Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH TES DAN ASESMEN BIMBINGAN DAN KONSELING

ETIKA DAN PRINSIP DALAM PEMERIKSAAN PSIKOLOGI

Dosen Pengampu :

Noffiyanti S.Sos. M.A

Disusun oleh:

BKI D

Salsa Khalisah (1841040289)

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

TA 2021 M/1442 H
KATA PENGANTAR

Segala puji dan puja kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan saya kemudahan dan kelancaran sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini. Shalawat serta salam saya limpahkan kepada baginda nabi kita Nabi
Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Makalah berjudul “Etika dan Prinsip Dalam Pemeriksaan Psikologi" ini


dibuat untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Tes Asesmen Bimbingan dan
Konseling yang diampu oleh ibu Noffiyanti S.Sos. M.A. Makalah ini telah saya
kerjakan dengan semaksimal mungkin sehingga terlaksanalah sampai tuntas tugas
ini. .

Namun tak luput dari itu manusia adalah tempatnya salah dan dosa kami
menyadari dalam makalah ini masih terdapat banyak sekali kekurangan maupun
kesalahan. Oleh karena itu saya selaku penyusun berlapang dada dan membuka
tangan kepada Ibu dosen atau pun teman-teman sekalian sekiranya dapat
memberikan kritik atau pun saran yang membangun, agar dapat menjadi bahan
pengalaman saya untuk kedepannya agar menjadi lebih baik.

Bandar Lampung, 08 Januari 2021

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahulua

n
A. Latar Belakang...............................................................................................
Bab II Pembahasan

B. Siapa yang berhak melakukan diagnose psikologi


Bab III Penutu

p
A. Kesimpulan....................................................................................................
C. Saran...............................................................................................................
Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi


pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya.1 Adapun pengertian Prinsip adalah kebenaran yang menjadi
pokok dasar berpikir, bertindak dan sebagainya.2 Menurut Bertens etika
adalah pemikiran kritis dan mendasar mengenai ajaranajaran moral. Etika
dipakai untuk menunjuk pada apa yang umum atau prinsipil, bersifat
kecakapan praktis, untuk menjawab pertanyaan tentang mengapa. Etika
diperlukan sebagai sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan
dengan berbagai moralitas.3

Perkembangan yang cepat, hubungan yang dekat dengan beberapa


profesi seperti psikiatri, pendidikan, manajemen, serta sulitnya mengontrol
praktik psikologi mengarah kepada suatu masalah yang penting yang harus
segera ditanggulanggi, yaitu kurangnya kode etik profesional, khususnya
malpraktik.

Etika tersebut seharusnya dapat menjelaskan hal-hal terkait


pertanyaan: siapa yang berhak mengadministrasikan tes psikologis?
Apakah psikiater, konselor, pendidikan, dan atau manajer personalia
berhak untuk mengadministrasikan tes psikologis?

Selayaknya bidang-bidang profesional lainnya, seperti kedokteran,


Hukum, atapun lainnya, maka dalam ranah Psikologi juga terdapat
pembahasan atau juga memiliki kode etik yang mengatur Etika dan
Prinsip, hal ini digunakan untuk mengatur berbagai hal terkait dalam

1
Adnan murya, Etika dan tangggung jawab profesi, (Yogyakarta : Deepublish, 2018).
Hlm. 3-4.
2
Dr.H Yarsadin, S.H. M.Hum, Asas kebebasan berkontrak syariah, (Jakarta : Prenada
Media, 2018). Hlm. 70.
3
Bertens, K, Etika. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004).
praktek Psikologi. Dalam Materi ini hal tersebut salah satunya untuk
memperjelas dan sekaligus menjawab pertnayaan-pertanyaan diatas.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana etika dan prinsip dalam pemeriksaan psikologi?

2. Siapa yang berhak melakukan diagnose psikologi?

3. Siapa yang bertanggung jawab untuk mengamankan perangkat tes?

4. Bagaimana seharusnya seorang diagnostikus bersikap dan bertingkah laku


dalam suatu pemeriksaan psikologi?

5. Apa saja prinsip tes psikologi?

BAB II

PEMBAHASAN
A. Etika dan Prinsip Dalam Pemeriksaan Psikologi

Seorang diagnostikus tidak bebas dalam menyelenggarakan


pemeriksaan psikologi, artinya banyak persyaratan yang dituntut dan
dipertimbangkan. Tes psikologi tidak akan ada manfaatnya ditangan yang
tidak ahli atau bila salah penyelenggaraan dan interpretasi berdampak
besar karena itu semua menyangkut dalam kehidupan manusia. Masalah
etika dalam pemeriksaan psikologi berhubungan erat dengan etika bidang
psikologi pada umumnya.

Menurut Kartadinata (dalam Sujadi, 2018)) kode etik profesi


merupakan regulasi dan norma perilaku profesional yang harus diindahkan
oleh setiap anggota profesi dalam menjalankan tugas profesi. Pandangan
ini juga ditekannkan oleh ABKIN (dalam Sujadi, 2018) yang
menggarisbawahi keberadaan kode etik profesi untuk melindungi atau
mencegah para praktisi dari perilaku-perilaku malpraktik. Oleh karena itu,
semua anggota profesi harus menjalankan tugasnya secara profesional.4

Seorang diagnostikus tidaklah bebas begitu saja dalam


menyelenggarakan suatu pemeriksaan psikologi, meskipun ia sudah cukup
kompeten dan ahli dalam menggunakan seperangkat tes. Dampaknya akan
sangat besar bila tes ini salah diselenggarakan dan diinterpretasikan,
karena menyangkut kehidupan manusia. Di Indonesia, masalah etika
psikologi (kode etik psikologi) masih terus dijajaki kemungkinan dan
pelaksanaannya.

Dua (2005) menggambarkan bahwa keberadaan kode etik profesi


memiliki fungsi untuk menjamin kepercayaan masyarakat bahwa
masyarakat tidak akan dipermainkan sebagai sekedar sarana melainkan
tujuan layanan yang diselenggarakan. Kehadiran kode etik berfungsi

4
Sujadi, E, Kode etik profesi konseling serta permasalahan dalam penerapannya,
Jurnal Tarbawi: Jurnal Ilmu Pendidikan, 2018, 14 (2). Hlm. 69-77.
seperti kompas yang menunjukkan arah moral bagi suatu profesi dan
sekaligus menjamin mutu moral profesi itu sendiri di mata masyarakat.5

Hal ini penting untuk diperhatikan karena praktik konseling dan


psikologi dibangun atas dasar kompetensi, profesionalisme, dan
kepercayaan (Scoyoc, 2004; Triliva, 2004; Levin & Bickett, 2011).6
Pelaksanaan tes psikologi dalam bimbingan dan konseling mematuhi kode
etik konseling sebagai pengakuan, penghormatan, dan perlindungan atas
harkat pribadi individu klien sebagai subyek layanan atau perlakuan. 7

Meskipun belum ada suatu keputusan yuridis formal mengenai hal itu,
tetapi telah diperoleh suatu konsensus di kalangan para ahli psikologi dan
ahli bidang lainnya yang bekerja sama dengan ahli psikologi (misalnya
ahli pendidikan, ahli medis, ahli sosial), guna memperlancar
penyelenggaraan pemeriksan psikologi dan kewenangannya. Secara ideal
dan teoritis, hanya ahli psikologi dan mereka yang telah mendapat
pelatihan khusus yang berhak dan berwenang untuk menyelenggarakan
pemeriksaan psikologi dan psikodiagnostik.

Swanson (dalam Gladding, 2015:73) membuat pedoman untuk menilai


apakah konselor bertindak secara etis: (1) kejujuran pribadi dan
profesional. Konselor wajib beroperasi jujur dengan diri mereka sendiri
dan orang-orang yang mereka layani. (2) Konselor bertindak untuk
kepentingan terbaik klien. Konselor bertindak tanpa tujuan jelek atau
keuntungan pribadi. (4) Konselor dapat membenarkan suatu tindakan
sebagai keputusan terbaik yang harus dilakukan berdasarkan peraturan
profesi yang berlaku.8

5
Dua, M, Etika dan Kode Etik Profesi. Makalah (Disajikan pada Pertemuan Pra- Kode
Etik BRI di BRI Pusat), (Jakarta: 2005).

6
Levin, M.M., & Buckett, A, Discourses regarding ethical challenges in assessments
Insights through a novel approach, SA Journal of Industrial Psychology, 2011. 37(1).
Hlm. 1-13.
7
Sugiyatno, Testing dalam bimbingan konseling, Paradigma, 2006, 1 (1). Hlm. 91-100.
Dalam Gibson dan Mitchell mengidentifikasi standar-standar yang
berhubungan dengan pengukuran dan evaluasi yang tersusun pada bagian
kode etik: Konselor harus mengenali batas kompetensi mereka dan
melakukan hanya fungsi asesmen dimana mereka telah menerima
pelatihan atau supervisi yang tepat; konselor yang menggunakan
instrumen-instrumen asesmen harus mendapat pelatihan yang tepat dan
keterampilan dalam pengukuran pendidikan dan psikologi, kriteria,
validasi, riset tes dan petunjuk pengembangan dan penggunaan tes;
konselor harus menyediakan orientasi atau informasi tentang instrumen
yang akan digunakan sebelum dan selama pemberian tes sehingga hasil tes
dapat ditempatkan dalam perspektif yang tepat; konselor harus
mengevaluasi dengan cermat basis teoretis dan karakteristik, validitas,
reliabilitas dan ketepatan instrumen; konselor harus menyediakan
informasi yang akurat dan menghindari klaim keliru atau kesalahan terkait
pemaknaan reliabilitas dan validitas instrumen; konselor harus mengikuti
semua arahan dan prosedur riset bagi pemilihan, pemberian dan
penginterpretasian semua instrumen evaluasi; konselor harus berhati-hati
ketika menginterpretasikan hasil-hasil instrumen yang mengandung data
teknis yang tidak cukup; konselor harus memproses dengan hati-hati
ketika mengevaluasi dan menginterpretasi performa subjek; konselor
wajib secara profesional untuk memastikan Seminar Nasional Daring
IIBKIN 2020 “Penggunaan Asesmen dan Tes Psikologi dalam Bimbingan
dan Konseling di Era Adaptasi Kebiasaan Baru” 92 keamanan tes;
konselor harus mempertimbangkan keterbatasan psikometrik ketika
memilih dan menggunakan suatu instrumen.9

Ditinjau dari jenis penyelenggaraan tesnya sendiri terdapat berbagai


perbedaan kewenangan dan kompetensi. Hal ini kadang-kadang agak

8
Seminar Nasional Daring IIBKIN 2020 “Penggunaan Asesmen dan Tes Psikologi dalam
Bimbingan dan Konseling di Era Adaptasi Kebiasaan Baru
9
Gibson, R. L. & Mitchell, M. H, Bimbingan dan Konseling. Terjemahan Yudi
Santoso, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011). Hlm. 789-790.
mengaburkan arti etika pemeriksaan psikologi, karena seolah-olah terdapat
kelonggaran penyelenggaraan untuk jenis kasus-kasus tertentu. Yang
menjadi permasalahan dalam etika pemeriksaan psikologi biasanya
mencakup hal berikut ini :10

1. Siapa yang berhak melakukan diagnosis psikologi (menyelenggarakan


tes psikologi dan menginterpretasikannya).

2. Siapa yang bertanggung jawab untuk menggunakan perangkat tes


(termasuk masalah penggandaannya, pendistribusiannya dan
sebagainya).

3. Bagaimana seharusnya seorang diagnostikus bersikap dan bertingkah


laku dalam menegakkan suatu diagnosa psikologi.

B. Siapa Yang Berhak Melakukan Diagnosa Psikologi

Telah dikatakan bahwa dilihat dari penyelenggaraan tes, ada diagnosis


psikologi yang dapat dilakukan oleh bukan ahli psikologi, atau orang yang
tidak mendapat pelatihan dan pendidikan khusus untuk itu. Tetapi ada
yang benar-benar harus dilaksanakan oleh ahli yang kompeten untuk hal
itu dan mereka mendapat pendidikan khusus. Seharusnya pemeriksaan
psikologi ini dilaksanakan di bawah pengawasan seorang ahli atau oleh
ahli yang diperiksa (Sumadi Suryabrata, 1971).

Ditinjau dari segi penggunaannya, diagnosa psikologi dan


penyelenggaraannya dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Diagnosa untuk keperluan pelatihan/pendidikan Diagnosa untuk


tujuan ini diselenggarakan khusus untuk bidang pendidikan psikologi
untuk memperoleh keterampilan diagnostik. Masalahnya tidak hanya
sekedar tahu atau tidak tahu, tetapi lebih daripada itu, juga masalah

10
Esty Aryani Safithry, Asesmen Teknik Tes Dan Non Tes, (Purwokerto : Cv IRDH,
2018). Hlm. 93.
bisa atau tidak bisa menyelenggarakannya. Karena itu latihan untuk
tujuan ini sangat penting.
2. Diagnosa mengenai prestasi belajar Diagnosa untuk tuuan ini
diselenggarakan untuk melihat sejauh mana penyelenggaraan
pendidikan telah mencapai hasil seperti yang diharapkan. Untuk tu
diperiukan pengujian dengan melalui seperangkat tes prestasi. Para
pendidik dapat merancang dan menggunakannya untuk kepertuan ini.
Tetapi bila dalam pemeriksaan nampak adanya gejala
kelainan/penyimpangan, maka seyogyanya kasus ini diserahkan
kepada ah yang lebih berwenang untuk menanganinya Kasus
semacam ini banyak ditemukan dalam ruang lingkup bimbingan dan
konseling dalam dunia pendidikan.
3. Diagnosa dengan menggunakan tes psikologi Untuk tujuan ini
penyelenggaraan tes Tidak diperkenarkan dilakukan oleh
sembarangan orang melainkan harus dikerjakan cleh ahli psikologi
atau mereka yang mendapat pendidikan dan pelatihan khusus untuk
Itu. Tes psikologi sebagal alat diagnostik manfaatnya sangat
tergantung dari siapa yarng menggunakan dan bagaimana tes tersebut
digunakan. Di tangan seorang ahli yang berwenang untuk itu, tes
psikologi akan sangat bermanfaat. Tetapi jika tangan mereka yang
bukan ahli tes ini mungkin akan mendatangkan bahaya.

Kouwer membatasi kewenangan menyelenggarakan tes psikologi


berdasarkan tiga fungsi pemeriksaan psikologi, yaitu:11

1. Pemeriksaan dengan tujuan memprediksi Syarat utama untuk


pemeriksaan ini adalah pelaksanaan yang eksak dan terkontrol. Pada
prinsipnya semua orang yang mengetahui prinsip ini dapat
menyelenggaraken tes untuk tujuan ini. Jadi dilakukan oleh
administrator tes, tetapi untuk interpretasi tes sebaiknya dilakukan
oleh ahli psikologi.

11
Ibid., Hlm. 94-95
2. Pemeriksaan dengan tujuan mendeskripsikan. Nilai dari tes ini terletak
sepenuhnya pada interpretasinya artinya terletak pada analisis
psikologi tentang hasil tes. Oleh karena itu, syarat yang esensial
adalah menguasai sepenhnya teari kepribadian dan arti diagnostik dan
materi tes yang digunakan. Untuk tujuan ini seorang ahli psikologi-
lah yang berkompeten menyelenggarakan pemeriksaan tersebut.
3. Pemeriksaan dengan tujuan terapi. Syarat untuk memakai material tes
dalam tujuan ini harus dilatarbelakangi oleh pengetahuan psikologi
yang khusus dan pengetahuan tentang terapi. Untuk berhasil dalam
tujuan tes ini ahli terapi harus mengerti secara mendalam tentang arti,
syarat-syarat dan sifat-sifat materi tes tersebut. Beberapa jenis tes
dalam penyelenogaraannya tidak terlalu menuntut keahlian psikologi
tertentu, jadi dapat diselenggarakan oleh administrator tes yang cukup
cekatan melalui pelatihan yang sederhana. Tetapi cukup banyak pula
tes psikolagi yang tidak dapat dilaksanakan oleh administrator tes,
seperti misalnya jenis tes dengan teknik projektit (Sumardi
Suryabrata, 1971).
4. Kompetensi penggunaan alat tes berkaitan erat dengan tingkatan atau
level kompleksitas pada alat tes itu sendiri. American Psychological
Association (APA) telah mengkategorikan alat tes psikologi ke dalam
tiga level sebagai berikut:

a. Level A :

Level ini mencakup alat tes yang dapat di administrasikan,


diskor dan diinterpretasikan dengan bantuan manual. Tes jenis ini
dapat dipergunakan dan diinterpretasikan oleh nonpsikolog yang
memiliki rasa tanggung jawab, seperti eksekutif business dan
kepala sekolah.

Penggunaan tes-tes level A memerlukan kursus tingkat advance


ataupun lulusan sarjana dari universitas terakreditasi, atau pelatihan
yang setara di bawah pengarahan supervisor atau konsultan yang
qualified. Contoh dari alat tes ini adalah tes vocational dan
pencapaian akademik, sebagian besar inventori minat, dan tes-tes
pilihan ganda yang menggunakan pengukuran sederhana dalam
penginterpretasiannya, baik individual maupun kelompok.

Menurut Bubenzer, Zimpfer, dan Mahrle (dalam Gladding,


2015) pelaksaanan tes yang dilakukan oleh konselor memiliki
kemiripan dengan apa yang digunakan oleh psikolog.
Perbedaannya terletak pada cara memberikan tes yang lebih
menentukan kesuksesan konselor dan psikolog dalam melayani
kesejahteraan klien dan masyarakat umum.12

b. Level B :

Penggunaan alat tes level ini memerlukan latar belakang


training khusus dalam pengadministrasian, skoring, dan
interpretasi. Alat-alat tes pada level ini lebih kompleks daripada
level A dan memerlukan pemahaman tentang prinsipprinsip
psikometri, sifat-sifat yang diukur, dan bidang keilmuan dimana
alat tes tersebut digunakan (misalnya pendidikan, klinis,
konseling).

Alat tes ini dapat dipergunakan oleh mereka yang telah


menyelesaikan pendidikan tingkat lanjut dalam bidang testing dari
universitas atau institusi yang terakreditasi, atau telah memperoleh
training yang setara dibawah pengawasan psikolog. Paling tidak,
pengguna alat tes ini harus telah mengikuti pelatihan yang tepat
tentang prinsip-prinsip psikometri (reliabilitas, validitas, konstruksi
tes) dan memiliki pengalaman yang terkontrol dalam
12
Gladding, S. T, Konseling Profesi yang Menyeluruh. Terjemahan P. M.Winarno
dan Lilian Yuwono, (Jakarta: PT Indeks, 2015)
pengadministrasian, penyekoran, dan penginterpretasian alat-alat
tes tersebut.

Tes-tes level B umumnya mencakup sebagian besar tes prestasi


atau minat individual atau kelompok, inventori screening, dan tes
personal. Contoh alat tes kategori ini adalah tes bakat dan tes
inventory kepribadian untuk populasi normal.

c. Level C :

Level C merupakan kategori yang paling ketat dan mencakup


tes-tes dan alat bantu yang membutuhkan pelatihan dan
pengalaman dalam pengadministrasian, penyekoran, dan
penginterpretasian. Alat tes kategori ini memerlukan pemahaman
yang substansif tentang testing.

Penggunaan alat tes kategori ini membutuhkan pelatihan dalam


bidang profesional khusus dimana tes ini digunakan (misalnya
psikologi sekolah, klinis, atau konseling). Secara khusus, tes
kategori ini hanya dapat dipergunakan oleh mereka yang
memperoleh pendidikan minimum, master di bidang psikologi atau
bidang-bidang yang berkaitan.

Juga diperlukan verifikasi tentang ijin atau sertifikat sebagai


psikolog. Tes-tes level C umumnya mencakup beberapa tes
diagnostik klinis, kepribadian, bahasa, atau bakat, baik kelompok
maupun individual. Sebagai contoh, yang termasuk instrumen
kategori ini adalah tes kecerdasan individu, tes proyektif, dan tes
battery neuropsikologi.13

C. Siapa Yang Bertanggung Jawab Untuk Mengamankan Perangkat Tes

Betapa sulit dan bukan pekerjaan yang mudah untuk mengkonstruksi


suatu tes psikologi. Karena itu, bila suatu tes telah dikanstruksi dan telah
13
Esty Aryani Safithry, Op. cit., Hlm. 98-98.
terbukti manfaatnya untuk keperluan diagnostik. sangat perlu untuk
mengamankannya dan menjaga keobjektifanmya. Hal ini menjadi
tanggung jawab para ahli yang selalu menggunakan materi tes tersebut.
Cronbach (1969). Memberikan pendapat tentang siapa yang berhak
menggandakan dan mendistribusikan material tes psikologi.

Dalam hal ini, penggandaan materi tes hanya diperkenankan oleh


penerbit yang memiliki kualifikasi untuk itu. serta terbatas adanya.
Semakin sulit tes tersebut delam interpretasinya, semekin terbatas badan
yang dapat menerbitkannya. Untuk prinsip sistem kendali pendiatribusian
ini lihat Ethical Standards of Paychologist dari American Psycological
Association 1986 (dalam Cronbach, 1969). Sebagaimana telah dijelaskan
di atas, terdapat tiga kategori tes dilihat dari kompleksitasnya. yaitu level
A level B. dan level C. Berdasarkan level tersebut, dapat diterapkan siapa
yang bertanggung jawab untuk pengendalian dan pendistribusiannya
disamping penggunaannya.

D. Bagaimana Seharusnya Seorang Diagnostikus Bersikap dan


Bertingkah Laku dalam Suatu Pemeriksaan Psikologi

Hal ini menyangkut etika pengetesan, relasi antar pemeriksa dan


subjek yang diperiksa melalui suatu good raport. Kouwer memberi
gambaran tentang sikap dan tingkah laku pemeriksa dalam pemeriksaan
psikologi berdasarkan bahasan fungsi dan tujuan tes. Secara ringkas hal itu
dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Etika dalam tes meramalkan/memprediksikan Pembatasan dalam


pengetesan ini hanya pada aspek-aspek yang dapat dikuantifikaskan,
Yang diukur adalah bukan kliennya sendiri, tetapi fakta objektif yang
berhubungan denganrya. Jadi manusia berada diluar hasil objektif
yang dihasikannya. Karena itu, sikap pemeriksa adalah sikap teknis,
praktis dan pragmatis dalam membahas hasilnya. Bahasan hasil adalah
rasional dan aspek emosional harus dilupakan.
2. Etika dalam tes mendeskripsikan Yang diperhatikan bukan klien atau
subjek, tetapi karakternya. sifatsifatnya yang khas, yang dianggap
sebagai sebab dari tingkah lakunya. Pada umumnya persyaratan etika
tes meramalkan berlaku juga disini. Pemeriksa memberikan saran
sesuai dengan hasil pemeriksaan terhadap subjek dan noma yang
berlaku. Pendapat pribadi adalah sentral. pemeriksa tidak melakukan
pendekatan teknik, tetapi mencari peryelesaian yang menurut dirinya
baik.
3. Etika dalam tes menemukan diri sendiri Pemeriksa tidak boleh
mengambil sebagian dari problematika subjek yang diperiksa. Tidak
boleh mengambi/mengalihkan tanggung jawab probiematika subjek
yang diperiksa. Pemeriksa mempunyai pandangan bahwa subjek dapat
memecahkan problemnya sendiri serta bertanggung jawab atas
altermatit pemecahan problem yang telah dipilihnya. Pertolongan
yang diberikan pemeriksa hanya terbatas pada memberi kemungkinan
untuk suatu permecahan masalah. Wall menyatakan bahwa penilaian,
keputusan dan intervensi yang diperoleh secara sistematis dan
obyektif sangat penting dalam praktik konselor profesional.
Keputusan yang berkaitan dengan permasalahan klien membutuhkan
asesmen yang akurat dan teliti yang menuntut konselor untuk terlibat
aktif dalam kegiatan asesmen.14

Secara umum hubungan yang terjalin antara pemeriksa dengan subjek


yang diperiksa haruslah tetap hubungan antar manusia yang saling
menghormati, saling menjaga dan saling menghargai (Sumardi Suryabrata,
1971). Dari dasar ini dapat ditarik suatu sikap hubungan seperti :

1. Tidak menganggap subjek sebagai pasien atau penderita yang


membutuhkan pertolongan, melainkan sebagai manusia yang
mempunyai harga diri, keinginan-keinginan tertentu dengan

14
Popoola, B. I. & Oluwatosin, S. A., Assessment and testing in counseling practice,
Advances in Social Sciences Research Journal, 2018, 5 (3). Hlm. 266-275.
menghargai juga latar belakang agama, politik dan lingkungan
sosialnya.
2. Menjaga rahasia pribadi subjek.
3. Membuat diagnosa dengan penuh hati-hati.
4. Dengan penuh simpati berusaha memahami kesulitan-kesulitan subjek
5. Menciptakan rasa aman bagi subjek yang diperiksa selama
pemeriksaan berlangsung15.

E. Prinsip Tes Psikologi

Menurut Camara (1997) tes dan penilaian digunakan secara luas


dalam seleksi psikologis dan pendidikan anak-anak dan orang dewasa
untuk berbagai kepentingan. Tes dapat diberikan untuk kepentingan
asesmen karir dan vokasional, sertifikasi dan lisensi individu untuk
berbagai okupasi, dan untuk seleksi dan penempatan para pekerja dalam
organisasi sektor pemerintah maupun swasta.16

Prinsip Kode Etik menurut APA (American Psychological Association)17

Prinsip 1 : Mengenai Tanggung jawab Diutarakan, bahwa dalam


komitmennya terhadap pemahaman atas perilaku manusia, psikolog
menghargai obyektivitas dan integritas, dan dalam menyediakan
pelayanannya, mereka memelihara standar profesi yang tertinggi. Mereka
menerima tanggung jawab untuk konsekuensi pekerjaannya dan membuat
setiap usahanya bahwa pelayanan mereka digunakan sesuai keperluannya.

Prinsip 2: Mengenai Kompetensi Terpeliharanya standar kompetensi


professional yang tinggi merupakan tanggung jawab yang disumbangkan
semua psikolog. Psikologi memahami lingkup kompetensi dan
keterbatasan teknik-tekniknya dan hanya menyediakan pelayanan
15
Esty Aryani Safithry, Op. cit., Hlm. 100-101.
16
Camara, W. J, Use and Consequences of Assessments in the USA: Professional,
Ethical and Legal Issues, European Journal of Psychological Assessment. 13 (2), 1997.
Hlm. 140 - 152.
17
APA Handbook ofTesting and Assessment in Psychology: Volume 3 Testing and
Assessment in School Psychology and Education Hlm. 3 – 19.
menggunakan teknik atau pendapat secara professional yang menghargai
standar-standarnya. Psikologi menjaga pengetahuan informasi ilmiah dan
professional mutakhir berhubungan dengan pelayanan yang diberikannya.

Prinsip 3: Mengenai Standar Moral dan Hukum Dalam hal perilaku yang
menyangkut moral dan etik, serta legal psikolog mengakuinya sebagai
masalah pribadi yang sama dengan warga lainnya.

Prinsip 4: Mengenai Pertanyaan Publik Pertanyaan public pengumuman


mengenai pelayanan dan aktivitas promosional untuk membantu public
pelanggan dalam membuat pilihan dan penilaian dilandasi informasi yang
memadai.

Prinsip 5: Mengenai Konfidensialitas Perlindungan atas informasi


mengenai seseorang yang telah didapat psikolog dari proses mengajar,
praktik, atau investigasi merupakan kewajiban utama psikolog. Informasi
semacam itu tidak dikomunikasikan kepada orang lain, jika memang tidak
penting.18

Prinsip 6: Mengenai Kesejahteraaan Pengguna Psikolog menghargai


Integrasi dan melindungi kesejahteraan dan kelompok yang bekerjasama
dengannya. Jika terdapat konflik kepentingan antara klien dna institusi
tempat psikolog bekerja, para psikolog menjelaskan keadaan dan arah
loyalitas dan tanggung jawab mereka dari memegang teguh setiap hal yang
dinyatakan mengenai komitmennya. Psikolog secara penuh
menginformasikan tujuan dan hakekat prosedur evaluasi, penanggulangan,
pendidikan, dan pelatihan. Mereka secara bebas memberitahu bahwa klien,
mahasiswa, atau partisipasi dalam riset memiliki kebebasan untuk memilih
sebelum berpartisipasi.

Prinsip 7: Mengenai Relasi Profesional Psikolog bertindak dengan


anggapan yang jelas mengenai kebutuhan kompetensi khusus, dan
kewajiban kolega-koleganya dalam psikologi dan profesi lain. Psikolog
18
Esty Aryani Safithry, Op.cit., Hlm.102.
menghormati prerogative, kewajiban institusi dan organisasi tempat
mereka bergabung.

Prinsip 8: Mengenai Penggunaan Teknik-Teknik Asesmen Dalam


pengembangan, publikasi, dan penggunaan teknik-teknik asesmen
psikologis, psikolog mempertahankan standar APA yang relevan. Orang-
orang yang diperiksa mempunyai hak untuk mengetahui hasil, penafsiran
dan jika diperlukan, data asli yang menjadi dasar penilaian/keputusan.
Penggunaan tes menghindari informasi yang tidak diperlukan, tetapi
menyediakan informasi yang menerangkan dasar keputusan.

Prinsip 9: Mengenai Pencarian Dalam Aktivitas Riset Keputusan untuk


melakukan riset harus didasarkan pertimbangan19 psikolog secara
individual tentang sumbangannya pada ilmu psikologi dan kesejarteraan
manusia. Para psikolog melaksanakan investigasi dengan menghargai
orang-orang yang terlibat dan dengan kepedulian atas harga diri dan
kesejahteraannya.

The Canadian Guidance and Counseling Association (1982),


mempublikasikan sebelas prinsip khusus yang mencakup etika cara
pemakaian tes psikologis, yaitu :

1. Guru pembimbing atau konselor harus mengakui batas kompetensinya


dan tidak memberikan layanan testing atau menggunakan teknik-
teknik di luar persiapan dan kompetensinya atau yang tidak memenuhi
standar professional yang ditetapkan.

2. Guru pembimbing atau konselor harus mempertimbangkan atau


menetapkan dengan cermat dan teliti validitas, rebilitas, dan ketetapan
tes tertentu sebelum memilih untuk digunakan pada klien tertentu.

3. Pada umumnya,hasil-hasil tes hanya memberikan satu macam factor


yang tepat bagi keputusan staf bimbingan dan konsling.

19
Ibid., Hlm.103.
4. Apabila hasil tes dan data penilaian lainnya digunakan untuk menilai
komunikasi dengan orang tua individu atau orang lain yang tepat maka
mereka harus disertai dengan interpretasi yang adekuat.

5. Skor tes psikologi (sebagai pembanding dengan interpretasi hasil- hasil


tes)

6. Apabila memberikan beberapa sistemen pada umum tentang tes dan


testing, maka diperlukan ketelitian untuk memberikan informasi secara
adekuat dan menghidari terjadinya kesalahpahaman.20

7. Tes harus dilaksanakan sebagaimana yang ditetapkan dalam manual


(buku petunjuk) pelaksanaan tes.

8. Tes psikologi dan alat-alat lainnya, yang penilaiannya sebagian besar


dapat dipercaya apabila orang yang mengambilnya adalah terbatas
dengan minat professional dan kompetensi seseorang sehingga mereka
akan berupaya melindungi penggunaannya.

9. Guru pembimbing atau konselor memiliki tanggung jawab untuk


memberitahukan kepada peserta testing tentang tujuan testing.

10. Guru pembimbing atau konselor harus bekerja dengan teliti dalam
menilai dan menginterpretasikan minoritas anggota kelompok atau
orang lainnya yang tidak menyajikan norma-norma kelompok terhadap
pembekuan instrument.

11. Konselor tidak pantas mereproduksi atau memodifikasikan susunan tes


itu tanpa memperoleh izin dan mengenal kemampuan pengarang
penerbit dan pemegang hak cipta.

Sedangkan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)


mengemukakan sebagai berikut :

20
Ibid., Hlm. 104.
1. Suatu jenis tes hanya boleh diberikan oleh petugas yang berwanang
menngunakan dan menafsirkan hasilnya. Konselor harus selalu
memeriksa dirinya apakah ia mempunyai kewenangan yang dimaksud.

2. Testing diperlukan bila dibutuhkan data tentanng sifat atau ciri lebih
luas, misalnya, taraf intelegensi, bakat,minat, dan kecenderungan
pribadi seseorang.Data yang diperoleh dari hasil testing itu harus
diintegrasikan dengan informasi lain yang telah diperoleh dari klien
sendiri atau sumber lain.21

3. Data hasil testing harus dilakukan setara dengan seperti data atau
informasi lain tentang klien.

4. Konselor harus memberikan orietasi yang tepat kepada klien mengenai


alasan digunakannya tes dan apa hubungannya daengan masalahnya.

5. Hasil testing hanya dapat diberitahukan kepada pihak lain sejauh pihak
yang diberitahu itu ada hubungannya dengan usaha bantuan kepada
klien dan tidak merugikan klien.

6. Pemberian sesuatu jenis tes harus mengikuti pedoman atau petunjuk


yang berlaku bagi tes yang bersangkutan.

21
Ibid., Hlm. 105.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berkaitan dengan materi etika dan prinsip dalam pemeriksaan


psikologi diketahui bahwa tes psikologi tidak akan ada manfaatnya
ditangan yang tidak ahli atau bila salah penyelenggaraan dan interpretasi
berdampak besar karena itu semua menyangkut dalam kehidupan manusia.
Masalah etika dalam pemeriksaan psikologi berhubungan erat dengan
etika bidang psikologi pada umumnya.

Lalu yang berhak melakukan diagones psikologi telah dikatakan


bahwa dilihat dari penyelenggaraan tes, ada diagnosis psikologi yang
dapat dilakukan oleh bukan ahli psikologi, atau orang yang tidak mendapat
pelatihan dan pendidikan khusus untuk itu. Tetapi ada yang benar-benar
harus dilaksanakan oleh ahli yang kompeten untuk hal itu dan mereka
mendapat pendidikan khusus.

Bila suatu tes telah dikanstruksi dan telah terbukti manfaatnya untuk
keperluan diagnostik. sangat perlu untuk mengamankannya dan menjaga
keobjektifannya. Hal ini menjadi tanggung jawab para ahli yang selalu
menggunakan materi tes tersebut.

Singkatanya bagaimana seharusnya seorang diagnostikus bersikap dan


bertingkah laku dalam suatu pemeriksaan psikologi yaitu dengan tidak
menganggap subjek sebagai pasien atau penderita yang membutuhkan
pertolongan, melainkan sebagai manusia yang mempunyai harga diri,
keinginan-keinginan tertentu dengan menghargai juga latar belakang
agama, politik dan lingkungan sosialnya. Beberapa prinsip tes psikologi
juga perlu diperhatikan sebagai bagian dari kode etik menurut APA
(American Psychological Association).

B. Kritik dan Saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnan. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari teman-teman yang bersifat membangun sangat
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.Penulis juga menyarankan
pembaca untuk banyak membaca buku-buku yang berkaitan guna mengurangi
kesalahpahaman jika terjadi kesalahan dalam penulisan.
DAFTAR PUSTAKA

APA Handbook of Testing and Assessment in Psychology: Volume 3 Testing and


Assessment in School Psychology and Education (pp.3-19)

Bertens, K. 2004. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Camara, W. J. 1997. Use and Consequences of Assessments in the USA:


Professional, Ethical and Legal Issues. European Journal of Psychological
Assessment.

Dua, M. 2005. Etika dan Kode Etik Profesi. Makalah (Disajikan pada Pertemuan
Pra-workshop Kode Etik BRI di BRI Pusat). Jakarta.

Gibson, R. L. & Mitchell, M. H. 2011. Bimbingan dan Konseling. Terjemahan


Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gladding, S. T. 2015. Konseling Profesi yang Menyeluruh. Terjemahan P. M.


Winarno dan Lilian Yuwono. Jakarta: PT Indeks.

Levin, M.M., & Buckett, A. 2011. Discourses regarding ethical challenges in


assessments-Insights through a novel approach. SA Journal of Industrial
Psychology.
Murya, Adnan. 2019. Etika Dan Tanggung Jawab Profesi. Yogyakarta :
Deepublish.

Popoola, B. I. & Oluwatosin, S. A. 2018. Assessment and testing in counseling


practice. Advances in Social Sciences Research Journal. 5 (3).

Safithry, Esty Aryani. 2018. Asesmen Teknik Tes Dan Non Tes. Purwokerto : Cv
Irdh.

Scoyoc, S. V. 2004. Counselling psychology and psychological testing:


Professional issues. Counselling Psychology Review.

Seminar Nasional Daring IIBKIN. 2020. Penggunaan Asesmen dan Tes Psikologi
dalam Bimbingan dan Konseling di Era Adaptasi Kebiasaan Baru.

Sujadi, E. 2018. Kode etik profesi konseling serta permasalahan dalam


penerapannya. Jurnal Tarbawi: Jurnal Ilmu Pendidikan.

Triliva, S. 2004. The use of psychological tests and measurements by


psychologists in the role of a counselor in Greece. Counseling Psychology
Review.

Yarsadin. 2018. Asas Kebebasan Berkontrak Syariah. Jakarta : Prenada Media.

Anda mungkin juga menyukai