Anda di halaman 1dari 8

1.

Khusus mengenai pertikaian etnis antara Dayak dan Madura, Sudagung (2001:117-119)
dalam bukunya

Mengurai Pertikaian Etnis di Kalimantan Barat menyoroti pertikaian itu seebagai pertikaian budaya.
Sifat

Etnis Madura digambarkan sebagai berikut : Pertama, manusia yang ulet dan jerja keras, sebagai
akibat

Kesulitan hidup didaerah asal dan dorongan yang kuat untuk memperbaiki nasib. Kedua, Solidaritas
yang kuat

Antara sesama etnis Madura merupakan tradisi yang dibawa dari tempat asal, yaitu system tanean
lanjang

(mengelompoik) dan didukung oleh tingkat pendidikan yang rendah. Ketiga, budaya corak, yaitu
perkelahian

Dengan menggunakan senjata tajam yang terjadi secara perorangan atau kelompok. Keadaan ini
tersirat

Dengan adanya ungkapan “ango’an potea, tolong e tebang pote mate” artinya dari pada putih tulang
lebih

Baik berputih mata, yaitu lebih baik dari pada menanggung malu. Dengan demikian dalam budaya
carok

Terdapat sifat agretivitas dari etnis Madura. Salah satu factor utama yang membedakan antara etnis
Madura

Dan Dayak

Menurut Sinagung (2001 : 139), adalah keterikatan suku dayak atas hukum dan adat kebiasaan
sehingga

Terhindar dari perbuatan yang sewenag-wenang dan diskriminasi yang lebih kasar. Dari sisi
pendekatan

Wacana yang berkembang dalam masyarakat mengenai pertikaian etnis di Kalimantan Barat,
ditemukan

Berbagai factor penyebab terjadinya pertikaian etnis tersebut. Syarif Ibrahim Al Qadri, sosiolog dan
Guru

Besar pada FISIP Unair (D&R, XXVIL/ 18 January 1997) mengemukakan bahwa hutan bukan hanya
memiliki

Fungsi ekonomis tetapi juga memiliki makna cultural maupun ritual. Oleh karena itu, masyarakat
Dayak

Sangat prihatin dan terpukul ketika hutan dikapling oleh penguasa HPH yang menyebabkan akses
kehutan

Menjadi terbatas. Keterhimpitan ruang gerak, terganggunya system mata pencariuan dan system
ritual,
Menyebabkan warga Madura sebagai sasaran terdekat yang dianggap telah mengganggu system
kehidupan

Masyarakat Dayak. Nasikun, sosiolog Dari Universitas Gajah Mada (Adil, no 15 thn ke-65, 15-21
January 1997)

Menarik persialan pertikaian etnis Dayak-Madura dari masa orde baru. Pada waktu itu terjadi
pembersihan

Birokrasi dari unsure-unsur yang dítuduh “kiri” yang kebetulan kebanyakan terdiri dari otrang-orang
dayak.

Proses Marginalisasi politik ini kemudian didikuti oleh peminggiran di bidang ekonomi dengan
datangnya

Orang-orang Melayu dan Madura. Dengan kata lain, orang-orang Dayak pribumi itu merasa
tersingkir dalam

Proses transfornmasi ekonomi – Politik Orde Baru yang diperankan oleh negaradan kekuatan bisnis,
baik

Nasional maupun internasional. Penggusuran terhadap orang madura, karena mereka merupakan

Representasi yang paling dekat dan kongrit dari kekuatan eksternal yang meminggirkan posisi orang
Dayak.

Lukman Sutrisno, sosiolog dari pusat penelitian pembangunan pedesaan dan kawasan (Warta
pedesaan

No.07 Thn XVI, Juli 1999) menyoroti pertikaian etnis tersebut dari sisi perbedaan budaya. Bagi orang
Madura,

Membawa clurit adalah hal yang biasa, karena di Madura apabila orang tidak membawa clurit maka
ia akan

Dianggap sombong karena menganggap dirinya kebal. Sementara orang dayak itu melihat bahwa
pamali

Apabila orang menenteng senjata tajam dimuka umum. Tingkah laku sebagian orang Madura
dianggap kasar

Oleh suku dayak dan suku melayu di Kalbar, bahkan tanpa alasan yang serius suka menusuk dalam
setiap

Percekcokkan. Dalam kejadian seperti ini, aparat negara sering lamban mengambil tindakan tegas
terhadap

Pelakunya, bahkan aparat negara terkesan memihak kepada warga pendatang, sehingga mendorong
orang

Dayak untuk menghakimi sendiri pelaku tindak kriminal itu.

Beberapa persoalan konflik etnis yang ditemukan berdasarkan pendekatan wacana adalah

Pertama, peran negara secara terselubung telah menciptakan kekerasan (Political vilolence) dengan

Memarginalisasikan orang Dayak untuk mempertahankan aliansinya dengan pelaku-pelaku bisnis


(konglomerat) yang telah mengeksploitasi sumber daya hutan di Kalimantan Barat.

Kedua, eksploitasi sumber daya hutan oleh pengusaha HPH yang telah mengganggu hak-hak adat,
system

Mata pencarian dan system ritual warga masyarakat Dayak tergolong dalam kekerasan budaya
(cultursl

Violence) yang mendorong timbulnya kemiskinan dan kerusakan lingkungan.

Ketiga, persoalan hukum akibat pertikaian, menggunakan dasar untuk digunakannya hukum adat
yang hidup

Dalam masyarakat Dayak, sebagai solusi dalam penyelesaian pertikaian tersebut.

Keempat, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat dayak merupakan refleksivitas atas
perlakuan

Terhadap warga Dayak sebagai obyek pembangunan

Dan melakukan perlawanan, sebagai tindakan rasional untuk meraih posisi sebagai pelaku
pembangunan di

Daerahnya sendiri.

Adapun upaya yang harus dilakukan untuk meminimalkan sentimen primordial tersebut adalah
Proses

Integrasi dan hukum adat

Integrasi bagi masyarakat Dayak dipahami sebagai : pertama, integrasi budaya, dimana budaya
Dayak yang

Dominan dalam proses integrasi tersebut. Kondisi ini dimaksudkan sebagai wujud untuk
mengedepankan

Identitas Dayak ; kedua, perjuangan untuk melawan ketidakadilan dan kesejahteraan warga
masyarakat

Dayak, yang merupakan refleksivitas warga masyarakat untuk memperbesar peranan sebagai pelaku
dalam

Proses pembangunan. Dalam proses peradaban di Kalimantan Tengah, peristiwa sejarah Rapat
Damai

Tumbang Anoi di sebuah rumah Betang (long house), merupakan tonggak peradaban baru dan
kebangkitan

Masyarakat Dayak. Peristiwa ini disamping telah berhasil menghentikan hahunu (saling membunuh),
h

, hakayau

(saling potong kepala), hajipen (saling memperbudak), sekaligus pula diberlakukannya hukum adat
sebagai

Alat untuk mengatur hubungan antar warga masyarakat.


2. Teori religi yang terpenting dalam banyak religi di dunia yang diungkap oleh Preusz adalah
serangkaian

Ritus dan upacara yang paling penting dalam banyak religi di dunia adalah ritus kematian, dalam
ritus

Ritus kematian inti pokok upacara itu lebih banyak melambangkan proses perpisahan antara yang

Meninggal dengan yang masih hidup. Ritus kematian disadari oleh banyak orang sebagai orientasi

Religi di unia adalah konsep mengenai hidup dan kematian. Ritus kematian adalah sumber gambaran

Manusia tentang hidup dan ritus kematian yang sebenarnya diciptakan sendiri oleh manusia.

Teori PreusZ adalah teori mengenai azas-azas religi. PreusSz menguraikan konsep pertama yaitu
konsep yang

..

Bahwa mengangap religi yang tertua berupa tindakan man

Mengadakan keperluan

Manusia untuk :

Keperluan

Hidupnya yang tak dapat dicapainya secara naluri atau dengan akalnya. Konsepsi Preusz yang kedua
adalah

Pusat dari sistem religi dan kepercayaan didunia adalah ritus dan upacara dan memulai kekuatan
kekuatan

Yang diangapnya berperan dalam tindakan gaib seperti itu manusia mengira dapat memenuhi
kebutuhan

Kebutuhannya serta mencapai tujuan hidupnya.

Contoh implementasi nyata praktik religi tersebut pada salah satu kelompok etnik di Indonesia
adalah proses

Upacara kematian di Bali Ngaben merupakan upacara pembakaran jenazah yang dilakukan oleh
masyarakat

Hindu Bali untuk mengantarkan kepergian jenazah selama-lamanya. Upacara ini dimaksudkan
sebagai

Prosesi penyucian roh anggota keluarga yang telah meninggal sehingga dapat menuju ke tempat
alam

Selanjutnya dengan kondisi bersih.

Makna kata Ngaben dalam Bahasa Bali adalah bekal atau abu yang tujuannya mengarah tentang
pelepasan
Terakhir kehidupan manusia. Dalam kepercayaan Hindu, setiap jiwa yang mati akan kembali kepada
Dewa

Brahma yang juga dikenal sebagai Dewa Api. Api yang membakar jenazah saat prosesi upacara
Ngaben

Dipercaya sebagai perwujudan Dewa Brahma yang membakar semua kotoran dari jasad atau roh
yang telah

Meninggal. Dalam pelaksanaannya, upacara Ngaben yang merupakan upacara kematian justru jauh
dari

Kesan kesedihan dan duka cita yang mendalam. Upacara Ngaben digelar sangat megah dengan iring-
iringan

Ratusan orang dan hiasan yang sangat mewah

3. Sistem sosial patriarki menjadikan laki-laki memiliki hak istimewa terhadap perempuan.
Dominasi mereka

Tidak hanya mencakup ranah personal saja, melainkan juga dalam ranah yang lebih luas seperti
partisipasi

Sh personal, budaya e patriarki adalah

Politik, pendidikan, ekonomi, sosial, hukum dan lain-lain. Dalam ranah

Akar munculnya berbagai kekerasan yang dialamatkan oleh laki-laki kepada perempuan. Atas dasar
“hak

Istimewa” yang dimiliki laki-laki, mereka juga merasa memiliki hak untuk mengeksploitasi tubuh
perempuan

Dewasa ini pada umumnya perempuan telah diberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh

Pendidikan bersama-sama dengan laki-laki. Hal ini kita lihat dalam perkembangan pendidikan

Nasional yang jumlah siswa laki-laki dan perempuannya telah berimbang. Hal ini menunjukkan

Bagaimana pendidikan nasional di Indonesia telah menembus hambatan-hambatan diskriminasi


seks.

Kesempatan

An yang sama untuk meraih ilmu pengetahuan bagi pria dan wanita telah dijamin melalui

Undang-undang hak asasi manusia dan berbagai peraturan lainnya.

Contoh ketidakadilan gender yang masih terjadi dalam sistem pendidikan pada salah satu kelompok

Etnik di Indonesia adalah terdapat sejumlah nilai budaya tradisional yang meletakkan tugas utama

Perempuan di area domestik, seringkali anak perempuan agak terhambat untuk memperoleh

Kesempatan yang luas untuk menjalani pendidikan formal yang lebih tinggi hal ini yang dikaitkan
dengan
Pria kelak apabila sudah dewasa dan berumah tangga, yaitu harus menjadi kepala rumah

Tangga dan percari nafkah .Hal ini merupakan yang paling sering terjadi di masyarakat Indonesia
pada

Umumnya walaupun dalam segi agama Islam membenarkan bahwa laki-laki (kepala keluarga)

Berperansebagai pencari nafkah.

4. Arti penting kearifan lokal pada kelompok etnik di Indonesia merupakan kecerdasan
manusia yang dimiliki

Oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Artinya, kearifan lokal
adalah

Hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh
masyarakat yang

Lain. Nilai-nilai tersebut melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui

Perjalanan yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut dalam hal menjaga kelestarian

Lingkungan hidup, sebenarnya sejak zaman dahulu nenek moyang kita telah melakukan pelestarian

Lingkungan dan diturunkan sampai sekarang dari generasi ke generasi. Sejak dahulu, nenek moyang
kita

Telah menurunkan pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau
etika

Yang ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah yang biasanya diturunkan
dari

Generasi ke ke generasi. Jadi, kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan
suku

Yang berbeda. Kearifan lokal ini sudah diuji selama ratusan tahun oleh berbagai bencana dan
kendala serta

Keteledoran manusia beradaptasi dengan lingkungan, masyarakat memperoleh dan

Mengembangkan suatu kearifan vang bernwujud pengetahuan atau ide, norma adat, nilai budaya,
aktivitas,

Dan peralatan sebagai hasil abstraksi mengelola lingkungan. Seringkali pengetahuan mereka tentang

Lingkungan setempat dijadikan pedoman yang akurat dalam mengembangkan kehidupan di


lingkungan

Pemukimannya.

Berikut 3 contoh kearifan lokal yang berhubunganpada pelestarian lingkungan. Sertakan pula tujuan

Dilakukannya kearifan lokal tersebut!

I. Pranoto Mongso

Pranoto mongso atau aturan waktu musim digunakan oleh para tani pedesaan di daerah jawa yang
Didasarkan pada naluri dari leluhur dan dipakai sebagai patokan untuk mengolah pertanian.
Berkaitan

Dengan kearifan tradisional maka pranoto mongso ini memberikan arahan kepada petani untuk

Bercocok tanam mengikuti tanda-tanda alam dalam mongso yang bersangkutan, tidak
memanfaatkan

Lahan seenaknya sendiri meskipun sarana prasarana mendukung seperti misalnya air dan saluran

Irigasinya. Melalui perhitungan pranoto mongso maka alam dapat menjaga keseimbangannya.

Dengan adanya pemanasan global sekarang ini yang juga mempengaruhi pergeseran musim hujan,

Tentunya akan mempengaruhi masa-masa tanam petani.

Tujuan dilakukannya pranoto mongso ini agar menjadi arahan petani dalam mempersiapkan diri
untuk

Mulai bercocok tanam. Berkaitan dengan tantangan maka pemanasan global juga menjadi tantangan

Petani dalam melaksanakan pranoto mongso sebagai suatu kearifan lokal di Jawa.

II.Adat Karampuang

Komunitas adat Karampuang dalam mengelola hutan mempunyai cara tersendiri dan menjadi bagian

Dari sistem budaya mereka. Hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan alam dirinya

Sehingga untuk menjaga keseimbangan ekosistem di dalamnya terdapat aturan-aturan atau norma

Norma tersendiri yang harus dipatuhi oleh semua warga masyarakat. Komunitas Karampuang masih

Sangat terikat dan patuh terhadap aturan-aturan adatnya, yang penuh dengan kepercayaan,

Pengetahuan dan pandangan kosmologi, berkaitan dengan pengelolaan dan pemeliharaan


lingkungan.

Tujuannya Agar hutan tersebut tetap terjaga, maka Dewan Adat Karampuang sebagai simbol
penguasa

Tradisional, sepakat untuk mengelola hutan adat yang ada dengan menggunakan pengetahuan yang

Bersumber dari kearifan lokal yang mereka miliki dengan menyimpan mitos dan pesan leluhur yang

Berisi larangan, ajakan, sanksi dalam mengelola hutan mereka

III.Keramat

Menganggap suatu tempat keramat berarti akan membuat orang tidak merusak tempat te rsebut,
tetapi

Memeliharanya dan tidak berbuat sembarangan di tempat tersebut, karena merasa takut kalau akan

Berbuat sesuatu nanti akan menerima akibatnya. Misal untuk pohon beringin besar, hal ini
sebenarnya

Merupakan bentuk konservasi juga karena dengan memelihara pohon tersebut berarti menjaga
sumber
Air, dimana beringin akarnya sangat banyak dan biasanya di dekat pohon tersebut ada sumber air.

Anda mungkin juga menyukai