Anda di halaman 1dari 91

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hepatitis virus merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk
Indonesia. Di dunia, virus Hepatitis B (HVB) telah menginfeksi sebanyak 2 milyar orang,
sekitar 360 juta diantaranya merupakan pengidap VHB kronik dan 500.000 orang
meninggal setiap tahunnya. Sedangkan jumlah penderita hepatitis C diperkirakan
sebanyak 170 juta orang.

Indonesia termasuk negara dengan endemisitas tinggi hepatitis B, terbesar kedua di


Asia Pasifik setelah Myanmar. Saat ini diperkirakan sebanyak 18 juta orang terinfeksi
hepatitis B, 9 juta diantaranya berpotensi menjadi kronik, dan dari yang kronik
tersebut, 900.000 orang berpotensi menjadi sirosis dan kanker hati. Sedangkan untuk
hepatitis C diperkirakan terdapat 3 juta orang yang terinfeksi, 75-85% diantaranya
akan menjadi kronik, dan 60-70% dari yang kronik tersebut mengalami sirosis dan
kanker hati. Sementara itu, hepatitis A dan E sering muncul dalam bentuk Kejadian Luar
Biasa (KLB) seperti yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.

Potensi terjadinya hepatitis B kronik tergantung usia seseorang terinfeksi, semakin


muda usia terinfeksi, semakin besar kemungkinannya menjadi kronik, kemudian
kanker hati. Pada bayi 90% akan menjadi kronik, balita 25-50%, dan pada usia >6 tahun
sebesar 6-10%.

Berdasarkan Riset Kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi penduduk


Indonesia yang didiagnosis hepatitis oleh tenaga kesehatan adalah 1,2%, yaitu 2 kali
lebih tinggi dibandingkan tahun 2007 (Riskesdas 2007). Lima provinsi tertinggi
hepatitis di Indonesia adalah Nusa Tenggara Timur (4,3%), Papua (2,9%), Sulawesi
Selatan (2,5%), Sulawesi Tenggara (2,3%), dan Maluku (2,3%). Kuintil indeks
kepemilikan terbawah menempati prevalensi hepatitis tertinggi. Prevalensi semakin
meningkat pada penduduk berusia di atas 15 tahun. Jenis hepatitis yang banyak
menginfeksi penduduk Indonesia adalah hepatitis B (21,8%) dan hepatitis A (19,3 %).

Dengan diketahuinya besaran masalah hepatitis secara global dan dampaknya terhadap
kesehatan masyarakat, maka pada tanggal 20 Mei 2010, World Health Assembly (WHA)
dalam sidangnya yang ke-63 di Geneva telah menyetujui mengadopsi resolusi WHA No.
63.18 tentang penanggulangan hepatitis, yaitu semua negara di dunia sudah saatnya
melakukan pencegahan dan pengendalian hepatitis. Badan Kesehatan Dunia (WHO)
akan menyediakan bantuan bagi negara berkembang dalam pengembangan strategi
nasional, surveilans yang efektif, pengembangan vaksin, dan pengobatan yang efektif.
Tanggal 28 Juli ditetapkan sebagai Hari Hepatitis Dunia atau World Hepatitis Day.
Resolusi WHA tentang hepatitis diperkuat lagi dengan resolusi WHA nomor 67.6
tanggal 23 Mei 2014 tentang perlunya ‘aksi konkrit’ dalam pengendalian hepatitis.
1
Penyakit lain yang menimbulkan masalah kesehatan masyarakat khususnya pada bayi
dan balita adalah diare. Menurut WHO dan UNICEF, setiap tahunnya terjadi sekitar 2
milyar kasus diare di dunia, dan sekitar 1,9 juta anak balita diantaranya meninggal.
Sebagian besar kasus diare terjadi di negara berkembang. Dari semua kematian balita
karena diare, 78% terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Di Indonesia, diare merupakan
penyebab nomor satu kematian bayi (31,4%) dan kematian balita (25,2%) serta
penyebab kematian nomor 4 (13,2%) pada semua umur dalam kelompok penyakit
menular (Riskesdas 2007).

Pada tahun 2013, period prevalence dan insidensi diare untuk seluruh kelompok umur
di Indonesia masing-masing sebesar 3.5%. Lima provinsi dengan period prevalence dan
insidensi diare tertinggi, yaitu Papua (6,3% dan 14,7%), Sulawesi Selatan (5,2% dan
10,2%), Aceh (5,0% dan 9,3%), Sulawesi Barat (4,7% dan 10,1%), dan Sulawesi Tengah
(4,4% dan 8,8%). Semakin rendah kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi proporsi
diare pada penduduk. Petani/nelayan/buruh mempunyai proporsi tertinggi (7,1%),
jenis kelamin dan tempat tinggal menunjukkan proporsi yang tidak jauh berbeda.
Insidensi diare balita di Indonesia sebesar 6,7%. Lima provinsi dengan insidensi diare
tertinggi pada balita adalah Aceh (10,2%), Papua (9,6%), DKI Jakarta (8,9%), Sulawesi
Selatan (8,1%), dan Banten (8,0%). Anak balita merupakan kelompok umur paling
tinggi menderita diare, terutama 12-23 bulan (7,6%), laki-laki (5,5%), tinggal di daerah
pedesaan (5,3%), dan kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah (6,2%)
(Riskesdas, 2013).

Demam tifoid merupakan salah satu dari penyakit infeksi saluran pencernaan yang
memiliki permasalahan tersendiri selain diare. Di Indonesia, tifoid bersifat endemik dan
merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari hasil telaahan kasus di rumah sakit
besar di Indonesia, menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan kasus tersangka
tifoid dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan
kematian antara 0,6-5%. Dewasa ini tifoid perlu mendapat perhatian serius, karena
permasalahannya yang semakin kompleks, sehingga menyulitkan upaya pengobatan
dan pencegahannya (Kepmenkes No. 365/2006).

Seperti halnya penyakit menular lainnya, prinsip utama dalam pencegahan dan
pengendalian Hepatitis dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan (HPISP) adalah: 1)
Peningkatan pengetahuan, kepedulian dan komitmen; 2) Upaya pencegahan secara
komprehensif; 3) Penguatan surveilans/pengamatan penyakit; 4) Deteksi dini; 5)
Peningkatan akses pengobatan dan perawatan; 6) Perencanaan kegiatan dan tata kelola
logistik; 7) Membangun jejaring kemitraan, dan kerjasama; 8) Peningkatan Sumber
Daya Manusia (SDM) dalam mendukung pelaksanaan kegiatan; dan 9) Monitoring dan
evaluasi kegiatan.

Berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka pedoman


ini perlu disusun sebagai acuan bagi penanggung jawab/pengelola program/kegiatan
pencegahan dan pengendalian HPISP di tingkat nasional, dinas kesehatan provinsi,
dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan
2
(fasyankes) lainnya sebagai panduan dalam melaksanakan upaya pencegahan dan
pengendalian HPISP di Indonesia, dalam rangka peningkatan mutu kegiatan
pencegahan dan pengendalian HPISP di setiap jenjang administratif, sehingga
diharapkan tujuan pencegahan dan pengendalian HPISP dapat tercapai seoptimal
mungkin.

B. Tujuan

1. Tujuan umum
Tujuan umum pedoman ini adalah sebagai panduan dalam penyelenggaran upaya
pencegahan dan pengendalian HPISP secara berdaya guna dan berhasil guna

2. Tujuan khusus
a. Sebagai panduan dalam melakukan perencanaan kegiatan
b. Sebagai panduan dalam pengembangan dan pelaksanaan kegiatan
c. Sebagai panduan dalam melakukan bimtek, monitoring dan evaluasi
d. Sebagai panduan dalam melakukan kerjasama dengan pihak lain

C. Peranan B/BTKL, B/BLK/Labkesda, KKP, dan Rumah Sakit dalam P2HPISP

Peranan B/BTKLPP, B/BLK/Labkesda, KKP, dan Rumah Sakit dalam Manajemen Pencegahan
dan Pengendalian Hepatitis dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan (P2HPISP) sebagaimana
terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Peranan B/BTKLPP, B/BLK/Labkesda, KKP, dan Rumah Sakit dalam Manajemen
P2HPISP

B/BTKLPP B/BLK/Labkesda KKP Rumah Sakit

 Melaksanakan surveilans  Melaksanakan Melaksana- Sebagai


sentinel hepatitis pada kelompok pemeriksaan kan kegiatan rujukan
populasi berisiko (di wilayah konfirmasi dalam sosialisasi dalam
kerjanya) kegiatan DDHBC program penatalak-
pencegahan sanaan kasus
 Melaksanakan kegiatan  Melaksanakan
dan pengen- HPISP
surveilans hepatitis pada balita pengelolaan spesimen
dalian HPISP
yang akan dilakukan 
 Melaksanakan kegiatan
pemeriksaan rujukan
surveilans karier tifoid pada
(di luar B/BLK/
kelompok populasi berisiko M
Labkesda) sebagai
 Melaksanakan SKD KLB PISP laboratorium
 Melaksanakan kajian/studi jejaring/mitra
B/BTKL/Labkesda
 Melaksanakan fungsi dalam pelaksanaan
Laboratorium Kesmas untuk uji Surveilans Kesmas
konfirmasi HPISP
DDHBC=Deteksi Dini Hepatitis B dan C; SKD KLB PISP=Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan

3
D. Pengguna
Penanggung jawab/pengelola program/kegiatan pencegahan dan pengendalian HPISP
di tingkat pusat, Unit Pelaksana Teknis (UPT), dinas kesehatan provinsi, dinas
kesehatan kabupaten/kota, fasyankes, serta lintas program dan sektor terkait.

E. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pedoman ini meliputi: 1) Gambaran klinis HPISP, 2) Kebijakan dan
strategi pencegahan dan pengendalian HPISP, 3) Tujuan dan sasaran; 4) Indikator; 5)
Kegiatan pokok pencegahan dan pengendalian HPISP; 6) Pengembangan jejaring kerja
dan kemitraan; dan 6) Manajemen (perencanaan dan monev) pecegahan dan
pengendalian HPISP.

F. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273).
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431).
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063).
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah
Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3447).
7. Undang Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3637).
8. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 8781).
9. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2010-2014.
10. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang
Standar Pelayanan Kedokteran.
11. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1501/MENKES/ PER/X/2010 tentang Jenis
Penyakit Menular tertentu yang dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya
Penanggulangan.
12. Permenkes Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem
Surveilans Epidemiologi Kesehatan.

4
13. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1479/MENKES/SK/X/2003 tentang
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak
Menular.
14. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 949/MENKES/SK/VIII/2004 tentang
Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa.
15. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 206/MENKES/SK/II/
2008 tentang Komite Ahli Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan.
16. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 64 tahun 2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Kesehatan RI.
17. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.02/Menkes/2015 tentang Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019.
18. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 365/Menkes/SK/V/2006 tentang
Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.
19. Permenkes RI Nomor 53 Tahun 2015 tentang Penanggulangan Hepatitis Virus

5
BAB II

KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN HEPATITIS


DAN PENYAKIT INFEKSI SALURAN PENCERNAAN

A. Ruang Lingkup dan Prioritas Kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Hepatitis


dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan (HPISP)

1. Ruang lingkup kegiatan pencegahan dan pengendalian HPISP


Berdasarkan Permenkes Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kesehatan, ruang lingkup pencegahan dan pengendalian HPISP
mencakup: 1) Hepatitis; dan 2) Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan.

2. Prioritas kegiatan pencegahan dan pengendalian HPISP


Saat ini yang menjadi prioritas program pencegahan dan pengendalian HPISP di
Indonesia adalah:
a. Hepatitis
1) Hepatitis B
2) Hepatitis C
b. Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan
1) Diare
2) Demam tifoid
3) Hepatitis A
4) Hepatitis E
5) Dan lain-lain (sesuai situasi yang berkembang)

B. Kebijakan Pencegahan dan Pengendalian HPISP


Pencegahan dan pengendalian HPISP dilaksanakan secara terintegrasi dan sinergis
dengan kebijakan Kementerian Kesehatan RI, meliputi: 1) Upaya promotif dan preventif
tidak mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif; 2) Partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat; 3) Kemitraan dan jejaring kerja; 4) Penguatan peran pemerintah daerah; 5)
Pendekatan berjenjang; dan 6) Dukungan ketersediaan infrastruktur kesehatan yang
memadai dengan kendali mutu.

C. Tujuan
Tujuan kegiatan pencegahan dan pengendalian HPISP

1. Hepatitis
a. Menurunkan angka kejadian penularan hepatitis
b. Menurunkan angka kesakitan dan kematian hepatitis
c. Meningkatkan kualitas hidup penderita hepatitis

2. Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan


a. Menurunkan angka kejadian penularan PISP
b. Menurunkan angka kesakitan dan kematian PISP
6
D. Sasaran
Sasaran kegiatan pencegahan dan pengendalian HPISP, antara lain:

1. Hepatitis
a. Eliminasi penularan hepatitis B dari ibu ke anak pada tahun 2020
b. Eliminasi hepatitis C pada tahun 2030

2. Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan


a. Menurunnya insidensi diare pada balita sebesar 50% dari kondisi saat ini pada
tahun 2020
b. Menurunnya kematian pada balita yang disebabkan diare sebesar 50% dari
kondisi saat ini pada tahun 2030
c. Menurunnya angka kesakitan demam tifoid pada anak sekolah sebesar 50% dari
kondisi saat ini pada tahun 2030
d. Menurunnya Kejadian Luar Biasa (KLB) hepatitis A atau E sebesar 50% dari
kondisi saat ini pada 2030

E. Rencana Aksi Pencegahan dan Pengendalian HPISP


Rencana aksi pencegahan dan pengendalian HPISP, meliputi: 1) Meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang HPISP; 2) Menurunkan kejadian
penularan HPISP; 3) Menurunkan angka kesakitan dan kematian HPISP; dan 4)
Meningkatkan kualitas hidup penderita hepatitis.

1. Kegiatan/aksi pencegahan dan pengendalian HPISP tahun 2015-2019


a. Advokasi dan sosialisasi HPISP
b. Surveilans/pengamatan HPISP
c. Pencegahan HPISP
d. Deteksi dini HPISP
e. Penanganan HPISP
f. Tata kelola logistik
g. Jejaring dan kemitraan
h. Bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi

2. Strategi aksi pencegahan dan pengendalian HPISP tahun 2015-2019

a. Advokasi dan sosialisasi


1) Meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang HPISP
2) Meningkatnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
3) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan
pengendalian HPISP

b. Surveilans/pengamatan HPISP, kajian/studi, dan Sistem Kewaspadaan Dini


Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB) dan respon
1) Penguatan surveilans HPISP, sebagai dasar dalam perencanaan,
pengembangan kegiatan dan pengambilan keputusan

7
2) Penguatan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD KLB) dan
respon dalam rangka menurunkan KLB dan respons terhadap KLB yang
timbul
3) Penguatan sistem informasi kesehatan
4) Pengembangan riset operasional untuk mendukung pengembangan program
HPISP

c. Pencegahan HPISP
1) Pencegahan non spesifik (PHBS, dan lain-lain)
2) Pencegahan spesifik (imunisasi, pengobatan)

d. Deteksi dini
1) Deteksi dini hepatitis B dan C
2) Deteksi dini pada kelompok populasi paling berisiko tertular dan menularkan
HPISP

e. Penanganan HPISP
1) Perluasan dan kemudahan akses layanan
2) Integrasi pada sistem yang ada
3) Pemenuhan kebutuhan bahan/alat/obat pencegahan dan pengendalian
HPISP
4) Sinkronisasi kebijakan layanan HPISP dan Jaminan Kesehatan Nasional
5) Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)

f. Tata kelola logistik


1) Cost sharing
2) Perencanaan terpadu
3) Efektif, efisien dan optimal

g. Jejaring kerja dan kemitraan


1) Perluasan akses bagi masyarakat
2) Lintas program dan lintas sektor
3) Akademisi, organisasi profesi
4) Masyarakat, LSM, dan lain-lain

h. Bimtek dan monev


1) Pendampingan dan pemberian dukungan teknis penyelenggaran kegiatan
P2HPISP
2) Evaluasi pelaksanaan kegiatan P2HPISP

F. Indikator Program Pencegahan dan Pengendalian HPISP


Indikator kegiatan pencegahan dan pengendalian hepatitis dapat dilihat pada Tabel 8,
sedangkan indikator kegiatan pencegahan dan pengendalian Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan pada Tabel 9.

8
G. Organisasi Pencegahan dan Pengendalian HPISP

1. Organisasi pelaksanaan pencegahan dan pengendalian HPISP di Kementerian


Kesehatan RI

Sesuai dengan Permenkes Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kesehatan RI, Subdit Hepatitis dan Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan
pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan
pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan di bidang pencegahan dan pengendalian hepatitis dan penyakit infeksi
saluran pencernaan (pasal 319).

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada pasal 319, Subdit Hepatitis
dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan menyelenggarakan fungsi:
a. Penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang pencegahan dan pengendalian
hepatitis dan penyakit infeksi saluran pencernaan
b. Penyiapan bahan pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan dan
pengendalian hepatitis dan penyakit infeksi saluran pencernaan
c. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang
pencegahan dan dan pengendalian hepatitis dan penyakit infeksi saluran
pencernaan
d. Penyiapan bahan dan bimbingan teknis dan suvervisi di bidang pencegahan dan
pengendalian hepatitis dan penyakit infeksi saluran pencernaan; dan
e. Pemantauan, evaluasi dan pencegahan dan pengendalian hepatitis dan penyakit
infeksi saluran pencernaan.

Subdirektorat Hepatitis dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan, terdiri atas: 1)


Seksi Hepatitis; dan 2) Seksi Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan.
 Seksi Hepatitis mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan
pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan
pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan di bidang pencegahan dan pengendalian hepatitis.
 Seksi Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan mempunyai tugas melakukan
penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma,
standar, prosedur, dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan supervisi,
serta pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang pencegahan dan
pengendalian penyakit infeksi saluran pencernaan.

Dalam upaya untuk memastikan dan membantu tercapainya tugas dan fungsi
Kementrian Kesehatan, dibentuklah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementrian
Kesehatan (Direktorat Jenderal P2P), yaitu Balai Besar/Balai Teknis Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (B/BTKLPP) dan Kantor Kesehatan
Pelabuhan (KKP). Di seluruh Indonesia saat ini terdapat 10 B/BTKLPP dan 59 KKP

9
Tugas dan fungsi B/BTKLPP merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
2349/Menkes/Per/XI/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana
Teknis di Bidang Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit, bahwa
tugas dan fungsi B/BTKLPP adalah sebagai berikut:

a. Tugas
Melaksanakan surveilans epidemiologi, kajian dan penapisan teknologi,
laboratorium rujukan, kendali mutu, kalibrasi, pendidikan dan pelatihan,
pengembangan model dan teknologi tepat guna, kewaspadaan dini, dan
penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) di bidang pengendalian penyakit
dan kesehatan lingkungan serta kesehatan matra.

b. Fungsi
Pelaksanaan surveilans epidemiologi, pelaksanaan Analisis Dampak (penyakit)
Kesehatan Lingkungan (ADKL), pelaksanaan laboratorium rujukan, pelaksanaan
pengembangan model dan teknologi tepat guna, pelaksanaan uji kendali mutu
dan kalibrasi, pelaksanaan penilaian dan respon cepat, kewaspadaan dini dan
penanggulangan KLB/wabah dan bencana, pelaksanaan surveilans faktor risiko
penyakit tidak menular, pelaksanaan pendidikan dan pelatihan, pelaksanaan
kajian dan pengembangan teknologi pengendalian penyakit, kesehatan
lingkungan dan kesehatan matra, dan pelaksanaan ketatausahaan dan kerumah
tanggaan.

Dalam hal pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pengendalian HPISP, maka


B/BTKLPP dapat melaksanakan kegiatan/mengkoordinir kegiatan di wilayah kerja
sebagai berikut:
a. Surveilans
b. Pelaksanaan penilaian dan respons cepat, kewaspadaan dini dan
penanggulangan KLB/wabah dan bencana
c. Pelaksanaan laboratorium rujukan
d. Pelaksanaan kajian dan pengembangan teknologi pencegahan dan pengendalian
penyakit
e. Pendidikan dan latihan (Diklat).

2. Organisasi pelaksana pencegahan dan pengendalian HPISP di tingkat Provinsi,


kabupaten/kota dan fasyankes pelaksana program/kegiatan pencegahan dan
pengendalian HPISP secara berjenjang mulai dari dinas kesehatan provinsi, dinas kesehatan
kabupaten/kota, rumah sakit, puskesmas dan fasilitas kesehatan lainnya.

Disamping itu, menyadari bahwa masalah kesehatan tidak mungkin diselesaikan


oleh jajaran kesehatan saja, maka dalam pelaksanaan kegiatan pencegahan dan
pengendalian HPISP bekerjasama dengan lintas program dan sektor terkait,
perguruan tinggi, organisasi profesi, Yayasan dan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), swasta, dan organisasi/instansi terkait lainnya serta melibatkan partisipasi
masyarakat, dunia usaha, donor dan lembaga internasional.

10
BAB III

GAMBARAN KLINIS HEPATITIS DAN PENYAKIT INFEKSI SALURAN PENCERNAAN

A. Hepatitis
Hepatitis dapat disebabkan oleh virus (Hepatitis A, B, C, dan D, E), bakteri (Salmonella
typhosa), parasit (Plasmodium tropica, amoeba: Entamoeba histolytica, cacing: Fasciola
hepatica), proses autoimun, obat-obatan, perlemakan, alkohol dan zat berbahaya
lainnya. Virus, bakteri, dan parasit merupakan penyebab infeksi terbanyak. Infeksi
karena virus Hepatitis A,B,C,D,E merupakan penyebab tertinggi dibandingkan dengan
penyebab lainnya, seperti mononukleosis infeksiosa, demam kuning (yellow fever) dan
sitomegalovirus. Sedangkan penyebab utama hepatitis non-virus adalah alkohol dan
obat-obatan.

Dalam BAB ini pembahasan meliputi hepatitis B, hepatitis C dan D, sedangkan hepatitis
A dan E termasuk dalam kelompok PISP.

1. Hepatitis B

a. Etiologi
Penyebab Virus Hepatitis B (VHB) yang berukuran sangat kecil (42nm). Virus ini
merupakan virus DNA termasuk family Hepadnavirus. Virus dari family
Hepadnavirus bisa juga ditemukan pada bebek, marmut dan tupai tanah, namun
virus tersebut tidak bisa menginfeksi manusia. Virus Hepatitis B yang
menginfeksi manusia bisa juga menginfeksi simpanse. Sampai saat ini telah
teridentifikasi 8 genotype, yaitu genotype A-H (A, B, C, D, E, F, G, H). Virus
Hepatitis B memiliki 3 jenis morfologi dan 4 jenis antigen, yaitu HBsAg, HBcAg,
HbeAg, dan HBxAg.

b. Cara penularan
Virus Hepatitis B dapat ditemukan dalam cairan tubuh penderita, seperti darah
dan produk darah, air liur, cairan serebrospinal, peritoneal, pleural, cairan
amniotik, semen (air mani), cairan vagina dan cairan tubuh lainnya. Namun tidak
semuanya memiliki kadar virus yang infeksius. Secara umum, penularan bisa
terjadi secara vertikal dan horizontal.

Penularan secara vertikal adalah penularan yang terjadi dari ibu kepada bayi
yang dikandungnya pada masa perinatal. Jika seorang ibu hamil karier hepatitis
B dan HBeAg positif, maka kemungkinan 90% bayi yang dilahirkan akan
terinfeksi dan menjadi karier juga. Kemungkinan 25% dari jumlah tersebut akan
meninggal karena hepatitis kronik atau kanker hati. Infeksi hepatitis B di negara
berkembang seperti Indonesia, sebagian besar terjadi pada masa perinatal.
Infeksi mungkin terjadi selama proses persalinan dan diduga tidak
berhubungan dengan proses menyusui.

11
Penularan horizontal adalah penularan dari satu individu ke individu lainnya.
Selain melalui hubungan seksual tidak aman, penularan horizontal juga bisa
terjadi lewat penggunaan jarum suntik bekas penderita hepatitis B, transfusi
darah yang terkontaminasi virus hepatitis B, proses pembuatan tatoo,
penggunaan pisau cukur, sikat gigi, dan gunting kuku bekas penderita hepatitis
B. Berpelukan, berjabatan tangan, atau berciuman dengan penderita hepatitis B
belum terbukti dapat menularkan virus ini.

c. Gejala dan tanda


Seseorang yang terinfeksi VHB bisa mengalami hepatitis B akut, dengan gejala
awal (prodormal) seperti pada hepatitis akut umumnya, yaitu cepat lelah,
kurang nafsu makan, mual, muntah, dan nyeri sendi. Gejala prodormal akan
membaik ketika terjadi peradangan hati yang umumnya ditandai dengan gejala
kuning, namun 70% penderita hepatitis akut ternyata tidak menunjukkan gejala
kuning tersebut. Sebagian penderita hepatitis B akut dapat sembuh spontan,
sebagian lagi berkembang menjadi hepatitis B kronik. Kemungkinan menjadi
hepatitis B kronik menurun dengan bertambahnya usia saat terinfeksi, yaitu
mencapai 90% pada neonatus dan 5% pada usia dewasa.

Hepatitis kronik umumnya tidak menimbulkan gejala. Sekitar 0,1-0,5%


penderita hepatitis akut berkembang menjadi hepatitis fulminan, belum
diketahui secara pasti penyebab dan faktor risiko terjadinya hepatitis fulminan

d. Masa inkubasi
Masa inkubasi VHB berkisar antara 30-180 hari dengan rata-rata 60-90 hari.
Lama masa inkubasi tergantung banyaknya virus dalam tubuh penderita, cara
penularan, dan faktor pejamu. JumLah virus dan usia merupakan faktor penting
yang berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit, baik akut maupun
kronik.

2. Hepatitis C

a. Etiologi
Penyebab hepatitis C adalah Virus Hepatitis C (VHC), termasuk family
Flaviviridea, genus Hepacivirus dan merupakan virus RNA. Setidaknya 6
genotype dan lebih dari 50 subtype HCV yang berbeda telah ditemukan.

b. Cara penularan
Cara penularan VHC yang paling umum adalah secara parenteral, yaitu berkaitan
dengan penggunaan bersama jarum suntik yang tidak steril, terutama pada
pengguna obat-obatan terlarang, tatoo, tindik, penggunaan alat pribadi seperti
pisau cukur, sikat gigi bersama penderita, transfusi darah, operasi, transplantasi
organ, dan melalui hubungan seksual.

Virus hepatitis C merupakan penyebab utama hepatitis yang diderita setelah


transfusi darah. Namun demikian, peraturan yang memperketat pemeriksaan
12
darah donor telah menurunkan risiko infeksi secara drastis. Penularan dapat
terjadi dalam waktu satu minggu atau lebih setelah timbulnya gejala klinis
pertama pada penderita. Penularan vertikal dari ibu ke bayi selama proses
kelahiran sangat jarang (sekitar 5-6%) dan menyusui tidak meningkatkan
risiko penularan VHC dari ibu yang terinfeksi ke bayinya. Hepatitis C tidak dapat
menular melalui jabat tangan, ciuman, dan pelukan.

c. Gejala dan tanda


Sebagian besar (>90%) kasus hepatitis C akut bersifat asimptomatik. Kejadian
hepatitis fulminan juga sangat kecil pada infeksi VHC. Walaupun begitu, sebagian
kecil penderita bisa mengalami gejala prodormal seperti infeksi virus pada
umunya.

Sebagian besar (80%) penderita yang mengalami hepatitis C akut berkembang


menjadi hepatitis C kronik yang umumnya juga bersifat asimptomatik. Sekitar
20-30% dari hepatistis kronik ini berkembang menjadi sirosis hati dalam waktu
20-30 tahun.

Kerusakan hati bersifat progresif lambat, sehingga seringkali penderita yang


terinfeksi VHC pada usia lanjut, sama sekali tidak mengalami gangguan hati
seumur hidupnya.

d. Masa inkubasi
Masa inkubasi VHC berlangsung selama 15 hari sampai 2 bulan.

3. Hepatitis D

a. Etiologi
Penyebab hepatitis D adalah Virus Heptitis Delta (VHD) yang ditemukan pertama
kali pada tahun 1977. Virus ini berukuran 35-37nm dan mempunyai antigen
internal yang khas, yaitu antigen delta. Virus ini merupakan virus RNA dengan
defek, artinya virus ini tidak mampu bereplikasi secara sempurna tanpa batuan
virus lain, yaitu virus hepatitis B. Hal ini karena VHD tidak mampu mensintesis
protein selubungnya sendiri dan bergantung ada protein yang disintesis VHB,
termasuk HBsAg.

Oleh karena itu, infeksi VHD hanya bisa terjadi pada penderita yang juga
terinfeksi VHB pada saat bersamaan atau pada penderita hepatitis B kronik.
Genom VHD terdiri dari 1.700 pasangan basa, yaitu suatu jumlah terkecil untuk
virus pada hewan.

b. Cara penularan
Virus Hepatitis D ditularkan dengan cara yang sama dengan VHB, yaitu melalui
cairan tubuh penderita. Cara penularan yang utama diduga melalui jalur
parenteral.

13
c. Gejala dan tanda
Perjalanan hepatitis D mengikuti perjalanan hepatitis B. Bila hepatitis B yang
diderita bersifat akut dan kemudian sembuh, VHD juga akan hilang dengan
sendirinya. Namun bila VHD menginfeksi penderita hepatitis B kronik, maka
penderita tersebut juga akan menderita hepatitis D kronik. Gejala infeksi
hepatitis D sama persis dengan hepatitis B, namun kehadiran virus ini terbukti
mempercepat proses fibrosis pada hati, meningkatkan risiko kanker hati, dan
mempercepat dekompensasi pada keadaan sirosis hati.

d. Masa Inkubasi
Rata-rata 2-8 minggu.

B. Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan


Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan (PISP) adalah penyakit-penyakit pada saluran
pencernaan yang disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, parasit. Saat ini di Subdit
Hepatitis dan PISP yang telah dikembangkan program pencegahan dan
pengendaliannya adalah diare, demam tifoid, hepatitis A dan E. Tidak tertutup
kemungkinan pengembangan program pencegahan dan pengendalian PISP lainnya,
apabila penyakit-penyakit tersebut menjadi masalah kesehatan masyarakat dimasa
yang akan datang.

1. Diare

a. Definisi
Buang air besar yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (pada umumnya 3
kali atau lebih) per hari dengan konsistensi cair dan berlangsung kurang dari 7
hari. Khusus pada neonatus yang mendapat ASI, diare akut adalah buang air
besar dengan frekuensi lebih sering (biasanya 5-6 kali per hari) dengan
konsistensi cair. Diare merupakan suatu gejala dari berbagai penyakit yang
dapat disebabkan oleh berbagai penyebab. Diare perlu dibedakan dengan
gastroenteritis dimana gastroenteritis merupakan radang pada lambung dan
usus yang dapat menimbulkan gejala diare dengan atau tanpa disertai muntah.

b. Etiologi
Diare dapat disebabkan oleh berbagai penyebab non-infeksi, seperti makanan
(malabsorbsi, keracunan, alergi), malnutrisi, dan gangguan imunologi. Infeksi
yang dapat menimbulkan diare adalah infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme, seperti virus, bakteri, parasit, dan jamur. Berikut ini adalah
contoh mikroorganisme yang dapat menimbulkan diare:
 Virus: Retrovirus, Enterovirus (Polio, Coksakie, Echo), Adenovirus, Arbovirus,
DNA virus
 Bakteri: Salmonella, Shigella, Escherichia coli, Vibrio cholerae, Staphylococcus
albus, Streptococcus anhemolititicus, Klebsiella, Pseudomonas
 Parasit cacing: Ascaris lubricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis.
 Protozoa: Entamoeba histolytica, Giardia lamblia
 Jamur: Candida, Monilia.
14
c. Jenis diare
Berdasarkan klasifikasi WHO (1996), diare dapat dibedakan menjadi 3 jenis,
yaitu:

1) Diare cair akut (watery)


Diare yang terjadi tiba-tiba, frekuensi sering, konsistensi cair yang bersifat
watery (cair dan banyak). Diare ini sering disebabkan oleh Retrovirus, E. coli,
Shigella, Campylobacter jejuni, Cryptosporidium.
2) Disentri
Buang air besar dengan konsitensi tinja cair, frekuensi sering, sedikit-sedikit,
kadang-kadang disertai darah dan/atau lendir. Diare ini dapat disebabkan
Shigella, Campylobacter jejuni, Enteroinvasive Escherichia coli (EIEC),
Salmonella, E. histolytica.
3) Diare persistens
Diare yang terjadi lebih dari 14 hari, dapat cair (watery) maupun disentri.
Diare ini dapat disebebkan oleh EIEC, Shigella, Cryptosporidium.

d. Cara penularan
Diare dapat ditularkan melalui beberapa cara, seperti makanan atau minuman
yang terkontaminasi oleh tinja yang mengadung mikroorganisme penyebab
diare (oro-faecal) atau autoinfeksi.

2. Demam tifoid

a. Etiologi
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi akut pada saluran
pencernaan (usus halus) yang dikenal juga dengan enteric fever dan tifus
abdominalis. Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella enterica serovar
Typhi (Salmonella ser. Typhi) atau Salmonella typhi dan Salmonella enterica
serovar Paratyphi A, B dan C (Salmonella ser. Paratyphi A, B, dan C), dengan
masa inkubasi 7-14 hari.

Strain dan virulensi kuman demam tifoid bereda-beda di negara-negara Asia


Tenggara (ASEAN), begitu juga antara satu daerah dengan daerah lain di
Indonesia, sehinga manifestasi klinis berbeda dan hal ini perlu diwaspadai dalam
penatalaksanaan demam tifoid.

b. Gambaran klinis
Gambaran klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala yang sangat ringan
(sehingga tidak terdiagnosis), dan dengan gejala yang khas (sindrom demam
tifoid) sampai dengan gejala klinis berat yang disertai komplikasi. Gambaran
klinis juga bervariasi berdasarkan daerah atau negara, serta menurut waktu.
Gambaran klinis pada anak cenderung tidak khas, dan makin muda usia anak
gambaran klinis semakin tidak khas.

15
Kumpulan gejala klinis demam tifoid disebut dengan sindrom demam tifoid.
Beberapa gejala klinis yang sering pada demam tifoid antara lain:
1) Demam
Demam adalah gejala utama pada awal sakit, biasanya sub-febris, kemudian
secara perlahan demam meningkat dan pagi lebih rendah atau normal
dibandingkan sore dan malam hari (suhu diurnal). Dari hari ke hari intensitas
demam makin tinggi yang disertai banyak gejala lain seperti sakit kepala,
pusing yang sering dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal-pegal,
insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu ke-2 intensitas demam
makin tinggi, kadang-kadang terus menerus (demam kontinyu). Bila pasien
membaik, maka pada minggu ke-3 suhu badan berangsur turun dan dapat
normal kembali pada akhir minggu ke-3. Perlu diperhatikan bahwa demam
yang khas pada demam tifoid tersebut tidak selalu ada. Tipe demam tidak
beraturan, hal ini mungkin karena intervensi pengobatan atau komplikasi
yang dapat terjadi lebih awal. Pada anak, khususnya balita, demam tinggi
dapat menimbulkan kejang.
2) Gangguan saluran pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap, karena demam yang lama.
Bibir kering dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan
ditutupi selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated
tongue atau lidah kotor), tetapi pada pasien anak jarang ditemukan. Pada
umumnya pasien sering mengeluh nyeri perut, terutama regio epigastrik
(nyeri ulu hati), disertai mual dan muntah. Pada awal sakit sering terjadi
meteorismus dan konstipasi (sembelit). Pada minggu selanjutnya kadang-
kadang timbul diare.
3) Gangguan kesadaraan
Demam tifoid umumnya tidak disertai gangguan kesadaran. Pada kondisi
penyakit yang berat dapat disertai gangguan kesadaran, yaitu apatis, dan
kesadaran berkabut. Bila klinis lebih berat, tak jarang pasien sampai
somnolen, delirium dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis (organic
brain syndrome). Kondisi penyakit yang berat ini disebut sebagai demam
tifoid toksik.
4) Hepatosplenomegali
Hati dan/atau limpa sering ditemukan membesar. Hati teraba kenyal dan
nyeri tekan.
5) Bradikardia relatif dan gejala lain
Bradikardi relatif jarang ditemukan. Bradikardi relatif adalah peningkatan
suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi yang sesuai.
Patokan yang dipakai adalah setiap peningkatan suhu 1oC tidak diikuti
peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. Tanda lain yang dapat
ditemukan pada demam tifoid yaitu rose spot yang biasanya ditemukan di
regio abdomen atas, serta gejala-gejala klinis yang berhubungan dengan
komplikasinya.

16
c. Gambaran laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap
Pada pemeriksaan darah lengkap sering ditemukan leukopenia
(<5000/mm3), namun dapat pula terjadi leukosit normal atau leukositosis
walaupun tanpa disertai infeksi sekunder/komplikasi, trombositopenia,
aneosinofilia, limfopenia, dan peningkatan laju endap darah. Terjadinya
leukopenia adalah akibat depresi sumsum tulang oleh endotoksin dan
mediator endogen yang ada. Diperkirakan kejadian leukopeni sebesar 25%.
Namun banyak laporan menyebutkan bahwa dewasa ini hitung lekosit
kebanyakan dalam batas normal atau leukositosis ringan. Kejadian
trombositopenia sehubungan dengan produksi yang menurun dan destruksi
yang meningkat oleh sel-sel Reticuloendothelial System (RES),

2) Pemeriksan Hemoglobin (Hb)


Anemia ringan dapat terjadi karena produksi hemoglobin yang menurun
serta kejadian perdarahan intestinal yang tidak nyata (occult bleeding). Perlu
diwaspadai bila terjadi penurunan hemoglobin secara akut pada minggu ke
3-4, karena bisa disebabkan oleh perdarahan hebat dalam abdomen.

3) Pemeriksaan SGOT dan SGPT


Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamat
Piruvat Transaminase (SGPT) seringkali meningkat, tetapi akan kembali
normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan
penanganan khusus.

4) Uji Widal
Uji/pemeriksaan Widal adalah uji untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.
typhi. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji
Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum tersangka demam tifoid, yaitu: Agglutinin O (dari tubuh
kuman), Agglutinin H (flagela kuman), dan Agglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut, hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.

Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,


kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-
empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula
timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang
telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan
aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal
bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.

17
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal, yaitu: pengobatan dini
dengan antibiotik, gangguan pembentukan antibodi dan pemberian
kortikosteroid, waktu pengambilan darah, daerah endemik atau non-
endemik, faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium (akibat aglutinasi
silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen). Hasil
tes negatif palsu dijumpai akibat pembentukan antibodi yang rendah, dapat
ditemukan pada keadaan gizi buruk, konsumsi obat-obatan imunosupresif,
penyakit agammaglobulinemia, leukemia, karsinoma lanjut, teknik
pemeriksaan tidak benar, penggunaan antibiotik sebelumnya, atau produksi
antibodi tidak adekuat. Hasil uji Widal positif palsu dapat terjadi oleh karena
reaksi silang dengan non-typhoid feveral Salmonella, infeksi bakteri
Enterobacteriaceae lain, riwayat imunisasi demam tifoid atau standarisasi
reagen yang kurang baik, pasca vaksinasi, mengalami infeksi subklinis
beberapa waktu yang lalu, aglutinasi silang, dan lain-lain.

Interpretasi reaksi Widal:


a) Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang
bermakna untuk diagnosis demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai
hanya kesepakatan saja, berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat
berbeda di berbagai laboratorium setempat. Untuk itu perlu adanya
penelitian di setiap daerah oleh badan/lembaga penelitian/perguruan
tinggi untuk penentuan cut off termasuk strain kuman. Hasil penelitian
oleh Djoko Widodo dkk., di Jakarta menunjukkan bahwa nilai Widal
definitif jika kultur empedu positif atau PCR Salmonella typhi positif
dengan serologi Widal aglutinin O titer >1/640 atau H titer >1/1280, dan
peningkatan titer O dua kali atau lebih. Probable jika tes serologi Widal
aglutinin O titer 1/320 atau H titer 1/640.
b) Hasil pemeriksaan Widal negatif tidak menyingkirkan diagnosis demam
tifoid.

Selain uji Widal, metode pemeriksaan serologi lain yang dapat dilakukan
dengan cepat dan mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
lebih baik antara lain TPTest, TUBEX®, Typhidot dan Dipstick.

Pada kasus anak, uji Widal untuk diagnosis tidak direkomendasikan, karena
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah (UKK Infeksi dan Pediatri Tropik PP
IDAI, 2016). Uji baku emas diagnosis demam tifoid pada anak sampai saat ini
adalah kultur. Kultur darah mempunyai sensitivitas terbaik (40%-60%) bila
dilakukan pada minggu pertama-awal minggu ke-2. Pada anak yang
menderita demam ≥6 hari dengan gejala ke arah demam tifoid, untuk
pengobatan segera dapat digunakan pemeriksaan serologis terhadap
antibodi S. typhi.

5) Rapid Diagnostic Test (RDT)


Metode Immuno Chromatografi Test (ITC) untuk memeriksa anti Salmonella
IgM menunjukkan hasil positif. Pemeriksaan serologi anti Salmonella IgM
18
dengan nilai ≥6 dianggap sebagai positif kuat. Namun, interpretasi hasil
serologi yang positif harus berhati-hati pada tersangka demam tifoid yang
tinggal di daerah endemis. IgM anti Salmonella dapat bertahan sampai 3
bulan dalam darah. Hasil positif palsu pada pemeriksaan TUBEX® bisa terjadi
pada pasien dengan infeksi Salmonella enteridis, sedangkan hasil negatif
palsu didapatkan bila pemeriksaan dilakukan terlalu cepat.

6) Biakan
Sampai sekarang, biakan (kultur) masih menjadi standar baku dalam
penegakkan diagnostik. Biakan S. typhi memastikan demam tifoid, tetapi
biakan S. tiphy negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasil biakan
sangat tergantung pada beberapa hal, antara lain:
a) Teknik pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan yang lain, dan dari
waktu ke waktu, karena perbedaan teknik dan media yang digunakan.
Karena jumlah kuman yang ada dalam darah hanya sedikit (<10
kuman/ml), maka untuk keperluan pembiakan pada pasien dewasa
diambil 5-10 ml darah, pada anak-anak 2-5 ml. Bila darah yang dibiak
terlalu sedikit, hasil biakan bisa negatif, terutama pada orang yang sudah
mendapat pengobatan spesifik. Darah harus langsung ditanam pada
media biakan dan langsung dikirim ke laboratorium. Waktu pengambilan
darah yang baik adalah saat demam tinggi pada waktu bakteriemia
berlangsung.
b) Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Biakan S. tiphy terutama positif pada minggu pertama penyakit dan
berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh, biakan
darah bisa positif lagi.
c) Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi demam tifoid di masa lampau menimbulkan antibodi dalam
darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteriemia, sehingga biakan
darah mungkin negatif.
d) Pengobatan dengan anti mikroba
Bila pasien sebelum pembiakan darah sudah mendapat obat antimikroba,
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan
mungkin negatif.
e) Biakan sumsum tulang
Selain biakan darah atau spesimen lainnya (seperti urin, feses dan cairan
empedu), diagnosis pasti demam tifoid juga dapat ditegakkan bila
ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan sumsum tulang.
f) PCR (Polymerase Chain Reaction)
Dilakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian diidentifikasi dengan
DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang
terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi) dan kekhasan (spesifik)
yang tinggi. Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan
tubuh lainnya serta jaringan biopsi.

19
3. Hepatitis A

a. Etiologi
Penyebab penyakit adalah Virus Hepatitis A (VHA), berukuran 27 nanometer,
termasuk family Picornaviridae, genus Hepatovirus yang dikenal sebagai
Enterovirus 72, mempunyai 1 serotype dan 4 genotype, dan merupakan virus
RNA. Virus Hepatitis A bersifat termostabil, tahan asam, dan tahan terhadap
empedu. Virus ini diketahui dapat bertahan hidup dalam suhu ruangan selama
lebih dari 1 bulan. Hospes VHA hanya terbatas pada manusia dan beberapa
binatang primata. Virus dapat diperbanyak secara in vitro dalam kultur sel
primer monyet kecil atau secara in vivo pada simpanse.

b. Cara penularan
Virus Hepatitis A ditularkan secara fecal-oral. Virus ini masuk ke dalam saluran
pencernaan melalui makanan dan minuman yang tercemar tinja penderita VHA.
Virus kemudian masuk ke hati melalui peredaran darah, selanjutnya menginvasi
sel-sel hati (hepatosit) dan melakukan replikasi di hepatosit. JumLah virus yang
tinggi dapat ditemukan dalam tinja penderita sejak 3 hari sebelum muncul gejala
hingga 1-2 minggu setelah munculnya gejala kuning. Ekskresi virus melalui tinja
pernah dilaporkan mencapai 6 bulan pada bayi dan anak. Sebagian besar kasus
kemungkinan tidak menular lagi pada minggu pertama setelah ikterus. Ekskresi
kronik pada VHA belum pernah dilaporkan.

Hepatitis A sering muncul dalam bentuk Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan pola
common source epidemic, yaitu disebabkan oleh terpaparnya sejumLah orang
dalam suatu kelompok secara menyeluruh dan terjadi dalam waktu yang relatif
singkat. Adapun common source epidemic tersebut berupa keterpaparan umum,
menggambarkan satu puncak epidemi, jarak antara satu kasus dengan kasus
selanjutnya hanya dalam hitungan jam, dan tidak ditemukan serangan ke dua.
Umumnya sumber penularan berasal dari makanan atau minuman tercemar,
makanan mentah atau setengah matang, dan sanitasi yang buruk. Walaupun
bukan merupakan cara utama, penularan melalui transfusi atau penggunaan
jarum suntik bekas penderita hevatitis A dalam masa inkubasi pernah
dilaporkan.

c. Gejala dan tanda


Gejala dan tanda awal hepatitis A sangat bervariasi dan tidak spesifik. Demam,
kelelahan, anoreksia (tidak nafsu makan) dan gangguan pencernaan (mual,
muntah, kembung) dapat ditemukan. Dalam waktu 1 minggu, beberapa
penderita mengalami gejala kuning disertai gatal (ikterus), air kencing (urin)
berwarna seperti teh, dan tinja berwarna pucat. Infeksi pada anak berusia di
bawah 5 tahun umumnya tidak menunjukkan gejala yang khas dan hanya 10%
yang akan berkembang menjadi ikterus. Pada anak yang lebih tua dan dewasa
gejala yang muncul biasanya lebih berat, dan ikterus biasanya terjadi pada lebih
dari 70% penderita.

20
d. Masa inkubasi
Masa inkubasi hepatitis A adalah 15-50 hari, rata-rata 28-30 hari.

4. Hepatitis E

a. Etiologi
Penyebab hepatitis E adalah Virus Hepatitis E (VHE) yang merupakan virus RNA
berbentuk sferis. Virus Hepatitis E termasuk family Hepeviridiae dan genus
Hepevirus. Awalnya VHE disebut sebagai penyebab Enterically transmitted non-A
non-B Hepatitis (ET-NANB). Baru pada tahun 1983 virus ini berhasil
diidentifikasi dan dinamai virus Hepatitis E.

b. Cara penularan
Virus Hepatitis E ditularkan melalui jalur fecal-oral. Air minum yang tercemar
tinja merupakan media penularan yang paling umum. Penularan secara perkutan
dan perinatal juga pernah dilaporkan. Berbagai penelitian terbaru juga
menunjukkan kemungkinan penularan secara zoonotic dari babi, rusa, dan
hewan pengerat.

c. Gejala dan tanda


Infeksi hepatitis E selalu bersifat akut dan gejala bervariasi dari subklinis sampai
fulminan. Kemungkinan hepatitis fulminan cukup besar, karena saat ini infeksi
VHE tercatat 0,5-3%. Kemungkinan ini meningkat terutama pada ibu hamil
dimana angka kematian mencapai 20%. Gejala hepatitis E akut tidak berbeda
dengan hepatitis akut lainnya, yaitu demam, lemas, nafsu makan berkurang,
nyeri perut, mual, muntah, dan kuning. Bila dibandingkan dengan hepatitis A,
hepatitis E akut cenderung lebih berat secara klinis, dengan risiko koagulopati
dan kolestasis pada sekitar 50% penderita. Masa penularan hepatitis E belum
diketahui dengan pasti, namun RNA HEV dapat ditemukan dalam tinja penderita
sejak awal penyakit dan bisa bertahan sampai 1-6 minggu setelah mucul gejala.

d. Masa Inkubasi
Masa inkubasi hepatitis E berkisar antara 15-64 hari, dengan rata-rata 26-42
hari pada KLB yang berbeda.

21
BAB IV

ADVOKASI DAN SOSIALISASI PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN


HEPATITIS DAN PENYAKIT INFEKSI SALURAN PENCERNAAN

Advokasi merupakan upaya secara sistematis untuk mempengaruhi pimpinan,


pembuat/penentu kebijakan, keputusan dan penyandang dana termasuk pimpinan media
massa agar proaktif dan mendukung berbagai kegiatan pencegahan dan pengendalian
HPISP sesuai dengan bidang dan keahlian masing-masing. Kepada para pengambil
keputusan perlu dilakukan advokasi agar mendapatkan dukungan yang optimal dalam
pencegahan dan pengendalian HPISP.

Sosialisasi adalah suatu upaya dalam menginformasikan, dan menyebarluaskan informasi


khususnya tentang HPISP kepada masyarakat, dengan tujuan untuk peningkatan
pengetahuan, kesadaran, dan adanya perubahan perilaku, sehingga masyarakat terhindar
dari penularan HPISP. Sosialisasi dapat dilakukan antara lain melalui penyuluhan atau
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE), pemberian konseling, intervensi perubahan
perilaku dan pemberdayaan masyarakat.

Agar upaya pencegahan dan pengendalian HPISP tercapai tujuannya, maka perlu dilakukan
advokasi dan sosialisasi secara komprehensif, terencana dengan baik sesuai dengan
masalah dan kebutuhan masyarakat, sehingga masyarakat memahami cara pencegahan
HPISP baik untuk dirinya maupun orang lain dan masyarakat luas, mencegah terjadinya
stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan hepatitis, mampu mengakses layanan
perlindungan khusus dan penanganan kasus HPISP serta peningkatan komitmen para
pengambil keputusan dalam mendukung upaya pencegahan dan pengendalian HPISP.

Intervensi perubahan perilaku dilakukan pada kelompok populasi berisiko tinggi maupun
kelompok populasi rentan tertular dan menularkan HPISP, sedangkan pemberdayaan
masyarakat bertujuan agar masyarakat atas kesadarannya dapat berpartisipasi aktif dalam
pencegahan dan pengendalian HPISP sesuai dengan kapasitas masyarakat tersebut.
Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan pada seluruh komponen masyarakat seperti
dengan membentuk kelompok sebaya (peer group) atau supporting group sebagai
motivator dan sumber informasi untuk meningkatkan akses pelayanan serta perubahan
perilaku dan menjadi relawan pendamping orang dengan hepatitis.

Secara khusus, keberhasilan advokasi dan sosialisai dalam penyelenggaraan pencegahan


dan pengendalian HPISP diharapkan dapat menghasilkan dukungan dari berbagai pihak,
seperti: 1) Pemerintah daerah mengalokasikan sumber daya kesehatan yang memadai
untuk penanggulangan HPISP di wilayahnya; 2) Program dan sektor terkait serta Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) secara bersama-sama bermitra untuk membantu kegiatan
pencegahan dan pengendalian HPISP; 3) Setiap penduduk yang memiliki risiko bersedia
diberikan imunisasi setelah dilakukan pemeriksaan, sesuai pedoman yang berlaku; 4)
Setiap penduduk memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku dan mendukung upaya
pencegahan dan pengendalian HPISP; dan 5) Setiap penderita khususnya hepatitis mau
22
memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan serta pencegahan secara mandiri dan
terus-menerus.

Tujuan umum advokasi dan sosialisasi adalah untuk meningkatnya perilaku masyarakat
dalam pencegahan dan pengendalian HPSIP guna menurunkan angka kesakitan, kecacatan
dan kematian akibat HPISP secara terpadu, komprehensif dan terintegrasi dengan
melibatkan stakeholder, masyarakat dan pemerintah. Sedangkan tujuan khusus, yaitu: 1)
Meningkatnya dukungan kebijakan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam
pencegahan dan pengendalian HPISP; dan 2) Meningkatnya pengetahuan, sikap dan
perilaku masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian HPISP.

A. KIE Hepatitis
Informasi yang perlu disampaikan melalui penyuluhan atau Komunikasi, Informasi dan
Edukasi (KIE), antara lain penjelasan tentang penyebab, cara penularan, perjalanan
penyakit, gejala umum, penanganan, dan komplikasi hepatitis B dan C.

Kegiatan KIE, antara lain: 1) Menyediakan dan mendistribusikan media KIE tentang
pencegahan dan pengedalian hepatitis B dan C; dan 2) Melaksanakan KIE tentang
pencegahan dan pengendalian hepatitis B dan C dengan berbagai metode, baik
perorangan, kelompok, maupun melalui media massa (media cetak, media elektronik)
dan interaktif secara verbal, seperti konseling untuk meningkatkan pengetahuan dan
diharapkan terjadinya perubahan sikap dan perilaku.

Media massa yang umumnya digunakan adalah leaflet, lembar balik, poster, banner,
buku saku, kipas, kaos, topi, payung, buku saku, radio spot, dan TV.

B. KIE Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan


Seluruh upaya berikut bersifat umum yang dapat mencegah diare, tifoid, hepatitis A,
dan hepatitis E.

1. Perilaku hidup bersih dan sehat

a. Pemberian Air Susu Ibu dan Pengganti Air Susu Ibu

1) Pemberian Air Susu Ibu


Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan terbaik untuk bayi. Komponen zat
makanan yang tersedia sangat ideal dan seimbang serta dapat dicerna dan
diserap secara optimal oleh bayi. Air Susu Ibu saja sudah cukup untuk
pertumbuhan bayi sampai umur 6 bulan (ASI Eksklusif). Tidak ada makanan
lain yang dibutuhkan selama masa ini. Setelah 6 bulan, pemberian ASI perlu
diteruskan sambil ditambahkan makanan lain.

Air Susu Ibu bersifat steril, berbeda dengan susu formula atau cairan lain
yang disiapkan dengan air atau bahan-bahan yang dapat terkontaminasi
dalam botol yang tidak bersih. Pemberian ASI saja, tanpa cairan atau

23
makanan lain dan tanpa menggunakan botol, menghindarkan anak dari
bahaya infeksi mikroorganisme penyebab diare.

Air Susu Ibu mempunyai khasiat dalam pencegahan secara imunologik


dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya. Dengan kata
lain ASI turut memberikan perlindungan terhadap terjadinya diare. Pada bayi
yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya lindung
terhadap diare 4 kali lebih tinggi dibandingkan pemberian ASI yang disertai
dengan susu botol. Flora normal usus bayi yang disusui mencegah
pertumbuhan mikroorganisme penyebab diare.

2) Makanan Pendamping ASI


Makanan pendamping ASI (PASI) diberikan saat bayi secara bertahap mulai
dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Pada masa ini merupakan saat-
saat yang berbahaya bagi bayi, karena perilaku pemberian PASI yang tidak
tepat, meningkatkan risiko terjadinya diare atau penyakit lain. Untuk itu,
dalam pemberian PASI perlu memperhatikan: 1) Kapan; 2) Apa; dan 3)
Bagaimana PASI tersebut diberikan.

Informasi yang perlu disampaikan kepada masyarakat dalam pemberian


PASI adalah sebagai berikut:
 Mulai memperkenalkan makanan lunak ketika anak sudah berumur 6
bulan, dan pemberian ASI tetap diteruskan. Tambahkan jenis makanan lain
setelah anak berumur 9 bulan atau lebih. Berikan makanan lebih sering (4
kali sehari). Setelah anak berumur 1 tahun, berikan semua makanan yang
dimasak dengan baik, 4-6 kali sehari, dan teruskan pemberian ASI bila
memungkinkan.
 Tambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam nasi/bubur dan biji-bijian
untuk energi. Tambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacang-
kacangan, buah-buahan dan sayuran berwarna hijau ke dalam
makanannya.
 Cuci tangan sebelum meyiapkan makanan dan sebelum meyuapi anak, dan
suapi anak dengan sendok yang bersih.
 Masak makanan dengan benar, simpan sisanya pada tempat yang dingin
dan panaskan dengan benar sebelum diberikan kepada anak.
 Gunakan air bersih yang cukup
 Sebagian besar penyebab diare ditularkan secara fecal-oral, yaitu melalui
makanan, minuman atau benda yang tercemar tinja yang mengandung
mikroorganisme penyebab diare, misalnya jari-jari tangan, dan wadah
tempat makanan atau minuman yang dicuci dengan air yang sudah
tercemar.

Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar bersih


mempunyai risiko diare lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat yang
tidak mendapatkan air bersih. Masyarakat dapat mengurangi risiko diare

24
dengan menggunakan air yang bersih dan menghindari air tersebut dari
pencemaran mulai dari sumber air sampai penyimpanan di rumah.

Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh keluarga:


 Ambil air dari sumber air yang bersih.
 Simpan air dalam tempat yang bersih dan tertutup serta gunakan gayung
khusus untuk mengambil air.
 Jaga sumber air dari pencemaran oleh binatang dan untuk mandi anak-
anak.
 Minum air yang sudah matang (dimasak sampai mendidih).
 Cuci semua peralatan masak dan peralatan makan dengan air yang bersih
dan cukup.

b. Mencuci tangan
Kebiasaan penting yang berhubungan dengan kejadian diare adalah mencuci
tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air kecil,
sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan
makanan, sebelum menyuapi makanan anak, dan sebelum makan dapat
menurunkan kejadian diare.

c. Menggunakan jamban
Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan
jamban mempunyai pengaruh besar dalam menurunkan risiko diare. Keluarga
yang tidak mempunyai jamban diperlukan membuat jamban dan buang air besar
di jamban tersebut.

d. Membuang tinja bayi yang benar


Banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi tidak berbahaya. Hal ini tidak dapat
dibenarkan, karena tinja bayi juga dapat menularkan penyakit pada anak-anak
dan orang tuanya. Oleh karena itu, tinja bayi perlu dibuang secara benar.

2. Penyediaan air bersih


Mengingat bahwa ada beberapa penyakit yang dapat ditularkan melalui air seperti
diare, hepatitis A dan hepatitis E, penyakit kulit, penyakit mata, maka penyediaan air
bersih, baik dari segi kuantitas maupun kualitas mutlak diperlukan dalam
memenuhi kebutuhan air sehari-hari termasuk untuk menjaga kebersihan diri dan
lingkungan. Untuk mencegah terjadinya penyakit-penyakit tersebut di atas,
penyediaan air bersih yang cukup di setiap rumah tangga perlu tersedia. Disamping
itu perilaku hidup bersih perlu tetap dilaksanakan.

3. Pengelolaan sampah
Sampah merupakan sumber penyakit dan tempat berkembang biaknya vektor
seperti lalat, nyamuk, tikus, dan kecoa. Oleh karena itu pengelolaan sampah yang
baik sangat penting untuk mencegah penularan berbagai penyakit yang ditularkan
melalui vektor tersebut. Selain itu sampah dapat mencemari tanah dan
25
menimbulkan gangguan kenyamanan dan estetika seperti bau yang tidak sedap dan
pemandangan yang tidak enak dilihat. Perlu ada tempat pembuangan sampah,
sampah perlu dikumpulkan setiap hari dan di buang ke tempat penampungan
sementara sebelum dibawa ke tempat penampungan akhir.

4. Sarana Pembuangan Air Limbah


Air limbah, baik limbah pabrik maupun limbah rumah tangga perlu dikelola
sedemikian rupa agar tidak menjadi sumber penularan penyakit.

5. Penyehatan lingkungan
Hampir separuhnya (47%) masyarakat di Indonesia masih buang air besar di
sembarangan tempat, seperti sungai, sawah, kolam, kebun dan tempat terbuka
lainnya, 30,7% tidak memiliki sanitasi yang layak, 60% memiliki jamban tetapi
buang air masih sembarangan. Menurut WHO, ada 3 kegiatan yang dapat
menurunkan angka kesakitan diare:
1) Peningkatan akses masyarakat terhadap sanitasi dasar, menurunkan angka
kesakitan diare sebesar 37%
2) Cuci tangan pakai sabun, menurunkan angka kesakitan diare sebesar 45%
3) Pengelolaan air minum yang aman di rumah tangga, menurunkan angka
kesakitan diare sebesar 39%.

26
BAB V

SURVEILANS HEPATITIS DAN PENYAKIT INFEKSI SALURAN PENCERNAAN

A. Pencatatan dan Pelaporan

Kegiatan pencatatan dan pelaporan bertujuan untuk mendokumentasikan semua tahap


kegiatan pencegahan dan pengendalian HPISP yang sudah dilaksanakan mulai dari
input, proses, output, outcome dan impact. Pencatatan berisi hal-hal yang lebih rinci
tentang semua kegiatan (proses) yang sudah dilakukan, sedangkan pelaporan dapat
dilakukan secara berjenjang sesuai dengan waktu dan format yang telah ditentukan.

Secara rinci proses pencatatan dan pelaporan penyelenggaraan pencegahan dan


pengendalian HPISP berdasarkan jenjang administrasi pemerintahan adalah sebagai
berikut.
1. Puskesmas wajib mencatat setiap kejadian HPISP dan selanjutnya dilakukan
pelaporan ke dinas kesehatan kabupaten/kota sesuai sistem pelaporan terpadu
(SP2TP), kecuali untuk kejadian HPISP yang biasanya timbul sebagai KLB, maka
pelaporannya mengikuti prosedur pelaporan KLB/wabah. Dalam pelaporan rutin
HPISP selain mencantumkan data juga harus disertai analisis dan rencana tindak
lanjut pencegahan dan pengendaliannya.
2. Dinas kesehatan kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan kejadian HPISP dari
seluruh fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk rumah sakit dan klinik, secara
berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali. Setiap laporan disertai dengan analisis situasi
dan kecenderungan, pengendalian faktor risiko, dan kemajuan cakupan pemberian
imunisasi.
3. Dinas kesehatan provinsi wajib menyampaikan laporan kejadian HPISP secara
berkala setiap 6 (enam) bulan sekali, yang merupakan hasil kompilasi dari laporan
kabupaten/kota di wilayahnya disertai dengan analisis situasi dan kecenderungan,
pengendalian faktor risiko, dan kemajuan cakupan pemberian imunisasi, serta
potensi penyebaran antar wilayah.
4. Satuan kerja di pusat yang memiliki tugas dan fungsi di bidang pencegahan dan
pengendalian HPISP wajib menyampaikan laporan kejadian HPISP secara berkala
setiap 6 (enam) bulan sekali yang merupakan hasil kompilasi dari laporan provinsi
dan UPT, disertai dengan analisis situasi dan kecenderungan, pengendalian faktor
risiko, dan kemajuan cakupan pemberian imunisasi, serta potensi penyebaran antar
wilayah.

B. Pengamatan (Surveilans) Sentinel Hepatitis B dan C


Tujuan surveilans sentinel hepatitis B dan C adalah: 1) Memperkirakan kecenderungan
infeksi hepatitis B dan C di suatu wilayah; 2) Memantau seroprevalensi hepatitis B dan
C pada kelompok populasi tertentu; 3) Memantau kecenderungan prevalensi hepatitis B
dan C menurut orang, tempat, dan waktu; dan 4) Menyediakan data untuk estimasi dan
proyeksi kasus hepatitis B dan C di Indonesia.

27
Selain itu, tujuan surveilans sentinel hepatitis B dan C adalah untuk menyediakan data
dan informasi bagi pengambil keputusan dalam program pencegahan dan pengendalian
hepatitis B dan C sebagai dasar untuk menentukan target dan prioritas kegiatan,
advokasi kepada pihak terkait, monitoring dan evaluasi, penanganan, penyelarasan
dengan perencanaan pelayanan kesehatan dan menyediakan informasi kegiatan
pencegahan dan pengendalian hepatitis B dan C.

1. Surveilans hepatitis B dan C pada kelompok berisiko


Dalam pelaksanaannya, kegiatan surveilans pada kelompok masyarakat berisiko
hepatitis B dan C dapat dilakukan secara terintegrasi dengan Subdit HIV AIDS dan
Penyakit Infeksi Menular Seksual, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular Langsung, Ditjen P2P, Kemenkes RI.

Kelompok masyarakat berisiko tinggi dalam kegiatan surveilans ini adalah :


a. Wanita Pekerja Seks ( WPS), adalah wanita yang “ beroperasi” atau melakukan
praktik seks komersial baik secara terbuka (langsung) maupun terselubung
(tidak langsung) sebagai penjaja seks komersial.
b. Pengguna Napza suntik (Penasun), adalah mereka yang menggunakan Napza
(narkotika, psikotripika dan zat adiktif lain) yang disuntikkan.
c. Waria adalah kependekan dari Wanita pria, yang berarti pria yang berjiwa,
bertingkah laku, berpenampilan/ berdandan serta mempunyai perasaan seperti
wanita. Waria yang masuk dalam populasi berisiko tinggi adalah waria yang
melakukan hubungan seks berisiko.
d. Laki-laki Seks dengan Laki-laki (LSL) adalah laki-laki bukan waria yang
mengakui dirinya pernah melakukan kontak seksual dengan sesama laki-laki/
atau waria.
e. Dan lain-lain sesuai kebutuhan program.

2. Surveilans hepatitis B pada balita


a. Tujuan
Tujuan surveilans hepatitis pada balita adalah untuk mengetahui prevalensi
pada balita, dan efektifitas imunisasi hepatitis dan juga risiko penularan
hepatitis dari ibu ke bayi (penularan secara vertikal). Balita adalah periode usia
setelah bayi dengan kisaran dua sampai dengan lima tahun (2-5 tahun) atau 24-
60 bulan. Periode usia ini disebut juga sebagai usia prasekolah.
b. Populasi surveilans
Seluruh balita yang berkunjung (untuk berobat, kontrol kesehatan, imunisasi
dan penimbangan) ke puskesmas di wilayah kerja kabupaten/kota dalam kurun
waktu tertentu.
c. Populasi sampel
Sebagian balita yang berkunjung (untuk berobat, kontrol kesehatan, immunisasi
dan penimbangan) di puskesmas di wilayah kerja kabupaten/kota dalam kurun
waktu tertentu.
d. Lokasi
Lokasi wilayah kerja kabupaten/kota lokasi sentinel

28
C. Surveilans Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan

1. Surveilan diare

a. Tujuan
Diketahuinya situasi masalah diare di masyarakat, sehingga dapat dibuat
perencanaan dalam pencegahan pengendaliannya di semua jenjang admnistratif.

b. Pengertian
Surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus-
menerus terhadap diare dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya
peningkatan dan penularan diare tersebut agar dapat melakukan tindakan
pencegahan dan pengendalian secara efektif dan efisien melalui proses
pengumpulan, pengolahan dan analisis data, interpretasi dan penyebarluasan
informasi kepada penyelenggara program/kegiatan dan pihak terkait lainnya.

c. Prosedur
1) Sumber data
Ada tiga sumber data diare, yaitu laporan rutin, laporan KLB, dan studi kasus.

2) Laporan rutin
Dilakukan oleh puskesmas dan rumah sakit menggunakan SP2TP (LB), SPRS
(RL), STP, dan rekapitulasi diare. Oleh karena diare termasuk penyakit yang
dapat menimbulkan KLB, maka perlu dibuat laporan mingguan (W2). Untuk
dapat membuat laporan rutin, maka perlu dilakukan pencatatan setiap hari
(register) penderita diare yang datang ke fasyankes, posyandu atau kader.
Data register harian dapat mendeteksi adanya peningkatan jumlah kasus
dan tanda-tanda akan terjadinya KLB, sehingga dapat dilakukan tindakan
penanggulangan sesegera mungkin.

Laporan rutin ini dikompilasi oleh petugas pencatatan dan pelaporan diare di
puskesmas, kemudian dilaporkan ke kabupaten/kota menggunakan laporan
bulanan (LB) dan STP setiap bulan. Petugas/pengelola kegiatan pengendalian
diare kabupaten/kota membuat rekapitulasi dari masing-masing puskesmas
dan secara rutin (bulanan) dikirim ke provinsi dengan menggunakan
formulir rekapitulasi diare. Di provinsi, dilakukan rekapitulasi berdasarkan
laporan rutin (bulanan) kabupaten/kota dan dikirim ke pusat (Ditjen P2P cq.
Subdirektorat Hepatitis dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan) dengan
menggunakan Form 2.1.

3) Laporan KLB
Setiap terjadi KLB/wabah perlu dilaporkan dalam periode 24 jam dengan
format laporan W1 dan dilanjutkan dengan laporan khusus, meliputi:
 Kronologi terjadinya KLB
 Cara penyebaran serta faktor-faktor yang mempengaruhinya
 Keadaan umum penderita
29
 Hasil penyelidikan epidemiologi yang telah dilakukan
 Hasil kegiatan penanggulangan KLB dan rencana tindak lanjut.

4) Pengumpulan data melalui studi kasus


Pengumpulan data ini dapat dilakukan satu tahun sekali, misalnya pada
pertengahan atau akhir tahun. Tujuannya untuk mengetahui data dasar
(baseline data) sebelum atau setelah kegiatan dilaksanakan dan hasil
penilaian tersebut dapat digunakan untuk perencanaan pada tahun yang
akan datang.

5) Pengolahan, analisis, dan interpretasi


Data yang telah dikumpulkan diolah dan ditampilkan dalam bentuk tabel
atau grafik, kemudian dianalisis dan diinterpretasikan. Sebaiknya analisis
dilakukan secara berjenjang mulai dari puskesmas hingga pusat, sehingga
apabila terdapat permasalahan, maka segera dapat diketahui dan diatasi
permasalahannya.

6) Penyebarluasan hasil interpretasi


Hasil analisis dan interpretasi data, disebarluaskan ke pihak yang
berkepentingan, yaitu kepada pimpinan di daerah (mulai dari tingkat
kecamatan hingga provinsi) untuk mendapatkan tanggapan dan dukungan.

2. Surveilans demam tifoid

a. Tujuan
1) Memantau laju infeksi di masyarakat
2) Mendapatkan data dasar endemisitas
3) Mengindentifikasi KLB
4) Mengevaluasi ketajaman diagnostik secara klinis
5) Mengevaluasi kegiatan pencegahan dan pengendalian

b. Metode
Kasus tifoid ditemukan secara pasif di sarana kesehatan dari tingkat puskesmas
sampai tingkat rumah sakit provinsi. Penderita yang ditemukan dicatat sesuai
dengan kriteria yang digunakan.

c. Sasaran
Menurut sasarannya maka surveilans epidemiologi demam tifoid dapat
dibedakan menurut sarana pelayanan kesehatan: 1) Puskesmas; 2) Rumah sakit
kabupaten; dan 3) Rumah sakit di provinsi.

3. Pengamatan (surveilas) karier deman tifoid


Permasalahan penting terkait demam tifoid, antara lain: 1) Penyakit ini merupakan
masalah kesehatan masyarakat, tetapi masih terabaikan dalam penaganannya; 2)
Penyakit ini dapat menurunkan produktifitas kerja, meningkatkan angka
ketidakhadiran anak sekolah, karena masa penyembuhan dan pemulihannya yang
30
cukup lama; 3) Penyakit ini dapat sembuh sempurna, tetapi jika tidak ditangani
dengan baik, maka dapat menyebabkan seseorang menjadi karier (sebagai sumber
penularan penyakit), menimbulkan komplikasi dan kematian: 4) Penyakit ini sangat
mudah dicegah dengan perubahan perilaku masyarakat, namun merubah perilaku
masyarakat tersebut tidaklah mudah.

Sanitasi lingkungan dan hiegene perorangan yang kurang baik, dan masih tingginya
angka kemiskinan di Indonesia sangat mempengaruhi penularan dan penyebaran
demam tifoid. Bila para penderita tidak berobat misalnya karena keterbatasan akses
ke fasilitas kesehatan sehingga menjadi karier (tidak memperlihatkan gejala
penyakit, tetapi dapat menularkan agen penyakit), maka bila mereka menjadi
penjamah makanan, akan menjadi sumber penularan penyakit bagi masyarakat.
Tingginya risiko penularan penyakit melalui penjual makanan di jalanan dengan
tingkat kebersihan yang buruk, berkontribusi terhadap peningkatan jumlah kasus
tifoid di Indonesia. Pada saat bencana, kejadian tifoid perlu diwaspadai, karena
kondisi sanitasi lingkungan dan higiene perorangan yang buruk.

Penderita demam tifoid mempunyai potensi untuk menjadi karier (carrier) setelah
penyakitnya disembuhkan. Era sebelum antibiotika digunakan, diperkirakan
sedikitnya 5% penderita menjadi karier. Hasil studi yang dilakukan dewasa ini,
angka tersebut hanya sedikit mengalami penurunan. Di India pada tahun 2005
menurun menjadi sekitar 3%. Dari hasil deteksi dini karier tifoid yang dilakukan di
DKI Jakarta tahun 2013 didapatkan prevalensi sebesar 2,9%.

Bagi penderita demam tifoid yang tidak diobati dengan adekuat, insidensi karier
dilaporkan 5-10% dan kurang dari 3% menjadi karier kronik. Karier intestinal
kronik biasanya mempunyai faktor predisposisi penyakit kronik di hati seperti
opisthorchiasis dan kolelitiasis, dan untuk karier urinari kronik mempunyai penyakit
kronik di ginjal seperti urolitiasis.

Mengingat peran karier demam tifoid dalam penularan demam tifoid, maka perlu
dilakukan pengamatan dan penanganan sesegera mungkin, sehingga kejadian kasus
baru demam tifoid dapat dicegah dan angka kesakaitan dan kematian demam tifoid
dapat diturunkan serendah mungkin.

Tujuan jangka pendek pengamatan demam tifoid adalah: 1) Terdeteksinya karier


demam tifoid pada penjamah makanan; 2) Diketahuinya prevalensi karier demam
tifoid pada penjamah makanan; 3) Diketahuinya distribusi frekuensi karier demam
tifoid menurut umur; 4) Diketahuinya distribusi frekuensi karier demam tifoid
menurut jenis kelamin; 5) Diketahuinya distribusi frekuensi karier demam tifoid
menurut domisili; 6) Diketahuinya distribusi frekuensi karier demam tifoid menurut
tingkat pendidikan; 7) Diketahuinya distribusi frekuensi karier demam tifoid
menurut pengetahuan tentang cara penularan demam tifoid; 8) Diketahuinya
distribusi frekuensi karier demam tifoid menurut sikap terhadap upaya pencegahan
demam tifoid; 9) Diketahuinya distribusi frekuensi karier demam tifoid menurut
higiene perorangan; 10) Diketahuinya distribusi frekuensi karier demam tifoid
31
menurut sanitasi lingkungan; dan 11) Terlaksananya penanganan karier demam
tifoid sesegera mungkin.

Dengan diketahuinya situasi masalah karier demam tifoid kemudian dengan


melakukan pengendalian seoptimal mungkin, maka diharapkan tujuan jangka
panjang dapat tercapai, yaitu: 1) Menurunnya jumlah kasus infeksi baru demam
tifoid; 3) Menurunnya angka kesakitan (prevalensi) demam tifoid; dan 4)
Menurunnya angka kematian (CFR=Case Fatality Rate) demam tifoid.

a. Populasi pengamatan
Seluruh penjamah makanan, seperti penjamah makanan di lingkungan sekolah,
tenda/warung jajanan, restoran, katering, hotel petugas yang menyajikan
makanan( bagian gizi) di fasilitas kesehatan, pelabuhan, bandara, terminal dan
penjamah makanan ditempat yang menyediakan makanan umum lainnya.

b. Populasi sampel
Sebagian penjamah makanan yang terpilih sebagai sampel, seperti penjamah
makanan di lingkungan sekolah, tenda/ warung jajanan, restoran, katering, hotel
petugas yang menyajikan makanan (bagian gizi) di fasilitas kesehatan,
pelabuhan, bandara, terminal dan penjamah makanan ditempat yang
menyediakan makanan umum lain

D. Sistem Kewaspadaan Dini dan Penanggulngan Kejadian Luar Biasa (SKD KLB)
Penyakit Infeksi Salura Pencernaan

1. Diare
Sepanjang tahun masih terjadi beberapa kali KLB diare di beberapa daerah di
Indonesia, sehingga kewaspadaan dini terhadap kemungkinan terjadinya KLB diare
tetap harus dilakukan.

Kegiatan SKD KLB diare adalah pengamatan dan pencatatan untuk:


 Kasus diare mingguan untuk melihat pola maksimum-minimum tahunan (trend
minimal dalam 3 tahun).
 Faktor risiko, seperti perubahan iklim, lingkungan, sanitasi, dan PHBS.

Pemantauan Wilayah Setempat Kejadian Luar Biasa (PWS KLB) diare harus
dilaksanakan di setiap unit pelayanan, terutama di puskesmas dan rumah sakit serta
dinas kesehatan kabupaten/kota dengan pelaporan berjenjang sampai ke tingkat
pusat. PWS KLB diare juga perlu dikembangkan di laboratorium, baik di BLK pusat
dan daerah maupun laboratorium RS dan puskesmas.

Upaya penanggulangan KLB diare dilakukan untuk menyelamatkan penderita


dengan mendekatkan pelayanan ke masyarakat di daerah berjangkit KLB diare,
yaitu dengan membentuk pos kesehatan dan pusat rehidrasi yang diikuti dengan
penyuluhan agar masyarakat dapat melakukan pertolongan sementara di rumah
tangga dan segera membawa ke pos pelayanan kesehatan terdekat.
32
Upaya pencegahan dilakukan sesuai dengan hasil penyelidikan terhadap populasi
berisiko dan faktor risikonya. Secara umum, pada KLB kolera pemberian antibiotika
pada penderita dapat sekaligus memutus mata rantai penularan dan diikuti dengan
distribusi air bersih, memasak air sebelum diminum, pemberian kaporit dan
pengamanan makanan. Upaya penanggulangan didukung oleh sistem surveilans
selama periode KLB yang dapat menuntun arah dan evaluasi upaya penanggulangan.

Tugas utama Pos Kesehatan dan Pusat Rehidrasi (PR) adalah :


 Merawat dan memberikan pengobatan diare sesuai bagan tatalaksana diare sesuai
derajat dehidrasinya (sesuai standar)
 Melakukan registrasi pencatatan nama, umur, alamat lengkap, tanggal berobat dan
waktu mulai sakit, gejala, diagnosa (sebagaimana terlampir)
 Mengatur logistik dan obat-obatan
 Memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarga
 Memberikan pengobatan preventif terhadap kontak serumah pada kasus/KLB
kolera.
 Membuat laporan harian kepada puskesmas.

Tim penanggulangan KLB menyelenggarakan penyuluhan untuk melakukan


pertolongan dini dan mencermati tanda-tanda dehidrasi, penyuluhan segera berobat
bagi setiap penderita dan bahkan secara aktif mencari kasus sedini mungkin. Upaya
ini bekerjasama dengan para guru, petugas desa atau kelurahan, petugas puskesmas
lainnya.

Pada KLB kolera dapat dilakukan kaporisasi sumber air minum yang digunakan oleh
penduduk daerah terjangkit KLB diare. Penduduk juga mendapat penyuluhan
memasak air minum, pengamanan makanan dari pencemaran, lisolisasi bahan atau
pakaian dan lantai.

2. Demam tifoid
Pada prinsipnya sama seperti SKD KLB diare

3. Hepatitis A
Terjadinya KLB hepatitis A lebih sering disebabkan karena pangan (makanan dan
minuman) yang tercemar karena penjamah makananatau pangan yang tercemar,
oleh karena itu SKD-KLB terutama ditujukan pada upaya pegamanan pangan.

Pada darah-daerah endemis tinggi jarang terjadi KLB hepatitis A, kerena semua
penduduk telah menderita sakit dan/atau memiliki kekebalan alamiah. Pada
daerah-daerah dengan pengamanan pangan yang baik, bila berada pada wilayah
rentan hepatis A, akan menjadi sumber penularanuntuk terjadinya KLB hepatitis A.

Apabila muncul sekelompok orang (cluster) menderita hepatitis A, maka


kewaspadaan perlu ditingkatkan, karena akan bermunculan kasus-kasus lain sampai
kurang lebih 2 bulan sejak kasus pertama, tetapi apabila serangan KLB berlangsung
33
lebih dari 2 bulan berarti telah terjadi beberapa sumber penularan atau serangan
bersifat propogated source.

Berdasarkan data yang ada menunjukkan bahwa KLB hepatitis A sering terjadi pada
musim tertentu, oleh karena itu monitoring adanya KLB hepatitis A perlu dilakukan
dengan cermat. Apabila terdapat kecenderungan peningkatan serangan KLB
hepatitis A pada kawasan tertentu, maka dinas kesehatan provinsi atau Kemenkes
RI perlu menginformasikan peringatan kewaspadaan KLB hepatitis A pada semua
unit kesehatan di wilayah tersebut.

Kegiatan penanggulangan KLB adalah kegiatan yang dilakukan secara terpadu oleh
pemerintah daerah dan masyarakat, meliputi: 1) Penyelidikan epidemiologi; 2)
Penanganan penderita, mencakup pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi
penderita, termasuk teindakan karantina, pencegahan dan pengebalan, pemusnahan
penyebab penyakit; 3) Penanganan jenazah akibat KLB/wabah; 4) Penyuluhan
kepada masyarakat; dan 5) Upaya penggulangan lainnya, mengacu pada Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1501/Menteri/Per/ X/2010.

a. Penyelidikan Epidemiologi (Invertigasi) KLB


Ditemukannya lebih dari satu penderita dalam satu klaster dengan gejala klinis
hepatitis A (dapat berupa demam, sakit kepala, lelah, nafsu makan menurun,
perut kembung, mual dan muntah yang diikuti jaundice/ikterus/kuning, air
kencing berwarna gelap, dan lain-lain) merupakan sinyal dugaan terjadi KLB
hepatitis A. Dugaan dapat diperkuat dengan ditemukannya IgM antibodi
terhadap virus hepatitis A pada beberapa kasus yang diperiksa.

Kejadian Luar Biasa hepatitis A ditetapkan apabila terdapat dua kasus klinis
hepatitis A atau lebih yang berhubungan secara epidemiologis.

Karena penyakit ini mempunyai gejala klinis dengan spektrum yang bervariasi
mulai dari tanpa gejala (asimptomatik), ringan yang sembuh dalam 1-2 minggu,
sampai dengan gejala yang berat yang berlangsung sampai beberapa bulan,
maka bukti-bukti epidemiologis sudah dapat mendukung diagnosis secara klinis.

Bukti-bukti epidemiologis antara lain ditemukannya klaster orang dengan gejala


klinis mengarah ke diagnosis hepatitis A (dua atau lebih gejala: demam, sakit
kepala, lelah, nafsu makan menurun, perut kembung, mual dan muntah, yang
diikuti jaundice, air kencing berwarna gelap).

Kriteria kasus konfirmasi


 Ditemukannya antibody IgM terhadap hepatitis A (IgM anti-HAV) pada serum
sebagai pertanda yang bersangkutan menderita penyakit akut atau penderita
baru saja sembuh. IgM anti-HAV terdeteksi dalam waktu 5-10 hari setelah
terpajan dan/atau:
 Meningkatnya titer antibodi spesifik 4 kaliatau lebih dalam pasangan serum,
antibody dapat dideteksi dengan RIA atau ELISA.
34
Laporan penyelidikan epidemiologi sebaiknya dapat menjelaskan:
 Diagnosis KLB hepatitis A
 Penyebaran kasus menurut waktu (minggu), wilayah geografis (RT/RW, desa
dan kecamatan), umur, dan faktor lainnya yang diperlukan, misalnya sekolah,
tempat kerja, dan lain-lain.
 Sumber dan cara penularan
 Status KLB pada saat penyelidikan epidemiologi dilaksanakan serta perkiraan
peningkatan dan penyebaran KLB.
 Rencana upaya penanggulangannya.

b. Penanggulangan
1) Upaya penanggulangan KLB hepatitis A terutama diarahkan pada
penanganan kasus dan pemutusan rantai penularan.
2) Identifikasi cara penularan dengan teknik investigasi epidemiologis, apakah
penularan terjadi dari orang ke orang atau dengan cara common source dari
cari populasi yang terpajan.
a) Bila teridentifikasi sebagai penularan orang per orang, maka tindakan
selanjutnya adalah isolasi penderita selama masa inkubasi (sejak kasus
ditemukan sampai 2 minggu setelah timbul gejala).
b) Bila teridentifikasi sebagai common source, maka tindakan selanjutnya
adalah identifikasi sumber penularan.
3) Upaya memutus rantai penularan dilakukan melalui perbaikan sanitasi dan
pengamatan makanan.
4) Bila teridentifikasi sumber penularan, maka dilakukan semua upaya
berdasarkan sumber penularannya. Bila sumber penularan adalah sumber
air yang terkkontaminasi, maka dapat dilakukan desinfektan pada sumber air
tersebut. Bila sumber penularan adalah akibat pangan terkontaminasi, maka
dilakukan perbaikan hygiene sanitasi dan pengamanan pangan. Sumber
penularan dimaksud diisolasi sampai diyakini tidak mengandung virus.
Beberapa cara inaktivasi virus hepatitis A
 Pemanasan pada suhu 85oC selama 1 menit
 Sterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121oC selama 20 menit
 Radiasi ultraviolet pada 1,1W pada kedalaman 0,9 cm selama 1 menit
 Sterilisasi dengan formalin 8% selama 1 menit pada suhu 25oC
 Desinfeksi dengan larutan potassium permangat 30mg/liter selama 15
menit
 Desinfeksi dengan larutan iodine 3 mg/liter selama 5 menit
 Desinfeksi dengan larutan klorin bebas residu 2-2,5 mg/liter larutan
sodium hipoklorit pada suhu 20oC selama 5-15 menit.
5) Apabila belum teridentifikasi sumber penularannya dengan jelas, maka
perbaikan sanitasi dan pengamanan pangan segera dilaksanakan dengan
ketat terhadap semua kantin dan jajanan yang berhubungan dengan populasi
berisiko, termasuk diantaranya membawa makanan dari rumah masing-
masing.
6) Tidak ada pengobatan spesifik. Penderita membutuhkan istirahat yang
cukup, makanan rendah lemak. Pengobatan berupa terapi suportif untuk
35
mengatasi gejala dan menjamin asupan nutrisi seimbang, termasuk bila
diperlukan cairan pengganti akibat muntah atau diare. Isolasi air kencing dan
tinja penderita dilakukan untuk mencegah penularan dan penyebaran virus.
7) Pemberian imunisasi pada saat terjadinya KLB tidak dianjurkan.

4. Hepatitis E
 Lihat SKD KLB dan penanggulangan hepatitis A.
 Secara klinis pada hepatitis E sering sulit dibedakan dengan hepatitis A, tetapi
seringkali pada KLB hepatitis E disertai kematian pada ibu hamil, sementara pada
hepatitis A tidak ada kematian.

36
BAB VI

PENCEGAHAN HEPATITIS DAN PENYAKIT INFEKSI SALURAN PENCERNAAN

A. Perlindungan Khusus

1. Perlindungan khusus hepatitis B


Perlindungan khusus (specific protection) adalah upaya yang dilakukan agar
masyarakat dapat terlindungi dari penularan hepatitis.

a. Pemberian imunisasi
Pemberian imunisasi adalah suatu upaya yang dilakukan untuk melakukan
pencegahan terjadinya penularan hepatitis. Pemberian imunisasi dilaksanakan
untuk hepatitis B. Sampai saat ini belum tersedia vaksin hepatitis C.

Imunisasi hepatitis B untuk bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg negatif atau
status HBsAg ibu tidak diketahui diberikan vaksin hepatitis B sesegera mungkin
pada bayi usia <24 jam sesudah kelahiran (HB-0), bersamaan dengan pemberian
vitamin K1. Pemberian imunisasi ini kemudian dilanjutkan sesuai program
imunisasi nasional.

Imunisasi hepatitis B mampu memberikan perlindungan terhadap infeksi


hepatitis B selama lebih dari 20 tahun. Keberhasilan imunisasi dinilai dari
terdeteksinya anti-HBs di serum penderita setelah pemberian imunisasi
hepatitis B lengkap (3-4 kali).

Apabila bayi lahir dari ibu dengan HBsAg positif, maka imunisasi hepatitis B dan
pemberian immunoglobulin harus diberikan <24 jam dari kelahirannya,
bersamaan dengan HB-0, sesudah didahului pemberian Vitamin K, kemudian
dilanjutkan sesuai program imunisasi nasional, yaitu usia bayi 2 bulan, 3 bulan,
dan 4 bulan. Selanjutnya pada saat bayi tersebut berusia 9-12 bulan dilakukan
pemeriksaan HBsAg dan titer anti-HBs.

Pemberian imunisasi hepatitis B pada pada kelompok masyarakat berisiko


tinggi, seperti populasi yang melakukan praktik seksual berisiko, pengguna
NAPZA suntik, petugas kesehatan, mahasiswa kesehatan (kebidanan,
keperawatan, analis kesehatan, kedokteran), orang dekat/keluarga/tinggal
serumah, pasangan orang dengan hepatitis B, orang dengan riwayat keluarga
hepatitis B, dan orang dengan Infeksi Menular Seksual (IMS).

Dikecualikan terhadap kelompok masyarakat yang belum dan/atau yang tidak


lengkap mendapat imunisasi hepatitis B pada saat lahir, dilakukan pemeriksaan
HBsAg dan anti-HBs sebelum diberikan imunisasi. Apabila hasil pemeriksaan
keduanya negative, maka dianjurkan imunisasi hepatitis B sebanyak 3 dosis
dengan jadwal 0 bulan, 1 bulan, dan 6 bulan.
37
b. Penggunaan kondom
Penggunaan kondom terutama ditujukan bagi kelompok masyarakat yang
memiliki hubungan seksual berisiko.

c. Pengunaan Alat Pelindung Diri (APD)


Penggunaan APD diwajibkan bagi petugas kesehatan atau masyarakat yang
melakukan aktivitas berisiko, seperti memakai masker dan sarung tangan, baju
dan kacamata pelindung.

d. Menghindari penggunaan jarum suntik dan alat kesehatan peralatan lainnya


yang tidak steril.
Masyarakat wajib menghindari penggunaan jarum suntik secara bergantian atau
tidak steril, terutama pada kelompok pengguna NAPZA suntik, pengguna tattoo,
tindik, dan akupunktur. Peralatan lainnya seperti untuk tindik, peralatan pada
kedokteran gigi, operasi, hemodialisis, dan lain-lain.

2. Perlindungan khusus Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan

a. Demam tifoid
Salah satu cara untuk melakukan pencegahan demam tifoid adalah dengan
melakukan vaksinasi, namun vaksinasi tifoid belum merupakan program
imunisasi nasional. Hingga saat ini pemakaian vaksin tifoid terbatas pada
sejumlah praktik dokter pribadi dan rumah sakit swasta. Sejauh ini, program
vaksinasi pada anak sekolah dasar masih dalam bentuk pilot proyek, yaitu
pemberian vaksin pada 1500 anak SD di Kota Bogor tahun 2014–2015.

Mengingat endemisitas dan morbiditas demam tifoid yang cukup tinggi di


Indonesia, maka pada dasarnya pemberian vaksinasi tifoid sangat strategis
untuk kelompok masyarakat berisiko tinggi, seperti: 1) Anak sekolah; 2)
Penjamah makanan di hotel-hotel, restoran, kantin, katering, dan warung-
warung yang tersebar luas di Indonesia termasuk para petugas di bagian
(instalasi) gizi rumah sakit); dan 3) Pekerja atau petugas makan/minum yang
yang berkaitan atau kontak dengan makanan/minuman atau peralatan
makan/minum yang disajikan kepada sekelompok orang, misalnya di kantor-
kantor pemerintah dan swasta.

Di Indonesia saat ini telah tersedia 2 jenis vaksin tifoid, yaitu: 1) Vaksin Vi
kapsuler polisakarida. Vaksin ini mengandung polisakarida Vi dari kapsul
bakteri Salmonella. Vaksin dapat mencapai level protektif setelah 2–3 minggu
pemberian, dan dapat diberikan pada usia ≥2 tahun. Vaksin tersedia dalam
syringe siap pakai (suntikan) 0,5ml yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam
buffer fenol isotonik.

Vaksin diberikan secara intramuskular (IM) di deltoid. Vaksinasi ulangan


dilakukan setiap 3 tahun. Kontra indikasi vaksin, yaitu pada keadaan
38
hipersensitif terhadap vaksin, ibu hamil, dan anak <2 tahun. Bila keadaan sedang
demam, pemberian vaksin sebaiknya ditunda, dan untuk ibu menyusui perlu
dikonsultasikan lebih lanjut ke dokter; 2) Vaksin kombinasi Vi kapsuler
polisakarida dan hepatitis A inaktif, Vaksin kombinasi Vi kapsuler polisa-karida
dan hepatitis A inaktif (double). Kelebihan vaksin ini lebih praktis dalam
pemberian vaksin tifoid dan hepatitis A. Tidak ada perbedaan efektifitas
pemberian vaksin secara bersamaan dengan pemberian vaksin tifoid dan
hepatitis A secara terpisah. Vaksin dapat mencapai level protektif setelah 2–3
minggu pemberian. Vaksin ini dapat diberikan pada usia 16 tahun ke atas. Vaksin
tersedia dalam bentuk dual-chamber syringe (suntikan) siap pakai dengan
volume 1 ml, masing-masing 0,5 ml untuk setiap vaksin. Vaksin diberikan secara
intramuskular di deltoid dan vaksinasi ulangan diberikan setiap 3 tahun. Kontra
indikasi vaksin, yaitu pada keadaan hipersensitif terhadap komponen vaksin, ibu
hamil, dan ibu menyusui.

Pemberian vaksin untuk pencegahan tifoid dianjurkan untuk wisatawan,


terutama bila bepergian ke daerah/negara endemis tifoid.26 Center for Disease
Control, USA merekomendasikan vaksinasi tifoid untuk wistawan yang
melakukan perjalanan ke daerah endemis tifoid, khususnya ke daerah rural atau
dengan makanan atau suplai air yang tidak aman. Public Health Agency Kanada
merekomendasikan vaksinasi pada wisatawan yang melakukan perjalanan ke
daerah endemik: kota kecil, perkampungan atau rural lebih dari 4 minggu. Juga
merekomdasikan untuk individu dengan sekresi asam lambung yang berkurang
atau tidak ada.

Health Protection Agency, United Kingdom merekomendasikan vakisnasi tifoid


untuk wisatawan yang melakukan perjalanan ke daerah endemis, khususnya
dengan higiene makanan dan sanitasi yang buruk. Department of Health and
Ageing, Australia merekomendasikan untuk wisatawan mulai usia >2 tahun ke
daerah endemik, termasuk subkontinen India, negara-negara Asia Tenggara,
kebanyakan negara-negara di Pasifik Selatan dan Papua New Guinea.

Di Indonesia, agen perjalanan dapat berperan dalam menyediakan informasi


tentang tifoid dan memfasilitasi pemberian vaksinasi tifoid.

b. Hepatitis A
Imunisasi hepatitis A dilakukan dengan cara pemberian vaksin Hepatitis A
sebanyak dua kali dengan jarak 6 sampai 12 bulan terhadap masyarakat di atas
usia 2 tahun. Imunisasi hepatitis A dilakukan secara sukarela.

B. Penanganan Kasus Terpajan Hepatitis B


Selain penanganan kasus yang ditemukan pada deteksi dini hepatitis B, maka
penanganan kasus yang ditemukan dapat juga dilakukan pada saat orang terpajan virus
hepatitis B, yaitu mereka yang mengalami inokulasi langsung atau kontak mukosa
langsung dengan cairan tubuh penderita hepatitis B, maka profilaksis yang digunakan
adalah HBIG single dose 0,06 mL/kg BB, yang diberikan sesegera mungkin. Penderita
39
harus menerima imunisasi hepatitis B, dimulai dari minggu pertama setelah pajanan.
Bila pajanan yang terjadi adalah kontak seksual, maka pemberian dosis HBIG 0,06
mL/kg BB harus diberikan sebelum 14 hari setelah pajanan, dan diikuti dengan
imunisasi. Pemberian vaksin hepatitis B dan HBIG bisa dilakukan pada waktu
bersamaan, namun di lokasi injeksi yang berbeda.

Semua penderita hepatitis B sebaiknya disarankan untuk menjalani pemeriksaan


Hepatitis D. Pemeriksaan awal dilakukan untuk mengetahui adanya anti-HDV dalam
serum. Apabila positif, lanjutkan dengan memeriksa RNA HDV. Hanya penderita yang
RNA HDV positif saja yang dianjurkan untuk menjalani terapi hepatitis D. Perlu diingat
bahwa karena infeksi VHD memiliki cara penularan yang sama dengan VHB, VHC, dan
HIV, maka pemeriksaan virus-virus tersebut juga perlu dilakukan. Mengingat infeksi
VHD hanya bisa terjadi pada orang dengan hepatitis B, maka pencegahan infeksi VHD
sama persis dengan pencegahan infeksi VHB. Imunisasi terhadap VHB telah terbukti
efektif menekan prevalensi hepatitis D di beberapa wilayah di Eropa. Penanganan
penderita, kontak dan lingkungan sekitar: 1) Pengobatan, sampai saat ini hanya terapi
berbasis Interferon yang terbukti cukup efektif untuk hepatitis D; 2) Disinfeksi bekas
cairan tubuh penderita; 3) Isolasi tidak diperlukan 4) Imunisasi pasif hepatitis B pada
orang yang terpajan cairan tubuh penderita; dan 5) Pencatatan dan pelaporan (STP dan
SIRS).

40
BAB VII

DETEKSI DINI DAN HEPATITIS B DAN C

Sebagaimana diketahui bahwa hepatitis B dan C merupakan penyakit kronik, dengan akibat
yang fatal. Biasanya masyarakt tidak menyadari bahwa dirinya terinfeksi hepatitis B dan C,
sampai dengan pada keadaan dimana sudah mengalami sirosis bahkan kanker hati, yang
semestinya bisa dihindari dengan melakukan deteksi dini, sehingga penularan pada orang
lain bisa dicegah dan sirosis serta kanker hati bisa dihindari.

Kegiatan Deteksi Dini Hepatitis B dan C (DDHBC), bukan suatu survei, kajian/studi atau
penelitia, tetapi merupakan suatu kegiatan rutin yang harus dilakukan apabila hepatitis B
dan C di Indonesia ingin ditanggulangi. Oleh karena itu dalam pelaksanaan DDHBC ini
dilaksanakan secara rutin, sepanjang tahun, sehingga pelaporan dilakukan secara rutin per
periode waktu tertentu.

A. Deteksi Dini Hepatitis B dan C


Kegiatan deteksi dini hepatitis B dan C meliputi deteksi dini aktif dan deteksi dini pasif.

1. Deteksi Dini Hepatitis B dan C Aktif (DDHBC aktif)


Deteksi dini aktif hepatitis B dan C aktif adalah kegiatan Deteksi Dini Hepatitis B dan
C (DDHBC) pada kelompok masyarakat (populasi) berisiko yang dilaksanakan di
luar gedung fasilitas layanan/puskesmas.

a. Pelaksana
Puskesmas

b. Populasi deteksi dini aktif


Kriteria populasi deteksi dini aktif hepatitis B dan C adalah sebagai berikut:
1) Ibu hamil
2) Petugas Kesehatan diutamakan yang berhubungan langsung dengan klien,
termasuk cairan tubuh, misalnya dokter, perawat, bidan, analis
laboratorium, dan lain-lain yang berisiko tertular atau menularkan hepatitis
B dan C, karena dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari terdapat
kemungkinan terjadinya kontak darah/cairan tubuh penderita.
3) Mahasiswa/pelajar sekolah kesehatan (kebidanan, keperawatan, analis,
kedokteran, dan lain-lain)
4) Pekerja seks (wanita, pria, dan waria)
5) Pengguna NAPZA suntik (Penasun)
6) Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL)/gay
7) Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)
8) Pasangan/keluarga tinggal serumah dengan penderita hepatitis B atau C
9) Orang dengan riwayat keluarga terinfeksi hepatitis B atau C
10) Pasien Infeksi Menular Seksual (IMS)
11) Orang dengan infeksi HIV/AIDS (ODHA)
12) Pasien hemodialisis
41
13) Orang dengan riwayat pernah mendapatkan transfusi darah
14) Orang dengan riwayat pernah menjalani tindakan bedah umum atau
tindakan pada gigi
15) Bayi yang lahir dari ibu dengan hepatitis B atau C.

c. Lokasi
Di wilayah kerja masing-masing puskesmas

d. Kelompok masyarkat perlu melakukan DDHBC


1) Kelompok masyarakat berisiko tinggi
2) Mereka yang pernah melakukan pemeriksaan hepatitis B dan C dengan hasil
non-reaktif ≥6 bulan

e. Prosedur
1) Deteksi Dini Hepatitis B dan C aktif dilakukan dengan cara petugas
melakukan penjangkauan pada kelompok berisiko tinggi tersebut di atas
yang ada di wilayah kerja puskesmasnya. Kegiatan DDHBC aktif ini dapat
diintegrasikan dengan kegiatan lain seperti kegiatan penjangkauan pada HIV,
layanan mobile clinic konseling dan tes HIV, dan lain-lain. Sebelum
pelaksanaan kegiatan, agar mempersiapkan dengan baik rencana kegiatan
dimaksud agar tidak terjadi gejolak atau kecurigaan di masyarakat yang
kemudian membuat mereka menolak kegiatan yang akan dilakukan (perlu
prakondisi, sosialisasi dan penjelasan yang disesuaikan dengan tingkat
kepedulian masyarakat tersebut terhadap masalah kesehatan). Setelah ada
kesepakatan, maka kegiatan dilaksanakan pada tempat dan waktu yang telah
ditentukan.
2) Pimpinan/contact person tersebut dapat dilibatkan dalam menggerakkan
masyarakat untuk ikut dalam kegiatan DDHBC.
3) Tim pelaksana adalah dokter/perawat, bidan di poli KIA, konselor, pengelola
program/kegiatan hepatitis, pengelola program/kegiatan asuhan kepera-
watan, analis dan petugas lainnya.

f. Tahapan kegiatan
Tahapan kegiatan deteksi dini aktif hepatitis B dan C:
1) Persiapan, meliputi: penyiapan tim, peralatan, sosialisasi dan advokasi,
logistik pendukung sesuai kebutuhan, dan persiapan di lapangan
2) Pelaksanaan, meliputi: pembekalan kerja untuk petugas, pengumpulan data
di lapangan, yaitu pernyataan persetujuan (tertulis ataupun oral apabila
diperlukan), pengisian data dengan wawancara terstruktur, pengambilan
darah, pemeriksaan spesimen dan pengolahan, pencatatan dan pelaporan
3) Analisa data dan pelaporan
4) Monitoring dan evaluasi.

2. Deteksi Dini Heptitis B dan C Pasif


Deteksi Dini Hepatitis B dan C pasif (DDHBC pasif) adalah kegiatan deteksi dini
hepatitis B dan C yang dilakukan oleh petugas di dalam gedung puskesmas
42
(poliklinik/klinik IMS/klinik konseling dan tes/klinik methadone, dan lain-lain).
Dalam hal ini masyarakat yang datang ke puskesmas atas kemauannya sendiri atau
atas anjuran petugas puskesmas atau karena adanya rujukan.

a. Pelaksana
Puskesmas

b. Kelompok masyarkat perlu melakukan DDHBC


Masyarakat yang berkunjung atau dirujuk ke puskesmas

c. Lokasi
Di puskesmas

d. Jumlah yang dilakukan deteksi dini


Seluruh masyarakat yang mempunyai faktor risiko tertular dan menularkan
yang berkunjung atau yang dirujuk ke puskesmas/klinik.

e. Prosedur
1) Deteksi dini pada ibu hamil
a) Ibu hamil pada kunjungan ANC (Antenatal Care) pertama kali (K1)
ditawarkan pemeriksaan hepatitis B.
b) Bila Ibu hamil tersebut bersedia, maka diberikan konseling dan diminta
menandatangani informed consent sebagai bukti kesediaan.
c) Petugas melakukan wawancara untuk pengisian data yang diperlukan
menggunakan Form 9B.
d) Pengisian Form 9F oleh petugas dan pengambilan sampel darah di
laboratorium puskesmas.
e) Menggunakan Rapid Test
f) Bila hasil pemeriksaan reaktif, maka konfirmasi lebih lanjut, spesimen
dikirim ke laboratorium rujukan (B/BLK, Labkesda, laboratorium rumah
sakit, dan lain-lain) untuk pemeriksaan EIA (Enzyme Immunoassay)/CLIA
(Chemiluminescent Immunoassay). Pengiriman spesimen ke laboratorium
rujukan disertai dengan Form 9D.
g) Bila hasil pemeriksaan dengan EIA/CLIA dari laboratorium rujukan
reaktif, maka pasien dirujuk ke rumah sakit yang mampu melaksanakan
tatalaksana hepatitis B dan/atau C yang ditunjuk oleh dinas kesehatan
provinsi.
h) Selain pemeriksaan hepatitis B, ibu hamil juga ditawarkan pemeriksaan
HIV dan syphilis (apabila di puskesmas/klinik telah tersedia layanan
untuk pemeriksaan HIV dan syphilis).
i) Prosedur pemeriksan HIV dan syphilis sesuai ketentuan Kemenkes RI
(Subdit HIV AIDS dan Penyakit Infeksi Menular Seksual, Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Ditjen P2P).

43
2) Deteksi dini pada petugas dan pelajar/mahasiswa kesehatan (kebidanan,
keperawatan, analis, kedokteran)
a) Pelaksanaan kegiatan dimulai di poli umum atau tempat lainnya yang
telah ditentukan oleh puskesmas.
b) Petugas melakukan wawancara untuk pengisian data yang diperlukan
dengan menggunakan form 10B dan penandatanganan informed consent.
c) Pengisian Form 10C oleh petugas dan pengambilan sampel darah.
d) Pemeriksaan laboratorium terdiri dari pemeriksaan hepatitis B dan
hepatitis C, mengunakan Rapid Test.
e) Bila hasil pemeriksaan hepatitis B dan/atau C reaktif, maka konfirmasi
lebih lanjut, spesimen dikirim ke laboratorium rujukan (B/BLK, Labkesda,
laboratorium rumah sakit, dan lain-lain) untuk pemeriksaan imunologi.
Pengiriman spesimen ke laboratorium rujukan disertai dengan Form 10D.
f) Petugas pelaksana adalah petugas kesehatan di puskesmas yang terlibat
dalam pelayanan di poli umum, seperti petugas pendaftaran,
dokter/perawat di poli umum, konselor, dan analis.

3) Deteksi dini pada kelompok masyarakat berisiko tinggi lainnya


a) Kelompok masyarakat lainnya yang menjadi sasaran (selain ibu hamil,
petugas dan mahasiswa/pelajar kesehatan) yang datang atau dirujuk ke
puskesmas, ditawarkan untuk pemeriksaan hepatitis B dan C.
b) Untuk pasien umum ditawarkan juga pemeriksaan hepatitis B dan C
apabila hasil anamnesis menunjukkan adanya faktor risiko tertular atau
menularkan hepatitis B dan C.
c) Pelaksanaan kegiatan dimulai di poli umum atau tempat lainnya yang
telah ditentukan oleh puskesmas/poliklinik/fasyankes.
d) Petugas melakukan wawancara untuk pengisian data yang diperlukan
dengan menggunakan Form 10B dan penandatanganan informed consent.
e) Pengisian Form 10C dan pengambilan sampel darah di laboratorium
puskesmas.
f) Pemeriksan laboratorium terdiri dari pemeriksaan hepatitis B dan
hepatitis C, menggunakan Rapid Test.
g) Bila hasil pemeriksaan hepatitis B dan/atau C reaktif, maka konfirmasi
lebih lanjut, spesimen dikirim ke laboratorium rujukan (B/BLK, Labkesda,
laboratorium rumah sakit, dan lain-lain) untuk pemeriksaan EIA/CLIA.
Pengiriman spesimen ke laboratorium rujukan disertai dengan Form 10D.
h) Petugas pelaksana adalah petugas kesehatan di puskesmas yang terlibat
dalam pelayanan di poli umum, seperti petugas pendaftaran, dokter/
perawat di poli umum, konselor, dan analis.

B. Penanganan Hasil Deteksi Dini Hepatitis B dan C

1. Ibu hamil
a. Bila hasil pemeriksaan konfirmasi dari laboratorium rujukan hepatitis B reaktif,
maka klien dirujuk ke rumah sakit terdekat yang telah mampu melakukan
tatalaksana hepatitis B dan C.
44
b. Penanganan selanjutnya sesuai SOP rumah sakit dalam melakukan tatalaksana
hepatitis B dan C.
c. Pembiayaan pengobatan menggunakan BPJS/asuransi lainnya atau mandiri
d. Hasil pemeriksaan, penanganan dan rekomendasi tim ahli di rumah sakit
rujukan dikirim ke puskesmas yang merujuk untuk umpan balik (feedback).
e. Bila hasil deteksi dini hepatitis B di puskesmas non-reaktif, maka ibu hamil
tersebut dianjurkan pemeriksaan anti-HBs untuk mengetahui ada tidaknya
antibodi.
f. Bila hasil pemeriksaan HBsAg dan anti-HBs non-reakif, maka dianjurkan
vaksinasi hepatitis B sebanyak 3 kali secara mandiri.

2. Penanganan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan hepatitis B reaktif


a. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang hepatitis B (HBsAg) reaktif, maka diberikan
Hepatitis B Immunoglobulin (HBIg), vitamin K, vaksinasi hepatitis B hari ke-0
(HB-0) kurang dari 24 jam setelah kelahiran, diikuti vaksinasi hepatitis B
berikutnya sesuai jadwal program imunisasi nasional.
b. Setelah bayi berusia di atas 9 bulan, maka dilakukan pemeriksaan HBsAg dan
anti-HBs.

3. Penanganan bayi yang dilahirkan dari Ibu dengan hepatitis B non-reaktif


Bayi yang dilahirkan dari ibu dengan hepatitis B non-reaktif, maka diberikan
vitamin K dan HB-0 kurang dari 24 jam setelah kelahiran, diikuti vaksinasi hepatitis
B berikutnya sesuai jadwal program imunisasi nasional.

4. Penanganan pada kelompok masyarakt (populasi) lainnya


a. Bila hasil konfirmasi menunjukkan hepatitis B reaktif, maka dirujuk ke rumah
sakit rujukan.
b. Penanganan selanjutnya sesuai SOP rumah sakit dalam melakukan tatalaksana
hepatitis B dan C.
c. Pembiayaan menggunakan BPJS/asuransi lainnya atau mandiri
d. Hasil pemeriksaan, penanganan dan rekomendasi tim ahli di rumah sakit
rujukan dikirim ke puskesmas yang merujuk untuk umpan balik.
e. Bila hasil deteksi dini hepatitis B di puskesmas non-reaktif, maka dilanjutkan
untuk melakukan pemeriksaan anti-HBs untuk mengetahui ada tidaknya
antibodi.
f. Bila hasil pemeriksaan HBsAg dan anti-HBs non-reakif, maka dianjurkan
vaksinasi hepatitis B sebanyak 3 kali.

45
BAB VIII

PENANGANAN HEPATITIS DAN PENYAKIT INFEKSI SALURAN PENCERNAAN

A. Penanganan Hepatitis

1. Pengobatan hepatitis B akut


Sebesar 95% pasien hepatitis akut dewasa akan mengalami resolusi dan
serokonversi spontan tanpa pengobatan antiviral. Untuk itu, pengobatan umumnya
bersifat tidak spesifik, terutama meningkatkan daya tahan tubuh (istirahat dan
makan makanan yang bergizi). Rawat inap hanya diperlukan bila pasien tidak dapat
makan dan minum serta terjadi dehidrasi berat. Pada pasien dengan hepatitis akut
fulminan, pemberian antiviral seperti lamivudin bisa memperpendek fase
simptomatik dan mempercepat perbaikan klinis dan biokimia, namun tidak
mencegah perkembangan hepatitis B akut menjadi hepatitis B kronik.

2. Pengobatan hepatitis B kronik

a. Indikasi pengobatan
Pengobatan pada pasien hepatitis B kronik adalah sesuatu yang harus betul-
betul dipertimbangkan dengan matang. Beberapa faktor yang diketahui
mempengaruhi hasil akhir pengobatan dan dijadikan indikator memulai
pengobatan adalah:

1) Nilai DNA VHB serum


Nilai DNA VHB merupakan salah satu indikator mortalitas dan morbiditas
yang paling kuat untuk hepatitis B. Banyak studi telah membuktikan bahwa
nilai DNA VHB serum yang tinggi (>2.000 IU/mL) adalah prediktor sirosis
dan KHS yang kuat. Oleh karena itu, penggunaan kadar DNA VHB sebagai
indikasi memulai pengobatan dan sebagai tujuan akhir pengobatan
merupakan hal yang sangat penting.

2) Status HBeAg
Status HBeAg pasien telah diketahui memiliki peranan penting dalam
prognosis pasien dengan hepatitis B kronik. Beberapa panduan yang ada
telah mencoba membedakan indikasi pengobatan hepatitis B berdasarkan
status HBeAg, dengan pasien HBeAg negatif diindikasikan memulai
pengobatan pada kadar DNA VHB yang lebih rendah.

3) Nilai ALT serum


Kadar ALT serum telah lama dikenal sebagai penanda kerusakan hati, namun
kadar ALT yang rendah juga menunjukkan bahwa pasien berada pada fase IT
dan akan mengalami penurunan respons pengobatan. Telah banyak
penelitian yang menunjukkan bahwa respons obat yang lebih baik dapat
ditemukan pada pasien dengan ALT yang meningkat.
46
4) Derajat kerusakan hati pada pemeriksaan histopatologis (biopsi).
Adanya tingkat kerusakan histologis yang tinggi juga merupakan prediktor
respons yang baik pada pasien dengan hepatitis B. Namun, mengingat
tindakan ini bersifat invasif, penggunaannya sebaiknya hanya pada pasien
yang memiliki risiko tinggi KHS atau pada populasi tertentu.

Pemeriksaan awal pada semua pasien yang dicurigai menderita hepatitis B


adalah pemeriksaan HBsAg. Pasien dapat dikelompokkan berdasarkan status
HBeAg-nya menjadi pasien hepatitis B kronik HBeAg positif atau HBeAg
negatif. Pasien HBeAg positif dapat dikelompokkan lagi menjadi 2
berdasarkan status DNA VHB-nya. Pasien yang memiliki DNA VHB <2 x 104
IU/mL dan memiliki kadar ALT normal tidak memerlukan pengobatan
apapun. Pasien cukup menjalani pemantauan DNA VHB, HBeAg, dan ALT
rutin setiap 3 bulan.

Demikian pula pasien yang memiliki kadar DNA VHB ≥ 2 x 104 IU/mL harus
dipertimbangkan untuk mendapat pengobatan bila nilai ALT-nya lebih besar
dari 2 kali batas atas normal. Pasien dengan kadar DNA VHB tinggi dan ALT
di bawah 2 kali batas atas normal tidak memerlukan pengobatan dan cukup
menjalani pemantauan DNA VHB, HBeAg, dan ALT rutin setiap 3 bulan.
Pasien-pasien ini berada pada fase IT sehingga pengobatan tidak akan efektif.
Pada pasien-pasien ini, pemeriksaan biopsi hati atau pemeriksaan fibrosis
non invasif harus dipertimbangkan pada semua pasien yang berusia ≥30
tahun atau pasien yang berusia <30 tahun namun memiliki riwayat KHS atau
sirosis dalam keluarga.

Bila pada pemeriksaan ini ditemukan adanya inflamasi derajat sedang atau
lebih, maka pengobatan diindikasikan. Pasien yang memiliki kadar DNA VHB
tinggi dan kadar ALT 2-5 kali batas atas normal yang menetap selama lebih
dari 3 bulan atau memiliki risiko dekompensasi hati harus mendapat
pengobatan.

Pemberian pengobatan juga dianjurkan pada pasien dengan DNA VHB tinggi
dan ALT di atas 5 kali batas atas normal. Namun pada pasien di kelompok
terakhir ini, bila DNA VHB masih di bawah 2 x 105 IU/mL dan tidak
ditemukan tanda dekompensasi hati, maka pengobatan bisa ditunda 3-6
bulan untuk memantau munculnya serokonversi HBeAg spontan.

Semua pasien yang berada dalam kelompok indikasi pengobatan ini diduga
berada di fase IC sehingga pengobatan bisa memberikan hasil optimal. Pada
pasien yang memberikan respons baik terhadap pengobatan, pemantauan
lebih lanjut masih tetap perlu dilakukan, sementara pada pasien yang tidak
respons, penggantian ke strategi pengobatan lain harus dipertimbangkan.

47
Prinsip tatalaksana pada kelompok pasien dengan HBeAg negatif hampir
sama dengan pada pasien dengan HBeAg positif, namun batasan DNA VHB
yang digunakan lebih rendah, yaitu 2 x 103 IU/mL. Pasien yang memiliki DNA
VHB <2 x 103 IU/mL dan memiliki kadar ALT normal tidak memerlukan
pengobatan apapun dan cukup menjalani pemantauan DNA VHB dan ALT
rutin setiap 6 bulan. Demikian pula pasien dengan kadar DNA VHB ≥2 x 103
IU/mL dan ALT di bawah 2 kali batas atas normal tidak memerlukan
pengobatan dan cukup menjalani pemantauan DNA VHB dan ALT rutin setiap
6 bulan.

Pada pasien-pasien ini, berdasarkan konsensus Perhimpunan Peneliti Hati


Indonesia (PPHI) 2012, pemeriksaan biopsi hati atau pemeriksaan fibrosis
non-invasif harus dipertimbangkan pada semua pasien yang berusia ≥30
tahun atau pasien yang berusia <30 tahun namun memiliki riwayat KHS atau
sirosis dalam keluarga.

Bila pada pemeriksaan ini ditemukan adanya inflamasi derajat sedang atau
lebih, maka pengobatan diindikasikan.Pasien yang memiliki kadar DNA VHB
tinggi dan kadar ALT di atas 2 kali batas atas normal yang menetap selama
lebih dari 3 bulan atau memiliki risiko dekompensasi harus mendapat
pengobatan. Pada pasien yang memberikan respons baik terhadap
pengobatan, pemantauan lebih lanjut masih tetap perlu dilakukan, sementara
pada pasien yang tidak respons, penggantian ke strategi pengobatan lain
harus dipertimbangkan.

Pasien-pasien hepatitis B kronik yang memiliki risiko KHS yang tinggi juga
harus menjalani pemantauan (surveilans) KHS setiap 6 bulan sekali. Pasien
yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi mencakup laki-laki ras Asia
dengan usia>40 tahun, perempuan ras Asia dengan usia >50 tahun, pasien
dengan sirosis hati, dan pasien dengan riwayat penyakit hati lanjut di
keluarga. Surveilans ini dilakukan dengan melakukan pemeriksaan AFP dan
USG hati secara berkala.

Pengobatan pada pasien hepatitis B kronik dengan sirosis sedikit berbeda


dari kelompok yang belum sirosis. Pada pasien dengan sirosis kompensata,
indikasi pengobatan masih ditentukan kadar DNA VHB. Pasien dengan kadar
DNA VHB <2 x 103 IU/mL tidak perlu dipengobatan dan cukup menjalani
pemantauan DNA VHB, HBeAg, dan ALT rutin setiap 3-6 bulan. Sebaliknya,
pasien yang memiliki kadar DNA VHB ≥2 x 103 IU/mL harus mendapat
pengobatan.

Pilihan jenis pengobatan pada pasien hepatitis B kronik dengan sirosis


kompensata ditentukan oleh kadar ALT pasien. Pada pasien yang memiliki
kadar ALT <5 kali batas atas normal, pemberian pengobatan interferon
maupun analog nukleos(t)ida sama-sama bisa dipertimbangkan. Namun pada
pasien dengan ALT ≥5 kali batas atas normal, pengobatan interferon tidak
48
bisa diberikan sehingga pilihan yang tersisa hanya analog nukleos(t)ida. Pada
pasien hepatitis B kronik yang mengalami sirosis dekompensata, pengobatan
antiviral harus segera diberikan tanpa memandang kadar DNA VHB ataupun
ALT. Interferon dikontraindikasikan pada kondisi ini, sehingga pilihan yang
tersedia tinggal analog nukleos(t)ida. Pengobatan suportif sirosis lain juga
harus diberikan dan transplantasi hati bisa dipertimbangkan.

b. Pilihan pengobatan
Dengan pilihan yang dimiliki saat ini, eradikasi virus secara total dari tubuh
masih belum bisa dilakukan. Kalaupun virus berhasil ditekan jumlahnya dalam
darah, DNA virus masih dapat ditemukan di dalam sel hati dalam kondisi
dorman. DNA ini bisa mengalami reaktivasi di kemudian hari.

Target serokonversi HBsAg, walau memberikan nilai prognosis yang sangat baik,
juga sangat sulit dicapai. Oleh karena itu, pengobatan pada hepatitis B kronik
ditujukan untuk menekan progresivitas penyakit ke arah sirosis atau KHS.
Dengan pengobatan saat ini, walaupun eradikasi virus tidak bisa dilakukan,
pasien hepatitis B bisa bebas dari sirosis atau KHS seumur hidupnya. Inilah
mengapa pengobatan sebaiknya disarankan pada setiap pasien yang memiliki
indikasi.

Pemilihan pengobatan yang paling sesuai dengan pasien adalah hal yang perlu
diperhatikan sebelum memulai pengobatan. Sampai saat ini terdapat setidaknya
2 jenis obat hepatitis B yang diterima secara luas, dengan kekurangan dan
kelebihan masing-masing, yaitu :
1) Pengobatan Interferon
Pengobatan dengan interferonhanya diberikan dalam jangka maksimal 1
tahun. Pengobatan dengan interferon selama 1 tahun secara umum lebih baik
dalam hal serokonversi HBeAg dan HBsAg daripada pengobatan analog
nukleos(t)ida yang diberikan pada durasi yang sama.
2) Pengobatan Analog Nukleos(t)ida
Pengobatan dengan analog nukleos(t)ida secara umum memiliki efektivitas
yang cukup baik, walau pada pemakaian 1 tahun efektivitas beberapa jenis
analog nukleos(t)ida masih kurang baik daripada interferon. Namun
penggunaan analog nukleos(t)ida jangka panjang memiliki efektivitas yang
sebanding atau bahkan lebih baik daripada interferon. Bila dibandingkan
dengan interferon, pengobatan analog nukleos(t)ida memiliki kelebihan
berupa ringannya efek samping dan cara pemberian yang oral. Obat jenis ini
juga bisa digunakan pada pasien yang mengalami penyakit hati lanjut.

Pada prinsipnya, pengobatan analog nukleos(t)ida harus diteruskan sebelum


tercapai indikasi penghentian pengobatan atau timbul kemungkinan
resistensi dan gagal pengobatan (lihat bagian kegagalan pengobatan). Namun
khusus untuk pasien dengan fibrosis hati lanjut, pengobatan analog
nukleos(t)ida harus diberikan seumur hidup.

49
c. Sistem rujukan
Sistem rujukan nasional untuk pasien dengan hepatitis B didesain melibatkan
seluruh komponen kesehatan yang ada di masyarakat Indonesia, dimulai dari
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sebagai garda terdepan hingga
rumah sakit rujukan. Sistem rujukan nasional memungkinkan tatalaksana
hepatitis B yang adekuat sesuai dengan indikasi, memantau pengobatan dan
progresifitas penyakit, mencegah terjadinya perburukan kondisi, dan mencegah
terjadinya resistensi. Setiap komponen memiliki tugas dan tanggung jawab yang
berbeda untuk menjamin terlaksananya tujuan dibentuknya sistem rujukan
nasional.

1) Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)


Sebagai lini terdepan, FKTP memiliki tugas untuk melakukan pemeriksaan
HBsAg pada kelompok dengan risiko tinggi maupun pasien dengan tanda dan
gejala klinis yang sesuai. Dokter umum bertugas pada sistem rujukan ini.
Apabila pasien memiliki hasil pemeriksaan HBsAg positif, pasien kemudian
segera dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam di Rumah Sakit Umum
Daerah tipe B/C. FKTP tidak menyediakan obat-obatan antivirus untuk
pengobatan hepatitis B. Pemeriksaan laboratorium yang lebih lengkap
dilakukan pada institusi kesehatan yang lebih tinggi (Fasilitas Kesehatan
Tingkat Sekunder/FKTS)

2) Fasilitas Kesehatan Tingkat Sekunder.


Fasilitas Kesehatan Tingkat Sekunder diperlengkapi dengan pemeriksaan
penunjang yang lebih lengkap dan beberapa jenis obat antivirus untuk
memberikan tatalaksana kepada pasien hepatitis B yang dirujuk oleh FKTP.
Pemeriksaan penunjang yang wajib disediakan oleh FKTS adalah: 1) USG; 2)
Biopsi hati; 3) AFP; dan 4) Pemeriksaan Laboratorium (ALT, HbeAg, Anti-
Hbe, HbsAg)

Pemeriksaan DNA VHB kuantitatif dilakukan dengan melibatkan


laboratoriumyang terdapat di tiap provinsi. Darah pasien diambil di FKTS ini,
kemudian dikirimkan sesuai dengan 28 protokol pengiriman sampel. Dokter
spesialis penyakit dalam diperbolehkan melakukan tatalaksana pada pasien
dengan syarat hasil pemeriksaan HBeAg positif dan nilai DNA VHB yang
rendah (2 x 104 IU/mL – <2 x 108 IU/mL) pada pemeriksaan prapengobatan.

Pemberian pegylated interferon hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis


penyakit dalam konsultan gastroenterohepatologi di Fasilitas Kesehatan
Tingkat Tersier (FKTT). Tidak ada obat antivirus yang disediakan untuk anak
pada FKTS ini.

3) Fasilitas Kesehatan Tingkat Tersier


Fasilitas Kesehatan Tingkat Tersier (FKTT) memiliki obat antivirus dan
pemeriksaan yang lebih lengkap dibandingkan dengan FKTS. Pasien dewasa
dirujuk dari FKTS apabila terdapat resistensi, memerlukan pengobatan
50
pegylated interferon, nilai HBeAg negatif, atau nilai DNA VHB yang tinggi (≥2
x 108 IU/mL) pada pemeriksaan prapengobatan. Pada anak, pasien dirujuk
ke FKTT dan untuk mendapatkan pemeriksaan biopsi dan tatalaksana sesuai
indikasi apabila terdapat peningkatan ALT lebih dari 2 kali lipat batas atas
normal pada pemeriksaan laboratorium di FKTS. Seluruh pemeriksaan pada
FKTS dan pemeriksaan DNA VHB kuantitatif tersedia pada FKTS ini. Pada
FKTS ini, dokter spesialis penyakit dalam konsultan gastroenterohepatologi
dan dokter spesialis anak konsultan gastroenterohepatologi bertanggung
jawab dalam melakukan pemeriksaan dan tatalaksana terhadap pasien
hepatitis B yang dirujuk dari FKTS.

3. Pengobatan hepatitis C
Pengobatan hepatitis C lebih tertuju pada hepatitis C kronik karena seringkali
pasien hepatitis C datang ke pusat pelayanan kesehatan sudah dalam fase kronik.
Tujuan pemberian antivirus adalah mencegah munculnya komplikasi penyakit hati
seperti fibrosis, sirosis, karsinoma hepatoselular dan kematian.Target terapi
antivirus adalah pencapaian SVR. Untuk memantau kemungkinan mencapai suatu
SVR perlu dilakukan pemeriksaan HCV RNA secara berkala. Apabila kondisi RVR
tercapai maka dapat diperkirakan 72,5%-100% SVR akan tercapai tanpa
memandang genotipe.

Penelitian yang dilakukan oleh Fried dkk dari 1.383 pasien hepatitis C dengan
genotipe 1-4 yang diberikan terapi Peg-IFN/RBV, 16% pasien dengan genotipe 1
mencapai RVR, 71% pasien dengan genotipe 2 mencapai RVR dan 60% pasien
dengan genotipe 3 mencapai RVR. Faktor prediksi RVR meliputi genotipe, usia,
muatan virus, kadar ALT dan derajat fibrosis.19 Sedangkan, penelitian oleh
Sulkowski dkk., menunjukkan bahwa perbedaan ras juga mempengaruhi pencapaian
SVR. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan tingkat pencapaian SVR pada ras
orang kulit putih mencapai 44%, ras Afrika-Amerika mencapai 22%, ras orang Latin
mencapai 38% dan ras Asia-Amerika mencapai 59%.

Pasien hepatitis C genotipe 1, SVR dapat dicapai pada 46% pengguna Peg-IFNα2a
dan 42% pada pengguna Peg-IFNα2b. SVR dapat dicapai pada 76% pasien genotipe
2 dan sebesar 82% pada pasien genotipe 3 baik dengan menggunakan Peg-IFNα2a
maupun Peg-IFNα2b. Pencapaian SVR di Asia adalah sebesar 70% pada pasien
dengan genotipe 1, 90% pada pasien dengan genotipe 2/3, 65% pada pasien dengan
genotipe 4 dan 80% pada pasien dengan genotipe 6.Pencapaian SVR di Indonesia
adalah sebesar 81,5% pada pasien genotipe 1, 90% pada pasien dengan genotipe
2/3, dan 85,7% pada pasien dengan genotipe 4. Penelitian yang dilakukan oleh Lin
dkk., pada 265 pasien hepatitis C kronik genotipe 1 dan diterapi dengan Peg-
IFN/RBV menunjukkan bahwa tingkat SVR tertinggi ditemukan pada kelompok
pasien dengan usia kurang dari 45 tahun dan tingkat SVR terendah ditemukan pada
kelompok pasien dengan usia lebih dari 65 tahun. Demikian juga penelitian oleh
Marco dkk., yang menganalisis perbedaan jenis kelamin terhadap SVR menunjukkan
pencapaian SVR pada pasien wanita hepatitis C genotipe 1 dengan usia lebih dari 50
tahun didapatkan lebih rendah dibandingkan usia kurang dari 50 tahun.
51
Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa menopause mempengaruhi
pencapaian SVR pada pasien wanita hepatitis C genotipe 1 sedangkan pada pasien
pria hepatitis C genotipe 1 tidak didapatkan hubungan antara usia dengan
pencapaian SVR.

Pemberian terapi antivirus dapat dipertimbangkan bagi pasien hepatitis C kronik


naïve dengan sirosis kompensata tanpa memandang nilai ALT dan tidak memiliki
kontraindikasi terhadap interferon alfa maupun ribavirin. Pasien dengan fibrosis
berat (METAVIR score F3-F4) terapi antivirus sangat dianjurkan untuk segera
diberikan. Pasien dengan fibrosis sedang (METAVIR score F2) maupun fibrosis
ringan pemberian terapi antivirus dapat diberikan dengan mempertimbangkan
manfaat dan risiko pengobatan. Pemberian terapi antivirus pada pasien dengan
sirosis hati kompensata ditujukan untuk mengurangi risiko komplikasi terjadinya
sirosis hati dekompensata dan risiko terjadinya karsinoma hepatoselular.

a. Pengobatan hepatitis C akut


Tatalaksana hepatitis C akut dapat ditunda sampai 8-16 minggu untuk
menunggu terjadinya resolusi spontan terutama pada pasien hepatitis C akut
yang simptomatik. Akan tetapi, pada pasien dengan genotipe IL28B non-CC
pemberian terapi antivirus dapat diberikan lebih awal yaitu 12 minggu karena
kemungkinan terjadinya resolusi spontan lebih rendah. Pemberian monoterapi
dengan Peg-IFN dapat diberikan dalam tatalaksana hepatitis akut. Durasi terapi
hepatitis C akut pada genotipe 1 dilanjutkan selama 24 minggu dan pada
genotipe 2 atau 3 dilanjutkan selama 12 minggu. Penambahan ribavirin tidak
meningkatkan pencapaian SVR pada pasien hepatitis C akut yang sedang diterapi
dengan Peg-IFN.

b. Pengobatan hepatitis C kronik


Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, terapi standar untuk hepatitis C kronik
adalah kombinasi antara Pegylated Interferon-α (Peg-IFNα) dan ribavirin (RBV).
Terapi ini memberikan hasil yang kurang memuaskan pada pasien dengan
genotipe 1 karena hanya 40-50% pasien yang berhasil mencapai sustained
virological response (SVR), sedangkan pada genotipe 2 dan 3 sekitar 80% dapat
mencapai SVR. Kemajuan yang dicapai pada terapi hepatitis C kronik adalah
penemuan agen direct acting antivirus (DAA), yaitu boceprevir (BOC), telaprevir
(TVR), simeprevir, sofosbuvir, dan lain-lain. Terapi Hepatitis C dengan
menggunakan Sofosbovir dengan kombinasi salah satu obat hepatitis C yaitu (
Ribavirin, C boceprevir (BOC), telaprevir (TVR), simeprevir, Daclastavir, dan
lainnya dapat memberikan tingkat kesembuhan yang sangat baik bisa mencapai
>95%. Saat ini obat Sofosbovir dan Simeprevir sudah ada izin registrasinya di
Indonesia.

c. Mekanisme kerja antivirus


Untuk lebih memahami cara kerja dari obat antivirus yang digunakan pada
pengobatan hepatitis C kronik, akan dibahas secara singkat mekanisme kerja
dari masing-masing obat.
52
1) Mekanisme Kerja Pegylated Interferon (Peg-IFN)
Interferon merupakan protein yang dihasilkan oleh tubuh dan bersifat
sebagai imunomodulator. Mekanisme kerja interferon adalah menghambat
berbagai tahap replikasi virus meliputi saat virus masuk dalam sel tubuh,
uncoating, sintesis mRNA dan sintesis protein. Pegylated ditambahkan dalam
formula obat untuk membuat interferon bertahan lebih lama di dalam tubuh.
Manfaat lainnya meliputi penurunan toksisitas, meningkatkan stabilitas obat,
perlindungan terhadap proteolisis dan memperbaiki daya larut. Pemberian
Peg-IFN 1x/minggu juga membantu meningkatkan kepatuhan pasien dan
memberikan kenyaman bagi pasien. Terdapat beberapa tipe Peg-IFN, namun
yang sering digunakan dalam pengobatan hepatitis C adalah Peg-IFN α2a dan
Peg-IFN α2b.

Perbedaan antara Peg-IFN α2a dan Peg-IFN α2b selain strukturnya adalah
waktu paruh absorpsi, waktu paruh eliminasi dan waktu konsentrasi
maksimal ditemukan lebih lama pada Peg-IFN α2b. Beberapa studi
menunjukkan keunggulan Peg-IFN α2a dibandingkan Peg-IFN α2b meskipun
ada juga studi yang menunjukkan tidak adanya perbedaan efektifitas
keduanya dalam terapi hepatitis C kronik.

2) Mekanisme Kerja Ribavirin


Mekanisme kerja ribavirin masih belum sepenuhnya dimengerti. Saat ini
terdapat beberapa hipotesis mengenai mekanisme kerja ribavirin yaitu:
 Menghambat langsung replikasi VHC
 Menghambat enzim inosine monophosphate dehydrogenase pada tubuh
pasien
 Menginduksi mutagenesis RNA virus
 Imunomodulasi melalui induksi sel respons imun T-helper-1 (Th1)
 Ribavirin cepat diabsoprsi (waktu paruh sekitar 2 jam) dan didistribusikan
secara luas ke seluruh tubuh setelah pemberian oral, metabolisme utama
terjadi di ginjal.

3) Mekanisme Kerja DAA1


Standar terapi dalam tatalaksana hepatitis C kronik adalah kombinasi Peg-
IFN dan Ribavirin. Seiring dengan berkembangnya penemuan direct acting
antiviral (DAA), untuk meningkatkan angka keberhasilan pencapaian SVR
pada genotipe 1, pada tahun 2011 FDA merekomendasikan penggunaan
triple therapy menggunakan Peg-IFN+RBV dengan boceprevir/telaprevir.
Sampai saat ini terdapat lebih dari 30 DAA antara lain sofosbuvir, simeprevir,
daclatasvir, ledipasvir dll

Sofosbuvir (Sovaldi®) adalah suatu analog NS5B nucleotide polymerase


inhibitor.Sofosbuvir bekerja menghambat kerja enzim RNA polymerase yang
dibutuhkan virus hepatitis C untuk bereplikasi. Dibandingkan dengan DAA

53
pendahulunya, sofosbuvir memiliki efek samping yang lebih sedikit, durasi
terapi yang lebih pendek, dan efektifitas lebih baik.

Gane et al. melakukan sebuah studi pada 95 pasien hepatitis C genotipe 1, 2, 3


naïve dan genotipe 1 yang null responders. Kemudian pasien tersebut dibagi
menjadi 8 kelompok (monoterapi sofosbuvir, sofosbuvir + RBV dengan atau
tanpa Peg-IFN selama 8 atau 12 minggu). Hasil studi tersebut menunjukkan
100% pasien genotipe 2, 3 naïve yang diterapi dengan sofosbuvir + RBV
mencapai SVR, 84% pasien genotipe 1 naïve mencapai SVR. Akan tetapi pada
pasien genotipe 1 null responders pencapaian SVR hanya 10% sehingga dapat
disimpulkan bahwa pasien genotipe 2, 3 naïve dapat sembuh sempurna
dengan pemberian sofosbuvir + RBV selama 12 minggu.

d. Terapi menggunakan Sofosbuvir dan kombinasinya


Pada bulan Desember 2013, FDA menyetujui penggunaan sofosbuvir sebagai
DAA pertama yang dapat digunakan sebagai terapi pada seluruh genotipe
hepatitis C kronik. Dosis sofosbuvir 1 x 400 mg/hari dalam kombinasinya
dengan ribavirin atau Peg-IFN. Pada gangguan ginjal ringan-sedang tidak
diperlukan penyesuaian dosis sofosbuvir akan tetapi tidak diperbolehkan pada
pasien dengan gangguan ginjal berat (eGFR <30 ml/menit/1.73m2).

Pengaturan penggunaan Sofosbuvir dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaturan Penggunaan Sofosbuvir untuk Terapi Heptitis C Kronik


Genotipe Regimen terapi Durasi Terapi
 Genotipe 1 atau 4 Peg-IFN + RBV + SOF 12 minggu
 Genotipe 1 RBV + SOF 24 minggu
(kontraindikasi IFN)
 Genotipe 2 RBV + SOF 12 minggu
 Genotipe 3 RBV + SOF 24 minggu
 Genotype 1 sd 4 SOF+Ledipasvir 13 minggu

B. Penanganan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan

1. Penanganan diare

a. Pengobatan diare
Pengobatan diare pada prinsipnya adalah melakukan rehidrasi oral terhadap
cairan yang keluar melalui diare atau muntah yang terjadi saat menderita diare.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengembangkan pola pengobatan diare
pada anak menggunakan pola Plan A, B, dan C.

Pola Plan A merupakan rehidrasi yang dilakukan pada saat diare dengan atau
tanpa dehidrasi ringan (dapat dilakukan dengan rehidrasi oral). Plan B adalah
54
rehidrasi pada penderita dengan rehidrasi ringan sampai sedang (dapat
dilakukan dengan rehidrasi oral dan/atau intravena bila diperlukan), dan Plan C
merupakan rehidrasi pada penderita diare dengan rehidrasi berat (dilakukan
dengan rehidrasi intravena).

b. Layanan Rehidrasi Oral Aktif


Layanan Rehidrasi Oral Aktif (LROA) merupakan salah satu bentuk layanan di
puskesmas yang didirikan sebagai upaya dalam meningkatkan pengetahuan,
serta membangun sikap dan perilaku positif masyarakat (orang tua, pengasuh
anak, kader, anggota PKK, karang taruna, dan lain-lain) tentang diare, pecegahan
dan penaggulangannya. Sedangkan Aktif, yaitu aktif memberikan layanan
kepada orang tua/pengasuh balita yang berkunjung ke puskesmas.

Definisi operasional LROA adalah salah satu ruangan (tempat) di puskesmas


yang melakukan paling tidak salah satu dari beberapa kegiatan secara terus
menerus 3 bulan terakhir dalam periode pelaporan tahun berjalan, yang
dibuktikan dengan adanya data/laporan hasil pelaksanaan kegiatan.

1) Kebijakan Layanan Rehidrasi Oral Aktif


Kebijakan Layanan Rehidrasi Oral Aktif dalam tatalaksana Diare:
a) Layanan Rehidrasi Oral Aktif merupakan salah satu indikator kinerja
pengendalian diare di kabupaten/kota.
b) Layanan Rehidrasi Oral Aktif di laksanakan di puskesmas sebagai upaya
untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat dalam
pencegahan dan penanggulangannya diare.
c) Layanan Rehidrasi Oral Aktif dilakukan dengan cara observasi penderita
diare.

2) Strategi Layanan Rehidrasi Oral Aktif


a) Meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat dalam
pencegahan dan penanggulangan diare.
b) Mendorong dan memfasilitasi pengembangan potensi dan peran serta
masyarakat dalam penyebarluasan informasi kepada masyarakat tentang
pencegahan dan penanggulangan diare..
c) Meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan dalam melaksanakan
Layanan Rehidrasi Oral Aktif.
d) Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang
berkualitas melalui peningkatan sumber daya manusia, penguatan
institusi, dan standarisasi pelayanan.

3) Fungsi Layanan Rehidrasi Oral Aktif


Layanan Rehidrasi Oral Aktif berfungsi:
a) Peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat tentang diare,
dan upaya pencegahan dan penanggulangannya.
b) Promosi upaya rehidrasi oral

55
c) Pemberian pelayanan bagi penderita diare (yang mengalami dehidrasi
ringan- sedang), diobservasi di Layanan Rehidrasi Oral Aktif paling
sedikit selama 3 jam; orang tua/pengasuh/keluarganya akan diajarkan
bagaimana cara penyiapan oralit dan berapa banyak oralit yang harus
diminum oleh penderita.
d) Sosialisasi dan peningkatan kapasitas masyarakat tentang diare dan
upaya pencegahan dan penanggulangannya.

2. Penanganan demam tifoid


Diagnosis demam tifoid dapat dibuat pada semua tingkatan pelayanan, hal ini perlu
untuk mendapatkan pengobatan dini. Diagnosis dapat dibuat berdasarkan
anamnesa (riwayat penyakit), temuan klinis, pemeriksaan laboratorium dan
tambahan pemeriksaan penunjang lainnya tergantung tingkatan pelayanan
kesehatan.

a. Diagnosis klinis
Diagnosis klinis adalah kegiatan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
mendapatkan sindrom klinis demam tifoid. Berbagai gejala klinis yang sering
ditemukan pada demam tifoid, adalah :
 Demam  Gangguan gastro intestinal
 Sakit kepala  Insomnia
 Kelemahan umum  Hepatomegali
 Nausea  Splenomegali
 Nyeri abdomen  Bradikardi relatif
 Anoreksia  Kesadaran menurun/berubah
 Muntah  Diare/obstipasi

Sesuai dengan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dan tingkat perjalanan
penyakit demam tifoid, maka diagnosis demam tifoid diklasifikasikan:

1) Probable case (kasus mungkin demam tifoid )


Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam,
gangguan saluran cerna, gangguan pola buang air besar, dan
hepato/spenomegali. Sindrom demam tifoid yang didapatkan belum lengkap.
Diagnosis probable case hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar
(puskesmas/dokter keluarga).

2) Possible case
Telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta didukung
oleh gambaran laboratorium dan serologi yang menyokong demam tifoid
(titer Widal O>1/160 atau H>1/160 satu kali pemeriksaan atau Tubex® atau
IgM). Diagnosis ini dibuat pada fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut I
dan II (RS tipe D/C, dan B)

56
3) Definite case
Diagnosis pasti, ditemukan S. typhi pada pemeriksaan biakan atau positif S.
typhi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titer Widal empat (4)
kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer Widal O>1/320,
H>1/640 (pada pemeriksaan sekali). Diagnosis ini dibuat pada fasilitas
kesehatan rujukan tingkat lanjut III (RS tipe A).

b. Penanganan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

1) Kriteria rawat jalan


Pasien pada awal demam (demam kurang dari 5 hari) tanpa disertai gejala
klinis yang berat, penurunan kesadaran, tidak dapat makan dan minum,
terdapat tanda-tanda komplikasi, dan komorbid yang membahayakan.

2) Kriteria rawat inap


Pasien yang belum ada perbaikan setelah 3 hari menjalani rawat jalan.

3) Pengobatan
a) Antibiotik
Pilihan antibiotik, antara lain:
 Kloramfenikol, 4 x 500mg/hari, selama 14 hari
 Kotrimoksazol, 2 x (160-800mg)/hari, selama 14 hari
 Amoksisilin, 3-4 x 1000mg/hari, selama 14 hari
 Ciprofloxacin 2 x 500 mg/hari, selama 7 hari.
b) Obat-obat simptomatik dan roboransia
c) Istirahat dan pentahapan mobilitas
d) Diet (bubur/nasi biasa).

4) Rujukan
Pasien dirujuk apabila:
a) Pasien dengan disertai gejala klinis yang berat, penurunan kesadaran,
tidak dapat makan dan minum, terdapat tanda-tanda komplikasi, dan
komorbid yang membahayakan
b) Telah mendapat pengobatan selama 5 hari, namun belum ada perbaikan.
Apabila kondisi pasien memburuk yang ditandai dengan penurunan tanda
vital dan semakin tingginya demam, dan nyeri ulu hati makin hebat
c) Demam tifoid dengan tanda-tanda kedaruratan
d) Demam tifoid dengan tanda-tanda komplikasi dan fasilitas tidak
memadai.

5) Perawatan mandiri di rumah


Syarat untuk pasien :
a) Pasien dengan demam kurang dari 5 hari serta gejala klinis yang ringan,
tidak ada tanda-tanda komplikasi serta tak ada komorbid yang
membahayakan.
b) Pasien dengan kesadaran baik dan dapat makan dan minum
57
c) Pasien dengan keluarga cukup mengerti tentang cara-cara merawat serta
cukup paham tentang petanda bahaya yang akan timbul dari demam
tifoid.
d) Keluarga pasien memiliki atau dapat melaksanakan sistem pembuangan
ekskreta (feses, urin, muntahan) yang memenuhi syarat kesehatan
e) Pasien dengan keluarga yang dapat mengikuti program pengobatan yang
diberikan.

c. Tatalaksana di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut I (RS Tipe D/C)


1) Pengobatan/perawatan pasien demam tifoid di rumah sakit terdiri dari
pengobatan medikamentosa, pengobatan suportif meliputi istirahat dan diet,
dan pengobatan komplikasi.
a) Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari
bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari.
b) Mobilisasi dilakukan bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
Pilihan antibiotik selain Kloramfenikol, Kotrimoksazol, Amoksisilin,
antara lain adalah Seftriakson, dan Cyprofloxacin intra vena.

2) Diet dan terapi penunjang dilakukan dengan: pertama, pasien diberikan


bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat
kesembuhan pasien.

Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat


dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan
serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga perlu diberikan vitamin dan
mineral untuk mendukung keadaan umum pasien.

d. Tatalaksana di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut II (RS Tipe B/A)


Level Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut II dan III telah memiliki
fasilitas dan SDM yang mencukupi, sehingga menjadi pusat rujukan fasilitas
pelayanan kesehatan lain di daerah.

Fasilitas Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut II dan III seharusnya telah
melaksanakan kegiatan surveilans dan penelitian secara berkesinambungan,
sehingga telah dapat ditentukan gambaran morbiditas, mortalitas, resistensi dan
karier di daerah masing-masing pelayanan kesehatan tersebut (Kepmenkes No.
364 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid).

e. Tatalaksana demam tifoid pada anak


1) Medikamentosa
a) Antipiretik bila suhu tubuh >38,5°C
b) Anti inflamasi (kortikosteroid) dianjurkan pada demam tifoid berat.
Dexametason digunakan pada demam tifoid berat dengan perubahan
status mental atau syok. Dexametason 3mg/kgBB/kali (1x) IV,

58
dilanjutkan 1mg/kgBB/kali, setiap 6 jam (penggunaan lebih dari 48 jam
akan meningkatkan angka relaps).
c) Antibiotik (berturut-turut sesuai lini pengobatan).
 Lini pertama
- Kloramfenikol (drug of choice) 100 mg/kgBB/hari, oral atau IV, dibagi
dalam 4 dosis selama 10-14 hari. Kontraindikasi pada leukosit
<2000/µl . Dosis maksimal 2gram/hari, atau
- Amoksisilin 150-200 mg/kgBB/hari, oral atau IV selama 14 hari
- Kotrimoksazol (Trimetoprim-Sulfametoksazol/TMP-SMX) 4 mg/
kgBB/kali, selama 10 hari.
 Multidrug resistence S. typhi
- Seftriakson 80 mg/kgBB/hari IV selama 5 hari
- Sefixime 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 2 kali sehari per oral
 Karier S. typhi (S. typhi tetap ada dalam urin atau feses selama lebih dari
6-12 bulan):
- Ampisilin 100 mg/kgBB/hari, 4 x/hari, atau
- Kotrimoksazol 4-20 mg/kgBB/hari, 2x/hari selama 6-12 minggu.

2) Tindakan bedah
Tindakan bedah perlu dilakukan segera bila terdapat perforasi usus.
Konsultasi Bedah Anak bila dicurigai komplikasi perforasi usus.

f. Pencegahan perorangan
1) Higiene perorangan dan sanitasi lingkungan
2) Demam tifoid ditularkan melalui rute oro-fekal, maka pencegahan utama
memutuskan rantai penularan tersebut dengan meningkatkan higiene
perorangan dan sanitasi lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum dan
sesudah makan, penyediaan air bersih, dan pengamanan pembuangan limbah
feses.
3) Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien demam
tifoid, terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB), dan untuk turis yang bepergian ke
daerah endemik.

3. Hepatitis A

a. Diagnosis
Penegakkan diagnosis disamping berdasarkan gejala dan tanda klinis (kadang-
kadang tidak muncul), juga hasil pemeriksaan anti-HAV IgM serum penderita.
Pemeriksaan anti-HAV IgM merupakan deteksi adanya antibodi IgM terhadap
virus hepatitis A. Antibodi ini akan terdeteksi ketika timbul gejala, dan akan
menetap selama 3-6 bulan setelah infeksi terjadi.

b. Penanganan penderita, kontak dan lingkungan sekitar


1) Pengobatan: tidak spesifik, terutama meningkatkan daya tahan tubuh
(istirahat dan makan makanan yang bergizi), rawat inap hanya diperlukan
bila penderita tidak dapat makan dan minum serta terjadi dehidrasi berat
59
2) Disinfeksi serentak terhadap bekas cairan tubuh penderita
3) Tidak diperlukan isolasi
4) Imunisasi pasif pada orang yang terpajan cairan tubuh penderita
5) Pencatatan dan pelaporan (STP dan SIRS).

4. Hepatitis E

a. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya antibodi terhadap VHE atau RNA
VHE dalam serum atau tinja penderita. Antibodi yang bisa dideteksi saat ini
adalah IgM, IgG, dan IgA.

b. Penanganan penderita, kontak dan lingkungan sekitar


1) Pengobatan
Tidak spesifik, terutama meningkatkan daya tahan tubuh (istirahat dan
makan makanan yang bergizi). Rawat inap hanya diperlukan bila penderita
tidak dapat makan dan minum serta terjadi dehidrasi berat
2) Disinfeksi serentak bekas cairan tubuh penderita
3) Isolasi tidak diperlukan
4) Pencatatan dan pelaporan (STP dan SIRS).

60
BAB IX

TATA KELOLA LOGISTIK PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN HEPATITIS


DAN PENYAKIT INFEKSI SALURAN PENCERNAAN

Untuk kegiatan pencegahan dan pengendalian HPISP, logistik biasanya terdiri dari barang
medis dan non-medis yang dikirim dari tingkat pusat atau pengadaan oleh provinsi atau
kabupaten/kota. Logistik yang dibutuhkan adalah untuk kebutuhan rutin dan saat Kejadian
Luar Biasa (KLB).

Sebagai contoh untuk kebutuhan rutin dalam kegiatan pencegahan dan pengendalian diare,
perhitungan kebutuhan oralit ditentukan berdasarkan perkiraan jumlah penderita diare
yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dan kader, dan pengadaan oralit dan obat Zinc
di Kementerian Kesehatan dilaksanakan oleh Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dan dikirim ke Gudang Farmasi provinsi.

Oralit dan obat Zinc merupakan obat esensial, sehingga pengadaannya dilaksanakan di
tingkat pusat sesuai usulan daerah. Dalam hal pengadaan bahan/alat/obat yang
dibutuhkan dalam kegiatan pencegahan dan pengendalian HPISP. perlu diidentifikasi
sumber dananya, sehingga dapat dimasukkan dalam perencanaan kegiatan pencegahan dan
pengendalian di masing-masing daerah (Tabel 3).

Tabel 3. Pengadaan Bahan/Alat/Obat Menurut Sumber Dana, Jumlah Pengadaan dan


Kebutuhan
Bahan/alat/obat Sumber dana Jumlah JumLah
pengadaan kebutuhan
 Oralit Pusat, provinsi dan kabupaten/kota X1 Y1
 Zinc Pusat, provinsi dan kabupaten/kota X2 Y2
 Paket untuk layanan rehidrasi Pusat, provinsi dan kabupaten/kota X3 Y3
oral
 Reagen untuk deteksi dini Pusat, provinsi dan kabupaten/kota X4 Y4
 HBIg Pusat, provinsi dan kabupaten/kota X5 Y5
 Reagen untuk kegiatan Pusat X6 Y6
pemantauan dan BHP
 Bahan habis pakai (deteksi Pusat, provinsi dan kabupaten/kota X7 Y7
dini)
 Peralatan untuk mendukung Pusat, provinsi dan kabupaten/kota X8 Y8
deteksi dini, layanan
pengobatan/penanganan, dan
monitoring
 Ringer laktat IVFD Provinsi, dan kabupaten/kota X9 Y9
 Selang infus Provinsi, dan kabupaten/kota X10 Y10
 Lainnya Provinsi, dan kabupaten/kota X11 Y11

61
Bila jumlah bahan/alat/obat masih belum memenuhi kebutuhan, maka provinsi dan
kabupaten/kota dapat melaksanakan pengadaan sendiri untuk memenuhi kebutuhannya
(buffer stok).

Penyimpanan bahan/alat/obat di provinsi, kabupaten, puskesmas dan kader hendaknya


dikelola secara baik dan benar, yaitu disimpan pada tempat yang kering dan diberi alas,
disusun sesuai dengan waktu penerimaan dan kedaluwarsanya, sehingga pada saat
dibutuhkan mudah mencarinya. Dibuatkan pencatatan asal bahan/alat/obat, jumlah dan
waktu penerimaan serta pengeluaran (jumlah, waktu dan tujuan bahan/alat/obat
dikirimkan). Perlu dibuatkan standar pengelolaan dan penyimpanan bahan/alat/obat.

Distribusi bahan/alat/obat, yaitu dari pusat sampai ke provinsi, dari provinsi ke


kabupaten/kota, dan dari kabupaten/kota ke puskesmas sesuai kebijakan masing masing
jenjang administratif. Distribusi sangat perlu diperhatikan, karena dapat mempengaruhi
keberadaan bahan/alat/obat tersebut dalam pencegahan dan pengendalian HPISP.

Persediaan obat dihitung berdasarkan perkiraan kebutuhan minimal satu bulan.


Pengelolaan stok (stock) perlu diatur mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota,
dan puskesmas. Ketersediaan stok minimal perlu diperhatikan dengan mempertimbangkan
kemudahan distribusinya.

A. Logistik Untuk Deteksi Dini Hepatiti B dan C


Keberhasilan kegiatan Deteksi Dini Hepatiti B dan C (DDHBC) sangat ditentukan oleh
ketersediaan bahan/alat/obat penunjang (logistik), sehingga perencanaan
bahan/alat/obat yang sesuai dengan kebutuhan, pengadaan, distribusi, penyimpanan,
dan monitoring sangat diperlukan. Untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan
logistik, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah: 1) Memastikan ketersediaan
bahan/alat/obat; 2) Menjamin sistem penyimpanan bahan/alat/obat yang efektif dan
efisien; dan 3) Menjamin terlaksananya sistem informasi dan manajemen pengelolaan
bahan/alat/obat.

1. Kebutuhan reagen

a. Rapid test
Perhitungan kebutuhan rapid test untuk DDHBC disesuaikan dengan jenis
kegiatan dan tempat pelaksanaannya. Sebagai contoh, perkiraan kebutuhan
rapid test hepatitis B di puskesmas adalah 80% x jumlah orang berisiko yang
akan dideteksi/sasaran DDHB x 1 tes. Stok (cadangan) juga perlu
diperhitungkan. Cara perhitungan jumlah kebutuhan untuk rapid test hepatitis C
sama dengan cara perhitungan untuk kebutuhan rapid test hepatitis B.

b. Pemeriksaan konfirmasi
Perkiraan kebutuhan untuk konfirmasi hepatitis B dan C, yaitu sebesar
prevalensi hepatitis B dan/atau C atau perkiraan jumlah yang reaktif dari hasil
pelaksanaan deteksi dini hepatitis dengan rapid test. Misalnya prevaensi
hepatitis B sebesar 3%, maka reagen untuk konfirmasi HBsAg yang dibutuhkan
62
sebesar 3% x (80% x jumlah yang akan dideteksi/sasaran DDHB). Bila
prevalensi hepatitis C juga sebesar 10%, maka kebutuhan reagen untuk
konfirmasi hepatitis C yang dibutuhkan sebesar 10% x (80% x jumlah yang akan
dideteksi/sasaran DDHC). Reagen untuk konfirmasi disimpan pada suhu 2-8oC.

2. Kebutuhan bahan/alat DDHBC


Sebagai gambaran kebutuhan bahan/alat DDHBC untuk 100 sasaran di puskesmas
sebagaimana terlihat pada Tabel 4, dan kebutuhan bahan/alat untuk pemeriksaan
immunologi hepatitis di laboratorium konfirmasi untuk 1000 Sasaran (Tabel 5).

Tabel 4. Kebutuhan Bahan/Alat DDHBC di Puskesmas Untuk 100 Sasaran


No. Bahan/alat Satuan Jumlah/paket
1. Alcohol swab buah 100 + (20% x 100)
2. Kantung limbah infeksius, ukuran M buah 10
3. Cool box buah 1
4. Rak tabung (10 lubang) buah 1
5. Tabung serum tutup ulir luar, vol 5ml buah 10
6. Plester penutup luka (isi 50) buah 100
7. Tourniquet buah 1
8. Vaccum blood collection needle buah 100 + (20% x 100)
9. Needle holder buah 4
10. Vacutainer plain (10ml) buah 100 + (20% x 100)
11. Kertas label (100 lembar) pak 1
12. Pipet Pasteur buah 100 + (20% x 100)
13. Sarung tangan nitrit non-powder (isi 50) box 2
14. Spidol permanen buah 2
15. Tissue box 3
16. Disposible safety box buah 5
17. Kasa steril (@10ktk@12lmb) pak 1
18. Parafilm “M” rool 1

Tabel 5. Perkiraan Kebutuhan Bahan/Alat Pemeriksaan Immunologi Hepatitis


di Laboratorium Konfirmasi Untuk 1000 Sasaran
No. Bahan/alat Satuan Jumlah/paket
1. Larutan alkohol 70% liter 10
2. Aquabidest liter 10
3. Biohazard bag pak 1
4. Blue tip box 2
5. Jellow tip box 1
6. Criotube pak 1
7. Desinfektan untuk alat meja kerja liter 2
8. Sabun cuci tangan anti septic liter 1
9. Sarung tangan nitrit non powder box 1
10. Spidol permanen buah 1
11. Kertas label water proff pak 1
12. Tisu towel buah 2

63
3. Obat hepatitis B dan C
Pada saat ini terdapat 2 kelompok obat untuk hepatitis B yang digunakan secara
luas dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing obat. Kedua kelompok
terdiri dari 6 jenis obat, yaitu 1) Interveron; 2) Lamivudin; 3) Adefovir; 4) Entecavir;
5) Telbivudin, dan 6) Tenofovir. Untuk hepatitis C, pengobatan menggunakan
Pegylated Interveron-α (Peg-INF-α) + Ribavirin atau menggunakan obat baru, yaitu
Sofosbovir + Ribavirin, Sofosbovir + Ledipasvir + 2D ABBVIE, dan kombinasi
lainnya.

4. Hepatitis B Imunoglobulin (HBIg)


Imunoglobulin hepatitis B diperlukan untuk bayi yang dilahirkan dari ibu dengan
HBsAg reaktif. Waktu pemberian HBIg<24 jam setelah kelahiran, bersamaan dengan
imunisasi hepatitis B-0<24 jam , selanjutnya mengikuti program imunisasi nasional.
Perhitungan perkiraan kebutuhan HBIg bila prevalensi hepatitis reaktif pada ibu
hamil sebesar 3% adalah: 3% (estimasi) x jumlah ibu hamil yang diperiksa
dikurangi stok yang masih ada. Penyimpanan HBIg pada suhu 2-8 oC.

5. Fibroscan
Alat untuk memeriksa tingkat fibrosis hati, dipergunakan di rumah sakit rujukan

6. Mesin immunologi
Mesin untuk pemeriksaan immunologi hepatitis di laboratorium pemeriksaan
konfirmasi spesimen, sebagai tindak lanjut pemeriksaan rapid test hepatitis di
puskesmas.

7. Kualitas bahan/alat/obat
Kualitas bahan/alat/obat yang digunakan memerlukan perhatian tersendiri. Untuk
reagen (rapid test), pada tahun 2014, Direktorat P2ML, Ditjen PP dan PL, Kemenkes
RI bekerjasama dengan Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana
Kesehatan dan BBLK Jakarta (tim teknis), telah melakukan evaluasi kualitas reagen
hepatitis B dan C yang beredar di Indonesia. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut,
maka ditetapkan kriteria pemilihan reagen hepatitis B dan dan C (Tabel 6):

Tabel 6. Kriteria Pemilihan Reagen Hepatitis B dan C


No. Kategori Sensitivitas (%) Spesifisitas (%)
1. Sangat tinggi ≥95 ≥95
2. Tinggi 80-94 80-94
3. Sedang 65-79 65-79
4. Rendah 50-64 50-64
5. Sangat rendah <50 <50

Pemilihan rapid test untuk deteksi dini hepatitis B dan C adalah berdasarkan
sensitivitas dan spesifisitas yang paling tinggi.

Untuk bahan/alat/obat di laboratorium dan rumah sakit rujukan, memerlukan


perhitungan tersendiri sesuai kebutuhan.
64
B. Logistik Untuk Pencegahan dan Pengendalian Diare

1. Oralit
Perhitungan kebutuhan logistik diare ditentukan berdasarkan perkiraan jumlah
penderita diare yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dan kader.
Angka Kesakitan Diare Balita (2012): 834/1.000 Balita

Target Penemuan Penderita Diare Balita:


20% x Angka Kesakitan Diare Balita x Jumlah Balita

Kebutuhan Oralit:
(Target Penemuan Penderita Diare Balita x 6 bungkus + Cadangan*) – Stok
*20% x (Target Penemuan Penderita Diare Balita x 6 Bungkus)

Contoh perhitungan kebutuhan oralit tahun 2014:


- Jumlah penduduk Kabupaten A = 300.000 jiwa
- Jumlah Balita Kabupaten A sebanyak 10% x jumlah penduduk = 30.000 balita
- Stok sisa oralit diakhir tahun = 10.000 bungkus
- Target penemuan penderita diare balita = 20 % x 834/1.000 x 30.000 = 5.004
penderita

Kebutuhan Oralit:
= (5.004 x 6) + 10 % (6.420 x 6) - 10.000 bungkus
= 30.024 + 3.002 - 10.000 bungkus
= 23.026 bungkus
= 230,26 kotak atau 231 kotak (@100 bungkus)
(Catatan: jumlah balita diperkirakan sebanyak 10% dari jumlah penduduk. Apabila
provinsi mempunyai data jumlah balita, agar menggunakan data sendiri).

2. Obat Zinc
Kebutuhan Zinc:
(Target Penemuan Penderita Diare Balita x 10 Tablet + Cadangan*) – Stok
*Cadangan = 10% x (Target Penemuan Diare Balita x 10 Tablet)

Contoh perhitungan kebutuhan


20% x Angka Kesakitan Zinc:
Diare balita x Jumlah Balita
- Penduduk Kabupaten A = 300.000 jiwa
- Jumlah penduduk Balita = 10% x 300.000 = 30.000 balita
- Target penemuan penderita diare balita: 20% x 834/1000 x 30.000 = 5.004
penderita
- Stok sisa Zinc diakhir tahun = 20.000 tablet.
Kebutuhan Zinc:
= 5.004 x 10 tablet + 10% (5.004 x 10) - 20.000 tablet
= 50.040 tab + 5004 tab - 20.000 tab = 35.044 tablet
= 350 kotak (@100 tablet)

65
3. Kebutuhan obat paket KLB
Rumus perhitungan kebutuhan paket diare saat KLB:

a. Oralit
- Perkiraan jumlah penderita diare saat KLB
- Rata-rata pemberian oralit per penderita = 10 bungkus oralit (@200 ml).
Kebutuhan Oralit = Jumlah Perkiraan Penderita Diare Saat KLB x 10 Bungkus

b. Zinc
- Tablet Zinc diberikan kepada penderita diare balita
- Jumlah penderita diare balita pada saat KLB diperkirakan 50%.
Kebutuhan Zinc = 50% x Penderita Diare Balita x 10 Tablet

c. Ringer Laktat (RL)


- Penderita diare yang membutuhkan RL adalah penderita dengan dehidrasi
berat
- Diperkirakan 30% dari jumlah penderita saat KLB.
Jumlah Penderita Diare yang Membutuhkan RL = 30% x Jumlah Penderita Saat KLB

Bila rata-rata pemberian RL = 7 botol setiap penderita, maka:


Jumlah RL yang Dibutuhkan = 30% x Jumlah Penderita Diare Saat KLB x 7 botol

d. Selang infus
Jumlah penderita diare yang membutuhkan infus set adalah semua penderita
yang mendapat RL x 1 set.

e. IV kateter anak
Perkiraan jumlah penderita yang membutuhkan IV kateter anak adalah 30%
dari jumlah penderita diare yang diberi RL.

Kebutuhan IV Kateter Anak = 30% x Jumlah Penderita Diare yang Diberi RL


Saat KLB x 1 Set

f. IV kateter dewasa
Perkiraan kebutuhan IV kateter dewasa adalah 80% dari jumlah penderita yang
diberi RL.
Kebutuhan IV Kateter Dewasa = 80% x Jumlah Penderita Diare yang Diberi RL
Saat KLB x 1 Set

g. Obat tetrasiklin 500mg


Obat tetrasiklin 500mg diberikan kepada penderita diare dewasa dengan suspek
kolera, dosis 4 kali per hari selama 3 hari.

66
C. Logistik Untuk Pencegahan dan Pengendalian Demam Tifoid

1. Obat
Perhitungan kebutuhan obat ditentukan berdasarkan perkiraan jumlah penderita
demam tifoid yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan, jenis obat, dosis dan
lama pemberia.

2. Kebutuhan untuk kegiatan surveilana karier demam tifoid


(surveilas karier tifoid dengan pemeriksaan rectal swab)
 Media transport cairan Cary and Blair atau pepton dalam botol MC Cartney. Media
transport berisi cairan ½-¾ botol dalam keadaan steril
 Kapas lidi steril
 Sarung tangan bersih/steril
 Spidol huruf kecil
 Gunting kecil
 Kertas cellotipe
 Lampu Bunsen
 Termos es
 Buku catatan harian pengambilan sampel
 Sabun desinfektan

D. Pengadaan
Pengadaan oralit dan Zinc di Kementerian Kesehatan RI dilaksanakan oleh Ditjen
Kefarmasian dan Alat Kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan dikirim ke
Gudang Farmasi Provinsi. Oralit dan Zinc merupakan obat esensial, pengadaannya oleh
daerah sesuai kebutuhan daerah, sedangkan pusat dapat mengalokasikan obat tersebut
untuk KLB. Pengadaan dan reagen, HBIg dan bahan untuk Deteksi Dini Hepatitis B dan C
dilaksanakan oleh Dirjen P2P.

E. Penyimpanan
Penyimpanan di tingkat provinsi, kabupaten, puskesmas dan kader hendaknya dikelola
secara baik dan benar, yaitu disimpan pada tempat yang kering dan diberi alas, disusun
sesuai dengan tanggal kadaluwarsanya, sehingga pada saat pengambilan mudah
mencarinya. Dibuatkan pencatatan asal obat, jumlah dan waktu penerimaan serta
pengeluaran obat (jumlah, waktu dan tujuan obat dikirimkan).

F. Distribusi
Distribusi obat dari provinsi ke kabupaten/kota dan puskesmas sesuai dengan
kebijakan masing-masing daerah. Apabila terjadi KLB dan daerah memerlukan
tambahan, dapat mengajukannya ke Direktorat Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan, Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan dengan tembusan ke Subdit
Hepatitis dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan.

G. Persediaan (Stok)
Persediaan obat dihitung berdasarkan perkiraan kebutuhan minimal 1 (satu) bulan.

67
BAB X

PERENCANAN KEGIATAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN HEPATITIS DAN


PENYAKIT INFEKSI SALURAN PENCERNAAN

A. Perencanan Kegiatan
Perencanaan pembangunan kesehatan merupakan hal yang tidak terpisahkan dari
perencanaan pembangunan nasional, yang mengacu pada Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN). Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang SPPN, sistem tersebut merupakan satu kesatuan tata cara perencanaan
pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan jangka panjang, jangka
menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di
pusat dan daerah dengan melibatkan masyarakat. Keberhasilan pembangunan kesehatan
sangat ditentukan oleh kualitas perencanaan.

Dalam SPPN, ada 5 pendekatan untuk seluruh rangkaian perencanaan, yaitu:


1. Politik
Pendekatan politik memandang Presiden/Kepala Negara/Kepala Daerah, karena rakyat
pemilih menentukan pilihannya berdasarkan program-program yang ditawarkan calon
Presiden/Kepala Daerah. Apabila program calon Presiden/ Kepala Daerah sesuai
dengan kebutuhan rakyat, maka akan terjadi kontrak politik.

2. Teknokratik
Perencanaan dengan pendekatan teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan
metode dan kerangka berpikir ilmiah dengan melibatkan profesional, baik akademisi
dari perguruan tinggi, pejabat pemerintah, maupun non pemerintah, atau para ahli,
serta menggunakan data hasil penelitian dan penggunaan. Untuk mendapatkan suatu
rencana yang optimal, maka rencana pembangunan hasil proses politik perlu digabung
dengan rencana pembangunan hasil teknokratik. Agenda Presiden/Wakil
presiden/Kepala Daerah yang berkuasa yang dihasilkan dari hasil proses politik perlu
selaras dengan perspektif pembangunan yang dihasilkan proses teknokratik menjadi
agenda pembangunan nasional selama 5 tahunan. Selanjutnya agenda pembangunan
jagka menengah ini diterjemahkan ke dalan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan
yang sekaligus menjadi satu dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (RAPBN) sebelum ditandatangani DPR dan disetujui menjadi Undang-Undang.

Dalam penyusunan RKP perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:


 Evaluasi RKP tahun sebelumnya
 Pertemuan pimpinan Kemenkes RI untuk menentukan rencana kebijakan program
dan target serta indikator dan kebijakan dekon tahun berikutnya.
 Pertemuan koordinasi internal unit utama, menjabarkan kebijakan program, target
dan indikator, menjadi kebijakan program di unit utama.
 Menyelenggarakan pertemuan finalisasi rencana kebijakan program, target, dan
indikator Kemenkes RI.

68
 Melaksanakan pertemuan awal penyusunan RKP tahun t + 1
 Melaksanakan sinkronisasi hasil pertemuan dengan Bappenas
 Melakukan sinkronisasi hasil pertemuan dengan Bappenas di tingkat unit utama
sebagi bahan persiapan Rakerkesnas
 Monitoring dan evaluasi perencanaan
 Monitoring dan evaluasi dapat dilakukan pada setiap tahapan manajemen baik
monitoring dan evaluasi pada perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan serta
monitoring dan evaluasinya sendiri.
 Perencanaan yang telah dibuat perlu dimonitor dan dievaluasi untuk mengetahui
keberhasilannya. Oleh karena itu, perencanaan yang baik juga menetapkan target dan
indikator, sehingga keberhasilan kegiatan dapat dipantau secara berkala.
 Perencanaan strategis umumnya berlaku untuk jangka panjang dan menengah dan
kemudian diterjemahkan sebagai kegiatan-kegiatan dalam kurun waktu yang lebih
pendek. Evaluasi perencanaan dapat dilaksanakan baik ketika kegiatan berlangsung
maupun setelah selesai.
 Evaluasi hendaknya tidak hanya dilakukan secara kuantitatif, namun juga bisa secara
kualitatif, contoh melalui dengar pendapat. Hal ini bisa menambah masukan mengenai
implementasi perencanaan di lapangan serta kesulitan yang dihadapai maupun
kemungkinan untuk melakukan inovasi baru.

3. Partisipatif
Pemikiran perencanaan partisifatif diawali dari kesadaran bahwa kinerja pembangunan
sangat ditentukan oleh semua pihak terkait dengan prakarsa tersebut. Perencanaan
metode partisipatif ini melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholder)
terhadap pembangunan. Pimpinan Organisas atau K/L, organisasi professi, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) dan lintas sektor pembanguna kesehatan. Dalam rangka
mewujudkan reformasi birokrasi dimana demokratisasi dan partisipasi sebagai bagian
dari good government, maka proses perencanaan pembangunan di Kemenkes RI juga
melalui proses partisipatif

4. Atas-bawah (top-down)
Perencanaan atas-bawah (top-down) yang dilakukan oleh lembaga pemerintah sebagai
pemberi gagasan awal serta pemerintah berperan lebih dominan dalam mengatur
jalannya program. Peran masyarakat tidak begitu berperan. Perencanaan jenis ini
adalah RPJP Bidang Kesehatan, RPJMN, Renstra K/L, hasil sidang cabinet, dan direktif
Presiden.

5. Batas-atas (bottom-up)
Perencanaan yang dilakukan dimana masyarakat lebih berperan dalam hal pemberian
gagasan awal sampai dengan mengevaluasi program yang telah dilaksanakan,
sedangkan pemerintah hanya sebagai fasilitator dalam suatu program. Pendekatan atas-
bawah dan bawah-atas dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang
pemerintahan. Rencana ini diselaraskan melalui Musyawarah Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang) yang dilaksanakan baik di tingkat nasional, provinsi,
kabupaten/kota, kecamatan dan desa. Gabungan pendekatan perencanaan atas- bawah

69
dan bawah-atas di lingkungan Kemenkes RI dilakukan melalui Rapat Kerja Kesehatan
Nasional (Rakerkesnas), dan Rapat Konsolidasi Teknis Perencanaan.

Dalam menyusun perencanaan program pencegahan dan pengendalian HPISP, langkah


langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Melakukan analisis situasi dan respon


Penyebaran HPISP dipengaruhi oleh latar belakang sosial, ekonomi dan budaya yang
sangat beragam dari satu daerah ke daerah yang lain. Pemahaman terhadap latar
belakang ini sangat diperlukan bagi setiap perencana program untuk membantu
mengenali bidang paling penting yang harus diprioritaskan untuk direspon.

Beberapa prinsip dalam melakukan analisis situasi:


 Analisis situasi harus menempatkan masalah HPISP
 Analisis harus menelaah siapa yang terinfeksi, rawan/rentan terinfeksi dan faktor
risiko penularannya dalam konteks perilaku perorangan maupun konteks sosial
budaya.
 Analisis ditujukan untuk mengenali kebijakan dan strategi yang ada, kekuatan,
kelemahan, peluang dan tantangan bagi pengembangan program.

Analisis respon digunakan untuk mengkaji keseluruhan tindakan program dari semua
sektor yang ada dan difokuskan pada hubungan dengan berbagai bidang yang menjadi
kunci penentu penyebaran HPISP, juga dampak di daerah yang bersangkutan. Analisis
respon menjawab beberapa pertanyaan, antara lain :
 Apa saja yang berhasil dan perlu diteruskan?
 Apa saja yang berhasil dan perlu diperluas?
 Apa saja yang tidak berhasil dan perlu strategi pendekatan baru?
 Apa yang tidak relevan terhadap kebutuhan saat ini dan harus dihentikan?
 Apa yang sama sekali belum bisa ditangani?

Proses analisis situasi meliputi pengumpulan data dan informasi serta menganalisis
data dan informasi tersebut. Data dan informasi yang diperlukan adalah data umum,
data program maupun data sumber daya yang terkait, bukan hanya meliputi data
kesehatan tetapi juga data pendukung dari berbagai sektor. Data umum diperlukan
untuk menetapkan target, sasaran dan strategi operasional lainnya yang sangat
dipengaruhi oleh kondisi masyarakat. Data terkait program diperlukan untuk dapat
menilai kemajuan program, masalah dan rencana yang akan dilakukan. Data sumber
daya diperlukan untuk mengidentifikasikan sumber yang dapat dimobilisasi sehingga
dapat menyusun rencana secara rasional, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki tiap
daerah.

2. Mengumpulkan data
Data yang diperlukan untuk tahap analisis masalah adalah:
 Data Kependudukan, meliputi geografi, demografi, migrasi, urbanisasi, mobilitas
 Data Kesehatan, meliputi indikator kesehatan, data kasus HPISP

70
 Data sosial, meliputi suku, perilaku seksual, perilaku penyalahgunaan obat, pola
keluarga, dan lain-lain.
 Data politik, ekonomi dan hukum, meliputi sistem politik, hukum dan HAM, ekonomi
masyarakat termasuk tingkat kemiskinan dan penyebarannya.
 Data layanan masyarakat, meliputi pendidikan, komunikasi, pelayanan kesehatan.
 Data kemitraan, meliputi lembaga non pemerintah/LSM, sektor swasta, lembaga
penelitian, penyandang dana, sektor terkait.
 Data sumber daya yang relevan yang tersedia, meliputi kapasitas kelembagaan,
pengetahuan dan keterampilan, barang dan jasa, sumber daya manusia dan dana.
 Data kelompok yang berkepentingan, meliputi masyarakat yang rentan, para politikus,
lembaga donor, sektor usaha, organisasi profesi, tokoh agama dan masyarakat.
 Data dan sumber lain yang penting, seperti laporan hasil survei, laporan estimasi
kelompok berisiko tertular HPISP, laporan kasus HPISP oleh Kemenkes RI, buku
pedoman program/juknis, dan laporan dinas kesehatan setempat.

Hasil analisis data tidak hanya menjabarkan situasi, tetapi menganalisis pentingnya
epidemi seperti hepatitis. Oleh karena itu sebaiknya hasil analisis:
 Menentukan faktor dan bagaimana faktor tersebut meningkatkan kerentanan
terhadap HPISP dan dampaknya.
 Memperkirakan seberapa penting faktor tersebut dalam penularan HPISP
 Menentukan hambatan bagi tercapainya perubahan situasi.
 Menentukan peluang yang dapat dimanfaatkan bagi respon yang efektif

Analisis dilakukan bersama seluruh anggota tim, sebaiknya ditunjuk fasilitator untuk
memandu proses analisis. Analisis mencakup informasi yang relevan dari semua data
atau tema.

Data dan informasi yang harus digali terkait dengan pertanyaan yang harus dijawab:
 Bagaimana situasi HPISP saat ini? Pertanyaan ini dijawab dari hasil analisis situasi.
 Program apa saja yang dilakukan sebagai respon terhadap HPISP? Pertanyaan ini
mencakup penyediaan layanan, kegiatan pencegahan, promosi dan kegiatan lainnya.
 Apakah respon dilakukan sesuai dengan situasi saat ini?
 Apakah respon dilakukan pada bidang yang prioritas? Apakah ada bukti bahwa
respon tersebut bermanfaat?
 Mengapa respon tersebut berhasil atau tidak berhasil dilaksanakan?

3. Menetapkan area prioritas


Area prioritas bagi respon tingkat daerah mengacu pada kegiatan yang ditetapkan:
 Memperkuat aspek legal pencegahan dan pengendalian HPISP
 Melaksanakan advokasi dan sosialisasi termasuk Komunikasi Informasi dan Edukasi
(KIE) dan Intervensi Perubahan Perilaku (IPP)
 Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)
 Memperkuat jejaring kerja dan meningkatkan partisipasi masyarakat
 Memperkuat logistik
 Meningkatkan deteksi dini hepatitis
 Meningkatkan dukungan pengobatan/penanganan
71
 Meningkatkan pencegahan penularan hepatitis dari ibu ke anak
 Meningkatkan surveilans epidemiologi dan pengembangan sistem informasi
 Monitoring dan evaluasi.

Dalam menetapkan area prioritas ada beberapa pertimbangan, yaitu:


a. Pentingnya area/masalah
 Besarnya masalah
 Kegawatan/keparahan (severity)
 seberapa sering masalah tersebut muncul (frequency),
 kecenderungan peningkatan (rate of increase)
 keinginan masyarakat (public concern)
 manfaat sosial dengan selesainya masalah (mass benefit)
 komitmen politis, baik dari daerah, nasional maupun internasional.
 Daya ungkitnya tinggi, artinya bila masalah itu dapat diatasi maka masalah lain
akan teratasi juga.
b. Kemungkinan untuk dilaksanakan (feasibility).
c. Kesiapan sumber daya, termasuk tenaga (man), dana (money), dan sarana
(material), metode (methode), serta tolok ukur (measurement).

4. Menetapkan tujuan
Menetapkan tujuan bagi masing masing area prioritas yang telah ditetapkan berdasar
kurun waktu dan kemampuan tertentu. Tujuan dapat dibedakan antara tujuan umum
dan tujuan khusus. Tujuan umum biasanya cukup satu dan tidak terlalu spesifik. Tujuan
umum dapat dipecah menjadi beberapa tujuan khusus yang lebih spesifik dan terukur.
Beberapa syarat yang diperlukan dalam menetapkan tujuan antara lain (SMART):
 Terkait dengan masalah (Spesifik)
 Terukur (Measurable)
 Achievable (dapat dicapai)
 Relevant, rasional (realistis)
 Memiliki target waktu (Timebound).

5. Merumuskan strategi
Semua strategi yang akan dirumuskan sebaiknya memenuhi hal aksesibilitas,
kelayakan, kemungkinan untuk dikerjakan (feasibility), dan keterjangkauan
(affordability).
a. Aksesibilitas
Aksesibilitas menggambarkan apakah strategi yang diusulkan akan diterima atau
ditolak oleh banyak pihak yang berpengaruh. Sebaiknya berbagai inisiatif yang
diusulkan telah teruji efektifitasnya atau memiliki kelayakan teknis di daerah lain
yang memiliki kemiripan situasi. Program harus dapat menjangkau sasaran penting,
sehingga bermakna dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Kelayakan rencana
dapat dilaksanakan dan ditelaah dalam hal kapasitas kelembagaan yang ada,
ketersediaan dan kompetensi sumber daya manusia, dana, fasilitas layanan dan
logistik.

72
b. Feasibility
Strategi yang diusulkan hendaknya merupakan strategi yang cukup rasional dan
memiliki kemungkinan untuk dilaksanakan. Namun demikian, bukan berarti
perencana menjadi terjebak dalam strategi yang sudah biasa diusulkan dan
dilaksanakan. Inovasi dalam hal pengembangan strategi tetap perlu diperhatikan.

c. Affordability
Strategi yang diusulkan juga perlu memperhatikan kemampuan dalam
melaksanakannya. Kemampuan dapat dilihat dari pengalaman dalam melaksanakan
kegiatan maupun prediksi terhadap masa yang akan datang. Bila perbaikan
diperlukan, pilihlah strategi dan intervensi yang paling besar peluangnya untuk
berhasil dan memberi dampak besar dengan tingkat aksestibilitas yang tinggi.

6. Menyusun rencana kegiatan dan penganggaran


Prinsip dan langkah menyusun rencana kegiatan dan penganggaran dapat dilakukan
sebagai berikut:
a. Inventarisasi kegiatan pada masing-masing strategi yang akan dilakukan
b. Tentukan pembiayaan yang paling mungkin untuk masing-masing kegiatan.
c. Prioritaskan anggaran pemeritah daerah untuk masing-masing kegiatan. Adanya
anggaran pemerintah daerah dapat mengindikasikan bahwa pembiayaannya akan
lebih berkesinambungan.
d. Perhatikan adanya kesenjangan antara kegiatan prioritas dengan kegiatan yang
terdanai.
e. Hindari kondisi ketergantungan terhadap donor. Anggaran pemerintah daerah
merupakan dana utama program/kegiatan, sementara dana donor merupakan dana
pendukung untuk melengkapi.
f. Perhatikan kegiatan dan perencanaan sektor lain yang dapat mendukung
keberhasilan program/kegiatan. Dengan demikian, keterbatasan anggaran daerah
bisa disiasati dengan melaksanakan kerjasama dengan sektor lain.

Penyusunan kebutuhan anggaran harus dibuat secara lengkap, dengan memperhatikan


prinsip penyusunan program dan anggaran terpadu. Pembiayaan dapat diidentifikasi
dari berbagai sumber mulai dari anggaran pemerintah (APBD dan APBN) dan berbagai
sumber lainnya, sehingga semua potensi sumber dana dapat dimobilisasi. Perlu
diperhatikan bahwa penyusunan anggaran didasarkan pada kebutuhan program,
sedangkan pemenuhan dana harus diusahakan dari berbagai sumber.

Tahapan perencanaan dan penganggaran APBN di tingkat pusat kurang lebih sebagai
berikut:
 Bulan Januari: Presiden menetapkan arah kebijakan dan prioritas pembangunan
nasional untuk tahun yang direncanakan (t+1).
 Bulan Februari (minggu ke-2): Menteri PPN/Kepala Bappenas menyusun rancangan
awal RKP (Rencana Kerja Pemerintah) sebagai penjabaran RPJM Nasional
 Bulan Januari sampai dengan Februari tahun berjalan: Penyusunan RKP tahun depan
(t+1), di tingkat Kemenkes RI.
 Bulan Maret: Pelaksanaan Rakerkesnas
73
 Bulan Maret: Sidang Kabinet untuk penetapan rancangan awal RKP tahun t+1 dan
penetapan pagu indikatif.
 Maret: Dilaksanakan Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat (Rakorbangpus) dan
Rapat Konsolidasi Pembangunan Daerah (Rakorbangda)
 Maret: Pertemuan Rapat Teknis Kemenkes RI tentang pagu indikatif
 Antara bulan Maret-April: Dilaksankaan Pertemuan Trilateral meeting ( Bappenas,
Kemenkeu, dan Kemenkes RI) untuk membahas rencana kebijakan program, target,
dan indikator termasuk alokasi anggarannya berdasarkan pagu indikatif untuk tahun
T+1.
 Maret-April: Reviu dan Penelitian RKAKL pagu indikatif antara unit utama dan Biro
Perencanaan
 Maret-April: Penyusunan dan penelaahan Renja K/L
 April: Musrenbang
 Mei: Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat (Rakorbangpus) untuk membahas hasil
pertemuan pasca Musrenbang.
 Mei: Dilaksanakan Sidang Kabinet penetapan RKP
 Mei: Pembahasan RKP dan rencana pagu anggaran antara pemerintah dan DPR RI
 Juni-Juli: Penetapan pagu anggaran
 Juni-Juli: Penyusunan RKAKL internal unit utama, reviu dan penelitian RKAKL antara
unit utama, Biro Perencanaan dan Inspektorat Jenderal
 Bulan Juli: Pembahasan RKAKL pagu anggaran dengan Komisi IX DPR
 Juli-Agustus: Penelaahan RKAKL Kemenkes RI dengan DJA (Direktorat Jenderal
anggaran).
 Agustus: Pembahasan RAPBN (t+1) antara Pemerintah dengan DPR untuk alokasi
anggaran dan selanjutnya bulan Oktober Penetapan alokasi anggran oleh Pemerintah.
 November: Penyesuaian RKAKL berdasarkan alokasi anggran, reviu dan penelitian
RKAKL alokasi anggaran antara unit utama, Inspektorat Jenderal dan Biro
Perencanaan.
 November: Penelaahan RKAKL antara Biro Perencanaan dan unit utama DJA
 November: Pembahasan RKAKl alokasi anggraan dengan Komisi IX DPR
 Desember: Penetapan DIPA oleh Kemenkes RI.

Beberapa contoh perencanaan kegiatan pencegahan dan pengendalian HPISP, adalah


ebagai berikut:

1. Penyusunan/revisi NSPK P2HPISP


a. Penyusunan dan pengembangan media KIE P2HPISP
1) Tujuan
Tersusunnya media KIE HPISP, pengumpulan referensi terkait PISP (diare dan
tifoid)
2) Tahapan kegiatan
 Penentuan pesan apa yang perlu disampaikan
 Penentuan media apa yang akan dibuat (leaflet, brosur, banner, TV/radio spot,
dan lain-lain)
 Desain media yang dipilih
 Uji coba, perbaikan, dan finalisasi.
74
3) Peserta pertemuan
Direktorat P2PML, Lintas program Kemenkes RI, dinas kesehatan provinsi dan
kabupaten/kota, puskesmas, PKNI, dan pihak lain yang dianggap perlu.
4) Narasumber pertemuan
Pusat Promkes, Puskomlik, Komli, Pokja Hepatitis, PPHI
5) Pelaksanaan masing masing 1 hari sebayak ± 3 kali
6) Sesudah media KIE tersusun, selanjutnya digandakan dan didistribusikan ke
daerah/dinas kesehatan provinsi.

b. Pertemuan Koordinasi Pokja/Komli P2HPISP


1) Tujuan
Mendapatkan masukan, update informasi, saran dan rekomendasi dari para
anggota Pokja tentang upaya pengendalian dan pencegahan HPISP di Indonesia.
Komite ahli HPISP tendiri dari bidang hepatitis, bidang diare, dan bidang
demam tifoid
2) Peserta
Direktorat P2PML, lintas program terkait di Kemenkes RI, Perguruan Tinggi dari
berbagai disiplin ilmu dan keahlian, WHO LSM (nasional, internasional), lintas
sektor terkait, dan organisasi profesi
3) Narasumber
Direktorat P2PML, PPHI, POGI.
4) Tempat
Jakarta
5) Pertemuan sehari dilaksanakan ± 3-4 kli per tahun per jenis Komite Ahli
penyakit.

d. Penyusunan/revisi buku pedoman/modul pelatihan


1) Tujuan
Untuk mendapatkan pedoman/juknis atau perbaikan pedoman/juknis yang
sudah ada agar sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan Iptek terbaru.
2) Pertemuan revisi masing-masing pedoman dilaksanakan maksimal 4 kali
pertemuan, selebihnya dapat dilaksankaan di dalam kantor.
3) Peserta pertemuan
Direktorat P2PML, lintas program/ sektor, dinas kesehatan provinsi dan
kabupatena/kota, puskesmas, LSM, organisasi profesi, dan peserta dari rumah
sakit.
4) Narasumber
Direktur P2PML, PPHI, IDAI, POGI, organisasi profesi liannya yang dianggap pelu
sesuai jenis pedoman.
5) Sebelum penyusunan modul pelatihan terlebih dahulu disusun kurikulum modul
sesuai ketentuan PPSDM.

e. Penyusunan aspek legal (Kepmenkes/Permenkes) program/kegiatan P2HPISP

75
2. Peningkatan SDM P2HPISP
a. Peningkatan kapasitas petugas dalam aktivasi LROA, SKD KLB, dan monitoring dan
evaluasi program PISP
1) Tujuan
Agar petugas mampu melaksanakan SKD KLB serta monitoring dan evaluasi
program PISP (diare, demam tifoid, hepatitis A dan hepatitis E)

Direktorat P2PML, Direktorat SKK


2) Peserta
Pengelolah program diare dan surveilans dinas kesehatan provinsi dan
kabupaten/kota, petugas Direktorat P2PML, usdatin
3) Narasumber
Dari Perguruan Tinggi, dan lain-lain
4) Lama pelatihan
Kurang lebih 5 hari atau sesuai ketentuan akreditasi PPSDM
5) Tempat
Di Jakarta atau provinsi regional disesuaikan dengan lokasi yang lebih dekat
dengan asal peserta

b. Peningkatan kapasitas petugas dalam manajemen program HPISP


1) Tujuan
Meningkatnya kapasitas petugas dinas kesehetan provinsi dan kabupaten/kota
dalam kegiatan menejemen program HPISP, dan diharapkan menjadi pelatih
dalam peningkatan kapasistas di tingkat kabupaten/kota
2) Peningkatan kapasitas dilaksanakan di Jabodetabek, selama 5 hari efektif (atau
sesuia dengan ketentuan akreditasi PPSDM )
3) Peserta
Pengelola program HPISP dinas kesehatn provinsi, dinas kesehatan kabupaten/
kota yang dianggap perlu
4) Narasumber
Badan PPSDM, Direktorat P2PML, Direktorat terkait lainnya di lingkungan Ditjen
P2P, Direktoraty Ibu, Bagian Hepatologi FKUI-RSCM, PPHI, Pokja Hepatitis, IDAI,
POGI, dan Subdit Hepatitis dan PISP.

c. Peningkatan kapasitas petugas dalam Deteksi Dini Hepatitis B dan (DDHBC) di


provinsi
1) Tujuan
Untuk meningkatkan kapasitas petugas pelaksana dalam DDHBC.
2) Peserta
Tim dinas kesehatan provinsi (Bidang P2PL: 3 orang, Bidang KIA: 2 orang), tim
dinas kesehatan kabupaten/kota (pengelola program hepatitis, diare dan demam
tifoid, pengelola program AIDS dan IMS, pengelola program KIA, kabid/kasi P2,
kabid/kasi Kesga), puskesmas (konselor KT, bidan, perawat/pengelola program,
hepatitis, analis kesehatan, petugas pencatatan dan pelaporan, kepala
puskesmas), Petugas laboratorium (laboratoriumab pemeriksa dan rujukan)
3) Lama Pertemuan: 4 hari (atau sesuai dengan ketentuan akreditasi PPSDM)
76
4) Tempat pertemua
Gedung perkantoran Pemda/dinas kesehatan provinsi/Bapelkes/BBPK/hotel
atau di tempat lainnya tempat lainnya.
5) Narasumber
Direktorat P2PML (Subdit Hepatitis dan PISP, Subdit AIDS dan IMS), dinas
kesehatan provinsi, PKVHI, PPHI/IDAI/POGI, BPPM/Patklin/BBLK
6) Materi/jadwal kegiatan:
 Pre dan post-test
 Laporan ketua panitia-sambutan/arahan pembukaan
 Kebijakan program
 Situasi/epidemiologi dan upaya pencegahan dan pengendalian yang dilakukan
 Informasi dasar tentang hepatitis, cara penularan, pencegahan dan pengoba-
tan/penanganan
 Pentingnya deteksi dini hepatitis B pada ibu hamil dan hepatitis B dan C pada
kelompok berisiko lainnya
 Tindak lanjut deteksi dini hepatitis B dan C
 Kolaborasi deteksi dini hepatitis B dan C serta konseling dan tes HIV
 Mekanisma pelaksanaan lapangan pelaksanaan DDHBC
 Kuesioner DDHBC
 Tatacara pengambilan sampel darah, pengelolaan spesimen termasuk
penyimpanan dan pengiriman, pengelolaan limbah dan pemusnahan sisa
spesimen
 Pencatatan dan pelaporan, pengolahan dan analisa data, dan penulisan laporan
 Diskusi RTL
 Penutupan

d. Peningkatan kapasitas dalam tatalaksana hepatitis B dan C


1) Tujuan
Meningkatnya kapasitas petugas dalam tatalaksana hepatitis. Hepatitis B dan C
merupakan penyakit yang ditularkan oleh virus hepatitis B dan C, dapat menjadi
kronik, sirosis dan kanker hati. Dengan kemajuan ilmu kedokteran dan
kesehatan saat ini, telah ditemukan obat dan vaksin untuk menghambat replikasi
virus, mencegah bahkan untuk hepatitis C dapat sembuh sempurna. Untuk itu,
perlu dilakukan penemuan sedini mungkin melalui kegiatan deteksi dini
sebagaiamana yang dilakukan saat ini. Setelah ditemukan pada saat deteksi dini,
maka perlu dilakukan pemeriksaan konfirmasi, dilanjutkan dengan penanganan
penderita di fasilitas pelayanan kesehatan. Agar kegiatan tersebut dapat
terlaksana, yang harus dilakukan adalah peningkatan akses layanan masyarakat
melalui peningkatan kapasitas petugas pelaksana, pengobatan/penanganan
hepatitis B dan C, peningkatan sarana dan prasarana penunjang, dan logistik.
2) Tahapan dalam peningkatan kapasitas petugas adalah menyiapkan
pedoman/juknis, modul, kemudian melakukan pelatihan/workshop peningkatan
kapasitas petugas.
3) Tempat pelaksanaan
Jabodetabek
4) Lama pelaksanaan: 5 hari (atau sesuai dengan ketentuan akrediatsi PPSDM)
77
5) Peserta
Dokter spesialis penyakit dalam dari RSUD kabuaten/kota dari 34 provinsi (2
o0rang per provinsi)
6) Panitia/narasumber pusat
Direktorat P2PML, PPHI, BPJS, POGI, IDAI , PPSDM, ahli Patologi Klinik.

e. Peningkatan kapasitas petugas pengamatan (surveilans) karier demam tifoid


1) Tujuan
Agar petugas mampu melaksanakan kegiatan surveilans karier demam tifoid
pada kelompok populasi berisiko. Demam tifoid adalah salah satu penyakit yang
ditularkan secara oral-fecal, penyakit ini terkait dengan kebersihan perorangan
dan sanitasi lingkungan. Untuk mengetahui besaran masalah penyakit ini, dan
kecenderungan besaran masalah, maka perlu dilakukan pengamatan karier
demam tifoid pada masyarakat berisiko salah satunya adalah penjamah
makanan. Pengamatan karier tifoid pada penjamah makanan penting dilakukan,
karena melalui penjamah makanan (karier demam tifoid) inilah penularan dapat
terjadi pada orang-orang yang mengkonsumsi makanan/minuman yang
diolah/dijajakan. Dari hasil dari kegiatan surveilans karier tifoid dapat diketahui
besaran masalah, kecenderungan besaran masalah, dan dapat dilakukan upaya
pencegahan untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian, serta upaya
lanjutan bagi yang menderita karier demam tifoid.
2) Peserta
Dari B/BTKLPP
3) Narasumber
Direktorat P2PML, dokter ahli penyakit tropik dan infeksi, dokter ahli patologi
klinik, BBLK
4) Waktu: 4 hari ( atau sesuai dengan ketentuan akreditasi PPSDM)
5) Tempat
Jakarta

f. Peningkatan kapasitas petugas konselor P2 Hepatitis


1) Tujuan
Peningkatan pengetahuan dan kemampuan petugas dalam memberikan layanan
konseling hepatitis.
2) Peserta
Konselor HIV dan AIDS pada fasyankes yang masih aktif melakukan layanan
konseling HIV dan AIDS, bidan puskesmas, tim dinas kesehatan kabupaten/kota
(pengelola program hepatitis, diare dan tifoid, Kasi P2, Kasi KIA), dinas
kesehatan provinsi (pengelola program, Kasi P2, Kasi KIA)
3) Lama Pertemuan: ± 2 hari efektif
4) Tempat pertemuan
Gedung perkantoran Pemda/dinas kesehatan provinsi/Bapelkes/BBPK sesuai
peraturan yang berlaku.
5) Detail belanja dapat dialokasikan meliputi narasumber (Direktorat P2PML,
Subdit Hepatitis dan PISP, Subdit AIDS dan PMS), PKVHI, PPHI/IDAI/POGI, BBLK,
dan dinas kesehatn provinsi
78
6) Contoh materi/jadwal kegiatan:
 Pre dan post-test
 Laporan ketua panitia-sambutan/arahan pembukaan
 Kebijakan program P2HPISP
 Situasi/epidemiologi HPISP dan upaya pencegahan dan pengendalian yang
dilakukan
 Informasi dasar tentang hepatitis, cara penularan, pencegahan dan
pengobatan/penanganan
 Konseling dan tes HIV dan Hepatitis
 Alur pelaksanaan konseling dan tes HIV dan hepatitis dan jejaring rujukan
 Pencatatan dan pelaporan
 Diskusi RTL
 Penutupan

g. Peningkatan kapasitas petugas pelaksana pemantauan hepatitis


1) Tujuan
Peningkatan kapasitas petugas dalam pelaksanaan pemantauan hepatitis virus
pada kelompok populasi berisiko tinggi. Kegiatan ini dilakukan secara terpadu
dengan kegiatan serosurveilans sentinel HIV. Metodologi, waktu pelaksanaan,
pengambilan darah mengikuti apa yang dilakukan oleh surveilans sentinel HIV
pada populasi berisiko di masing-masing wilayah, sehingga perlu persiapan yang
matang dari awal, serta perlu koordinasi dan komunikasi yang baik antara
pengelola program hepatitis dan HIV.
2) Peserta
Pengelola program HIV dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota dimana
pemantauan akan dilaksanakan, BLK/BBLK/Labkesda/Laboratorium pelaksana
pemeriksaan.
3) Tempat pertemuan
Gedung perkantoran Pemda/dinas kesehatan provinsi/Bapelkes/BBPK atau
tempat lainnya
4) Lama Pertemuan: 3 hari efektif (atau sesuai dengan ketentuan akreditasi
PPSDM )
5) Narasumber
Subdit Hepatits dan PISP dan/atau Subdit AIDS dan IMS, Ahli laboratorium
(BPPM/Patologi Klinik/Laboratorium Rujukan Nasional/BBLK yg telah dilatih),
dan dinas kesehatan provinsi.

3. Pencegahan dan pengendalian HPISP


a. Advokasi dan sosialisasi HPISP
1) Tujuan
Advokasi bertujuan untuk peningkatan komitmen, kepedulian dan dukungan
kebijakan dan anggaran dari pemangku kepentingan. Sosialisasi bertujuan untuk
peningkatan pengetahuan, dan kepedulian petugas kesehatan, masyarakat, tokoh
agama, tokoh masyarakat, para pemegang kebijakan

79
2) Peserta
Masyarakat, tokoh masyarakat, pelajar/mahasiswa, akademisi; petugas
kesehatan, anggota DPRD, para pemangku kepentingan di Pemda, Bappeda,
BBLK/BLK, dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota, RSU provinsi dan
kabupaten/kota, dan kepala Puskesmas.
3) Materi yang disampaikan selain terkait dengan hepatitis dan PISP
4) Tempat
Gedung perkantoran Pemda/dinas kesehatan provinsi/Bapelkes/BBPK, dinas
kesehatan kabupaten/kota/Instansi pemerintah atau lainnya.
5) Lama pertemuan: 1 hari efektif
6) Narasumber
Kadinkes/kabid P2P, Direktorat P2PML, Ahli HPISP
7) Contoh materi
 Kebijakan P2HPISP
 Situasi/epidemiologi HPISP dan upaya P2HPISP yang telah dilakukan
 Informasi dasar tentang hepatitis, cara pencegahan, deteksi dini, dan
pengobatan/penangaman
 Informasi dasar tentang diare, cara pencegahan, penanganan, dan LROA
 Informasi dasar tentang tifoid, cara pencegahan, deteksi dini, dan penanganan
 Diskusi RTL
 Penutupan

b. Sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam aksi peduli hepatitis


Tujuan utama dilaksanakannya kegiatan ini adalah untuk peningkatan pengetahuan,
dukungan dan komitmen baik dari masyarakat maupun para pengambil kebijakan
dalam pencegahan dan pengendalian hepatitis

c. Rapat koordinasi untuk persiapan pelaksanaan Hari Hepatitis Sedunia (HHS)


1) Tujuan
Rapat koordinasi untuk mempersiapkan penyelenggaraan Hari Hepatitis
Sedunia, agar terlaksana dengan baik.
2) Kegiatan
Pertemuan untuk membahas tema, kegiatan, jadwal, pembentukan panitia
pelaksana, memberikan masukan terhadap buku pedoman pelaksanaan HHS,
rincian kegiatan, dan penugasan/SK, lokasi diselenggarakannya acara puncak
HHS. Pada rapat awal ini diharapkan dapat dukungan, dan ditetapkannya tanggal
acara puncak dengan kehadiran misalnya Gubernur, Walikota/Bupati. Rapat
panitia lokal merencanakan detail acara HHS, persiapan akhir sebelum HHS
dilaksanakan, dan evaluasi pelaksanaan kegiatan.
3) Peserta Rakor di pusat
Direktorat P2PML, lintas program Kemenkes RI, Pokja Hepatitis, organisasi
profesi (seperti PPHI, IDAI, IBI, PPNI dan lain-lian yang terlibat, LSM, WHO), dan
lintas sektor terkait lainnya.
4) Peserta Rakor di Provinsi

80
Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota, lintas sektor terkait, Pemda,
organisasi professi, LSM, oraganisasi kemasyarakatan, mahasiswa, Pramuka, dan
perwakilan kelompak masyarakt lain yang dianggap perlu.

d. Pemberdayaan masyarakat dalam rangka Hari Hepatitis Sedunia


1) Tujuan
Kegiatan ini dilaksanakan untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan
peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian hepatitis.
2) Kegiatan pemberdayaan masyarakat ini, berupa aeminar, talk show TV/radio,
advertorial, TV spot, radio spot, lomba-lomba, pemasangan spanduk, banner,
acara jalan santai dan/atau sepeda sehat.
3) Peserta
Masyarakat, tokoh masyarakat, LSM, lintas sektor dan lintas program terkait.

e. Kemitraan/jejaring kerja P2HPISP


1) Tujuan
Terlaksananya kemitraan yang baik dengan lintas program dan lintas sector
terkait.
2) Beberapa kegiatan kemitraan antara lain Rakerkesnas Wilayah Indonesia
Barat/Timur/Tengah, Rakerkesda, Trilateral meeting, Musrenbang pusat, Sailing
Tomini/Sailing Komodo/dan lain-lain, pertemuan/reviu perencanaan pagu
indikatif, pagu definitif, menghadiri undangan pertemuan atau kunjungan kerja
dengan DPR RI, dan memenuhi undangan sebagai fasilitator/narasumber
pertemuan di provinsi/kabupaten/kota, memenuhi undangan dari WHO, LSM
lokal/nasional/internasional, UNICEF, KPAN, UNODC, BNN, Kemtrian/Lembaga
lainnya yang dianggap perlu dan belum terdanai dari kegiatan lain.
3) Waktu
Sesuai kebutuhan/ Undangan / jadwal kegiatan yang ditentukan.

f. Pelaksanaan deteksi dini hepatitis


Agar pelaksanaan deteksi dini hepatitis dapat berjalan dengan baik, maka perlu
dilaksanakan perencanaan anggaran dengan baik antara lain:
 Pengadaan ATK, kuesioner, flashdisk, dan toner/tinta komputer
 Biaya pemeriksaan konfirmasi di laboratorium yang di tunjuk
 Pemeriksaan menggunakan rapid test hepatitis bagi kelompok berisiko tinggi dan
biaya pemeriksaan di laboratorium konfirmasi.
 Biaya pengepakan/pengiriman spesimen
 Transport/uang harian/penginapan petugas provinsi/kabupaten/kota untuk bim-
tek dan monev
 Transport petugas puskesmas dalam melaksanakan pengambilan darah ke lokasi/
sasaran luar gedung
 Transport petugas puskesmas untuk mengantar/mengirim spesimen ke labora-
torium yang ditunjuk
 Transport puskesmas untuk pertemuan monev di kabupaten/kota.

81
g. Pemantauan hepatitis pada kelompok berisiko tertular dan menularkan
1) Tujuan
Mengetahui besaran masalah dan kecenderungan besaran hepatitis B dan/atau C
pada populasi berisiko tinggi di beberapa kota di Indonesia, mengetahui tingkat
pengetahuan tentang hepatitis B dan/atau C pada populasi berisiko tinggi di
beberapa kota di Indonesia, dan mengetahui perilaku berisiko dan
kecenderungannya.
2) Metodologi
Dalam pelaksanaan pengamatan hepatitis B dan/atau C pada kelompok populasi
berisiko akan dikolaborasikan dengan pelaksanaan surveilans sentinel HIV, pada
saat tertentu kolaborasi ini juga akan dengan SCP dan STBP HIV.
3) Pelaporan
 Kuesioner (mengikuti alur pelaporan surveilans HIV )
 Hasil pemeriksaan spesimen (mengikuti alur pelaporan HIV), pada tingkatan
dinas kesehatan kabupaten/kota dan propinsi program hepatitis berada pada
didang dan seksi yang sama dengan program AIDS dan IMS.
4) Sasaran
Kelompok berisiko yang diperiksa adalah WPS, Waria, Penasun, LSL, Warga
Binaan Penjara (WBP)
5) Tempat pemeriksaan spesimen: BLK/BBTKL Provinsi
6) Petugas pelaksana
Tim Provinsi dan kabupaten/kota. Puskesmas yang ditunjuk mengambil sampel
dan mengisi kuesioner yang sudah ditetapkan sebelumnya. Bimtek dan monev
dari Pusat

h. Pemantauan sentinel surveilans hepatitis B pada balita


1) Tujuan
Untuk mengetahui besaran masalah hepatitis B pada balita dan untuk
mengetahui besaran masalah PSP/KAP tentang hepatitis B pada pengasuh balita
2) Sasaran
Balita pengunjung puskesmas (jumlah sample ± 400 per kabupaten/kota)
3) Pengambil spesimen
Tim provinsi/kabupaten/kota dan puskesmas
4) Pemeriksaan sampel (HBsAg dan anti-HBs) di BLK/BBTKL provinsi.

i. Pertemuan persiapan dan evaluasi pelaksanaan deteksi dini hepatitis


1) Sebagaimana diuraikan sebelumnya, deteksi dini merupakan kegiatan yang
penting untuk mengetahui secara dini ada tidaknya infeksi hepatitis B dan/atau
C pada kelompok kelompok populasi berisiko. Untuk itu perlu dilakukan
pertemuan persiapan dan evaluasi dengan tujuan sebagai berikut:
 Mendapatkan kesamaan pemahaman tentang pelaksanaan deteksi dini
 Menetapkan jadwal pelaksanaan kegiatan
 Memahami tatacara pelaksanaan deteksi dini
 Melakukan evaluasi pelaksanaan kegiatan
2) Peserta
Dinas kesehatan provinsi, tim Subdit Hepatitis dan PISP, B/BLK, BTKL provinsi
82
3) Narasumber
Direktur P2PML, Komli Hepatitis dan PISP, BBLK/ BBTKL Provinsi
4) Tempat
Jakarta

j. Pengamatan (surveilans) demam tifoid pada kelompok berisiko


1) Tujuan
Mengetahui besaran masalah dan kecenderungan besaran masalah demam tifoid
pada kelompok berisiko, meningkatkan pengetahuan tentang demam tifoid, dan
mengetahui perilaku berisiko dan kecenderungannya
2) Jumlah sampel
Tiap kabupaten/kota sebanyak 200 sampel.
3) Lokasi
Jumlah provinsi dan kabupaten/kota sesuai target Indikator program
4) Metode
 Kegiatan ini dapat juga dilaksanakan di luar gedung fasilitas pelayanan
kesehatan dimana kelompok tersebut berada, seperti melalui kunjungan
sekolah, kunjungan ke Instalasi Gizi Rumah Sakit , Kunjungan ke tempat-
tempat umum seperti rumah makan, warung, hotel, bandara, pelabuhan dan
terminal, dan pelayanan keliling Fasyankes (mobile clinic).
 Sebelum pelaksanaan dimulai, petugas Puskesmas menghubungi Kepala
Sekolah/ Kepala Instalasi Gizi RS/ contact person dari TTU tersebut
 Setelah ada kesepakatan maka kegiatan dilaksanakan pada tempat dan waktu
yang telah disepakati. Pada hari pelaksanaan maka petugas puskesmas akan
mengunjungi lokasi untuk melalukan penyuluhan dan penandatanganan
informed consent, dan pengambilan sampel. Materi penyuluhan meliputi gejala
demam tifoid, cara penularan, cara pencegahan, cara menyiapkan makanan
yang sehat, dan pentingnya imunisasi demam tifoid.
 Responden diwawancarai menggunakan kuesioner dan pengamatan higiene
penjamah makanan (seperti kebersihan tangan, kuku, cuci tangan,
penggunanan sarung tangan khusus) dan sanitasi (seperti tempat jualan, air
cucian peralatan makan/minum, air minum)
 Pengambilan spesimen (rectal swab)
 Pemeriksaan kultur spesimen
 Pengolahan dan analisa data
 Penyusunan laporan kegiatan.

k. Bintek dan Monev


1) Tujuan
Mengetahui perkembangan pelaksanaan kegiatan P2HPISP, pencapaian indika-
tor, dan hambatan dalam pelaksanaan kegiatan
2) Pelaksana
 Pusat: Direktorat P2PML, Subdit Hepatitis dan PISP, dan lintas program terkait
ke dinas kesehatan propinsi/kabupaten/kota terpilih
 Propinsi: ke kabupaten/kota/puskesmas terpilih.
3) Waktu: ± 3 hari
83
B. Penyediaan Sarana/Prasarana P2HPISP
1. Penyediaan reagen dan bahan habis pakai (BHP) deteksi hepatitis pada ibu hamil
terdiri dari:
 Rapid test HBsAg
 Bahan Habis Pakai (BHP)
2. Penyediaan reagen, BHP deteksi hepatitis pada tenaga kesehatan dan kelompok
berisiko lainnya:
 Rapid test HBsAg
 Rapid test Anti-HCV
 Rapid test anti- HBs
 BHP
3. Penyediaan reagen dan BHP dalam kegiatan pemantauan hepatitis B dan C pada
kelompok berisiko
 Rapid test HBsAg
 Rapid test anti HCV
 BHP
4. Penyediaan Reagen immunologi hepatitis di laboratorium rujukan (konfirmasi)
 Reagen immunologi HBsAg
 Reagen immunologi anti-HCV
 BHP
5. Penyediaan HBIg (Human Immunoglobulin) untuk bayi yang ibunya Hepatitis B reaktif
6. Pengadaan vaksin hepatitis B dewasa bagi tenaga kesehatan dan kelompok berisiko
lainnya
7. Penyediaan alat laboratorium dan alat (mesin) pemeriksaan yang mendukung
diagnostik.

Dalam usulan perencanaan pengadaan barang dan jasa agar senatiasa dilengkapi dengan
data pendukung sesuai peraturan yang berlaku.

84
BAB XI

MONITORING DAN EVALUASI KEGIATAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN


HEPATITIS DAN PENYAKIT INFEKSI SALURAN PENCERNAAN

Monitoring dan evaluasi dapat dilakukan pada setiap tahapan manajemen baik monitoring
dan evaluasi pada perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pada monitoring dan
evaluasinya sendiri. Perencanaan yang telah dibuat perlu dimonitoring dan dievaluasi
untuk mengetahui keberhasilannya. Oleh karena itu, perencanaan yang baik juga
menetapkan target dan indikator, sehingga keberhasilan dari kegiatan dapat dipantau
secara berkala. Perencanaan strategis umumnya berlaku untuk jangka panjang dan
menengah dan kemudian diterjemahkan sebagai kegiatan-kegiatan dalam kurun waktu
yang lebih pendek. Evaluasi hendaknya tidak hanya dilakukan secara kuantitatif, namun
juga bisa secara kualitatif, contoh melalui dengar pendapat. Hal ini bisa menambah
masukan mengenai implementasi perencanaan di lapangan serta kesulitan yang dihadapai
maupun kemungkinan untuk melakukan inovasi baru.

Monitoring (pemantauan) dan evaluasi (penilaian) kegiatan pencegahan dan pengendalian


Hepatisis dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan (HPISP) adalah suatu proses yang terus
menerus untuk menilai pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pengendalian HPISP,
mengidentifikasi, dan mengantisipasi permasalahan yang timbul dan/atau akan timbul
untuk dapat diambil tindakan sedini mungkin, menilai hasil perubahan tersebut, baik yang
direncanakan atau tidak yang dihasilkan dari keluaran (output) dan hasil (outcome)
dibandingkan dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya serta efektifitas dan
efisiensi kegiatan pencegahan dan pengendalian HPISP.

Monitoring dimaksudkan untuk mensinkronkan kembali keseluruhan proses kegiatan agar


sesuai dengan rencana yang ditetapkan dengan perbaikan segera agar dapat dicegah
kemungkinan adanya penyimpangan ataupun ketidaksesuaian yang berpotensi
mengurangi bahkan menimbulkan kegagalan pencapaian tujuan dan sasaran. Untuk itu,
monitoring diarahkan guna mengidentifikasi kualitas pengelolaan, permasalahan yang
terjadi serta dampak yang ditimbulkannya.

Evaluasi dimaksudkan untuk memberikan bobot atau nilai terhadap hasil yang dicapai
dalam keseluruhan pentahapan kegiatan, untuk proses pengambilan keputusan apakah
suatu kegiatan diteruskan, dikurangi, dikembangkan atau diperkuat. Untuk itu penilaian
diarahkan guna mengkaji efektifiktas dan efisensi pengelolaan kegiatan pencegahan dan
pengendalian HPISP. Penilaian kinerja pencegahan dan pengendalian HPISP dilaksanakan
berdasarkan indikator yang telah ditetapkan dalam pencapaian sasaran.

Tujuan monitoring dan evaluasi adalah: 1)Petugas dinas kesehatan provinsi mampu
melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan pengendalian HPISP di kabupaten/kota di
provinsi tersebut; 2) Petugas dinas kesehatan kabupaten/kota mampu melakukan
monitoring dan evaluasi kegiatan pengendalian HPISP di puskesmas di kabupaten/kota
tersebut; dan 3) Petugas puskesmas mampu melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan
85
pengendalian HPISP di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya di wilayah kerja puskesmas
tersebut.

Monitoring dan evaluasi dilakukan pada setiap tahap kegiatan pencegahan dan
penegandalian HPISP, yaitu:

1. Tahap awal kegiatan pencegahan dan pengendalian HPISP


Penilaian dilakukan pada saat merencanakan kegiatan pencegahan dan pengendalian
HPISP di setiap jenjang administrasi, untuk mengetahui apakah rencana yang disusun
telah sesuai dengan standar yang ditetapkan.

2. Tahap pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pencegahan dan pengendalian HPISP


Penilaian dilakukan pada saat kegiatan pencegahan dan pengendalian HIsp yang sedang
dilaksanakan, untuk mengukur apakah kegiatan yang sedang dilaksanakan sudah sesuai
dengan rencana, atau apakah terjadi penyimpangan yang dapat mempengaruhi
pencapaian tujuan. Ada dua bentuk penilaian, yaitu monitoring dan penilaian secara
berkala. Perbedaan antara monitoring dan evaluasi berkala adalah sebagai berikut
(Tabel 7).

Tabel 7. Perbedaan Monitoring dan Evaluasi Berkala


Perbedaan Monitoring Evaluasi Berkala
Frekuensi Biasanya setiap dua minggu atau Setiap enam bulan atau satu tahun
satu bulan sekali sekali
Pelaksana Oleh Internal secara berjenjang Oleh internal secara berjenjang,
tetapi dapat juga dilakukan oleh
pihak ketiga (eksternal)
Tujuan Biasanya bersifat terbatas, yaitu Biasanya bersifat lebih luas, bahkan
memperbaiki beberapa dapat merevisi kegiatan pencegahan
penyimpangan dan pengendalian secara
keseluruhan

3. Tahap akhir kegiatan pencegahan dan pengendalian HPISP


Penilaian dilakukan pada saat kegiatan pencegahan dan pengendalian telah selesai
dilaksanakan, yaitu untuk mengukur keluaran (output), outcome, dan dampak (impact)
yang dihasilkan. Biasanya penilaian dampak diperlukan waktu yang lebih lama.

4. Output kegiatan pencegahan dan pengendalian HPISP

a. Output kegiatan pencegahan dan pengendalian hepatitis

Indikator pencegahan dan pengendalian hepatitis di Indonesia tahun 2015-2019


dapat dilihat pada Tabel 8

86
Tabel 8. Indikator Pencegahan dan Pengendalian Hepatitis di Indonesia, 2015-2019

No. Indikator 2014 2015 2016 2017 2018 2019


(%) (%) (%) (%) (%) (%)
ELIMINASI PENULARAN HEPATITIS B DARI IBU KE ANAK TAHUN 2020 DAN ELIMINASI
HEPATITIS C TAHUN 2030
1. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan 2 20 40 70 90 90
sosialisasi dan/atau advokasi hepatitis virus
2. Jumlah provinsi yang melakukan kegiatan NA* 14 21 28 34 34
surveilans sentinel hepatitis pada populasi
berisiko
3. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan 2 5 10 30 60 80
deteksi dini hepatitis B
4. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan NA* 5 10 30 60 80
deteksi dini hepatitis B dan C pada populasi
berisiko
5. Persentase orang yang terdeteksi HBsAg positif NA* 5 10 30 60 80
yang mendapatkan akses upaya lanjutan
6. Persentase orang dengan hepatitis C yang NA* 5 10 30 60 80
mendapatkan akses upaya lanjutan
*NA=Data not available; 2014: baseline data

b. Indikator Kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran


Pencernaan

Indikator kegiatan pencegahan dan pengendalian Penyakit Infeksi Saluran


Pencernaan sebagaimana terlihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Indikator Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran


Pencernaan di Indonesia, 2015-2019
No. Indikator 2014 2015 2016 2017 2018 2019
(%) (%) (%) (%) (%) (%)
 MENURUNNYA ANGKA KEMATIAN BALITA AKIBAT DIARE SEBESAR 50% DARI KONDISI
SAAT INI
 MENURUNNYA ANGKA KESAKITAN DEMAM TIFOID PADA ANAK SEKOLAH SEBESAR 30%
DARI KONDISI SAAT INI
1. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan NA* 10 20 40 80 90
advokasi dan/atau sosialisasi tentang diare,
tifoid, dan hepatitis A dan E
2. Persentase kabupaten/kota yang mempunyai NA* 10 20 40 80 90
Layanan Rehidrasi Oral Aktif
3. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan NA* 10 20 40 80 90
SKD KLB diare
4. Persentase kabupaten/kota yang melakukan NA* 2,5 5 10 20 30
kegiatan surveilasn karier tifoid pada kelompok
masyarakat paling berisiko
5. Persentase kelompok anak sekolah yang NA* 2,5 5 10 20 30
dilakukan upaya pencegahan demam tifoid
*NA=Data not available; 2014: baseline data

87
5. Dampak kegiatan pencegahan dan pengendalian HIsp

a. Dampak kegiatan pencegahan dan pengendalian hepatitis


 Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang hepatitis
 Menurunkan kejadian penularan hepatitis
 Menurunkan angka kesakitan dan kematian hepatitis
 Meningkatkan kualitas hidup penderita hepatitis

b. Dampak kegiatan pencegahan dan pengendalian diare


 Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang diare
 Menurunkan kejadian penularan diare
 Menurunkan angka kesakitan dan kematian diare

c. Dampak kegiatan pencegahan dan pengendalian tifoid


 Meningkatnya upaya pencegahan tifoid terutama pada kelompok yang paling
berisiko (usia anak sekolah)
 Meningkatnya jangkauan pelayanan demam tifoid di fasilitas pelayanan kesehatan
 Meningkatnya ketersediaan data kasus tifoid terutama pada kelompok
masyarakat paling berisiko
 Meningkatnya ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlatih dalam
melaksanakan kegiatan pencegahan dan pengendalian tifoid di berbagai tingkat
layanan, lintas program dan lintar sektor terkait.
 Meningkatnya ketersediaan logistik (bahan/alat/obat) dalam pencegahan dan
pengendalian tifoid.
 Meningkatnya pembiayan yang diperlukan dalam pencegahan dan pengendalian
tifoid
 Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang tifoid
 Menurunkan kejadian penularan tifoid
 Menurunkan angka kesakitan dan kematian tifoid.

A. Monitoring dan Evaluasi Pencegahan dan Pengendalian Hepatitis


Monitoring dan evaluasi pencegahan dan pengendalian hepatitis dilakukan terhadap
aspek manajemen dan teknis. Monitoring dan evaluasi terhadap aspek manajemen
dilakukan untuk memberikan gambaran aksesibilitas, kualitas pengelolaan program,
permasalahan, dan dampak. Monitoring dan evaluasi terhadap aspek teknis dilakukan
untuk memberikan gambaran tentang keberhasilan dan resistensi penanganan kasus.

Monitoring dilaksanakan oleh pengelola program, baik di pusat maupun daerah, pada
saat program/kegiatan pencegahan dan pengendalian sedang berlangsung guna
memberikan koreksi atau perbaikan segera terhadap rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan. Sebagai contoh, dalam pemberian imunisasi hepatitis B yang sebaiknya
diberikan kepada bayi segera setelah kelahirannya, maka apabila pemberian imunisasi
pada bayi dilakukan di luar periode waktu segera setelah kelahiran bayi pada suatu
wilayah, disarankan agar selanjutnya pemberian imunisasi dapat dilakukan secepatnya
(segera setelah bayi lahir). Dalam konteks ini monitoring dilakukan dalam rangka

88
memperoleh gambaran tentang aksesibilitas, kualitas pengelolaan program, masalah,
dan dampaknya.

Gambaran selengkapnya data dan informasi yang diperoleh pada saat proses
monitoring dapat dilihat pada tabel sebagai berikut (Tabel 10):

Tabel 10. Gambaran Aksesibilitas, Kualitas Kegiatan, Masalah, dan Dampak Kegiatan
Pencegahan dan Pengendalian Hepatitis
Aksesibilitas Kualitas kegiatan Masalah Dampak
Jumlah bayi yang diimunisasi Proporsi bayi yang A-B Peningkatan
hepatitis B segera setelah memperoleh imunisasi insidensi dan
lahir dibagi jumlah bayi yang hepatitis B segera setelah prevalensi
lahir pada periode yang sama lahir dibagi jumlah bayi hepatitis B
(A) yang diimunisasi pada
saat usia 7 hari (B)

Evaluasi hepatitis dilaksanakan oleh pengelola program, baik di pusat maupun daerah,
setelah pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pengendalian dilakukan pada satu tahun
anggaran selesai. Hasil evaluasi dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan apakah
kegiatan dilanjutkan, dikembangkan, atau dibatasi.
Sebagai contoh gambaran evaluasi pada kasus pemberian imunisasi hepatitis B
sebagaimana tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa:
a. Apabila masalah yang terjadi semakin besar, maka kegiatan dipertimbangkan untuk
dikaji kembali; dan
b. Apabila kualitas pengelolaan kegiatan mencapai lebih dari 95%, kegiatan
dipertimbangkan untuk ditingkatkan.

B. Pembinaan dan Pengawasan


Pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pencegahan dan pengendalian
HIsp dilakukan terhadap upaya untuk mencegah risiko, kemampuan deteksi dini, dan
penanggulangan KLB.

Pembinaan pencegahan dan pengendalian HIsp dilakukan melalui:


1. Pemberdayaan masyarakat, dengan cara sosialisasi, kemitraan, dan advokasi
2. Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, dengan pelatihan teknis dan manajemen,
pendidikan serta penugasan khusus yang relevan dengan upaya pencegahan dan
pengendalian
3. pembiayaan, dengan penyediaan dana untuk keseluruhan kegiatan pencegahan dan
pengendalian pada seluruh jenjang administrasi pemerintahan termasuk unit
pelaksana teknis sesuai dengan skala prioritas

Pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan pencegahan dan pengendalian HIsp


dilaksanakan secara fungsional baik secara internal maupun eksternal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

89
BAB XII

PENUTUP

Buku ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman atau pegangan bagi penanggung
jawab/pengelola prgoram/kegiatan Hepatitis dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan
(HPISP) di puskesmas, kabupaten/kota, provinsi dan pusat dalam melaksakan kegiatan
pencegahan dan pengendalian HPISP disetiap tingkatannya.

Dengan adanya buku ini diharapkan pula seluruh penanggung jawab/pengelola


prgoram/kegiatan HPISP termasuk pihak terkait lainnya memiliki kesamaan pandangan
terhadap tujuan dan pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pengendalian HPISP serta
manajemennya.

Untuk penjelasan yang lebih rinci tentang program/kegiatan pencegahan dan pengendalian
HPISP dapat dilihat pada buku petunjuk teknis masing-masing penyakit.

90
DAFAR PUSTAKA

Permenkes RI Nomor 53 Tahun 2015 tentang Penanggulangan Hepatitis Virus


Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007,
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta 2007.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013,
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta 2014
Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Dasar. Pedoman Manajemen Puskesmas,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta 2012.
Direktorat Jenderal PP dan PL. Petunjuk Teknis Deteksi Dini Hepatitis B dan C pada
Kelompok Masyarakat Berisiko Tinggi, Jakarta 2015.
Direktorat Jenderal PP dan PL. Petunjuk Teknis Pengamatan Hepatitis B dan C, Jakarta
2015.
Direktorat Jenderal PP dan PL. Petunjuk Teknis Layanan Rehidrasi Oral Aktif, Jakarta 2015.
Direktorat Jenderal PP dan PL. Petunjuk Teknis Pengamatan Karier Tifoid, Jakarta 2015.
Direktorat Jenderal PP dan PL. Petunjuk Teknis Tatalaksana Tifoid, Jakarta 2016
Direktorat Jenderal PP dan PL. Petunjuk Teknis Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar
Biasa Hepatitis A dan E, Diare dan Tifoid, Jakarta 2015.
Direktorat Jenderal PP dan PL. Petunjuk Teknis Monitoring dan Evaluasi Kegiatan
Pengendalian Hepatitis, Diare dan Infeksi Saluran Pencernaan, Jakarta 2015.

91

Anda mungkin juga menyukai