Anda di halaman 1dari 16

“AKUNTANSI PERPAJAKAN”

Angsuran Pajak

DOSEN PENGAMPU :

Wirmie Eka Putra, S.E., M.Si

Gandy Wahyu Maulana Zulma, M.S.Ak

DI SUSUN OLEH :

Vema Rosadi (C0C018011)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS DIII

UNIVERSITAS NEGERI JAMBI

TAHUN AJARAN 2020

KATA PENGANTAR 
Puji syukur saya Panjatkan kehadirat Allah SWT, sebab karena rahmat dan
nikmat-Nyalah saya dapat mnyelesaikan sebuah tugas makalah tentang “Angsuran
Pajak” ini, yang diberikan Bapak Wirmie Eka Putra, S.E., M.Si dan Bapak Gandy
Wahyu Maulana Zulma, M.S.Ak selaku Dosen Pembimbing Mata Kuliah
“Akuntansi Perpajakan”.
Pembuatan Makalah ini bertujuan untuk menyelesaikan tugas Individu dari
Dosen yang bersangkutan agar memenuhi tugas yang telah ditetapkan, dan juga
agar setiap mahasiswa dapat terlatih dalam pembuatan makalah. Makalah ini
berjudul “Angsuran Pajak” .Adapun sumber-sember dalam pembuatan makalah
ini, didapatkan dari beberapa Buku yang membahas tentang Materi yang berkaitan
dan juga melalui Media Internet. saya sebagai penyusun makalah ini, sangat
berterima kasih kepada penyedia sumber walau tidak dapat secara langsung untuk
mengucapkannya.
Saya menyadari bahwa setiap manusia memiliki keterbatasan, begitu pun
dengan kami yang masih seorang mahasiswa. Dalam pembuatan makalah ini
mungkin masih banyak sekali kekurangan-kekurang yang ditemukan, oleh karena
itu saya mengucapkan Mohon maaf yang sebesar-besarnya. Saya mangharapkan
ada Kritik dan Saran dari para Pembaca sekalian dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para Pembacanya. 

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i

DAFTAR ISI..................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1

1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 2

1.3 Tujuan Masalah...................................................................................... 2

BAB II TEORI................................................................................................

2.1 Angsuran Pajak..........................................................................................

2.2  PPh Pasal 25..............................................................................................

2.3  Mekanisme Perkreditan Pajak...................................................................

2.4  Jenis Pajak yang tidak dapat dikreditkan...................................................

BAB III Penutup..............................................................................................

3.2 Kesimpulan................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pembayaran utang pajak dengan cara angsuran dan penundaan merupakan
salah satu fasilitas yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Tentunya,
fasilitas ini diperuntukkan bagi wajib pajak yang mengalami kesulitan likuiditas
atau di luar kuasanya, sehingga tidak mampu melunasi cost sampai akhir tahun.
Artikel ini akan membahas mengenai ketentuan pembayaran pajak yang dapat
ditunda maupun yang dapat diangsur.
Pajak yang masih harus dibayarkan dalam Surat Tagihan Pajak (STP),
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Surat Keputusan atas Permohonan Pengurangan atau Penghapusan
Sanksi Administrasi, Putusan Banding serta Putusan Peninjauan Kembali yang
menyebabkan bertambahnya jumlah pajak yang harus dibayarkan. Masa
pengangsuran dan penundaan pembayaran pajak paling lama 12 bulan sejak
diterbitkannya Surat Keputusan Penundaan atau Angsuran Pembayaran Pajak.
PKP mengkreditkan pajak masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP
tersebut pada bulan perolehan BKP dan/atau JKP di SPT Masa PPN bulan
perolehan BKP dan/atau JKP. Pada akhir tahun buku, setelah diketahui berapa
jumlah total penyerahan yang sebenarnya atas penyerahan yang terutang PPN,
tidak terutang PPN atau dibebaskan PPN, PKP melakukan penghitungan kembali
pajak masukan berdasarkan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan.
Pajak yang masih harus dibayar dan dilunasi dalam Surat Tagihan Pajak (STP),
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), dan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.
Ketentuan ini menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayarkan bertambah, dan
wajib dilunasi dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterbitkan. Pahami
Tata Cara Angsuran dan Penundaan Pajak berikut ini bagi Wajib Pajak yang
mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kuasanya,
sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban pajak tepat waktu.
1.2  Rumusan Masalah.
1. Apa yang dimaksud dengan Angsuran Pajak ?
2. Apa yang dimaksud dengan isi PPh Pasal 22 ?
3. Apa yang dimaksud dengan Mekanisme Perkreditan Pajak?
4. Apa saja Pajak yang tidak dapat dikreditkan?

1.3  Tujuan Penulisan.
1. Untuk mengetahui Angsuran Pajak
2. Untuk mengetahui PPh Pasal 22
3. Untuk mengetahui Mekanisme Perkreditan Pajak.
4. Untuk Mengetahui Pajak yang tidak dapat dikreditkan.

BAB II
TEORI
2.1 ANGSURAN PAJAK
2.1.1 Defenisi Angsuran Pajak
Pembayaran utang pajak dengan cara angsuran dan penundaan merupakan
salah satu fasilitas yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Tentunya,
fasilitas ini diperuntukkan bagi wajib pajak yang mengalami kesulitan likuiditas
atau di luar kuasanya, sehingga tidak mampu melunasi cost sampai akhir tahun.
Artikel ini akan membahas mengenai ketentuan pembayaran pajak yang dapat
ditunda maupun yang dapat diangsur.

2.1.2 Dasar Hukum


Pelaksanaan angsuran dan penundaan pembayaran pajak didasari oleh
beberapa peraturan perundang-undangan berikut ini:
1. Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah melalui perubahan
keempat dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2. Undang-Undang No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dan Surat
Paksa.
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2010 tentang Penentuan
Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan
Tempat Pembayaran Pajak dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan
Pelaporan Pajak serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan
Pembayaran Pajak.

2.1.3 Jenis Pembayaran Pajak yang Dapat Ditunda atau Diangsur


Jenis-jenis pembayaran pajak yang dapat diangsur atau ditunda telah diatur
dalam Ketentuan Menteri Keuangan (KMK) No. 541/KMK.04/2000, Keputusan
Direktur Jenderal Pajak (Kepdirjen) No KEP – 325/PJ/2011, KMK No.
486/KMK.03/2002, dan Kepdirjen No. KEP – 519/PJ/2002.
1. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 29: Kekurangan pembayaran pajak yang
terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak
Penghasilan. Masa Pengangsuran pajak paling lama sampai dengan bulan
terakhir tahun pajak berikutnya. Sedangkan, masa penundaan paling lama
3 bulan sejak akhir batas waktu penyampaian SPT Tahunan.
2. Pajak yang masih harus dibayarkan dalam Surat Tagihan Pajak (STP),
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan atas Permohonan
Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Putusan Banding
serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan bertambahnya
jumlah pajak yang harus dibayarkan. Masa pengangsuran dan penundaan
pembayaran pajak paling lama 12 bulan sejak diterbitkannya Surat
Keputusan Penundaan atau Angsuran Pembayaran Pajak.

2.1.4 Tata Cara Pelaksanaan Angsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak


Pajak yang masih harus dibayar dan dilunasi dalam Surat Tagihan Pajak
(STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), dan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.
Ketentuan ini menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayarkan bertambah, dan
wajib dilunasi dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterbitkan. Pahami
Tata Cara Angsuran dan Penundaan Pajak berikut ini bagi Wajib Pajak yang
mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kuasanya,
sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban pajak tepat waktu.

1. Pengajuan permohonan tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak


(KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar untuk mengangsur atau menunda
pajak yang masih harus dibayar atau kekurangan utang pajak.
2. Wajib pajak yang disetujui untuk melakukan angsuran dan penundaan
pembayaran pajak kecuali STP, maka dikenai sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% per bulan. Dihitung sejak jatuh tempo sampai dengan
pembayaran angsuran.
3. Pengajuan permohonan harus secara tertulis paling lama 9 hari kerja
sebelum jatuh tempo pembayaran, disertai dengan alasan dan bukti
pendukung permohonan serta permohonan jumlah pembayaran pajak
untuk ditunda dan diberi jangka waktu penundaan.
4. Apabila batas 9 hari tersebut tidak dapat dipenuhi oleh wajib pajak karena
keadaan di luar kuasa. Permohonan Wajib Pajak terus dipertimbangkan
oleh DJP dan wajib pajak dapat membuktikan kelancaran dan kebenaran.
5. Permohonan diajukan dengan menggunakan formulir sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran I PER – 38/PJ/2008.
6. Wajib Pajak memberikan jaminan yang besarnya ditetapkan oleh Kepala
KPP. Jaminan apabila tidak diperlukan, dapat berupa garansi bank,
surat/dokumen bukti kepemilikan barang bergerak, sertifikat tanah,
penanggungan utang oleh pihak ketiga.
7. Wajib pajak yang mengajukan permohonan dalam waktu melampaui 9
hari kerja sebelum jatuh tempo, wajib memberikan jaminan berupa garansi
bank sebesar utang pajak yang dapat dicairkan sesuai jangka waktu
pengangsuran atau penundaan

2.2 PAJAK PENGHASILAN Pasal 25


2.2.1 Defenisi PPh Pasal 25
Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25) adalah pajak yang dibayar
secara angsuran. Tujuannya adalah untuk meringankan beban wajib pajak,
mengingat pajak yang terutang harus dilunasi dalam waktu satu tahun.
Pembayaran ini harus dilakukan sendiri dan tidak bisa diwakilkan. Wajib Pajak
(WP), baik berupa Orang Pribadi atau pun Badan yang melakukan suatu kegiatan
usaha dikenai Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 berupa angsuran PPh tiap
bulannya. Keterlambatan, baik dalam menyetor maupun melapor, dapat dikenai
sanksi sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku.

2.2.2 Perhitungan PPh Pasal 25


Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan (tahun pajak
berikutnya setelah tahun yang dilaporkan di SPT tahunan PPh) dihitung sebesar
PPh yang terutang pajak tahun lalu, yang dikurangi dengan:
 Pajak penghasilan yang dipotong sesuai Pasal 21 (yaitu sesuai tarif pasal
17 ayat (1) bagi pemilik NPWP dan tambahan 20% bagi yang tidak
memiliki NPWP) dan Pasal 23 (15% berdasarkan dividen, bunga, royalti,
dan hadiah – serta 2% berdasarkan sewa dan penghasilan lain serta
imbalan jasa) – serta pajak penghasilan yang dipungut sesuai pasal
22 (pungutan 100% bagi yang tidak memiliki NPWP);
 Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh
dikreditkan sesuai pasal 24; lalu dibagi 12 atau total bulan dalam pajak
masa setahun.

2.2.3 Tarif PPh Pasal 25


Terdapat dua (2) jenis pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25
(PPh Pasal 25) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP), yaitu:
 Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP – OPPT), yaitu
yang melakukan usaha penjualan barang, baik grosir maupun eceran, serta
jasa – dengan satu atau lebih tempat usaha. PPh 25 bagi OPPT = 0.75% x
omzet bulanan tiap masing-masing tempat usaha.
 Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (WP –
OPSPT), yaitu pekerja bebas atau karyawan, yang tidak memiliki usaha
sendiri. PPh 25 bagi OPSPT = Penghasilan Kena Pajak (PKP) x Tarif PPh
17 ayat (1) huruf a UU PPh (12 bulan).

2.2.4 Batas Waktu Pembayaran PPh Pasal 25


Misalnya: untuk bulan Februari 2014, angsuran PPh 25 harus dibayar
paling lambat 15 Maret 2014. Jika batas waktu penyetoran jatuh pada hari libur
(termasuk Sabtu, Minggu, hari libur nasional, dan Pemilihan Umum), maka
pembayaran masih dapat dilakukan pada hari berikutnya – sesuai Pasal 3
Peraturan Menteri Keuangan No.184/PMK.03/2007, yang kemudian diubah lagi
sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara
Pembayaran dan Penyetoran Pajak.Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-22/PJ/2008 pada 21 Mei 2008, pembayaran harus dilakukan dengan
membawa Surat Setoran Pajak (SSP) atau dokumen sejenisnya. Untuk melakukan
setoran pajak, Anda harus membuat ID Billing terlebih dahulu. OnlinePajak
menyediakan layanan pembuatan ID Billing secara online yang mudah, cepat dan
akurat.
Sanksi-sanksi Keterlambatan Pembayaran PPh Pasal 25
Apabila wajib pajak terlambat membayar, maka WP akan dikenai bunga sebesar
2% per bulan, dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran.
Misalnya: untuk bulan Februari 2014, WP terlambat dan baru
membayarnya pada 16 Maret. Sesuai Pasal 9 ayat (2a) UU KUP, WP dikenai
bunga 2%.OnlinePajak adalah aplikasi hitung, setor, dan lapor pajak
menyediakan kemudahan dalam membuat laporan PPN, PPh Pasal 23 dan PPh
Pasal 21 yang Anda butuhkan sebelum membuat laporan Pajak Penghasilan Pasal
25 (PPh Pasal 25).

2.3 MEKANISME PERKREDITAN PAJAK

Jika pengusaha melakukan penyerahan yang terutang PPN dan tidak


terutang PPN atau dibebaskan, dan pengusaha tidak mengetahui atau
mencampurkan antara pajak masukan yang atas penyerahannya dibebaskan atau
tidak terutang dengan yang terutang PPN, maka pajak masukan yang dapat
dikreditkan menggunakan pedoman pengkreditan.

Rumus untuk pedoman pengkreditan PPN:


P = PM x Z

Keterangan:
 P adalah jumlah pajak masukan yang dapat dikreditkan.
 PM adalah jumlah pajak masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP.
 Z adalah persentase yang sebanding dengan jumlah penyerahan yang terutang
pajak terhadap penyerahan seluruhnya.

PKP mengkreditkan pajak masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP


tersebut pada bulan perolehan BKP dan/atau JKP di SPT Masa PPN bulan
perolehan BKP dan/atau JKP. Pada akhir tahun buku, setelah diketahui berapa
jumlah total penyerahan yang sebenarnya atas penyerahan yang terutang PPN,
tidak terutang PPN atau dibebaskan PPN, PKP melakukan penghitungan kembali
pajak masukan berdasarkan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan
sebagai berikut:

1. Untuk BKP dan JKP yang masa manfaatnya lebih dari 1 (satu) tahun:
Baca Juga: Proses Keberatan dan Banding dalam Penyelesaian Sengketa
Pajak Daerah
P’ = PM/T x Z’

Keterangan:
 P’ adalah jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam 1 (satu) tahun
buku.
 PM adalah jumlah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak.
 T adalah masa manfaat BKP dan/atau JKP yang ditentukan sebagai berikut:
untuk BKP berupa tanah dan bangunan adalah 10 (sepuluh) tahun dan untuk
BKP selain tanah dan bangunan dan JKP adalah 4 (empat) tahun;
 Z’ adalah persentase yang sebanding dengan jumlah penyerahan yang Terutang
Pajak terhadap seluruh penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku.

2. Untuk BKP dan JKP yang masa manfaatnya 1 (satu) tahun atau kurang:
Pemerintah Perpanjang Masa Berlaku Relaksasi Tarif PPN Properti
P’ = PM x Z’

Keterangan:
 P’ adalah jumlah pajak masukan yang dapat dikreditkan dalam 1 (satu) tahun
buku.
 PM adalah jumlah pajak masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP,
 Z’ adalah persentase yang sebanding dengan jumlah penyerahan yang terutang
pajak terhadap seluruh penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku.
Pedoman pengkreditan PPN ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) Nomor 78/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan
Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang
Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak. PMK 74 mengatur
bahwa PKP yang dapat menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak
masukan yaitu:
 mempunyai peredaran usaha dalam 2 (dua) tahun buku sebelumnya tidak
melebihi Rp1,8 miiliar untuk setiap 1 (satu) tahun buku; atau
 Wajib pajak yang baru dikukuhkan sebagai PKP.

Besarnya pajak masukan yang dapat dikreditkan yang dihitung


menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 PMK 74 ini, yaitu sebesar:
 60% dari pajak keluaran untuk penyerahan JKP, sehingga PPN yang dibayar
sebesar 4% dari DPP; atau
 70% dari pajak keluaran untuk penyerahan BKP, sehingga PPN yang dibayar
sebesar 3% dari DPP.

3. Untuk BKP dan JKP yang 1.8 Milyar


PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak
masukan tidak dapat membebankan PPN atas perolehan BKP dan/atau JKP
sebagai biaya untuk penghitungan pajak penghasilan. Bila peredaran usaha PKP
yang menggunakan pedoman pengkreditan pajak masukan tersebut sudah
melebihi Rp1,8 miliar maka mulai masa berikutnya setelah peredaran usahanya
melebihi Rp1,8 miliar, PKP tersebut sudah tidak boleh lagi menggunakan
pedoman penghitungan pengkreditan pajak. Misalnya, pada bulan Juli, peredaran
usaha sudah mencapai 1,8 miliar, maka mulai bulan Agustus PKP sudah tidak
boleh lagi menggunakan pedoman pengkreditan ini. Perlu dicatat, pedoman
pengkreditan berdasarkan PMK 74 ini merupakan pilihan. Artinya, PKP yang
memiliki omzet di bawah Rp1,8 miliar boleh menggunakan pedoman ini atau
menggunakan mekanisme pengkreditan PKPM secara normal berdasarkan Pasal 9
Undang-Undang PPN.
PMK 74 juga mengatur pedoman pengkreditan PPN untuk PKP yang
melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran dan PKP yang
melakukan penyerahan emas perhiasan secara eceran. Besarnya pajak masukan
yang dapat dikreditkan untuk PKP yang melakukan penyerahan kendaraan bekas
adalah 90% sehingga PPN yang disetorkan ke kas negara sebesar 1% dari harga
jual kendaraan bekas.

2.4 PAJAK YANG TIDAK DAPAT DIKREDITKAN

Sedangkan, kondisi faktur pajak yang tidak dapat dikreditkan adalah:


 perolehan BKP atau JKP, pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan
JKP dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
 perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usaha
 perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon,
kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan
 pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah
Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan “dokumen tertentu yang
kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak”.
 perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya ditagih dengan
penerbitan ketetapan pajak
 perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam SPT
Masa PPN, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan
 perolehan BKP selain barang modal atau JKP sebelum Pengusaha Kena Pajak
berproduksi.
 perolehan BKP atau JKP yang Faktur Pajaknya :
i. tidak memenuhi ketentuan informasi minimal sebagaimana diatas.
ii. tidak memenuhi persyaratan formal dan material; atau
iii. tidak mencantumkan nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau
penerima JKP.
BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Pembayaran utang pajak dengan cara angsuran dan penundaan merupakan
salah satu fasilitas yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Tentunya,
fasilitas ini diperuntukkan bagi wajib pajak yang mengalami kesulitan likuiditas
atau di luar kuasanya, sehingga tidak mampu melunasi cost sampai akhir tahun.
Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25) adalah pajak yang dibayar
secara angsuran. Tujuannya adalah untuk meringankan beban wajib pajak,
mengingat pajak yang terutang harus dilunasi dalam waktu satu tahun.
Pembayaran ini harus dilakukan sendiri dan tidak bisa diwakilkan. Wajib Pajak
(WP), baik berupa Orang Pribadi atau pun Badan yang melakukan suatu kegiatan
usaha dikenai Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 berupa angsuran PPh tiap
bulannya.
Jika pengusaha melakukan penyerahan yang terutang PPN dan tidak
terutang PPN atau dibebaskan, dan pengusaha tidak mengetahui atau
mencampurkan antara pajak masukan yang atas penyerahannya dibebaskan atau
tidak terutang dengan yang terutang PPN, maka pajak masukan yang dapat
dikreditkan menggunakan pedoman pengkreditan.
PMK 74 juga mengatur pedoman pengkreditan PPN untuk PKP yang
melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran dan PKP yang
melakukan penyerahan emas perhiasan secara eceran. Besarnya pajak masukan
yang dapat dikreditkan untuk PKP yang melakukan penyerahan kendaraan bekas
adalah 90% sehingga PPN yang disetorkan ke kas negara sebesar 1% dari harga
jual kendaraan bekas.

DAFTAR PUSTAKA
AGENG PRABANDARU. 2019. Ketentuan Angsuran dan Penundaan
Pembayaran Pajak . Tersedia pada https://klikpajak.id/blog/berita-
regulasi/ketentuan-angsuran-dan-penundaan-pembayaran-pajak/
Awwaliatul Mukarromah. 2018. Tata Cara Pengkreditan Pajak Masukan.
Tersedia pada https://news.ddtc.co.id/tata-cara-pengkreditan-
pajak-masukan-12486
Online Pajak. 2020. Pajak penghasilan pasal 25. Tersedia pada
https://www.online-pajak.com/tentang-pajak-pribadi/pph-pajak-
penghasilan-pasal-25
Raden Agus Suparman. 2018 . Tata Cara Pengkreditan Pajak Masukan.
Tersedia pada https://aguspajak.com/2018/04/02/tata-cara-
pengkreditan-pajak-masukan/

Anda mungkin juga menyukai