NIM : 2021015182
Prodi : PGSD
Terdapat dua ahli yang mengemukakan teori implementasi kebijakan pendidikan, teori ini
dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn, Van Meter dan Van Horn, serta
Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (Arif Rohman, 2012: 107-110).
a. Van Meter dan Van Horn
Teori Van Meter dan Van Horn berawal dari argumen yang menyampaikan perbedaan
dalam proses implementasi dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan, karena
setiap kebijakan memiliki karakteristik sifat yang berlainan.
Van Meter dan Van Horn menyampaikan enam variabel yakni dua variabel utama dan
empat variabel tambahan yang membentuk kaitan antara kebijakan dan kinerja kebijakan.
Keenam variabel tersebut meliputi: standar dan tujuan kebijakan, sumberdaya, komunikasi,
interorganisasi dan aktivitas pengukuhan, karakteristik agen pelaksana, kondisi sosial,
ekonomi, dan politik, serta karakter pelaksana. Perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak
merupakan konsep-konsep yang penting dalam prosedur-prosedur implementasi (Arif
Rohman, 2012: 108).
Teori ini menggunakan model proses implementasi kebijakan (A Model of the Policy
Implementation Process) dengan membuat tipologi kebijakan. Ada dua hal yang
membedakan tipologi kebijakan tersebut yaitu jumlah masing-masing perubahan yang akan
dihasilkan dan jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak
yang terlibat dalam proses implementasi. Kedua indikator ini menjelaskan bahwa suatu
kebijakan akan berhasil apabila pada satu segi perubahan yang dikehendaki relatif sedikit
dan segi yang lain merupakan kesepakatan terhadap tujuan dari para pelaku/ pelaksana
dalam mengoperasikan program relatif tinggi.
b. Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier
Teori yang dikembangkan tokoh ini adalah a frame work for implementation analysis
atau kerangka analisis implementasi (KAI). Teori KAI adalah mengidentifikasikan variabel-
variabel yang dapat mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan
proses implementasi. Teori KAI diklasifikasikan menjadi tiga kategori besar yaitu:
(1) Mudah tidaknya masalah yang akan dikendalikan;
(2) Kemampuan dari keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses
implementasinya;
(3) Pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi
tujuan yang termuat dalam keputusan kebijakan tersebut (Arif Rohman, 2012: 110).
Pengertian Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada semua siswa yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan
atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan
pendidikan secara bersama-sama dengan siswa pada umumnya. Hermanto juga mengungkapkan
bahwa:
Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua anak untuk
belajar bersama dalam satu lingkungan pendidikan yang diselenggarakan, penyelenggaraan
pendidikan yang dimaksud seperti sekolah, kelas, kelompok, dan lainnya. Indonesia mempunyai
beberapa peraturan yang telah ditetepkan terkait dengan kebijakan pendidikan inklusif yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif terdapat pada Pasal 5, 15, dan Pasal
32. Berikut penjelasan dari pasal tersebut:
Pasal 5:
1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu.
2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau
sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Pasal 11:
1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi.
Pasal 15: Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik
yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang
diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat
pendidikan dasar dan menengah.
Pasal 32:
1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat
kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental,
sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Berdasarkan Undang- Undang No. 20 Tahun 2003 pada Pasal 5, 11, 15, dan 32 di atas maka
dapat ditegaskan bahwa peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
sosial, dan/ atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak mengikuti
pendidikan khusus.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan tersebut mengatur mengenai tenaga kependidikan di sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif harus memiliki kompetensi dalam menyelenggarakan pembelajaran bagi
siswa berkebutuhan khusus. Peraturan tersebut tercantum pada Pasal 41 Ayat (1) yang
berbunyi: “Setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki
tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi
peserta didik dengan kebutuhan khusus”.
3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif
(Pensif) Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/
atau Bakat Istimewa. Peraturan ini mengatur seluruh kegiatan dalam rangka
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Peraturan ini mempunyai tujuan yang tercantum pada
Pasal 2 sebagai berikut:
Pasal 2:
1) Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuannya;
2) Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak
diskriminatif bagi semua peserta didik. Berdasarkan pasal di atas, maka dapat ditegaskan
bahwa tujuan pendidikan inklusif yaitu memberikan kesempatan kepada semua siswa
untuk memperoleh pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya,
menghargai perbedaan dan tidak diskriminatif
4. Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Gubernur menetapkan Peraturan Penyelenggaraan
Pendidikan Inklusif Nomor 21 Tahun 2013. Peraturan Gubernur mengenai Penyelenggaraan
Pendidikan Inklusif menyebutkan pada pasal 2 yaitu: Pemerintah Kabupaten/ Kota wajib
menjamin:
a. terselenggaranya pendidikan inklusif sesuai dengan kebutuhan peserta didik pada setiap
jenjang dan jalur pendidikan;
b. tersedianya tenaga pendidik termasuk Guru Pembimbing Khusus dan tenaga
kependidikan Pendidikan Inklusif;
c. tersedianya sarana prasarana Pendidikan Inklusif; dan
d. tersedianya pembiayaan Pendidikan Inklusif. Kesimpulan dari penjelasan Peraturan
Gubernur di atas yaitu pemerintah kabupaten/ kota di Daerah Istimewa Yogyakarta harus
menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif sesuai dengan 51 kebutuhan siswa tiap
jenjang pendidikan, adanya tenaga guru dan tenaga kependidikan, menjamin
ketersediaan sarana prasarana dan pembiayaan bagi penyelenggaraan pendidikan
inklusif.
Implementasi kebijakan merupakan cara yang dilakukan oleh pelaku kebijakan untuk
mencapai tujuan kebijakan. Implementasi kebijakan pendidikan inklusif memiliki komponen
yang mempengaruhi keberhasilan dari suatu implementasi kebijakan. Teori Van Meter dan Van
Horn (Arif Rohman, 2012: 108) menyampaikan ada empat komponen atau variabel dalam
penelitian ini yaitu standar dan tujuan kebijakan, sumber daya, karakter agen pelaksana dan
komunikasi.