SIMULASI APOTEK
“Diabetes Melitus”
LABORATORIUM FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH A.R FACHRUDDIN
TANGERANG
2022
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Diabetes adalah salah satu penyakit degeneratif dengan angka kejadian di
Indonesia yang cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik Indonesia (2003) diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20
tahun sebesar 133 juta adalah diabetesi. Prevalensi diabetes melitus pada daerah urban
sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%. Suatu jumlah yang sangat besar dan
merupakan beban yang sangat berat untuk dapat ditangani sendiri oleh dokter
spesialis/subspesialis bahkan oleh semua tenaga kesehatan yang ada. Diabetes melitus
memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya manusia dan peningkatan biaya
kesehatan yang cukup besar (Anonim, 2006).
Diabetes bukan penyakit yang menakutkan, hanya perlu pengendalian agar
penderita dapat hidup dengan penyakit diabetes. Diabetes bila diremehkan akan
menyerang seluruh anggota tubuh. Perawatan dan pengobatan diabetes melitus yang
tertib dan baik dapat mencegah kelanjutan komplikasi-komplikasi selanjutnya
(Tjokroprawiro, 2006). Obat-obat paten untuk penderita diabetes semakin beragam.
Biaya untuk pengobatan diabetes pun juga semakin mahal dan hampir tidak terjangkau.
Hal ini dirasakan benar terutama oleh penderita di negara-negara berkembang seperti
Indonesia. Kemampuan negara-negara berkembang sendiri untuk mengobati penyakit
diabetes sangat diragukan. Diperlukan modal manajemen yang lebih murah dan efektif
(Subroto, 2006).
WHO merekomendasikan penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam
pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama
untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. WHO mendukung upaya-
upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat dari obat tradisional (WHO, 2008).
Menurut Utami (2003), di kalangan masyarakat telah banyak dikenal pengobatan
alternatif, dengan alasan pemilihannya pengobatan ini alami, efek samping sedikit, dan
lebih murah serta mudah didapat. Pengobatan alternatif seperti obat yang berasal dari
simplisia mempunyai khasiat yang lambat, hal ini disebabkan zat berkhasiat obat dalam
simplisia tersebut sedang merekonstruksi atau membangun jaringan yang rusak menjadi
normal kembali.
Sulistyani (2003), dalam penelitiannya yang berjudul “Profil Pengobatan
Penderita Diabetes Mellitus Di Kota Surakarta” mengatakan bahwa penderita diabetes
di kota Surakarta pada tahun 2003 yang diteliti sebanyak 58% responden menggunakan
jamu sebagai pilihan obat alternatifnya, dan tempat berobat yang dikunjungi responden
profil pengobatan penderita diabetes mellitus di kota Surakarta paling banyak adalah
dokter spesialis dan rumah sakit.
Masyarakat Indonesia dapat menggunakan herbal secara bebas tanpa harus
berkonsultasi dengan dokter atau tenaga medis lainnya, kecenderungan yang ada adalah
masyarakat telah bertindak menjadi “dokter” untuk dirinya sendiri dalam penggunaan
herbal, bahkan tidak jarang obat herbal dikonsumsi bersamaan dengan obat
konvensional. Dosis dan waktu yang tepat dalam mengkonsumsi herbal dan jamu
seringkali diabaikan. Dari penelitian telah diungkap bahwa 63% tanaman obat
tradisional Indonesia dapat menyebabkan interaksi farmakokinetik dengan obat-obat
konvensional bila dikonsumsi secara bersamaan (Subroto, 2006). Hubungan antara
demografi dan karakteristik sosial ekonomi masyarakat berpengaruh pada angka
prevalensi penggunaan herbal bersamaan dengan obat sintetis yang tinggi. Ini
merupakan alasan yang kuat untuk meneliti pemanfaatan obat-obat herbal dalam
kesehatan termasuk untuk penderita diabetes mellitus (Adibe, 2009).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Pengertian Diabetes
Diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang terjadi akibat adanya
gangguan pada metabolime glukosa, disebabkan kerusakan proses pengaturan sekresi
insulin dari sel-sel beta. Insulin, yang diahasilkan oleh kelenjar pankreas sangat penting
untuk menjaga keseimbangan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah normal pada
waktu puasa antara 60-120 mg/dl, dan dua jam sesudah makan dibawah 140 mg/dl. Bila
terjadi gangguan pada kerja insulin, baik secara kualitas maupun kuantitas,
keseimbangan tersebut akan terganggu, dan kadar glukosa darah cenderung naik
(hiperglikemia) (Kee dan Hayes,1996; Tjokroprawiro, 1998).
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan
hiperglikemia dan glukosuria yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein yang diakibatkan kurangnya insulin yang diproduksi
oleh sel β pulau Langerhans kelenjar Pankreas baik absolut maupun relatif (Herman,
1993; Adam, 2000; Sukandar, 2008).
Kelainan metabolisme yang paling utama ialah kelainan metabolisme
karbohidrat. Oleh karena itu, diagnosis diabetes melitus selalu berdasarkan kadar
glukosa dalam plasma darah (Herman, 1993; Adam, 2000).
Diabetes melitus merupakan salah satu jenis penyakit yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia) sebagai akibat dari rendahnya
sekresi insulin, gangguan efek insulin, atau keduanya. Diabetes mellitus bukan
merupakan patogen melainkan secara etiologi adalah kerusakan atau gangguan
metabolisme. Gejala umum diabetes adalah hiperglikemia, poliuria, polidipsia,
kekurangan berat badan, pandangan mata kabur, dan kekurangan insulin sampai pada
infeksi. Hiperglikemia akut dapat menyebabkan sindrom hiperosmolar dan kekurangan
insulin dan ketoasidosis. Hiperglikemia kronik menyebabkan kerusakan jangka
panjang, disfungsi dan kegagalan metabolisme sel, jaringan dan organ. Komplikasi
jangka panjang diabetes adalah macroangiopathy, microangiopathy, neuropathy,
katarak, diabetes kaki dan diabetes jantung (Reinauer et al, 2002).
Pada diabetes melitus semua proses terganggu, glukosa tidak dapat masuk
kedalam sel, sehingga energi terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak.
Sebenarnya hiperglikemia sendiri relatif tidak berbahaya, kecuali bila hebat sekali
hingga darah menjadi hiperosmotik terhadap cairan intrasel. Yang nyata berbahaya
ialah gliosuria yang timbul, karena glukosa bersifat diuretik osmotik, sehingga diuresis
sangat meningkat disertai hilangnya berbagai efektrolit. Hal ini yang menyebabkan
terjadinya dehidrasi dan hilangnya elektrolit pada penderita diabetes yang tidak diobati.
Karena adanya dehidrasi , maka badan berusaha mengatasinya dengan banyak minum
(polidipsia). Badan kehilangan 4 kalori untuk setiap hari gram glukosa yang diekskresi
(Katzung dkk,2002).
Insulin adalah polipeptida dengan BM kira-kira 6000. Polipeptida ini terdiri dari
51 asam amino tersusun dalam dua rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan
rantai B terdiri dari 30 asam amino. Antara rantai A dan B terdapat 2 jembatan disulfide
yaitu antara A-7 dengan B-7 dan A-20 dengan B-19. Selain iu masih terdapat jembatan
disulfide antara asam amino ke-6 dan ke-11 pada rantai AKarena insulin babi lebih
mirip insulin insani maka dengan bahan insulin babi mudah dibuat insulin insani
semisintetik. Disamping itu juga dapat disintesis insulin manusia dengan teknik
rekombinan DNA (Ganiswarna dkk,1995).
Sekresi insulin diatur tidak hanya diatur oleh kadar glukosa darah tetapi juga
hormon lain dan mediator autonomik. Sekresi insulin umumnya dipacu oleh ambilan
glukosa darah yang tinggi dan difosforilasi dalam sel pankreas. Insulin umumnya
diisolasi dari pankreas sapi dan babi, namun insulin manusia juga dapat menggantikan
hormon hewan untuk terapi. Insulin manusia diproduksi oleh strain khusus E. Coli yang
telah diubah secara genetik. mengandung gen untuk insulin manusia. Insulin babi
paling mendekati struktur insulin manusia, yang dibedakan hanya oleh satu asam
amino. Gejala hipoglikemia merupakan reaksi samping yang paling umum dan serius
dari kelebihan dosis insulin. Reaksi samping lainnya berupa lipodistropi dan reaksi
alergi.Diabetes militus ialah suatu keadaan yang timbul karena defisiensi insulin relatif
maupun absolut. Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke dalam sel
terhambat serta metabolismenya diganggu. Dalam keadaan normal kira-kira 50%
glukosa yang dimakan mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 5%
diubah menjadi glikogen dan kira-kira 30-40% diubah menjadi lemak (Siswandono,
1995).
2. 2 Klasifikasi dan Etiologi Diabetes Mellitus
A. Diabetes Mellitus tergantung Insulin (DMTI, tipe 1)
Diabetes mellitus tergantung insulin (DMTI atau IDDM) merupakan istilah
yang digunakan untuk kelompok pasien diabetes mellitus yang tidak dapat
bertahan hidup tanpa pengobatan insulin. Penyebab yang paling umum dari IDDM
ini adalah terjadinya kerusakan otoimun sel-sel beta (β) dari pulau-pulau
Langerhans (Katzung, 2002). Kebanyakan penderita IDDM berusia masih muda,
dan usia puncak terjadinya serangan adalah 12 tahun. Namun demikian, 10%
pasien diabetes diatas 65 tahun merupakan pengidap IDDM (Katzung, 2002).
IDDM dapat juga disebabkan adanya interaksi antara faktor-faktor
lingkungan dengan kecenderungan sebagai pewaris penyakit diabetes mellitus. Hal
ini menunjukkan bahwa IDDM dapat timbul karena adanya hubungan dengan gen-
gen pasien dan dapat pula dipicu oleh faktor lingkungan yang ada, termasuk
bermacam-macam virus (Jones and Gill, 1998; Tunbridge and Home, 1991).
Secara normal hiperglikemisa akan menurunkan sekresi glukogen, tetapi pada
penderita DM tipe 1 ini tidak terjadi, sekresi glukogen tetap tinggi walaupun dalam
keadaan hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya
penderita DM tipe 1 mengalami keterdosis diabetic apabila tidak mendapatkan
terapi insulin. Apabila diberikan tetapi somastotin untuk menekan sekresi
glukogen, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan gula dan berat badan
keton. Salah satu masalah jangka panjang pada tubuh untuk mensekresi glukogen
sebaai respon terhadap glikemis (Lopulalan, 2008).
D. Pra diabetes
Pra diabetes adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada
diantara kadar normal dan diabetes, lebih tinggi daripada normal tetapi tidak cukup
tinggi untuk dikategorikan ke dalam diabetes tipe 2. Penderita pra- diabetes di
perkirakan cukup banyak, kodisi pra- diabetes merupakan factor resiko untuk
diabetes, serangan jantung dan stroke. Apabila tidak dikontrol dengan baik, kondisi
pra- diabetes dapat meningkat menjadi diabetes pada tipe 2 dalam kurun waktu 5-
10 tahun. Namun pengaturan diet an olahraga yang baik dapat mencegah atau
menunda timbulnya diabetes. Ada 2 tipe mencegah atau menunda timbulnya
diabetes, yaitu;
1. Impaired fasting glucose, yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah puasa
seseorang sekitar 100- 125 mg/dL (kadar normal <100 mg/dL)
2. Impaired glucose tolerance (IGT)yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah
seseorang pada ujitoleransi glukosa nberada di atas normal tetapi tidak cukup
tinggi untuk dikategorikan ke dalam kondisi diabetes. (Nurachman, 2003).
2. 4 Gejala
Gejala penyakit diabetes melitus dari satu penderita ke penderita lainnya tidak
selalu sama. Gejala yang disebutkan dibawah ini adalah gejala yang umumnya timbul
dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya variasi gejala lain. Ada pula penderita
diabetes melitus yang tidak menunjukkan gejala apa pun sampai pada saat tertentu
(Tjoktoprawiro, 1998).
A. Pada permulaan, gejala yang ditunjukkan meliputi “tiga P” yaitu:
1. Polifagia (meningkatnya nafsu makan, banyak makan)
2. Polidipsia (meningkatnya rasa haus, banyak minum)
3. Poliuria (meningkatnya keluaran urin, banyak kencing)
Dalam fase ini biasanya penderita menunjukkan berat badan yang terus
meningkat, bertambah gemuk, mungkin sampai terjadi kegemukan. Pada keadaan
ini jumlah insulin masih dapat mengimbangi kadar glukosa dalam darah (Kee dan
Hayes,1996; Tjokroprawiro, 1998).
B. Bila keadaan diatas tidak segera diobati, kemudian akan timbul gejala yang
disebabkan oleh kurangnya insulin, yaitu:
1. Banyak minum
2. Banyak kencing
3. Berat badan menurun dengan cepat (dapat turun 5-10 kg dalam waktu 2-4
minggu)
4. Mudah lelah
5. Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual jika kadar glukosa darah
melebihi 500 mg/dl, bahkan penderita akan jatuh koma (tidak sadarkan diri)
dan disebut koma diabetik.
Koma diabetik adalah koma pada penderita diabetes melitus akibat kadar
glukosa darah terlalu tinggi, biasanya 600 mg/dl atau lebih. Dalam praktik, gejala
dan penurunan berat badan inilah yang paling sering menjadi keluhan utama
penderita untuk berobat ke dokter (Tjokroprawiro, 1998).
Kadang-kadang penderita diabetes melitus tidak menunjukkan gejala akut
(mendadak), tetapi penderita tersebut baru menunjukkan gejala setelah beberapa bulan
atau beberapa tahun mengidap penyakit diabetes melitus. Gejala ini dikenal dengan
gejala kronik atau menahun (Katzung, 2002). Gejala kronik yang sering timbul pada
penderita diabetes adalah seperti yang disebut dibawah ini:
a) Kesemutan
b) Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarumRasa tebal pada kulit telapak
kaki, sehingga kalau berjalan seperti diatas bantal atau kasur
c) Kram
d) Capai, pegal-pegal
e) Mudah mengantuk
f) Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata
g) Gatal di sekitar kemaluan, terutama wanita
h) Gigi mudah goyah dan mudah lepas
i) Kemampuan seksual menurun, bahkan impoten
Para ibu hamil sering mengalami gangguan atau kematian janin dalam
kandungan, atau melahirkan bayi dengan berat lebih dari 3,5 kg. (Tjokroprawiro,
1998).
2. 5 Obat Antidiabetes
A. Terapi insulin
Insulin adalah hormon yang disekresi oleh sel β pulau Langerhans dalam
pankreas. Berbagai stimulus melepaskan insulin dari granula penyimpanan dalam
sel β, tetapi stimulus yang paling kuat adalah peningkatan glukosa plasma
(hiperglikemia). Insulin terikat pada reseptor spesifik dalam membran sel dan
memulai sejumlah aksi, termasuk peningkatan ambilan glukosa oleh hati, otot, dan
jaringan adipose (Katzung, 2002). Insulin adalah polipeptida yang mengandung 51
asam amino yang tersusun dalam dua rantai (A dan B) dan dihubungkan oleh ikatan
disulfida. Suatu prekursor, yang disebut proinsulin, dihidrolisis dalam granula
penyimpan untuk membentuk insulin dan peptida C residual. Granula menyimpan
insulin sebagai kristal yang mengandung zink dan insulin.
Glukosa merupakan stimulus paling kuat untuk pelepasan insulin dari sel-sel β
pulau Langerhans. Terdapat sekresi basal yang kontinu dengan lonjakan pada waktu
makan. Sel-sel β memiliki kanal K+ yang diatur oleh adenosin trifosfat (ATP)
intraselular. Saat glukosa darah meningkat, lebih banyak glukosa memasuki sel β
dan metabolismenya menyebabkan peningkatan ATP intraselular yang menutup
kanalATP. Depolarisasi sel Depolarisasi sel β yang diakibatkannya mengawali
influks ion Ca 2+ melalui kanal Ca2+ yang sensitif tegangan dan ini memicu
pelepasan insulin (Katzung, 2002). Reseptor insulin adalah glikoprotein pembentuk
membran yang terdiri dari dua subunit α dan dua subunit β yang terikat secara
kovalen oleh ikatan disulfida. Setelah insulin terikat pada subunit α, kompleks
insulin-reseptor memasuki sel, dimana insulin dihancurkan oleh enzim lisosom.
Internalisasi dari kompleks insulin-reseptor mendasari down-regulation reseptor
yang dihasilkan olh kadar insulin tinggi (misalnya pada pasien obes). Ikatan insulin
pada reseptor mengaktivasi aktivitas tirosin kinase subunit β dan memulai suatu
rantai kompleks reaksi-reaksi yang menyebabkan efek insulin (Neal, 2006).
Berbagai aktivitas yang dapat menghilangkan aktivitas insulin antara lain:
1. Esterifikasi gugus karboksil
2. Oksidasi atau reduksi gugus sulfide
3. Pengrusakan oleh enzim proteolitik, misalnya krimotripsin, pepsin, dan topain
4. Modifikasi pada gugus amino bebas atau gugus hidroksil alifatik.
Insulin disintesis oleh sel beta pulau langerhans dari proinsulin. Proinsulin
berupa polipeptida yang berbentuk rantai tunggal dengan 86 asam amino. Insulin
merupakan hormone yang penting untuk kehidupan. Hormone ini mempengaruhi
baik metabolism karbohidrat maupun metabolism protein dan lemak.
Mekanisme kerja insuin adalah menurunkan kadar gula dengan menstimulasi
pengambilan glukosa perifer dan menghambat produksi glukosa hepatit. Waktu
darah insulin pada orang normal sekitar 5- 6 menit, dan memanjang pada pasien DM
yang membentuk antibody terhadap insulin. Hormone ini dimetabolisme terutama di
hato, ginjal dan otot; mengalami diltrasi di ginjal, kemudian diserap kembali
ditubulus ginjal yang juga merupakan tempat metabolismenya. Gangguan fungsi
ginjal yang berat lebih berpengaruh terhadap kadar insulin di darah dibbandingkan
gangguan fungsi hati (Anonim, 2011). Penggolongan insulin:
1. Kerja singkat
2. Kerja sedang (NPH)
3. Kerja sedang mulai kerja singkat
4. Kerja lama
Pemberian insulin merupakan keharusan pada pasien dengan diabetes tipe 1.
Selanjutnya insulin juga dibutuhkan pada diabetes tipe 2 jika diet atau pemberian
antidiabetika sebagai tindakan pengobatan tidak cukup. Insulin normal
diindikasikan pada koma diabtik dan orakoma diabetic, keadaan metabolism yang
bersifat antidotik, infeksi berat dan juga pemberian pertama dan baru. Pada koma
diabetic disuntikkan insulin normal bersama dengan larutan glukosa secukupnya
atau dan elektrolit terutama kalium. Larutan glukosa dibutuhkan untuk mencegah
koma hperglipidemia yang disebabkan oleh kelebihan dosis insulin dan untuk
mngoksidasi badan keton dengan lebih cepat.
Insulin dengan kerja yang diperlambat digunakan apda diabetes tipe 1 stabil
dan diabetes tipe 2 yang stabil dn membutuhkan insulin. Pada diabetes tipe 1 dan
tipe 2 yang tidak stabil dan juga pada pasien yang jadar gula darahnya tidak cukup
diminumalkan dengan insulinnya diperlambat, maka dianjurkan penggunaan
kombinasi insulin normal dan insulin dengan kerja di perlabat yang kerjanya
sedang. Di samping bahaya hipoglikemik, insulin juga dapat meneyebabkan reakdi
alergi. Resistensi insulin dengan disebabkan oleh pembentukan antibody melawan
inulin dipisahkan dari reaksi alergi ini.
B. Antidiabetik Oral
Antidiabetika oral dapat digunakan untuk penderita alergi insulin atau yang
tidak mau menggunakan suntikan insulin. Obat- obat antidiabetika hanya diindikasi
jika:
1. Tidak terdapat diabetes tipe 1
2. Tindakan diet tidak cukup
3. Tidak perlu diberikan insulin sebagai pengganti antidiabetika oral, seperti pada
suatu ketoasidosis (Anonim, 2011).
Perawatan diabetes mellitus diambil dari empat faktor fundamental :
pengajaran pasien tentang penyakit; latihan fisik; diet dan agen-agen hipoglikemia.
Agen-agen yang baru digunakan sebagai kontrol diabetes mellitus adalah obat-obat
dari golongan sulfonilurea, biguanida, turunan thiazolidinedione, dan insulin
(diberikan secara injeksi). Meskipun obat-obat ini telah digunakan secara intensif
karena efek yang baik dalam kontrol hiperglikemia, agen-agen ini tidak dapat
memenuhi kontrol yang baik pada diabetes mellitus, tidak dapat menekan
komplikasi akut maupun kronis (Galacia et.al, 2002).
1) Sekretagok Insulin
Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi
sekresi insulin oleh sel β pankreas. Golongan ini meliputi:
a. Golongansulfonilurea
Obat ini hanya efektif pada penderita diabetes melitus tipe 2 yang tidak
begitu berat, yang sel-sel β masih bekerja cukup baik. Mekanisme kerja dari
golongan sulfonilurea antara lain:
a) Merangsang fungsi sel-sel β pulau Langerhans pankreas agar dapat
menghasilkan insulin.
b) Mencegah (inhibisi) konversi glikogen hati kembali ke glukosa.
c) Meningkatkan penggunaan glukosa darah
Sulfonilurea dibagi dalam dua golongan/generasi yaitu:
1. Generasi pertama meliputi: Tolbutamide, Acetohexamide, Tolazamide,
Chlorpropamide
2. Generasi kedua meliputi: Glibenclamide, Gliclazide, Glipizide,
Gliquidon, Glibonuride.
b. Golonganglinida
Sekretagok insulin baru, yang kerjanya melalui reseptor sulfonilurea
dan mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonilurea. Repaglinid dan
nateglinid kedua-duanya diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral. Repaglinid mempunyai masa paruh yang singkat dan dapat
menurunkan kadar glukosa darah puasa. Sedangkan nateglinid mempunyai
masa tinggal yang lebih singkat dan tidak dapat menurunkan kadar glukosa
darah puasa (Soegondo, 2006).
2) Sensitizer Insulin
Golongan obat ini meliputi obat hipoglikemik golongan biguanida dan
thiazolidinedione, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin
secara lebih efektif (Depkes RI, 2005).
a. Golongan Biguanida
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin.
Mekanisme kerja golongan biguanid (metformin):
a) Meningkatkan glikolisis anaerobik hati.
b) Meningkatkan uptake glukosa di jaringan perifer atau mengurangi
glukoneogenesis.
c) Menghambat absorpsi glukosa dari usus (Herman, 1993; Soegondo,
2006)
b. Golongan Thiazolidinedione atau Glitazon
Golongan obat ini mempunyai efek farmakologis untuk
meningkatkan sensitivitas insulin. Glitazon merupakan agonist
peroxisomeproliferator-activated receptor gamma (PPAR) yang sangat
selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma terdapat di jaringan target kerja
insulin yaitu jaringan adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada
organ tersebut merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit,
dan kerja insulin. Glitazon dapat merangsang ekspresi beberapa protein
yang dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan memperbaiki glikemia,
seperti GLUT 1, GLUT 4, p85alphaPI-3K dan uncoupling protein-2 (UCP)
(Soegondo, 2006).
BAB III
METODOLOGI
Alat Bahan
ATK Obat swamedikasi resep diabetes militus, contoh:
Metformin
Amlodipine
HCT
Glibenclamid
Simvastatin
4. 1 Hasil Pengamatan
APOTEK PHARMACARE
COPY RESEP
No. Resep :9
S 3 dd 1 tab dit
R/ Amlodipin 5mg No XX
S 1 dd 1 tab detV
R/ HCT 25mg No X
R/ Glibenclamide 5mg No X
R/ Simvastatin 10mg No XX
S 1 dd 1 tab det V
Harga MIMS:
Metformin : 40280
Amlodipin : 73000
HCT : 30000
Glibenclamide : 30000
Simvastatin : 25000
Perhitungan :
a. Metformin
PPN 11%
= 402,8 + 44308
= 447,10
Margin 35%
= 447,10 + 156,485
= 603,585/tablet
b. Amlodipin
PPN 11%
= 750 + 80,3
= 810,3/tab
Margin 35%
= 810,3 + 283,6
=1093,9/tab
c. HCT
PPN 11%
= 300 + 33
= 333
Margin 35%
= 333 + 116,55
=449,55/tab
d. Glibenclamide
PPN 11%
= 300 + 33
= 333
Margin 35%
= 333 + 116,55
=449,55/tab
e. Simvastatin
PPN 11%
= 500 + 55
= 555
Margin 35%
= 555 + 194,25
= 749,25
f. Insulin
PPN11%
=130000 + 14300
=144300
Margin 35%
=144300 + 50505
=194805/pen
Metformin
=603,585 x 15
=9053 + 1000 (embalase)
=10053
Amlodipin
= 1093,9 x 7
=7657 + 1000 (embalase)
=8657
HCT
=449,55 x 7
=1348 + 1000 (embalase)
=2348
Glibenclamide
=449,55 x 7
=1348 + 1000 (embalase)
=2348
Simvastatin
=749,25 x 15
=11238 + 1000 (embalase)
=12238
4. 2 Pembahasan
Pada saat melakukan PIO pada pasien, terdapat hal-hal yang harus disampaikan
seperti-menanyakan riwayat berobat pasien, kondisi tubuh pasien,riwayat alergi pasien,
pengetahuan pasien terhadap obat yang akan dikonsumsinya,tatacara mengkonsumsi
obat, efek samping obat, dan cara menyimpan dan memusnahkan obat.
Pada resep ini, didapatkan 5 jenis obat, berikut penjelasan PIO berdasarkan PIONAS.
Insulin
Tujuan pengobatan insulin diabetes adalah untuk mengatur kadar gula darah
tetap baik sehingga membuat tpasien nyaman dan menghindari hipoglikemia,
diperlukan kerja sama yang baik antara pasien dan dokter dalam menurunkan resiko
komplikasi diabetes. Kombinasi sediaan insulin mungkin dibutuhkan dan kombinasi
yang tepat harus ditentukan untuk tiap pasien. Untuk pasien dengan diabetes akut,
pengobatan sebaiknya dimulai dengan memberikan insulin soluble 3 kali sehari dan
insulin kerja sedang pada malam hari. Untuk pasien yang tidak terlalu parah,
pengobatan biasanya dimulai dengan campuran insulin kerja singkat dan sedang
(biasanya 30% insulin soluble dan 70% insulin isophane) diberikan 2 kali sehari; 8 unit
dua kali sehari untuk pasien rawat jalan. Proporsi sediaan insulin kerja singkat dapat
ditingkatkan pada pasien dengan hiperglikemia postprandial yang berat.
1. Insulin kerja singkat (short-acting): mula kerja relatif cepat, yaitu insulin soluble,
insulin lispro dan insulin aspart;
2. Insulin kerja sedang (intermediate-acting): misalnya insulin isophane dan suspensi
insulin seng;
3. Insulin kerja panjang dengan mula kerja lebih lambat: misalnya suspensi insulin
seng.
Lama kerja untuk tiap tipe insulin bervariasi pada tiap individu sehingga perlu dinilai
secara individual.
Contoh dosis insulin yang dianjurkan
a. Insulin kerja singkat dikombinasi dengan insulin kerja sedang: dua kali sehari
(sebelum makan);
b. Insulin kerja singkat dikombinasi dengan insulin kerja sedang: sebelum makan
pagi Insulin kerja singkat: sebelum makan malam Insulin kerja sedang: malam
sebelum tidur;
c. Insulin kerja singkat: 3 kali sehari (sebelum makan pagi, makan siang dan makan
malam) dikombinasi dengan insulin kerja sedang: pada waktu sebelum tidur
malam;
d. Insulin kerja sedang dengan atau tanpa insulin kerja singkat: cukup sekali sehari
sebelum makan pagi atau sebelum tidur malam untuk beberapa pasien dengan
diabetes tipe 2 yang memerlukan insulin, kadang-kadang dikombinasi dengan
obat hipoglikemik oral.
Untuk pengendara yang diobati dengan insulin dan obat antidiabetik oral agar
berhati-hati. Jika terjadi hipoglikemia atau ada gejala, yang sebaiknya dilakukan
adalah:
Informasi Obat
Metformin
Dosis : Dosis penggunaan metformin berbeda- beda untuk tiap pasien. Dokter
akan menyesuaikan takaran penggunaan metformin sesuai tingkat keparahan diabetes,
riwayat kesehatan, dan reaksi tubuh pasien terhadap obat.Dosis awal untuk orang
dewasa adalah 500-850 mg yang diminum 1- 2 kali sehari. Dosis ini dapat ditingkatkan
hingga 2-3 gram/hari dengan interval waktul minggu dari dosis awal Dosis awal untuk
anak-anak di atas 10 tahun adalah 500 mg yang diminum 1-2 kali sehari. Dosis dapat
ditingkatkan secara bertahap hingga 2 gram setiap hari yang terbagi dalam 2-3 dosis
pemakaian. Interval waktu antara dosis awal dengan dosis lanjutan minimal adalah 1
minggu.
Efek samping : Mual dan muntah, Penurunan nafsu makan, Rasa logam dalam mulut.
Sakit perut, Batuk dan suara serak. Diare, Nyeri otot dan kram, Lemas dan mengantuk
Peringatan : Beri tahu dokter jika memiliki alergi terhadap obat ini, obat lain, atau
bahan tertentu. Konsultasikan pada dokter terlebih dahulu jika memiliki riwayat
gangguan pernapasan (misalnya asma), kekurangan darah, serta gangguan ginjal dan
hati Bicarakan pada dokter jika akan melakukan prosedur medis tertentu, terutama
pemeriksaab radiologi dengan menggunakan zat pewama iodin. Informasikan pada
dokter jika sedang menggunakan obat lain termasuk obat bebas, suplemen atau herbal.
Jika terjadi reaksi alergi atau overdosis segera hubungi dokter.
Amlodipine
Peringatan : Tidak ada penelitian yang memadai mengenai risiko penggunaan obat
ini pada ibu hamil atau menyusui Selalu konsultasikan kepada dokter Anda untuk
mempertimbangkan potensi manfaat dan risiko sebelum menggunakan obat ini Obat ini
termasuk ke dalam risiko kehamilan kategori C menurut US Food and Drugs
Administration (FDA).
Hidroklorottiazid (HCT)
Interaksi :Alkohol, barbiturat atau narkotik; obat-obat antidiabetik (oral dan insulin);
kolestiramin dan resin kolestipol; kortikosteroid, ACTH; glikosida digitalis; AINS;
pressor amine (seperti noradrenalin); relaksan otot skelet nondepolarizing; garam
kalsium; atropin, beperiden, siklofosfamid, metotreksat.
Kontraindikasi : Gangguan hati berat, gangguan ginjal berat (kreatinin klirens < 30
mL/menit), hipokalemia refraktori, hiperkalsemia, hamil dan menyusui (lihat lampiran
4 dan 5).
Efek Samping : Anoreksia, penurunan nafsu makan, iritasi lambung, diare, konstipasi,
sialadenitis, pankreatitis, jaundice, xanthopsia, gangguan penglihatan sementara,
leukopenia, neutropenia/ agranulositosis, thrombositopenia, anemia aplastik, anaemia
hemolitik, depresi sumsum tulang belakang, reaksi fotosensitivitas, ruam, reaksi seperti
cutaneous lupus erythematosus, reaktivasi cutaneous lupus erythematosus, urtikaria,
vaskulitis, cutaneous vasculitis, reaksi anafilaksis, keracunan epidermal nekrolisis,
demam, penekanan saluran pernafasan, gangguan ginjal, nefritis interstisial, kejang
otot, lemas, gelisah, kepala terasa ringan, vertigo, paraesthesia, hipotensi postural,
kardiak aritmia, gangguan tidur dan depresi.
Glibenclamide
Golongan : Sulfonylurea
Peringatan :Sulfonilurea dapat meningkatan berat badan dan diresepkan hanya jika
kontrol buruk dan gejala tidak hilang walaupun sudah melakukan upaya diet yang
memadai.
Simvastatin
Indikasi : Hiperkolesterolemia primer (hiperlipidemia tipe Ila) pada pasien yang tidak
cukup memberikan respons terhadap diet dan tindakan-tindakan lain yang sesuai; untuk
mengurangi insiden kejadian koroner klinis dan memperlambat progresi aterosklerosis
koroner pada pasien dengan penyakit jantung koroner dan kadar kolesterol 5,5 mmol/l
atau lebih.
Kontraindikasi : Porfiria.
Efek Samping : Ruam kulit, alopesia, anemia, pusing, depresi, parestesia, neuropati
perifer, hepatitis, sakit kuning, pankreatitis; sindrom hipersensitivitas (termasuk
angioedema) jarang dilaporkan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
2. Diabetes mellitus tipe 2 disamping kadar glukosa tinggi, juga kadar insulin tinggi
atau normal yang disebut resistensi insulin
3. Gejala klinik diabetes mellitus berupa poliuria, polidipsia, lemas, berat badan
menurun, kesemutan, gatal, mata kabur, impotensia (pada pria)
4. Pada saat melakukan PIO pada pasien, terdapat hal-hal yang harus disampaikan
seperti-menanyakan riwayat berobat pasien, kondisi tubuh pasien,riwayat alergi
pasien, pengetahuan pasien terhadap obat yang akan dikonsumsinya,tatacara
mengkonsumsi obat, efek samping obat, dan cara menyimpan dan memusnahkan
obat.
5.2 Saran
Diharapkan kepada Mahasiswa selaku praktikan dapat lebih teliti saat
melakukan pemberian informasi obat secara swamedikasi kepada pasien, dan lebih
disiplin.
DAFTAR PUSTAKA
Adam J.M.F. 2000. Klasifikasi dan kriteria diagnosis diabetes melitus yang baru. Cermin
Dunia KedokteranNo. 127.
Adib, M.2009. Cara Mudah Memahami Dan Menghindari Hipertensi, Jantung, Dan Stroke.
Yogyakarta: Dianloka
Anonim, 2006. Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Obat Bebas Terbatas. Direktorat
Bima Farmasi Komunitas Dan Klinik Direktorat Jendral Bina Kefarmasian Dan Alat
Kesehatan Depkes RI
Campbell, Neil A.dkk. 2004. Biologi Edisi Kelima Jilid 3.Erlangga .Jakarta.
Ganiswara,dkk. 1995. Farmakologi dan Terapi edisi IV. Departemen Farmakologi dan
Teraupetik FK UI. Jakarta
Herman, F. 1993. Penggunaan obat hipoglikemik oral pada penderita diabetes melitus.
Pharos Bulletin No.1.
Jones, D.B. and Gill, G.V. 1998. Insulin-Dependent Diabetes Mellitus : An Overview . In J.
Pickup and G. Williams (Eds): Textbook of Diabetes. Vol.1. second Edition.
Blackwell Science. United Kingdom.
Katzung, G. Bertram. 2002. Farmakologi : Dasar dan Klinik. Buku 2. Penerbit Salemba
Medika. Jakarta.
Kee, J.L. dan Hayes E. R. 1996. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. Alih
Bahasa : Dr. Peter Anugrah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Lopulalan, Christine Rosalina. 2008. Sekitar Tentang Diabetes Melitus. Media Artikel.
Jakarta.
Neal, M. J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Soegondo, S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Farmakoterapi pada pengendalian
glikemia diabetes melitus tipe 2. Editor Aru W. Sudoyo et al. Jilid ke-3. Edisi ke-4.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Tjokroprawiro, A. 1998. Hidup Sehat dan Bahagia Bersama Diabetes. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.