Anda di halaman 1dari 51

RESUME PERILAKU ORGANISASI

Oleh : EKA NOVIA RAMADHANI(2114140297)


Manajemen SDI&Zakat Dalam Ekonomi Islam

Abstract
This is very important in today's challenging environment for the company
to survive and win the competition in the market. A company is required to
have a strategic business plan that is supported by human resource
planning, and one of the important functions of the Human Resources
(HR). Many companies position the HR function only as personnel
administration and in addition, the professional resources (human
resources) also did not have enough understanding of how to maximize
their effectiveness of their role in the company. The question is what HR
roles required in order to provide support, useful, and maximize the
potential and value of the company. Case study focuses on industrial
companies etrochemical. This study found that all companies doing HR
human resources planning and continuous where the HR function in the
role they play equally balanced in four roles and accompanied by a
balance of incentives.

Keywords: Human Resource Planning, Selection, incentives

A. Pendahuluan
Manajemen Sumber Daya Insani, disingkat MSDM, adalah suatu
ilmu atau cara mengatur hubungan dan peranan sumber daya (tenaga kerja)
yang dimiliki oleh individu secara efisien dan efektif serta dapat digunakan
secara maksimal sehingga tercapai tujuan (goal) bersama perusahaan,
karyawan dan masyarakat menjadi maksimal.
Sumber Daya Insani merupakan kekuatan terbesar dalam
pengolahan seluruh sumber daya yang ada di muka bumi. Manusia
diciptakan oleh Allah swt. sebagai khalifah di bumi untuk mengelola bumi
dan sumber daya yang ada di dalamnya demi kesejahteraan manusia
sendiri, makhluk dan seluruh alam semesta, karena pada dasarnya seluruh
ciptaan Allah yang ada di muka bumi ini sengaja diciptakan oleh Allah
untuk kemaslahatan umat manusia. Hal ini sangat jelas ditegaskan oleh
Allah dalam al-Quran surat al-Jatsiyah ayat 13:

َ َ
Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi
semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.1

Manajemen Sumber Daya Insani didasari pada suatu konsep bahwa


setiap karyawan adalah manusia bukan mesin dan bukan semata menjadi
sumber daya bisnis. Kajian manajemen Sumber Daya Insani
menggabungkan beberapa bidang ilmu seperti psikologi, sosiologi, dan lain
sebagainya.
Unsur manajemen Sumber Daya Insani adalah manusia.
Manajemen Sumber Daya Insani juga menyangkut desain dan
implementasi sistem perencanaan, penyusunan karyawan, pengembangan
karyawan, pengelolaan karier, evaluasi kinerja, kompensasi karyawan dan
hubungan ketenagakerjaan yang baik. Manajemen Sumber Daya Insani
melibatkan semua keputusan dan praktek manajemen yang mempengaruhi
secara lansung Sumber Daya Insaninya.

B. Pembahasan
Manajemen Sumber Daya Insani diperlukan untuk meningkatkan
efektivitas Sumber Daya Insani dalam organisasi. Tujuannya adalah
memberikan kepada organisasi satuan kerja yang efektif. Untuk mencapai
tujuan ini, studi tentang manajemen personalia akan menunjukkan
bagaimana seharusnya perusahaan mendapatkan, mengembangkan,
menggunakan, mengevaluasi, dan memelihara karyawan dalam jumlah
(kuantitas) dan tipe (kualitas) yang tepat.
Manajemen Sumber Daya Insani adalah suatu proses menangani
berbagai masalah pada ruang lingkup karyawan, pegawai, buruh, manajer
dan tenaga kerja lainnya untuk dapat menunjang aktivitas organisasi atau
perusahaan demi mencapai tujuan yang telah ditentukan. Bagian atau unit
yang biasanya mengurusi SDM adalah departemen Sumber Daya Insani
atau dalam bahasa inggris disebut HRD atau human resource department.
Manajemen Sumber Daya Insani adalah ilmu dan seni mengatur hubungan
dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya
tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat2.
Menurut Mathis dan Jackson Sumber Daya Insani adalah rancangan
sistem-sistem formal dalam sebuah organisasi untuk memastikan
penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien guna mencapai
Manajemen Sumber Daya Insani tujuan organisasi. Hal ini juga terungkap
dalam al-Qur’an yang menerangkan bahwa manusia merupakan makhluk
yang tercipta sempurna dan memiliki banyak potensi dalam dirinya.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”.3

Rasulullah Saw juga mempertegas bahwa selain memiliki potensi


fitrah, manusia juga memiliki potensi kesucian, yaitu bahwa manusia
dilahirkan dalam keadaan suci. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda dari
Abu Hurairah, sesungguhnya dia berkata: Rasulullah Saw bersabda: setiap
anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikan anak itu beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi.4
Mengapa Manajemen Sumber Daya Insani penting? karena praktik
kerja berkinerja tinggi, praktik yang menghasilkan kinerja individu dan
organisasi yang tinggi, contoh: 1) Tim-tim kerja yang mengarahkan diri
sendiri, 2) Rotasi jabatan, 3) Pelatihan keterampilan yang tinggi
tingkatannya, 4) Kelompok-kelompok pemecah masalah, 5) Proses dan
prosedur manajemen mutu dan terpadu (total quality managemen), 6)
Mendorong perilaku yang inovatif dan kreatif, 7) Keterlibatan dan
pelatihan karyawan secara luas, 8) Pelaksanaan saran-saran karyawan, 9)
Upah berubah-ubah berdasarkan perubahan kinerja, 10) Pelatihan dan
pembinaan, 11) Banyak sekali berbagi informasi, 12) Menggunakan survei
sikap karyawan, 13) Integrasi lintas fungsi, 14) Prosedur perekrutan dan
seleksi karyawan yang menyeluruh.
Prosedur manajemen Sumber Daya Insani adalah berbagai kegiatan
yang diperlukan untuk mengisi staf dan mempertahankan karyawan yang
bekerja tinggi. Seluruh proses Manajemen Sumber Daya Insani itu
dipengaruhi oleh lingkungan eksternal. Kita telah memerinci kendala-
kendala yang ditimbulkan oleh lingkungan terhadap para manajer. Faktor
yang langsung mempengaruhi proses Manajemen Sumber Daya Mausia
adalah serikat buruh dan peraturan perundang-undangan pemerintah.
1. Perencanaan Sumber Daya Insani
Perencanaan Sumber Daya Insani adalah proses yang dilakukan para
Manajer untuk menjamin bahwa mereka memiliki jumlah dan jenis orang
yang tepat, yang mampu menyelesaikan sejumlah tugas yang dibebankan
secara efektif dan efisien.
a) Penilaian sekarang antara lain :
1) Analisis pekerjaan adalah penilaian yang mendefenisikan berbagai
pekerjaan dan perilaku yang perlu untuk melaksanakan pekerjaan
tersebut.
2) Deskripsi pekerjaan atau deskripsi jabatan pernyataan tertulis
mengenai apa yang harus dikerjakan pemegang jabatan, bagaimana
cara mengerjakan, dan mengapa pekerjaan itu dikerjakan.
3) Spesifikasi jabatan adalah pernyataan kualifikasi minimum yang
harus dimiliki seseorang untuk menjalankan pekerjaan tertentu
secara berhasil.
b) Memenuhi kebutuhan Sumber Daya Insani dimasa depan
Kebutuhan akan Sumber Daya Insani dimasa depan ditentukan
oleh sasaran dan strategi organisasi. Permintaan akan karyawan
merupakan hasil dari permintaan akan jasa atau produk organisasi itu.
c) Perekrutan dan pengangguran
Perekrutan adalah proses mencari, mengidentifikasi, dan menarik
para calon yang berkemampuan. Pengurangan (decruitment) adalah
sejumlah teknik untuk mengurangi pasokan tenaga kerja didalam
organisasi. Seleksi adalah proses penyaringan pelamar kerja untuk
memastikan bahwa kandidat yang paling layak yang akan dipekerjakan.
d) Keabsahan dan keandalan
Pandangan maha kuasa validitas hubungan yang dapat dibuktikan
yang muncul antara perangkat seleksi dan sejumlah criteria kerja yang
relevan. Keandalan adalah kemampuan perangkat seleksi mengukur hal
yang sama secara konsisten
e) Jenis alat seleksi
Rekrutmen tenaga kerja/recruitment. Rekrutmen adalah suatu
proses untuk mencari calon atau kandidat pegawai, karyawan, buruh,
manajer, atau tenaga kerja baru untuk memenuhi kebutuhan sdm
oraganisasi atau perusahaan. Dalam tahapan ini diperlukan analisis
jabatan yang ada untuk membuat deskripsi pekerjaan/job description
dan juga spesifikasi pekerjaan/job specification.
Seleksi tenaga kerja/selection adalah suatu proses menemukan tenaga
kerja yang tepat dari sekian banyak kandidat atau calon yang ada. Tahap
awal yang perlu dilakukan setelah menerima berkas lamaran adalah
melihat daftar riwayat hidup (curriculum vittae) milik pelamar. Kemudian
dari curriculum vittae pelamar dilakukan penyortiran antara pelamar yang
akan dipanggil dengan yang gagal memenuhi standar suatu pekerjaan. Lalu
berikutnya adalah memanggil kandidat terpilih untuk dilakukan ujian test
tertulis, wawancara kerja/interview dan proses seleksi lainnya. Jenis alat
seleksi antara lain: 1) Formulir lamaran, 2) Ujian tertulis, 3) Ujian simulasi
kinerja, 4) Wawancara, 5) Penyelidikan latar, 6) Pemeriksaan jasmani
Dalam memahami berbagai permasalahan pada Manajemen
Sumber Daya Insani dan sekaligus menentukan cara pemecahannya perlu
diketahui terlebih dahulu model-model yang digunakan oleh perusahaan
kecil tidak bias menerapkan model yang biasa digunakan oleh perusahaan
besar. Demikian pula sebaliknya. Dalam perkembangan model-model ini
berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi serta tuntutannya.
Untuk menyusun berbagai aktifitas manajemen Sumber Daya
Insani ada 6 (enam) model yang digunakan, yaitu :
1. Model klerikal
Dalam model ini fungsi departemen Sumber Daya Insani yang
terutama adalah memperoleh dan memelihara laporan, data, catatan-
catatan dan melaksanakan tugas-tugas rutin. Fungsi departemen Sumber
Daya Insani menangani kertas kerja yang dibutuhkan, memenuhi
berbagai peraturan dan melaksanakan tugas-tugas kepegawaian rutin.
2. Model hukum
Dalam model ini, operasi Sumber Daya Insani memperoleh
kekutannya dari keahlian di bidang hukum. Aspek hukum memiliki
sejarah panjang yang berawal dari hubungan perburuhan, di masa
negosiasi kontrak, pengawasan dan kepatuhan merupakan fungsi pokok
disebabkan adanya hubungan yang sering bertentangan antara manajer
dengan karyawan.
3. Model finansial
Aspek pinansial manajemen Sumber Daya Insani belakangna ini
semakin berkembang karena para manajer semakin sadar akan pengaruh
yang besar dari Sumber Daya Insani ini meliputi biaya kompensasi tidak
langsung seperti biaya asuransi kesehatan, pension,
asuransi jiwa, liburan dan sebagainya, kebutuhan akan keahlian dalam
mengelola bidang yang semakin komplek ini merupakan penyebab
utama mengapa para manajer Sumber Daya Insani semakin meningkat.
4. Model Manjerial
Model manajerial ini memiliki dua versi yaitu versi pertama
Manajer Sumber Daya Insani memahami kerangka acuan kerja manajer
lini yang berorientasi pada produktivitas. Versi kedua Manajer ini
melaksanakan beberpa fungsi Sumber Daya Insani.
Departemen Sumber Daya Insani melatih Manajer ini dalam
keahlian yang diperlukan untuk menangani fungsi-fungsi kunci Sumber
Daya Insani seperti pengangkatan, evaluasi kinerja dan pengembangan.
Karena karyawan pada umumnya lebih senang berinteraksi dengan
manajer mereka sendiri dibanding dengan pegawai staf, maka beberapa
departemen Sumber Daya Insani dapat menunjukan Manajer lini untuk
berperan sebagai pelatih dan fasilitator.
5. Model Humanistik
Ide sentral dalam model ini adalah bahwa, Departemen Sumber
Daya Insani dibentuk untuk mengembangkan dan membantu
perkembangan nilai dan potensi Sumber Daya Insani di dalam
organisasi. Spesialis Sumber Daya Insani harus memahami individu
karyawan dan membantunya memaksimalkan pengembangan diri dan
peningkatan karir. Model ini menggabarkan tumbuhnya perhatian
organisasi terhadap pelatihan dan pengembangan karyawan mereka.
6. Model Ilmu Perilaku
Model ini menganggap bahwa, ilmu perilaku seperti psikologi
dan perilaku organisasi merupakan dasar aktivitas Sumber Daya Insani.
Prinsipnya adlah bahwa sebuah pendekatan sains terhadap perilaku
manusia dapat diterapkan pada hampir semua permasalahan Sumber
Daya Insani bidang Sumber Daya Insanis yang didasarkan pada prinsip
sains meliputi teknik umpan balik, evaluasi, desain program dan tujuan
pelatihan serta manajemen karir.

2. Alat seleksi dan Waktu yang Terbaik


Ulasan pekerjaan yang realistis (RJP) adalah ulasan mengenai suatu
pekerjaan yang memberikan informasi yang positif dan juga yang negative
tentang pekerjaan dan perusahaan bersangkutan, antara lain :
a. Orientasi adalah pekerjaan karyawan baru dengan pekerjaan dan
organisasinya
b. Pelatihan karyawan adalah kegiatan manajemen Sumber Daya
Insani yang penting yang terdiri atas :
1) Jenis pelatihan
2) Metode pelatihan
Kualitas Sumber Daya Insani yang baik adalah manusia yang
memiliki etos kerja, seperti yang telah dijabarkan oleh Faisal Badroen,
antara lain sebagai berikut :
a. Tujuan manusia dalam melakukan pekerjaan adalah beribadah
kepada Allah dan memakmurkan kehidupan dengan mengelola
bumi beserta isinya. Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak
menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan aku tidak
menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan.5
b. Kerja adalah usaha untuk mewujudkan keseimbangan antara
pemenuhan kebutuhan jiwa dan jasmani. Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.6
c. Bekerja keras untuk mendapatkan rezki disertai dengan tawakal dan
takwa kepada Allah. Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi
kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah
sebahagian dari rezki- Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu
(kembali setelah) dibangkitkan.7
d. Usaha yang halal dan menghindari usaha yang haram. Katakanlah:
"tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya
yang buruk itu menarik hatimu. Maka bertakwalah kepada Allah
Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.8
e. Keimanan bahwa seluruh materi di dunia ini hanya milik Allah,
sedang manusia bertugas sebagai khalifah. Berimanlah kamu
kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari
hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka
orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan
(sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.9
f. Jujur dan amanah. Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur
dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan
itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir
(yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-
minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila
ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang
yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang
bertakwa.10
Strategi pengembangan Sumber Daya Insani yang dilakukan oleh
Nabi Muhammad Saw meliputi : 1) Merencanakan dan menarik Sumber
Daya Insani yang berkualitas, 2) Mengembangkan Sumber Daya Insani
agar berkualitas, 3)Menilai kinerja Sumber Daya Insani, 4) Memberikan
motivasi, dan 5) Memelihara sumber daya yang berkualitas.11
Sejalan dengan langkah yang diambil Nabi Muhammad tersebut,
Mujamil Qomar mengungkapkan bahwa manajemen Sumber Daya Insani
mencakup tujuh komponen, yaitu : 1) Perencanaan pegawai, (2) Pengadaan
pegawai, 3) Pembinaan dan pengembangan pegawai, 4) Promosi dan
mutasi, 5) Pemberhentian pegawai, 6) Kompensasi, dan (7) Penilaian
pegawai.12
Komponen MSDM tersebut merupakan proses yang dilakukan
suatu lembaga agar memperoleh Sumber Daya Insani yang unggul dan
mampu mengemban tanggung jawab sesuai keahliannya.

c. Insentif
Insentif sebagai sarana motivasi yang mendorong para pegawai untuk
bekerja dengan kemampuan yang optimal, yang dimaksudkan sebagai
pendapatan ekstra di luar gaji atau upah yang telah di tentukan. Pemberian
insentif dimaksudkan agar dapat memenuhi kebutuhan para pegawai dan
keluarga mereka. Istilah sistem insentif pada umumnya digunakan untuk
menggambarkan rencana - rencana pembayaran upah yang dikaitkan secara
langsung atau tidak langsung dengan berbagai standar kinerja pegawai atau
profitabilitas organisasi.
Insentif dapat dirumuskan sebagai balas jasa yang memadai kepada
pegawai yang prestasinya melebihi standar yang telah ditetapkan. Insentif
merupakan suatu faktor pendorong bagi pegawai untuk bekerja lebih baik
agar kinerja pegawai dapat meningkat.
Dari pengertian di atas untuk lebih jelas tentang insentif, di bawah ini
ada beberapa ahli manajemen mengemukakan pengertian mengenai
insentif. Insentif adalah tambahan balas jasa yang diberikan kepada
karyawan tertentu yang prestasinya di atas prestasi standar. Insentif ini
merupakan alat yang di pergunakan pendukung prinsip adil dalam
pemberian kompensasi.13
Insentif merupakan imbalan langsung yang dibayarkan kepada
karyawan karena prestasi melebihi standar yang ditentukan. Dengan
mengasumsikan bahwa uang dapat mendorong karyawan bekerja lebih giat
lagi, maka mereka yang produktif lebih menyukai gajinya dibayarkan
berdasarkan hasil kerja.14 Atau pengertian lain Insentif adalah suatu
bentuk motivasi yang dinyatakan dalam bentuk uang atas dasar kinerja
yang tinggi dan juga merupakan rasa pengakuan dari pihak organisasi
terhadap kinerja karyawan dan kontribusi terhadap organisasi
( perusahaan ).15
Jadi menurut pendapat- pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan,
bahwa insentif adalah dorongan pada seseorang agar mau bekerja dengan
baik dan agar lebih dapat mencapai tingkat kinerja yang lebih tinggi
sehingga dapat menambah kemauan kerja dan motivasi seorang pegawai
agar terciptanya suatu kinerja yang berkualitas sesuai dengan tujuan
perusahaan.
Para manajer harus menyusun sistem insentif yang mencerminkan
sifat pekerjaan dan tempat kerja yang berubah-ubah supaya senantiasa
mampu memotivasi karyawan. Insentif organisasi dapat mencakup banyak
macam imbalan dan tunjangan yang berbeda-beda seperti upah dan gaji
pokok, upah serta gaji tambahan, upah insentif, dan tunjangan serta jasa
lainnya.
Salah satu alasan pentingnya pembayaran insentif karena adanya
ketidaksesuaian tingkat kompensasi yang dibayarkan kepada eksekutif
dengan pekerja lain. Program insentif adalah salah satu cara untuk
memungkinkan seluruh pekerja merasakan bersama kemakmuran
perusahaan.16
Pengembangan karir adalah rentetan posisi yang dipegang seseorang
selama hidupnya antara lain : 1) Keadaan zaman dulu, 2) Anda dan karier
anda sekarang. Sedangkan hal-hal terkini dalam Manajemen
Sumber Daya Insani antara lain : 1)Mengelola perampingan, 2)
Pengelola keragaman angkatan kerja, 3) Perekrutan, 4)Seleksi, 5)
Orintasi dan pelatihan, 6) Keseimbangan kehidupan kerja.
Kompensasi sebagai apa yang diterima SDM sebagai tukaran
atas kontribusinya kepada lembaga.17 Penentuan upah bagi para
pegawai
sebelum mereka mulai menjalankan pekerjaannya, telah dijelaskan
dalam hadis Nabi Saw yang berbunyi: Barangsiapa
mempekerjakan seorang pekerja, maka harus disebutkan upahnya.
Dalam hadis tersebut, Rasulullah
memberikan petunjuk bahwa dengan memberikan informasi gaji
yang akan diterima, diharapkan akan memberikan dorongan
semangat bagi pegawai untuk memulai pekerjaan, dan memberikan
rasa ketenangan.18
Upah ditentukan berdasarkan jenis pekerjaan. Hal ini
merupakan asas pemberian upah sebagaimana ketentuan yang
dinyatakan Allah dalam firman-Nya surat al-Ahqaf ayat 19:
َ َ َ َ ِ
‫ظ ْْْيل ْمه ْ ْم‬
‫يفو ليْاو ال عْأ ْم‬
َ َ َََِ ِ َِ ََ َِ
Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka
kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-
pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan”.19
Selain itu, cara pemberian gaji kepada pegawai dalam Islam
telah digariskan sesuai dengan sabda Nabi Saw : Berikan upah
kepada pekerja sebelum keringatnya kering.20

A.   Definisi Zakat
Tugas hidup manusia sebagai makhluk ciptaan Allah swt adalah beribadah kepada-
Nya. (QS. Al-Dzariyat: 56). Cara beribadah kepada Allah dilakukan dengan (lebih
menekankan melalui) jasmani (badaniyyah) saja atau dengan harta benda (maliyah)
atau melalui keduanya. Salah satu bentuk ibadah dengan harta benda (maliyah) adalah
zakat.Secara etimologis, kata zakat berasal dari kata zakaa, yang berarti suci, baik,
berkah, terpuji, bersih, tumbuh, berkembang, penuh keberkahan dan beres. Secara
terminologis, zakat adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan
kepada orang-orang yang berhak. Menurut UU No. 38 Tahun 1998 tentang
Pengelolaan Zakat, pengertian zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang
muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai ketentuan agama untuk
diberikan kepada yang berhak menerimanya. Menurut istilah, zakat ialah kewajiban
seorang muslim untuk mengeluarkan nilai bersih dari kekayaannya yang tidak
melebihi satu nisab, diberikan kepadamustahik dengan beberapa syarat yang telah
ditentukan. Didin Hafidhuddin mendefinisikan zakat yaitu bagian dari harta dengan
persyaratan tertentu, yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya untuk
diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan persyaratan tertentu
pula.  Dalam pengertian zakat tersebut tercakup pengertian zakat mal (zakat harta)
dan zakat fitrah (zakat jiwa). Esensi zakat adalah pengelolaan sejumlah harta yang
diambil dari orang yang wajib membayar zakat (muzakki) untuk diberikan kepada
mereka yang berhak menerimanya (mustahiq).
Definisi lain tentang zakat ialah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah
mencapai syarat tertentu pula yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan
diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Nipan Abdul Halim
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan zakat ialah suatu syariat yang
mengajarkan kepada segenap kaum kaya yang penghasilannya
mencapai nishab(kadar minimal) tertentu agar mengeluarkan sebagian kecil dari
penghasilannya itu diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
Ada keterkaitan erat antara makna zakat secara bahasa dan istilah, yaitu bahwa setiap
harta yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik, berkah,
tumbuh dan berkembang. Dalam konteks penggunaannya, selain untuk kekayaan,
tumbuh dan suci itu disifatkan untuk jiwa orang yang menunaikan zakat. Artinya,
zakat itu akan mensucikan orang yang mengeluarkannya dan menumbuhkan
pahalanya. Kata suci itu jika dihubungkan dengan harta, maka menurut ajaran Islam,
harta yang dizakati itu akan tumbuh berkembang, bertambah karena suci dan berkah
(membawa kebaikan bagi hidup dan kehidupan yang punya). Secara filosofis, fungsi
zakat bagi manusia adalah membersihkan dari kesalahan dan kecurangan dalam
meraih keinginan selama ini. Menurut istilah ekonomi, zakat merupakan tindakan
pemindahan kekayaan dari golongan kaya kepada golongan tidak punya. Salah satu
ajaran penting yang terdapat dalam agama Islam adalah urgensi zakat kaitannya
dengan pengentasan kaum dhu’afa dan mustadzafiin. Sebagai sebuah dinamika
keagamaan, zakat merupakan bentuk kesaksian manusia (syahadah al-insan) pada
rukun Islam yang keempat dihadapan Allah yang muaranya tertuju pada dimensi
kemanusiaan.
B.   Dasar Hukum Zakat
Ada beberapa ayat dalam Alquran yang menjadi dasar kewajiban untuk menunaikan
zakat.

1. QS. al-Taubah ayat 103

.   

            “Ambillah zakat dari sebahagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan diri dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

            2. QS.al-Baqarah ayat 43.

   
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang
ruku”.

3.    QS.al-Hajj ayat 78.

            “Maka dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakatdan berpegangteguhlah kamu


dengan tali Allah yang Dia merupakan Wali bagi kamu’.:

            4. QS. Ali 'Imran ayat 180.

.   

            “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah


berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi
mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka, harta yang mereka
bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan
Allah lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa
yang kamu kerjakan”.

            Berdasarkan beberapa ayat Alquran itu telah jelaslah bagaimana sebenarnya


kedudukan zakat dalam Islam. Alquran telah mendeskripsikan zakat secara jelas dan
gamblang.  Tidak dapat dipungkiri bahwa zakat merupakan kewajiban yang sifatnya
simultan. Bahkan kata zakat dalam Alquran selalu berdampingan dengan salat. Oleh
karena itu, salat dan puasa tidaklah cukup untuk membuktikan kesaksian seorang
manusia di hadapan Allah, tetapi perlu ada kesaksian lain yang bisa dilihat dan
dirasakan bagi sesama manusia. Sebagai amalan yang mulia, zakat merupakan
rangkaian panggilan Tuhan pada satu sisi, dan panggilan dari rasa kepedulian dan
kasih sayang terhadap sesamanya pada sisi lain.  Istilahnya bahwa salat merupakan
ibadah badaniyah dan zakatmerupakan ibadah maliyah (harta). Salat merupakan
hubungan vertikalmurni kepada Allah, sedangkan zakat lebih bersifat horizontal dan
sosial(ijtima’iyah). Begitu besarnya keterkaitan antara salat danzakat,sehinggaIbn
Katsir sebagaimana yang dikutip oleh Nipan Abdul Halimmengatakanbahwa amal
seseorang itu tidak berguna, kecuali ia melaksanakansalatdan menunaikan zakat
sekaligus. Kewajiban zakat didalamnyaterdapat dimensi sosial dan dimensi ibadah
yang menyatu secaraintegral. Inilah keunikan ajaran Islam, yang tidak menarik garis
pemisah antara institusi sebagai ibadah di satu pihak dan konteks sosial di pihak lain.
Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang selalu disejajarkan dengan salat. Inilah
yang menunjukkan betapa pentingnya zakat sebagaisalah satu rukun Islam.

C.   Prinsip, Fungsi dan Tujuan Zakat


Zakat merupakan salah satu ciri dari sistem ekonomi Islam, karena zakat merupakan
salah satu implementasi asas keadilan dalam sistem ekonomi Islam. M.A. Mannan
dalam bukunya Islamic Economics: Theory and Practice, sebagaimana yang dikutip
oleh Hikmat Kurnia dan A. Hidayat  menyebutkan bahwa zakat mempunyai enam
prinsip, yaitu:
1.    Prinsip keyakinan keagamaan, yaitu bahwa orang yang membayar zakat
merupakan salah satu manifestasi dari keyakinan agamanya.

2.    Prinsip pemerataan dan keadilan; merupakan tujuan sosial zakat, yaitu membagi
kekayaan yang diberikan Allah lebih merata dan adil kepada manusia.

3.    Prinsip produktivitas, yaitu menekankan bahwa zakat memang harus dibayar


karena milik tertentu telah menghasilkan produk tertentu setelah lewat jangka waktu
tertentu.

4.    Prinsip nalar, yaitu sangat rasional bahwa zakat harta yang menghasilkan itu
harus dikeluarkan.

5.    Prinsip kebebasan, yaitu bahwa zakat hanya dibayar oleh orang yang bebas atau
merdeka (hurr).
6.    Prinsip etika dan kewajaran, yaitu zakat tidak dipungut secara semena-mena, tapi
melalui aturan yang disyariatkan.
Secara umum tujuan zakat adalah untuk mencapai keadilan sosial ekonomi. Zakat
merupakan transfer sederhana dari bagian dengan ukuran tertentu harta si kaya untuk
dialokasikan kepada si miskin.

Para cendekiawan muslim banyak yang menerangkan tentang tujuan-tujuan zakat,


baik secara umum yang menyangkut tatanan ekonomi, sosial dan kenegaraan maupun
secara khusus yang ditinjau dari tujuan-tujuan nash secara eksplisit. Tujuan-tujuan itu
antara lain:
1.    Menyucikan harta dan jiwa muzakki.
2.    Mengangkat derajat fakir miskin.

3.    Membantu memecahkan masalah para gharimin, ibnu sabil,


dan mustahiqlainnya.
4.    Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan manusia
pada umumnya.

5.    Menghilangkan sifat kikir dan dan loba para pemilik harta.

6.    Menghilangkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dari hati orang-orang
miskin.

7.    Menjembatani jurang antara si kaya dengan si miskin di dalam masyarakat agar


tidak ada kesenjangan di antara keduanya.
8.    Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang, terutama bagi
yang memiliki harta.

9.    Mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan


hak orang lain padanya.

10.  Zakat merupakan manifestasi syukur atas Nikmat Allah.

11.  Berakhlak dengan akhlak Allah.

12.  Mengobati hati dari cinta dunia.

13.  Mengembangkan kekayaan batin.

14.  Mengembangkan dan memberkahkan harta.

15.  Membebaskan si penerima (mustahiq) dari kebutuhan, sehingga dapat merasa


hidup tenteram dan dapat meningkatkan kekhusyukan beribadat kepada Allah SWT.
16.  Sarana pemerataan pendapatan untuk mencapai keadilan sosial.

17.  Tujuan yang meliputi bidang moral, sosial, dan ekonomi.

Dalam bidang moral, zakat mengikis ketamakan dan keserakahan hati si kaya. Dalam
bidang sosial, zakat berfungsi untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat.
Dalam bidang ekonomi, zakat mencegah penumpukan kekayaan di tangan sebagian
kecil manusia dan merupakan sumbangan wajib kaum muslimin untuk
perbendaharaan negara.
           

D.   Zakat Fitrah,  Zakat Harta dan Sumber Zakat


Zakat secara garis besar dibagi dua, yaitu:

a.    Zakat fitrah (badan) yang semata-mata merupakan pembersihan jiwa.

b.    Zakat harta (maal).


Zakat nafs (jiwa) disebut zakat fitrah merupakan zakat untuk menyucikan diri. Zakat
fitrah dikeluarkan dan disalurkan kepada yang berhak pada bulan Ramadhan sebelum
tanggal 1 Syawal (hari raya Idul Fitri). Zakat ini dapat berbentuk bahan pangan atau
makanan pokok sesuai daerah yang ditempati, maupun berupa uang yang nilainya
sebanding dengan ukuran/harga bahan pangan atau makanan pokok tersebut.
Zakat fitrah ialah zakat yang wajib disebabkan berbuka dari puasa Ramadhan.
Hukumnya wajib bagi setiap muslim, baik kecil atau dewasa, laki-laki dan wanita,
budak atau merdeka. Zakat fitrah itu wajib atas setiap muslim yang memiliki
kelebihan makanan selama satu hari satu malam sebanyak satu sha’ (1 sha’ untuk
ukuran Indonesia kira-kira 3,5 liter) dari makanannya bersama keluarganya.
Berikut ini ada beberapa waktu dan hukum membayar zakat fitrah:

1.    Waktu yang diperbolehkan, yaitu awal Ramadhan sampai hari penghabisan


Ramadhan.

2.    Waktu wajib, yaitu dari terbenam matahari penghabisan Ramadhan.

3.    Waktu yang lebih baik (sunat0, yaitu dibayar sesudah salat subuh sebelum pergi
salat hari raya.

4.    Waktu haram, yaitu zakat fitrah dibayar sesudah terbenam matahari pada hari
raya itu.

Zakat maal (harta) adalah zakat yang dikeluarkan untuk menyucikan harta, apabila


harta itu telah memenuhi syarat-syarat wajib zakat. Menurut Ibn al-Qayyim al-
Jauziyyah bahwa zakat harta itu terbagi dalam empat kualifikasi. Kualifikasi
pertama  terdiri dari tanam-tanaman dan buah-buahan. Kualifikasi kedua terdiri dari
hewan ternak. Kualifikasi ketiga terdiri emas dan perak. Kualifikasi keempat terdiri
dari harta perdagangan. Sedangkan rikaz (harta temuan) sifatnya insidental atau
sewaktu-waktu.
Berdasarkan sumber-sumber zakat yang didapat, maka ada beberapa jenis sumber
harta yang dapat dijadikan jenis-jenis zakat. Beberapa sumber tersebut antara lain
berupa:

1.    Zakat profesi;

2.    Zakat perusahaan;

3.    Zakat surat-surat berharga;

4.    Zakat perdagangan mata uang;

5.    Zakat hewan ternak yang diperdagangkan;

6.    Zakat madu dan produk hewani;

7.    Zakat investasi properti;

8.    Zakat asuransi syariah;


9.    Zakat usaha tanaman anggrek, sarang burung walet, ikan hias dan sektor lainnya
yang sejenis;

10.  Zakat sektor rumah tangga modern.


Ketentuan tentang sumber harta yang dapat dijadikan objek zakat di atas merupakan
hasil perkembangan dari perekonomian Islam yang cukup baik di berbagai sektor.
Sektor industri merupakan sektor yang terus mengalami peningkatan dalam
memberikan sumbangan kepada perekonomian negara. Sektor industri ini merupakan
salah satu sektor yang cukup penting sebagai sumber zakat.
E.    Mustahiq Zakat
Allah swt telah menentukan orang-orang yang berhak untuk menerima zakat
sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Taubah [9]: 60, 

            Kelompok penerima zakat itu dikenal dengan asnaf , yaitu:


1.    Fakir
Fakir ialah orang yang penghasilannya tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok
(primer) sesuai dengan kebiasaan masyarakat dan wilayah tertentu.
Menurut pandangan mayoritas ulama fikih, fakir adalah orang yang tidak memiliki
harta dan penghasilan yang halal, atau yang mempunyai harta yang kurang
dari nishab zakat dan kondisinya lebih buruk daripada orang miskin.
Orang fakir berhak mendapat zakat sesuai kebutuhan pokoknya selama setahun,
karena zakat berulang setiap tahun patokan kebutuhan pokok yang akan dipenuhi
adalah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan pokok lainnya.

Di antara pihak yang dapat menerima zakat dari kuota fakir, yaitu orang-orang yang
memenuhi syarat “membutuhkan”. Maksudnya tidak mempunyai pemasukan atau
harta, atau tidak mempunyai keluarga yang menanggung kebutuhannya. Orang-orang
tersebut adalah: anak yatim, anak pungut, janda, orang tua renta, jompo, orang sakit,
orang cacat jasmani, orang yang berpemasukan rendah, pelajar, para pengangguran,
tahanan, orang-orang yang kehilangan keluarga, dan tawanan, sesuai dengan syarat-
syarat yang dijelaskan dalam aturan penyaluran zakat dan dana kebajikan.
2.    Miskin
Miskin adalah orang-orang yang memerlukan, yang tidak dapat menutupi kebutuhan
pokoknya sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. Miskin menurut jumhur ulama
adalah orang yang tidak memiliki harta dan tidak mempunyai pencarian yang layak
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
3.    Amil zakat
Amil zakat ialah semua pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan
pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan, dan penyaluran atau distribusi
harta zakat.
Amil zakat diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh
instansi pemerintah yang berwenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut
dan membagikan serta tugas lainnya yang berhubungan dengan zakat, seperti
penyadaran atau penyuluhan masyarakat tentang hukum zakat, menerangkan sifat-
sifat pemilik harta yang terkena kewajiban membayar zakat serta dan mereka yang
menjadi mustahiq, mengalihkan, menyimpan dan menjaga serta menginvestasikan
harta zakat.
Para amil zakat berhak mendapat bagian dari zakat dari kuota amil yang diberikan
oleh pihak yang mengangkat mereka, dengan catatan bagian tersebut tidak melebihi
dari upah yang pantas, walaupun mereka orang fakir. Dengan penekanan supaya total
gaji para amil dan biaya administrasi itu tidak lebih dari seperdelapan zakat (13,5%).

4.    Muallaf
Pihak ini merupakan salah satu mustahiq yang delapan yang legalitasnya masih tetap
berlaku sampai sekarang, belum dinasakh. Pendapat ini adalah pendapat yang
diadopsi mayoritas ulama fikih (jumhur). Sehingga kekayaan kaum mualaf tidak
menghalangi keberhakan mereka menerima zakat.
Di antara kelompok masyarakat yang berhak menerima zakat dari kouta ini adalah:

a.    Orang-orang yang dirayu untuk memeluk Islam; sebagai pendekatan terhadap


hati orang yang diharapkan akan masuk Islam atau ke-Islam-an orang yang
berpengaruh untuk kepentingan Islam dan umat Islam.

b.    Orang-orang yang dirayu untuk membela umat Islam: dengan memersuasikan


hati para pemimpin dan kepala negara yang berpengaruh, baik personal maupun
lembaga, dengan tujuan ikut bersedia memperbaiki kondisi imigran warga minoritas
muslim dan membela kepentingan mereka.  Atau, untuk menarik hati para pemikir
dan ilmuwan demi memperoleh dukungan dan pembelaan mereka dalam membantu
permasalahan kaum muslim.

c.    Orang-orang yang baru masuk Islam kurang dari satu tahun yang masih
memerlukan bantuan dalam beradaptasi dengan kondisi baru mereka, meskipun tidak
berupa pemberian nafkah, atau dengan mendirikan lembaga keilmuan dan sosial yang
akan melindungi dan memantapkan hati mereka dalam memeluk Islam serta yang
akan menciptakan lingkungan yang serasi dengan kehidupan baru mereka, baik moril
maupun materil.
5.    Hamba yang Disuruh Menebus Dirinya
Mengingat golongan ini sekarang tidak ada lagi, maka kuota zakat mereka dialihkan
ke golongan mustahiq lain menurut mayoritas pendapat ulama. Namun, sebagian
ulam berpendapat bahwa golongan ini masih ada, yaitu para tentara muslim yang
menjadi tawanan.
6.    Orang yang Berutang
Orang yang berutang yang berhak menerima kuota zakat golongan ini adalah:

a.    Orang yang berutang untuk kepentingan pribadi yang tidak bisa dihindarkan,
dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1.    Utang itu tidak timbul karena kemaksiatan


2.    Utang itu melilit pelakunya.

3.    Si pengutang sudah tidak sanggup lagu melunasi utangnya.

4.    Utang itu sudah jatuh tempo, atau sudah harus dilunasi ketika zakat itu diberikan
kepada si pengutang.

b.    Orang-orang yang berutang untuk kepentingan sosial, seperti yang berutang


untuk mendamaikan antara pihak yang bertikai dengan memikul biaya diyat (denda
kriminal) atau biaya barang-barang yang dirusak.
c.    Orang-orang yang berutang karena menjamin utang orang lain, dimana yang
menjamin dan yang dijamin keduanya berada dalam kondisi kesulitan keuangan.
7.    Fi Sabilillah
Fi sabilillah adalah orang yang berjuang di jalan Allah dalam pengertian luas sesuai
dengan yang ditetapkan oleh para ulama fikih. Intinya adalah melindungi dan
memelihara agama serta meninggikan kalimat tauhid, seperti berperang, berdakwah,
berusaha menerapkan hukum Islam, menolak fitnah-fitnah yang ditimbulkan oleh
musuh-musuh Islam, membendung arus pemikiran-pemikiran yang bertentangan
dengan Islam. Oleh karena itu, pengertian jihad tidak terbatas pada aktivitas
kemiliteran saja.
Kuota zakat untuk golongan ini disalurkan kepada para mujahidin, da’i sukarelawan,
serta pihak-pihak yang mengurusi aktivitas jihad dan dakwah, seperti berupa berbagai
macam peralatan perang dan perangkat dakwah berikut seluruh nafkah yang
diperlukan para mujahidin dan da’i.

8.    Ibn Sabil
Orang yang dalam perjalanan (ibn sabil) adalah orang asing yang tidak memiliki
biaya untuk kembali ke tanah airnya. Golongan ini diberi zakat dengan syarat-syarat
sebagai berikut:
a.    Sedang dalam perjalanan di luar lingkungan negeri tempat tinggalnya. Jika masih
di lingkungan negeri tempat tinggalnya, lalu ia dalam keadaan membutuhkan; maka
ia dianggap sebagai fakir atau miskin.

b.    Perjalanan tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam, sehingga pemberian


zakat itu tidak menjadi bantuan untuk berbuat maksiat.

c.    Pada saat itu ia tidak memiliki biaya untuk kembali ke negerinya, meskipun di
negerinya sebagai orang kaya. Jika ia mempunyai piutang yang belum jatuh tempo,
atau pada orang lain yang tidak diketahui keberadaannya, atau pada seseorang yang
dalam kesulitan keuangan, atau pada orang yang mengingkari utangnya, maka semua
itu tidak menghalanginya berhak menerima zakat

A. Tinjauan Mengenai Zakat


Zakat menurut lughah (bahasa), artinya kesuburan, thaharah yang artinya kesucian,
barakah yang artinya keberkatan dan berarti juga tazkiyah tathhier yang berarti
mensucikan. Zakat berasal dari bahasa Arab az-zakah, yang berarti: suci, bersih,
tumbuh, berkembang, bertambah, subur, berkah, baik dan terpuji. Zakat merupakan
penyerahan sebagian harta benda yang telah ditentukan oleh Allah kepada yang
berhak menerimanya.

Zakat diwajibkan dalam Al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’ Ulama. Disebut zakat dalam
syari’at karena adanya pengertian etimologis, yaitu karena zakat dapat membersihkan
atau mensucikan pelakunya dari dosa dan menunjukkan kebenaran imannya. Zakat ini
merupakan rukun Islam yang ketiga.

Dalam buku Pedoman Zakat Departemen Agama RI disebutkan bahwa zakat adalah
sesuatu yang diberikan orang sebagai hak Allah SWT kepada yang berhak menerima
antara lain fakir miskin, menurut ketentuan-ketentuan agama Islam.

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011, Pasal 1 poin 2, zakat adalah harta
yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.

B. Tinjauan Mengenai Lembaga Pengelola Zakat

Organisasi pengelola zakat ialah institusi yang bergerak di bidang pengelolaan dana
zakat, infaq, dan shadaqah. Pada zaman Rasulullah SAW, dikenal sebuah lembaga
yang disebut Baitul Maal. Baitul Maal ini memiliki tugas dan fungsi mengelola
keuangan negara. Sumber pemasukannya berasal dari dana zakat, infaq, ghanimah,
dan lain-lain. Sedangkan penggunaannya untuk ashnaf mustahiq yang telah
ditentukan, untuk kepentingan da’wah, pendidikan, pertahanan, kesejahteraan sosial,
pembuatan infrastrukur, dan lain sebagainya.

Kenyataan menunjukkan bahwa di Indonesia, organisasi pengelola zakat telah ada


sejak dahulu. Baik dalam bentuk pesantren, yayasan-yayasan sosial, maupun bentuk-
bentuk lainnya. Lembaga-lembaga ini biasanya menerima dana-dana zakat, infaq,
shadaqah, maupun wakaf dari masyarakat yang kemudian disalurkan melalui
program-program sosial, seperti pembangunan masjid dan pesantren, program
da’wah, bantuan kepada anak yatim, serta berbagai program sosial lainnya.
Dalam peraturan perundang-undangan di atas, diakui adanya dua jenis organisasi
pengelola zakat, yaitu:

1. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)

Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) ialah organisasi pengelola zakat yang
dibentuk oleh pemerintah. (Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011, Pasal 5).

BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat


secara nasional. (Pasal 6)

2. Lembaga Amil Zakat (LAZ)

Lembaga Amil Zakat (LAZ) ialah organisasi pengelola zakat yang sepenuhnya
dibentuk oleh masyarakat. Keberadannya untuk membantu BAZNAS dalam
pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat
dapat membentuk LAZ. (Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011, Pasal 17)

Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelolaan zakat, apalagi yang memiliki kekuatan
hukum formal, memiliki beberapa keuntungan antara lain sebagai berikut:

1. Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat.

2. Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan
langsung untuk menerima zakat daripada muzakki.

3. Untuk mencapai efisien dan efektivitas serta sasaran yang tepat dalam penggunaan
harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat.

4. Untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan


yang Islami. Sebaliknya, jika zakat di serahkan langsung dari muzakki kepada
mustahik meskipun secara hukum syari’ah adalah sah, akan tetapi disamping akan
terabaikannya hal-hal tersebut di atas, juga hikmah dan fungsi zakat terutama yang
berkaitan dengan kesejahteraan ummat akan sulit di wujudkan.
C. Manajemen Pengelola Zakat  dan Lembaga Zakat (Amil)

Pelaksanaan zakat didasarkan pada firman Allah dalam QS. At-Taubah:60


‫َار ِمينَ َوفِي َسبِي ِل هّللا ِ َواب ِْن‬
ِ ‫ب َو ْالغ‬
ِ ‫ات ِل ْلفُقَ َراء َو ْال َم َسا ِكي ِن َو ْال َعا ِملِينَ َعلَ ْيهَا َو ْال ُمَؤ لَّفَ ِة قُلُوبُهُ ْم َوفِي الرِّ قَا‬ َّ ‫ِإنَّ َما ال‬
ُ َ‫ص َدق‬
‫هّللا‬ ‫هّللا‬
‫ضة ِّمنَ ِ َو ُ َعلِي ٌم َح ِكي ٌم‬ ً َ ‫ال َّسبِي ِل فَ ِري‬
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan)  budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana 

Juga dalam firman Allah SWT QS. At-Taubah:103

‫صالَتَكَ َس َك ٌن لَّهُ ْم َوهّللا ُ َس ِمي ٌع َعلِي ٌم‬ َ ‫ُخ ْذ ِم ْن َأ ْم َوالِ ِه ْم‬


َ ‫ص َدقَةً تُطَهِّ ُرهُ ْم َوتُ َز ِّكي ِهم بِهَا َو‬
َ ‫ص ِّل َعلَ ْي ِه ْم ِإ َّن‬

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.

Dalam surah At-taubah :60 dikemukakan bahwa salah satu golongan yang
berhak menerima zakat adalah orang yang bertugas mengurus
zakat (‘amilina  ‘alaiha). Sedangkan dalam surah At-taubah:103 bahwa zakat itu
diambil dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki)  untuk
kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq). Yang mengambil
dan menjemput tersebut adalah para petugas (‘amil). Imam Qurtubi menafsirkan surah
At-Taubah : 60 menyatakan bahwa amil itu adalah orang yang ditugaskan oleh imam
atau pemerintah untuk mengambil, menuliskan, menghitung dan mencatatkan zakat
yang
diambilnya dari muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak
menerimanya. Karena itu Rasulullah SAW pernah mempekerjakan seorang dari suku
Asad yang bernama ibnu lutaibah untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim.
begitupula dengan Muas bin Jabal yang ditugaskan di negeri Yaman sebagai  da’i
juga sebagai pengurus Zakat.. demikian pula yang dilakukan oleh para khulafaur
rasyidin sesudahnya.
Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat memiliki beberapa keuntungan
antara lain:
Pertama, untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat. 
Kedua, untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila
berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki. 
Ketiga , untuk mencapai efisiensi dan efektifitas serta sasaran yang tepat
dalam penggunaan harta zakat menurut skala proritas yang ada pada suatu tempat. 
Keempat, untuk memperlihatkan syiar islam dalam semangat penyelenggaraan
pemerintahan yang Islami. 
Kelima, untuk memudahkan kordinasi dan konsolidasi data muzakki dan
mustahiq. 
Keenam, untuk memudahkan pelaporan dan pertanggungjawaban ke publik.
Ketujuh, agar pengelolaaannya dapat dikelola secara professional.

Sebaliknya jika zakat diserahkan langsung dari muzakki ke mustahik,


meskipun secara hukum syar’i adalah sah, akan tetapi disamping akan terabaikannya
hal-hal tersebut diatas, juga hikmah dan fungsi zakat, terutama yang berkaitan dengan
pemerataan dan kesejahteraan ummat, akan sulit diwujudkan.
Di Indonesia pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang-Undang No. 38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan Keputusan Menteri Agama (KMA)
No. 581 tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dan
Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D.
D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Tehnis Pengelolaan Zakat. Dalam Undang-
Undang ini masih banyak kekurangan terutama tidak adanya sangsi
bagi muzakki yang melalaikan kewajibannya tidak membayar zakat, tetapi Undang-
Undang ini mendorong upaya untuk pembentukan lembaga pengelola zakat yang
amanah, kuat dan dipercaya oleh masyarakat.
Dalam Undang-Undang ini dikemukakan bahwa pengelolaan zakat bertujuan
untuk:
1. Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai
dengan 
    tuntunan agama
2. Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya
mewujudkan masyarakat dan keadilan sosial
3 Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat
Dalam Bab III Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dikemukakan bahwa organisasi
pengelola zakat terdiri dari dua jenis, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga
Amil Zakat (LAZ). Selanjutnya bahwa setiap pengelola zakat karena kelalaiannya
tidak mencatat dengan tidak benar tentang zakat, infak, sedekah, hibah, wasiat, waris
dan kaffarat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 pasal 12 dan pasal 11
Undang-Undang tersebut, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga
bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 30.000.000.

   Persyaratan Pengelola Lembaga  Zakat (Amil)


DR. Yusuf Qardawi dalam bukunya, Fiqh Zakat, menyatakan bahwa
seseorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat harus memiliki
persyaratan sebagai berikut:
Pertama; Beragama Islam. Zakat adalah salah satu urusan utama kaum muslimin
yang termasuk rukun Islam (rukun islam ketiga), karena itu seharusnya apabila urusan
penting kaum muslimin diurtus oleh sesama muslim
Kedua, Mukallaf yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannya yang siap menerima
tanggungjawab mengurus urusan umat.
Ketiga, memilki sifat amanah dan jujur. Sifat ini penting untuk menjaga kepercayaan
umat. Artinya para muzakki akan dengan rela menyerahkan zakatnya melalui
lembaga pengelola zakat, jika memang lembaga ini patut dan layak dipercaya.
Keamanahan ini diwujudkan dalam bentuk transparansi (keterbukaan) dalam
menyampaikan laporan pertanggungjawaban secara berkala dan juga ketepatan
penyalurannya sejalan dengan ketentuan syariah Islam. Sifat amanah dan professional
ini dikisahkan tentang Nabi Yusuf as yang mendapatkan kepercayaan sebagai
bendaharawan negeri Mesir, yang saat itu dilanda paceklik berhasil membangun
kembali kesejahteraan masyarakat karena kemampuannya menjaga amanah. Firman
Allah SWT QS. Yusuf:55

‫ض ِإنِّي َحفِيظٌ َعلِي ٌم‬


ِ ْ‫قَا َل اجْ َع ْلنِي َعلَى خَزَ آِئ ِن اَألر‬

Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku


adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".

Keempat; mengerti dan memahami hukum-hukum zakat yang menyebabkan ia


mampu melakukan sosialisasi segala sesuatu yang berkaitan dengan zakat kepada
masyarakat
Kelima; memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.
Amanah dan jujur merupakan syarat yang penting akan tetapi juga harus ditunjang
oleh kemampuan dalam melaksanakan tugas
Keenam; motivasi dan kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugasnya. Amil
zakat yang baik adalah amil zakat yang fuul time dalam melaksanakan tugasnya,
tidak asal-asalan dan tidak pula sambilan
Ketujuh, syarat yang tidak kalah pentingnya, hemat penulis memiliki kemampuan
analisis perhitungan zakat, manajemen, IT dan metode pemanfataan dan
pemberdayaan zakat.
Kedelapan, peningkatan capacity building amil sehingga bisa berkopetisi setiap
momen dan priode tertentu

Persyaratan Lembaga Pengelola  Zakat


Persyaratan teknis lembaga zakat berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI nomor
581 tahun 1991 adalah:
1.      Berbadan Hukum
2.      Memiliki data muzakki dan mustahik
3.      Memiliki program kerja yang jelas
4.      Memmiliki pembukuan dan manajemen yang baik
5.      Melampirkan surat pernyataan bersedia diaudit
Persyaratan tersebut diharapkan dapat mengarah pada profesionalitas dan trasparansi
dari setiap pengelolaan zakat.
Dalam buku petunjuk teknis pengelolaan zakat yang dikeluarkan oleh Institut
Manajemen Zakat (2001) dikemukakan susunan organisasi  pengelola lembaga zakat
antara lain:
1.      Susunan Organisasi Badan Amil Zakat (BAZ)
a.       Badan Amil Zakat terdiri atas Dewan pertimbangan, Komisi Pengawas dan Badan
Pelaksana
b.      Dewan pertimbangan meliputu unsur ketua, sekertaris dan anggota
c.       Komisi Pengawas meliputi unsur  ketua, sekertaris dan anggota
d.      Badan pelaksana meliputi unsur  ketua, sekertaris, bagian keuangan, bagian
pengumpul, bagian pendistribusian dan pendayagunaan
e.       Anggota pengurus Badan Amil Zakat terdiri atas unsur masyarakat dan unsur
pemerintah. Unsur masyarakat terdiri atas unsur ulama, cendikia, tokoh masyarakat,
tenaga profesional dan lembaga pendidikan yang terkait
2.      Fungsi dan Tugas Pokok Pengurus Badan Amil Zakat (BAZ)
a.       Dewan Pertimbangan
1)      Fungsi, memberikan pertimbangan, fatwa, saran dan rekomendasi kepada badan
pelaksana dan Komisi Pengawas dalam pengelolaan Badan Amil Zakat, meliputi
aspek syariah dan aspek manajerial
2)      Tugas Pokok
a.       Memberikan garis-garis kebijakan umum Badan Amil Zakat
b.      Mengesahkan rencana kerja dari Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas
c.       Mengeluarkan fatwa syariah baik diminta maupun tidak terkait dengan hukum
zakat yang wajib diikuti oleh pengurus Badan Amil Zakat
d.      Memberikan pertimbangan, saran dan rekomendasi kepada Badan Pelaksana dan
Komisi Pengawas baik diminta maupun tidak
e.       Memberikan persetujuan atas laporan tahunan hasil kerja Badan Pelaksana dan
Komisi Pengawas
f.       Menunjuk Akuntan Publik
b.      Komisi Pengawas
1)      Fungsi; sebagai pengawas internal lembaga atas operasional kegiatan yang
dilaksanakan Badan Pelaksana
2)      Tugas Pokok
a.       Mengawasi pelaksanaan rencana kerja yang telah disahkan
b.      Mengawasi pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan Dewan
Pertimbangan
c.       Mengawasi operasional kegiatan yang dilaksanakan Badan Pelaksana, yang
mencakup pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan
d.      Melakukan pemeriksaan operasional dan pemeriksaan syariah
3.      Badan Pelaksana
1)      Fungsi; sebagai pelaksana pengelolaan zakat
2)      Tugas pokok
a.       Membuat rencana kerja
b.      Melaksanakan operasional pengelolaan zakat sesuai rencana kerja yang telah
disahkan dan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan
c.       Menyusun laporan tahunan
d.      Menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah
e.       Bertindak dan bertanggungjawab untuk dan atas nama Badan Amil Zakat kedalam
maupun keluar

 Manajemen  Zakat, Infaq, Sadaqah dan Wakaf


Seiring dengan perintah Allah kepada umat Islam untuk membayarkan zakat,
Islam mengatur dengan tegas dan jelas tentang pengelolaan harta zakat. Manajemen
zakat yang ditawarkan oleh Islam dapat memberikan kepastian keberhasilan dana
zakat sebagai dana umat Islam. Hal itu terlihat dalam Al-Qur’an bahwa Allah
memerintahkan Rasul SAW untuk memungut zakat (QS. At-Taubah: 103). Di
samping itu, surat At-Taubah ayat 60 dengan tegas dan jelas mengemukakan tentang
yang berhak mendapatkan dana hasil zakat yang dikenal dengan kelompok
delapan asnaf. Dari kedua ayat tersebut di atas, jelas bahwa pengelolaan zakat, mulai
dari memungut, menyimpan, dan tugas mendistribusikan harta zakat berada di bawah
wewenang Rasul dan dalam konteks sekarang, zakat dikelola oleh pemerintah. Dalam
operasional zakat, Rasul SAW telah mendelegasikan tugas tersebut dengan
menunjuk amil zakat. Penunjukan amil memberikan pemahaman bahwa zakat bukan
diurus oleh orang perorangan, tetapi dikelola secara profesional dan terorganisir.
Amil yang mempunyai tanggungjawab terhadap tugasnya, memungut, menyimpan,
dan mendistribusikan harta zakat kepada orang yang berhak menerimanya. Pada masa
Rasul SAW, beliau mengangkat beberapa sahabat sebagai amil zakat. Aturan dalam
At-Taubah ayat 103 dan tindakan Rasul saw tersebut mengandung makna bahwa
harta zakat dikelola oleh pemerintah. Apalagi dalam Surat At-Taubah ayat 60,
terdapat kata amil sebagai salah satu penerima zakat. Berdasarkan ketentuan dan
bukti sejarah, dalam konteks kekinian, amil tersebut dapat berbentuk yayasan atau
Badan Amil Zakat yang mendapatkan legalisasi dari pemerintah. Akhir-akhir ini di
Indonesia, selain ada Lembaga Amil Zakat yang telah dibentuk pemerintah berupa
BAZ mulai dari tingkat pusat sampai tingkat kelurahan, juga ada lembaga atau
yayasan lain seperti Dompet Dhuafa di Jakarta, Yayasan Dana Sosial Al-Falah di
Surabaya, Yayasan Daarut Tauhid di Bandung, dan Yayasan Amil Zakat di Lampung.
Bahkan sebagian yayasan tersebut sudah dapat menggalang dana umat secara
profesional dengan nominal yang sangat besar. Dan pendayagunaan zakat sudah
diarahkan untuk pemberian modal kerja, penanggulangan korban bencana, dan
pembangunan fasilitas umum umat Islam. Apalagi dengan situasi dan kondisi
sekarang banyak sekali lembaga atau yayasan yang peduli terhadap masalah-masalah
ketidakberdayaan dan ketidakmampuan umat Islam. Ada beberapa program yang
diperuntukkan juga bagi umat Islam yang tidak mampu seperti advokasi kebijakan
publik, HAM, bantuan hukum, pemberdayaan perempuan. Semua program tersebut
memerlukan dana yang tidak sedikit, sementara itu pendanaannya tidak mungkin
dibebankan kepada mereka. Berdasarkan kenyataan tersebut, muncul pertanyaan
apakah dana dari zakat dapat digunakan untuk pelaksanaan pro-gram yayasan atau
badan yang mengurus kepentingan umat Islam yang tak mampu secara finansial,
akses, ataupun pengetahuan. Mereka dengan segala keterbatasannya juga harus
dibantu. Program tersebut pun memerlukan dana operasional, bahkan mereka yang
membantu pun perlu dana. Pada satu sisi, penerima zakat telah ditetapkan secara
tegas dan jelas, yang sebagian orang memahami tidak mungkin keluar dari aturan
tersebut.
Apabila asnaf yang ditetapkan dalam surat At-Taubah ayat 60 tersebut dipahami
secara tekstual, ada asnaf yang tidak dapat diaplikasikan sekarang, yaitu riqab.
Riqab adalah budak Muslim yang telah dijanjikan untuk merdeka kalau ia telah
membeli dirinya. Begitu juga dengan fuqara’, masakin, dan gharimin. Pemahaman
tekstual akan menyebabkan tujuan zakat tidak tercapai, karena pemberian dana zakat
kepada yang bersangkutan sifatnya hanya charity. Masalah krisis ekonomi yang
dihadapi sebagian umat Islam yang memerlukan bukan hanya bagaimana kebutuhan
dasarnya terpenuhi. Akan tetapi bagaimana mengatasi krisis tersebut dengan
mengatasi penyebab munculnya krisis. Dengan demikian, untuk pencapaian tujuan
zakat dan hikmah pewajiban zakat, maka pemahaman kontekstual dan komprehensif
terhadap delapan asnaf penerima zakat perlu dilakukan, sehingga kelompok yang
berhak mendapatkan dana zakat dapat menerima haknya.
Manajemen zakat yang baik adalah suatu keniscayaan. Dalam Undang-Undang (UU)
No.38 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “Pengelolaan zakat adalah kegiatan
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan
dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat”. Agar LPZ dapat berdaya guna, maka
pengelolaan atau manajemennya harus berjalan dengan baik.
Kualitas manajemen suatu organisasi pengelola zakat (Widodo, 2003) harus dapat
diukur. Untuk itu, ada tiga kata kunci yang dapat dijadikan sebagai alat
ukurnya. Pertama, amanah. Sifat amanah merupakan syarat mutlak yang harus
dimiliki oleh setiap amil zakat. Tanpa adanya sifat ini, hancurlah semua sistem yang
dibangun. Kedua, sikap profesional. Sifat amanah belumlah cukup. Harus diimbangi
dengan profesionalitas pengelolaannya. Ketiga, transparan. Dengan transparannya
pengelolaan zakat, maka kita menciptakan suatu sistem kontrol yang baik, karena
tidak hanya melibatkan pihak intern organisasi saja, tetapi juga akan melibatkan pihak
eksternal. Dan dengan transparansi inilah rasa curiga dan ketidakpercayaan
masyarakat akan dapat diminimalisasi.
Ketiga kata kunci ini dapat diimplementasikan apabila didukung oleh penerapan
prinsip-prinsip operasionalnya. Prinsip-prinsip operasionalisasi LPZ antara
lain. Pertama, kita harus melihat aspek kelembagaan. Dari aspek kelembagaan,
sebuah LPZ seharusnya memperhatikan berbagai faktor, yaitu : visi dan misi,
kedudukan dan sifat lembaga, legalitas dan struktur organisasi, dan  aliansi strategis.
Kedua, aspek sumber daya manusia (SDM). SDM merupakan aset yang paling
berharga. Sehingga pemilihan siapa yang akan menjadi amil zakat harus dilakukan
dengan hati-hati. Untuk itu perlu diperhatikan faktor perubahan paradigma bahwa
amil zakat adalah sebuah profesi dengan kualifikasi SDM yang khusus.
Ketiga, aspek sistem pengelolaan. LPZ harus memiliki sistem pengelolaan yang baik,
unsur-unsur yang harus diperhatikan adalah : LPZ harus memiliki sistem, prosedur
dan aturan yang jelas, memakai IT, manajemen terbuka; mempunyai activity plan;
mempunyai lending commite; memiliki sistem akuntansi dan manajemen
keuangan;  diaudit; publikasi; perbaikan terus menerus.
Setelah prinsip-prinsip operasional  kita pahami, kita melangkah lebih jauh untuk
mengetahui bagaimana agar pengelolaan zakat dapat berjalan optimal. Untuk itu,
perlu dilakukan sinergi dengan berbagai stakeholder. Pertama, para pembayar zakat
(muzakki). Jika LPZ ingin eksis, maka ia harus mampu membangun kepercayaan
para muzakki. Banyak cara yang bisa digunakan untuk mencapainya, antara lain:
memberikan progress report berkala, mengundangmuzakki ke tempat mustahik,
selalu menjalin komunikasi melalui media cetak, silaturahmi, dan lain-lain. Kedua,
para amil. Amil adalah faktor kunci keberhasilan LPZ. Untuk itu, LPZ harus mampu
merekrut para amil yang amanah dan profesional.
Prinsip-Prinsip Pengelolaan Zakat
Dalam pengelolaan zakat terdapat beberapa prinsip-prinsip yang harus diikuti
dan ditaati agar pengelolaan dapat berhasil sesuai yang diharapkan, diantaranya :
1. Prinsip Keterbukaan, artinya dalam pengelolaan zakat hendaknya dilakukan secara 
    terbuka dan diketahui oleh masyarakat umum.
2.Prinsip Sukarela, artinya bahwa dalam pemungutan atau pengumpulan zakat
hendaknya senantiasa berdasarkan pada prisip sukarela dari umat Islam yang
menyerahkan harta zakatnya tanpa ada unsur pemaksaan atau cara-cara yang
dianggap sebagai suatu pemaksaan. Meskipun pada dasarnya ummat Islam
yang enggan membayar zakat harus mendapat sangsi sesuai perintah Allah.

3. Prinsip Keterpaduan, artinya dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus


   dilakukan secara terpadu diantara komponen-komponen yang lainnya.

4. Profesionalisme, artinya dalam pengelolaan zakat harus dilakukan oleh mereka


yang ahli dibidangnya., baik dalam administrasi, keuangan dan sebaginya
.
1. Prinsip Kemandirian, prinsip ini isebenarnya merupakan kelanjutan dari
prinsip prefesionalisme, maka diharapkan lembaga-lembaga pengelola zakat
dapat mandiri dan mampu melaksanakan tugas dan fungsinya tanpa perlu
menunggu bantuan dari pihak lain.

Pola Manajemen Zakat


            Secara Umum Pengelolaan Zakat diupayakan dapat menggunakan fungsi-
fungsi manajemen modern yang meliputi; Perencanaan, pengorganisasian,
Pelaksanaan dan pengarahan serta pengawasan.
Perencanaan meliputi; merumuskan rancang bangun organisasi, perencanaan program
kerja yang terdiri dari: penghimpunan (fundraising), pengelolaan dan pendayagunaan.
Pengorganisasian meliputi; tugas dan wewenang, penyusunan personalia,
perencanaan personalia dan recruiting. Pelaksanaan dan pengarahan terdiri dari;
pemberian motivasi, komunikasi, model kepemimpinan, dan pemberian reward dan
sangsi. Sedangkan pengawasan meliputi; Tujuan pengawasan, tipe pengawasan, tahap
pengawasan serta kedudukan pengawas.

Pengelolaan zakat dan Pengalokasian zakat professional dan produktif


            Dalam literature zakat, baik literature klasik maupun modern, selalu
ditemukan bahwa pengumpulan zakat adalah kewajiban pemerintah di negara Islam.
Penguasa berkewajiban memaksa warga Negara yang beragama Islam dan mampu
memabayar zakat atas harta kekayaannya yang telah mencapai haul dan nisab.
Kewajiban membayar zakat ini diikuti dengan penerapan dan pelaksanaan
pengelolaan zakat yang professional. Ketidakberhasilan ini disebabkan karena
persoalan manajemen kelembagaannya. Olehnya itu perlunya penerapan prinsip-
prinsip manajemen secara professional. Salah satu model pendayagunaan zakat
dengan sistem Surplus zakat Budged. Yaitu zakat diserahkan muzakki kepada Amil,
dana yang dikelola akan diberikan kepada mustahiq dalam bentuk uang tunai dan
sertifikat. Dana yang diwujudkan dalam bentuk sertifikat harus dibicarakan dan
mendapat izin dari mustahiq yang menrimanya. Dana dalam bentuk uang cash akan
digunakan sebagai pembiayaan pada perusahaan, dengan harapan perusahaan tersebut
akan berkembang dan dapat menyerap tenaga kerja dari masyarakat ekonomi lemah
termasuk mustahiq. Disamping itu perusahaan akan memberikan bagi hasil kepada
mustahiq yang memiliki sertifikat pada perusahaan tersebut. Dari bagi hasil yang
diterima mustahiq tersebut jika telah mencapai nishab dan haulnya diharapkan
mustahiq tersebut dapat membayar zakat atau memberikan sadaqah. Tugas amil
adalah membentu mustahiq dalam mengelola dana zakat dan selalu memberi
pengarahan atau motivasi serta pembinaan sampai mustahiq dapat memanfaatkan
dana yang dimiliki dengan baik.

D. Sinergitas Peran Pengelola Zakat Di Indonesia

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BAZNAS


merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara
nasional, BAZNAS menyelenggarakan fungsi sebagai berikut :

(Pasal 7)

a. perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;

b. pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;

c. pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan

d. pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.

Sedangkan LAZ berfungsi membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan,


pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.

Peran kedua organisasi tersebut sebagai penghimpun ZIS adalah sebagai berikut:

1. Membantu pemerintah menghimpun ZIS dari masyarakat terhimpun melalui


individu maupun lembaga

2. Apabila lewat lembaga akan ter-menej dengan baik, sementara lewat individu
riskan terjadi penyimpangan, sehingga keberadaan organisasi pengelola zakat dapat
mencegah dana zakat, infak, shadaqah, dan wakaf dapat tersalurkan dengan merata
dan tepat sasaran.

3. Dalam konteks Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) setiap orang dalam organisasi
merupakan orang-orang yang rela bekerja untuk ummat, merasa terlibat dalam proses
penghimpunan hingga pemuasan muzakki dalam menitipkan amanah terhadapnya,
baik secara langsung maupun tidak langsung dan bukan hanya sebagai pelaksana
suatu fungsi tertentu. Meskipun organisasi sosial, keprofesionalan organisasi tetap
diutamakan.

Sinergisitas BAZNAS dan LAZ, selain untuk mewujudkan misi bersama, manfaatnya
agar dalam pelaksanaan tugasnya di lapangan tidak saling tumpang tindih fungsi,
apalagi saling menghambat disebabkan adanya persaingan memperebutkan eksistensi
lembaga dan kepercayaan di mata masyarakat.

Keberadaan BAZNAS dan LAZ substansinya adalah bagaimana melawan dan


mengentaskan kemiskinan yang ada di Indonesia, untuk itu perlu adanya sinergisitas
antara keduanya. Dari segi metode, upaya, bentuk, dan kegiatan antara BAZNAS dan
LAZ masing-masing memiliki inovasi dan kreasi tersendiri baik dari segi
pengumpulan, pendistribusian, pendayagunaan dana zakat, infaq, dan shadaqah,
maupun pengembangan lembaga.
A. Religiusitas
1. Pengertian Religiusitas
Religiusitas, menurut Erich Fromm, adalah sistem pikiran dan tindakan
yang dimiliki bersama oleh sekelompok individu sebagai acuan dalam
memberikan kerangka pengarahan hidup dan obyek yang dipuja kepada individu
anggota kelompoknya secara pribadi (Crapps, 1993).Religiusitas adalah
melakukan suatu perbuatan ibadah yang dilakukan secara berulang-ulang
(istiqomah), konsisten, dan tanpa adanya suatu
keterpaksaan dari individu lain yang dilandasi dengan rasa keikhlasan, rasa
ketulusan, kepasrahan diri, kerendahan diri, dan mengharap rahmat serta
ridhonya ketika menghadap kepada sang pemilik. Religiusitas adalah seberapa
jauh akan pengetahuan, seberapa mantap keyakinan, seberapa besar pelaksanaan
ibadah dan kaidah serta seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya.
Religiusitas diidentikkan dengan keberagaman dan keselarasan di dalam
melaksanakan suatu ibadah dalam agama yang dianutnya. Religiusitas adalah
bentuk manifestasi individu yang di dapat dari hasil pembelajaran keagamaan
serta memahami keesan Allah melalui kitab-kitab suci dan meneladani kisahpara
rasul. Religiusitas adalah suatu cara pandang dari buah pikiran (mind of
sense) seseorang mengenai agamanya serta bagaimana individu tersebut
menggunakan
keyakinan atau agamanya dalam kehidupan sehari-hari (Earnshaw, 2000).
Ancok dan Suroso (2001) mengungkapkan bahwa religiusitas adalah
keberagaman yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan
terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika
melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan Allah. Sumber jiwa
keagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak (dependency of absolute),
adanya ketakutan-ketakutan akan ancaman dari faktor eksternal serta keyakinan
individu tentang segala keterbatasan dan kelemahannya.
Rasa ketergantungan yang mutlak ini membuat individu mencari kekuatan
Allah dari sekitarnya yang dapat dijadikan sebagai kekuatan pelindung dalam
kehidupannya dengan suatu kekuasaan yang berada di dalam dasar hatinya, yaitu
Allah.
Hawari (Mangunwijaya, 1982) mengungkapkan bahwa religiusitas adalah
penghayatan keagamaan dan kedalaman rasa kepercayaan yang diekspresikan

9
dengan melakukan ibadah sehari-hari, berdoa, dan membaca kitab suci secara
berulang-ulang dan tekun. Religiusitas adalah segala sesuatu yang menunjuk dari
pedoman religi yang telah dihayati oleh individu serta memberikan kekuatan
akan ketenangan, kebijaksanaan, dan pengelolaan terhadap diri individu maupun
individu lain.
Religiusitas adalah sumber dari segala sesuatu yang menjadi tolak ukur
individu berpedoman untuk mencari kebenaran ilahi di dalam melakukan suatu
aktivitas beribadah. Salim dan Salim (Relawu, 2007) mengungkapkan bahwa
religiusitas adalah suatu individu cenderung kepada besarnya sikap kepatuhan
dan pengabdian yang besar terhadap agama yang dianutnya.
Definisi lain menyatakan bahwa religiusitas merupakan perilaku terhadap
nilai-nilai keagamaan yang dapat ditandai, tidak hanya melalui ketaatan dalam
menjalankan ibadah ritual tetapi juga dengan adanya keyakinan, pengalaman, dan
pengetahuan mengenai sistem religiusitas yang dianutnya (dalam Ancok &
Suroso, 2001).
Thouless (2000), mengungkapkan bahwa religiusitas adalah suatu
hubungan antara seorang hamba dengan sang pemilik yang dirasakan dengan apa
yang dipercayai sebagai mahkluk atau wujud yang lebih tinggi daripada manusia.
Allah menurutnya, adalah kebenaran pertama yang menyebabkan manusia
terdorong untuk mengadakan reaksi yang penuh hikmat dan sungguh-sungguh
tanpa menggerutu atau menolaknya (Surutin, 2004).
Berdasarkan definisi uraian di atas, maka dapat di simpulkan bahwa
religiusitas adalah segala pikiran dan tindakan yang dimiliki bersama oleh
sekelompok individu sebagai acuan dalam memberikan kerangka pengarahan
hidup terhadap obyek yang ditaati dan diteladani kepada individu baik secara
anggota maupun secara berkelompok.
Segala pikiran dan tindakan tersebut meliputi ibadah yang dilakukan
secara berulang-ulang (istiqomah), konsisten, dan tanpa adanya suatu
keterpaksaan dari individu lain yang dilandasi dengan rasa keikhlasan, rasa
ketulusan, kepasrahan diri, kerendahan diri, dan mengharap rahmat serta
ridhonya ketika menghadap kepada sang pemilik.

2. Dimensi-dimensiReligiusitas
Glock dan Stark mengemukakan lima dimensi religiusitas yaitu: dimensi
keyakinan (the ideological dimension), dimensi praktek agama (the ritualistic dimension),
dimensi penghayatan (the experiental dimension), dimensi pengetahuan (the intellectual
dimension), dimensi konsekuensi (the consequential dimension). Kelima dimensi ini
saling terkait satu sama lain dalam
memahami religiusitas atau keagamaan dan mengandung unsur the ideological
dimension (keyakinan).
Dimensi keyakinan (the ideological dimension) berisi pengharapan-
pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis
tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Religiusitas
mempertahankan kepercayaan dimana para penganut diharapkan akan taat.
Dalam konteks ajaran Islam, dimensi ini menyangkut keyakinan terhadap rukun
iman, kepercayaan seseorang terhadap kebenaran-kebenaran agama-agamanya
dan keyakinan masalah-masalah ghaib yang diajarkan agama.
Dimensi ritual (the ritualisticdimension) yaitumengukur sejauh mana
seseorang melakukan kewajiban ritualnya dalam agama yang dianut. Misalnya
pergi ke tempat ibadah, berdoa secara pribadi, berpuasa, dan lain-lain. Dimensi
ritual ini merupakan perilaku keberagaman yang berupa peribadatan yang
berbentuk upacara keagamaan. Pengertian lain mengemukakan bahwa ritual
merupakan sentiment secara tetap dan merupakan pengulangan sikap yang benar
dan pasti. Perilaku seperti ini dalam Islam dikenal dengan istilah mahdah yaitu
meliputi shalat, puasa, haji, zakat, dan kegiatan lain yang bersifat ritual.
Dimensi penghayatan (the experientaldimension) sesudah memiliki
keyakinan yang tinggi dan melaksanakan ajaran agama (baik ibadah maupun
amal) dalam tingkatan yang optimal maka dicapailah situasi penghayatan.
Dimensi penghayatan berkaitan dengan seberapa jauh seseorang merasa dekat
dan dilihat oleh Allah dalam kehidupan sehari-hari.
Dimensi ini mencakup pengalaman dan perasaan dekat dengan Allah,
perasaan nikmat dalam menjalankan ibadah,dan perasaan syukur atas nikmat
yang dikaruniakan oleh Allah dalam kehidupan mereka.
Dimensi pengetahuan (the intellectualdimension) dimensi ini berkaitan
dengan pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran
agamanya. Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang
beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-
dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi, dan Al-qur'an
merupakan pedoman hidup sekaligus sumber ilmu pengetahuan. Hal tersebut
dapat difahami bahwa sumber ajaran Islam sangat penting agar religiusitas
seseorang tidak sekedar atribut dan hanya sampai dataran simbolisme ekstoterik.
Maka, aspek dalam dimensi ini meliputi empat bidang yaitu, akidah, ibadah,
akhlak, serta pengetahuan Al-qur'an dan Hadist. Dimensi pengetahuan jelas
berkaitan satu sama lain, karena pengetahuan mengenai sesuatu meliputi syarat
bagi penerimaannya.
Dimensi konsekuensi (the consequential dimension) konsekuensi
komitmen religiusitas berlainan dari keempat dimensi yang sudah dibicarakan
diatas. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan
keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.
Dimensi ini berkaitan dengan kegiatan keagamaan untuk merealisasikan
ajaran-ajaran dan lebih mengarah pada hubungan manusia tersebut dengan
sesamanya dalam sehari-hari yang berlandaskan pada etika dan spiritualitas
agama yang dianutnya. Pada hakekatnya, dimensi konsekuensi ini lebih dekat
dengan aspek sosial. Yang meliputi ramah dan baik terhadap orang lain,
menolong sesama, dan menjaga lingkungan. (Ancok dan Suroso, 2005).
Firmansyah (2011) menyebutkan bahwa religiusitas merupakan
konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur konatif, perasaan
terhadap agama sebagai unsur afektif dan perilaku agama sebagai unsur kognitif.
Jadi aspek religiusitas merupakan integrasi dari pengetahuan, perasaan dan
perilaku keagamaan dalam diri manusia.
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa dimensi religiusitas meliputi
keyakinan, praktek agama, ihsan dan penghayatan, pengetahuan agama, serta
pengalaman dan konsekuensi. Kelima dimensi ini merupakan satu kesatuan yang
saling terhubung satu sama lain dalam memahami religiusitas. Kelima dimensi
tersebut juga cukup relevan dan mewakili keterlibatan religiusitas pada setiap
orang dan bisa diterapkan dalam sistem agama Islam untuk diuji cobakan dalam
rangka menyoroti lebih jauh kondisi religiusitas mahasiswa muslim dalam hal ini
mengetahui, mengamati dan menganalisa tentang kondisi religiusitas mahasiswa
yang akan diteliti, maka akan diambil lima dimensi keberagamaan Glock dan
Stark sebagai skala untuk mengukur religiusitas mahasiswa (Ancok dan Suroso,
1994).
Sementara dalam sebuah laporan penelitian yang di terbitkan oleh Underwood
(1999) menjelaskan 11 dimensi religiusitas yaitu daily spiritual experiences, meaning,
values, beliefs, forgiveness, private religious practices, religious atau spiritual coping,
religious support, commitment, organizational religiousness, religious preference.
Daily spiritual experiences merupakan persepsi individu terhadap sesuatu
yang berkaitan dengan hal yang transenden (Tuhan, sifatnya) dan persepsi
interaksi dengan melibatkan transenden dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
daily spiritual experiences lebih mengarah kepada hal yang bersifat pengalaman
individu dibandingkan dengan hal yang kognitif, (Underwood, 1999). Persepsi
“merupakan kesadaran intuitif mengenai kebenaran langsung atau keyakinan
yang serta merta mengenai sesuatu” (Chaplin, 2008). Jadi, daily spiritual
experiences merupakan kesadaran individu terhadap sesuatu yang berkaitan
dengan hal yang transenden, yang mampu memberikan pengaruh terhadap
kehidupannya sehari-hari.
Meaning disebut dengan istilah kebermaknaan hidup. Adapun, meaning
yang di maksud di sini adalah yang berkaitan dengan religiusitas atau disebut
religion-meaning yaitu sejauh mana religiusitas dapat menjadi tujuan hidupnya,
Pargament (Fetzer, 1999). Seseorang yang hidupnya dilandasi dengan religiusitas
akan merasa bahwa dirinya mempunyai tanggung jawab untuk menjadi orang
yang bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain, dan berharga di hadapan Allah.
keinginan untuk hidup bermakna merupakan bagian penting dari karakteristik
manusiawi, yang dapat menyebabkan gejala fisik dan mental jika terhalangi atau
tidak terpuaskan (Frankl, 1963 dalam Fetzer 1999).
Values, (Fetzer, 1999) yaitu menggambarkan nilai-nilai yang terkandung
dalam agama sebagai tujuan hidup, dan norma-norma sebagai sarana untuk tujuan
hidup tersebut. Para ahli yang lain menganggap bahwa values sebagai kriteria
yang digunakan orang untuk memilih dan membenarkan tindakan (William dan
Kluckhohn dalam Fetzer, 1999). Aspek ini menilai sejak mana perilaku individu
mencerminkan ekspresi normatif atau religiusitas sebagai nilai tertinggi. Dengan
kata lain, values yang dimaksud adalah pengaruh religiusitas terhadap nilai-nilai
dan norma-norma kehidupan. Nilai-nilai tersebut mengajurkan tentang nilai
religiusitas yang mendasarinya untuk saling menolong, melindungi, menjaga dan
sebagainya. John J. Macionis (1997) menyebutkan bahwa norma merupakan
segala aturan, nilai-nilai, ketentuan-ketentuan, dan harapan masyarakat yang
memandu segala perilaku anggota masyarakat.

Beliefs, (Fetzer, 1999) merupakan sentral dari religiusitas. Beliefs


merupakan keyakinan akan konsep-konsep yang dibawa oleh suatu religiusitas.
Dalam ajaran religiusitas, konsep beliefs dikenal dengan istilah rukun iman,
yaitu: iman kepada Allah, Malaikat, Kitab (Al-Qur’an), Rasul, hari akhir atau
hari kiamat, takdir Qodho dan Qodar. Iman adalah “ucapan dengan lisan serta
dalam bertutur kata yang sopan, keyakinan dengan hati, dan amalan dengan
anggota tubuh, meliputi baik dengan mulut maupun tangan” Tarmizi (Bakhri,
2011). Dari pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan beliefs atau iman
yaitu keyakinan yang diucapkan dengan lisan dengan bertutur kata yang sopan,
dihayati dengan hati, dan diamalkan dengan perilaku dan perbuatan, yang dimana
proses iman tersebut akan menjadi kebijaksanaan seseorang dalam menentukan
suatu tindak keputusan dalam hal menilai sesuatu yang dirasa benar dan sesuatu
yang dirasa salah.
Forgiveness, (Fetzer, 1999) mencakup lima dimensi, yaitu : pengakuan
dosa atau kesalahan, yaitu melakukan pengakuan atas kesalahan ataupun dosa
yang telah diperbuat, baik kepada diri sendiri, sesama manusia maupun kepada
Allah. Menurut agama Islam, istilah pengakuan dosa lebih dikenal dengan istilah
taubat. Merasa diampuni oleh Allah, yaitu merasa bahwa Allah akan
mengampuni kesalahan yang telah diperbuat dengan cara bertaubat hanya kepada
Allah semata bukan selain kepada Allah. Merasa dimaafkan oleh orang lain,
yaitu merasa bahwa orang memberi maaf terhadap dirinya yang pernah
melakukan kesalahan.
Memaafkan orang lain, yaitu memberi maaf kepada orang lain yang telah
melakukan kesalahan terhadap dirinya baik secara sengaja maupun tidak di
sengaja. Memaafkan diri sendiri, yaitu memberi maaf kepada diri sendiri atas
kesalahan yang telah diperbuat dengan cara menyesali perbuatan tersebut dan
merecall kesalahan diri sendiri serta mempasrahkan kesalahan sendiri kepada
Allah.
Private religious practices, (Fetzer, 1999) merupakan perilaku religiusitas
dalam praktik religiusitas yang meliputi ibadah, mempelajari kitab, dan kegiatan-
kegiatan lain untuk meningkatkan religiusitasnya. Ibadah merupakan perbuatan
untuk menyatakan bakti kepada Allah yang didasari ketaatan mengerjakan
perintahnya dan menjauhi larangannya. Sedangkan mempelajari kitab disini
berarti tidak hanya sekedar membaca Al-Qur’an, tetapi juga memahami
kandungan atau makna dari isi Al-Qur’an tersebut serta mengaplikasikan untuk
diri sendiri di dalam menjalani kehidupan.
Religious coping atau spiritual coping, (Fetzer, 1999) merupakan coping stres
dengan menggunakan pola dan metode religious. Bentuk spiritual coping diantaranya
berdoa, beribadah untuk menghilangkan stress dan depresi, mengaji dan sebagainya.
Pargament (1999) menjelaskan bahwa ada tiga jenis coping secara religious, yaitu
deffering style, colaborative style, dan self-directing style.
Deferring style, yaitu meminta penyelesaian masalah kepada Allah saja,
yaitu dengan cara berdoa dan meyakini bahwa Allah akan menolong hamba-Nya
yang sedang mengalami kesusahan agar diberikan kemudahan dan perlindungan.
Colaborative style, yaitu senantiasa berusaha untuk melakukan coping dengan
cara meminta solusi kepada Allah dan juga kepada individu lainnya. Self-
directing style, yaitu individu bertanggung jawab sendiri dalam menjalankan
coping dan merefresh ulang dengan bersungguh-sungguh menjalankannya.
Religious support, (Fetzer, 1999) adalah aspek hubungan sosial antara
individual dengan pemeluk agama sesamanya. Religious support juga dapat
terjadi antara individual dengan kelompok atau lembaga dalam agamanya. Dalam
religiusitas hal semacam ini disebut dengan al-Ukhuwah al-Islamiyah.
Hubungan sosial antara individu dengan individu lain dalam religiusitas di
sini dapat berupa pemberian bantuan, baik itu dalam bentuk tenaga (fisik),
pikiran (kognitif), afektif (kasih sayang), infak ataupun sekolah kepada individu
yang membutuhkan. Kemudian hubungan sosial antar individu dengan kelompok
atau lembaga dalam religiusitas dapat berupa pemberian zakat kepada kelompok
mustahiq zakat.
Commitment, (Fetzer, 1999) adalah seberapa jauh individu mementingkan
religiusitasnya, komitmen, serta berkontribusi kepada religiusitasnya. Komitmen
dalam mementingkan agamanya dapat di misalkan dengan kesungguhan individu
untuk berusaha menerapkan keyakinan religiusitasnya yang di anutnya ke dalam
seluruh aspek kehidupan. Sedangkan kontribusi individu terhadap agamanya
dapat berupa pemberian sumbangan baik moril maupun materil demi siar
religiusitasnya.
Organizational religiousness, (Fetzer, 1999) merupakan konsep yang
mengukur seberapa jauh individu ikut serta dalam organisasi religiusitasnya yang
ada di masyarakat dan beraktivitasnya di dalamnya. Dalam hal ini termasuk
perilaku dan sikap terhadap individu organisasi religiusitasnya misalkan,
keaktifan seseorang untuk melibatkan dirinya dalam kegiatan organisasi
religiusitas.
Religious preference, (Fetzer, 1999) yaitu memandang sejauh mana
individu membuat pilihan dalam memilih religiusitasnya dan memastikan pilihan
religiusitasnya tersebut, yang termasuk pandangan individu dalam memilih
religiusitasnya misalkan, merasa bangga ataupun nyaman atas agama yang
dianutnya. Sedangkan yang termasuk ke dalam individu memastikan pilihan
religiusitasnya misalkan, dia merasa yakin bahwa religiusitas yang dianutnya
akan menyelamatkan kehidupannya kelak.
Berdasarkan dimensi-dimensi yang telah di paparkan di atas, peneliti
memilih dimensi Fetzer (1999). Karena, dalam dimensi-dimensi Stark dan Glock
terdapat kesamaan pada lima dimensi religiusitas yaitu dimensi ideologis,
dimensi pengalaman, dimensi intelektual, dimensi dampak, dan dimensi ritual.
Dimensi-dimensi Stark dan Glock mencakup komponen-komponen dari Fetzer.
Maka peneliti memilih dimensi Fetzer karena di dalamnya tergolong lebih
relevan, efektif, dan lebih komprehensif dalam mendukung penelitian yang
dilakukan.
3. Indikator Religiusitas
Jalaluddin (2005) mengungkapkan bahwa seseorang dapat dikatakan
memiliki perilaku religisuistas jika memiki ciri-ciri yaitu menerima kebenaran
agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-
ikutan. Cenderung bersifat realisme, sehingga norma-norma agama lebih banyak
dimanifestasikan ke dalam perilaku dan tingkah laku. Berperilaku dan berfikiran
positif terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha untuk mempelajari,
mendalami, dan mengamalkan pemahaman keagamaan. Tingkat ketaatan
beragama didasarkan atas pertimbangan tanggung jawab diri hingga sikap
religiusitas merupakan realisasi dari sikap dan jiwa individu di dalam hidup.
Bersikap lebih terbuka dan berwawasan lebih luas. Bersikap lebih kritis terhadap
materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas
pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani. Sikap
keberagaman cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing,
sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya. Terlihat adanya hubungan antara
sikap religiusitas dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap
kepentingan organisasi sosial sudah berkembang.
Berdasarkan indikator yang telah diuraikan di atas, maka dapat di
simpulkan bahwa indikator religiusitas adalah mampu menerima kebenaran
agama, selalu berperilaku dan berfikiran positif terhadap ajaran agama dan
norma-norma agama, tanggung jawab terhadap tingkat ketaatan beragama,
bersikap lebih terbuka dan berwawasan lebih luas, bersikap lebih kritis terhadap
ajaran agama, sikap keberagaman terhadap tipe-tipe kepribadian masing-masing,
saling keterkaitan antara hubungan sikap religiusitas dengan kehidupan sosial.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religiusitas


Menurut Jalaluddin (2008) religiusitas bukan merupakan aspek psikis
bersifat instinktif, atau unsur bawaan yang siap pakai. Religiusitas juga
mengalami proses perkembangan dalam mencapai tingkat kematanganya.
Religiusitas tidak luput dari berbagai gangguan yang dapat mempengaruhi
perkembangannya.
Pengaruh tersebut baik yang bersumber dalam diri seseorang maupun
yang bersumber dari faktor luar, faktor-faktor itu antra lain: a. Faktor Internal.

Faktor ini di tentukan oleh faktor ekstern dan juga ditentukan oleh faktor
intern seseorang. Meliputi aspek kejiwaan lainnya. Tetapi, secara garis besarnya
faktor-faktor yang ikut berpengaruh dapat dikategorikan menjadi faktor
hereditas, tingkat usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan seseorang.
Faktor hereditas adalah Jiwa keagamaan memang bukan secara langsung
sebagai faktor bawaan yang diwariskan secara turun-menurun, melainkan
terbentuk dari berbagai unsur kejiwaan lainya yang mencakup kognitif, afektif
dan konatif. Selain itu Rasulullah juga menganjurkan untuk memilih pasangan
hidup yang baik dalam membina rumah tangga, sebab menurut keturunan akan
berpengaruh dan menentukan keharmonisan.
Tingkat usia adalah berbagai penelitian psikologi agama menunjukkan
adanya hubungan tingkat usia dengan kesadaran beragama, meskipun tingkat usia
bukan satu-satunya faktor penentu dalam kesadaran beragama seseorang.
Kenyataan ini dapat dilihat dari adanya perbedaan pemahaman agama pada
tingkat usia yang berbeda.
Kepribadian adalah sebagai identitas diri atau jati diri seseorang yang
sedikit banyaknya menampilkan ciri-ciri pembeda dari individu lain di luar
dirinya. dalam kondisi normal, memang secara individu manusia memiliki
perbedaan dalam kepribadian. Perbedaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap
aspek-aspek kejiwaan temasuk kesadaran beragama.
Kondisi kejiwaan adalah banyak kondisi kejiwaan yang tak wajar seperti
schizophrenia, paranoia, maniac, dan infatile autism. Tetapi yang penting
dicermati adalah hubungannya dengan perkembangan kejiwaan agama. Sebab
bagaimanapun seseorang yang mengidap schizophrenia akan mengisolasi diri
dari kehidupan sosial serta persepsinya tentang agama akan dipengaruhi oleh
halusinasi.

b. Faktor Eksternal.
Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam religiusitas dapat dilihat
dari lingkungan dimana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut
dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu: lingkungan keluarga, lingkungan
institusional, lingkungan masyarakat.
Lingkungan keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana
dalam kehidupan manusia. Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama kali
yang dikenal setiap individu. Dengan demikian, kehidupan keluarga merupakan
fase sosialisasi awal bagi pembentukan jiwa keagamaan pada tiap individu, dan
keluarga merupakan sosok panutan utama bagi seorang individu.
Lingkungan institusional yang berisi materi pengajaran, sikap dan
keteladanan guru sebagai pendidik serta pergaulan antar sekolah dinilai berperan
penting dalam menanamkan kebiasaan yang baik. Pembiasaan yang baik
merupakan bagian dan pembentukan moral yang erat kaitannya dengan
perkembangan jiwa keagamaan seseorang.
Lingkungan masyarakat sepintas, bukan merupakan lingkungan yang
mengandung unsur tanggung jawab, melainkan hanya merupakan unsur pengaruh
belaka. Tetapi norma dan tata nilai yang ada terkadang pengaruhnya lebih besar
dalam perkembangan jiwa keagamaan, baik dalam bentuk postif maupun negatif.
Suatu tradisi keagamaan dapat menimbulkan dua sisi dalam perkembangan
jiwa keagamaan seseorang, yaitu fanatisme dan ketaatan. Mengacu pada
pendapat Erich Fromm (Jalaluddin 2008) bahwa katakter terbina melalui
asimilasi dan sosialisasi, maka tradisi keagamaan memenuhi kedua aspek
tersebut. Suatu tradisi keagamaan membuka peluang bagi seorang mahasiswa
untuk berhubungan dengan mahasiswa lainya (sosialisasi). Selain itu juga, terjadi
hubungan dengan benda-benda yang mendukung berjalannya tradisi keagamaan
tersebut (asimilasi).
Seperti pada media sosial instagram, dimana instagram menyediakan
fasilitas yang dinamakan fanpage Islami yang memuat berbagai hal yang
berhubungan dengan ajaran agama, yang pada saat sekarang merupakan media
yang dijadikan oleh remaja khususnya mahasiswa untuk melakukan interaksi
dengan Erich Fromm berpengaruh terhadap pembentukan karakter seseorang.
Menurut Thouless (Ramayulis, 2002) faktor-faktor yang mempengaruhi
religiusitas yaitu pengaruh pendidikan atau pengajaran dari berbagai tekanan
sosial (faktor sosial), berbagai pengalaman yang dialami oleh individu dalam
membentuk sikap keagamaan terutama pengalaman mengenai keindahan,
keselarasan, dan kebaikan dunia luar (faktor alamiah), berbagai proses pemikiran
verbal atau proses intelektual.
Pengaruh Pendidikan atau pengajaran dari berbagai tekanan sosial (faktor
sosial) yang mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap
keagamaan, termasuk pendidikan dan pengajaran orang tua, tradisi-tradisi sosial
untuk menyesuaikan dengan berbagai pendapatan sikap yang disepakati oleh
lingkungan.
Berbagai pengalaman yang dialami oleh individu dalam membentuk sikap
keagamaan terutama pengalaman mengenai keindahan, keselarasan, dan
kebaikan dunia luar (faktor alamiah), adanya konflik moral (faktor moral) dan
pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif). Faktor-faktor yang
seluruhnya atau sebagian timbul dari kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi
terutama kebutuhan terhadap keamanan, cinta, kasih, harga diri, dan ancaman
kematian.
Berbagai proses pemikiran verbal atau proses intelektual. Manusia di
ciptakan dengan memiliki berbagai macam potensi. Salah satunya adalah potensi
untuk beragama. Potensi beragama ini akan terbentuk, tergantung bagaimana
Pendidikan yang diperoleh anak. Seiring dengan bertambahnya usia, maka akan
muncul berbagai macam pemikiran-pemikiran verbal. Salah satu dari pemikiran
verbal ini adalah pemikiran akan agama, anak-anak yang beranjak dewasa akan
mulai menentukan sikapnya terhadap ajaran-ajaran agama. Sikap-sikap ini yang
akan mempengaruhi jiwa keberagamannya.
Berdasarkan uraian di atas dapat di simpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi religiusitas adalah Religiusitas tidak luput dari berbagai gangguan
yang dapat mempengaruhi perkembangannya. Pengaruh tersebut baik yang
bersumber dari faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal meliputi
faktor hereditas, tingkat usia, kepribadian, dan kondisi kejiwaan. Sedangkan
faktor eksternal meliputi lingkungan keluarga, lingkungan institusional, dan
lingkungan masyarakat.
Ramayulis (2002) faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas ada empat
meliputi pengaruh pendidikan atau pengajaran dari berbagai tekanan sosial
(faktor sosial), berbagai pengalaman yang dialami oleh individu dalam
membentuk sikap keagamaan, faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian
timbul dari kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi, dan berbagai proses
pemikiran verbal atau proses intelektual.

B. Mahasiswa Islam Perguruan Tinggi Berbasis Agama Dan Yang


Tidak Berbasis Agama

1. Mahasiswa
Menurut Siswoyo (2007) mahasiswa dapat didefinisikan sebagai
individu yang sedang menjalani menuntut ilmu pada tingkat perguruan tinggi,
baik negeri maupun swasta atau Lembaga lain yang setingkat dengan
perguruan tinggi. Mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang
tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan perencanaan dalam bertindak. berpikir
kritis dan bertindak dengan cepat dan tepat merupakan sifat yang cenderung
melekat pada diri setiap mahasiswa, yang merupakan prinsip yang saling
melengkapi dan menunjang keberhasilan.
1. Mahasiswa Islam
Hartaji (2012) mengungkapkan bahwa mahasiswa Islam adalah
seseorang yang memiliki identitas beragama Islam yang sedang dalam proses
menimba ilmu ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani Pendidikan
pada salah satu bentuk, perguruan tinggi yang terdiri dari akademik,
politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas yang berdedikasi agama.
Menurut Knoppfemacher (Suwono, 1978) Mahasiswa Islam adalah insan-
insan calon sarjana yang terlibat dalam suatu instansi perguruan tinggi, dididik
serta di harapkan menjadi calon-calon intelektual dan mampu menanamkan
nilai-nali keIslaman didalam perguruan tinggi.
2. Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi merupakan melanjutkan Pendidikan mencegah dari
diselenggarakan untuk mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anggota
masyarakat yang memiliki kemampuan ideal dalam akademis dan professional
yang dapat menerapkan, mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan,
teknologi, kesenian, dan kebudayaan (UU 2 tahun 1989, pasal 16 ayat (1)).
(Maharsi, 2018).
3. Perguruan Tinggi Berbasis Agama
Semua sistem pembelajaran menggunakan berbasis agama,
Mahasiswa berasal dari agama masing-masing sesuai dengan status perguruan
tinggi, management akademis yang sesuai dengan syariat Islam, berpedoman
dalam berakhlatul kharimah, cara berpenampilan sesuai dengan syariat Islam.
4. Perguruan Tinggi Tidak Berbasis Agama
Semua sistem pembelajaram tidak menggunakan berbasis agama,
Mahasiswa tidak berasal dari agama masing-masing sesuai dengan keinginan
yang diminati, management akademis yang tidak sesuai dengan syariat Islam,
tidak berpedoman dengan akhlatul karimah, cara berpenampilan tidak harus
sesuai dengan syariat Islam, mata kuliah Pendidikan agama Islam dibatasi dua
sks

C. Kerangka Berpikir
Umumnya setiap manusia mempunyai suatu harapan atau keinginan
untuk dapat bertindak dan dapat memberikan pengarahan hidup dan seberapa
jauh akan pengetahuan, seberapa mantap keyakinan, seberapa besar
pelaksanaan ibadah dan kaidah serta seberapa dalam penghayatan atas agama
yang dianutnya. Dengan adanya pemahaman tentang religiusitas maka individu
akan benar-benar memahami akan dirinya dan individu lain bahwa apabila
individu memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, maka semakin tinggi pula
kepercayaan individu terhadap Allah dan cenderung melakukan hal-hal yang
telah Allah Swt perintahkan di dalam kitab suci-Nya. Sebaliknya, apabila
individu memiliki tingkat religiusitas yang rendah maka akan semakin rendah
pula kepercayaan terhadap Allah dan kurang memahami isi kitab suci serta
tidak mengamalkan perintah-Nya. Semakin tinggi dan rendahnya individu di
dalam memahami religiusitas maka akan mempengaruhi individu dalam
menentukan sikap untuk memasuki jenjang perguruan tinggi baik yang berbasis
agama dan tidak berbasis agama.
Pada perguruan tinggi yang berbasis agama terdapat visi dan misi yaitu
visinya menjadi universitas Islam yang unggul dan kompetitif bertaraf
internasional sedangkan misinya yaitu menyelenggarakan pendidikan ilmu-
ilmu keIslaman multidisipliner serta sains dan teknologi yang unggul dan
berdaya saing, mengembangkan riset ilmu-ilmu keIslaman multidisipliner serta
sains dan teknologi yang relevan dengan kebutuhan masyarakat,
mengembangkan pola pemberdayaan masyarakat yang religius berbasis riset.
Ada fakultas yang menjadi dasar perkuliahan yaitu fakultas adab dan
humaniora, fakultas dakwah dan komunikasi, fakultas tarbiyah dan keguruan,
fakultas usluhudin dan filsafat, fakultas Syariah dan hokum, fakultas sains dan
teknologi, fakultas ekonomi dan bisnis Islam, fakultas ilmu sosial dan politik,
fakultas psikologi. Slogannya yaitu building Character Qualities: for the
Smart, Pious, Honorable Nation
Dan terdapat pula 18 nilai-nilai karakter dalam perguruan tinggi
berbasis agama yaitu religious, jujur, toleran, displin, kerja keras, kreatif,
mandiri, demokratis, berdaya ingin tahu, nasionalis, menghargai prestasi,
bersahabat atau komunikatif, cinta damai, cinta ilmu, peduli lingkungan dan
sosial, bertanggung jawab, berpikir metakognitif.
Di dalam perguruan tinggi berbasis agama mayoritas mahasiswanya
adalah lulusan dari pondok pesantren, sehingga mahasiswa di tuntut untuk
mengerti tentang nilai-nilai keIslaman seperti keikhlasan, kesederhanaan,
kemandirian, dan syariat Islam. Semua nilai keIslaman ini mengendalikan
seluruh kegiatan sehari-hari dikampus yang berbasis agama.
Misalnya kegiatan baca Al-Qur’an, sholat jum’at, kegiatan
menjalankan puasa sunnah senin kamis, maupun beribadah sunnah dan wajib.
Serta kajian-kajian keagamaan yang sering diadakan oleh organisasi
mahasiswa. Selain itu juga terdapat mata kuliah berbasis agama yang wajib di
ikuti oleh seluruh mahasiswa pada awal semester yang mengajarkan tentang
dasar-dasar agama Islam seperti mata kuliah Fiqih, Aqidah, akhlaq, Studi
Islam, Bahasa arab, dsb. Adapun diantaranya laki-laki yang memakai
penampilan dengan berbusana Syar’I dan perempuan yang memakai
penampilan dengan berbusana hijab.
Sedangkan pada perguruan tinggi yang tidak berbasis agama terdapat
visi dan misi yaitu visinya terwujudnya program studi sarjana psikologi yang
unggul
dan kompetitif, berbasis nilai dan karakter bangsa dalam penyelenggaraan
pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat pada Tahun 2035.
Sedangkan misinya yaitu melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat dalam bidang psikologi yang berbasis pada standar nasional
dan internasional, menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai moral,
akademik, dan budaya, serta karakter bangsa Indonesia dalam penyelenggaraan
tri dharma perguruan tinggi, memberdayakan sumberdaya Program Studi serta
menggalang jejaring dengan institusi dalam negeri dan luar negeri untuk
mengoptimalkan terselenggaranya tri dharma perguruan tinggi.Ada fakultas yang
menjadi dasar perkuliahan yaitu fakutas sosial dan ilmu politik, fakultas
ekonomi, fakultas hukum, fakultas Teknik, dan fakultas psikologi.
Dan terdapat pula 10 nilai-nilai karakter dalam perguruan tingi tidak
berbasis agama yaitu religious dan toleran, jujur, disiplin dan tanggung jawab,
kerja keras dan menghargai prestasi, rasa ingin tahu, kreatif dan inovatif,
mandiri, demokratis, semangat kebangsaan dan cinta tanah air, kerja sama, peduli
lingkungan sosial, dan budaya. Sedangkan pada penampilan dalam berbusana
hanya sedikit diantara laki-laki maupun perempuan yang memakai penampilan
dengan berbusana Syar’I dan sedikit diantara perempuan yang memakai
penampilan dengan berbusana hijab. Misalnya kegiatan baca Al-Qur’an, sholat
jum’at, kegiatan menjalankan puasa sunnah senin kamis, maupun beribadah
sunnah dan wajib hanya sedikit diantaranya yang mengikuti kegiatan tersebut.
Serta kajian-kajian keagamaan yang hanya satu atau dua kali diadakan oleh
organisasi mahasiswa. Selain itu juga terdapat mata kuliah berbasis agama yang
wajib di ikuti oleh seluruh mahasiswa pada awal semester yang mengajarkan
tentang dasar-dasar agama Islam seperti Pendidikan agama Islam. Lalu seberapa
besar tingkat religiusitas antara perguruan tinggi yang berbasis agama dan
perguruan tinggi yang tidak berbasis agama. Usaha untuk mengatasi religiusitas
itu sendiri yaitu bagaimana cara masing-masing perguruan tinggi yang bisa
mengendalikan tingkat religiusitas tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas baik yang bersumber dalam
diri seseorang maupun yang bersumber dari faktor luar, Menurut Jalaluddin
(2008) religiusitas antra lain:
a. Faktor Internal.
Faktor ini di tentukan oleh faktor ekstern dan juga ditentukan oleh faktor
intern seseorang. Meliputi aspek kejiwaan lainnya. Tetapi, secara garis besarnya
faktor-faktor yang ikut berpengaruh dapat dikategorikan menjadi faktor
hereditas, tingkat usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan seseorang. Faktor
hereditas adalah jiwa keagamaan memang bukan secara langsung sebagai faktor
23

bawaan yang diwariskan secara turun-menurun. Tingkat usia adalah berbagai penelitian
psikologi agama menunjukkan adanya hubungan tingkat usia dengan kesadaran beragama,
meskipun tingkat usia bukan satu-satunya faktor penentu dalam kesadaran beragama seseorang.
Kepribadian adalah sebagai identitas diri atau jati diri seseorang yang sedikit banyaknya
menampilkan ciri-ciri pembeda dari individu lain di luar dirinya. Kondisi kejiwaan adalah
banyak kondisi kejiwaan yang tak wajar seperti schizophrenia, paranoia, maniac, dan infatile
autism.
b. Faktor Eksternal.
 Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam religiusitas dapat dilihat dari
lingkungan dimana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut dapat
dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu: lingkungan keluarga, lingkungan
institusional, lingkungan masyarakat. Lingkungan keluarga merupakan satuan
sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia. Lingkungan
institusional yang berisi materi pengajaran, sikap dan keteladanan guru sebagai
pendidik serta pergaulan antar sekolah dinilai berperan penting dalam
menanamkan kebiasaan yang baik. Lingkungan masyarakat sepintas, bukan
merupakan lingkungan yang mengandung unsur tanggung jawab, melainkan
hanya merupakan unsur pengaruh belaka. Tetapi norma dan tata nilai yang ada
terkadang pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan, baik
dalam bentuk postif maupun negatif. Pengaruh Zakat Terhadap Kesejahteraan
Sosial
Ummat Islam adalah ummat yang mulia, ummat yang dipilih Allah untuk mengemban
risalah, agar mereka menjadi saksi atas segala ummat. Tugas ummat Islam adlah
mewujudkan kehidupan yang adil, makmur, tentram dan sejahtera dimanapun mereka
berada. Karena itu ummat Islam seharusnya menjadi rahmat bagi sekalian alam.

Bahwa kenyataan ummat Islam kini jauh dari kondisi ideal, adalah akibat belum
mampu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri (QS. Ar-Ra’du : 11). Potensi-
potensi dasar yang dianugerahkan Allah kepada ummat Islam belum dikembangkan secara
optimal. Padahal ummat Islam memiliki banyak intelektual dan ulama, disamping potensi
sumber daya manusia dan ekonomi yang melimpah. Jika seluruh potensi itu dikembangkan
secara seksama, dirangkai dengan potensi aqidah Islamiyah (tauhid), tentu akan diperoleh
hasil yang optimal. Pada saat yang sama, jika kemandirian, kesadaran beragama dan
ukhuwah Islamiyah kaum muslimin juga makin meningkat maka pintu-pintu kemungkaran
akibat kesulitan ekonomi akan makin dapat dipersempit.
Salah satu sisi ajaran Islam yang belum ditangani secara serius adalah
penanggulanagn kemiskinan dengan cara mengoptimalkan pengumpulan dan
pendayagunaan zakat, infaq dan shadaqah dalam arti seluas-luasnya. Sebagaimana telah
dicontohkan oleh Rasulullah SAW serta penerusnya di zaman keemasan Islam. Padahal
ummat Islam sebenarnya memiliki potensi dana yang sangat besar.

Zakat merupakan ibadah yang memiliki dimensi ganda, trasendental dan horizontal.
Oleh sebab itu zakat memiliki banyak arti dalam kehidupan ummat manusia, terutama Islam.
Zakat memiliki banyak hikmah, baik yng berkaitan dengan Sang Khaliq maupun hubungan
sosial kemasyarakatan di antara manusia, antara lain :

1. Menolong, membantu, membina dan membangun kaum dhuafa yang lemah papa
dengan materi sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.Dengan kondisi
tersebut mereka akan mampu melaksanakan kewajibannya terhadap Allah SWT

2. Memberantas penyakit iri hati, rasa benci dan dengki dari diri orang-orang di sekitarnya
berkehidupan cukup, apalagi mewah. Sedang ia sendiri tak memiliki apa-apa dan tidak ada
uluran tangan dari mereka (orang kaya) kepadanya.

3. Dapat mensucikan diri (pribadi) dari kotoran dosa, emurnikan jiwa (menumbuhkan
akhlaq mulia menjadi murah hati, peka terhadap rasa kemanusiaan) dan mengikis sifat
bakhil (kikir) serta serakah. Dengan begitu akhirnya suasana ketenangan bathin karena
terbebas dari tuntutan Allah SWT dan kewajiban kemasyarakatan, akan selalu melingkupi
hati.

4. Dapat menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan Islam yang berdiri atas prinsip-
prinsip: Ummatn Wahidan (umat yang satu), Musawah (persamaan derajat, dan dan
kewajiban), Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) dan Takaful Ijti’ma (tanggung jawab
bersama)

5. Menjadi unsur penting dalam mewujudkan keseimbangan dalam distribusi harta (sosial
distribution), dan keseimbangan tanggungjawab individu dalam masyarakat

6. Zakat adalah ibadah maaliyah yang mempunyai dimensi dan fungsi sosial ekonomi atau
pemerataan karunia Allah SWT dan juga merupakan perwujudan solidaritas sosial,
pernyataan rasa kemanusian dan keadilan, pembuktian persaudaraan Islam, pengikat
persatuan ummat dan bangsa, sebagai pengikat bathin antara golongan kaya dengan yang
miskin dan sebagai penimbun jurang yang menjadi pemisah antara golongan yang kuat
dengan yang lemah

7. Mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera dimana hubungan seseorang dengan


yang lainnya menjadi rukun, damai dan harmonis yang akhirnya dapat menciptakan situasi
yang tentram, aman lahir bathin. Dalam masyarakat seperti itu takkan ada lagi kekhawatiran
akan hidupnya kembali bahaya komunisme 9atheis) dan paham atau ajaran yang sesat dan
menyesatkan. Sebab dengan dimensi dan fungsi ganda zakat, persoalan yang dihadapi
kapitalisme dan sosialisme dengan sendirinya sudah terjawab. Akhirnya sesuai dengan janji
Allah SWT, akan terciptalah sebuah masyarakat yang baldatun thoyibun wa Rabbun Ghafur.
 Tantangan Pengelolaan Zakat

Kalau kita melihat literature mengenai zakat, baik yang ditulis dalam berabad-abad yang
lalu maupun yang ditulis oleh sarjana masa kini, selalu kita dapatkan bahwa pengumpulan
zakat adalah menjadi kewajiban pemerintah di Negara Islam. Penguasa berkewajiban
memaksa warganya yang beragama islam untuk membayar zakat. Salah satu ungkapan di
dalam seminar tentanG zakat yang diadakan The Association of Muslim Social Scientists, AS
beberapa waktu lalu. Prof. Dr. Ilayas Ba-Yunus, guru besar sosiologi di State University of
New York menulis :

“semua diskusi mengenai issue yang bersifat islam, kini pada dasarnya bersifat
teoritis, oleh karena negara islam tidak terwujud dimana saja di dunia. Zakat tidak akan bisa
dilaksanakan dengan sukses di lingkungan sosial dan ekonomi yang non-islam. Zakat
hanyalah bagian dari system islam yang total. Kecuali jika system islam diperkenalkan
secara utuh, perkenalan zakat akan membawa hasil yang kecil ”

Menanggapi ungkapan ini, penulis menganggap memang sering kita saksikan terjadinya
frustasi atau kejenuhan kalau berbicara mengenai zakat, dimana hal tersebut hanya berada
diatas kertas. Begitu indahnya ajaran zakat dalam islam. Begitu hebatnya pula tulisan
mengenai zakat. Jadi, kita sadar akan kebaikan ajaran zakat, baik ditinjau dari segi agama
maupun filsafat lain. Namun dengan ketidakpuasan mengumpulkan zakat, pelampiasannya
lari kepada mencela terhadap system yang ada, yaitu karena “belum terwujudnya sistem
sosial dan ekonomi islami”

Menghadapai kenyataan ketidaksuksesan pengumpulan zakat di kalangan umat islam


khususnya Indonesia serta pendayagunaannya, ada beberapa hal yang coba penulis telaah
dimana hal-hal tersebut menjadi tantangan terhadap optimalisasi sektor ini.

Pendekatan atau metode yang digunakan kurang tepat dalam memasyarakatkan ajaran
zakat di kalangan masyarakat islam yang berkewajiban membayar zakat. Hal ini tentunya
meliputi metode dakwah dan pengajaran islam. Sampai pada kurangnya menggunakan
manajemen yang tepat dalam mengkampanyekan zakat. Disamping perlu diadakan
penelitian dan pengembangan untuk dakwah dan pendidikan islam sejak dini secara serius,
khususnya dalam zakat fungsi manajemen menjadi sangat penting. Dimana dengan
menggunakan sistem manajerial yang baik mulai dari Planning, Organizing, Actuating
hingga Controlling dapat mendorong pelayanan zakat yang lebih tersistem dan dinamis.

Setelah ada hasil pengumpulan zakat, pembagian zakat secara tradisional yang bersifat
konsumtif tidak akan membuahkan hasil. Dengan kata lain masih sangat jauh dari usaha
pengentasan kemiskinan. Sebab, begitu harta zakat didapat akan habis selesai dimakan.
Belum lagi terhidung kalau terjadi ketidaktepatan di dalam pengelolaannya, baik oleh panitia
maupun mereka yang dikategorikan berhak menerimanya. Dengan demikian, tidak mustahil
terwujudnya harta hasil dari zakat menjadi penyebab dan menstrukturkan kemalasan yang
berarti mengabadikan kemiskinan. Oleh karena itu, perlu coba kita pikirkan bagaimana zakat
ini dapat juga dialihkan kearaha sektor produktif dimana harta yang dizakatkan dapat
menjadi modal usaha untuk penerima agar suatu saat dapat naik stratanya menjadi orang
yang
menyalurkan zakat. Begitu pula dengan pemberian beasiswa atau bantuan pendidikan
seperti seragam, buku, dan peralatan sekolah dimana ketika mereka terdidik mereka dapat
menaikkan taraf hidup mereka di kemudian hari.

Potensi Zakat di Indonesia sungguh luar biasa, akan tetapi potensi ini kadang tidak bisa
dioptimalkan secara baik karena adanya beberapa kendala bai. Indonesia mempunyai sebuah
lembaga khusus untuk menangani permasalahan zakat ini yaitu BAZNAS. Dimana
tantangan dalam merealisasikan tugas barunya sebagai koordinator pengelolaan zakat
nasional, Baznas dihadapkan pada dua tantangan utama, yaitu tantangan internal dan
tantangan eksternal.

Secara internal, yang harus mendapat prioritas Baznas saat ini adalah peningkatan
kapasitas kelembagaan dan kapasitas SDM yang dimilikinya. Ini sangat penting karena akan
sangat menentukan kinerja Baznas sebagai koordinator institusi amil
resmi.

Secara kelembagaan, harus ada pembedaan antara fungsi operator dengan fungsi
koordinator dalam institusi Baznas. Fungsi operator adalah organ organisasi yang
menjalankan fungsi penghimpunan dan penyaluran zakat secara terbatas.
erbatas maksudnya ada pembagian tugas dan kewenangan untuk melakukan penghimpunan
maupun penyaluran zakat, baik antara Baznas Pusat dengan Baznas Daerah. Misalnya,
Baznas Pusat hanya menghimpun zakat dari PNS pusat dan sumber-sumber lain yang ada di
pusat, sementara untuk PNS daerah dan sumber-sumber lain yang ada di daerah, zakatnya
dikelola oleh daerah Sedangkan untuk fungsi koordinator, Baznas diminta untuk membuat
sejumlah pedoman pengelolaan zakat nasional, antara lain yang terkait dengan perencanaan
dan pelaporan zakat, standarisasi dan pelatihan, serta sertifikasi dan
advokasi.

Khusus perencanaan dan pelaporan zakat, Baznas perlu merumuskan standar yang
dapat diaplikasikan secara bersama, baik oleh Baznas daerah maupun LAZ. Ini sangat
penting agar informasi yang disajikan kepada publik sebagai bentuk pertanggungjawaban
pengelolaan zakat, menjadi jelas, terukur, seragam, tidak multi interpretasi, dan mudah
untuk diverifikasi.

Juga agar para stakeholder yang berkepentingan, seperti pemerintah, DPR dan
muzakki, memiliki keseragaman persepsi terhadap informasi dan data pertanggungjawaban
yang disampaikan oleh Baznas dan LAZ sehingga tidak memunculkan kecurigaan
bersama.sehingga rasanya juga perlu didirikan lembaga penyelesaian sengketa
Pengelolaan zakat yang baik sangat tergantung dari tenaga yang mengelolanya, amil. Dalam
hal muzaki maupun amil lalai dalam menjalankan kewajibannya, ataupun mustahik yang
mengadukan belum mendapat bantuan dari zakat, kemana mereka akan mengadukan ? Jika
muzaki lalai menunaikan zakat, siapa yang menindaknya ? Jika amil lalai, siapa yang
menindaknya ? Jika mustahik mengadukan tidak mendapatkan hak zakat, kemana dia
mengadu dan siapa yang akan menangani sengketa antara mustahik dengan amil ? Untuk
itulah perlu dibentuk lembaga penyelesai sengketa.
Masih minimnya lulusan berlatar belakang pendidikan zakat, menjadi salah satu
faktor pendorong belum optimalnya pengelolaan zakat. Untuk itu diperlukan perencanaan
yang strategis dalam rangka menciptakan Sumber Daya Insani yang siap dan professional
dibidang zakat.

Adapun standarisasi dan pelatihan sangat erat kaitannya dengan capacity


building organisasi pengelola zakat (OPZ), seperti bagaimana caranya meningkatkan
kualitas amilin dan amilat yang bekerja di OPZ. Perlu ada standar kode etik amil yang
menjadi rujukan OPZ yang ada.

Untuk mendirikan LAZ tidak semudah dulu. Khususnya untuk LAZ di daerah. Dua
persyaratan yang menurut penulis berat adalah terdaftar sebagai organisasi
kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial (pasal 18
ayat 2) dan harus mendapat izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
(pasal 18 ayat 1). Sebagaimana kita ketahui bahwa penggelola zakat di daerah sebagian
besar semuanya berbasiskan potensi lokal yang belum tentu berbentuk organisasi
kemasyaratan Islam bidang pendidikan, dakwah dan sosial. Sehingga tidak mudah untuk
mendirikan sebuah LAZ di daerah.

Akhirnya, dengan semangat Membangun Peradaban Zakat, kita terus mendorong dunia
perzakatan di Indonesia semakin maju. Bagaimana kiprah para muzaki, mustahik, amil,
dan pemerintah pasca lahirnya UU terdiri dari 47 pasal, 11 bab dan 51 butir ini. Mari kita
dukung bersama.
.

1 Al-Qur’an, :
2
Melayu S.P Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta:
PT. Bumi Aksara, 2003), h. 244.
3 Al-Qur’an surah ar-Rum ayat 30
4
Hadits Riwayat Bukhari
5
Ibid, 51: 56-57.
6
Ibid, 28:77.
7
Ibid, 67:15.
8
Ibid, 5:100.
9
Ibid, 57:7.
10
Ibid, 2:177.
11
M. Suyanto, Muhammad Business Strategy & Ethics: Etika dan Strategi
Bisnis Nabi

12 Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam: Strategi


Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2009),
h. 131. Menurut Shoimatul Ula, komponen sekaligus proses MSDM ini
terdiri atas perencanaan, penarikan (rekrutmen), seleksi, pelatihan dan
pengembangan, evaluasi prestasi, promosi atau demosi, dan pemberhentian
(pensiun). Lihat S. Shoimatul Ula, Buku Pintar Teori-Teori Manajemen
Pendidikan Efektif (Yogyakarta: Berlian, 2013), h. 29.
13 Op.,cit. Melayu S.P Hasibuan,h. 117.
14 Mutiara S. Panggabean, Manajemen Sumber Daya Manusia,
(Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia, 2002), h. 77.
15 Anwar Prabu Mangkunegara, Manajemen Sumber Daya
Manusia, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2002), h. 89.
16 Vetrizal Rivai, Manajemen Sumber Daya Manusia untuk
Lembaga: dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 387.
17 Wibowo, Manajemen Kinerja, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 348.
18 Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Manajemen Syariah: Sebuah Kajian
Historis dan
Kontemporer. Terj. Dimyauddin Djuwaini, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008),
h. 113.
19 Al-Qur’an,, : 9.
20 Mujamil Qamar, Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru
Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam. (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 140.
Daftar Pustaka

Hasibuan, Melayu S.P. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT.
Bumi Aksara.
Suyanto, M. 2008. Muhammad Business Strategy & Ethics: Etika dan Strategi
Bisnis Nabi Muhammad Saw, Yogyakarta: Andi Offset.
Qomar, Mujamil. 2009. Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru
Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga.
Ula, S. Shoimatul. 2013. Buku Pintar Teori-Teori Manajemen Pendidikan
Efektif Yogyakarta: Berlian, 2013.
Panggabean, Mutiara S. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta :
Penerbit Ghalia Indonesia.
Mangkunegara, Anwar Prabu .2002. Manajemen Sumber Daya Manusia,
Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Rivai. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Lembaga: dari Teori ke
Praktek. Jakarta: Rajawali Pers.
Wibowo. 2013. Manajemen Kinerja, Jakarta: Rajawali Pers.
Sinn, Ahmad Ibrahim Abu. 2008. Manajemen Syariah: Sebuah Kajian
Historis dan Kontemporer. Terj. Dimyauddin Djuwaini, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.

Qomar, Mujamil. 2009. Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru


Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga. Qardawi, Yusuf Peran Nilai dan
Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta: Robbani Press 1997)

Al-Zuhayly, Wahbah. Zakat Kajian Berbagai Madzhab. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1995).

Ash-Shidiqiey, Hasbi. Pedoman Zakat. (Jakarta: Bulan Bintang, 1991).

Departemen Agama, Pedoman Zakat 9 Seri, (Jakarta : Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf,
1991)

Kadir, Abdul dalam Didin Hafidhuddin. Zakat dalam Perekonomian Modern. (Jakarta: Gema
Insani, 2002).

Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Syaikh. Fiqih Wanita. ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1996).
Azizy, Prof. A. Qodri, Membangun Fondasi Ekonomi Umat, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2004.
Rivai, Prof. Veitzhal, Islamic Economic: Ekonomi Syari’ah bukan OPSI, tetapi
SOLUSI ! , Jakarta : Bumi Aksara, 2009.
Abu Ubaid al-Qasim, diterjemahkan oleh Budi Utomo, Setiawan, (Al-Amwal)
Ensiklopedia Keuangan Publik, Jakarta : Gema Insani, 2009.
Hamid, Dr. Arfin, Hukum Ekonomi Islam di Indonesia: Aplikasi & Prospektifnya,
Bogor : Ghalia Indonesia, 2007
Hafidhuddin, Dr Didin, Manajemen Syari’ah dalam Praktik, Jakarta : Gema Insani,
2003.

Anda mungkin juga menyukai