Anda di halaman 1dari 10

PERILAKU GENERASI MUDA DALAM PENERAPAN

KETAHANAN NASIONAL DI ERA DIGITAL


SEBAGAI BENTUK BELA NEGARA

Disusun Oleh:
1. Novan Nugraha (2223813)
2. Muhammad Hilman Setiawan (2223817)
3. Maharany Novia Putri (2223818)

PROGRAM STUDI D3 TEKNIK INDUSTRI


POLITEKNIK META INDUSTRI
CIKARANG
2023
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) mengatakan bahwa Indeks
Ketahanan Nasional Indonesia (IKN) telah mengalami penurunan. Survey The Fund for
Place, menunjukan data bahwa Indonesia saat ini ada pada urutan 86 dari 178 negara –
negara di dunia terkait Ketahanan Nasional. Berdasarkan hasil survey lainnya terkait masalah
Bela Negara yang di lakukan pada 106 negara, Indonesia mendapat posisi ke-95. Hal ini
menunjukan posisi yang sangat rendah sekali terkait bela negara (Armawi & Wahidin, 2018).

Menurut Basrie (2002) dalam (Huljanah et al., 2020) mengemukakan bahwa yang
diperlukan untuk dapat membangun Ketahanan Nasional, yaitu ketahanan yang dimiliki oleh
Negara untuk menciptakan stabilitas nasional. Ketahanan Nasional juga merupakan
pendekatan yang utuh menyeluruh atau komprehesif integral yang mencerminkan
keterpaduan antara segala aspek kehidupan nasional bangsa yang terangkum dalam asta
gartra (Gatra Geografi, Gatra Demografi, Gatra Sumber Kekayaan Alam, Gatra Ideologi,
Gatra Politik, Gatra Ekonomi, Gatra Sosial Budaya, Gatra Pertahanan dan Keamanan).

Ketahanan nasional diperlukan bukan hanya sebagai konsepsi politik saja, melainkan
sebagai kebutuhan yang diperlukan dalam menunjang keberhasilan tugas pokok
pemerintahan, seperti: tegaknya hukum dan ketertiban (law and order), terwujudnya
kesejahteraan dan kemakmuran (welfare and prosperity), terselenggaranya pertahanan dan
keamanan (defence and security), terwujudnya keadilan hukum dan keadilan sosial
(juridical justice and social justice), serta terdapatnya kesempatan rakyat untuk
mengaktualisasikan diri (freedom of the people) (Wahyono, 1996) dalam (Armawi &
Wahidin, 2018).

Dalam lima tahun terakhir, posisi Indonesia dalam kondisi kurang tangguh, hal ini
berdasarkan hasil yang dirilis oleh Laboratorium Pengukuran Ketahanan Nasional.
Tantangan tersebut harus segera dicarikan solusinya, salah satu yang harus ditingkatkan dan
dioptimalkan yakni bela negara. Bela negara dapat didefinisikan sebagai suatu tekad, sikap,
dan tindakan warga negara yang teratur, menyeluruh, terpadu, dan berlanjut yang dilandasi
oleh kecintaan pada tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia serta
keyakinan akan kesaktian Pancasila sebagai ideologi negara dan kerelaan untuk berkorban
guna meniadakan setiap ancaman baik yang dari luar negeri maupun dari dalam negeri
yang membahayakan kemerdekaan dan kedaulatan negara, kesatuan dan persatuan bangsa,
keutuhan wilayah dan yurisdiksi, serta nilai – nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
(Azhar, 2001:32) dalam (Armawi & Wahidin, 2018).

Namun pada kenyataannya sikap patriotisme kurang dimiliki oleh generasi muda era
digital saat ini. Semangat bela negara, sikap patriotisme saat ini sudah mulai memudar.
Sekolah sebagai pusat pembelajaran dan pelatihan tidak lagi menyentuh materi-materi
pembelajaran yang demikian. Masih rendahnya kesadaran bela negara, belum optimalnya
kurikulum pendidikan dan pembinaan bela negara dan belum sinergisnya Kementerian atau
Lembaga dan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan metode dan materi pembinaan kesadaran
bela negara di era digital menjadi pokok persoalan yang harus segera dicari solusi
pemecahannya.

Berdasarkan pemaparan dan penjelasan diatas, penulis tertarik untuk mengadakan


penelitian dengan judul “Perilaku Generasi Muda Dalam Penerapan Ketahanan Nasional
Di Era Digital Sebagai Bentuk Bela Negara”

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana perilaku generasi muda dalam penerapan ketahanan nasional di era
digital sebagai bentuk bela negara?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mengetahui perilaku generasi muda dalam penerapan ketahanan nasional di era
digital sebagai bentuk bela negara
BAB 2
PEMBAHASAN

Undang Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara Pasal 6 ayat (1)
menyebutkan bahwa “Pertahanan negara diselenggarakan melalui usaha membangun dan
membina kemampuan, daya tangkal Negara dan bangsa, serta menanggulangi setiap
ancaman”.

Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa “Pertahanan Negara, sebagaimana yang


dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) , diselenggarakan oleh pemerintah dan dipersiapkan secara
dini dengan sistem pertahanan Negara”.

Pasal 9 ayat (1) menyebutkan bahwa “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut
serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan
negara”. Diperkuat dengan ayat (2) Keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara,
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui pendidikan
kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, pengabdian sebagai prajurit
Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib dan pengabdian sesuai dengan
profesi.

Menurut Zainul Ittihad Amin (2014) dalam (Suriata, 2019) mengemukakan


bahwa untuk menghadapi Ancaman, Tantangan, Hambatan dan Gangguan (ATHG) yang
membahayakan kelanggsungan hidup bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
perlu dikerahkan segenap kemampuan, kekuatan, serta potensi yang ada pada bangsa
Indonesia yang terwujud sebagai kesadaran berkemampuan bela negara. Karena itu seluruh
warga negara sejak dini perlu dibekali dengan kemampuan tersebut melalui Pendidikan
Pendahuluan Bela Negara (PPBN) yang bertujuan yaitu meningkatkan kecintaan pada tanah
air, meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, meningkatkan keyakinan Pancasila
sebagai ideologi bangsa, meningkatkan kesadaran bela negara, dan mengembangkan
kemampuan awal bela negara.

Esensi Ketahanan Nasional Melalui Bela Negara


Arus globalisasi yang terjadi sekarang, seolah-olah membalut suatu negara saling
terhubung (interconeted), tanpa batas (borderless), dan saling tergantung (interdependency),
baik satu negara maupun lainnya di dunia ini. Dinamika globalisasi yang terjadi tersebut
sudah masuk ke Indonesia. Perubahan yang terjadi di Indonesia selama setengah abad ini
telah membawa masyarakat ke arah yang penuh dengan fragmentasi dan kohesi sekaligus
(Abdullah, 2006:77) dalam (Armawi & Wahidin, 2018). Dalam konteks ini, Indonesia
mendapat ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan dari globalisasi itu sendiri.
Globalisasi pada dasarnya membawa nilai-nilai baru yang berasal dari luar, kemudian
masuk ke Indonesia, sehingga nilai-nilai baru tersebut belum tentu akan sesuai dengan
kepribadian dan karakter dari masyarakat (society) Indonesia. Berhubung dengan itu, tentunya
dalam nilai-nilai, kepribadian, dan karakter bangsa Indonesia akan bergeser dan bahkan
mungkin di anggap telah usang. Pada tataran mikro dari pola keseharian masyarakat
(society) Indonesia ini, yang telah diwarnai pola pikir, pola sikap, dan pola tindakan yang
bersifat individualistik. Tataran makro dapat dilihat dengan adanya arus globalisasi itu sendiri,
yaitu dari kurang tangguhnya ketahanan nasional Indonesia, sebagaimana dijelaskan di
atas.Kondisi tersebut harus diperbaiki dan diselesaikan, karena dikhawatirkan pada jangka
panjang dapat mengganggu stabilitas nasional. Untuk kepulauan yang besar dimiliki dan
posisi penduduk urutan keempat di dunia.

Oleh karena itu, kondisi tersebut harus segera ada perbaikan dan penyelesaian, karena
dikhawatirkan dalam jangka panjang dapat mengganggu stabilitas nasional. Sebagai negara
kepulauan terbesar dan dengan jumlah penduduk urutan keempat di dunia. Ancaman,
gangguan, hambatan, dan tantangan dari globalisasi itu sendiri, akan berdampak luas pada
masyarakat Indonesia. Berhubungan dengan itu, geostrategic Indonesia diperlukan untuk
mewujudkan dan mempertahankan integrasi bangsa dalam masyarakat majemuk dan
heterogen berdasarkan Pembukaan UUD 1945, geostrategi Indonesia dirumuskan dalam bentuk
ketahanan nasional (Armawi, 2011:62) dalam (Armawi & Wahidin, 2018).

Kondisi Bela Negara Di Era Digital Saat ini


Bela negara bukan sekedar menjadi tanggung jawab TNI dan Polri saja, tetapi
merupakan tanggung jawab semua komponen bangsa, termasuk generasi muda di era
digital saat ini. Selama ini yang terjadi, bela negara lebih dimaknai sebagai pemahaman
yang bersifat fisik saja. Banyak yang mengira bahwa bela negara identik dengan “angkat
senjata”. Bela negara adalah sama dengan “wajib militer?”. Program bela negara biasanya
identik dengan upacara, baris berbaris, ceramah, atau kegiatan lapangan yang menimbulkan
kesan kalau program bela negara berarti pelatihan semi militer atau bersifat militeristik.
Efeknya, banyak orang khususnya generasi muda yang enggan untuk mengikuti program
bela negara. Konsep bela negara nampaknya belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat,
termasuk generasi muda di era digital.

Menghadapi masalah ini, Hamid Muhammad menegaskan bahwa ancaman nyata


terhadap jati diri generasi bangsa saat ini adalah narkoba, pornografi (HIV/ AIDS/LGBT),
hoaks, dan radikalisme/ terorisme. Sedangkan ancaman nyata terhadap kekerasan dan
radikalisme di dunia pendidikan saat ini antara lain sebagai berikut.

a. 84% siswa pernah mengalami kekerasan di sekolah

b. 75% siswa mengakui pernah melakukan kekerasan di sekolah

c. 45% siswa laki-laki menyebutkan bahwa guru atau petugas sekolah merupakan
pelaku kekerasan

d. 22% siswa perempuan menyebutkan bahwa guru atau petugas sekolah merupakan
pelaku kekerasan

e. 40% siswa usia 13-15 tahun melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik oleh
teman sebaya

f. 50% anak melaporkan mengalami perundungan (bullying) di sekolah.

g. 48,9% siswa Jabodetabek setuju aksi radikal.

Masih menurut Hamid Muhammad, menambahkan bahwa fenomena radikalisme yang


dapat mengancam dunia pendidikan saat ini antara lain:

a. Sekolah dijadikan sebagai tempat menyebarkan radikalisme/terorisme melalui


kegiatan pembelajaran di kelas dan di luar kelas: melalui buku pelajaran, kegiatan
ekstra kurikuler/ kerohanian, dan pertemuan- pertemuan.

b. Beberapa kejadian sekolah, guru, dan siswa menghindar dari kegiatan upacara
bendera dan pelajaran kewarganegaraan/sejarah.

c. Pola penyebaran kekerasan semakin kuat melalui media online,


media sosial, dan media internet lainnya yang sangat dekat dengan kehidupan
siswa.

Beberapa kejadian tindak radikalisme dilakukan oleh pelajar (usia sekolah):

1) Kasus teror di Klaten (2011) dan Solo (2015)

2) Kasus di Medan (2016)

3) Kasus anak SMA berangkat ke Syiria di Jakarta (2016)

4) Video anak-anak Indonesia di Syiria (2016)

5) Kasus rentetan terror di Surabaya (2016)


Lebih khusus lagi, Esa Sukmawijaya menyatakan bahwa jumlah pemuda usia
16 sampai 30 tahun pada tahun 2018 sebanyak 63,82 juta (24,15%). Sedangkan tingkat
partisipasi keagamaan pemuda menunjukkan kecenderungan menurun. Tahun 2009
tingkat partisipasi keagamaan 67%, tahun 2012 sebesar 55%, dan tahun 2015 menjadi
51%. Sementara itu, berdasarkan data survey Wahid Foundation dan LSI menemukan
bahwa:

a. 59,9 % responden memiliki rasa benci terhadap nonmuslim, etnis Tionghoa,


komunis dan orang- orang yang berbeda dengan mereka.

b. 92,2 % dari jumlah 59,9 % yang bersikap menolak orang yang dibenci menjadi
pejabat di Indonesia.

c. 82,4 % dari 59,9 % tidak mau bertetangga dengan orang yang dibenci.

Hal tersebut diperparah lagi bahwa saat ini kita tengah dihadapkan kepada

persoalan yang rumit, antara kebenaran dan kebohongan yang semakin sulit dibedakan. Kabar
bohong kembali mengalami kebangkitan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sebagai
gambaran, berikut ini beberapa temuan yang didapatkan berdasarkan Laporan
“DailySosial” terkait dengan Distribusi Hoax di Media Sosial pada tahun 2018 yang terjadi
di Indonesia:

a. Informasi hoax paling banyak ditemukan di platform Facebook (82,25%),


WhatsApp (56,55%), dan Instagram (29,48%).

b. Sebagian besar responden (44,19%) tidak yakin memiliki kepiawaian dalam


mendeteksi berita hoax.

c. Mayoritas responden (51,03%) dari responden memilih untuk berdiam diri (dan
tidak percaya dengan informasi) ketika menemui hoax

Di lain kesempatan, berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informasi


menyatakan bahwa jumlah pengguna media sosial di Indonesia telah mencapai sekitar 132,7
juta orang dan ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang telah terindikasi sebagai penyebar
informasi palsu. Hal tersebut sejalan dengan temuan dari Badan Intelijen Negara (BIN) yang
menyatakan bahwa konten-konten media sosial di Indonesia ternyata didominasi informasi
bohong atau hoaks. Hal ini yang menyebabkan masyarakat mudah terpengaruh dengan
berita-berita tersebut. Dari penelitian, informasi hoaks sudah mencakup 60 % dari konten
media sosial di Indonesia dan 39% mahasiswa terpapar paham-paham radikal serta 24%
mahasiswa setuju menegakkan negara Islam melalui Jihad. Bibit radikal juga ditemukan pada
pelajar SMA (Kompas, 25/05/2019).
Lebih lanjut Timbul Siahaan mengatakan bahwa, program bela negara adalah respons
Kementerian Pertahanan RI dalam mewujudkan program revolusi mental yang digagas
Presiden Joko Widodo. Melalui program ini, diharapkan masyarakat dapat diberikan
kesadaran akan konsep bela negara yang terdiri dari nilai-nilai cinta tanah air, rela
berkorban, dan yakin dengan ideologi Pancasila. Materi dalam program bela negara ini
terbagi menjadi 70-80 persen teori, dan 20-30 persen praktek di lapangan.

Pokok-pokok persoalan yang ditemukan

Berdasarkan analisis dan identifikasi masalah terhadap program pembinaan


kesadaran bela negara di era digital yang terjadi pada saat ini dan mengkaji
bagaimana implikasi kesadaran bela negara untuk memperkokoh ketahanan nasional,
maka terdapat pokok-pokok persoalan yang ditemukan, yaitu:
a. Belum optimalnya kurikulum pendidikan dan pembinaan bela negara generasi muda
di era digital.
b. Masih rendahnya kesadaran bela negara generasi muda di era digital
c. Belum sinergisnya Kementerian/ Lembaga dan Pemerintah Daerah dalam
pelaksanaan materi pembinaan kesadaran bela negara di era digital
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Pada saat ini masih adanya kelemahan atau menurunnya kesadaran bela negara
dalam kehidupan nasional yang meliputi bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
sehingga kesadaran bela negara belum dapat dipahami secara benar yang
mengakibatkan generasi muda melaksanakan berbagai tindakan atau perilaku
melanggar norma hukum, sosial, kesopanan,kesusilaan, agama maupun norma
adat istiadat.
2. Pembudayaan kesadaran bela negara generasi muda di dalam kehidupan
bermasyarakat, lingkungan pendidikan, birokrasi maupun swasta belum terwujud
sehingga situasi dan kondisi masih bersifat pasif.
3. Masih pasifnya generasi muda dalam setiap proses pembentukan perundang-
undangan sehingga aspirasi generasi muda tidak banyak tertampung dalam produk
perundang-undangan di Negara Indonesia.
4. Sistem Pendidikan Nasional masih mengesampingkan bidang studi
pertahanan keamanan (HANKAM) sehingga generasi muda pelajar dan
mahasiswa belum memahami kesadaran bela negara.

3.2 Saran
1. Perlu adanya koordinasi, sinergitas, dan kerjasama antara pemerintah pusat dan
daerah (provinsi, kabuptaen dan kota) dalam menjalankan program kesadaran bela
negara untuk mencapai kewaspadaan generasi muda. Adanya program ini untuk
mencegah dan menangkal terhadap ancaman bangsa untuk meningkatkan ketahanan
nasional.
2. Kurikulum Sistem Pendidikan Nasional harus memuat materi pertahanan keamanan
(HANKAM) dan Bela Negara. Apabila generasi muda memiliki jiwa bela negara
yang tinggi, maka akan meningkat juga ketahanan nasional negara.
DAFTAR PUSTAKA

Armawi, A., & Wahidin, D. (2018). Ketahanan Nasional dan Bela Negara. Wira, 1–62.
Hartono, D. (2020). Fenomena Kesadaran Bela Negara di Era Digital dalam Perspektif Ketahanan
Nasional. Jurnal Kajian Lemhannas RI, 8(1), 19.
Huljanah, A. M., Rahmawati, N., Hidayah, N., Prio, A., & Santoso, A. (2020). Perilaku Masyarakat
Dalam Penerapan Ketahanan Nasional Di Era Covid 19 Sebagai Bentuk Bela Negara. Seminar
Nasional & Call for Paper Hubisintek 2020, 37–43.
Suriata, I. N. (2019). Aktualisasi Kesadaran Bela Negara Bagi Generasi Muda Dalam Meningkatkan
Ketahanan Nasional. Jurnal Administrasi Publik, 4(1), 47–56.
https://www.ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/public-inspiration/article/view/1273/909
Soepandji, K. W., & Farid, M. (2018). Konsep Bela Negara Dalam Perspektif Ketahanan Nasional.
Jurnal Hukum & Pembangunan, 48(3), 436. https://doi.org/10.21143/jhp.vol48.no3.1741

Anda mungkin juga menyukai