(Ayu Amaliyah)
(NIM 111814153026)
Dalam kasus ini dijelaskan bahwa terdapat pelanggaran kode etik profesi
psikologi, menurut buku kode etik psikologi yang mencakup :
Permasalahan pada kasus kedua ini terkait dengan pelanggaran pada pasal
28 (3) di buku kode etik psikologi terkait pertanggung jawaban. Poin tersebut
berbunyi, psikolog dan/atau ilmuwan psikologi tidak membuat pernyataan palsu,
menipu atau curang mengenai: a) Gelar akademik/ijazah, b) Gelar profesi, c)
Pelatihan, pengalaman atau kompetensi yang dimiliki, d) Izin Praktik dan
Keahlian e) Kerjasama institusional atau asosiasi f) Jasa atau praktik psikologi
yang diberikan, g) Konsep dasar ilmiah, atau hasil dan tingkat keberhasilan jasa
layanan, h) Biaya, i) Orang-orang atau organisasi dengan siapa bekerjasama, dan
j) Publikasi atau hasil penelitian
Kemudian juga adanya pelanggaran pada pasal 63 (5) penggunaan
asesmen buku kode etik Indonesia terkait asesmen yang dilakukan oleh orang
yang tidak berkompeten/qualified. Poin tersebut berbunyi, asesmen psikologi
perlu dilakukan oleh pihak-pihak yang memang berkualifikasi, perlu dihindari
untuk menggunakan orang atau pekerja yang tidak memiliki kualifikasi memadai.
Permasalahan pada kasus empat ini adalah terkait pelanggaran pasal 28 (1)
terkait pertanggungjawaban pada buku kode etik psikologi. Poin tersebut
berbunyi, psikolog dan/atau ilmuwan psikologi; dalam memberikan pernyataan
kepada masyarakat melalui berbagai jalur media baik lisan maupun tertulis
mencerminkan keilmuannya sehingga masyarakat dapat menerima dan memahami
secara benar agar terhindar dari kekeliruan penafsiran serta menyesatkan
masyarakat pengguna jasa dan/atau praktik psikologi.
Pernyataan tersebut harus disampaikan dengan:
a. Bijaksana, jujur, teliti, hati-hati
b. Lebih mendasarkan pada kepentingan umum daripada pribadi atau
golongan
c. Berpedoman pada dasar ilmiah dan di-sesuaikan dengan bidang
keahlian/kewenangan selama tidak bertentangan dengan kode etik
psikologi
Sehingga seharusnya psikolog dapat lebih cermat mempelajari dan
menjelaskan secara utuh dengan tidak mengambil ulasan-ulasan baik saja agar
tidak terjadi kekeliruan penafsiran dan salah dalam menentukan pengambilan
keputusan
Karena tidak adanya data normatif bagi para guru, psikolog kemudian
mengajukan skor kelulusan sebesar 70%. Sekitar setengah dari guru serta
administrator sekolah, yang jumlahnya lebih besar, gagal di ujian. Tingkat
kelulusan untuk kaum minoritas, yaitu guru, secara signifikan lebih rendah
daripada tingkat kelulusan nonminoritas, yaitu administrator sekolah. Hasil tes
dan deskripsi prosedur skoring menunjukkan bahwa sistem sekolah mengalami
bencana relasi publik.