Anda di halaman 1dari 5

REFORMASI DALAM SEKTOR KESEHATAN DI INDONESIA

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Administrasi dan Kebijakan
Kesehatan
Tingkat II Semester III
Dosen Pengampu : Indira Chotimah, S.K.M., M.K.M

Disusun oleh :
Kelompok 4
1. Annisa Rahayu Pramesti (221207012329)
2. Dinda Septiani Ramanda (211107010689)
3. Iin Sakinah Rasyid (211107010631)
4. Pito Candra Winata (211107010653)

KELAS REGULER 3-D


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
2023
A. Reformasi Sektor Kesehatan
Pandemi COVID-19 terjadi sebagai kejutan sistemik dalam sistem perawatan
kesehatan tingkat global. Bagi pemerintah Indonesia, pandemi menjadi pengingat
untuk memulai reformasi sektor kesehatan. Kekurangan kebutuhan medis, seperti alat
pelindung diri (APD), pasokan oksigen, obat-obatan, dan kelangkaan tempat tidur di
rumah sakit, perlu menjadi sorotan khusus.
Seiring dengan upaya pemerintah Indonesia dalam memulihkan
perekonomian pascapandemi, perlu ada perbaikan dalam sistem perawatan kesehatan
di Indonesia saat ini. Perbaikan ini meliputi strategi pengendalian biaya, peningkatan
kemampuan manufaktur domestik, serta upaya menarik investasi asing langsung yang
sangat diperlukan.
1. Perbaikan sistem perawatan kesehatan untuk memadukan strategi
pengendalian biaya
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan
Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan diluncurkan pada 2014
patut diapresiasi. Program in merupakan salah satu upaya pemerintah dalam
meningkatkan aksesibilitas kesehatan dan mengatasi biaya kesehatan yang terus
meningkat. JKN dinilai telah berhasil meningkatkan aksesibilitas. Akan tetapi,
program ini belum sukses mengendalikan biaya kesehatan. Dengan demikian,
pemerintah kemungkinan akan menyerap sebagian besar kenaikan harga dan
memberikan beban yang terlalu besar pada pengeluaran fiskal.
Untuk mencapai tujuan pengendalian biaya secara efektif, pemerintah dapat
mulai menangani masalah dalam layanan kesehatan dan obat-obatan dengan
menerapkan dua strategi. Pertama, pemerintah bisa memberi dukungan
pembiayaan awal untuk obat-obatan terapeutik tradisional yang memiliki
kandungan domestik tinggi. Kedua, meningkatkan pendanaan beasiswa bagi
mahasiswa yang tengah menjalani pendidikan di bidang layanan kesehatan dan
medis.
2. Fokus dalam meningkatkan kapasitas manufaktur produk Kesehatan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai persentase
pengeluaran input produk farmasi, sekitar 14,1 persen kegiatan pengolahan obat di
Indonesia menggunakan bahan baku kimia impor. Kemudian, 92 persen alat
kesehatan di Indonesia merupakan barang impor, seperti pinset, gunting dan alat-
alat bedah lain serta alat kesehatan berteknologi tinggi, seperti laser, alat radiologi,
dan peralatan diagnostik lain. Pasokan impor alat kesehatan Indonesia masih
bergantung dari beberapa negara, terutama China, Amerika Serikat (AS), dan
Jerman. China secara konsisten menyumbang lebih dari 20 persen impor untuk
masing-masing subindustri tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan
pada bidang penyediaan fasilitas perawatan medis dan obat-obatan yang memadai,
termasuk antibiotik. Selama pandemi, rumah sakit dan puskesmas mengalami
kelangkaan peralatan medis, terutama masker, ventilator, serta lonjakan harga obat
akibat permintaan yang tinggi.
Data hingga 2021 menunjukkan bahwa 90 persen bahan yang digunakan di
sektor manufaktur farmasi Indonesia diimpor. Kondisi ini mendorong kenaikan
harga obat, terutama pada periode permintaan global yang sedang tinggi dan
depresiasi mata uang. Dengan demikian, Indonesia perlu melakukan diversifikasi
sumber pasokan alat kesehatan dan bahan baku obat. Langkah tepat lain untuk
mengurangi ketergantungan impor alat kesehatan dan farmasi adalah penerbitan
Instruksi Presiden (Inpres) No 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan
Industri Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Inpres ini dikeluarkan untuk
meningkatkan kemudahan dan transparansi perizinan dan persetujuan. Melalui
kebijakan tersebut, pemerintah Indonesia menargetkan setidaknya 25 persen dari
semua alat kesehatan dapat diproduksi di dalam negeri pada 2030. Sejauh ini,
Gabungan Perusahaan Alat Kesehatan dan Laboratorium Indonesia (Gakeslab)
melaporkan telah menerima peningkatan keanggotaan dari 6 menjadi 250
perusahaan yang fokus memproduksi APD.
Pemerintah juga optimistis bisa mengurangi ekspor bahan baku farmasi dari
95 persen menjadi 75 persen dalam kurun waktu empat tahun ke depan. Langkah
yang diambil pemerintah adalah meningkatkan kebutuhan kandungan dalam
negeri atau tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) untuk farmasi. Pemerintah
juga menggelontorkan investasi secara signifikan di pabrik-pabrik Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) yang memanfaatkan kekayaan alam Indonesia dalam
bentuk bahan herbal dan petrokimia. Akan tetapi, berdasarkan data International
Trade Center (ITC), akses Indonesia terhadap perdagangan farmasi, bahkan dalam
hal akses impor, masih rendah. Oleh karena itu, Indonesia perlu memiliki insentif
dan rencana aksi yang baik untuk meningkatkan kapasitas manufaktur darat dari
bahan kimia penting serta manufaktur farmasi.
3. Menarik peluang investasi asing ke sektor Kesehatan
Data menunjukkan bahwa hingga 2020, rasio dokter di Indonesia hanya 0,2
per 1.000 penduduk. Angka ini berada di bawah rekomendasi rasio dokter per
penduduk dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 1:1.000. Selain itu,
rasio tempat tidur di rumah sakit Indonesia hanya 1,2:1.000. Jika dibandingkan
negara Asia Tenggara lain, pasokan tempat tidur rumah sakit dan dokter per kapita
Indonesia berada di posisi terendah. Padahal, permintaan terus mengalami
peningkatan seiring pertumbuhan penduduk yang mengikuti program JKN di
kota-kota besar. Kondisi tersebut sebenarnya merupakan peluang untuk menarik
investor asing dalam mengisi kesenjangan. Hal ini merupakan sebuah kebutuhan
mendesak yang dapat mereformasi sektor perawatan kesehatan. Untuk menarik
modal asing, undang-undang dan peraturan seputar investasi asing ke sektor
kesehatan juga perlu dibenahi. Misalnya, Indonesia perlu memiliki kerangka
hukum yang kuat untuk melindungi hak kekayaan intelektual bagi perusahaan
farmasi asing untuk berkiprah di Tanah Air.
Secara keseluruhan, Indonesia memerlukan reformasi layanan kesehatan dan
farmasi yang komprehensif. Upaya ini bertujuan untuk membangun perekonomian
yang lebih tangguh dan bisa menghadapi tantangan yang lebih kompleks di masa
depan. Reformasi sangat diperlukan untuk meningkatkan kemampuan produksi
dalam negeri pada produk farmasi utama. Indonesia membutuhkan fasilitas
manufaktur hulu yang dapat menghasilkan bahan baku kimia yang diperlukan
untuk memproduksi antibiotik dalam waktu yang relatif lebih singkat. Kemudian,
Indonesia dapat menarik lebih banyak investasi asing dalam bidang kesehatan
dengan tidak hanya meningkatkan daftar investasi yang diizinkan, tetapi juga
dengan menawarkan lebih banyak insentif, keringanan pajak, serta tunjangan
fiskal lain. Insentif ini dapat menarik modal asing yang sangat dibutuhkan agar
masuk.
Sektor kesehatan Indonesia akan mengalami pertumbuhan yang solid seiring
peningkatan kebutuhan layanan kesehatan di masa depan. Terlebih, jumlah
populasi Indonesia merupakan yang terbesar keempat di dunia dan kelas
menengah terus mengalami peningkatan. Dengan reformasi di bidang kesehatan,
Indonesia akan mampu membangun perekonomian yang lebih kuat di masa depan
dan niscaya mampu mencapai potensinya sebagai salah satu negara dengan
perekonomian terbesar di dunia dalam waktu mendatang.

Anda mungkin juga menyukai