Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gastritis dan Mahasiswa


1. Definisi Gastritis
Gastritis kerap dikenal dengan penyakit maag, ialah infeksi dari mukosa lambung
akibat iritasi serta peradangan, dimana lambung bisa hadapi kehancuran oleh proses
peremasan apabila terjalin secara rutin. Kejadian ini menimbulkan radang sehingga
terbentuknya cedera yang menyebabkan inflamasi yang dikenal dengan Gastritis
( Bayti et al, 2021). Gastritis merupakan suatu peradangan pada mukosa lambung
yang dapat bersifat akut, kronik, difus atau bahkan local yang disebabkan oleh
terjadinya infeksi bacterial Helicobacter pylori ataupun makanan yang sering
dimakan dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada sawar mukosa pelindung
lambung (Wijaya dan Putri, 2013).
Gastritis adalah suatu peradangan ataupun pendarahan yang terjadi pada mukosa
lambung yang bisa bersifat akut ataupun kronik (Aspitasari dan Taharuddin 2020).
Gastritis akut yaitu inflamasi akut dari didinding lambung yang terbatas pada
mukosanya, sedangkan gastritis kronis merupakan inflamasi kronik yang terjadi
dalam waktu yang cukup lama pada permukaan lambung (Smeltzer & Bare, 2002).
Gastritis yaitu inflamasi yang terjadi pada mukosa lambung yang diakibatkan oleh
pola makan, yang ditandai dengan adanya nyeri perut.

2. Etiologi
Gatritis akut disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Adapun faktor internal, yaitu kondisi pemicu yang dapat menyebabkan pengeluaran
asam lambung yang berlebihan, sedangkan faktor eksternal yaitu disebabkan oleh
iritasi dan infeksi) (Selfiana, 2015).
1). Faktor internal : toxin, yaitu bakteri yang beredar di dalam darah seperti morbili,
difteri dan variola. Infeksi pirogen ini langsung terjadi pada dinding lambung seperti
streptococcus dan stapilococcus.
2). Faktor eksternal: makanan, yaitu diet yang salah, makan terlalu banyak, makan
terlalu cepat, makanan berbumbu yang dapat merusak mukosa lambung, seperti
rempah- rempah, alkohol, kopi dan stres. Obat obatan digitalis yaitu iodium, kortison,
analgesik, anti inflamasi, bahan alkali yang kuat (soda).
Gastritis kronis yaitu penyakit yang disebabkan oleh benigna atau maglinadari
lambung atau juga oleh bakteri Helicobacter pylori (H.pylory) (Smeltzer & Bare,
2002). Gastritis ini disebabkan oleh dua tipe yaitu:
1). Tipe A (gastritis autoimun) seperti anemia
2). Tipe B (gastritis H. Pylori): faktor diet minum minuman yang panas, pedas,
alkohol, merokok, refluk isi usus kedalam lambung. (Novianti, 2020).
3. Manifestasi klinis
Salah satu manifestasi klinis yang terjadi pada pasien gastritis adalah nyeri. Nyeri
yang dirasakan adalah nyeri ulu hati atau nyeri epigastrum (Raghavan, 2012). Radang
pada dinding lambung yang terjadi gangguan, maka mukosa akan rusak dan
menimbulkan rasa sakit atau nyeri. Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional
yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan aktual dan potensial. (Safitri dan
Nurman, 2020).
Selain nyeri di daerah ulu hati manifestasi klinis gastritis menurut (Rika dalam
Yusfar 2019) yaitu:
1) Mual
2) Muntah
3) Lemas
4) Kembung dan terasa sesak
5) Nafsu makan menurun
6) Wajah pucat
7) Suhu badan naik
8) Keluar keringat dingin
9) Pusing atau selalu bersendawa dan
10) Muntah darah pada kondisi yang lebih parah.
Manifestasi klinis yang dirasakan dari proses peradangan ini antara lain anoreksia,
rasa penuh atau tidak nyaman pada epigastrium, mual, dan muntah. (Mardalena 2017
dalam Kurdaningsih et al, 2021).

4. Pencegahan
Pola makan yang baik dan teratur merupakan salah satu cara untuk
mengendalikan gastritis. Pola makan yang baik juga dapat dijadikan sebagai tindakan
preventif untuk mencegah maag kembali kambuh. Penyembuhan gastritis
memerlukan pengaturan pola makan untuk memperlancar pencernaan. (Rahayu,
2021).
Menurut teori yang dikemukakan oleh Kurnia (2009) dalam Maharani et al
(2021), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya gastritis,
yaitu:
1) Makan dalam jumlah sedikit tetapi sering
2) Tidak minum alcohol
3) Tidak merokok
4) Tidak minum obat anti inflamasi dan
5) Melihat kondisi secara rutin.
Mahasiswa sebagai individu dari kelompok yang sangat rentan mengalami
ketidakstabilan mempertahankan kondisi tubuh akibat tanggung jawab dan juga
tuntutan kehidupan serta gaya hidup pada mahasiswa tersebut hingga mahasiswa
dapat mengalami stress yang menyebabkan terjadinya gastritis (Saraswati, 2022).
Gastritis ini biasanya diderita oleh kalangan remaja akhir terutama pada
mahasiswa. Hal ini disebabkan oleh bermacam faktor misalnya jauh dari orang tua
hingga tidak teraturnya pola makan dan juga gaya hidup serta salah satunya yaitu
meningkatnya aktivitas tugas perkuliahan sehingga mahasiswa tidak pernah sempat
mengendalikan pola makannya serta malas makan ( Ardiansyah, 2012).

B. Swamedikasi Gastritis

1. Pengertin Swamedikasi
Swamedikasi yaitu upaya pengobatan yang dilakukan oleh sendiri tanpa
menggunakan resep Dokter. (Jajuli et al, 2018). Swamedikasi menurut World Health
Organization (WHO) adalah pemilihan dan penggunaan obat modern, herbal maupun
tradisional oleh seorang individu dalam mengatasi penyakit atau gejala penyakit
(WHO,1998). Mengobati diri sendiri atau yang lebih dikenal dengan swamedikasi
berarti mengobati segala keluhan dengan obat-obatan yang dapat dibeli bebas di
apotek atau toko obat dengan inisiatif atau kesadaran diri sendiri tanpa nasehat dokter
(Muharni, 2018). Swamedikasi atau pengobatan sendiri adalah sebuah upaya
seseorang untuk mengobati diri sendiri dengan mengenali gejala atau penyakit yang
dirasakan dan memilih obat sendiri (Aswad et al., 2019). Tindakan utama yang
dilakukan seseorang untuk kembali sembuh yaitu berobat ke dokter atau melakukan
pengobatan sendiri (Efayanti et al., 2019).
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Swamedikasi
Perilaku swamedikasi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu seperti faktor
sosioekonomi, faktor gaya hidup, faktor lingkungan, dan juga faktor demografis
(Triaini et al., 2022).
1) Faktor sosioekonomi
Bersamaan dengan meningkatnya pemberdayaan warga yang berakibat pada
meningkatnya tingkatan pembelajaran sekalian terus menjadi mudahnya akses
buat mendapatkan data, hingga terus menjadi besar pula tingkatan ketertarikan
warga terhadap kesehatan. Sehingga perihal itu setelah itu menyebabkan
terbentuknya kenaikan dalam upaya buat berpartisipasi langsung terhadap
pengambilan keputusan kesehatan oleh orang tersebut.
2) Faktor gaya hidup
Kesadaran mengenai adanya akibat yang disebabkan oleh gaya hidup yang dapat
berpengaruh terhadap sebuah kesehatan, mengakibatkan beberapa orang memiliki
kepedulian lebih untuk selalu menjaga kesehatannya dibandingkan harus
mengobati ketika seseorang sedang mengalami sakit di waktu mendatang.
3) Faktor Lingkungan
Dengan adanya praktik sanitasi yang baik, pemilihan nutrisi yang benar sekaligus
lingkungan yang sehat, berdampak pada kesehatan semakin meningkatnya
kemampuan masyarakat untuk senantiasa menjaga dan mempertahankan
kesehatannya sekaligus mencegah terkena penyakit.
3. Kriteria Melakukan Swamedikasi Secara Rasional
Pemakaian obat secara rasionalsangat dibutuhkan dalam menjamin penderita
memperoleh penyembuhan yang baik dengan kebutuhan serta waktu yang tepat,
sebab mengingat obat bisa mengakibatkan toksin apabila penggunaannya tidak
sesuai( Kemenkes RI, 2011). Pemakaian obat dikatakan rasional apabila telah
memenuhi kriteria berikut:

1) Tepat Pasien
Obat diberikan cocok dengan pertimbangan kondisi penderita sehingga tidak
memunculkan kontraindikasi
2) Tepat Indikasi
Obat yang diberikan wajib cocok dengan keluhan ataupun penyakit penderita.
3) Tepat pemilihan obat
Obat yang digunakan dalam pengobatan diseleksi sehabis penaksiran benar serta
harus disesuaikan dengan keadaan penderita supaya tercapai pengobatan yang
diinginkan
4) Tepat Dosis
Dosis obat yang diberikan wajib seusai dengan konsidi penderita. Apabila salah
hal tersebut dapat menimbulkan under dose ataupun over dose pada dikala
digunakan.
5) Tepat Dalam Metode Pemberian
Pemberian data wajib jelas, misalnya antasida wajib dikunyah dahulu serta
antibiotik yang tidak boleh dicampur susu sebab hendak membentuk jalinan
sehingga hendak merendahkan efektifitasnya
6) Pas Interval Waktu Pemberian
Pemberian obat hendaknya diberikan dengan ketentuan minum yang sesederhana
bisa jadi serta instan, supaya gampang ditaati, sebab terus menjadi kerap frekuensi
minum obat hingga terus menjadi rendah tingkatan ketaatan minum obat gram.
7) Pas Lama Pemberian
Durasi pemberian obat wajib cocok dengan keluhan penyakit. Pe makaian obat
yang pendek ataupun sangat lama dari sepatutnya membagikan pengaruh terhadap
hasil pengobatan.
8) Waspada Terhadap Dampak Samping
Pemberian obat baru berpotensi buat memunculkan dampak samping yang tidak
di idamkan pada dikala pemberian dengan dosis terapi
9) Tepat Informasi
Ketepatan data serta informasi yang pas dibutuhkan guna mendukung
keberhasilan pengobatan ( Kemenkes RI, 2011).

4. Kelebihan dan Kekurangan Swamedikasi


Menurut Holt, swamedikasi memiliki kelebihan dan kekurangan. Kekurangan dan
kelebihan swamwdikasi yaitu antara lain:

1) Kelebihan
a. Aman jika digunakan sesuai petunjuk
b. Efektif untuk keluhan ringan
c. Biaya obat lebih murah, hemat waktu
d. Merasakan kepuasan tersendiri karena berperan dalam keputusan
terapi
e. Menghindari rasa malu jika harus menampakkan bagian tubuh tertentu
di hadapan tenaga kesehatan, dan
f. Mengurangi beban pelayanan kesehatan pada kondisi terbatasnya
sumber daya.
2) Kekurangan
a. Adanya bahaya jika obat tidak digunakan sesuai aturan, hal ini
tentunya akan menyebabkan pemborosan biaya dan waktu untuk
mengatasi bahaya yang ditimbulkan tadi.
b. Ada kemungkinan timbulnya reaksi yang tidak diinginkan, seperti efek
samping, resistensi dan sensitivitas.
c. Unsur subjektivitas juga menjadi dominan karena kecendrungan
pemilihan obat berdasarkan pengamalan, iklan, dan lingkungan sosial
(Holt, 1986).

5. Macam-macam Jenis Penggolongan Obat


Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui bahwa obat digolongkan
dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu obat keras, obat bebas terbatas dan obat bebas. Obat
bebas dan obat bebas terbatas dapat dibeli tanpa resep dokter di Apotek, Instalasi
Farmasi rawat jalan dari rumah sakit, dan Klinik, Toko Obat Berizin. Masyarakat
membeli obat bebas dan obat terbatas untuk mengobati dirinya sendiri (swamedikasi),
yang kadang-kadang tanpa informasi dari tenaga kefarmasian. Obat keras harus dibeli
dengan resep dokter, kecuali obat keras yang termasuk dalam Daftar Obat Wajib
Apotek (DOWA), yang dapat diserahkan oleh Apoteker tanpa resep dokter. Selama
ini masyarakat banyak yang belum mengetahui bahwa Antibiotik adalah obat keras
yang harus dibeli dengan resep dokter (Departemen Kesehatan RI, 2006.)

6.
Penelitian Relevan

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya tentang analisis swamedikasi pada


penyakit gastritis maka peneliti tertarik untuk melakukan penggalian lebih dalam
untuk mengetahui faktor-faktor pendorong dilakukannya swamedikasi pada penyakit
gastritis. Terdapat beberapa data yang relevan dalam penelitian mengenai kasus
swamedikasi pada penyakit gastritis. Adapun data relevannya yaitu:

1) Data demografi responden


Mahasiswa Farmasi yang merupakan responden adalah mahasiswa yang
pernah mengalami gejala gastritis atau pernah terdiagnosa gastritis. Jumlah
mahasiswa Farmasi sebagai mahasiswa kesehatan yang mengalami gastritis cukup
besar, hal ini sejalan dengan penelitian Novitasary et al. (2017) yang juga meneliti
kejadian gastritis mahasiswa Kesehatan Masyarakat, Halu Oleo, Kendari. Hal ini
dapat disebabkan karena pola makan, stress, kebiasaan minum kopi, dan konsumsi
OAINS (Kresnamurti et al., 2022)
Pada penelitian ini reponden berjumlah 96 orang, sebanyak 78 (81,2%)
responden berjenis kelamin perempuan dan sebanyak 18 (18,8%) responden
berjenis kelamin laki-laki dengan rentang usia berkisar antara 18-25 tahun.
Berdasarkan tahun masuk sebagai mahasiswa Farmasi maka penggolongan
angkatannya adalah pada Tabel 2.

Tabel 2. Angkatan Tahun Masuk Responden


Angkatan Jumlah (N) Presentase (%)
2017 21 21,9%
2018 22 22,9%
2019 25 26%
2020 28 29%
Jumlah 96 100%

2) Hasil tingkat pengetahuan responden tentang gastritis


Tingkat pengetahuan responden dihitung dan diklasifikasikan berdasarkan
angkatan mahasiswa responden, yang terlihat pada Tabel 3. Tampak bahwa rata-
rata pada semua angkatan menunjukkan nilai yang baik dan sangat baik, yang
berarti bahwa mahasiswa Prodi Farmasi, FK, Universitas Hang Tuah, mempunyai
tingkat pengetahuan yang relatif baik tentang gastritis yaitu definisi, penyebab,
gejala, dan pengobatan gastritis.
Tabel 3. Tingkat Pengetahuan Responden Bedasarkan Angkatan Tahun Masuk

Tingkat
Angkatan Pengetahuan Kriteria

2017 8,0 Baik


2018 7,8 Baik
2019 8,4 Sangat baik
2020 8,2 Sangat baik

3) Hasil analisis perilaku responden terhadap gastritis


Data hasil analisis setiap pertanyaan dari kuesioner perilaku responden
tersaji pada Tabel 4. Pada Tabel 4 tampak bahwa nilai mean 3,1663 menunjukkan
rata-rata responden menjawab pertanyaan dengan kategori “sering” dimana hal
tersebut menunjukkan bahwa responden mahasiswa memahami tindakan yang
dilakukan saat mengalami gejala gastritis, cara penggunaan obat gastritis, cara
menyimpan obat gastritis, dan tindakan ke dokter apabila pengobatan swamedikasi
tidak menunjukkan kesembuhan.

Tabel 4. Analisis Deskriptif Jawaban Perilaku Responden


Item
pertanyaan Minimum Maksimum Mean
1 1,00 4,00 2,9240
2 1,00 4,00 3,6007
3 1,00 4,00 3,2227
4 1,00 4,00 3,1143
5 1,00 4,00 3,5765
6 1,00 4,00 2,5863
7 1,00 4,00 2,8297
8 1,00 4,00 2,7594
9 1,00 4,00 3,6956
10 1,00 4,00 3,1323
11 1,00 4,00 3,3880
Mean = 3.1663
SD = 0.3698
4) Hasil hubungan pengetahuan responden dan perilaku swamedikasi
Pada penelitian ini, dilakukan uji Rank Spearman untuk mengetahui hubungan antara
tingkat pengetahuan dan perilaku swamedikasi. Pada penelitian ini diperoleh taraf
signifikansi sebesar 0,041 < 0,05, yang berarti bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara
pengetahuan dan perilaku. Uji Rank Spearman juga menunjukkan nilai kekuatan korelasi
sebesar 0,347, dimana kategori tersebut memiliki keeratan hubungan yang cukup (0,26-0,50).
Dengan adanya hubungan ini maka pengetahuan yang baik tentang gastrisis dan
penanganannya penting untuk dimiliki karena berpengaruh pada perilaku swamedikasi yang
benar. Mahasiswa Farmasi yang notabene mendapatkan materi perkuliahan farmakologi dan
farmakoterapi tentu dapat menunjang baiknya pengetahuan yang dimiliki. Kemampuan
mahasiswa untuk dapat melakukan penelusuran Pustaka melalui
Internet dapat pula memberi andil pada tingkat pnegetahuan yang dimiliki mengingat
responden dari penelitian ini adalah mahasiswa milenial. Penelitian selanjutnya dapat
dibandingkan dengan pengetahuan dan perilaku swamedikasi pada mahasiswa dengan
rumpun ilmu non-kesehatan.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan antara pengetahuan dan perilaku dalam melakukan swamedikasi penyakit
gastritis.

C. Keyakinan Kesehatan Berbasis HBM

1. Definisi Keyakinan Kesehatan


Keyakinan merupakan sejauh mana individu mulai merasa yakin dan percaya
bahwa mereka mampu melakukan sutau tindakan sehingga tercapainya tujuan
yang mereka diharapkan. Di sini individu menciptakan perkiraan, sejauh manakah
perilaku kesehatan yang direncanakan bisa membawanya pada tujuan atau
capaian tertentu. Self-efficacy akan berfungsi dengan efektif pada tahap inisasi
atau bahkan guna mempertahankan perilaku kesehatan yang amat kompleks
dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dalam upaya untuk mencapai
perubahan perilaku yang sukses, maka dari itu seseorang perlu merasa terancam
dengan beberapa kondisi pada pola perilakunya untuk saat ini dan mempercayai
bahwa perubahan pada perilaku yang spesifik mampu mendatangkan manfaat,
selain itu mereka juga perlu merasa percaya dan mampu untuk menghadapi juga
mengatasi beberapa hambatan yang akan muncul sehingga dapat menampilkan
suatu tindakan. (Purwodiharjo, 2020).
2. Konsep Health Belief Model.
1) Kerentanan yang dirasakan - Ini mengacu pada persepsi subjektif seseorang
tentang risiko memperoleh penyakit atau penyakit. Ada variasi yang luas
dalam perasaan seseorang akan kerentanan pribadi terhadap penyakit atau
penyakit.
Resiko atau kerentanan pribadi adalah salah satu persepsi yang lebih kuat
dalam mendorong orang untuk mengadopsi perilaku yang lebih sehat.
Semakin besar risiko yang dirasakan, semakin besar kemungkinan terlibat
dalam perilaku untuk mengurangi risiko.
2) Keparahan yang dirasakan - Ini mengacu pada perasaan seseorang pada
keseriusan tertular penyakit atau penyakit (atau meninggalkan penyakit atau
penyakit yang tidak diobati). Ada variasi yang luas dalam perasaan keparahan
seseorang, dan sering kali seseorang mempertimbangkan konsekuensi medis
(misalnya, kematian, kecacatan) dan konsekuensi sosial (misalnya, kehidupan
keluarga, hubungan sosial) ketika mengevaluasi tingkat keparahan.
Konstruksi keseriusan yang dirasakan berbicara kepada keyakinan seseorang
tentang keseriusan atau keparahan suatu penyakit. Sementara persepsi
keseriusan sering didasarkan pada informasi medis atau pengetahuan,
mungkin juga berasal dari keyakinan seseorang tentang kesulitan penyakit
akan menciptakan atau efek yang akan terjadi pada hidupnya secara umum
(McCormick Brown, 1999).
3) Kerentanan Manfaat yang dirasakan - Ini mengacu pada persepsi seseorang
tentang efektivitas berbagai tindakan yang tersedia untuk mengurangi
ancaman penyakit atau penyakit (atau untuk menyembuhkan penyakit atau
penyakit). Tindakan yang dilakukan seseorang dalam mencegah (atau
menyembuhkan) penyakit atau penyakit bergantung pada pertimbangan dan
evaluasi baik kerentanan yang dirasakan maupun manfaat yang dirasakan,
seperti bahwa orang tersebut akan menerima tindakan kesehatan yang
disarankan jika dianggap bermanfaat. Konstruksi manfaat yang dirasakan
adalah pendapat seseorang tentang nilai atau kegunaan dari perilaku baru
dalam mengurangi risiko mengembangkan penyakit. Orang cenderung
mengadopsi perilaku yang lebih sehat ketika mereka percaya perilaku baru
akan mengurangi peluang mereka mengembangkan penyakit. Apakah orang-
orang berusaha memakan lima porsi buah dan sayuran sehari jika mereka
tidak percaya itu bermanfaat? Apakah orang-orang akan berhenti merokok
jika mereka tidak percaya itu lebih baik bagi kesehatan mereka? Apakah
orang akan menggunakan tabir surya jika mereka tidak percaya itu berhasil?
Mungkin tidak. Manfaat yang dirasakan memainkan peran penting dalam
adopsi perilaku pencegahan sekunder, seperti skrining.
4) Hambatan yang Dianggap - Ini mengacu pada perasaan seseorang pada
hambatan untuk melakukan tindakan kesehatan yang direkomendasikan. Ada
variasi yang luas dalam perasaan seseorang hambatan, atau hambatan, yang
mengarah pada analisis biaya / manfaat. Orang tersebut mempertimbangkan
keefektifan tindakan terhadap persepsi bahwa itu mungkin mahal, berbahaya
(misalnya, efek samping), tidak menyenangkan (misalnya, menyakitkan),
menyita waktu, atau tidak nyaman. Karena perubahan bukanlah sesuatu yang
mudah bagi kebanyakan orang, gagasan terakhir dari HBM membahas
masalah hambatan yang dirasakan untuk berubah. Ini adalah evaluasi individu
terhadap rintangan dalam cara dia mengadopsi perilaku baru. Dari semua
konstruk, hambatan yang dirasakan adalah yang paling signifikan dalam
menentukan perubahan perilaku (Janz & Becker, 1984).
Agar perilaku baru dapat diadopsi, seseorang harus percaya manfaat dari
perilaku baru lebih besar daripada konsekuensi dari melanjutkan perilaku
lama (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, 2004). Hal ini
memungkinkan hambatan untuk diatasi dan perilaku baru yang akan diadopsi.
5) Cue to action - Ini adalah stimulus yang diperlukan untuk memicu proses
pengambilan keputusan untuk menerima tindakan kesehatan yang
direkomendasikan. Isyarat ini dapat bersifat internal (misalnya, nyeri dada,
mengi, dll.) Atau eksternal (misalnya, saran dari orang lain, penyakit anggota
keluarga, artikel surat kabar, dll.) Selain empat keyakinan atau persepsi dan
memodifikasi variabel, HBM menunjukkan bahwa perilaku juga dipengaruhi
oleh isyarat untuk bertindak. Isyarat untuk bertindak adalah peristiwa, orang,
atau hal-hal yang menggerakkan orang untuk mengubah perilaku mereka.
Contohnya termasuk penyakit anggota keluarga, laporan media (Graham,
2002).
6) Self-efficacy - Ini mengacu pada tingkat kepercayaan diri seseorang dalam
kemampuannya untuk berhasil melakukan suatu perilaku. Konstruksi ini
ditambahkan ke model yang paling baru pada pertengahan 1980. Self-efficacy
adalah konstruksi dalam banyak teori perilaku karena secara langsung
berkaitan dengan apakah seseorang melakukan perilaku yang diinginkan.
Pada tahun 1988, self-efficacy ditambahkan ke empat keyakinan asli dari
HBM (Rosenstock, Strecher, & Becker, 1988). Keyakinan pada kemampuan
seseorang untuk melakukan sesuatu (Bandura, 1977). Orang pada umumnya
tidak mencoba melakukan sesuatu yang baru kecuali mereka berpikir mereka
dapat melakukannya. Jika seseorang percaya perilaku baru itu berguna
(manfaat yang dirasakan), tetapi tidak berpikir bahwa ia mampu
melakukannya (penghalang yang dirasakan), kemungkinan itu tidak akan
dicoba. Seperti disebutkan sebelumnya, faktor yang signifikan dalam tidak
melakukan BSE adalah takut tidak dapat melakukan BSE dengan benar
(Handayani, 2017)
D. Kerangka Pemikiran

Gastritis

Berobat ke Dokter Swamedikasi Dibiarkan saja

Tingkat Pengetahuan Perilaku Swamedikasi


- Mengetahui definisi gastritis - Memperhatikan golongan obat
- Mengetahui jenis gastritist - Memperhatikan efek samping
obat
- Mengetahuipenyebab gastritis
- Memperhatikan dosis obat
- Memperhatikan kontraindikasi
obat - Memperhatikan kontraindikasi
obat
- Mengetahui cara pencegahan
gastritis - Memperhatikan tanggal
kadaluarsa obat
- Mengetahui pengobatan
gastritis
- Mengetahui gejala gastritis

Analisis Perilaku
Swamedikasi Terhadap
Penyakit Gastritis

Hasil
Keterangan :
= Bagian yang diteliti = Petunjuk bagian yang diteliti
= Bagian yang tidak diteliti = Petunjuk bagian yang tidak diteliti

Anda mungkin juga menyukai