Anda di halaman 1dari 13

TERMOKROMIS

Oleh: Wa Ode Supiamarsafela


A. Tujuan Percobaan
Senyawa kompleks memiliki warna yang berbeda-beda dalam berbagai larutan dan
dalam temperatur yang berbeda. Peristiwa ini dipahami sebagai suatu efek termokromis.

B. Dasar Teori
Istilah "termokromisme" didefinisikan sebagai perubahan warna suatu zat, atau
sistem zat, yang terjadi ketika dipanaskan sampai suhu tertentu atau ke kisaran suhu yang
kurang lebih didefinisikan dengan baik. Perubahan warna tersebut mungkin reversibel,
yaitu, warna asli dapat kembali setelah pendinginan atau ireversibel. Perubahan drastis
serupa dalam warna, reversibel atau ireversibel, sering diamati ketika suatu zat atau
sistem didinginkan (Sone & Fukuda, 1923:1).
Teori medan kristal merupakan teori yang menjelaskan interaksi antara atom logam
dengan ligan-ligannya yang sepenuhnya elektrostatik. Teori ini digunakan untuk
menjelaskan warna dan sifat magnetik garam-garam yang memiliki atom pusat logam
transisi dengan orbital d. Garam-garam kompleks merupakan suatu kompleks dengan
atom pusat ion-ion logam transisi yang memiliki orbital-orbital d. Orbital-orbital d ada
lima macam, dxy, dxz, dyz, dx2-y2, dan dz2. Apabila ligan bermuatan negatif atau netral
yang sisi dipol negatifnya di arahkan pada logam transisi ditempatkan di sekitar ion
logam transisi, maka kelima orbital d akan mengalami kenaikan tingkat energi setinggi-
tingginya dari keadaan dasar. Pengaruh ligan terhadap kelima orbital d cenderung tidak
sama kuat (Effendy, 2007: 131-133).
Kompleks oktahedral terdiri dari satu atom pusat logam transisi dengan 6 atom
donor. Kompleks oktahderal memiliki simetri tertinggi apabila ligan-ligan yang terikat
pada atom pusat merupakan ligan monodentat monoatom yang sama seperti ligan Cl -.
Pada pembentukan kompleks oktahedral dianggap ada 6 ligan monodentat yang
mendekati atom pusat sampai pada jarak tertentu saat ikatan-ikatan antara atom pusat
dan ligan-ligan terbentuk. Ligan-ligan tersebut berinteraksi dengan kelima orbital d dari
atom pusat. Pada oktahedral interaksi antara 6 ligan dengan orbital dx2-y2, dan dz2 adalah
sama kuat, demikian pula dengan interaksi ligan dengan orbital dxy, dxz, dyz akan tetapi
letak orbital dx2-y2, dan dz2 dengan orbital dxy, dxz, dyz berbeda, sehingga interaksi antara
ligan dengan orbital dx2-y2, dan dz2 lebih kuat, sehingga kenaikan tingkat energi dx2-y2,
dan dz2 lebih tinggi dibandingkan dengan orbital dxy, dxz, dyz, mengakibatkan adanya
splitting (pemisahan dua kelompok orbital yang memiliki tingkat energi yang berbeda.
Orbital dxy, dxz, dyz, masuk ke dalam kelompok orbital t2g dan orbital dx2-y2, dan dz2 masuk
ke dalam kelompok orbital eg dengan perbedaan tingkat energi keduanya dinyatakan
dalam nilai 10 Dq atau ∆0 (Effendy, 2007: 133-134).
Kompleks tetrahedral terdiri dari satu atom pusat logam transisi dengan 4 atom
donor. Interaksi ligan dengan orbital t2 lebih kuat dibandingkan dengan orbital e.
akibatnya kenaikan tingkat energi orbital t2 lebih tinggi dibandingkan dengan orbital
orbital e sehingga dua kelompok orbital tersebut mengalami pemisahan. Contoh
kompleks tetrahedral adalah [CoCl4]2- dengan konfigurasi atom pusat Co2+ = [Ar] 3d7
(Effendy, 2007: 138-140). Kompleks Co(II) yang paling umum mungkin adalah
oktahedral dan tetrahedral. Hanya sedikit perbedaan dalam kestabilan, dan kedua jenis
dengan ligan yang sama, berada dalam kesetimbangan (Cotton & Wilkinson, 2013: 468).
Faktor yang mempengaruhi kekuatan medan kristal adalah jumlah ligan dan
geometri kompleks. Semakin banyak ligan yang terikat pada atom pusat maka medan
kristal yang timbul makin kuat dan harga 10 Dq makin besar. Faktor lain yang
mempengaruhi kekuatan medan kristal adalah jenis ligan. Fajan dan Tsuchida membuat
urutan relatif kekuatan beberapa ligan sebagai berikut:
I-<Br-<S2-<SCN-<Cl-<NO3-<F-<urea<OH-<ox2-<H2O<NCS-<CH3CN<NH3~py<en
<bipy~phen<NO2-<fosfina<C6H3-<CN-<CO.
(Effendy, 2007: 146).
Apabila atom-atom senyawa kompleks menyerap sinar dengan frekuensi tertentu,
elektron-elektron yang ada dapat mengalami transisi dari tingkat energi terendah
(keadaan dasar) ke tingkat energi yang lebih tinggi. Apabila transisi elektron menyerap
radiasi di frekuensi/panjang gelombang sinar tampak. Warna yang tampak pada suatu
kompleks merupakan warna komplementer dari warna yang diserap oleh kompleks
tersebut. Apabila atom pusat memiliki orbital d yang tidak terisi penuh, maka
dimungkinkan untuk terjadinya transisi elektron dari satu orbital d dengan tingkat energi
terendah (keadaan dasar) ke orbital d lainnya dengan tingkat energi yang lebih tinggi.
Pada kompleks oktahedral transisi elektron adalah dari orbital t2g ke orbital eg, sedangkan
pada kompleks tetrahedral transisi elektron adalah dari orbital e ke t2. Pada kompleks
berwarna ini disertai dengan penyerapan radiasi di panjang gelombang sinar tampak 400-
750 nm (Effendy, 2007: 170).
Cahaya tampak terdiri dari cahaya radiasi dengan panjang gelombang antara 400-
700 nm. Suatu larutan atau zat padat memiliki warna tertentu karena menyerap sebagian
komponen sinar tampak. Warna yang dapat diamati dari larutan atau zat adalah
komponen sinar tampak yang tidak terserap oleh zat tersebut. Berikut ini beberapa
panjang gelombang, warna yang diserap, dan warna yang dapat diamati (Effendy, 2007).
Panjang
Warna yang Warna yang Dapat
Gelombang yang
Diserap Dilihat
Diserap (nm)
410-490 Ungu-biru kehijauan Kuning/merah
490-530 Biru kehijauan/hijau Merah/ungu
530-580 Hijau/kuning Ungu/biru
580-680 Kuning/merah Biru/biru kehijauan

Pengukuran panjang gelombang dan absorbansi bisa dilakukan menggunakan


spektrofotometer, dimana energi transisi elektronik muncul sebagai puncak pita medan
ligan senyawa kompleks. Berdasarkan data panjang gelombang yang diketahui dapat
diketahui pula energinya melalui persamaan:
c
E=h
λ
Keterangan:
E = energi (J)
h = tetapan Planck (6,6262 × 10-34 Js)
c = kecepatan cahaya (3 × 108 m/s)
 = panjang gelombang (m)

(Sukardjo, 1989)
C. ALAT DAN BAHAN
Alat yang digunakan dalam percobaan termokromis antara lain: spektrofotometer UV-
Vis, penangas air, pipet volume 10 mL, erlenmeyer 100 mL, gelas ukur 50 mL, 3 buah
tabung reaksi 5 mL, dan rak tabung reaksi. Adapun bahan yang digunakan yaitu
kobalt(II) klorida heksahidrat (CoCl2.6H2O), aseton, akuades, dan es batu.

D. PROSEDUR PERCOBAAN
1. Preparasi Larutan Sampel
10 mL akuades, 40 mL aseton, dan 1,19 gram CoCl3.6H2O

Dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 mL

Campuran

Dibagi ke dalam 3 tabung reaksi

Sampel ke-1 Sampel ke-2 Sample ke-3

Dimasukkan pada Dimasukkan pada penangas


air es air panas bersuhu 70oC

Diukur spektra absorpsi ketiga sampel secara cepat


pada panjang gelombang antara 400-800 nm
Dicatat

Perubahan warna dan data absorpsi

2. Preparasi Larutan Blanko


1 mL akuades dan 4 mL aseton

Dimasukkan ke dalam tabung reaksi

Larutan blanko sebagai larutan standar absorbansi


E. DATA PENGAMATAN
1. Data Material Safety
Titik
Bahan Kimia Fasa Simbol bahaya Arti simbol bahaya
didih
Kobalt(II) klorida Padatan (s) 1049 °C H302: Berbahaya jika tertelan
heksahidrat -Padatan H317: Dapat menyebabkan reaksi alergi pada kulit
(CoCl2.6H2O) kristal Iritasi H334: Dapat menyebabkan alergi atau gejala asma atau
berwarna kesulitan bernapas jika terhirup
merah H341: Diduga menyebabkan cacat genetik
Berbahaya bagi H350: Dapat menyebabkan kanker
Kesehatan H360: Dapat merusak kesuburan atau bayi yang belum
lahir
H410: Sangat beracun bagi kehidupan akuatik dengan
Berbahaya bagi efek jangka panjang
lingkungan
Aseton Cairan (l) 56 °C H225: Cairan dan uap yang sangat mudah terbakar
(CH3COCH3) -tak berwarna H319: Menyebabkan iritasi mata yang serius
berbau manis H336: Dapat menyebabkan kantuk atau pusing
Mudah Terbakar

Iritasi
Akuades Cairan (l) 100 °C - -
(H2O) -tak berwarna
2. Data Pengamatan ke-1
1. Data Hasil Percobaan

Spektra Absorbansi Warna


Larutan Suhu
λ = 400-800 nm Awal Akhir
Puncak dominan λ sekitar
510 nm dan puncak kedua Biru Merah
Suhu kamar
keunguan jambu
λ sekitar 670 nm
Puncak dominan λ sekitar
CoCl2.6H2O Biru Biru
Suhu dingin 510 nm dan puncak kedua
keunguan keunguan
λ sekitar 670 nm
Puncak dominan λ sekitar
670 nm dan puncak kedua Biru
Suhu panas Biru
keunguan
λ sekitar 515 nm

2. Grafik Absorbansi Sampel

3. Analisis Data
1) Sampel ke-1 (Suhu Kamar)
Energi penyerapan cahaya pada puncak gelombang I
c −34
3 × 108 m⁄s
Eλ1 = h = 6,62 × 10 Js × = 3,89 × 10−19 J
λ1 510 × 10−9 m
Energi penyerapan cahaya pada puncak gelombang II
c 3 × 108 m⁄s
Eλ2 = h = 6,62 × 10−34 Js × = 2,96 × 10−19 J
λ2 670 × 10−9 m
2) Sampel ke-2 (Suhu Dingin)
Energi penyerapan cahaya pada puncak gelombang I
c 3 × 108 m⁄s
Eλ1 = h = 6,62 × 10−34 Js × = 3,89 × 10−19 J
λ1 510 × 10−9 m
Energi penyerapan cahaya pada puncak gelombang II
c 3 × 108 m⁄s
Eλ2 = h = 6,62 × 10−34 Js × = 2,96 × 10−19 J
λ2 670 × 10−9 m

3) Sampel ke-3 (Suhu Panas)


Energi penyerapan cahaya pada puncak gelombang I
c −34
3 × 108 m⁄s
Eλ1 = h = 6,62 × 10 Js × −9
= 2,96 × 10−19 J
λ1 670 × 10 m
Energi penyerapan cahaya pada puncak gelombang II
c 3 × 108 m⁄s
Eλ2 = h = 6,62 × 10−34 Js × = 3,87 × 10−19 J
λ2 515 × 10−9 m
3. Data Pengamatan ke-2
a. Data Hasil Percobaan

Spektra Absorbansi Warna


Larutan Suhu
λ = 400-800 nm Awal Akhir
Puncak dominan λ sekitar
514.06 nm dan puncak Biru Biru
Suhu kamar
keunguan keunguan
kedua λ sekitar 668.75 nm
Puncak dominan λ sekitar
CoCl2.6H2O Biru
Suhu dingin 514.06 nm dan puncak Biru
keunguan
kedua λ sekitar 668.75 nm
Puncak dominan λ sekitar
514.06 nm dan puncak Biru Merah
Suhu panas
keunguan jambu
kedua λ sekitar 668.75 nm
b. Grafik Absorbansi Sampel

c. Analisis Data
1) Sampel ke-1 (Suhu Kamar)
Energi penyerapan cahaya pada puncak gelombang I
c 3 × 108 m⁄s
Eλ1 = h = 6,62 × 10−34 Js × = 3,86 × 10−19 J
λ1 514.06 × 10−9 m
Energi penyerapan cahaya pada puncak gelombang II
c 3 × 108 m⁄s
Eλ2 = h = 6,62 × 10−34 Js × = 2,97 × 10−19 J
λ2 668.75 × 10−9 m
2) Sampel ke-2 (Suhu Dingin)
Energi penyerapan cahaya pada puncak gelombang I
c 3 × 108 m⁄s
Eλ1 = h = 6,62 × 10−34 Js × = 3,86 × 10−19 J
λ1 514.06 × 10−9 m
Energi penyerapan cahaya pada puncak gelombang II
c −34
3 × 108 m⁄s
Eλ2 = h = 6,62 × 10 Js × = 2,97 × 10−19 J
λ2 668.75 × 10−9 m
3) Sampel ke-3 (Suhu Panas)
Energi penyerapan cahaya pada puncak gelombang I
c −34
3 × 108 m⁄s
Eλ1 = h = 6,62 × 10 Js × −9
= 3,86 × 10−19 J
λ1 514.06 × 10 m
Energi penyerapan cahaya pada puncak gelombang II
c 3 × 108 m⁄s
E λ2 = h = 6,62 × 10−34 Js × = 2,97 × 10−19 J
λ2 668.75 × 10−9 m

F. PEMBAHASAN
Percobaan termokromis bertujuan untuk mempelajari efek perubahan suhu (termal)
terhadap perubahan warna yang terjadi pada suatu senyawa ion kompleks. Senyawa ion
kompleks yang diamati adalah senyawa ion kompleks dari ion logam Co2+ yang
memiliki konfigurasi pada atom netralnya, yakni [Ar] 3d7. Adanya orbital d yang tidak
terisi penuh (7 elektron) dapat memungkinkan terjadinya transisi elektron dari satu
orbital d dengan tingkat energi terendah (keadaan dasar) ke orbital d lainnya dengan
tingkat energi yang lebih tinggi apabila atom tersebut menyerap energi yang sesuai pada
panjang gelombang tertentu. Hal ini mengakibatkan senyawa dengan ion Co2+ dapat
memiliki warna tertentu.
Pada percobaan ini, ion Co2+ dalam senyawa CoCl3.6H2O direaksikan dengan
akuades dan aseton. Kedua senyawa tersebut berfungsi sebagai pelarut sekaligus ligan
yang dapat menggantikan posisi ligan pada senyawa CoCl3.6H2O. Selanjutnya masing-
masing campuran ketiga senyawa tersebut diberikan tiga variasi suhu berbeda, yakni
suhu kamar, dingin, dan panas (70oC). Berdasarkan hasil pengamatan pada uji pertama
diperoleh perubahan warna dari semula biru keunguan akibat reaksi setimbang menjadi
merah muda pada suhu kamar dan menjadi biru pada suhu panas (70oC). Hal ini dapat
dijelaskan dari adanya perubahan konfigurasi oktahedral-tetrahedral yang diikuti dengan
adisi-eliminasi dari ligan yang terjadi dalam senyawa ion kompleks Co2+. Senyawa ion
kompleks Co2+ adalah senyawa ion kompleks dalam lingkungan oktahedral [Co(H2O)6]2
atau tetrahedral [CoCl4]2-, dimana dalam larutan terjadi reaksi kesetimbangan sebagai
berikut:
[Co(H2O)6]2+ (aq) + 4 Cl- (aq) [CoCl4]2- (aq) + 6 H2O (l)

Pemanasan Pendinginan
Senyawa ion kompleks oktahedral [Co(H2O)6]2 dalam suhu dingin dapat terbentuk
karena penurunan suhu mengakibatkan penurunan kelarutan pada ion Cl- sehingga
dimungkinkan terbentuknya senyawa ion kompleks oktahedral [Co(H2O)6]2, begitu pula
pada senyawa ion kompleks tetrahedral [CoCl4]2- kenaikan suhu berpengaruh pada
naiknya kelarutan ion Cl- dalam larutan senyawa kompleks.
Pada pembentukan senyawa ion kompleks [Co(H2O)6]2+ dengan struktur kompleks
oktahderal, ligan-ligan H2O berinteraksi dengan kelima orbital d dari atom pusat Co2+
yang mengakibatkan adanya splitting antara orbital t2g (dxy, dxz, dyz) dan eg (dx2-y2, dz2).
Oleh karena ligan H2O yang termasuk ke dalam deret ligan lemah menurut Fajan dan
Tsuchida mengakibatkan kekuatan medan kristal turut melemah, sehingga 7 elektron
pada orbital d akan mengisi orbital t2g sebanyak 5 elektron dengan 3 elektron spin +1/2
dan 2 elektron dengan spin -1/2, sedangkan pada orbital eg diisi oleh 2 elektron dengan
spin +1/2 (atau dengan spin yang sama). akan tetapi dengan terisinya orbital t2g dengan
2 pasang elekron yang spinnya berbeda menghasilkan pentidakstabilan kompleks
dimana energi orbital d meningkat. Sementara pada pembentukan senyawa ion kompleks
[CoCl4]2- dengan struktur kompleks tetrahedral, ligan-ligan Cl- berinteraksi dengan
kelima orbital d dari atom pusat Co2+ yang mengakibatkan adanya splitting antara orbital
t2 (dxy, dxz, dyz) dan e (dx2-y2, dz2). Menurut Fajan dan Tsuchida ligan Cl- yang termasuk
ke dalam deret ligan lemah mengakibatkan kekuatan medan kristal turut melemah. 7
elektron pada orbital d akan mengisi orbital t2 sebanyak 3 elektron dan orbital e diisi
oleh 4 elektron dengan 2 pasang elektron yang memiliki spin berbeda. Sama halnya
dengan senyawa ion kompleks [Co(H2O)6]2+ yang oktahedral, medan kristal senyawa
ion kompleks [CoCl4]2- juga melemah akibat orbital e yang diisi oleh 4 elektron, tetapi
dengan 2 pasang elekron yang spinnya berbeda menghasilkan pentidakstabilan
kompleks.
Meskipun senyawa ion kompleks [Co(H2O)6]2+ dan ion kompleks [CoCl4]2- sama-
sama memiliki medan kristal yang lemah, tetapi berdasarkan pengukuran dengan
spektroskopi data pengamatan ke-1 diperoleh hasil pada suhu kamar dan suhu dingin
puncak dominan λ=510 nm dengan energi sebesar 3,86 × 10-19 J dan puncak kedua λ=670
nm dengan energi sebesar 2,97 × 10-19 J, sedangkan untuk suhu panas diperoleh puncak
dominan λ=670 nm dengan energi sebesar 2,97 × 10-19 J dan puncak kedua λ=515 nm
dengan energi sebesar 3,87 × 10-19 J. Dari data dapat dikatakan bahwa serapan panjang
gelombang oleh ion kompleks [Co(H2O)6]2+ lebih panjang daripada ion kompleks
[CoCl4]2- dan serapan energi oleh ion kompleks [Co(H2O)6]2+ lebih kecil daripada ion
kompleks [CoCl4]2-. Data ini sesuai dengan hubungan ∆0 dengan nilai λ, dimana ligan
yang dipertimbangkan ke dalam ligan lemah Cl- yang mengakibatkan medan kristal
melemah akan menyerap energi yang rendah dengan panjang gelombang yang lebih
panjang, sedangkan ligan yang dipertimbangkan sebagai ligan yang lebih kuat H2O akan
menyerap energi yang tinggi dengan panjang gelombang yang lebih pendek. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa ligan H2O lebih kuat dibandingkan dengan ligan Cl-
Hasil uji coba kedua dengan bahan dan prosedur yang sama memberikan hasil
berbeda. Perbedaan hasil sangat nampak dari warna yang dihasilkan, terlihat pada
sampel yang diberikan perlakuan berupa suhu dingin mengalami perubahan warna dari
biru keunguan menjadi biru dan pada sampel yang diberi perlakuan dengan suhu 70oC
mengalami perubahan warna dari biru keunguan menjadi merah muda. Pada data kedua
juga diperoleh hasil yang sama untuk semua perlakuan, yaitu puncak dominan λ 514,06
nm dengan energi sebesar 3,86 × 10-19 dan puncak kedua λ=668,75 nm dengan energi
sebesar 2,97 × 10-19 J. Jika membandingkan dengan serapan panjang gelombang pada uji
pertama, maka data mengarah pada kondisi yang sama pada sampel dengan perlakuan
suhu dingin dan suhu kamar, ini dapat diindikasikan bahwa suhu tidak dijaga saat proses
pengukuran absorbansi, sehingga perubahan suhu mempengaruhi bentuk struktur yang
terbaca, dalam hal ini kemungkinan besar konfigurasi oktahedral yang dominanlah yang
terbaca. Hal lain juga dapat dipengaruhi dari pergeseran penggantian ligan H2O oleh
pelarut aseton yang memiliki 1 atom donor dengan 2 elektron. Dengan terbentuknya
senyawa kompleks CoCl2(Ac)2 pada suhu kamar dan [CoAc6]2+ pada suhu panas
mengakibatkan perubahan konfigurasi tetrahedral-oktahedral yang diikuti dengan adisi-
eliminasi dari ligan yang terjadi dalam senyawa ion kompleks Co2+. Senyawa ion
kompleks Co2+ dalam pelarut aseton adalah senyawa ion kompleks dalam lingkungan
tetrahedral CoCl2(Ac)2 atau oktahedral [CoAc6]2+, di mana dalam larutan terjadi reaksi
kesetimbangan sebagai berikut:
CoCl2(Ac)2 (aq) + 4 Ac (l) [CoAc6]2+ (aq) + 2 Cl- (aq)

Pemanasan Pendinginan
Reaksi ini juga dapat menjadi alasan mengapa saat senyawa ion kompleks Co2+
berikan suhu panas cenderung memberikan perubahan warna merah muda karena bentuk
strukturnya adalah oktahedral, sementara ketika diberi suhu dingin cenderung
memberikan perubahan biru karena struktur yang ditunjukkan adalah tetrahedral.

G. KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, efek termokromis dapat dipahami
dengan melihat pengaruh variasi suhu pada perubahan warna senyawa kompleks Co2+
yang memiliki atom pusat berorbital d7 yang tidak penuh. Ion kompleks Co2+ mengalami
perubahan konfigurasi oktahedral-tetrahedral yang diikuti dengan perubahan warna yang
mengikuti reaksi kesetimbangan berikut:
[Co(H2O)6]2+ (aq) + 4 Cl- (aq) [CoCl4]2- (aq) + 6 H2O (l)

Pemanasan Pendinginan

H. DAFTAR PUSTAKA
Cotton, A. dan Wilkinson G. (2013). Kimia Anorganik Dasar. UI Press: Jakarta.
Effendy. (2007). Perspektif Baru: Kimia Anorganik. Malang: Banyumedia Publishing.
Sukardjo. 1989. Kimia Anorganik. Yogyakarta: Rineka Cipta.
Sone, F. dan Fukuda, Y. (1923). Inorganic Thermochromism. Berlin: Spinger-Verlag.

I. PERTANYAAN PERCOBAAN
1. Pada temperatur rendah bentuk manakah dari senyawa kompleks di atas yang
dominan? Demikian juga pada temperatur kamar dan tinggi?
Jawab:
Pada temperatur rendah bentuk senyawa kompleks oktahedral lebih dominan
daripada tetrahedral, sedangkan pada temperatur kamar dan tinggi bentuk senyawa
kompleks yang dominan adalah tetrahedral.
2. Jelaskan fenomena pertanyaan nomor 1 tersebut berdasarkan kekuatan ligan H2O
dan Cl-
Jawab:
Menurut Fajan dan Tsuchida ligan Cl- lebih lemah dibandingkan dengan ligan H2O.
Hubungan ∆0 dengan nilai λ dalam teori medan kristal menyatakan bahwa ligan yang
dipertimbangkan ke dalam ligan lemah Cl- yang mengakibatkan medan kristal
melemah akan menyerap energi yang rendah dengan panjang gelombang yang lebih
panjang, sedangkan ligan yang dipertimbangkan sebagai ligan kuat H2O akan
menyerap energi yang tinggi dengan panjang gelombang yang lebih pendek. Hal
tersebut mengakibatkan ligan H2O dapat menggantikan posisi ligan pada senyawa
kompleks Co2+ semula dengan membutuhkan energi yang rendah mengakibatkan
perubahan bentuk struktur cenderung oktahedral dengan medan kristal lemah.
Begitupula pada ligan Cl- dapat menggantikan posisi ligan pada senyawa kompleks
Co2+ semula dengan membutuhkan energi yang lebih tinggi mengakibatkan
perubahan bentuk struktur cenderung tetrahedral dengan medan kristal lemah.

Anda mungkin juga menyukai