Anda di halaman 1dari 2

Keberhasilan Dalam membangun

Link and Match


  DI negara - negara maju, hubungan antara pendidikan vokasi dan industri
sudah seperti suami-istri. Semua ini berkat keberhasilan dalam
membangun link and match antara pendidikan vokasi dengan industri dan
dunia kerja (Iduka).
Bagaimana dengan Indonesia? Bagaimana dengan kita sekarang?
Perlu diketahui, permasalahan pendidikan vokasi sejak dulu masih
berputar pada lingkaran yang sama, yaitu lulusannya kurang kompetitif dan
sulit mencari pekerjaan. Baik pada level sekolah (SMK) maupun kampus
vokasi, seperti universitas, politeknik, institut, sekolah tinggi, dan akademi.
Stereotip bahwa mereka yang masuk SMK merupakan ‘buangan’ karena
tidak diterima di SMA, mengakar kuat di masyarakat. Ada humor lama
yang nyelekit ‘masuk ke SMK itu bagus bagi anaknya orang lain’. Kita tidak
bisa menyalahkan sepenuhnya stereotip miring tersebut. Apalagi jika
melihat lulusannya saat ini banyak termarginalkan, bingung mau ke mana
setelah lulus. Padahal, tujuan mereka masuk ke sana agar cepat
mendapatkan pekerjaan. Sistem yang berjalan saat ini perlu direformasi.
Link and match dengan dunia industri perlu dikonkretkan. Sekolah dan
kampus vokasi tidak sekadar fokus menciptakan lulusan dengan
mengantongi selembar ijazah, seperti madarasah kita ini lebih dari itu
lulusannya harus memiliki kompetensi yang mampu sehingga berkelindan
dengan kebutuhan industri. Lebih jauh, kurikulum dan jurusan perlu di-
upgrade sesuai kebutuhan zaman.

Dunia sudah berubah cepat, artifi cial intelligence, big data, internet of
things, virtual reality, dan 3D printing hadir, jurusan- jurusan baru dibuka.
Seperti REKAYASA PERANGKAT LUNAK DAN MULTIMEDIA Jangan
sampai kita terperangkap hanya pada materi dan jurusan yang monoton.
Pasalnya, tantangan dan kebutuhan SDM di dunia industri semakin
meningkat. Termasuk untuk memberesi pekerjaan rumah mindset negatif
masyarakat terhadap pendidikan vokasi. Jika diselisik lebih jauh, yang
paling diuntungkan dengan lulusan pendidikan vokasi ialah Iduka. Jadi
seharusnya perusahaan berinvestasi lebih efektif, yaitu dengan ikut terlibat
mendesain kurikulum, menjadi dosen tamu dari indsutri, memberikan
beasiswa, joint research, program magang, memberikan sertifikat
kompetensi, membantu fasilitas laboratorium, hingga komitmen kuat
menyerap lulusan SMK dan kampus vokasi .Seperti kakak kita yang
sedang magang di jogjakarta yang termasuk program magang
Siswa vokasi di Jerman memiliki jam belajar di sekolah satu sampai dua
hari dan di perusahaan tiga sampai empat hari per minggu, selama masa
sekolah. Siswa mendapatkan hak gaji dan cuti selama proses belajar
tersebut. Alhasil, setelah lulus, kita tidak harus menduplikat secara penuh
apa yang ada di negara lain karena setiap negara memiliki budaya,
permasalahan, hingga kearifan lokal masing-masing. Namun, satu hal yang
perlu kita catat bahwa link and match antara pendidikan vokasi dan industri
mutlak dibutuhkan.

Anda mungkin juga menyukai