Kemiskinan Dan Kritik Atas Globalisme Ne
Kemiskinan Dan Kritik Atas Globalisme Ne
GLOBALISME NEO-LIBERAL
Zakiyuddin Baidhawy
KEMISKINAN DAN KRITIK ATAS GLOBALISME NEO-LIBERAL
Zakiyuddin Baidhawy
Penerbit:
LP2M-Press,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) SALATIGA
Jl. Tentara Pelajar 02, Kode Pos 50721, Salatiga
Email: lp2miainsalatiga@gmail.com
ISBN 978-602-73757-1-0
Sudah beberapa tahun yang lalu, niat untuk menulis buku tentang kritik atas
globalisme model neo-liberal, dan pemikiran alternatif untuk mengatasi
kebuntuan ideologi ini dalam menghasilkan tatanan dunia berkeadilan,
muncul. Akhirnya niat itu kesampaian juga berkat pergumulan pemikir
an yang semakin mendorong niat itu untuk direalisasikan.
Ini tidak lain beranjak dari kegelisahan yang tidak lagi kuasa di
pendam. Melalui berbagai forum kaum muda Muhammadiyah yang
mengorganisir diri secara informal dalam Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah, penulis dapat merampungkan buku ini. Karena itu,
kuhaturkan banyak terima kasih atas sumbang pikir dan dialog yang
mengalir dari teman-teman penulis, baik melalui obrolan ringan, tatap
muka, via email, facebook, seminar, workshop dan jaringan. Mereka yang
berjasa telah memperkaya pemikiran penulis adalah: teman-teman di
Solo; Norma, Sarbini, Jinan, Dewi, Helmi, Almuntaqa, Farid, M. Ali,
Syifaul, Yusuf, Mahmud, Shalahuddin, Imun, Fattah, Yayah, Thoyibi,
dan Abdullah Aly, dll; teman-teman Jogja: Zuly Qodir, Budi Asyhari,
Wiyadi, Beni Setiawan, Kunny, Maya, Mitha, Elis, Subkhi Ridho, Dani
Muhtada, Muqowim, Nurwanto, Asep PB, Irvan Mawardi, Fauzi Fashri
dll; teman-teman di Jawa Timur: Pradana Boy, Choirul Mahfud, Siddiq
Notonegoro, Aji, Biyanto, Sufiyanto, Cholid, dll; teman-teman di Jakarta:
Moeslim Abdurrahman, Fuad Fanani, Fajar, Said Ramadhan, Ayu,
Ninik Annisa, Najib Burhani, Tuti Alawiyah, Alfa Amirrachman, David
Alka, Raja Juli, Joko Sustanto, Sarah Muwahidah, dll; teman-teman kerja
iii
di Salatiga, Tomo, Saerozi, Baehaqi, Miftahuddin, Adang Kuswaya,
Hammam, Irfan Helmy, Agus Suaidi, Nafis, Abdul Aziz, Mochlasin,
Mukti Ali, Farkhani, Noormalihah, dll. Semoga Allah berkenan memberi
balasan terbaik atas kontribusi mereka.
Akhirnya, penulis juga sangat berterima kasih atas pengorbanan
waktu dan kesetiaan dari istri tercinta Nur, dan anak-anakku Nadia dan
Azca, yang dari hari ke hari, waktu ke waktu, bersama membangun se
mangat “berjuang”. Dan penulis berharap buku ini memberi manfaat
bagi mereka yang membacanya, mendiskusikannya, lebih-lebih mewu
judkannya dalam aksi dan gerakan pemihakan kepada mereka yang dhuafa
dan mustadh`afin. Amin.
Zakiyuddin Baidhawy
iv Zakiyuddin Baidhawy
DAFTAR ISI
Prakata .......................................................................................iii
Daftar Isi....................................................................................... v
Pendahuluan................................................................................. 1
BAB I GLOBALISASI MELIPATGANDAKAN
KEMISKINAN DAN PEMISKINAN..........................11
A. Kilas Balik Globalisasi........................................................ 11
B. Beberapa Perspektif Globalisasi....................................... 13
C. Rahwana Globalisasi: Massifikasi Kemiskinan
versus Janji Kemakmuran................................................... 18
v
B. Mencerdaskan visi al-Takathur: “Kapitalisasi” untuk
Pemihakan............................................................................ 89
C. Ummah wasath: Pejuang Keadilan dan Kemanusiaan... 91
D. Pendekatan Berbasis maqasid al-syariah.......................... 93
Daftar Pustaka...........................................................................157
BIOGRAFI PENULIS..............................................................163
vi Zakiyuddin Baidhawy
PENDAHULUAN
1
negara tanpa disadari dipaksa membayar pajak untuk pemberian jaminan
(bail-out) kepada IMF, yang pada akhirnya kebanyakan pajak itu tidak ber
kontribusi bagi mereka yang menderita, tetapi justru dimanfaatkan oleh
para spekulator yang menyebabkan krisis. Warga negara lebih jauh di
wajibkan untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan swasta yang
seram pangan, perusahaan-perusahaan yang sudah jelas-jelas gagal,
seperti kegagalan tabungan dan pinjaman di Amerika Serikat, Kredit
Lyonnais di Perancis, dan bank-bank serta perusahaan-perusahaan raksasa
di Jepang.
Ketika Manajemen Kapital Jangka Panjang hedge fund swasta di
Amerika Serikat akhir-akhir ini guncang setelah meminjam ratusan kali
dari basis kapital awalnya, the Federal Reserve New York mengkoordinasi
bail-out dana yang wajib dibayarkan oleh bank-bank karena takut jika
kegagalan ini dapat mendestabilisasi keseluruhan ekonomi global.
Apa yang dipaparkan di muka menggambarkan bahwa globalisasi
menciptakan lebih banyak pecundang dari pada pemenang, dan tak
seorang pun punya rencana untuk menjadi pecundang. Orang-orang
yang tidak akan pernah bertemu ditempatkan dalam suatu persaingan
langsung, seperti halnya “setiap manusia adalah musuh bagi yang lainnya”,
mengutip Thomas Hobbes. Persaingan semacam ini menciptakan apa
yang sekarang disebut sebagai race to the bottom dan telah menghancurkan
standar-standar pekerjaan dan lingkungan hidup seiring negara-negara
membuka laju investasi asing secara langsung. Semua ini membiarkan
kebebasan modal untuk melintas batas, sementara kaum pekerja atau
buruh berakar dan tidak dapat bergerak secara bebas.
Persaingan bebas membiarkan modal transnasional lari dari tang
gung jawab pajak hampir secara menyeluruh. Menurut kantor akuntan
pemerintah Amerika Serikat, tiga perempat perusahaan-perusahaan
asing di negara ini tidak membayar pajak sama sekali. Di Eropa, pajak
perusahaan memberi kontribusi kurang dari sepertiga pendapatan
negara. Di AS hanya 17% pendapatan negara diperoleh dari mereka.
Tidak adanya pajak modal membuat proteksi sosial jauh lebih sulit di
berikan karena pemerintah kemudian mengambil pajak upah, gaji, dan
konsumsi lebih besar sehingga warga negara mengalami kerugian.
Persaingan bebas dalam membuka investasi asing secara langsung
telah menghadiahkan kepada banyak kawasan yang memiliki modal
2 Zakiyuddin Baidhawy
sumber daya alam kerusakan lingkungan. Secara sistematis persaing
an telah memarjinalkan biaya-biaya lingkungan dan sosial. Globalisasi
ekonomi dalam bentuknya yang sekarang bukanlah suatu kecelakaan.
Meskipun teknologi membuatnya menjadi mungkin, globalisasi ekonomi
secara sengaja didesain oleh ekonom-ekonom dan pemerintah-peme
rintah neo-liberal, institusi-institusi keuangan internasional (IFIs), kor
porasi dan para pemimpin perbankan. Bertindak atas nama kepentingan
kelompok paling minoritas, sistem ini telah menyebabkan penderitaan
mayoritas. Penderitaan dan kesengsaraan sosial telah tampak ke per
mukaan sebagai akibat langsung globalisasi yang pada akhirnya juga
memukul kelompok paling minoritas itu sendiri. Kesalahan besar pada
penganjur globalisasi adalah ketidakmampuan mereka menjamin proteksi
jangka panjang bagi sistem yang dapat terus menerus melimpahkan ke
kuasaan dan keuntungan.
Para pembuat keputusan harus mengakui bahwa model globalisasi
semacam ini hanya akan menghasilkan dan melipatgandakan kemiskinan,
pemiskinan, marjinalisasi, dan konflik sosial. Tantangannya adalah bagai
mana kita bisa menghapus ideologi yang sedang berkuasa sehingga
globalisasi neo-liberal disumbat, dan keuntungannya dapat melimpah
kepada semua warga dunia. Ini bukan realitas tetapi doktrin, sesuatu yang
sedikit di bawah agama.
Lebih jauh, karena globalisasi lebih menggambarkan masalah eko
nomi, dan karena itu kekuatan sosial dari warga negara, komunitas, dan
negara-bangsa secara simultan terus mengalami penurunan kapasitas
untuk melindungi diri mereka sendiri dari serangan gencar pasar, ada
kebutuhan mendesak untuk memberdayakan warga negara, komunitas
dan negara sembari mengupayakan pelembagaan aturan-aturan demo
kratis dan berkeadilan pada tingkat internasional.
Akhirnya, pada tingkat yang paling fundamental, kita harus meng
uji kembali makna otoritas dan legitimasi. Aktor-aktor besar dalam
sistem dunia sekarang ini memperlihatkan pengaruh luar biasa atas basis
legitimasi mereka. Para direktur perusahaan dan banker, manajer pen
siun dan hedge-fund, ekonom IMF, para hakim perdagangan WTO, dan
kebanyakan peserta pertemuan tahunan World Economic Forum di
Davos, Swiss, semuanya tidak bertanggung jawab. Mereka memper
oleh kekuasaan besar melampaui kehidupan banyak penduduk dunia.
Pendahuluan 3
Legitimasi dan otoritas mereka telah meminggirkan semua suara yang
lain. Peminggiran dari proses pengambilan keputusan tidak kurang
pen ting
nya dibandingkan dengan peminggiran dari keuntungan-ke
untungan material dan perlu diuji kembali jika solidaritas di dalam dan
antara bangsa-bangsa hendak diperbaiki demi dunia yang lebih baik dan
manusiawi.
Kini Amerika Serikat jatuh dalam krisis kepercayaan dan krisis
finansial, kemudian diikuti oleh negara-negara maju lainnya di Eropa
dan menyebarkan ancaman krisis kepada seluruh bagian dunia ini.
Skandal kredit macet perumahan, skandal Madoff, runtuhnya perusa
haan-perusahaan transnasional raksasa, merupakan tengara kegagalan
globalisasi ala neo-liberal. Inilah peluang bagi ideologi-ideologi alternatif
untuk maju dan menawarkan sebuah dunia lain yang mungkin, another
worlds are possible.
Kehadiran buku ini merupakan satu upaya bagaimana kita bisa
memandang dunia global yang penuh dengan ketidakadilan ini dengan
kritik radikal, dan semangat menyajikan berbagai kemungkinan yang
dapat memberikan pilihan lain di tengah-tengah pemaksaan oleh rejim
hegemoni dan homogenisasi itu. Alternatif apa pun akan bermakna
ketika kita menyadarinya bukan semata sebagai state of mind, namun lebih
dari itu dapat dimanifestasikan ke dalam aksi-aksi dan praksis sosial yang
membumi. Seperti kata pepatah, menyalakan lilin sekecil apa pun adalah
lebih baik daripada mengumpat dalam kegelapan. Dalam kegelapan dan ke
tidakadilan globalisasi itu, kita perlu melakukan dua hal: bicara lantang
dan mempertajam wacana akan kebangkrutan globalisasi model neo-
liberalisme, dan menawarkan diskursus baru dan lain yang mengede
pankan keadilan sosial dan kesejahteraan; dan memperbanyak aksi dan
gerakan sosial yang membela harkat dan martabat penduduk dunia yang
terpinggirkan dan termarjinalisasi sebagai akibat ketimpangan dan ke
senjangan yang menyakitkan mata kepala dan mata batin kemanusiaan
kita.
Buku ini memulai dari kupasan mengenai kejahatan-kejahatan
globalisasi yang perlu secara terus-menerus diperbincangkan dan di
sebarluaskan kepada seluruh penduduk dunia agar mereka melek akan
sisi hitam dari ideologi ini. Globalisasi tanpa arah merupakan kejahat
an kemanusiaan karena ia telah merusak tatanan kehidupan melalui
4 Zakiyuddin Baidhawy
pelipatgandaan kemiskinan dan pemiskinan. Ketidakadilan global se
macam ini sepertinya merupakan representasi kontemporer dari empat
gembong kriminal yang pernah diilustrasikan oleh al-Quran: Qarun,
Fir`aun, Haman, dan Samiri.
Qorun adalah wajah dari rejim neo-liberalisme yang merupakan
corong dari kekuatan-kekuatan ekonomi global hegemonik dan me
nindas banyak penduduk dunia. Lembaga-lembaga keuangan global
(IFIs) yang siap mengucurkan dana bantuan dalam skema jeratan hutang
dan bunganya yang mencekik.
Fir`aun adalah gambaran penguasa-penguasa politik yang korup
dan dipaksa korup untuk melahirkan sejumlah deregulasi-deregulasi yang
memenangkan kepentingan-kepentingan kekuatan-kekuatan ekonomi
global di atas, melalui forum-forum pertemuan atau konferensi tingkat
tinggi kepala-kepala negara; juga rezim-rezim nasional dan lokal yang
diperalat untuk mendahulukan kepentingan mereka dengan tumbal ke
pentingan rakyat dan kemaslahatan publik umumnya. Mereka ialah pe
nguasa ”penyembelih” yang kemaruk harta/uang walau harus meng
khianati amanah rakyat yang telah memilihnya.
Haman merupakan kaum intelektual ”begundal” dan teknokrat
tukang yang digaji besar dan diberi kedudukan terhormat oleh para
Qarun dan Fir`aun globalisasi neo-liberal. Tugas suci mereka adalah
membuat rasionalisasi dan justifikasi atas segala kepentingan dan ke
bijakan yang menguntungkan rezim ekonomi dan penguasa global itu.
Mereka juga menciptakan teori-teori ekonomi dan pembangunan yang
melegitimasi perampasan, perampokan, pencurian atas aset-aset negara-
negara di dunia, menindas warga negaranya, dan mengeruk keuntungan
sebesar-besar di atas penderitaan penduduk dunia lainnya. Karakter kaum
intelektual dan teknokrat tukang ini mudah dikenali: mereka suka mem
buat penyataan dukungan atas kebijakan penguasanya yang sudah pasti
menyesengsarakan rakyatnya; kerja intelektual dan teknokrasinya ialah
melanggengkan kemiskinan dan pemiskinan.
Samiri adalah kaum agamawan ”bandit” yang cenderung pro status
quo. Mereka suka berdalil, mengutip firman-firman suci namun tujuan
nya untuk memanipulasi doktrin-doktrin dan hukum-hukum agama
untuk eksploitasi terhadap kaum fakir miskin dan mustadh`afin. Me
lalui cara ini mereka memperoleh keuntungan finansial dan material
Pendahuluan 5
dari Qarun, Fir`aun dan Haman globalisasi neo-liberal yang menjadi
patronnya. Inilah tipikal agamawan candu, sebagaimana disitir oleh Karl
Marx, agama adalah opium bagi masyarakat karena ia meninabobokan
mereka dalam kesadaran palsu dan membuat mereka lemah, letih dan
lesu gairahnya untuk bangkit melawan kemiskinan, pemiskinan dan pe
nindasan.
Bab II menghadirkan upaya untuk memahami fakta dan realitas
kemiskinan yang makin kompleks. Dalam bab ini kemiskinan dipahami
sebagai suatu kondisi multidimensi dan multiaspek yang mencakup
antara lain: Pertama, kemiskinan karitas, yaitu kelangkaan dalam meme
nuhi kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs), pendapatan pribadi, akses
kesejahteraan publik, aset fisik (physical capital termasuk tanah dan kepe
milikan materi, kesehatan), aset lingkungan seperti pepohonan, hutan,
air, dan produk-produk non kayu-kayuan. Kedua, kemiskinan kapasitas,
yaitu ketidakpastian harapan dan masa depan disebabkan mereka
miskin dalam hal pendidikan, life skill, training, kekuatan bekerja. Ketiga,
kemiskinan otoritas, yakni ketidakberdayaan yang mencakup mar ji
nalisasi sosial, marjinalisasi partisipasi, marjinalisasi hak-hak asasi, dan
marjinalisasi perlindungan hukum. Karena definisi kemiskinan meng
alami perluasan dan kompleksitasnya semakin rumit, maka upaya-upaya
pemberdayaannya pun perlu dilakukan secara kompehensif. Mem
perlakukan fakir miskin hanya sebatas sebagai orang-orang yang berhak
menerima zakat (mustahiq) sudahlah usang. Karena pemahaman ini sering
menjerumuskan distribusi zakat dalam kerangka karitatif, sekali pakai
habis, dan tidak pernah dapat mengentaskan kaum miskin dan papa dapat
meningkatkan kelayakan dan kesejahteraan mereka sendiri.
Upaya-upaya pemberdayaan komprehensif dan simultan membu
tuhkan visi keberpihakan yang lugas dan bernas. Karena itu Bab III me
nawarkan kerangka pemahaman baru yang komprehensif dan simultan
mengenai pandangan, aksi dan gerakan keberpihakan kepada kaum
miskin dan mustadh`afin. Inilah visi keberpihakan al-Maun, suatu ma
nifesto option for the poors. Upaya ini diiringi dengan visi kapitalisasi yang
cerdas, yakni al-takathur yang bertujuan untuk mengembangkan filantropi
sosial-keagamaan, bukan untuk tujuan kapitalisasi dan ambil untung itu
sendiri. Agen dari pembumian wahyu transformatif yang tegas visi
keberpihakannya dan cerdas visi filantropinya adalah mereka yang mem
6 Zakiyuddin Baidhawy
persiapkan diri sebagai pejuang keadilan dan kemanusiaan (ummah
wasath).
Dalam bab ini dibahas pula tentang alternatif untuk memahami
kemiskinan dan upaya pengentasannya yang mencermin keberpihakan
itu. Yaitu menawarkan pendekatan berbasis maqashid al-syariah meliputi:
pendekatan kesadaran religius yang profetik-transformatif, pendekatan
pro kehidupan, pendekatan pro penguatan akal, pengetahuan dan pen
didikan, pendekatan pro keluarga dan keturunan yang sejahtera dan
bahagia, pendekatan pendapatan dan kekayaan, serta pendekatan ling
kungan.
Untuk mengimplementasikan visi keberpihakan pada tingkat paksis
sosial, kepemimpinan merupakan keniscayaan tak terelakkan. Kerangka
ini dilandasi paham teologis yang memaknai kitab suci, firman/kalam
suci sebagai wahyu transformatif. Wahyu transformatif menjadi ancangan
keberpihakan di mana kitab suci merupakan titik pijak untuk perubahan
dan transformasi sosial. Karena itu, satu surat al-Qur’an yang sangat
populer, yakni al-Maun diletakkan dalam bingkai keberpihakan terhadap
kaum miskin dan mustadh`afin. Inilah kepemimpinan bervisi profetik-
transformatif yang dikenal sebagai kepemimpinan al-Maun. Disebut se
bagai kepemimpinan profetik karena ia diderivasi dari gerakan-gerakan
yang pernah dilakukan oleh para nabi revolusioner; disebut kepemim
pinan transformatif karena visinya adalah perubahan ke arah kehi
dupan sosial yang lebih adil dan baik. Kepemimpinan ini bisa terjadi
dalam banyak level dan aksi sesuai dengan kebutuhan yang dihadapi,
baik dijalankan secara parsial maupun menyeluruh, antara lain: model
advokasi politik Harun yang bertujuan untuk memengaruhi regulasi
negara untuk redistribusi ekonomi, sosial, dan politik; model pendidik
an kritis Musa dengan “exodus” sebagai pendidikan politik untuk
masyarakat madani vis a vis negara/rezim menindas; model partisipatoris
Muhammad yang meneladankan hidup sederhana sebagai counter culture
atas konsumtivisme, dan hidup bersama orang miskin dan tertindas
(pendampingan); model propaganda Ibrahim melalui gerakan simbolik
penghancuran berhala ideologi hegemonik-dominatif-eksploitatif (the
end of unfair globalism, Neo-liberalism); dan model masjid al-Maun untuk
orang yang hendak mewujudkan rumah/surga Allah di muka bumi ini.
Inilah yang menjadi inti bab IV.
Pendahuluan 7
Terakhir, pendidikan pada akhirnya merupakan salah satu upaya
kultural yang perlu ditempuh untuk menjawab tantangan-tantangan glo
balisme itu dan akibat-akibatnya yang negatif dan menindas. Pendidikan
di sini tentu saja bukan pendidikan dalam pengertian biasanya. Ia me
rupakan pendidikan penyadaran kepada semua tingkatan, baik pada
negara, komunitas maupun keluarga akan bahaya globalisme. Pendi
dikan ini juga membangkitkan semangat keberpihakan atas mereka
yang menjadi korban pemiskinan dan penindasan struktural baik oleh
agen-agen kekuatan ekonomi maupun kekuatan politik global yang ber
kolaborasi dalam neo-liberalisme. Penyadaran kepada negara bertujuan
untuk mengembalikan dan memberdayakan perannya dalam melaku
kan intervensi ketika ketidakadilan terjadi. Ketika pasar yang dipercaya
oleh neo-liberalism sebagai petugas alokasi dan distribusi sumber daya,
gagal memenuhi janji-janji keadilan dan kesejahteraan bagi kebanyak
an warga negara. Negara perlu melakukan peran dan tanggung jawab
komplementer atas pasar agar menjadi lokus persaingan sempurna
(bukan persaingan bebas). Kala pasar tidak lagi menjamin distribusi ke
kayaan dan pendapatan secara adil, negara campur tangan menjadi agen
redistributor bagi semua warga negara. Negara juga memiliki peran dalam
mengelola kepemilikan publik dan hajat hidup orang banyak, serta peran
regulator yang menjaga performa tatanan kehidupan berbangsa yang
berkeadilan dan berkesejahteraan.
Pada tingkat komunitas, pendidikan penyadaran dan keberpihak
an dimaksudkan untuk membangkitkan daulat komunitas/masyarakat
guna melakukan fungsi-fungsi civil society pada aras politik, ekonomi mau
pun kebudayaan. Pada aras politik, komunitas/masyarakat perlu di
pahamkan bahwa mereka mengemban tanggung jawab menciptakan
ruang publik dalam rangka mendemokratiskan negara, mengkristalkan
opini publik sebagai alat check and control atas kebijakan-kebijakan negara
bagi warga negaranya. Pada aras ekonomi, komunitas/masyarakat
niscaya untuk disadarkan bahwa mereka mempunyai kewajiban bersama
untuk membangun kemandirian, keadilan dan kesejahteraan ekonomi.
Bila negara gagal, komunitas/masyarakat sipil dapat menopang kehi
dupannya dari keswadayaan, menegakkan keadilan dan kesejahteraan
melalui filantropi sosial dan keagamaan. Pada aras kultural, pendidikan
penyadaran dan keberpihakan berupaya memberikan pencerahan
8 Zakiyuddin Baidhawy
intelektual dan moral kepada kekuatan-kekuatan dalam komunitas/
masyarakat untuk mampu membuat counter hegemoni atas negara. Pen
cerahan intelektual dan moral merupakan modal untuk menjalankan
aksi dan gerakan perlawanan pada negara, ketika negara gagal (failed
state) dan pemerintahan tidak memerintah (governless) untuk memenuhi
amanah keadilan dan kesejahteraan bagi warganya.
Adapun pada tingkat keluarga, pendidikan penyadaran dan keber
pihakan ialah usaha untuk mengarahkan dan membimbing keluarga
untuk memahami pentingnya gaya hidup sederhana sebagai budaya
tandingan atas konsumtivisme dan konsumerisme yang menjadi watak
globalisasi neo-liberal. Gaya hidup sederhana dapat menyelamatkan
keluarga dari rayuan dan godaan hedonisme dan ketamakan yang me
rupakan titik awal kehancuran peradaban kemanusiaan. Gaya hidup
sederhana juga membentengi keluarga dari perilaku konsumsi yang cen
derung tidak rasional (hanya memenuhi keinginan tanpa batas) dan tidak
ramah lingkungan.
Akhirnya, upaya-upaya untuk memahami realitas kemiskinan, pe
miskinan, penindasan, marjinalisasi, harus terus-menerus diperbarui
melalui refleksi, semacam gerak antara wacana kritis dan aksi nyata.
Kaum intelektual dan para aktivis jangan terjebak pada kesibukan
masing-masing. Ibarat gayung bersambut, keduanya perlu bersinergi:
kaum intelektual melakukan refleksi terhadap realitas dan aksi-aksi yang
dilakukan para aktivis; para aktivis mempertimbangkan refleksi itu untuk
perbaikan dan transformasi aksi-aksi mereka. Jika dua pihak ini bekerja
sama, refleksi atas semua wacana dan praksis sosial niscaya mene
mukan paduan dan kesalinghubungan satu dengan yang lain, dan pada
gilirannya perjuangan mereka dapat menuai hasil. Fawq dhi `ilm `Alim.
Pendahuluan 9
BAB
GLOBALISASI MELIPATGANDAKAN
I KEMISKINAN DAN PEMISKINAN
11
ekspansi dari Mediterania Barat hingga India. Pada 1492, Christoper
Columbus dan pada 1498 Vasco da Gama memulai navigasinya menge
lilingi dunia melalui jalan air dalam rangka menghubungkan dunia ini.
Yang pertama diduga menemukan Amerika dan yang terakhir me
nemukan jalur menuju India. Penemuan ini merupakan satu tahapan
bagi persaingan-persaingan imperialisme yang meliputi negara-negara
kapitalis maju antara abad 17 dan 19. Kesalingkaitan ini juga membuka
jalan bagi perdagangan budak yang segera diikuti mercantilisme pada 1650.
Hingga 1648, kekuatan penjajah menciptakan sistem negara modern yang
dimulai oleh pakta Westphalia.
Karya monumental Adam Smith The Wealth of Nation menyingkap
era baru fundamentalisme pasar di Eropa. Dalam karya itu, Smith meng
gunakan invisible hand sebagai istilah yang merujuk pada sistem per
dagangan bebas dan cepat berkembang pada masa itu. Karya ini terus
mempengaruhi pemikiran lain tentang prinsip-prinsip dan gagasan
ekonomi. Antara 1867 dan 1871, mekanisme yang melahirkan Uni Eropa
telah mulai muncul. Perjuangan kekuasaan dan persaingan ekonomi
telah menghasilkan terpecah-pecahnya Afrika berdasarkan Konferensi
Berlin pada 1885. Krisis ekonomi dan kontradiksi berkaitan dengan
perjuangan-perjuangan antara negara imperialis membawa pada ber
bagai konflik di dunia, secara lebih khusus melahirkan Depresi Besar
pada 1930-an. Negara bangsa-negara bangsa menarik diri dari pasar
internasional yang telah menyebabkan penderitaan tak terperikan
dalam bentuk kemiskinan dan pengangguran. Akibat-akibat kumulatif
dari persaingan dan kontradiksi dalam kapitalisme ini telah memukul
seluruh bagian dunia. Ini dapat menjelaskan terjadinya Perang Dunia I
pada 1914 dan Perang Dunia II pada 1935. Liga Bangsa-bangsa, yang
didirikan pada pasca PD I dan bermaksud untuk mencegah perang di
masa depan, tidak memberi banyak harapan ketika ia gagal menghenti
kan PD II dan kemudian diganti menjadi Persyarikatan Bangsa-Bangsa
pada 1945.
Kebanyakan negara Eropa yang mentas dari PD II dalam keadaan
lemah, dan tidak berdaya. Kelemahan mereka disebabkan ketidak
mampuan Eropa untuk meredam gerakan-gerakan nasionalis militan
yang berasal dari wilayah koloni, dan akibatnya berpuncak pada proses
dekolonisasi yang dipicu oleh pemrotes dan demonstran di wilayah-
12 Zakiyuddin Baidhawy
wilayah jajahan, yang secara bertahap membebaskan koloni Eropa di
Asia dan Afrika (Schraeder, 2000: 131).
Untuk mengatasi krisis, akhirnya negara-negara memutuskan untuk
membangun dan memperkuat ikatan-ikatan internasional pasca PD II
yang meletakkan kerangka kerja bagi Sistem Bretton Woods. Hasil per
temuan itu memperkuat globalisasi yang kemudian melahirkan berbagai
lembaga seperti IMF, Bank Dunia, dan GATT.
Setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1989, demokrasi ditengarai se
bagai pemenang atas komunisme (Fukuyama, 1992). Globalisasi meng
ibahkan sayapnya secara penuh tanpa ada perlawanan. Peristiwa-peris
tiwa tersebut, bersamaan dengan revolusi industri, meraih puncak
kejayaan hingga kini. Paparan singkat di muka menunjukkan bahwa
globalisasi sudah melakukan perjalanan panjang. Ia tetap survive, sebuah
fenomena global sejati dan akhir sejarah yang menyimbolkan keme
nangan kapitalisme atas komunisme.
Putaran globalisasi mengalami percepatan pada 1980-an dan 1990-
an seiring dengan berbagai upaya pemerintah-pemerintah di manapun
untuk mengurangi hambatan-hambatan kebijaksanaan yang mengha
langi perdagangan dan investasi internasional. Terbuka terhadap dunia
luar menjadi bagian dari perubahan yang umum terjadi menuju keper
cayaan lebih besar kepada pasar dan perusahaan-perusahaan swasta,
bersamaan dengan banyak negara, khususnya negara-negara berkembang
dan sosialis, mulai yakin bahwa perencanaan dan intervensi pemerintah
di bidang ekonomi gagal menghasilkan capaian-capaian pembangunan
yang diinginkan. Sebagaimana terjadi pada abad 19, putaran globalisasi
didorong oleh kemajuan teknologi yang telah mengurangi biaya trans
portasi dan komunikasi antara negara-negara. Penurunan secara drastis
biaya telekomunikasi dan biaya proses, penyebaran dan transmisi infor
masi, membuatnya sangat mudah untuk melakukan kontak-kontak dan
kerjasama bisnis di seluruh dunia, untuk mengkoordinasi operasi di
lokasi-lokasi yang sangat berjauhan, dan untuk memperdagangkan jasa
yang sebelumnya tidak dapat diperjualbelikan secara internasional.
14 Zakiyuddin Baidhawy
ketidakadilan yang disebabkan globalisasi. Misalnya, para penjaga budaya
merasa bahwa kebudayaan dan identitas-identitas nasional berada dalam
ancaman permanen karena penyebarluasan internet, TV satelit, jaringan
media internasional, dan perjalanan individu yang makin meningkat.
Kaum demokrat memandang perusahaan-perusahaan multinasional
(MNCs) menjadi lebih berkuasa dan berpengaruh daripada pemerintah
an yang dipilih secara demokratis. Kelompok ekologis sangat khawatir
dengan perusahaan-perusahaan raksasa yang menyebabkan degradasi
lingkungan. Para aktivis HAM terancam kehilangan kebebasan karena
kekuasaan korporasi yang menggurita. Para pedagang kecil, pedagang
tradisional di pasar-pasar kecil menangis kehilangan pasar mereka karena
direbut oleh perusahaan-perusahaan besar. Dengan kata lain, ke
banyakan penduduk dunia ini merasa terkucilkan dari keuntungan-ke
untungan globalisasi.
Untuk melihat lebih jauh bagaimana globalisasi pada dataran
fakta telah menciptakan tragedi kemanusiaan berupa kelangkaan, ke
tidakpastian, dan ketidakberdayaan penduduk dunia, kita memulai
dengan menjelaskan terlebih dahulu beberapa sudut pandang tentang
globalisasi. Melalui sudut pandang itu kita bisa memastikan apakah
globalisasi berhasil menciptakan kemakmuran atau sebaliknya kehan
curan bagi penduduk planet bumi ini.
Globalisasi sebagai sebuah istilah dan konsep kadang-kadang
membingungkan karena terus diperdebatkan dan selalu terbuka atas
beragam interpretasi dan makna. Globalisasi di mata para sarjana, kaum
terpelajar, dan para pengambil keputusan adalah sebuah proses, sistem,
kekuatan, masa, atau bahkan revolusi (Dierks, 2001). Sebagian lain
mempergunakan istilah ini dapat dipertukarkan dengan internasionali
sasi, liberalisasi, universalisasi, dan westernisasi (Axford, 1995). Jadi, ada
berbagai perspektif yang saling bersaing.
Mendefinisikan globalisasi bukan persoalan mudah karena sebagai
sebuah konsep ia menerima beragam pemaknaan yang berbeda-beda.
Namun, untuk mempermudah globalisasi kita maknai saja sebagai suatu
proses yang terdiri dari dimensi-dimensi teknologi, ekonomi, politik,
dan kultural yang saling menghubungkan antara individu, per usahaan,
dan pemerintahan melintasi batas-batas nasional (Dierks, 2001). Seorang
ekonom kenamaan David Henderson (1999, dalam Imade, 2003) lebih
16 Zakiyuddin Baidhawy
“mesin pertumbuhan” karena meningkatkan produktivitas dan pen
dapatan di negara-negara berkembang. Integrasi dalam ekonomi inter
nasional melalui perdagangan dimaksudkan untuk merangsang pertum
buhan, menyebarkan teknologi baru, membuka investasi, dan men
transformasi praktik-praktik sosial-kultural tradisional yang tidak cocok
dengan etos pasar (Baylis and Smith, 2001). Mereka juga percaya bahwa
masyarakat internasional yang diatur secara hukum dapat muncul
tanpa adanya suatu pemerintahan dunia, dan bahwa sumber-sumber
utama kemiskinan adalah berasal dari internal masyarakat itu sendiri,
yaitu kurangnya pengetahuan, pendidikan dan sains, lemahnya aturan
hukum, minimnya lembaga-lembaga yang melindungi kehidupan dan
kepemilikan penduduk dan menyediakan insentif bagi tindakan individu
dan perusahaan, kurangnya perlengkapan modal, ketidakstabilan makro
ekonomi masif, dan pemerintahan predator. Problem serupa dapat me
lintasi batasan-batasan nasional dan menghalangi pasar globalisasi.
Melalui karyanya the Wealth of Nation (1776), Adam Smith mema
parkan sebuah teori bahwa perdagangan bebas tanpa batas meng
untungkan bagi sebuah negara. Ia menyatakan bahwa the invisible hand,
dari pada kebijakan pemerintah, harus menentukan apa yang diimpor dan
diekspor sebuah negara. Basis argumennya adalah premis tentang prinsip
laissez faire. Salah satu penilaian paling berpengaruh tentang dilema
pembangunan di negara-negara terbelakang (LDCs) adalah karya W.W.
Rostow. Menurutnya, sebagaimana negara-negara maju di Utara, negara-
negara terbelakang di Selatan harus mengalami serangkaian perubahan
dalam sistem sosioekonomi mereka untuk membangun dan melakukan
indus trialisasi. Perubahan evolusioner disajikan oleh serangkaian
tahapan pertumbuhan ekonomi yang harus dilalui oleh masyarakat
yang berada pada jalur pembangunan. Ia mengidentifikasi lima tahapan
proses modernisasi: masyarakat tradisional, prakondisi lepas landas,
lepas landas, menuju kematangan, dan era konsumsi massal. Teori
pembangunan ekonomi Rostow didasarkan pada pengalaman historis
bangsa-bangsa Barat, khususnya Inggris dan AS. Para kritikus menga
takan bahwa wacana neo-liberal secara teoretik cacat dan tidak dibenar
kan oleh bukti-bukti empirik. Sudut pandang ini lahirnya mazhab pe
mikiran yang menyerang liberalisme karena gagal mempertimbangkan
variabel lain di samping pasar dalam analisis mereka.
18 Zakiyuddin Baidhawy
1. Qarun Globalisasi
Qarun adalah sahabat Nabi Musa yang sangat taat. Ketaatannya
lambat laun namun pasti luntur dan berubah menjadi sosok penuh
kejahatan, ketidakjujuran, pembangkangan. Ia menjadi simbol kekayaan
yang digali dengan cara menggangsir, mengeksploitasi dan tidak segan-
segan menindas orang-orang lemah dan papa. Pendapatan dan kekaya
an adalah hak mutlak pribadi dan tidak ada kontribusi sosial di dalamya.
Makmur atau hancur berlaku sesuai hukum siapa kuat dia menang, survival
for the fittest.
Dalam konteks percaturan globalisasi, Qarun kontemporer adalah
simbol yang mewujud diri dalam ideologi neo-liberalisme dan kaki
tangan nya. Keyakinan-keyakinan neo-liberalisme meng garisbawahi
bahwa: pasar harus bekerja secara bebas tanpa campur tangan negara;
menekan pengeluaran upah dan melenyapkan hak-hak buruh; meng
hilangkan kontrol atas harga; mengurangi pemborosan anggaran negara
dengan memangkas semua subsidi untuk pelayanan sosial seperti
pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial (social safety net), dan pada saat
yang sama subsidi besar-besaran diberikan kepada perusahaan trans
nasional (TNCs) dan perusahaan multinasional (MNCs) melalui tax
holidays; mempercayai deregulasi ekonomi; privatisasi adalah jalan me
nuju persaingan bebas yang dibungkus dengan efisiensi dan mengurangi
korupsi, meski kenyataannya terjadi konsentrasi kapital di tangan sedikit
orang dan memaksa rakyat kecil membayar lebih mahal kebutuhan dasar
mereka; dan mempetieskan paham tentang public goods dan solidaritas
sosial dan menggantinya dengan tanggung jawab individual (Fakih, 2003).
Globalisasi ekonomi neo-liberal memiliki kaki tangan yang kokoh antara
lain IMF, Bank Dunia, WTO, dan globalisasi korporasi MNCs dan TNCs
yang seluruhnya menjadi penganjur perdagangan bebas atau liberalisasi
pasar.
Ancaman yang sangat jelas dari globalisasi ekonomi adalah bahwa
liberalisasi berjasa melipatgandakan kesenjangan antara negara-negara
kaya dan miskin. Liberalisasi perdagangan di sini adalah pembukaan
batas-batas sehingga barang dan jasa dapat bergerak bebas melampaui
batas tanpa hambatan-hambatan apa pun dari beban tarif maupun non-
tarif. Lebih jauh, definisi ini mencakup prinsip laissez faire, suatu doktrin
ekonomi yang menentang regulasi atau campur tangan pemerintah
20 Zakiyuddin Baidhawy
perdagangan global tumbuh lebih cepat daripada output. Setelah stagnan
pada dekade 70-an dan 80-an, perdagangan bebas mengalami ledakan
pada dekade 90-an, yang dipimpin oleh pertumbuhan pesat ekspor oleh
negara-negara Asia Timur. Pertumbuhan pesat perdagangan global
ini dipicu oleh liberalisasi pasar di seluruh dunia, suatu capaian dari
Putaran Uruguay, dan kesepakatan-kesepakatan multilateral lainnya.
Tarif mengalami kejatuhan, dan lebih penting dari itu adalah bahwa rin
tangan-rintangan non-tarif telah dibongkar.
Amerika dan Inggris adalah dua negara yang paling gigih mem
perjuangkan liberalisasi. Fakta menunjukkan bahwa negara-negara maju
sendiri tidak selalu tertolong oleh perdagangan bebas. Meskipun ada
kemajuan pasca Perang Dunia II, beban peradagangan negara-negara
maju masih tetap tinggi dalam perdagangan pakaian, tekstil, barang-
barang pertanian, dan banyak produk lainnya di mana negara-negara ter
belakang memiliki keunggulan komparatif dalam sumber daya alam.
Bank Dunia sendiri menemukan bahwa rerata tarif yang dikenakan oleh
negara-negara kaya atas barang-barang manufaktur dari negara-negara
miskin adalah empat kali lebih tinggi daripada rerata tarif negara-negara
kaya atas barang-barang lainnya.
Ini merupakan ironi dari globalisasi. Premis globalisasi tentang per
dagangan diperluas, bahkan perdagangan bebas yang menjadi kitab
suci kebijakan-kebijakan bagi IMF dan Bank Dunia di negara-negara
berkembang, tidak dipraktikan di negara-negara kapitalis maju di mana
proteksionisme masih cukup besar dan luas diterapkan. Sulit bagi negara-
negara terbelakang dan berkembang untuk mudah masuk ke pasar-
pasar negara maju tanpa hambatan proteksionisme. Lantas, bagaimana
mungkin negara-negara terbelakang dan berkembang itu memperoleh
manfaat dari globalisasi di tengah-tengah proteksionisme negara-negara
maju?
Pertentangan selalu muncul di seputar syarat-syarat perdagangan
bebas yang benar-benar tidak menguntungkan negara-negara berkem
bang. Sebagai misal, syarat-syarat perdagangan secara signifikan mem
batasi produk-produk pertanian negara-negara berkembang, sedangkan
pada saat yang sama harga minyak bumi telah membuat mereka meng
alami kesulitan. Hutan negara dan swasta malah meningkat pada saat
terjadi ledakan minyak bumi, dan pada akhirnya menjadi beban berat
22 Zakiyuddin Baidhawy
mengimpor barang-barang manufaktur dan mengekspor bahan-bahan
mentah, utamanya produk-produk pertanian dan mineral. Harga ekspor
negara-negara Selatan terus mengalami kejatuhan sementara nilai
impor terus meningkat. Lebih jauh, pasar-pasar bagi barang-barang
dari Afrika terus menyusut seiring negara-negara maju menetapkan
semua jenis hambatan tarif dan non-tarif. Dengan harga rendah dan
pasar yang makin mengecil, negara-negara berkembang terpaksa ber
hutang untuk membayar impor barang-barang. Problem ini lebih jauh
diperparah oleh hutang-hutang yang menggelembung yang dikucurkan
oleh negara-negara Barat. Banyak kasus menggambarkan banyak negara
berkembang meminjam lebih untuk membayar hutang-hutang mereka
dengan pertumbuhan pembangunan ekonomi yang tidak seberapa karena
krisis hutang.
Lembaga lain yang bertanggung jawab atas desakan-desakan neo-
liberal untuk liberalisasi perdagangan adalah WTO (organisasi-organisasi
perdagangan dunia) yang terdiri dari 134 negara. WTO merupakan
forum negosiasi untuk kesepakatan-kesepakatan perdagangan interna
sional dan memonitor serta mengatur badan yang memaksa penerapan
kesepakatan tersebut. Sejarah membuktikan organisasi ini lebih menjadi
babu bagi kepentingan-kepentingan perusahaan-perusahaan besar dari
pada melayani negara-negara miskin. Para kritikus sering mengatakan
bahwa Amerika memandang hukum internasional dan peradilan dunia
hanya berlaku bagi negara-negara lain, dan Amerika tidak terikat untuk
menjalaninya. WTO juga dianggap telah merampas banyak tanah demi
kepentingan pertumbuhan kapitalisme yang tanpa aturan dan regulasi.
Tanpa aturan dan regulasi, negara-negara terbelakang akan terus ter
pinggirkan dalam percaturan ini.
Perdebatan yang sering muncul antara para penganjur dan pe
nentang WTO bukan masalah proteksionisme, namun lebih tentang siapa
yang akan dilindungi dari kesemrawutan persaingan tanpa batas. WTO
tidak memiliki aturan sama sekali untuk melindungi mereka yang bekerja
atau menjaga pertumbuhan ekonomi jangka panjang atau menawarkan
kesinambungan dan keragaman budaya. Tanpa standar-standar semacam
ini, kebanyakan penduduk dunia benar-benar mendapat kerugian dari
perdagangan mereka. Para penentang juga mengkritik WTO sebagai
kendaraan bagi perusahaan untuk mencari keuntungannya sendiri. Dalam
24 Zakiyuddin Baidhawy
kekuatan pengendali pertumbuhan ekonomi di Barat, sebaliknya akti
vitas mereka di Dunia Ketiga lebih merupakan bayang-bayang dan lebih
banyak membahayakan daripada menyejahterakan. Sejalan perkem
bangan mereka terus tumbuh dan mendominasi ekonomi Dunia Ketiga,
akibat-akibat globalisasi yang menyengsarakan dan fenomena liberalisasi
perdagangan makin berlimpah dan menghancurkan masyarakat-masya
rakat mereka. Investasi langsung asing (FDI) menandai puncak kejayaan
peran perusahaan-perusahaan multinasional dalam perdagangan dunia.
Kaum neo-liberal berasumsi bahwa investasi asing langsung mem
berikan kontribusi positif bagi ekonomi negara yang bersangkutan
karena menyuplai modal, teknologi, sumberdaya manajemen yang tidak
dapat disediakan oleh pihak lain. Namun kenyataan kebalikannya, pe
rusahaan-perusahaan multinasional itu justru mengancam kedaulatan dan
otonomi negara yang bersangkutan. Kita bisa menyaksikan beberapa
lontaran kritik atas persoalan ini. Kadang-kadang pemerintahan-peme
rintahan setempat khawatir akan pengaruh perusahaan-perusahaan multi
nasional yang beroperasi di negara-negara mereka memiliki kekuatan
ekonomi lebih besar daripada para pesaing domestik karena mereka men
jadi bagian dari organisasi internasional yang lebih besar. Di beberapa
negara terbelakang, perusahaan-perusahaan besar yang memonopoli pasar
dan menaikkan harga lebih tinggi dari pasar-pasar lainnya, telah menim
bulkan dampak buruk dan berbahaya bagi kesejahteraan ekonomi
mereka. Kontrol impor juga dikuasai oleh perusahaan-perusahaan
multinasional dengan tujuan untuk investasi di negara-negara setempat.
Biasanya, negara-negara setempat tidak punya pilihan untuk menerima
semua prasyarat untuk memperoleh investasi asing langsung itu. Praktik
semacam ini menghancurkan industri-industri yang masih baru karena
tidak dapat bersaing dengan perusahaan-persuahaan asing. Perusahaan-
perusahaan asing itu juga menerapkan produksi padat modal di negara-
negara terbelakang, dan hasilnya banyak pengangguran yang jumlahnya
terus merangkak naik. Dengan matinya industri padat karya dan sistem
pertanian tradisional, maka tertutup kesempatan pekerjaan bagi pemuda-
pemudi. Dengan kondisi seperti, bagaimana mungkin mereka menjadi
bagian dari perekonomian global? Dalam banyak hal, perusahaan-
perusahaan raksasa asing juga meruntuhkan kewirausahaan dan pem
bentukan modal lokal.
26 Zakiyuddin Baidhawy
org/trade/wto/index.cfm) berikut ini:
“Didirikan pada 1955, WTO adalah agen perdagangan global baru yang
berkuasa, yang mentransformasi General Agreement on Tariffs and Trade
(GATT) menjadi aturan perdagangan global yang memaksa. WTO adalah
salah satu mekanisme utama globalisasi korporasi. Di bawah sistem
WTO tentang perdagangan yang dikelola perusahaan-perusahaan besar,
efisiensi ekonomi, tercermin dalam keuntungan perusahaan jangka
pendek, mendominasi nilai-nilai lainnya. Keputusan-keputusan yang
berpengaruh pada keuntungan ekonomi terbatas pada sektor swasta,
sementara biaya sosial dan lingkungan menjadi tanggung jawab publik.
WTO dan Putaran Uruguay GATT berfungsi utama untuk membuka
pasar demi keuntungan perusahaan-perusahaan transnasional dengan me
ngorbankan ekonomi nasional dan lokal, buruh tani, pribumi, kelompok-
kelompok perempuan dan sosial lainnya, kesehatan dan keamanan,
lingkungan dan keselamatan hewan. Di samping itu, sistem aturan dan
prosedur WTO tidak demokratis, tidak transparan dan tidak akuntabel
serta beroperasi untuk memarjinalkan kebanyakan penduduk dunia.”
28 Zakiyuddin Baidhawy
instrumen-instrumen kawasan derivatifnya seperti APEC dan seterus
nya. Secara bersama-sama mereka membentuk hirarkhi aturan baru di
luar parlemen.
Globalisasi membuka kemungkinan besar arus sumber daya ma
nusia dari negara-negara berkembang ke negara-negara maju. Negara-
negara di Selatan telah menginvestasikan bilyunan dolar setiap tahun
nya untuk pendidikan bagi pekerja-pekerja terampil mereka. Namun
pada akhirnya pekerja-pekerja terampil itu meninggalkan negara mereka
untuk memperoleh peluang yang lebih menjanjikan di negara-negara
Utara. Inilah yang dikenal dengan brain drain, hijrah intelektual dan kaum
terpelajar. Dari semua gembaran di atas nyata dan harus diakui bahwa
globalisasi bukanlah permainan yang berakibat positif karena kenisca
yaan bagi banyak negara merasa kehilangan dan kerugian luar biasa besar
demi keuntungan dan profit bagi sebagian lainnya. Persis seperti per
nyataan Thomas Hobbes, semua memangsa semua. Globalisasi adalah
sang predator raksasa yang siap mencaplok mereka yang lemah dan tidak
berdaya.
Mobilisasi modal adalah sisi lain dari globalisasi yang mengancam
banyak pihak. Mobilitas modal ditimbukan oleh pergerakan modal inter
nasional dan merger modal di seluruh dunia. Mobilitas modal ini telah
membentuk suatu integrasi perekonomian dunia kapitalis. Gerakan ini
mengimplikasi suatu transformasi dalam hubungan-hubungan produksi
sebagai wilayah baru yang tergabung dalam lintasan modal. Dalam be
berapa hal, gerakan ini melibatkan perluasan hubungan-hubungan pro
duksi yang sepenuhnya kapitalis dan berkaitan dengan pertumbuhan
kelas pekerja. Di wilayah lainnya, gerakan ini juga melibatkan modifikasi
terhadap atau penguatan hubungan-hubungan sosial yang ada. Dampak
dari pertumbuhan agribisnis transnasional pada hubungan-hubungan
produksi di bidang pertanian memberikan banyak contoh dalam hal ini.
Hubungan-hubungan sosial di negara-negara pinggiran tidak pernah
diperhitungkan dalam perluasan oleh perusahaan-perusahaan multi
nasional atau bahkan diabaikan sama sekali. Hubungan-hubungan sosial
terus diubah dan definisi ulang oleh internasionalisasi modal namun
bukan dengan cara yang sederhana. Penciptaan kesatuan perekonomi
an dunia kapitalis dibarengi dengan perluasan proses standarisasi dan
diferensiasi dalam skala dunia. Dengan kata lain, ada fenomena semakin
30 Zakiyuddin Baidhawy
sedang dan akan terus melakukan tindakan-tindakan yang lebih mem
bahayakan daripada menyejahterakan. Obat-obat yang mereka berikan
laksana racun yang siap menggerogoti kesehatan negara-negara ber
kembang. Sudah terbukti kebijakan-kebijakan ketiga lembaga ini menuai
banyak protes, kerusuhan dan demonstrasi di negara-negara ter be
lakang. IMF dikritik karena negara-negara yang tergabung dalam G7
telah memanipulasi IMF untuk membuat tuntutan-tuntutan yang tidak
realistik terhadap pemerintahan negara-negara berkembang dan insti
tusi-institusi perbankannya agar bertanggung jawab, transparan, dan me
merintah dengan jujur. Anehnya negara-negara maju ini justru tidak
mempraktikan apa yang mereka khutbahkan di dunia internasional. IMF
juga menjadi sasaran sarkasme karena bersama-sama dengan para banker
dan broker yang menuntut akuntabilitas dan tarnsparansi kepada negara-
negara berkembang, sementara mereka sendiri jauh dari syarat-syarat ter
sebut.
WTO yang membuat dan memperkuat aturan-aturan perdagang
an internasional mengindoktrinasi dengan kredo eksklusif berupa pasar
yang menyesuaikan diri. Pada faktanya, doktrin deregulasi perdagangan
internasional sering berarti bahwa perusahaan-perusahaan raksasa bebas
memasuki pasar dan menyerap sumber daya tanpa mengkhawatirkan
persoalan-persoalan kesehatan, keamanan dan lingkungan. Selama masa
transisi, Program Penyesuaian Struktural yang dicanangkan IMF gagal
total untuk memberikan kesejahteraan karena akibat-akibat yang tidak
diinginkan dari program yang sesungguhnya bertujuan untuk melin
dungi masyarakat miskin dan rentan dari keberingasan pasar. Program
penyesuaian struktural IMF di Indonesia misalnya, sama sekali tidak mem
bangkitkan ekonomi dari keterpurukan bahkan membuatnya semakin
terjerembab dalam depresi, menjerumuskan separuh bisnisnya dalam
kebangkrutan, memprovokasi kekacauan sosial-politik.
Intinya, tiga institusi yang mewakili kekuatan globalisasi di atas
jauh lebih banyak dicaci maki daripada disanjung. Globalisasi dan kebi
jakan-kebijakan lembaga tersebut yang diterapkan kebanyakan pada
negara-negara berkembang telah membuat modal swasta berpindah-
pindah tanpa ada kekuatan pun yang dapat mengendalikannya. Modal
menjadi liar. Beberapa catatan tentang keberadaan IMF di negara-negara
terbelakang dapat dikemukakan di sini sebagai bukti bahwa resep
32 Zakiyuddin Baidhawy
pekerjaan. Teori ini menjadi argumen paling kokoh bagi perdagangan
bebas karena aliran bebas produk-produk antar negara dapat membuat
mereka mampu mempergunakan sumber daya produktif mereka sangat
efisien. Spesialisasi produk akan memberikan lebih banyak kekayaan
bagi semua bangsa, dan membawa pada perbaikan sebesar mungkin
terhadap kondisi kehidupan penduduk mereka. Keunggulan kompa
ratif harus bekerja untuk menyejahterakan semua, dan pemerintahan
negara-negara miskin hanya akan memperburuk posisi ekonomi mereka
dengan melepaskan diri dari pasar. Namun pada faktanya, teori ini begitu
simplistik. Teori ini hanya dapat bekerja jika negara-negara miskin di
perkenankan untuk melakukan apa yang dilakukan negara-negara kaya
sekarang ini untuk mencapai kemajuan, bukan dipaksa untuk mengadopsi
pendekatan dan prinsip-prinsip laissez faire serta menentang balasan
atas keunggulan komparatif ini dengan upah rendah. Karena industri-
industri yang rendah pertumbuhannya adalah jalan yang pasti membuat
mereka tetap miskin (Scott, 2001).
Setelah negara-negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin merdeka
dari penjajahan, perekonomian mereka berada di bawah asuhan langsung
bekas penjajah yang mengarahkan pola pembangunan mereka. Pola
pembangunan ini didasarkan atas logika model produksi kapitalis dan
kebutuhan akan akumulasi. Ini semua menyebabkan pertumbuhan yang
tidak merata antara negara-negara pusat dan koloni di satu sisi, dan di
alam koloni itu sendiri di sisi lain. Umumnya kebanyakan koloni men
spesialisasikan diri pada satu atau sedikit bahan mentah untuk ekspor dan
bebas mengimpor barang-barang manufaktur jadi dari negara-negara
pusat. Hubungan kolonial semacam ini di sejumlah negara berkembang
menghasilkan restrukturisasi hubungan-hubungan sosial ekonomi ber
dasarkan basis neo-kolonial, yaitu melanjutkan hubungan-hubungan
kolonial melalui perantara kelas penguasa lokal yang tergantung pada
dan diuntungkan oleh imperialisme. Tesis keunggulan komparatif me
maparkan strategi pembangunan negara-negara Selatan secara menye
luruh pada fase paling awal kemerdekaan mereka. Negara-negara ber
kembang yang bekerja atas dasar saran Bank Dunia mengubah fokus
mereka dari produksi tumbuh-tumbuhan pangan ke tumbuh-tumbuhan
ekspor yang mengakibatkan defisit pangan dan membuat mereka
harus mengimpor pangan dengan harga mahal dari penguasa kolonial.
34 Zakiyuddin Baidhawy
Fakta lain yang melukiskan bagaimana pembagian kerja baru telah
melahirkan keterbelakangan adalah upaya-upaya terstruktur dari pe
rusahaan-perusahaan multinasional untuk mencari tempat-tempat yang
dapat memenuhi kebutuhan akan pekerja murah, kedekatan dengan
bahan-bahan mentah, dan pasar bagi produk-produk akhir mereka,
yang dalam jangka panjang juga mendukung janji neo-kolonialisme se
bagaimana dibahas di atas, serta menimbulkan krisis ekonomi, degradasi
lingkungan, dan kemiskinan di negara-negara berkembang. Globalisasi
juga berjasa menghilangkan banyak pekerjaan di negara-negara maju
seiring perusahaan-perusahaan besar memindahkan basis produksi
mereka ke wilayah-wilayah yang biaya pekerjanya lebih murah. Pada
saat yang sama organisasi buruh internasional (ILO) tidak memi
liki mekanisme kontrol dan penekan dalam menghadapi masalah ini.
Menurut Friends of the Earth, sebuah kelompok lingkungan, globa
lisasi ekonomi neo-liberal mendorong pencarian profit lebih diutama
kan tanpa memandang biaya sosial dan lingkungan. Ia sering disama
kan dengan peningkatan ketidakadilan dan ketidakmerataan, baik antara
negara maupun intern negara. Konsentrasi modal dan kekuasaan ber
ada di sedikit tangan sebagai akibat erosi demokrasi. Marjinalisasi sosial,
ekonomi, dan politik terus menggelembung. Ketidakstabilan ekonomi
bertambah dari tahun ke tahun. Eksploitasi sumber daya alam menye
babkan hilangnya keanekaragaman hayati dan biologis. Jelas bahwa
globalisasi tidak menawarkan jalan keluar sama-sama menguntungkan
bagi banyak pihak, sebaliknya merupakan permainan yang membuat
banyak orang jatuh pada titik nadir.
Gambaran ringkas di muka menyimpulkan bahwa akibat-akibat
globalisasi sangat negatif bagi kebanyakan penduduk dunia. Per
ekonomian negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan mereka
mengambil untung sangat besar karena kemakmuran tidak terdistribusi
secara adil. Kesenjangan antara kawasan-kawasan kaya dan miskin,
berpunya dan tidak berpunya, berkembang dan maju tumbuh secara me
ngerikan. Bangsa-bangsa kaya makin rakus mengekspolitasi penduduk,
sumber daya, dan tanah bangsa-bangsa miskin dan sering meninggalkan
degradasi lingkungan yang dahsyat.
36 Zakiyuddin Baidhawy
of Technology (MIT). W.W. Rostow mengembangkan teori pertumbuhan
(Growth Theory, 1960), sementara McLelland dan Inkeles (1974) me
nemukan teori modernisasi. Keduanya dijadikan pilar utama bagi ke
bijakan dan kepentingan dari program bantuan dan politik luar negeri
Amerika. Namun ternyata teori developmentalisme dan modernisasi
yang menjadi arus utama teori dan praktik perubahan sosial justru men
ciptakan berbagai persoalan ketidakadilan, kesenjangan, dan kemiskin
an.
Di samping Harry S. Truman, ada dua tokoh penting dari rezim
penguasa yang membuat kekuatan globalisme ekonomi makin tumbuh
dengan pesat. Mulai dekade 1980-an, aliran kanan baru yang diwakili
oleh Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher dan Presiden Amerika
Serikat Ronald Reagan, memperjuangkan pasar bebas dan menolak
dengan tegas paham negara intervensionis. Satu dekade kemudian, tepat
nya pada 1990-an, kapitalisme neo-liberal pasar bebas dari dua tokoh
tersebut telah menjadi ideologi dunia yang dominan.
Dua teori di atas — developmentalisme dan modernisasi — di
paksakan untuk diterapkan di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk
Indonesia. Sejak pembangunan nasional di mulai melalui tahapan-tahap
an lima tahunan (repelita dan pelita), Soeharto, bapak developmentalis
me Indonesia, mulai membuka investasi asing dan menggalakkan pem
bangunan di bidang ekonomi. Tahapan-tahapan pembangunan lima
tahunan tampaknya menyerupai apa yang direncanakan dalam skenario
developmentalisme dari Rostow. Harmoko adalah salah satu menteri
yang paling senang mengucapkan dalam pidatonya bahwa bangsa Indo
nesia sedang memasuki era lepas landas, tahap ketiga menurut teori
Rostow.
Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional didukung
oleh sejumlah intelektual tukang, yang sering dikenal dengan sebutan
mafia Berkeley. Yaitu sejumlah ekonom alumni Berkeley yang dengan
bangga mendukung dan menopang penerapan developmentalisme di
negeri ini. Hasil dari 32 tahun membangun di bawah hegemoni deve
lopmentalisme, dengan daya dukung penguasa tiran Soeharto dan
intelektual tukang mafia Berkeley, akhirnya negara dan bangsa ini harus
merasakan pahitnya tetap “tinggal di landasan”. Satu kegagalan yang tidak
pernah terbayangkan oleh penguasa dan para kaki tangannya.
38 Zakiyuddin Baidhawy
PP No 2/2008 ini hanya diperuntukkan bagi 13 perusahaan tambang
di atas, namun di sisi lain tidak disebutkan secara definitif 13 nama pe
rusahaan itu di dalam peraturan tersebut. Jelas bahwa peraturan ini
dibuat hanya untuk keuntungan sepihak, yaitu keuntungan bagi pe
merintahan SBY yang sedang kebingungan untuk mencari anggaran
tambahan bagi defisit APBN; keuntungan bagi perusahaan-perusahaan
tambang multinasional untuk mengeruk pundi-pundi alam nusantara
tanpa batas dan dengan pajak yang sangat kecil. Sementara itu, rakyat
Indonesia tidak memperoleh keuntungan apa pun dari penerbitan PP itu,
bahkan sebaliknya mereka harus bersiap-siap untuk menerima dampak
kerusakan lingkungan yang makin parah. Tampaknya pemerintah SBY
sedang menggaungkan kembali semboyan kampanyenya “Bersama Kita
Bisa Merusak Lingkungan”.
Fir`aun globalisasi juga mewujud dalam isu global governance yang
menjadi istilah payung bagi berbagai macam regulasi internasional.
Sejumlah lembaga global governance bermunculan seperti jamur selama
30 tahun terakhir dan seterusnya dengan regulasi perdagangan dan ke
uangan yang terbuka bagi pelembagaan global dan menghilangkannya
dari arena domestik. Governance (tata kelola) kini merupakan gejala yang
lebih menyita perhatian ketimbang pemerintahan (government). Ia men
cakup lembaga-lembaga pemerintahan, mekanisme informal, mekanisme
non-pemerintahan. Sangat mungkin menerima tata kelola tanpa peme
rintahan – mekanisme regulasi di wilayah aktivitas yang berfungsi efektif
meskipun tidak diberi otoritas formal (Rosenau dan Czempiel, 1992).
Di bidang lingkungan, sejumlah kesepakatan internasional tentang
lingkungan telah muncul. Ekonomi global dan tata kelola politik yang
secara struktural menentukan tata kelola lingkungan, membawa pada
pertimbangan-pertimbangan ekologis yang memihak mereka yang
selama ini sudah diuntungkan dan kurang memahami hubungan antara
masyarakat dan lingkungannya. Ini artinya tata kelola global terjadi di
tengah-tengah ketiadaan pemahaman mengenai ketergantungan masya
rakat terhadap fondasi-fondasi ekologis. Jadi dapat dijelaskan bahwa
tiadanya prioritas ekologis dalam WTO sebagai sistem tata kelola ekonomi
global kurang memberi perhatian pada Dunia Ketiga. Meskipun Bank
Dunia meletakkan kebijakan lingkungan pada agendanya, ini dilaku
kan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan yang mengasumsi
40 Zakiyuddin Baidhawy
pabrik mereka, dan mereka bertanggung jawab dalam implementasinya.
Jadi, tata kelola korporasi global telah memfasilitasi bagi mapannya pasar-
pasar global namun menghindarkan diri dari regulasi yang berhubungan
dengan degradasi lingkungan dan sosial (Kütting, 2004).
Rupanya ada repon yang sangat kuat terhadap meningkatnya iklim
korporasi global dan tata kelola berbasis pasar dari masyarakat sipil
global. Masyarakat sipil global berupaya melakukan reformasi bentuk-
bentuk lain tata kelola. Alasan di balik semua ini adalah bahwa negara-
negara Utara atau Barat makin melucuti peran mereka sendiri dalam
meningkatkan kesejahteraan sosial dan menjadi perwakilan atau pen
jaga dari kepentingan-kepentingan pasar global. Karena itu, peran se
bagai polisi yang dulu diambil oleh negara-negara, kini diambil alih oleh
aktor-aktor non-negara. Akibatnya para aktor baru ini makin berperan
besar di arena internasional.
Singkat kata, dalam hal hubungan masyarakat-lingkungan, proses
tata keola global telah menjadi lebih pluralistik dan transnasional sebagai
akibat globalisasi. Namun ini tidak mesti membawa pada meningkatnya
pertimbangan-pertimbangan keniscayaan lingkungan pada skala global.
Meskipun ada beberapa kelompok aktor dan lembaga yang bekerja di
wilayah lingkungan, ini terjadi dalam subordinasi dari sistem tata kelola
ekonomi global. Dan dapat dikatakan bahwa sistem manajemen ling
kungan global bukan merupakan sistem tata kelola lingkungan global.
3. HAMAN GLOBALISASI
Haman adalah nama seorang sahabat Fir`aun. Ia adalah seorang
ilmuwan. Ia merupakan simbol ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada
masa rezim Fir`aun berkuasa, Haman adalah tangan kanannya yang se
lalu taat mengikuti perintah. Ia ahli membuat bangunan-bangunan yang
tinggi dan canggih, sehingga Fir`aun berharap lewat gedung pencakar
langit itu ia dapat melihat Tuhan. Ia merupakan sosok intelektual tukang
yang siap melayani penguasa politik maupun ekonomi tiranik dengan
legitimasi teoretik dan ilmiahnya.
Haman dalam konteks globalisasi adalah inovasi teknologi dan
revolusi informasi. Teknologi merupakan kendali utama globalisasi. Se
lama dua dekade yang lalu, globalisasi dipercepat oleh lompatan dengan
42 Zakiyuddin Baidhawy
di negara-negara terbelakang. Pertanian mekanik meskipun lebih di
arahkan untuk tujuan ekspor ke negara-negara industri Utara dengan
mengorbankan produksi pangan. Akhirnya, banyak negara-negara ter
belakang kini mengimpor pangan dari negara-negara industri dengan
harga mahal karena kelaparan dan kekeringan.
Sebagian kritikus mempertanyakan peran perusahaan-perusahaan
multinasional dalam bidang pertanian di negara terbelakang dan ber
kembang. Perusahaan-perusahaan itu enggan melakukan investasi di
negara-negara yang ekonominya sedang berkembang. Dalam beberapa
hal, di mana mereka berinvestasi di negara-negara ekonomi berkembang,
mereka memberlakukan teknik-teknik produksi padat modal sehingga
seringkali memberangus penciptaan lapangan pekerjaan dan kreativitas
ahli-ahli lokal dan menjadi penghalang bagi revolusi industri dan akibatnya
merusak industri-industri yang baru lahir di negara-negara berkembang.
Informasi cepat seperti internet, TV kabel, dan transportasi modern
juga terlibat dalam mendiseminasikan teknologi-tekno logi baru yang
memengaruhi secara mendalam atas politik, masyarakat, kebudayaan,
dan kehidupan keseharian warga negara yang hidup di negara-negara
berkembang. Tekanan ruang-waktu yang diproduksi oleh teknologi-tek
nologi media dan komunikasi baru mengatasi batasan-batasa ruang
dan waktu, menciptakan desa budaya global dan penetrasi dramatis
dari kekuatan-kekuatan global ke dalam setiap aspek kehidupan di
kawasan-kawasan dunia. Telekomunikasi menciptakan permisa global.
Transportasi menciptakan desa global. Banyak orang biasa menyaksikan
MTV, mereka menggunakan celana jin, dan mendengarkan radio Sony
berjalan ketika mereka pergi menuju tempat-tempat kerja mereka. Ke
budayaan global ini termasuk penyebaran teknologi media yang terbukti
telah menciptakan mimpi tentang desa global, meminjam istilah Marshall
Mcluhan. Teknologi-teknologi ini membiarkan media dan informasi
transnasional menyebar secara global. Proses ini telah membawa ke
pada perayaan informasi global baru yang serba cepat dan sementara
itu sebagian orang menentang gelombang media baru ini sebagai impe
rialisme budaya dalam kehidupan mereka. Tujuan globalisasi dalam
konteks ini adalah agar masyarakat-masyarakat non barat diharapkan
menanggalkan kebudayaan tradisional mereka dan berasimilasi dengan
cara-cara hidup orang barat yang secara teknologi dan moral superior.
44 Zakiyuddin Baidhawy
mengakibatkan rusaknya lapisan ozon. Bila ini terus terjadi, kehidupan
di muka bumi menghadapi masa depan penuh ketidakpastian. Kedua,
ancaman lingkungan global adalah pemanasan global yang disebabkan
oleh penggunaan secara massif bahan bakar minyak bumi yang telah
melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca di atmosfer bumi. Bukti-bukti
ilmiah menunjukkan bahwa pemanasan global ini memengaruhi dan
mengubah pola iklim yang membahayakan baik bagi manusia maupun
spesies lainnya di planet ini (Oosthoek & Gills, 2005).
Dua fenomena kerusakan lingkungan di atas melahirkan tantangan
kepada umat manusia untuk meredefinisi kemajuan. Apakah kemaju
an hanya berarti perkembangan teknologi yang pesat, meski pada saat
yang sama teknologi itu juga mempercepat kerusakan bagi makhluk
manusia dan non-manusia pada skala global? Bila ini yang dimaksud,
itu maknanya kemajuan dibatasi pada asumsi bahwa sumber daya alam
dan lingkungan adalah disediakan untuk dieksploitasi guna memenuhi
kebutuhan sekaligus keinginan manusia. Dengan kata lain kita sedang
hidup dalam situasi krisis luar biasa mengenai gagasan kemajuan. Krisis
ini disebabkan oleh kegagalan yang sangat nyata paradigma ekonomi
dan teknologi yang kini sedang berkuasa, bukan hanya berkaitan dengan
lingkungan global, bahkan juga dalam banyak hal dengan perdamaian
dan keamanan manusia, perluasan masif kemiskinan dan kesenjangan.
Karena itu yang dibutuhkan sekarang adalah perubahan pada level ga
gasan, mentalitas individu dan kolektif bahwa kesadaran lingkungan
perlu memainkan peran utama dan positif untuk mengendalikan tekno
logi, dan mengeliminasi ekonomi politik usang yang lebih berpihak pada
tujuan-tujuan material dan kekeliruan dalam penggunaan sumber daya
alam dan lingkungan.
Dimensi Haman dari globalisasi juga bisa dirasakan dalam masalah
pencurian keanekaragaman hayati (biopiracy). Isu ini berkaitan dengan
pematenan — khususnya paten terhadap pengetahuan indigenous dan
DNA oleh agen-agen dari perusahaan-perusahaan dan pemerintahan-
pemerintahan Barat. Kebanyakan keanekaragaman hayati berada di
negara-negara berkembang, yang menyediakan sumber daya ekonomi
yang sangat besar bagi perusahaan-perusahaan obat-obatan, pertanian
dan bioteknologi. Misalnya, menurut Atlas Dunia Keanekaragaman
Hayati versi UNEP, di Amerika sendiri terdapat 56% dari 150 obat-
46 Zakiyuddin Baidhawy
tanpa mengalami dilema etika. Namun demikian, banyak akademisi
dan aktivis di dunia semakin khawatir atas aktivitas semacam ini dan
maknanya bagi dunia ketiga. Aktivitas semacam ini biasanya dimulai
dari perusahaan-perusahaan asing masuk ke wilayah negara-negara ber
kembang untuk mencari pengetahuan tradisional tentang obat-obatan
mau pun tumbuh-tumbuhan pertanian. Tumbuh-tumbuhan yang di
pandang berpotensi memiliki nilai kemudian diriset dalam laboratorium
perusahaan-perusahaan multinasional untuk menemukan kandungan
kimia di dalamnya atau bernilai sebagai tumbuhan pangan. Jika dipan
dang menguntungkan, mereka akan mengusulkan pematenan guna
melindungi “temuan” tersebut. Tampaknya cukup sederhana. Namun jika
perusahaan telah bekerja untuk “menemukan”, menurut filsafat Lock,
temuan itu menjadi hak milik. Bila orang lain, taruhlah petani misalnya,
ingin menggunakan hak milik mereka (benih yang dipatenkan), maka pe
rusahaan akan menarik bayaran dari mereka.
Ada dua asumsi yang menggarisbawahi istilah biopiracy. Pertama,
perusahaan yang mencuri mengklaim kepemilikan terhadap sesuatu yang
sesungguhnya tidak dapat dimiliki. Dikatakan “tidak dapat dimiliki”
karena seringkali apa yang dipatenkan itu dipandang sebagai bagian
dari milik semua penduduk bumi. Pengetahuan atau spesies yang dicuri
kadang-kadang dipandang sebagai bagian dari warisan bersama semua
umat manusia atau sesuatu yang ada di alam sehingga tak seorang pun
dapat mengklaimnya. Kedua, kepemilikan yang diklaim perusahaan ber
akar pada tindakan pencurian atas pengetahuan indigenous. The United
Nations Convention on Biological Diversity (CBD) yang ditandatangani oleh
komunitas internasional pada Earth Summit 1992, mendefinisikan
biopiracy ialah bioprospecting yang dipandang sebagai pengabadian kebiasa
an kaum penjajah yang suka mencuri sumber daya biologis negara-negara
lain tanpa kompensasi yang adil dan jujur, yang berakibat pada kerusakan
lingkungan, ekonomi dan sosial. CBD menekankan “pembagian untung
yang adil dan jujur atas penggunaan sumber daya genetik” sekaligus
konservasi dan penggunaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan
sebagai tiga tujuannya. Konvensi ini diratifikasi oleh 183 negara anggota,
kecuali Amerika Serikat, sehingga banyak orang memandang biopiracy
dan ketidakmauan AS meratifikasi konvensi ini sebagai suatu perluasan
dari kolonialisme gaya Barat yang terjadi selama 500 tahun.
48 Zakiyuddin Baidhawy
dan lingkungan dari penduduk lokal oleh perusahaan-perusahaan asing
(Jere-Melanda, 2003).
Tentu saja, kemunafikan dalam menggunakan pengetahuan pribumi
untuk mematenkan sesuatu dan kemudian membebankan royalti bagi
penduduk pribumi karena menggunakan produk paten tersebut, sangat
bertentangan dengan etika ekonomi dan etika sosial, yakni bahwa siapa
pun berhak memperoleh keuntungan dari kerja mereka, bukan orang
lain. Meskipun biopiracy sudah menjadi isu sejak dekade 90-an, dan telah
lama dipraktikan pada kolonialisme mulai, HKI secara drastis mem
perlebar kesenjangan. Ada banyak isu yang terkait dengan masalah
lingkungan, ekonomi dan sosial yang lahir akibat sistem paten yang di
globalkan terhadap negara-negara di dunia berkembang.
Ada sejumlah ancaman ekonomi, lingkungan dan sosial berkaitan
dengan biopiracy dan legitimasi yang diberikan melalui TRIPs atau HKI.
Pencurian atas pengetahuan penduduk pribumi membatasi kebebasan
bagi negara-negara miskin untuk mempergunakan kekayaan intelektual
mereka dan menghalangi mereka dari aset-aset yang berharga. Perbaikan
yang terus menerus atas pengetahuan penduduk pribumi ini diperlukan
bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan kemampuan mereka
mempertahankan kesehatan dan stabilitas ekonomi, lingkungan dan
sosial. Sayangnya semua keuntungan yang berhubungan dengan TRIPs
lebih banyak dirasakan oleh negara-negara kaya — bukan sarana untuk
mencapai desa global yang jujur, terbuka, adil dan seimbang — dengan
biaya yang harus ditanggung oleh negara-negara miskin dan tak terwakili
kepentingannya. Pertimbangan-pertimbangan ekonomi, lingkungan dan
sosial dalam TRIPs dan biopiracy perlu diperhatikan lebih serius. Apsek-
aspek yang bertentangan antara CBD (konvensi keanekaragaman hayati)
dan TRIPs harus dipecahkan. Dalam situasi sekarang ini, dorongan untuk
penegakkan CBD, sebuah pakta yang seharusnya memiliki setidaknya
posisi setara dalam hal bobot hukum internasional dengan TRIPs (atau
mungkin lebih berbobot karena CBD dibuat lebih dulu dari TRIPs, kini
dikorbankan demi TRIPs. Melaksanakan statuta CBD atau setidaknya
menemukan solusi yang dapat dijalankan antara dua pakta tersebut akan
memberikan komunitas internasional suatu peluang untuk membuktikan
bahwa keuntungan dan kekuasaan bukanlah segalanya dalam politik
internasional. CBD kebanyakan memberikan keuntungan bagi negara-
50 Zakiyuddin Baidhawy
utang terus-menerus sehingga utang luar negeri semakin lama semakin
besar. Dengan sendirinya, beban pembayaran cicilan utang pokok dan
bunganya semakin lama semakin berat. Ini semua membuat negara kita
tidak mandiri karena terlalu bergantung kepada utang luar negeri. Keter
gantungan ini dijadikan peluang untuk untuk mendikte semua kebijakan
pemerintah Indonesia. Tidak saja dalam bentuk ekonomi dan keuangan,
tetapi jauh lebih luas dari itu. Utang luar negeri kepada Indonesia
diberikan secara sistematis, berkesinambungan, dan terorganisasi secara
sangat rapi dengan sikap yang keras serta persyaratan-persyaratan yang
berat, dan berhasil membuat negeri ini sekarat.
4. Samiri Globalisasi
Samiri adalah tokoh sezaman dengan Fir’aun, Qarun, dan Haman.
Ia adalah pembuat bid’ah dalam sistem kepercayaan dan agama Bani
Israel. Agama dan kepercayaan yang benar dan lurus ia campuri dengan
keahliannya membuat sesembahan baru. Agama baginya adalah alat
untuk mengabdi pada penguasa, dalam bentuk dan wujud apa pun. Yang
terpenting baginya adalah keuntungan pribadi meski dengan mengatas
namakan agama sebagai alat pembenar dan legitimasi bagi penguasa-
penguasa politik dan kapital yang menindas masyarakat kecil. Samiri
adalah representasi dari “agama” yang mempecundangi rakyat kecil,
meninabobokan, dan membutakan mereka dari kesadaran diri akan
bentuk-bentuk penindasan, diskriminasi, pemiskinan dengan bersem
bunyi di balik topeng agama. Di sisi lain, sebagai representasi Samiri,
globaliasi juga mengancam masyarakat dengan “agama baru”, yaitu
“agama kapital”.
Dalam konteks globalisasi, mempersoalkan tentang hakikat dan
fungsi agama dalam masyarakat menjadi sangat penting. Apakah agama
dan kaum agamawan — pendeta, pastur, ulama, bikhu, dan sebagainya
— mampu menempatkan diri sebagai pembela kaum papa dan marjinal
dari peminggiran dan pemiskinan sistematis dan sturktural globalisasi;
atau mereka menjadi tameng dan pemberi stempel bagi pusat-pusat ke
kuasaan kapital yang menciptakan ketidakadilan global? Apakah agama,
kaum agamawan dan para penganutnya terjerumus ke dalam kapitalisasi
agama, cenderung merealisasikan fungsi agama privat yang jauh dari
52 Zakiyuddin Baidhawy
kultural, termasuk agama, oleh ide-ide, produk dan praktik kultural dan
konsumen yang dikemas dan dipasarkan secara luas. Menurut suatu
analisis, globalisasi bukanlah intergrasi global dengan menghancurkan
batas-batas di kalangan bangsa-bangsa melalui kekompakan global
menuju desa global. Sebaliknya, globalisasi adalah agenda yang meng
istimewakan hegemoni satu negara di atas dunia dengan kekuatan dan
ancaman (Radhakrisnan, 2004).
Jim Spickard (dalam Radhakrisnan, 2004) membuat sejumlah
pengamatan atas masalah agama dan globalisasi. Beberapa catatan yang
relevan dalam bahasan ini antara lain: citra populer globalisasi mene
kankan karakter ekonomi dan politik, khususnya jangkauan global pe
rusahaan-perusahaan transnasional yang menjadi kekuatan pengubah
dan merampas kekuatan ini dari negara — dan juga dari warga negara
— untuk kemudian mengendalikan nasib mereka. Dalam citra ini,
organisasi-organisasi keagamaan merespon globalisasi, kadang-kadang
dengan mendukung gerakan-gerakan anti global, seperti gerakan protes
menentang WTO, neo-fundamentalisme, upaya-upaya menuntut ke
adilan utara-selatan, dst. Catatan kedua atas globalisasi adalah makin
tumbuhnya migrasi, yang juga selalu memiliki akibat-akibat keagamaan.
Agama-agama ada di garis depan dalam proses globalisasi. Globalisasi
secara fundamental mengubah relasi kuasa, baik secara keagamaan mau
pun ilmiah. Globalisasi menunjukkan proses-proses “keagamaan” yang
jauh melampaui kehidupan gereja. Ambil sebuah contoh bagaimana
analisis tentang HAM menurut cara pandang Durkheimian bahwa agama
memberi kita citra simbolik dalam kehidupan sosial.
Meskipun pertumbuhan dan penggunaan sains diduga sangat
penting bagi globalisasi, tetap relevan untuk mengetahui apakah sains
dan agama tidak dapat didamaikan. Albert Einstein telah menjelaskan
hubungan keduanya. Selama berabad-abad muncul perselisihan bahkan
pertikaian mengenai hal ini. Lebih banyak jawaban mengarah pada sisi
negatif hubungan keduanya.
Dalam situasi semacam ini, globalisasi sebagai proyek imperialis
me “memanfaatkan” sains dan agama. Dalam beberapa hal, serangan
atas WTC pada 11 September 2001 adalah suatu serangan balasan atas
globalisasi. Namun, sebagian orang menyebutnya juga sebagai serang
an teroris terhadap berbagai bagian dunia. Di sini tampak bahwa apa
54 Zakiyuddin Baidhawy
keterlibatan, partisipasi aktif dalam melawan kekejaman mereka, lalu
asyik masuk dengan Tuhan mereka hingga terlelap tanpa tahu bahwa
dunia sudah berubah. Sebagai kompensasinya, agama mengharu biru
kan mereka dengan senandung doa-doa dan dzikir yang diiringi sedu
sedan tangis dan bah air mata, menghantar ekstase jiwa meratapi dosa-
dosa, maksiat-maksiat, kecongkrahan-kecongkrahan, yang selalu meng
hantui para penikmatnya. Selintas keharuan itu merupakan tanda per
tobatan, sesal atas segala rupa kebusukan. Namun demikian, pertobatan
via doa dan dzikir itu lebih merupakan alat pembersihan spiritual
(spiritual laundry) setelah sekian lama bergelimang dosa individu dan
sosial. After the fact, pertobatan itu adalah kamuflase untuk menutupi
kebejatan dan memperoleh kembali suatu kondisi dalam mana kejahatan
dan kebejatan yang lebih besar absah dilakukan. Nyatanya, pertobatan
itu sama sekali tidak mengubah apa pun atas nasib bangsa ini yang terus
terjerembab kemiskinan, pemiskinan, pengangguran, busung lapar,
dan rupa-rupa dosa sosial sebagai akibat ketidakpedulian dan hilang
kepekaan terhadap fenomena kepapaan dan kefakiran yang jelas mem
bawa kepada kekufuran. Kemiskinan, penindasan, marjinalisasi, peng
gusuran, trafficking anak-anak dan perempuan, tetap terjadi dalam skala
yang semakin meluas.
Di samping kelangkaan solidaritas, spiritualitas agama-agama juga
acapkali dapat dijadikan dalih untuk membesar-besarkan daya linuwih,
ilmu laduni, kasyf dan semacamnya yang dimiliki orang “suci” atau wali.
Spiritualitas telah membelenggu rasionalitas sehingga visi masyarakat
berkeadilan dilucuti oleh wangsit ala poros langit, atau mabuk ratu adil
yang sepenuhnya utopia.
Dengan spiritualitas semacam ini, kaum agamawan tidak memiliki
kesadaran untuk memasuki lingkaran ketidakadilan dan pemiskinan
global dari sudut praksis pembebasan yang ditentukan secara intelektual
dan aktual. Secara intelektual mereka tidak mandiri dan secara aktual
mereka mandul. Pilihan pemikiran dan aksi keagamaaan mereka apatis,
jika tidak dapat dikatakan sebagai pemberi legitimasi bagi status quo.
Spirit untuk perubahan dan pembebasan tidak menjadi bagian dari unsur
intrinsik keimanan. Oleh karena itu, gerakan intelektual mereka timpang
karena lebih banyak menekankan pada aspek-aspek kognitif (dari wahyu
dan atau pengetahuan apa pun) dan menafikan aspek-aspek praksisnya.
56 Zakiyuddin Baidhawy
BAB
ARTI DAN FENOMENA KEMISKINAN
II GLOBAL
57
Bahkan kita pun bisa membingkai sebuah bangsa dengan mengguna
kan definisi ini. Di manapun orang miskin melukiskan kehidupan kelas
berbahaya di wilayah-wilayah kumuh dan sempit. Baik Malthus maupun
Herbert Spencer berpendapat bahwa hanya orang lapar yang dapat
mengajari orang miskin tentang keadaban dan ketaatan. Para penganjur
perspektif ini adalah kelompok kanan baru di Amerika Serikat. Gilder,
Murray dan Hernstein mengatakan bahwa orang miskin secara genetik
diciptakan menjadi kelompok yang berada di bawah hirarkhi sosial.
Orang miksin itu miskin karena mereka memiliki IQ rendah dan kapa
sitas mental rendah serta secara ideologis ditakdirkan untuk miskin.
Sistem kesejahteraan yang menjamin kelompok manusia yang dipan
dang menyimpang ini dianggap sebagai sistem mubazir dan harus di
hilangkan (Kerbo, 1996).
Kedua, budaya kemiskinan. Teori ini dikembangkan oleh Oscar
Lewis, seorang antropolog. Ia mengembangkan teori ini dari penga
lamannya di Mexico. Budaya kemiskinan merupakan sindrom khusus
yang tumbuh dalam beberapa situasi. Budaya ini menghendaki suatu
setting ekonomi tunai, yakni tingginya angka pengangguran dan setengah
pengangguran, upah rendah dan warga dengan keterampilan rendah.
Ketiadaan dukungan lembaga-lembaga volunter atau negara dan ke
luarga yang stabil, penduduk berpendapatan rendah cenderung mengem
bangkan budaya kemiskinan untuk menentang ideologi akumulasi
yang dominan di kalangan kelas menengah. Orang miskin menyatakan
bahwa mereka memiliki posisi marjinal di dalam masyarakat kapitalistik
yang terstrata dan individualistik, yang tidak menawarkan apa pun buat
mereka prospek untuk mobilitas ke atas. Agar bertahan hidup, mereka
harus mengembangkan lembaga-lembaga dan agensi-agensi mereka
sendiri karena masyarakat luas cenderung mengabaikan dan mening
galkan mereka. Jadi, orang miskin berupaya membentuk seperangkat
nilai, norma, pola perilaku tersendiri yang berbeda dengan budaya umum
nya. Singkatnya, orang miskin memiliki pandangan hidup sendiri. Lewis
(1959) mengklasifikasikan empat macam ciri budaya kemiskinan sebagai
berikut:
1. Hubungan antara subkultur dan masyarakat luas. Warga tidak ter
libat atau menjaga jarak dari masyarakat luas. Mereka tidak memiliki
serikat pekerja atau partai politik, pergi ke bank atau rumah sakit
58 Zakiyuddin Baidhawy
atau menikmati fasilitas kesenangan kota. Mereka sangat tidak per
caya kepada lembaga-lembaga dominan dalam masyarakat.
2. Komunitas dan perkampungan kumuh. Komunitas ini ditandai
dengan miskinnya perumahan dan kebisingan serta minimalnya
struktur organisasi yang melampaui keluarga. Lembaga-lembaga ini
tumbuh utamanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.
Ekonomi komunitas kumuh biasanya bersifat melihat ke dalam
(inward looking). Ekonomi mereka ditandai dengan kebiasaan meng
gadaikan barang-barang pribadi, kredit informal dan menggunakan
barang-barang bekas.
3. Sistem keluarga mereka bersifat bilateral, perkawinan yang tidak
stabil, keluarga matrifocal.
4. Sikap, nilai dan kepribadian. Mereka biasanya memiliki perasaan
fatalisme yang kuat, hilang harapan, tergantung dan inferior, ego
lemah yang bersandar pada belas kasihan orang lain.
60 Zakiyuddin Baidhawy
tentang kemiskinan konvensional, termasuk hak-hak sipil dan politik; ia
menyediakan ruang lingkup fokus pada situasi keterbelakangan sosial
dan mekanisme yang menyebabkannya; ia menekankan pada peran
aktor-aktor dalam eksklusi dan inklusi sosial; dan eksklusi sosial di
pandang sebagai kekayaan dalam kerangka dan proses institusional yang
menyebabkan eksklusi.
Secara bertahap konsep ini diadopsi oleh agen-agen termasuk Bank
Dunia. Popularisasi konsep ini juga karena fakta bahwa para sosiolog
dan antropolog mulai bergabung dalam bidang studi tentang kemiskinan.
Perubahan wacana ini memperluas arena studi tentang kemiskinan
dalam beberapa perspektif utama. Perubahan wacana ini membawa
pada kebangkitan kembali tema kesenjangan di dalam dan antar bangsa-
bangsa, yang salah satunya disebabkan oleh globalisasi. Wilayah lain yang
menjadi perhatian adalah berhubungan dengan demokrasi-kebebasan
politik dan hak-hak warga negara. Konsep ini membawa pada perayaan
keragaman budaya dan keragaman nilai. Perspektif ini memberikan ke
jelasan bahwa identitas-identitas kaum miskin atas dasar umur, jenis
kelamin, etnisitas, dan ketidakmampuan dikonstruk secara sosial. Ke
lompok-kelompok tertentu di dalam masyarakat menjadi rentan karena
diskriminasi. Ini membawa pada studi tentang kemiskinan yang berubah
dari pendekatan berpusat pada barang-barang (goods-centred) kepada
pendekatan berpusat pada warga (people-centred). Pendekatan pertama
menekankan pada komoditas yang menghasilkan utilitas dan kesejah
teraan lebih besar. Pendekatan kedua menekankan pada kemampuan
manusia dan kebebasan mereka untuk memilih. Perspektif eksklusi
makin memperoleh kejelasan dan kecanggihan teroritiknya. Gore (1995)
menyatakan bahwa proses eksklusi yang terjadi melalui lembaga-lem
baga pasar, negara dan masyarakat sipil dapat dipahami dalam empat
determinan.
Pertama, transnasionalisasi ekonomi yang pesat, modernisasi masya
rakat dan menurunnya peran negara. Kedua, perubahan dalam penawaran
dan distribusi aset ekonomi, politik, dan budaya dalam menghadapi
perubahan ekonomi yang tak dapat diprediksi. Ketiga, struktur sosial dan
politik melalui mana kekuasaan diuji dan hubungan-hubungan antara
kelompok-kelompok dan individu-individu didefinisikan. Keempat, watak
negara dan perannya dalam proses alokasi dan akumulasi. Perspektif
62 Zakiyuddin Baidhawy
secara sosiologis. Ia membuat mungkin upaya melihat sebab-sebab,
proses-proses, dan akibat-akibat kemiskinan sekaligus bagaimana wacana
tentang kemiskinan dibangun dan masyarakat miskin bereaksi dalam
berbagai cara terhadap situasi yang ada dalam kehidupan mereka.
Sosiologi kemiskinan dengan fokus pada mekanisme kelembagaan
kesenjangan menyediakan analisis dan aspek wacana kemiskinan materi
lebih mendalam, cara bagaimana kaum miskin dikonstruk sebagai
kategori sosial dan bagaimana stigma dikaitkan dengannya. Ia dapat
saling menghubungkan secara kuat antara struktur, wacana dan agensi
dan mempertunjukkan bahwa kemiskinan adalah suatu konstruksi sosial
beriringan dengan tindak tandingannya. Dalam beberapa tahun ter
akhir kita mulai mendengar suara-suara kaum miskin. Bahkan kita perlu
untuk mengetahui lebih kauh tentang bagaimana nasib historis masya
rakat tertindas diciptakan secara material dan simbolik dan bagaimana
mereka hidup bersama dan berjuang menentang nasib yang dibangun
secara sosial itu. Ini menuntut perkembangan suatu perspektif tentang
kemiskinan yang lebih layak.
1. Kemiskinan Karitas
Kemiskinan karitas bukan semata menunjukkan adanya kelangka
an dalam hal pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar (Basic Needs). Ke
butuhan fisiologis dan kebutuhan dasar (basic needs) sangat penting untuk
membuat manusia tetap bertahan hidup (survival). Kebutuhan-kebutuhan
yang sifatnya sangat mendasar ini mencakup sandang, pangan dan
papan (QS. Taha 20:118-119; Al-Nisa’ 4:5; dan al-Ma’idah 5:89). Istilah
miskin karitas ini dapat diperluas hingga mencakup kelangkaan dalam
hal pendapatan pribadi, aset fisik (physical capital, termasuk tanah dan
kepemilikan materi, kesehatan), dan aset lingkungan seperti pepohonan,
hutan, air, dan produk-produk non kayu-kayuan.
Kemiskinan sebagai kelangkaan pendapatan biasanya diukur dengan
uang. Bank Dunia pada 1993 misalnya, mengukur kemiskinan dengan
“satu dolar per hari per orang”. Ini disebut sebagai garis kemiskinan.
Caranya dengan memperkirakan jumlah minimum kebutuhan uang
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar agar manusia dapat ber
tahan hidup. Biasanya cara mengukur pendapatan ini dilihat dari kon
sumsi, dan kemiskinan dimaknai sebagai kelangkaan konsumsi. Cara ini
sangat populer karena kesederhaannya. Meskipun demikian perlu dicatat
bahwa setiap masyarakat memiliki pandangan sendiri tentang apa yang
menyusun standar hidup minimum dan perbedaan dalam asupan kalori.
Sejumlah akademisi memiliki prasyarat kuat tentang penggunaan ukuran
ini (Hulme dan McKay, 2005).
Secara konseptual pendekatan pengukuran kemiskinan berdasar
kan tingkat pendapatan ini diinspirasi oleh kebutuhan-kebutuhan
64 Zakiyuddin Baidhawy
dasar yang menjadi pangkal pemahaman kemiskinan sebagaimana di
kemukakan di atas. Setiap manusia membutuhkan tingkat kebutuhan
fisik tertentu untuk tetap hidup. Kekurangan kebutuhan ini sangat erat
kaitannya dengan tingkat pendapatan, yang dapat bertindak sebagai
ukuran yang paling mendekati.
Suatu agensi yang mengambil pemahaman kemiskinan dengan
ukuran moneter semacam ini biasanya sangat yakin bahwa pertumbuhan
ekonomi — pada tingkat komunitas atau nasional — merupakan tujuan
intervensi pembangunan. Secara programatik, ini berarti menyediakan
kesempatan-kesempatan bagi individu-individu untuk meningkatkan pen
dapatan mereka melalui bantuan keuangan langsung, atau lebih tipikal
program keuangan mikro, dan pelatihan-pelatihan kerja, dan seterusnya.
Keputusan untuk melakukan intervensi dapat dibuat secara mudah
dengan mengkombinasikan tingkat-tingkat kemiskinan pendapatan
(mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan) di dalam sebuah negara,
dan disaring melalui data survei rumah tangga yang membagi penda
patan rata-rata ke dalam gambaran yang berskala regional. Intervensi
dipilih atas dasar wilayah-wilayah yang menderita kemiskinan tertinggi.
Ini murni pendekatan distributif, tentu saja dalam kenyataanya sama
saja dengan menekankan perhatian pada apakah suatu agensi memiliki
keterampilan, reputasi, dan kepercayaan untuk mampu meraih masya
rakat miskin tersebut.
Memahami kemiskinan karitas sebagai kemiskinan aset ber arti
mengakui bahwa masyarakat miskin memiliki bermacam-macam aset
baik fisik dan lingkungan. Aset-aset ini dapat bersifat potensial, material,
lingkungan, sehingga individu, rumah tangga dan komunitas dapat
mengambilnya pada saat dibutuhkan maupun saat krisis.
Aset fisik di sini termasuk tanah dan kepemilikan material; aset
lingkungan termasuk pepohonan, hutan, air, dan produk-produk non-
kayu-kayuan. Kelangkaan aset yang dibutuhkan untuk hidup sebagai
manusia seutuhnya ini merupakan indikasi bahwa seorang individu di
sebut miskin. Namun demikian, perlu ditekankan di sini bahwa pen
dekatan aset terhadap kemiskinan lebih bermanfaat sebagai sarana untuk
memahami jenis masalah yang dihadapi oleh masyarakat miskin.
Di samping itu, pendekatan aset ini juga merupakan cara sederhana
yang mudah diukur. Biasanya cara ini digunakan untuk memahami
2. Kemiskinan Kapasitas
Kemiskinan kapasitas adalah gambaran tentang ketidakpastian,
ketiadaan harapan dan masa depan (QS. al-Anfal 8:26) yang berkaitan
dengan human capital meliputi pendidikan, life skill, training, kekuatan
bekerja; dan social capital mencakup jejaring sosial seperti kekerabatan, ke
bertetangaan dan asosiasi/organisasi.
Kemiskinan kapasitas, yang dalam bahasa Amartya Sen disebut
kemiskinan kapabilitas, didasarkan pada satu pandangan bahwa kemis
kinan tidak ditentukan oleh kurang atau rendahnya pendapatan uang,
tetapi lebih disebabkan oleh gagalnya individu untuk merealisasikan
potensi manusia atau membangun kehidupan yang bermartabat, khusus
nya disebabkan kurangnya kesehatan dan pendidikan (Sen, 1999). Apa
yang dikemukakan Sen kurang komprehensif karena ia hanya menyebut
masalah kesehatan dan pendidikan untuk mendefinisikan kemiskinan.
Kemiskinan kapasitas melampaui ukuran pendapatan dan kon
sumsi. Kemiskinan harus diukur dengan mempergunakan indikator-indi
kator kebebasan untuk menjalani hidup secara bermartabat. Dari segi
human capital, kita bisa menyaksikan bagaimana Badan PBB urusan Pem
bangunan (UNDP) mengukurnya dengan Indeks Pembangunan Sumber
Daya Manusia (HDI) sejak 1990. UNDP mendefinisikan pembangunan
sumber daya manusia sebagai suatu proses memperluas pilihan-pilihan
66 Zakiyuddin Baidhawy
bagi warga negara. Kemiskinan kapasitas diukur melalui kombinasi
antara pendapatan dan non-pendapatan; melalui GDP riil per orang,
kemampuan baca tulis orang dewasa, angka harapan hidup. Karena
itu, tidak sebagaimana pendapatan, kapasitas adalah tujuan, dan tidak
tercermin dalam input, namun hasil kemanusiaan – dalam bentuk kualitas
hidup warga negara. Erat hubungannya dengan HDI, muncul Indeks
Kemiskinan Manusia (HPI) yang mengukur kemiskinan berdasarkan be
berapa hal berikut: kemampuan untuk bertahan hidup; kemampuan
untuk berpengetahuan; dan memiliki akses kepada pendapatan pribadi
sekaligus kesejahteraan publik.
Dengan mengemukakan pendekatan ini dalam masalah kemis
kinan, artinya kita melihat bahwa cara mengentaskan ke miskinan
adalah dengan membangun kapasitas manusia dan memperluas kesem
patan bagi mereka. Model-model pembangunan sumber daya manusia
bersandar pada strategi-strategi utama untuk mengeliminasi kemis
kinan — khususnya dalam bidang pendidikan dasar untuk semua, pe
ningkatan keterampilan hidup, pelatihan kerja, kredit bagi kaum miskin,
pertumbuhan yang adil, dan pemberdayaan kaum perempuan.
Di samping masalah human capital yang lebih berorientasi ke dalam
(individual), pendekatan kapasitas juga memandang penting social capital.
Modal sosial di sini adalah seberapa besar kapasitas individu membangun
jejaring sosial (social networks) dengan individu dan komunitas yang
lebih besar, seperti kekerabatan, kebertetangaan dan asosiasi/organi
sasi. Jejaring sosial ini penting karena memberi banyak peluang dan
kesempatan bagi seseorang untuk bukan semata dapat bertahan hidup,
bahkan lebih dari itu sustainable secara layak. Kemiskinan, dengan de
mikian, bisa dimaknai sebagai kurangnya kemampuan individu untuk
merajut jejaring sosial yang bermanfaat bagi aktualisasi dan pengem
bangan diri.
Pendekatan kapasitas mencakup dua unsur dasar dalam kesejah
teraan hidup manusia (human and social capital) dan masih meninggalkan
beberapa masalah penting lainnya dalam kehidupan ini. Yakni tidak
memasukkan unsur-unsur kebebasan politik, masalah struktural, ke
amanan, dan transparansi. Di sinilah kita perlu memperluas kemiskinan
dalam pengertian “otoritas”.
a. Marjinalisasi Sosial
Marjinalisasi sosial adalah suatu pendekatan yang mirip dengan
eksklusi sosial, yang menjelaskan proses marjinalisasi dan deprivasi kaum
miskin yang hidup di pinggiran-pinggiran kota. Marjinalisasi ini meru
pakan suatu proses melalui mana individu-individu atau kelompok-
kelompok dipinggirkan, dikucilkan dari partisipasi penuh dalam ber
bagai aktivitas masyarakat di mana mereka hidup. Kondisi semacam ini
mencerminkan sebentuk deprivasi — miskin kuasa — sebagai suatu
bentuk kemiskinan yang juga hidup di tengah-tengah masyarakat kon
temporer dan jauh lebih rumit mengurainya.
Marjinalisasi sosial adalah suatu gambaran “kebungkaman” dan
“ketidakberdayaan” yang membawa pada sedikitnya atau tiadanya ke
mungkinan bagi orang miskin untuk memperoleh hak-hak mereka
(entitlements), mengorganisir diri mereka sendiri, menciptakan tuntutan
dan memperoleh respon terbuka, menerima dukungan untuk mengem
bangkan inisiatif mereka sendiri (Laderchi, Saith, Stewart, 2003). Pe
minggiran sosial semacam ini menciptakan pengalaman diskriminasi
dan stigma bagi kaum miskin, dan memaksa mereka terperangkap dalam
aktivitas-aktivitas perekonomian dan relasi-relasi sosial yang menge
kalkan kemiskinan mereka.
Marjinalisasi sosial merupakan sesuatu yang dinamis, yang menje
laskan kemiskinan senyatanya, bukan menerangkan tentang banyak orang
miskin di sana, dan bagaimana marjinalisasi itu berkaitan dengan situasi
sosial, ekonomi dan politik lebih luas di kawasan itu. Marjinalisasi sosial
berhubungan dengan proses yang benar-benar menciptakan kemiskinan.
Memahami kemiskinan sebagai masalah marjinalisasi sosial berarti
bekerja untuk merestrukturisasi relasi-relasi sosial. Ini artinya meng
upayakan pemberdayaan secara serius; menghadapi proses politik yang
sulit dalam menentang lapisan-lapisan diskriminasi dan memerangkap
warga dalam kemiskinan. Memahami kemiskinan sebagai suatu masalah
eksklusi sosial juga berarti perlunya menekankan intervensi dalam
68 Zakiyuddin Baidhawy
wilayah-wilayah pedesaan yang memiliki potensi rendah, kawasan-
kawasan yang secara politik terpinggirkan dan wilayah-wilayah yang tidak
terhubungan secara baik dengan pasar, pelabuhan atau pusat-pusat
kota, dan terabaikan. Di wilayah-wilayah itu pula terdapat konsentrasi
masyarakat miskin kronis, perumahan kumuh di kota-kota kecil maupun
kota-kota besar sekaligus jutaan orang gelandangan yang tidur di jalan-
jalan, stasiun, taman, dan tanah-tanah terlantar.
b. Marjinalisasi Partisipasi
Kemiskinan juga disebabkan oleh marjinalisasi partisipasi (ter
masuk miskin jejaring di tingkat keluarga, tetangga, dan asosiasi). Kaum
miskin biasanya merana karena mereka tidak memiliki akses untuk
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan-keputusan dan kebijakan-
kebijakan yang penting bagi mereka sendiri. Banyak pemerintahan mau
pun swasta dan lembaga swadaya masyarakat hendak memberikan
bantuan kepada mereka, namun seringkali lupa mempertimbangkan
partisipasi kaum miskin yang ingin mereka bantu. Maka sangat urgen
untuk mempertimbangkan penilaian atas kemiskinan partisipasi karena
masalah ini terkait dengan upaya melihat secara dekat sebab-sebab men
dasar dari kemiskinan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan atas dasar
apa yang mereka persepsi. Melalui pertimbangkan partisipasi ini kita bisa
memperoleh gambaran nyata tentang pengalaman hidup orang-orang
miskin yang menyediakan suatu peluang untuk menangkap dimensi-
dimensi lain dari kemiskinan. Pertimbangan atas kemiskinan partisipasi
ini memberikan bukti lebih nyata tentang banyak bentuk kemiskinan
dan deprivasi yang mereka alami; yang sebagian di antaranya tidak
dapat dipahami melalui pemahaman lain tentang kemiskinan dan se
bagian lainnya tidak mungkin diukur secara praktis. Dimensi-dimensi
kemiskinan memasukkan kemiskinan pendapatan dan kekurangan
material; bahkan juga kemiskinan waktu, seperti hidup dan bekerja di
tempat yang buruk, relasi sosial, relasi gender yang buruk; aspek-aspek
keamanan, kekhawatiran dan ketakutan; dan juga ketidakberdayaan.
Berbagai fakta menunjukkan bahwa banyak faktor bergabung
untuk menjadikan kemiskinan sebagai fenomena yang kompleks, multi
dimensional. Bagi kaum miskin sendiri, kemiskinan biasanya dimaknai
sebagai kekurangan apa yang menjadi keniscayaan bagi kesejahteraan
70 Zakiyuddin Baidhawy
nasional lainnya untuk memformulasi strategi berdasarkan pada hak-
hak asasi manusia. Inilah yang disebut sebagai memahami kemiskinan
berbasis pada pemenuhan hak-hak asasi manusia.
Menurut sudut pandang kemiskinan hak-hak asasi, seseorang yang
sejumlah hak-haknya tidak terpenuhi, seperti hak atas makanan, kese
hatan, pendidikan, informasi, adalah orang miskin. Jadi, kemiskinan lebih
dari sekadar kurangnya sumber daya — ia merupakan manifestasi pe
minggiran dan ketidakberdayaan. Pada hakikatnya, merealisasikan hak-
hak asasi manusia tidak berbeda dengan menghapuskan kemiskinan.
Meski pemenuhan hak-hak asasi manusia bukan satu-satunya obat
mujarab bagi masalah kemiskinan, namun ketika hak-hak asasi tersebut
dijamin oleh hukum, orang-orang miskin (dan agensi-agensinya) dapat
menggunakan sarana-sarana hukum untuk mengamankan hak-hak
mereka atas perumahan, pekerjaan, upah yang adil, kebebasan ber
kumpul, layanan kesehatan publik, pendidikan, tanpa diskriminasi atas
dasar etnik, warna kulit, agama, kelas, gender, perlakuan adil di depan
pengadilan, hak-hak politik, kebebasan berekspresi, kebebasan ber
agama, dan sebagainya. Nilainya terletak pada ketersediaan kerangka
hukum bagi strategi pengurangan kemiskinan. Sejumlah agensi pem
bangunan internasional telah melaksanakan pendekatan ini, di mana
kemiskinan dijelaskan dalam kerangka “kewajiban masyarakat” untuk me
respons hak-hak individu yang tidak bisa diabaikan.
Dengan demikian, secara mendasar kemiskinan sebagai tidak ter
penuhinya hak-hak asasi mengklaim bahwa orang-orang yang tidak
miskin memiliki kewajiban untuk memfasilitasi terpenuhinya hak-hak
asasi dan kebebasan fundamental kaum miskin. Beberapa ciri dari
pandangan tentang pentingnya pemenuhan hak-hak asasi kaum miskin
sebagai berikut: bekerja menuju hasil akhir dan tujuan proses; mengakui
bahwa hak-hak selalu mengimplikasikan kewajiban negara; mengakui
bahwa hak-hak hanya dapat diwujudkan dengan pemberdayaan; me
mandang karitas sebagai motivasi yang belum cukup untuk meme
nuhi kebutuhan-kebutuhan; mempertimbangkan sebab-sebab struktural
sekaligus manifestasi-manifestasi dan sebab-sebab langsung dari ke
miskinan; dan fokus pada konteks sosial, ekonomi, kultural, sipil dan
politik, dan berorientasi kebijakan (After Collins, Pearson & Delany,
2002).
72 Zakiyuddin Baidhawy
modern, seperti swalayan, mal, hipermarket, seringkali mematikan
usaha kelompok-kelompok pedagang kecil di pasar-pasar rakyat. Ini
karena kemunculan pasar-pasar modern itu sama sekali tidak memper
timbangkan jarak dan hak-hak rakyat untuk berusaha secara layak.
Bahkan cukup banyak contoh pasar-pasar tradisional dan rakyat digusur
dan digantikan oleh berdirinya pasar-pasar modern yang megah.
Para pedagang kaki lima sering menjadi objek penggusuran atas
nama ketertiban dan keindahan. Mereka yang tidak pernah menuntut
pemerintah untuk memberikan lapangan kerja yang nyaman, merasakan
penindasan dan hidup selalu dalam ketidakpastian. Para pedagang kaki
lima ini tumbuh di tempat-tempat tertentu yang sebenarnya tidak sesuai
dengan peruntukannya, namun “dilegitimasi” oleh aparat negara dengan
kompensasi tertentu. Pemerintah daerah pun mengambil manfaat dari
mereka dengan menarik pajak retibusi setiap hari. Namun pada saat
yang sama, mereka tidak memperoleh kepastian hukum dari aparat dan
negara. Jika penggusuran terjadi, mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
Jangankan ganti rugi, alternatif pun seringkali tidak ditawarkan kepada
mereka. Aset para pedagang kaki lima dan sektor informal ini tidak pernah
memperoleh jaminan hukum. Tempat mereka berdagang tidak pernah
dilegitimasi, sehingga mereka tidak memiliki agunan apa pun yang dapat
dijadikan sarana untuk mengakses sekadar kredit mikro sekalipun.
Karenanya wajar jika mereka tidak pernah beranjak dari kemiskinan
mereka, bukan mereka tidak punya pendidikan dan ketrampilan hidup,
namun lebih disebabkan tidak adanya jaminan dan perlindungan hukum
atas usaha mereka dan tiadanya bantuan modal untuk mengembangkan
kegiatan perekonomian. Mereka memang secara sistematis diperangkap
dalam jerat kemiskinan.
74 Zakiyuddin Baidhawy
memiliki pendapatan yang rendah. Juga penting dicatat bahwa banyak
definisi yang telah dijelaskan di muka secara konseptual menarik dan
menyediakan sudut pandang yang berguna untuk memahami dinamika
kemiskinan. Namun semua itu juga seringkali membuat sulit untuk meng
ukur yang aktual dalam satu cara, dan karenanya tidak dapat digunakan
untuk membuat hanya satu keputusan intervensi yang bermakna. Di
samping itu, bukanlah tugas suatu agensi untuk mengidentifikasi satu
bentuk kemiskinan sembari mengabaikan unsur-unsur lainnya. Misalnya,
program keuangan mikro dapat menumbuhkan pendapatan dan menye
diakan keuntungan melalui pelatihan, sumber daya, kepercayaan, dan
tuntutan pelibatan dalam kegiatan perekonomian. Oleh karena itu,
patut diakui bahwa tidak kesepakatan di sini, yang ada hanyalah banyak
definisi. Namun demikian, ada satu persetujuan luas bahwa memahami
kemiskinan hanya sekadar kurangnya pendapatan adalah definisi yang
menyederhanakan. Maka, kemiskinan harus dipandang sebagai feno
mena multidimensi, yang sebaiknya dipahami dalam pengertian hilang
nya kemampuan, yang meliputi bukan hanya kemampuan material (yang
biasanya diukur dengan pendapatan dan konsumsi), bahkan juga bentuk-
bentuk lain ketidakmampuan, seperti pengangguran, sakit, kurang pendi
dikan, kerentanan, ketidakberdayaan, dan eksklusi sosial.
76 Zakiyuddin Baidhawy
perlunya perluasan kategori mustadh`afin yang mencakup kelompok-
kelompok “korban baru”, yang belum dikenal dalam konsep-konsep yang
selama ini berkembang. Kedua, bagaimana proses redistribusi secara
sistemik dapat mengangkat derajat mereka yang kurang beruntung itu
dari ketidakberdayaan, ketidakpastian dan kelangkaan.
Mempertimbangkan tuntutan pertama, pengembangan kategori ke
lompok-kelompok dhuafa dan mustadh`afin (ashnaf) tidak hanya meng
arah pada kelompok-kelompok yang selama ini disebut sebagai penerima
zakat sebagaimana dipahami selama ini: faqir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para muallaf, untuk memerdekakan budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang
sedang dalam perjalanan (QS. al-Tawbah 9:60). Di samping kelompok-
kelompok di atas, ada tiga kelompok penting lainnya, seperti orang yatim,
peminta-minta (sa’il), dan mahrum. Berikut adalah kelompok-kelompok
mustadh`afin kontemporer:
1. Faqir. Definisi faqir sering tumpang tindih dengan miskin. Untuk
membedakan faqir dari miskin, setidaknya ada dua ciri utama mereka
yang masuk dalam kategori faqir ini: orang yang tidak memiliki apa
pun, dan orang-orang yang memiliki cacat jasmani (al-Mawardi, tt.:
vol. 2, 374). Dua ciri ini menandakan bahwa faqir adalah orang yang
cacat jasmani (karena bawaan atau aksiden), atau cacat ketrampilan
dan dengannya ia tidak memiliki penghasilan, tidak produktif atau
rendah produktivitasnya (unproductive/low productivity).
2. Miskin. Orang miskin adalah mereka yang sehat jasmaninya dan
memiliki harta namun tidak mencukupi (al-Mawardi, tt.: vol. 2,
374-376). Ciri lain orang miskin adalah lemah dalam hal pekerjaan
(al-Tabari, 1992: vol. 6, 396). Dua ciri ini menunjukkan bahwa
apa yang disebut miskin adalah orang-orang yang secara jasmani
sehat sehingga memungkinkan untuk bekerja secara normal namun
pendapatan mereka jauh dari mencukupi kebutuhan yang layak.
Kategori ini dapat diperluas mencakup mereka yang rendah pen
dapatannya (low income), dan akibatnya rendah permintaannya akan
kebutuhan-kebutuhan (low demand), dan rendah investasinya (low
investment), serta tidak memiliki pasar (marketless).
3. Amil. Amil adalah mereka yang memiliki tanggung jawab khusus
mengurus zakat, sejak mengumpulkan sampai mendistribusikan.
78 Zakiyuddin Baidhawy
sekarang. Kebutuhan zaman dan tingkat kompleksitas perbudakan
kontemporer, oleh karena itu definisi riqab perlu diperluas meliputi
mereka yang menjadi korban trafficking, yakni jual beli anak-anak maupun
kaum perempuan, terutama untuk pekerja seks komersial dan
kejahatan lainnya.
6. Gharim. Gharim adalah orang yang terjerat oleh hutang. Hutang
bisa untuk kepentingan konsumtif maupun produktif. Hutang di
mana jumlahnya sudah terlampau berat dan si gharim tidak me
miliki kekayaan apa pun untuk menutupi hutangnya karena pailit,
maka hutang semacam ini dapat dibayar dari pembiayaan zakat
(zakat fund) tanpa memandang apakah hutang tersebut berada di
bawah kontrak untuk kepentingan pribadi atau untuk kepentingan
umum. Beberapa contoh hutang dalam kontrak pertama adalah
pinjaman untuk orang sakit, menikah, kerugian dalam bisnis atau
kepemilikan, dan sebagainya. Contoh-contoh untuk hutang dalam
kontrak jenis kedua bisa berupa kasus-kasus di mana jaminan
pembayaran atas nama orang lain, seperti hutang karena kewa
jiban membayar uang tebusan atau diyat untuk pembunuhan tak
disengaja, ganti rugi, dan orang tersebut tidak memiliki cukup ke
kayaan untuk memenuhi tanggung jawabnya. Dalam sejarah kita
mengenal bahwa orang-orang Yahudi, Roma, dan Arab pra-Islam
biasa mengijinkan perbudakan atas mereka yang tidak mampu
membayar hutang. Islam tegas melarang praktik demikian, dan
bahkan selama perbudakan mereka menerima zakat untuk menutupi
hutangnya. Inilah keunikan zakat dan kita sering tidak menyadari
bahwa sistem jaminan sosial yang berkembang saat ini sesung
guhnya paralel dengan pembagian hak bagi mereka yang berhutang
dalam zakat.
7. Sabilillah. Pada umumnya Sabilillah dipahami sebagai orang-orang
yang berperang di jalan Allah dan tidak memperoleh hak atau bagian
dalam dewan tentara, atau orang-orang yang mengajarkan al-
Qur’an dan al-Sunnah (al-Zuhayli, 1991: vol. 9, 261; 273). Mereka
ini berkorban harta dan jiwa dalam perang itu, karenanya wajar
jika mereka memperoleh bagian zakat. Dalam konteks sekarang.
Sabilillah bisa diperluas maknanya mencakup mereka yang berjuang
secara sukarela (voluntarisme) untuk kebaikan kemanusiaan dan lingkungan.
80 Zakiyuddin Baidhawy
ketidaksiapan secara mental dan ekonomi, mereka sengaja dibuang
atau dititipkan ke individu maupun lembaga sosial tertentu. Semen
tara pada kasus kedua, anak-anak lahir dari keinginan orang tua,
namun karena satu atau lain hal, mereka tidak memperoleh asuhan,
belas kasih dan sayang dari orang tuanya.
III
VISI BARU KEBERPIHAKAN
Populasi kaum dhuafa dan mustadh`afin dalam satu dekade terakhir akan
terus tumbuh dan meningkat lebih-lebih setelah periode krisis ekonomi
yang meluas. Reformasi tanpa arah yang jelas menambah ruwet penye
lenggaraan negara untuk menyejahterakan warganya. Keadaan semacam
ini membuat populasi kaum tertindas dan termiskinkan terus meluas.
Orang-orang miskin di perkotaan maupun pedesaan semakin tertekan
dan tidak punya cukup kemampuan untuk melompati gerbang harapan
(treshold of hope) yang membawa mereka lepas dari jurang kemelaratan
dan penindasan struktural. Dominasi dan hegemoni sistem ekonomi-
politik neo-kapitalis sama sekali tidak memberi kesempatan bagi mereka
untuk menentang ketidakadilan sekaligus melakukan perubahan. Nasib
mereka makin terjepit. Kesengsaraan dan deprivasi sistemik semakin
terasa setidaknya dalam beberapa hal berikut ini.
Pertama, Orang-orang miskin dibuat mati menyedihkan karena
kelaparan dan gizi buruk justru terjadi ”di lumbung padi” sendiri. Ada
”busung lapar di pusat penghasil padi terbesar” di wilayah Indonesia
bagian tengah. Pada saat yang sama, penyakit ”lapar korupsi” juga terus
menjangkiti para pejabat di Nusa Tenggara Timur, di mana angka penderita
gizi buruk dan busung lapar sangat tinggi. Kematian satu jiwa adalah
tragedi. Sayangnya, di negeri ini kematian banyak jiwa lebih dipandang
sebagai angka statistik, meminjam Stalin. Akankah kemiskinan dan
kematian akibat kelangkaan kebutuhan dasar dan pelayanan kesehatan
yang mendera sebagian saudara kita, dibiarkan seperti adanya? Tidak ada
82 Zakiyuddin Baidhawy
jaminan dari negara atas pemenuhan kebutuhan hidup minimum bagi
orang miskin. Mereka yang hidup di bawah garis subsistens ini ”harus”
terus sehat. Jangan sakit, karena obat mahal, jasa dokter setinggi langit.
Kartu jaminan kesehatan bagi kaum miskin bukan jaminan atas pelayanan
medis yang memadai. Boleh jadi, justru jadi pangkal diskriminasi.
Kedua, situasi deprivasi orang-orang miskin bukan semata pada
urusan perut dan kesehatan. Untuk jadi orang melek huruf sekalipun
mereka sulit setengah hidup. Kasus-kasus siswa-siswi gantung dan bunuh
diri karena malu menunggak SPP, tidak mampu bayar iuran ketram
pilan sekolah, belakangan makin kerap terjadi. Negara seolah lari dari
tanggung jawab ”mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai bagian
dari tujuan luhur negara ini diproklamirkan. Banyak orang miskin tidak
sanggup menyekolahkan anak-anaknya secara layak. Angka putus sekolah
dari tahun ke tahun terus meningkat. Dalam pada itu, sekolah-sekolah
unggulan, terpadu, internasional, berbiaya mahal terus tumbuh bagai
jamur. Sebuah paradoks yang mencolok mata. Pendidikan inklusi berbasis
pada filosofi education for all. Sayangnya, pendidikan ini tidak termasuk
terbuka bagi mereka papa. Pendidikan inklusi bukan untuk orang miskin
yang berat bayar uang gedung dan SPP. Alhasil, sudah miskin bodoh
lagi. Dijamin indeks pembangunan sumberdaya insani negeri ini makin
karut marut.
Ketiga, orang-orang miskin dibuat nelangsa oleh keadaan dan struktur
karena mereka tidak punya pekerjaan, kehilangan pekerjaan, atau menjadi
setengah pengangguran. Padahal pekerjaan merupakan sarana untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup setiap warga. Kewajiban negara
menyediakan kesempatan yang sama bagi setiap orang dan membuka
lapangan kerja bagi yang membutuhkan. Namun, karena pertumbuhan
ekonomi kurang bagus, bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan dalam
prosentasi cukup drastis (tahun 2005 dan 2008), jumlah pekerjaan men
jadi semakin berkurang. PHK tak terelakkan. Sementara jumlah pen
duduk usia produktif mesti bertambah. Ratusan ribu sarjana baru lahir
tiap tahunnya. Pengangguran intelektual otomatis meningkat. Jumlah
pendaftar pegawai negeri membludak. Bursa kerja dikerumuni insan-
insan pencari lowongan kerja.
Berbekal ijazah sarjana jauh dari cukup untuk memperoleh pe
kerjaan bagus dengan gaji bagus pula. Ijazah hanya syarat administratif.
84 Zakiyuddin Baidhawy
kita dapat berbuat demi hidup dan kehidupan kaum miskin dan ter
miskinkan secara lebih layak dan manusiawi.
86 Zakiyuddin Baidhawy
Trio lembaga-lembaga Bretton Woods — World Bank, IMF,
WTO — adalah pemain utama dalam menuliskan aturan-aturan eko
nomi global yang sesuai dengan konsentrasi kekayaan dan kekuasaan.
Ketiganya mengklaim berdedikasi untuk menghilangkan sebab-sebab
kemiskinan. Namun, coba perhatikan kebijakan-kebijakan dan aksi-aksi
mereka yang keblinger, memandang suatu negara ideal adalah negara
yang aset-aset dan sumber dayanya dimiliki oleh korporasi asing yang
memproduksi untuk ekspor dengan tujuan untuk memperoleh foreign
exchange guna membayar hutang-hutang internasional. Negara ideal
menurut mereka adalah yang tidak memiliki jasa layanan publik. Energi
listrik, air, pendidikan, pelayanan kesehatan, jaminan sosial dan jasa
keuangan semuanya dimiliki dan dijalankan oleh korporasi asing untuk
mengeruk profit atas dasar bayaran berbasis layanan. Makanan dan barang-
barang lain untuk konsumsi domestik semuanya diimpor dari luar dan
membayarnya dengan uang yang dipinjam dari bank-bank asing.
Apa yang ada dalam otak trio Bretton Woods kemaruk ini bukan
tentang pemenuhan kebutuhan-kebutuhan penduduk, apalagi orang-
orang miskin. Otak mereka hanya bicara mengenai konsentrasi ke
kuasaan secara leluasa di tangan-tangan lembaga-lembaga keuangan
global yang mengendalikan korporasi-korporasi yang terus memonopoli
sumber daya dunia, pasar, pekerjaan, informasi, uang, dan politik untuk
tujuan-tujuan mereka sendiri.
Sistem semacam ini tak dapat dimungkiri telah merampas kekayaan
dan kekuasaan dari mayoritas ke minoritas; menciptakan konsentrasi
kekayaan dan kekuasaan yang terus meningkat, sehingga mendorong gaya
hidup extravagan yang mubadzir, boros dan sia-sia pada sebagian kecil
orang, dan pada saat yang sama melahirkan deprivasi dan perbudakan
bagi bilyunan orang; dan mempercepat kehancuran kekayaan alam yang
telah merampas kehidupan bilyunan penduduk bumi. Kecenderungan
semacam ini akan menjegal nasib umat manusia jika dibiarkan terus ber
lanjut.
88 Zakiyuddin Baidhawy
miskin dari para begundal kapitalis-neoliberalis dan kaki tangannya yang
“jahil murakab” (triple idiots).
90 Zakiyuddin Baidhawy
Sustainabilitas lembaga ini di samping ditopang dengan pemanfaatan
donasi filantropi, juga keuntungan dari layanan yang diberikan. Marjin
keuntungan yang diperoleh disisihkan untuk membantu mereka yang
kurang beruntung. Dengan cara ini, lembaga-lembaga amal usaha dan
layanan sosial tetap bertahan hidup dengan tetap teguh memegang visi
pemihakan, pembelaan, dan pemberdayaan kepada kaum miskin. Dengan
kata lain, al-Takathur hanya dapat terselamatkan bila ia melandaskan
diri pada solidaritas dan keberpihakan al-Maun; keuntungan mengabdi
kepada kebajikan.
92 Zakiyuddin Baidhawy
D. PENDEKATAN BERBASIS MAQASID AL-SYARIAH
Keberpihakan Islam terhadap kaum dhuafa dan mustadh`afin dalam
kerangka teologi al-Maun dan visi transformatif al-Takathur secara lebih
rinci dapat diterjemahkan dengan memanfaatkan enam pendekatan
tujuan-tujuan praksis (maqasid al-syariah). Dengan mengoperasionalkan
basis teologis dan visi di atas, Islam memiliki pandangan yang distingtif
mengenai bagaimana kemiskinan mesti dipahami secara multidimen
sional serta dijawab secara praksis. Ada enam aktivitas rasional bertujuan
yang utama untuk melihat secara cermat kebutuhan-kebutuhan manusia.
Enam hal tersebut mencakup: kebutuhan agama, kebutuhan hidup/
fisik, kebutuhan akal, kebutuhan keluarga, kebutuhan harta/kekayaan,
dan kebutuhan lingkungan. Pemenuhan atas enam kebutuhan tersebut
secara layak dipandang sebagai upaya mewujudkan tujuan-tujuan Islam
dalam kehidupan.
Jelas semua ini penting dalam kerangka bagaimana kita mema
hami kemiskinan, karena ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya merupakan pertimbangan mendasar untuk
menilai apakah ia termasuk miskin atau tidak. Oleh karena itu, kebutuhan-
kebutuhan itu juga harus memasukkan kemampuan untuk melaksana
kan lima rukun Islam dan panggilan menuju jalan Tuhan, yakni melin
dungi kehidupan, mengamankan makanan, pakaian, dan perumahan,
pendidikan, hak untuk bekerja demi kehidupan, membangun keluarga
dan sebagainya. Semua kebutuhan ini merupakan dasar bagi kehidupan
individu dan sosial yang baik, dan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga ting
katan atau hirarkhi: kebutuhan primer (daruriyyat), kebutuhan sekunder
(hajiyyat), dan kebutuhan tersier (tahsiniyyat).
Yang dimaksud dalam konsep daruriyyat adalah “kebutuhan dasar”
yang sangat mendesak untuk dipenuhi oleh manusia, dan apabila ke
butuhan ini tidak terpenuhi maka dapat mengancam kehidupannya
(survival); kekurangan atas pemenuhan kebutuhan dasar ini menimbulkan
kelaparan dan penyakit yang membahayakan jiwa manusia. Daruriyyat
sering digunakan untuk merujuk pada semua barang dan jasa yang me
menuhi suatu kebutuhan primer (primary goods) atau mengurangi ke
sukaran dan dengan demikian menjadikan suatu perbedaan nyata dalam
kesejahteraan manusia. Kebutuhan primer itu meliputi pangan, sandang
94 Zakiyuddin Baidhawy
aktivitas-aktivitas bisa bergerak dari satu kategori ke kategori lainnya.
Seperti transportasi publik bagi komunitas besar dan urban adalah ke
butuhan sekunder, dan menjadi tersier ketika diperuntukkan komunitas
kecil di pedesaan; perlindungan kesehatan dan promosi pendidikan fisik
untuk memperkuat jasmani. Prinsip yang harus dijaga dalam kategori ini
adalah sikap tengah-tengah (tawassut) dan kesederhanaan (i’tidal), bukan
berlebihan maupun serba kekurangan. Dalam kategori ini biasanya ber
laku prinsip fiqh Islam “apa yang menyebabkan suatu kewajiban menjadi
tidak sempurna karenanya, maka ia juga menjadi wajib”.
Tahsiniyyat adalah kesenangan, kenikmatan, dan perhiasan di dunia
yang diperbolehkan. Tahsiniyyat adalah istilah yang digunakan untuk
semua barang dan jasa yang dikehendaki untuk “memperindah” atau
“menghiasi” kebutuhan dan kelengkapan pada umumnya dan bersifat
komplementer, dengan menghindarkan diri dari keadaan yang dipan
dang rendah oleh akal sehat. Jenis-jenis barang kesenangan ini biasa di
sebut sebagai tertiary goods. Misalnya, mempergunakan perhiasan, me
makai pakaian terbagus dan mengemudikan kendaraan dengan model
terbaru, kesantuan dalam perilaku dan perkataan, etiket makan, minum,
berpakaian, kebersihan menghindarkan, hobi, rekreasi dan berbagai akti
vitas untuk relaksasi jasmani dan pikiran, dan sebagainya. Semua itu di
perkenankan sepanjang tidak berlebih-lebihan dan bakhil atau kikir,
namun mengambil jalan tengah (qawam) (Q.S. Al-Furqan 25:67).
Enam kebutuhan mendasar seperti disebut di muka adalah se
suatu yang niscaya untuk dipenuhi, tidak ada prioritas satu di atas yang
lainnya, dan jika satu kebutuhan tidak terpenuhi maka seseorang masih
dikatakan miskin. Memang tidak ada satu pun cara yang paling tepat
untuk mendefinisikan kemiskinan. Namun demikian, perspektif Islam
berada dalam suatu konsensus luas tentang kemiskinan sebagai masalah
multidimensional, yang bersandar pada kebutuhan-kebutuhan manusia
yang mencakup enam hal di atas dan tidak dapat direduksi sedemikian
rupa ke dalam masalah pendapatan dan keuangan semata. Sejauh kita
memerhatikan ukuran-ukuran yang sifatnya operasional, empat macam
kebutuhan terakhir menurut sudut pandang Islam sudah serupa dengan
indikator-indikator dalam Indeks Pembangunan Sumber daya Manusia
yang menekankan pada pentingnya pendapatan, pendidikan, dan kese
hatan. Faktor kebutuhan agama dan kebutuhan kelestarian lingkungan
96 Zakiyuddin Baidhawy
merupakan suatu indikator kesejahteraan, namun ia jauh dari ukuran
yang mendekati sempurna dalam melihat dan memihak kemiskinan.
Karena itu, kita membutuhkan suatu informasi dan cara baru untuk
memahami kemiskinan. Definisi kemiskinan sebagaimana telah dikupas
pada bagian terdahulu membuka peluang dirumuskannya pendekatan
Islam berbasis enam kebutuhan dasar (maqashid al-syariah) beserta indi
kator-indikator operasionalnya untuk membantu memudahkan gam
baran tentang aspek-aspek penting dalam kehidupan ini. Dengannya kita
menunjukkan bahwa Islam memberikan pemahaman, sikap, dan tindakan
yang jelas memihak kepada kaum miskin.
98 Zakiyuddin Baidhawy
termasuk ritual-ritual keagamaan atau tindakan-tindakan pengabdian
mendasar dan seluruh pengetahuan sains dan seni lain yang berguna
dalam kehidupan ini.
Pengetahuan dasar dapat dilihat dengan ukuran-ukuran sederha
na berkaitan dengan perolehan pendidikan, seperti tingkat melek huruf
orang dewasa, tingkat melek huruf perempuan, partisipasi sekolah dan
akses kepada pendidikan pra sekolah, pendaftaran sekolah dasar, me
nengah dan tinggi.
Jika kita menerima bahwa pengetahuan dasar itu adalah ketrampilan
yang dibutuhkan untuk bertahan hidup, maka kita dapat mengatakan
bahwa kemiskinan terjadi pada mereka yang buta huruf, dan gagal men
capai setidaknya pendidikan dasar secara penuh.
B. MODEL KEPEMIMPINAN
Manifesto Islam profetik-transformatif di muka adalah upaya me
retas jalan transformasi dalam semua lini dan lapisan sosial. Sudah
Ruang
Aras Misi Peran
Aktualisasi
Politik Ruang publik, • Mendemokratiskan • Deliberasi kolektif:
opini publik negara kontrol dan check
• Moderasi: atas institusi-
menegakkan institusi publik dan
keanekaragaman negara/penguasa
dan keadaban • Kontrak:
• Menjaga rule of law memengaruhi dan
menentukan arah
kebijakan negara
Ekonomi Kemandirian, • Membangun • Filantropi sosial
Keadilan dan keswadayaan
kesejahteraan • Menegakkan • Artikulator
ekonomi keadilan dan dan advokator
memihak kepentingan kaum
mustadh’afin mustadh`afin
• Mewujudkan • Membangun
kebahagiaan/ bisnis yang sehat
kesejahteraan dengan tanggung
. Keluarga jawab sosial dan
. Komunitas lingkungan
. Masyarakat
157
Della Fave, L Richard. “The Culture of Poverty Revisited: A Strategy
for Research.” Social Problems 21 (1974).:609-621.
Dierks, Rosa Gomez. Introduction to Globalization: Political and
Economic Perspectives for the New Century. Chicago: Burnham
Inc., Publishers, 2001.
Emma Aisbett. “Globalization, Poverty and Inequality: are the criticisms
vague, vested, or valid?” Prepared for the NBER Pre-conference
on Globalization, Poverty and Inequality October 24-25, 2003.
Engineer, Asghar Ali. Hak-hak Perempuan dalam Islam. Terj. Farid Wajidi
dan Cici Farkha Assegaf. Yogyakarta: LSSPA, 1994.
Esack, Farid. Qur’an, Liberalism, and Pluralism: An Islamic Perspective of
Interreligious Solidarity against Oppression. Oxford: Oneworld, 1997.
Fakih, Mansour.”NGOs at the Crossroad”, Smeru (2003): 1-15; http://
www.smeru.or.id/newslet/2003/ed08/200308art1.htm
Friedman, John. “Rethinking poverty: empowerment and citizen rights.”
International Social Science Journal 148 (1996):161-172.
Freund, Bill. The making of Contemporary Africa. Boulder: Lynne Rienner,
1998.
Fukuyama, Francis. The End of History and the Last Man. New York:
Penguin Books, 1992.
Gendzier, Irene. Managing Political Change: Social Scientists and the Third
World Boulder. Colorado: Westview Press, 1985.
Gie, Kwik Kian,” Terjerat Kekuatan Barat”, Jawa Pos, 16 Agt 2005.
Hayter, Teresa. Aid as Imperialism. Middlesex, England: Pengium,
1971Geertz, Clifford. “Religion: Anthropological Study”, in David
L Sills (ed) International Encyclopedia of the Social Sciences. London:
Collier-Macmillan Publishers, 1965.
Hulme, D. and McKay, A., ‘Identifying and measuring chronic poverty: Beyond
monetary measures’, Paper presented at an International conference
on ‘The many dimensions of poverty’ held in Brazil August 29-31,
2005, Brasilia: International Poverty Centre.
Imade, Lucky O. “The Two Faces of Globalization: Impoverishment
or Prosperity?”, Shaw University International Studies Center, 2003.
Inkeles, Charles, Smith. Becoming Modern. Massachussetts: Harvard
University Press, 1974.
163
UNESCO, Oslo, 2-5 September 2004; dan partisipan dan presenter
pada International Interfaith Peace Forum and Asian Muslim Action
Network (AMAN) Assembly, Bangkok, 9-14 Desember 2003.
Aktif menulis di berbagai media dan jurnal ilmiah. Karya-karya
yang sudah diterbitkan antara lain: Etika dalam Islam (1996); Wacana
Teologi Feminis (1997); Menapak Jalan Revolusi (2000); Pendekatan Kajian
Islam dalam Studi Agama (2001); Dialog Global dan Masa Depan Agama (2001);
dan Agama dan Pluralitas Budaya Lokal (2002); dan Ambivalensi Agama,
Konflik dan Nirkekerasan (2002), Reinvensi Islam Multikultural (2005),
Menyulam Ragam Merajut Harmoni: Kisah-kisah tentang Toleransi untuk Siswa
dan Pendidik (2005), Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (2005),
dan Kredo Kebebasan Beragama (2006); Islam Melawan Kapitalisme (2007);
Etika Bisnis Syariah I (2007); Etika Bisnis Syariah II (2008); Al-Islam dan
Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM: Buku Panduan untuk Guru (2008);
Al-Islam Berwawasan HAM: Buku Ajar Pendidikan Islam untuk SMA, MA,
SMK (2008); Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM (2008); dan Rekonstruksi
Keadilan (2008).
.