PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hepatitis virus merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk
Indonesia. Di dunia, virus Hepatitis B (HVB) telah menginfeksi sebanyak 2 milyar orang,
sekitar 360 juta diantaranya merupakan pengidap VHB kronik dan 500.000 orang
meninggal setiap tahunnya. Sedangkan jumlah penderita hepatitis C diperkirakan
sebanyak 170 juta orang.
Dengan diketahuinya besaran masalah hepatitis secara global dan dampaknya terhadap
kesehatan masyarakat, maka pada tanggal 20 Mei 2010, World Health Assembly (WHA)
dalam sidangnya yang ke-63 di Geneva telah menyetujui mengadopsi resolusi WHA No.
63.18 tentang penanggulangan hepatitis, yaitu semua negara di dunia sudah saatnya
melakukan pencegahan dan pengendalian hepatitis. Badan Kesehatan Dunia (WHO)
akan menyediakan bantuan bagi negara berkembang dalam pengembangan strategi
nasional, surveilans yang efektif, pengembangan vaksin, dan pengobatan yang efektif.
Tanggal 28 Juli ditetapkan sebagai Hari Hepatitis Dunia atau World Hepatitis Day.
Resolusi WHA tentang hepatitis diperkuat lagi dengan resolusi WHA nomor 67.6
tanggal 23 Mei 2014 tentang perlunya ‘aksi konkrit’ dalam pengendalian hepatitis.
1
Penyakit lain yang menimbulkan masalah kesehatan masyarakat khususnya pada bayi
dan balita adalah diare. Menurut WHO dan UNICEF, setiap tahunnya terjadi sekitar 2
milyar kasus diare di dunia, dan sekitar 1,9 juta anak balita diantaranya meninggal.
Sebagian besar kasus diare terjadi di negara berkembang. Dari semua kematian balita
karena diare, 78% terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Di Indonesia, diare merupakan
penyebab nomor satu kematian bayi (31,4%) dan kematian balita (25,2%) serta
penyebab kematian nomor 4 (13,2%) pada semua umur dalam kelompok penyakit
menular (Riskesdas 2007).
Pada tahun 2013, period prevalence dan insidensi diare untuk seluruh kelompok umur
di Indonesia masing-masing sebesar 3.5%. Lima provinsi dengan period prevalence dan
insidensi diare tertinggi, yaitu Papua (6,3% dan 14,7%), Sulawesi Selatan (5,2% dan
10,2%), Aceh (5,0% dan 9,3%), Sulawesi Barat (4,7% dan 10,1%), dan Sulawesi Tengah
(4,4% dan 8,8%). Semakin rendah kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi proporsi
diare pada penduduk. Petani/nelayan/buruh mempunyai proporsi tertinggi (7,1%),
jenis kelamin dan tempat tinggal menunjukkan proporsi yang tidak jauh berbeda.
Insidensi diare balita di Indonesia sebesar 6,7%. Lima provinsi dengan insidensi diare
tertinggi pada balita adalah Aceh (10,2%), Papua (9,6%), DKI Jakarta (8,9%), Sulawesi
Selatan (8,1%), dan Banten (8,0%). Anak balita merupakan kelompok umur paling
tinggi menderita diare, terutama 12-23 bulan (7,6%), laki-laki (5,5%), tinggal di daerah
pedesaan (5,3%), dan kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah (6,2%)
(Riskesdas, 2013).
Demam tifoid merupakan salah satu dari penyakit infeksi saluran pencernaan yang
memiliki permasalahan tersendiri selain diare. Di Indonesia, tifoid bersifat endemik dan
merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari hasil telaahan kasus di rumah sakit
besar di Indonesia, menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan kasus tersangka
tifoid dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan
kematian antara 0,6-5%. Dewasa ini tifoid perlu mendapat perhatian serius, karena
permasalahannya yang semakin kompleks, sehingga menyulitkan upaya pengobatan
dan pencegahannya (Kepmenkes No. 365/2006).
Seperti halnya penyakit menular lainnya, prinsip utama dalam pencegahan dan
pengendalian Hepatitis dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan (HPISP) adalah: 1)
Peningkatan pengetahuan, kepedulian dan komitmen; 2) Upaya pencegahan secara
komprehensif; 3) Penguatan surveilans/pengamatan penyakit; 4) Deteksi dini; 5)
Peningkatan akses pengobatan dan perawatan; 6) Perencanaan kegiatan dan tata kelola
logistik; 7) Membangun jejaring kemitraan, dan kerjasama; 8) Peningkatan Sumber
Daya Manusia (SDM) dalam mendukung pelaksanaan kegiatan; dan 9) Monitoring dan
evaluasi kegiatan.
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Tujuan umum pedoman ini adalah sebagai panduan dalam penyelenggaran upaya
pencegahan dan pengendalian HPISP secara berdaya guna dan berhasil guna
2. Tujuan khusus
a. Sebagai panduan dalam melakukan perencanaan kegiatan
b. Sebagai panduan dalam pengembangan dan pelaksanaan kegiatan
c. Sebagai panduan dalam melakukan bimtek, monitoring dan evaluasi
d. Sebagai panduan dalam melakukan kerjasama dengan pihak lain
Peranan B/BTKLPP, B/BLK/Labkesda, KKP, dan Rumah Sakit dalam Manajemen Pencegahan
dan Pengendalian Hepatitis dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan (P2HPISP) sebagaimana
terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Peranan B/BTKLPP, B/BLK/Labkesda, KKP, dan Rumah Sakit dalam Manajemen
P2HPISP
3
D. Pengguna
Penanggung jawab/pengelola program/kegiatan pencegahan dan pengendalian HPISP
di tingkat pusat, Unit Pelaksana Teknis (UPT), dinas kesehatan provinsi, dinas
kesehatan kabupaten/kota, fasyankes, serta lintas program dan sektor terkait.
E. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pedoman ini meliputi: 1) Gambaran klinis HPISP, 2) Kebijakan dan
strategi pencegahan dan pengendalian HPISP, 3) Tujuan dan sasaran; 4) Indikator; 5)
Kegiatan pokok pencegahan dan pengendalian HPISP; 6) Pengembangan jejaring kerja
dan kemitraan; dan 6) Manajemen (perencanaan dan monev) pecegahan dan
pengendalian HPISP.
F. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273).
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431).
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063).
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah
Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3447).
7. Undang Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3637).
8. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 8781).
9. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2010-2014.
10. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang
Standar Pelayanan Kedokteran.
11. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1501/MENKES/ PER/X/2010 tentang Jenis
Penyakit Menular tertentu yang dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya
Penanggulangan.
12. Permenkes Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem
Surveilans Epidemiologi Kesehatan.
4
13. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1479/MENKES/SK/X/2003 tentang
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak
Menular.
14. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 949/MENKES/SK/VIII/2004 tentang
Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa.
15. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 206/MENKES/SK/II/
2008 tentang Komite Ahli Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan.
16. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 64 tahun 2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Kesehatan RI.
17. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.02/Menkes/2015 tentang Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019.
18. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 365/Menkes/SK/V/2006 tentang
Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.
19. Permenkes RI Nomor 53 Tahun 2015 tentang Penanggulangan Hepatitis Virus
5
BAB II
C. Tujuan
Tujuan kegiatan pencegahan dan pengendalian HPISP
1. Hepatitis
a. Menurunkan angka kejadian penularan hepatitis
b. Menurunkan angka kesakitan dan kematian hepatitis
c. Meningkatkan kualitas hidup penderita hepatitis
1. Hepatitis
a. Eliminasi penularan hepatitis B dari ibu ke anak pada tahun 2020
b. Eliminasi hepatitis C pada tahun 2030
7
2) Penguatan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD KLB) dan
respon dalam rangka menurunkan KLB dan respons terhadap KLB yang
timbul
3) Penguatan sistem informasi kesehatan
4) Pengembangan riset operasional untuk mendukung pengembangan program
HPISP
c. Pencegahan HPISP
1) Pencegahan non spesifik (PHBS, dan lain-lain)
2) Pencegahan spesifik (imunisasi, pengobatan)
d. Deteksi dini
1) Deteksi dini hepatitis B dan C
2) Deteksi dini pada kelompok populasi paling berisiko tertular dan menularkan
HPISP
e. Penanganan HPISP
1) Perluasan dan kemudahan akses layanan
2) Integrasi pada sistem yang ada
3) Pemenuhan kebutuhan bahan/alat/obat pencegahan dan pengendalian
HPISP
4) Sinkronisasi kebijakan layanan HPISP dan Jaminan Kesehatan Nasional
5) Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)
8
G. Organisasi Pencegahan dan Pengendalian HPISP
Sesuai dengan Permenkes Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kesehatan RI, Subdit Hepatitis dan Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan
pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan
pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan di bidang pencegahan dan pengendalian hepatitis dan penyakit infeksi
saluran pencernaan (pasal 319).
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada pasal 319, Subdit Hepatitis
dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan menyelenggarakan fungsi:
a. Penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang pencegahan dan pengendalian
hepatitis dan penyakit infeksi saluran pencernaan
b. Penyiapan bahan pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan dan
pengendalian hepatitis dan penyakit infeksi saluran pencernaan
c. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang
pencegahan dan dan pengendalian hepatitis dan penyakit infeksi saluran
pencernaan
d. Penyiapan bahan dan bimbingan teknis dan suvervisi di bidang pencegahan dan
pengendalian hepatitis dan penyakit infeksi saluran pencernaan; dan
e. Pemantauan, evaluasi dan pencegahan dan pengendalian hepatitis dan penyakit
infeksi saluran pencernaan.
Dalam upaya untuk memastikan dan membantu tercapainya tugas dan fungsi
Kementrian Kesehatan, dibentuklah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementrian
Kesehatan (Direktorat Jenderal P2P), yaitu Balai Besar/Balai Teknis Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (B/BTKLPP) dan Kantor Kesehatan
Pelabuhan (KKP). Di seluruh Indonesia saat ini terdapat 10 B/BTKLPP dan 59 KKP
9
Tugas dan fungsi B/BTKLPP merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
2349/Menkes/Per/XI/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana
Teknis di Bidang Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit, bahwa
tugas dan fungsi B/BTKLPP adalah sebagai berikut:
a. Tugas
Melaksanakan surveilans epidemiologi, kajian dan penapisan teknologi,
laboratorium rujukan, kendali mutu, kalibrasi, pendidikan dan pelatihan,
pengembangan model dan teknologi tepat guna, kewaspadaan dini, dan
penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) di bidang pengendalian penyakit
dan kesehatan lingkungan serta kesehatan matra.
b. Fungsi
Pelaksanaan surveilans epidemiologi, pelaksanaan Analisis Dampak (penyakit)
Kesehatan Lingkungan (ADKL), pelaksanaan laboratorium rujukan, pelaksanaan
pengembangan model dan teknologi tepat guna, pelaksanaan uji kendali mutu
dan kalibrasi, pelaksanaan penilaian dan respon cepat, kewaspadaan dini dan
penanggulangan KLB/wabah dan bencana, pelaksanaan surveilans faktor risiko
penyakit tidak menular, pelaksanaan pendidikan dan pelatihan, pelaksanaan
kajian dan pengembangan teknologi pengendalian penyakit, kesehatan
lingkungan dan kesehatan matra, dan pelaksanaan ketatausahaan dan kerumah
tanggaan.
10
BAB III
A. Hepatitis
Hepatitis dapat disebabkan oleh virus (Hepatitis A, B, C, dan D, E), bakteri (Salmonella
typhosa), parasit (Plasmodium tropica, amoeba: Entamoeba histolytica, cacing: Fasciola
hepatica), proses autoimun, obat-obatan, perlemakan, alkohol dan zat berbahaya
lainnya. Virus, bakteri, dan parasit merupakan penyebab infeksi terbanyak. Infeksi
karena virus Hepatitis A,B,C,D,E merupakan penyebab tertinggi dibandingkan dengan
penyebab lainnya, seperti mononukleosis infeksiosa, demam kuning (yellow fever) dan
sitomegalovirus. Sedangkan penyebab utama hepatitis non-virus adalah alkohol dan
obat-obatan.
Dalam BAB ini pembahasan meliputi hepatitis B, hepatitis C dan D, sedangkan hepatitis
A dan E termasuk dalam kelompok PISP.
1. Hepatitis B
a. Etiologi
Penyebab Virus Hepatitis B (VHB) yang berukuran sangat kecil (42nm). Virus ini
merupakan virus DNA termasuk family Hepadnavirus. Virus dari family
Hepadnavirus bisa juga ditemukan pada bebek, marmut dan tupai tanah, namun
virus tersebut tidak bisa menginfeksi manusia. Virus Hepatitis B yang
menginfeksi manusia bisa juga menginfeksi simpanse. Sampai saat ini telah
teridentifikasi 8 genotype, yaitu genotype A-H (A, B, C, D, E, F, G, H). Virus
Hepatitis B memiliki 3 jenis morfologi dan 4 jenis antigen, yaitu HBsAg, HBcAg,
HbeAg, dan HBxAg.
b. Cara penularan
Virus Hepatitis B dapat ditemukan dalam cairan tubuh penderita, seperti darah
dan produk darah, air liur, cairan serebrospinal, peritoneal, pleural, cairan
amniotik, semen (air mani), cairan vagina dan cairan tubuh lainnya. Namun tidak
semuanya memiliki kadar virus yang infeksius. Secara umum, penularan bisa
terjadi secara vertikal dan horizontal.
Penularan secara vertikal adalah penularan yang terjadi dari ibu kepada bayi
yang dikandungnya pada masa perinatal. Jika seorang ibu hamil karier hepatitis
B dan HBeAg positif, maka kemungkinan 90% bayi yang dilahirkan akan
terinfeksi dan menjadi karier juga. Kemungkinan 25% dari jumlah tersebut akan
meninggal karena hepatitis kronik atau kanker hati. Infeksi hepatitis B di negara
berkembang seperti Indonesia, sebagian besar terjadi pada masa perinatal.
Infeksi mungkin terjadi selama proses persalinan dan diduga tidak
berhubungan dengan proses menyusui.
11
Penularan horizontal adalah penularan dari satu individu ke individu lainnya.
Selain melalui hubungan seksual tidak aman, penularan horizontal juga bisa
terjadi lewat penggunaan jarum suntik bekas penderita hepatitis B, transfusi
darah yang terkontaminasi virus hepatitis B, proses pembuatan tatoo,
penggunaan pisau cukur, sikat gigi, dan gunting kuku bekas penderita hepatitis
B. Berpelukan, berjabatan tangan, atau berciuman dengan penderita hepatitis B
belum terbukti dapat menularkan virus ini.
d. Masa inkubasi
Masa inkubasi VHB berkisar antara 30-180 hari dengan rata-rata 60-90 hari.
Lama masa inkubasi tergantung banyaknya virus dalam tubuh penderita, cara
penularan, dan faktor pejamu. JumLah virus dan usia merupakan faktor penting
yang berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit, baik akut maupun
kronik.
2. Hepatitis C
a. Etiologi
Penyebab hepatitis C adalah Virus Hepatitis C (VHC), termasuk family
Flaviviridea, genus Hepacivirus dan merupakan virus RNA. Setidaknya 6
genotype dan lebih dari 50 subtype HCV yang berbeda telah ditemukan.
b. Cara penularan
Cara penularan VHC yang paling umum adalah secara parenteral, yaitu berkaitan
dengan penggunaan bersama jarum suntik yang tidak steril, terutama pada
pengguna obat-obatan terlarang, tatoo, tindik, penggunaan alat pribadi seperti
pisau cukur, sikat gigi bersama penderita, transfusi darah, operasi, transplantasi
organ, dan melalui hubungan seksual.
d. Masa inkubasi
Masa inkubasi VHC berlangsung selama 15 hari sampai 2 bulan.
3. Hepatitis D
a. Etiologi
Penyebab hepatitis D adalah Virus Heptitis Delta (VHD) yang ditemukan pertama
kali pada tahun 1977. Virus ini berukuran 35-37nm dan mempunyai antigen
internal yang khas, yaitu antigen delta. Virus ini merupakan virus RNA dengan
defek, artinya virus ini tidak mampu bereplikasi secara sempurna tanpa batuan
virus lain, yaitu virus hepatitis B. Hal ini karena VHD tidak mampu mensintesis
protein selubungnya sendiri dan bergantung ada protein yang disintesis VHB,
termasuk HBsAg.
Oleh karena itu, infeksi VHD hanya bisa terjadi pada penderita yang juga
terinfeksi VHB pada saat bersamaan atau pada penderita hepatitis B kronik.
Genom VHD terdiri dari 1.700 pasangan basa, yaitu suatu jumlah terkecil untuk
virus pada hewan.
b. Cara penularan
Virus Hepatitis D ditularkan dengan cara yang sama dengan VHB, yaitu melalui
cairan tubuh penderita. Cara penularan yang utama diduga melalui jalur
parenteral.
13
c. Gejala dan tanda
Perjalanan hepatitis D mengikuti perjalanan hepatitis B. Bila hepatitis B yang
diderita bersifat akut dan kemudian sembuh, VHD juga akan hilang dengan
sendirinya. Namun bila VHD menginfeksi penderita hepatitis B kronik, maka
penderita tersebut juga akan menderita hepatitis D kronik. Gejala infeksi
hepatitis D sama persis dengan hepatitis B, namun kehadiran virus ini terbukti
mempercepat proses fibrosis pada hati, meningkatkan risiko kanker hati, dan
mempercepat dekompensasi pada keadaan sirosis hati.
d. Masa Inkubasi
Rata-rata 2-8 minggu.
1. Diare
a. Definisi
Buang air besar yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (pada umumnya 3
kali atau lebih) per hari dengan konsistensi cair dan berlangsung kurang dari 7
hari. Khusus pada neonatus yang mendapat ASI, diare akut adalah buang air
besar dengan frekuensi lebih sering (biasanya 5-6 kali per hari) dengan
konsistensi cair. Diare merupakan suatu gejala dari berbagai penyakit yang
dapat disebabkan oleh berbagai penyebab. Diare perlu dibedakan dengan
gastroenteritis dimana gastroenteritis merupakan radang pada lambung dan
usus yang dapat menimbulkan gejala diare dengan atau tanpa disertai muntah.
b. Etiologi
Diare dapat disebabkan oleh berbagai penyebab non-infeksi, seperti makanan
(malabsorbsi, keracunan, alergi), malnutrisi, dan gangguan imunologi. Infeksi
yang dapat menimbulkan diare adalah infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme, seperti virus, bakteri, parasit, dan jamur. Berikut ini adalah
contoh mikroorganisme yang dapat menimbulkan diare:
Virus: Retrovirus, Enterovirus (Polio, Coksakie, Echo), Adenovirus, Arbovirus,
DNA virus
Bakteri: Salmonella, Shigella, Escherichia coli, Vibrio cholerae, Staphylococcus
albus, Streptococcus anhemolititicus, Klebsiella, Pseudomonas
Parasit cacing: Ascaris lubricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis.
Protozoa: Entamoeba histolytica, Giardia lamblia
Jamur: Candida, Monilia.
14
c. Jenis diare
Berdasarkan klasifikasi WHO (1996), diare dapat dibedakan menjadi 3 jenis,
yaitu:
d. Cara penularan
Diare dapat ditularkan melalui beberapa cara, seperti makanan atau minuman
yang terkontaminasi oleh tinja yang mengadung mikroorganisme penyebab
diare (oro-faecal) atau autoinfeksi.
2. Demam tifoid
a. Etiologi
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi akut pada saluran
pencernaan (usus halus) yang dikenal juga dengan enteric fever dan tifus
abdominalis. Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella enterica serovar
Typhi (Salmonella ser. Typhi) atau Salmonella typhi dan Salmonella enterica
serovar Paratyphi A, B dan C (Salmonella ser. Paratyphi A, B, dan C), dengan
masa inkubasi 7-14 hari.
b. Gambaran klinis
Gambaran klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala yang sangat ringan
(sehingga tidak terdiagnosis), dan dengan gejala yang khas (sindrom demam
tifoid) sampai dengan gejala klinis berat yang disertai komplikasi. Gambaran
klinis juga bervariasi berdasarkan daerah atau negara, serta menurut waktu.
Gambaran klinis pada anak cenderung tidak khas, dan makin muda usia anak
gambaran klinis semakin tidak khas.
15
Kumpulan gejala klinis demam tifoid disebut dengan sindrom demam tifoid.
Beberapa gejala klinis yang sering pada demam tifoid antara lain:
1) Demam
Demam adalah gejala utama pada awal sakit, biasanya sub-febris, kemudian
secara perlahan demam meningkat dan pagi lebih rendah atau normal
dibandingkan sore dan malam hari (suhu diurnal). Dari hari ke hari intensitas
demam makin tinggi yang disertai banyak gejala lain seperti sakit kepala,
pusing yang sering dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal-pegal,
insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu ke-2 intensitas demam
makin tinggi, kadang-kadang terus menerus (demam kontinyu). Bila pasien
membaik, maka pada minggu ke-3 suhu badan berangsur turun dan dapat
normal kembali pada akhir minggu ke-3. Perlu diperhatikan bahwa demam
yang khas pada demam tifoid tersebut tidak selalu ada. Tipe demam tidak
beraturan, hal ini mungkin karena intervensi pengobatan atau komplikasi
yang dapat terjadi lebih awal. Pada anak, khususnya balita, demam tinggi
dapat menimbulkan kejang.
2) Gangguan saluran pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap, karena demam yang lama.
Bibir kering dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan
ditutupi selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated
tongue atau lidah kotor), tetapi pada pasien anak jarang ditemukan. Pada
umumnya pasien sering mengeluh nyeri perut, terutama regio epigastrik
(nyeri ulu hati), disertai mual dan muntah. Pada awal sakit sering terjadi
meteorismus dan konstipasi (sembelit). Pada minggu selanjutnya kadang-
kadang timbul diare.
3) Gangguan kesadaraan
Demam tifoid umumnya tidak disertai gangguan kesadaran. Pada kondisi
penyakit yang berat dapat disertai gangguan kesadaran, yaitu apatis, dan
kesadaran berkabut. Bila klinis lebih berat, tak jarang pasien sampai
somnolen, delirium dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis (organic
brain syndrome). Kondisi penyakit yang berat ini disebut sebagai demam
tifoid toksik.
4) Hepatosplenomegali
Hati dan/atau limpa sering ditemukan membesar. Hati teraba kenyal dan
nyeri tekan.
5) Bradikardia relatif dan gejala lain
Bradikardi relatif jarang ditemukan. Bradikardi relatif adalah peningkatan
suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi yang sesuai.
Patokan yang dipakai adalah setiap peningkatan suhu 1oC tidak diikuti
peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. Tanda lain yang dapat
ditemukan pada demam tifoid yaitu rose spot yang biasanya ditemukan di
regio abdomen atas, serta gejala-gejala klinis yang berhubungan dengan
komplikasinya.
16
c. Gambaran laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap
Pada pemeriksaan darah lengkap sering ditemukan leukopenia
(<5000/mm3), namun dapat pula terjadi leukosit normal atau leukositosis
walaupun tanpa disertai infeksi sekunder/komplikasi, trombositopenia,
aneosinofilia, limfopenia, dan peningkatan laju endap darah. Terjadinya
leukopenia adalah akibat depresi sumsum tulang oleh endotoksin dan
mediator endogen yang ada. Diperkirakan kejadian leukopeni sebesar 25%.
Namun banyak laporan menyebutkan bahwa dewasa ini hitung lekosit
kebanyakan dalam batas normal atau leukositosis ringan. Kejadian
trombositopenia sehubungan dengan produksi yang menurun dan destruksi
yang meningkat oleh sel-sel Reticuloendothelial System (RES),
4) Uji Widal
Uji/pemeriksaan Widal adalah uji untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.
typhi. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji
Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum tersangka demam tifoid, yaitu: Agglutinin O (dari tubuh
kuman), Agglutinin H (flagela kuman), dan Agglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut, hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
17
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal, yaitu: pengobatan dini
dengan antibiotik, gangguan pembentukan antibodi dan pemberian
kortikosteroid, waktu pengambilan darah, daerah endemik atau non-
endemik, faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium (akibat aglutinasi
silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen). Hasil
tes negatif palsu dijumpai akibat pembentukan antibodi yang rendah, dapat
ditemukan pada keadaan gizi buruk, konsumsi obat-obatan imunosupresif,
penyakit agammaglobulinemia, leukemia, karsinoma lanjut, teknik
pemeriksaan tidak benar, penggunaan antibiotik sebelumnya, atau produksi
antibodi tidak adekuat. Hasil uji Widal positif palsu dapat terjadi oleh karena
reaksi silang dengan non-typhoid feveral Salmonella, infeksi bakteri
Enterobacteriaceae lain, riwayat imunisasi demam tifoid atau standarisasi
reagen yang kurang baik, pasca vaksinasi, mengalami infeksi subklinis
beberapa waktu yang lalu, aglutinasi silang, dan lain-lain.
Selain uji Widal, metode pemeriksaan serologi lain yang dapat dilakukan
dengan cepat dan mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
lebih baik antara lain TPTest, TUBEX®, Typhidot dan Dipstick.
Pada kasus anak, uji Widal untuk diagnosis tidak direkomendasikan, karena
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah (UKK Infeksi dan Pediatri Tropik PP
IDAI, 2016). Uji baku emas diagnosis demam tifoid pada anak sampai saat ini
adalah kultur. Kultur darah mempunyai sensitivitas terbaik (40%-60%) bila
dilakukan pada minggu pertama-awal minggu ke-2. Pada anak yang
menderita demam ≥6 hari dengan gejala ke arah demam tifoid, untuk
pengobatan segera dapat digunakan pemeriksaan serologis terhadap
antibodi S. typhi.
6) Biakan
Sampai sekarang, biakan (kultur) masih menjadi standar baku dalam
penegakkan diagnostik. Biakan S. typhi memastikan demam tifoid, tetapi
biakan S. tiphy negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasil biakan
sangat tergantung pada beberapa hal, antara lain:
a) Teknik pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan yang lain, dan dari
waktu ke waktu, karena perbedaan teknik dan media yang digunakan.
Karena jumlah kuman yang ada dalam darah hanya sedikit (<10
kuman/ml), maka untuk keperluan pembiakan pada pasien dewasa
diambil 5-10 ml darah, pada anak-anak 2-5 ml. Bila darah yang dibiak
terlalu sedikit, hasil biakan bisa negatif, terutama pada orang yang sudah
mendapat pengobatan spesifik. Darah harus langsung ditanam pada
media biakan dan langsung dikirim ke laboratorium. Waktu pengambilan
darah yang baik adalah saat demam tinggi pada waktu bakteriemia
berlangsung.
b) Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Biakan S. tiphy terutama positif pada minggu pertama penyakit dan
berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh, biakan
darah bisa positif lagi.
c) Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi demam tifoid di masa lampau menimbulkan antibodi dalam
darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteriemia, sehingga biakan
darah mungkin negatif.
d) Pengobatan dengan anti mikroba
Bila pasien sebelum pembiakan darah sudah mendapat obat antimikroba,
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan
mungkin negatif.
e) Biakan sumsum tulang
Selain biakan darah atau spesimen lainnya (seperti urin, feses dan cairan
empedu), diagnosis pasti demam tifoid juga dapat ditegakkan bila
ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan sumsum tulang.
f) PCR (Polymerase Chain Reaction)
Dilakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian diidentifikasi dengan
DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang
terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi) dan kekhasan (spesifik)
yang tinggi. Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan
tubuh lainnya serta jaringan biopsi.
19
3. Hepatitis A
a. Etiologi
Penyebab penyakit adalah Virus Hepatitis A (VHA), berukuran 27 nanometer,
termasuk family Picornaviridae, genus Hepatovirus yang dikenal sebagai
Enterovirus 72, mempunyai 1 serotype dan 4 genotype, dan merupakan virus
RNA. Virus Hepatitis A bersifat termostabil, tahan asam, dan tahan terhadap
empedu. Virus ini diketahui dapat bertahan hidup dalam suhu ruangan selama
lebih dari 1 bulan. Hospes VHA hanya terbatas pada manusia dan beberapa
binatang primata. Virus dapat diperbanyak secara in vitro dalam kultur sel
primer monyet kecil atau secara in vivo pada simpanse.
b. Cara penularan
Virus Hepatitis A ditularkan secara fecal-oral. Virus ini masuk ke dalam saluran
pencernaan melalui makanan dan minuman yang tercemar tinja penderita VHA.
Virus kemudian masuk ke hati melalui peredaran darah, selanjutnya menginvasi
sel-sel hati (hepatosit) dan melakukan replikasi di hepatosit. JumLah virus yang
tinggi dapat ditemukan dalam tinja penderita sejak 3 hari sebelum muncul gejala
hingga 1-2 minggu setelah munculnya gejala kuning. Ekskresi virus melalui tinja
pernah dilaporkan mencapai 6 bulan pada bayi dan anak. Sebagian besar kasus
kemungkinan tidak menular lagi pada minggu pertama setelah ikterus. Ekskresi
kronik pada VHA belum pernah dilaporkan.
Hepatitis A sering muncul dalam bentuk Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan pola
common source epidemic, yaitu disebabkan oleh terpaparnya sejumLah orang
dalam suatu kelompok secara menyeluruh dan terjadi dalam waktu yang relatif
singkat. Adapun common source epidemic tersebut berupa keterpaparan umum,
menggambarkan satu puncak epidemi, jarak antara satu kasus dengan kasus
selanjutnya hanya dalam hitungan jam, dan tidak ditemukan serangan ke dua.
Umumnya sumber penularan berasal dari makanan atau minuman tercemar,
makanan mentah atau setengah matang, dan sanitasi yang buruk. Walaupun
bukan merupakan cara utama, penularan melalui transfusi atau penggunaan
jarum suntik bekas penderita hevatitis A dalam masa inkubasi pernah
dilaporkan.
20
d. Masa inkubasi
Masa inkubasi hepatitis A adalah 15-50 hari, rata-rata 28-30 hari.
4. Hepatitis E
a. Etiologi
Penyebab hepatitis E adalah Virus Hepatitis E (VHE) yang merupakan virus RNA
berbentuk sferis. Virus Hepatitis E termasuk family Hepeviridiae dan genus
Hepevirus. Awalnya VHE disebut sebagai penyebab Enterically transmitted non-A
non-B Hepatitis (ET-NANB). Baru pada tahun 1983 virus ini berhasil
diidentifikasi dan dinamai virus Hepatitis E.
b. Cara penularan
Virus Hepatitis E ditularkan melalui jalur fecal-oral. Air minum yang tercemar
tinja merupakan media penularan yang paling umum. Penularan secara perkutan
dan perinatal juga pernah dilaporkan. Berbagai penelitian terbaru juga
menunjukkan kemungkinan penularan secara zoonotic dari babi, rusa, dan
hewan pengerat.
d. Masa Inkubasi
Masa inkubasi hepatitis E berkisar antara 15-64 hari, dengan rata-rata 26-42
hari pada KLB yang berbeda.
21
BAB IV
Agar upaya pencegahan dan pengendalian HPISP tercapai tujuannya, maka perlu dilakukan
advokasi dan sosialisasi secara komprehensif, terencana dengan baik sesuai dengan
masalah dan kebutuhan masyarakat, sehingga masyarakat memahami cara pencegahan
HPISP baik untuk dirinya maupun orang lain dan masyarakat luas, mencegah terjadinya
stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan hepatitis, mampu mengakses layanan
perlindungan khusus dan penanganan kasus HPISP serta peningkatan komitmen para
pengambil keputusan dalam mendukung upaya pencegahan dan pengendalian HPISP.
Intervensi perubahan perilaku dilakukan pada kelompok populasi berisiko tinggi maupun
kelompok populasi rentan tertular dan menularkan HPISP, sedangkan pemberdayaan
masyarakat bertujuan agar masyarakat atas kesadarannya dapat berpartisipasi aktif dalam
pencegahan dan pengendalian HPISP sesuai dengan kapasitas masyarakat tersebut.
Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan pada seluruh komponen masyarakat seperti
dengan membentuk kelompok sebaya (peer group) atau supporting group sebagai
motivator dan sumber informasi untuk meningkatkan akses pelayanan serta perubahan
perilaku dan menjadi relawan pendamping orang dengan hepatitis.
Tujuan umum advokasi dan sosialisasi adalah untuk meningkatnya perilaku masyarakat
dalam pencegahan dan pengendalian HPSIP guna menurunkan angka kesakitan, kecacatan
dan kematian akibat HPISP secara terpadu, komprehensif dan terintegrasi dengan
melibatkan stakeholder, masyarakat dan pemerintah. Sedangkan tujuan khusus, yaitu: 1)
Meningkatnya dukungan kebijakan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam
pencegahan dan pengendalian HPISP; dan 2) Meningkatnya pengetahuan, sikap dan
perilaku masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian HPISP.
A. KIE Hepatitis
Informasi yang perlu disampaikan melalui penyuluhan atau Komunikasi, Informasi dan
Edukasi (KIE), antara lain penjelasan tentang penyebab, cara penularan, perjalanan
penyakit, gejala umum, penanganan, dan komplikasi hepatitis B dan C.
Kegiatan KIE, antara lain: 1) Menyediakan dan mendistribusikan media KIE tentang
pencegahan dan pengedalian hepatitis B dan C; dan 2) Melaksanakan KIE tentang
pencegahan dan pengendalian hepatitis B dan C dengan berbagai metode, baik
perorangan, kelompok, maupun melalui media massa (media cetak, media elektronik)
dan interaktif secara verbal, seperti konseling untuk meningkatkan pengetahuan dan
diharapkan terjadinya perubahan sikap dan perilaku.
Media massa yang umumnya digunakan adalah leaflet, lembar balik, poster, banner,
buku saku, kipas, kaos, topi, payung, buku saku, radio spot, dan TV.
Air Susu Ibu bersifat steril, berbeda dengan susu formula atau cairan lain
yang disiapkan dengan air atau bahan-bahan yang dapat terkontaminasi
dalam botol yang tidak bersih. Pemberian ASI saja, tanpa cairan atau
23
makanan lain dan tanpa menggunakan botol, menghindarkan anak dari
bahaya infeksi mikroorganisme penyebab diare.
24
dengan menggunakan air yang bersih dan menghindari air tersebut dari
pencemaran mulai dari sumber air sampai penyimpanan di rumah.
b. Mencuci tangan
Kebiasaan penting yang berhubungan dengan kejadian diare adalah mencuci
tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air kecil,
sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan
makanan, sebelum menyuapi makanan anak, dan sebelum makan dapat
menurunkan kejadian diare.
c. Menggunakan jamban
Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan
jamban mempunyai pengaruh besar dalam menurunkan risiko diare. Keluarga
yang tidak mempunyai jamban diperlukan membuat jamban dan buang air besar
di jamban tersebut.
3. Pengelolaan sampah
Sampah merupakan sumber penyakit dan tempat berkembang biaknya vektor
seperti lalat, nyamuk, tikus, dan kecoa. Oleh karena itu pengelolaan sampah yang
baik sangat penting untuk mencegah penularan berbagai penyakit yang ditularkan
melalui vektor tersebut. Selain itu sampah dapat mencemari tanah dan
25
menimbulkan gangguan kenyamanan dan estetika seperti bau yang tidak sedap dan
pemandangan yang tidak enak dilihat. Perlu ada tempat pembuangan sampah,
sampah perlu dikumpulkan setiap hari dan di buang ke tempat penampungan
sementara sebelum dibawa ke tempat penampungan akhir.
5. Penyehatan lingkungan
Hampir separuhnya (47%) masyarakat di Indonesia masih buang air besar di
sembarangan tempat, seperti sungai, sawah, kolam, kebun dan tempat terbuka
lainnya, 30,7% tidak memiliki sanitasi yang layak, 60% memiliki jamban tetapi
buang air masih sembarangan. Menurut WHO, ada 3 kegiatan yang dapat
menurunkan angka kesakitan diare:
1) Peningkatan akses masyarakat terhadap sanitasi dasar, menurunkan angka
kesakitan diare sebesar 37%
2) Cuci tangan pakai sabun, menurunkan angka kesakitan diare sebesar 45%
3) Pengelolaan air minum yang aman di rumah tangga, menurunkan angka
kesakitan diare sebesar 39%.
26
BAB V
27
Selain itu, tujuan surveilans sentinel hepatitis B dan C adalah untuk menyediakan data
dan informasi bagi pengambil keputusan dalam program pencegahan dan pengendalian
hepatitis B dan C sebagai dasar untuk menentukan target dan prioritas kegiatan,
advokasi kepada pihak terkait, monitoring dan evaluasi, penanganan, penyelarasan
dengan perencanaan pelayanan kesehatan dan menyediakan informasi kegiatan
pencegahan dan pengendalian hepatitis B dan C.
28
C. Surveilans Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan
1. Surveilan diare
a. Tujuan
Diketahuinya situasi masalah diare di masyarakat, sehingga dapat dibuat
perencanaan dalam pencegahan pengendaliannya di semua jenjang admnistratif.
b. Pengertian
Surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus-
menerus terhadap diare dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya
peningkatan dan penularan diare tersebut agar dapat melakukan tindakan
pencegahan dan pengendalian secara efektif dan efisien melalui proses
pengumpulan, pengolahan dan analisis data, interpretasi dan penyebarluasan
informasi kepada penyelenggara program/kegiatan dan pihak terkait lainnya.
c. Prosedur
1) Sumber data
Ada tiga sumber data diare, yaitu laporan rutin, laporan KLB, dan studi kasus.
2) Laporan rutin
Dilakukan oleh puskesmas dan rumah sakit menggunakan SP2TP (LB), SPRS
(RL), STP, dan rekapitulasi diare. Oleh karena diare termasuk penyakit yang
dapat menimbulkan KLB, maka perlu dibuat laporan mingguan (W2). Untuk
dapat membuat laporan rutin, maka perlu dilakukan pencatatan setiap hari
(register) penderita diare yang datang ke fasyankes, posyandu atau kader.
Data register harian dapat mendeteksi adanya peningkatan jumlah kasus
dan tanda-tanda akan terjadinya KLB, sehingga dapat dilakukan tindakan
penanggulangan sesegera mungkin.
Laporan rutin ini dikompilasi oleh petugas pencatatan dan pelaporan diare di
puskesmas, kemudian dilaporkan ke kabupaten/kota menggunakan laporan
bulanan (LB) dan STP setiap bulan. Petugas/pengelola kegiatan pengendalian
diare kabupaten/kota membuat rekapitulasi dari masing-masing puskesmas
dan secara rutin (bulanan) dikirim ke provinsi dengan menggunakan
formulir rekapitulasi diare. Di provinsi, dilakukan rekapitulasi berdasarkan
laporan rutin (bulanan) kabupaten/kota dan dikirim ke pusat (Ditjen P2P cq.
Subdirektorat Hepatitis dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan) dengan
menggunakan Form 2.1.
3) Laporan KLB
Setiap terjadi KLB/wabah perlu dilaporkan dalam periode 24 jam dengan
format laporan W1 dan dilanjutkan dengan laporan khusus, meliputi:
Kronologi terjadinya KLB
Cara penyebaran serta faktor-faktor yang mempengaruhinya
Keadaan umum penderita
29
Hasil penyelidikan epidemiologi yang telah dilakukan
Hasil kegiatan penanggulangan KLB dan rencana tindak lanjut.
a. Tujuan
1) Memantau laju infeksi di masyarakat
2) Mendapatkan data dasar endemisitas
3) Mengindentifikasi KLB
4) Mengevaluasi ketajaman diagnostik secara klinis
5) Mengevaluasi kegiatan pencegahan dan pengendalian
b. Metode
Kasus tifoid ditemukan secara pasif di sarana kesehatan dari tingkat puskesmas
sampai tingkat rumah sakit provinsi. Penderita yang ditemukan dicatat sesuai
dengan kriteria yang digunakan.
c. Sasaran
Menurut sasarannya maka surveilans epidemiologi demam tifoid dapat
dibedakan menurut sarana pelayanan kesehatan: 1) Puskesmas; 2) Rumah sakit
kabupaten; dan 3) Rumah sakit di provinsi.
Sanitasi lingkungan dan hiegene perorangan yang kurang baik, dan masih tingginya
angka kemiskinan di Indonesia sangat mempengaruhi penularan dan penyebaran
demam tifoid. Bila para penderita tidak berobat misalnya karena keterbatasan akses
ke fasilitas kesehatan sehingga menjadi karier (tidak memperlihatkan gejala
penyakit, tetapi dapat menularkan agen penyakit), maka bila mereka menjadi
penjamah makanan, akan menjadi sumber penularan penyakit bagi masyarakat.
Tingginya risiko penularan penyakit melalui penjual makanan di jalanan dengan
tingkat kebersihan yang buruk, berkontribusi terhadap peningkatan jumlah kasus
tifoid di Indonesia. Pada saat bencana, kejadian tifoid perlu diwaspadai, karena
kondisi sanitasi lingkungan dan higiene perorangan yang buruk.
Penderita demam tifoid mempunyai potensi untuk menjadi karier (carrier) setelah
penyakitnya disembuhkan. Era sebelum antibiotika digunakan, diperkirakan
sedikitnya 5% penderita menjadi karier. Hasil studi yang dilakukan dewasa ini,
angka tersebut hanya sedikit mengalami penurunan. Di India pada tahun 2005
menurun menjadi sekitar 3%. Dari hasil deteksi dini karier tifoid yang dilakukan di
DKI Jakarta tahun 2013 didapatkan prevalensi sebesar 2,9%.
Bagi penderita demam tifoid yang tidak diobati dengan adekuat, insidensi karier
dilaporkan 5-10% dan kurang dari 3% menjadi karier kronik. Karier intestinal
kronik biasanya mempunyai faktor predisposisi penyakit kronik di hati seperti
opisthorchiasis dan kolelitiasis, dan untuk karier urinari kronik mempunyai penyakit
kronik di ginjal seperti urolitiasis.
Mengingat peran karier demam tifoid dalam penularan demam tifoid, maka perlu
dilakukan pengamatan dan penanganan sesegera mungkin, sehingga kejadian kasus
baru demam tifoid dapat dicegah dan angka kesakaitan dan kematian demam tifoid
dapat diturunkan serendah mungkin.
a. Populasi pengamatan
Seluruh penjamah makanan, seperti penjamah makanan di lingkungan sekolah,
tenda/warung jajanan, restoran, katering, hotel petugas yang menyajikan
makanan( bagian gizi) di fasilitas kesehatan, pelabuhan, bandara, terminal dan
penjamah makanan ditempat yang menyediakan makanan umum lainnya.
b. Populasi sampel
Sebagian penjamah makanan yang terpilih sebagai sampel, seperti penjamah
makanan di lingkungan sekolah, tenda/ warung jajanan, restoran, katering, hotel
petugas yang menyajikan makanan (bagian gizi) di fasilitas kesehatan,
pelabuhan, bandara, terminal dan penjamah makanan ditempat yang
menyediakan makanan umum lain
D. Sistem Kewaspadaan Dini dan Penanggulngan Kejadian Luar Biasa (SKD KLB)
Penyakit Infeksi Salura Pencernaan
1. Diare
Sepanjang tahun masih terjadi beberapa kali KLB diare di beberapa daerah di
Indonesia, sehingga kewaspadaan dini terhadap kemungkinan terjadinya KLB diare
tetap harus dilakukan.
Pemantauan Wilayah Setempat Kejadian Luar Biasa (PWS KLB) diare harus
dilaksanakan di setiap unit pelayanan, terutama di puskesmas dan rumah sakit serta
dinas kesehatan kabupaten/kota dengan pelaporan berjenjang sampai ke tingkat
pusat. PWS KLB diare juga perlu dikembangkan di laboratorium, baik di BLK pusat
dan daerah maupun laboratorium RS dan puskesmas.
Pada KLB kolera dapat dilakukan kaporisasi sumber air minum yang digunakan oleh
penduduk daerah terjangkit KLB diare. Penduduk juga mendapat penyuluhan
memasak air minum, pengamanan makanan dari pencemaran, lisolisasi bahan atau
pakaian dan lantai.
2. Demam tifoid
Pada prinsipnya sama seperti SKD KLB diare
3. Hepatitis A
Terjadinya KLB hepatitis A lebih sering disebabkan karena pangan (makanan dan
minuman) yang tercemar karena penjamah makananatau pangan yang tercemar,
oleh karena itu SKD-KLB terutama ditujukan pada upaya pegamanan pangan.
Pada darah-daerah endemis tinggi jarang terjadi KLB hepatitis A, kerena semua
penduduk telah menderita sakit dan/atau memiliki kekebalan alamiah. Pada
daerah-daerah dengan pengamanan pangan yang baik, bila berada pada wilayah
rentan hepatis A, akan menjadi sumber penularanuntuk terjadinya KLB hepatitis A.
Berdasarkan data yang ada menunjukkan bahwa KLB hepatitis A sering terjadi pada
musim tertentu, oleh karena itu monitoring adanya KLB hepatitis A perlu dilakukan
dengan cermat. Apabila terdapat kecenderungan peningkatan serangan KLB
hepatitis A pada kawasan tertentu, maka dinas kesehatan provinsi atau Kemenkes
RI perlu menginformasikan peringatan kewaspadaan KLB hepatitis A pada semua
unit kesehatan di wilayah tersebut.
Kegiatan penanggulangan KLB adalah kegiatan yang dilakukan secara terpadu oleh
pemerintah daerah dan masyarakat, meliputi: 1) Penyelidikan epidemiologi; 2)
Penanganan penderita, mencakup pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi
penderita, termasuk teindakan karantina, pencegahan dan pengebalan, pemusnahan
penyebab penyakit; 3) Penanganan jenazah akibat KLB/wabah; 4) Penyuluhan
kepada masyarakat; dan 5) Upaya penggulangan lainnya, mengacu pada Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1501/Menteri/Per/ X/2010.
Kejadian Luar Biasa hepatitis A ditetapkan apabila terdapat dua kasus klinis
hepatitis A atau lebih yang berhubungan secara epidemiologis.
Karena penyakit ini mempunyai gejala klinis dengan spektrum yang bervariasi
mulai dari tanpa gejala (asimptomatik), ringan yang sembuh dalam 1-2 minggu,
sampai dengan gejala yang berat yang berlangsung sampai beberapa bulan,
maka bukti-bukti epidemiologis sudah dapat mendukung diagnosis secara klinis.
b. Penanggulangan
1) Upaya penanggulangan KLB hepatitis A terutama diarahkan pada
penanganan kasus dan pemutusan rantai penularan.
2) Identifikasi cara penularan dengan teknik investigasi epidemiologis, apakah
penularan terjadi dari orang ke orang atau dengan cara common source dari
cari populasi yang terpajan.
a) Bila teridentifikasi sebagai penularan orang per orang, maka tindakan
selanjutnya adalah isolasi penderita selama masa inkubasi (sejak kasus
ditemukan sampai 2 minggu setelah timbul gejala).
b) Bila teridentifikasi sebagai common source, maka tindakan selanjutnya
adalah identifikasi sumber penularan.
3) Upaya memutus rantai penularan dilakukan melalui perbaikan sanitasi dan
pengamatan makanan.
4) Bila teridentifikasi sumber penularan, maka dilakukan semua upaya
berdasarkan sumber penularannya. Bila sumber penularan adalah sumber
air yang terkkontaminasi, maka dapat dilakukan desinfektan pada sumber air
tersebut. Bila sumber penularan adalah akibat pangan terkontaminasi, maka
dilakukan perbaikan hygiene sanitasi dan pengamanan pangan. Sumber
penularan dimaksud diisolasi sampai diyakini tidak mengandung virus.
Beberapa cara inaktivasi virus hepatitis A
Pemanasan pada suhu 85oC selama 1 menit
Sterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121oC selama 20 menit
Radiasi ultraviolet pada 1,1W pada kedalaman 0,9 cm selama 1 menit
Sterilisasi dengan formalin 8% selama 1 menit pada suhu 25oC
Desinfeksi dengan larutan potassium permangat 30mg/liter selama 15
menit
Desinfeksi dengan larutan iodine 3 mg/liter selama 5 menit
Desinfeksi dengan larutan klorin bebas residu 2-2,5 mg/liter larutan
sodium hipoklorit pada suhu 20oC selama 5-15 menit.
5) Apabila belum teridentifikasi sumber penularannya dengan jelas, maka
perbaikan sanitasi dan pengamanan pangan segera dilaksanakan dengan
ketat terhadap semua kantin dan jajanan yang berhubungan dengan populasi
berisiko, termasuk diantaranya membawa makanan dari rumah masing-
masing.
6) Tidak ada pengobatan spesifik. Penderita membutuhkan istirahat yang
cukup, makanan rendah lemak. Pengobatan berupa terapi suportif untuk
35
mengatasi gejala dan menjamin asupan nutrisi seimbang, termasuk bila
diperlukan cairan pengganti akibat muntah atau diare. Isolasi air kencing dan
tinja penderita dilakukan untuk mencegah penularan dan penyebaran virus.
7) Pemberian imunisasi pada saat terjadinya KLB tidak dianjurkan.
4. Hepatitis E
Lihat SKD KLB dan penanggulangan hepatitis A.
Secara klinis pada hepatitis E sering sulit dibedakan dengan hepatitis A, tetapi
seringkali pada KLB hepatitis E disertai kematian pada ibu hamil, sementara pada
hepatitis A tidak ada kematian.
36
BAB VI
A. Perlindungan Khusus
a. Pemberian imunisasi
Pemberian imunisasi adalah suatu upaya yang dilakukan untuk melakukan
pencegahan terjadinya penularan hepatitis. Pemberian imunisasi dilaksanakan
untuk hepatitis B. Sampai saat ini belum tersedia vaksin hepatitis C.
Imunisasi hepatitis B untuk bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg negatif atau
status HBsAg ibu tidak diketahui diberikan vaksin hepatitis B sesegera mungkin
pada bayi usia <24 jam sesudah kelahiran (HB-0), bersamaan dengan pemberian
vitamin K1. Pemberian imunisasi ini kemudian dilanjutkan sesuai program
imunisasi nasional.
Apabila bayi lahir dari ibu dengan HBsAg positif, maka imunisasi hepatitis B dan
pemberian immunoglobulin harus diberikan <24 jam dari kelahirannya,
bersamaan dengan HB-0, sesudah didahului pemberian Vitamin K, kemudian
dilanjutkan sesuai program imunisasi nasional, yaitu usia bayi 2 bulan, 3 bulan,
dan 4 bulan. Selanjutnya pada saat bayi tersebut berusia 9-12 bulan dilakukan
pemeriksaan HBsAg dan titer anti-HBs.
a. Demam tifoid
Salah satu cara untuk melakukan pencegahan demam tifoid adalah dengan
melakukan vaksinasi, namun vaksinasi tifoid belum merupakan program
imunisasi nasional. Hingga saat ini pemakaian vaksin tifoid terbatas pada
sejumlah praktik dokter pribadi dan rumah sakit swasta. Sejauh ini, program
vaksinasi pada anak sekolah dasar masih dalam bentuk pilot proyek, yaitu
pemberian vaksin pada 1500 anak SD di Kota Bogor tahun 2014–2015.
Di Indonesia saat ini telah tersedia 2 jenis vaksin tifoid, yaitu: 1) Vaksin Vi
kapsuler polisakarida. Vaksin ini mengandung polisakarida Vi dari kapsul
bakteri Salmonella. Vaksin dapat mencapai level protektif setelah 2–3 minggu
pemberian, dan dapat diberikan pada usia ≥2 tahun. Vaksin tersedia dalam
syringe siap pakai (suntikan) 0,5ml yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam
buffer fenol isotonik.
b. Hepatitis A
Imunisasi hepatitis A dilakukan dengan cara pemberian vaksin Hepatitis A
sebanyak dua kali dengan jarak 6 sampai 12 bulan terhadap masyarakat di atas
usia 2 tahun. Imunisasi hepatitis A dilakukan secara sukarela.
40
BAB VII
Sebagaimana diketahui bahwa hepatitis B dan C merupakan penyakit kronik, dengan akibat
yang fatal. Biasanya masyarakt tidak menyadari bahwa dirinya terinfeksi hepatitis B dan C,
sampai dengan pada keadaan dimana sudah mengalami sirosis bahkan kanker hati, yang
semestinya bisa dihindari dengan melakukan deteksi dini, sehingga penularan pada orang
lain bisa dicegah dan sirosis serta kanker hati bisa dihindari.
Kegiatan Deteksi Dini Hepatitis B dan C (DDHBC), bukan suatu survei, kajian/studi atau
penelitia, tetapi merupakan suatu kegiatan rutin yang harus dilakukan apabila hepatitis B
dan C di Indonesia ingin ditanggulangi. Oleh karena itu dalam pelaksanaan DDHBC ini
dilaksanakan secara rutin, sepanjang tahun, sehingga pelaporan dilakukan secara rutin per
periode waktu tertentu.
a. Pelaksana
Puskesmas
c. Lokasi
Di wilayah kerja masing-masing puskesmas
e. Prosedur
1) Deteksi Dini Hepatitis B dan C aktif dilakukan dengan cara petugas
melakukan penjangkauan pada kelompok berisiko tinggi tersebut di atas
yang ada di wilayah kerja puskesmasnya. Kegiatan DDHBC aktif ini dapat
diintegrasikan dengan kegiatan lain seperti kegiatan penjangkauan pada HIV,
layanan mobile clinic konseling dan tes HIV, dan lain-lain. Sebelum
pelaksanaan kegiatan, agar mempersiapkan dengan baik rencana kegiatan
dimaksud agar tidak terjadi gejolak atau kecurigaan di masyarakat yang
kemudian membuat mereka menolak kegiatan yang akan dilakukan (perlu
prakondisi, sosialisasi dan penjelasan yang disesuaikan dengan tingkat
kepedulian masyarakat tersebut terhadap masalah kesehatan). Setelah ada
kesepakatan, maka kegiatan dilaksanakan pada tempat dan waktu yang telah
ditentukan.
2) Pimpinan/contact person tersebut dapat dilibatkan dalam menggerakkan
masyarakat untuk ikut dalam kegiatan DDHBC.
3) Tim pelaksana adalah dokter/perawat, bidan di poli KIA, konselor, pengelola
program/kegiatan hepatitis, pengelola program/kegiatan asuhan kepera-
watan, analis dan petugas lainnya.
f. Tahapan kegiatan
Tahapan kegiatan deteksi dini aktif hepatitis B dan C:
1) Persiapan, meliputi: penyiapan tim, peralatan, sosialisasi dan advokasi,
logistik pendukung sesuai kebutuhan, dan persiapan di lapangan
2) Pelaksanaan, meliputi: pembekalan kerja untuk petugas, pengumpulan data
di lapangan, yaitu pernyataan persetujuan (tertulis ataupun oral apabila
diperlukan), pengisian data dengan wawancara terstruktur, pengambilan
darah, pemeriksaan spesimen dan pengolahan, pencatatan dan pelaporan
3) Analisa data dan pelaporan
4) Monitoring dan evaluasi.
a. Pelaksana
Puskesmas
c. Lokasi
Di puskesmas
e. Prosedur
1) Deteksi dini pada ibu hamil
a) Ibu hamil pada kunjungan ANC (Antenatal Care) pertama kali (K1)
ditawarkan pemeriksaan hepatitis B.
b) Bila Ibu hamil tersebut bersedia, maka diberikan konseling dan diminta
menandatangani informed consent sebagai bukti kesediaan.
c) Petugas melakukan wawancara untuk pengisian data yang diperlukan
menggunakan Form 9B.
d) Pengisian Form 9F oleh petugas dan pengambilan sampel darah di
laboratorium puskesmas.
e) Menggunakan Rapid Test
f) Bila hasil pemeriksaan reaktif, maka konfirmasi lebih lanjut, spesimen
dikirim ke laboratorium rujukan (B/BLK, Labkesda, laboratorium rumah
sakit, dan lain-lain) untuk pemeriksaan EIA (Enzyme Immunoassay)/CLIA
(Chemiluminescent Immunoassay). Pengiriman spesimen ke laboratorium
rujukan disertai dengan Form 9D.
g) Bila hasil pemeriksaan dengan EIA/CLIA dari laboratorium rujukan
reaktif, maka pasien dirujuk ke rumah sakit yang mampu melaksanakan
tatalaksana hepatitis B dan/atau C yang ditunjuk oleh dinas kesehatan
provinsi.
h) Selain pemeriksaan hepatitis B, ibu hamil juga ditawarkan pemeriksaan
HIV dan syphilis (apabila di puskesmas/klinik telah tersedia layanan
untuk pemeriksaan HIV dan syphilis).
i) Prosedur pemeriksan HIV dan syphilis sesuai ketentuan Kemenkes RI
(Subdit HIV AIDS dan Penyakit Infeksi Menular Seksual, Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Ditjen P2P).
43
2) Deteksi dini pada petugas dan pelajar/mahasiswa kesehatan (kebidanan,
keperawatan, analis, kedokteran)
a) Pelaksanaan kegiatan dimulai di poli umum atau tempat lainnya yang
telah ditentukan oleh puskesmas.
b) Petugas melakukan wawancara untuk pengisian data yang diperlukan
dengan menggunakan form 10B dan penandatanganan informed consent.
c) Pengisian Form 10C oleh petugas dan pengambilan sampel darah.
d) Pemeriksaan laboratorium terdiri dari pemeriksaan hepatitis B dan
hepatitis C, mengunakan Rapid Test.
e) Bila hasil pemeriksaan hepatitis B dan/atau C reaktif, maka konfirmasi
lebih lanjut, spesimen dikirim ke laboratorium rujukan (B/BLK, Labkesda,
laboratorium rumah sakit, dan lain-lain) untuk pemeriksaan imunologi.
Pengiriman spesimen ke laboratorium rujukan disertai dengan Form 10D.
f) Petugas pelaksana adalah petugas kesehatan di puskesmas yang terlibat
dalam pelayanan di poli umum, seperti petugas pendaftaran,
dokter/perawat di poli umum, konselor, dan analis.
1. Ibu hamil
a. Bila hasil pemeriksaan konfirmasi dari laboratorium rujukan hepatitis B reaktif,
maka klien dirujuk ke rumah sakit terdekat yang telah mampu melakukan
tatalaksana hepatitis B dan C.
44
b. Penanganan selanjutnya sesuai SOP rumah sakit dalam melakukan tatalaksana
hepatitis B dan C.
c. Pembiayaan pengobatan menggunakan BPJS/asuransi lainnya atau mandiri
d. Hasil pemeriksaan, penanganan dan rekomendasi tim ahli di rumah sakit
rujukan dikirim ke puskesmas yang merujuk untuk umpan balik (feedback).
e. Bila hasil deteksi dini hepatitis B di puskesmas non-reaktif, maka ibu hamil
tersebut dianjurkan pemeriksaan anti-HBs untuk mengetahui ada tidaknya
antibodi.
f. Bila hasil pemeriksaan HBsAg dan anti-HBs non-reakif, maka dianjurkan
vaksinasi hepatitis B sebanyak 3 kali secara mandiri.
45
BAB VIII
A. Penanganan Hepatitis
a. Indikasi pengobatan
Pengobatan pada pasien hepatitis B kronik adalah sesuatu yang harus betul-
betul dipertimbangkan dengan matang. Beberapa faktor yang diketahui
mempengaruhi hasil akhir pengobatan dan dijadikan indikator memulai
pengobatan adalah:
2) Status HBeAg
Status HBeAg pasien telah diketahui memiliki peranan penting dalam
prognosis pasien dengan hepatitis B kronik. Beberapa panduan yang ada
telah mencoba membedakan indikasi pengobatan hepatitis B berdasarkan
status HBeAg, dengan pasien HBeAg negatif diindikasikan memulai
pengobatan pada kadar DNA VHB yang lebih rendah.
Demikian pula pasien yang memiliki kadar DNA VHB ≥ 2 x 104 IU/mL harus
dipertimbangkan untuk mendapat pengobatan bila nilai ALT-nya lebih besar
dari 2 kali batas atas normal. Pasien dengan kadar DNA VHB tinggi dan ALT
di bawah 2 kali batas atas normal tidak memerlukan pengobatan dan cukup
menjalani pemantauan DNA VHB, HBeAg, dan ALT rutin setiap 3 bulan.
Pasien-pasien ini berada pada fase IT sehingga pengobatan tidak akan efektif.
Pada pasien-pasien ini, pemeriksaan biopsi hati atau pemeriksaan fibrosis
non invasif harus dipertimbangkan pada semua pasien yang berusia ≥30
tahun atau pasien yang berusia <30 tahun namun memiliki riwayat KHS atau
sirosis dalam keluarga.
Bila pada pemeriksaan ini ditemukan adanya inflamasi derajat sedang atau
lebih, maka pengobatan diindikasikan. Pasien yang memiliki kadar DNA VHB
tinggi dan kadar ALT 2-5 kali batas atas normal yang menetap selama lebih
dari 3 bulan atau memiliki risiko dekompensasi hati harus mendapat
pengobatan.
Pemberian pengobatan juga dianjurkan pada pasien dengan DNA VHB tinggi
dan ALT di atas 5 kali batas atas normal. Namun pada pasien di kelompok
terakhir ini, bila DNA VHB masih di bawah 2 x 105 IU/mL dan tidak
ditemukan tanda dekompensasi hati, maka pengobatan bisa ditunda 3-6
bulan untuk memantau munculnya serokonversi HBeAg spontan.
Semua pasien yang berada dalam kelompok indikasi pengobatan ini diduga
berada di fase IC sehingga pengobatan bisa memberikan hasil optimal. Pada
pasien yang memberikan respons baik terhadap pengobatan, pemantauan
lebih lanjut masih tetap perlu dilakukan, sementara pada pasien yang tidak
respons, penggantian ke strategi pengobatan lain harus dipertimbangkan.
47
Prinsip tatalaksana pada kelompok pasien dengan HBeAg negatif hampir
sama dengan pada pasien dengan HBeAg positif, namun batasan DNA VHB
yang digunakan lebih rendah, yaitu 2 x 103 IU/mL. Pasien yang memiliki DNA
VHB <2 x 103 IU/mL dan memiliki kadar ALT normal tidak memerlukan
pengobatan apapun dan cukup menjalani pemantauan DNA VHB dan ALT
rutin setiap 6 bulan. Demikian pula pasien dengan kadar DNA VHB ≥2 x 103
IU/mL dan ALT di bawah 2 kali batas atas normal tidak memerlukan
pengobatan dan cukup menjalani pemantauan DNA VHB dan ALT rutin setiap
6 bulan.
Bila pada pemeriksaan ini ditemukan adanya inflamasi derajat sedang atau
lebih, maka pengobatan diindikasikan.Pasien yang memiliki kadar DNA VHB
tinggi dan kadar ALT di atas 2 kali batas atas normal yang menetap selama
lebih dari 3 bulan atau memiliki risiko dekompensasi harus mendapat
pengobatan. Pada pasien yang memberikan respons baik terhadap
pengobatan, pemantauan lebih lanjut masih tetap perlu dilakukan, sementara
pada pasien yang tidak respons, penggantian ke strategi pengobatan lain
harus dipertimbangkan.
Pasien-pasien hepatitis B kronik yang memiliki risiko KHS yang tinggi juga
harus menjalani pemantauan (surveilans) KHS setiap 6 bulan sekali. Pasien
yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi mencakup laki-laki ras Asia
dengan usia>40 tahun, perempuan ras Asia dengan usia >50 tahun, pasien
dengan sirosis hati, dan pasien dengan riwayat penyakit hati lanjut di
keluarga. Surveilans ini dilakukan dengan melakukan pemeriksaan AFP dan
USG hati secara berkala.
b. Pilihan pengobatan
Dengan pilihan yang dimiliki saat ini, eradikasi virus secara total dari tubuh
masih belum bisa dilakukan. Kalaupun virus berhasil ditekan jumlahnya dalam
darah, DNA virus masih dapat ditemukan di dalam sel hati dalam kondisi
dorman. DNA ini bisa mengalami reaktivasi di kemudian hari.
Target serokonversi HBsAg, walau memberikan nilai prognosis yang sangat baik,
juga sangat sulit dicapai. Oleh karena itu, pengobatan pada hepatitis B kronik
ditujukan untuk menekan progresivitas penyakit ke arah sirosis atau KHS.
Dengan pengobatan saat ini, walaupun eradikasi virus tidak bisa dilakukan,
pasien hepatitis B bisa bebas dari sirosis atau KHS seumur hidupnya. Inilah
mengapa pengobatan sebaiknya disarankan pada setiap pasien yang memiliki
indikasi.
Pemilihan pengobatan yang paling sesuai dengan pasien adalah hal yang perlu
diperhatikan sebelum memulai pengobatan. Sampai saat ini terdapat setidaknya
2 jenis obat hepatitis B yang diterima secara luas, dengan kekurangan dan
kelebihan masing-masing, yaitu :
1) Pengobatan Interferon
Pengobatan dengan interferonhanya diberikan dalam jangka maksimal 1
tahun. Pengobatan dengan interferon selama 1 tahun secara umum lebih baik
dalam hal serokonversi HBeAg dan HBsAg daripada pengobatan analog
nukleos(t)ida yang diberikan pada durasi yang sama.
2) Pengobatan Analog Nukleos(t)ida
Pengobatan dengan analog nukleos(t)ida secara umum memiliki efektivitas
yang cukup baik, walau pada pemakaian 1 tahun efektivitas beberapa jenis
analog nukleos(t)ida masih kurang baik daripada interferon. Namun
penggunaan analog nukleos(t)ida jangka panjang memiliki efektivitas yang
sebanding atau bahkan lebih baik daripada interferon. Bila dibandingkan
dengan interferon, pengobatan analog nukleos(t)ida memiliki kelebihan
berupa ringannya efek samping dan cara pemberian yang oral. Obat jenis ini
juga bisa digunakan pada pasien yang mengalami penyakit hati lanjut.
49
c. Sistem rujukan
Sistem rujukan nasional untuk pasien dengan hepatitis B didesain melibatkan
seluruh komponen kesehatan yang ada di masyarakat Indonesia, dimulai dari
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sebagai garda terdepan hingga
rumah sakit rujukan. Sistem rujukan nasional memungkinkan tatalaksana
hepatitis B yang adekuat sesuai dengan indikasi, memantau pengobatan dan
progresifitas penyakit, mencegah terjadinya perburukan kondisi, dan mencegah
terjadinya resistensi. Setiap komponen memiliki tugas dan tanggung jawab yang
berbeda untuk menjamin terlaksananya tujuan dibentuknya sistem rujukan
nasional.
3. Pengobatan hepatitis C
Pengobatan hepatitis C lebih tertuju pada hepatitis C kronik karena seringkali
pasien hepatitis C datang ke pusat pelayanan kesehatan sudah dalam fase kronik.
Tujuan pemberian antivirus adalah mencegah munculnya komplikasi penyakit hati
seperti fibrosis, sirosis, karsinoma hepatoselular dan kematian.Target terapi
antivirus adalah pencapaian SVR. Untuk memantau kemungkinan mencapai suatu
SVR perlu dilakukan pemeriksaan HCV RNA secara berkala. Apabila kondisi RVR
tercapai maka dapat diperkirakan 72,5%-100% SVR akan tercapai tanpa
memandang genotipe.
Penelitian yang dilakukan oleh Fried dkk dari 1.383 pasien hepatitis C dengan
genotipe 1-4 yang diberikan terapi Peg-IFN/RBV, 16% pasien dengan genotipe 1
mencapai RVR, 71% pasien dengan genotipe 2 mencapai RVR dan 60% pasien
dengan genotipe 3 mencapai RVR. Faktor prediksi RVR meliputi genotipe, usia,
muatan virus, kadar ALT dan derajat fibrosis.19 Sedangkan, penelitian oleh
Sulkowski dkk., menunjukkan bahwa perbedaan ras juga mempengaruhi pencapaian
SVR. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan tingkat pencapaian SVR pada ras
orang kulit putih mencapai 44%, ras Afrika-Amerika mencapai 22%, ras orang Latin
mencapai 38% dan ras Asia-Amerika mencapai 59%.
Pasien hepatitis C genotipe 1, SVR dapat dicapai pada 46% pengguna Peg-IFNα2a
dan 42% pada pengguna Peg-IFNα2b. SVR dapat dicapai pada 76% pasien genotipe
2 dan sebesar 82% pada pasien genotipe 3 baik dengan menggunakan Peg-IFNα2a
maupun Peg-IFNα2b. Pencapaian SVR di Asia adalah sebesar 70% pada pasien
dengan genotipe 1, 90% pada pasien dengan genotipe 2/3, 65% pada pasien dengan
genotipe 4 dan 80% pada pasien dengan genotipe 6.Pencapaian SVR di Indonesia
adalah sebesar 81,5% pada pasien genotipe 1, 90% pada pasien dengan genotipe
2/3, dan 85,7% pada pasien dengan genotipe 4. Penelitian yang dilakukan oleh Lin
dkk., pada 265 pasien hepatitis C kronik genotipe 1 dan diterapi dengan Peg-
IFN/RBV menunjukkan bahwa tingkat SVR tertinggi ditemukan pada kelompok
pasien dengan usia kurang dari 45 tahun dan tingkat SVR terendah ditemukan pada
kelompok pasien dengan usia lebih dari 65 tahun. Demikian juga penelitian oleh
Marco dkk., yang menganalisis perbedaan jenis kelamin terhadap SVR menunjukkan
pencapaian SVR pada pasien wanita hepatitis C genotipe 1 dengan usia lebih dari 50
tahun didapatkan lebih rendah dibandingkan usia kurang dari 50 tahun.
51
Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa menopause mempengaruhi
pencapaian SVR pada pasien wanita hepatitis C genotipe 1 sedangkan pada pasien
pria hepatitis C genotipe 1 tidak didapatkan hubungan antara usia dengan
pencapaian SVR.
Perbedaan antara Peg-IFN α2a dan Peg-IFN α2b selain strukturnya adalah
waktu paruh absorpsi, waktu paruh eliminasi dan waktu konsentrasi
maksimal ditemukan lebih lama pada Peg-IFN α2b. Beberapa studi
menunjukkan keunggulan Peg-IFN α2a dibandingkan Peg-IFN α2b meskipun
ada juga studi yang menunjukkan tidak adanya perbedaan efektifitas
keduanya dalam terapi hepatitis C kronik.
53
pendahulunya, sofosbuvir memiliki efek samping yang lebih sedikit, durasi
terapi yang lebih pendek, dan efektifitas lebih baik.
1. Penanganan diare
a. Pengobatan diare
Pengobatan diare pada prinsipnya adalah melakukan rehidrasi oral terhadap
cairan yang keluar melalui diare atau muntah yang terjadi saat menderita diare.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengembangkan pola pengobatan diare
pada anak menggunakan pola Plan A, B, dan C.
Pola Plan A merupakan rehidrasi yang dilakukan pada saat diare dengan atau
tanpa dehidrasi ringan (dapat dilakukan dengan rehidrasi oral). Plan B adalah
54
rehidrasi pada penderita dengan rehidrasi ringan sampai sedang (dapat
dilakukan dengan rehidrasi oral dan/atau intravena bila diperlukan), dan Plan C
merupakan rehidrasi pada penderita diare dengan rehidrasi berat (dilakukan
dengan rehidrasi intravena).
55
c) Pemberian pelayanan bagi penderita diare (yang mengalami dehidrasi
ringan- sedang), diobservasi di Layanan Rehidrasi Oral Aktif paling
sedikit selama 3 jam; orang tua/pengasuh/keluarganya akan diajarkan
bagaimana cara penyiapan oralit dan berapa banyak oralit yang harus
diminum oleh penderita.
d) Sosialisasi dan peningkatan kapasitas masyarakat tentang diare dan
upaya pencegahan dan penanggulangannya.
a. Diagnosis klinis
Diagnosis klinis adalah kegiatan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
mendapatkan sindrom klinis demam tifoid. Berbagai gejala klinis yang sering
ditemukan pada demam tifoid, adalah :
Demam Gangguan gastro intestinal
Sakit kepala Insomnia
Kelemahan umum Hepatomegali
Nausea Splenomegali
Nyeri abdomen Bradikardi relatif
Anoreksia Kesadaran menurun/berubah
Muntah Diare/obstipasi
Sesuai dengan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dan tingkat perjalanan
penyakit demam tifoid, maka diagnosis demam tifoid diklasifikasikan:
2) Possible case
Telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta didukung
oleh gambaran laboratorium dan serologi yang menyokong demam tifoid
(titer Widal O>1/160 atau H>1/160 satu kali pemeriksaan atau Tubex® atau
IgM). Diagnosis ini dibuat pada fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut I
dan II (RS tipe D/C, dan B)
56
3) Definite case
Diagnosis pasti, ditemukan S. typhi pada pemeriksaan biakan atau positif S.
typhi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titer Widal empat (4)
kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer Widal O>1/320,
H>1/640 (pada pemeriksaan sekali). Diagnosis ini dibuat pada fasilitas
kesehatan rujukan tingkat lanjut III (RS tipe A).
3) Pengobatan
a) Antibiotik
Pilihan antibiotik, antara lain:
Kloramfenikol, 4 x 500mg/hari, selama 14 hari
Kotrimoksazol, 2 x (160-800mg)/hari, selama 14 hari
Amoksisilin, 3-4 x 1000mg/hari, selama 14 hari
Ciprofloxacin 2 x 500 mg/hari, selama 7 hari.
b) Obat-obat simptomatik dan roboransia
c) Istirahat dan pentahapan mobilitas
d) Diet (bubur/nasi biasa).
4) Rujukan
Pasien dirujuk apabila:
a) Pasien dengan disertai gejala klinis yang berat, penurunan kesadaran,
tidak dapat makan dan minum, terdapat tanda-tanda komplikasi, dan
komorbid yang membahayakan
b) Telah mendapat pengobatan selama 5 hari, namun belum ada perbaikan.
Apabila kondisi pasien memburuk yang ditandai dengan penurunan tanda
vital dan semakin tingginya demam, dan nyeri ulu hati makin hebat
c) Demam tifoid dengan tanda-tanda kedaruratan
d) Demam tifoid dengan tanda-tanda komplikasi dan fasilitas tidak
memadai.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut II dan III seharusnya telah
melaksanakan kegiatan surveilans dan penelitian secara berkesinambungan,
sehingga telah dapat ditentukan gambaran morbiditas, mortalitas, resistensi dan
karier di daerah masing-masing pelayanan kesehatan tersebut (Kepmenkes No.
364 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid).
58
dilanjutkan 1mg/kgBB/kali, setiap 6 jam (penggunaan lebih dari 48 jam
akan meningkatkan angka relaps).
c) Antibiotik (berturut-turut sesuai lini pengobatan).
Lini pertama
- Kloramfenikol (drug of choice) 100 mg/kgBB/hari, oral atau IV, dibagi
dalam 4 dosis selama 10-14 hari. Kontraindikasi pada leukosit
<2000/µl . Dosis maksimal 2gram/hari, atau
- Amoksisilin 150-200 mg/kgBB/hari, oral atau IV selama 14 hari
- Kotrimoksazol (Trimetoprim-Sulfametoksazol/TMP-SMX) 4 mg/
kgBB/kali, selama 10 hari.
Multidrug resistence S. typhi
- Seftriakson 80 mg/kgBB/hari IV selama 5 hari
- Sefixime 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 2 kali sehari per oral
Karier S. typhi (S. typhi tetap ada dalam urin atau feses selama lebih dari
6-12 bulan):
- Ampisilin 100 mg/kgBB/hari, 4 x/hari, atau
- Kotrimoksazol 4-20 mg/kgBB/hari, 2x/hari selama 6-12 minggu.
2) Tindakan bedah
Tindakan bedah perlu dilakukan segera bila terdapat perforasi usus.
Konsultasi Bedah Anak bila dicurigai komplikasi perforasi usus.
f. Pencegahan perorangan
1) Higiene perorangan dan sanitasi lingkungan
2) Demam tifoid ditularkan melalui rute oro-fekal, maka pencegahan utama
memutuskan rantai penularan tersebut dengan meningkatkan higiene
perorangan dan sanitasi lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum dan
sesudah makan, penyediaan air bersih, dan pengamanan pembuangan limbah
feses.
3) Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien demam
tifoid, terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB), dan untuk turis yang bepergian ke
daerah endemik.
3. Hepatitis A
a. Diagnosis
Penegakkan diagnosis disamping berdasarkan gejala dan tanda klinis (kadang-
kadang tidak muncul), juga hasil pemeriksaan anti-HAV IgM serum penderita.
Pemeriksaan anti-HAV IgM merupakan deteksi adanya antibodi IgM terhadap
virus hepatitis A. Antibodi ini akan terdeteksi ketika timbul gejala, dan akan
menetap selama 3-6 bulan setelah infeksi terjadi.
4. Hepatitis E
a. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya antibodi terhadap VHE atau RNA
VHE dalam serum atau tinja penderita. Antibodi yang bisa dideteksi saat ini
adalah IgM, IgG, dan IgA.
60
BAB IX
Untuk kegiatan pencegahan dan pengendalian HPISP, logistik biasanya terdiri dari barang
medis dan non-medis yang dikirim dari tingkat pusat atau pengadaan oleh provinsi atau
kabupaten/kota. Logistik yang dibutuhkan adalah untuk kebutuhan rutin dan saat Kejadian
Luar Biasa (KLB).
Sebagai contoh untuk kebutuhan rutin dalam kegiatan pencegahan dan pengendalian diare,
perhitungan kebutuhan oralit ditentukan berdasarkan perkiraan jumlah penderita diare
yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dan kader, dan pengadaan oralit dan obat Zinc
di Kementerian Kesehatan dilaksanakan oleh Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dan dikirim ke Gudang Farmasi provinsi.
Oralit dan obat Zinc merupakan obat esensial, sehingga pengadaannya dilaksanakan di
tingkat pusat sesuai usulan daerah. Dalam hal pengadaan bahan/alat/obat yang
dibutuhkan dalam kegiatan pencegahan dan pengendalian HPISP. perlu diidentifikasi
sumber dananya, sehingga dapat dimasukkan dalam perencanaan kegiatan pencegahan dan
pengendalian di masing-masing daerah (Tabel 3).
61
Bila jumlah bahan/alat/obat masih belum memenuhi kebutuhan, maka provinsi dan
kabupaten/kota dapat melaksanakan pengadaan sendiri untuk memenuhi kebutuhannya
(buffer stok).
1. Kebutuhan reagen
a. Rapid test
Perhitungan kebutuhan rapid test untuk DDHBC disesuaikan dengan jenis
kegiatan dan tempat pelaksanaannya. Sebagai contoh, perkiraan kebutuhan
rapid test hepatitis B di puskesmas adalah 80% x jumlah orang berisiko yang
akan dideteksi/sasaran DDHB x 1 tes. Stok (cadangan) juga perlu
diperhitungkan. Cara perhitungan jumlah kebutuhan untuk rapid test hepatitis C
sama dengan cara perhitungan untuk kebutuhan rapid test hepatitis B.
b. Pemeriksaan konfirmasi
Perkiraan kebutuhan untuk konfirmasi hepatitis B dan C, yaitu sebesar
prevalensi hepatitis B dan/atau C atau perkiraan jumlah yang reaktif dari hasil
pelaksanaan deteksi dini hepatitis dengan rapid test. Misalnya prevaensi
hepatitis B sebesar 3%, maka reagen untuk konfirmasi HBsAg yang dibutuhkan
62
sebesar 3% x (80% x jumlah yang akan dideteksi/sasaran DDHB). Bila
prevalensi hepatitis C juga sebesar 10%, maka kebutuhan reagen untuk
konfirmasi hepatitis C yang dibutuhkan sebesar 10% x (80% x jumlah yang akan
dideteksi/sasaran DDHC). Reagen untuk konfirmasi disimpan pada suhu 2-8oC.
63
3. Obat hepatitis B dan C
Pada saat ini terdapat 2 kelompok obat untuk hepatitis B yang digunakan secara
luas dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing obat. Kedua kelompok
terdiri dari 6 jenis obat, yaitu 1) Interveron; 2) Lamivudin; 3) Adefovir; 4) Entecavir;
5) Telbivudin, dan 6) Tenofovir. Untuk hepatitis C, pengobatan menggunakan
Pegylated Interveron-α (Peg-INF-α) + Ribavirin atau menggunakan obat baru, yaitu
Sofosbovir + Ribavirin, Sofosbovir + Ledipasvir + 2D ABBVIE, dan kombinasi
lainnya.
5. Fibroscan
Alat untuk memeriksa tingkat fibrosis hati, dipergunakan di rumah sakit rujukan
6. Mesin immunologi
Mesin untuk pemeriksaan immunologi hepatitis di laboratorium pemeriksaan
konfirmasi spesimen, sebagai tindak lanjut pemeriksaan rapid test hepatitis di
puskesmas.
7. Kualitas bahan/alat/obat
Kualitas bahan/alat/obat yang digunakan memerlukan perhatian tersendiri. Untuk
reagen (rapid test), pada tahun 2014, Direktorat P2ML, Ditjen PP dan PL, Kemenkes
RI bekerjasama dengan Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana
Kesehatan dan BBLK Jakarta (tim teknis), telah melakukan evaluasi kualitas reagen
hepatitis B dan C yang beredar di Indonesia. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut,
maka ditetapkan kriteria pemilihan reagen hepatitis B dan dan C (Tabel 6):
Pemilihan rapid test untuk deteksi dini hepatitis B dan C adalah berdasarkan
sensitivitas dan spesifisitas yang paling tinggi.
1. Oralit
Perhitungan kebutuhan logistik diare ditentukan berdasarkan perkiraan jumlah
penderita diare yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dan kader.
Angka Kesakitan Diare Balita (2012): 834/1.000 Balita
Kebutuhan Oralit:
(Target Penemuan Penderita Diare Balita x 6 bungkus + Cadangan*) – Stok
*20% x (Target Penemuan Penderita Diare Balita x 6 Bungkus)
Kebutuhan Oralit:
= (5.004 x 6) + 10 % (6.420 x 6) - 10.000 bungkus
= 30.024 + 3.002 - 10.000 bungkus
= 23.026 bungkus
= 230,26 kotak atau 231 kotak (@100 bungkus)
(Catatan: jumlah balita diperkirakan sebanyak 10% dari jumlah penduduk. Apabila
provinsi mempunyai data jumlah balita, agar menggunakan data sendiri).
2. Obat Zinc
Kebutuhan Zinc:
(Target Penemuan Penderita Diare Balita x 10 Tablet + Cadangan*) – Stok
*Cadangan = 10% x (Target Penemuan Diare Balita x 10 Tablet)
65
3. Kebutuhan obat paket KLB
Rumus perhitungan kebutuhan paket diare saat KLB:
a. Oralit
- Perkiraan jumlah penderita diare saat KLB
- Rata-rata pemberian oralit per penderita = 10 bungkus oralit (@200 ml).
Kebutuhan Oralit = Jumlah Perkiraan Penderita Diare Saat KLB x 10 Bungkus
b. Zinc
- Tablet Zinc diberikan kepada penderita diare balita
- Jumlah penderita diare balita pada saat KLB diperkirakan 50%.
Kebutuhan Zinc = 50% x Penderita Diare Balita x 10 Tablet
d. Selang infus
Jumlah penderita diare yang membutuhkan infus set adalah semua penderita
yang mendapat RL x 1 set.
e. IV kateter anak
Perkiraan jumlah penderita yang membutuhkan IV kateter anak adalah 30%
dari jumlah penderita diare yang diberi RL.
f. IV kateter dewasa
Perkiraan kebutuhan IV kateter dewasa adalah 80% dari jumlah penderita yang
diberi RL.
Kebutuhan IV Kateter Dewasa = 80% x Jumlah Penderita Diare yang Diberi RL
Saat KLB x 1 Set
66
C. Logistik Untuk Pencegahan dan Pengendalian Demam Tifoid
1. Obat
Perhitungan kebutuhan obat ditentukan berdasarkan perkiraan jumlah penderita
demam tifoid yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan, jenis obat, dosis dan
lama pemberia.
D. Pengadaan
Pengadaan oralit dan Zinc di Kementerian Kesehatan RI dilaksanakan oleh Ditjen
Kefarmasian dan Alat Kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan dikirim ke
Gudang Farmasi Provinsi. Oralit dan Zinc merupakan obat esensial, pengadaannya oleh
daerah sesuai kebutuhan daerah, sedangkan pusat dapat mengalokasikan obat tersebut
untuk KLB. Pengadaan dan reagen, HBIg dan bahan untuk Deteksi Dini Hepatitis B dan C
dilaksanakan oleh Dirjen P2P.
E. Penyimpanan
Penyimpanan di tingkat provinsi, kabupaten, puskesmas dan kader hendaknya dikelola
secara baik dan benar, yaitu disimpan pada tempat yang kering dan diberi alas, disusun
sesuai dengan tanggal kadaluwarsanya, sehingga pada saat pengambilan mudah
mencarinya. Dibuatkan pencatatan asal obat, jumlah dan waktu penerimaan serta
pengeluaran obat (jumlah, waktu dan tujuan obat dikirimkan).
F. Distribusi
Distribusi obat dari provinsi ke kabupaten/kota dan puskesmas sesuai dengan
kebijakan masing-masing daerah. Apabila terjadi KLB dan daerah memerlukan
tambahan, dapat mengajukannya ke Direktorat Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan, Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan dengan tembusan ke Subdit
Hepatitis dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan.
G. Persediaan (Stok)
Persediaan obat dihitung berdasarkan perkiraan kebutuhan minimal 1 (satu) bulan.
67
BAB X
A. Perencanan Kegiatan
Perencanaan pembangunan kesehatan merupakan hal yang tidak terpisahkan dari
perencanaan pembangunan nasional, yang mengacu pada Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN). Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang SPPN, sistem tersebut merupakan satu kesatuan tata cara perencanaan
pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan jangka panjang, jangka
menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di
pusat dan daerah dengan melibatkan masyarakat. Keberhasilan pembangunan kesehatan
sangat ditentukan oleh kualitas perencanaan.
2. Teknokratik
Perencanaan dengan pendekatan teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan
metode dan kerangka berpikir ilmiah dengan melibatkan profesional, baik akademisi
dari perguruan tinggi, pejabat pemerintah, maupun non pemerintah, atau para ahli,
serta menggunakan data hasil penelitian dan penggunaan. Untuk mendapatkan suatu
rencana yang optimal, maka rencana pembangunan hasil proses politik perlu digabung
dengan rencana pembangunan hasil teknokratik. Agenda Presiden/Wakil
presiden/Kepala Daerah yang berkuasa yang dihasilkan dari hasil proses politik perlu
selaras dengan perspektif pembangunan yang dihasilkan proses teknokratik menjadi
agenda pembangunan nasional selama 5 tahunan. Selanjutnya agenda pembangunan
jagka menengah ini diterjemahkan ke dalan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan
yang sekaligus menjadi satu dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (RAPBN) sebelum ditandatangani DPR dan disetujui menjadi Undang-Undang.
68
Melaksanakan pertemuan awal penyusunan RKP tahun t + 1
Melaksanakan sinkronisasi hasil pertemuan dengan Bappenas
Melakukan sinkronisasi hasil pertemuan dengan Bappenas di tingkat unit utama
sebagi bahan persiapan Rakerkesnas
Monitoring dan evaluasi perencanaan
Monitoring dan evaluasi dapat dilakukan pada setiap tahapan manajemen baik
monitoring dan evaluasi pada perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan serta
monitoring dan evaluasinya sendiri.
Perencanaan yang telah dibuat perlu dimonitor dan dievaluasi untuk mengetahui
keberhasilannya. Oleh karena itu, perencanaan yang baik juga menetapkan target dan
indikator, sehingga keberhasilan kegiatan dapat dipantau secara berkala.
Perencanaan strategis umumnya berlaku untuk jangka panjang dan menengah dan
kemudian diterjemahkan sebagai kegiatan-kegiatan dalam kurun waktu yang lebih
pendek. Evaluasi perencanaan dapat dilaksanakan baik ketika kegiatan berlangsung
maupun setelah selesai.
Evaluasi hendaknya tidak hanya dilakukan secara kuantitatif, namun juga bisa secara
kualitatif, contoh melalui dengar pendapat. Hal ini bisa menambah masukan mengenai
implementasi perencanaan di lapangan serta kesulitan yang dihadapai maupun
kemungkinan untuk melakukan inovasi baru.
3. Partisipatif
Pemikiran perencanaan partisifatif diawali dari kesadaran bahwa kinerja pembangunan
sangat ditentukan oleh semua pihak terkait dengan prakarsa tersebut. Perencanaan
metode partisipatif ini melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholder)
terhadap pembangunan. Pimpinan Organisas atau K/L, organisasi professi, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) dan lintas sektor pembanguna kesehatan. Dalam rangka
mewujudkan reformasi birokrasi dimana demokratisasi dan partisipasi sebagai bagian
dari good government, maka proses perencanaan pembangunan di Kemenkes RI juga
melalui proses partisipatif
4. Atas-bawah (top-down)
Perencanaan atas-bawah (top-down) yang dilakukan oleh lembaga pemerintah sebagai
pemberi gagasan awal serta pemerintah berperan lebih dominan dalam mengatur
jalannya program. Peran masyarakat tidak begitu berperan. Perencanaan jenis ini
adalah RPJP Bidang Kesehatan, RPJMN, Renstra K/L, hasil sidang cabinet, dan direktif
Presiden.
5. Batas-atas (bottom-up)
Perencanaan yang dilakukan dimana masyarakat lebih berperan dalam hal pemberian
gagasan awal sampai dengan mengevaluasi program yang telah dilaksanakan,
sedangkan pemerintah hanya sebagai fasilitator dalam suatu program. Pendekatan atas-
bawah dan bawah-atas dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang
pemerintahan. Rencana ini diselaraskan melalui Musyawarah Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang) yang dilaksanakan baik di tingkat nasional, provinsi,
kabupaten/kota, kecamatan dan desa. Gabungan pendekatan perencanaan atas- bawah
69
dan bawah-atas di lingkungan Kemenkes RI dilakukan melalui Rapat Kerja Kesehatan
Nasional (Rakerkesnas), dan Rapat Konsolidasi Teknis Perencanaan.
Analisis respon digunakan untuk mengkaji keseluruhan tindakan program dari semua
sektor yang ada dan difokuskan pada hubungan dengan berbagai bidang yang menjadi
kunci penentu penyebaran HPISP, juga dampak di daerah yang bersangkutan. Analisis
respon menjawab beberapa pertanyaan, antara lain :
Apa saja yang berhasil dan perlu diteruskan?
Apa saja yang berhasil dan perlu diperluas?
Apa saja yang tidak berhasil dan perlu strategi pendekatan baru?
Apa yang tidak relevan terhadap kebutuhan saat ini dan harus dihentikan?
Apa yang sama sekali belum bisa ditangani?
Proses analisis situasi meliputi pengumpulan data dan informasi serta menganalisis
data dan informasi tersebut. Data dan informasi yang diperlukan adalah data umum,
data program maupun data sumber daya yang terkait, bukan hanya meliputi data
kesehatan tetapi juga data pendukung dari berbagai sektor. Data umum diperlukan
untuk menetapkan target, sasaran dan strategi operasional lainnya yang sangat
dipengaruhi oleh kondisi masyarakat. Data terkait program diperlukan untuk dapat
menilai kemajuan program, masalah dan rencana yang akan dilakukan. Data sumber
daya diperlukan untuk mengidentifikasikan sumber yang dapat dimobilisasi sehingga
dapat menyusun rencana secara rasional, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki tiap
daerah.
2. Mengumpulkan data
Data yang diperlukan untuk tahap analisis masalah adalah:
Data Kependudukan, meliputi geografi, demografi, migrasi, urbanisasi, mobilitas
Data Kesehatan, meliputi indikator kesehatan, data kasus HPISP
70
Data sosial, meliputi suku, perilaku seksual, perilaku penyalahgunaan obat, pola
keluarga, dan lain-lain.
Data politik, ekonomi dan hukum, meliputi sistem politik, hukum dan HAM, ekonomi
masyarakat termasuk tingkat kemiskinan dan penyebarannya.
Data layanan masyarakat, meliputi pendidikan, komunikasi, pelayanan kesehatan.
Data kemitraan, meliputi lembaga non pemerintah/LSM, sektor swasta, lembaga
penelitian, penyandang dana, sektor terkait.
Data sumber daya yang relevan yang tersedia, meliputi kapasitas kelembagaan,
pengetahuan dan keterampilan, barang dan jasa, sumber daya manusia dan dana.
Data kelompok yang berkepentingan, meliputi masyarakat yang rentan, para politikus,
lembaga donor, sektor usaha, organisasi profesi, tokoh agama dan masyarakat.
Data dan sumber lain yang penting, seperti laporan hasil survei, laporan estimasi
kelompok berisiko tertular HPISP, laporan kasus HPISP oleh Kemenkes RI, buku
pedoman program/juknis, dan laporan dinas kesehatan setempat.
Hasil analisis data tidak hanya menjabarkan situasi, tetapi menganalisis pentingnya
epidemi seperti hepatitis. Oleh karena itu sebaiknya hasil analisis:
Menentukan faktor dan bagaimana faktor tersebut meningkatkan kerentanan
terhadap HPISP dan dampaknya.
Memperkirakan seberapa penting faktor tersebut dalam penularan HPISP
Menentukan hambatan bagi tercapainya perubahan situasi.
Menentukan peluang yang dapat dimanfaatkan bagi respon yang efektif
Analisis dilakukan bersama seluruh anggota tim, sebaiknya ditunjuk fasilitator untuk
memandu proses analisis. Analisis mencakup informasi yang relevan dari semua data
atau tema.
Data dan informasi yang harus digali terkait dengan pertanyaan yang harus dijawab:
Bagaimana situasi HPISP saat ini? Pertanyaan ini dijawab dari hasil analisis situasi.
Program apa saja yang dilakukan sebagai respon terhadap HPISP? Pertanyaan ini
mencakup penyediaan layanan, kegiatan pencegahan, promosi dan kegiatan lainnya.
Apakah respon dilakukan sesuai dengan situasi saat ini?
Apakah respon dilakukan pada bidang yang prioritas? Apakah ada bukti bahwa
respon tersebut bermanfaat?
Mengapa respon tersebut berhasil atau tidak berhasil dilaksanakan?
4. Menetapkan tujuan
Menetapkan tujuan bagi masing masing area prioritas yang telah ditetapkan berdasar
kurun waktu dan kemampuan tertentu. Tujuan dapat dibedakan antara tujuan umum
dan tujuan khusus. Tujuan umum biasanya cukup satu dan tidak terlalu spesifik. Tujuan
umum dapat dipecah menjadi beberapa tujuan khusus yang lebih spesifik dan terukur.
Beberapa syarat yang diperlukan dalam menetapkan tujuan antara lain (SMART):
Terkait dengan masalah (Spesifik)
Terukur (Measurable)
Achievable (dapat dicapai)
Relevant, rasional (realistis)
Memiliki target waktu (Timebound).
5. Merumuskan strategi
Semua strategi yang akan dirumuskan sebaiknya memenuhi hal aksesibilitas,
kelayakan, kemungkinan untuk dikerjakan (feasibility), dan keterjangkauan
(affordability).
a. Aksesibilitas
Aksesibilitas menggambarkan apakah strategi yang diusulkan akan diterima atau
ditolak oleh banyak pihak yang berpengaruh. Sebaiknya berbagai inisiatif yang
diusulkan telah teruji efektifitasnya atau memiliki kelayakan teknis di daerah lain
yang memiliki kemiripan situasi. Program harus dapat menjangkau sasaran penting,
sehingga bermakna dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Kelayakan rencana
dapat dilaksanakan dan ditelaah dalam hal kapasitas kelembagaan yang ada,
ketersediaan dan kompetensi sumber daya manusia, dana, fasilitas layanan dan
logistik.
72
b. Feasibility
Strategi yang diusulkan hendaknya merupakan strategi yang cukup rasional dan
memiliki kemungkinan untuk dilaksanakan. Namun demikian, bukan berarti
perencana menjadi terjebak dalam strategi yang sudah biasa diusulkan dan
dilaksanakan. Inovasi dalam hal pengembangan strategi tetap perlu diperhatikan.
c. Affordability
Strategi yang diusulkan juga perlu memperhatikan kemampuan dalam
melaksanakannya. Kemampuan dapat dilihat dari pengalaman dalam melaksanakan
kegiatan maupun prediksi terhadap masa yang akan datang. Bila perbaikan
diperlukan, pilihlah strategi dan intervensi yang paling besar peluangnya untuk
berhasil dan memberi dampak besar dengan tingkat aksestibilitas yang tinggi.
Tahapan perencanaan dan penganggaran APBN di tingkat pusat kurang lebih sebagai
berikut:
Bulan Januari: Presiden menetapkan arah kebijakan dan prioritas pembangunan
nasional untuk tahun yang direncanakan (t+1).
Bulan Februari (minggu ke-2): Menteri PPN/Kepala Bappenas menyusun rancangan
awal RKP (Rencana Kerja Pemerintah) sebagai penjabaran RPJM Nasional
Bulan Januari sampai dengan Februari tahun berjalan: Penyusunan RKP tahun depan
(t+1), di tingkat Kemenkes RI.
Bulan Maret: Pelaksanaan Rakerkesnas
73
Bulan Maret: Sidang Kabinet untuk penetapan rancangan awal RKP tahun t+1 dan
penetapan pagu indikatif.
Maret: Dilaksanakan Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat (Rakorbangpus) dan
Rapat Konsolidasi Pembangunan Daerah (Rakorbangda)
Maret: Pertemuan Rapat Teknis Kemenkes RI tentang pagu indikatif
Antara bulan Maret-April: Dilaksankaan Pertemuan Trilateral meeting ( Bappenas,
Kemenkeu, dan Kemenkes RI) untuk membahas rencana kebijakan program, target,
dan indikator termasuk alokasi anggarannya berdasarkan pagu indikatif untuk tahun
T+1.
Maret-April: Reviu dan Penelitian RKAKL pagu indikatif antara unit utama dan Biro
Perencanaan
Maret-April: Penyusunan dan penelaahan Renja K/L
April: Musrenbang
Mei: Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat (Rakorbangpus) untuk membahas hasil
pertemuan pasca Musrenbang.
Mei: Dilaksanakan Sidang Kabinet penetapan RKP
Mei: Pembahasan RKP dan rencana pagu anggaran antara pemerintah dan DPR RI
Juni-Juli: Penetapan pagu anggaran
Juni-Juli: Penyusunan RKAKL internal unit utama, reviu dan penelitian RKAKL antara
unit utama, Biro Perencanaan dan Inspektorat Jenderal
Bulan Juli: Pembahasan RKAKL pagu anggaran dengan Komisi IX DPR
Juli-Agustus: Penelaahan RKAKL Kemenkes RI dengan DJA (Direktorat Jenderal
anggaran).
Agustus: Pembahasan RAPBN (t+1) antara Pemerintah dengan DPR untuk alokasi
anggaran dan selanjutnya bulan Oktober Penetapan alokasi anggran oleh Pemerintah.
November: Penyesuaian RKAKL berdasarkan alokasi anggran, reviu dan penelitian
RKAKL alokasi anggaran antara unit utama, Inspektorat Jenderal dan Biro
Perencanaan.
November: Penelaahan RKAKL antara Biro Perencanaan dan unit utama DJA
November: Pembahasan RKAKl alokasi anggraan dengan Komisi IX DPR
Desember: Penetapan DIPA oleh Kemenkes RI.
75
2. Peningkatan SDM P2HPISP
a. Peningkatan kapasitas petugas dalam aktivasi LROA, SKD KLB, dan monitoring dan
evaluasi program PISP
1) Tujuan
Agar petugas mampu melaksanakan SKD KLB serta monitoring dan evaluasi
program PISP (diare, demam tifoid, hepatitis A dan hepatitis E)
79
2) Peserta
Masyarakat, tokoh masyarakat, pelajar/mahasiswa, akademisi; petugas
kesehatan, anggota DPRD, para pemangku kepentingan di Pemda, Bappeda,
BBLK/BLK, dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota, RSU provinsi dan
kabupaten/kota, dan kepala Puskesmas.
3) Materi yang disampaikan selain terkait dengan hepatitis dan PISP
4) Tempat
Gedung perkantoran Pemda/dinas kesehatan provinsi/Bapelkes/BBPK, dinas
kesehatan kabupaten/kota/Instansi pemerintah atau lainnya.
5) Lama pertemuan: 1 hari efektif
6) Narasumber
Kadinkes/kabid P2P, Direktorat P2PML, Ahli HPISP
7) Contoh materi
Kebijakan P2HPISP
Situasi/epidemiologi HPISP dan upaya P2HPISP yang telah dilakukan
Informasi dasar tentang hepatitis, cara pencegahan, deteksi dini, dan
pengobatan/penangaman
Informasi dasar tentang diare, cara pencegahan, penanganan, dan LROA
Informasi dasar tentang tifoid, cara pencegahan, deteksi dini, dan penanganan
Diskusi RTL
Penutupan
80
Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota, lintas sektor terkait, Pemda,
organisasi professi, LSM, oraganisasi kemasyarakatan, mahasiswa, Pramuka, dan
perwakilan kelompak masyarakt lain yang dianggap perlu.
81
g. Pemantauan hepatitis pada kelompok berisiko tertular dan menularkan
1) Tujuan
Mengetahui besaran masalah dan kecenderungan besaran hepatitis B dan/atau C
pada populasi berisiko tinggi di beberapa kota di Indonesia, mengetahui tingkat
pengetahuan tentang hepatitis B dan/atau C pada populasi berisiko tinggi di
beberapa kota di Indonesia, dan mengetahui perilaku berisiko dan
kecenderungannya.
2) Metodologi
Dalam pelaksanaan pengamatan hepatitis B dan/atau C pada kelompok populasi
berisiko akan dikolaborasikan dengan pelaksanaan surveilans sentinel HIV, pada
saat tertentu kolaborasi ini juga akan dengan SCP dan STBP HIV.
3) Pelaporan
Kuesioner (mengikuti alur pelaporan surveilans HIV )
Hasil pemeriksaan spesimen (mengikuti alur pelaporan HIV), pada tingkatan
dinas kesehatan kabupaten/kota dan propinsi program hepatitis berada pada
didang dan seksi yang sama dengan program AIDS dan IMS.
4) Sasaran
Kelompok berisiko yang diperiksa adalah WPS, Waria, Penasun, LSL, Warga
Binaan Penjara (WBP)
5) Tempat pemeriksaan spesimen: BLK/BBTKL Provinsi
6) Petugas pelaksana
Tim Provinsi dan kabupaten/kota. Puskesmas yang ditunjuk mengambil sampel
dan mengisi kuesioner yang sudah ditetapkan sebelumnya. Bimtek dan monev
dari Pusat
Dalam usulan perencanaan pengadaan barang dan jasa agar senatiasa dilengkapi dengan
data pendukung sesuai peraturan yang berlaku.
84
BAB XI
Monitoring dan evaluasi dapat dilakukan pada setiap tahapan manajemen baik monitoring
dan evaluasi pada perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pada monitoring dan
evaluasinya sendiri. Perencanaan yang telah dibuat perlu dimonitoring dan dievaluasi
untuk mengetahui keberhasilannya. Oleh karena itu, perencanaan yang baik juga
menetapkan target dan indikator, sehingga keberhasilan dari kegiatan dapat dipantau
secara berkala. Perencanaan strategis umumnya berlaku untuk jangka panjang dan
menengah dan kemudian diterjemahkan sebagai kegiatan-kegiatan dalam kurun waktu
yang lebih pendek. Evaluasi hendaknya tidak hanya dilakukan secara kuantitatif, namun
juga bisa secara kualitatif, contoh melalui dengar pendapat. Hal ini bisa menambah
masukan mengenai implementasi perencanaan di lapangan serta kesulitan yang dihadapai
maupun kemungkinan untuk melakukan inovasi baru.
Evaluasi dimaksudkan untuk memberikan bobot atau nilai terhadap hasil yang dicapai
dalam keseluruhan pentahapan kegiatan, untuk proses pengambilan keputusan apakah
suatu kegiatan diteruskan, dikurangi, dikembangkan atau diperkuat. Untuk itu penilaian
diarahkan guna mengkaji efektifiktas dan efisensi pengelolaan kegiatan pencegahan dan
pengendalian HPISP. Penilaian kinerja pencegahan dan pengendalian HPISP dilaksanakan
berdasarkan indikator yang telah ditetapkan dalam pencapaian sasaran.
Tujuan monitoring dan evaluasi adalah: 1)Petugas dinas kesehatan provinsi mampu
melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan pengendalian HPISP di kabupaten/kota di
provinsi tersebut; 2) Petugas dinas kesehatan kabupaten/kota mampu melakukan
monitoring dan evaluasi kegiatan pengendalian HPISP di puskesmas di kabupaten/kota
tersebut; dan 3) Petugas puskesmas mampu melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan
85
pengendalian HPISP di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya di wilayah kerja puskesmas
tersebut.
Monitoring dan evaluasi dilakukan pada setiap tahap kegiatan pencegahan dan
penegandalian HPISP, yaitu:
86
Tabel 8. Indikator Pencegahan dan Pengendalian Hepatitis di Indonesia, 2015-2019
87
5. Dampak kegiatan pencegahan dan pengendalian HIsp
Monitoring dilaksanakan oleh pengelola program, baik di pusat maupun daerah, pada
saat program/kegiatan pencegahan dan pengendalian sedang berlangsung guna
memberikan koreksi atau perbaikan segera terhadap rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan. Sebagai contoh, dalam pemberian imunisasi hepatitis B yang sebaiknya
diberikan kepada bayi segera setelah kelahirannya, maka apabila pemberian imunisasi
pada bayi dilakukan di luar periode waktu segera setelah kelahiran bayi pada suatu
wilayah, disarankan agar selanjutnya pemberian imunisasi dapat dilakukan secepatnya
(segera setelah bayi lahir). Dalam konteks ini monitoring dilakukan dalam rangka
88
memperoleh gambaran tentang aksesibilitas, kualitas pengelolaan program, masalah,
dan dampaknya.
Gambaran selengkapnya data dan informasi yang diperoleh pada saat proses
monitoring dapat dilihat pada tabel sebagai berikut (Tabel 10):
Tabel 10. Gambaran Aksesibilitas, Kualitas Kegiatan, Masalah, dan Dampak Kegiatan
Pencegahan dan Pengendalian Hepatitis
Aksesibilitas Kualitas kegiatan Masalah Dampak
Jumlah bayi yang diimunisasi Proporsi bayi yang A-B Peningkatan
hepatitis B segera setelah memperoleh imunisasi insidensi dan
lahir dibagi jumlah bayi yang hepatitis B segera setelah prevalensi
lahir pada periode yang sama lahir dibagi jumlah bayi hepatitis B
(A) yang diimunisasi pada
saat usia 7 hari (B)
Evaluasi hepatitis dilaksanakan oleh pengelola program, baik di pusat maupun daerah,
setelah pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pengendalian dilakukan pada satu tahun
anggaran selesai. Hasil evaluasi dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan apakah
kegiatan dilanjutkan, dikembangkan, atau dibatasi.
Sebagai contoh gambaran evaluasi pada kasus pemberian imunisasi hepatitis B
sebagaimana tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa:
a. Apabila masalah yang terjadi semakin besar, maka kegiatan dipertimbangkan untuk
dikaji kembali; dan
b. Apabila kualitas pengelolaan kegiatan mencapai lebih dari 95%, kegiatan
dipertimbangkan untuk ditingkatkan.
89
BAB XII
PENUTUP
Buku ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman atau pegangan bagi penanggung
jawab/pengelola prgoram/kegiatan Hepatitis dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan
(HPISP) di puskesmas, kabupaten/kota, provinsi dan pusat dalam melaksakan kegiatan
pencegahan dan pengendalian HPISP disetiap tingkatannya.
Untuk penjelasan yang lebih rinci tentang program/kegiatan pencegahan dan pengendalian
HPISP dapat dilihat pada buku petunjuk teknis masing-masing penyakit.
90
DAFAR PUSTAKA
91