Anda di halaman 1dari 34

TELAAH JURNAL

PENERAPAN “SLEEP EDUCATION AFTER MIDNIGHT” TERHADAP

PENINGKATAN KUALITAS TIDUR PASIEN DM TYPE 2 DI RSUD TARAKAN

JAKARTA

PEMBIMBING

Nelwati, S. Kp, MN, PhD

Ns. Sidaria, M. Kep

Disusun Oleh :

Kelompok B2

Salsabila Gema Topani 2241312107

Tammy Diannisa Gerda 2241312111

Chintia Paulina 2241312112

Azuhri Takwim 2241312113

Faraz Arsya Duta 2241312114

Tisya Mutiara Rahmadini 2241312119

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas telaah jurnal ini tepat pada

waktunya. Shalawat beserta salam tak lupa pula kita hadiahkan kepada Nabi besar kita

yakninya Nabi besar Muhammad SAW. Yang telah membawa umatnya dari zaman

jahiliyah kepada zaman yang penuh ilmu pengetahuan yang kita rasakan pada saat

sekarang ini.

Telaah jurnal ini penulis buat untuk melengkapi tugas mata kuliah Keperawatan

Dasar Klinik. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai

pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga menjadi

ibadah dan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Amin.

Penulis menyadari bahwa telaah jurnal ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, demi kesempurnaan

telaah jurnal ini. Akhir kata penulis berharapsemoga telaah jurnal ini dapat bermanfaat

bagi kita semua dan supaya kita selalu berada di bawah lindungan Allah SWT.

Padang, Februari 2023

Penulis
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes adalah suatu kondisi yang lama dan serius dengan dampak besar

pada kehidupan individu dan keluarga. Diabetes mellitus adalah salah satu

penyebab utama kematian pada orang dewasa dan diperkirakan menyebabkan

empat juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2019.

Prevalensi diabetes global pada tahun 2019 diperkirakan sebesar 9,3%

(463 juta orang), meningkat menjadi 10,2% (578 juta) pada tahun 2030 dan

10,9% (700 juta) pada tahun 2045 ( IDF, 2019). Pada tahun 2018 terdapat 34,2

juta orang atau 10,5% dari populasi penduduk Amerika Serikat mengidap

diabetes (DHHS, 2020). Di Indonesia terdapat 1.017.290 orang yang mengidap

diabetes mellitus. Jawa Timur merupakan provinsi dengan angka paling banyak

penderita diabetes sedangkan Jakarta berada pada posisi ke enam dengan angka

40.210 orang (Riskesdas, 2018). Kelompok Umur yang paling banyak menderita

adalah 55-64 tahun sedangkan perempuan lebih dominan daripada laki-laki.

Keinginan buang air kecil sering terjadi di malam hari (nokturia), hal ini

akan menyebabkan terganggunya tidur penderita diabetes. Tidur adalah

kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh setiap manusia. Tidur merupakan suatu

keadaan tidak sadarkan diri dimana persepsi dan reaksi individu terhadap

lingkungan terjadi penurunan atau menghilang dan dapat dibangunkan kembali

dengan adanya rangsangan yang cukup (Kusnadi, 2013).


2

Pada penderita diabetes, gangguan tidur dapat disebabkan oleh sering

terbangunnya pada malam hari atau karena sulit untuk tertidur (Insomnia).

Prevalensi nokturia berat pada penyandang diabetes mellitus tipe 2 sekitar 25%

(Purnamasari, 2020).

Wahyuningsih dalam penelitiannya menyatakan bahwa 82% penderita

diabetes mellitus mengalami insomnia dan salah satu penyebabnya adalah

nokturia. Beberapa terapi yang disarankan untuk mengatasi terjadinya insomnia

adalah terapi farmakologi dan nonfarmakologi. Namun beberapa terapi

farmakologi yang diberikan dapat memberikan efek samping. Untuk mengurangi

efek samping yang ditimbulkan maka dapat diberikan terapi nonfarmakologi

yaitu Sleep Education After Night. Sleep Education After Night merupakan suatu

terapi untuk mengidentifikasikan dan memodifikasi perilaku dan lingkungan yang

mempengaruhi tidur pasien diabetes. Beberapa kegiatan yang dilakukan berupa

menekankan jadwal dan rutinitas tidur yang stabil, lingkungan yang ramah untuk

tidur, menghindari zat-zat yang akan menggangu tidur, olahraga teratur,

menghindari minuman berkafein, pil tidur, alkohol dan pengurangan stres.

B. Tujuan

Melakukan telaah jurnal untuk mengetahui pengaruh penerapan Sleep

Education After Midnight terhadap peningkatan kualitas tidur pada penderita

diabetes mellitus.

C. Manfaat

Telaah jurnal ini dapat dijadikan informasi bagi perawat untuk

menerapkan pengaruh penerapan Sleep Education After Midnight terhadap

peningkatan kualitas tidur pada penderita diabetes mellitus.


3

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar Diabetes Melitus

1. Pengertian

Diabetes Melitus adalah sindrom yang disebabkan oleh terganggunya

insulin di dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperglikemia yang disertai

abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein (Donelly, 2015).

Diabetes Melitus dalah gangguan kesehatan yang berupa kumpulan

gejala yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat

kekurangan ataupun resistensi insulin (Bustan, 2015). Diabetes Melitus

merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar

glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Smeltzer, 2013).

2. Patofisiologi Diabetes Melitus

Pada pasien diabetes melitus, insufisiensi produksi insulin maupun

penurunan kemampuan tubuh menggunakan insulin berakibat pada

peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia). Hiperglikemia yangterjadi

dapat mencapai angka 300–1200 mg/dl. Kelainan patofisiologi yang timbul

pada diabetes melitus merupakan akibat dari dua faktor utama, yakni kadar

glukosa darah yang tinggi dan penurunan jumlah insulin efektif yang

digunakan oleh sel. Resistensi insulin mendasar kelompok kelainan pada

sindrom metabolik. Pemeriksaan glukosa plasma puasa juga tidak ideal

mengingat gangguan toleransi glukosa puasa hanya dijumpai pada 10%

sindrom metabolik. Pengukuran Homeostasis Model Assesment (HOMA)


4

dan Quantitaive Insulin Sensitivity Check Index (QUICK) dibuktikan

berkorelasi erat dengan pemeriksaan standar, sehingga dapat disarankan untuk

mengukur resistensi insulin.Bila melihat dari patofisiologi resistensi insulin

yang melibatkan jaringan adipose dan sistem kekebalan tubuh, maka

pengukuran resistensi insulin hanya dari pengukuran glukosa dan insulin

(Sudoyo, 2009).

Tidak adanya glukosa yang masuk kedalam sel mengakibatkan sel

mengalami kurang energi untuk proses metabolisme selular. Hal ini kemudian

diinterprestasikan oleh sel-sel tubuh sebagai kondisi kekurangan glukosa

sehingga tubuh akan merespon dengan berbagai mekanisme yang bertujuan

untuk menimbulkan kadar glukosa darah. Respon pertama yaitu pasien sering

merasa lapar sebagai respon terhadap rendahnya intake glukosa oleh sel.

Respon lainnya yaitu meningkatnya produksi glukosa tubuh dalam mekanisme

lipolisis dan glukoneogenesis. Lemak dan protein jaringan akan dipecah

menjadi glukosa. Jika hal ini terjadi secara berkepanjangan maka tubuh akan

mengalami penurunan kadar protein dalam jaringan. Selain itu pemecahan

lipid akan menghasilkan produk sampingan berupa benda keton yang bersifat

asam. Kondisi ini dapat mengakibatkan ketosis dan ketoasidosis yang dapat

mengancam. Penurunan produksi insulin pada pasien diabetes melitus, dapat

mengakibatkan gangguan metabolisme yaitu terjadi penurunan transport

glukosa ke dalam sel, peningkatan katabolisme protein otot dan lipolisis

(Sudoyo, 2009).
5

3. Faktor risiko DM tipe 2

Faktor risiko DM tipe 2 terdiri dari faktor risiko yang tidak bisa

dimodifikasi, yang bisa dimodifikasi dan faktor lain yang terkait dengan

risiko DM tipe 2 (Perkeni, 2015).

a. Faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi yaitu :

1) Ras dan etnik

2) Riwayat keluarga dengan DM

3) Umur (risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring

dengan meningkatnya umur yaitu dari umur lebih dari 45 tahun harus

dilakukan pemeriksaan DM).

4) Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi > 4000 gram

atau riwayat pernah menderita diabetes gestational.

5) Riwayat lahir dengan berat badan kurang dari 2,5 kg (bayi yang lahir

dengan berat badan rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi

dibanding dengan bayi lahir dengan berat badan normal).

b. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu :

1) Berat badan lebih ( IMT > 23kg/m2 )

2) Kurangnya aktivitas fisik

3) Hipertensi ( > 140/90mmHg )

4) Dislipidemia ( HDL250mg/dL)

5) Diet yang tidak sehat (unhealthy diet), diat dengan tinggi gula dan

rendah serat akan meningkatkan risiko menderita pre Diabetes atau

intoleransi glukosa dan DM tipe 2.


6

4. Tanda dan gejala Diabetes Melitus tipe 2

Menurut Waspadji dalam Soegondo (2009) keluhan yang sering terjadipada

klien DM adalah:

a. Poliuria (banyak kencing)

Adalah seringnya buang air kecil terutama pada malam hari dengan

volume banyak. Kondisi ini disebabkan oleh tingginya kadar gula darah

yang tidak bisa ditoleransi oleh ginjal dan agar urin yang dikeluarkan tak

terlalu pekat, ginjal harus menarik banyak cairan dari dalam tubuh.

b. Polidipsi (banyak minum)

Adalah peningkatan rasa haus yang disebabkan dari kondisi sebelumnya

yaitu poliuria yang menyebabkan dehidrasi ekstra sel sehingga pasien

akan minum terus menerus untuk mengobati rasa hausnya

c. Polifagia(banyak makan)

Adalah seringnya merasa lapar yang luar biasa. Hal ini disebabkan

karena gula darah yang tidak bisa masuk kedalam sel, dimana sel-sel

tubuh tidak dapat menyerap glukosa akibatnya tubuh secara keseluruhan

kekurangan energi dan lemas sehingga sel-sel akan mengirim sinyal

lapar ke otak untuk menggerakkan pasien makan terus menerus. Pada

fase ini pasien menunjukan berat badan yang terus naik atau bertambah

gemuk.

d. Penurunan BB, lemas, lekas lelah, dan kurang tenaga

Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 mengalami penurunan BB yang relatif

singkat disertai keluhan lemas. Hal ini disebabkan karena glukosa darah

tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga sel mengalami kekurangan


7

bahan bakar untuk menghasilkan energi yang terjadi untuk

mempertahankan kelangsungan hidupnya maka sumber energi akan

diambil dari cadangan lain yaitu lemak dan protein (glukoneogenesis)

sehingga pasien mengalami kehilangan cadangan lemak dan protein

yang menyebabkan terjadinya penurunan BB.

e. Gangguan penglihatan/visus menurun

Hal ini disebabkan oleh ganggauan lintas polibi (glukosa- sarbitol-

fruktosa) yang disebabkan karena insufisiensi insulin. Akibat tedapat

penimbunan sarbitol pada lensa mata akan menyebabkan pembentukan

katarak sehingga menimbulkan gangguan/visus menurun.

f. Gatal, bisul dan luka sulit sembuh

Kelainan kulit berupa gatal biasanya terjadi didaerah kemaluan atau

lipatan kulit seperti ketiak atau payudara. Keluhan lain sering dirasakan

oleh pasien yaitu adanya bisul dan luka yang sulit sembuh.

Penyembuhan luka pada pendrita DM berlangsung lambat merupakan

akibat dari hiperglikemia yang menyebabkan lambatnya aliran darah

kearea luka sehingga oksigen, nutrisi, dan bahan-bahan lain yang

dibutuhkan untuk proses penyembuhan luka menjadi adekuat.

5. Klasifikasi

a. DM tipe I (Insulin Dependen Diabetes Melitus atau IDDM)

DM Tipe I (IDDM) muncul pada saat pankreas tidak dapat atau

kurang mampu memproduksi insulin sehingga insulin dalam tubuh

kurang atau tidak ada sama sekali. Glukosa di dalam darah menumpuk
8

karena tidak dapat diangkut ke dalam sel. DM tipe ini tergantung pada

insulin, oleh karena itu pasien memerlukan suntikan insulin.

DM Tipe I (IDDM) merupakan suatu gangguan autoimun

(autoimmune disorder) yang ditandai dengan kerusakan sel-sel beta

Langerhans pankreas. Karena itu, DM jenis ini kebanyakan ditemukan

pada anak usia muda, minimal sebelum usia 35 tahun. Sebaliknya, DM

2 akan kebanyakan menyerang usia lanjut, karena berhubungan dengan

degenerasi atau kerusakan organ dan faktor gaya hidup (Bustan, 2015).

b. DM tipe 2 (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus atau NIDDM).

DM Tipe 2 (NIDDM) merupakan DM yang paling sering

ditemukan di Indonesia. Pasien tipe ini biasanya ditemukan pada usia di

atas 40 tahun disertai berat badan yang berlebih. Selain itu diabetes tipe

2 ini dipengaruhi oleh faktor genetik, keluarga, obesitas, diet tinggi

lemak, serta kurang gerak badan (Bustan, 2015).

6. Komplikasi

DM memiliki dampak sangat berbahaya karena dapat menimbulkan

komplikasi. Komplikasi diabetes terjadi pada semua organ tubuh dengan

penyebab kematian 50% akibat penyakit jantung koroner dan 30% akibat

gagal jantung. Selain kematian, diabetes juga menyebabkan kecacatan,

sebanyak 30% pasien Diabetes Melitus mengalami kebutaan akibat

komplikasi retinopati dan 10% menjalani amputasi tungkai kaki (Bustan,

2015).
9

7. Penatalaksanaan

Menurut PERKENI (2015), pengelolaan penyakit Diabetes Melitus

dikenal dengan empat pilar utama yaitu edukasi, terapi nutrisi medis,

latihan jasmani dan terapi farmakologis. Keempat pilar pengelolaan

tersebut dapat diterapkan pada semua jenis tipe Diabetes Melitus termasuk

Diabetes Melitus tipe 2.

a. Edukasi

Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan

sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang

sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik.

b. Pengaturan makanan/diet

Pengaturan makanan maksudnya adalah merancang sedemikian

rupa makanan yang jumlahnya sesuai dengan kebutuhan sehingga

insulin yang tersedia mencukupi. Disamping itu susunan zat gizinya

sehat dan seimbang (Kariadi, 2009).

Tujuan umum penatalaksanaan diet pasien DM antara lain: untuk

mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah dan lipid mendekati

normal, mencapai dan mempertahankan berat badan dalam batas normal

± 10% dari berat badan idaman, mencegah komplikasi akut atau kronik,

serta meningkatkan kualitas hidup (Suyono, 2009).


10

c. Latihan Jasmani

Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan

DMT2 apabila tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-

hari dan latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5

kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit

perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut.

Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum

latihan jasmani. Apabila kadar glukosa darah <100 mg/dL pasien harus

mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL

dianjurkan untuk menunda latihan jasmani.

d. Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

1) Obat Antihiperglikemia Oral

Berdasarkan cara kerjanya, obat anti hiperglikemia oral dibagi menjadi

5 golongan:

a) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)

i. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi

insulin oleh sel beta pankreas.

ii. Glinid

Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat

asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin).

b) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin

i. Metformin

Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus

DMT2. Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan

gangguan fungsi ginjal (GFR 30-60 ml/menit/1,73 m2).


11

ii. Tiazolidindion (TZD).

Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin


dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer.
c) Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran

pencernaan: Contoh obat golongan ini adalah

Acarbose.

d) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase- IV)

Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin.

e) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)

Obat yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin,

Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.

2) Obat Anti hiperglikemia Suntik


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan
kombinasi insulin dan agonis GLP-1.

B. Konsep Dasar Teori Kualitas Tidur

1. Pengertian Kualitas Tidur

Kualitas tidur adalah perasaan segar kembali dan siap menghadapi

kehidupan lain setelah bangun tidur. Ide ini menggabungkan beberapa atribut,

misalnya, waktu yang dibutuhkan untuk mulai tertidur, kedalaman istirahat dan

ketenangan (Adrianti, 2017).

Kualitas tidur adalah suatu tindakan dimana seseorang dapat dipastikan

mulai mengantuk dan mengikuti istirahatnya, kualitas tidur seseorang dapat


12

digambarkan dengan alokasi waktu dia tertidur, dan keberatan yang dirasakan

selama istirahat atau setelah bangun tidur. Menurut Potter dan Perry (2005)

kebutuhan tidur yang cukup ditentukan selain oleh faktor jumlah jam tidur

(kuantitas tidur), ditambah dengan kedalaman (kualitas tidur). (Serko AJi, 2015)

Kualitas tidur merupakan pemenuhan individu dengan istirahat, sehingga

individu tidak menunjukkan sensasi kelesuan, efektif bersemangat dan rewel,

malas dan tanpa emosi, kegelapan di sekitar mata, kelopak mata membesar,

konjungtiva merah, mata sakit, perhatian terpecah-pecah, nyeri kepala dan terus

menerus.menguap. atau kemudian kembali lesu (Silvana et al., n.d.)

2. Faktor yang mempengaruhi kualitas tidur


Berbagai variabel yang mempengaruhi kualitas istirahat, misalnya faktor

fisiologis, mental, dan faktor lingkungan secara teratur mengubah kualitas dan

jumlah istirahat. (Putri, 2016)

a. Obat dan Zat.

Kelesuan, kurang tidur, dan kelemahan sering terjadi sebagai akibat

langsung dari obat-obatan yang biasanya disetujui. Resep yang dianjurkan

untuk istirahat secara teratur menyebabkan lebih banyak masalah daripada

manfaat. Lansia mengkonsumsi obat untuk mengontrol dan mengobati

penyakit kronis, dan efek gabungan beberapa obat bisasangat mengganggu

tidur. Salah satu zat yang meningkatkan istirahat pada banyak orang adalah

L-tryptophan, protein yang umum ditemukan dalam jenis makanan seperti


13

susu, keju dan daging. (Putri, 2016)

b. Gaya Hidup.

Rutinitas seseorang dapat mempengaruhi pola istirahat. Seseorang yang

benar- benar bekerja, secara penuh atau tanpa istirahat misalnya, ( 2 minggu

siang hari diikuti oleh 1 minggu malam hari ) sering mengalami masalah

menyesuaikan diri dengan mengubah rencana istirahat. Misalnya, jam internal

tubuh di atas pada pukul 11 malam, tetapi rencana untuk menyelesaikan

pekerjaan pada jam 9. Orang dapat beristirahat 3 atau 4 jam karena tubuh

mendeteksi bahwa waktunya telah tiba untuk bangun dan beristirahat. Kesulitan

menjaga kesiapan selama waktu kerja menyebabkan eksekusi yang berkurang

dan, bahkan kinerjayang berbahaya. (Putri, 2016)

c. Pola Tidur yang Lazim.

Abad sebelumnya jumlah istirahat malam yang dibutuhkan oleh penduduk

AS telah berkurang lebih dari 20%, menunjukkan bahwa banyak orang

Amerika tidak bisa tidur dan mengalami kelesuan siang hari yang ekstrim.

Individu yangmengalami kurang tidur sementara karena aktifitas malam yang

dinamis atau rencana panjang untuk menyelesaikan pekerjaan, biasanya akan

merasa lesu keesokan harinya. Namun, mereka dapat menaklukkan perasaan

ini meskipun mengalami masalah dalam menyelesaikan pekerjaan dan tetap

berhati-hati. (Putri, 2016)

d. Stres Emosional

Stres emosional membuat individu menjadi tegang dan seringkali

menimbulkan ketidakpuasan ketika tidak mampu untuk beristirahat. Stres juga


14

membuat seseorang berusaha keras untuk beristirahat, atau beristirahat terlalu

lama. Tekanan tanpa henti, menyebabkan kecenderungan istirahat yang buruk.

Klien yang lebih muda pasti akan menghadapi kemalangan yang mendorong

tekanan antusias seperti pensiun, dan kematian orang yang dicintai. Lansia dan

orang yang mengalami masalah depresi suasana hati mengalami penundaan

waktu tidur, tahap awal istirahat REM, kewaspadaan, waktu pemeliharaan

istirahat yang diperluas, sentimen istirahat yang tidak menguntungkan, dan

pembaruan awal. (Putri, 2016)

e. Lingkungan

Lingkungan fisik di mana seorang individu tertidur pada dasarnya

mempengaruhi kapasitas untuk memulai dan tetap tidak sadar. Ventilasi yang

baik sangat penting untuk istirahat malam yang layak. Ukuran, kenyamanan

dan posisi tempat tidur mempengaruhi sifat istirahat. Jika seseorang biasanya

berbaring dengan orang lain, tidur sendiri akan membuatnya terbangun secara

teratur. Kemudian lagi, berbaring dengan teman tidur yang gelisah atau mengi

dapat mempengaruhi istirahat. Di klinik dan kantor jangka panjang lainnya,

keributan membuat satu masalah lagi bagi pasien. Jadi pasien akan bangun

tanpa masalah. Masalah ini secara signifikan lebih penting pada malam

pertama rawat inap, ketika pasien mengalami peningkatan waktu bangun

mutlak, pembaruan terus-menerus, dan berkurangnya istirahat REM dan waktu

istirahat total. (Putri, 2016)

f. Latihan dan kelelahan

Seseorang yang cukup lelah biasanya dapat beristirahat dengan nyenyak,


15

terutama dengan asumsi kelemahannya adalah efek samping dari pekerjaan

atau olahraga yang menyenangkan. Berlatih 2 jam atau lebih sebelum tidur

memungkinkan tubuh untuk bersantai, mengurangi kelelahan, dan

meningkatkan relaksasi. Bagaimanapun, kelemahan yang berlebihan yang

berasal dari pekerjaan yang terkuras atau stres membuatnya sulit untuk

beristirahat (Putri, 2016)

g. Makanan atau asupan kalori.

Makan malam yang besar, berat, dan juga lezat di malam hari sering

menyebabkan refluks asam yang mengganggu istirahat. Kafein, minumankeras,

dan nikotin yang dikonsumsi sekitar malam hari menghasilkan gangguan tidur.

Espresso, teh, cola, dan coklat yang mengandung kafein dan xanthenes

menyebabkan kegelisahan. Menurunkan atau menambah berat badan dapat

memengaruhi desain istirahat. Berat badan menambah apnea istirahat

obstruktif karena ada peningkatan ukuran struktur jaringan berminyak di

saluran nafas bagian atas. Penambahan berat badan menyebabkan kurang tidur

dan berkurangnya istirahat. Masalah istirahat tertentu adalah efek samping dari

diet semi-diet yang terkenal di masyarakat yang sadar akan berat badan. (Putri,

2016)

h. Jenis Kelamin

Faktor hormonal, gangguan nyeri, dan masalah mental, terutama depresi

adalah bagian dari faktor yang mempengaruhi kualitas tidur pada wanita.

Kualitas tidur yang buruk dan kurangnya istirahat mempengaruhi kepuasan

pribadi mereka. Wanita dua kali lebih logis daripada pria untuk mengalami
16

masalah memulai atau mempertahankan istirahat, meskipun fakta bahwa

sebelum pubertas tidak ada perbedaan kritis. (Putri, 2016)

i. Usia

Pola tidur remaja perlu lebih dipertimbangkan karena terkait dengan

pelaksanaan sekolah. Selama 20 tahun terakhir, para ilmuwan lainnya telah

melihat kontras dalam perubahan tema istirahat pada kaum muda.

Perkembangan ini adalah jam organik pemuda atau disebut irama sirkadian.

Menjelang awal pubertas, tahap istirahat ternyata terlambat. Untuk tertidur

nanti sekitar waktu malam dan bangun nanti menjelang awal hari. Juga remaja

lebih siap sekitar waktu malam dan mengalami lebih banyak kesulitan tidur.

Sementara pada lansia, lansia bangun lebih teratur di sekitar waktu malam dan

membutuhkan banyak waktu untuk tertidur kembali. Kecenderungan untuk

beristirahat di siang hari tentu saja akan menjadi semakin waspada pada

waktu malam hari (Putri, 2016).

3. Penilaian Kualitas Tidur

Menurut Yi et al (2006) kualitas tidur secara umum mempengaruhi

kesehatan dan kualitas hidup secara keseluruhan. Hermawati, dkk (2010)

menyebutkan bahwa kualitas tidur diperkirakan melibatkan estimasi

kualitas istirahat sebagai polling atau jurnal istirahat, polisomnografi

noktural, dan multiple sleep latency test. (Adrianti, 2017). Pengukuran

kualitas tidur telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Yi, Si, danShin (2006)

memperkirakan kualitas tidur yang disebut Sleep Quality Scale (SQS).


17

(J.Buysse et al., 1989) dalam Rush (2000) mengarahkan tinjauan pada

estimasi kualitas tidur menggunakan instrumen estimasi kualitas tidur yang

disebut Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI).

PSQI adalah instrumen menarik yang digunakan untuk mengukur

kualitas tidur dan desain tidur pada orang dewasa. PSQI diciptakan untuk

mengukur dan memisahkan orang dengan kualitas tidur yang baik dan

kualitas tidur yang buruk. Kualitas tidur adalah kekhasan yang rumit dan

mencakup beberapa aspek yang semuanya dapat tercakup dalam PSQI.

Aspek-aspek ini mencakup;

a. Kualitas tidur subjektif

Evaluasi subjektif kualitas tidur adalah evaluasi singkat tidur seseorang

tentangapakah tidurnya sangat baik atau sangat buruk (J.Buysse et al.,

1989).

b. Latensi tidur

Litensi tidur adalah lamanya dari mulainya tertidur. Seseorang dengan

kualitasistirahat yang baik menghabiskan waktu kurang dari 15 menit untuk

memilikipilihan untuk memasuki fase istirahat total berikutnya. Kemudian

lagi, lebih dari 20 menit menunjukkan tingkat kurang tidur, misalnya

seseorang yang mengalami masalah memasuki fase istirahat berikutnya

(J.Buysse et al., 1989).


18

c. Durasi tidur

Waktu tidur ditentukan dari waktu seseorang tertidur sampai dia

bangun menjelang awal hari tanpa mengacu pada bangun di malam hari.

Orang dewasa yang dapat beristirahat lebih dari 7 jam secara konsisten

dapat dikatakan memiliki kualitas tidur yang baik (J.Buysse et al., 1989).

d. Efisiensi kebiasaan tidur

Efektivitas kebiasaan tidur adalah proporsi tingkat antara jumlah total

waktu istirahat panjang yang dipisahkan dengan jumlah jam yang

dihabiskan di tempat tidur. Seseorang dikatakan memiliki kualitas tidur

yang baik dengan asumsi kemampuan kecenderungan tidurnya lebih dari

85% (J.Buysse et al., 1989)

e. Gangguan tidur

Gangguan tidur adalah keadaan terganggunya tidur di mana istirahat

individu dan bangun berubah dari kebiasaan mereka, hal ini menyebabkan

penurunan baik jumlah dan sifat tidur seseorang (J.Buysse et al., 1989).

f. Penggunaan obat

Penggunaan obat-obatan yang mengandung sedatif menunjukkan

masalahistirahat. Obat-obatan mempengaruhi tidur yang mengganggu pada

tahap REM. Oleh karena itu, setelah mengonsumsi obat-obatan yang

mengandung obat penenang, seseorang akan dihadapkan pada masalah

mengantuk yang disertai dengan berulangnya bangun di malam hari dan

kesulitan untuk tertidur kembali, yang semuanya secara langsung akan


19

mempengaruhi sifat tidurnya (J.Buysse et al., 1989).

g. Disfungsi di siang hari

Seseorang dengan kualitas tidur yang kurang baik menunjukkan

kondisi lesu ketika baraktivitas di siang hari, tidak adanya energi atau

pertimbangan,tertidur sepanjang hari, kelelahan, depresi, mudah mengalami

masalah, dan penurunan kapasitas untuk bergerak (J.Buysse et al., 1989).

Sejumlah besar aspek ini disurvei sebagai pertanyaan dan memiliki

beban masing-masing sesuai standar (Smyth, 2012). Survei PSQI terdiri

dari 9 pertanyaan dengan setiap pertanyaan memiliki skor 0-3. Skor

lengkap diperoleh dengan memasukkan skor part 1-7 dengan cakupan 0-21.

Skor lebihdari 5 menunjukkan desain istirahat yang tidak menguntungkan.

Survei ini telah diuji validitas dan reabilitas. (Cronbach's alpha) yaitu 0,83

(Adrianti, 2017).

C. Prosedur Pelaksanaan Sleep Education for Diabetes Mellitus Tipe 2 Who

Sleep After Midnight

1. Mengidentifikasi pasien Diabetes mellitus tipe 2

2. Mengidentifikasi pemeriksaan kadar gula darah

3. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok A sebagai kelompok

kontrol dan kelompok B sebagai kelompok intervensi

4. Melakukan perkenalan, menggali pengetahuan pasien terkait DM tipe 2

dan komplikasinya pada kelompok intevensi

5. Mengidentifikasi gangguan pola tidur melalui kuesioner PSQI

6. Bila dari hasil identifikasi kuisioner (poin 4) didapatkan adanya gangguan


20

pola tidur pada pasien, maka tahap berikutnya adalah membuat kontrak

dalam pelaksanaan penerapan Sleep Education yaitu saat ditemukan pasien

dengan kriteria poin 4 di hari yang sama dan dibagi menjadi 3 sesi dengan

masing-masing 10 menit.

7. Memberikan intervensi terkait penerapan Sleep Education for Diabetes

Mellitus Tipe 2 Who Sleep After Midnight berikut dengan memodifikasi

behaviour approach (FERRET) : food, emotion, routine, restrict,

environment, timing melalui video. Materi edukasi (Li et al., 2018) :

a. Jangan minum apapun 30 menit sebelum tidur

b. Jauhi makanan dan kafein 3 jam sebelum tidur

c. Tanpa alkohol atau merokok 3 jam sebelum tidur

d. Tidak ada media elektronik (mis : hp, ipod, menonton tv) minimal

30 menit sebelum tidur

e. Tidak berolahraga 3 jam sebelum tidur

8. Kegiatan dilanjutkan dengan melakukan diskusi tentang keuntungan dan

kerugian dari penerapan Sleep Education After Midnight ini sesuai dengan

tingkat pengetahuan pasien

9. Melakukan evaluasi tahap pertama, pada kelompok intervensi setelah

pelaksanaan penerapan Sleep Education After Midnight dengan melihat

peningkatan kualitas tidur pasien.


21

BAB III

TELAAH JURNAL

1. Abstrak

Abstrak jurnal merupakan rangkuman dari penelitian atau ringkasan isi

dari jurnal yang dilakukan. Abstrak terdiri dari latar belakang, tujuan, metode

penelitian, hasil dan kesimpulan penelitian serta kata kunci. Kata kunci dalam

jurnal berguna untuk memudahkan dalam penelusuran literatur secara cepat.

Penulisan abstrak terdiri dari 250 kata, beberapa panduan juga menyarankan

antara 150-250 kata. Spasi penulisan antar baris adalah spasi 1 (single spacing).

Penggunaan bahasa asing dalam abstrak dicetak miring.

Hasil analisa:

a. Jurnal ini menggunakan bahasa Indonesia yang memiliki abstrak yang rinci

dan menjelaskan secara singkat singkat, padat, dan jelas.

b. Abstrak pada jurnal ini sudah mencantumkan latar belakang sampai hasil dan

kesimpulan penelitian.

c. Abstrak pada jurnal ini terdiri dari 3 kata kunci yaitu sleep education after

midnight, kualitas tidur, diabetes mellitus tipe 2.

d. Abstrak pada jurnal ini terdiri dari 200 kata, dimana telah sesuai dengan

ketentuan penulisan abstrak yaitu terdiri dai 150-250 kata.

e. Spasi penulisan abstrak telah sesuai dengan ketentuan yaitu spasi 1 (single

spacing).
22

f. Penggunaan bahasa asing dalam abstrak sudah dicetak miring yang juga

telah sesuai dengan ketentuan.

2. Pendahuluan

Pendahuluan jurnal terdiri dari latar belakang penelitian, uraian

permasalahan yang akan diteliti, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.

Pendahuluan terdiri dari 4-5 paragraf, dimana dalam setiap paragraf terdiri dari

4-5 kalimat.

Hasil analisa:

a. Masalah pada peneliti ini yaitu prevalensi nokturia berat pada penyandang

diabetes mellitus tipe 2 sekitar 25% (Purnamasari, 2020). Wahyuningsih

dalam penelitiannya menyatakan bahwa 82% penderita diabetes mellitus

mengalami insomnia dan salah satu penyebabnya adalah nokturia. Sering

terbangunnya penderita diabetes mellitus pada malam hari karena keinginan

buang air kecil di malam hari (nokturia) atau karena sulit untuk tertidur

(insomnia) yang dapat menyebabkan gangguan tidur penderita diabetes

mellitus.

b. Beberapa terapi yang disarankan untuk mengatasi terjadinya insomnia adalah

terapi farmakologi dan nonfarmakologi. Namun beberapa terapi farmakologi

yang diberikan dapat memberikan efek samping.


23

Untuk mengurangi efek samping yang ditimbulkan maka dapat diberikan terapi

nonfarmakologi yaitu Sleep Education After Midnight. Sleep Education After

Midnight merupakan suatu terapi untuk mengidentifikasikan dan memodifikasi

perilaku dan lingkungan yang mempengaruhi tidur pasien diabetes. Beberapa

kegiatan yang dilakukan berupa menekankan jadwal dan rutinitas tidur yang

stabil, lingkungan yang ramah untuk tidur, menghindari zat-zat yang akan

menggangu tidur, olahraga teratur, menghindari minuman berkafein, pil tidur,

alkohol dan pengurangan stres.

3. Pernyataan Masalah Penelitian

Hasil analisa:

Pada jurnal ini peneliti menjelaskan pernyataan masalah penelitian yaitu

untuk mengetahui pengaruh penerapan sleep education after midnight terhadap

peningkatan kualitas tidur pada penderita diabetes mellitus.

4. Studi Literatur atau Tinjauan Pustaka

Hasil analisa:

Dalam jurnal ini belum mencantumkan tinjauan kepustakaan sebagai

bahan acuan untuk dijadikan landasan kegiatan penelitian, dimana di dalam

jurnal ini tidak terdapat pembanding dari hasil penelitian lain yang juga

membahas mengenai sleep education after midnight.


24

5. Kerangka Konsep dan Hipotesis

Hasil analisa:

Jurnal ini belum mencantumkan kerangka konsep penelitian dan hipotesis

sebagai gambaran penelitian. Jurnal ini langsung membahas metode penelitian

yang akan dilakukan.

6. Metodologi

Hasil analisa:

Penelitian ini menggunakan desain penelitian pretest-posttest control

group design, dimana di dalam kegiatan penelitian ini terdapat dua kelompok,

yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol yang kemudian diberi pretest

kepada kedua kelompok untuk mengetahui perbedaan keadaan awal antara

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, setelah dilakukan pretest

selanjutnya diberi perlakuan untuk kelompok intervensi, selanjutnya diberikan

posttest kepada kedua kelompok untuk mengetahui pengaruh yang ditimbulkan

akibat perlakuan yang diberikan.

7. Instrumen Penelitian

Hasil Analisa :

Instrument yang digunakan dalam penelitian ini

a) Mengidentifikasi gangguan pola tidur melalui kuesioner PSQI

b) Memberikan intervensi terkait penerapan Sleep Education for Diabetes Mellitus

Tipe 2 Who Sleep After Midnight dengan modifikasi behaviour approach

(FERRET) : (Food, Emotion, Routine, Restrict, Environment, Timing) melalui


25

video (Materi Edukasi)

c) Evaluasi dilakukan melalui kuisioner yang dibagikan dalam bentuk google form

8. Sampel

Hasil analisa:

Jumlah responden EBNP sebanyak 30 orang responden yang masing-masing

dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

Semua responden didapatkan dengan melakukan screening yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi adalah adanya pemeriksaan kadar glukosa

darah, HBA1c (yang sudah ada dalam rekam medik), jika tidak ditemukan

pemeriksaan HBA1c maka maka dikategorikan sebagai kriteria eksklusi.

9. Hasil Penelitian

Hasil analisa:

Hasil dalam penelitian ini sudah dilengkapi dengan table karateristik responden

seperti usia, jenis kelamin, berat badan dan lama menderita DM. selanjutnya

terdapat table tentang sleep education after midnight pre dan post, perbedaan nilai

Sleep Education After Midnight sebelum dan sesudah dilakukan tindakan pada

kelompok intervensi dan kelompok kontrol serta menjelaskan perbedaan selisih

rata-rata nilai PSQI Sleep Education After Midnihgt sebelum dan sesudah pada

kelompok intervensi dan control


26

10. Pembahasan

Hasil analisa:

a) Pada jurnal ini sudah menampilkan hasil peenlitian yang didapat, pendapat

peneliti serta di dukung oleh teori-teori yang mendasari atau mendukung

penelitian. Adanya hubungan yang signifikan Penerapan Sleep Education After

Night terhadap peningkatan kualitas tidur pasien diabetes mellitus.

b) Dalam jurnal ini belum terlihat adanya dukungan dari penelitian sebelumnya

terkait intervensi yang sama untuk mendukung penelitian dalam jurnal ini.

11. Kesimpulan Dan Saran

Hasil analisa :

a) Pada jurnal ini didapatkan hasil kesimpulan bahwa, dilihat dari usia bahwa

diabetes mellitus banyak dialami oleh penderita dengan usia >60 tahun dan

laki-laki lebih banyak menderita diabetes mellitus daripada perempuan.

b) Ada peningkatan kualitas tidur pasien diabetes mellitus setelah dilakukan

intervensi “Sleep Education After Night”.

c) Didapatkan nilai pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) sebesar 8,47 sebelum

dilakukan intervensi pada kelompok intervensi, kemudian dilakukan pengukuran

kembali setelah dilakukan intervensi maka diperoleh nilai PSQI sebesar 2,47

artinya Penerapan Sleep Education After Night memiliki hubungan yang

signifikan terhadap peningkatan kualitas tidur pasien diabetes mellitus.

d) Saran dalam jurnal ini tidak ada terlihat


27

12. Implikasi Penggunaan Hasil Penelitian

Hasil Analisa:

Jurnal ini dapat dijadikan masukan dalam pengelolaan pembuatan standar

operasional rencana tindak lanjut peningkatan kualitas tidur diabetisi dan

kompetensi perawat terhadap penerapan Sleep Education After Night.

13. Daftar Pustaka

Hasil analisa:

a) Daftar pustaka yang dijadikan referensi pada jurnal ini sebanyak 18 referensi,

dengan rentang tahun referensi yaitu 2010-2020

b) Daftar pustaka masih menggunakan referensi yang lama (>5 tahun terakhir)

untuk artikel yaitu tahun 2010 dan untuk referensi buku dengan tahun penulisan

realatif lama dalam kurun waktu 10 tahun terakhir

c) Daftar pustaka belum menggunakan APA style yang benar.


28

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tidur adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh setiap manusia.

Pada penderita diabetes, gangguan tidur dapat disebabkan oleh sering

terbangunnya pada malam hari atau karena sulit untuk tertidur (Insomnia).

Prevalensi nokturia berat pada penyandang diabetes mellitus tipe 2 sekitar

25% (Purnamasari, 2020). Beberapa terapi yang disarankan untuk mengatasi

terjadinya insomnia adalah terapi farmakologi dan nonfarmakologi. Namun

beberapa terapi farmakologi yang diberikan dapat memberikan efek samping.

Untuk mengurangi efek samping yang ditimbulkan maka dapat diberikan

terapi nonfarmakologi yaitu Sleep Education After Night. Oleh sebab itu,

Sleep Education After Night diharapkan dapat menjadi solusi peningkatan

kualitas tidur bagi penderita diabetes mellitus.

B. Saran

Perawat dapat mengajarkan pengaruh penerapan Sleep Education After

Midnight terhadap peningkatan kualitas tidur pada penderita diabetes

mellitus.
29

DAFTAR PUSTAKA

ADA. (2019). Standar Of Medical Are In Diabetes 2019 (1st ed., Vol. 42, pp. 2–6).

USA: American Diabetes Association. Diakses pada tanggal 26 februari 2023

dari https://care.diabetesjournals.org/content/42/Supplement_1

IDF. (2019). IDF Diabetes Atlas (9th ed.). Belgium: International Diabetes federation.

Diakses pada tanggal 26 februari 2023 dari

https://www.diabetesatlas.org/en/resources/

Ling Wu, et.al. (2019). Self-management Experience of Middle-aged and Older

Adults WithType 2 Diabetes: A Qualitative Study. Asian Nursing Research 13.

209-215

PERKENI. (2015). Konsnsus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

di Indonesia 2015. Diakses pada tanggal 27 februari 2023 dari

http.www.perkeni.net.

Prasetyani, D., & Apriani, E. (2017). Karakteristik pasien diabetes melitus tipe ii di

puskesmas cilacap tengah 1 dan 2. Prosiding STIKES AL Irsyad Al Islamiyah

Cilacap, (2011), 42–49.

Siopis, et. al. (2017). Dietitians' experiences and perspectives regarding access to and

delivery ofdietetic services for people with type 2 Diabetes Melitus. The
30

University of Sydney, Charles Perkins Centre, School of Life andEnvironmental

Sciences, Sydney, NSW, Australia. Heliyon 6 (2020),33-4


31
32

Anda mungkin juga menyukai