Anda di halaman 1dari 6

Mengkritik Pendidikan DKV di Indonesia

AWAL PENDIDIKAN DKV

Diawali dengan Jurusan Reklame, Dekorasi dan Ilustrasi Grafik (REDIG) pada 15 Januari 1950
dengan berdirinya Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Pada tahun 1969
bersamaan dengan berubahnya ASRI menjadi Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI)
ASRI Jurusan REDIG dipecah menjadi Jurusan Seni Reklame, Jurusan Seni Dekorasi dan
Jurusan Seni Grafis. Pada tahun 1972 STSRI ASRI menyelenggarakan ujian S-1 yang pertama
kali untuk para BA Seni Reklame. Nama Jurusan Seni Reklame dipakai sampai tahun 1982. Pada
tahun 1983 Jurusan Seni Reklame berubah menjadi Jurusan Disain Komunikasi. Pada tahun
1984 bersamaan dengan perubahan STSRI ASRI menjadi Institut Seni Indonesia (ISI)
Yogyakarta melalui fusi dengan Akademi Musik Indonesia (AMI) dan Akademi Seni Tari
Indonesia (ASTI), Jurusan Disain Komunikasi berubah menjadi Program Studi Disain
Komunikasi Visual hingga saat ini.

Tahun 1967 dirintis Studio Grafis Jurusan Seni Rupa di FTSP ITB. Pada tahun 1973 dipecah
menjadi Studio Seni Grafis dan Desain Grafis. Tahun 1984 Studio Desain Grafis berdiri sendiri.
Pada tahun 1994 Studio Desain Grafis berubah menjadi Studio DKV di bawah Jurusan dan pada
tahun 1997 menjadi Program Studi DKV di bawah Departemen Desain. Tahun 2006 menjadi
Program Studi DKV setingkat Jurusan di bawah fakultas.

Pendidikan Tinggi DKV berdiri di IKJ pada tahun 1977, DKV Universitas TRISAKTI tahun
1979, DKV UNS tahun 1981, DKV Universitas UDAYANA (UNUD) tahun 1981 (FSRD
UNUD akhirnya menjadi ISI Denpasar setelah fusi dengan STSI Denpasar).

ERA 1990 HINGGA 2000-AN

Tahun 1990 ditandai dengan berdirinya DKV di STISI Bandung dan kemudian diikuti oleh UPH
pada tahun 1994. Hingga sekarang, sekitar 70-an pendidikan tinggi DKV telah dan segera berdiri
di Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Salatiga, Solo,
Malang, Surabaya, Bali, Makassar, dan menyusul di beberapa kota lainnya. Saat ini beberapa
universitas negeri eks-IKIP bahkan eks-IAIN telah dan berencana membuka jurusan/program
studi DKV terutama yang mempunyai jurusan Seni Rupa.

Pertumbuhan pendidikan DKV tersebut tidak lepas dari perkembangan teknologi dan media
informasi maupun gaya hidup. Hampir semua sektor seperti konsumsi, hiburan, media,
infrastuktur, properti, keuangan, pendidikan dan sebagainya membutuhkan sentuhan desainer
komunikasi visual. Fenomena ini yang membuka peluang tumbuhnya profesi-profesi baru terkait
dengan DKV yang pada akhirnya meningkatkan permintaan akan jasa pendidikan DKV.

Jika dulu seseorang mempunyai cita-cita keren dengan menjadi dokter, insinyur, dan pilot namun
sekarang di era ekonomi kreatif profesi-profesi di bidang kreatif mulai menjadi pilihan utama.
Menjadi musisi, penulis, DJ, film maker, animator dan desainer komunikasi visual menjadi salah
satu pilihan profesi favorit saat ini di samping banyak profesi di bidang kreatif lainnya.

JENJANG PENDIDIKAN TINGGI DKV

Masalah lain yaitu rancunya jenjang pendidikan DKV: mengaku S1 namun tidak punya
kemampuan akademik; hanya jago mengoperasikan komputer. Orang bilang, thinking-nya
nggak ada! Nggak konseptual! Padahal dalam sistem pendidikan nasional sudah jelas ada
pendidikan professional stream dan academic stream (meminjam istilah pak A.D. Pirous) atau
istilah mudahnya pendidikan berbasis industri dan pendidikan berbasis wacana.

Penyelenggara pendidikan tinggi DKV dalam memasarkan produknya menjanjikan lulusan


sarjana S-1 yang siap pakai di industri. Akibatnya, kurikulum akhirnya dikemas bak politeknik
yang lebih mementingkan skill bukan kemampuan akademik semata. Dampak lainnya, tingkat
riset yang bermutu di jurusan DKV sangat rendah dikarenakan dosen-dosennya juga banyak
yang berasal dari produk kurikulum salah kaprah tersebut, sehingga kemampuan risetnya sangat
rendah.

Padahal, dalam sistem pendidikan nasional jelas-jelas sudah ada wadahnya bagi PT DKV yang
ingin menciptakan lulusannya seorang sarjana profesional, yaitu melalui program D-4 dengan
gelar Sarjana Sains Terapan (SST). Alangkah bijaknya jika PT DKV membuka dua jalur
program yaitu S-1 untuk yang beminat di bidang akademik dan program D-4 untuk yang ingin
menjadi profesional di bidang DKV. Bagi lulusan S-1, silahkan melanjutkan ke S-2 dan S-3,
sementara bagi lulusan D-4 dapat mengambil sertifikasi-sertifikasi profesional baik nasional
maupun internasional.

Bagi para penyusun kurikulum juga akan lebih mudah dalam membuat kurikulum pendidikannya
sehinga tujuannya dapat dicapai. Tidak seperti yang banyak terjadi mahasiwa ditekan agar
menjadi sarjana profesional sekaligus konseptual dalam waktu 8 semester yang cukup pendek.
Diperlukan suatu keberanian dari penyelengara pendidikan tinggi DKV untuk secara jujur
menyatakan jenjang pendidikannya D-4 atau S-1. Bukan hanya sebagai kemasan dalam strategi
pemasaran yang menjurus pada penciptaan kebohongan publik.

MAHASISWA DKV

Pokoknya kerenlah!, ujar seorang anak muda yang menganggap pilihan kuliahnya di DKV
merupakan bagian dari gaya hidup kontemporer.

Namun, besarnya animo kuliah DKV seringkali tidak dibarengi dengan effort dalam berkarya.
Hal ini dapat dirasakan makin sulitnya mengajar mahasiswa DKV jika dibandingkan 10 tahun
yang lalu.
Mahasiswa DKV generasi sekarang sering mengabaikan proses dalam berkarya, inginnya serba
instan. Inginnya langsung menjadi desainer yang sakti mandraguna, kaya dan terkenal tanpa mau
bersusah payah. Di lorong-lorong kampus sering ditemui mahasiswa menenteng-nenteng
notebook canggih MacBook Pro terbaru, namun bukan untuk menyelesaikan tugas hanya cukup
puas untuk mengelola Facebook. Keadaan ini dimungkinkan terjadi karena makin sejahteranya
para mahasiswa DKV.

Biaya kuliah dan overhead yang harus ditanggung untuk menyelesaikan kuliah DKV cukup
tinggi sehingga otomatis yang mampu berkuliah juga mempunyai tingkat ekonomi cukup baik.
Sehingga, seringkali daya beli lebih menjadi pertimbangan penting bagi pemilik pendidikan
tinggi dalam menerima mahasiswa bukan karena kemampuannya. Kalaupun pendidikan tinggi
menyediakan beasiswa bagi mahasiswa tidak mampu yang berprestasi jumlahnya pun tidak
signifikan. Memang tidak semua mahasiswa berperilaku buruk namun dirasakan semakin hari
semakin meningkat jumlahnya. Selamat bekerja keras para dosen! Dibutuhkan effort yang luar
biasa bagi dosen dalam menjalankan tugasnya, juga bagi mahasiswa agar dapat menyelesaikan
kuliah DKV. Bagaimana tidak? Bagi mahasiswa tidur menjadi barang yang mewah karena harus
begadang untuk menyelesaikan tugas-tugas yang tak kunjung henti.

Semakin berkembangnya pendidikan tinggi DKV secara kuantitas juga membuat persaingan
antar mahasiswa maupun lulusan DKV semakin keras. Tiap tahun ribuan mahasiswa DKV
mencari tempat untuk kerja praktek dan harus bersaing dengan sengitnya mengingat keterbatasan
tempat yang tersedia di industri terkait. Demikian juga lulusan DKV harus berjuang lebih keras
untuk mendapatkan kesempatan kerja. Waktu tunggu dalam mendapatkan pekerjaan juga
semakin panjang.

Di sisi lain mahasiswa sering kali tidak mendapatkan pelayanan yang baik dalam fasilitas
pembelajaran di kampus yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan dalam promosinya, kurikulum
yang seringkali lebih bagus tertulis daripada implementasinya, dosen-dosen dengan kompetensi
yang rendah karena kurang gaul. Dalam menghadapi kenyataan seperti itu seringkali
mahasiswa hilang daya kritisnya hanya menerima saja tanpa menuntut hak yang sewajarnya
harus diterimanya. Bermacam sanksi akan diterima mahasiswa jika tidak menuntaskan
kewajibannya terhadap kampus mulai dari pembatasan SKS yang diambil, tidak boleh ikut
kuliah dan sebagainya, sementara hak-hak mahasiswa seringkali diabaikan oleh penyelenggara
pendidikan. Penyelenggara pendidikan selalu menyatakan diri sebagai lembaga nirlaba, jadi
seolah-olah hubungannya dengan mahasiswa bukanlah hubungan antara penjual jasa dan
konsumen.

Dengan demikian posisi penyelenggara pendidikan ditempatkan secara lebih kuat dibandingkan
dengan posisi mahasiswa. Apakah betul penyelenggara pendidikan di jaman sekarang masih
murni berpikir seperti Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya? Sebagian kecil iya,
sebagian besar tidak. Bagaimana tidak? Mengambil formulir pendaftaran yang seharusnya gratis
harus ditebus dengan uang ratusan ribu rupiah! Dengan dalih untuk menyeleksi minat calon
mahasiswa agar tidak sembarang orang mendaftar, jika hanya sekedar mengganti ongkos cetak
tentunya tidak semahal itu. Bukankah katanya pendidikan untuk semua orang?
Pendidikan merupakan industri yang luar biasa besar karena tidak mengenal krisis ekonomi dan
pendidikan merupakan kebutuhan primer setelah makan. Jadi hubungan penyelenggara
pendidikan dengan mahasiswa merupakan hubungan antara penjual jasa dan konsumennya. Jadi
ketika penjual jasa pendidikan lalai memenuhi kewajibannya tuntutlah mereka di pengadilan. UU
Perlindungan Konsumen memberikan jaminan.

PENYELENGGARA PENDIDIKAN DKV

Bagi para penyelenggara pendidikan tinggi baik negeri maupun swasta, tingginya demand
terhadap DKV merupakan potensi untuk mendapatkan keuntungan. Tentunya penyelenggara
pendidikan membuka pendidikan DKV dengan perhitungan yang matang. Bohong besar jika
membuka jurusan DKV tidak ada motivasi untuk mendapatkan keuntungan, bagaimana mungkin
membiayai infrastruktur dan operasional yang cukup besar. Namun dengan makin banyaknya
Perguruan Tinggi (PT) DKV akan semakin tinggi pula kompetisi dalam menjaring mahasiswa.
Mekanisme pasarlah yang akan menyeleksi sehingga perguruan tinggi terbaiklah yang akan
bertahan. Beberapa PT DKV terbaik setiap tahun menerima lamaran dari ribuan calon
mahasiswa. Dari formulir yang dijual Rp 200 ribu Rp 800 ribu saja PT tersebut dapat meraup
ratusan juta hingga milyaran rupiah. Belum lagi dari uang pangkal, uang gedung, uang SKS,
uang daftar ulang maupun sumbangan ini itu. Tidak heran semakin lama yang dapat menikmati
pendidikan tinggi DKV hanya kaum berpunya. Hanya sebagian kecil mahasiswa berprestasi yang
tidak mampu, mendapatkan fasilitas beasiswa. Namun mereka juga dijadikan obyek iklan
pencitraan tanggung jawab sosial oleh para penyelenggara pendidikan sebagai selubung naluri
kapitalisnya.

Ketika demand pendidikan DKV pada suatu PT DKV sangat tinggi, maka kelas paralel yang
dibukapun semakin banyak, karena keuntungan yang diperoleh akan menjadi berlipat ganda.
Seringkali PT DKV memaksakan diri dengan menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya
meskipun infrastruktur pendidikan maupun rasio dosen-mahasiswa tidak menunjang. Dengan
menerima mahasiswa yang sebanyak-banyaknya berarti melonggarkan parameter kriteria
mahasiswa yang diterima. Laris manis!

Kegiatan marketing dilakukan dengan sangat agresif dan seringkali menafikan substansi dari
pendidikan itu sendiri. Pendidikan menjadi komoditas ekonomi, sehingga marketing menjadi
panglima dan para operator (struktural di jurusan/program studi/dosen) menjadi subyek
penderita. Aneh subyek kok penderita? Demikian lihainya penyelenggara pendidikan mengemas
kegiatannya sebagai bentuk kegiatan nirlaba namun perilakunya bak kapitalis sejati. Ironis.

UU BHP yang baru saja disahkan menuntut semua satuan pendidikan baik negeri maupun swasta
menjadi Badan Hukum Pendidikan paling lambat dalam 6 tahun ke depan. Di dalam salah satu
pasal UU BHP tercantum bahwa Badan Hukum Pendidikan diperkenankan mempunyai investasi
dalam bentuk portofolio dan diperkenankan mendirikan badan usaha berbadan hukum. Secara
tersurat dalam UU ini jelas membuka peluang bagi BHP untuk berperilaku sebagai kapitalis
meskipun tujuan yang diharapkan sangat mulia yaitu untuk membiayai pendidikan. Semoga saja
tidak menjadi kedok semata karena bukan tidak mungkin dengan metode money laundring
yang canggih dapat disalahgunakan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Bukan tidak
mungkin UU BHP ini akan memunculkan konglomerasi pendidikan. Tidak heran UU BHP ini
menuai pro dan kontra yang berkepanjangan. Mencoba berpikir positif semoga UU BHP benar-
benar mampu mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat banyak.

DOSEN DKV

Bagaimana nasib para dosen DKV sebagai ujung tombak dari pendidikan? Apakah menjadi lebih
sejahtera, lebih makmur dengan booming pendidikan DKV? Memang kebahagiaan tidak dapat
hanya diukur dari kesejahteraan dan kemakmuran. Bahagia itu soal hati yang personal sifatnya,
maka orang sejahtera dan orang yang makmur belum tentu orang yang berbahagia. Sebagian dari
dosen menyatakan bahwa pilihan profesinya diambil karena senang mengajar bukan semata-mata
mencari uang. Mungkin juga ada yang berpikir di dalam hati menjadi dosen karena profesi yang
aman meskipun penghasilannya tidak banyak namun tidak terkena imbas krisis secara langsung.
Daripada menanggung resiko bekerja di industri DKV yang masih labil dengan pengalaman
menyakitkan ditindas klien, persaingan yang semakin keras karena harus bersaing dengan
mahasiswa freelance dan sebagainya. Menjadi dosen dan alasannya merupakan suatu pilihan
bebas dan personal.

Pada kenyataannya penghargaan material kepada dosen masih memprihatinkan. Masih banyak
dosen DKV yang dibayar terlalu murah hanya belasan ribu per SKS plus tunjangan transpor yang
sekedarnya, sehingga tidak mampu membeli buku dari gajinya sebagai dosen! Lebih celaka lagi
kalau mengajar menjadi satu-satunya profesi. Mungkin dengan adanya UU Guru dan Dosen yang
dampaknya semoga sudah dirasakan oleh para dosen PTN dengan menjadi lebih sejahtera. Untuk
dosen PTS semoga bisa bersabar menantikan kehadiran kesejahteraan yang biasanya disertai
berbagai persyaratan culas yang membuat perut mulas.

Mungkin diperlukan suatu asosiasi dosen DKV untuk memberdayakan profesi dosen sehingga
mempunyai posisi tawar yang baik terhadap penyelenggara pendidikan, pemerintah dan
pemangku kepentingan lainnya. Jika para buruh saja mampu berasosiasi, mengapa para dosen
DKV tidak? Asosiasi akan berguna sebagai medium aspirasi para dosen DKV baik internal
sebagai wadah capacity building maupun eksternal sebagai payung sekaligus senjata dalam
memperjuangkan kepentingan dosen DKV secara politis. Ayo para dosen DKV bersatu dalam
asosiasi!

INDUSTRI DKV

Masalah lainnya yaitu belum berdayanya industri DKV dengan masih merajalelanya free
pitching, pitching fiktif, pitching massal dan sebagainya. Hal tersebut salah satunya disebabkan
belum kuatnya asosiasi profesi terkait dengan DKV dalam memperjuangkan kepentingannya.
Asosiasi masih enggan untuk melakukan aktivitas politis untuk memperkuat kedudukannya
dengan melakukan lobi lintas asosiasi, pemerintah maupun parlemen. Tanpa melakukan itu
mustahil asosiasi dapat mencapai tujuannya dan hanya menjadi wahana gathering bagi pengurus
dan anggotanya. Kita dapat melihat betapa kuatnya kedudukan asosiasi-asosiasi profesi lainnya
di hadapan pemerintah.

ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia) sebagai salah satu asosiasi rujukan dalam profesi
terkait DKV sampai saat ini masih belum selesai berkonsolidasi secara internal. Jangankan untuk
beraktivitas secara politis. ADGI masih harus menyelesaikan PR dengan membuat standar
perilaku usaha dan etika profesi yang harus disepakati semua pemangku kepentingan. Mungkin
juga membuat standar pricing maupun standar salary berdasarkan survei sebagai acuan.
Menyelesaikan masalah sertifikasi profesi desainer grafis yang masih dalam proses penggodogan
dengan departemen terkait. Sertifikasi ini menjadi penting sehubungan dengan sifat terbukanya
profesi desainer grafis. Seorang desainer grafis dapat dilatarbelakangi pendidikan desain namun
banyak juga dengan latar belakang pendidikan berbeda bahkan otodidak. Kondisi ini juga perlu
mendapat perhatian dari dunia pendidikan tinggi DKV. Pendidikan Tinggi DKV dapat berperan
dalam memberikan sumbangan pemikiran kepada industri terkait jangan hanya semata-mata
mengelontor industri dengan produk lulusan secara kuantitas tapi mengabaikan kualitas. Masih
panjang perjalanan ADGI sebagai salah satu asosiasi profesi dalam memperjuangkan
pemberdayaan profesi desainer komunikasi visual.

PENUTUP

Meskipun ditinjau dari sejarahnya pendidikan DKV telah dirintis sejak 59 tahun yang lalu namun
masih banyak membutuhkan penyempurnaan-penyempurnaan yang harus terus dilakukan agar
dapat beradaptasi dengan kemajuan jaman. Perkembangan teknologi dan media informasi telah
membawa harapan bagi DKV baik sebagai disiplin keilmuan maupun disiplin praktis untuk dapat
berkontribusi secara lebih luas pada peradaban manusia.

Potensi sumber daya manusia kreatif Indonesia juga membawa harapan bagi tumbuhnya kreator-
kreator di bidang kreatif yang berdaya saing tinggi di era globalisasi. Selain sumber daya
manusia kreatif yang melimpah, budaya dan warisan budaya Indonesia dapat menjadi sumber
inspirasi yang tiada habisnya dalam berkarya. Kemajuan DKV menjadi tanggung jawab semua
pemangku kepentingan yang terlibat. Sinergi semua pemangku kepentingan akan membawa
DKV lebih bermartabat.

Anda mungkin juga menyukai