Anda di halaman 1dari 8

Genetically Modified Organisms (GMOs):

Keragaman Genetik dan Preferensi Manusia

Antonius Suwanto
Institut Pertanian Bogor
Phone/Fax: 0251-8315107; E-mail:asuwanto@indo.net.id

Ringkasan
Indonesia merupakan salah satu kawasan geografis yang memiliki kekayaan
hayati yang sangat beranekaragam, yang bila dikelola dengan baik akan
memberikan keunggulan kompetitif sebagai pemasok bahan pangan, keperluan
industri, dan penyangga lingkungan hidup di planet Bumi ini. Sejumlah tanaman,
hewan, dan mikrob, bahkan merupakan organisme asli (indigenous) Indonesia yang
seharusnya pantas mendapat perhatian karena lokasi biogeografisnya yang
memberikan keunikan dan keuntungan kompetitif.
Ironisnya, banyak produk pertanian, peternakan, perikanan, atau
agroindustri lain tidak kompetitif, yang berakibat pada turunnya kualitas hidup
petani Indonesia pada umumnya. Meskipun ada banyak faktor yang terlibat dalam
keterpurukan pertanian ini, salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan
adalah strategi untuk meningkatkan produktivitas atau nilai tambah produk
pertanian itu sendiri. Pilihan teknologi yang tepat, termasuk Bioteknologi Modern,
akan sangat membantu usaha untuk meningkatkan produktivitas pertanian atau
pemanfaatan sumber daya hayati sehingga diperoleh sifat-sifat unggul yang lebih
kompetitif dari berbagai persepsi.
Pengetahuan dan penelitian yang baik tentang Bioteknologi Modern akan
memberikan kontribusi penting dalam inovasi atau peningkatan nilai tambah
produk-produk pertanian dan industri berbasis biologi lainnya. Sebagian besar
aspek bioteknologi untuk produk yang bernilai strategis bahkan tidak mudah
ditransfer, baik itu karena alasan teknis, ketersediaan sumberdaya manusia, atau
karena alasan ekonomis atau politis. Sayangnya, penelitian dasar yang strategis
dan berkelanjutan (sustainable) di Indonesia masih sangat sedikit. Selain itu,
keberhasilan komersialisasi produk bioteknologi modern juga sangat tergantung
pada persepsi masyarakat, dan dukungan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah
dan swasta perlu bersinergi dalam memberikan dukungan terhadap penelitian
dasar yang strategis, serta implementasi kepastian hukum untuk produk
Bioteknologi Modern. Melek sains (scientific literacy), khususnya tentang
Bioteknologi Modern, perlu dipaparkan sejak dini secara obyektif sehingga
masyarakat dapat menentukan pilihannya dari paparan informasi yang memadai.
2

Pertanian dan Romantisme Alam


Di kaki gunung yang biru terhampar sawah menghijau dengan tanaman padi yang
berbaris rapi. Di sebelah kanan ada pondok atau rumah petani , dan di kirinya ada aliran
sungai yang airnya mengalir dengan riak-riak kecil yang menyejukkan. Begitulah kira-
kira gambar pemandangan alam yang sering kita temukan di Indonesia, khususnya di
Pulau Jawa. Kita terbiasa melihat bahwa tanaman padi yang berbaris rapi itu sebagai
sesuatu yang dikategorikan “alamiah”, meskipun di alam bebas akan sulit sekali kita
temukan tanaman padi tersebut yang bisa sintas (survive), apalagi berbaris rapi dalam
petak-petak yang teratur. Tanaman padi yang kita lihat sehari-hari itu adalah hasil kerja
keras manusia selama berabad-abad untuk membudidayakannya dengan menyilangkan,
dan menyeleksinya dari tanaman liarnya yang lebih mirip rumput ketimbang padi. Dalam
pekerjaan membudidayakan padi itu, sebetulnya manusia telah melakukan transaksi gen
(pertukaran bahan genetik) dari berbagai macam kerabat liar tanaman padi sehingga
diperoleh tanaman dengan sifat-sifat yang kita inginkan. Lebih jauh lagi manusia juga
telah memanfaatkan irradiasi sinar radioaktif untuk melakukan mutasi sehingga dapat
diperoleh lebih banyak lagi variasi genetik padi yang bisa dipilih untuk pemuliaannya.
Akibatnya, tanaman padi yang kita kenal sekarang adalah hasil modifikasi bahan genetik,
yang sudah sangat jauh berbeda dengan tetua atau kerabat liarnya yang “alami” di alam
bebas, bahkan ada kemungkinan tanaman tetua ini sudah punah dan tidak pernah teramati
lagi.
Hal yang sama terjadi pada berbagai produk pertanian, peternakan, dan perikanan
yang merupakan hasil transaksi gen selama berabad-abad yang diseleksi berdasarkan
kriteria keinginan manusia. Di Thailand, buah durian (kultivar Monthong) yang bijinya
kecil, daging buahnya tebal, dan baunya tidak terlalu menyengat lebih disukai daripada
kerabat liarnya yang lebih “alami” yang berbiji lebih besar, daging buah tipis, dan
aromanya sangat menyengat. Padi, dan durian Monthong merupakan contoh hasil kerja
manusia dalam memperbaiki atau menyeleksi tanaman yang memiliki bahan genetik
(pembawa sifat) yang sesuai dengan selera manusia. Gandum untuk roti (Triticum
aestivum) yang kita kenal sekarang merupakan hasil modifikasi bahan genetik melalui
persilangan lebih dari 10 spesies (interspecific hybridization) dan 4 genus (intergeneric
hybridization) yang berbeda (Kreuzer and Massey, 2005). Selama ini pula kita tidak
pernah mempertanyakan apakah padi, durian Monthong, atau gandum itu bisa
menimbulkan alergi, menyebabkan kanker, atau merusak keanekaan hayati; walaupun
tanaman ini sudah sangat berbeda dari kerabatannya yang “liar”.
Seleksi produk tanaman yang unggul, menurut ukuran manusia, mungkin sudah
berlangsung sejak adanya peradaban manusia itu sendiri. Seleksi itu dapat terjadi secara
sederhana dengan menyimpan benih dan menanam jenis tanaman tertentu saja, misalnya
rasa buah-buah tertentu yang lebih manis atau yang cita rasanya lebih disukai. Dalam
perkembangannya kemudian dilakukan persilangan genetik (breeding) untuk
mendapatkan kombinasi sifat-sifat terbaik dari tetuanya. Teknik yang dikenal dengan
pemuliaan tanaman konvensional ini sampai sekarang masih merupakan teknik yang pada
prakteknya paling banyak dipakai dan menjadi dasar utama dalam bidang agronomi.
Pemuliaan tanaman konvensional sangat tergantung pada tersedianya keragaman hayati
tanaman yang akan menjadi tetua dalam proses persilangan. Untuk mengatasi
keterbatasan jumlah keragaman hayati yang tersedia di alam, maka sifat-sifat unggul
tertentu dapat diperoleh melalui mutasi buatan, yang dapat dilakukan dengan cara fisika

Suwanto/IPB/01/2006
3

(menggunakan radiasi sinar UV atau sinar gamma), maupun cara kimia (menggunakan
berbagai jenis senyawa mutagenik, seperti kolkisin, nitrosoguanidin atau etil metan
sulfonat).
Teknologi DNA atau rekayasa genetika merupakan suatu teknik alternatif untuk
melakukan modifikasi bahan genetik pada suatu organisme. Perbedaan utamanya dengan
teknik pemulliaan yang lain adalah dalam hal tingkat ketepatan dan kecepatan hasil
mutasinya. Mutan yang diperoleh melalui teknologi DNA merupakan hasil mutagenesis
langsung pada sasarannya (site directed mutagenesis), sedangkan mutasi buatan secara
fisika atau kimia bersifat acak (random mutagenesis) sehingga seringkali dihasilkan
mutan yang bersifat pleiotrof (mutasi juga terjadi di luar gen sasaran). Selain itu,
teknologi DNA juga memungkinkan penambahan atau penyisipan gen dari kelompok
organisme yang secara filogenetik sangat jauh hubungan kekerabatannya atau secara
seksual tidak kompatibel.

Transaksi Gen dan Evolusi Biosfer


Transaksi gen itu sendiri mungkin sudah berlangsung sejak adanya sel (unit
kehidupan) awal dan merupakan bagian dari evolusi biosfer planet bumi ini. Sebagai
contoh, bumi kita yang kaya oksigen dan berlapis ozon ini adalah akibat revolusi biologi
besar yang terjadi saat sianobakter (ganggang hijau biru) menemukan cara untuk
menguraikan molekul air menjadi hidrogen dan oksigen sekitar 3 biliun tahun yang lalu.
Mekanisme yang menjadi dasar utama pemanenan energi cahaya, yang dikenal sebagai
Fotosintesis Oksigenik ini, merupakan hallmark kemampuan genetik sianobakter untuk
melakukan mekanisme monumental yang secara drastis mengubah kondisi bumi yang
tadinya tidak beroksigen (anaerobik) menjadi aerobik. Nenek moyang sel yang menjadi
calon sel tanaman memanfaatkan kemampuan luar biasa dari proses fotosintesis melalui
akuisisi bahan genetik sianobakter (Battacharya and Medlin, 1998). Akibatnya
terbentuklah “organisme transgenik” yang kita kenal sebagai tanaman, yang merupakan
salah satu produsen utama oksigen di bumi. Tanaman modern, dengan kloroplas dan
mitokondrianya, merupakan contoh mahkluk transgenik hasil transaksi gen inter-Domain
(Woese et al., 1990) yang mungkin telah berlangsung sejak adanya sel eukariot awal di
planet bumi ini. Transaksi gen merupakan kegiatan rutin yang berlangsung sinambung
sepanjang sejarah evolusi kehidupan dan dapat memberikan dampak perubahan besar
bahkan pada kondisi atmosfer bumi. Tanpa kita sadari dan tanpa campur tangan manusia,
saat kita membaca tulisan inipun telah terjadi transaksi gen diantara bertriliun-triliun
bakteri penghuni usus besar kita! Bahkan bakteri Agrobacterium tumefaciens telah
melakukan rekayasa genetika pada tanaman jauh sebelum kita mengenal teknik ini, dan
kenyataannya kita belajar melakukan rekayasa genetika tanaman dari aktivitas alamiah
yang merupakan kegiatan rutin bakteri tanah ini.
Dengan demikian organisme hasil modifikasi genetik ((Genetically Modified
Organisms = GMOs)) bukanlah hal yang baru! Bahkan tiap manusia pada dasarnya
adalah hasil modifikasi bahan genetik kedua orang tuanya yang melakukan reproduksi
secara seksual. Lalu, apanya yang baru dan menjadi perhatian orang? Yang baru adalah
cara melakukan modifikasi bahan genetiknya. Saat ini pengertian GMO atau organisme
transgenik telah direduksi menjadi: Organisme hasil modifikasi bahan genetik melalui
Teknologi DNA. Yang melalui persilangan, mutasi kimia, atau fisika tidak dikategorikan
sebagai GMO.

Suwanto/IPB/01/2006
4

Mutan dan Toleransi di Taraf Molekuler


Perubahan bahan genetik atau mutasi merupakan peristiwa yang berlangsung
sepanjang sejarah kehidupan dan merupakan penentu keragaman hayati yang ada di
Bumi. Warna kulit manusia dari yang hitam legam sampai yang albino merupakan
refleksi dari variasi bahan genetik pembentuk pigmen. Pada orang yang hitam legam
dosis gen untuk pembentukan melanin jauh lebih banyak daripada orang yang berkulit
lebih terang. Spektrum warna kulit pada manusia sebagaimana warna-warni bunga
mawar di taman merupakan variasi genetik sebagai akibat dari perbedaan bahan genetik
pembentuk warna atau pigmen. Apakah yang kulitnya hitam mutan dari yang kulit putih?
Apakah mawar putih mutan dari mawar merah? Gen penentu pigmen tersebut tidak
mengenal mana yang superior dan inferior; juga tidak ada istilah normal dan abnormal.
Variasi itu ada bersama (coexist) untuk dapat mengantisipasi seleksi alam.
Eero Mantyranta adalah atlet Finlandia uang telah memenangkan dua kali medali
emas untuk cross-country ski dalam Olimpiade tahun 1964, karena daya tahannya yang
luar biasa. Beberapa tahun kemudian penelitian menunjukkan bahwa darah Eero
mengandung sel darah merah (eritrosit) dalam jumlah yang lebih banyak daripada kadar
darah orang pada umumnya, atau bahkan orang yang menggunakan Erythropoietin (EPO),
suatu hormon untuk meningkatkan jumlah eritrosit dalam darah. Ternyata hal tersebut
karena pada Eero terjadi mutasi untuk pembentukan eritrosit dalam jumlah yang luar
biasa banyak. Dalam hal ini Eero tergolong manusia yang “extraordinary” atau
“abnormal” terhadap manusia pada umumnya yang “normal”. Meskipun demikian, kita
tidak menyebut Eero abnormal atau pebasket jangkung asal Cina, Yao Ming, abnormal
karena tinggi badannya tidak seperti manusia pada umumnya. Bagaimana dengan buta
warna? Orang pada umumnya bisa melihat warna pelangi, sehingga orang yang buta
warna itu abnormal dari persepsi manusia. Manusia cenderung memberikan label khusus
untuk varian ekstrem manusia yang berada di luar kurva “normal”. Dari sudut genetik,
buta warna atau tidak buta warna itu hanyalah variasi sekuen DNA yang sifatnya netral,
tidak ada yang lebih superior atau inferior. Variasi genetik yang bersifat sangat letal
(extreme genetic changes) pada umumnya menghasilkan individu yang mati prematur
atau berumur pendek, sedangkan seluruh varian yang terlahirkan ke dunia secara kolektif
merupakan “pools of genetic diversity” yang merupakan bentuk toleransi di taraf
molekuler untuk saling mengisi dan mencintai dalam menghadapi seleksi alam. Dengan
demikian, istilah mutan yang esensinya hanya variasi genetik, mendapat arti negatif
karena digunakan untuk mengelompokkan varian atau individu yang tidak seperti pada
umumnya dan mendapat label “abnormal”.
Buah rambutan yang rasanya manis pada umumnya lebih disukai daripada
kerabatnya yang asam, sehingga para petani cenderung untuk menanam rambutan yang
manis. Dengan perjalanan waktu, rambutan yang manis akan mendominasi, dan yang
asam terpinggirkan atau bahkan punah akibat seleksi oleh manusia. Dengan sadar atau
tidak, semua industri pertanian, peternakan, perkebunan, atau perikanan telah
menghadirkan produk yang semakin monokultur (hanya terdiri dari satu spesies atau
kultivar saja). Bahkan sejak ragi tempeh buatan LIPI diintroduksikan, hampir semua
industri tempeh secara langsung atau tak langsung menggunakan ragi buatan LIPI.
Akibatnya semakin sulit mencari ragi tempeh yang benar-benar diperoleh dari “laru”
indigenous dari Jember, Malang, atau Purwokerto. Oleh karena itu, keragaman hayati

Suwanto/IPB/01/2006
5

merupakan sesuatu yang secara alamiah akan berubah seiring dengan perjalanan evolusi
biosfer. Keragaman hayati dapat dikonservasi untuk memperlambat perubahannya, tetapi
bukan sesuatu yang statis dan bisa dibuat permanen (lestari).
Di lain pihak, melalui transaksi bahan genetik manusia juga telah ikut menambah
kekayaan keragaman hayati. Berbagai macam tanaman atau hewan hibrida dihasilkan
melalui persilangan. Manusia Indo (misalnya Eurasian) yang separoh Asia dan separoh
Eropa (Kaukasian) merupakan bentuk hibrid kasat mata yang makin lama makin banyak
ditemukan akibat semakin mudah dan murahnya akses transportasi global. Contoh lain,
Semangka Tanpa Biji: Sangat disukai oleh manusia yang tidak mau repot untuk
mengeluarkan biji dari mulutnya waktu menikmati buahnya. Bagaimana tanaman ini bisa
sintas di lingkungan, kalau membuat biji saja tidak bisa? Semangka Tanpa Biji pada
umumnya adalah semangka triploid (kromosomnya tiga pasang; 3n) yang merupakan
hasil persilangan antara semangka “normal” (diploid; 2n) dan yang tetraploid (4n).
Orang bisa memaksa semangka membentuk semangka tetraploid dari semangka 2n
dengan menambahkan bahan kimia Kolkisin, yang dapat menghambat proses pemisahan
kromosom. Jadi Semangka Tanpa Biji bisa dikatakan “abnormal” relatif terhadap
kerabatnya yang diploid. Dengan mutasi kimia, manusia telah menambah varian
semangka yang disukai oleh manusia, serta lebih memudahkan dari persepsi manusia
juga. Meskipun, kalau semangkanya bisa protes, dia mungkin tidak mau menjadi
tanaman yang mandul macam itu.
Kalau memodifikasi bahan genetik itu disebut “playing God”, maka manusia telah
lama melakukannya, paling tidak sejak manusia mengenal teknik bertani atau beternak.
Cara mainnya bisa dengan sekadar mengumpulkan biji-biji yang manis dan membuang
yang asam (pengkayaan gen tertentu dari suatu populasi secara selektif), memanfaatkan
reproduksi seksual (persilangan), mutasi alam (misalnya Kelapa Kopyor), atau
“memaksa” secara artifisial dengan bahan kimia atau cara fisika. Semua cara main kartu
bahan genetik ini telah ada dan dilakukan jauh sebelum orang mengenal Teknologi DNA.
Sebagai makhluk sosial, semua manusia mempunyai bahan genetik penyandi
karakter untuk mencintai sesama (gen Cinta) dengan berbagai variannya. Variasi gen
sejenis (variasi alel) tersebut dapat coexist secara damai di taraf molekuler untuk
merespons berbagai bentuk seleksi alam yang akan sangat menentukan eksistensi
manusia. Beragam penampilan fisik, karakter, atau gaya hidup manusia, sebagaimana
juga warna-warni bunga mawar di taman merupakan refleksi dari keragaman bahan
genetiknya; dan merupakan gambar toleransi terhadap pluralisme di taraf yang sangat
dasar dan alamiah: Molekul DNA itu sendiri! Dengan Teknologi DNA mungkin suatu
saat dapat dilakukan pengkayaan terhadap gen Cinta sehingga mampu mengalahkan atau
bahkan meniadakan gen Egois, yang akan memperkuat eksistensi manusia dalam
mengarungi seleksi alam, termasuk di dalamnya seleksi oleh manusia itu sendiri.

Meningkatkan Biodiversitas dengan Bioteknologi Modern


Berbagai jenis padi telah dapat diperoleh melalui transaksi gen yang terjadi
selama pemulia tanaman melakukan seleksi untuk sifat-sifat beras yang diinginkan. Ada
yang rendemennya tinggi dan masa panennya singkat, ada yang tahan wereng dan
berbagai penyakit, ada yang nasinya pulen, ada pula yang pera dan sebagainya. Meskipun
demikian, sampai saat ini masih belum ditemukan tanaman padi atau kerabatnya yang
dapat disilangkan yang mengandung provitamin A di dalam endosperma biji padi. Oleh

Suwanto/IPB/01/2006
6

karena itu, proses pemuliaan tanaman tradisional akan sulit sekali atau hampir tidak
mungkin menghasilkan beras yang endospermanya mengandung provitamin A. Padahal
provitamin A merupakan senyawa penting untuk mengatasi masalah rabun senja dan
kebutaan total yang berhubungan karena kekurangan senyawa ini. Masalah defisiensi
vitamin A merupakan salah satu masalah gizi utama di negara-negara Asia yang sedang
berkembang dan diperkirakan bahwa 124 juta anak-anak di seluruh dunia menderita
kekurangan vitamin ini. Oleh karena beras merupakan diet utama sebagian besar orang
Asia, maka adanya provitamin A dalam beras akan sangat banyak membantu masalah
kesehatan masyarakat yang serius ini.
Meskipun alam telah mampu melakukan transaksi gen jauh sebelum kita ada, baru
dalam dua dekade terakhir ini manusia mampu mengubah bahan genetik dari satu
organisme secara sistematis melalui teknik Rekayasa Genetika atau Teknologi DNA.
Pada dasarnya Rekayasa Genetika merupakan upaya pemuliaan melalui transaksi gen
yang lebih presisi dan dapat lebih diperkirakan hasilnya. Sekelompok peneliti yang
diketuai oleh Dr. Ingo Potrykus di Institute for Plant Sciences, Swiss Federal Institute of
Technology, baru-baru ini berhasil memasukkan dan mengekspresikan dua gen penting
dalam pembentukan provitamin A di dalam endosperma padi (Ye et al., 2000). Gen
penyandi phytoene synthase (psy) berasal dari tanaman Daffodil (Narcissus
pseudonarcissus) dan gen penyandi phytoene desaturase (crtI) berasal dari bakteri
Erwinia uredovora. Pada ujung 5’ kedua gen tersebut ditempelkan sekuen peptida transit
dari Rubisco subunit kecil, yang berasal dari kacang buncis, sehingga produk translasinya
dapat ditranspor ke kloroplas sel-sel endosperma. Gen psy berada di bawah kontrol
promotor endosperm-specific glutelin, sedangkan crtI diekspresikan oleh promotor
konstitutif gen 35S CaMV (Caulifower Mosaic Virus). Selanjutnya hasil konstruksi ini
disisipkan pada plasmid vektor dan ditransfer ke sel embrio padi melalui Agrobacterium
tumefaciens. Jadi paling sedikit ada tambahan lima gen atau bagian gen asing dari
organisme yang berbeda pada tanaman padi transgenik tersebut. Biji padi hasil rekayasa
genetik tersebut (tanaman padi transgenik) menghasilkan provitamin A dan menjadi
harapan untuk dapat membantu mengatasi masalah defisiensi vitamin A bagi berjuta-juta
penduduk dunia.
Data berbasis sains yang kuat mengenai tanaman transgenik sangat diperlukan
untuk memaparkan laporan yang kritis. Hal ini sedikitnya membutuhkan pengetahuan
mengenai prinsip konstruksi, dan parameter yang memadai untuk evaluasi produk
tersebut. Sebagai contoh, dari sisi fisiologi tanaman adanya enzim-enzim untuk
biosintesis β-karoten (provitamin A) pada endosperma padi akan mengambil sejumlah
isopentenil difosfat (IPP), yaitu senyawa intermediat untuk biosintesis β-karoten dan
sejumlah senyawa isoprenoid penting lain di dalam sel seperti sterol, gibberellin, dan
berbagai macam senyawa turunan karotenoid lainnya (Sandmann, 1994). Bila kita mau
mempertanyakan secara ilmiah maka di sinilah salah satu hal penting yang perlu
didiskusikan. Apakah adanya phytoene synthase akan mengurangi jumlah IPP di dalam
endosperma? Bila demikian apakah pengaruhnya pada kebugaran tanaman? Meskipun
mungkin jawab dari pertanyaan ini masih belum sepenuhnya dapat dipenuhi, tetapi kita
dapat mencoba melihat kemungkinan apa yang paling beralasan dari data-data biokimia
biosintesis isoprenoid pada tanaman. Sedangkan anggapan bahwa tanaman padi
provitamin A itu akan menjadi tanaman raksasa atau monster merupakan kekawatiran
emosional yang berlebihan, karena, meskipun kita tidak dapat menutup kemungkinan

Suwanto/IPB/01/2006
7

suatu fantasi menjadi realitas, dari segi ilmiah kejadian tersebut sangat tidak mungkin
terjadi (Russo and Cove, 1995) .
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, masalah transaksi gen inter-spesies,
bahkan inter-domain merupakan bagian dari dinamika biosfer yang akan tetap terjadi
baik oleh atau tanpa campur tangan manusia, dengan tekanan lingkungan sebagai faktor
seleksi makhluk transgenik yang bakal sintas. Rekayasa genetika dapat mempercepat
proses tersebut, dan ketergantungan pemuliaan tanaman pada teknik ini secara langsung
atau tidak langsung sebagai akibat dari upaya mengatasi tekanan penduduk bumi yang
meningkat secara dramatis pada dua dekade terakhir.

Kondisi di Indonesia
Keragaman hayati yang melimpah di Indonesia merupakan bahan mentah penting
untuk perkembangan bioteknologi modern, yang antara lain dapat digunakan sebagai
sumber gen-gen baru untuk meningkatkan produktivitas pertanian dalam arti luas
(Suwanto, 1998). Sebagian besar keragaman hayati yang ada merupakan anugerah alam
terpaut lokasi geografis yang memberikan harapan untuk mengejar ketertinggalan kita
dalam persaingan agribisnis internasional yang semakin ketat. Oleh karena itu, sangat
diperlukan iklim yang kondusif dalam penelitian-penelitian untuk memanfaatkan
keanekaan hayati. Tidak hanya terbatas pada mendata atau mengaguminya saja, tetapi
untuk memanfaatkannya secara optimal. Pada saat ini hal tersebut dapat dilakukan antara
lain dengan mengintegrasikannya dengan aktivitas bioteknologi dan bioinformatika
(Strohl, 2000) dalam ruang lingkup biokompleksitas (biocomplexity programs) yang
sedang gencar dibicarakan sebagai suatu cutting-edge research strategy di negara-negara
yang lebih maju. Supaya tidak tertinggal lagi seperti pada teknologi yang lain, kita perlu
segera memilih strategi terbaik untuk implementasinya.
Saat ini di Indonesia telah tersedia sejumlah pusat penelitian dan sumberdaya
manusia (SDM) yang memadai untuk melakukan kegiatan penelitian di bidang
bioteknologi modern. Meskipun demikian, jumlah SDM itu masih terfragmentasi dan
berada di bawah ambang batas minimal critical mass. Selain itu, hanya beberapa
institusi saja yang memiliki sarana “agak memadai” untuk memfasilitasi kegiatan
tersebut. Hampir semua institusi penelitian yang tergolong terkemuka di Indonesia masih
jauh tertinggal dalam hal kondisi infrastruktur dan kemampuannya dalam
mengimplementasikan cutting-edge research strategies.
Untuk kepastian hukum dan dukungan pemerintah terhadap produk Bioteknologi
Modern, khususnya produk transgenik, perlu dibuat peraturan berdasarkan data ilmiah
yang memadai, atau pertimbangan rasional yang secara ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan, sehingga peraturan tersebut tidak hanya melindungi konsumen
dari bahaya nyata, tetapi juga memungkinkan konsumen untuk memanfaatkan produk
transgenik dan teknologi yang mendasarinya secara maksimal. Peraturan yang dibuat
hendaknya tidak menimbulkan kerumitan baru yang tidak perlu. Peraturan dan
kekawatiran yang berlebihan tidak hanya akan menyurutkan perkembangan bioteknologi,
suatu disiplin ilmu yang seharusnya dikuasai dengan baik untuk dapat memanfaatkan
megabiodiversitas nasional secara optimal, tetapi juga dapat mengalihkan perhatian
masyarakat dari masalah-masalah yang lebih penting dan mendesak. Oleh karena itu,
pendidikan masyarakat mengenai bioteknologi (biotechnology literacy), dan tersedianya

Suwanto/IPB/01/2006
8

peraturan pemerintah yang jelas; seharusnya menjadi salah satu agenda utama bagi
penentu kebijakan yang berhubungan dengan masalah revitalisasi pertanian.

Pustaka:
Bhattacharya, D. and L. Medlin. 1998. Algal phylogeny and the origin of land plants. Plant
Physiol. 116:9-15.

Chen, B. and D. L. Nuss. 1999. Infectious cDNA clone of hypovirulence CHV-Euro7: A


comparative virology approach to investigate virus-mediated hypovirulence of the chesnut blight fungus
Cryphonectria parasitica. J. Virology 73:985-992

Hansen, L. 1999. Non-target effects of Bt corn pollen on the Monarch butterfly (Lepidoptera:
Danaidae). http://www.ent.iastate.edu/entsoc/ncb99/prog/abs/D81.html

Kreuzer, H. and A. Massey. 2005. Biology and Biotechnology: Science, Applications, and Issues.
ASM Press, Washington, D.C.

Losey, J.E., L.S. Rayor, and M.E. Carter. 1999. Transgenic pollen harms monarch larvae. Nature
399:214

Russo, E. and D. Cove. 1995. Genetic Engineering: Dreams and Nightmares. W.H. Freeman, New
York.

Sandmann, G. 1994. Carotenoid biosynthesis in microorganisms and plants. Eur. J. Biochem.


223:7-24.

Shelton, A.M. and R. Roush. 1999. False reports and the ears of men. Nature Biotechnol. 17:832.

Strohl, W.R. 2000. The role of natural products in a modern drug discovery program. Drug
Discovery Today 5:39-41.

Suwanto, A. 1998. Bioteknologi Molekuler: Mengoptimalkan manfaat keanekaan hayati melalui


teknologi DNA rekombinan. Hayati 5:25-28.

Woese, C.R., O. Kandler, and M.L. Wheelis. 1990. Towards a natural system of organisms:
Proposal for the domains Archaea, Bacteria, and Eukarya. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 87:4576−4579.

Ye, X., S. Al-Babili, A. Kloti., J. Zhang, P. Lucca, P. Beyer, and I. Potrykus. 2000. Engineering
the provitamin Α (β-carotene) biosynthetic pathway into (carotenoid-free) rice endosperm. Science
287:303-305.

Suwanto/IPB/01/2006

Anda mungkin juga menyukai