Anda di halaman 1dari 14

Masalah Etis dan Kasus dalam Praktik Psikologi Personil

(Ayu Amaliyah)

(NIM 111814153026)

Psikolog Industri dan Organisasi dalam profesinya dihadapkan oleh


tuntutan-tuntutan dan tekanan dari pekerjaannya. Terkadang dengan tuntutan
dalam pekerjaan tersebut psikolog IO juga dihadapkan oleh etika profesional.
Dalam artikel ini, Eyde dan Quaintances akan menjabarkan situasi-situasi konflik
yang dihadapi oleh psikolog dalam industri yang dapat mengantarkan mereka
pada pelanggaran etika profesional.

Kasus 1: Penggunaan dan Interpretasi yang Tidak Sesuai dari Prosedur


Assessment

Dalam kasus pertama digambarkan seorang psikolog IO yang melakukan


asesmen suatu promosi jabatan menggunakan suatu instrumen. Instrumen tersebut
merupakan alat tes psikologi satu-satunya yang digunakan untuk membuat
keputusan promosi jabatan dan diterima sepenuhnya oleh psikolog terlepas dari
faktor situasional seperti stress kerja saat pengadministrasian. Tidak ada tes
inventori atau bukti lain yang digunakan. Hal tersebut dikarenakan psikolog
dituntut untuk melakukan asesmen dan memberikan keputusan promosi
secepatnya oleh pihak manajemen organisasi.

Dalam kasus ini dijelaskan bahwa terdapat pelanggaran kode etik profesi
psikologi, menurut buku kode etik psikologi yang mencakup :

a. Pasal 63 terkait penggunaan asesmen. Poin tersebut berbunyi psikolog


dan/atau ilmuwan psikologi menggunakan teknik asesmen psikologi,
(wawancara atau observasi, pemberian satu atau seperangkat instrumen
tes) dengan cara tepat mulai dari proses adaptasi, administrasi,
penilaian atau skor, menginterpretasi untuk tujuan yang jelas baik dari

Ayu Amaliyah 111814153026


sisi kewenangan sesuai dengan taraf jenjang pendidikan, kategori dan
kompetensi yang disyaratkan, penelitian, man-faat dan teknik
penggunaan.
b. Pasal 65 terkait interpretasi hasil asesmen. Poin ini menyebutkan
psikolog dalam menginterpretasi hasil asesmen psikologi harus
mempertimbangkan berbagai berbagai faktor dari instrumen yang
digunakan, karakteristik peserta asesmen seperti keadaan situasional
yang bersangkutan, bahasa dan perbedaan budaya yang mungkin
kesemua ini dapat mempengaruhi ketepatan interpretasi sehingga dapat
mempengaruhi keputusan.
a. Pasal 66 (2) terkait penyampaian data dan hasil asesmen. Bahwa hasil
asesmen adalah rangkuman atau integrasi data dari seluruh proses
pelaksanaan asesmen. Hasil asesmen menjadi kewenangan Psikolog
yang melakukan pemeriksaan dan hasil dapat disampaikan kepada
pengguna layanan. Hasil ini juga dapat disampaikan kepada sesama
profesi, profesi lain atau pihak lain sebagaimana yang ditetapkan oleh
hukum.
Dalam hal ini psikolog seharusnya dapat melakukan dan menggunakan teknik
asesmen psikologi dengan prosedur yang tepat yaitu dengan mengintegrasikan
data dari seluruh proses asesmen bukan hanya mengandalkan satu alat untuk
menentukan pengambilan keputusan. Dengan begitu tujuan dari dilakukannya
proses asesmen juga menjadi lebih jelas. Selain itu juga psikolog harus
mempertimbangkan karakteristik peserta asesmen dan faktor situasional lain yang
dapat mempengaruhi ketepatan interpretasi asesmen. Hal itulah mengapa perlu
adanya tes psikologi lain untuk menjadi data pendukung dari hasil asesmen.
Perusahaan juga seharunya dapat mengecek dahulu kompetensi yang dimiliki
psikolog agar hasil asesmen dapat lebih valid dan tidak melakukannya secara
terburu-buru untuk hasilnya dapat lebih efektif.

Ayu Amaliyah 111814153026


Kasus 2: Kurangnya Kompetensi dalam Interpretasi Tes dan Salah Tafsir

Seorang personel psikolog yang tidak memiliki kompeten dan memiliki


pengalaman pelatihan interpretasi pada suatu tes psikologi mempekerjakan
seorang psikolog klinis untuk membeli materi tes inventori psikologi pada
penerbit. Psikolog klinis tersebut dilatih untuk membaca dan menginterpretasikan
catatan tes kandidat pada suatu posisi dan menentukan kondisi emosi kerja mereka
dalam perusahaan. Dikarenakan ada masalah keuangan, personel psikolog tersebut
memutuskan tidak menggunakan jasa psikolog klinis. Tanpa sepengetahuan
penerbit, personel psikolog tersebut tetap membeli alat tes tanpa adanya konsultasi
dengan psikolog klinis. Psikolog tersebut juga tetap melakukan screening tanpa
memberikan informasi pada perusahaan akan kurangnya pengetahuan psikolog
mengenai alat tes tersebut.

Permasalahan pada kasus kedua ini terkait dengan pelanggaran pada pasal
28 (3) di buku kode etik psikologi terkait pertanggung jawaban. Poin tersebut
berbunyi, psikolog dan/atau ilmuwan psikologi tidak membuat pernyataan palsu,
menipu atau curang mengenai: a) Gelar akademik/ijazah, b) Gelar profesi, c)
Pelatihan, pengalaman atau kompetensi yang dimiliki, d) Izin Praktik dan
Keahlian e) Kerjasama institusional atau asosiasi f) Jasa atau praktik psikologi
yang diberikan, g) Konsep dasar ilmiah, atau hasil dan tingkat keberhasilan jasa
layanan, h) Biaya, i) Orang-orang atau organisasi dengan siapa bekerjasama, dan
j) Publikasi atau hasil penelitian
Kemudian juga adanya pelanggaran pada pasal 63 (5) penggunaan
asesmen buku kode etik Indonesia terkait asesmen yang dilakukan oleh orang
yang tidak berkompeten/qualified. Poin tersebut berbunyi, asesmen psikologi
perlu dilakukan oleh pihak-pihak yang memang berkualifikasi, perlu dihindari
untuk menggunakan orang atau pekerja yang tidak memiliki kualifikasi memadai.

Sehingga untuk mencegah asesmen psikologi oleh pihak yang tidak


kompeten dalam kasus ini seorang psikolog haruslah meminta jasa asesmen dari
psikolog atau ilmuwan psikologi lain untuk memperlancar pekerjaanya dan ikut

Ayu Amaliyah 111814153026


bertanggung jawab terhadap penggunaan instrument secara tepat termasuk dalam
hal ini penerapannya, scoring dan penterjemahan instrument tersebut.
Dalam meningkatkan kompetensinya, maka psikolog atau ilmuwan
psikologi wajib melaksanakan upaya-upaya yang berkesinambungan guna
mempertahankan dan meningkatkan kompetensi mereka.

Kasus 3: Pelanggaran Standar Hukum dan Tunduk pada Kepentingan


Pribadi

Seorang psikolog yang bertanggung jawab dalam pengadministrasian


prosedur tes psikologi ternyata mengenal salah satu kandidat tes sebagai
temannya. Kemudian psikolog membantu kandidat dalam memperoleh nilai yang
bagus pada instrumen seleksi melalui pelatihan.

Permasalahan pada kasus ketiga adalah pelanggaran terkait konflik


kepentingan pada pasal 17, buku kode etik Indonesia. Poin tersebut berbunyi,
psikolog dan atau ilmuwan psikologi menghindar dari melakukan peran
profesional apabila kepentingan pribadi, ilmiah, profesional, hukum, finansial,
kepentingan atau hubungan lain diperkirakan akan merusak objektivitas,
kompetensi, atau efektivitas mereka dalam menjalankan fungsi sebagai psikolog
dan/atau ilmuwan Psikologi atau berdampak buruk bagi pengguna layanan
psikologi serta pihak-pihak yang terkait dengan pengguna layanan psikologi
tersebut.

Sehingga perlu adanya sikap obyektivitas dari psikolog untuk memilah


mana hubungan pribadi dan kepentingan profesional. Dengan memberikan
batasan antara sikap profesional dengan kepentingan pribadi dapat menghindarkan
psikolog dari ketidakobjektifan proses asesmen dan profesi psikologi itu sendiri.

Kasus 4: Pernyataan Publik yang Menyesatkan

Seorang psikolog telah menyiapkan materi kenaikan jabatan yang ia


publikasikan untuk uji personel. Materi tersebut dianggap menyesatkan karena
psikolog menyarankan bahwa itu adalah satu-satunya alat tes yang ditinjau dengan

Ayu Amaliyah 111814153026


baik dalam edisi tertentu Mental Measurement Yearbook. Literatur materi tersebut
tidak menyebutkan bahwa terdapat edisi selanjutnya dari Mental Measurement
Yearbook berisi ulasan baik dari instrument lain yang serupa. Materi kenaikan
jabatan tersebut menyatakan bahwa Mental Measurement Yearbook seolah berisi
semua tes psikolog yang diterbitkan, padahal hanya tes baru dan tes yang direvisi
dari edisi lama dari Mental Measurement Yearbook

Permasalahan pada kasus empat ini adalah terkait pelanggaran pasal 28 (1)
terkait pertanggungjawaban pada buku kode etik psikologi. Poin tersebut
berbunyi, psikolog dan/atau ilmuwan psikologi; dalam memberikan pernyataan
kepada masyarakat melalui berbagai jalur media baik lisan maupun tertulis
mencerminkan keilmuannya sehingga masyarakat dapat menerima dan memahami
secara benar agar terhindar dari kekeliruan penafsiran serta menyesatkan
masyarakat pengguna jasa dan/atau praktik psikologi.
Pernyataan tersebut harus disampaikan dengan:
a. Bijaksana, jujur, teliti, hati-hati
b. Lebih mendasarkan pada kepentingan umum daripada pribadi atau
golongan
c. Berpedoman pada dasar ilmiah dan di-sesuaikan dengan bidang
keahlian/kewenangan selama tidak bertentangan dengan kode etik
psikologi
Sehingga seharusnya psikolog dapat lebih cermat mempelajari dan
menjelaskan secara utuh dengan tidak mengambil ulasan-ulasan baik saja agar
tidak terjadi kekeliruan penafsiran dan salah dalam menentukan pengambilan
keputusan

Kasus 5: Kurangnya Kompetensi dalam Seleksi Tes dan Interpretasi

Seorang psikolog konseling yang kurang memiliki pelatihan formal dan


pengalaman dalam penggunaan ujian tertulis untuk seleksi personil dan
klasifikasi, diminta untuk merekomendasikan tes untuk mengevaluasi kompetensi
guru. Tes tersebut hanya untuk mengukur kemampuan guru dibidang tertentu,

Ayu Amaliyah 111814153026


namun psikolog menyarankan penggunaan alat tes tersebut ke seluruh guru untuk
mengevaluasi tingkat kompetensi guru. Padahal belum ada data yang mendukung
penggunaan alat tes tersebut untuk mengevaluasi kompetensi guru.

Karena tidak adanya data normatif bagi para guru, psikolog kemudian
mengajukan skor kelulusan sebesar 70%. Sekitar setengah dari guru serta
administrator sekolah, yang jumlahnya lebih besar, gagal di ujian. Tingkat
kelulusan untuk kaum minoritas, yaitu guru, secara signifikan lebih rendah
daripada tingkat kelulusan nonminoritas, yaitu administrator sekolah. Hasil tes
dan deskripsi prosedur skoring menunjukkan bahwa sistem sekolah mengalami
bencana relasi publik.

Permasalahan pada kasus kelima adalah terkait pelanggaran kualifikasi


konselor dan psikoterapis pada pasal 72 (a) di buku kode etik psikologi. Poin ini
berbunyi konselor / psikoterapis adalah seseorang yang memiliki kompetensi dan
kualifikasi untuk menjalankan konseling psikologi/terapi psikologi yang akan
dilaksanakan secara mandiri dan/atau masih dalam supervisi untuk
melaksanakannya sesuai dengan kaidah pelaksanaan konseling
psikologi/psikoterapi tersebut.
Kemudian juga adanya pelanggaran pada pasal 7 ruang lingkup
kompetensi. Poin tersebut berbunyi, psikolog dapat memberikan layanan
sebagaimana yang dilakukan oleh Ilmuwan Psikologi serta secara khusus dapat
melakukan praktik psikologi terutama yang berkaitan dengan asesmen dan
intervensi yang ditetapkan setelah memperoleh ijin praktik sebatas kompetensi
yang berdasarkan pendidikan, pelatihan, pengalaman terbimbing, konsultasi,
telaah dan/atau pengalaman profesional sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang
dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam hal ini psikolog tidak memiliki kompetensi untuk melakukan


asesmen namun ia tetap melakukannya sehingga saran dan rekomendasi dalam
teknik asesmen yang diberikan tidak efektif dan tidak tepat sasaran. Sehingga
untuk dapat melakukan layanan psikologi psikolog perlu seharusnya mendapatkan

Ayu Amaliyah 111814153026


pelatihan, bimbingan , atau konsultasi agar hasil asesmen dan intervensi yang
diberikan dapat dipertanggungjawabkan karena hasil tersebut berdampak bagi
orang lain.

CONTOH KASUS DI INDONESIA

Contoh ini sering terjadi di Indonesia khususnya pada lulusan baru


psikologi yang mulai memasuki dunia kerja. Si A merupakan lulusan sarjana
psikologi dari universitas negeri. Setelah lulus ia berniat melamar pekerjaan
menjadi seorang HRD di suatu perusahan. Segala kualifikasi yang ada pada
lowongan telah dipenuhi oleh A dari segi nilai IPK, lulusan psikologi,
pengalaman magang dan sebagainya. Tiba saat A dipanggil untuk melakukan
interview dengan HR perusahaan, ia ditanya apakah bisa melakukan interpretasi
tes psikologi. A menjawab tidak bisa karena menurut pemahamannya bahwa
lulusan S1 psikologi tidak diperkenankan untuk melakukan interpretasi alat tes
psikologi dan hanya lulusan S2 psikologi profesi saja yang diperbolehkan. Karena
perusahaan sudah merasa cocok dengan kualifikasi A, maka HR tersebut berusaha
membujuk A untuk tetap melamar di perusahaan tersebut. HR berusaha
membanding-bandingkan lulusan universitas lain yang dapat melakukan
interpretasi alat tes dan meyakinkan si A bahwa ia juga bisa melakukan hal yang
sama. Bahkan HR menawarkan pelatihan untuk melakukan interpretasi hasil alat
tes dengan memberikan buku pedoman-pedoman interpretasi alat tes yang bisa A
baca dan pelajari. Dengan segala macam pertimbangan akhirnya A mengambil
kesempatan tersebut dan menerima pekerjaan. Si A kemudian menempati posisi
rekrutmen dan seleksi dan memiliki jobdesk salah satunya adalah menyeleksi
kandidat karyawan baru dengan melakukan administrasi dan interpretasi alat tes.
Dengan berbekal buku pedoman dan bimbingan dari HR yang memiliki
pendidikan yang sama dengan si A, ia melakukan asesmen dan mengambil
keputusan lolos-tidak lolosnya dari hasil interpretasi yang A lakukan.

Permasalahan tersebut melanggar pasal 1 pengertian dalam buku kode etik


psikologi, yang berbunyi:

Ayu Amaliyah 111814153026


(3) PSIKOLOG adalah lulusan pendidikan profesi yang berkaitan dengan
praktik psikologi dengan atar belakang pendidikan Sarjana Psikologi
lulusan program pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) sistem
kurikukum lama atau yang mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1
(S1) dan lulus dari pendidikan profesi psikologi atau strata 2 (S2)
Pendidikan Magister Psikologi (Profesi Psikolog). Psikolog memiliki
kewenangan untuk memberikan layanan psikologi yang meliputi bidang-
bidang praktik klinis dan konseling; penelitian; pengajaran; supervisi
dalam pelatihan, layanan masyarakat, pengembangan kebijakan; intervensi
sosial dan klinis; pengembangan instrumen asesmen psikologi;
penyelenggaraan asesmen; konseling; konsultasi organisasi; aktifitas-
aktifitas dalam bidang forensik; perancangan dan evaluasi program; serta
administrasi. Psikolog DIWAJIBKAN MEMILIKI IZIN PRAKTIK
PSIKOLOGI sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(4) ILMUWAN PSIKOLOGI adalah ahli dalam bidang ilmu psikologi
dengan latar belakang pendidikan strata 1 dan/atau strata 2 dan/atau strata
3 dalam bidang psikologi. Ilmuwan psikologi memiliki kewenangan untuk
memberikan layanan psikologi yang meliputi bidang-bidang pe-nelitian;
pengajaran; supervisi dalam pelatihan; layanan masyarakat;
pengembangan kebijakan; intervensi sosial; pengembangan instrumen
asesmen psikologi; pengadministrasian asesmen; konseling
sederhana;konsultasi organisasi; peran-cangan dan evaluasi program.
Ilmuwan Psikologi dibedakan dalam kelompok ilmu murni (sains) dan
terapan.
Kemudian juga dalam kasus ini terjadi pelanggaran pasal 2 (1) prinsip C:
profesional yang berbunyi, psikolog dan/atau ilmuwan psikologi harus memiliki
kompetensi dalam melaksanakan segala bentuk layanan psikologi, penelitian,
pengajaran, pelatihan, layanan psikologi dengan menekankan pada tanggung
jawab, kejujuran, batasan kompetensi, obyektif dan integritas.
Secara lebih jauh juga dijelaskan ruang lingkup kompetensi dalam pasal 7 di
buku kode etik psikologi. Poin-poin tersebut berbunyi:

Ayu Amaliyah 111814153026


(1) Ilmuwan Psikologi memberikan layanan dalam bentuk mengajar,
melakukan penelitian dan/atau intervensi sosial dalam area sebatas kom-
petensinya, berdasarkan pendidikan, pelatihan atau pengalaman sesuai
dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Psikolog dapat memberikan layanan sebagaimana yang dilakukan oleh
ilmuwan psikologi serta secara khusus dapat melakukan praktik psikologi
terutama yang berkaitan dengan asesmen dan intervensi yang ditetapkan
setelah memperoleh ijin praktik sebatas kompetensi yang berdasarkan
pendidikan, pelatihan, pengalaman terbimbing, konsultasi, telaah dan/atau
pengalaman profesional sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Sehingga melalui penjelasan-penjelasan diatas dijelaskan batasan-batasan
yang boleh dilakukan oleh A sebagai ilmuwan psikologi dan tidak melakukan
layanan psikologi sebagaimana yang dilakukan seorang psikolog terkait
dengan kompetensi yang dimiliki dan dampaknya terhadap penyalahgunaan
kompetensi.

Bertens (2013) menjelaskan bahwa ada usaha untuk membentuk


kepercayaan masyarakat dengan suatu profesi melalui kode etik profesi. Kode
etik tersebut dibentuk dengan tujuan membuat kepastian bahwa kepentingan
masyarakat akan terjamin. Kode etik tersebut mengarahkan moral bagi suatu
profesi dan sekaligus menjamin mutu moral profesi di masyarakat. Sehingga
akan tidak etis bila suatu profesi mengambil keputusan demi keuntungan
pribadinya yang dalam hal ini si A membuat pengambilan keputusan orang
lain dengan tanpa kompetensi yang mendukung.

Cooper (2004) juga mendukung pernyataan tersebut dengan four criteria


of traditional profession dimana anggota profesi harus menjadi ahli terhadap
esoteric knowledge yaitu segala bentuk pengetahuan secara teoritik dan
teknikal yang orang umum tidak dengan mudah mendapatkannya. Sehingga
Seorang profesi harus memiliki kompetensi tertentu utnuk dikatakan menjadi

Ayu Amaliyah 111814153026


ahli. Sehingga seharusnya dalam konflik yang ditemui oleh A, ia tetap harus
mempertimbangkan kode etik yang berlaku demi kesejahteraan orang lain.

Ayu Amaliyah 111814153026


DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. (2013). Etika. Sleman: PT Kanisius


Cooper, D.E.(2004). Ethics for Professionals in Multicultural World. Upper
Saddle River: Pearson Prentice Hall
Himpsi. (2010). Kode Etik Psikologi Indonesia. Jakarta: Pengurus Pusat
Himpunan Psikologi Indonesia.

Ayu Amaliyah 111814153026


Ayu Amaliyah 111814153026
Ayu Amaliyah 111814153026
Ayu Amaliyah 111814153026

Anda mungkin juga menyukai