Abstract
This is very important in today's challenging environment for the company
to survive and win the competition in the market. A company is required to
have a strategic business plan that is supported by human resource
planning, and one of the important functions of the Human Resources
(HR). Many companies position the HR function only as personnel
administration and in addition, the professional resources (human
resources) also did not have enough understanding of how to maximize
their effectiveness of their role in the company. The question is what HR
roles required in order to provide support, useful, and maximize the
potential and value of the company. Case study focuses on industrial
companies etrochemical. This study found that all companies doing HR
human resources planning and continuous where the HR function in the
role they play equally balanced in four roles and accompanied by a
balance of incentives.
A. Pendahuluan
Manajemen Sumber Daya Insani, disingkat MSDM, adalah suatu
ilmu atau cara mengatur hubungan dan peranan sumber daya (tenaga kerja)
yang dimiliki oleh individu secara efisien dan efektif serta dapat digunakan
secara maksimal sehingga tercapai tujuan (goal) bersama perusahaan,
karyawan dan masyarakat menjadi maksimal.
Sumber Daya Insani merupakan kekuatan terbesar dalam
pengolahan seluruh sumber daya yang ada di muka bumi. Manusia
diciptakan oleh Allah swt. sebagai khalifah di bumi untuk mengelola bumi
dan sumber daya yang ada di dalamnya demi kesejahteraan manusia
sendiri, makhluk dan seluruh alam semesta, karena pada dasarnya seluruh
ciptaan Allah yang ada di muka bumi ini sengaja diciptakan oleh Allah
untuk kemaslahatan umat manusia. Hal ini sangat jelas ditegaskan oleh
Allah dalam al-Quran surat al-Jatsiyah ayat 13:
َ َ
Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi
semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.1
B. Pembahasan
Manajemen Sumber Daya Insani diperlukan untuk meningkatkan
efektivitas Sumber Daya Insani dalam organisasi. Tujuannya adalah
memberikan kepada organisasi satuan kerja yang efektif. Untuk mencapai
tujuan ini, studi tentang manajemen personalia akan menunjukkan
bagaimana seharusnya perusahaan mendapatkan, mengembangkan,
menggunakan, mengevaluasi, dan memelihara karyawan dalam jumlah
(kuantitas) dan tipe (kualitas) yang tepat.
Manajemen Sumber Daya Insani adalah suatu proses menangani
berbagai masalah pada ruang lingkup karyawan, pegawai, buruh, manajer
dan tenaga kerja lainnya untuk dapat menunjang aktivitas organisasi atau
perusahaan demi mencapai tujuan yang telah ditentukan. Bagian atau unit
yang biasanya mengurusi SDM adalah departemen Sumber Daya Insani
atau dalam bahasa inggris disebut HRD atau human resource department.
Manajemen Sumber Daya Insani adalah ilmu dan seni mengatur hubungan
dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya
tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat2.
Menurut Mathis dan Jackson Sumber Daya Insani adalah rancangan
sistem-sistem formal dalam sebuah organisasi untuk memastikan
penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien guna mencapai
Manajemen Sumber Daya Insani tujuan organisasi. Hal ini juga terungkap
dalam al-Qur’an yang menerangkan bahwa manusia merupakan makhluk
yang tercipta sempurna dan memiliki banyak potensi dalam dirinya.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”.3
c. Insentif
Insentif sebagai sarana motivasi yang mendorong para pegawai untuk
bekerja dengan kemampuan yang optimal, yang dimaksudkan sebagai
pendapatan ekstra di luar gaji atau upah yang telah di tentukan. Pemberian
insentif dimaksudkan agar dapat memenuhi kebutuhan para pegawai dan
keluarga mereka. Istilah sistem insentif pada umumnya digunakan untuk
menggambarkan rencana - rencana pembayaran upah yang dikaitkan secara
langsung atau tidak langsung dengan berbagai standar kinerja pegawai atau
profitabilitas organisasi.
Insentif dapat dirumuskan sebagai balas jasa yang memadai kepada
pegawai yang prestasinya melebihi standar yang telah ditetapkan. Insentif
merupakan suatu faktor pendorong bagi pegawai untuk bekerja lebih baik
agar kinerja pegawai dapat meningkat.
Dari pengertian di atas untuk lebih jelas tentang insentif, di bawah ini
ada beberapa ahli manajemen mengemukakan pengertian mengenai
insentif. Insentif adalah tambahan balas jasa yang diberikan kepada
karyawan tertentu yang prestasinya di atas prestasi standar. Insentif ini
merupakan alat yang di pergunakan pendukung prinsip adil dalam
pemberian kompensasi.13
Insentif merupakan imbalan langsung yang dibayarkan kepada
karyawan karena prestasi melebihi standar yang ditentukan. Dengan
mengasumsikan bahwa uang dapat mendorong karyawan bekerja lebih giat
lagi, maka mereka yang produktif lebih menyukai gajinya dibayarkan
berdasarkan hasil kerja.14 Atau pengertian lain Insentif adalah suatu
bentuk motivasi yang dinyatakan dalam bentuk uang atas dasar kinerja
yang tinggi dan juga merupakan rasa pengakuan dari pihak organisasi
terhadap kinerja karyawan dan kontribusi terhadap organisasi
( perusahaan ).15
Jadi menurut pendapat- pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan,
bahwa insentif adalah dorongan pada seseorang agar mau bekerja dengan
baik dan agar lebih dapat mencapai tingkat kinerja yang lebih tinggi
sehingga dapat menambah kemauan kerja dan motivasi seorang pegawai
agar terciptanya suatu kinerja yang berkualitas sesuai dengan tujuan
perusahaan.
Para manajer harus menyusun sistem insentif yang mencerminkan
sifat pekerjaan dan tempat kerja yang berubah-ubah supaya senantiasa
mampu memotivasi karyawan. Insentif organisasi dapat mencakup banyak
macam imbalan dan tunjangan yang berbeda-beda seperti upah dan gaji
pokok, upah serta gaji tambahan, upah insentif, dan tunjangan serta jasa
lainnya.
Salah satu alasan pentingnya pembayaran insentif karena adanya
ketidaksesuaian tingkat kompensasi yang dibayarkan kepada eksekutif
dengan pekerja lain. Program insentif adalah salah satu cara untuk
memungkinkan seluruh pekerja merasakan bersama kemakmuran
perusahaan.16
Pengembangan karir adalah rentetan posisi yang dipegang seseorang
selama hidupnya antara lain : 1) Keadaan zaman dulu, 2) Anda dan karier
anda sekarang. Sedangkan hal-hal terkini dalam Manajemen
Sumber Daya Insani antara lain : 1)Mengelola perampingan, 2)
Pengelola keragaman angkatan kerja, 3) Perekrutan, 4)Seleksi, 5)
Orintasi dan pelatihan, 6) Keseimbangan kehidupan kerja.
Kompensasi sebagai apa yang diterima SDM sebagai tukaran
atas kontribusinya kepada lembaga.17 Penentuan upah bagi para
pegawai
sebelum mereka mulai menjalankan pekerjaannya, telah dijelaskan
dalam hadis Nabi Saw yang berbunyi: Barangsiapa
mempekerjakan seorang pekerja, maka harus disebutkan upahnya.
Dalam hadis tersebut, Rasulullah
memberikan petunjuk bahwa dengan memberikan informasi gaji
yang akan diterima, diharapkan akan memberikan dorongan
semangat bagi pegawai untuk memulai pekerjaan, dan memberikan
rasa ketenangan.18
Upah ditentukan berdasarkan jenis pekerjaan. Hal ini
merupakan asas pemberian upah sebagaimana ketentuan yang
dinyatakan Allah dalam firman-Nya surat al-Ahqaf ayat 19:
َ َ َ َ ِ
ظ ْْْيل ْمه ْ ْم
يفو ليْاو ال عْأ ْم
َ َ َََِ ِ َِ ََ َِ
Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka
kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-
pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan”.19
Selain itu, cara pemberian gaji kepada pegawai dalam Islam
telah digariskan sesuai dengan sabda Nabi Saw : Berikan upah
kepada pekerja sebelum keringatnya kering.20
A. Definisi Zakat
Tugas hidup manusia sebagai makhluk ciptaan Allah swt adalah beribadah kepada-
Nya. (QS. Al-Dzariyat: 56). Cara beribadah kepada Allah dilakukan dengan (lebih
menekankan melalui) jasmani (badaniyyah) saja atau dengan harta benda (maliyah)
atau melalui keduanya. Salah satu bentuk ibadah dengan harta benda (maliyah) adalah
zakat.Secara etimologis, kata zakat berasal dari kata zakaa, yang berarti suci, baik,
berkah, terpuji, bersih, tumbuh, berkembang, penuh keberkahan dan beres. Secara
terminologis, zakat adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan
kepada orang-orang yang berhak. Menurut UU No. 38 Tahun 1998 tentang
Pengelolaan Zakat, pengertian zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang
muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai ketentuan agama untuk
diberikan kepada yang berhak menerimanya. Menurut istilah, zakat ialah kewajiban
seorang muslim untuk mengeluarkan nilai bersih dari kekayaannya yang tidak
melebihi satu nisab, diberikan kepadamustahik dengan beberapa syarat yang telah
ditentukan. Didin Hafidhuddin mendefinisikan zakat yaitu bagian dari harta dengan
persyaratan tertentu, yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya untuk
diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan persyaratan tertentu
pula. Dalam pengertian zakat tersebut tercakup pengertian zakat mal (zakat harta)
dan zakat fitrah (zakat jiwa). Esensi zakat adalah pengelolaan sejumlah harta yang
diambil dari orang yang wajib membayar zakat (muzakki) untuk diberikan kepada
mereka yang berhak menerimanya (mustahiq).
Definisi lain tentang zakat ialah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah
mencapai syarat tertentu pula yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan
diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Nipan Abdul Halim
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan zakat ialah suatu syariat yang
mengajarkan kepada segenap kaum kaya yang penghasilannya
mencapai nishab(kadar minimal) tertentu agar mengeluarkan sebagian kecil dari
penghasilannya itu diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
Ada keterkaitan erat antara makna zakat secara bahasa dan istilah, yaitu bahwa setiap
harta yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik, berkah,
tumbuh dan berkembang. Dalam konteks penggunaannya, selain untuk kekayaan,
tumbuh dan suci itu disifatkan untuk jiwa orang yang menunaikan zakat. Artinya,
zakat itu akan mensucikan orang yang mengeluarkannya dan menumbuhkan
pahalanya. Kata suci itu jika dihubungkan dengan harta, maka menurut ajaran Islam,
harta yang dizakati itu akan tumbuh berkembang, bertambah karena suci dan berkah
(membawa kebaikan bagi hidup dan kehidupan yang punya). Secara filosofis, fungsi
zakat bagi manusia adalah membersihkan dari kesalahan dan kecurangan dalam
meraih keinginan selama ini. Menurut istilah ekonomi, zakat merupakan tindakan
pemindahan kekayaan dari golongan kaya kepada golongan tidak punya. Salah satu
ajaran penting yang terdapat dalam agama Islam adalah urgensi zakat kaitannya
dengan pengentasan kaum dhu’afa dan mustadzafiin. Sebagai sebuah dinamika
keagamaan, zakat merupakan bentuk kesaksian manusia (syahadah al-insan) pada
rukun Islam yang keempat dihadapan Allah yang muaranya tertuju pada dimensi
kemanusiaan.
B. Dasar Hukum Zakat
Ada beberapa ayat dalam Alquran yang menjadi dasar kewajiban untuk menunaikan
zakat.
.
“Ambillah zakat dari sebahagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan diri dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang
ruku”.
.
2. Prinsip pemerataan dan keadilan; merupakan tujuan sosial zakat, yaitu membagi
kekayaan yang diberikan Allah lebih merata dan adil kepada manusia.
4. Prinsip nalar, yaitu sangat rasional bahwa zakat harta yang menghasilkan itu
harus dikeluarkan.
5. Prinsip kebebasan, yaitu bahwa zakat hanya dibayar oleh orang yang bebas atau
merdeka (hurr).
6. Prinsip etika dan kewajaran, yaitu zakat tidak dipungut secara semena-mena, tapi
melalui aturan yang disyariatkan.
Secara umum tujuan zakat adalah untuk mencapai keadilan sosial ekonomi. Zakat
merupakan transfer sederhana dari bagian dengan ukuran tertentu harta si kaya untuk
dialokasikan kepada si miskin.
6. Menghilangkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dari hati orang-orang
miskin.
Dalam bidang moral, zakat mengikis ketamakan dan keserakahan hati si kaya. Dalam
bidang sosial, zakat berfungsi untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat.
Dalam bidang ekonomi, zakat mencegah penumpukan kekayaan di tangan sebagian
kecil manusia dan merupakan sumbangan wajib kaum muslimin untuk
perbendaharaan negara.
3. Waktu yang lebih baik (sunat0, yaitu dibayar sesudah salat subuh sebelum pergi
salat hari raya.
4. Waktu haram, yaitu zakat fitrah dibayar sesudah terbenam matahari pada hari
raya itu.
1. Zakat profesi;
2. Zakat perusahaan;
Di antara pihak yang dapat menerima zakat dari kuota fakir, yaitu orang-orang yang
memenuhi syarat “membutuhkan”. Maksudnya tidak mempunyai pemasukan atau
harta, atau tidak mempunyai keluarga yang menanggung kebutuhannya. Orang-orang
tersebut adalah: anak yatim, anak pungut, janda, orang tua renta, jompo, orang sakit,
orang cacat jasmani, orang yang berpemasukan rendah, pelajar, para pengangguran,
tahanan, orang-orang yang kehilangan keluarga, dan tawanan, sesuai dengan syarat-
syarat yang dijelaskan dalam aturan penyaluran zakat dan dana kebajikan.
2. Miskin
Miskin adalah orang-orang yang memerlukan, yang tidak dapat menutupi kebutuhan
pokoknya sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. Miskin menurut jumhur ulama
adalah orang yang tidak memiliki harta dan tidak mempunyai pencarian yang layak
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
3. Amil zakat
Amil zakat ialah semua pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan
pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan, dan penyaluran atau distribusi
harta zakat.
Amil zakat diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh
instansi pemerintah yang berwenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut
dan membagikan serta tugas lainnya yang berhubungan dengan zakat, seperti
penyadaran atau penyuluhan masyarakat tentang hukum zakat, menerangkan sifat-
sifat pemilik harta yang terkena kewajiban membayar zakat serta dan mereka yang
menjadi mustahiq, mengalihkan, menyimpan dan menjaga serta menginvestasikan
harta zakat.
Para amil zakat berhak mendapat bagian dari zakat dari kuota amil yang diberikan
oleh pihak yang mengangkat mereka, dengan catatan bagian tersebut tidak melebihi
dari upah yang pantas, walaupun mereka orang fakir. Dengan penekanan supaya total
gaji para amil dan biaya administrasi itu tidak lebih dari seperdelapan zakat (13,5%).
4. Muallaf
Pihak ini merupakan salah satu mustahiq yang delapan yang legalitasnya masih tetap
berlaku sampai sekarang, belum dinasakh. Pendapat ini adalah pendapat yang
diadopsi mayoritas ulama fikih (jumhur). Sehingga kekayaan kaum mualaf tidak
menghalangi keberhakan mereka menerima zakat.
Di antara kelompok masyarakat yang berhak menerima zakat dari kouta ini adalah:
c. Orang-orang yang baru masuk Islam kurang dari satu tahun yang masih
memerlukan bantuan dalam beradaptasi dengan kondisi baru mereka, meskipun tidak
berupa pemberian nafkah, atau dengan mendirikan lembaga keilmuan dan sosial yang
akan melindungi dan memantapkan hati mereka dalam memeluk Islam serta yang
akan menciptakan lingkungan yang serasi dengan kehidupan baru mereka, baik moril
maupun materil.
5. Hamba yang Disuruh Menebus Dirinya
Mengingat golongan ini sekarang tidak ada lagi, maka kuota zakat mereka dialihkan
ke golongan mustahiq lain menurut mayoritas pendapat ulama. Namun, sebagian
ulam berpendapat bahwa golongan ini masih ada, yaitu para tentara muslim yang
menjadi tawanan.
6. Orang yang Berutang
Orang yang berutang yang berhak menerima kuota zakat golongan ini adalah:
a. Orang yang berutang untuk kepentingan pribadi yang tidak bisa dihindarkan,
dengan syarat-syarat sebagai berikut:
4. Utang itu sudah jatuh tempo, atau sudah harus dilunasi ketika zakat itu diberikan
kepada si pengutang.
8. Ibn Sabil
Orang yang dalam perjalanan (ibn sabil) adalah orang asing yang tidak memiliki
biaya untuk kembali ke tanah airnya. Golongan ini diberi zakat dengan syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Sedang dalam perjalanan di luar lingkungan negeri tempat tinggalnya. Jika masih
di lingkungan negeri tempat tinggalnya, lalu ia dalam keadaan membutuhkan; maka
ia dianggap sebagai fakir atau miskin.
c. Pada saat itu ia tidak memiliki biaya untuk kembali ke negerinya, meskipun di
negerinya sebagai orang kaya. Jika ia mempunyai piutang yang belum jatuh tempo,
atau pada orang lain yang tidak diketahui keberadaannya, atau pada seseorang yang
dalam kesulitan keuangan, atau pada orang yang mengingkari utangnya, maka semua
itu tidak menghalanginya berhak menerima zakat
Zakat diwajibkan dalam Al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’ Ulama. Disebut zakat dalam
syari’at karena adanya pengertian etimologis, yaitu karena zakat dapat membersihkan
atau mensucikan pelakunya dari dosa dan menunjukkan kebenaran imannya. Zakat ini
merupakan rukun Islam yang ketiga.
Dalam buku Pedoman Zakat Departemen Agama RI disebutkan bahwa zakat adalah
sesuatu yang diberikan orang sebagai hak Allah SWT kepada yang berhak menerima
antara lain fakir miskin, menurut ketentuan-ketentuan agama Islam.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011, Pasal 1 poin 2, zakat adalah harta
yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
Organisasi pengelola zakat ialah institusi yang bergerak di bidang pengelolaan dana
zakat, infaq, dan shadaqah. Pada zaman Rasulullah SAW, dikenal sebuah lembaga
yang disebut Baitul Maal. Baitul Maal ini memiliki tugas dan fungsi mengelola
keuangan negara. Sumber pemasukannya berasal dari dana zakat, infaq, ghanimah,
dan lain-lain. Sedangkan penggunaannya untuk ashnaf mustahiq yang telah
ditentukan, untuk kepentingan da’wah, pendidikan, pertahanan, kesejahteraan sosial,
pembuatan infrastrukur, dan lain sebagainya.
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) ialah organisasi pengelola zakat yang
dibentuk oleh pemerintah. (Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011, Pasal 5).
Lembaga Amil Zakat (LAZ) ialah organisasi pengelola zakat yang sepenuhnya
dibentuk oleh masyarakat. Keberadannya untuk membantu BAZNAS dalam
pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat
dapat membentuk LAZ. (Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011, Pasal 17)
Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelolaan zakat, apalagi yang memiliki kekuatan
hukum formal, memiliki beberapa keuntungan antara lain sebagai berikut:
2. Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan
langsung untuk menerima zakat daripada muzakki.
3. Untuk mencapai efisien dan efektivitas serta sasaran yang tepat dalam penggunaan
harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat.
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.
Dalam surah At-taubah :60 dikemukakan bahwa salah satu golongan yang
berhak menerima zakat adalah orang yang bertugas mengurus
zakat (‘amilina ‘alaiha). Sedangkan dalam surah At-taubah:103 bahwa zakat itu
diambil dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki) untuk
kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq). Yang mengambil
dan menjemput tersebut adalah para petugas (‘amil). Imam Qurtubi menafsirkan surah
At-Taubah : 60 menyatakan bahwa amil itu adalah orang yang ditugaskan oleh imam
atau pemerintah untuk mengambil, menuliskan, menghitung dan mencatatkan zakat
yang
diambilnya dari muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak
menerimanya. Karena itu Rasulullah SAW pernah mempekerjakan seorang dari suku
Asad yang bernama ibnu lutaibah untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim.
begitupula dengan Muas bin Jabal yang ditugaskan di negeri Yaman sebagai da’i
juga sebagai pengurus Zakat.. demikian pula yang dilakukan oleh para khulafaur
rasyidin sesudahnya.
Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat memiliki beberapa keuntungan
antara lain:
Pertama, untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat.
Kedua, untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila
berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki.
Ketiga , untuk mencapai efisiensi dan efektifitas serta sasaran yang tepat
dalam penggunaan harta zakat menurut skala proritas yang ada pada suatu tempat.
Keempat, untuk memperlihatkan syiar islam dalam semangat penyelenggaraan
pemerintahan yang Islami.
Kelima, untuk memudahkan kordinasi dan konsolidasi data muzakki dan
mustahiq.
Keenam, untuk memudahkan pelaporan dan pertanggungjawaban ke publik.
Ketujuh, agar pengelolaaannya dapat dikelola secara professional.
(Pasal 7)
Peran kedua organisasi tersebut sebagai penghimpun ZIS adalah sebagai berikut:
2. Apabila lewat lembaga akan ter-menej dengan baik, sementara lewat individu
riskan terjadi penyimpangan, sehingga keberadaan organisasi pengelola zakat dapat
mencegah dana zakat, infak, shadaqah, dan wakaf dapat tersalurkan dengan merata
dan tepat sasaran.
3. Dalam konteks Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) setiap orang dalam organisasi
merupakan orang-orang yang rela bekerja untuk ummat, merasa terlibat dalam proses
penghimpunan hingga pemuasan muzakki dalam menitipkan amanah terhadapnya,
baik secara langsung maupun tidak langsung dan bukan hanya sebagai pelaksana
suatu fungsi tertentu. Meskipun organisasi sosial, keprofesionalan organisasi tetap
diutamakan.
Sinergisitas BAZNAS dan LAZ, selain untuk mewujudkan misi bersama, manfaatnya
agar dalam pelaksanaan tugasnya di lapangan tidak saling tumpang tindih fungsi,
apalagi saling menghambat disebabkan adanya persaingan memperebutkan eksistensi
lembaga dan kepercayaan di mata masyarakat.
9
dengan melakukan ibadah sehari-hari, berdoa, dan membaca kitab suci secara
berulang-ulang dan tekun. Religiusitas adalah segala sesuatu yang menunjuk dari
pedoman religi yang telah dihayati oleh individu serta memberikan kekuatan
akan ketenangan, kebijaksanaan, dan pengelolaan terhadap diri individu maupun
individu lain.
Religiusitas adalah sumber dari segala sesuatu yang menjadi tolak ukur
individu berpedoman untuk mencari kebenaran ilahi di dalam melakukan suatu
aktivitas beribadah. Salim dan Salim (Relawu, 2007) mengungkapkan bahwa
religiusitas adalah suatu individu cenderung kepada besarnya sikap kepatuhan
dan pengabdian yang besar terhadap agama yang dianutnya.
Definisi lain menyatakan bahwa religiusitas merupakan perilaku terhadap
nilai-nilai keagamaan yang dapat ditandai, tidak hanya melalui ketaatan dalam
menjalankan ibadah ritual tetapi juga dengan adanya keyakinan, pengalaman, dan
pengetahuan mengenai sistem religiusitas yang dianutnya (dalam Ancok &
Suroso, 2001).
Thouless (2000), mengungkapkan bahwa religiusitas adalah suatu
hubungan antara seorang hamba dengan sang pemilik yang dirasakan dengan apa
yang dipercayai sebagai mahkluk atau wujud yang lebih tinggi daripada manusia.
Allah menurutnya, adalah kebenaran pertama yang menyebabkan manusia
terdorong untuk mengadakan reaksi yang penuh hikmat dan sungguh-sungguh
tanpa menggerutu atau menolaknya (Surutin, 2004).
Berdasarkan definisi uraian di atas, maka dapat di simpulkan bahwa
religiusitas adalah segala pikiran dan tindakan yang dimiliki bersama oleh
sekelompok individu sebagai acuan dalam memberikan kerangka pengarahan
hidup terhadap obyek yang ditaati dan diteladani kepada individu baik secara
anggota maupun secara berkelompok.
Segala pikiran dan tindakan tersebut meliputi ibadah yang dilakukan
secara berulang-ulang (istiqomah), konsisten, dan tanpa adanya suatu
keterpaksaan dari individu lain yang dilandasi dengan rasa keikhlasan, rasa
ketulusan, kepasrahan diri, kerendahan diri, dan mengharap rahmat serta
ridhonya ketika menghadap kepada sang pemilik.
2. Dimensi-dimensiReligiusitas
Glock dan Stark mengemukakan lima dimensi religiusitas yaitu: dimensi
keyakinan (the ideological dimension), dimensi praktek agama (the ritualistic dimension),
dimensi penghayatan (the experiental dimension), dimensi pengetahuan (the intellectual
dimension), dimensi konsekuensi (the consequential dimension). Kelima dimensi ini
saling terkait satu sama lain dalam
memahami religiusitas atau keagamaan dan mengandung unsur the ideological
dimension (keyakinan).
Dimensi keyakinan (the ideological dimension) berisi pengharapan-
pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis
tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Religiusitas
mempertahankan kepercayaan dimana para penganut diharapkan akan taat.
Dalam konteks ajaran Islam, dimensi ini menyangkut keyakinan terhadap rukun
iman, kepercayaan seseorang terhadap kebenaran-kebenaran agama-agamanya
dan keyakinan masalah-masalah ghaib yang diajarkan agama.
Dimensi ritual (the ritualisticdimension) yaitumengukur sejauh mana
seseorang melakukan kewajiban ritualnya dalam agama yang dianut. Misalnya
pergi ke tempat ibadah, berdoa secara pribadi, berpuasa, dan lain-lain. Dimensi
ritual ini merupakan perilaku keberagaman yang berupa peribadatan yang
berbentuk upacara keagamaan. Pengertian lain mengemukakan bahwa ritual
merupakan sentiment secara tetap dan merupakan pengulangan sikap yang benar
dan pasti. Perilaku seperti ini dalam Islam dikenal dengan istilah mahdah yaitu
meliputi shalat, puasa, haji, zakat, dan kegiatan lain yang bersifat ritual.
Dimensi penghayatan (the experientaldimension) sesudah memiliki
keyakinan yang tinggi dan melaksanakan ajaran agama (baik ibadah maupun
amal) dalam tingkatan yang optimal maka dicapailah situasi penghayatan.
Dimensi penghayatan berkaitan dengan seberapa jauh seseorang merasa dekat
dan dilihat oleh Allah dalam kehidupan sehari-hari.
Dimensi ini mencakup pengalaman dan perasaan dekat dengan Allah,
perasaan nikmat dalam menjalankan ibadah,dan perasaan syukur atas nikmat
yang dikaruniakan oleh Allah dalam kehidupan mereka.
Dimensi pengetahuan (the intellectualdimension) dimensi ini berkaitan
dengan pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran
agamanya. Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang
beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-
dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi, dan Al-qur'an
merupakan pedoman hidup sekaligus sumber ilmu pengetahuan. Hal tersebut
dapat difahami bahwa sumber ajaran Islam sangat penting agar religiusitas
seseorang tidak sekedar atribut dan hanya sampai dataran simbolisme ekstoterik.
Maka, aspek dalam dimensi ini meliputi empat bidang yaitu, akidah, ibadah,
akhlak, serta pengetahuan Al-qur'an dan Hadist. Dimensi pengetahuan jelas
berkaitan satu sama lain, karena pengetahuan mengenai sesuatu meliputi syarat
bagi penerimaannya.
Dimensi konsekuensi (the consequential dimension) konsekuensi
komitmen religiusitas berlainan dari keempat dimensi yang sudah dibicarakan
diatas. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan
keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.
Dimensi ini berkaitan dengan kegiatan keagamaan untuk merealisasikan
ajaran-ajaran dan lebih mengarah pada hubungan manusia tersebut dengan
sesamanya dalam sehari-hari yang berlandaskan pada etika dan spiritualitas
agama yang dianutnya. Pada hakekatnya, dimensi konsekuensi ini lebih dekat
dengan aspek sosial. Yang meliputi ramah dan baik terhadap orang lain,
menolong sesama, dan menjaga lingkungan. (Ancok dan Suroso, 2005).
Firmansyah (2011) menyebutkan bahwa religiusitas merupakan
konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur konatif, perasaan
terhadap agama sebagai unsur afektif dan perilaku agama sebagai unsur kognitif.
Jadi aspek religiusitas merupakan integrasi dari pengetahuan, perasaan dan
perilaku keagamaan dalam diri manusia.
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa dimensi religiusitas meliputi
keyakinan, praktek agama, ihsan dan penghayatan, pengetahuan agama, serta
pengalaman dan konsekuensi. Kelima dimensi ini merupakan satu kesatuan yang
saling terhubung satu sama lain dalam memahami religiusitas. Kelima dimensi
tersebut juga cukup relevan dan mewakili keterlibatan religiusitas pada setiap
orang dan bisa diterapkan dalam sistem agama Islam untuk diuji cobakan dalam
rangka menyoroti lebih jauh kondisi religiusitas mahasiswa muslim dalam hal ini
mengetahui, mengamati dan menganalisa tentang kondisi religiusitas mahasiswa
yang akan diteliti, maka akan diambil lima dimensi keberagamaan Glock dan
Stark sebagai skala untuk mengukur religiusitas mahasiswa (Ancok dan Suroso,
1994).
Sementara dalam sebuah laporan penelitian yang di terbitkan oleh Underwood
(1999) menjelaskan 11 dimensi religiusitas yaitu daily spiritual experiences, meaning,
values, beliefs, forgiveness, private religious practices, religious atau spiritual coping,
religious support, commitment, organizational religiousness, religious preference.
Daily spiritual experiences merupakan persepsi individu terhadap sesuatu
yang berkaitan dengan hal yang transenden (Tuhan, sifatnya) dan persepsi
interaksi dengan melibatkan transenden dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
daily spiritual experiences lebih mengarah kepada hal yang bersifat pengalaman
individu dibandingkan dengan hal yang kognitif, (Underwood, 1999). Persepsi
“merupakan kesadaran intuitif mengenai kebenaran langsung atau keyakinan
yang serta merta mengenai sesuatu” (Chaplin, 2008). Jadi, daily spiritual
experiences merupakan kesadaran individu terhadap sesuatu yang berkaitan
dengan hal yang transenden, yang mampu memberikan pengaruh terhadap
kehidupannya sehari-hari.
Meaning disebut dengan istilah kebermaknaan hidup. Adapun, meaning
yang di maksud di sini adalah yang berkaitan dengan religiusitas atau disebut
religion-meaning yaitu sejauh mana religiusitas dapat menjadi tujuan hidupnya,
Pargament (Fetzer, 1999). Seseorang yang hidupnya dilandasi dengan religiusitas
akan merasa bahwa dirinya mempunyai tanggung jawab untuk menjadi orang
yang bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain, dan berharga di hadapan Allah.
keinginan untuk hidup bermakna merupakan bagian penting dari karakteristik
manusiawi, yang dapat menyebabkan gejala fisik dan mental jika terhalangi atau
tidak terpuaskan (Frankl, 1963 dalam Fetzer 1999).
Values, (Fetzer, 1999) yaitu menggambarkan nilai-nilai yang terkandung
dalam agama sebagai tujuan hidup, dan norma-norma sebagai sarana untuk tujuan
hidup tersebut. Para ahli yang lain menganggap bahwa values sebagai kriteria
yang digunakan orang untuk memilih dan membenarkan tindakan (William dan
Kluckhohn dalam Fetzer, 1999). Aspek ini menilai sejak mana perilaku individu
mencerminkan ekspresi normatif atau religiusitas sebagai nilai tertinggi. Dengan
kata lain, values yang dimaksud adalah pengaruh religiusitas terhadap nilai-nilai
dan norma-norma kehidupan. Nilai-nilai tersebut mengajurkan tentang nilai
religiusitas yang mendasarinya untuk saling menolong, melindungi, menjaga dan
sebagainya. John J. Macionis (1997) menyebutkan bahwa norma merupakan
segala aturan, nilai-nilai, ketentuan-ketentuan, dan harapan masyarakat yang
memandu segala perilaku anggota masyarakat.
Faktor ini di tentukan oleh faktor ekstern dan juga ditentukan oleh faktor
intern seseorang. Meliputi aspek kejiwaan lainnya. Tetapi, secara garis besarnya
faktor-faktor yang ikut berpengaruh dapat dikategorikan menjadi faktor
hereditas, tingkat usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan seseorang.
Faktor hereditas adalah Jiwa keagamaan memang bukan secara langsung
sebagai faktor bawaan yang diwariskan secara turun-menurun, melainkan
terbentuk dari berbagai unsur kejiwaan lainya yang mencakup kognitif, afektif
dan konatif. Selain itu Rasulullah juga menganjurkan untuk memilih pasangan
hidup yang baik dalam membina rumah tangga, sebab menurut keturunan akan
berpengaruh dan menentukan keharmonisan.
Tingkat usia adalah berbagai penelitian psikologi agama menunjukkan
adanya hubungan tingkat usia dengan kesadaran beragama, meskipun tingkat usia
bukan satu-satunya faktor penentu dalam kesadaran beragama seseorang.
Kenyataan ini dapat dilihat dari adanya perbedaan pemahaman agama pada
tingkat usia yang berbeda.
Kepribadian adalah sebagai identitas diri atau jati diri seseorang yang
sedikit banyaknya menampilkan ciri-ciri pembeda dari individu lain di luar
dirinya. dalam kondisi normal, memang secara individu manusia memiliki
perbedaan dalam kepribadian. Perbedaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap
aspek-aspek kejiwaan temasuk kesadaran beragama.
Kondisi kejiwaan adalah banyak kondisi kejiwaan yang tak wajar seperti
schizophrenia, paranoia, maniac, dan infatile autism. Tetapi yang penting
dicermati adalah hubungannya dengan perkembangan kejiwaan agama. Sebab
bagaimanapun seseorang yang mengidap schizophrenia akan mengisolasi diri
dari kehidupan sosial serta persepsinya tentang agama akan dipengaruhi oleh
halusinasi.
b. Faktor Eksternal.
Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam religiusitas dapat dilihat
dari lingkungan dimana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut
dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu: lingkungan keluarga, lingkungan
institusional, lingkungan masyarakat.
Lingkungan keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana
dalam kehidupan manusia. Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama kali
yang dikenal setiap individu. Dengan demikian, kehidupan keluarga merupakan
fase sosialisasi awal bagi pembentukan jiwa keagamaan pada tiap individu, dan
keluarga merupakan sosok panutan utama bagi seorang individu.
Lingkungan institusional yang berisi materi pengajaran, sikap dan
keteladanan guru sebagai pendidik serta pergaulan antar sekolah dinilai berperan
penting dalam menanamkan kebiasaan yang baik. Pembiasaan yang baik
merupakan bagian dan pembentukan moral yang erat kaitannya dengan
perkembangan jiwa keagamaan seseorang.
Lingkungan masyarakat sepintas, bukan merupakan lingkungan yang
mengandung unsur tanggung jawab, melainkan hanya merupakan unsur pengaruh
belaka. Tetapi norma dan tata nilai yang ada terkadang pengaruhnya lebih besar
dalam perkembangan jiwa keagamaan, baik dalam bentuk postif maupun negatif.
Suatu tradisi keagamaan dapat menimbulkan dua sisi dalam perkembangan
jiwa keagamaan seseorang, yaitu fanatisme dan ketaatan. Mengacu pada
pendapat Erich Fromm (Jalaluddin 2008) bahwa katakter terbina melalui
asimilasi dan sosialisasi, maka tradisi keagamaan memenuhi kedua aspek
tersebut. Suatu tradisi keagamaan membuka peluang bagi seorang mahasiswa
untuk berhubungan dengan mahasiswa lainya (sosialisasi). Selain itu juga, terjadi
hubungan dengan benda-benda yang mendukung berjalannya tradisi keagamaan
tersebut (asimilasi).
Seperti pada media sosial instagram, dimana instagram menyediakan
fasilitas yang dinamakan fanpage Islami yang memuat berbagai hal yang
berhubungan dengan ajaran agama, yang pada saat sekarang merupakan media
yang dijadikan oleh remaja khususnya mahasiswa untuk melakukan interaksi
dengan Erich Fromm berpengaruh terhadap pembentukan karakter seseorang.
Menurut Thouless (Ramayulis, 2002) faktor-faktor yang mempengaruhi
religiusitas yaitu pengaruh pendidikan atau pengajaran dari berbagai tekanan
sosial (faktor sosial), berbagai pengalaman yang dialami oleh individu dalam
membentuk sikap keagamaan terutama pengalaman mengenai keindahan,
keselarasan, dan kebaikan dunia luar (faktor alamiah), berbagai proses pemikiran
verbal atau proses intelektual.
Pengaruh Pendidikan atau pengajaran dari berbagai tekanan sosial (faktor
sosial) yang mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap
keagamaan, termasuk pendidikan dan pengajaran orang tua, tradisi-tradisi sosial
untuk menyesuaikan dengan berbagai pendapatan sikap yang disepakati oleh
lingkungan.
Berbagai pengalaman yang dialami oleh individu dalam membentuk sikap
keagamaan terutama pengalaman mengenai keindahan, keselarasan, dan
kebaikan dunia luar (faktor alamiah), adanya konflik moral (faktor moral) dan
pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif). Faktor-faktor yang
seluruhnya atau sebagian timbul dari kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi
terutama kebutuhan terhadap keamanan, cinta, kasih, harga diri, dan ancaman
kematian.
Berbagai proses pemikiran verbal atau proses intelektual. Manusia di
ciptakan dengan memiliki berbagai macam potensi. Salah satunya adalah potensi
untuk beragama. Potensi beragama ini akan terbentuk, tergantung bagaimana
Pendidikan yang diperoleh anak. Seiring dengan bertambahnya usia, maka akan
muncul berbagai macam pemikiran-pemikiran verbal. Salah satu dari pemikiran
verbal ini adalah pemikiran akan agama, anak-anak yang beranjak dewasa akan
mulai menentukan sikapnya terhadap ajaran-ajaran agama. Sikap-sikap ini yang
akan mempengaruhi jiwa keberagamannya.
Berdasarkan uraian di atas dapat di simpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi religiusitas adalah Religiusitas tidak luput dari berbagai gangguan
yang dapat mempengaruhi perkembangannya. Pengaruh tersebut baik yang
bersumber dari faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal meliputi
faktor hereditas, tingkat usia, kepribadian, dan kondisi kejiwaan. Sedangkan
faktor eksternal meliputi lingkungan keluarga, lingkungan institusional, dan
lingkungan masyarakat.
Ramayulis (2002) faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas ada empat
meliputi pengaruh pendidikan atau pengajaran dari berbagai tekanan sosial
(faktor sosial), berbagai pengalaman yang dialami oleh individu dalam
membentuk sikap keagamaan, faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian
timbul dari kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi, dan berbagai proses
pemikiran verbal atau proses intelektual.
1. Mahasiswa
Menurut Siswoyo (2007) mahasiswa dapat didefinisikan sebagai
individu yang sedang menjalani menuntut ilmu pada tingkat perguruan tinggi,
baik negeri maupun swasta atau Lembaga lain yang setingkat dengan
perguruan tinggi. Mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang
tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan perencanaan dalam bertindak. berpikir
kritis dan bertindak dengan cepat dan tepat merupakan sifat yang cenderung
melekat pada diri setiap mahasiswa, yang merupakan prinsip yang saling
melengkapi dan menunjang keberhasilan.
1. Mahasiswa Islam
Hartaji (2012) mengungkapkan bahwa mahasiswa Islam adalah
seseorang yang memiliki identitas beragama Islam yang sedang dalam proses
menimba ilmu ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani Pendidikan
pada salah satu bentuk, perguruan tinggi yang terdiri dari akademik,
politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas yang berdedikasi agama.
Menurut Knoppfemacher (Suwono, 1978) Mahasiswa Islam adalah insan-
insan calon sarjana yang terlibat dalam suatu instansi perguruan tinggi, dididik
serta di harapkan menjadi calon-calon intelektual dan mampu menanamkan
nilai-nali keIslaman didalam perguruan tinggi.
2. Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi merupakan melanjutkan Pendidikan mencegah dari
diselenggarakan untuk mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anggota
masyarakat yang memiliki kemampuan ideal dalam akademis dan professional
yang dapat menerapkan, mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan,
teknologi, kesenian, dan kebudayaan (UU 2 tahun 1989, pasal 16 ayat (1)).
(Maharsi, 2018).
3. Perguruan Tinggi Berbasis Agama
Semua sistem pembelajaran menggunakan berbasis agama,
Mahasiswa berasal dari agama masing-masing sesuai dengan status perguruan
tinggi, management akademis yang sesuai dengan syariat Islam, berpedoman
dalam berakhlatul kharimah, cara berpenampilan sesuai dengan syariat Islam.
4. Perguruan Tinggi Tidak Berbasis Agama
Semua sistem pembelajaram tidak menggunakan berbasis agama,
Mahasiswa tidak berasal dari agama masing-masing sesuai dengan keinginan
yang diminati, management akademis yang tidak sesuai dengan syariat Islam,
tidak berpedoman dengan akhlatul karimah, cara berpenampilan tidak harus
sesuai dengan syariat Islam, mata kuliah Pendidikan agama Islam dibatasi dua
sks
C. Kerangka Berpikir
Umumnya setiap manusia mempunyai suatu harapan atau keinginan
untuk dapat bertindak dan dapat memberikan pengarahan hidup dan seberapa
jauh akan pengetahuan, seberapa mantap keyakinan, seberapa besar
pelaksanaan ibadah dan kaidah serta seberapa dalam penghayatan atas agama
yang dianutnya. Dengan adanya pemahaman tentang religiusitas maka individu
akan benar-benar memahami akan dirinya dan individu lain bahwa apabila
individu memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, maka semakin tinggi pula
kepercayaan individu terhadap Allah dan cenderung melakukan hal-hal yang
telah Allah Swt perintahkan di dalam kitab suci-Nya. Sebaliknya, apabila
individu memiliki tingkat religiusitas yang rendah maka akan semakin rendah
pula kepercayaan terhadap Allah dan kurang memahami isi kitab suci serta
tidak mengamalkan perintah-Nya. Semakin tinggi dan rendahnya individu di
dalam memahami religiusitas maka akan mempengaruhi individu dalam
menentukan sikap untuk memasuki jenjang perguruan tinggi baik yang berbasis
agama dan tidak berbasis agama.
Pada perguruan tinggi yang berbasis agama terdapat visi dan misi yaitu
visinya menjadi universitas Islam yang unggul dan kompetitif bertaraf
internasional sedangkan misinya yaitu menyelenggarakan pendidikan ilmu-
ilmu keIslaman multidisipliner serta sains dan teknologi yang unggul dan
berdaya saing, mengembangkan riset ilmu-ilmu keIslaman multidisipliner serta
sains dan teknologi yang relevan dengan kebutuhan masyarakat,
mengembangkan pola pemberdayaan masyarakat yang religius berbasis riset.
Ada fakultas yang menjadi dasar perkuliahan yaitu fakultas adab dan
humaniora, fakultas dakwah dan komunikasi, fakultas tarbiyah dan keguruan,
fakultas usluhudin dan filsafat, fakultas Syariah dan hokum, fakultas sains dan
teknologi, fakultas ekonomi dan bisnis Islam, fakultas ilmu sosial dan politik,
fakultas psikologi. Slogannya yaitu building Character Qualities: for the
Smart, Pious, Honorable Nation
Dan terdapat pula 18 nilai-nilai karakter dalam perguruan tinggi
berbasis agama yaitu religious, jujur, toleran, displin, kerja keras, kreatif,
mandiri, demokratis, berdaya ingin tahu, nasionalis, menghargai prestasi,
bersahabat atau komunikatif, cinta damai, cinta ilmu, peduli lingkungan dan
sosial, bertanggung jawab, berpikir metakognitif.
Di dalam perguruan tinggi berbasis agama mayoritas mahasiswanya
adalah lulusan dari pondok pesantren, sehingga mahasiswa di tuntut untuk
mengerti tentang nilai-nilai keIslaman seperti keikhlasan, kesederhanaan,
kemandirian, dan syariat Islam. Semua nilai keIslaman ini mengendalikan
seluruh kegiatan sehari-hari dikampus yang berbasis agama.
Misalnya kegiatan baca Al-Qur’an, sholat jum’at, kegiatan
menjalankan puasa sunnah senin kamis, maupun beribadah sunnah dan wajib.
Serta kajian-kajian keagamaan yang sering diadakan oleh organisasi
mahasiswa. Selain itu juga terdapat mata kuliah berbasis agama yang wajib di
ikuti oleh seluruh mahasiswa pada awal semester yang mengajarkan tentang
dasar-dasar agama Islam seperti mata kuliah Fiqih, Aqidah, akhlaq, Studi
Islam, Bahasa arab, dsb. Adapun diantaranya laki-laki yang memakai
penampilan dengan berbusana Syar’I dan perempuan yang memakai
penampilan dengan berbusana hijab.
Sedangkan pada perguruan tinggi yang tidak berbasis agama terdapat
visi dan misi yaitu visinya terwujudnya program studi sarjana psikologi yang
unggul
dan kompetitif, berbasis nilai dan karakter bangsa dalam penyelenggaraan
pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat pada Tahun 2035.
Sedangkan misinya yaitu melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat dalam bidang psikologi yang berbasis pada standar nasional
dan internasional, menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai moral,
akademik, dan budaya, serta karakter bangsa Indonesia dalam penyelenggaraan
tri dharma perguruan tinggi, memberdayakan sumberdaya Program Studi serta
menggalang jejaring dengan institusi dalam negeri dan luar negeri untuk
mengoptimalkan terselenggaranya tri dharma perguruan tinggi.Ada fakultas yang
menjadi dasar perkuliahan yaitu fakutas sosial dan ilmu politik, fakultas
ekonomi, fakultas hukum, fakultas Teknik, dan fakultas psikologi.
Dan terdapat pula 10 nilai-nilai karakter dalam perguruan tingi tidak
berbasis agama yaitu religious dan toleran, jujur, disiplin dan tanggung jawab,
kerja keras dan menghargai prestasi, rasa ingin tahu, kreatif dan inovatif,
mandiri, demokratis, semangat kebangsaan dan cinta tanah air, kerja sama, peduli
lingkungan sosial, dan budaya. Sedangkan pada penampilan dalam berbusana
hanya sedikit diantara laki-laki maupun perempuan yang memakai penampilan
dengan berbusana Syar’I dan sedikit diantara perempuan yang memakai
penampilan dengan berbusana hijab. Misalnya kegiatan baca Al-Qur’an, sholat
jum’at, kegiatan menjalankan puasa sunnah senin kamis, maupun beribadah
sunnah dan wajib hanya sedikit diantaranya yang mengikuti kegiatan tersebut.
Serta kajian-kajian keagamaan yang hanya satu atau dua kali diadakan oleh
organisasi mahasiswa. Selain itu juga terdapat mata kuliah berbasis agama yang
wajib di ikuti oleh seluruh mahasiswa pada awal semester yang mengajarkan
tentang dasar-dasar agama Islam seperti Pendidikan agama Islam. Lalu seberapa
besar tingkat religiusitas antara perguruan tinggi yang berbasis agama dan
perguruan tinggi yang tidak berbasis agama. Usaha untuk mengatasi religiusitas
itu sendiri yaitu bagaimana cara masing-masing perguruan tinggi yang bisa
mengendalikan tingkat religiusitas tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas baik yang bersumber dalam
diri seseorang maupun yang bersumber dari faktor luar, Menurut Jalaluddin
(2008) religiusitas antra lain:
a. Faktor Internal.
Faktor ini di tentukan oleh faktor ekstern dan juga ditentukan oleh faktor
intern seseorang. Meliputi aspek kejiwaan lainnya. Tetapi, secara garis besarnya
faktor-faktor yang ikut berpengaruh dapat dikategorikan menjadi faktor
hereditas, tingkat usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan seseorang. Faktor
hereditas adalah jiwa keagamaan memang bukan secara langsung sebagai faktor
23
bawaan yang diwariskan secara turun-menurun. Tingkat usia adalah berbagai penelitian
psikologi agama menunjukkan adanya hubungan tingkat usia dengan kesadaran beragama,
meskipun tingkat usia bukan satu-satunya faktor penentu dalam kesadaran beragama seseorang.
Kepribadian adalah sebagai identitas diri atau jati diri seseorang yang sedikit banyaknya
menampilkan ciri-ciri pembeda dari individu lain di luar dirinya. Kondisi kejiwaan adalah
banyak kondisi kejiwaan yang tak wajar seperti schizophrenia, paranoia, maniac, dan infatile
autism.
b. Faktor Eksternal.
Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam religiusitas dapat dilihat dari
lingkungan dimana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut dapat
dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu: lingkungan keluarga, lingkungan
institusional, lingkungan masyarakat. Lingkungan keluarga merupakan satuan
sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia. Lingkungan
institusional yang berisi materi pengajaran, sikap dan keteladanan guru sebagai
pendidik serta pergaulan antar sekolah dinilai berperan penting dalam
menanamkan kebiasaan yang baik. Lingkungan masyarakat sepintas, bukan
merupakan lingkungan yang mengandung unsur tanggung jawab, melainkan
hanya merupakan unsur pengaruh belaka. Tetapi norma dan tata nilai yang ada
terkadang pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan, baik
dalam bentuk postif maupun negatif. Pengaruh Zakat Terhadap Kesejahteraan
Sosial
Ummat Islam adalah ummat yang mulia, ummat yang dipilih Allah untuk mengemban
risalah, agar mereka menjadi saksi atas segala ummat. Tugas ummat Islam adlah
mewujudkan kehidupan yang adil, makmur, tentram dan sejahtera dimanapun mereka
berada. Karena itu ummat Islam seharusnya menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Bahwa kenyataan ummat Islam kini jauh dari kondisi ideal, adalah akibat belum
mampu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri (QS. Ar-Ra’du : 11). Potensi-
potensi dasar yang dianugerahkan Allah kepada ummat Islam belum dikembangkan secara
optimal. Padahal ummat Islam memiliki banyak intelektual dan ulama, disamping potensi
sumber daya manusia dan ekonomi yang melimpah. Jika seluruh potensi itu dikembangkan
secara seksama, dirangkai dengan potensi aqidah Islamiyah (tauhid), tentu akan diperoleh
hasil yang optimal. Pada saat yang sama, jika kemandirian, kesadaran beragama dan
ukhuwah Islamiyah kaum muslimin juga makin meningkat maka pintu-pintu kemungkaran
akibat kesulitan ekonomi akan makin dapat dipersempit.
Salah satu sisi ajaran Islam yang belum ditangani secara serius adalah
penanggulanagn kemiskinan dengan cara mengoptimalkan pengumpulan dan
pendayagunaan zakat, infaq dan shadaqah dalam arti seluas-luasnya. Sebagaimana telah
dicontohkan oleh Rasulullah SAW serta penerusnya di zaman keemasan Islam. Padahal
ummat Islam sebenarnya memiliki potensi dana yang sangat besar.
Zakat merupakan ibadah yang memiliki dimensi ganda, trasendental dan horizontal.
Oleh sebab itu zakat memiliki banyak arti dalam kehidupan ummat manusia, terutama Islam.
Zakat memiliki banyak hikmah, baik yng berkaitan dengan Sang Khaliq maupun hubungan
sosial kemasyarakatan di antara manusia, antara lain :
1. Menolong, membantu, membina dan membangun kaum dhuafa yang lemah papa
dengan materi sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.Dengan kondisi
tersebut mereka akan mampu melaksanakan kewajibannya terhadap Allah SWT
2. Memberantas penyakit iri hati, rasa benci dan dengki dari diri orang-orang di sekitarnya
berkehidupan cukup, apalagi mewah. Sedang ia sendiri tak memiliki apa-apa dan tidak ada
uluran tangan dari mereka (orang kaya) kepadanya.
3. Dapat mensucikan diri (pribadi) dari kotoran dosa, emurnikan jiwa (menumbuhkan
akhlaq mulia menjadi murah hati, peka terhadap rasa kemanusiaan) dan mengikis sifat
bakhil (kikir) serta serakah. Dengan begitu akhirnya suasana ketenangan bathin karena
terbebas dari tuntutan Allah SWT dan kewajiban kemasyarakatan, akan selalu melingkupi
hati.
4. Dapat menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan Islam yang berdiri atas prinsip-
prinsip: Ummatn Wahidan (umat yang satu), Musawah (persamaan derajat, dan dan
kewajiban), Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) dan Takaful Ijti’ma (tanggung jawab
bersama)
5. Menjadi unsur penting dalam mewujudkan keseimbangan dalam distribusi harta (sosial
distribution), dan keseimbangan tanggungjawab individu dalam masyarakat
6. Zakat adalah ibadah maaliyah yang mempunyai dimensi dan fungsi sosial ekonomi atau
pemerataan karunia Allah SWT dan juga merupakan perwujudan solidaritas sosial,
pernyataan rasa kemanusian dan keadilan, pembuktian persaudaraan Islam, pengikat
persatuan ummat dan bangsa, sebagai pengikat bathin antara golongan kaya dengan yang
miskin dan sebagai penimbun jurang yang menjadi pemisah antara golongan yang kuat
dengan yang lemah
Kalau kita melihat literature mengenai zakat, baik yang ditulis dalam berabad-abad yang
lalu maupun yang ditulis oleh sarjana masa kini, selalu kita dapatkan bahwa pengumpulan
zakat adalah menjadi kewajiban pemerintah di Negara Islam. Penguasa berkewajiban
memaksa warganya yang beragama islam untuk membayar zakat. Salah satu ungkapan di
dalam seminar tentanG zakat yang diadakan The Association of Muslim Social Scientists, AS
beberapa waktu lalu. Prof. Dr. Ilayas Ba-Yunus, guru besar sosiologi di State University of
New York menulis :
“semua diskusi mengenai issue yang bersifat islam, kini pada dasarnya bersifat
teoritis, oleh karena negara islam tidak terwujud dimana saja di dunia. Zakat tidak akan bisa
dilaksanakan dengan sukses di lingkungan sosial dan ekonomi yang non-islam. Zakat
hanyalah bagian dari system islam yang total. Kecuali jika system islam diperkenalkan
secara utuh, perkenalan zakat akan membawa hasil yang kecil ”
Menanggapi ungkapan ini, penulis menganggap memang sering kita saksikan terjadinya
frustasi atau kejenuhan kalau berbicara mengenai zakat, dimana hal tersebut hanya berada
diatas kertas. Begitu indahnya ajaran zakat dalam islam. Begitu hebatnya pula tulisan
mengenai zakat. Jadi, kita sadar akan kebaikan ajaran zakat, baik ditinjau dari segi agama
maupun filsafat lain. Namun dengan ketidakpuasan mengumpulkan zakat, pelampiasannya
lari kepada mencela terhadap system yang ada, yaitu karena “belum terwujudnya sistem
sosial dan ekonomi islami”
Pendekatan atau metode yang digunakan kurang tepat dalam memasyarakatkan ajaran
zakat di kalangan masyarakat islam yang berkewajiban membayar zakat. Hal ini tentunya
meliputi metode dakwah dan pengajaran islam. Sampai pada kurangnya menggunakan
manajemen yang tepat dalam mengkampanyekan zakat. Disamping perlu diadakan
penelitian dan pengembangan untuk dakwah dan pendidikan islam sejak dini secara serius,
khususnya dalam zakat fungsi manajemen menjadi sangat penting. Dimana dengan
menggunakan sistem manajerial yang baik mulai dari Planning, Organizing, Actuating
hingga Controlling dapat mendorong pelayanan zakat yang lebih tersistem dan dinamis.
Setelah ada hasil pengumpulan zakat, pembagian zakat secara tradisional yang bersifat
konsumtif tidak akan membuahkan hasil. Dengan kata lain masih sangat jauh dari usaha
pengentasan kemiskinan. Sebab, begitu harta zakat didapat akan habis selesai dimakan.
Belum lagi terhidung kalau terjadi ketidaktepatan di dalam pengelolaannya, baik oleh panitia
maupun mereka yang dikategorikan berhak menerimanya. Dengan demikian, tidak mustahil
terwujudnya harta hasil dari zakat menjadi penyebab dan menstrukturkan kemalasan yang
berarti mengabadikan kemiskinan. Oleh karena itu, perlu coba kita pikirkan bagaimana zakat
ini dapat juga dialihkan kearaha sektor produktif dimana harta yang dizakatkan dapat
menjadi modal usaha untuk penerima agar suatu saat dapat naik stratanya menjadi orang
yang
menyalurkan zakat. Begitu pula dengan pemberian beasiswa atau bantuan pendidikan
seperti seragam, buku, dan peralatan sekolah dimana ketika mereka terdidik mereka dapat
menaikkan taraf hidup mereka di kemudian hari.
Potensi Zakat di Indonesia sungguh luar biasa, akan tetapi potensi ini kadang tidak bisa
dioptimalkan secara baik karena adanya beberapa kendala bai. Indonesia mempunyai sebuah
lembaga khusus untuk menangani permasalahan zakat ini yaitu BAZNAS. Dimana
tantangan dalam merealisasikan tugas barunya sebagai koordinator pengelolaan zakat
nasional, Baznas dihadapkan pada dua tantangan utama, yaitu tantangan internal dan
tantangan eksternal.
Secara internal, yang harus mendapat prioritas Baznas saat ini adalah peningkatan
kapasitas kelembagaan dan kapasitas SDM yang dimilikinya. Ini sangat penting karena akan
sangat menentukan kinerja Baznas sebagai koordinator institusi amil
resmi.
Secara kelembagaan, harus ada pembedaan antara fungsi operator dengan fungsi
koordinator dalam institusi Baznas. Fungsi operator adalah organ organisasi yang
menjalankan fungsi penghimpunan dan penyaluran zakat secara terbatas.
erbatas maksudnya ada pembagian tugas dan kewenangan untuk melakukan penghimpunan
maupun penyaluran zakat, baik antara Baznas Pusat dengan Baznas Daerah. Misalnya,
Baznas Pusat hanya menghimpun zakat dari PNS pusat dan sumber-sumber lain yang ada di
pusat, sementara untuk PNS daerah dan sumber-sumber lain yang ada di daerah, zakatnya
dikelola oleh daerah Sedangkan untuk fungsi koordinator, Baznas diminta untuk membuat
sejumlah pedoman pengelolaan zakat nasional, antara lain yang terkait dengan perencanaan
dan pelaporan zakat, standarisasi dan pelatihan, serta sertifikasi dan
advokasi.
Khusus perencanaan dan pelaporan zakat, Baznas perlu merumuskan standar yang
dapat diaplikasikan secara bersama, baik oleh Baznas daerah maupun LAZ. Ini sangat
penting agar informasi yang disajikan kepada publik sebagai bentuk pertanggungjawaban
pengelolaan zakat, menjadi jelas, terukur, seragam, tidak multi interpretasi, dan mudah
untuk diverifikasi.
Juga agar para stakeholder yang berkepentingan, seperti pemerintah, DPR dan
muzakki, memiliki keseragaman persepsi terhadap informasi dan data pertanggungjawaban
yang disampaikan oleh Baznas dan LAZ sehingga tidak memunculkan kecurigaan
bersama.sehingga rasanya juga perlu didirikan lembaga penyelesaian sengketa
Pengelolaan zakat yang baik sangat tergantung dari tenaga yang mengelolanya, amil. Dalam
hal muzaki maupun amil lalai dalam menjalankan kewajibannya, ataupun mustahik yang
mengadukan belum mendapat bantuan dari zakat, kemana mereka akan mengadukan ? Jika
muzaki lalai menunaikan zakat, siapa yang menindaknya ? Jika amil lalai, siapa yang
menindaknya ? Jika mustahik mengadukan tidak mendapatkan hak zakat, kemana dia
mengadu dan siapa yang akan menangani sengketa antara mustahik dengan amil ? Untuk
itulah perlu dibentuk lembaga penyelesai sengketa.
Masih minimnya lulusan berlatar belakang pendidikan zakat, menjadi salah satu
faktor pendorong belum optimalnya pengelolaan zakat. Untuk itu diperlukan perencanaan
yang strategis dalam rangka menciptakan Sumber Daya Insani yang siap dan professional
dibidang zakat.
Untuk mendirikan LAZ tidak semudah dulu. Khususnya untuk LAZ di daerah. Dua
persyaratan yang menurut penulis berat adalah terdaftar sebagai organisasi
kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial (pasal 18
ayat 2) dan harus mendapat izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
(pasal 18 ayat 1). Sebagaimana kita ketahui bahwa penggelola zakat di daerah sebagian
besar semuanya berbasiskan potensi lokal yang belum tentu berbentuk organisasi
kemasyaratan Islam bidang pendidikan, dakwah dan sosial. Sehingga tidak mudah untuk
mendirikan sebuah LAZ di daerah.
Akhirnya, dengan semangat Membangun Peradaban Zakat, kita terus mendorong dunia
perzakatan di Indonesia semakin maju. Bagaimana kiprah para muzaki, mustahik, amil,
dan pemerintah pasca lahirnya UU terdiri dari 47 pasal, 11 bab dan 51 butir ini. Mari kita
dukung bersama.
.
1 Al-Qur’an, :
2
Melayu S.P Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta:
PT. Bumi Aksara, 2003), h. 244.
3 Al-Qur’an surah ar-Rum ayat 30
4
Hadits Riwayat Bukhari
5
Ibid, 51: 56-57.
6
Ibid, 28:77.
7
Ibid, 67:15.
8
Ibid, 5:100.
9
Ibid, 57:7.
10
Ibid, 2:177.
11
M. Suyanto, Muhammad Business Strategy & Ethics: Etika dan Strategi
Bisnis Nabi
Hasibuan, Melayu S.P. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT.
Bumi Aksara.
Suyanto, M. 2008. Muhammad Business Strategy & Ethics: Etika dan Strategi
Bisnis Nabi Muhammad Saw, Yogyakarta: Andi Offset.
Qomar, Mujamil. 2009. Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru
Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga.
Ula, S. Shoimatul. 2013. Buku Pintar Teori-Teori Manajemen Pendidikan
Efektif Yogyakarta: Berlian, 2013.
Panggabean, Mutiara S. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta :
Penerbit Ghalia Indonesia.
Mangkunegara, Anwar Prabu .2002. Manajemen Sumber Daya Manusia,
Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Rivai. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Lembaga: dari Teori ke
Praktek. Jakarta: Rajawali Pers.
Wibowo. 2013. Manajemen Kinerja, Jakarta: Rajawali Pers.
Sinn, Ahmad Ibrahim Abu. 2008. Manajemen Syariah: Sebuah Kajian
Historis dan Kontemporer. Terj. Dimyauddin Djuwaini, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Al-Zuhayly, Wahbah. Zakat Kajian Berbagai Madzhab. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1995).
Departemen Agama, Pedoman Zakat 9 Seri, (Jakarta : Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf,
1991)
Kadir, Abdul dalam Didin Hafidhuddin. Zakat dalam Perekonomian Modern. (Jakarta: Gema
Insani, 2002).
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Syaikh. Fiqih Wanita. ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1996).
Azizy, Prof. A. Qodri, Membangun Fondasi Ekonomi Umat, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2004.
Rivai, Prof. Veitzhal, Islamic Economic: Ekonomi Syari’ah bukan OPSI, tetapi
SOLUSI ! , Jakarta : Bumi Aksara, 2009.
Abu Ubaid al-Qasim, diterjemahkan oleh Budi Utomo, Setiawan, (Al-Amwal)
Ensiklopedia Keuangan Publik, Jakarta : Gema Insani, 2009.
Hamid, Dr. Arfin, Hukum Ekonomi Islam di Indonesia: Aplikasi & Prospektifnya,
Bogor : Ghalia Indonesia, 2007
Hafidhuddin, Dr Didin, Manajemen Syari’ah dalam Praktik, Jakarta : Gema Insani,
2003.