Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH KEPERAWATAN MATERNITAS

Penyakit Kehamilan : Hiperemesis Gravidarum Dan Diabetes


Melitus Gestasional

Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Maternitas

Kelompok

1. Dede Rina Susilawati

2. Ridha Khoerul Ummah

3. Tety Rohanah

4. Virky Ardia Supratman

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KOTA SUKABUMI

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kehamilan merupakan penyatuan dari spermatozoa dan ovum dan dilanjutkan dengan
nidasi. Bila dihitung dari saat fertilisasi hingga lahirnya bayi, kehamilan normal akan
berlangsung dalam waktu 40 minggu atau 9 bulan menurut kalender internasional. Maka,
dapat disimpulkan bahwa kehamilan merupakan bertemunya sel telur dan sperma di dalam
atau diluar Rahim dan berakhir dengan keluarnya bayi dan plasenta melalui jalan lahir
(Yulaikhah, 2019)

Kehamilan adalah salah satu kondisi yang digunakan untuk menggambarkan periode
saat janin berkembang dalam rahim. Biasanya, proses kehamilan berlangsung selama 40
minggu atau lebih dari sembilan bulan. Waktu ini dihitung dari periode menstruasi yang
terakhir. (dr. Fadhii, 2021)

Kehamilan adalah istilah yang biasa digunakan untuk perkembangan janin di dalam
rahim perempuan dan merujuk pada masa tumbuh kembang janin dalam kandungan pada
manusia. Biasanya, calon ibu mengandung janin tunggal di dalam rahimnya dan melahirkan
satu keturunan, tetapi ada kemungkinan pula bahwa seorang calon ibu mengandung dan
melahirkan dua atau lebih keturunan. Kondisi ini disebut sebagai kehamilan kembar.

Janin bertumbuh di dalam rahim ibu dan dilahirkan sekitar 38 pekan setelah
pembuahan. Perkiraan tanggal kelahiran janin ditentukan dengan menghitung empat puluh
pekan setelah periode menstruasi yang terakhir (pada perempuan yang memiliki jarak siklus
menstruasi sepanjang empat pekan).

Setelah pembuahan, calon ibu mengandung embrio yang merupakan bentuk awal dari
keturunan yang sedang berkembang selama sekitar delapan pekan. Setelah masa tersebut,
embrio kemudian disebut “janin” hingga waktu kelahiran.

Periode kehamilan dibagi atas tiga trimester. Trimester yang pertama, yakni tiga bulan
pertama kehamilan, biasanya merupakan masa yang paling berisiko karena banyak calon ibu
yang mengalami keguguran dalam periode ini. Trimester kedua, yaitu sejak bulan keempat
hingga keenam masa kehamilan. Trimester ini merupakan waktu untuk janin yang sedang
bertumbuh diperiksa oleh ahli kesehatan yang berkualitas dengan cara mengamati gejala atau
dengan menggunakan peralatan medis yang memungkinkan ahli kesehatan tersebut untuk
melihat ke dalam rahim. Trimester ketiga, yaitu masa yang terhitung sejak awal bulan ketujuh
hingga kelahiran anak, ditandai dengan perkembangan lebih jauh dari janin serta
penyimpananlemak janin untuk mempersiapkan kelahiran.

Sejatinya semua orang menginginkan kehamilan yang normal dan sesuai dengan kodrat
yang sudah diberikan oleh yang maha kuasa, namun beberapa kehamilan mengalami
kesulitan yang mengakibatkan keadaan kesehatan yang menurun baik untuk sang ibu maupun
sang janin. Keadaan ini sering disebut sebagai gangguan kehamilan

Gangguan kehamilan ini bisa saja terjadi di awal kehamilan, pertengahan maupun di
akhir kehamilan. Berikut adalah gangguan kehamilan yang biasa ditemukan pada ibu hamil :

1. Hyperemesis gravidarum

2. Diabetes melitus gestasional

3. Anemia

4. Preekslampsia

5. Placenta previa

6. Dan lain-lain.

Gejala yang timbul pun beragam, mulai dari yang ringan sampai yang berat. Gejala
paling ringan adalah mual dan muntah. Dan gejala ini sering ditemukan pada ibu hamil
dengan gangguan kehamilan hyperemesis gravidarum dan diabetes melitus gestasional.

Maka dari itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai gangguan kehamilan
hyperemesis gravidarum dan diabetes melitus gestasional. Selain itu, dalam makalah ini juga
akan dibahas mengenai asuhan keperawatan pada ibu hamil dengan hyperemesis gravidarum
dan diabetes melitus gestasional. Jadi, makalah ini berjudul “Penyakit kehamilan :
Hiperemesis gravidarum dan diabetes melitus gestasional”.

B. TUJUAN

Tujuan penulisan makalah dengan judul “Penyakit kehamilan : Hiperemesis


gravidarum dan diabetes melitus gestasional” adalah :
1. Memahami pengertian dari Hiperemesis gravidarum dan diabetes metilus
gestasional.
2. Memahami etiologi dari Hiperemesis gravidarum dan diabetes metilus
gestasional.
3. Memahami patofisiologi dari Hiperemesis gravidarum dan diabetes metilus
gestasional.
4. Memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan Hiperemesis gravidarum
dan diabetes metilus gestasional.
BAB II

PENYAKIT KEHAMILAN : HIPEREMESIS GRAVIDARUM DAN DIABETES


MELITUS GESTATIONAL

A. HIPEREMESIS
a. PENGERTIAN

Hiperemesis gravidarum adalah mual muntah yang berlebihan pada wanita hamil
sampai mengganggu aktifitas sehari-hari karena keadaan umum pasien yang buruk akibat
dehidrasi.

Mual dan muntah adalah gejala yang umum dan wajar terjadi pada usia kehamilan
trimester I. Mual biasanya terjadi pada pagi hari, akan tetapi dapat juga timbul setiap saat dan
pada malam hari. Gejala-gejala ini biasanya terjadi 6 minggu setelah hari pertama haid
terakhir dan berlangsung selama kurang lebih 10 minggu.

b. ETIOLOGI

Penyebab hiperemesis gravidarum belum diketahui secara pasti. Berdasarkan hasil


penelitian yang dilakukan pada 1.301 kasus hiperemesis gravidarum di Canada diketahui
beberapa hal yang menjadi faktor risiko terjadinya hiperemesis gravidarum diantaranya
komplikasi dari kelainan hipertiroid, gangguan psikiatri, kelainan gastrointestinal, dan
diabetes pregestasional. Tidak ada bukti bahwa penyakit ini disebabkan oleh faktor toksik,
juga tidak ditemukan kelainan biokimia.

Beberapa faktor predisposisi dan faktor lain yang telah ditemukan adalah sebagai berikut :

1. Primigravida, mola hidatidosa, dan kehamilan ganda. Pada mola hidatidosa dan
kehamilan ganda, faktor hormon memegang peranan dimana hormon khorionik
gonadotropin dibentuk berlebihan.
2. Masuknya vili khorialis dalam sirkulasi maternal dan perubahan metabolik akibat
hamil serta resistensi yang menurun dari pihak ibu terhadap perubahan tersebut.
3. Alergi, sebagai salah satu respons dari jaringan ibu terhadap anak.
4. Faktor psikologis Faktor psikologis seperti depresi, gangguan psikiatri, rumah tangga
yang retak, kehilangan pekerjaan, takut terhadap kehamilan dan persalinan, takut
terhadap tanggung jawab sebagai ibu, tidak siap untuk menerima kehamilan
memegang peranan yang cukup penting dalam menimbulkan hiperemesis gravidarum.

Menurut Goodwin, dkk. (1994) dan Van de Ven (1997), hiperemesis nampaknya terkait
dengan tingginya atau peningkatan bertahap kadar hormon korionik gonadotropin, estrogen
atau kadar keduanya di dalam serum. Selain itu, pada beberapa kasus yang berat mungkin
terkait dengan faktor psikologis. Namun adanya hubungan dengan serum positif terhadap
Helicobacter pylori sebagai penyebab ulkus peptikum tidak dapat dibuktikan oleh beberapa
peneliti.

c. PATOFISIOLOGI

Muntah adalah suatu cara dimana saluran cerna bagian atas membuang isinya bila
terjadi iritasi, rangsangan atau tegangan yang berlebihan pada usus. Muntah merupakan
refleks terintegrasi yang kompleks terdiri atas tiga komponen utama yaitu detektor muntah,
mekanisme integratif dan efektor yang bersifat otonom somatik. Rangsangan pada saluran
cerna dihantarkan melalui saraf vagus dan aferen simpatis menuju pusat muntah. Pusat
muntah juga menerima rangsangan dari pusat-pusat yang lebih tinggi pada sereberal, dari
chemoreceptor trigger zone (CTZ) pada area postrema dan dari aparatus vestibular via
serebelum. Beberapa signal perifer mem-bypass trigger zone mencapai pusat muntah melalui
nukleus traktus solitarius. Pusat muntah sendiri berada pada dorsolateral daerah formasi
retikularis dari medula oblongata. Pusat muntah ini berdekatan dengan pusat pernapasan dan
pusat vasomotor. Rangsang aferen dari pusat muntah dihantarkan melalui saraf kranial V,
VII, X, XII ke saluran cerna bagian atas dan melalui saraf spinal ke diapragma, otot iga dan
otot abdomen.

Patofisiologi dasar hiperemesis gravidarum hingga saat ini masih kontroversial.


Hiperemesis gravidarum dapat menyebabkan cadangan karbohidrat dan lemak habis terpakai
untuk keperluan energi. Karena oksidasi lemak yang tidak sempurna, maka terjadilah ketosis
dengan tertimbunya asam aseton asetik, asam hidroksi butirik, dan aseton dalam darah.
Kekurangan cairan yang diminum dan kehilangan cairan akibat muntah akan menyababkan
dehidrasi, sehingga cairan ekstra vaskuler dan plasma akan berkurang. Natrium dan khlorida
darah turun, demikian juga dengan klorida urine.

Selain itu dehidrasi menyebabkan hemokonsentrasi, sehigga aliran darah ke jaringan


berkurang. Hal ini menyebabkan zat makanan dan oksigen ke jaringan berkurang dan
tertimbunya zat metabolik dan toksik. Kekurangan kalium sebagai akibat dari muntah dan
bertambahnya ekskresi lewat ginjal, meningkatkan frekuensi muntah yang lebih banyak,
merusak hati, sehigga memperberat keadaan penderita.

d. MANIFESTASI KLINIS

Batasan seberapa banyak terjadinya mual muntah yang disebut hiperemesis


gravidarum belum ada kesepakatannya. Akan tetapi jika keluhan mual muntah tersebut
sampai mempengaruhi keadaan umum ibu dan sampai mengganggu aktivitas sehari-hari
sudah dapat dianggap sebagai hiperemesis gravidarum. Hiperemesis gravidarum, menurut
berat ringannya gejala dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu:

1. Tingkat I. Muntah terus menerus yang mempengaruhi keadaan umum penderita, ibu
merasa lemah, nafsu makan tidak ada, berat badan menurun dan merasa nyeri pada
epigastrium. Nadi meningkat sekitar 100 per menit, tekanan darah sistolik menurun,
turgor kulit menurun, lidah mengering dan mata cekung.
2. Tingkat II. Penderita tampak lebih lemas dan apatis, turgor kulit lebih menurun, lidah
mengering dan nampak kotor, nadi kecil dan cepat, suhu kadang-kadang naik dan
mata sedikit ikterus. Berat badan turun dan mata menjadi cekung, tensi turun,
hemokonsentrasi, oliguria dan konstipasi. Aseton dapat tercium dalam bau
pernapasan, karena mempunyai aroma yang khas dan dapat pula ditemukan dalam
kencing.
3. Tingkat III. Keadaan umum lebih buruk, muntah berhenti, kesadaran menurun dari
somnolen sampai koma, nadi kecil dan cepat, suhu meningkat dan tensi menurun.
Komplikasi fatal terjadi pada susunan saraf yang dikenal sebagai Encephalopathy
Wernicke dengan gejala nistagmus, diplopia, dan perubahan mental. Keadaan ini
terjadi akibat defisiensi zat makanan, termasuk vitamin B kompleks. Timbulnya
ikterus menunjukan adanya gangguan hati.

e. DIAGNOSIS
Diagnosis hiperemesis gravidarum ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
serta pemeriksaan penunjang.

a) Anamnesis Dari anamnesis didapatkan amenorea, tanda kehamilan muda, mual, dan
muntah. Kemudian diperdalam lagi apakah mual dan muntah terjadi terus menerus,
dirangsang oleh jenis makanan tertentu, dan mengganggu aktivitas pasien sehari- hari.
Selain itu dari anamnesis juga dapat diperoleh informasi mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan terjadinya hiperemesis gravidarum seperti stres, lingkungan
sosial pasien, asupan nutrisi dan riwayat penyakit sebelumnya (hipertiroid, gastritis,
penyakit hati, diabetes mellitus, dan tumor serebri).
b) Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik perhatikan keadaan umum pasien, tanda-
tanda vital, tanda dehidrasi, dan besarnya kehamilan. Selain itu perlu juga dilakukan
pemeriksaan tiroid dan abdominal untuk menyingkirkan diagnosis banding.
c) Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan yang
dilakukan adalah darah lengkap, urinalisis, gula darah, elektrolit, USG (pemeriksaan
penunjang dasar), analisis gas darah, tes fungsi hati dan ginjal. Pada keadaan tertentu,
jika pasien dicurigai menderita hipertiroid dapat dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid
dengan parameter TSH dan T4. Pada kasus hiperemesis gravidarum dengan
hipertiroid 50- 60% terjadi penurunan kadar TSH. Jika dicurigai terjadi infeksi
gastrointestinal dapat dilakukan pemeriksaan antibodi Helicobacter pylori.
Pemeriksaan laboratorium umumnya menunjukan tanda-tanda dehidrasi dan
pemeriksaan berat jenis urin, ketonuria, peningkatan blood urea nitrogen, kreatinin
dan hematokrit. Pemeriksaan USG penting dilakukan untuk mendeteksi adanya
kehamilan ganda ataupun mola hidatidosa.

f. PENATALAKSANAAN

Pada pasien dengan hiperemesis gravidarum tingkat II dan III harus dilakukan rawat
inap dirumah sakit, dan dilakukan penanganan yaitu :

1. Medikamentosa
Berikan obat-obatan seperti yang telah dikemukakan diatas. Namun harus diingat
untuk tidak memberikan obat yang teratogenik. Obat-obatan yang dapat diberikan
diantaranya suplemen multivitamin, antihistamin, dopamin antagonis, serotonin
antagonis, dan kortikosteroid. Vitamin yang dianjurkan adalah vitamin B1 dan B6
seperti pyridoxine (vitamin B6). Pemberian pyridoxin cukup efektif dalam mengatasi
keluhan mual dan muntah. Anti histamin yang dianjurkan adalah doxylamine dan
dipendyramine. Pemberian antihistamin bertujuan untuk menghambat secara langsung
kerja histamin pada reseptor H1 dan secara tidak langsung mempengaruhi sistem
vestibular, menurunkan rangsangan di pusat muntah.
Selama terjadi mual dan muntah, reseptor dopamin di lambung berperan dalam
menghambat motilitas lambung. Oleh karena itu diberikan obat dopamin antagonis.
Dopamin antagonis yang dianjurkan diantaranya prochlorperazine, promethazine, dan
metocloperamide. Prochlorperazin dan promethazine bekerja pada reseptor D2 untuk
menimbulkan efek antiemetik. Sementara itu metocloperamide bekerja di sentral dan
di perifer. Obat ini menimbulkan efek antiemetik dengan cara meningkatkan kekuatan
spincter esofagus bagian bawah dan menurunkan transit time pada saluran cerna.
Pemberian serotonin antagonis cukup efektif dalam menurunkan keluhan mual dan
muntah. Obat ini bekerja menurunkan rangsangan pusat muntah di medula. Serotonin
antagonis yang dianjurkan adalah ondansetron. Odansetron biasanya diberikan pada
pasien hiperemesis gravidarum yang tidak membaik setelah diberikan obat-obatan
yang lain. Sementara itu pemberian kortikosteroid masih kontroversial karena
dikatakan pemberian pada kehamilan trimester pertama dapat meningkatkan risiko
bayi lahir dengan cacat bawaan.

2. Terapi Nutrisi
Pada kasus hiperemesis gravidarum jalur pemberian nutrisi tergantung pada derajat
muntah, berat ringannya deplesi nutrisi dan peneriamaan penderita terhadap rencana
pemberian makanan. Pada prinsipnya bila memungkinkan saluran cerna harus
digunakan. Bila peroral menemui hambatan dicoba untuk menggunakan nasogastric
tube (NGT). Saluran cerna mempunyai banyak keuntungan misalnya dapat
mengabsorsi banyak nutrien, adanya mekanisme defensif untuk menanggulangi
infeksi dan toksin. Selain itu dengan masuknya sari makanan ke hati melalui saluran
porta ikut menjaga pengaturan homeostasis nutrisi.
Bila penderita sudah dapat makan peoral, modifikasi diet yang diberikan adalah
makanan dalam porsi kecil namun sering, diet tinggi karbohidrat, rendah protein dan
rendah lemak, hindari suplementasi besi untuk sementara, hindari makanan yang
emetogenik dan berbau sehingga menimbulkan rangsangan muntah.1,2 Pemberian
diet diperhitungkan jumlah kebutuhan basal kalori sehari- hari ditambah dengan 300
kkal perharinya.

3. Isolasi
Penderita disendirikan dalam kamar yang tenang, cerah, dan memiliki peredaran
udara yang baik. Sebaiknya hanya dokter dan perawat saja yang diperbolehkan untuk
keluar masuk kamar tersebut. Catat cairan yang keluar dan masuk. Pasien tidak
diberikan makan ataupun minum selama 24 jam. Biasanya dengan isolasi saja gejala-
gejala akan berkurang atau hilang tanpa pengobatan.

4. Terapi psikologik
Perlu diyakinkan kepada pasien bahwa penyakitnya dapat disembuhkan. Hilangkan
rasa takut oleh karena kehamilan dan persalinan karena itu merupakan proses
fisiologis, kurangi pekerjaan serta menghilangkan masalah dan konflik lainnya yang
melatarbelakangi penyakit ini. Jelaskan juga bahwa mual dan muntah adalah gejala
yang normal terjadi pada kehamilan muda, dan akan menghilang setelah usia
kehamilan 4 bulan.

5. Cairan parenteral
Resusitasi cairan merupakan prioritas utama, untuk mencegah mekanisme kompensasi
yaitu vasokonstriksi dan gangguan perfusi uterus. Selama terjadi gangguan
hemodinamik, uterus termasuk organ non vital sehingga pasokan darah berkurang.
Pada kasus hiperemesis gravidarum, jenis dehidrasi yang terjadi termasuk dalam
dehidrasi karena kehilangan cairan (pure dehidration). Maka tindakan yang dilakukan
adalah rehidrasi yaitu mengganti cairan tubuh yang hilang ke volume normal,
osmolaritas yang efektif dan komposisi cairan yang tepat untuk keseimbangan asam
basa. Pemberian cairan untuk dehidrasi harus memperhitungkan secara cermat
berdasarkan: berapa jumlah cairan yang diperlukan, defisit natrium, defisit kalium dan
ada tidaknya asidosis.
Berikan cairan parenteral yang cukup elektrolit, karbohidrat, dan protein dengan
glukosa 5% dalam cairan garam fisiologis sebanyak 2-3 liter sehari. Bila perlu dapat
ditambahkan kalium dan vitamin, terutama vitamin B kompleks dan vitamin C, dapat
diberikan pula asam amino secara intravena apabila terjadi kekurangan protein.
Dibuat daftar kontrol cairan yang masuk dan yang dikeluarkan. Urin perlu diperiksa
setiap hari terhadap protein, aseton, klorida, dan bilirubin. Suhu tubuh dan nadi
diperiksa setiap 4 jam dan tekanan darah 3 kali sehari. Dilakukan pemeriksaan
hematokrit pada permulaan dan seterusnya menurut keperluan. Bila dalam 24 jam
pasien tidak muntah dan keadaan umum membaik dapat dicoba untuk memberikan
minuman, dan lambat laun makanan dapat ditambah dengan makanan yang tidak cair.
Dengan penanganan ini, pada umumnya gejala-gejala akan berkurang dan keadaan
aman bertambah baik. Daldiyono mengemukakan salah satu cara menghitung
kebutuhan cairan untuk rehidrasi inisial berdasarkan sistiem poin. Adapun poin-poin
gejala klinis dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2.1 Skor Daldiyono

No. Gejala Klinis Skor


1. Muntah 1
2. Voxs Choleric (Suara Parau) 2
3. Apatis 1
4. Somnolen, Sopor, Koma 2
5. T≤ 90 mmHg 1
6. T≤ 60 mmHg 2
7. N≥ 120 x/menit 1
8. Frekuensi napas >30x/menit 1
9. Turgor kulit menurun 1
10. Facies Cholerica (Mata Cowong) 1
11. Extremitas Dingin 1
12. Washer Women’s Hand 1
13. Sianosis 2
14. Usia 50-60 -1
15. Usia >60 -2
Jumlah cairan yang akan diberikan dalam 2 jam, dapat dihitung : Defisit = (Jumlah
Poin / 15) x 10 % BB x 1 Liter

6. Terapi Alternatif Ada beberapa macam pengobatan alternatif bagi hiperemesis


gravidarum, antara lain:
a. Vitamin B6
Vitamin B6 merupakan koenzim yang berperan dalam metabolisme lipid,
karbohidrat dan asam amino. Peranan vitamin B6 untuk mengatasi hiperemesis
masih kontroversi. Dosis vitamin B6 yang cukup efektif berkisar 12,5-25 mg per
hari tiap 8 jam. Selain itu Czeizel melaporkan suplementasi multivitamin secara
bermakna mengurangi kejadian mencegah insiden hiperemesis gravidarum.
Vitamin B6 merupakan ko-enzim berbagai jalur metabolisme protein dimana
peningkatan kebutuhan protein pada trimester I diikuti peningkatan asupan
vitamin B6. Vitamin B6 diperlukan untuk sintesa serotonin dari tryptophan.
Defisiensi vitamin B6 akan menyebabkan kadar serotonin rendah sehingga saraf
panca indera akan semakin sensitif yang menyebabkan ibu mudah mual dan
muntah. Pada wanita hamil terjadi peningkatan kynurenic dan xanturenic acid di
urin. Kedua asam ini diekskresi apabila jalur perubahan tryptophan menjadi niacin
terhambat. Hal ini dapat juga terjadi karena defisiensi vitamin B6. Kadar hormon
estrogen yang tinggi pada ibu hamil juga menghambat kerja enzim kynureninase
yang merupakan katalisator perubahan tryptophan menjadi niacin, yang mana
kekurangan niacin juga dapat mencetuskan mual dan muntah.
b. Jahe (zingiber officinale)
Pemberian dosis harian 250 mg sebanyak 4 kali perhari lebih baik hasilnya
dibandingkan plasebo pada wanita dengan hiperemesis gravidarum. Salah satu
studi di Eropa menunjukan bubuk jahe (1 gram per hari) lebih efektif
dibandingkan plasebo dalam menurunkan gejala hiperemesis gravidarum. Belum
ada penelitian yang menunjukan hubungan kejadian abnormalitas pada fetus
dengan jahe. Namun, harus diperhatikan bahwa akar jahe diperkirakan
mengandung tromboksan sintetase inhibitor dan dapat mempengaruhi peningkatan
reseptor testoteron fetus.

g. PROGNOSIS

Gardsby melaporkan semua wanita dengan mual dan muntah pada kehamilan
merasakan awal terjadinya sebelum usia kehamilan 9 minggu. Jumlah tersebut menurun 30%
pada kehamilan 10 minggu, turun lagi 30% pada kehamilan 12 minggu, dan menjadi 30%
pada kehamilan 16 minggu. Sepuluh persen mengalami mual dan muntah setelah 16 minggu
dan hanya 1% tetap mengalaminya setelah usia kehamilan 20 minggu.
Dengan penanganan yang baik prognosis hiperemesis gravidarum sangat memuaskan.
Sebagian besar penyakit ini dapat membaik dengan sendirimya pada usia kehamilan 20-22
minggu, namun demikian pada tingkatan yang berat, penyakit ini dapat membahayakan jiwa
ibu dan janin.

B. DIABETES MELITUS GESTASIONAL


a. PENGERTIAN

Diabetes melitus gestasional adalah gangguan dari glukosa yang dipicu oleh
kehamilan, dan hilang setelah melahirkan. Diabetes melitus gestasional merupakan gangguan
kronik yang ditandai dengan hiperglikemia yang disertai abnormalitas utama pada
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Intoleransi karbohidrat ini terjadi atau diketahu
pertama kali saat kehamilan berlangsung (morgan dan Hamilton, 2009). WHO (2013)
mendefinisikan diabetes melitus gestasional sebagai derajat apapun intoleransi glukosa
dengan onset atau pengakuan pertama selama kehamilan.Kehamilan sendiri merupakan stres
bagi metabolisme karbohidrat ibu. Pada kehamilan terjadi peningkatan produksi
hormonhormon antagonis insulin, antara lain: progesteron, estrogen, human placenta
lactogen, dan kortisol. Peningkatan hormon-hormon tersebut menyebabkan terjadinya
resistensi insulin dan peningkatan kadar glukosa darah. Diabetes melitus dengan kehamilan
atau Diabetes Melitus Gestasional (DMG), merupakan penyakit diabetes melitus yang
muncul pada saat mengalami kehamilan padahal sebelumnya kadar glukosa darah selalu
normal. Tipe ini akan normal kembali setelah melahirkan (American Diabetes Association,
2012).

b. ETIOLOGI

Penyebab dari terjadinya diabetese melitus gestasional (DMG) atau diabetes


kehamilan pada ibu hamil belum diketahui secara pasti, diabetes melitus gestasional dapat
terjadi karena kurangnya jumlahnya insulin yang diproduksi oleh tubuh yang diperlukan
untuk membawa glukosa melewati membran sel (Mitayani,2009) serta ada beberapa faktor –
faktor resiko yang mendukung terjadinya diabetes melitus gestasional adalah usia kehamilan
diatas 35 tahun, obesitas, riwayat keluarga dengan DM, memiliki riwayat dibetes gestasional
sebelumnya, melahirkan bayi makrosomia (>4000gram), diet dan pola makan yang tidak
teratur.

c. PATOFISIOLOGI
Proses terjadinya diabetes melitus gestasional pada ibu hamil dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang didukung oleh hormon-hormon yang aktif dan tinggi selama masa
kehamilan. Pada kehamilan terjadi peningkatan produksi hormon-hormon antagonis insulin,
antara lain: progesteron, estrogen, human placenta lactogen, dan kortisol. Peningkatan
hormon-hormon tersebut menyebabkan terjadinya resistensi insulin dan peningkatan kadar
glukosa darah. Metabolisme karbohidrat selama kehamilan karena insulin jumlah sangat
besar atau banyak masih dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kehamilan. Adanya
hormon HPL dan progesteron dapat menyebabkan jarngan pada ibu menjadi resisten pada
insulin sehingga mengahasilkan enzim yang disebut insulinase yang dihasilkan oleh placenta
dan mempercepat terjadinya insulin. Bila pankreas tidak dapat memproduksi insulin secara
adekuat, maka akan timbul suatu kondisi yang disebut hiperglikemia hal ini yng dapat
menyebabkan kondisi kompensasi seperti meningkatkan rasa haus (polidipsi),
mengekskresikan cairan dan mudah lapar (polifagia) (Mitayani,2009).

Selain itu, adanya dukungan oleh faktor-faktor resiko yang menyebabkan terjadinya
diabetes melitus gestasional. Selama awal kehamilan, toleransi glukosa normal atau sedikit
meningkat dan sensitivitas perifer (otot) terhadap insulin serta produksi glukosa basal hepatik
normal akibat peningkatan hormon estrogen dan progesteron maternal pada awal kehamilan
yang meningkatkan hiperplasia sel β pankreas, sehingga meningkatkan pelepasan insulin. Hal
ini menjelaskan peningkatan cepat insulin di awal kehamilan sebagai respons terhadap
resistensi insulin. Pada trimester kedua dan ketiga, peningkatan hubungan fetomaternal akan
mengurangi sensitivitas insulin maternal sehingga akan menstimulasi sel-sel ibu untuk
menggunakan energi selain glukosa seperti asam lemak bebas, glukosa maternal selanjutnya
akan ditransfer ke janin. Dalam kondisi normal kadar glukosa darah fetus 10-20% lebih
rendah daripada ibu, sehingga transpor glukosa dari plasenta ke darah janin dapat terjadi
melalui proses difusi sederhana ataupun terfasilitasi.

Selama kehamilan, resistensi insulin tubuh meningkat tiga kali lipat dibandingkan
keadaan tidak hamil. Pada kehamilan, penurunan sensitivitas insulin ditandai dengan defek
post-reseptor yang menurunkan kemampuan insulin untuk memobilisasi SLC2A4 (GLUT 4)
dari dalam sel ke permukaan sel. Hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan hormon yang
berkaitan dengan kehamilan. Meskipun kehamilan dikaitkan dengan peningkatan massa sel β
dan peningkatan kadar insulin, beberapa wanita tidak dapat meningkatkan produksi
insulinnya relatif terhadap peningkatan resistensi insulin, sehingga menjadi hiperglikemik
dan menderita DMG (Kurniawan,2016).
d. MANIFESTASI KLINIS

Pada ibu hamil penderita diabetes melitus gestaional tidak menunjukkan tanda dan
gejala yang langsung terlihat. Biasanya jika ibu sudah menderita diabetes sebelum hamil,
mungkin lebih difokuskan namun pada kasus diabetes melitus gestasional kuran di
perhatikan, karena tidak adanya tanda gejala tapi jika dilakukan skrinning sedini mungkin
bisa mengetahui ada atau tidaknya indikasi diabetes melitus gestasional. Jika dilakukan
pemeriksaan tanda gejala terjadinya diabetes gestasional ditandai dengan :

a. Polidipsi
b. Poliuri
c. Polifagia
d. Glukosa plasma puasa 5.1-6.9 mmol / l (92 -125 mg / dl) - Glukosa plasma 1 jam ≥
10,0 mmol / l (180 mg / dl) mengikuti beban glukosa oral 75g
e. Glukosa plasma 2 jam 8,5 - 11,0 mmol / l (153 -199 mg / dl) mengikuti beban
glukosa oral 75g ( WHO 2013).

Jika dilakukan skrinning Strategi One-Step, ditandai dengan :

a. Puasa 92 mg/dL (5,1 mmol/L)


b. 1 jam 180 mg/dL (10 mmol/L)
c. 2 jam 153 mg/dL (8,5 mmol/L)

Strategi Two-Steps, ditandai dengan kriteria :

Carpenter/Coustan NDDG
Puasa 95 mg/dL (5.3 mmol/L) >105 mg/dL (5.8 mmol/L)
1 jam 180 mg/dL (10 mmol/L) >190 mg/dL (10.6 mmol/L)
2 jam 155 mg/dL (8.6 mmol/L) > 165 mg/dL (9.2 mmol/L)
3 jam 140 mg/dL (7.8 mmol/L) >145 mg/dL (8 mmol/L)
Tabel 2.2 Batasan yang direkomendasikan adalah >135 mg/dL (7.5 mmol/L), sejumlah ahli
merekomendasikan >130 mg/dL (7.2 mmol/L) (Kurniawan, 2016).

e. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
1. One-step 75 gram TTGO. Strategi One-Step Tes toleransi glukosa oral dengan
75 gram glukosa. Pengukuran glukosa plasma dilakukan saat pasien dalam
keadaan puasa, 1 jam, dan 2 jam setelah tes toleransi glukosa. Tes dilakukan
pada usia kehamilan 24-28 minggu pada wanita hamil yang sebelumnya belum
pernah terdiagnosis diabetes melitus. Tes toleransi glukosa oral harus dilakukan
pada pagi hari setelah puasa semalaman setidaknya selama 8 jam. One-step
strategy digunakan untuk mengantisipasi meningkatnya insidens DMG (dari 5-
6% menuju 15-20%) karena hanya diperlukan satu hasil abnormal untuk
diagnosis. Kekurangan strategi ini adalah kemungkinan over diagnosis sehingga
meningkatkan biaya medikasi.
2. Two-step approach menggunakan 50 gram glukosa (tanpa puasa) diikuti dengan
tes toleransi glukosa oral (TTGO) menggunakan 100 gram glukosa jika skrining
awalmemberikan hasil positif. Two-steps strategy lebih umum digunakan di
Amerika Serikat. Hal ini karena kurangnya percobaan klinis yang mendukung
keefektifan dan keuntungan one-step strategy dan potensi konsekuensi negatif
akibat risiko over sensitif berupa peningkatan intervensi ataupun biaya medis
selama kehamilan. Two-steps strategy juga mudah karena hanya diberi
pembebanan 50 gram glukosa tanpa harus puasa pada tahap awal skrining.
a. Step 1: Lakukan tes pembebanan glukosa 50 gram (tanpa puasa), kadar
glukosa plasma diukur 1 jam setelah pembebanan glukosa, dilakukan pada
wanita dengan usia kehamilan 24-28 minggu yang belum pernah
terdiagnosis diabetes melitus. Jika kadar glukosa plasma 1 jam setelah
pembebanan glukosa >140 mg/dL* (7,8 mmol/L), dilanjutkan dengan tes
toleransi glukosa oral dengan 100 gram glukosa.
b. Step 2: Tes toleransi glukosa oral dengan 100 gram glukosa dilakukan pada
pasien dalam keadaan puasa. (Kurniawan, 2016).

f. PENATALAKSANAAN

Penanganan DMG memerlukan kolaborasi tim yang terdiri dari ahli kebidanan dan
kandungan, dokter ahli diabetes, ahli gizi, perawat, edukator, dan ahli anak. Apabila tidak
mungkin, dapat dibentuk tim medis yang lebih kecil. Penatalaksanaan penderita DMG antara
lain:

1. Terapi diet dan Pengelolaan Gaya Hidup Terapi ini merupakan strategi utama untuk
mencapai kontrol glikemik. Diet harus mampu menyokong pertambahan berat badan
ibu sesuai masa kehamilan, membantu mencapai normoglikemia tanpa menyebabkan
lipolisis (ketonuria). Latihan dan olah raga juga menjadi terapi tambahan untuk
mencapai target kontrol glikemik. Aktivitas fisik intensitas sedang 150 menit/minggu.
Terapi nutrisi medis Kebutuhan kalori = 35 kkal/kg x BBI BBI = (TB – 100) – 10%
(TB – 100). IMT 25 kkal/kg Karbohidrat 30-35% dari kalori> 30 kg/m2 total.
2. Kontrol glikemik. Target glukosa pasien DMG dengan menggunakan sampel darah
kapiler adalah:
a. Preprandial (setelah puasa) >95 mg/dL (5.3 mmol/L)
b. 1 jam post-prandial (setelah makan) <140 mg/dL (7.8 mmol/L)
c. 2 jam post-prandial (setelah makan) <120 mg/dL (6.7 mmol/L)
3. Terapi insulin. Terapi insulin dipertimbangkan apabila target glukosa plasma tidak
tercapai setelah pemantauan DMG selama 1 - 2 minggu.
4. Obat hipoglikemik oral. Obat hipoglikemik oral seperti glyburide dan metformin
merupakan alternatif pengganti insulin pada pengobatan DMG (Kurniawan,2016).

g. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DIABETES MELITUS


GESTASIONAL
1. USIA
Usia merupakan salah satu faktor resiko yang dapat menyebabkan ibu hamil
dapat mengidap penyakit diabetes melitus gestasional, semakin bertambahnya
umur, dapat terjadi peningkatan intoleransi glukosa. Proses penuaan
mengakibatkan menurunnya kemampuan sel beta pankreas dalam menghasilkan
insulin, menurunnya kinerja mitikondria dalam sel otot sehingga dapat
mengakibatkan peningkatan kadar lemak di otot serta merangsang terjadinya
resistansi insulin. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Saldah, Wahiduddin
& Sidik (2012) di Makassar mendapatkan bahwa umur ibu hamil ≥ 35 tahun
merupakan salah satu faktor resiko terjadinya diabetes melitus gestasional pada
ibu hamil.
2. OBESITAS
Obesitas merupakan faktor terjadinya resistensi insulin, sehingga orang yang
mengalami obesitas memiliki risiko menderita diabetes mellitus dan diabetes
melitus gestasional. Makan dalam jumlah yang berlebihan dapat menganggu
kerja insulin dikarenakan adanya timbunan lemak yang berlebihan didalam
tubuh, terutama pada orang dengan obesitas. Hal ini menyebabkan pengeluaran
insulin dalam sel beta pankreas akan menurun. Hal ini didukung dengan
penelitian Saldah, Wahidudin & Sidik (2012) di Makassar mendapatkan bahwa
obesitas menjadi salah satu faktor terjadinya diabetes melitus gestasional. Antara
obesitas dan GDM, BMI ≥ 25 kg / m2 digunakan sebagai panduan skrining
untuk mengidentifikasi mereka yang berisiko tinggi terhadap GDM.
Pertambahan berat badan lebih dari 30% pada awal kehamilan, berat badan
pasien mencapai 91 kg setiap saat kehamilan serta tambahan berat badan >23kg
(Morgan dan Hamilton,2009).
Kehamilan merupakan proses yang berkesinambungan mulai dari ovulasi,
konsepsi, nidasi, pembentukan plasenta dan pertumbuhan hasil konsepsi sampai
aterm (Manuba, 2010). Ibu hamil akan mengalami perubahan anatomi dan
adaptasi fisiologis diantaranya adalah perubahan berat badan. Penambahan berat
badan ibu hamil yang terjadi selama kehamilan disebabkan juga oleh
peningkatan ukuran berbagai jaringan reproduksi, dan terbentuknya cadangan
lemak dalam tubuh ibu (Dikutip oleh Meita Dwi Endarwati, 2013). Ibu hamil
yang mempunyai peningkatan berat badan yang terlalu berlebihan akan beresiko
terjadinya komplikasi kehamilan seperti diabetes gestasional, dan terjadinya bayi
makrosomia. Selain itu, asupan makanan ibu hamil juga mengalami meningkat
seiring dengan bertambahnya usia kehamilan sehingga mempengaruhi pola
kenaikan berat badan ibu selama kehamilan (Paath, 2004). Menurut Saryono,
(2009), standar kenaikan berat selama hamil adalah sebagai berikut:

Trimester Standar kenaikan berat badan


I 1 kg
II 3 kg
III 6 kg
Tabel 2. 3 Kenaikan Berat Badan
World Health Organization (WHO) ,orang dewasa yang mengalami
overweight mencapai 1,6 miliar dan obesitas sekitar 400 juta di tahun 2005.
WHO dan National Institutes of Health (NIH) mendefinisikan overweight
sebagai keadaan dimana Body Mass Index (BMI) 25-29,9 kg/m2 dan obesitas
≥ 30 kg/m2 . Dan diperkirakan pada tahun 2015 orang dewasa yang
mengalami overweight akan mencapai angka 2,3 miliar sedangkan yang
obesitas sebesar 700 juta orang (Aviram dkk.,2010). Saat ini obesitas
mendapat perhatian yang serius karena jumlah penderitanya yang semakin
meningkat termasuk didalamnya adalah wanita pada usia reproduktif dan
jumlah penderita obesitas pada wanita hamil juga meningkat sekitar 18,5%
sampai dengan 38,3%. Ibu hamil dengan obesitas saat ini diketahui sangat
berisiko untuk menderita penyakit-penyakit dalam kehamilan.Selain itu
obesitas juga mempengaruhi kesuburan seorang wanita, wanita hamil dengan
obesitas juga lebih berisiko mengalami keguguran dibandingkan dengan
wanita hamil normal (Kerrigan, 2010). Rumus untuk mengetahui nilai IMT
ibu hamil dengan DMG dapat dihitung dengan rumus metrik berikut:
Berat Badan( Kg)
IMT = 2
[Tinggi Badan( m)]
Klasifikasi Indek Massa Tubuh

Indeks Massa Tubuh Kategori


<20 Underweight (dibawah normal)
20-24,9 Desirable (normal)
25-29,9 Moderate Obesity (gemuk/lebih dari
normal)
Over 30 Severe Obesity
Tabel 2. 4 Pengelompokan IMT

3. RIWAYAT KELUARGA DENGAN DIABETES MELITUS TIPE 2


Diabetes melituss merupakan penyakit yang dapat diturunkan atau genetika. Jika
ada keluarga dari ibu hamil yang menderita diabetes melitus tipe 2, dapat
menjadi faktor resiko terjadinya diabetes melitus gestasional pada ibu hamil
tersebut. (Saldah, Wahiddun & Siddik, 2012). Keluarga yang terdiagnosis
diabetes melitus mempunyai gen diabetes yang merupakan gen resesif. Pada
orang yang memiliki sifat homozigot dengan gen resesif tersebut dapat
menderita diabetes melitus (Fatimah, 2015).
Ibu hamil dengan keluarga riwayat DM bisa saja terkena diabetes ketika tidak
bisa mengontrol pola hidup, pola makan seperti yang dilakukan oleh anggota
keluarga yang memiliki riwayat diabetes, terlebih lagi diabetes melitus adalah
penyakit herediter.
4. PENDIDIKAN IBU
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang pada orang lain terhadap
suatu hal agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin
tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi
dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya, sebaliknya
jika seseorang tingkat pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan
seseorang terhadap penerimaan, informasi, dan nilai-nilai yang baru
diperkenalkan (Mubarak et al, 2007). Secara teori tingkat pendidikan ikut
menentukan atau mempengaruhi mudah tidaknya seseorang menerima suatu
pegetahuan, semakin tinggi tingkat pedidikan semakin baik pula tingkat
pengetahuan yang dimiliki seseorang (Meggeria dkk, 2018).
5. RIWAYAT KESEHATAN SEKARANG
Pada pemeriksaan ditemukan tanda-tanda adanya DM seperti polidipsi, polifagi,
poliuri, somnolen, merasa badan lemah serta dapat munculnya ketoasidosis, yang
disebabkan tidak patut pola diit dan dapat mengancam jiwa serta disebabkan
kurang penanganan atau pemeriksaan kadar gula secara berkala.
6. STATUS GIZI
Status gizi ibu sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan
janin yang sedang dikandung. Bila gtatus gizi ibu normal pada masa sebelum
dan selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat, cukup
bulan dengan berat badan normal. Dengan kata lain kualitas bayi yang dilahirkan
sangat tergantung pada keadaan gizi ibu sebelum dan selama hamil. Kehamilan
menyebabkan meningkatnya metabolisme energi, karena itu kebutuhan energi
dan zat gizi lainnya meningkat selama kehamilan. Peningkatan energi dan zat
gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin,
pertambahan besarnya organ kandungan, perubahan komposisi dan metabolisme
tubuh ibu. Sehingga kekurangan zat gizi tertentu yang diperlukan saat hamil
dapat menyebabkan janin tumbuh tidak sempurna. Dan yang terpenting adalah
ketepatan dalam pemenuhan gizi agar tidak kurang ataupun berlebih.
7. PEKERJAAN
Pekerjaan Menurut UU No. 13 Tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 di sebutkan
bahwa setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna 38 menghasilkan
barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat. Pekerjaan yang dimiliki seseorang tentunya mempengaruhi
pengahsilan yang didapatkan. Kurangnya aktivitas merupakan salah satu faktor
yang ikut berperan meyebabkan resistensi insulin pada diabetes melitus. Individu
yang aktif memiliki insulin dan profil glukosa yang lebih baik dari pada individu
yang tidak aktif (Meggeria dkk, 2018).

h. DAMPAK DIABETES MELITUS GESTASIONAL PADA IBU DAN BAYI


1. MELAHIRKAN BAYI MAKROSOMIA
Ibu hamil yang mengidap DM cenderung melahirkan bayi yang berukuran
lebih besar (makrosomia). Hal tersebut dapat menyulitkan proses persalinan
yang dapat menyebabkan trauma lahir, bahkan bayi baru lahir yang mempunyai
berat badan di atas nilai normal tidak dapat menangis atau bernapas secara
spontan atau teratur saat lahir. Bila kondisi ini berlangsung lama, kelak dapat
menimbulkan cacat lahir (Setiawan, dkk, 2014). Insidens bayi makrosomia
adalah sekitar 5 % dari semua kelahiran. (Brudenell,M. dan Doddridge, M.C,
1994). Makrosomia merupakan salah satu penyebab yang dapat menyulitkan
proses persalinan yang dapat menyebabkan trauma lahir. Bahkan bayi baru
lahir yang mempunyai berat di atas normal (>4000gr) tidak bisa menangis atau
bernapas secara spontan dan teratur saat lahir. Bila kondisi ini berlangsung
lama, kelak dapat menimbulkan cacat mental atau fisik.
2. ABORTUS SPONTAN
Kelainan endokrin misalnya diabetes melitus, berkaitan dengan derajat kontrol
metabolik pada trisemester pertama. Selain itu juga hipotiroidism dapat
meningkatkan resiko terjadinya abortus, dimana autoantibodi tiroid
menyebabkan peningkatan insidensi abortus walaupun tidak terjadi
hipotiroidsm yang nyata. Dalam kejadian ini abortus yang terjadi adalah
abortus spontan, yakini abortus yang terjadi atau berlangsung tanpa tindakan.
Kata lain yang luas digunakan adalah keguguran (miscarriage) (Rahmawati,
2011).
3. PREEKLAMPSI ATAU HIPERTENSI
Hal ini terutama jika sudah terdapat gangguan ginjal dan vaskuler. Hipertensi
yang dipicu atau mengalami eksaserbasi oleh kehamilan merupakan penyakit
utama yang paling memaksa dilakukannya pelahiran premature/ preterm pada
ibu diabetik (Maryunani,2013).
4. INFEKSI
Infeksi lebih umu terjadi pada dan lebih berat pada wanita diabetik yang hamil.
Infeksi yang sering terjadi adalah vulvovaganitis kandida, infeksi saluran
kemih, infeksi panggul pada masa nifas dan infeksi pada jalan lahir. Yang
umum terjadi pada masa hamil, lebih sering terjadi pada wanita diabetik
bersifat serius karena infeksi ini dapat menyebabkan peningkatan resistensi
insulin dan ketoasidosis (Maryunani,2013).
5. RISIKO DIABETES MELITUS TIPE 2 DI KEMUDIAN HARI
Ibu hamil yang terindikasi diabetes melitus gestasional, jika tidak mendapatkan
penanganan dan pengobatan serta terapi untuk menurunkan kadar gulanya
setelah melahirkan, diabetes melitus gestasional ini dapat berkembang menjadi
diabetes melitus tipe 2, dimana diabetes mleitus tipe 2 ini akan mempengaruhi
kesehatan ibu dikehamilan selanjutnya. Hal ini didukung oleh review sistematis
oleh Kim dkk pada tahun 2013, menyebutkan bahwa seseorang yang
mengalami diabetes selama kehamilannya setelah diikuti selama 5 tahun
berkembang menjadi diabetes melitus tipe 2 sebanyak 50% kasus. Tentunya hal
ini sangat menghawatirkan karena dampak –dampak dari diabetes pada
kehamilan sendiri tidak hanya mengenai ibu tetapi juga pada janin dan berarti
di Indonesia akan bertambah pula penderita diabetes melitus tipe 2.
6. MORBIDITAS NEONATUS
Morbiditas neotatus pada kehamilan diabetik secara lebih signifikan lebih
tinggi dari pada bayi yang dilahirkan dari ibu non diabetik. Bayi yang
dilahirkan oleh ibu diabetik harus dipantau secara ketat pada awal periode
neonatal untuk mengetahui kemungkinan komplikasi, terutama hipoglikemia
dan sindrom gawat napas.
7. HIPOGLIKEMIA, POLISITEMIA DAN HIPERBILIRUBINEMIA
Pada trimester kedua kehamilan, pankreas janin dengan ibu diabetes mellitus
gestasional akan beradaptasi dengan hiperglikemik dalam lingkungan uterus
dengan meningkatkan produksi insulin, yang mengakibatkan hiperinsulinemia
pada janin. Titik kulminasi dari peristiwa metabolik yang terjadi di dalam
uterus ini akan mengakibatkan hipoglikemia, polisitemia dan
hiperbilirubinemia. Hipoglikemia neonatus setelah kelahiran bayi diantisipasi,
terutama 24 jam pertama karena bayi terus menghasilkan sejumlah besar
insulin pada awal periode neonatal akibat hiperglikemia janin yang baru-baru
dialainya. Akan tetapi, setelah tali pusar diklem, bayi tidak lagi terpajan dengan
kadar glukosa yang tinggi dari ibu. Ibu harus menyusui bayi mereka secara
langsung setelah lahir dan pada interval yang sering (setiap 3-4 jam) utuk
mencegah hipoglikemia. Kadar glukosa bayi terus dikaji 1-2 jam setelah lahir
kemudian 4-6jam selama 24-48 jam pertama dengan tujuan mempertahankan
glukosa darah minimal 2 mmol/l. Hiperinsuinemia janin selama kehamilan juga
menyebabkan peningkatan produksi sel darah merah yang mengakibatkan
polisitemia, yang mungkin membutuhkan koreksi melalui transfusi pertukaran
darah parsial. Pemecahan kelebihan sel darah merah secara cepat dan imaturitas
relatif hati bayi baru lahir menyebabkan bayi tersebut mengalami ikterus.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN HIPEREMESIS


GRAVIDARUM
a. Pengkajian
1. Identitas Klien
Berisi tentang biodata pasien dan penanggung jawab meliputi nama, umur,
jenis kelamin, alamat, pendidikan dan pekerjaan.
2. Keluhan Utama
Keluhan Ditanyakan untuk mendukung data diagnosa dan untuk mengetahui
apa yang dirasakan ibu, pada pengkajian ibu mengatakan muntah begitu hebat
dimana apa yang dimakan dan diminum selalu dimuntahkan, sehingga
mempengaruhi keadaan umum dan pekerjaan sehari-hari, sehingga berat
badan menurun dan dehidrasi.
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab terjadinya
hiperemesis gravidarum, yang dapat membantu dalam menentukan
perencanaan tindakan.
a) Riwayat Kesehatan Dahulu Berisi tentang data adakah penyakit yang berat
yang akan mempengaruhi kehamilan, dan data yang ditentukan
kemungkinan penyebabnya terjadinya hiperemesis gravidarum.
b) Riwayat Kesehatan Keluarga Riwayat Kesehatan Keluarga dikaji untuk
mengetahui apakah ada penyakit keturunan seperti keturunan kembar
karena pada kehamilan kembar jumlah hormon yang dikeluarkan terlalu
tinggi dan dapat menyebabkan hiperemesis gravidarum.
c) Pola Fungsi Kesehatan
1. Pola metabolik nutrisi Pada penderita hiperemesis gravidarum
cenderung mengalami penurunan nafsu makan.
2. Pola eliminasi Berisi data tentang eliminasi dan BAB, data eliminasi
buang air besar pada pasien fraktur ekstremitas bawah tidak ada
perubahan. Frekuensinya satu hingga dua kali perhari dengan warna
kekuningan, sedangkan pada eliminasi BAK terdapat perubahan karena
pasien terpasang karteter urine, yang biasanya BAK 3-4 kali -+ 1800cc
perhari setelah terpasang karteter urine hanya -+1200cc perhari.
(Susilowati, 2014).
3. Pola aktivitas
Terdapat rasa lemas yang berlebihan akibat kekurangan cairan
4. Pola tidur dan istirahat
Pasien hiperemesis gravidarum biasanya mual, muntah dan pusing
sehingga hal ini mengganggu pola tidur pasien. Selain itu pengkajian
juga dikaji dari lamanya tidur pasien,suasana lingkungan,kebiasaan
tidur,dan kesulitan tidur.
5. Pola konsep diri
Dampak yang timbul dari pasien hiperemesis gravidarum dapat
membahayakan kondisi ibu dan janin, mual dan muntah yang
berlebihan akan menyebebkan ibu hamil kehilangan banyak cairan,
sehingga beresiko mengalami dehidrasi dan gangguan elektrolit, serta
ibu hamil tidak mampu dalam melakukan aktivitas secara.
6. Aktualisasi diri
Kebutuhan ini merupakan kebutuhan puncak pada hirarki kebutuhan
Maslow, jika klien sudah mengalami penurunan harga diri maka klien
sulit untuk melakukan aktivitas di rumah sakit enggan mandiri, tampak
tak bergairah, dan bingung (Susilowati, 2014)
7. Pola nilai keyakinan
Nilai keyakinan mungkin meningkat seiring dengan kebutuhan
mendapatkan sumber kesembuhan dari Tuhan (Susilowati, 2014).
d) Pola kebiasaan sehari-hari
Riwayat kebutuhan sehari-hari

No Jenis Sebelum Sakit Sesudah Sakit


.
1. Nutrisi/Cairan
a) Frekuensi makan
Jenis makan Nasi, lauk, sayur Bubur, lauk, sayur
Nafsu makan Baik Menurun
Pantangan Udang Udang
Makanan alergi Udang Udang
Makanan yang tidak Udang Udang
disukai
BB 53 kg 50 kg

Keluhan/masalah Mual dan muntah Mual dan muntah

b) Cairan
Jumlah yang diminum 2500cc 300cc

Minuman yang Air putih Susu

disukai
Air putih Air putih
Minuman yang tidak
disukai
Mual dan muntah Mual dan muntah
Keluhan/masalah
2. Eliminasi
a. BAB
Frekuensi 1x sehari 1x sehari

Konsistensi Padat Padat

Warna Kuning Kuning

Penggunaan laxative Tidak ada Tidak ada

b. BAK
Frekuensi 5-6x/hari 5-6x/hari

Warna Kuning Kuning

Bau Amoniak Amoniak

Keluhan Tidak ada Tidak ada

3. Personal Hygiene
1) Mandi
Frekuensi 2x/hari Belum mandi

Cara mandi Mandi sendiri Tidak pernah

Oral hygiene Mandiri Tidak pernah

Frekuensi 2x/hari Tidak pernah


Bau badan tidak
Keluhan Tidak ada sedap

2) Genitalia Bersih
Kebersihan Bersih Tidak ada
Keluaran Tidak ada Tidak ada
Keluhan Tidak ada
4. Istirahat tidur
a. Lama tidur 8 jam 6 jam
b. Tidur siang 2 jam 1 jam
c. Tidur malam 6 jam 5 jam
d. Kebiasaan pengantar Nonton TV Tidak ada
tidur
e. Keluhan lain Tidak ada Pusing dan lemas

5. Aktivitas dan latihan


a) Kegiatan dalam Megurus rumah Megurus rumah
pekerjaan
b) Waktu bekerja Pagi, siang, malam Pagi, siang, malam

c) Olahraga Tidak ada Tidak ada

d) Kegiatan lain Tidak ada Tidak ada

e) Keluhan dalam Tidak ada Pusing dan lemah

beraktivitas
6. Kebiasaan
a. Merokok Tidak pernah Tidak pernah
b. Minum alcohol Tidak pernah Tidak pernah
c. Ketergantungan obat Tidak pernah Tidak pernah
7. Pola seksualitas
Masalah seksualitas Tidak ada Tidak ada

e) Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : Lemah
2. Tingkat kesadaran Kesadaran composmentis, latergi, strupor, koma,
apatis
3. Tanda tanda vital Frekuensi nadi dan tekanan darah : takikardi,
bradikardia dan hipertermi, hipotermi
Frekuensi pernafasan: adanya frekuensi pernafasan yang meningkat
(Takipnea), nafas dalam atau hiperventilasi (bila terjadi gangguan
asam basa/asidosis metabolic akibat penumpukan benda keton dalam
tubuh) (Willem Pieter, 2013).
Suhu tubuh Hipertemi ditemukan pada pasien hiperemesis
gravidarum. Berat badan dan tinggi badan tergantung pola makan
pasien dan konsusmsi makanan yang dikonsumsi sebelum terjadi
hiperemesis gravidarum.
4. Kepala dan rambut Inspeksi: kaji bentuk kepala warna rambut,
kebersihan, persebaran warna rambut dan adanya lesi atau tidak.
Palpasi: Raba adanya massa dan nyeri tekan
5. Mata Biasanya pada pasien hiperemesis gravidarum kongjungtiva
anemis atau sklera tidak ikterik.
6. Hidung kaji bentuk hidung, lubang hidung, persebaran warna kulit,
kesimetrisan dan adanya pernafasan cuping hidung.
Palpasi: kaji ada tidaknya nyeri tekan pada sinus (Susilowati, 2014).
7. Mulut Biasanya bibir pasien tampak pucat,mukosa bibir kering dan
sianosis.
Palpasi: kaji reflek menghisap dan menelan (Purwaningsih, 2014).
8. Telinga Inspeksi: kaji ada tidaknya serumen, kesimetrisan dan
kebersihan telinga.
Palpasi: ada tidaknya nyeri tekan pada tragus (Rohman& Walid,
2013).
9. Leher Inspeksi : pembesaran pada leher , pembesaran kelenjar limfa
leher dapat muncul jika ada pembesaran kelenjar sistemik, persebaran
kulit.
Palpasi : ada tidaknya pembendungan vena jugularis (Susilowati,
2014).
10. Thorax Inspeksi : biasanya pernafasan meningkat regular atau
tidaknya tergantung pada riwayat penyakit pasien terdahulu yang
berhubungan dengan paru.
Palpasi : Kaji kesimetrisan dada, taktil fremitus
Perkusi : Kaji apakah terdapat penumpukan sekret, cairan atau darah
Auskultasi : Ada atau tidaknya suara nafas tambahan seperti ronchi
dan whezzing di semua lapang paru (Mulyati, 2014).
11. Pemeriksaan jantung Inspeksi : tampak atau tidaknya iktus kordis
pada permukaan dinding dada di ICS 5 midklavikula sinistra
Palpasi : teraba atau tidaknya iktus kordis di ICS 5 midklavikula
sinistra.
Perkusi : pada ICS 3 hingga ICS 5 terdengar pekak,
Auskultasi : bunyi jantung S1 dan S2 terdengar tunggal, tidak ada
suara jantung tambahan (Muttaqin, 2012).
12. Pemeriksaan abdomen Inspeksi : warna kulit merata, ada atau
tidaknya lesi, bentuk abdomen apakah datar, cembung, atau cekung.
Kaji adanya mual atau muntah disebabkan karena kadar kalium yang
menurun akibat polyuria, pankreastitis, kehilangan nafsu makan.
Terjadi peningkatan rasa lapar dan haus pada individu yang
mengalami ketoasidosis
Auskultasi : bising usus terdengar 20 x/menit
Palpasi : ada massa pada abdomen, kaji ada tidaknya pembesaran
hepar, kaji ada tidaknya asites, ada atau tidaknya nyeri tekan pada
daerah ulu hati (epigastrium) atau pada 9 regio
Perkusi : Bunyi timpani, hipertimpani untuk perut kembung, pekak
untuk jaringan padat
13. Genetalia Inspeksi : kaji apakah pada saat BAK terasa panas dan
sakit, apakah terdapat keputihan pada daerah genetalia atau tidak, ada
atau tidaknya tanda-tanda peradangan pada genetalia.
14. Extremitas Inspeksi: kaji persebaran warna kulit, turgor kulit Kembali
>2 detik, akral hangat, sianosis, produksi keringat (menurun atau
tidak) pada p dilihat adanya luka pada extremitas, kedalaman luka,
luas luka, adanya nekrosis (jaringan mati atau tidak ) adanya edema,
adanya pus dan bau luka serta nyeri atau baal. Serta gejala lain seperti
cepat lelah, lemah, kesemutan dan nyeri pada ektremitas. Palpasi :
kaji kekuatan otot, ada tidaknya pitting edema. (Sudarta, 2012)
15. Kulit dan kuku Inspeksi: lihat adanya luka, warna luka, dan edema,
kedalaman luka, ada tidaknya nekrosis, adanya pus atau tidak.
Palpasi: kaji apakah akral teraba dingin , kulit pecah-pecah, pucat,
kulit kering, 4.
f) Riwayat obsterik
1. Riwayat haid
HPHT adalah hari pertama haid terakhir, menurut Manuaba
menentukan usia kehamilan sangat penting untuk memperkirakan
persalinan. Usia kehamilan dapat ditentukan dengan menggunakan
rumus naegle yang dihitung dengan menentukan haid terakhir. Pada
kehamilan dengan hiperemesis gravidarum sering terjadi pada
trimester pertama kurang lebih pada umur kehamilan 6 minggu
setelah hari pertama haid terakhir.
2. Riwayat kehamilan sekarang
a. PP tes
Semua tes ada saat ini mendeteksi keberadaan human chorionic
Gonadothropin (HCG). Deteksi dini kehamilan memungkinkan
perawatan dimulai dini. Human chorionic gonadothropin dapat
diukur dengan radioimunoesai dan deteksi dalam darah enam hari
setelah konsepsi atau sekitar 20 hari sejak menstruasi terakhir.
b. Jumlah kehamilan
Gravida adalah jumlah kehamilan yang pernah dialami oleh
wanita tersebut (Varney, Hellen.2007.525). Pada primigravida
(kehamilan yang pertama kali), ia belum mampu beradaptasi
terhadap hormon estrogen dan korionik gonadotropin, yang
menimbulkan keluhan mual muntah
c. Riwayat ANC
Riwayat kehamilan sekarang pelu dikaji untuk mengetahui
apakah ibu rutin ANC atau tidak dan untuk mendeteksi
komplikasi, beberapa ketidaknyamanan, dan setiap keluhan
seputar kehamilan yang dialami wanita.
d. Keluhan
Keluhan ditanyakan untuk mendukung data diagnosa dan
mengetahui apa yang dirasakan ibu, pada waktu pengkajian ibu
mengatakan mual muntah begitu hebat dimana apa yang dimakan
dan diminum dimuntahkan, sehingga mempengaruhi keadaan
umum dan pekerjaan sehari-hari, berat badan menurun, dehidrasi.
e. Pola kebutuhan sehari-hari
Pola intake nutrisi Nafsu makan berubah selama ibu hamil. Pada
trisemester pertama sering terjadi penurunan nafsu makan akibat
nausea dan atau vomitus (Bobak.2004.hal; 120).
Ibu yang mengalami hiperemesis gravidarum akan mengalami
intoleransi makanandan minuman, dimana apa yang dimakan dan
diminum dimuntahkan. Kebanyakan perempuan mampu
mempertahankan kebutuhan cairan dan nutrisi dengan diet,
simptom akan teratasi hingga akhir trisemester pertama
f. Pola eliminasi
Pada ibu hamil dengan hiperemesis gravidarum akan mengalami
konstipasi sehingga ibu kesusahan BAB. Hal ini disebabkan oleh
efek hormon progesteron yang menyebabkan relaksasi otot polos
dan peningkatan waktu transit dari lambung dan usus dapat
meningkatkan absorbsi cairan.
g. Pola aktivitas
Hiperemessis gravidarum akan mempengaruhi keadaan umum
dan pekerjaan sehari-hari.
h. Pola Psikososial, Kultural dan Spiritual
Data tentang psikososial kultural dan spiritual menentukan
prilaku seseorang tentang kesehatan dan penyakit yang sering
berhubungan dengan kebiasaan, kepercayaan dan tradisi dapat
Menunjang, namun tidak jarang menghambat perilaku hidup
sehat. Hubungan faktor psikologi dengan kejadian hiperemesis
gravidarum belum jelas. Besar kemungkinan bahwa wanita yang
rumah tangganya retak, kehilangan pekerjaan, takut terhadap
kehamilan dan persalinan, takut terhadap tanggung jawab sebagai
ibu, dapat menyebabkan konflik mental.

b. Diagnose Keperawatan
Diagnose keperawatan adalah penilaian klinis mengenai respon manusia terhadap
kondisi kesehatan/proses kehidupan, atau kerentanan terhadap respon tersebut, oleh
individu, keluarga, kelompok atau komunitas. Diagnose keperawatan memberikan
dasar untuk pemilihan ntervensi keperawatan untuk mencapai hasil yang menjadi
tanggungjawab perawat. (NANDA, 2013).
Diagnose keperawatan yang sering ditemukan pada pasien dengan hyperemesis
gravidarum berdasarkan SDKI (Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia) adalah :
1) Resiko defisit nutrisi ditandai dengan ketidakmampuan menelan makanan
2) Resiko ketidakseimbangan cairan ditandai dengan disfungsi intestinal
3) Nausea berhubungan dengan kehamilan
4) Ansietas berhubungan dengan kekhawatiran megalami kegagalan
5) Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan

c. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang
didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran
(outcome) yang diharapkan.
Tindakan keperawatan adalah perilaku atau aktivitas spesifik yang dikerjakan oleh
perawat untuk mengimplementasikan intervensi keperawatan.

No Diagnosa Keperawatan Luaran Intervensi


.
1. Resiko defisit nutrisi Luaran utama : Intervensi utama :
 Status nutrisi  Manajemen nutrisi
 Manajemen gangguan
Luaran tambahan : makan
 Berat badan
 Eliminasi fekal Intervensi tambahan :
 Fungsi  Manajemen energi
gastrointestinal  Edukasi berat badan
 Nafsu makan efektif
 Perilaku  Edukasi diet
meningkatkan berat  Edukasi nutrisi
badan  Pemantauan cairan
 Status menelan  Pemantauan nutrisi
 Tingkat depresi  Konseling nutrisi
 Tingkat nyeri  Pemantauan tanda-tanda
vital
 Pemberian makanan
 Manajemen cairan
2. Resiko Luaran utama: Intervensi utama :
ketidakseimbangan  Keseimbangan  Pemantauan cairan
cairan cairan  Manajemen cairan

Luaran tambahan : Intervensi tambahan :


 Keseimbangan  Pemantauan elektolit
elektrolit  Pemantauan tanda-tanda
 Status cairan vital
 Status nutrisi  Pencegahan syock
 Tingkat  Manajemen elektrolit
mual/muntah  Manajemen nutrisi
 Manajemen syock
3. Nausea Luaran utama : Intervensi utama :
 Tingkat nausea  Manajemen muntah
 Manajemen mual
Luaran tambahan :
 Keseimbangan Intervensi tambahan :
cairan  Manajemen nyeri
 Keseimbangan  Manajemen sress
elektrolit  Edukasi efek samping
 Control obat
mual/muntah  Pemberian obat oral
 Nafsu makan  Edukasi Teknik napas
 Status nutrisi  Terapi relaksasi
 Tingkat ansietas
4. Ansietas Luaran utama : Intervensi utama :
 Tingkat ansietas  Reduksi ansietas
 Terapi relaksasi
Luaran tambahan :
 Dukungan social Intervensi tambahan :
 Kesadaran diri  Dukungan emosi
 Status kognitif  Tehnik distraksi
 Tingkat  Terapi hipnotis
pengetahuan  Dukungan kelompok
 Proses informasi  Terapi relaksasi otot
progresif
 Konseling
5. Defisit perawatan diri Luaran utama : Intervensi utama :
 Perawatan diri  Dukungan perawatan iri
 Dukungan perawatan
Luaran tambahan : diri : berpakaian
 Mobilitas fisik  Dukungan perawatan
 Motivasi diri : BAB/BAK
 Status kognitif  Dukungan perawatan
 Tingkat keletihan diri : makan/minum
 Tingkat  Dukungan perawatan
kenyamanan diri : berhias
 Dukungan perawatan
diri : mandi

Intervensi tambahan :
 Dukungan emosional
 Perawatan kuku
 Dukungan egambilan
keputusan
 Dukungan
tanggungjawab pada
diri sendiri
 Perawatan mulut
 Perawatan rambut
 Perawatan telinga
 Perawatan kaki
 Perawatan perineum
 Pemberian makanan
 Manajemen nutrisi

d. Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana
perawatan. Tindakan keperawatan mencangkup tindakan mandiri (independen)
dan tindakan kolaborasi (Tarwoto & Wartonah, 2015).

e. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan untuk dapat
menentukan keberhasilan dalam asuhan keperawatan. Evaluasi pada dasarnya
adalah membandingkan status keadaan kesehatan dengan tujuan atau kriteria hasil
yang telah ditetapkan (Tarwoto & Wartonah, 2015).

B. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DIABETES MELITUS


GESTASIONAL
a. Pengkajian
Menurut (Bararah, 2013) konsep asuhan keperawatan diabetes mellitus. Data yang
perlu didapatkan adalah:
1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab)
Biasanya identitas klien/ penanggung jawab dapat meliputi: nama, umur, jenis
kelamin, alamat, agama, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk
rumah sakit, diagnosa medis, nomor registrasi, hubungan klien dan
penanggungjawab.
2. Keluhan utama
Biasanya pasien masuk ke rumah sakit dengan keluhan utama gatalgatal pada
kulit yang disertai bisul atau lalu tidak sembuh-sembuh, kesemutan atau rasa
berat, mata kabur, kelemahan tubuh. Disamping itu pasien juga mengeluh
poliuri, polidipsi, anoreksia, mual dan muntah, BB menurun, diare kadang-
kadang disertai nyeri perut, kram otot, sakit kepala sampai penurunan
kesadaran.
3. Riwayat kesehatan sekarang
a. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya pasien datang degan keluhan yang dominan adalah sering buang
air kecil (poliuria), sering lapar dan haus (polidipsi dan polifagia),
sebelum pasien mempunyai berat badan yang berlebih, biasanya pasien
belum menyadari kalau itu merupakan perjalanan penyakit diabetes
mellitus. Pasien baru tahu kalau sudah memeriksakan diri di pelayanan
kesehatan.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya pasien DM pernah dirawat karna kadar glukosa darah tinggi.
Adanya faktor resiko yang mempengaruhi seperti genetic, obesitas, usia,
minimnya aktivitas fisik, pola makan yang berlebihan atau salah.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya dari genogram keluarga terdapat salah satu anggota keluarga yang
juga menderita diabetes mellitus.
5. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik menurut Riyadi (2014) antara lain:
a. Status penampilan kesehatan
Biasanya yang sering muncul adalah kelemahan fisik.
b. Tingkat kesadaran
Biasanya normal, latergi, stupor, koma (tergantung kadar gula darah yang
dimiliki dan kondisi fisiologis untuk melakukan kompensasi kelebihan
gula darah).
c. Rambut
Biasanya lebat, tipis ( banyak yang rontok karena kekurangan nutrisi dan
sirkulasi yang buruk). Kulit kepala biasanya normal.
d. Mata Sklera
Biasanya normal dan ikterik Conjungtiva: bisanya anemis pada pasien
kekurangan nutrisi dan pasien yang sulit tidur karena sering buang air
kecil di malam hari. Pupil: biasanya miosis, midrosis atau anisokor.
e. Telinga
Biasanya simetris kiri dan kanan, gendang telinga biasanya masih bisa
berfungsi dengan baik apabila tidak ada mengalami infeksi sekunder.
f. Hidung
Biasanya jarang terjadi polip dan sumbatan hidung kecuali ada infeksi
sekunder seperti influenza.
g. Mulut
Biasanya sianosis, pucat (apabila mengalami asidosis atau penurunan
perfusi jaringan).
h. Leher
Biasanya jarang distensi vena jugularis dan pembesaran kelenjar limfe.
i. Thorak dan paru-paru
Auskultas terdengar stridor (penderitaa mengalami obstruksi jalan nafas),
whezzing (apabila penderita mempunyai riwayat asma dan bronkithis
kronik).
j. Sistem kardiovaskuler
Biasanya perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah, takikardi atau
bradikardi, hipertensi atau hipotensi, aritmia, dan kardiomegalis
merupakan tanda dan gejala penderita diabetes mellitus.
k. Sistem gastrointestinal
Biasanya terdapat polifagia, polidipsi, mual, muntah, diare, konstipasi,
dehidrasi, perubahan berat badan, peningkatan lingkat abdomen, dan
obesitas.
l. Sistem muskuloskletal
Biasanya terjadi penurunan massa otot,cepat lelah, lemah, nyeri, dan
adanya ganggren di ekstremitas.
m. Sistem neurologis
Biasanya terjadi penurunan sensoris, sakit kepala , latergi, mengantuk,
reflek lambat, dan disorientasi.
6. Riwayat obsterik
1) Riwayat haid
HPHT adalah hari pertama haid terakhir, menurut Manuaba
menentukan usia kehamilan sangat penting untuk memperkirakan
persalinan. Usia kehamilan dapat ditentukan dengan menggunakan
rumus naegle yang dihitung dengan menentukan haid terakhir.
2) Riwayat kehamilan sekarang
a. PP tes
Semua tes ada saat ini mendeteksi keberadaan human chorionic
Gonadothropin (HCG). Deteksi dini kehamilan memungkinkan
perawatan dimulai dini. Human chorionic gonadothropin dapat
diukur dengan radioimunoesai dan deteksi dalam darah enam hari
setelah konsepsi atau sekitar 20 hari sejak menstruasi terakhir.
b. Jumlah kehamilan
Gravida adalah jumlah kehamilan yang pernah dialami oleh
wanita tersebut (Varney, Hellen.2007.525).
c. Riwayat ANC
Riwayat kehamilan sekarang pelu dikaji untuk mengetahui apakah
ibu rutin ANC atau tidak dan untuk mendeteksi komplikasi,
beberapa ketidaknyamanan, dan setiap keluhan seputar kehamilan
yang dialami wanita.
d. Keluhan
Keluhan ditanyakan untuk mendukung data diagnosa dan
mengetahui apa yang dirasakan ibu.
e. Pola kebutuhan sehari-hari
Pola intake nutrisi Nafsu makan berubah selama ibu hamil. Pada
trisemester pertama sering terjadi penurunan nafsu makan akibat
nausea dan atau vomitus (Bobak.2004.hal; 120).
f. Pola eliminasi
Pada ibu hamil akan mengalami polyuria dimana itu adalah salah
satu tanda dan gejala penyakit diabetes melitus.
g. Pola aktivitas
Diabetes Melitus Gestasional akan mempengaruhi keadaan umum
dan pekerjaan sehari-hari, karena ibu hamil akan merasa lemas
akibat dari penumpukan glukosa di dalam darah.
h. Pola Psikososial, Kultural dan Spiritual
Data tentang psikososial kultural dan spiritual menentukan prilaku
seseorang tentang kesehatan dan penyakit yang sering
berhubungan dengan kebiasaan, kepercayaan dan tradisi dapat
Menunjang, namun tidak jarang menghambat perilaku hidup
sehat.
7. Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan gula darah puasa atau fasting blood sugar (FBS)
b) Untuk menentukan jumlah glukosa darah pada saat puasa, klien tidak
makan dan boleh minum selama 12 jam sebelum test. Hasil normal 80-
120 mg/ 100 mlserum dan abnormal 140 mg/100 ml atau lebih.
c) Pemeriksaan gula darah postprandial
d) Untuk menentukan gula darah 2 jam setelah makan, dengan hasil normal
kurang dari 120 mg/100 ml serum dalam abnormal lebih dari 200 mg/100
dl atau indikasi Diabetes Melitus.
e) Pemeriksaan gula darah sewaktu bisa dilakukan kapan saja, nilai
normalnya adalah 70 – 20 mg/dl.
f) Pemeriksaan toleransi glukosa oral atau oral rolerance test (TTGO) untuk
menentukan toleransi terhadap respons pemberian glukosa. Pasien tidak
boleh makan selama 12 jam sebelum test dan selama test, pasien boleh
minum air putih, tidak boleh merokok, ngopi atau minum teh selama
g) Pemeriksaan (untuk mengatur respon tubuh terhadap karbohidrat) sedikit
aktivitas, kurangi stress, (keadaan banyak aktivitas dan stress
menstimulasi epinephrine dan kartisol karena berpengaruh terhadap
peningkatan glukoneogenesis). Hasil normal puncaknya 1 jam pertama
setelah pemberian 140 mg/dl dan kembali normal 2 atau 3 jam kemudian
dan abnormal jika peningkatan tidak kembali setelah 2 atau 3 jam, urine
positif glukosa.
h) Pemeriksaan kolesterol dan kadar serum trigliserida, dapat meningkat
karena ketidakadekuatan kontrol glikemik.
i) Pemeriksaan hemoglobin glikat (HbAIc). Tes ini mengukur presentase
glukosa yang melekat pada hemoglobin selama hidup sel darah merah.
HbAIc digunakan untuk mengkaji kontrol glukosa jangka panjang,
sehingga dapat memprediksi resiko komplikasi. Rentang normalnya
adalah 5-6 %.
j) Urinalisa positif terhadap glukosa dalam keton. Pada respon terhadap
defisiensi intraseluler, protein lemak diubah menjadi glukosa
(glukoneogenesis) untuk energi. Selama proses pengubahan ini, asam
lemak bebas dipecah menjadi badan keton oleh hepar. Ketoasidosis terjadi
ditunjukkan oleh ketonuria. Adanya ketonuria menunjukkan adanya
ketoasidosis (Tarwoto, 2012).

b. Diagnose Keperawatan
Diagnose keperawatan adalah penilaian klinis mengenai respon manusia terhadap
kondisi kesehatan/proses kehidupan, atau kerentanan terhadap respon tersebut, oleh
individu, keluarga, kelompok atau komunitas. Diagnose keperawatan memberikan
dasar untuk pemilihan ntervensi keperawatan untuk mencapai hasil yang menjadi
tanggungjawab perawat. (NANDA, 2013).
Diagnose keperawatan yang sering ditemukan pada pasien dengan hyperemesis
gravidarum berdasarkan SDKI (Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia) adalah :
a. Resiko ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan Manajemen
hiperglikemia
b. Defisit Nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan.
c. Defisit pengetahuan berhubungan dengan tingkat pengetahuan.
d. Ansietas berhubungan dengan kehawatiran megalami kegagalan.
c. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang
didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran
(outcome) yang diharapkan.
Tindakan keperawatan adalah perilaku atau aktivitas spesifik yang dikerjakan oleh
perawat untuk mengimplementasikan intervensi keperawatan.

No Diagnosa Keperawatan Luaran Intervensi


.
1. Resiko ketidakstabilan Luaran utama : Intervensi utama :
kadar gula darah  Kestabilan kadar  Manajemen
glukosa darah hiperglikemia
 Manajemen
Luran tambahan : hipoglikemia
 Control resiko
 Perilaku Intervensi tambahan :
mempertahakan  Edukasi diet
berat badan  Pemantauan nutrisi
 Status antepartum  Edukasi kesehatan
 Status intrapartum  Pemberian obat oral
 Status nutrisi  Edukasi latihan fisik
 Tingkat  Edukasi proses penyakit
pengetahuan  Pemberian obat sbkutan
 Perawatan kehamilan
resiko tinggi
 Pelibatan keluarga

2. Defisit Nutrisi Luaran utama : Intervensi utama :


 Status nutrisi  Manajemen nutrisi
 Manajemen gangguan
Luaran tambahan : makan
 Berat badan
 Eliminasi fekal Intervensi tambahan :
 Fungsi  Manajemen energi
gastrointestinal  Edukasi berat badan
 Nafsu makan efektif
 Perilaku  Edukasi diet
meningkatkan berat  Edukasi nutrisi
badan  Pemantauan cairan
 Status menelan  Pemantauan nutrisi
 Tingkat depresi  Konseling nutrisi
 Tingkat nyeri  Pemantauan tanda-tanda
vital
 Pemberian makanan
 Manajemen cairan
 Konseling nutrisi
3. Defisit pengetahuan Luaran utama : Intervensi utama :
 Tingkat  Edukasi kesehatan
pengetahuan
Intervensi tambahan :
Luaran tambahan :  Bimbinan system
 Memori kesehatan
 Motivasi  Edukasi diet
 Proses informasi  Edukasi keluarga : pola
 Tingkat kepatuhan kebersihan
 Edukasi nutrisi
4. Ansietas Luaran utama : Intervensi utama :
 Tingkat ansietas  Reduksi ansietas
 Terapi relaksasi
Luaran tambahan :
 Dukungan social Intervensi tambahan :
 Kesadaran diri  Dukungan emosi
 Status kognitif  Tehnik distraksi
 Tingkat  Terapi hipnotis
pengetahuan  Dukungan kelompok
Proses informasi  Terapi relaksasi otot
progresif
 Konseling

d. Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana
perawatan. Tindakan keperawatan mencangkup tindakan mandiri (independen) dan
tindakan kolaborasi (Tarwoto & Wartonah, 2015).

e. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan untuk dapat menentukan
keberhasilan dalam asuhan keperawatan. Evaluasi pada dasarnya adalah
membandingkan status keadaan kesehatan dengan tujuan atau kriteria hasil yang
telah ditetapkan (Tarwoto & Wartonah, 2015).
BAB IV
KESIMPULAN

A. KESIMPULAN
Dalam kehamilan juga bisa mengalami gangguan. Banyak factor yang dapat
menyebabkan terjadinya gangguan kehamilan. Dalam makalah ini dibahas megenai
dua gangguan kehamilan, yaitu hyperemesis gravidarum dan diabetes melitus
gestasional.
Hyperemesis gravidarum adalah sensai mual muntah yang dirasakan ibu hamil
di usia kehamilan trimester pertama. Secara fisiologis, sensai mua muntah akan
hilang seiring bertumbuhnya janin di dalam Rahim. Namun, jika sensasi tersebut
tidak kunjung berkurang bahkan lebih buruk, dapat diartikan sebagai hyperemesis
gravidarum yang dapat mengganggu asupan nutrisi untuk janin. Sehingga diagnose
keperawatan yang muncul di kasus tersebut adalah resiko defisit nutrisi, nausea dan
resiko ketidakseimbangan cairan.
Dengan gejala mual dan muntah yang cukup hebat, maka akan membuat ibu
hamil merasa khawatir dengan keadaan dan kondisi janin yang dikandungnya.
Maka, diagnose keperawatan anxietas dapat ditegakkan.
Selain itu, karena mual muntah yang dirasakan dan membuat nafsu makan
menurun, ibu hamil akan merasakan lemas karena kurangnya energi yang didapat.
Sehingga membuat ibu hamil sulit melakukan aktivitas secara mandiri dan
membuatnya kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu merawat diri.
Defisit perawatan diri dapat ditegakkan pada kasus hyperemesis gravidarum ini.
Sedangkan pada kasus diabetes melitus gestasional, diagnose keperawatan
yang utama adalah resiko ketidakseimbangan kadar gula darah dan Defisit nutrisi.
Karena ketidakmampuan tubuh dalam menyeimbangkan glukosa dalam darah
akibat dari diabetes melitus yang terjadi dalam kehamilan.
Ansietas pun terjadi karena ibu hamil mengkhawatirkan kondisi janinnya
karena penyakit kehamilan yang dialami ibu hamil. Defisit pengetahuan bisa
diangkat untuk memberikan Pendidikan diet dan nutrisi yang tepat bagi ibu dengan
diabetes melitus gestasional agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di
kehamilannya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Manuaba. (2010). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB untuk Pendidikan
Bidan. Edisi kedua. Jakarta: EGC.
2. Morgan, Gerri. (2009). Obstetri dan genekologi panduan praktik. Jakarta : EGC
3. Nurarif, A. H. & Kusuma, H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan
Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam berbagai kasus. Jogjakarta: Medication
Jogja.
4. Prawirohardjo S, Wiknjosastro H. Hiperemesis Gravidarum. Dalam: Ilmu Kebidanan;
Jakarta; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; Jakarta;2002; hal. 275-280.
5. Runiari, Nengah. 2010. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Hiperemesis
Gravidarum. Jakarta: Salemba Medika .
6. Sari, K. (2013). Standar Asuhan Keperawatan. Jakarta: Trans Info Media.
7. Smeltzer, S. C., & Bare, B. (2013). Textbook of medical-surgical nursing. Jakarta:
EGC.
8. Smeltzer, S. (2017). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : buku kedokteran EGC
9. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (I). (2018). Jakarta.
10. Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan (1st
ed.). (2019). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
11. Tarwoto. (2012). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Trans Info Media.
12. Tim Pokja SDKI PPNI. (2017). Standar diagnosa keperawatan indonesia. Dewan
Pengurus Pusat.
13. Tiran, Denise. 2008. Mual muntah kehamilan. Jakarta: EGC
14. Tiranda, Yulius. 2023. Integrase SDKI,SLKI,SIKI : Berdasarka pengkajian 11 pola
fungsional kesehatan Gordon. Jakarta : Trans Info Media.

Anda mungkin juga menyukai