Anda di halaman 1dari 9

ETIKA FOTO DALAM

LITERASI VISUAL
Dr. Radita Gora Tayibnapis, MM
Program Studi Ilmu Komunikasi - USNI
Etika Literasi Visual Pada Foto
Foto sarat dengan perdebatan etis, maka memahami etika foto mampu membekali pembaca
sebaga pemandang kemampuan menilai aspek etis sebuah foto. Berikutnya sebagai penutur
atau pembuat foto kita mampu bernegosiasi pada batas etis sebuah peristiwa untu difoto.

Perdebatan etis sebuah foto dimulai dari proses penciptaan, di mana lembar gambar dua
dimensi sering dianggap sebagai trofi. Foto menjadi target dikejar, dan bahkan diperebutkan.
Sehingga kita mengenal istilah berburu foto (photo hunt).

Bila mengacu pada etika jurnalisme, dalam pemotretan saja narasumber (subjek) berhak
menolak untuk difoto. Dan sebagai penghormatan, semestinya fotografer tidak memaksakan
untuk bisa memotret.

Seorang fotografer hendaknya menghindari menampilkan wajah pelaku kejahatan anak, pasien,
korban tindak asusila, dan golongan orang yang masih dianggap tabu atau memancing
sentimen negatif harus dihindari.
Contoh: Pertimbangan sebelum memotret
sebuah peristiwa memakan korban
Sebelum memotret korban tragedi atau menyebarkan foto, kita bisa mempertimbangkan
pertanyaan-pertanyaan: Apakah kita benar-benar paham dengan peristiwa yang terjadi? Apa
tujuan foto itu? Siapa saja yang akan terkena dampaknya, baik jangka pendek maupun jangka
panjang? Bagaimana perasaan kita bila di posisi mereka? Bagaimana meminimalisasi dampak
publikasi foto? Karena menyebarkan foto korban tidak semata persoalan etika dan keadilan, tapi
menjaga korban suatu peristiwa agar kelak tidak mengalami penderitaan yang tidak perlu, atau
menjadi “korban” lagi dan lagi.
Manipulasi
Banyaknya manipulasi digital membuat kepercayaan orang terhadap kebenaran realitas fotografi semakin
rendah.

Saat orang mulai familiar dengan beragam aplikasi software foto seperti Photoshop, Snapseed, dan
sejenisnya dan bahkan beberapa aplikasi bisa di download secara gratis. Orang bisa memutihkan kulit,
menghilangkan jerawat dan keriput, hanya dengan sentuhan di layar ponsel. Dan saat itu juga hasilnya bisa
dibagi ke grup percakapan atau media sosial.

Olah digital semacam itu sah-sah saja untuk kebutuhan pribadi dan komersial. Namun larangan tegas
berlaku bagi foto jurnalistik, karena mengubah atau merekayasa gambar yang menabrak prinsip jurnalisme.
Mengubah isi foto sama saja dengan merekayasa fakta, meski tidak sediki jrunalis tidak kredibel yang
melakukannya demi kesempurnaan foto. Sementara di era digital saat tidak ada bukti berupa film sangat
sulit memastikan bahwa foto sahih, saat data teknis (berupa metadata atau EXIF) yang sering dijadikan
rujukan pun tidak dapat menjamin keaslian foto karena ada perangkt lunak yang mampu mengeditnya.
Quote Fotografi Jurnalisme

“Perdebatan tentang keaslian foto bukan tentang pencarian


“kebenaran”, tapi harapan pada foto sebagai penyaji objektivitas di
dunia ini saat tidak ada lagi tempat untuk menemukannya”

- Jennifer Good and Paul Lowe, 2017 -


Kamera bisa berbohong, apalagi sekarang, saat kamera digital tertanam efek-efek yang
mampu mengubah nuansa gambar secara ekstrem: langit yang putih bisa menjadi kuning,
kulit manusia yang cokelat bisa menjadi pucat, dan seterusnya. Malfungsi mekanis dan
optis yang mungkin timbul juga bisa menghasilkan kebohongan. Namun, keaslian fto
tidak hanya menyangkut olah gambar. Foto yang asli, tapi realitasnya tipuan sama-sama
mengelabui pemirsanya.

Foto hasil manipulasi digital yang dramatis relatif lebih mudah dianalisis. Tantangan berat
bagi para pembaca justru datang dari foto hasil manipulasi fakta di depan kamera.
KESOPANAN
Etika foto juga menyangkut kesopanan. Membahas kesopanan seperti membicarakan garis yang kabur
karena perbedaan ukuran bagi tiap individu. Persoalan tersulit adalah menentukan porsi yang tepat antara
pantas dan tidak pantas dilakukan.

Menurut Louis Day, kesopanan mungkin dijabarkan sebagai prinsip pertama dari moralitas karena meliputi
satu perilaku pengorbanan oleh diri sendiri dan penghormatan pada yang lain. Sehingga musuh dari
kesopanan adalah sikap egois.

Banyak fotografer tidak tahu dalam membawa diri sehingga bersikap tidak hormat, menganggu
kepentingan umum, kekhusyukan ibadah bagi suatu umat bergama dalam menjalankan ibadah, hingga
mengusik perasaan orang berkabung dan lain sebagainya.

Pemotretan candid sering permasalahan dalam etika kesopanan pada foto. Foto candid adalah istilah yang
biasa kita pakai untuk menyebut foto spontan, diam-diam, dan tanpa permisi meskipun kini faktanya
banyak foto yang diarahkan agar seolah-olah terlihat candid.
Masih tentang kesopanan
Kesopanan juga bukan melulu tentang bersikap, tapi juga tentang penyajian dan
penyebaran foto. Hal-hal yang berlawanan dengan prinsip kesopanan di tanah air adalah
penyajian foto yang menampilkan pemandangan erotis dan sesuatu yang menjijikkan.
Ukuran erotis terbentang mulai dari menampilkan sebagian kecil permukaan kulit tubuh
hingga sesuatu yang disebut pornografi atau pornoaksi, sedangkan ukuran menjijikkan
adalah berkisar pada hal yang bisa membuat risih penglihatan hingga memicu rasa mual.
Foto-foto yang melanggar prinsip kesopanan tersebut, bila disebar bisa berakibat serius.

Pada akhirnya, bagaimanapun pendekatan kita dalam memotret dan menggunakan foto,
menjunjung tinggi kesopanan penting untuk menjaga relasi kita dengan manusia lain dan
menghindarkan masyarakat dari kemungkinan dampak yang merugikan karena tindakan
kita.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai