Anda di halaman 1dari 3

1.

Patofisologi Glaukoma
Secara umum, tekanan intraocular (TIO) normal berkisar antara 10-21 mmHg. TIO dapat
meningkat akibat gangguan sistem drainase (glaukoma sudut terbuka) atau gangguan akses sitem
drainase (glaukoma sudut tertutup). Pada glaukoma akut, peningkatan TIO mendadak hingga 60-
80 mmHg mengakibatkan kerusakan iskemia akut dari nervus optikus. Pada glaukoma sudut
terbuka primer, kerusakan sel ganglion retina muncul akibat jejas kronis menahun. Pada
glaukoma dengan TIO normal, papil nervus optikus mungkin rentan terhadap TIO normal.
Peningkatan tekanan pada bola mata umumnya berlangsung perlahan sehingga tidak
menimbulkan gejala yang berarti. Kerusakan pada saraf mata pusat baru akan terjadi dalam
jangka waktu yang lama dan semakin lama akan semakin berat. Kerusakan saraf ini
menyebabkan penyempitan lapangan pandang yang biasanya bermula dari sisi tepi sehingga
penderita tidak mengalami keluhan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari. Penyempitan ini
terjadi secara bertahap hingga akhirnya penderita hanya seperti melihat dari lubang kunci. Pada
tahap selanjutnya, glaukoma dapat menyebabkan kebutaan.1

Gambar 1 Mekanisme Terjadinya Glaukoma1

Gambar 2 Gambaran Penglihatan Penderita Glaukoma1


2. Diagnosis Glaukoma Primer
Penegakkan diagnosis awal glaukoma harus tepat dikarenakan jika seseorang sudah
dinyatakan menderita glaukoma, maka psaien tersebut akan menjalani terapi pengobatan seumur
hidup. Oleh karena itu, diperlukan penegakkan diagnosis yang tepat untuk menghindari
penggunaan obat-obatan yang tidak perlu.
Diagnosis dapat ditegakan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan status umum,
oftamologi dan hasil pemeriksaan penunjang lainnya. Berdasarkan anamnesis, pasien akan
mengeluhkan pandangan kabur, melihat pelangi atau cahaya di pinggir objek yang sedang dilihat
(halo), sakit kepala, sakit bola mata, pada kedua matanya, muntah – muntah.
Pada pemeriksaan akan ditemukan tanda-tanda, antara lain: visus sangat menurun, mata
merah, tekanan intra okular meningkat, injeksi pericorneal, kornea oedem, COA dangkal, iris
oedem dan berwarna abu – abu, pupil sedikit melebar dan tidak bereaksi terhadap sinar, serta
diskus optikus terlihat merah dan bengkak.
Diagnosis glaukoma sudut terbuka primer ditegakkan apabila ditemukan kelainan-
kelainan glaukomatosa pada diskus optikus dan lapangan pandang yang disertai dengan
peningkatan tekanan intraokuler, sudut bilik mata depan terbuka dan tampak normal, dan tidak
terdapat sebab lain yang menyebabkan peningkatan tekanan intraocular.
Pada glaukoma sudut sempit dimana tekanan bola mata mendadak naik makan akan
terdapat keluhan penglihatan kabur, rasa sakit yang berat, sakit kepala, halo, rasa mual dan
muntah. Glaukoma sudut sempit jarang terjadi akan tetapi adalah gawat bila terdapat. Pada
keadaan dimana sudut pengaliran cairan mata keluar sempit, pembendungan dapat terjadi
mendadak. Hal ini mudah terjadi pada glaukoma sudut sempit tekanan bola mata dapat mencapai
lebih dari 60-70. Pada serangan tekanan bola mata yang meningkt ini pasien akan merasa sangat
sakit disertai dengan mual dan muntah. Penglihatan akan kabur disertai penglihatan Pelangi.
DAFTAR PUSTAKA
1. RI PD dan I (Pusdatin) KK. Situasi Glaukoma di Indonesia. 2019;
2. Gustianty E, Prahasta A, Rifada RM. Keberhasilan Operasi pada Trabekulektomi dengan
dan Tanpa Hidroksipropil Metilselulosa 2%.
3. Syuhar MN. Seorang Pria 66 Tahun dengan Glaukoma Akut Primer Sudut Tertutup.
Medula Unila. 2016;4(3):99–103.
4. Pristiawati N, Rahmi FL. Tingkat Keberhasilan Trabekulektomi & Faktor yang
Berpengaruh pada Keberhasilan Trabekulektomi di RS Dr. Kariadi Semarang. Ophtalmol
Indones. 2020;46(1):54–61.
5. Indonesia Opthalmology Meeting on World Glaucoma Day 2010. In: Understanding
Glaucoma : Blindness Prevention. Yogyakarta; 2010. p. 1–11.
6. Ilahi F. Maintaining Bleb After Trabekulektomi. In: Innovation in Ophthalmology
Practics. 2018.
7. Wirayudha A, Rahmi FL, Prihatningtias R, Maharani. Perbandingan Keberhasilan Terapi
Trabekulektomi pada Glaukoma Primer Sudut Terbuka dan Glaukoma Primer Sudut
Tertutup. J Kedokt Diponegoro. 2019;8(4):1105–13.

Anda mungkin juga menyukai