Anda di halaman 1dari 17

PERTEMUAN 2

TEORI ETIKA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN

2.1 Etika dan Moral

Terdapat beberapa definisi mengenai etika. Brooks dan Dunn (2012) menggunakan definisi dari
Encyclopedia of Philosophy, yang melihat etika dari tiga definisi, yaitu:
1. Pola umum atau cara pandang kehidupan
2. Sekumpulan aturan perilaku atau kode moral
3. Pertanyaan mengenai cara pandang kehidupan dan aturan prilaku

Definisi pertama terkait dengan etika agama, definisi kedua terkait dengan etika profesional dan
perilaku tidak beretika. Sedangkan definisi ketiga berhubungan dengan cabang filsafat. Etika
profesi akuntansi tentunya berhubungan dengan definisi kedua.

Selanjutnya, jika definisi kedua dikaji lebih lanjut, maka menurut Encyclopedia of Philosophy,
aturan perilaku atau kode moral ini memiliki empat karakteristik, yaitu:
1. Keyakinan tentang sifat manusia
2. Keyakinan tentang cita-cita, tentang sesuatu yang baik atau berharga untuk dikejar atau
dicapai
3. Aturan mengenai apa yang harus dikerjakan dan tidak dikerjakan
4. Motif yang mendorong kita untuk memilih tindakan yang benar atau yang salah.

Keempat karakteristik ini yang menjadi perhatian dari teori-teori etika. Teori-teori ini sebetulnya
berakar pada filsafat etika, yang mana setiap teori masih dipertanyakan kelemahan dan
kekurangannya. Namun dengan mengaitkannya dengan keempat karakteristik ini diharapkan
akan membantu pemahaman mengenai etika sebagai sekumpulan aturan perilaku atau kode
moral.

Seluruh teori pada dasarnya membahas apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan. Namun
masing- masing teori memiliki penekanan yang berbeda. Misalnya, utilitarianisme menekankan
pentingnya aturan untuk mengejar apa yang baik atau diinginkan, sementara itu deontology lebih

1
menekankan pada motif pengambilan keputusan beretika. Etika virtue cenderung untuk melihat
secara lebih utuh sifat kemanusiaan manusia.

Menurut Brooks dan Dunn (2012) terdapat tiga dasar mengapa manusia melakukan tindakan
beretika, yaitu agama, hubungan dengan pihak lain dan persepsi tentang diri sendiri. Agama pada
dasarnya sudah mengatur atau memberi petunjuk mengenai seluruh tindakan manusia di dunia,
yang harus dilakukan dan tidak dilakukan. Dasar yang kedua adalah hubungan dengan pihak
lain. Manusia minimal tidak merugikan pihak lain dan yang terbaik adalah memberikan manfaat
kepada orang lain. Penjabaran hubungan dengan pihak lain yang cukup populer belakangan ini
adalah compassionate (berbelas-kasih dengan sesama). Bentuk lainnya seperti kasih sayang,
cinta, simpati, dan lain-lain. Dasar yang ketiga adalah persepsi tentang diri sendiri. Manusia
melakukan tindakan beretika untuk kepentingan diri sendiri (self interest). Dasar ketiga ini
berdasarkan asumsi bahwa manusia sebetulnya memiliki sifat mementingkan diri sendiri.
Manusia berupaya melakukan tindakan yang memberikan manfaat bagi dirinya sendiri.

Brooks dan Dunn (2012) membedakan antara mementingkan diri sendiri dengan egois. Egois
adalah melakukan tindakan yang memberikan manfaat bagi diri sendiri dengan tidak
memerdulikan apakah tindakan tersebut merugikan pihak lain atau tidak. Sedangkan
mementingkan diri sendiri adalah melakukan tindakan yang memberi manfaat bagi diri sendiri
dengan tidak merugikan pihak lain.

2.2 Enlightened Self Interest sebagai Etika

Paling tidak ada dua filsuf yang memberikan argumentasi bahwa enlightened self interest
merupakan dasar untuk tindakan beretika. Mereka adalah Thomas Hobbes (1588-1679) dan
Adam Smith (1723-1790). Mereka memiliki keyakinan bahwa pada dasarnya manusia memiliki
sifat self interest. Sifat ini bukan ditiadakan tapi justru dimanfaatkan untuk kebaikan. Dengan
melakukan tindakan untuk kepentingan diri sendiri maka akan tercipta suatu kemanfaatan bagi
orang banyak.

Menurut Thomas Hobbes, manusia memiliki kebutuhan dasar untuk menjaga dan
mempertahankan kehidupannya. Manusia juga memiliki orientasi jangka pendek. Untuk

2
mempertahankan kehidupannya, manusia berupaya untuk menguasai sumber daya untuk
kehidupannya dengan segala cara. Jika semua manusia melakukan tindakan yang sama maka
akan terjadi konflik dan peperangan untuk merebut sumber daya tersebut, dan pada akhirnya
yang terjadi adalah kekacauan dan anarki karena kehidupan manusia akan dipenuhi dengan
perebutan sumber daya dan pemusnahan sesama. Sebaliknya, dengan berdamai maka
kehidupan akan lebih baik dalam jangka yang lebih panjang, lebih aman dan lebih pasti. Namun
untuk menciptakan perdamaian, setiap orang harus menerima aturan yang membatasi
kebebasan individual. Manusia tidak lagi mengejar tujuan pribadi mereka jika tujuan tersebut
memberikan dampak negatif bagi orang lain.

Dari perspektif Hobbes, masyarakat madani dapat dilihat sebagai kontrak sukarela antara individu
dimana setiap orang mengorbankan hak dan kebebasan individu mereka untuk mendapatkan
perdamaian dan mempertahankan kehidupannya. Masyarakat yang secara sukarela membatasi
kebebasannya untuk mendapatkan harmoni sosial. Masyarakat ini disebut masyarakat Leviathan,
sesuai dengan judul buku Hobbes yang berisi konsepnya mengenai masyarakat. Bagi Hobbes,
self-interest mendorong terciptanya kerjasama dan terbentuknya masyarakat madani.

Pemikiran yang sama datang dari Adam Smith. Menurutnya self-interest mendorong terciptanya
Kerjasama ekonomi. Pembeli dan penjual sama-sama memiliki kepentingan untuk memuaskan
kebutuhan dan keinginan mereka secara individual. Pembeli ingin memperoleh kepuasan yang
sebesar-besarnya dari pembelian mereka, sedangkan penjual ingin memperoleh laba yang
sebesar-besarnya dari penjualan mereka. Dalam pasar sempurna, pembeli dan penjual
bernegosiasi sehingga tercapai ekuilibrium, yang disebut Smith sebagai natural price. Harga yang
terlalu tinggi menyebabkan pembeli tidak mau membeli, sebaliknya harga yang terlalu rendah
menyebabkan penjual tidak mau menjual. Inilah yang disebut pasar bebas, dimana pembeli dan
penjual bebas tanpa paksaan untuk masuk dan keluar pasar. Persaingan dalam pasar bebas
mendorong harga di mana barang yang tersedia terjual pada harga di mana pembeli bersedia
membayar untuk barang tersebut dan penjual bersedia menjualnya.

Laba diperoleh ketika barang dan jasa dihasilkan secara efisien dan efektif yang dicapai melalui
spesialisasi atau yang dikenal dengan division of labor. Untuk memenangkan persaingan dan
meningkatkan laba, maka produsen didorong untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
melalui spesialisasi dan kerjasama. Pembeli akan memperoleh barang dan jasa yang lebih baik

3
dan atau lebih murah sehingga kepuasan mereka meningkat sementara penjual memperoleh
laba yang lebih besar. Pada akhirnya tercipta masyarakat yang lebih baik. Individu yang self-
interest secara tidak sengaja (atau tidak langsung) meningkatkan kesejahteraan masyarakat
secara keseluruhan. Mereka sebetulnya tidak bermaksud meningkatkan kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan. Mereka hanya memikirkan diri sendiri, dengan memproduksi
barang dan jasa yang terbaik untuk memperoleh keuntungan. Terjadinya peningkatan
kesejahteraan masyarakat yang bukan merupakan tujuan dari produsen disebabkan oleh apa
yang disebut dengan invisible hand.

Ada beberapa hal mengenai konsep ekonomi dari Adam Smith. Pertama, ekonomi adalah
kegiatan Kerjasama sosial. Perusahaan menghasilkan produk dan jasa yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Bisnis adalah kegiatan sosial dan masyarakat berjalan dalam prinsip-prinsip etika.
Kedua, pasar adalah kompetitif, bukan konflik.

Perdagangan tergantung kepada tata cara yang adil, menghormati kontrak dan janji, dan
kerjasama yang saling menguntungkan. Persaingan sehat akan menghasilkan barang dan jasa
dengan kualitas terbaik dengan harga termurah. Persaingan mendorong perusahaan untuk
beroperasi seefisien dan efektif mungkin, untuk memaksimumkan keuntungan jangka panjang.
Ketiga, etika membatasi perilaku oportunistik. Etika akan mengawasi egoisme dan kerakusan
yang tidak terkendali. Manusia akan mengikuti prinsip-prinsip etika untuk kebaikan bagi
masyarakat, dan untuk kebaikan bagi ekonomi.

2.3 Teori Etika

Teleologi: Utilitarianisme dan Impact Analysis


Teleologi berasal dari bahasa Yunani telos yang berarti akhir, konsekuensi atau hasil. Jadi teori
teleologi mempelajari perilaku etika yang terkait dengan hasil atau konsekuensi dari keputusan-
keputusan beretika, Teleologi dikembangkan oleh filsuf-filsuf aliran empiris dari Inggris, seperti
John Locke (1632-1704), Jeremy Bentham (1748-1832), James Mill (1773-1836) dan John Stuart
Mill (1806-1873).
Menurut teori teleologi, suatu keputusan etika yang benar atau salah tergantung apakah
keputusan tersebut memberikan hasil yang positif atau negatif. Sebuah keputusan yang secara
etika benar memberikan hasil yang positif, sedangkan keputusan yang secara etika salah adalah
keputusan dengan hasil negatif.

4
Kualitas etika dari pengambil keputusan dan keputusannya ditentukan berdasarkan hasil dari
keputusan tersebut. Jika keputusan memberikan hasil yang positif, seperti membantu seseorang
sehingga berhasil mencapai yang dicita-citakan, maka keputusan tersebut secara etika benar.
Hasil positif lainnya antara lain kebahagiaan, kenikmatan, kesehatan, kecantikan, dan
pengetahuan. Sedangkan hasil keputusan yang negatif seperti ketidakbahagiaan, penderitaan,
sakit, terlihat buruk, dan ketidakpedulian.

Penjabaran mengenai teori teleologi ada pada utilitarianisme. Utilitarianisme mendefinisikan baik
atau buruk dalam bentuk konsekuensi kesenangan (pleasure) dan kesakitan (pain). Tindakan
yang beretika adalah tindakan yang menghasilkan kesenangan atau rasa senang yang paling
banyak atau rasa sakit yang paling sedikit. Teori ini berdasarkan asumsi bahwa tujuan hidup
adalah untuk bahagia dan segala sesuatu yang mendorong kebahagiaan secara etika baik.

Mill berargumentasi bahwa kesenangan dan kesakitan memiliki aspek kualitatif dan kuantitatif.
Bentham bahkan mengembangkan model kalkulus kesenangan dan kesakitan berdasarkan
beberapa aspek seperti intensitas, durasi, kepastian, dan lain-lain. Menurut Mill, kesenangan dan
kesakitan memiliki kualitas yang berbeda-beda. Bisa terjadi untuk mencapai suatu kesenangan
yang lebih besar di masa depan seseorang bersedia untuk mengalami kesakitan pada saat ini.
Utilitarianisme berbeda dengan hedonisme. Hedonisme pada individu yang mengejar
kesenangan individual. Sedangkan utilitarianisme melihat kesenangan pada tingkat masyarakat.
Kesenangan dari pengambil keputusan dan pihak lain yang dipengaruhi oleh keputusan tersebut
harus diperhatikan, namun bobot terbesar bukan kesenangan untuk pengambil keputusan.

Terdapat dua aliran dari utilitarianisme, yaitu utilitarianisme tindakan dan utilitarianisme aturan.
Pada aliran utilitarianisme tindakan, atau lebih dikenal sebagai consequentialisme, tindakan yang
secara etika baik atau benar jika tindakan tersebut akan menghasilkan lebih banyak kebaikan
daripada keburukan. Sedangkan utilitarianisme, aturan menyarankan agar manusia mengikuti
aturan yang akan menghasilkan lebih banyak kebaikan daripada keburukan, dan menghindari
aturan yang menghasilkan kebalikannya.

5
Prasyarat untuk dapat melakukan tindakan yang secara etika baik atau benar adalah bahwa
selisih antara kesenangan dan kesakitan dapat dihitung. Dan setiap pengambil keputusan harus
melakukan kalkulasi, sebagaimana proses pengambilan keputusan rasional.

Sedangkan utilitarianisme aturan relatif lebih sederhana. Aliran ini memahami bahwa dalam
melakukan pengambilan keputusan, manusia sering menggunakan aturan atau prinsip-prinsip.
Jadi prinsip umum untuk utilitarianisme aturan adalah ikuti aturan yang cenderung dapat
memberikan selisih terbesar antara kesenangan dan kesakitan kepada jumlah orang yang
terbanyak yang mungkin terpengaruh oleh keputusan ini.

Orientasi kepada konsekuen atau hasil menyebabkan banyak yang salah mengartikan
utilitarianisme dengan prinsip politik, tujuan menghalalkan cara. Misalnya untuk ketertiban dan
keindahan kota dilakukan penggusuran secara paksa terhadap perkampungan tertentu atau
pembakaran terhadap bangunan liar. Prinsip politik bukan merupakan teori etika karena salah
mengasumsikan cara dan hasil merupakan hal yang ekuivalen secara etika dan mengasumsikan
hanya satu cara untuk mencapai hasil tertentu. Misalnya ada dua orang eksekutif yang
melakukan manipulasi laporan keuangan, namun dengan tujuan yang berbeda. Eksekutif
pertama melakukannya untuk memperoleh bonus, sedangkan eksekutif kedua melakukannya
untuk menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan. Walaupun eksekutif kedua memiliki tujuan
yang lebih mulia, namun ia menggunakan cara yang salah. Tidak ada pembenaran (rasionalisasi)
untuk pemilihan cara yang salah. Secara etika, eksekutif kedua harus mengupayakan cara lain
untuk menyelamatkan perusahaan.

Utilitiarianisme memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan pertama adalah belum ada satu
ukuran untuk kesenangan dan kebahagiaan. Kedua adalah permasalahan dalam distribusi dan
intensitas kebahagiaan. Misalnya mana yang lebih baik antara memberi beasiswa kuliah ke luar
negeri untuk dua orang mahasiswa atau memberikan beasiswa kuliah di dalam negeri untuk 20
(dua puluh) orang mahasiswa. Mahasiswa yang kuliah di luar negeri akan memperoleh intensitas
kebahagiaan yang lebih tinggi, namun pemberian beasiswa dalam negeri membahagiakan lebih
banyak orang.

Permasalahan ketiga adalah menyangkup cakupan. Siapa yang harus diperhatikan dalam
pengambilan keputusan beretika? Misalnya dalam keputusan eksploitasi sumber daya alam.

6
Apakah hanya memperhatikan kebahagiaan generasi sekarang (eksploitasi sebesar-besarnya)
atau termasuk generasi di masa mendatang (eksploitasi secara terbatas).

Permasalahan keempat adalah kepentingan minoritas yang terabaikan akibat keinginan untuk
memenuhi kebahagiaan lebih banyak orang (mayoritas). Kelima, utilitarianisme mengabaikan
motivasi dan hanya berfokus pada konsekuensi, sebagaimana yang terjadi pada kasus dua
eksekutif yang melakukan manipulasi laporan keuangan. Permasalahan motivasi ini yang ingin
dipecahkan melalui teori deontologi.

Etika Deontologi: Motivasi untuk berperilaku

Deontologi berasal dari bahasa Yunani deon yang berarti tugas atau kewajiban. Deontologi terkait
dengan tugas dan tanggung jawab etika seseorang. Deontologi mengevaluasi perilaku beretika
berdasarkan motivasi dari pengambil keputusan. Menurut teori deontologi, suatu tindakan dapat
saja secara etika benar walaupun tidak menghasilkan selisih positif antara kebaikan dan
keburukan untuk pengambil keputusan atau masyarakat secara keseluruhan.

Immanuel Kant (1724-1804) merupakan tokoh utama dalam teori deontologi ini. Bagi Kant, suatu
kebaikan yang tidak terbantahkan adalah niat baik, niat untuk mengikuti apapun yang menjadi
alasan untuk melakukan tindakan tersebut tanpa mempedulikan konsekuensi dari tindakan
tersebut terhadap diri sendiri. Menurut Kant seluruh konsep moral diturunkan lebih berasal dari
pemikiran daripada dari pengalaman. Niat baik terwujud jika tindakan dilakukan semata-mata
untuk melaksanakan tugas dan kewajiban, dimana di dalam tugas dan kewajiban terdapat
kesadaran dan ketaatan terhadap hukum dan aturan. Hal ini diwujudkan dengan pernyataan:
“dalam situasi seperti ini saya harus melakukan hal ini dan tidak boleh melakukan hal itu”.
Dorongan untuk melaksanakan suatu tugas unik untuk setiap orang. Hal ini yang membedakan
manusia dengan makhluk lainnya di dunia. Mereka bertindak sesuai dengan hukum alam,
sedangkan manusia bertindak berdasarkan gagasan mengenai aturan (misalnya sesuai dengan
prinsip-prinsip yang rasional).

Bagi Kant, tugas adalah standar di mana perilaku beretika dievaluasi. Moral ada jika orang
bertindak berdasarkan tugas yang dirasakannya. Kita bertindak benar jika kita mengikuti tugas
dan kewajiban etika, bukan karena tindakan tersebut menghasilkan hasil yang baik atau karena
tindakan tersebut akan meningkatkan kesenangan dan kebahagiaan kita. Semata-mata hanya

7
untuk melaksanakan tugas. Motivasi untuk melaksanakan tugas yang memberikan nilai moral
kepada satu tindakan. Tindakan lainnya dapat bermotif kepentingan sendiri ataupun kepentingan
orang lain. Jika kita melayani pelanggan dengan tulus agar mereka datang kembali, maka kita
bertindak lebih untuk kepentingan sendiri daripada melaksanakan tugas. Melayani pelanggan
dengan ketulusan tersebut mungkin akan mengundang pujian dan kekaguman, tapi tidak memiliki
nilai moral.

Kant mengembangkan dua “hukum” untuk menilai tindakan yang beretika. Pertama adalah
categorical imperative. Ini, menurutnya, merupakan prinsip utama dari moralitas. Hukum ini
menuntut kita untuk bertindak dengan mempertimbangkan bahwa orang lain yang berada dalam
situasi yang sama akan melakukan tindakan yang sama. Hukum ini disebut imperative karena
harus ditaati dan disebut categorical karena tidak bersyarat dan absolut.

Terdapat dua aspek dalam hukum categorical imperative ini. Pertama, Kant mengasumsikan
bahwa hukum mengandung kewajiban. Hukum etika mengandung kewajiban etika. Tindakan
beretika adalah Tindakan yang harus dilakukan berdasarkan hukum etika. Pengambilan
keputusan dan perilaku beretika dapat dijelaskan melalui hukum etika yang harus ditaati. Kedua,
suatu tindakan yang beretika dengan benar jika dan hanya jika tindakan tersebut konsisten
secara universal. Artinya, tindakan tersebut dapat diikuti oleh siapa saja yang dalam situasi yang
sama walaupun kita dirugikan oleh tindakan tersebut oleh orang lain yang mengikut dan mentaati
tindakan kita. Kita tidak mungkin melakukan pengecualian untuk diri kita.

Kant menggunakan contoh menyederai janji. Jika kita ingin menyederai janji maka kita membuat
hukum yang dapat diikuti oleh orang lain. Jika semua orang melakukannya maka kita akan
dirugikan juga atas orang-orang yang menyederai janjinya kepada kita. Karena tidak masuk akal
untuk membuat aturan bahwa setiap orang harus menjaga janjinya, kecuali kita (yang boleh
menyederai janji yang kita buat). Kita tidak mungkin meminta setiap orang untuk jujur terhadap
kita, sementara kita boleh berbohong terhadap mereka.

8
Hukum Kant yang kedua adalah Practical Imperative dalam berhubungan dengan pihak lain.
Setiap orang harus kita perlakukan sama, sebagaimana kita memperlakukan diri sendiri. Jika kita
menjadikan diri kita sebagai tujuan, demikian pula kita menjadikan orang lain sebagai tujuan bagi
dirinya. Kita dapat memanfaatkan orang lain sepanjang orang tersebut juga menjadi bagian dari
tujuan kita. Sebagai contoh, kantor akuntan dapat memanfaatkan tenaga kerja yang lebih murah
dari mahasiswa magang, sehingga memperoleh keuntungan yang lebih besar. Kantor akuntan
tersebut bertindak tidak beretika jika memanfaatkan mahasiswa magang untuk memperoleh
keuntungan yang lebih besar. Mahasiswa magang secara etika tidak sekedar menjadi alat untuk
meningkatkan efisiensi tapi juga memperoleh tambahan kemampuan sebagaimana yang mereka
harapkan dari program magang, termasuk kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan mengenai diri mereka.

Setiap orang berhak untuk mengejar tujuan hidup mereka sepanjang tidak melanggar practical
imperative. Memperlakukan orang lain sebagai tujuan berarti mengakui bahwa kita semua
merupakan bagian dari masyarakat. Kita harus bertindak positif untuk mencapai tujuan kita,
namun kita memiliki tugas atau kewajiban untuk menolong orang lain mencapai tujuannya.

Sebagaimana teori etika lainnya, teori deontologi juga dianggap memiliki kelemahan. Kelemahan
pertama adalah categorical imperative tidak memberikan pedoman yang jelas untuk memutuskan
apa yang benar dan salah ketika dua hukum moral bertentangan dan hanya satu yang dapat
diikuti. Hukum moral yang bagaimana yang harus dipilih? Berbeda dengan utilitarianisme yang
dapat mengevaluasi tindakan melalui konsekuensinya, teori dentologi tindak menganggap
konsekuensi relevan. Hal yang terpenting bagi teori deontologi adalah niat dari pengambil
keputusan dan ketaatan pengambil keputusan terhadap categorical imperative.

Justice and Fairness – Memeriksa Keseimbangan


Filsuf Inggris David Hume (1711-1776) meyakini bahwa kebutuhan keadilan muncul karena dua
alasan. Pertama bahwa manusia tidak selalu bersifat baik dan penolong, dan kedua adalah
masalah kelangkaan sumber daya. Sebagaimana filsuf empiris lainnya, Hume percaya bahwa
masyarakat dibentuk sikap yang mementingkan diri sendiri. Namun, manusia tidak dapat
menghidupi diri sendiri sehingga harus bekerjasama dengan orang lain untuk dapat bertahan dan
meningkatkan kesejahteraan. Di lain pihak, dengan keterbatasan sumber daya dan kemungkinan

9
adanya seseorang yang memperoleh manfaat lebih dengan pengorbanan orang lain, maka timbul
kebutuhan mekanisme alokasi manfaat dan beban secara adil kepada seluruh anggota
masyarakat. Hume berargumentasi justice sebagai mekanisme. Justice adalah proses pemberian
atau alokasi sumber daya dan beban berdasarkan alasan rasional. Ada dua aspek dari justice,
yaitu procedural justice (proses penentuan alokasi) dan distributive justice (alokasi yang
dilakukan).

Procedural justice berkepentingan dengan bagaimana justice diadministrasikan. Aspek utama


dari suatu sistem hukum yang adil adalah prosedur yang adil dan transparan. Artinya setiap orang
diperlakukan sama dan aturan diterapkan tanpa membedakan. Penerapan hukum harus
konsisten di dalam wilayah hokum kapanpun terjadi.

Keadilan juga dapat dinilai berdasarkan fakta. Artinya informasi yang digunakan untuk menilai
sebuah tuntutan harus relevan, dapat dipercaya dan mudah diperoleh. Selain itu ada kesempatan
untuk mengajukan banding. Pihak yang kalah dapat meminta otoritas yang lebih tinggi untuk
melakukan review sehingga kemungkinan kesalahan dapat dikoreksi. Baik penilaian terhadap
informasi yang digunakan maupun kemampuan untuk banding tergantung tingkat transparansi
dari proses.

Distributive Justice IAI

Aristoteles (384-322 SM) dikenal sebagai orang pertama yang berargumentasi bahwa kesamaan
harus diperlakukan secara sama sedangkan ketidaksamaan harus diperlakukan secara tidak
sama sesuai dengan proporsi perbedaan yang terjadi. Anggapan bahwa semua orang sama tidak
selalu benar. Terdapat dua hal yang terkait dengan perbedaan antara masing-masing orang.
Pertama adalah pembuktian bahwa ada ketidaksamaan antara masing-masing orang. Untuk itu,
perlu digunakan kriteria-kriteria yang relevan sesuai dengan kebutuhan situasi. Kedua adalah
bagaimana melakukan suatu distributive justice, melakukan alokasi yang adil berdasarkan
ketidaksamaan.

Paling tidak terdapat tiga kriteria yang dapat digunakan untuk melakukan alokasi, yaitu
berdasarkan kebutuhan, aritmatika kesamaan, dan merit. Sistem perpajakan cenderung
menggunakan kritera kebutuhan, di mana anggota masyarakat yang beruntung secara ekonomi
membayar pajak untuk didistribusikan kepada anggota masyarakat yang kurang beruntung.

10
Kriteria kedua adalah aritmatika kesamaan. Sebagai contoh, untuk menjamin distribusi yang
sama dalam pembagian kue, maka orang yang bertugas memotong kue mendapatkan potongan
yang terakhir. Kriteria ketiga adalah berdasarkan merit. Seorang yang memberikan kontribusi
lebih atas suatu pekerjaan akan mendapatkan alokasi yang lebih besar.

Persepsi merupakan hal yang penting dalam distributive justice dan dapat menimbulkan rasa
ketidakadilan. Banyak orang yang merasa kurang adil untuk membayar pajak yang lebih besar
karena merasa apa yang diperolehnya merupakan hasil kerja keras. Apalagi kemudian mereka
merasa uang pajak tersebut didistribusikan kepada orang-orang yang bukan tidak beruntung,
tetapi karena malas.

Dengan ketidaksempurnaan pada kriteria yang digunakan, dapat terjadi alokasi yang tidak adil
pada distributive justice. Seorang filsuf Amerika, John Rawls (1921-2002) mengembangkan
sebuah argumentasi justice as fairness. Ia mengembangkan Theory of Justice berdasarkan
asumsi self-interest dan self-reliance. Tidak ada orang yang dapat memperoleh semua yang
diinginkan karena orang lain akan mencegah orang tersebut untuk memperoleh keinginannya
karena mereka juga menginginkannya. Karena itu dibutuhkan kerjasama agar semuanya
mendapatkan sesuai dengan kebutuhannya. Masyarakat dapat dilihat sebagai suatu pengaturan
kerjasama untuk kepentingan bersama, dimana diusahakan untuk menyeimbangkan konflik
kepentingan dengan mengidentifikasikan kepentingan yang dapat dipenuhi, sehingga dapat
tercipta kehidupan yang lebih baik bagi setiap orang. Permasalahannya adalah sifat manusia
menginginkan proporsi manfaat yang lebih besar dengan proporsi beban yang lebih kecil
menciptakan konflik mengenai bagaimana alokasi manfaat dan beban masyarakat harus
dialokasikan. Untuk itu Rawls mengusulkan principles of justice, suatu prinsip untuk alokasi yang
adil antar anggota masyarakat. Prinsip ini menetapkan hak dan tugas dari anggota masyarakat
dan menetapkan suatu pembagian masyarakat berdasarkan kelebihannya secara sosial.

Rawls mencoba membuat suatu pertanyaan hipotetikal, prinsip keadilan apa yang akan dipilih
oleh anggota masyarakat yang bebas dan rasional dalam situasi ketidaktahuan (veil of
ignorance). Pada situasi ini, orang-orang yang bertugas untuk menetapkan prinsip tidak
mengetahui sebelumnya posisi mereka (kelas, sosial,ekonomi, politik, gender, etnik, dan lain-
lain) di dalam masyarakat, barang-barang primer (hak, kekuasaan, kesempatan, dan lain-lain)
yang dimiliki dan kondisi fisik mereka (kesehatan, kecerdasan, dan lain-lain). Menurut Rawls,

11
situasi ini adalah situasi di mana masing-masing pihak sama-sama terwakili sebagai orang yang
bermoral dan hasil kesepakatan tidak tergantung pada pertimbangan-pertimbangan berbagai
kemungkinan yang tidak pasti atau keseimbangan antar berbagai kekuatan sosial. Justice as
fairness artinya adalah apapun prinsip-prinsip yang disepakati pada tahap awal ini akan dianggap
adil untuk semua pihak, karena kalau tidak dirasakan adil maka tidak terjadi kesepakatan.

Rawls yakin bahwa dalam tahap awal hipotetikal ini orang akan sepakat pada dua prinsip, yaitu
harus ada kesamaan dalam pembagian hak-hak dasar dan tanggung jawab, dan jika terjadi
ketidaksamaan (kesenjangan) sosial dan ekonomi, maka manfaat harus diberikan kepada
masyarakat anggota masyarakat yang paling tidak beruntung (difference principle) dan akses
untuk ketidaksamaan (perbedaan) harus terbuka untuk siapa saja (fair equality of opportunity).

Difference principles memahami bahwa secara alamiah terjadi perbedaan antar manusia. Ada
manusia yang dilahirkan di daerah yang kaya kekayaan alam, ada yang dilahirkan dari keluarga
kaya dan terhormat, dan ada yang lahir dengan bakat-bakat tertentu. Jadi sejak lahir manusia
sudah dalam kondisi yang berbeda dan tidak adil. Namun, akan tercipta keadilan jika manusia-
manusia yang lahir dalam kelebihan menggunakan kelebihannya tidak hanya untuk
kepentingannya tapi juga untuk kepentingan dari orang-orang yang dalam kekurangan. Dengan
prinsip justice as fairness apa yang disebut benar dan adil adalah setiap orang memperoleh
kemanfaatan dari situasi ketidaksamaan (perbedaan) sosial dan ekonomi.

Virtue Ethics

Virtue ethics berasal dari pemikiran Aristoteles yang mencoba membuat konsep mengenai
kehidupan yang baik. Menurutnya, tujuan kehidupan adalah kebahagiaan. Kebahagiaan versi
Aristoteles adalah kegiatan jiwa, bukan kegiatan fisik sebagaimana konsep kebahagiaan
hedonisme, Kita akan mencapai kebahagiaan dengan kehidupan yang penuh kebajikan,
kehidupan yang mengikuti alasan. Virtue adalah karakter jiwa yang terwujud dalam tindakan-
tindakan sukarela (yaitu tindakan yang dipilih secara sadar dan sengaja). Kita akan menjadi orang
baik jika secara teratur melakukan tindakan kebajikan. Tapi, selain itu, menurut Aristoteles,
dibutuhkan pula pendidikan etika untuk mengetahui tindakan-tindakan yang baik.

12
Virtue ethics berfokus kepada karakter moral dari pengambil keputusan, bukan konsekuensi dari
keputusan (utilitarianisme) atau motivasi dari pengambil keputusan (deontologi). Teori ini
mengambil pendekatan yang lebih holistik untuk memahami perilaku beretika dari manusia. Teori
ini menerima bahwa banyak aspek dari kepribadian kita. Setiap dari kita memiliki keragaman
karakter yang berkembang sejalan dengan kematangan emosional dan etika. Setelah terbentuk,
ciri-ciri karakter akan stabil.

Dengan berfokus pada manusia secara utuh, teori ini terhindar dari dikotomi yang salah antara
utilitarianisme dan deontologi. Keunggulan dari virtue ethics adalah teori ini mengambil
pandangan yang lebih luas dalam memahami pengambil keputusan yang memiliki beragam ciri-
ciri karakter.

Dua permasalahan utama dari virtue ethics, menurut Brooks dan Dunn (2012) adalah
menentukan virtues apa yang harus dimiliki seseorang sesuai dengan jabatan dan tugasnya, dan
bagaimana virtues ditunjukkan di tempat kerja.

Sebuah virtue yang menjadi kunci dalam bisnis adalah integritas, yang meliputi kejujuran dan
ketulusan. Untuk sebuah perusahaan artinya konsisten dengan prinsip-prinsip perusahaan.
Permasalahan dari virtue ethics adalah sulit untuk membuat daftar yang lengkap mengenai virtue
dan ada kemungkinan virtue tergantung kepada situasi tertentu.

2.4 Pengambilan Keputusan Beretika

Brooks dan Dunn (2012) mencoba untuk menyatukan teori-teori etika dalam penjelasan
pengambilan keputusan beretika. Permasalahannya adalah sebetulnya tidak mudah membuat
suatu penyatuan dari teori- teori tersebut. Theory of justice terbatas dalam konteks kontrak sosial
di dalam masyarakat. Sedangkan teori virtue ethics sebetulnya lebih berfokus pada karakter dari
pengambil keputusan, bukan proses pengambilan keputusan itu sendiri. Mendalami teori-teori
etika di atas sebetulnya sudah memberikan wawasan bagi pengambil keputusan tanpa harus
menggunakan pedoman pengambilan keputusan. Namun bagi beberapa pengambil keputusan
lebih menyukai pedoman praktis daripada harus mendalami teori-teori yang filosofis.

13
Berikut ini adalah beberapa pedoman yang dapat digunakan pengambilan keputusan beretik:

Sniff Tests & Common Rules of Thumb – Preliminary Tests of the Ethicality of a Decision

Sniff test merupakan semacam preliminary test yang dapat dilakukan dengan cepat sekedar
untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil telah melalui beberapa test etika. Berikut ini
sniff test yang biasanya digunakan:

• Apakah saya nyaman jika tindakan atau keputusan ini muncul besok pagi di halaman
pertama surat kabar nasional?
• Apakah saya bangga dengan keputusan ini?
• Apakah ibu saya bangga dengan keputusan yang saya ambil?
• Apakah keputusan ini sesuai dengan misi dan kode etik perusahaan?
• Apakah saya nyaman dengan keputusan ini?

Sebagaimana dapat dilihat di atas, sniff test tidak berhubungan langsung dengan teori-teori etika
yang telah dibahas sebelumnya.

Selain itu, banyak eksekutif menggunakan semacam rule of thumb dalam proses pengambilan
keputusan beretika, sebagaimana contoh di bawah ini:

Golden rule Jangan perlakukan orang lain yang kamu tidak ingin mereka lakukan
terhadapmu
Disclosure rule Jika anda nyaman dengan tindakan dan keputusan yang akan
diambil setelah menanyakan pada diri sendiri, apakah anda tidak
berkeberatan jika rekan kerja, teman, dan keluarga anda mengetahui
hal ini
Intuition ethics Lakukan apa yang “kata hati” anda katakan
Categorical imperative Anda dapat menerapkan prinsip ini jika secara konsisten juga dapat
diterapkan oleh orang lain
Professional ethics Lakukan hanya yang dapat dijelaskan dan dipertanggungjawabkan
kepada Komite, jika diminta
Prinsip utilitarian Lakukan yang terbaik (paling bermanfaat) bagi sebanyak mungkin
orang
Prinsip virtue Lakukan apa yang dapat menggambarkan virtue yang diharapkan.

14
Stakeholder Impact Analysis

Sesuai dengan judulnya, maka stakeholder impact analysis merupakan penerapan teori
utilitarianisme dalam keputusan bisnis. Kelebihan dari stakeholder impact analysis ini adalah
memberikan kerangka analisis mengenai pihak-pihak yang kemungkinan terkena pengaruh dari
keputusan yang diambil.

Tahapan dalam stakeholder impact analysis adalah sebagai berikut:


1. Analisis kepentingan dari masing-masing pemangku kepentingan
2. Hitung dampak yang dapat dikuantifikasi
a. Laba.
b. Dampak yang tidak tercakup dalam laba namun dapat diukur langsung. Biasanya
ini adalah biaya eksternalitas, misalnya biaya kerusakan lingkungan akibat tidak
dilakukan pengolahan limbah. Atau biaya kemacetan lalu lintas dengan
bertambahnya jumlah kendaraan.
c. Dampak yang tidak tercakup dalam laba dan tidak dapat diukur langsung.
Misalnya biaya pengobatan dari penyakit yang mungkin terjadi akibat polusi yang
dilakukan perusahaan. Atau biaya sosial akibat pengurangan pegawai.
d. Hitung net present value dari selisih present value dari benefit dikurangi present
value dari biaya akibat tindakan yang sedang dipertimbangkan akan dilakukan.
e. Hitung risk benefit analysis.
f. Identifikasi pemangku kepentingan yang berpotensi terkena pengaruh dari
keputusan dan buat peringkat.
3. Lakukan penilaian terhadap dampak yang tidak dapat dikuantifikasi.
a. Keadilan dan kesetaraan antar pemangku kepentingan.
b. Hak-hak dari pemangku kepentingan.

2.5 Kasus Ford Pinto

Berikut ini adalah tambahan data atas kasus Ford Pinto. Tujuannya adalah memberi gambaran
bahwa tidak mudah bahkan bagi orang yang memiliki prinsip yang kuat untuk tidak terpengaruh
oleh nilai-nilai yang berlaku di organisasi tempat ia bekerja, terlebih sebagai pegawai baru dan
merupakan bagian kecil dari organisasi.

15
Setelah menyelesaikan pendidikan MBA di tahun 1972, Dennis A Gioia diterima bekerja di
perusahaan impiannya, yaitu Ford Motor Company. Sebagai generasi yang tumbuh di tahun
1960an, ia aktif terlibat dalam demonstrasi anti perang Vietnam dan berbagai gerakan protes
lainnya. Ia tumbuh menjadi orang yang sangat berprinsip. dan siap untuk mengubah dunia.
Keputusannya untuk bekerja di Ford bertujuan untuk mengubah Ford dari dalam agar menjadi
perusahaan yang tidak hanya memikirkan laba semata.

Tak lama kemudian, Gioia terbenam dalam keasyikan bekerja, menaklukkan satu tantangan ke
tantangan lain, berlomba dengan pegawai baru lainnya untuk mendapat pengakuan sebagai
“bintang yang cemerlang”. Ia pun dengan cepat dipromosikan menjadi Field Recall Coordinator
yang mengumpulkan informasi terkait dengan kemungkinan terjadinya masalah pada kendaraan
dan memberikan rekomendasi untuk menarik kembali mobil-mobil yang sudah terjual. Jabatan ini
penting karena keputusannya dapat mempengaruhi keselamatan orang banyak.

Awalnya Gioia sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan. Ia mempertimbangkan banyak


aspek, yang sampai membuatnya susah tidur. Namun, dengan berjalannya waktu, ia semakin
terampil dalam pengambilan keputusan, dengan menyederhanakan kriteria, hanya
memperhatikan beberapa faktor kunci. Kebetulan ketika itu perusahaan menghadapi tekanan
persaingan dari Jepang yang mengakibatkan penurunan produksi yang signifikan dan
pengurangan pekerja. Dengan demikian pertimbangan kelangsungan hidup perusahaan menjadi
dominan, termasuk ketika ia merekomendasikan Ford Pinto, salah satu dari sedikit andalan
perusahaan, tidak perlu ditarik kembali. Padahal telah jatuh beberapa korban yang terbakar
karena adanya kesalahan dalam disain dan penekanan biaya produksi. Kasus Ford Pinto menjadi
suatu kontroversi. Ford dituduh mengorbankan keselamatan penumpang atas nama efisiensi.
Gioia, setelah keluar dari perusahaan, mengakui keputusannya merupakan keputusan yang tidak
etis. Namun semasa ia bekerja di perusahaan ia tidak memiliki sedikit keraguan. Paket sistem,
organisasi, lingkungan kerja, dan budaya perusahaan berhasil mengubah Gioia menjadi orang
yang sebetulnya tidak disukainya, tanpa disadarinya.

16
17

Anda mungkin juga menyukai