Anda di halaman 1dari 8

LITERASI

Volume 2 No. 1, Juni 2012 Halaman 88 - 95

ETIKA LINGKUNGAN DALAM FOLKLOR MASYARAKAT


DESA TENGGER

SOCIAL ETHIC IN TENGGER VILLAGE FOLKLOR

Sony Sukmawan dan M. Andhy Nurmansyah


Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Malang
pos-el: swara_sukma_lelaki@yahoo.co.id; andhyfib@ub.ac.id

Abstrak

Etika lingkungan hidup bertumpu kepada paradigma biosentrisme dan ekosentrisme


yang memandang manusia sebagai bagian integral dari alam, sehingga sikap dan perilaku
manusia harus penuh tanggung jawab, sikap hormat, dan peduli terhadap kelangsungan
semua kehidupan di alam semesta. Paradigma seperi ini sebenarnya telah menjadi cara
pandang dan perilaku berbagai masyarakat adat di seluruh dunia, termasuk masyarakat
desa Tengger. Cara pandang dan perilaku arif masyarakat Tengger terhadap lingkungan
mereka selanjutnya terekspresi dalam ragam folklor Tengger. Folklor Tengger secara
nyata memuat berbagai bentuk nilai kearifan lingkungan seperti sikap hormat, kasih
sayang dan kepedulian terhadap alam, solidaritas kosmis, tanggung jawab terhadap alam
(responsibility for nature), tidak merugikan sesama (no harm), serta hidup sederhana selaras
dengan alam Tengger.
Kata kunci: kearifan, lingkungan, folklor, desa

Abstract

Environment ethic relies on biocentrism and ecocentrism paradigms viewing humans


as an integral part of the nature assuming responsible attitutes and behaviours, good respect
and care to the sustainability of living things in the universe. This kind of paradigm has
actually been adopted by many adat communities in the world, including Tengger rural
community. The Tenggerese ways of life and attitudes to the nature are manifestated in
the varieties of folklore. The Tenggerese folklore contain forms of environmental wisdoms,
such as respect, love, and care for the nature, cosmic solidarity and responsibility of the
nature, no doing harm to others, and living in harmony with the nature.
Keywords: environmental, wisdom, folklore, villages

A. Pendahuluan lingkungan yang memandang manusia se­


Paradigma ilmu pengetahuan modern bagai pusat dari sistem alam. Manusia dan
yang Cartesian1 telah menjauhkan manusia kepentingannya dianggap yang paling me­
dari alam, sekaligus menyebabkan sikap eks­ nentukan. Antroposentrisme juga melihat
ploitatif dan tidak peduli terhadap alam. bahwa nilai dan prinsip moral hanya berlaku
Sikap demikian bertumpu kepada cara pan­ bagi manusia sehingga etika pun semata-mata
dang antroposentrisme, sebuah teori etika berlaku bagi manusia (Keraf, 2008:47).
1 Paradigma ilmu pengetahuan yang Cartesian memiliki ciri utama mekanistik-reduksionistis. Dalam
paradigma ini, ada pemisahan yang tegas antara alam sebagai objek ilmu pengetahuan dan manusia sebagai
subjek. Demikian pula, ada pemisahan yang tegas antara fakta dan nilai. Paham bebas nilai dalam ilmu
pengetahuan dibela oleh pandangan ini.

88
Etika Lingkungan dalam Folklor Masyarakat Desa Tengger
Sony Sukmawan dan M. Andhy Nurmansyah

Cara pandang antroposentris dikoreksi suci yang ditakuti dan dihormati oleh orang
oleh etika biosentrisme2 dan ekosentrisme3. Tengger; pengeramatan Baju Pakis, Banyu
Yang disodorkan oleh biosentrisme dan Biru, Cemara Lawang, Gunung Gendera,
ekosentrisme ini sebenarnya sudah sejak Gunung Guyangan, Gunung Ranten, Gunung
awal dipraktikkan oleh masyarakat adat Jemahan, dan Pura Luhur Poten.
atau masyarakat tradisional di berbagai
belahan dunia, termasuk di Indonesia. Cara B. Etika Lingkungan
pandang mengenai manusia sebagai bagian Secara teoretis, etika mempunyai dua
integral dari alam, serta perilaku penuh pengertian. Pertama, sebagai ajaran yang
tang­gung jawab, sikap hormat, dan peduli berisi aturan tentang bagaimana manusia
terhadap kelangsungan semua kehidupan di harus hi­dup baik sebagai manusia atau
alam semesta, telah menjadi cara pandang sebagai ajaran yang berisikan perintah dan
dan perilaku berbagai masyarakat adat di larangan tentang baik-buruknya perilaku
seluruh dunia. Perspektif yang melihat bahwa manusia, yaitu perintah yang harus dipatuhi,
manusia sebagai komunitas etis, bukan seka­ dan larangan yang harus dihindari. Kaidah,
dar komunitas sosial dan manusia sebagai norma, atau aturan ini se­sungguhnya ingin
bagian integral dari alam, bukan entitas yang mengungkapkan, menjaga dan melestarikan
membawahkan dan menguasai alam, secara nilai tertentu (Keraf, 2010:14), yaitu konsepsi
aktual telah dipraktikkan oleh masyarakat ideal atau citra ideal tentang sesuatu yang
adat Tengger. dipandang dan diakui berharga yang hidup
Tengger adalah nama sebuah dataran dalam alam pikiran; tersimpan dan terwadahi
tinggi yang membentang di kawasan Taman dalam norma-norma, aturan-aturan, dan
Nasional Bromo-Tenger-Semeru. Menurut hukum; terartikulasi, teraktualisasi, dan
orang Tengger, nama ini berasal dari suku tereksternalisasi dalam ucapan, tindakan, per­
kata terakhir Rara Anteng, putra Prabu buatan, dan perilaku sebagian besar anggota
Brawijaya V dari kerajaan Majapahit dan Jaka masyarakat sebagai kesatuan dan keutuhan
Seger anak seorang Brahmana. Kedua tokoh (Saryono, 1997). Dengan demikian, etika juga
ini menikah dan menurunkan orang Tengger berisikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip mo­
yang kita kenal sekarang. Tengger juga ral yang harus dijadikan pegangan dalam me­
berarti tengering budi luhur ‘tanda keluhuran nuntun perilaku. Sekaligus juga berarti etika
budi pekerti’ , bahwa orang yang bertempat memberikan kriteria bagi penilaian moral ten­
tinggal di kawasan ini selalu bertumpu kepada tang apa yang harus dilakukan dan tentang
keluhuran budi dalam kehidupan sehari-hari apakah suatu tindakan dan keputusan dinilai
(Sutarto, 2008:253). Keluhuran budi yang sebagai baik atau buruk secara moral. Kriteria
biosentris dan ekosentris jelas terpampang ini yang dianggap sebagai nilai dan prinsip
dalam berbagai perilaku budaya wong gunung4. moral.
Hal ini misalnya dapat diamati dalam gelaran Dari pengertian tersebut, etika secara lebih
Kasada di kawah Gunung Bromo, Gunung luas dipahami sebagai pedoman bagaimana

2
2 Teori iniinimendasarkan
Teori mendasarkan moralitas
moralitas pada
pada keluhuran kehidupan, entah pada manusia atau makhluk
keluhuran
hidup kehidupan,
lainnya. entah pada
Konsekuensinya, alammanusia
semestaatau
adalah sebuah komunitas moral, tempat semua kehidupan
makhluk
dalam alam hidup lainnya.
semesta Konsekuensinya,
ini, baik manusia maupunalamyang bukan manusia, sama-sama memiliki nilai moral.
semesta
3 Sama adalah
dengansebuah
teorikomunitas moral,
biosentrisme. tempatpada biosentrisme, etika diperluas hingga mencakup
Bedanya,
semua kehidupan
komunitas dalam alam
biotis. Sementara semesta
pada ini, baiketika diperluas hingga mencakup komunitas eko­logis
ekosentrisme,
manusia maupun yang bukan manusia, sama-sama
seluruhnya.
memiliki
4 Orang nilai moral. menyebut dirinya wong gunung ‘orang gunung’ karena mereka bertempat tinggal di
Tengger
3 Sama
dataran dengan
tinggi atau diteori biosentrisme.
gunung-gunung Bedanya,
Tengger, lihat Ayu Sutarto, Kamus Budaya dan Religi Tengger. (Jember:
pada biosentrisme,
Lembaga etika diperluas
Penelitian Universitas hingga
Jember, 2008) hlm. 264.
mencakup komunitas biotis. Sementara pada
ekosentrisme, etika diperluas hingga mencakup
komunitas eko­logis seluruhnya. 89
4 Orang Tengger menyebut dirinya wong
gunung ‘orang gunung’ karena mereka bertempat
tinggal di dataran tinggi atau di gunung-gunung
Vol. 2, No. 1, Juni 2012

manusia harus hidup, dan bertindak sebagai kritis ini lalu ditawarkan cara pandang dan
orang baik. Etika memberi petunjuk, orientasi, perilaku baru yang dianggap lebih tepat dalam
arah bagaimana harus hidup secara baik se­ kerangka menyelamatkan krisis lingkungan
bagai manusia (Keraf, 2010:15). Nilai-nilai hidup dari perspektif folkloristik, yakni meng­
(yang merupakan muatan etika) menjadi gali dan mengeksplorasi etika lingkungan
penuntun, pemandu, penggerak, pedoman, hidup yang secara potensial termuat dalam
dan rujukan terhadap ucapan, tindakan, dan folklor masyarakat.
perbuatan manusia sebagai pribadi, anggota
masyarakat, dan hamba serta khalifah Tuhan C. Folklor Jawa-Tengger5 dan Etika
dalam hidup dan kehidupan. Nilai menjadi Lingkungan
pusat dan sumber daya hidup dan kehidupan Dalam peradaban Jawa terdapat dua sub­
manusia secara individual, sosial, dan religius- kultur, yaitu subkultur negara dan subkultur
transendental demi terhidupinya dan terjaganya desa. Negara menggunakan aturan hukum
pandangan dunia, mitologi, dan kosmologi formal sementara desa menggunakan aturan
yang menaungi keberadaan masyarakat dan adat istiadat ungkapan Jawa, negara mawa tata,
budayanya. Di sinilah nilai menjadi pusat dan desa mawacara. Negara dalam istilah kejawen
sumber ucapan, tindakan, dan perilaku ma­ me­ngacu kepada teritorial kota. Pendukung
nusia secara individual, sosial, dan religius- utama peradapan kota adalah istana atau
transendental dalam hidup dan kehidupan. keraton. Kebudayaan keraton dipublikasikan
Keselarasan, keserasian, kebenaran, ketepatan, melalui babad atau cerita sejarah. Sementara
dan kecocokan antara ucapan, tindakan, per­ itu, tradisi pedesaan berupa dongeng, parikan,
buatan, dan perilaku dengan nilai kearifan dan tutur lisan sebagai sarana penyebarannya.
yang dianut dan dipraktikkan oleh masyarakat Babad merupakan dokumentasi tertulis,
niscaya membuat pandangan hidup, mitologi, sedangkan cerita rakyat termasuk sarana
dan kosmologi mampu menghidupi, menjaga, komunikasi lisan. Dalam perkembangannya
dan memiara hidup dan kehidupan manusia kebudayaan Jawa telah mengalami proses yang
(Saryono, 2007). saling memengaruhi antara kedua subkultur
Kedua, etika dipahami sebagai refleksi itu. Selanjutnya, sinkretisasi kebudayaan
kri­tis tentang bagaimana manusia harus hidup Hindu, Budha, dan Islam memengaruhi pen­
dan bertindak dalam situasi konkret tertentu. ciptaan folklor Jawa.
Etika adalah filsafat moral, atau ilmu yang Folklor Jawa merupakan folklor dalam
mempelajari dan mengkaji secara kritis per­ kebudayaan Jawa yang merupakan ungkapan
soalan benar dan salah secara moral, tentang (ekspresi) budaya yang diciptakan dan dalam
bagaimana harus bertindak dalam situasi penggunaanya menimbulkan respons yang
konkret (Keraf, 2010:17). terkait dengan pesan yang mengandung ni­
Etika lingkungan hidup dalam kajian ini lai tertentu. Di samping mengandung nilai,
lebih condong kepada pengertian kedua, yak­ folklor Jawa juga dapat menjadi identitas
ni sebagai refleksi kritis tentang norma dan lokal masyarakat Jawa, monumen sejarah, dan
nilai atau prinsip moral yang dikenal umum sumber informasi kebudayaan Jawa.
selama ini dalam kaitannya dengan lingkungan Sebagai sebuah identitas, folklor Jawa
hidup dan refleksi kritis tentang cara pandang merupakan kebanggaan kolektif sekaligus
manusia tentang manusia, alam, dan hubungan wahana untuk melakukan refleksi spiritual
antara manusia dan alam serta perilaku yang masyarakat (Purwadi, 2009:4). Sebagai monu­
bersumber dari cara pandang ini. Dari refleksi men sejarah, folklor Jawa juga merupakan

5 Folklor Jawa yang tumbuh dan berkembang


5 Folklor Jawa yang tumbuh dan berkembang di wilayah Kebudayaan Tengger
di wilayah Kebudayaan Tengger

90
Etika Lingkungan dalam Folklor Masyarakat Desa Tengger
Sony Sukmawan dan M. Andhy Nurmansyah

monumen tradisi lisan Jawa yang dapat Penyampaian folklor yang turun-temurun ini
menunjukkan identitas kultural Jawa, di an­ dapat menimbulkan tradisi (Propp, 1987:6).
taranya adalah watak atau corak kebudayaan Masyarakat Desa Tengger juga mengalami
Jawa. Selanjutnya, sebagai sumber informasi proses budayanya secara lisan. Mereka me­
kebudayaan Jawa, folklor Jawa merupakan nyampaikan perilaku lingkungan hidupnya
ekspresi nyata alam pikiran masyarakat Jawa. dengan folklor. Folklor berperan membentuk
Dalam folklor Jawa, ungkapan tradisional konsepsi masyarakat akan mak­na etika
Jawa misalnya, terkandung kristalisasi pe­ lingkungan hidup (Tjokrowinoto, 1996:3).
ngalaman, cerminan pikiran, dan pantulan
perasaan masyarakat Jawa. Di dalamnya 1. Kearifan Lingkungan dalam Folklor
termuat kebijaksanaan kolektif dan kecerdasan Tengger
sosial (Sumarti, 1986:4). Selain itu, ditemukan a. Sikap Hormat, Kasih Sayang dan Peduli
pula fungsi pengasah pranata sosial yang Alam (respect, caring for nature), dan
bersifat didaktis, historis, humoris, herois, dan Solidaritas Kosmis (cosmis solidarity)
humanis (Cokrowinoto, 1986:5). Biosentrisme dan ekosentrisme meman­
Etika lingkungan dalam suatu masyarakat dang bahwa manusia mempunyai kewajiban
tertentu sangat berpengaruh pada kepribadian moral untuk menghargai alam semesta
masyarakat tersebut. Tidak terkecuali bagi dengan segala isinya karena manusia adalah
masyarakat Jawa, khususnya masyarakat bagian dari alam dan karena alam mempunyai
Desa Tengger,6 mereka mempunyai dan nilai pada dirinya sendiri (Keraf, 2008:167).
mengembangkan kepribadiaanya sendiri. Integralitas relasi manusia dengan alam
Kepribadian masyarakat Desa Tengger me­ memang menjadi ciri khas pandangan dunia
ngalami penyesuaian sesuai dengan benturan- Jawa, bahwa realitas tidak dibagi dalam
benturan budaya yang terjadi. Setiap peru­ berbagai bidang yang terpisah-pisah dan
bahan karena benturan budaya, perlu tanpa hubungan satu sama lain, melainkan
diidentifikasi karena akan menghasilkan bahwa realitas dilihat sebagai satu kesatuan
berbagai konsepsi dan perkembangan pena­ menyeluruh (Suseno, 1993:82). Maka, Orang
laran yang membentuk kepribadian mereka. dan alam Tengger sebagai wujud realitas
Hal ini dimungkinkan karena salah satu merupakan satu kesatuan holistik.
tuntutan pem­bangunan adalah perubahan Dengan demikian, alam (Tengger) mem­
ke arah perbaikan dan kesempurnaan. Emil punyai hak untuk dihormati, tidak saja karena
Salim (1986) selalu menekankan keberhasilan kehidupan manusia (Tengger) bergantung ke­
berwawasan ling­kungan ditentukan oleh cara pada alam, tetapi terutama karena kenyataan
manusianya mengungkapkan etika budayanya ontologis bahwa manusia (Tengger) adalah
sesuai dengan wawasan lingkungannya. Oleh bagian integral dari alam (Tengger), manusia
karena itu, diperlukan tolok ukur pemahaman (Tengger) adalah anggota komunitas ekologis
manusia atas perilaku masyarakatnya dalam (Keraf, 2008:168).
mendidik sesamanya. Salah satu wujud penghormatan orang
Pada masa lalu, pendidikan sesama ma­ Tengger terhadap alam adalah perilaku kos­
nusia disampaikan secara lisan. Komunikasi mis menjaga harmoni dengan makhluk hi­
secara lisan secara turun-temurun dalam dup yang ada. Misalnya, warga desa Ngadas
masyarakat akan memunculkan adanya cerita perlu menyapa harimau atau ular jika mereka
rakyat, atau folklor (Danandjaya, 1986:1). kebetulan berpapasan. Sikap takut seharusnya

6
6 Desa Tengger adalah
Desa Tengger adalah wilayah
wilayah didi kabupaten
kabupaten Malang, Pasuruan, Lumajang, dan Probolinggo yang
Malang, Pasuruan, Lumajang, dan Probolinggo
Mayoritas Penduduknya beragama Hindu dan masih memegang teguh adat-istiadat Tengger, lihat Ayu
yang Mayoritas
Sutarto, Penduduknya
dalam Kamus Budaya dan beragama Hindu
Religi Tengger, 2008. Hlm. 24.
dan masih memegang teguh adat-istiadat Tengger,
lihat Ayu Sutarto, logcit. Hlm. 24.
91
Vol. 2, No. 1, Juni 2012

dihindari karena makhluk terse­but kerap manusia (Tengger) perasaan solider dan
membantu masyarakat. Masyarakat setempat sepenanggungan dengan alam dan dengan
percaya bahwa macan tutul akan memper­ sesama makhluk hidup lain. Masyarakat
lihatkan diri seandainya ada gejala-gejala Tengger bisa ikut merasakan apa yang
kerusakan/kebusukan di kampung mereka. dirasakan oleh makhluk hidup lain di alam
Membunuh binatang tersebut menjadi Tengger. Ia ikut merasakan apa yang terjadi
pan­tangan masyarakat karena dikisahkan dengan alam Tengger, karena ia merasa satu
pernah ada orang yang dimakan harimau dengan alam Tengger. Solidaritas kosmis
ketika tidur di hutan karena sebelumnya ia ini mendorong manusia Tengger untuk
membunuh anak harimau. Lebih-lebih, bina­ menyelamatkan alam, mencegah tindakan
tang itu sendiri telah memberikan sinyal- sesama yang merusak dan mencemari alam
sinyal tertentu kepada manusia untuk dibaca dan keseluruhan kehidupan di dalamnya,
demi keselamatan ma­nusia. Menurut warga mengendalikan moral –semacam tabu– untuk
Ngadas, ular yang mun­cul dari sisi kanan mengharmoniskan perilaku manusia dengan
berarti buas, sedangkan yang melintas dari ekosistem seluruhnya. Solidaritas kosmis ini
kiri berarti hanya ingin bertemu dan tidak berfungsi mengontrol perilaku manusia dalam
buas. Tanda-tanda semacam inilah yang perlu batas-batas keseimbangan kosmis (Keraf,
dibaca oleh masyarakat untuk kemudian 2008:171-172).
melakukan langkah-langkah antisipatif demi
keselamatan dirinya. b. Sikap Tanggung Jawab terhadap Alam
Menghormati unsur alam dengan tidak (responsibility for nature) dan Prinsip
No Harm dalam Kepercayaan Rakyat
mengganggu dan tidak menyakiti mereka
Tengger
merupakan perwujudan sikap kasih sayang
Prinsip hormat terhadap alam dapat
dan peduli masyarakat Tengger terhadap
dikaitkan dengan tanggung jawab moral ter­
alam Tengger. Sikap demikian muncul dari
hadap alam, karena secara ontologis manusia
kenyataan bahwa sebagai sesama anggota
adalah bagian integral dari alam. Tanggung
komunitas ekologis, semua makhluk hidup
jawab ini bukan saja bersifat individual
–termasuk di dalamnya adalah orang Tengger
melainkan juga kolektif. Prinsip moral ini
dan lingkungan hidup Tengger– mempunyai
menuntut manusia mengambil prakarsa,
hak untuk dilindungi, dipelihara, tidak di­
usaha, kebijakan, dan tindakan bersama secara
sakiti, dan dirawat. Hal itu merupakan prinsip
nyata untuk menjaga alam semesta dengan
moral satu arah menuju yang lain tanpa
segala isinya. Itu berarti, kelestarian dan
mengharapkan balasan. Semakin mencintai
kerusakan alam merupakan tanggung jawab
alam, manusia semakin berkembang menjadi
bersama seluruh umat manusia. Tanggung
manusia yang matang dan sebagai pribadi
jawab bersama ini terwujud dalam bentuk
dengan identitasnya yang kuat, karena alam
mengingatkan, melarang, dan menghukum
memang menghidupkan, tidak hanya dalam
siapa saja yang secara sengaja atau tidak
pengertian fisik, melainkan juga dalam penger­
merusak dan mem­bahayakan eksistensi alam
tian mental dan spiritual (Keraf, 2008:172-
(Keraf, 2008:169-170).
173).
Aktualisasi tanggung jawab orang Tengger
Sebagai bagian integral dari alam semesta,
dalam wujud larangan dan hukuman dapat
manusia (Tengger) mempunyai kedudukan
teramati misalnya pada larangan menebang
sederajat dan setara dengan alam dan dengan
pohon atau mengambil apapun yang ada
sesama makhluk hidup lain di alam ini.
Kenyataan ini membangkitkan dalam diri

92
Etika Lingkungan dalam Folklor Masyarakat Desa Tengger
Sony Sukmawan dan M. Andhy Nurmansyah

di daerah Danyang7, Sanggar8, dan Sumber. Tanggung jawab moral bukan saja ber­
Menurut penuturan masyarakat Ngadas sifat antroposentris egoistis, melainkan
Kidul9, pelanggaran terhadap larangan ini juga kosmis. Tanggung jawab merupakan
akan mendapatkan hukuman dari danyang. panggilan kosmis dan menjaga alam itu
Diceritakan bahwa di Sanggar pernah terjadi sendiri, untuk menja­ga keseimbangan dan
peristiwa, seorang Belanda memindah batu keutuhan ekosistem. Tanggung jawab yang
yang ada di sana, dan akhir­nya ia mati di menyebabkan manusia merasa bersalah ketika
tempat. Dikisahkan pula oleh informan10 terjadi bencana (alam) karena keseimbangan
bahwa ada seorang warga yang melanggar ekosistem terganggu. Maka, manusia lalu
larangan dengan cara mengambil dahan melakukan tindakan kosmis dengan memba­
kering di Sanggar, akibatnya pada ma­lam wa sesajen, berdoa, atau ritus tertentu untuk
harinya kandang beserta sapi yang ada di mengungkapkan rasa bersalahnya dan secara
dalamnya terbakar habis. Demikian pula yang kosmis ingin menye­imbangkan kembali ke­
dialami oleh seorang Belanda yang sengaja kacauan kosmis itu (Keraf, 2008:171).
memotong pohon di sanggar, ia mati bersama­ Tindakan kosmis sebagai ungkapan ber­
an dengan robohnya pohon itu. Ada lagi kisah salah sekaligus merajut kembali hubungan
penebangan pohon beringin keramat dengan yang selaras dengan alam dilakukan oleh Orang
gergaji mesin oleh seorang warga. Akibatnya, Tengger (Ngadas) dengan, misalnya Selametan
istri orang itu mengalami kesurupan selama banyu. Selametan banyu yang dilaksanakan
3 hari 3 malam, dan selang 1 bulan kemudian ma­syarakat setiap bulan Suro merupakan
mereka bercerai. reaksi atas ketidakseimbangan alam akibat
Karena manusia mempunyai kewajiban ulah ma­nusia yang menyebabkan kemarahan
moral dan tanggung jawab terhadap alam, danyang sumber. Dikisahkan informan bahwa
paling manusia (Tengger) tidak akan mau pernah terjadi peristiwa tersumbatnya saluran
merugikan alam (Tengger) secara tidak air hanya oleh sehelai daun sehingga air
perlu sebagaimana manusia tidak dibenar­ tidak mengalir dan hal itu membahayakan
kan secara moral untuk melakukan tindakan persediaan air bagi masyarakat. Selametan banyu
yang merugikan sesama (no harm). Dalam ‘selamatan air’ disertai pembuatan sesajian
masyarakat adat (Tengger), kewajiban minimal untuk danyang sumber air menjadi tindakan
ini dipertahankan dan dihayati melalui tabu- kosmis yang bertujuan mengharmoniskan
tabu sebagaimana terpapar sebelumnya. hubungan agar air dapat tetap lancar meng­
Misal­nya, alam (bisa juga batu atau pohon hidupi masyarakat.
tertentu) adalah sakral sehingga tidak boleh
dirusak (Keraf, 2008:173-174).

7 Danyang adalah roh halus penjaga desa yang


7 Danyang
di­percaya adalah
dapat roh halus penjaga
melindungi, desa yang di­percaya dapat melindungi, atau sebaliknya, meng­
atau sebaliknya,
ganggu (memberi
meng­ganggu bencana)
(memberi wargawarga
bencana) desa, desa,
lihat Ayu
lihat Sutarto, l. dalam Kamus Budaya dan Religi Tengger, 2008
Hlm. 25.
Ayu Sutarto, logcit. Hlm. 25.
8
8 Sebidang
Sebidang tanah
tanah keramat
keramat yang
yang terpisah
terpisah dari
daripemu­kiman penduduk dan dipercaya sebagai tempat
hunian roh halus
pemu­kiman penjaga desa
penduduk, danatau kang mbau rekso. Di tempat ini biasanya terdapat satu atau dua buah batu
dipercayasebagai
keramat ukuranroh
tempat hunian sedang
halusdan pohon-pohon
penjaga desa ataubesar dengan daun yang rimbun. Jenis pohon yang tumbuh di
kang
tempat ini biasanya
mbau rekso. Ditempatterdiri atas pohon
ini biasanya cemara,
terdapat kapuk, beringin, atau rotan. Sajian untuk memohon berkah
satu atau
ditaruh
dua buahdibatu
dekat batu dan
keramat di situ
ukuran puladan
sedang Orang
pohon-Tengger membacakan mantra, lihat Ayu Sutarto, dalam
Kamus
pohon Budaya
besar dan Religidaun
dengan Tengger, 2008.
yang Hlm. 235.
rimbun. Jenis
9
pohon Masyarakat
yang tumbuh Desadi Ngadas Kidul
tempat ini bertempat
biasanya terdiritinggal di atas sebuah bukit kawasan Taman Nasional
Bromo-Tengger-Semeru,
atas pohon cemara, kapuk, Kecamatan
beringin,Poncokusumo,
atau rotan. Kabupaten Malang.
10
SajianBapak
untukSuyak,
memohon55 th, ketua
berkahLPMD desadiNgadas.
ditaruh dekat
batu dan di situ pula Orang Tengger membacakan
mantra, lihat Ayu Sutarto, logcit. Hlm. 235.
9 Masyarakat Desa Ngadas Kidul bertempat 93
tinggal di atas sebuah bukit dalam kawasan Taman
Nasional Bromo-Tengger-Semeru, Kecamatan
Poncokusumo, Kabupaten Malang.
Vol. 2, No. 1, Juni 2012

c. Prinsip Hidup Sederhana dan Selaras orangan. Untuk keperluan upacara entas-entas
dengan Alam dalam Ritual dan ini dibutuhkan 24 buah petra.
Pengobatan Tradisional Masyarakat Kebutuhan yang digunakan untuk peng­
Tengger obatan maupun kebutuhan untuk peraya­an
Jika manusia memahami dirinya sebagai tertentu bersifat alami sehingga selaras dengan
bagian integral dari alam, ia harus meman­ alam. Tidak diperlukan banyak biaya untuk
faatkan alam secukupnya. Ada batas sekadar itu karena semua perangkat kebutuhan telah
untuk hidup secara layak sebagai manusia. tersedia di alam dan lingkungan Tengger.
Prinsip hidup sederhana menjadi prinsip fun­ Sikap hidup yang sesuai dengan tuntutan alam
damental. Bersamaan dengan itu, ia hidup dikembangkan oleh Orang Tengger dengan
seadanya sebagaimana alam itu. Ia meng­ jalan mengikuti hukum alam.
ikuti hukum alam, yaitu hidup dengan
memanfaatkan alam sejauh dibutuhkan, dan D. Simpulan
berarti hidup selaras dengan tuntutan alam Manusia mengembangkan diri dan mem­
itu sendiri (Keraf, 2008:175-176). pertahankan kehidupannya sejalan dengan
Kesederhanaan hidup masyarakat Teng­ sifat alamiahnya sebagai makhluk alam. Hal
ger tercermin dalam perilaku arif mereka ini membangun kesadaran bahwa tidak ada
dalam memanfaatkan tanaman obat-obatan pemisahan ontologis secara diametral antara
yang tersedia di hutan-hutan dan di sekitar manusia dan semesta di luarnya. Karena
pemukiman mereka. Beberapa tanaman obat manusia yang partikular berlangsung dalam
dari hutan yang biasa dimanfaatkan masyarakat kesatuan dengan semesta yang universal dan
adalah tanaman telasih digunakan untuk semesta yang universal maujud dalam manusia
pestisida, adas pulowaras untuk mengobati sakit yang partikular. Manusia Tengger memandang
kembung, tanaman dilem untuk membersihkan diri mereka sebagai bagian dan perpanjangan
diri pascamelahirkan anak, dan jamur rimpes tangan dari ekosistem seluruhnya yang sejalan
untuk pengobatan penyakit beri-beri. dengan pandangan mikrokosmos dan ma­
Selanjutnya, kebersahajaan hidup Orang krokosmos ke-Jawa-an mereka. Mereka tahu
Tengger tergambar pula dalam upacara cara mengakui dan menghargai keaneka­
entas-entas11 maupun karo12. Dalam ritual ini ragaman dan kompleksitas ekologis Tengger
orang membuat petra13 yaitu boneka kecil dalam suatu hubungan simbiosis yang
berbentuk manusia yang kemudian dibakar harmonis. Semua itu terpotret secara potensial
di pe-danyang-an. Petra dibuat dari daun dalam folklor yang mengandung nilai kearifan
telotok, janur, bambu, lawe, daun dalu, branding, ekologis.
tali bambu yang dibentuk menjadi orang-

11 Istilah ini berasal dari bahasa Jawa ngentas


(mengangkat). Upacara entas-entas merupakan
salah satu bentuk
11 Istilah upacara
ini berasal dariadat yang
bahasa berhubungan
Jawa ngentas (mengangkat). Upacara entas-entas merupakan salah satu
dengan siklus hidup manusia, khususnya
bentuk upacara adat yang berhubungan dengan setelah
siklus hidup manusia, khususnya setelah meninggal dunia.
meninggal
Upacara ini dimaksudkan untuk menyucikanuntuk
dunia. Upacara ini dimaksudkan roh orang yang telah meninggal agar dapat masuk surga atau
menyucikan
nirwana.Upacararoh orang yang telah meninggal
ini diselenggarakan pada hariagar
ke-1000, dihitung dari hari pertama kematiannya.
dapat masuk surga atau nirwana.Upacara
12 Karo merupakan nama bulan ke-2 dalam perhitunganini tahun kalender Tengger. Dalam bulan ini orang
diselenggarakan pada hari ke-1000, dihitung dari
Tengger mengadakan upacara/selamatan, dan perayaan untuk memuliakan, mengingat, dan memohon
hari
berkahpertama
kepadakematiannya.
roh-roh halus Dalam tradisi
dan arwah Jawa,
orang-orang yang telah meninggal dunia. Perayaan Karo jatuh
upacara
pada purnama bulan Karo (tanggal 15 Karo) ,Ayu
semacam ini disebut nyewu, lihat lihat Ayu Sutarto, dalam Kamus Budaya dan Religi Tengger,
Sutarto, 60. Hlm. 30.
logcit.
2008. Hlm.
13 Petra berasal dari bahasa kawi pitara ‘nenek moyang’, boneka dari dedaunan, bunga tanalayu dan kain
yang melambangkan leluhur yang telah meninggal dunia, lihat Ayu Sutarto, dalam Kamus Budaya dan Religi
Tengger, 2008. Hlm. 171.

94
Etika Lingkungan dalam Folklor Masyarakat Desa Tengger
Sony Sukmawan dan M. Andhy Nurmansyah

Daftar Pustaka Keraf, Sonny A. 2010. Etika Lingkungan Hidup.


Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Amrih, Pitoyo. 2008. Ilmu Kearifan Jawa. Proop, Vladimir. 1997. Theory and History of
Yogjakarta: Pinus Book Publiser. Folklore. Minneapolis: University of Minne­
Anshoriy, Nasruddin dan Sudarsono. 2008. sota Press.
Kearifan Lingkungan dalam Perspektif Budaya Purwadi. 2009. Folklor Jawa. Yogyakarta: Pura
Jawa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Pustaka.
Cokrowinoto, Sardanto. 1986. Manfaat Folklor Saryono, Djoko. 1997. Representasi Nilai Budaya
bagi Perkembangan Masyarakat. Yogyakarta: Jawa dalam Prosa Fiksi Indonesia. Disertasi
Depdikbud. tidak diterbitkan. Malang: Program Pasca­
Cokrowinoto, Sardanto. 1996. Penelitian Peranan sarjana UM.
Folklor terhadap Etika Lingkungan Hidup Sumarti. 1986. Ungkapan Tradisional Jawa: Sebuah
(online), (http.//eprint.undip.ac.id, Tinjauan Awal. Yogjakarta: Depdikbud.
diakses tanggal 2 Maret 2011). Suseno, Franz Magnis. 1993. Etika Jawa: Sebuah
Danandjaya, James. 2002. Folklor Indonesia. Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Endraswara, Suwardi. 2010. Folklor Jawa: Bentuk, Sutarto, Ayu. 2008. Kamus Budaya dan Religi
Macam, dan Nilainya. Jakarta: Penaku. Tengger. Jember: Lemlit Universitas
Jember.

95

Anda mungkin juga menyukai