamnya adalah akses kepada makanan, perumahan, pakaian, dan ini
membutuhkan informasi lebih rinci dari data survey rumah tangga me­
nyangkut asupan kalori, tingkat keamanan makanan, informasi rumah
tangga berkaitan dengan kualitas rumah, aset-aset tetap, belanja untuk
barang-barang tahan lama seperti belanja makanan, produksi rumah
tangga, belanja non-makanan, dan penduduk tanpa akses pada sumber
daya air bersih.
Jika kita berasumsi bahwa kebutuhan fisik berarti tidak lain dari
makanan, pakaian, dan kesehatan, kita dapat mengatakan bahwa ke­
miskinan terjadi bila asupan kalori individu berada di bawah tingkat
kebutuhan minimum secara nasional; pendapatannya di bawah ke­
butuhan non-makanan minimum yang menunjukkan bahwa sebuah
rumah tangga tidak memiliki pendapatan yang diperlukan untuk mem­
beli kebutuhan utama seperti pakaian, perbaikan rumah, dan kesehatan;
jumlah dokter/perawat per seribu penduduk berada di bawah kriteria
WHO; harapan hidup/kematian bayi lebih rendah di bawah standar
inter­nasional; sebuah keluarga/komunitas tidak memiliki akses kepada
sumber daya air bersih dan aman.

3. Kebutuhan Intelek atau Pengetahuan (Hifz al-`Aql)


Islam mengelompokkan pengetahuan ke dalam dua macam: pe­
ngetahuan dasar atau fundamental yang harus dipenuhi setiap individu;
dan pengetahuan spesifik yang harus dipenuhi hanya oleh sekelompok
orang dalam masyarakat. Pengetahuan dasar atau fundamental termasuk
seluruh yang bermanfaat dalam hidup keseharian. Pengetahuan ini juga

98 Zakiyuddin Baidhawy
termasuk ritual-ritual keagamaan atau tindakan-tindakan pengabdian
men­dasar dan seluruh penge­tahuan sains dan seni lain yang berguna
dalam kehidupan ini.
Pengetahuan dasar dapat dilihat dengan ukuran-ukuran sederha­
na berkaitan dengan perolehan pendidikan, seperti tingkat melek huruf
orang dewasa, tingkat melek huruf perempuan, partisipasi sekolah dan
akses kepada pendidikan pra sekolah, pendaftaran sekolah dasar, me­
nengah dan tinggi.
Jika kita menerima bahwa pengetahuan dasar itu adalah ketram­pilan
yang dibutuhkan untuk bertahan hidup, maka kita dapat mengatakan
bahwa kemiskinan terjadi pada mereka yang buta huruf, dan gagal men­
capai setidaknya pendidikan dasar secara penuh.

4. Kebutuhan Keturunan (Hifz al-Nasl)


Islam melihat masalah keturunan sebagai kebutuhan yang ada
dalam setiap orang sekaligus sarana untuk mengembangkan ras manusia.
Memang sangat sulit untuk mengukur kemampuan untuk men­jalan­kan
kehidupan seks sebagai suatu kebutuhan. Setidak­nya kita dapat me­
maknainya sebagai suatu kemampuan untuk memiliki dan membe­sar­
kan anak-anak yang terdidik, dan sehat. Karena itu, untuk lebih dapat
mengkuantifikasinya kita bisa mengikuti kriteria dalam HDI/HPI, me­
liputi akses kepada fasilitas pendidikan, pemeliharaan dan pelayanan
kesehatan pra dan pasca kelahiran, tahapan-tahapan imunisasi bagi bayi,
angka kematian bayi, anak-anak yang memiliki berat badan di bawah
normal dari umurnya, dan sebagainya.
Jika seorang individu tidak dapat memiliki dan melahirkan keturunan
atau anak-anak yang terdidik dan sehat, maka ia dapat dikatakan sebagai
orang miskin. Karena itu, kita dapat mendaftar sejumlah kriteria bahwa
seorang indvidu dapat dikatakan miskin antara lain: mereka yang tidak
me­miliki akses kepada pemeliharaan dan pelayanan kesehatan pra dan
pasca kelahiran; mereka yang memiliki bayi yang tidak memperoleh
imunisasi untuk melawan penyakit-penyakit berbahaya umumnya; me­
reka yang memiliki anak-anak dengan berat badan kronis; mereka yang
pendapatan/konsumsinya berada di bawah kebutuhan non-makanan
minimum, dan sebagai akibatnya kita berasumsi bahwa mereka tidak
memiliki cukup bekal untuk keturunan mereka.

Visi Baru Keberpihakan 99


5. Kebutuhan Harta/Kekayaan (Hifz al-Mal)
Kekayaan jelas merupakan kebutuhan manusia yang fundamental.
Kekayaan di sini dapat ditafsirkan sebagai stok atau arus. Dengan kata
lain, kita dapat membahas perihal harta yang dimiliki yang dapat meng­
hasilkan pendapatan atau pekerjaan yang menghasilkan imbalan atau
penghasilan. Dengan mengadopsi HPI/HDI kita dapat mengukurnya
melalui beberapa data tentang pendapatan/konsumsi per kepala baik
men­cakup kebutuhan makanan yang paling pokok dan kebutuhan non-
makanan pokok, jenis pekerjaan, aset rumah tangga tetap, aset rumah
tangga tidak tetap, informasi rumah tangga meliputi daftar anggota
keluarga, sumber-sumber penghidupan, akitivitas-aktivitas pekerjaan
ber­upah, pekerjaan jangka panjang, gaji pegawai, bisnis perdagangan,
kiriman uang, pekerjaan dan migrasi yang mencakup upah dan jenis pe­
kerjaannya.
Seorang individu jelas dapat dikatakan sebagai miskin apa­bila ia
memiliki tingkat kekayaan di bawah kecukupan untuk mempertahankan
hidup, yaitu jika konsumsi atau pendapatannya berada di bawah ke­
butuhan non-makanan minimum; pekerjaannya rentan dan upahnya di
bawah upah minimum nasional; rumah tangga yang sangat tergantung
kepada uang kiriman; aset rumah tangga kurang dari 50% dari rata-rata
nasional.

6. Kebutuhan Lingkungan (Hifz al-Bi’ah)


Sebuah Pendasaran
Sumber daya lingkungan dan sumber daya alam pada hakikatnya
diciptakan Allah sebagai sumber kehidupan dan penghidupan bagi se­
luruh makhluk, tak terkecuali manusia. Manusia dapat mengeksplorasi
sumber daya alam dan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan-ke­
butuhan dan keinginan manusia. Ini bukanlah hal buruk sejauh ke­
butuhan dan keinginan itu tidak akan membahayakan kelangsungan
hidup dirinya dan masyarakat pada umumnya, serta spesies lain yang
juga mempunyai hak hidup. Memenuhi dan memanfaatkan kebutuhan
dan keinginan harus berada dalam kerangka dan batasan-batasan ter­
tentu agar konsumsi atas sumber daya alam tidak melanggar “rambu-
rambu ekologis dan kemanusiaan” dan menjamin keberlangsungan masa

100 Zakiyuddin Baidhawy


depan. Ini mensyaratkan adanya dimensi pertanggung jawaban manusia
atas perilakunya kepada Allah yang Maha Kuasa. Dengan cara demikian,
eksplorasi sumber daya alam berkeadilan akan bersikap rasional dan
mencari jalan yang benar-benar terbaik untuk memanfaatkan keka­
yaannya.
Pemanfaatan sumber daya alam tidak semata berorientasi ke­­dunia­
an dan berjangka pendek, namun juga memastikan kehidup­an jangka
panjang dan bekerja untuk kesejahteraan ekologis dan kemanusiaan me­
lalui suatu pengurangan dalam pemborosan dan eksploitasi yang tidak
penting.
Perilaku ini harus berpijak pada prinsip keselamatan, yakni sustaina­
bility dan investasi masa depan. Untuk itu, Islam menegas­kan tentang
berjuang untuk kesinambungan generasi masa depan, kemakmuran
bumi dan sekaligus larangan melakukan kerusakan atas lingkungan.
Visi kesinambungan generasi masa depan tersurat dalam ayat berikut:

“Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaknya


setiap diri memerhatikan perbuatannya untuk kepentingan masa depan, dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu perbuat” (QS. Al-Hasyr 59:18).

Sumber daya yang berlimpah dapat disimpan dan pada saatnya


dapat dialihkan untuk menambah produksi dan distribusi guna me­me­
nuhi kebutuhan barang-barang. Keyakinan pentingnya masa depan dan
per­tanggung jawaban Hari Akhir, dapat mencegah seseorang untuk
memperkaya diri melalui sarana-sarana yang haram dan merugikan, dan
ini berarti membantu orang lain dengan tidak menyembunyikan batas-
batas peluang mereka dan tidak mencabutnya dari mata pencaharian
mereka.
Dengan demikian, Islam mengedepankan suatu perspektif jangka
panjang untuk tindakan produksi dan konsumsi manusia terhadap
sumber daya dan lingkungan tersebut. Islam tidak meng­­hendaki individu
melupakan kepentingan mereka sendiri, namun karena sumber daya
itu terbatas, ia tidak layak bertindak ekstrem untuk menjadi manusia
ekonomi (homo economicus) dan mengabaikan kelangsungan hidup ekologis
dan kemanusiaan secara individual maupun sosial.

Visi Baru Keberpihakan 101


Visi kesinambungan generasi juga secara tegas dinyatakan oleh al-
Qur’an:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya me­
ning­galkan mereka generasi yang lemah, yang mereka khawatir akan
kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka takwa kepada Allah
dan mengucapkan perkataan yang benar” (QS. Al-Nisa’ 4:9).

Kedua, Islam mengedepankan prinsip konservasi lingkungan alam


dan manusia. Prinsip tentang konservasi kehidupan ini tercer­min dalam
ungkapan larangan berbuat kerusakan di muka bumi (fasad fi al-ard dan
al-`ayts fi al-ard). Ungkapan yang pertama tersebut dalam al-Qur’an
sebanyak 51 kali. Ayat-ayat tersebut antara lain bicara dalam dua konteks:
Pertama, ayat yang membincang tentang perlunya proteksi dan jaminan
terhadap kehidupan kemanusiaan:
“Barangsiapa membunuh seorang manusia bukan karena orang itu mem­
bunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di muka bumi,
maka seolah-olah dia telah membunuh semua manusia. Dan barangsiapa me­
melihara kehidupan seorang manusia maka seolah-olah ia telah memelihara
kehidupan semua manusia” (Q.S. Al-Maidah 5:32).

Membunuh jiwa tanpa hak adalah menghilangkan kehidupan se­


orang manusia tanpa sebab yang mewajibkan qisas atau tanpa sebab
berbuat kerusakan di muka bumi yang dapat mengganggu keamanan
dan ketentraman (al-Zuhayli, 1998: vol. 6, 156). Pem­bunuhan semacam
itu layak dipandang sebagai membunuh semua orang karena di hadapan
Allah tidak ada perbedaan antara orang perorang, musuh bagi satu orang
adalah musuh bagi masyarakat manusia secara menyeluruh. Demikian
juga dengan perusak alam dan lingkungan hidup, mereka adalah “pem­
bunuh” kehidupan ini. Sebaliknya orang yang menghidupkan manusia
lain adalah mereka yang mengharamkan pembunuhan atas manusia atau
mencegah terjadinya pembunuhan. Dengan demikian, tindakan mereka
itu merupakan wujud pemberian kehidupan bagi semua manusia dengan
cara memperluas jaminan keamanan dan ketentraman. Demikian pula
para pejuang lingkungan hidup adalah para “mujahid” yang telah menye­
lamatkan kehidupan bagi semua makhluk di muka bumi.

102 Zakiyuddin Baidhawy


Keterangan tentang ayat ini mengandung dua manifesto perlin­
dungan atas hak asasi manusia paling fundamental: jaminan atas ke­
bebasan setiap individu manusia untuk hidup di muka bumi, sekaligus
jaminan atas kehidupan bersama semua masyarakat manusia. Adalah
antitesis kebenaran (haqq) segala tindakan meram­pas hak hidup individu
dan kolektif manusia. Hanya dengan membiarkan mereka menikmati
kebebasan hidup itu, maka kelangsungan kehidupan ini memperoleh
kepastian.
Terdapat ayat-ayat yang mengupas keharusan untuk menjamin
kesinambungan lingkungan alam, melalui ungkapan fasad fi al-ard seperti:
“Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan perbuatan manusia
supaya Allah merasakan kepadanya sebagian dari akibat perbuatannya, agar
mereka kembali ke jalan yang benar” (Q.S. Al-Rum 30:41).

Berbuat kerusakan di muka bumi itu banyak macamnya, mulai dari


perbuatan syirik sebagai kerusakan terbesar, membunuh sesama ma­
nusia tanpa alasan yang benar, penguasa tiran yang suka merampas harta
rakyatnya, dan seluruh tindakan yang membuat kehidupan di desa-desa
dan kota-kota tidak nyaman dan aman bagi penghuninya (al-Qurtubi,
2002: vol. 7, 364-365).
Ungkapan al-`ayts fi al-ard mengemukakan konsep yang juga tak
kurang komprehensifnya berkenaan dengan apakah manusia mempunyai
otoritas tak terbatas dalam menangani sumber daya alam atau tidak.
Ada ayat yang mengecam kesewenang-wenangan kaum Syu’aib yang
dapat melahirkan dampak buruk tidak hanya bagi pelaku namun juga
keseluruhan sistem sosial-ekonomi. Secara jelas, ayat 85 dalam surat Hud
menerangkan tindakan yang berujung pada akibat-akibat negatif bagi
kehidupan dunia.
“Dan Syu`aib berkata: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan
dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak
mereka dan janganlah kamu berbuat kejahatan di muka bumi dengan mem­
buat kerusakan”.

Dalam ayat ini, larangan berbuat kerusakan mengandung dua pe­


ngertian (al-Thabathabai, 1991: vol. 22, 351). Pertama, al-`ayts bermakna

Visi Baru Keberpihakan 103


segala tindakan yang dapat menyebabkan kerusakan di muka bumi
dan perbuatan tersebut dapat ditangkap secara inderawi atau de facto.
Dengan kata lain, meskipun belum ada aturan hu­kum yang secara eks­
plisit menyatakan suatu tindakan tertentu dapat dikategorikan dalam
perbuatan merusak, namun jika pada kenyataannya menimbulkan
dampak negatif terhadap kehidupan di muka bumi, maka tindakan ter­
sebut harus dicegah atau dilarang. Lebih jauh dapat pula ditafsirkan
bahwa suatu tindakan yang secara de jure memperoleh legitimasi, namun
bila dari segi dampaknya de facto merugikan, maka tindakan itu juga harus
dicegah atau dilarang.
Kedua, al-`athiy bermakna perbuatan-perbuatan yang jelas dapat di­
kategorikan dapat menyebabkan kerusakan dan secara de jure termasuk
dalam tindakan pelanggaran atas aturan hukum yang ada.
Pentingnya menjaga sustainablity generasi masa depan, dan proteksi
atas lingkungan manusia dan lingkungan alam sebagaimana telah dibahas
di depan, memperoleh penguatan dalam Islam berupa perjuangan untuk
menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan di muka bumi, seperti ter­
surat dalam ayat: “Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu
pemakmurnya” (Q.S. Hud 11:61).
Ayat ini menegaskan bahwa materi penciptaan manusia (Adam)
kali pertama berasal dari tanah, manusia berikutnya ter­cipta dari air mani
(nutfah) dengan seluruh proses evolusinya. Asal nutfah adalah darah
dan darah berasal dari sari-sari makanan yang berasal dari tumbuh-tum­
buhan dan hewan. Tumbuh-tum­buh­an dan hewan juga hidup dari tanah.
Karena itu logis jika manusia memiliki tanggung jawab memakmurkan
bumi melalui berbagai macam aktivitas seperti pertanian, perkebunan,
industri, dan pem­bangunan secara menyeluruh. Bumi pasti akan mene­
rima semua tindakan pemakmuran yang bermanfaat baik bagi manusia
itu sendiri maupun lingkungan alam umumnya.
Semua ayat di muka adalah dasar bahwa perilaku eksplorasi sumber
daya alam dan lingkungan perlu mempertimbangkan prinsip hifz al-bi’ah,
yakni menjaga lingkungan secara menyeluruh — lingkungan kemanusiaan dan
lingkungan alam — demi memelihara kesinambungan (sustainability) generasi dan
menyelamatkan masa depan melalui tindakan pemakmuran bumi dan mencegah
kerusakan baik secara de facto maupun de jure.

104 Zakiyuddin Baidhawy


Indikator Kebutuhan Lingkungan
Lingkungan yang dimaksud di sini meliputi lingkungan alam dan
lingkungan kemanusiaan. Lingkungan alam mencakup tanah, air,
udara, binatang, dan tumbuhan. Membicarakan tentang kebutuhan ling­
kung­an berarti memerhatikan masalah daya dukung lingkungan atas
kesejahteraan manusia secara individu maupun kelompok. Ia berkaitan
dengan adanya jaminan atas: kebebasan setiap individu manusia untuk
hidup di muka bumi; jaminan atas kehidupan bersama semua masya­
rakat manusia; dan jaminan kelestarian bagi spesies non-manusia.
Jika kita menerima asumsi bahwa lingkungan adalah salah satu
kebutuhan manusia, maka dapat dikatakan bahwa seorang individu
adalah miksin jika: secara substansif, pekerjaan, pendapatan dan kon­
sumsinya bukan termasuk yang haram atau bercampur antara yang halal
dan haram, dan tidak membahayakan jiwa dan akal; Dari segi cara
mem­peroleh pekerjaan, pendapatan dan konsumsinya halal; dari segi
dampaknya, pekerjaan, pendapatan, dan konsumsinya mempedulikan
kelestarian lingkungan, menjamin kelangsungan keanekaragaman hayati,
swasembada pangan, bebas polusi tanah, udara dan air, dan menjaga
sanitasi lingkungan, menghindarkan dari bencana ekologis (ecological
cathastroph).

Visi Baru Keberpihakan 105


BAB
VISI KEPEMIMPINAN PROFETIK-
IV TRANSFORMATIF AL-MAUN

Dalam masyarakat yang terobsesi dengan kekayaan, kekuasaan, dan


imperatif kesuksesan material, sudah selayaknya kekuatan-kekuatan
Islam menegaskan kembali khittah al-Maun sebagai opsi “keberpihakan
ke­pada kaum mustadh`afin” secara serius. Kekuatan-kekuatan dan or­
gani­sasi-organisasi sipil dalam masyarakat Islam harus menyediakan
diri untuk memobilisasi orang-orang miskin agar mereka mampu me­
lompati gerbang harapan yang membawa mereka lepas dari jurang pe­
miskinan dan penindasan. Mobilisasi ini harus dipandu oleh sejumlah
konsep gerakan yang viable berorientasi pada aksi langsung, bahkan juga
memiliki analisis yang efektif tentang sistem dominasi dan hegemoni,
dan berakar pada etika profetik qur’anik, transformasi nirkekerasan dan
cinta kemanusiaan. Di samping kombinasi teori dan praksis itu adalah
refleksi kritis dan kesadaran kritis yang membimbing kekuatan-kekuatan
sipil Islam ini.
Efektifitas organisasi-organisasi sipil Islam membutuhkan parti­
sipasi dan integrasi kaum intelektual, kaum tertindas, para aktivis dan
agamawan, sehingga memperoleh kekuatannya dari keragaman parti­
sipan dan ketaatannya pada aksi langsung. Ini semua akan menghasil­kan
konsesi signifikan bagi kaum tertindas melalui gerakan sosial baru yang
visibel. Hanya dengan mencelupkan diri (sibghah) dalam per­juangan
mengentaskan kemiskinan, organisasi-organisasi sipil Islam ber­partisipasi
menegakkan keadilan sosial.

106 Zakiyuddin Baidhawy


Organisasi-organisasi sipil Islam tidak dapat mengabaikan struktur
kekuasaan kapan dan di manapun dalam “melakukan” teologi al-Maun.
Teologi al-Maun menawarkan pandangan tentang dosa dan kejahatan
sebagai “fakta sosial dan historis” (al-dhunub al-ijtima`iyah) yang merupa­
kan cermin ketiadaan cinta dalam hubungan antarmanusia dan juga
dalam hubungan manusia dengan Allah. Menurut teologi al-Maun, dosa
menuntut pembebasan radikal dan pada akhirnya pembebasan politik.
Dari perspektif ini, struktur kekuasaan yang menciptakan ketidakadilan
dan ketimpangan sosio-ekonomi adalah inti kejahatan di muka bumi.
Menghadapi skenario pertumbuhan kesenjangan yang semakin
lebar, teologi al-Maun berada pada titik kritis waktu. Untuk kepentingan
itu, diskusi-diskusi yang fokus pada teologi serta implikasi-implikasi
sosio-ekonomi dan politik dari pesan-pesan qur’anik itu menjadi batu
tumpuan sebagai kabar baik dan spirit bagi orang-orang miskin baru.
Hanya dengan cara ini, kekuatan-kekuatan sipil Islam dapat kembali
meng­ hunjamkan khittah keberpihakannya kepada gerakan al-Maun
dengan wajah praksis sosial baru yang lebih manusiawi.

A. WAHYU TRANSFORMATIF: SEBUAH ANCANGAN


“Transformatif ” adalah satu prinsip Islam tak terbantahkan (QS.
Al-Ra`d 13:11). Terbukti bahwa wahyu “statis” yang terpenjara dalam
“teks” terus dapat berdialog dengan konteks sejarah masa lampau,
sekarang dan proyeksinya ke masa depan. Sebagai teks baku dan atau
di­bakukan dalam bentuk mushaf, al-Qur’an tentu tidak dapat bicara
sendiri dengan realitas, ia memerlukan manusia sebagai “penafsir” yang
bervisi transformaif pula sehingga menjadi wahyu transformatif. Di sisi
lain, sebagai wahyu transformatif, ia merekam seluruh spektrum per­
juangan para nabi yang dihadapkan pada “pilihan memihak” antara yang
berkuasa atau lemah. Mereka dengan tegas memihak kaum lemah. Nabi
SAW dalam sebuah doanya, berkomitmen untuk hidup, tumbuh dan
mati bersama yang lemah. Demikian pula Yesus berjuang keras sebagai
pembela kaum papa. Musa menjadi simbol otentik perlawanan terhadap
arogansi kekuasaan Fir’aun. Pemihakan para nabi kepada kaum papa,
dhuafa/lemah, dan tertindas, menjadi fakta sejarah terjadinya proses
penafsiran al-Qur’an secara transformatif. Para nabi sebelum menjadi

Visi Kepemimpinan Profetik-Transformatif Al-Maun 107


instrumen wahyu transformatif, juga berfungsi sebagai penafsir kalam
yang transformatif dan terus berdialog dengan situasi, konteks, serta
kebutuhan komunitas. Al-Qur’an secara lebih tegas menunjukkan dan
mengakarkan ke arah pembebasan kaum papa, lemah, dan tertindas
dengan menunjuk teks mustad`afin (Q.S. Al-Anfal 8:26, Al-Nisa’ 4: 75,
97-98, 127). Teks ini amat transformatif, karena kelemahan yang melekat
pada mereka, menurut tinjauan al-Qur’an, disebabkan bukan by nature,
by accident, melainkan oleh faktor-faktor luar lainnya (by design), yang
dalam istilah sosiologis disebut faktor-faktor “struktural” atau dalam
ter­minologi politik, diakibatkan oleh sistem kekuasaan yang otoriter,
represif dan tiran.
Penggunaan al-Qur’an dengan merujuk teks mustadh`afin sebagai
kelompok lemah, marginal, dan tertindas tersebut terlihat jelas pada
teks, “dalam harta si kaya”, ada bagian intrinsik bagi orang miskin”
(Q.S.al-Ma`arij 70:25; al-Dhariyat 51:19). Dengan demikian al-Qur’an
mengafir­masikan model “keadilan distributif ”, agar “harta itu tidak
hanya beredar di antara orang-orang kaya saja” (Q.S. Al-Hasyr 59:7).
Hal ini menunjukkan dimensi transformatif teks al-Qur’an yang ber­
dialog dengan situasi sejarah masa silam, dengan konteks kini dan masa
depan saat problem kemiskinan serta penindasan merajalela di mana-
mana. Pada saat yang sama, harta dan kekayaan hanya berputar di antara
mereka yang kaya serta berkuasa. Farid (1997: 1-5) menjadikan teks
mustadh`afin sebagai senjata ampuh untuk membebaskan kaum marginal,
dhuafa, dan tertindas dari rezim penindas apartheid di Afrika Selatan.
Teks tersebut benar-benar mempresentasikan semua penderitaan orang-
orang tertindas di Afrika Selatan.
Ini hanya salah satu contoh di mana penafsiran teks al-Qur’an men­
jadi wahyu transformatif yang kemudian bisa menjadi kekuatan liberatif
terhadap yang lemah, marginal, dan tertindas. Hal tersebut juga meru­
pakan bentuk hermeneutika al-Qur’an yang ditafsirkan sebagai wahyu
transformatif yang memihak dan membebaskan kaum lemah tertindas.
Wahyu transformatif membangkitkan kesadaran etis pro­ fetik.
Kesadaran etis profetik sama sekali bertolak belakang dengan kesa­
daran palsu yang mengutamakan mabuk spiritual. Manusia berkesa­dar­
an etis profetik memiliki karakteristik yang jauh berbeda dari manusia
berkesadaran mistik. Muhammad Iqbal (1985) membedakan antara

108 Zakiyuddin Baidhawy


kesadaran mistik dan kesadaran profetik. Kesadaran mistik meng­
gambarkan bahwa seorang mistik (sufi) tidak memiliki kehendak untuk
kembali dari pengalaman “kesatuan” (kemanunggalan dengan Tuhan),
meskipun pada akhirnya ia kembali, kembalinya tidak bermakna untuk
kema­nusiaan secara luas. Ia memandang pengalaman kesatuan adalah
sesuatu yang final, pengalaman tertinggi dari transendensi seorang
manusia. Sementara itu, kesadaran profetik mengandaikan bahwa seorang
nabi (pem­bawa kabar perubahan) memandang “kembali” dari pengalaman
transendental ke muka bumi itu bersifat “kreatif ”. Ia kembali melibatkan
dirinya sendiri dalam sayap-sayap waktu (baca: sejarah) dengan suatu
pandangan dan kehendak untuk mengendalikan kekuatan-kekuatan
sejarah, dan melalui kreasi ini ia dapat menciptakan suatu dunia ideal
yang menyegarkan. Pengalaman keagamaan, menurutnya, adalah suatu
kebangkitan spiritual yang menggairahkan kekuatan-kekuatan psikologis
yang membentuk dunia. Pengalaman ini dipandang sebagai transformasi
secara paripurna dunia kemanusiaan. Kembalinya ke dunia merupakan
upaya untuk menguji secara pragmatik dan praksis nilai-nilai pengalaman
keagamaannya.
Dengan demikian, kesadaran etis profetik merupakan sarana me­nuju
transformasi dunia. Ada kehendak dalam diri seseorang untuk melihat
pengalaman keagamaannya dapat ditransformasi dan dimanifestasikan
menjadi kekuatan dunia yang hidup. Dalam aksi kreatifnya, ia hendak
menguji dan menilai baik pengalaman keagamaan itu sendiri sekaligus
dunia faktual konkret di mana ia bermaksud untuk mengobjektifikasi
pengalamannya itu. Oleh karena itu, manusia berkesadaran etis profetik
menyingkap hijab pandangannya untuk melihat sejarah, dan melalui ke­
sadaran historis inilah ia menguji kemanusiaannya dan dunia kultural
yang berasal dari spirit pesan atau risalah perubahan yang diembannya.
Sepuluh tahun kemudian setelah terbitnya buku Reconstruction of
Religious Thought in Islam, Kuntowijoyo (1995) menguatkan pandangan
Iqbal dengan klaim objektifikasi sebagai upaya internalisasi dan ekster­
nalisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata. Profetisme ditafsirkan
Kunto mengandung tiga spektrum gerakan, yakni humanisasi, liberasi,
dan transendensi. Tiga spek­trum gerakan ini bertujuan untuk membentuk
masyarakat utama (khayr ummah), yang merujuk pada kehendak dan cita-
cita luhur perjuangan Muslim untuk mewujudkan tatanan sosial-politik

Visi Kepemimpinan Profetik-Transformatif Al-Maun 109


yang berkeadilan. Sayangnya hingga kini bentuk nyata dari penanda itu
masih jauh dari harapan. Hadirnya tinanda itu sendiri sebenarnya telah
disebutkan dalam penggalan ayat Ali Imran 3:110, bila tiga karakter
utama yang menjadi prakondisi khayr ummah terpenuhi: yakni humanisasi
(al-amr bi al-ma’ruf), liberasi (al-nahy ‘an al-munkar) dan transendensi (iman
billah). Yang pertama berkaitan dengan perjuangan untuk memanusiakan
manusia, mengembalikan posisi manusia pada fitrahnya; yang kedua
merupakan gerak pejuangan menentang penindasan dan ketidakadilan,
serta pembebasan dalam bidang ekonomi, sosial-budaya, politik, dan
ilmu pengetahuan; dan yang terakhir melandaskan semua perjuangan
humanisasi dan liberasi pada ruh transendental keimanan kepada Tuhan.
Khayr Ummah dalam tiga konteks di muka banyak disebutkan dalam
al-Qur’an. Ini menegaskan bahwa al-Qur’an sebagai wahyu trans­for­
matif adalah kitab dengan pilihan keberpihakan pada nilai-nilai kema­
nusiaan. Selama ini al-Qur’an hampir selalu dipahami dan dicarakan
dalam perspektif ketuhanan. Al-Qur’an bukan sebuah kitab yang hanya
berbicara tentang Tuhan, surga, setan, malaikat, kematian atau akhirat
saja, melainkan juga tentang sejarah dunia dan alam semesta dengan
segala isinya. Semua masalah itu dibicarakan dalam kerangka kema­nu­
siaan dan kehidupan duniawi.
Beberapa contoh berikut ini dapat memperjelas pernyataan ter­
sebut. Pertama, al-Qur’an memaparkan sejarah bangsa-bangsa atau ke­
lom­pok-kelompok umat manusia. Pada suatu saat, mereka tumbuh dan
berkembang menjadi kelompok yang kuat dan besar, di saat lain mereka
itu hancur lebur ditelan sejarah (QS. Al-An`am 6:131; Hud 11:102).
Kedua, al-Qur’an juga mengisahkan mengenai kehidupan suatu bangsa
yang penuh kedamaian, kemakmuran, dan kesejahteraan, berkeadilan,
peka terhadap persoalan rakyat, bahkan terhadap lingkungan alam; yaitu
dunia dan hewan. Kisah tentang bagaimana bangsa dan sekelompok
manusia lainnya dilanda malapetaka dan berbagai penderitaan serta
bencana secara terus menerus, semuanya itu tersebar hampir di semua
surat al-Qur’an. Ketiga, model pemimpin dan kepemimpinan juga bisa
dibaca dalam al-Qur’an. Sebuah bangsa yang besar dan kaya tetapi di­
pimpin oleh raja yang otoriter, represif dan tiran, dengan para pejabat
yang korup serta kesejahteraan yang hanya dinikmati oleh segelintir elit
yang berkuasa, tidak akan pernah hidup lama, bahkan segera hancur.

110 Zakiyuddin Baidhawy


Sebaliknya al-Qur’an, juga mengisahkan suatu bangsa besar dan makmur
yang dipimpin raja dan para pemimpin yang adil, yang mau memahami,
mendengarkan keluh kesah rakyatnya, bahkan keluh kesah hewan dan
tumbuhan akibat ulah manusia. Keempat, di dalam al-Qur’an dapat pula
dibaca dan direnungkan berbagai kisah dramatis bagaimana Nabi Musa
vis a vis Fir’aun, Qarun, Hamman dan Samiri, dan Nabi Yusuf melawan
ke­zaliman, penindasan dan eksploitasi yang tampil ke panggung sejarah
peradaban dengan posisi serta situasi krusial yang dihadapinya. Masih
banyak contoh lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Dengan demikian wahyu transformatif memfungsikan diri sebagai
petunjuk bagi manusia agar bisa membedakan jalan hidup yang terang
dan gelap. Al-Qur’an tidak hanya memfokuskan diri pada hal-hal ilahiah
(transendensi, iman billah), tetapi bagi pelayanan kepentingan kemanu­
siaan dan emansipasi itu sendiri. Al-Qur’an hadir sebagai suatu kritik
atau tandzir (peringatan) terhadap kebiasaan hidup manusia yang tidak
produktif. Meskipun kitab ini mencatat nama-nama Tuhan yang terdapat
dalam 1.882 ayat (hampir 30 % dari seluruh ayat al-Qur’an yang ber­jumlah
lebih dari 6000 ayat), namun nama-nama tersebut berkaitan dengan
informasi tentang berbagai persoalan di sekitar diri manusia dan alam.
Wahyu transformatif pada akhirnya melahirkan pengetahuan praksis
pembebasan yang bertumpu pada dua wacana dan gerakan: yaitu iqra’
dan nur. Iqra’ adalah sebentuk transformasi paradigmatik dari buta huruf
ke melek huruf, dari kejahiliyahan ke pengetahuan; dari mukjizat dan
mitologi ke rasio dan petunjuk. Nur adalah transformasi praksis dari ke­
gelapan menuju kejayaan; dari kezaliman menuju keadilan. Dengan dua
pengetahuan praksis pembebasan ini, semua bentuk symptom ketidak­
adilan harus ditentang dan dihancurkan. Symptom itu bisa dalam bidang
aqidah berupa politeisme; syptom ekonomi dalam bentuk kapitalis­
me-neo-liberalisme; symptom politik berupa tribalisme, sektarianisme,
ta`asyub dan ashabiyah, perang, kekuasaan tiran; dan bidang sosio-kultural
dalam bentuk kebodohan dan ketidakadilan gender.

B. MODEL KEPEMIMPINAN
Manifesto Islam profetik-transformatif di muka adalah upaya me­
retas jalan transformasi dalam semua lini dan lapisan sosial. Sudah

Visi Kepemimpinan Profetik-Transformatif Al-Maun 111


saatnya wacana keislaman tidak semata berorientasi melahirkan para
“orientalis”, meminjam Moeslim Abdurrahman (2005), dalam arti
mereka sangat intens dalam intellectual exercise, namun hasil-hasil kajian­
nya tidak memberikan dampak atas perubahan sosial. Para intelek­tual
semacam ini menguasai kajian-kajian ilmiah, dan dengan bekal penge­
tahuan ilmiahnya mereka memiliki kapital budaya (symbolic capital). Melalui
kapasitas intelektualnya pula kapital budaya ini dapat dikembangkan men­
jadi kapital uang atau kapital politik.
Dalam konteks negara-negara di dunia ketiga yang penduduk­nya
masih banyak berjuang meraih harkat dan marabat yang lebih baik,
mengentaskan diri dari kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan,
semata-mata intellectual exercise yang lepas dari keterikatan pada nilai (value-
laden) dan “keberpihakan” politik menjadi absurd. Keberhasilan mereka
sangat janggal bila hanya diukur dari sofistikasi ilmiah dan terbatas pada
nilai-nilai obyektivitas daripada asumsi-asumsi untuk aksi emansipatoris.
Jadi, dapat dikatakan bahwa perubahan orientasi dan visi keislaman
sebagai ladang perjuangan kultural (cultural struggle) ke perjuangan sosial
(social struggle) yang transformatif, memang menghendaki perubahan-
perubahan krusial dalam beberapa hal. Pertama, para intelektual dan
aktivis perlu mengubah orientasi modernitasnya di mana mereka pada
umum­nya merasa bangga sebagai kelas elite baru yang tugasnya sebagai
”pemberi stempel” dan legislasi nilai-nilai universal dan berperan utama
sebagai penafsir teks-teks kebudayaan. Akselerasi perubahan yang
demikian pesat menghendaki pergeseran peran intelektual yang mengekor
paham modernisme dan menjalankan fungsi sebagai pemberi legitimasi
atas proyek-proyek rekayasa modernitas, misalnya good governance, civil
society, dan gender. Kini saatnya kaum intelekual ini menyuara­kan pluralitas
dan hak-hak untuk berbeda. Pergeseran peran dan fungsi inilah yang
me­lahirkan jenis subaltern intellectual, subsltern activists suatu visi yang mene­
kankan keberanian untuk melakukan peran sebagai artikulator, yakni
intelektual kritis yang menentang ketidakadilan, hegemoni dan tatanan
status quo. Intelektual kritis ini selalu peka dan mampu bicara dan me­
nulis tentang kedzaliman dalam ruang-ruang publik (public sphere), me­
nyuarakan ketertindasan dan sekaligus sebagai saksi atasnya, serta kritik
terhadap dosa-dosa sosial demi advokasi kemanusiaan.

112 Zakiyuddin Baidhawy


Dengan demikian, di sini perlu ada keberanian untuk mem­per­
soalkan model kepemimpinan baru kaum intelektual sebagai institusi
masyarakat sipil yang otonom dalam ruang publik. Mereka bicara tegak
atas nama bagian dari masyarakat sipil yang merupakan representasi
suara keberpihakan kelas menengah otonom atas mereka yang marjinal
dan tertindas dalam pusaran pembangunan dan globalisasi. Bukan se­
baliknya menyuarakan kepentingan-kepentingan negara, kapital, pasar,
dan politik penguasa dan hegemonis, dan karenanya lebih merupakan
wakil dari kelas borjuasi baru. Persoalan ini sesungguhnya ingin mene­
gaskan bahwa visi kepemimpinan intelektual lebih membutuhkan peran
jamaah transformatif dalam bingkai pedagogi kemanusiaan. Berikut ini
adalah beberapa alternatif model yang bisa diadopsi dan dikembang­
kan sebagai kepemimpinan profetik-transformatif yang berpihak kepada
kaum dhuafa dan mustadh`afin.

1. Model Advokasi Politik Harun


Harun adalah seorang nabi yang hidup sezaman Nabi Musa dan
Fir`aun. Ia ditugaskan untuk mendampingi dan membantu Musa untuk
menghadapi konstelasi kuasa Fir`aun yang tiran dan menindas, serta
memiskinkan rakyatnya. Karena Musa adalah seorang nabi yang gagap
dan tidak cakap bicara, Harun adalah juru bicara yang piawai. Tugasnya
adalah menyampaikan petisi, argumentasi, dan resistensi sistemik untuk
mendelegitimasi kuasa Fir`aun yang hampir tanpa batas. Kepiawaian
dalam menyam­paikan pandangan-pandangan dalam bentuk tertulis mau­
pun lisan ia tujukan untuk memengaruhi keputusan-keputusan politik
penguasa guna kepentingan rakyat banyak. Oleh karena itu, Harun
mengambil peranan penting dalam suatu proses memengaruhi regulasi
negara untuk kepentingan ekonomi, sosial dan politik rakyatnya. Harun
adalah sosok pemimpin sipil yang menekankan perjuangannya pada
perlunya pemberdayaan dan perlindungan hukum bagi kaum miskin.
Rupanya Harun sadar bahwa kemiskinan dan penderitaan rakyat ber­
hubungan dengan posisi rakyat miskin dalam perlindungan hukum dari
negara.
Dalam wacana dan gerakan pembangunan kontemporer, fokus pada
perlindungan dan pemberdayaan hukum bagi masyarakat miskin memi­
liki kaitan erat dengan upaya-upaya pengurangan bahkan penghapusan

Visi Kepemimpinan Profetik-Transformatif Al-Maun 113


kemiskinan. Dalam rangka memperingati Hari HAM pada 10 Desember
2007, para pakar independen HAM PBB mengeluarkan suatu pernyataan
bahwa “dari perspektif HAM, kemiskinan dapat dijelaskan sebagai
penolakan atas hak-hak asasi seseorang atas serangkaian kapabilitas yang
berhak mereka terima dan kembangkan, dan bahwa kemiskinan meru­
pakan tanggung jawab negara di mana pelanggaran atas hak-hak sipil,
kultural, ekonomi, sosial, dan politik berinteraksi dan secara timbal balik
saling memperkuat satu sama lain. Pendekatan ini berasumsi bahwa
dengan memperbaiki posisi legal dan status kaum miskin, dalam hal
akses kepada pemberdayaan dan perlindungan hukum atas hak milik
mereka, sekaligus perbaikan jaminan keamanan atas lingkungan hidup
mereka, peluang untuk keluar dari kemiskinan mereka menjadi sangat
ditekankan.
Hubungan antara posisi legal dan kesenjangan sosial telah lama
diakui oleh sosiologi hukum. Hubungan ini memiliki dua dimensi: per­
lindungan hukum dan jaminan keamanan untuk akses terhadap sumber
daya, termasuk pengetahuan dan akses menunju lembaga-lembaga yang
sering memberikan keistimewaan kepada orang-orang berpengaruh
dan kaya. Pada saat yang sama, kejahatan, konflik dan ketidaknyamanan
hukum lebih tersebar di wilayah-wilayah di mana warga hidup dalam
kemiskinan dengan sedikit jaminan sumber daya yang aman dan per­
lindungan hukum yang tidak memadai. Pendeknya, posisi legal dan
keamanan pada umumnya merupakan bias sosial yang tidak meng­
untung­kan bagi kaum miskin.
Beberapa tahun terakhir impak posisi legal — akses kepada lem­
baga-lembaga hukum, sumber daya manusia dan sumber daya finansial
mengalami kemajuan — telah menjadi satu bidang minat dalam inter­
vensi pembangunan. Salah satu wujudnya adalah terbentuknya Komisi
Tingkat Tinggi untuk Pemberdayaan Hukum bagi Kaum Miskin pada
tahun 2005. Komisi ini mengemukakan asumsi dan keyakinan bahwa
perang melawan kemiskinan hanya dapat dimenangkan dan tujuan-
tujuan pembangunan mil­lenium (MDGs) hanya dapat dicapai jika peme­
rintah berhasil mengembalikan pengakuan legal atas aset-aset dan
lembaga-lembaga rakyat miskin dan menemokratisasi aturan hukum.
Fakta menunjukkan, sebagaimana juga dikemukakan pada bab
terdahulu, bahwa kebanyakan rakyat miskin dunia hidup dalam sektor

114 Zakiyuddin Baidhawy


informal dan sektor ekonomi yang tidak diakui hukum, tanpa akses
manfaat dan perlindungan tatanan hukum. Rakyat miskin kekurangan
dalam hal perlindungan hukum efektif dan pengakuan atas aset-aset
dan transaksi mereka. Mereka juga kurang memperoleh perlindungan
jaminan hukum atau akses pada pemerataan kesejahteraan dan lembaga-
lembaga yang menyediakan jaminan sosial.
Di sini jelas dibutuhkan suatu advokasi politik hukum bagi orang-
orang miskin dalam kerangka pengurangan dan pengentasan kemiskin­
an melalui penguatan posisi legal mereka. Advokasi politik hukum yang
dimaksud merujuk kepada program-program reformasi sektor keadilan
yang secara eksplisit bertujuan untuk memengaruhi regulasi negara
melalui reformasi tata kelola dalam reformasi keadilan dan sektor-
sektor aturan-aturan perundang-undangan dan hukum. Jadi reformasi
hukum merupakan bagian dari agenda pemberantasan kemiskinan dan
kemiskinan ekstrem (sebagai marjinalisasi sosial dan deprivasi keamanan
jaminan-jaminan mendasar). Kemiskinan mengimplikasikan kombinasi
berbagai ketidakamanan atas jaminan kebutuhan-kebutuhan dasar.
Memang sulit menunjukkan secara khsusus bentuk kemiskinan ekstrem
karena lebih sering tidak tampak, namun nyata di mana individu atau
komunitas tidak diberdayakan untuk menjalankan seluruh hak-hak asasi,
hak-hak sipil, budaya, ekonomi, politik, dan sosial mereka. Di samping
itu, berbagai ketiadaan jaminan atas pemenuhan hak-hak tersebut sering
kali bersifat jangka panjang, kadang-kadang mencakup beberapa
generasi, dan situasi ini berkontribusi pada jatuhnya kemiskinan ke
dalam kemiskinan ekstrem. Individu dan komunitas tertekan kemung­
kinan dan peluang mereka dalam menjalankan tanggung jawab dasar
dan kebutuhan akan keamanan mereka untuk menikmati hak-hak
fundamental. Kondisi global dan sistemik berdampak pada martabat
kemanusiaan dan berpengaruh pada seluruh hak-hak asasi mereka.
Kondisi ini juga memberangus peluang bagi mereka untuk hidup mem­
peroleh kembali hak-hak dasar dan peluang untuk merencanakan masa
depan mereka.
Pemberdayaan atas fungsi-fungsi sosial hukum menghendaki per­
lindungan hukum dan jaminan kebutuhan fisik dasar yang lebih baik,
sekaligus jaminan keamanan atas kekayaan dan aset-aset produksi. Semua
itu menunjukkan peran-peran transformasi sosial yang signifikan.

Visi Kepemimpinan Profetik-Transformatif Al-Maun 115


Perlindungan hukum efektif dan aturan hukum bukan hanya mem­
bantu, bahkan merupakan suatu kebutuhan yang harus ada bagi setiap
warga miskin (dan juga seluruh warga) untuk memperoleh manfaat dan
keuntungan dari sumber daya dan kekayaan material. Meminjam istilah
Amartya Sen, perlindungan hukum mencakup kapabilitas warga untuk
berfungsi sebagai agen sosial dan agen produksi, dan menawarkan
garansi kelembagaan bagi agensi sosial dan produksi. Ia memberi pe­
luang kepada warga untuk memutar roda bisnis tanpa campur tangan
yang tidak perlu. Ia juga membantu para buruh/pekerja mengorganisir
diri mereka demi melindungi kepentingan dan pekerjaan mereka sendiri,
atau melindungi mereka dari campur tangan patron yang tidak berhak
dan para pemilik tanah dan modal yang berkuasa. Lingkungan sosial yang
aman penting bagi pasar-pasar untuk beroperasi, agar para produsen
dapat menjual produk mereka. Ketakutan dan bahaya hilangnya sarana-
sarana dasar produksi — misalnya akses yang aman secara hukum atas
tanah memberikan sedikit kebebasan bagi warga untuk berinvestasi untuk
memanfaatkan dan menghasilkan sesuatu dari tanah tersebut. Kurang­
nya rasa aman dalam bekerja membuat mereka menjadi lebih buruk
dalam situasi siklus ekonomi yang makin menurun, dan mungkin dapat
menjadi bencana bagi mereka yang sudah hidup pada tingkat subsistens.
Bukti-bukti sejarah mencatat pentingnya dan dampak dari hukum
dan perlindungan hukum. Pertumbuhan negara kesejah­teraan modern
secara fundamental, seperti model Norwegia, meng­gambarkan per­
luasan secara bertahap pemberian hak-hak yang aman secara hukum
dalam jejaring hukum yang kompleks, yang melindungi hak-hak buruh
dan jaminan pekerjaan, jaminan sosial bagi mereka yang membutuhkan
pertolongan, perlindungan hukum bagi pensiunan, akses fasilitas ke­
sehatan bagi yang sakit, dan perlindungan khusus bagi kelompok-ke­
lompok tertentu yang butuh bantuan (Andreassen, 2007).
Pemberdayaan hukum kini merupakan agenda yang penting untuk
menjamin kekayaan dan hak milik sebagai sarana produksi, pem­
berian hak dan akses pada tanah (sebagai kekayaan/hak milik atau hak
penggunaannya). Dua hal di atas dipercaya dapat membantu memper­
baiki peluang masyarakat untuk berinvestasi dalam produksi barang
yang dapat dipasarkan dan berkontribusi pada pengurangan kemiskinan
dalam jangka panjang. Dapat disaksikan bahwa sarana penting bagi

116 Zakiyuddin Baidhawy


pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan adalah ketersediaan dana
untuk investasi, dan jaminan atas kekayaan/hak milik yang diakui secara
hukum dapat memberi akses pada modal untuk investasi. Pemberdayaan
hukum dan formalisasinya memang problem yang sulit dalam kerangka
pengurangan kemiskinan. Formalisasi akses pada hak milik/kekayaan
dan aset-aset lainnya sebagai strategi bagi pemberdayaan hukum meng­
hadapi tantangan-tantangan praktis kompleks yang harus dihadapi.
Yang utama dari semua ini adalah sebab-sebab kemiskinan selain dari
kurang­nya akses pada hak-hak atas kekayaan dan kepemilikan.
Kemiskinan adalah fenomena yang sangat kompleks. Peng­ ha­
pusannya memerlukan upaya memecahkan berbagai ketiadaan jaminan
yang membuat rakyat miskin terus berada pada tingkat terendah, dan
karenanya menjadi miskin ekstrem. Secara khusus ada dua hal yang perlu
dijawab di sini: ketidakberdayaan hukum erat hubungannya dengan
dan sering disebabkan oleh marjinalisasi sosial, sekaligus marjinalisasi
politik, dan kurangnya pengaruh dan keterwakilan kepentingan masya­
rakat miskin dalam lembaga-lembaga politik. Kedua, masyarakat miskin
mempunyai kesulitan-kesulitasn dalam memperoleh kembali dan
menjaga kekayaan/hak milik dan aset mereka, ketika mereka mem­per­
olehnya, karena mereka rentan terhadap “waktu-waktu sulit” dan perlu
memperdagangkan aset-aset mereka agar tetap survival atau sebab-sebab
lain yang berkaitan dengan kemiskinan. Agar realistik, upaya-upaya inter­
nasional dan nasional untuk mempekuat posisi legal masyarakat miskin,
dan formalisasi hak-hak kekayaan/kepemilikan dan jaminan atas aset-aset
mereka sebagai metode untuk pengurangan kemiskinan membutuhkan
analisis dan pemahaman tentang peran kondisi dan konteks sosial,
ekonomi, dan politik, untuk melahirkan pemberdayaan hukum. Dalam
proses pemberdayaan kaum miskin melalui perlindungan dan jaminan
hukum atas hak milik/kekayaan dan aset-aset lain yang lebih baik, karena
itu perlu dipahami faktor-faktor yang dapat menjaga keberlangsung­
an pem­berdayaan hukum secara kelembagaan dan melalui kebebasan
untuk mengorganisir dan terlibat dalam aksi kolektif. Hak-hak asasi
tanpa struktur kelembagaan, termasuk dukungan oleh gerakan-gerakan
sosial organisasi-organisasi kolektif, adalah janji kosong, atau meminjam
Thomas Hobbes, “kovenan tanpa pedang hanyalah kata-kata”.

Visi Kepemimpinan Profetik-Transformatif Al-Maun 117


Dengan kata lain, agenda pemberdayaan politik hukum memerlu­
kan perhatian tentang fabrik sosial dan relasi-relasi kuasa dalam konteks
kemasyarakatan yang ada untuk memahami bagaimana struktur sosial
dan ekonomi, pola-pola konflik dan pemisahan, serta lembaga-lembaga
politik yang merupakan bagian dari produksi kemiskinan, dan karenanya
mencerminkan bagaimana kepentingan dan kekuasaan mereprentasi­
kan hambatan dalam melakukan perubahan sturktural. Menjamin sumber
daya masyarakat dan kebebasan agensi untuk memperluas hak-hak atas
kekayaan/kepemilikan dan hak-hak atas aset juga membutuhkan per­
hatian pada hak-hak dan lembaga-lembaga terkait agar hak-hak atas ke­
kayaan/kepemilikan menjadi realistik dan dapat ditekankan sehingga
dapat memenuhi visi pemberdayaan mereka. Dalam konteks inilah
sistem internasional dan nasional dalam norma-norma hak-hak asasi me­
nawarkan jaminan kelembagaan signifikan bagi formalisasi hak-hak atas
aset-aset dalam sektor informal.

2. Model Pendidikan Kritis Musa: Exodus


Musa adalah seorang nabi yang sangat masyhur karena upaya-upaya
persuasifnya yang tak kenal lelah berhadapan dengan kekuatan kemaruk
kuasa yang direpresentasikan oleh tokoh Fir`aun. Ketangguhannya me­me­
ngaruhi dan menentang totalitarianisme, otoritarianisme dan despotisme
politik Fir`aun tidak diragukan. Meskipun memiliki keterbatasan dalam
hal mengartikulasikan pemikiran-pemikirannya secara argumentatif dan
sistematis dalam bahasa lisan, ia tipikal pemimpin yang memiliki kebe­
ranian pasang badan untuk membela dan melindungi rakyatnya yang
bosan ditindas selama berpuluh bahkan beratus tahun. Sebagai manusia
biasa, ada batas kesabaran yang sudah tidak bisa ditolerir oleh Musa
akan kebebalan dan kejumudan kuasa Fir`aun. Pada akhirnya, Musa harus
memilih untuk “eksodus”, keluar memisahkan diri dan melakukan
gerakan separatisme dari kekuatan politik Fir`aun. Ia bersama-sama
rakyatnya yang menderita karena kebijakan-kebijakan politik penguasa
dan setia kepada kebenaran, memilih pengasingan sebagai sebuah per­
la­wanan akhir ketika sudah tidak ada jalan lain untuk kompromi. Musa
dan umatnya eksodus dari Mesir, negara yang dalam persepsi Musa
dan umatnya adalah negara tiran, negara penuh ketidakadilan, dan pe­
nguasanya zalim.

118 Zakiyuddin Baidhawy


Eksodus adalah sebuah paradigma revolusi politik dalam sejarah.
Ia merupakan aksi perjuangan pembebasan rakyat dari perbudakan dan
penindasan sang penguasa tiranik. Eksodus secara eksplisit menggagas
bahwa hak untuk berkuasa bukan hanya milik mereka yang kuat, namun
kekuasaan juga harus dapat ditegakkan oleh kaum mustadh`afin. Eksodus
adalah doktrin politik radikal yang bersandar pada perjanjian Tuhan dan
rakyat Musa di mana Tuhan akan memenuhi janji-Nya dan menolak tirani
karena merupakan pelanggaran atas perjanjian itu.
Musa dan eksodus melampaui dari sekadar doktrin politik radikal.
Lebih dari itu adalah gerakan menentang negara yang tidak bermutu,
karena kepatuhan kepada negara semacam itu sama dengan memuja
paganisme politik yang menghamba pada status quo. Kebebasan nurani
dan pembangkangan sipil pada negara pagan, hukum dan kebijakan pe­
merintahan yang tidak adil terhadap rakyat miskin dan tertindas adalah
pesan utama dari pendidikan politik eksodus. Jadi, eksodus adalah
para­digma dan gerakan perlawanan terhadap pemerintahan opresif, di
mana para pembela kaum mustadh`afin revolusioner sepanjang sejarah
mem­peroleh ilham dari paradigma ini. Eksodus segera berujung pada
perlawanan terhadap negara tiran, aksi perlawanan yang menyandarkan
diri pada penolakan Taurat atas tiranik Fir`aun klasik maupun kontem­
porer.
Kepemimpinan eksodus model Musa ini memperoleh sig­nifikansi­
nya dalam konteks neoliberalisme kontemporer. Era neoliberal di­tandai
dengan disingkirkannya “kontrak sosial” peran proteksi dan subsidi
negara terhadap rakyat, serta di­ lucutinya kekuasaan negara dalam
memenuhi hak rakyat demi terwujudnya persaingan bebas. Kepemim­
pinan semacam Musa ini dapat direpresentasikan oleh kekuatan-
kekuatan lembaga swadaya masyarakat. Mereka harus menunjukkan
ke­berpihakan untuk memilih jalan sebagai bagian dari gerakan sosial
baru dalam rangka transformasi sosial menuju masyarakat demokrasi
ke­rakyatan. Yaitu suatu tatanan relasi sosial ekonomi dan politik yang
bersendikan pada keadilan sosial dan kedaulatan rakyat. Dan bukan
sebaliknya, yakni mereka mengidentifikasikan diri sebagai “civil society”
atau masyarakat sipil dalam konteks “demokratisasi” melalui sistem
relasi politik dan ekonomi model neoliberalisme. Bila pilihan terakhir
yang diambil berarti LSM telah menjadi bagian dari pendukung atau

Visi Kepemimpinan Profetik-Transformatif Al-Maun 119


komprador bagi kebijakan neo-liberalism, sementara jika pilihan per­
tama yang diambil bermakna memiliki kehendak serta cita-cita untuk
tetap menjadi pejuang hak asasi manusia dan kedaulatan rakyat.
Saat ini kita menyaksikan bangkitnya gerakan perlawanan rakyat
di mana-mana atau awal kebangkitan gerakan sosial secara global. Di
bawah inspirasi kepemimpinan model Musa, saatnya kini dengan bahasa
dan gerakan yang lebih tegas dan lugas, LSM dan kekuatan-kekuatan
masyarakat sipil untuk tampil sebagai gerakan sosial baru. Gerakan se­
perti ini mencoba meningkatkan kesadaran kritis masyarakat melalui
pendidikan populer dan penelitian partisipatoris, di samping melakukan
transformasi terhadap organi­sasi mereka, yaitu dari organisasi masyarakat
sipil menjadi gerakan sosial melawan globalisasi. Gerakan membela hak-
hak kaum miskin yang didukung serikat petani, LSM, organisasi hak
asasi manusia, juga akademisi, pada dasarnya adalah Gerakan Sosial Baru
(GSB) yang timbul sebagai respon terhadap neo-liberalisme.
Ada dua hal yang harus dikerjakan oleh LSM dan masyarakat sipil
dalam menjawab globalsiasi neo-liberal ini. Pertama, perebutan arena ke­
daulatan ekonomi dan budaya di tingkat lokal dapat dijadikan sebagai
pilihan alternatif strategi gerakan LSM di masa mendatang. Artinya,
proses perjuangan untuk menghentikan globalisasi neo-liberalisme harus
bertahan di tingkat lokal karena kedaulatan ekonomi rakyat justru dapat
dipertahankan pada ting­kat desa. Oleh karena itu pendidikan dan pe­
ngem­bangan parlemen desa (Badan Perwakilan Desa) yang memihak
rakyat dan yang secara sadar bersikap kritis terhadap ancaman neo-
liberalisme perlu dikembangkan.
Kedua, usaha terbesar dan tersulit dalam membumikan kepe­mim­
pinan model Musa bagi LSM dan masyarakat sipil adalah melakukan
pendidikan kritis secara menyeluruh dan komprehensif sehingga ter­
jadi gerakan “counter discourse” (perlawanan ideologi dan budaya ter­
hadap neo-liberalisme) dan “hegemony” atas do­mi­nasi wacana neo-
liberal. Tantangan berat bagi munculnya gerak­an semacam ini untuk
mendukung tumbuhnya gerakan lokalisasi kedaulatan ekonomi dan
politik rakyat adalah masuknya indoktrinasi ideologis dan hegemoni
kultural dari dominasi kebijakan neo-liberal dan globalisasi terhadap
media massa dan kebijakan negara. Banyak pengajar di perguruan tinggi
Indonesia malah “mengamini” neo-liberal di ruang-ruang kuliah. Sekali

120 Zakiyuddin Baidhawy


lagi gerakan “counter hegemony” (wacana tandingan terhadap wacana
neo-liberalisme) harus disusun sebagai bagian dari strategi gerakan
sosial dalam merespon globalisasi. Salah satu strategi taktis “counter
hegemony” adalah mendekonstruksi dan mendemistifikasi mitos-mitos
neo-liberal, seperti mitos dan wacana mengenai masyarakat sipil, mitos
produk makanan genetis hasil GMO, mitos hak paten dan hak kekaya­
an intelektual, dan privatisasi (Fakih, 2003: 10-11).
Dua gerakan di atas tentu saja harus didukung oleh transformasi
revolusioner terhadap masyarakat neo-liberalis. Kita bisa belajar hal ini dari
Gramsci dan Habermas. Menurutnya, belajar dari pengalaman konflik
antara kelas kapitalis dan kelas pekerja di Eropa sesudah Perang Dunia
I (1914-1918), Gramsci memandang bahwa realitas sosio-ekonomi itu
sebagai proses yang dinamis penuh konflik di mana kepentingan-ke­
pentingan ekonomi yang kuat mencoba mengintervensi masyarakat
politik (negara)—yang menjadi tujuan permanen perjuangan partai-
partai dan gerakan-gerakan politik—dan juga masyarakat madani. Dalam
pemahaman Gramsci, masyarakat madani adalah asosiasi, kelompok
dan gerakan publik non-pemerintah yang menyatakan dan merepresen­
tasikan urusan-urusan dan hak-hak rakyat, menghadapi invasi kepen­
tingan ekonomi dan politik tersebut (Ana, 1994: 7).
Gramsci melakukan identifikasi baru terhadap masyarakat madani,
yaitu bukan sebagai struktur politik dan struktur ekonomi, tetapi sebagai
struktur sosial yang bebas dari dua struktur terdahulu (Cohen dan
Arato, 1992: 145). Yang penting bagi Gramsci bukanlah membedakan
masya­rakat madani dari struktur ekonomi dan struktur politik (negara
dan masyarakat politik) yang sebetulnya saling membangun super-
struktur. Yang penting baginya adalah bagaimana membangun proses di
mana kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat madani (asosiasi,
kelompok, gerakan), pertama, mampu menolak intervensi kepentingan-
kepentingan ekonomi dan meneguhkan semampu mungkin otonomi
mereka dalam menghadapi upaya pengkooptasian mereka yang dilakukan
agen-agen masyarakat politik, dan, kedua, mampu memengaruhi ke­
kuatan-kekuatan sosial dari struktur ekonomi dan struktur politik untuk
menggerakkan proses sejarah (menjadi motor sejarah) (Ana, 1994: 7).
Proses kedua ini mengimplisitkan peran potensial masyarakat madani
dalam memberi sumbangan pada transformasi sosial-ekonomi.

Visi Kepemimpinan Profetik-Transformatif Al-Maun 121


Di sisi lain Gramsci memberikan perspektif bagaimana gerakan
sosial baru melakukan tugasnya. Menurutnya, dengan memahami bahwa
masyarakat madani sebagai struktur sosial, mengimplikasikan dimensi
budaya, yaitu perlunya nilai-nilai dan kehidupan budaya dan intelek­
tual untuk membangun hegemoni tandingan. Kesadaran akan dimensi
budaya dalam konseptualisasi/teoritisasi masyarakat madani ini di­
perteguh oleh Talcott Parsons (1902-1979). Dalam analisis Cohen dan
Arato (1992: 425), Gramsci dan Parsonslah yang pertama memandang
bahwa masyarakat kontemporer direproduksi tidak hanya melalui proses
ekonomi dan politik, tetapi juga melalui interaksi antara struktur hukum,
asosiasi sosial, institusi komunikasi dan institusi budaya yang masing-
masing memiliki tingkat otonomi yang signifikan.
Habermas menawarkan gagasan tentang melawan pengambil­
alihan ala kolonial bidang-bidang dalam lifeworld oleh sistem politik dan
ekonomi. Masyarakat madani dalam versi Habermas itu merujuk kepada
asosiasi sukarela di luar wilayah negara dan ekonomi, mencakup: gereja,
asosiasi budaya, akademia, media mandiri, klub olahraga dan hiburan, ke­
lompok diskusi, organisasi professional dan bisnis, partai politik, serikat
pekerja dan—yang paling penting bagi Habermas—institusi alternatif.
Dia memasukkan organisasi bisnis, serikat pekerja, bahkan partai politik,
dan di atas semua itu gerakan sosial dalam lifeworld dengan harapan mereka
semua dapat menjadi benteng melawan kolonisasi sistem, baik negara
maupun ekonomi (Perez-Diaz dalam Hall, 1995: 103).
Jadi, secara konseptual masyarakat madani dalam pandangan
Habermas adalah masyarakat sosial juga, seperti Gramsci dan Parsons,
yang berbeda dari sistem negara dan ekonomi, otonom dari keduanya,
dan atas dasar solidaritas dan dunia maknanya saling berkomunikasi dalam
ruang publik untuk melakukan pilihan moral dan aksi komunikatif
berhadapan dengan invasi sistem negara dan ekonomi. Dari konsepnya
ini, ditawarkan hubungan lain masyarakat madani dan negara, yaitu ma­
syarakat madani tidak hanya menjadi pesaing ideologi bagi negara, seperti
Gramsci, tapi juga pengritik radikal terhadap negara.

3. Model Partisipatoris Muhammad


Muhammad SAW adalah tipikal nabi yang memiliki beberapa karak­
ter perjuangan sekaligus: yakni menentang ketidakadilan dan penindasan

122 Zakiyuddin Baidhawy


terhadap kaum papa dalam masyarakat, membangun pola hidup se­
derhana sebagai budaya tandingan (counter culture) atas hedonisme dan
komsumtivisme, dan hidup bersama orang miskin dan tertindas.
Karakater pertama perjuangan Muhammad dapat digambarkan
dalam tiga tahapan. Pertama, menentang ketidakadilan sosial dan penin­
dasan adalah spirit awal kelahiran agama-agama, terlebih Islam. Islam
oleh karena itu merupakan, meminjam istilah Ali Syariati (1993), “agama
protes” (the religion of protest), agama perlawanan. Apa yang diper­juang­
kan oleh Muhammad sejak periode Makkah hingga Madinah adalah
melawan segala bentuk penindasan yang berupa: hegemoni agama pagan
dan sindrom politeisme yang mengancam kebebasan beragama masya­
rakat Makkah; hegemoni sistem “kapitalisme” masyarakat Makkah yang
bersandar pada rente dan bunga yang merampas hak hidup layak bagi
masyarakat akar rumput, dan sistem ekonomi monopoli yang meng­
alokasi dan mendistribusi harta, kekayaan dan sumber daya di kalangan
kelompok elite Makkah; penindasan dan perbudakan yang meraja­lela;
relasi gender yang mensubordinasi kaum perempuan di bawah ketiak
kaum lelaki dalam sistem sosial patriarkhal; serta keterbelakangan dan
kebodohan yang melanda sistem kultural masyarakat saat itu.
Kedua, tawaran tentang sistem masyarakat yang berkeadilan, manu­
siawi dan berkeadaban. Setelah protes dan kritik atas situasi dan kondisi
sosial, ekonomi, budaya dan politik digulirkan dan sistem lama yang
me­nindas dapat diruntuhkan, Muhammad melanjutkan perjuangan
dengan mengajukan suatu proposal tentang “masyarakat utama” (khayr
ummah), yang bercirikan antara lain: menghargai harkat dan martabat ke­
manusiaan universal (al-amr bi al-ma`ruf, humanisasi), pembebasan dari
segala penindasan dan kemungkaran sosial-politik (al-nahy `an al-munkar,
liberasi), dan menanamkan semangat ketuhanan yang melandasi semua
bentuk perjuangan (iman bi Allah, transendensi).
Ketiga, partisipasi dalam aksi dan praksis perjuangan melawan
penindasan dan ketidakadilan sosial. Muhammad adalah tipi­kal seorang
intelektual organik, meminjam Gramsci, yang menerapkan bios theoritikos,
yakni memadukan antara kemampuan berwacana dengan praksis
pembebasan dan revolusi. Ia turut serta dan bahkan memimpin, menye­
mangati, dan memotivasi aksi-aksi perjuangan meruntuhkan rezim
despotik, totalitarian, dan zalim, dan membangun sistem alternatif yang

Visi Kepemimpinan Profetik-Transformatif Al-Maun 123


menjunjung tinggi keadilan menuju tatanan masyarakat egaliter dan tanpa
diskriminasi.
Masyarakat egaliter diperjuangkan oleh Muhammad adalah antitesis
dari sistem kapitalisme Makkah dan Madinah. Perjuangan menuju masya­
rakat egaliter dalam pandangan Hassan Hanafi atau masyarakat tauhidi
dalam istilah Asghar Ali Engineer (1994) adalah kehidupan masya­rakat
yang menempatkan semua anggotanya pada posisi setara. Tidak ada
superior dan inferior, penindas, dan tertindas (Anam, 2008: 209).
Bercermin pada tiga langkah yang diperjuangkan oleh Muhammad,
maka kemiskinan dan pemiskinan struktural membu­tuh­kan kepedulian
dan intervensi kepemimpinan partisipatoris-profetis. Seorang pemim­pin
adalah ia yang memiliki kepekaan dan kritisisme atas situasi dan kondisi
sosial-politik yang karut marut dan centang perenang di bawah dominasi
rezim neo-liberalisme dan penguasa kacung. Karena itu, ia harus memiliki
cukup bekal teori kritik sosial yang akan membantunya men­cermati
setiap bentuk dominasi, hegemoni dan penindasan dan konstruk sosial-
politiknya. Kacamata teori kritik sosial membawanya pada kesadaran
akan perlunya wawasan berujung pada gerakan; wacana menuju praksis
sehingga ia menjadi pemimpin yang dekat dan lekat dengan massa akar
rumput yang paling rentan atas ketidakadilan.
Pemimpin partisipatoris-profetis memiliki visi yang jelas tentang
arah dan masa depan negara dan masyarakatnya. Di sini perlu memiliki
rumusan atau teori normatif sosial yang menjadi blue print pembangun­
an dan pengembangan masyarakat, bangsa dan negaranya. Dengan visi
ini proses perubahan sosial-politik memiliki tahapan-tahapan sistematis
dalam rangka mewujudkan cita-cita sosial bersama semua warga masya­
rakat dan negara, tanpa diombang-ambingkan oleh kekuatan-kekuatan
ekonomi dan politik yang imperialistik.
Tidak kalah pentingnya adalah bahwa seorang pemimpin partisi­
patoris-profetis adalah orang yang mampu bergerak pada basis massa
untuk melakukan perubahan, reformasi atau bahkan revolusi sosial-
politik guna menegakkan masyarakat utama yang dicita-citakan bersama.
Di sini ia terlibat dan proaktif menggalang kekuatan dalam kerangka per­
juangan dan praksis sosial merekonstruksi sistem peradaban baik pada
level personalitas, politik, ekonomi, sosial dan politik.

124 Zakiyuddin Baidhawy


Semua gerak perjuangan sebagaimana dikemukakan di atas me­r u­
pakan gambaran bagaimana paradigma profetik (Iqbal, 1985; Kunto­
wijoyo, 1995) dioperasionalisasikan dalam suatu sinergisme antara
wacana dan aksi, diskusi dan praksis menuju masyarakat utama, masya­
rakat madani yang berkeadilan dan berkeadaban.

Model Kepemimpinan Partisipatoris-Profetis

Di samping spirit dan perjuangan profetisme, Muhammad adalah


cermin sosok pemimpin yang sadar akan ancaman gaya hidup masya­
rakat Makkah yang bergelimang kemewahan, kesenangan dan nafsu
konsumtivisme tanpa batas. Berhadap-ha­ dap­an dengan masyarakat
hedo­ nistik dan permisif semacam itu, ia mempelopori gaya hidup
alter­natif yang rasional dan sehat, yaitu pola hidup sederhana dan ber­
sahaja. Gaya hidup sederhana (qawwam, tawassuth) ini ditanamkan dan
ditegakkan sebagai budaya tandingan (counter culture) atas hedonisme dan
komsumtivisme masyarakat pada zamannya.
Gambaran hedonisme dan komsumtivisme di muka sangat mudah
dijumpai dalam konteks kehidupan kontemporer dan globalisasi. Kehi­
dupan kontemporer telah membawa manusia kepada ideologi komfor­
tismus, pandangan dunia liberal yang memuja kesenangan hidup dan
kepuasan (satisfaction). Banyak orang di berbagai belahan dunia kini

Visi Kepemimpinan Profetik-Transformatif Al-Maun 125


memuja kepentingan dengan “kenikmatan-kenikmatan sesaat yang
dapat ditawarkan oleh kehidupan ini” dalam pengertian barang-barang
material dan kesenangan fisik. “Komfortismus”, meminjam istilah
Sombart, adalah mentalitas kaum borjuis yang gila akan uang, gelimang
harta dan kemaruk dunia. Agar kenikmatan dan uang yang mereka
miliki tetap berada dalam kenyamanan, maka mereka membutuhkan
ke­sejahteraan. Sayangnya, atas nama kesejahteraan ini segala cara cen­
derung ditempuh, tujuan menghalakan segala cara.
Kaum komfortis memercayai hidup nikmat bertumpu pada kelim­
pahan materi, gelimang kesenangan, konsumsi tingkat ting­gi. Mereka
menyebutnya dengan 3F (food, fun, and fashion): makan minum enak, ke­
senangan dan hiburan yang glamor, dan model pakaian serta asesoris
yang ngetrend. Pada tingkat tertentu dan dalam jangka pendek, mungkin
semua ini dapat menghapus dahaga manusia. Namun semua itu secara
hakiki tidak menjawab problem ultima manusia akan kebahagiaan dan
keselarasan hidup. Materi, kesenangan dan konsumsi hanya meng­
hilangkan rasa takut manusia akan lapar dan haus—sebagai ekstrem lain
yang serba kekurangan—tapi sejatinya baru menyelesaikan masalah-
masalah permukaan dan fisiologis.
Dalam situasi zaman di mana kesenangan menjadi tujuan hidup,
pola hidup sederhana dan sahaja memperoleh tantangan sekaligus pe­
luang. Di satu sisi, seseorang ditantang kesabarannya menghadapi
pergaulan hidup yang serba heboh dan wah, tanpa larut dan terjerumus
di dalamnya. Di sisi lain, pola hidup sederhana dan sahaja menawarkan
kepada manusia gaya hidup sembada, prasaja, suatu sikap dan perilaku
moderat di antara ekstrem kemewahan dan kemelaratan, merasa serba
cukup di antara berlebihan dan minimalis, kerendahan hati antara ke­
angkuhan dan rendah diri, asketisme antara riya (pamer) dan sum`ah (selalu
ingin dipuji).
Karena itu, pemimpin adalah manusia terpilih dengan kepribadian
sederhana dan bersahaja. Secara individu, ia sendiri merupakan teladan
dan model bagi budaya tandingan di hadapan gaya hidup hedonistik dan
komsumtif. Secara leadership, ia paham bahwa secara fundamental kon­
sumsi yang benar terletak pada cara atau pendekatan dalam meme­nuhi
kebutuhan dan keinginan manusia. Kepemimpinannya tidak meng­hen­
daki dan mengakui pola konsumsi yang murni materialistik. Semakin

126 Zakiyuddin Baidhawy


tinggi manusia menaiki tangga peradaban, konsumsi lebih dibayang-
bayangi oleh keinginan-keinginan psikologis. Selera dan gaya hidup
snobbish memainkan peran yang sangat dominan dalam menentukan
bentuk-bentuk lahiriah konkret dari keinginan-keinginan psiko­logis ter­
sebut (Mannan, 1980: 79). Peradaban modern telah meng­hancurkan
“ke­sederhanaan”; peradaban materialistik mewarnai kesenangan yang
terus membuat keinginan-keinginan manusia menjadi sangat bervariasi
dan kesejahteraan hampir hanya diukur dari berbagai karakter keingin­
an yang diupayakan untuk dicapai melalui sarana-sarana tertentu.
Tentu saja cara pandang tentang kehidupan dan kemajuan se­
macam ini harus menjadi sasaran tembak kepemimpinan parti­sipatoris.
Kepemimpinan partisipatoris berusaha mereduksi kebu­tuh­an material
manusia yang berlebihan (eksesif) dengan maksud untuk menekankan
pembangunan energi spiritual manusia dalam pencarian duniawi. Per­
tumbuhan batiniah lebih dari sekadar ekspansi lahiriah merupakan ideal
tertinggi manusia dalam hidup ini. Kemajuan tidak semata diukur dari
standar hidup yang tinggi yang berimplikasi pada perluasan keinginan
secara tanpa batas. Karena hal ini akan meningkatkan ketidakpuasan ter­
hadap apa yang sudah dicapai, dan akibatnya adalah eksploitasi atas hak-
hak kaum miskin dan termiskinkan demi kepuasan diri mereka sendiri.
Terakhir namun tak kalah pentingnya, kepemimpinan partisipatoris
menghendaki hidup bersama orang miskin dan tertindas. Individu mau­
pun kelompok terorganisir yang mengadopsi model ini perlu menun­
jukkan kemampuan ing madyo mangun karsa. Yaitu kapabilitas bergelut
di tengah-tengah masyarakat miskin dan membangkitkan karsa untuk
me­­mahami dan menyadari ke­miskinan mereka serta kehendak untuk
mengangkat harkat dan martabat mereka sendiri. Melalui pergulatan dari
dalam dan bersama mereka, program-program pengentasan kemiskin­
an dilahirkan dari rahim pergumulan dengan suara-suara mereka yang
terpinggirkan oleh pembangunan. Program pengentasan kemiskinan
tidak bisa muncul dari balik meja, sebagaimana cara pandang Negara
selama ini (seeing like state).
Pergumulan partisipatoris ini menunjukkan kemauan individu
dan kelompok pembela orang miskin untuk secara proaktif menum­
buhkan kesadaran mengapa mereka miskin. Selama ini upaya-upaya pe­
ngen­tasan kemiskinan jarang memulai dari tahapan krusial ini. Orang

Visi Kepemimpinan Profetik-Transformatif Al-Maun 127


miskin jarang dikondisikan untuk bernalar (reasoning) tentang sebab-
sebab mereka miskin dan termiskinkan. Yang mereka ketahui hanyalah
bantuan langsung telas (habis) dan program-program karitatif yang me­
racuni mental mereka, bahkan mental mereka yang tidak tergolong
dalam kelompok miskin. Program pengentasan kemiskinan lebih banyak
didekati dari atas dan melalui pendekatan kemiskinan absolut. Orang-
orang miskin belum diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk men­
definisikan kemiskinan di kalangan mereka sendiri. Dengan cara ini
mereka tahu apa penyebab sesungguhnya dari kemiskinan mereka dan
bagaimana cara keluar dari jerat kemiskinan itu dengan usaha mereka
sendiri, dan sedikit arahan dan bantuan pihak ketiga.
Membangun karsa adalah tahap berikutnya. Sadar akan kemis­kinan
belum cukup, upaya ini perlu dilanjutkan dengan memancing kemauan,
kehendak, dan kesanggupan mewujudkan kehendak dalam bentuk tin­
dakan nyata. Yaitu tindakan yang menggerakan orang miskin untuk
bangkit dari keterpurukan dan deprivasi yang selama ini membelenggu
mereka. Bila karsa ini dapat muncul, inilah keberhasilan kepemimpinan
partisipatoris. Hal semacam ini diilustrasikan oleh Nabi Muhammad
dalam sabdanya, bahwa kedekatan antara dirinya dengan orang-orang
miskin sebagaimana jari kelingking dan jari manis. Artinya, sabda ini
meng­­gambarkan bahwa pemimpin partisipatoris memiliki kedekatan
dan kelekatan dengan orang-orang miskin di mana mereka bergelut ber­
sama, memahami bersama, hingga akhirnya berjuang bersama untuk
menjaga dan meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan mereka.

4. Model Propaganda Ibrahim: Penghancuran Berhala Ideologi


Globalisme
Ibrahim adalah tipikal nabi yang dikenal dalam tiga tradisi agama-
agama besar dunia—Yahudi, Kristen, dan Islam. Ia adalah nenek moyang
bagi tiga agama tersebut. Ibrahim hidup sezaman dengan Namrud, se­
orang raja tiran yang tak kenal belas kasih. Kuasanya diabadikan dan
dikokohkan melalui agama pagan dengan simbol berhala raksasa yang
bertengger megah seolah ingin menyampaikan pesan angkuh akan cakar­
nya yang mencengkeram. Ibrahim seorang diri dengan penuh keberanian
tidak menghantam langsung kesombongan kuasa dan ideologi Namrud
yang meng­hegemoni dan mendominasi. Ia sadar bahwa kekuatannya

128 Zakiyuddin Baidhawy


belum sebanding dengan Namrud. Karenanya, ia memilih untuk mela­­
kukan propaganda sistemik dengan menghancurkan “berhala raksasa”
yang menjadi kiblat kuasa Namrud dan semua rakyatnya yang meng­
hamba kepadanya. Dengan liukan kapak Ibrahim, berhala raksasa
simbol kekuasaan hegemonik Namrud dapat diruntuhkan, dan Namrud
merasa terancam karena hegemoninya dirongrong protes dan pro­pa­
ganda Ibrahim. Globalisme di zaman kontemporer analog dengan
“berhala raksasa”. Kekuatannya yang luar biasa menghendaki perla­
wanan Ibrahimian.
Globalisme dan pemiskinan ibarat dua sisi dari mata uang yang
sama. Pemiskinan merupakan konsekuensi logis dari kesesatan alamiah
globalisme yang cenderung mencerminkan imposisi uni­lateral tatanan
dunia. Secara implisit diakui bahwa globalisme ber­upaya melakukan
hegemoni dan dominasi atas proses globalisasi namun gagal untuk
mengendalikannya apalagi menyempurnakan kecurangan dan kekeliruan
tatanan yang penuh kesenjangan dan ketimpangan tersebut.
Kini masyarakat dunia menyaksikan suatu tantangan besar di
mana ideologi neo-liberalisme melakukan upaya-upaya sistematis untuk
membajak globalisasi menjadi globalisme. Sementara orang-orang yang
phobia dengan globalisasi dalam banyak hal meman­dang globali­sasi
sebagai tipu muslihat kapitalisme dan mengundang kembali­nya kebijakan-
kebijakan proteksionis dan berpusat pada negara di masa lalu. Sebagian
lain memilih menjadi pasukan pembela globalisasi untuk mentransformasi
berbagai persoalan dewasa ini. Seperti halnya para penganjur sosialis pada
masa industrialisasi, kritik yang lebih cair terhadap kondisi globalisasi
adalah tidak tertuju kepada globalisasi atau perdagangan itu sendiri,
tetapi kepada globalisme yang berhasil melahirkan banyak pecundang
daripada pemenang, banyak dampak destruktif daripada konstruktif.
Karena itu, protes dan perlawanan atas globalisme adalah dengan
memfokuskan sasaran bidik kepada ideologi neo-liberalisme yang ber­
main di belakang globalisasi. Ideologi ini menyerupai berhala kontem­
porer yang bertanggung jawab di balik manipulasi globalisasi menjadi
globalisme, yang banyak menjalankan upaya untuk mempolitisasi proses-
proses ekonomi yang kini dimistifikasi sebagai fakta dan nasib. Peng­
hancuran berhala ideologi dominan-hegemonik ini telah dan sedang
dilakukan oleh kelompok-kelompok penentang terhadap konsensus

Visi Kepemimpinan Profetik-Transformatif Al-Maun 129


Washigton (1990an), sebagaimana tertangkap dalam slogan ATTAC
yang berbunyi “Dunia ini bukan untuk diperjual belikan!”, dan slogan
“Dunia lain adalah mungkin”. Slogan ini mengandung pesan utama agar
globalisasi ditransformasi dari dalam dan dari bawah demi terciptanya
tatanan dunia yang berkeadilan bagi semua. Aksi-aksi protes mereka me­
luas ke wilayah politik dan karenanya menyentuh ruang lingkup ke­
wargaan, dan melampaui negara-bangsa.
Arditi (2004) melukiskan gerakan anti globalisme dalam bentuk
aksi radikal yang bersifat langsung menyerang kota-kota tempat ter­
seleng­ garanya pertemuan-pertemuan WTO seperti Seattle, Prague,
Gothenburg and Genoa. Aksi radikal ini seringkali me­la­ku­kan perusak­
an atas restoran-restoran McDonald seperti terjadi di Perancis yang
di­pimpin oleh Jose Bove dan protes-protes terhadap penggunaan ma­
kanan-makanan yang dimodifikasi secara genetik. Citra gerakan anti-
globalisme ini sangat menonjol karena sebagian disebabkan politik
berbasis jalanan yang cenderung lebih menarik dan berharga di mata
media dan pers. Mereka juga seringkali membuat ketakutan luar biasa di
kalangan pe­merintahan, para pemimpin bisnis, dan agen-agen multilateral
yang ter­biasa dengan logika komite pakar daripada mobilisasi massa.
Itulah mengapa sebagian beranggapan bahwa banyak kelompok aktivis
kurang memiliki arah politik yang strategis. Hal demikian benar, namun
tidak sepenuhnya, karena gerakan mereka merentang dari gerakan phobia
glo­balisasi yang kaku hingga mereka yang masih memiliki agenda yang
lebih jelas untuk mentransformasi globalisme. Contoh dari gerakan ter­
akhir adalah mereka yang ber­partisipasi dalam Forum Sosial Dunia di
Porto Alegre yang berhasil mengumpulkan hampir 60.000 peserta ketika
diluncurkan pada November 2002 di Florence, di samping beberapa
bentuk prakarsa lainnya. Organisasi-organisasi pelopor yang berasosiasi
dengan aksi radikal langsung ini termasuk the Ruckus Society, Global
Exchange, dan sebuah kelompok anarkis seperti the Black Bloc. Kita
juga dapat menyebut dimensi perlawanan yang bersifat “glokal”, seperti
dukungan internasional untuk perjuangan lokal melawan perusahaan-
perusahaan yang memprivatisasi kebutuhan publik di banyak Negara
Dunia Ketiga. Di sini kita dapat berpikir tentang kampanye solidaritas
untuk the Bolivian Water Wars pada tahun 2000 yang menentang
Bechtel Corporation yang disubsidi oleh pemerintah di Cochabamba,

130 Zakiyuddin Baidhawy


atau solidaritas untuk the Soweto Electricity Crisis Committee untuk
melawan semakin meningkatnya fasilitas-fasilitas Negara yang diprivatisasi
di Afrika Selatan.
Para pendukung aksi radikal langsung, baik dengan kekerasan atau
anti-kekerasan dalam mengungkapkan perlawanan mereka atas tatanan
tertentu, dapat diserupakan dengan “kelas-kelas yang berbahaya” yang
dikenal dalam wacana konservatif abad 19. Kebanyakan gerakan dan
protes ini memiliki sayap radikal. Kaum Luddite misalnya, melakukan
negosiasi atau kompromi di dalam sistem, dan mempropagandakan pe­
rusakan mesin-mesin yang telah mengeksploitasi masyarakat dan sumber
daya alam oleh kapitalisme awal, dan menawarkan alternatifnya. Mereka
memang gagal, namun gerakan mereka telah membuktikan kepada
para saudagar kapas dan para politisi tentang kerakusan luar biasa dari
sistem kapitalisme. Gerakan-gerakan sosial baru barangkali kurang
begitu merusak kepemilikan pribadi, meskipun demikian kita tidak bisa
meng­abaikan aksi-aksi perusakan mereka. Gerakan protes anti nuklir
di Jerman selama dekade 70an dan taktik gerilya Greenpeace adalah
suatu contoh yang tepat. Kita boleh tidak setuju atau setuju atas gerakan
mereka, yang seringkali diiringi dengan protes dan slogan daripada
dengan proposal strategis, namun mereka memainkan peran penting.
Mereka menyediakan momentum awal bagi perlawanan atas globalisme
dan bagi globalisasi perlawanan dan karenanya berjasa memberi kon­
tribusi bagi kemungkinan adanya fase politik di mana transformasi
besar kedua terjadi. Sebagai­mana pandangan Wallach (2000: 32) bahwa
kadang-kadang aksi radikal langsung membantu untuk menohok ke­
angkuhan birokrasi internasional. Para pakar multilateral juga sering
menolak memberikan pemikiran yang serius yang disumbangkan kepada
kelompok-kelompok advokasi. Meskipun demikian, kapasi­ tas mereka
melakukan hentakan secara de facto merupakan kekuatan veto yang ber­
peran sebagai alat tawar menawar dalam rangka membantu para aktivis
menghambat laju globalisme yang destruktif dan eksploitatif.

5. Al-Maun: Masjid untuk Kaum Miskin


Masjid adalah epitome Kerajaan Surgawi Tuhan di muka bumi.
Membangun masjid berarti menegakkan tiang-tiang penyangga Singga­
sana Tuhan di atas dunia. Karena itu, bangunan masjid berarti mewujud­

Visi Kepemimpinan Profetik-Transformatif Al-Maun 131


kan rumah/surga Allah dalam kehidupan kini dan di sini. Kepemimpin­
an profetik-transformatif memanifestasi diri dalam bentuk solidaritas
komunitas sosial-keagamaan. Masjid untuk orang miskin bukan untuk
mendramatisir kesengsaraan orang-orang miskin dan tunawisma atas
nama agama dan khutbah-khutbahnya, namun untuk memberdayakan
mereka dalam proses membangun komunitas yang peduli orang miskin.
Sejalan dengan semakin bertambahnya saudara-saudara kita jatuh
dalam kemiskinan dan pengangguran, kita sebagai penganut dan pemilik
iman harus merengkuh mereka. Hanya dengan mencelupkan diri (sibghah)
dalam perjuangan atas kemiskinan bahwa kita benar-benar dapat me­
mahaminya dari dalam. Di tengah-tengah kegalauan dan krisis, komu­
nitas dan perlawanan dapat terlahirkan dari sini.
Masjid bukan direduksi sekadar tempat ibadah, dzikir individu mau­
pun dzikir massal yang mengeksploitasi air mata, memanjatkan doa-doa,
dan pertobatan spiritual. Reduksi fungsional atas masjid semacam ini
justru sangat merugikan para ahli ibadah, karena ibadah mereka ibarat
fatamorgana, bayang-bayang tanpa pahala nyata, karena ibadah mereka
digerogoti oleh ketidakpedulian dan nir-solidaritas atas kaum dhu’afa
dan mustadh’afin. Bahkan sebaliknya ibadah tanpa kepedulian atas
masalah kemiskinan justru mencelakakan, menciptakan neraka di dunia.
Masjid adalah payung bagi komunitas iman yang harus secara aktif
menjelaskan “tanda-tanda zaman” dalam pengertian teologis dan mener­
jemahkan tanda-tanda itu secara konkret dalam dakwah agama dan ko­
munitas. Jadi, teologi orang-orang miskin harus mencoba secara aktif
merespon panggilan Allah melalui proses menjadi tanda dan rumah tinggal
Allah (baytullah, masjid) di muka bumi.
Rumah tinggal atau masjid sebagai tanda menghendaki gerakan
dan intervensi Allah di dunia dan bahwa gerakan ini dapat dijelaskan
oleh kita. Allah mempertemukan orang-orang di mana mereka hidup
dan ber­juang. Komunitas dipersatukan dalam perjuangan dan solidaritas
dengan dan untuk orang-orang miskin dan tertindas. Masjid untuk orang-
orang miskin tidak hanya mengidentifikasi diri dengan orang-orang
miskin dan tertindas, namun juga termasuk partisipasi mereka, pembe­
basan dan humanisasi, yang dengan cara ini ia dapat menjadi tanda dan
benih Rumah Allah di muka bumi.

132 Zakiyuddin Baidhawy


Misi masjid harus mempertimbangkan tantangan-tantangan
konkret yang dipaparkan oleh sejarah panjang penderitaan dan penin­
dasan, sembari tidak meniadakan kebutuhan akan keselamatan. Pada
hake­kat­nya ini berarti bahwa kehidupan Muslim berpusat pada komit­
men konkret dan kreatif untuk pelayanan bagi orang lain dan refleksi
atas makna transformasi dunia. Penyelamatan semacam ini tidak dapat
bersifat individualistik dan eksklusif perhatian pada kehidupan setelah
mati, bahkan ia harus muncul dari solidaritas dan “terealisasi dalam bentuk
pembebasan dan humanisasi” (amr ma`ruf nahy munkar) dalam ruang dan
waktu konkret.

Visi Kepemimpinan Profetik-Transformatif Al-Maun 133


BAB PENDIDIKAN AL-MAUN:

V PENYADARAN DAN POLITIK


KEBERPIHAKAN

Gambaran pada bab-bab terdahulu menjelaskan bahwa glo­balisasi lebih


dari sekadar kompetisi di bidang ekonomi. Ia merupakan suatu arena
gontok-gontokan sosial dan politik sehubungan dengan nilai-nilai baru
yang disebarluaskan oleh gerakan-gerakan ekonomi dan gerakan sosial
transnasional. Ada kontestasi antara Forum Ekonomi Dunia pendukung
globalisasi dan Forum Sosial Dunia. Forum Ekonomi Dunia adalah
pendukung globalisasi ekonomi. Oleh mereka yang fanatik, globalisasi
telah dimapankan sebagai suatu ideologi dunia yang mencakup area
yang luas, dan inilah yang kemudian dikenal sebagai “paradigma global­
isme neo-liberal” atau disingkat “globalisme”. Globalisme di sini di­
maknai sebagai norma-norma, institusi-institusi dan hukum-hukum
yang mendukung akumulasi kapital global sesuai dengan prinsip-prinsip
neo-liberal. Paradigma ini dikenal dengan beberapa istilah: Structural
Adjustment Programs, The Washington Consensus, The Wall Street-Treasury
Complex, Liberal Productivism, dan The New World Order.
Forum Sosial Dunia menentang deregulasi ekonomi pasar dan me­
maparkan fakta-fakta keputusasaan penduduk dunia dalam kaitannya
dengan defisit demokrasi baik pada tingkat nasional maupun global.
Gerakan yang terakhir ini mencerminkan suatu aksi kolektif melawan
beban-beban yang harus dipukul oleh negara-negara dunia ketiga akibat
ketidakadilan sosial dan kelestarian lingkungan pada skala global.

134 Zakiyuddin Baidhawy


Bab ini berusaha untuk menawarkan suatu kerangka pemi­kiran dan
gerakan untuk penyadaran akan bahaya globalisme dan bagaimana cara
mengatasi baik pada level negara, komunitas dan warga negara.

A. BALDAH THAYYIBAH: MEREVITALISASI PERAN


KOMPLEMENTER NEGARA
Globalisme telah menentang asumsi-asumsi demokrasi ber­kaitan
dengan negara dan kewargaan. Di bawah globalisme negara-negara di­
arah­kan untuk mengurangi tuntutan-tuntutan internal. Sebagai gantinya
negara-negara harus memaksimalkan ekspor, membebaskan arus kapital
dan menganugerahkan hak-hak bagi perusahaan-perusahaan trans­
nasional sebagaimana mereka memperlakukan perusahaan-perusahaan
nasional. Negara-negara dikerangkeng oleh prinsip-prinsip neo-liberal
dengan program penyesuaian struktural di wilayah Selatan, dan oleh ke­
sepakatan-kesepakatan internasional (seperti NAFTA), dan institusi-
institusi internasional (seperti WTO) di wilayah Utara (Clarkson, 1999).
Globalisme neo-liberal merupakan tanggapan atas prasyarat-pra­syarat
yang diperlukan bagi globalisasi, sehingga konsep globalisasi kurang
memiliki definisi dan teori yang tepat bukanlah suatu yang mengejutkan.
Istilah ini kali pertama digunakan secara konsisten bukan oleh para
akademisi, namun oleh para Banker Amerika pada 1978. Sejak itu istilah
ini masuk ke dalam leksikon akademik dan menjadi bahan perdebatan
hingga kini.
Kewaspadaan perlu ditingkatkan atas skenario sistemik glo­balisme
neo-liberal dalam rangka melucuti peran dan fungsi negara dalam me­
negakkan sistem ekonomi berkeadilan dan berkeadaban. Beberapa hal
yang patut diwaspadai adalah menyangkut upaya-upaya globalisme neo-
liberal yang menjerumuskan setiap ne­gara di dunia ini agar: membuka
selebar-lebarnya pasar modal dan finansial; menghilangkan pembatasan-
pembatasan atas per­ dagangan luar negari; memotong semaksimal
mungkin belanja-belanja untuk kepentingan publik; menyeimbangkan
anggaran negara dan mengurangi atau memotong beban pajak pe­
rusahaan-perusahaan besar; memberlakukan deregulasi atas dunia bisnis;
mendorong sebesar-besar dan sekuat-sekuatnya investasi asing; serta
menjual perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN) dan meng­aman­

Pendidikan Al-Maun: Penyadaran dan Politik Keberpihakan 135


kan jalan monopoli perusahaan-perusahaan swasta di bawah per­lin­
dung­an hukum (Williamson, 1993).
Memerhatikan semua problem yang dihadapi oleh negara-negara
yang berada di bawah ketiak globalisme neo-liberal ini, negara-negara
perlu disadarkan untuk kembali ke jalan penegakkan kembali sturktur
politik berkeadilan yang lahir dan bangkit dari mobilisasi dan solidaritas
negara-negara dalam konteks dunia yang lebih luas. Negara-negara dapat
merajut jejaring transnasional dalam bingkai gerakan-gerakan sosial
baru yang mengekspresikan ke­­pen­tingan-kepentingan sosial baru dan
mengubah skala inter­vensi politik dalam rangka mengembalikan per­
juangan mereka untuk keadilan sosial yang dimapankan secara politik.
Dari sini keadilan sosial bukan semata menjadi kepentingan suatu negara
semata, bahkan lebih dari itu merupakan titik temu bersama menuju ke­
adilan sosial global yang telah menjadi slogan dan moto gerakan-gerakan
sosial transnasional dalam politik dunia di mana keputusan-keputusan
politik bukan hanya menjadi tanggung jawab negara-bangsa.
Memerhatikan persoalan di atas, maka pendidikan politik bagi
negara bertujuan menyadarkan negara akan otoritas dan tanggung jawab­
nya untuk intervensi dalam menegakkan keadilan sosial, menghentikan
eksploitasi dan memantapkan kesejahteraan masyarakat secara luas. Di
samping secara resmi pemerintah atau negara berusaha meningkat­
kan produksi dan distribusi kekayaan dan pendapatan pada tingkat yang
lebih luas, pemerintah juga tidak diperkenankan membiarkan warga
negaranya untuk menjadikan standar hidup atau tingkat konsumsi yang
tinggi sebagai tujuan utama dalam kehidupan ini. Beberapa peran negara
yang harus dibangkitkan kembali melalui pendidikan penyadaran adalah
sebagai berikut.
Pertama, sadarkan bahwa negara adalah pemilik dan produsen.
Kepemilikan publik/kolektif meliputi berbagai hal yang dimiliki oleh
dua atau lebih orang, atau oleh organisasi atau asosiasi, komunitas atau
masyarakat. Bila kepemilikan ini diorganisir dalam suatu bentuk tatanan
sosial yang lebih besar, lahirlah apa yang disebut sebagai kepemilikan
negara. Negara merupakan pemegang mandat kepemilikan publik atas
segala yang menguasai hajat hidup orang banyak. Semua ini tentu saja
harus dimanfaatkan untuk kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan sosial
secara luas.

136 Zakiyuddin Baidhawy


Penguasaan negara atas hajat hidup warga negaranya jelas meliputi
sumber daya alam dan lingkungan. Penguasaan atas sumber daya alam
dan lingkungan merupakan hak semua ang­gota masyarakat secara parti­
sipatif. Sumber daya alam bebas dan lingkungan ini berupa barang-
barang yang tersedia di lautan maupun daratan dan udara, seperti sumber
mata air, ruang angkasa, sumber daya laut, hutan dan barang tambang
di perut bumi, dan lain-lain. Karena itu tanggung jawab penge­lolaan­
nya merupakan amanah kolektif. Tanggung jawab semacam ini hanya
dapat dikelola melalui manajemen ekonomi di bawah kendali negara
baik se­bagai pemilik maupun produsen yang akan memproses kekayaan
sumber daya alam dan lingkungan itu sekaligus pembagiannya bagi ke­
butuhan publik.
Sejalan dengan prinsip fundamental kepemilikan, semua sumber
daya, kekayaan alam dan lingkungan adalah kepemilikan komunal masya­
rakat dengan hak-hak yang sama atas semua penduduk untuk meng­
ambil manfaat darinya. Kekayaan itu dapat secara langsung ditangani
oleh negara dan atau melalui sarana-sarana publik seperti kompani, ko­
perasi, atau asosiasi-asosiasi kolektif lainnya. Negara dapat juga memajak
para pengguna atau retribusi dari keuntungan bagi penggunaan sumber
daya lingkungan. Ini dapat dilakukan atas dasar prinsip keadilan —
beban sesuai dengan keuntungan dan sebaliknya. Negara juga dapat
mem­ berikan hak-hak pribadi atas sumber daya alam seperti tanah
dalam kepentingan publik yang lebih besar dan untuk meningkatkan
produksi pertanian, seperti menghidupkan atau membudidayakan tanah
yang tidak produktif dan merampas hak milik pribadi atas tanah untuk
diberikan kepada mereka yang tidak memiliki tanah dan siap untuk
memproduksinya. Negara dapat pula membuat batasan-batasan pe­
man­faatan, waktu penggunaan, dan hukuman bagi penyalahgunaan.
Nabi Muhammad misalnya, sebagai pemimpin pada zamannya telah me­
na­sionalisasi sumber daya alam dan lingkungan — seperti hutan, air
dan rumput — sehingga memberikan akses untuk seluruh masyarakat
(Majah, tth.: vol. 2, 826).
Dengan kata lain, masyarakat dinyatakan sebagai pemilik apa yang
sekarang biasa disebut sebagai manfaat publik (public utilities), yang man­
datnya diserahkan kepada negara. Islam menguatkan prinsip kepemilik­
an negara atas sumber daya bumi dan dapat membatalkan kepemilikan

Pendidikan Al-Maun: Penyadaran dan Politik Keberpihakan 137


individu atasnya menjadi milik negara (Zaman, 1982: 86). Islam juga me­
negakkan hukum dan aturan main untuk mencegah pelanggaran batas
kepemilikan pribadi dan penggunaan kekayaan publik seperti padang
rumput. Ia juga menegakkan hak-hak dan aturan penggunaan dan
distribusi air untuk pertanian sekaligus hak-hak untuk meminum air dan
sumber mata air, penguasaan tanah dan hutan.
Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa semua yang berkaitan
dengan kebutuhan hidup semua penduduk dan warga negara harus
ber­ada di bawah kendali negara baik kepemilikan maupun pengelolaan
produksinya atas nama mandat kepemilikan publik. Demikian pula
perusahaan-perusahaan yang mengelola produksi sumber daya alam
dan lingkungan milik bersama itu harus dikuasai oleh negara demi kese­
jahteraan sebesar-besarnya bagi semua penduduk. Prinsip ini berbeda
dengan apa yang diyakini oleh Prinsip Libertarian dan Liberalisme Klasik.
Libertarianisme dan Liberalisme Klasik bersandar pada kepentingan diri
(self-interest). Karenanya dua prinsip ini menghendaki privatisasi terhadap
seluruh sumber daya tanpa kecuali atas nama efisiensi dan distribusi yang
adil. Peran pemerintah yang ekstensif dalam kepemilikan dapat ber­arti
pelanggaran atas hak-hak dan kepemilikan individu.
Kedua, Intervensi negara berlaku juga dalam mengatur redis­tribusi
kekayaan dan pendapatan. Kebijakan terhadap distribusi banyak mem­
bantu untuk memperkenalkan basis distribusi yang lebih luas atas
pendapatan dan kekayaan dan melarang terjadinya akumulasi dan kon­
sentrasi kekayaan pada sekelompok kecil orang yang sudah kaya. Perlu
dipastikan agar dalam proses distribusi tidak satu pun dari faktor-faktor
produksi ditekan pembagiannya dan mengeksploitasi faktor lainnya.
Sumber daya termasuk tanah, pekerja dan modal sama-sama berharga.
Karenanya pemilik tanah, pekerja dan pemilik modal harus berbagi ber­
sama dalam hasil-hasil produksi. Di samping itu, ditegaskan agar sebagian
dari hasil produksi itu diberikan kepada mereka yang tidak dapat mem­
berikan kontribusi dalam produksi karena alasan-alasan seperti cacat
sosial, fisik dan ekonomi. Ini sekali lagi menguatkan prinsip bahwa se­
seorang dapat memperoleh balasan tanpa sepenuhnya memandang kon­
tribusi aktualnya.
Untuk menjangkau tujuan yang pertama, pelarangan atas sejumlah
teknik-teknik perdagangan yang eksploitatif dan tidak adil adalah ke­

138 Zakiyuddin Baidhawy


harusan. Sementara itu, tujuan kedua dicapai oleh inisiatif negara atau
penguasa melalui penarikan pajak termasuk di dalamnya adalah zakat
dan infak di samping juga kedermawanan, filantropi dan sejenisnya.
Dalam kerangka amar ma`ruf nahy munkar, pengumpulan dan distri­
busi zakat berada di tangan otoritas penguasa pusat melalui agen-agen
yang dipercaya untuk memenuhi tujuan ini. Karena itu, tanggung jawab
negara untuk membangkitkan kembali dan melibatkan sistem zakat dan
sistem lainnya yang serupa agar keuntungan-keuntungan zakat dapat di­
realisasikan secara penuh.
Distribusi kekayaan dan pendapatan didukung institusi-in­stitusi
yang membawa pada distribusi kekayaan yang lebih luas. Konsep bayt
al-mal sebagai amanah di tangan penguasa untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan publik yang lebih baik. Infak mengikat semua manusia untuk
berbagi kekayaan dengan kerabat dan lingkungan mereka. Larangan atas
riba membuat alternatif-alternatif investasi menjadi mungkin karena
pengembalian modal tidak dibebani dengan bunga. Bila ukuran-ukuran
distribusi tersebut dapat menyampingkan berbagai akumulasi kekayaan
dan penimbunan secara luas, hukum warisan yang wajib sifatnya dapat
memperkecil kesenjangan relatif. Sementara ukuran-ukuran pertama
ber­sifat regular meskipun merupakan teknik distribusi yang berjangka
pendek, ukuran yang terakhir merupakan proses jangka panjang dan
dapat melahirkan pembagian akumulasi kekayaan secara substansial.
Inilah suatu proses redistribusi melalui mana para pembagi kekayaan
warisan harus memulai perjuangan ekonomi mereka dan membuktikan
kapabilitas kewirausahaan mereka. Seorang wirausahawan yang benar-
benar mampu dapat melampaui pewarisnya sedangkan orang yang tidak
mampu dapat kehilangan sumber daya yang sudah dimilikinya. Jadi,
keistimewaan menjadi orang kaya tidak dimonopoli oleh sedikit keluarga
yang beruntung selamanya.
Ketiga, peran campur tangan negara dalam kehidupan per­ekonomi­
an bisa berbentuk regulasi, baik regulasi terhadap peri­laku konsumsi
warga negara maupun regulasi pasar. Regulasi pasar dimaksudkan untuk
perlindungan konsumen. Pasar adalah kebutuhan publik, di dalamnya
terlibat berbagai stakeholder dalam aktivitas ekonomi. Salah satu unsur
penting yang perlu mendapat perhatian adalah konsumen. Konsumen
sebagai pengguna barang dan jasa perlu dipastikan agar mereka tidak

Pendidikan Al-Maun: Penyadaran dan Politik Keberpihakan 139


menjadi objek eksploitasi oleh produsen. Di sini pemerintah berke­
pentingan untuk mengondisikan pasar agar berjalan sehat, jauh dari
penimbunan (iktinaz, ihtikar), yang bisa menyebabkan inflasi (istighlal), atau
praktek dumping (istighraq) yang membuat jatuhnya keseimbangan harga.
Ketersediaan pasar tenaga kerja yang memberi peluang atau ke­
sem­patan bagi anggota masyarakat merupakan wilayah campur tangan
negara lainnya. Salah satu hak individu atas masyarakat atau negaranya
adalah kesempatan kerja yang diberikan seluas-luasnya oleh negara.
Tugas penguasa di sini adalah menyediakan pekerjaan bagi setiap orang
yang mampu secara fisik dan memiliki keinginan untuk bekerja. Lebih
lanjut, negara harus menyusun suatu program bantuan bagi para pekerja
yang mengalami kesulitan dan memberi kuasa pada mereka untuk mela­
kukan proses tawar menawar. Dengan kata lain, para pekerja men­da­
patkan diri mereka terhindar dari pembayaran di bawah standar ke­
butuhan hidup minimal.
Departemen yang mengurusi masalah ini dikepalai seorang inspek­
tur yang menjalankan fungsi lebih dari sekadar pemerintahan daerah
sekarang. Ada banyak instansi di mana pemerintah dapat melakukan
intervensi untuk menegakkan aturan-aturan keadilan dan kejujuran. Se­
orang inspektur memastikan agar transaksi-transaksi yang melanggar
hukum dapat dihindarkan dan ia sendiri mengunjungi pasar-pasar dan
menyarankan para pedagang agar melaksanakan prinsip-prinsip moral
dalam perdagangan. Intinya, pemerintah berada pada posisi utama dalam
rangka mencegah kehancuran kehidupan ekonomi dan mengamankan
kepentingan publik secara menyeluruh dan konsumen khususnya dari
segala distorsi.
Dengan demikian, peran negara sebagai regulator dalam satu sisi
merupakan antitesis terhadap Prinsip Libertarian, yang karena alasan
hak-hak absolut atas pembagian dunia yang tidak proporsional, maka
ke­pemilikan pribadi sangat layak dan pasar bebas dalam kapital dan pe­
kerjaan secara moral dikehendaki. Pasar bebas adalah mekanisme bagi
alokasi dan distribusi yang adil. Untuk itu, campur tangan negara sebisa
mungkin dilucuti. Pada praktiknya, Prinsip Libertarian ini diterapkan
oleh neo-liberalisme yang mencoba menghapuskan subsidi umum bagi
rakyat banyak dengan dalih pemborosan, sementara pada saat yang sama
korporasi multinasional (MNCs) dan transnasional (TNCs) meminta

140 Zakiyuddin Baidhawy


fasilitas tax holidays. Karena itu, neo-liberalisme mesti menuntut proses
deregulasi yang menghalangi terjadinya pasar bebas yang meng­
untung­kan secara ekonomi bagi sekelompok kecil konglomerat. Suatu
paradoks yang bertentangan dengan rasa keadilan sekaligus mengancam
kesejahteraan umum.
Peran dan campur tangan negara dalam kehidupan dan tatanan
ekonomi penduduknya, dengan demikian, tentu saja diakui. Peran
negara dalam kaitan ini harus bersifat komplementer atas peran pasar untuk
menjamin alokasi dan distribusi sumber daya yang adil melalui per­saingan
sempurna dan etis. Karena itu batasan peran negara yang meleng­kapi itu
adalah untuk menjaga rasa keadilan dan kesejahteraan umum utamanya.
Negara harus dan akan campur tangan ketika diktum-diktum keadilan
dilanggar dan kesejahteraan umum berada dalam ancaman. Tugas dan
tanggung jawab negaralah untuk memaksakan prinsip-prinsip itu melalui
sistem pemerintahan yang amanah dan dapat dipertanggung jawabkan.
Jadi, negara atau pemerintahan harus memainkan peran positif, peran
ber­orientasi pada pencapain tujuan dalam aktivitas ekonomi. Ini bukan
semacam peran yang akan mengarah pada tegaknya tatanan totali­
tarian. Ia lebih merupakan peran komplementer yang dimainkan oleh pe­
merintahan melalui internalisasi nilai-nilai keadilan dalam masyarakat,
penciptaan lingkungan sosio-ekonomi yang sehat, etisasi pasar, dan pe­
ngembangan institusi-institusi yang layak, dan bukan melalui kontrol
berlebihan dan melanggar kebebasan individu serta menghilangkan hak-
hak kepemilikan.

Qaryah Thayyibah: Membangkitkan Daulat Komunitas/Masyarakat


Di samping Negara, komunitas dan masyarakat adalah sasar­an
gerakan penyadaran dan politik keberpihakan yang dapat di­mainkan.
Mereka dapat diarahkan menuju basis pengembangan aksi-aksi anti-glo­
balisasi ala kapitalisme Barat yang telah berjasa mempermiskin pen­
duduk negara-negara di dunia ketiga. Bila negara berada dalam kooptasi
rezim globalisasi neo-liberal, komunitas dan masyarakat dapat menjadi
alternatif.
Mempertimbangkan konteks di atas, tentu saja mengagas peran
mereka sebagai basis pemberdayaan civil society sangat relavan, apalagi bila
dikaitkan dengan reformasi politik, ekonomi dan sosial-kultural di negeri

Pendidikan Al-Maun: Penyadaran dan Politik Keberpihakan 141


ini yang belum menentu arah dan langkahnya. Gagasan penyadaran politik
dan aksi-aksi keberpihakan komunitas/masyarakat dalam ke­rangka civil
society memperoleh tempat yang layak.
Bila civil society merupakan terjemahan dari visi Islam tentang khayr
ummah, yang dulu pernah ditegaskan oleh salah satu kekuatan ter­besar
civil Islam di Indonesia Muhammadiyah sebagai “masyarakat utama”
misalnya, tentu saja ini mencerminkan bahwa gagasan tersebut terikat
dengan nilai-nilai keberpihakan kepada mereka yang menjadi korban.
Pertama kali perlu disadarkan kepada kekuatan-kekuatan sipil dalam
masyarakat bahwa organisasi dan gerakan mereka sudah pasti bukan
merupakan masyarakat politik dan bukan pula pasar atau masyarakat
ekonomi. Mereka adalah pelaku dari civil society yang bermain dalam ruang
interaksi sosial-kultural di antara politik dan ekonomi. Dalam ruang ini
mereka hadir dalam bentuk organisasi sukarela sekaligus gerakan sosial
yang bekerja mulai dari tingkat keluarga (usrah), komunitas (qaryah)
hingga masyarakat (baldah). Walaupun bekerja di antara ruang politik
dan ekonomi, bukan berarti mereka identik dengan seluruh kehidupan
sosial di luar administrasi negara dan proses ekonomi dalam pengertian
sempit. Misalnya, menurut definisi ini, organisasi politik, partai politik
dan parlemen, sekaligus organisasi produksi, dan distribusi barang,
seperti perusahaan, bentuk-bentuk kerjasama dan kemitraan adalah
bukan bagian dari civil society. Mereka tetap memiliki peran politik dan
peran ekonomi sebagai pelaku dari civil society itu. Peran itu tidak ber­
hubungan langsung dengan kontrol atas kekuatan politik dan ekonomi,
namun lebih muncul sebagai kekuatan yang memengaruhi politik dan
ekonomi melalui kehidupan asosiasi demokratis dan diskusi di ruang
publik kultural. Patut dicatat bahwa civil society tak terelakkan melalui
satu cara atau lainnya dapat memberikan kontribusi terhadap ruang politik
dan ekonomi.
Dalam aras politik, aktualisasi kekuatan-kekuatan civil society adalah
bermain di ruang publik. Ia bisa muncul sebagai bagian dari kekuatan
opini publik yang secara terus-menerus mendiskusikan kepentingan-
kepentingan publik (maslahah `ammah). Misi aktuali­sasi ini adalah meli­
puti: Pertama, mendemokratiskan negara. Civil society merupakan aktor
di luar negara yang berfungsi sebagai anjing penjaga atau pengawas
(watchdog) bagi proses, prosedur dan tujuan penyelenggaraan negara yang

142 Zakiyuddin Baidhawy


demokratis. Kedua, moderasi, yaitu menegakkan pluralitas dan meng­
hargai multikulturalitas dalam kehidupan bersama berbangsa dan ber­
negara, serta meme­lihara keadaban dalam proses kehidupan bersama.
Pluralitas adalah suatu keniscayaan yang tak terelakkan pada tingkat
realitas, dan karenanya pada tingkat komunitas dan masyarakat, plu­
ralitas itu niscaya pula menjadi manajemen kehidupan bersama. Ketiga,
menjaga tegaknya rule of law dalam mengatur kehidupan bersama. Plu­
ralitas dan keanekaragaman tanpa aturan yang jelas dan im­plemen­
tasinya secara adil hanya akan melahirkan anarkisme dan kekerasan.
Karena itu, civil society dapat memainkan beberapa peran utama
antara lain: 1) Mereka berkontribusi menjalankan tugas deliberasi kolektif
secara terorganisir, yang melaluinya ia dapat mempertahankan formasi
opini publik yang menjadi alat penting untuk mengontrol, mengecek, dan
membatasi institusi-institusi publik dan negara/penguasa agar konsisten
membela rakyat ke­banyakan dan kepentingan-kepentingan publik mereka
dari he­ge­moni dan dominasi negara atau pasar; dan 2) peran kontrak
dengan maksud untuk memengaruhi dan menentukan secara tidak
langsung arah kebijakan negara guna melindungi kemaslahatan bersama
semua warga.
Dalam aras ekonomi, civil society mengaktualisasikan kemampuan­­
nya dalam membangun kemandirian, menegakkan keadilan dan kesejah­
teraan ekonomi kepada masyarakat luas. Mereka memang bukan pasar,
namun dapat hadir dengan misi-misi ekonomi antara lain: Pertama, me­
rintis, memantapkan serta memelihara keswadayaan bagi dirinya sendiri
serta lingkungan sekitar di mana mereka berkiprah. Kedua, menegakkan
keadilan bagi masyarakat dan memihak kepada mereka yang dhuafa dan
mustadh`afin. Jelas bahwa kemiskinan dan pemiskinan kontemporer
lebih karena problem dan kebijakan-kebijakan struktural. Karena itu, ma­
sya­rakat sipil perlu berfungsi lebih tegas sebagai protektor bagi warga
masyarakat yang menjadi korban dari globalisme. Ketiga, membantu me­
wujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan, baik pada tingkat keluarga
sakinah, qaryah thayyibah, dan baldah thayyibah.
Untuk memanifestasikan misi tersebut, civil society berperan sebagai:
1) lembaga filantropi yang piawai dalam hal manajemen pengumpulan
donasi dan voluntarisme, dan pemanfaatan atau distribusinya secara
transparan dan akuntabel, baik dalam jangka pendek maupun panjang; 2)

Pendidikan Al-Maun: Penyadaran dan Politik Keberpihakan 143


bangkit sebagai artikulator dan advokator bagi kepentingan-kepentingan
kaum mustadh`afin yang menjadi korban pemiskinan dan penindasan
struktural, sesuai dengan spirit al-Maun sebagaimana diintrodusir dan
dijalankan oleh tokoh-tokoh semacam KHA. Dahlan dan Muhammad
Yunus misalnya; dan 3) mereka boleh membangun bisnis yang sehat dan
bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan, dan bukan untuk tujuan
semata-mata kapitalisasi.
Dalam aras kultural, fungsi civil society bermain dalam ruang intelek­
tual dan moral, dan menguatkan ideologi dalam rangka membangun
hegemoni dan counter-hegemoni. Karena itu misi yang dijalankan oleh
civil society dapat meliputi: Pertama, upaya-upaya pencerahan intelek­
tual dan pencerahan moral (tanwir al-`uqul wa al-qulub) di tengah-tengah
masyarakat dan bangsa yang makin tergerus moralitasnya dan meng­
alami degradasi/krisis spiritual. Civil society bertanggung jawab untuk
mendedah virus korupsi dan kolusi yang telah meruntuhkan sendi-
sendi kehidupan bangsa dan negara, mengamputasi hingga ke akar-
akar­nya sekaligus menggantinya dengan moralitas baru yang segar dan
bercahaya. Kedua, membuat konsensus dalam arti membangun kese­
pa­haman dengan dan mendukung pilar negara untuk kepentingan-
kepentingan semua warga. Ketiga, menciptakan kontestasi dalam bentuk
resistensi atau alternatif bagi negara.
Maka beberapa peran kunci dalam aras ini dapat dilakukan antara
lain: 1) civil society memerankan diri sebagai agen tajdid dalam bidang
pemikiran dan gerakan, dan transendensi (iman billah) yang dapat
meng­atasi kebuntuan moralitas yang gamang menghadapi tantangan
hedonisme dan materialisme tanpa batas; 2) ketika institusi-institusi
publik, negara dan atau penguasa berada pada jalan lurus (on the right
track), mereka dapat menjadi agen stabilisasi (amar ma`ruf) dan mitra
bagi mereka dan mengawalnya agar tetap konsisten; dan 3) pada saat
institusi-institusi publik, negara dan atau penguasa gagal menjalankan
peran dan fungsi mereka, civil society tampil di depan sebagai agen trans­
formasi (nahy munkar) yang secara terbuka (`alaniyah) atau diam-diam
(sirr) menunjukkan perlawanan kepada rezim gagal atau menjadi alter­
natif atas mereka. Pada tingkat yang sederhana, perlawanan mereka
dapat mengambil strategi lokal, seperti semacam perlawanan kaum
petani yang mempergunakan tindakan-tindakan sabotase, pencurian,

144 Zakiyuddin Baidhawy


dan boi­kot sebagai sarana untuk mensubversi Negara atau pasar yang
tidak fungsional (Scott, 1990). Pada level kreatif, civil society dapat mem­
bangun aktivitas-aktivitas ekonomi informal yang membuat mungkin
terjadinya produksi, distribusi dan pertukaran barang dan jasa. Pada level
kebijakan, perlawanan radikal civil society secara nyata terhadap birokrasi
dan pemerintahan yang korup dan anti masyarakat miskin. Dan pada
level intelektual, civil society menjadi kekuatan kritik atas birokrasi negara
dan menuntut semacam proses globalisasi counter-hegemoni.

Tabel 5.1. Kerangka Kerja Penyadaran dan Politik


Keberpihakan Komunitas/Masyarakat

Ruang
Aras Misi Peran
Aktualisasi
Politik Ruang publik, • Mendemokratiskan • Deliberasi kolektif:
opini publik negara kontrol dan check
• Moderasi: atas institusi-
menegakkan institusi publik dan
keanekaragaman negara/penguasa
dan keadaban • Kontrak:
• Menjaga rule of law memengaruhi dan
menentukan arah
kebijakan negara
Ekonomi Kemandirian, • Membangun • Filantropi sosial
Keadilan dan keswadayaan
kesejahteraan • Menegakkan • Artikulator
ekonomi keadilan dan dan advokator
memihak kepentingan kaum
mustadh’afin mustadh`afin
• Mewujudkan • Membangun
kebahagiaan/ bisnis yang sehat
kesejahteraan dengan tanggung
. Keluarga jawab sosial dan
. Komunitas lingkungan
. Masyarakat

Pendidikan Al-Maun: Penyadaran dan Politik Keberpihakan 145


Ruang
Aras Misi Peran
Aktualisasi
Kebuda­ Intelektual • Pencerahan intelek­ • Agen tajdid dan
yaan dan moral; tual dan moral (tanwir transendensi (iman
hegemoni al-`uqul wa al-qulub) billah)
dan counter- • Konsensus: • Agen stabilisasi
hegemony membangun (amar ma`ruf)
kesepahaman
dengan dan mendu­
kung pilar negara
• Kontestasi: • Agen transformasi
resistensi atau alter­ (nahy munkar)
natif bagi negara

Dalam konteks global, civil society muncul berhubungan dengan


wilayah politik. Dalam konteks di mana negara-bangsa tidak lagi memi­
liki otoritas untuk mempertahankan warganya, gerakan-gerakan dan
organisasi-organisasi civil society baru menya­jikan diri sebagai lintasan
antara individu dan negara. Strategi perjuangan mereka didasarkan atas
nilai-nilai baru, perlawanan damai dan perlindungan HAM. Menurut
perspektif ini, civil society mengimplikasikan pluralisme, saling per­caya,
solidaritas dan kerjasama, bahkan menyediakan kerangka kerja bagi
perlawanan individu terhadap negara. Civil society mengandung muatan
normatif, yaitu sebagai proyek yang diwujudkan dalam skala global.
Global civil society merupakan kategori normatif yang dipandang mampu
me­nyediakan agensi yang niscaya bagi demokratisasi institusi-institusi
pada tingkat global. Ia terkait dengan upaya mensivilisasi atau men­
demo­kratiskan globalisasi, dengan proses di mana kelompok, gerakan,
dan individu dapat menuntut aturan hukum global, keadilan global dan
pemberdayaan global. Dengan cara ini, civil society merupakan sumber
daya bagi keadilan global dari bawah, yang menerjemahkan bahasa asali
pembebasan dalam rangka menyediakan basis bagi bentuk multi­kul­
turalisme kosmopolitan dan progresif yang dikendalikan dari tingkat lokal
oleh masyarakat pribumi, kelompok-kelompok atau organisasi-organi­sasi
dan oleh gerakan-gerakan dari pinggiran sistem negara yang mapan.

146 Zakiyuddin Baidhawy


C. KELUARGA SAKINAH: MENGGERAKKAN KEPEDU­LI­
AN DARI LINGKUP TERKECIL
1. Sederhana Menyelamatkan dari Konsumtivisme dan
Hedonisme
Globalisme dalam kehidupan kontemporer telah membawa manu­
sia kepada ideologi komfortismus, pandangan dunia liberal yang memuja
kesenangan hidup dan kepuasan (satisfaction). Ba­nyak orang di berbagai
belahan dunia kini memuja kepentingan dengan kenikmatan-kenikmat­
an sesaat yang dapat ditawarkan oleh kehidupan ini dalam pengertian
barang-barang material dan kesenangan fisik. “Komfortismus”, memin­
jam istilah Sombart, adalah mentalitas kaum borjuis yang gila akan uang,
gelimang harta dan kemaruk dunia. Agar kenikmatan dan uang yang
mereka miliki tetap berada dalam kenyamanan, maka mereka membu­
tuhkan kesejahteraan. Sayangnya, atas nama kesejahteraan ini segala jalan
cenderung ditempuh, tujuan menghalakan segala cara.
Dalam situasi zaman di mana kesenangan menjadi tujuan hidup, pola
hidup sederhana dan sahaja memperoleh tantangan sekaligus peluang.
Di satu sisi, individu dan keluarga ditantang kesabarannya meng­hadapi
pergaulan hidup yang serba heboh dan wah, tanpa larut dan terjerumus
di dalamnya. Di sisi lain, pola hidup sederhana dan sahaja menawarkan
kepada manusia gaya hidup sembada, prasaja, suatu sikap dan perilaku
moderat di antara ekstrem kemewahan dan kemelaratan, merasa serba
cukup di antara berlebihan dan serba kekurangan.
Di sinilah relevansinya upaya untuk menyadarkan keluarga, se­bagai
unit terkecil masyarakat dan bangsa, untuk menanamkan dan mem­
bangun pola hidup dan konsumsi sederhana sebagai sebuah pertahanan
sekaligus perlawanan terhadap materialisme dan hedonisme yang selalu
dihadirkan oleh globalisme neo-liberal dalam hampir semua aspek kehi­
dupan, dari ranah publik hingga ruang privat.
Konsumsi adalah tindakan membelanjakan, memanfaatkan harta
atau kekayaan untuk suatu tujuan. Membelanjakan kekayaan secara sem­
brono dapat menimbulkan kerusakan, baik pada diri sendiri maupun
orang lain. Karena itu, konsumsi perlu dilakukan secara benar dan pro­
porsional.
Untuk memahami konsumsi yang benar dan proporsional, beberapa
spektrum perlu diperhatikan di sini. Pertama, konsumsi dengan sasaran

Pendidikan Al-Maun: Penyadaran dan Politik Keberpihakan 147


pembelanjaan harta baik bagi diri pemilik harta dan kelompok lain se­
perti ibu bapak, sanak kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
dan ibnu sabil. Kedua, konsumsi dalam arti pemberian seorang suami
kepada isteri dalam bentuk mahar. Ketiga, konsumsi sebagai pemberian
atau belanja untuk kepentingan kemaslahatan bersama. Jadi konsumsi
ialah suatu tindakan membelanjakan harta/kekayaan untuk kepentingan diri
sendiri, untuk keperluan orang lain dan untuk kebutuhan atau kemaslahatan sosial.
Konsumsi yang benar dan proporsional merupakan kebaktian dan
kebajikan yang berwujud harta, benda atau uang seperti zakat, sedekah,
dan berbagai nafkah wajib, yang berfungsi untuk berbagi kesejahte­raan
dengan semua manusia, menyucikan harta dari kemungkinan subhat, dan
asas untuk membangun kehidupan masyarakat yang kokoh. Konsumsi
semacam ini diyakini sebagai mekanisme untuk menegakkan bangunan
sosial dan dapat me­niupkan semangat persatuan dan kohesi sosial dalam
masyarakat manusia serta mampu mempersatukan kekuatan-kekuatan
yang terpecah-belah.
Beberapa persyaratan berkenaan dengan pembelanjaan harta atau
kekayaan dalam arti untuk memenuhi kebutuhan atau ke­ pen­tingan
orang lain adalah sebagai berikut: Pertama, sesuatu yang dibelanjakan
adalah kelebihan dari kebutuhan si pemilik. Kedua, sebaiknya yang di­
beri­kan adalah sesuatu yang disukainya. Tidak memberikan sesuatu yang
dibenci baik pemberi maupun penerimanya. Ketiga, pemberian dan
belanja merupakan hasil dari usaha yang baik (thayyibah). Artinya, kon­
sumsi dan pemberian hendaknya dengan harta yang masih bagus dan
layak dikonsumsi, segar, bukan yang sudah basi. Berinfak dengan cara dan
barang halal saja belum cukup. Karena itu perlu diikuti dengan karakter
thayyibah, yakni menyangkut usaha yang tidak akan mengancam kelanjut­­an
(sustainability) sumber daya alam bagi masa depan. Keempat, nafkah yang
diberikan kepada orang lain hendaknya dilakukan dengan cara yang baik,
yakni tidak menyebut-nyebutkannya apalagi di muka umum yang bisa
menyebabkan riya, sehingga tidak membuat si penerima merasa sakit
hati atau malu karenanya. Kelima, membelanjakan harta/kekeayaan
hen­dak­nya sesuai dengan kemampuan si pemilik harta dan dengan cara
demikian ia dapat menghindarkan diri dari kehancuran.
Tampak bahwa secara fundamental konsumsi yang benar terletak
pada cara atau pendekatan dalam memenuhi kebutuhan dan ke­inginan

148 Zakiyuddin Baidhawy


manusia. Konsumsi yang proporsional tidak menghendaki dan meng­
akui pola konsumsi yang murni materialistik. Semakin tinggi manusia
me­ naiki tangga peradaban, konsumsi lebih dibayang-bayangi oleh
keinginan-keinginan psikologis. Selera dan gaya hidup snobbish (berge­
limang kemewahan), dorongan untuk pamer, semua faktor psikologis
ini memainkan peran yang sangat dominan dalam menentukan bentuk-
bentuk lahiriah konkret dari keinginan-keinginan psikologis tersebut
(Mannan, 1980). Peradaban modern telah menghancurkan “kese­der­
hanaan”; peradaban materialistik mewarnai kesenangan yang terus mem­
buat keinginan-keinginan manusia menjadi sangat bervariasi dan kese­
jahteraan hampir hanya diukur dari berbagai karakter keinginan yang
diupayakan untuk dicapai melalui sarana-sarana tertentu.
Tentu saja cara pandang tentang kehidupan dan kemajuan se­
macam ini berseberangan dengan nilai-nilai etis. Nilai-nilai etis berusaha
mereduksi kebutuhan material manusia yang berlebihan (eksesif) dengan
maksud untuk menekankan energi spiritual manusia dalam pencarian
duniawi. Pertumbuhan batiniah lebih dari sekadar ekspansi lahiriah
merupakan ideal tertinggi manusia dalam hidup ini. Kemajuan tidak se­
mata diukur dari standar hidup yang tinggi yang berimplikasi pada per­
luasan keinginan secara tanpa batas. Karena hal ini akan meningkatkan
ketidakpuasan terhadap apa yang sudah dicapai. Kepuasan bukan se­
mata tingkat konsumsi tertinggi sebagaimana diyakini materialisme.
Setiap individu diberikan kebebasan memilih untuk mengon­
sumsi segala sesuatu yang menyenangkan dan disukai, sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan dan perbedaan temperamental mereka. Namun
konsumsi yang “proporsional” ialah sikap tengah-tengah antara asketis­
me yang sembunyi dari kesenangan dunia di satu sisi, dan materialisme
yang membenamkan manusia dalam kesenangan inderawi dan hedonis­
me kehidupan di sisi lain.
Setidaknya ada dua karakteristik yang menjadi keistimewaan atau
keunikan dalam sistem konsumsi yang benar dan proporsional antara
lain: Pertama, tidak ada perbedaan antara pengeluaran atau pemanfaatan
spiritual dan duniawi. Membelanjakan harta untuk memenuhi ke­butuh­
an para janda, anak terlantar dan fakir miskin, sama baiknya dengan mem­
belanjakan untuk diri sendiri, anak-anak, keluarga dan orang tua. Berhaji
ke Mekkah sama nilainya dengan dengan kebaikan seseorang yang pergi

Pendidikan Al-Maun: Penyadaran dan Politik Keberpihakan 149


ke kantor atau melakukan pekerjaan dan hal lain untuk mem­per­oleh
penghidupan baik melalui kerja kasar maupun halus. Kedua, konsumsi
tidak terbatas pada kebutuhan-kebutuhan hidup atau ke­­butuhan akan
efisiensi tetapi juga sekaligus kesenangan yang diper­kenankan.

2. Sederhana Menyelamatkan Lingkungan


Membelanjakan kekayaan untuk kebutuhan dan keinginan pribadi
bukanlah hal buruk sejauh kebutuhan dan keinginan itu tidak akan mem­
bahayakan kelangsungan (sustainability) hi­dup dirinya dan masyarakat
pada umumnya. Memenuhi dan meman­faatkan kebutuhan pribadi harus
berada dalam kerangka dan batasan-batasan tertentu agar konsumsi atas
sumber daya tidak melanggar “rambu-rambu ekologis dan kemanusia­
an” dan menjamin keberlangsungan masa depan. Ini mensyaratkan ada­
nya dimensi pertanggung jawaban manusia atas perilaku konsumsinya.
Konsumsi tidak semata berorientasi keduniaan dan berjangka pen­
dek, namun juga untuk memastikan kehidupan jangka panjang dengan
bekerja untuk kesejahteraan ekologis dan kemanusiaan melalui suatu
pengurangan dalam pemborosan dan konsumsi yang tidak penting meski­
pun ia memiliki kekayaan yang cukup untuk mendapatkannya.
Karena itu, perilaku konsumsi harus berpijak pada prinsip kese­
lamatan, yakni kelangsungan dan investasi masa depan secara berke­
sinam­bungan: kesinambungan generasi dan masa depan, ke­mak­muran
bumi, sekaligus larangan melakukan kerusakan atas lingkungan.
Sumber daya alam yang berlimpah dapat disimpan dan pada saat­
nya dapat dialihkan untuk menambah produksi dan distribusi guna me­
menuhi kebutuhan barang-barang. Keyakinan pentingnya masa depan
dan pertanggung jawaban Hari Akhir, dapat mencegah seseorang untuk
memperkaya diri melalui sarana-sarana yang haram dan merugikan, dan
ini berarti membantu orang lain dengan tidak menyembunyikan batas-
batas peluang mereka dan tidak mencabutnya dari mata pencaharian
mereka.
Dengan demikian, Islam mengedepankan suatu perspektif jangka
panjang (long-term perspective) untuk tindakan konsumsi dan produksi
manusia. Islam tidak menghendaki individu melupakan kepentingan
mereka sendiri namun karena sumber daya alam itu terbatas, sebagai
khalifah manusia tidak layak bertindak ekstrem untuk menjadi manusia

150 Zakiyuddin Baidhawy


ekonomi (homo economicus) dan mengabaikan kelangsungan hidup ekologis
dan kemanusiaan secara individual maupun sosial.
Visi kesinambungan generasi menyangkut anjuran untuk mem­
berikan sedekah sekadarnya kepada sanak kerabat, anak-anak yatim,
dan orang miskin yang tidak mendapatkan harta waris yang hadir dan
menyaksikan pembagian harta waris orang yang meninggal dunia. Ke­
hadiran mereka harus diterima dan tidak boleh dilarang. Jika harta waris
yang dibagikan banyak maka berilah mereka bagian secukupnya. Namun
jika harta waris itu sedikit, maka beri mereka sedikit bagian saja (Zuhaily,
Vol. 4, 1998).
Berkait dengan anjuran sedekah ini, bisa dimengerti bahwa tujuan
utama pembagian harta waris itu sendiri sebenarnya adalah untuk
mentransfer dan membagi kekayaan si mayit kepada ahli waris yang di­
tinggalkannya. Dengan cara ini, harta waris dapat memberikan akumulasi
kekayaan yang bermanfaat bagi si penerima dan secara ekonomi dapat
meningkatkan kesejahteraan. Bersedekah dan berwasiat dalam konteks
harta waris diperkenankan, namun jangan sampai melebihi sepertiga
bagian dari total harta atau kekayaan. Karena, sebagaimana dinyatakan
dalam hadis riwayat Turmudzi, berwasiat dan atau bersedekah sepertiga
kekayaan sudah sangat banyak. Jangan sampai sedekah dan wasiat me­
nyebabkan anak-anak dan keturunan yang tinggalkan menjadi miskin
atau lemah secara ekonomi. Meninggalkan mereka dalam keadaan kaya
dan kelangsungan kehidupan perekonomian yang terjamin jauh lebih
baik daripada membiarkan mereka meminta-minta di kemudian hari.
Prinsip konservasi lingkungan alam dan manusia. Prinsip tentang
konservasi kehidupan ini tercermin dalam larangan berbuat kerusakan
di muka bumi. Prinsip membincang tentang perlunya proteksi dan
jaminan terhadap kehidupan kemanusiaan. Membunuh jiwa tanpa hak
adalah menghilangkan kehidupan seorang manusia tanpa sebab yang
mewajibkan qisas atau berbuat kerusakan di muka bumi yang dapat meng­
ganggu keamanan dan ketentraman. Pembunuhan semacam itu layak
dipandang sebagai membunuh semua orang karena di hadapan Allah
tidak ada perbedaan antara orang perorang, musuh bagi satu orang adalah
musuh bagi masyarakat manusia secara menyeluruh. Se­balik­nya orang
yang menghidupkan manusia lain adalah mereka yang mengharamkan
pembunuhan atas manusia atau mencegah terjadinya pembunuhan.

Pendidikan Al-Maun: Penyadaran dan Politik Keberpihakan 151


Dengan demikian, tindakan mereka itu merupakan wujud pemberian
ke­hidupan bagi semua manusia dengan cara memperluas jaminan ke­
amanan dan ketentraman (Zuhayli, Vol. 6, 1998).
Semua itu mengandung dua manifesto perlindungan atas hak asasi
manusia paling fundamental, yaitu jaminan atas kebebasan setiap indi­vidu
manusia untuk hidup di muka bumi, sekaligus jaminan atas kehidupan
bersama semua masyarakat manusia. Adalah antitesis kebenaran segala
tindakan merampas hak hidup individu dan kolektif manusia. Hanya
dengan membiarkan mereka menikmati kebebasan hidup itu, maka ke­
langsungan kehidupan ini memperoleh kepastian.
Kedua, prinsip jaminan atas kesinambungan lingkungan alam. Ber­
buat kerusakan di muka bumi itu banyak macamnya, mulai dari perbuat­
an syirik sebagai kerusakan terbesar, membunuh sesama manusia tanpa
alasan yang benar, penguasa tiran yang suka merampas harta rakyatnya,
dan seluruh tindakan yang membuat kehidupan di desa-desa dan kota-
kota tidak nyaman dan aman bagi penghuninya (al-Qurtubi, Vol. 7, 2002).
Pentingnya menjaga kelangsungan generasi masa depan, dan
proteksi atas lingkungan manusia dan lingkungan alam seba­gaimana
telah dibahas di depan, memperoleh penguatan dari perjuangan untuk
menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan di muka bumi. Manusia
hidup dari bumi dan seluruh materi yang dikandunganya. Karena itu
logis jika manusia pula yang memiliki tanggung jawab memakmurkan
bumi melalui berbagai macam aktivitas seperti pertanian, perkebunan,
industri, dan pembangunan secara menyeluruh. Bumi pasti akan mene­
rima semua tindakan pemakmuran yang bermanfaat baik bagi manusia
itu sendiri maupun lingkungan alam umumnya.
Semua pernyataan di muka adalah dasar bahwa perilaku kon­sumsi
sederhana perlu mempertimbangkan upaya menjaga ling­­kungan secara
menyeluruh — lingkungan kemanusiaan dan lingkungan alam — demi
memelihara kesinambungan generasi dan menyelamatkan masa depan
melalui tindakan pemakmuran bumi dan mencegah kerusakan baik se­
cara de facto maupun de jure.

3. Konsumsi Sederhana: Rasional dan Bermoral


Perilaku konsumsi sederhana mempunyai hubungan erat dengan
komitmen rasional dan komitmen moral. Cara meman­faatkan dan me­

152 Zakiyuddin Baidhawy


ngeluarkan kekayaan dibangun atas fondasi nilai etis. Perilaku konsumen
menurut Kapitalisme bersumber dari “rasionalisme ekonomi” dan
Prinsip Utilitarianisme. Rasional­ isme ekonomi menafsirkan perilaku
manusia berdasarkan pada kalkulasi kaku yang diarahkan semata untuk
keberhasilan ekonomi. Keberhasilan ekonomi dimaknai secara definitif
sebagai mesin pencipta uang. Perolehan kekayaan apakah dalam bentuk
uang maupun komoditas, merupakan tujuan utama kehidupan. Sementara
Prinsip Utilitarianisme berfungsi sebagai sumber nilai-nilai dan sikap
moralnya. “Kejujuran hanya bermanfaat bila dapat memastikan kredit
atau keuntungan, sehingga bersifat tetap dan industrial” (Kahf dalam
Ahmad (Ed.), 1980). Dualitas yang memunculkan perilaku konsumen
ini menitikberatkan pada maksimalisasi utilitas sebagai tujuan utama
konsumsi. Utilitas harus dimaksimalkan sebagai bagian dari manifestasi
homo-economicus yang tujuannya adalah mencapai tingkat tertinggi per­oleh­
an ekonomi dan stimulusnya adalah sense of money.
Fondasi etis menawarkan satu bentuk rasionalitas lain yang ber­
tumpu pada tiga hal pokok. Pertama, berbasis pada keyakinan bahwa
hasil dari pilihan tindakan manusia berakibat langsung di dunia dan di
akhirat, karena itu utilitas yang berasal dari pilihan tindakan tersebut
merupakan totalitas nilai dari dua akibat di atas; alternatif penggunaan
harta dan kekayaan untuk memberikan bantuan secara cuma-cuma
kepada orang miskin dan membutuhkan, memelihara binatang, me­
nabung untuk kesejahteraan generasi mendatang dan memperbaiki ke­
hidupan komunitas yang balasannya tidak bersifat langsung bagi individu.
Kedua, keberhasilan adalah karunia dan bukan semata akumulasi
kekayaan. Penggunaan sumber daya alam dan sumber daya manusia
bukan hanya keistimewaan, namun juga kewajiban dan tugas khalifah.
Oleh karena itu, kemajuan dan kesempurnaan material berada dalam
nilai-nilai moral. Ketiga, harta apakah dipandang sebagai kekayaan atau
pen­dapatan, adalah limpahan dari Tuhan melalui bumi dan segala isinya.
Dengan demikian fondasi etis tidak mengabaikan pentingnya
ke­butuhan, keinginan-keinginan, dan pemuasannya, namun dengan
imbangan dari kesadaran moral manusia yang diletakkan pada jalan
yang benar sekaligus menciptakan kelestarian lingkungan alam dan ke­
ma­nusiaan yang merupakan keharusan bagi berjalannya fungsi kesa­
daran secara layak. Dalam realitas sejarah, masyarakat dikesankan

Pendidikan Al-Maun: Penyadaran dan Politik Keberpihakan 153


dengan pembatasan-pembatasan tertentu atas para anggotanya dalam
meman­faatkan seperangkat barang dan jasa yang mudah diakses oleh
konsumen. Penggunaan komoditas tertentu suatu saat dapat dilarang
secara hukum atau dilarang secara agama. Dalam kaitan dengan masalah
ini, ada beberapa kaidah umum tentang pengeluaran atau konsumsi
barang dan jasa sebagai berikut.
Pertama, pengeluaran demi kesejahteraan orang banyak. Prinsip ini
menghargai hak setiap individu, namun karena kesejahteraan umum ber­
ada pada prioritas utama, maka semua pemanfaatan barang dan jasa se­
yogyanya mendahulukan kepentingan bersama atau semaksimal mungkin
dapat dirasakan untuk sebesar-besar kebutuhan bersama.
Kedua, penghapusan kesulitan/bahaya diutamakan dari kesenang­
an dan manfaat. Pada dasarnya konsumsi barang dan jasa adalah hal
yang mubah, namun ada batas-batas tertentu yang tidak boleh di­
langgar. Segala perilaku konsumsi yang dapat mendatangkan bahaya
wajib dihindarkan. Oleh karena itu semua bentuk perilaku yang mem­
bahaya­­kan seharusnya dihapuskan; meskipun ada kemungkinan dalam
konsumsi barang dan jasa itu terdapat manfaat bagi individu pelaku
maupun masyarakat sekitarnya, namun bila unsur atau akibat mafsadat­
nya lebih besar dari manfaat, maka menolak bahaya lebih diutamakan
dari mengambil manfaat/keuntungan. Seperti dalam kasus konsumsi
minuman keras, narkotik dan obat-obatan terlarang (narkoba) dan zat
adiktif misalnya, memang ada manfaat tertentu bagi manusia. Narkoba
dalam dosis tertentu dengan cara yang benar bermanfaat bagi kepenting­
an kesehatan, namun penggunaannya sangat dan perlu dibatasi secara
jelas dan tegas. Minuman keras dan narkoba juga membuka peluang
pe­­kerjaan dalam sebuah sistem ekonomi bawah tanah, demikian pula
perjudian yang dapat memberikan masukan pajak bagi pemerintah.
Meski­pun demikian, akibat kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih
besar dari manfaatnya.
Ketiga, kepentingan umum diletakkan pada posisi utama atas ke­
pentingan individu atau minoritas. Esensi dari prinsip ini adalah untuk
menghindarkan atau menghilangkan kesulitan. Dengan kata lain, se­
suatu yang disebut kepentingan umum adalah harus memenuhi kriteria
antara lain: mendatangkan manfaat bagi komunitas dan individu dan
sebaliknya tidak menimbulkan kerusakan; mengikat kepentingan hidup

154 Zakiyuddin Baidhawy


di dunia dan akhirat; dapat diterapkan pada kepentingan umum maupun
kepentingan pribadi. Prinsip ini menghendaki suatu kualitas tindakan
konsumsi untuk memperoleh kesejahteraan yang secara permanen dan
mayoritas untuk memenuhi kepentingan publik dan atau individu, namun
kepentingan publik lebih diutamakan atas kepentingan individu.
Terakhir, pengorbanan pribadi dilakukan untuk menye­lamatkan
ke­rugian umum. Sebagai contoh, individu yang memiliki sumber daya air
dari lahan yang dimilikinya dan digali dengan usahanya, dianjurkan ber­
korban memberikan surplus air itu kepada publik untuk kepentingan
mereka tanpa kompensasi apa pun dalam situasi air itu mendesak untuk
menjamin survival komunitas atau masyarakat.

Pendidikan Al-Maun: Penyadaran dan Politik Keberpihakan 155


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Moeslim. Islam yang Memihak. Yogyakarta: LKiS, 2005.


Ahmad, Khursid (ed.), Studies in Islamic Economics, Leicester: International
Center for Research in Islamic Economics King Abdul Aziz
University and the Islamic Foundation, 1980.
Ana, Julio de Santa. “The Concept of Civil Society,” dalam The Ecumenical
Review, 1994.
Anam. Munir Che. Muhammad SAW dan Karl Marx tentang Masyarakat
tanpa Kelas. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Andreassen, Bård A. “Human Rights and Legal Empowerment of the
Poor”, Extreme Poverty and Human Rights Expert Seminar,
Geneva 23-24 February 2007, Norwegian Centre for Human rights,
University of Oslo.
Arditi, Benjamin.”From Globalism to Globalization: The Politics of
Resistance”, New Political Science, Volume 26, Number 1 (March
2004): 1-18.
Axford, Barrie. The Global System, Politics and Culture. New York: St.
Martin’s Press, 1995.
Beyer, F Peter. Religion and Globalisation. London: Sage Publications, 1994.
Clert, Carine. Evaluating the concept of social exclusion in development
discourse. European Journal of Development Research, 11, no. 2 (December
1999):176-199.
Cohen & Andrew Arato, Jean A. Civil Society and Political Theory. Cambridge,
MA: MIT Press, 1992.

157
Della Fave, L Richard. “The Culture of Poverty Revisited: A Strategy
for Research.” Social Problems 21 (1974).:609-621.
Dierks, Rosa Gomez. Introduction to Globalization: Political and
Economic Perspectives for the New Century. Chicago: Burnham
Inc., Publishers, 2001.
Emma Aisbett. “Globalization, Poverty and Inequality: are the criticisms
vague, vested, or valid?” Prepared for the NBER Pre-conference
on Globalization, Poverty and Inequality October 24-25, 2003.
Engineer, Asghar Ali. Hak-hak Perempuan dalam Islam. Terj. Farid Wajidi
dan Cici Farkha Assegaf. Yogyakarta: LSSPA, 1994.
Esack, Farid. Qur’an, Liberalism, and Pluralism: An Islamic Perspective of
Interreligious Solidarity against Oppression. Oxford: Oneworld, 1997.
Fakih, Mansour.”NGOs at the Crossroad”, Smeru (2003): 1-15; http://
www.smeru.or.id/newslet/2003/ed08/200308art1.htm
Friedman, John. “Rethinking poverty: empowerment and citizen rights.”
International Social Science Journal 148 (1996):161-172.
Freund, Bill. The making of Contemporary Africa. Boulder: Lynne Rienner,
1998.
Fukuyama, Francis. The End of History and the Last Man. New York:
Penguin Books, 1992.
Gendzier, Irene. Managing Political Change: Social Scientists and the Third
World Boulder. Colorado: Westview Press, 1985.
Gie, Kwik Kian,” Terjerat Kekuatan Barat”, Jawa Pos, 16 Agt 2005.
Hayter, Teresa. Aid as Imperialism. Middlesex, England: Pengium,
1971Geertz, Clifford. “Religion: Anthropological Study”, in David
L Sills (ed) International Encyclopedia of the Social Sciences. London:
Collier-Macmillan Publishers, 1965.
Hulme, D. and McKay, A., ‘Identifying and measuring chronic poverty: Beyond
monetary measures’, Paper presented at an International conference
on ‘The many dimensions of poverty’ held in Brazil August 29-31,
2005, Brasilia: International Poverty Centre.
Imade, Lucky O. “The Two Faces of Globalization: Impoverishment
or Prosperity?”, Shaw University International Studies Center, 2003.
Inkeles, Charles, Smith. Becoming Modern. Massachussetts: Harvard
University Press, 1974.

158 Zakiyuddin Baidhawy


Iqbal, Muhammad. Reconstrucion of Religious Thought in Islam. New Delhi:
Kitab Bhavan, 1985.
Jere-Malanda, Regina. “Biopiracy, Neem, the wonder tree.” New African.
Issue 424, December, 2003.
Jhamhatani, Hira dan Hanim, Lutfiyah. Globalisasi dan Monopoli Pengetahuan:
Telaah tentang TRIPS dan Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Jakarta:
INFID, KONPHALINDO, Institut Keadilan Global, 2002.
Kerbo, Harold R. Social Stratification and Inequality: Class Conflict in Historical
and Comparative Perspective. Boston: WCB/McGraw-Hill, 1996.
Kuntowijoyo.Islam Paradigma untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1995.
Kütting, Gabriela.”Globalization and the Environment: Moving Beyond
Neoliberal Institutionalism”, International Journal of Peace Studies,
Volume 9, Number 1, Spring/Summer 2004.
Laderchi, C. R., Saith, R. and Stewart, F. “Does it matter that we don’t
agree on the definition of poverty? A Comparison of Approaches”,
QEH Working Paper Series – QEHWPS107, Queen Elizabeth House,
University of Oxford, 2003.
Lewis, Oscar 1971. “The Culture Poverty”. in Conformity and Conflict:
Readings in Cultural Anthropology, edited by James P. Spradley and
David W. McCurdy. Boston: Little Brown, 1966.
Lewis, Oscar. Five Families: Mexican Case Studies in the Culture of Poverty.
New york: Basic Books, 1959.
Majah, Ibn. Sunan. jilid ii. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Mannan, M.A., Islamic Economics: Theory and Practice, Delhi: Idarah-I
Adabiyat-I Delli, 1980.
Manenji, Fridah Muyale. “The Effects of Globalization on Culture in
Africa in the Eyes of an African Woman”, ECHOES, (1998): 1-4.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maraghi. Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Mansour Fakih, Bebas dari Neoliberalisme. Yogyakarta: Insist Press, 2003.
Matza, David . The Disreputable Poor. In Class, Status and Power: Social
Stratification in Comparative Perspective,edited by R. Bendix and S.M.
Lipset. New York: Free Press, 1966.
Al-Mawardi.Tafsir al-Mawardi. Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Moore, Campbell Byron.”Environmental, Economic, and Social
Problems of Globalization within the Context of a Sustainable
Future”, ISDM: Environmental Studies.

Daftar Pustaka 159


Myrdal, Gunnar. Challenge to Affluence. New York: Pantheon, 1962.
Newell, Peter.”Environmental NGOs, TNCs, and the Question of
Governance”, in Dimitris Stevis and Valerie Assetto, eds., The
International Political Economy of the Environment: Critical Perspectives.
Boulder, CO: Lynne Rienner, 2001.
Oosthoek, Jan & Gills, Barry K.” Humanity at the Crossroads: the
Globalization of Environmental Crisis”, Globalizations, Volume 2,
Issue 3 December 2005: 283 – 291.
Pena,Guillermo Gomez. “The New Global Culture,” TDR: The Drama
Review, Spring 2001, Vol. 45 Issue 1.
Pérez-Díaz, Víctor. “The Possibility of Civil Society,” dalam John A. Hall,
Civil Society: Theory, History, Comparison. Cambridge, MA: Polity Press,
1995: 80-109.
Petras, James and Veltmeyer Henry. Globalisation Unmasked: Imperialism in
the 21st Century. London: Zed Books, 2001.
Petrella, Richard. “Six Commandments” Financial Times, 28 Dec. 1999.
Al-Qurtubi. Al-Jami` li Ahkam al-Qur’an. Kairo: Dar al-Hadits, 2002.
Radhakrishnan, P. “Religion under Globalisation”, Economic and Political
Weekly March 27, 2004: 1403-1411.
Redclift, Michael. Sustainable Development, Exploring the Contradictions.
London: Routledge, 1987.
Rodman, Hyman.”The Lower Class Value Stretch.” Social forces 42 (1963):
205-215.
Rodgers, Gerry. “What is special about social exclusion approach? In
Social Exclusion: Rhetoric, Reality, Responses, edited by Gerry
Rodgers, Charles Gore and Jose B. Figueredo. Geneva: ILO, 1996.
Rosenau, James and Ernst-Otto Czempiel. Governance without Government:
Order and Change in World Government. Cambridge, Cambridge
University Press,1992.
Rostow, W.W. The Stage of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto.
New York: Cambridge University Press, 1960.
Schraeder, Peter J. African Politics and Society: A Mosaic in Transformation.
Boston: Bedford/ST. Martin’s Press, 2000.
Scott, Bruce. “The Great Divide in the Global Village”, Foreign Affairs,
January/February 2001, Vol. 80 Issue 1.

160 Zakiyuddin Baidhawy


Sen, A. Development as Freedom. London: Oxford University Press, 1999.
Al-Shathibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat. Cairo: Maktabah al-Tijariyah al-
Kubra, tt.
Shihab, Quraish. Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Shiva, Vandana. “War against Nature and the People of the South.” In S.
Anderson (Ed.), Views from the South. Canada: Co-Published by Food
First Books and the International Forum on Globalization, 2000.
Silver, Hilary. “Reconceptualizing social disadvantage: Three paradigms
of social exclusion.’ In Social Exclusion: Rhetoric, Reality, Responses,
edited by Gerry Rodgers, Charles Gore and Jose B. Figueredo.
Geneva: ILO, 1996.
Summers, Lawrence H. “Reflections on Managing Global Integration”,
Journal of Economic Perspectives, 13 (Spring 1999): 3-18.
Syariati, Ali. Islam Agama Protes. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993.
Al-Tabari, Ibnu Jarir. Jami` al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub
al-`Ilmiyah, 1992.
Thabathaba`i, Muhammad Husein. al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Beirut:
al-Mu’assasah al-A`lami al-Matbu`at, 1991.
The Levin Institute. “Environment and Globalization”, http://www.
globalization101.org
UNCTAD (2002) Trade and Development Report, 2002 UNCTAD. Geneva
Available at
http://r0.unctad.org/en/pub/ps1tdr02.en.htm.
UNDP (1999) Human Development Report 1999: Globalization with a Human
Face. Oxford available at http://hdr.undp.org/reports/global/1999/
en/.
Wallach, Lori. “Lori’s War,” interview with Moise´s Naı´m, Foreign Policy
118 (2000): 32.
www.islamic-relief.com. Definition of Poverty. UK: Islamic Relief Worldwide,
2008.
Zaman, S.M. Hasanuz. The Economic Functions of the Early Islamic State.
Karachi: International Islamic Publisher, 1982.
Zuhayli, Wahbah, Al-Tafsir al-Munir fi al-`Aqidah wa al-Shari`ah wa al-
Manhaj. Beirut: Dar al-Fikr, 1991.

Daftar Pustaka 161


BIOGRAFI PENULIS

Zakiyuddin Baidhawy lahir di Indramayu, Jawa Barat. Kini tinggal


di Solo. Menyelesaikan studi S-1 pada Fakultas Agama Islam (Perban­
ding­an Agama) Universitas Muhammadiyah Surakarta (1994). Pernah
nyantri di Pondok Hajjah Nuriyah Shabran (1990-1994). Studi S-2 pada
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1999), dan S-3 pada
Universitas yang sama (2007). Staf Edukatif pada Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) Salatiga, Peneliti pada Pusat Studi Budaya
dan Perubahan Sosial UMS, dan aktivis Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah (JIMM).
Aktivitas dan pengalaman internasional beberapa di antara­ nya
adalah partisipan dan presenter pada Copenhagen Conference, 21-22
Oktober 2008; International Seminar on Religious Education and Values,
Ankara-Turki 25 Juli-1 Agustus 2008; Australian-Indonesian Young
Muslim Leader Exchange 21 Mei-14 Juni 2007; The 19th World Congress
of the International Association for the History of Religions, Tokyo, 23-
30 Maret 2005; partisipan pada The Ohio University Dialogue Project
and Exchange Program, Chicago, Illinois; Athens, Ohio; Washington
D.C; Lancaster, Pennsylvania; Manhattan, New York, diselenggarakan
oleh Center for International Studies, Ohio University, Athens, be­ker­ja­
sama dengan US State Department, 22 September-13 Oktober 2004;
partisipan dan presenter pada the Global Meeting of Expert on Teaching
For Tolerance, Respect, and Recognition, diselenggarakan oleh The
Oslo Coalition on Freedom of Religion or Belief bekerjasama dengan

163
UNESCO, Oslo, 2-5 September 2004; dan partisipan dan presenter
pada International Interfaith Peace Forum and Asian Muslim Action
Network (AMAN) Assembly, Bangkok, 9-14 Desember 2003.
Aktif menulis di berbagai media dan jurnal ilmiah. Karya-karya
yang sudah diterbitkan antara lain: Etika dalam Islam (1996); Wacana
Teologi Feminis (1997); Menapak Jalan Revolusi (2000); Pendekatan Kajian
Islam dalam Studi Agama (2001); Dialog Global dan Masa Depan Agama (2001);
dan Agama dan Pluralitas Budaya Lokal (2002); dan Ambivalensi Agama,
Konflik dan Nirkekerasan (2002), Reinvensi Islam Multikultural (2005),
Menyulam Ragam Merajut Harmoni: Kisah-kisah tentang Toleransi untuk Siswa
dan Pendidik (2005), Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (2005),
dan Kredo Kebebasan Beragama (2006); Islam Melawan Kapitalisme (2007);
Etika Bisnis Syariah I (2007); Etika Bisnis Syariah II (2008); Al-Islam dan
Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM: Buku Panduan untuk Guru (2008);
Al-Islam Berwawasan HAM: Buku Ajar Pendidikan Islam untuk SMA, MA,
SMK (2008); Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM (2008); dan Rekonstruksi
Keadilan (2008).
.

164 Zakiyuddin Baidhawy

Anda mungkin juga menyukai