Anda di halaman 1dari 224

Naskah Lakon

SARJANA PREMATUR
Amelia Juanda

Nomor Urut 23

1
Sinopsis

Sebuah rumah di pojok yang terjepit gang sempit. Bisa dikatakan terlalu artistik jika
dilihat dari tembok yang resminya berwarna putih itu, kini lebih tepat disebut berwarna
kusam, jorok, dengan ubin yang penuh dengan jejak banjir. Di sanalah sekelompok anak
muda yang tampak selalu gembira meskipun miskin. Suara mereka yang sengaja ditekan
setiap kali membicarakan hal-hal yang dianggap berlawanan dengan pemikiran liberalis dan
modern. Orang-orang yang selalu mengabdikan dirinya dari pagi hingga pagi di depan mesin
pembunuh empati menjadi bahan guyonan mereka setiap hari. Namun, begitulah mereka
memaksakan diri terlibat dalam polarisasi dan kecenderungan pada suatu sistem.

Setting Panggung Awal

Konsep panggung yang digunakan adalah jenis panggung bingkai (Proscenium)


dengan simultan set. Di panggung bagian tengah terlihat sebuah ruang tamu dengan satu set
sofa kumal, berlubang, dan busa yang sudah habis tidak akan membuat betah siapa saja
yang mendudukinya. Di sisi kiri panggung menampilkan teras rumah berukuran kecil dengan
dua kursi kayu, dua pot bunga berukuran kecil, dan sebuah sepeda. Sementara di
seberangnya terlihat sebuah kamar tidur sempit yang berisikan tiga orang, sebuah lemari
pakaian besar dengan rak buku kayu di sampingnya.

Pencahayaan di atas panggung menggunakan alat yang bernama Spot light yang meliputi :

1. Main light :Cahaya yang berfungsi untuk menerangi panggung secara


keseluruhan
2. Front light : Lampu untuk menerangi panggung dari arah depan
3. Foot light : Lampu untuk menerangi bagian bawah panggung
4. Upper light :Lampu untuk menerangi bagian tengah panggung, biasanya
ditempatkan tepas di atas panggung.

DRAMATIC PERSONAE

ABDI Mahasiswa 1
BUYUNG Buruh pabrik
TEGAR Mahasiswa 2
SEKAR Mahasiswa 3
INTEL 1 Polisi bertubuh gempal
INTEL 2 Polisi bertubuh kurus

1
BABAK 1
Adegan 1

MALAM MENAMPAKAN TARINGNYA KETIKA POJOK GANG SEMPIT ITU TAK LAGI
MENGELUARKAN SUARA. BAHKAN JANGKRIK PUN ENGGAN MELANTUKAN BAIT-BAIT
PENGHAMBAANNYA. HUJAN YANG MEMERAS LANGIT SEDARI SORE MENYEBABKAN
SELURUH PINTU DAN JENDELA TERTUTUP RAPAT. BARANGKALI TIDAK ADA ORANG YANG
MAU MONDAR MANDIR DI GANG BECEK DAN BERTANAH LENGKET ITU, BEKAS
PEMBANGUNAN YANG TAK KUNJUNG SELESAI.

PINTU RUMAH TERBUKA. TAMPAK SEORANG PEMUDA KELUAR MENGGELIAT DENGAN MATA
YANG TERPEJAM MERABA-RABA DUA KURSI KAYU YANG ADA DI TERAS. RUMAH YANG
BERADA DI POJOK ITU TIDAK MEMBERIKAN LUANG YANG BESAR DI DEPAN TERASNYA HANYA
SEKADAR UNTUK MENARUH POT BUNGA DAN PARKIR SEPEDA.

PEMUDA ITU HANYA MENGENAKAN KAOS DAN CELANA PENDEK SEADANYA DENGAN
RAMBUT YANG MASIH ACAK-ACAKAN. IA DUDUK DENGAN MATA YANG TERPEJAM DAN
MULAI MELANTUR.

ABDI :Hoam…(menggaruk-garuk perutnya) Apa jadinya jika saya tidur di saat


situasi genting seperti ini? (menepuk pipi kirinya yang dihinggapi nyamuk).
Bisa habis semuanya (lalu ia tertidur lagi hingga mendengkur)

TIBA-TIBA SUNYI ITU DIPECAHKAN OLEH SUARA BERAT BUYUNG YANG HANYA
BERMODALKAN SARUNG DAN BAJU KAOS BERWARNA PUTIH SERTA KOPIAH MENYUSUL
ABDI KELUAR DARI PINTU RUMAH DAN MEMBANGUNKANNYA.

BUYUNG :Ck ck ck.. (menggeleng-gelengkan kepala) Abdi! Hei Abdi! Bangun! Ini sudah
kali ketiga dari dua hari kemarin kau mengigau seperti ini! (menggoyang-
goyangkan tubuh Abdi)

ABDI : Hmm (menggeliat dan mencoba membuka matanya)

BUYUNG : Ham hem ham hem dari tadi kau kubangunkan, tidur di dalam sana!

ABDI : Tau apa kau soal perjuangan? Aku sudah terbang ke sana kemari mencari
kebenaran dan keadilan! Inilah aku! Abdi (dalam keadaan setengah sadar)

BUYUNG :Bangun atau kusiram dengan air es! (mulai geram melihat tingkah Abdi)

ABDI : Di saat jemari ini mulai menari-nari di papan yang penuh huruf dan angka
itu, layarnya seakan merasuki pikiran dan jiwaku, lalu aku dibawanya ke dalam

2
negeri yang tenang dan damai tanpa intrik dan rekayasa sosial. (mulutnya
komat kamit dengan mata yang masih terpejam)

BUYUNG :(berusaha menarik Abdi ke dalam) Kalau mau curhat di dalam saja!

ABDI :Tidak.. tidak.. Semuanya harus dengan perencanaan yang matang! Lalu
barulah kita bisa menilai bagaimana variabel yang tepat harus menjadi … grok
grok… (kembali tertidur dan mendengkur di hadapan Buyung)

BUYUNG :Ah! Tidur saja di luar! (Buyung masuk kembali dan menutup pintu dengan
kasar)

BUNYI PINTU YANG DIHEMPASKAN BUYUNG TERNYATA BENAR-BENAR MENGAGETKAN ABDI

ABDI : (dengan ekspresi terkejutnya berdiri dan marah-marah) Eh, sialan! Kau pikir
ini rumah siapa? Edan! Buka pintunya Buyung!

BUYUNG :(membuka pintu dengan wajah yang kesal) Jangan asal bicara, kau saja tak
pernah mengurusinya, lihatlah bocor di mana-mana!

ABDI : Ah, itu gampang urusannya.

BUYUNG : Segampang kau menyepelekan tugas akhirmu itu?

ABDI : E…e…e…
Aku ini berjuang Buyung! Kalau kau lihat dengan saksama aku sudah
berdarah-darah! (meraba kepala hingga bahunya seperti orang yang terluka)

BUYUNG :Berjuang apanya? Kemarin baru membuka laptop saja sudah tertidur
(meledek Abdi) Hari ini juga sama, belum mengetik apapun matamu itu yang
terpejam duluan (mengomel sembari berkacak pinggang)

ABDI : Ah tidak! Tadi aku dihipnotis oleh laptop itu Buyung! (matanya membesar
meyakinkan Buyung)

BUYUNG : Dihipnotis bagaimana? (keningnya berkerut karena keheranan)

ABDI : Iya, Aku dihipnotis laptop itu Buyung, itulah alasan mengapa aku selalu
tertidur saat membukanya!

BUYUNG : (mengejek Abdi) Heleh dihipnotis. Apanya yang dihipnotis, ha? Itu benda
mati, bukan Gus Samsudin!

3
ABDI : Ah, kau ini tidak percaya! Setiap kali aku membuka laptop itu, selalu ada
lingkaran putih yang bergerak. Lalu aku ditariknya ke dalam mesin itu dan
tiba-tiba aku berada di dunia lain!

BUYUNG : Heh! Kau pakai narkoboy ya? mulutmu itu! (menarik mulut Abdi) Masuk ke
kamar mandi! Aku cek urinmu!

ABDI BERDECAK MENDENGAR BUYUNG MEMBAHAS TUGAS AKHIRNYA YANG MEMANG


BELUM SELESAI MESKI SUDAH MEMASUKI SEMESTER SEMBILAN. IA MELENGGANG KE
DALAM RUMAH. BUYUNG YANG MASIH DI DEPAN PINTU BERJALAN KELUAR.

“…

Seonggok jagung di kamar


Tak akan menolong seorang pemuda
Yang pandangan hidupnya berasal dari buku
Dan tidak dari kehidupan…

Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
Di tengah kenyataan persoalannya….”
Sajak Seonggok Jagung (W.S. Rendra, 1975)
BUYUNG : Masih terngiang di telinga sebelah kiri, sorai kemenangan yang tidak abadi.
(menunduk seakan menyesali sesuatu)

TERDENGAR LANTUNAN ADZAN YANG MENANDAKAN MATAHARI SUDAH BANGUN DAN


MULAI MENYISIRI LANGIT UNTUK MENDEKLARASIKAN KENYATAAN BAHWA SEMUA
MANUSIA HARUS KEMBALI MELANGKAHKAN KAKINYA JAUH DARI KENIKMATAN GULING
DAN KASUR

ABDI : (keluar sambil mengenakan sarung dan menyikat giginya) Eh, kau tidak
butuh tidur? Bertengger di luar,mau adu mekanik dengan kalong ya?

BUYUNG : Gara-gara kau aku tidak tidur malam ini! Dasar beban! (melenggang masuk
tanpa memerdulikan Abdi)

4
ABDI : (lembut) Yung. (Buyung tidak menyahut). He, Yung (tak menyahut). Yung.
Kau marah padaku Yung? Siapa suruh mengurusi hidup orang lain ha!
Seperti tidak ada kerjaan lain saja. Lihat dinding yang sudah kropos ini
baiknya budi kau itu membersihkannya daripada mengomel setiap hari!
(menggosok giginya kasar)

BUYUNG :(keluar menggunakan celana pendek mengambil kopiahnya yang


tertinggal di atas kursi) Di. Sini dulu, Di.

ABDI :Ah, Aku sudah bosan mendengar ocehanmu. (tapi kemudian ia mendatangi
Buyung)

BUYUNG : Sungguh, Di. Jika kau kerjakan dengan serius maka selesailah semuanya.

ABDI : Tau apa kau tentang tugas akhir, Yung? Kau kuliah saja tidak. Lebih baik kau
bersiap pergi ke ladang!

BUYUNG : Ladang siapa? (keheranan)

ABDI : Itulah kau asik mengurusi orang lain, tapi pekerjaanmu saja kau lupa.
(meledek Buyung)

BUYUNG : Aku buruh pabrik. Bukan petani, Di. BURUH PABRIK (mengejanya di depan
muka Abdi)

ABDI : Ah. Apa sajalah, intinya kau tidak sekolah dan tidak kuliah!

BUYUNG : (terdiam terperangah bernafas berat) Aku mengingatkanmu. Bersyukurlah


kau bisa diingatkan manusia, bukan diingatkan maut yang tiba-tiba lalu mati
dengan penyesalan.

ABDI : Sudah pekak kupingku mendengar ceramahmu.

BUYUNG : Biar!

ABDI : Makanya kau coba mengerjakan tugas akhir biar tau rasanya jadi aku, Yung!

BUYUNG :Kau ini MA HA SIS WA atau MA HA SE WA? Tugas akhir saja sampai
begitunya! Itu belum seberapa jika kau sudah masuk ke dunia kerja, Di!
Barulah kau tau langit itu tinggi!

5
ABDI : Sedari dulu juga yang namanya langit sudah pasti tinggi, Yung. Tempatnya di
atas. Kau naik pesawat untuk melangkahkan kaki ke langit juga tidak bisa.
Jatuh kau bersama harapan-harapanmu itu (berbicara dengan mulut penuh
busa)

BUYUNG : Ah. Sudahlah. Aku ingin siap-siap pergi bekerja. Ada banyak barang yang
harus diantarkan hari ini. Kau jangan lupa bersihkan ruang tamu.

ABDI : Bukannya itu tugasmu? Aku kan sudah mengerjakannya minggu lalu
(berkacak pinggang)

BUYUNG : Minggu lalu aku yang membereskannya! Kau seperti anak kecil merengek
tidak bisa membersihkannya karena harus pergi turun ke jalan. Entah apa
yang kau bawa bersama teman-temanmu itu. Intinya itu menjadi tugasmu
hari ini.

BUYUNG MELENGGANG MASUK DISUSUL ABDI YANG TERUS MENYIKAT GIGINYA

LAMPU PADAM (fade out)

Adegan II

LAMPU FADE IN, FRONT LIGHT MENYOROTI BAGIAN TENGAH PANGGUNG. DI RUANG
TENGAH YANG SEDERHANA TERLIHAT TEGAR DUDUK SELONJORAN DENGAN KAKI
SEMAMPAINYA MEMENUHI SOFA KUMAL TANPA BUSA. BAJU KEMEJANYA SUDAH KUSUT TAK
BERATURAN MEMPERLIHATKAN KEHIDUPAN MAHASISWA AKHIR YANG BARU SAJA
DITERKAM DOSEN PEMBIMBING.

TEGAR : Abdi.. Oo Abdi.. (Hening). Abdi (kepalanya bergerak memerhatikan


sekeliling) Manalah rupanya anak ini. Sedari tadi kucari tak kunjung tampak.
Dari sudut sana hingga sudut sini satupun tak ada yang menyahut namanya.

ABDI MASUK KE RUANG TENGAH DENGAN SAPU DAN KARUNG SAMPAH DI TANGAN. TANPA
MEMPEDULIKAN TEGAR YANG MENGUMPAT KARENA MENCARINYA.

TEGAR : Ah, sudah kena kuping kau rupanya! Dari subuh aku mencarimu di sini.

ABDI : Aku baru selesai membersihkan halaman depan (menunjuk halaman depan
sembari meletakkan sapu di belakang)

6
TEGAR : Halaman yang hanya sebesar telapak tangan itu? (terkekeh)

ABDI : Walaupun kecil, halaman itu punya makna yang sangat besar. Memangnya
kau punya halaman di kosanmu itu? Untuk lemari saja sudah syukur.
(merebahkan badannya pada sofa di samping Tegar)

TEGAR : Kau saja yang tidak tahu. Aku sudah menyulap kosan itu menjadi apartemen
bintang tiga (menunjukkan jarinya)

ABDI :Itu jarimu ada lima! (mengatupkan jari Tegar) Tentulah dosen
pembimbingmu selalu marah dan menerkammu. Jangankan pintar, bodoh
saja kau tak punya.

TEGAR : Eh, aku memang tidak pintar, tetapi kau harus mengakui bahwa aku perwira
bintang 4 dalam mengumpulkan masa.

ABDI : Cerita lama. Sekarang kau bukan siapa-siapa.

TEGAR : Yang benar saja kau tidak merindukan masa-masa itu? Menjadi panglima
lapangan, sang orator ulung meneriaki petugas-petugas bersenjata yang
menghadang 1km sebelum menuju istana negara. (berdiri di atas sofa seraya
menirukan gaya Abdi yang sedang berorasi).

ABDI : Tidak lagi (raut wajahnya berubah sedih)

TEGAR : Apa yang kau sesali, Di?

ABDI : Siapa yang menyesal?

TEGAR : Suaramu itu seperti singa yang ingin dicabut nyawanya. (kembali duduk di
samping Abdi)

ABDI : Ada-ada saja bahasamu itu. Aku ini bukan singa.

TEGAR : Kau tidak mau kusebut si raja hutan? (memelototi Abdi)

ABDI :Aku tidak berminat menaklukan hutan yang tenang. Ataupun rimba
terkutuk. Aku bermain di samudera. (berdiri dari kursinya) Di lautan lepas
yang tak dapat dijangkau manusia sekalipun. Porosnya tak tetap, ia penuh

7
misteri. Gelombang demi gelombang yang memiliki volume berbeda. Corong
yang tak tertebak (mengepalkan tangannya bersemangat)

TEGAR : (berdehem) Sudah aku katakan. Kau merindukan masa itu (melipat
tangannya di dada)

Hening.

ABDI : Tapi sekarang, untuk masuk ke dalam gedung saja kakiku sudah gemetaran.
Keberanian untuk menunjuk orang-orang dengan tangan kiriku itu sudah
tidak ada lagi. Aku hanya berdoa agar prinsipmu juga tak mati.

TEGAR : Ehh? kata siapa prinsipku mati. Aku akan selalu bersumpah untuk menjaga
idealismeku sampai akhir.

ABDI : Akhir apa? Akhirnya kau disisipi oleh kawanan berbaju warna warni itu?

TEGAR : Kau ini kalau sudah tidak ada gairah lagi katakan saja. Jangan kau tuduh aku
yang bukan-bukan. Benar sekali apa yang dikatakan orang-orang terdahulu.
Pergerakan yang hanya diisi oleh eksistensi cepat sekali surutnya.

ABDI : Eksistensi? (mengerutkan dahinya) Siapa yang eksistensi? Eskalasi-eskalasi


yang kita suguhkan pada setiap momentum, berdiskusi, kajian, rela tidak
tidur, kau sebut itu hanya eksistensi? (nada suaranya meninggi)

TEGAR : Buka mata hati kau itu! Sekarang banyak adik-adik yang memerlukan
bimbingan dari seniornya tentang gerakan mahasiswa (menunjuk bahu
kanan Abdi). Sementara kau sudah tidak bergairah entah kenapa. Atau kau
sudah dihadiahi kursi yang megah di atas sana? (dengan nada yang sama
tingginya)

ABDI : Aku hanya tidak ingin orang-orang menilai gerakan kita hanya sebatas gaya-
gayaan. Bukan berarti aku tak lagi memiliki gairah untuk bergerak. Apalagi
jika aksi-aksi kita dituduh telah ditunggangi oleh kepentingan kelompok
tertentu (meneteralkan suasana)

TEGAR : (berdiri dari kursi dan berjalan ke depan) He em (suara serak akibat
kerongkongannya yang kering) Itulah makanya kusebutkan pada kau. Jika

8
tidak ada orang seperti kita ini yang mengingatkan kebenaran kepada
mereka, lalu mau menunggu siapa lagi? Kau tunggu Soekarno itu bangkit
lagi? Atau kau mau tunggu Budi Utomo itu mendeklarasikan Sumpah
Pemudanya sekali lagi?

ABDI : Kita memang tidak bisa menutup mata. Generasi ini sangat jauh berbeda
dengan generasi kita dahulu. Mereka manja. Aku bertaruh mereka hanyalah
anak yang mengejar IPK dan lulus 3,5 tahun lalu mendapatkan gelar sarjana.
Sarjana prematur (menuju tempat lain di ruang tengah)

TEGAR : Hei!Kau tidak bisa bilang begitu. Oleh karena senior sepertimu inilah mereka
tidak berkembang dan tidak mampu berpikir. Mereka termakan omongan
bapak ibunya, sanak saudaranya, tetangganya tentang bahayanya gerakan
mahasiswa. Mereka pasti menelan mentah-mentah pendapat bahwa zaman
sudah semakin maju. Lalu untuk apa lagi mereka turun ke jalan?

ABDI : (tak mengacuhkan)

TEGAR : Aku tak ingin memperpanjang perdebatan denganmu (duduk kembali di


sofa) tapi kau harus dengar ini. Kita bertanggung jawab tidak hanya
terhadap diri kita sendiri, juga orang-orang di sekitar kita. Bagaimana bangsa
ini kedepannya, itu adalah tanggunganmu, tanggungan kita sebagai anak
bangsa.

RUANGAN KEMBALI HENING AKIBAT PERDEBATAN TERSEBUT. SEKAR, ADIK SI TEGAR


DENGAN GAYA CENTIL DAN TAMPANG TAK BERSALAHNYA TIBA-TIBA MASUK KE RUANG
TENGAH. IA TIDAK MENERKA SEDIKIT PUN SUASANA MENCEKAM YANG MENYELIMUTI
ANTARA KAKAKNYA DAN ABDI.

SEKAR : (Mengacak-ngacak tas Tegar dan menumpahkan seluruh isinya hingga


berantakan) Charger adek mana bang? (wajahnya masam)

ABDI : Lihat saja contoh adik kau ini. Mahasiswi tahun satu yang untuk membuat
tugas saja dia harus menggemparkan satu dunia. Kau ajarkan saja dia dulu,
barulah kau pikirkan yang lain (mengibas-ngibaskan tangannya mengejek
Tegar)

9
TEGAR : Tak ada samaku charger kau. Cari di tempat lain sana! (mengusir Sekar)

SEKAR : Loh kok, jadi marah sih? (menyilangkan tangannya di dada)

ABDI : Siapa yang marah? (menyipitkan matanya pada Sekar)

TEGAR : Aku tidak.

ABDI : Aku juga tidak (menaikkan bahunya mengolok Sekar)

TEGAR : Jadi siapa?

SEKAR : Ah! Kalian berdua ini sama gilanya. Makanya cepat wisuda! (memilih duduk
di sofa kecil, masih menyilangkan tangannya)

ABDI : Apa hubungannya charger dengan wisuda?

TEGAR : Iya, Apa hubungannya?

SEKAR : Tidak tahu (wajahnya memerah karena kesal)

TEGAR : Kau itu kurang-kurangilah asal bunyinya. Kita ini mahasiswa. Kaum intelek
yang digadang-gadangkan orang di luaran sana. Tindak tanduk perilakumu
itu menjadi cerminan bagi masyarakat (mengomel pada Sekar)

ABDI : Kau pahami kata kakakmu itu (menimpali ucapan Tegar)

SEKAR : Iya. Iya. Kalian ini seperti bapak tua yang memarahi cucunya jika
disandingkan. Bagaimana mau dapat jodoh kalau seperti itu terus
(mengeluarkan ponselnya dan tidak memerdulikan sekitar)

TEGAR : Kau sudah lihat berita hari ini, Di? (ikut mengeluarkan ponselnya)

ABDI : Berita yang mana? Penusukan anak kecil yang tidak bersalah itu?

TEGAR : (mengangguk takzim) Ada lagi yang lain.

ABDI : Terlalu banyak isu yang dijadikan untuk menutupi isu yang lain. Akal bulus
mereka sepertinya bekerja dua kali lebih cepat pada orde ini. Membuat
bingung masyarakat harus mengikuti isu yang mana dahulu. Belum selesai
isu kelangkaan, muncul lagi isu penembakan, lalu muncul lagi isu
perselingkuhan, pertikaian, dan pembunuhan.

10
TEGAR : Aku menyebutnya orde tangan besi. Mereka bekerja sama, bahu membahu.
Untuk menciptakan pola yang terdegradasi dari rendahnya pengetahuan
masyarakat (mengusap-ngusap dagunya, berpikir)

SEKAR : Hush, tidak boleh suuzon begitu, negeri antah berantah itu kan memang
pelik dan banyak problematikanya (masih fokus pada ponselnya).

ABDI : Makanya jangan asal kuliah saja. Agar bisa kau bangun negeri ini (masuk ke
dalam kamar mengambil sebuah buku)

TEGAR :Membangun itu tidak bisa satu dua orang, timpang jadinya
(menggemeretakkan tulang punggungnya)

SEKAR : Iya, memang harus sama-sama. Tak dapat pula jika tak dibimbing.

TEGAR : Berpikir, aktualisasikan apa yang ada di depan mata, barulah otakmu
berjalan. Jangan selalu menunggu disuap (meledek Sekar)

SEKAR : (menatap Tegar sinis dan berlalu keluar)

ABDI MASIH DI DALAM KAMAR MENCARI BUKU YANG INGIN DIBACANYA. DARI LUAR
TERDENGAR SUARA SEPEDA YANG SEDANG DIPARKIRKAN. BUYUNG PULANG MEMBAWA
SATU KANTONG GORENGAN YANG MASIH HANGAT.

BUYUNG : Ada diskusi apa hari ini, Sekar? (menyapa Sekar lembut)

SEKAR : Eh, tidak ada bang. Hanya mendengar ocehan dua bapak tua di dalam
(menunjuk ke dalam rumah dengan kesal)

BUYUNG : Sudah mau pulang? (melepaskan sepatunya)

SEKAR : Belum, hanya mencari ketenangan, mau duduk di kursi luar saja.

BUYUNG : Kalau begitu. Saya masuk dulu.

SEKAR : Minta gorengnya, Bang.

BUYUNG : Ambil saja, memang untuk dimakan.

SEKAR : Asik. Dua ya?

BUYUNG : Bebas (melenggang masuk ke dalam)

11
TEGAR : Eh, sudah pulang kau rupanya, Yung. (menjabat tangan Buyung)

BUYUNG : Wah, sudah lama kau tak main kemari, rindu aku dengan perdebatan para
mahasiswa ini.

TEGAR : Hahahah (tertawa renyah) Kau bawa apa itu, Yung?

BUYUNG : Ini gor.. (belum sempat Buyung menyelesaikan katanya, Tegar sudah
mencomot dua goreng sekaligus)

TEGAR : Wah, terima kasih, Yung. Kau ini pengertian sekali. Dari tadi aku di sini, air
segelas pun tak kawan sekamarmu itu suguhkan.

BUYUNG : Ah, Abdi? Di mana dia?

TEGAR : Di dalam kamarnya, dia bilang mencari buku. Ntah buku apa yang ia cari
sampai sekarang belum keluar juga.

BUYUNG : Ndeh, gitu. Kamu sudah lihat berita hari ini Tegar?

TEGAR : Benar. Keadaan di luar sudah gawat, Yung. Semua harga melambung tinggi.
Banyak masyarakat yang kesusahan di luar sana. Sekarang mungkin mereka,
tapi besok mungkin kita juga yang akan kesusahan, Yung (sambil mengunyah
gorengannya)

BUYUNG : Lalu, apa yang akan mahasiswa lakukan?

TEGAR : Untuk kemarin kami baru melakukan kajian dan melakukan aksi di dalam
kampus untuk menarik masa, Yung. Kalau dari buruh bagaimana? Apakah ikut
turun bersama kami? Rencananya minggu depan kita demonstrasi di depan
Gedung Dewan (menunjuk arah gedung dewan dengan bakwan yang masih
di tangan)

BUYUNG : Kami saja menggantungkan harapan akan perubahan pada kalian. Apa daya
kami? Sekolah saja tidak. Nanti mau demo yang bagaimana? (menyapu
keringat di wajahnya)

12
TEGAR : Kita harus menggerakkan masa sebanyak-banyaknya, Yung. Apalagi jika
mahasiswa dapat bekerja sama dengan kawan-kawan dari buruh. Itu lebih
mantap lagi! (mengacungkan jempolnya dengan mulut penuh gorengan)

BUYUNG : Aku bicarakan dahulu dengan rekan kerja yang lain, hari ini bahasan kami
memang tentang permasalahan negeri ini. Banyak karyawan yang tidak tahan
dan mendadak di PHK secara sepihak. (berbicara meyakinkan Tegar)

TEGAR : Tapi, ya begitulah, Yung. Sang orator ulung kami sudah kehilangan ghirah
semangat juangnya. Aku kemari hari ini untuk membujuknya, tetapi dia masih
belum sadar juga.

BUYUNG : Siapa yang kau maksud?

TEGAR : Siapa lagi kalau bukan kawan sekamarmu itu.

BUYUNG : Biar aku sampaikan padanya.

TEGAR : Kau serius? Membantuku membujuknya?

BUYUNG : Iya.

TEGAR : Benar sekali yang diucapkan nenekku dahulu. Kita tidak bisa menilai orang
dari luarnya saja. Apalagi sebagai seorang mahasiswa, kita harus bisa
menyesuaikan diri dengan siapa saja.

BUYUNG : Itu namanya moral dan etika (berkacak pinggang) Aku mandi dulu. Kau
nikmati saja gorengan itu.

TEGAR : Wahh, siap. Jangan kau ragukan aku masalah makan memakan ini. Siap
dihajar (tertawa renyah)

SAAT HENDAK KELUAR DARI RUANG TENGAH SEKAR MENDENGAR SUARA BERISIK DARI
PINTU MASUK DI SEBELAH KANAN. SEKAR DATANG DAN MENDEKATINYA. TERLIHAT DUA
ORANG MENGGUNAKAN BAJU DAN GAZEBO SERBA HITAM MELESAT BEGITU CEPAT TANPA
SUARA MEMBEKAP MULUT SEKAR YANG HENDAK BERTERIAK.

LAMPU PADAM (fade out)

13
Adegan III

LAMPU FADE IN, FRONT LIGHT MENYOROTI RUANG KAMAR DENGAN DUA KASUR LIPAT
YANG BERANTAKAN DAN SEBUAH LEMARI PAKAIAN UKURAN BESAR. TAMPAK ABDI
MENCARI-CARI BUKU YANG AKAN DIA BACA DI RAK SAMPING LEMARI. MASIH TIDAK ADA
YANG MENYADARI BAHWA SEKAR TELAH DIBAWA KABUR. CUKUP LAMA MENCARI,
BARULAH ABDI MENDAPATKAN BUKU TEBAL YANG KUSAM PENUH DENGAN CORETAN DAN
CAT YANG TAK KARUAN. SAAT MEMBUKA HALAMAN PERTAMA, ABDI MENDENGAR KILAS
BALIK MASA JAYANYA DAHULU.
“…”
Sumpah Mahasiswa Indonesia
Kami mahasiswa Indonesia bersumpah
bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan
Kami mahasiswa Indonesia bersumpah
berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan
Kami mahasiswa Indonesia bersumpah
berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan.

ABDI : Dahulu, selalu ada yang mengilhami hati dan pikiran atas dasar esensi
kebermanfaatan mahasiswa. Namun, apa ujungnya? Tidak ada (menutup
buku dengan wajah penyesalan).

TEGAR : Abdi! Hei, Abdi! Kau lihat Sekar tidak? (panik)

ABDI : Aku sedari tadi di sini mencari buku. Siapa yang mengira aku menculiknya?
(menjawab dengan santai)

TEGAR : Aku tidak bilang dia diculik! (bertambah panik)

ABDI : Lalu bagaimana?

TEGAR : Aku mendapati ponselnya tergeletak dengan layar yang sudah pecah.
Sepertinya terbentur dengan suatu benda yang keras. (menunjukkan ponsel
Sekar)

ABDI : (wajahnya tiba-tiba terkejut dan meraih ponsel itu) Kau tadi
membicarakan apa dengan Buyung?

14
TEGAR : Aku? Tidak ada, kami hanya makan gorengan (jawabnya tergagap)

ABDI : Apa yang kalian bahas, Tegar! (kini Abdi sudah sampai pada klimaksnya)

TEGAR : (bertambah panik melihat ekspresi Abdi) Kami membicarakan terkait


eskalasi yang akan dilakukan minggu depan. Tidak lebih dan tidak kurang.
(setengah berteriak)

ABDI : Bodoh! Kau membuat masalah saja! (Bergegas keluar dari kamar)

TEGAR : Apa? Ada apa? (masih dalam kebingungan yang nyata)

ABDI : Rumah ini sudah disadap dari enam bulan yang lalu. Itulah alasannya
mengapa aku tak lagi mengajak orang-orang untuk berkumpul di rumah ini
untuk membicarakan eskalasi pergerakan. Mereka menguntitmu dari pagi
hingga pagi lagi. Dan bahasanmu sedari tadi telah memancing mereka untuk
datang! (mondar mandir, berpikir harus melakukan apa)

TEGAR : Kau tidak memberitahuku dari awal! (mengerang marah)

BUYUNG YANG BARU SELESAI MANDI DAN MASIH MENGGUNAKAN CELANA PENDEK
LANGSUNG MENDEKAT

BUYUNG : Tak ada gunanya dicari. Kalian saja yang mencari-cari masalah. (menatap
Tegar cuek) Hiduplah sebagaimana mahasiswa yang belajar di kelas lalu
pulang ke rumah, menulis skripsi dan menjadi mahasiswa berprestasi. Hal
sederhana yang membuat negara ini dapat tumbuh dengan baik. (berbicara
dengan sombong)

TEGAR : Apa maksudmu? Kami turun untuk memperjuangkan hak-hak kalian! (emosi
Tegar memuncak dan melayangkan bogem mentahnya ke arah Buyung)

BUYUNG : Apakah gunanya pendidikan, bila hanya akan membuat seseorang menjadi
asing di tengah kenyataan persoalannya? (tertawa terbahak-bahak)
TEGAR : Abdi, Aku harus mencari Sekar! (air matanya berlinang)
ABDI : Ayo, segera Gar!
MEREKA BERDUA BERLARIAN KE SANA KEMARI, MENCARI DIMANA KEBERADAAN SEKAR.
LINGLUNG TAK TAU KEMANA. SEMENTARA BUYUNG MASIH MENYELESAIKAN SAJAKNYA.

15
BUYUNG : Apakah gunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang menjadi
layang-layang di ibukota kikuk pulang ke daerahnya? (tertawa makin keras
hingga berurai air mata) Apakah gunanya seseorang belajar filsafat, sastra,
teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja. Bila pada akhirnya, ketika ia
pulang ke daerahnya, lalu berkata: di sini aku merasa asing dan sepi!

LAMPU PADAM (Fade Out)


-Selesai-

16
ANJING ANJING
MENYERBU
KUBURAN Karya Puthut Buchori
Diadaptasi dari cerpen karya Kuntowijoyo
BABAK I
TIDAK SEPERTI HARI BIASA, KUBURAN DESA ‘GIRILOYO’ YANG TERLETAK DI
PERBUKITAN DESA GIRI GARING MENJADI RAMAI OLEH WARGA DESA YANG
MENANGKAP TANGAN PENCURI MAYAT. WARGA MENCOBA MENGHAKIMI DAN
MENGHUKUM PENCURI MAYAT DENGAN ANEKA MACAM PERTANYAAN YANG
SESEKALI DISERTAI PUKULAN, HANTAMAN KE ARAH MUKA DAN TUBUHNYA.

WARGA 1
Oh iblis, setan alas, demit gentayangan. Dasar manusia tak punya martabat, tega-teganya
mengganggu mayat. Orang sudah mati kok ya di ganggu.

WARGA 2
Ngaku saja mas, kamu mau mencuri mayat ini tho?

WARGA 3
Tidak mau ngaku ?,

(Sambil Memukul Kepala Pencuri Mayat)

nih… rasakan bogem mentahku.

WARGA 2
Pasti kamu cari pesugihan.

WARGA 1
Kasihan kan keluarganya, kalau jenazah yang sudah coba diistirahatkan, kamu permainkan
seperti itu..!

WARGA 4
(Mengayunkan Sepotong Bambu Ke Tubuh Pencuri)
Oh, kanibal ! Pemakan Bangkai !

PERONDA 1
Kamu bukan warga sini ya ? Kamu pendatang ya ? kamu mau mengganggu ketenangan warga
sini ya ?

PENCURI MAYAT HANYA DIAM

WARGA 5
Sedari kalau tadi ditanya baik-baik tidak mau menjawab, hanya diam, gelang-geleng kepala.
Kurang ajar ! kamu nantang warga sini ya ?
SEMAKIN MARAH DAN LANGSUNG MEMUKULI PENCURI MAYAT. KEMUDIAN
DIIKUTI WARGA LAIN YANG KEMUDIAN BERKEROYOKAN IKUT
MENGHAJARNYA.

PERONDA 1
Ayo, ngaku saja ! daripada badanmu aku remuk seperti peyek kepinyak !

PENCURI MAYAT HANYA DIAM, BIAR BAGAIMANAPUN TETAP PADA POSISI


SALAH, DAN TAK MUNGKIN MELAWAN WARGA DESA YANG BANYAK
JUMLAHNYA.

WARGA 5
Huh ! Gregetan aku. Ditanya baik-baik nggak mau ngaku, dipukuli juga nggak mau buka mulut.
Ayo kita kubur saja hidup-hidup biar tahu rasa !

PARA WARGA (Bersahutan)


Ayo. Kita kubur biar merasakan jadi orang mati. Aku siapkan galian. Dikubur saja bersama
kuburannya Lik Rukmini yang mau dicuri. Ayo, ayo !.Biar tahu rasa.

KEMUDIAN PARA WARGA BERRAMAI-RAMAI MENGANGKAT PENCURI MAYAT,


HENDAK DIBAWA KE DALAM KUBURAN.

WARGA 5
Orang seperti ini, tidak perlu dikasih hati. Biar jadi pelajaran bagi yang lain.

DARI KEJAUHAN PAK AMAN DAN PAK LURAH DATANG DIIKUTI WARGA 6,
MENCOBA MENCEGAH PERBUATAN MAIN HAKIM SENDIRI TERSEBUT.

PAK AMAN
Hoei ! ! berhenti ! Stop !! jangan main hakin sendiri, jangan semena-mena.

PERONDA 2
Kita harus memberi pelajaran pada maling ini, Pak Aman.

PAK AMAN
Jaman merdeka kok, masih ada yang main hakim sendiri.

PERONDA 2
Kita nggak main hakim sendiri kok. Kita main hakim bersama-sama. Ya tho ?

PARA WARGA
Ya, Benar.

PAK AMAN
Alah, sama saja. Kalau mau jadi hakim, mau menghukum orang, mau mengadili orang, pakai
sekolah dahulu.

WARGA 6
moh larang !.

PAK AMAN
Hus! Bicara kok waton.

WARGA 6
Waton bener tho pak?.

PAK AMAN
Sudah, sudah. Sebagai warga yang baik, yang berbudi, beretika, luhur hati, kita harus dapat
bertindak arif. Tidak main pukul seenaknya. Main gebug sekenanya. Kasihan kan ?

WARGA 1
Pak Aman, nggak usah pidato panjang lebar tentang etika, sopan santun dan thethek bengek
lainnya. Sebab yang kita hajar ini adalah orang yang tidak punya etika, nggangguin orang yang
sudah mati. Orang ini nggak punya sopan santun, menggali kembali kuburan orang mati. Apa
pantas, orang seperti itu dikasihani ?

WARGA 5
(Hendak Memukul Lagi)
Oh dihajar lagi saja !!

PAK AMAN
Husy ! Sebentar tho! Kok terburu-buru main pukul.

WARGA 5
Emosi pak ! emosi ! Panas nih pak, panas ati ini. Sebagai keponakan lik Rukmini saya tidak
terima.

PAK AMAN
Emosi ya emosi, tapi ya mbok yang terkedali. Kalau kalian main aniaya seenaknya pada orang
ini, kalian tak ubahnya orang ini. Orang ini menganiaya, menyakiti orang mati, kalian malah
menganiaya, menyakiti orang hidup yang sudah tak mampu melawan seperti ini.

WARGA 1
Pidato lagi…., ceramah lagi…., Oalah pak Aman, kalau mau pidato berbusa-busa, besok saja pas
rapat desa, pidatolah sepuasnya.

PAK AMAN
Waduh, waduh. Orang kalau sudah pada emosi, panas semua, diluruskan tetap saja pingin
bengkok. Kalau dikasih tahu, malah mental. Malah ngelawan (Kepada Pak Lurah) Bagaimana
pak Lurah ?

PAK LURAH
Ya sudah, sudah. Mari kita selesaikan secara baik-baik, tidak ada yang diuntungkan, tidak ada
yang dirugikan.

PERONDA 2
Sudah jelas-jelas bersalah, sudah jelas-jelas orang ini merugikan, mengusik ketenangan warga,
memperkeruh suasana duka pihak keluarga lik Rukmini, mau diapakan lagi pak Lurah.

PERONDA 3
Diputuskan langsung saja pak Lurah, nggak usah ditimbang-timbang lagi
permasalahannya.Dikubur hidup-hidup, atau digantung.

PAK AMAN
Idih… Sadis!

PERONDA 3
Sudah gamblang kok pak Lurah, kalau orang ini jelas-jelas pencuri mayat, untung saja ketahuan.

PAK LURAH
Itu kan menurut pendapat kalian. Siapa tahu dia punya pendapat berbeda.

WARGA 4
Ya terang saja dia punya pendapat berbeda, masak ada maling ngaku maling.

PAK LURAH
Iya.., iya, sabar. Berilah saya kesempatan untuk mengusutnya. Dan kalau memang benar dia
pencuri mayat, ya kita serahkan ke pihak yang berwajib. Tetapi kalau dugaan kalian salah, dan
dia justru malah penyelamat mayat dari serbuan anjing-anjing liar, kita seluruh warga desa malah
berdosa.

(Kepada Pencuri Mayat)

Mas, namanya siapa? Dan tampaknya mas bukan warga desa sini, mas dari mana?

PENCURI MAYAT MASIH DIAM, BELUM BERANI BUKA MULUT

WARGA 5
Ayo ngomong !

WARGA 1
Ya begitulah pak Lurah, ditanya baik-baikpun juga tidak mau menjawab.

PAK LURAH
Ya tunggu sebentar, barangkali dia masih shock, masih menahan sakit karena kalian pukuli.

PAK AMAN
Ayo bicara mas, kalau Sampeyan jujur, akan kami lindungi.

PAK LURAH
Ayo mas. Saya Lurah di sini, saya yang bertanggung jawab di desa ini. Ceritakan semua yang
terjadi menurut versi sampeyan.

PARA WARGA (Bersahutan)


Ayo ngomong! . Jujur saja mas !. Iya dari pada dipukuli lagi! . Gak usah ngarang-ngarang!. Ayo
bicara.! Ngaku, terus terang!.

PAK LURAH
(Berusaha Menenangkan Warga Yang EMOSI)
Iya…, iya… biar dia mengatur nafas dulu.

WARGA 5
(Mengancam Dengan Pukulan)
Ayo ngomong ! Tak jotos lagi kalau nggak ngomong. (Geram) Sudah ada pak lurah belum mau
ngomong juga.

PENCURI MAYAT
(Mencoba Bicara Dengan Segala Ketakutannya)
Begini, pak…..

LAMPU BLACKOUT

BABAK II
FLASHBACK KE KEJADIAN SEBELUMNYA. DI POS RONDA YANG LETAKNYA
TIDAK JAUH DARI KUBURAN DESA, TAMPAK BEBERAPA PERONDA YANG
SENGAJA MENJAGA KUBURAN BARU LIK RUKMINI, WANITA SETENGAH BAYA
YANG MENINGGAL MALAM SELASA KLIWON. MALAM ITU, KABUT DINGIN
MEMBUAT DESA JADI SENYAP. HANYA SUARA ALAM YANG TERDENGAR. UNTUK
MENGUSIR KANTUK DAN RASA TAKUT, DITEMANI LAMPU PETROMAK, PARA
PERONDA MEMECAH KESUNYIAN DENGAN NGOBROL PENUH CANDA SAMBIL
MAIN KARTU.

PERONDA 1
Wah dingannya, seperti kemulan es.

PERONDA 2
Ya kalau mau anget, ya kemulan kompor.

PERONDA 1
Kalau kompornya Mbok Darmi aku mau, ngekep kompor sekalian orangnya.

PERONDA 3
Huh, ngaco. Bicaramu ngawur. Gak usah mimpi ngekep mbok Darmi, di keplak kang Paimin
tunangannya, baru kapok kamu.

PERONDA 1
Wuih, mbok Darmi, Penjual soto yang janda kembang itu, sudah mau kawin lagi tho?

PERONDA 2
Lha kamu itu yang ketinggalan spoor.

PERONDA 1
Wah terlanjur mimpi je. Ngapeli mbok Darmi, jalan-jalan bergandengan, asyik-asyikan, indehoy
semalaman. Asyoi pokoknya.

PERONDA 2
Makanya sesekali dengar gossip.

PERONDA 4
Yo main kartu.

MENGAMBIL KARTU DAN MULAI MENGOCOKNYA

PERONDA 3
(Kepada Peronda 1)
Kang Dalimin, kalau masih kedinginan dan pingin peluk-pelukan, tuh sama lik Rukmini, yang
barusan dikubur, dijamin masih anget, dan dijamin pasrah total.

PERONDA 1
Husy! Jangan ngawur kalau ngomong. Kwalat.

PERONDA 4
(Sambil Membagi Kartu)
Kang Sukri, jangan mengada-ada kalau ngomong, ntar diprimpeni lho.

PERONDA 3
Takut ya?

PERONDA 4
Kalau takut sih, tidak kang. Cuma gemetaran sedikit.

PERONDA 3
Sama saja, itu juga takut namanya. Jangan ngompol lho.

PERONDA 4
Sudah kang, jangan cerita tentang lik Rukmini lagi. Cerita yang lain saja. Cerita Desi Ratnasari
atau Tamara Blesinsky.

PERONDA 1
Wah, justru yang paling asyik itu, cerita lik Rukmini. Kita harus menelusur sebab musabab
kematiannya, kenapa matinya bisa pas malam selasa kliwon. Apa dia mati dengan sendirinya
secara alamiah, apa dia mati disantet.

PERONDA 2
Yang jelas ya mati kehabisan napas.

PERONDA 1
Ya jelas orang mati itu kehabisan napas. Maksudku itu kenapa lik Rukmini mati masih di usia
semuda itu, padahal sebelumnya dia tidak pernah mengeluh apa-apa. Tidak pernah sakit yang
serius. Paling juga hanya flu dan penyakit panu.

PERONDA 2
Menurutku sih, entah dia mati disantet atau bukan, nggak usah kita pikirkan, yang jelas dia mati
karena sudah garisnya Gusti. Nggak usah repot-repot mikir. Mati ya mati. Apa kalau kita mau
menelusuri sebab kematiannya, terus lik Rukmini tidak jadi mati?

PERONDA 4
Wuih, malah nambah nakut-nakuti kamu kang.

PERONDA 1
Namanya juga orang penasaran, kalau belum ketemu jawabannya, rasanya belum titik otakku ini.

PERONDA 2
Idih, sok polisi kamu.

PERONDA 1
Soalnya lik Rukmini….

PERONDA 4
Sudahlah kang, Desi Ratnasari saja, atau Tamara Blesinsky. Cerita soal mbak murti juga boleh
asalkan jangan cerita tentang lik Rukmini, jangan cerita tentang malam selasa kliwon. Sudah
merinding nih kang.

PERONDA 1
Wah kalau tidak kita bahas, nanti kamu tidak tahu, kenapa kita bersusah payah, ronda, berjaga
siang malam selama tujuh hari tujuh malam di depan makam ini.

PERONDA 4
Memangnya kenapa kang?

PERONDA 1
Nah bener kan ? Nggak tahu. Makanya kamu harus tahu le. Biar nggak sia-sia rondanya.

PERONDA 2
Alah, sok tahu kamu.

PERONDA 1
Wuih, bener lho. Wanita yang matinya malam selasa kliwon seperti lik Rukmini ini, harus kita
jaga.

PERONDA 4
Kok gitu kang?

PERONDA 1
Supaya tidak dicuri.

PERONDA 4
Yang bener kang, Masak nyolong mayit ?

PERONDA 1
Wheladalah, gak percaya?

PERONDA 2
Kalau mau serius nyolong, mbok ya itu, nyolong televisi, motor, mobil, kulkas atau apa kek, kok
mayat?

PERONDA 1
Ini, sungguh lho !

PERONDA 3
Masak iya?

PERONDA 1
Nah, ini. Konon, katanya kabar burung sesuai isu yang berkembang, mbah Surip dukun gunung
srinthil, tetangga desa kita, pernah bilang, bahwa mayat wanita yang matinya malam selasa
kliwon, dapat dijadikan sarana pesugihan, mencari kekayaan dengan jalan pintas.

PERONDA 2
Anyak ! Tenane ?

PERONDA 1
Whe Lha sungguh. Sebab wanita yang mati malam selasa kliwon itu punya daya, punya cahaya
yang berbeda, memiliki kekuatan mistis.

PERONDA 4
Jadi tambah merinding.

PERONDA 2
Jangan percaya, le. Itu hanya kentut.

PERONDA 1
Percaya silahken, tidak ya sumonggo. Ngomong kok dikira kentut.

PERONDA 4
Pesugihan itu bagaimana tho kang?

PERONDA 1
Pesugihan itu adalah sarana supranatural yang membantu orang bisa sugih, kaya raya. Tanpa
harus bekerja keras, uangnya akan mengalir dari bawah bantal di kamarnya.

PERONDA 4
Berarti hanya leha-leha bisa dapat duit banyak ya ?

PERONDA 1
Persis, Tepat. Tetapi biar tidak kelihatan mencolok kalau punya pabrik uang di bantalnya, ya
orang-orang semacam itu biasanya pura-pura buka warung kecil-kecilan atau apalah…

PERONDA 4
Wah penak ya, di jaman orang kesulitan cari duit, di masa orang pusing bayar sekolah, di dunia
paceklik sekarang ini, bisa punya mesin uang dari bantal.

PERONDA 1
Iya, bantal ! Bayangkan.
PERONDA 4 HANYA BISA MEMBAYANGKAN TERHADAP HAL-HAL YANG TAK
MUNGKIN TERJADI

PERONDA 3
Tetapi jangan ditiru. Syirik. Bertentangan dengan agama.

PERONDA 2
Kalau pingin dapat uang banyak, ya kerja keras. Aku ini meski hanya bekerja narik becak, tetapi
aku bangga, bisa mencukupi kebutuhan anak istri, aku bangga karena uangku halal.

PERONDA 1
Selain itu, jangan dikira dapat pesugihan itu gampang.

PERONDA 4
Memangnya harus ngapa kang?

PERONDA 1
Wah angel. Ada yang harus bersemadi tujuh hari tujuh malam, dengan aneka macam godaan.

PERONDA 2
Digoda, kenyo tanpo busono.

PERONDA 1
Tidak hanya itu, ada yang pas semedi dikeroyok ribuan semut, dikeroyok macan yang gede-gede,
disatroni singa yang galak-galak, ada yang merasa dibanjiri sampai terbenam dalam darah dan
kotoran. Dan biasanya di akhir semadinya didatangi kakek-kakek yang memberi wangsit.

PERONDA 4
Lantas kenapa yang dicari adalah wanita yang mati di malam selasa kliwon?

PERONDA 1
Kata para orang pinter, selasa kliwon itu adalah hari anggoro kasih, hari keramat, sakral.

PERONDA 4
Ooo….

PARA PERONDA KEMBALI ASYIK BERMAIN KARTU. SEMENTARA DI SUDUT LAIN


DI AREAL TANAH KUBURAN, ADA SEORANG LELAKI MEMAKAI CELANA DAN
BAJU TENTARA LUSUH, DENGAN LENGAN DIGULUNG SAMPAI ATAS, BERKOMAT-
KAMIT SEDANG MEMBACA MANTERA. DENGAN TIDAK MENGGUNAKAN ALAS
KAKI, IA TELUSURI TANAH KUBURAN BARU LIK RUKMINI.

PENCURI MAYAT
Permisi eyang penjaga kubur, cucumu mohon ijin masuk, dan meminjam salah satu wargamu.
Hong ilahing, hong ilahing hyang kang kuasa ing bumi. Dengan jimat aji sirep begananda,
ijinkan anakmu melepas gangguan orang-orang yang terjaga. Ijinkan anakmu membuat orang-
orang penjaga menjadi lena, terbuai mimpi dalam tidurnya. Seperti halnya aji sirep begananda
diturunkan Raden Indrajit dari Alengka Diraja untuk menidurkan prajurit Rama Wijaya.

DILANJUTKAN DENGAN MEMBUAT GERAKAN SAKRAL UNTUK SYARAT DOA


DAN MANTERANYA. SEMENTARA DI POS RONDA, SEBAGIAN PERONDA SEMAKIN
ASYIK DENGAN PERMAINAN KARTUNYA.

PERONDA 3
Nih, As !!! mampus kalian semua. K.O. Keok.

PERONDA 1
Semprul !

PERONDA 2
Ngocok lagi, ngocok lagi.

PERONDA 4
Kang malam ini kok aneh ya, tidak seperti biasanya.

PERONDA 1
Takut ya?

PERONDA 2
Kalau takut pulang saja sana.

PERONDA 4
Jangan gitu kang. Aku merasa aneh tenan.

PERONDA 2
(Membagikan Kartu)
Ayo mulai lagi.

PENCURI MAYAT
Rem.. rem sidem premanem, rem rem sidem premanem, rem rem sidem premanem, kiblat papat,
lima pancer.

MENABURKAN BERAS KUNING KE EMPAT PENJURU MATA ANGIN, DAN


TERAKHIR MENEBAR BERAS KUNING KE ARAH PARA PERONDA

Semoga beras kuning pemberian eyang guru bekerja sesuai rencana.

PERONDA 2
(Kepada Peronda 4)
Nah ayo gentian, Sekarang kamu yang ngasut le.

PERONDA 4
Wah diapusi wong-wong tuwa.

PERONDA 4 SETELAH MEMBAGIKAN KARTU TERAKHIR, LANGSUNG ROBOH


TERTIDUR PULAS.

PERONDA 4
(Menguap Lebar)
Oahem suk ruwah mangan apem.

PERONDA 3
Wah, Bocah kurang ajar, habis bagi kartu terus ngorok.

TANPA SADAR MENGUAP LEBAR, DAN TERTIDUR DI POS RONDA. KEMUDIAN


SALING MENYUSUL PERONDA YANG LAIN, IKUT TERTIDUR PULAS.

PERONDA 1
Bagaimana tho kalian ini? Disuruh ronda malah pada tidur.

MENGUAP DAN TERTIDUR.

PENCURI MAYAT
Ampuh juga, beras kuning, pemberian eyang guru. Hebat, betul-betul hebat, bisa sesepi ini,
bahkan suara binatang-binatang malampun jadi bisu semua, hebat, sungguh hebat.

(Berjalan Menuju Pos Ronda Dan Mematikan Petromak).

Sekarang aku bisa mulai bekerja meneruskan langkah selanjutnya, menggali kubur ini. Mudah-
mudahan tanahnya empuk dan bisa digali dengan tangan.

KETIKA PENCURI MAYAT HENDAK MULAI MENGGALI TANAH, DI KEJAUHAN


TERDENGAR SUARA KENTHONGAN DIPUKUL.

PENCURI MAYAT
Astaga, ada yang belum terjangkau aji sirep begananda ini.

BERLARI KE BEBERAPA ARAH, MENGAMATI SEKELILING TERDEKAT DAN


TAMPAK AMAN

Ah tapi suara kenthongan itu arahnya dari jauh, pasti tak akan tahu apa yang aku perbuat di sini.
MULAI MENGGALI TANAH KUBURAN LIK RUKMINI DENGAN TANGAN

PERONDA 1 (Mengigau Dan Bangun)


Mbok… mbok Darmi

TERTIDUR LAGI DI DEPAN POS RONDA

PENCURI MAYAT
Kurang ajar, hanya nglindur, ganggu orang usaha saja.

(Kembali Berusaha Menggali Tanah Kuburan Lik Rukmini).

Aku harus berhasil, harus berusaha keras menggali kubur ini dengan tanganku, biarpun tangan
ini lecet, kotor, tak apa. Sakit ini hanya untuk sementara. Tetapi lihat saja hasilnya nanti, kalau
aku sudah berhasil menggigit kedua telinga mayat ini, oh… lihat saja. Aku pasti akan kaya raya.
Aku pasti bisa mendandani istriku dengan sepasang subang emas berlian di telinganya.

(Menggali Tanah Semakin Dalam)

Di tangannya melilit ular-ularan dari emas. Giginya emas…

(Terus Menggali Tiada Henti)

Ah tidak, bukan gigi emas, gigi emas sudah kuno.

(Menggali Dan Menggali)

Akan aku hiasi lehernya dengan kalung emas yang berat, cincin, gincu yang mahal, bedak yang
bagus seperti artis-artis sinentron

(Menggali Dan Menggali).

Anak-anakku pasti tidak akan diejek lagi kalau sekolah, karena kemarin-kemarin kalau ke
sekolah tidak pakai sepatu, akan aku belikan sepatu yang paling mahal seperti yang diiklankan di
televisi. Uang SPP-nya tidak akan nunggak, aku bisa beli truk untuk usaha adikku yang bungsu,
bisa beli rumah yang bagus, tidak kesulitan jika ada sumbangan ini sumbangan itu. Semua pasti
beres, beres… res… res…

(Menggali Semakin Dalam)

Uh terlalu sempit mereka menggali kuburan.

(Ketika Sudah Hampir Sampai Di Papan Jenazah)

Nah kekayaan itu hampir tiba.


PERONDA 1
(Mengigau Lagi)
Mbok darmi… mbok… ayo tho…., dimana tho kamu. Mbok… Mbok Darmi…

PENCURI MAYAT
(Kesal)
Mbok Darmi ke Singapur beli kacang goreng.

PERONDA 1
(Kembali Tertidur)
Oooo….

PENCURI MAYAT
Ah semoga tak ada gangguan lagi, waktu sirepnya hampir habis.

(Kembali Menggali, Kali Ini Sudah Mulai Membuka Papan Penutup Mayat)

Ah tempat ini terlalu sempit. Terpaksa aku harus membawa ke atas, untuk menggigit kupingnya..

(Pelan-Pelan Membawa Mayat Ke Atas Dan Membuka Kain Kafannya)

Uh.. baunya, amis, anyir, busuk bercampur aduk. Tetapi tak apa, demi anak,istri, demi masa
depan keluarga.

(Setelah Membuka Tutup Kepala Mayat)

Panjang juga rambutnya, jadi sulit menggigit kupingnya.

(Ketika Mencoba Menyibak Rambut Mayat Yang Panjang)

Ah akhirnya ketemu juga kupingmu Mbakyu.

(Mencoba Menahan Napas Untuk Bersiap Menggigit Telinga Mayat. Dan Ketika Hendak
Menggigit Telinga, Tiba-Tiba Terdengar Lolongan Anjing. Di Kejauhan Memang Tampak Sorot
Mata Anjing Yang Siap Menerkam).

Bajingan. Ada saja masalah.

(Mencoba Menenangkan Diri)

Sabar… sabar… bekerja itu jangan grusa-grusu. .

(Lolongan Anjing Semakin Dekat Dan Terdengar Lolongan Beberapa Anjing).

Ini Anjing beneran atau anjing siluman sebagai ujian?


(Mengucap Mantera)

Demit Periprayangan yang mbaureksa pohon randu kuburan, jangan di ganggu, ijinkanlah
cucumu bekerja. Demit Periprayangan yang mbaureksa pohon randu kuburan, jangan di ganggu,
ijinkanlah cucumu bekerja. Demit Periprayangan yang mbaureksa pohon randu kuburan, jangan
di ganggu, ijinkanlah cucumu bekerja.

(Terus Berkomat-Kamit Tiada Henti)

Siapa tahu aku lupa permisi pada jin penunggu pohon randu yang di pojok itu.

(Lolongan Anjing Semakin Dekat)

Kurang ajar, ternyata anjing beneran.

ANJING-ANJING MENDEKAT, PENCURI MAYAT MENJADI PANIK, BERUSAHA


MENGUSIR ANJING-ANJING ITU UNTUK MENJAUH DARI MAYAT YANG
DIGALINYA.

PENCURI MAYAT
(Mengusir Anjing)
Shah.. shah….Pergi…Pergi… minggat sana !

SEMAKIN LAMA ANJING ANJING BERTAMBAH BANYAK SAMPAI BERJUMLAH


SEMBILAN. LOLONGANNYA JUGA SEMAKIN KERAS DAN MENGERIKAN. IA
MENGUMPAT.

Dasar binatang tidak mau lihat orang punya cita-cita. Pergi sana ! Asu kowe ! ! Shah !..
Hushah… !

ANJING ANJING MULAI MENDEKAT, MELIHAT MAYAT BAGAIKAN MELIHAT


MANGSA YANG LEZAT. SECARA BERGANTIAN. DENGAN LOLONGAN YANG
MENGERIKAN ANJING-ANJING MENYERBU MAYAT. SEDIKIT DEMI SEDIKIT
MEROBEK KAIN KAFAN. PENCURI MAYAT BERUSAHA MENGUSIR DAN
MELAWAN SEKUAT TENAGA DENGAN KAYU NISAN YANG ADA DI DEKATNYA.

PENCURI MAYAT
Anjing Kamu ! Minggat ! Diajak kompromi sedikit saja nggak mau. Anjing.

(Memukuli Anjing Yang Mencoba Mendekat. Lolongan Anjing Semakin Mengerikan, Anjing
Anjing Itu Menahan Sakit Karena Pukulan).

Nanti kamu dapat jatah, dan boleh kamu habiskan semua.


(Secara Bergantian Anjing Anjing Berusaha Merebut Mayat Dari Kuasa Pencuri Mayat)

Aku hanya butuh pinjam. Aku tidak akan memakannya. Aku hanya butuh menggigitnya. Itupun
hanya telinga. Hanya telinga. Lainnya makanlah sepuasmu.

MESKI PENCURI MAYAT MELAWAN ANJING ANJING SEKUAT TENAGA, NAMUN


ANJING ANJING TETAP TIDAK PEDULI DAN TIDAK MAU KOMPROMI. ANJING
ANJINGPUN JUGA BERUSAHA MEREBUT MAYAT ITU SEKUAT TENAGA.
LOLONGAN ANJING SEMAKIN MENGERIKAN MEMECAH SENYAPNYA MALAM.
LOLONGAN ANJING TERDENGAR SAMPAI JAUH DI UJUNG DESA.

PENCURI MAYAT
Dasar anjing, dasar anjing.

(Dengan Kayu Di Tangannya, Mengamuk Memukuli Anjing)

Kalian memusnahkan harapanku untuk jadi kaya, kalian memupuskan cita-cita keluargaku untuk
jadi makmur.

(Marah Sejadi-Jadinya)

Dasar anjing..!. Anjing buduk…!. Anjing kudisan…!. Anjing panuan….!, Anjing gudikan….!.

(Kehabisan Tenaga, Dan Putus Asa)

dasar Anjing.. Dasar anjing…. Oalah… Nasib… Anjingpun tidak mau memberi kesempat
kepada orang kecil seperti aku… Bangsat ! Bangsat ! Bangsat

(DI PUNCAK KEMARAHANNYA, MENGAMBIL TANAH, BATU, KAYU SEKENANYA


MELEMPARI ANJING ANJING. MEMUKULI ANJING ANJING TERSEBUT SEKUAT
HATI DAN KEMARAHANNYA. ANJING ANJING JUGA SEMAKIN MARAH.
LOLONGAN KESAKITAN DAN KEMARAHANNYA SAMPAI MEMEKAKKAN
TELINGA. SUARANYA SUDAH TIDAK KARUAN).

Oalah anakku, Istriku, Eyang guru… maafkan aku, aku tak dapat menyelesaikan tugasku

TERDUDUK LEMAS TAK BERDAYA, PASRAH. SEMENTARA ITU, ANJING ANJING


MELOLONG MEMEKAKKAN TELINGA, SELAIN KARENA RASA SAKIT AKIBAT
PUKULAN, JUGA KARENA RASA PUAS AKAN KEMENANGAN BERHASIL MEREBUT
MAYAT DARI PENCURI MAYAT. MALAM PECAH OLEH SUARA KENTONGAN YANG
DIPUKUL SECARA BERTUBI-TUBI OLEH WARGA DESA YANG TERBANGUN
MENDENGAR SUARA LOLONGAN ANJING ANJING TERSEBUT. PARA PERONDA
SATU-PERSATU BANGUN, SALING MEMBANGUNKAN YANG LAIN, SALAH SATU
PERONDA JUGA MEMUKUL KENTONGAN.

PERONDA 3
Bangun… Bangun… banyak anjing di sini, memangsa mayat lik Rukmini.

PERONDA 1
Ada apa ini, Ada apa?

PERONDA 4
Apa tho kang?

PERONDA 3
Anjing ! Anjing-anjing itu menyerbu kuburan lik Rukmini.

PERONDA 2
Ayo kita selamatkan mayatnya.

PERONDA 3
Kita usir anjing-anjing itu

PERONDA 2
Kita panggil warga yang lain.

PERONDA 3
(Kembali Memukul Kentongan Tanda Bahaya)
Kuburan Lik Rukmini di serang anjing… Kuburan lik rukmini mau di maling… maling…
maling… anjing… anjing….

PERONDA 1
(Sambil Mencari Senjata Kayu Atau Bambu)
Ini pasti bukan hanya karena anjing, pasti ada penyebab lain. Ini pasti gara-gara selasa kliwon !

SEMENTARA ITU PERONDA 2 DAN 4 SUDAH BERUSAHA MENGUSIR ANJING


ANJING ITU DENGAN KAYU DAN BAMBU SEADANYA. TAK LAMA KEMUDIAN
WARGA DESA YANG LAIN MULAI BERDATANGAN.

WARGA 2
Mana malingnya ?, kita hajar bareng-bareng.!

PERONDA 3
Itu, anjing-anjing itu ! kita usir anjing-anjing itu.!

WARGA 1
O.. dasar kewan. Shah… hushah… shah….

MENGUSIR ANJING ANJING UNTUK MENJAUH DARI KUBURAN


PERONDA 1
Kita usir sampai jauh.

PERONDA DAN WARGA BERHAMBURAN KE PENJURU ARAH UNTUK MENGUSIR


ANJING. ADA ANJING YANG MELAWAN, NAMUN AKHIRNYA KALAH, KARENA
JUMLAH WARGA YANG IKUT MENGUSIR ANJING ANJING SEMAKIN TAMBAH
BANYAK. ANJING ANJING MULAI MENYINGKIR DAN MENGHILANG DI GELAP
MALAM.
PERONDA 1 MENEMUKAN PENCURI MAYAT YANG MASIH TERDUDUK LEMAS.

PERONDA 1
Hoe… ! ini ada anjing yang pakai celana tentara!

PARA WARGA
(Bersahutan)
Mana ? kita hajar saja! Orang maksudmu? Kita seret ke pos ronda! Kita intrograsi! Dia pasti
maling! Ya pasti maling, malam-malam kelayapan di kuburan.

PERONDA 1
Kamu pasti maling. Kamu pasti yang membongkar makam ini, kamu pasti yang menggali
kuburan lik Rukmini.

PENCURI MAYAT MASIH MENAHAN SAKIT, HANYA DIAM

PERONDA 1
Nggak mungkin anjing anjing itu bisa menggali sedalam ini, dan bisa mengeluarkan mayatnya ke
atas kuburan. Pasti ini perbuatanmu? Ngaku !

PENCURI MAYAT MASIH MENAHAN SAKIT, DAN MASIH HANYA DIAM

PERONDA 3
Ngaku saja mas, daripada dihajar orang sedesa.

WARGA 5
Ngomong mas.

WARGA 3
Ini masalah Genting, Jangan mempersulit keadaan.

PERONDA 3
Kamu mau mencuri mayat ini tho ? Kamu yang menggali tanah kuburan ini tho? Ayo ngaku.

PERONDA 4
(Kepada Peronda 1)
Wah betul apa katamu kang. Memang ada pencuri mayat, dan orang ini mencoba mencuri mayat
lik Rukmini.

PERONDA 1
Ngaku, ayo ngaku !

WARGA 5
Kamu jangan bikin emosi Lho. Ngaku tidak?

PENCURI MAYAT HANYA BISA DIAM, MERASA BERSALAH

WARGA 5
Tidak mau ngaku ya.

(Mulai Memukul Pencuri Mayat)

Kurang ajar, ditanya baik-baik hanya diam

(Memukul Lagi)

Ngaku tidak?

WARGA 4
Ayo, ngomong mas.

WARGA 3
Ayo ngomong !

IKUT-IKUTAN MEMUKUL PENCURI MAYAT, DAN KEMUDIAN DIIKUTI OLEH


BEBERAPA WARGA YANG LAIN.

WARGA 1
Kalau sampeyan tidak mau ngaku, dan tidak mau ngomong, ntar dipukuli terus lho mas. Ayo
jujur saja mas.

PENCURI MAYAT MASIH DIAM

WARGA 5
Oh bikin emosi tenan iki !

KEMBALI MEMUKULI PENCURI MAYAT DAN DIIKUTI BEBERAPA WARGA YANG


LAIN. PENCURI MAYAT HANYA BISA MENAHAN RASA SAKITNYA.

PERONDA 1
Kamu membongkar makam ini, untuk pesugihan ! ngaku tidak ! atau untuk kekebalan ilmu
hitam. Iya tidak?

WARGA 6
Biar gamblang, saya panggilkan pak Aman dan pak Lurah.

PERGI MEMANGGIL PAK LURAH DAN PAK AMAN.

WARGA 5
Sebelum pak Lurah datang, kalau nggak mau ngaku kita hajar saja dulu.

KEMBALI MEMUKUL PENCURI MAYAT, PENCURI MAYAT HANYA BISA DIAM


MENAHAN SAKIT.

WARGA 4 (Membawa Segelas Air Minum Dari Pos Ronda)


Cukup.. cukup… jangan dipukul lagi. Mungkin dia capek, menggali kuburan sendirian. Biarkan
dia minum dulu. Siapa tahu haus, kesel.

(Menunjuk Tangan Pencuri Mayat)

Tuh lihat, tangannya sampai berdarah, menggali tanah tanpa pacul.

(Pura-Pura Berbaik Hati Kepada Pencuri Mayat)

Nih minum dulu mas

(Begitu Mendekat Pencuri Mayat, Dengan Segala Kemarahannya Memuncratkan Air Minum
Tersebut Ke Muka Pencuri Mayat. Pencuri Mayat Yang Semula Lega Menjadi Kaget Dan
Semakin Takut)

Nih minum !

KEMARAHAN ITU DIIKUTI WARGA LAIN YANG KEMUDIAN BERAMAI-RAMAI


MEMUKULI PENCURI MAYAT

PARA WARGA (Memukuli Sambil Bersahutan)


Kurang asem. Ditanya baik-baik tidak ngaku. Bedebah busuk. Kita bakar saja ! Kita congkel
matanya ! Ih jangan sadis-sadis, kaya jaman revolusi saja! Kita keplaki saja. Kita pukuli. Kita
hajar.

SUARA ITU BERULANG-ULANG DAN SAMPAI PADA PUNCAK KEMARAN DENGAN


NADA SUARA TINGGI. DIPUNCAK KEMARAHAN, LAMPU BLACKOUT.
SUARA ORANG-ORANG FADE OUT SEMAKIN LIRIH DAN HABIS. SENYAP.
PENCURI MAYAT (HANYA SUARA)
Nasib tidak pernah berpihak pada orang susah. Roda memang bisa berputar, tetapi roda milikku
macet. Sehingga aku selalu di bawah.

SELESAI

Keterangan kata yang berbahasa Jawa


Peyek Makanan ringan (digoreng) dari tepung yang ditaburi kacang
Kepinyak Terinjak (kaki)
Moh larang Tidak mau, mahal.
Waton Asal
Waton bener Asal benar
Gebug Pukul
Kemulan Berselimut
Ngekep Memeluk
Keplak Ditampar
Nyolong mayit Mencuri Mayat
Anyak Tenane Ah Yang bener
Sumonggo Silahkan
Leha-leha Bersantai-santai
Ngapa Berbuat apa?
Angel Sulit
Kenyo tanpo busono Wanita tanpa busana.
Ngasut mengocok kartu
Diapusi wong-wong tuwa Ditipu orang-orang tua.
Nglindur Mengigau
Asu kowe Anjing kamu
Kewan Hewan

Puthut Buchori
Yogyakarta, 15 Oktober 2005

Tentang Puthut Buchori

Nama Lengkap Puthut Buchori Ali Marsono, Kelahiran 6 September 1971. Alumni Jurusan
teater ISI Yogyakarta, Selain Menjadi Direktur Artistik Bandungbondowoso ready on stage, Juga
direktur Artistik di Teater MASA Jokjakarta, Perfomance Artist Post Punk Perfomance, dan
bekerja secara freelance pada beberapa kelompok kesenian. Saat ini aktif menjadi konseptor dan
pemimpin redaksi Underground Buletin Sastra ASK [Ajar Sastra Kulonprogo]. Berteater sejak
kelas satu SMP di teater JIWA Yogyakarta pimpinan Agung Waskito ER. Telah Berproses teater
lebih dari 100 repertoar, baik sebagai sutradara, pemain, tata artistik maupun tata lampu. Pernah
membina kelompok teater, antara lain Teater MAN Yogyakarta 1, Teater Puspanegara SMUN 5
Yogyakarta, SMUN 1 Depok Sleman Yogyakarta, Teater Cassello SMUN 1 Wates Kulonprogo
Yogyakarta, Teater Thinthing Wates Kulonprogo Yogyakarta, SMU Kolese GONZAGA Jakarta
(event tertentu), Kolese LOYOLA Semarang Jateng (event Tertentu). Teater Sangkar UPN
Veteran Yogyakarta, Teater RAI ISI Yogyakarta, Teater DOEA KATA ISI Yogyakarta, dan saat
ini sedang merintis kelompok teater di Wates Kulonprogo Yogyakarta. Tinggal di Gowongan
Kidul Jt3/412 Yogyakarta, HP. 08179417613, e-mailmasa_teater@yahoo.com
PITUTUR
OLEH:

DHYLAN WIDYA CAHYA DEWA

(LANWICAD)

PEKSIMIDA 2018

PITUTUR | 0
PITUTUR

Oleh: Dhylan Widya Cahya Dewa (Lanwicad)

Setting:

-Kamar simbah, properti khusus hanya tabung oksigen. Posisi kamar di panggung belakang
kanan, dengan kedudukan lebih tinggi dari ruang tengah.

-Ruang tengah, tempat berkumpul keluarga, seperangkat sofa dan meja tamu. Kamar
simbah berdampingan dengan ruang tengah. Ada pintu menuju ke luar (teras) dan ada pintu
menuju ke dalam (ruang dalam dan kamar-kamar selain kamar simbah).

Adegan I

DINI HARI DI DALAM KAMAR. DALAM REMANG-REMANG MBAH SASTRO DUDUK


TERMANGU SEMBARI NEMBANG DENGAN SUARA CUKUP KERAS DAN DIULANG-ULANG.

001. Mbah Sastro : “Aja turu sore kaki, ana dewa nglanglang jagad, nyangking bokor
kencanane, isine donga tetulak, sandang kalawan pangan, yaiku bageanipun,
wong melek sabar narima”

SATRIA, CUCU MBAH SASTRO TERGANGGU SEHINGGA MENDATANGI MBAH SASTRO. MBAH
SASTRO TIDAK MEMPEDULIKAN KEDATANGAN SATRIA, TETAP MELANJUTKAN NEMBANG.

002.Satria : “Mbah, ini sudah malam, mbok jangan keras-keras nyanyinya.”

003.Mbah Sastro : (berhenti nembang) “Nyanyi?”

004.Satrio : “Yasudahlah, mau nyanyi apa nembang atau apalah namanya, terserah
Simbah. Tapi tolong, Mbah, tolong, dikecilkan suaranya.”

005.Mbah Sastro : “Ini namanya tembang Asmaradana, Le. Kamu harus denger baik-baik, supaya
kamu paham.”

006.Satrio : “Bukan masalah mau ndengerin atau tidak, Mbah, ini sudah malam.”

007.Mbah Sastro : “Aja turu sore kaki, ana dewa nglanglang jagad... jangan tidur terlalu sore,
ada dewa yang sedang mengitari dunia....”

PITUTUR | 1
008.Satrio : “Mbah! Aku ini mau tidur! Istirahat! Nyanyiannya Simbah itu mengganggu!”

009.Mbah Sastro : “Tapi dalam karya sastra, Le, sebuah kalimat bisa memiliki banyak makna.
Seperti tembang itu tadi. Tembang itu bisa bermakna kita jangan tidur pada
waktu dini hari. Dini hari adalah waktu yang sangat mujarab untuk berdoa,
bersujud pada yang maha agung.

SATRIO TIDAK MENGGUBRIS SIMBAH, DAN SEBALIKNYA. SEBELUM AMARAH SATRIO


SEMAKIN MEMUNCAK, MASUK NURI, ISTRINYA YANG HAMIL MUDA.

010.Nuri : “Mas, sudah... Saya sudah panggilkan dik Nimas, biar dik Nimas yang ngurusin
Simbah. Sudah, Mas istirahat lagi, besok mas harus keluar kota.”

NIMAS MASUK. DENGAN WAJAH KESAL SATRIO KELUAR BERSAMA ISTRINYA.

011.Nimas : “Wonten napa ta, Mbah?”

012.Mbah Sastro : “Kamu sudah solat malam, Nduk?”

013.Nimas : “Sudah, Mbah. Simbah mbok istirahat, nanti nafasnya berat kalau kecapekan.
Simbah kan nggak suka to pake oksigen itu.” (menunjuk tabung oksigen)

SIMBAH JUSTRU NEMBANG LAGI.

014.Mbah Sastro : “Aja turu sore kaki, ana dewa nglanglang jagad, nyangking bokor kencanane,
isine donga tetulak, sandang kalawan pangan, yaiku bageanipun, wong melek
sabar narimo...

Kamu tahu arti dari tembang itu, Nduk? Tembang itu mengajak kita untuk
terjaga di dini hari, untuk berdoa, beribadah. Kenapa? Pada waktu dini hari
Gusti Allah kang Maha Agung berada dekat dengan bumi manusia, Nduk,
sehingga doa-doa kita menjadi lebih mustajab.”

015.Nimas : “Enggih, Mbah. Lha Simbah kan juga sudah berdoa, Simbah juga sudah
mengajari Nimas tembang itu barusan. Simbah sudah beribadah, sekarang
Simbah istirahat lagi, nggih?”

016.Mbah Sastro : “Iya, Nduk.... Besok temenin simbah ke sawah ya, Nduk.”

PITUTUR | 2
NIMAS TERDIAM SEBENTAR, IA MAKLUM BAHWA SIMBAH LUPA LAGI SAWAHNYA SUDAH
DIJUAL OLEH BAPAK, LUHUR, ANAK SEMATA WAYANGNYA SIMBAH.

017.Nimas : “Enggih, Mbah.”

SIMBAH REBAH. NIMAS MEMAKAIKAN SELIMUT, KEMUDIAN MEMPERHATIKAN DENGAN


SAYU, SEBENTAR KEMUDIAN NIMAS KELUAR DAN MENUTUP PINTU PERLAHAN.

Adegan II

PAGI HARI DI RUANG TENGAH, PAK LUHUR DUDUK SANTAI MEMBACA KORAN. NURI MASUK
MEMBAWAKAN KOPI.

018.Nuri : “Monggo kopinya, Pak.”

019.Pak Luhur : (berhenti membaca) “Wah, mantuku memang terbaik. (mencicipi kopi) Ah,
seger. Pagi-pagi, baca koran sambil minum kopi. Ditemani mantu lagi, nyaman
betul hidupku ini. Kalau ada pisang goreng lebih mantap lagi ini, Nur.”

020.Nuri : “Itu Nimas di dapur lagi nggoreng pisang, Pak. Tak ambilkan sekarang, nggih,
sudah ada yang matang tadi, Pak.”

021.Pak Luhur : “Eh, sudah-sudah, tidak usah. Kamu di sini saja, nemenin Bapak. Nanti kalau
sudah selesai kan Nimas juga bakal nganterin pisang gorengnya ke sini to....
Berangkat jam berapa tadi si Satria?”

022.Nuri : “Tadi Kangmas berangkat sekitar jam enam kalau tidak salah, Pak. Wonten
berita napa, Pak, hari ini?”

023.Pak Luhur : “Ini lho, Nduk, pembahasan nama cawapres dari kubu pemerintah sama kubu
oposisi. Gayeng, Nduk. Sekarang ini orang susah punya pendirian. Buktinya ya
pemilihan cawapres ini lho. Kubu pemerintah dimana-mana di media sosial
gembar gembor ulama jangan ikut campur politik, politik jangan dicampur
aduk dengan agama, lha endingnya malah mengangkat cawapres dari golongan
alim ulama. Oposisinya juga sama, dari awal digadang-gadang harus
berpasangan dengan ulama supaya negeri ini benar-benar bersih, aman, sesuai
syari’at, lha kok jadinya bukan ulama.”

PITUTUR | 3
024.Nuri : “Lha yang namanya pendirian juga kan cuma diri sendiri saja yang tahu, Pak.”

025.Pak Luhur : “Ya bener, Nduk, Bapak juga tidak menyalahkan pilihan mereka-mereka itu.
Ya namanya punya pendirian itu penting, tapi kan kita juga harus bisa
menyesuaikan diri dengan perkembangan situasi dan kondisi. Ndak kayak
simbahmu itu, dari dulu berikukuh sawah tidak boleh dijual. Lha wong sawah
sudah tidak terlalu produktif, lahannya juga langganan banjir. Panen saja
belum tentu untung, apalagi kelau kena banjir. Lak ya bener Bapak to, mending
sawah itu dijual, buat membiayai anak-cucu mencapai kehidupan yang lebih
baik.”

026.Nuri : “Saya tidak tahu, Pak, kalau masalah itu. Kan juga sawahnya sudah dijual lama
to, Pak. Dik Dimas juga alhamdulillah sudah sukses jadi pegawai. Tinggal
ngragati dik Nimas masuk perguruan tinggi.”

027.Pak Luhur : “Lha si Nimas itu susah dibilangi. Disuruh masuk ke sekolah akuntansi apa
ikatan dinas lainnya biar kayak mas-masnya itu lho, sukses-sukses, lha kok ndak
mau...”

NIMAS MASUK MEMBAWAKAN PISANG GORENG DAN DUA GELAS TEH.

028.Nimas : “Pisang goreng... Pisang goreng... Monggo, Pak, Mbak Nuri, mumpung masih
anget. Nimas buatin teh juga, lho, Mbak.”

029.Pak Luhur : “Lha ini yang ditunggu-tunggu. Sini, Nduk, jejer Bapak.

NIMAS DUDUK DISAMPING BAPAK. BAPAK MENGAMBIL PISANG GORENG.

030.Pak Luhur : “Anget! Dari harumnya saja sudah jelas terasa nikmatnya! Anak wedok-ku ini
memang paling jago kalo urusan nggoreng pisang.”

031.Nimas : “Ah, Bapak bisa saja. Mbak Nuri, dimakan lho, Mbak.”

032.Pak Luhur : “Tapi bener lho, Nduk, soalnya pisang gorengmu ini rasanya persis, plek-ser
sama buatan ibukmu. Lha wajah sama perilakunya juga sama. Untung Bapak
punya kamu, Nduk, bisa jadi tombo kalau Bapak lagi kangen sama ibukmu.”

033.Nimas : “Bapak i, jangan bikin nangis to...”

PITUTUR | 4
BAPAK MEMELUK NIMAS, NURI MEMPERHATIKAN DENGAN BEGITU MANIS.

034.Pak Luhur : “Bapak sayang sekali sama kamu, Nduk, sama kakak-kakakmu juga.”

035.Nuri : “Wah! Lha pisang gorengnya enak tenan, Dik. Bener kata Bapak. Lho,
ponakanmu juga ikut seneng ini.” (menunjuk perutnya, semuanya bahagia)

DARI RUANG DALAM TERDENGAR DERING TELEPON, NURI PAMIT UNTUK MENGANGKAT
TELEPON. MASIH DALAM SUASANA CERIA, NIMAS MEMPERHATIKAN KAKAK IPARNYA
BERJALAN MASUK, KEMUDIAN AIR MUKANYA MENJADI DATAR. BAPAK MELANJUTKAN
MEMBACA KORAN. NIMAS MEMBUKA PEMBICARAAN SETELAH BEBERAPA SAAT.

037.Nimas : “Pak... Mas Satria masih sering kasar sama Mbak Nuri.”

038.Pak Luhur : (menurunkan koran dari wajahnya) “Kamu tanya apa ngandani?”

039.Nimas : “Nimas ngasih tahu, Pak.”

040.Pak Luhur : “Darimana kamu tahu, Nduk?”

041.Nimas : “Ya tahu saja, Pak. Nimas itu kasihan lho, Pak, Mbak kan lagi hamil muda
bukannya dialusi kok malah tetep dikasari sama Mas. Biarpun belum bertahun-
tahun, tapi Mbak Nuri itu sudah seperti Ibuk buat Nimas, Pak.”

042.Pak Luhur : “Bapak juga ndak tahu, Nduk. Akhir-akhir ini memang mas mu jadi lebih
emosian.”

043.Nimas : “Apa gara-gara uang sawah ya, Pak?”

044.Pak Luhur : “Hus! Kamu ndak usah ikut-ikut masalah itu. Kamu itu mantepin hatimu dulu
saja, mau lanjut studi kemana.”

045.Nimas : “Nimas kan sudah bilang, Pak, Nimas maunya di pertanian kalo ndak ya jadi
guru. Nimas juga sudah daftar lho, Pak, kan Bapak sudah Nimas kasih tahu.”

046.Pak Luhur : “Ya boleh... boleh kamu daftar di pertanian, apa di keguruan, apa dimana
terserah. Tapi mbok dipertimbangkan lagi saran Bapak untuk kamu ikut
sekolah akuntansi negara, apa ikatan dinas yang lain. Ikatan-ikatan dinas itu
kan penerimaannya masih nanti kalau kamu sudah masuk kuliah itu.”

PITUTUR | 5
047.Nimas : “Nimas ndak tertarik, Pak. Nimas pengennya ngolah lahan pertanian di daerah
kita ini, Pak, butuh tenaga ahli lho, Pak untuk bisa memaksimalkan lahan di
daerah kita ini. Kalau Nimas ndak sekolah di pertanian, susah untuk ngasih
tahu masyarakat bahwa sawah yang ditanami padi terus menerus itu membuat
kondisi tanah jadi tidak subur.”

048.Pak Luhur : “Tani itu susah, Nduk. Rekasa. Bapak ini lho sudah nglakoni. Tani itu berat,
kamu ndak akan kuat, Bapak juga.”

049.Nimas : “Kalau semua orang berpikir kayak gitu, orang-orang yang kerjanya borongan
di sawah itu bisa mati kelaparan, Pak.”

050.Pak Luhur : “Kamu jangan ngeyel-ngeyel to kalau dibilangi Bapak. Lihat itu lho, mas-
masmu sudah enak hidupnya. Jadi pegawai. Kerjanya pasti, hidupnya pasti.
Kamu juga bisa ngopeni Bapakmu ini. Apa kamu ndak mau ngopeni Bapak to,
Nduk?”

051.Nimas : “Ya mau to, Pak.”

052.Pak Luhur : “Kamu harus tahu, Nduk, Bapak jual sawah itu nggak Cuma untuk masmu
yang di Jakarta saja, tapi juga untuk kamu, buat nyembadani kuliah dan masa
depanmu.”

053.Nimas : “Nggih, Pak.”

054.Pak Luhur : “Makanya, Bapak mohon, dipertimbangkan betul-betul saran Bapak itu.”

NURI BERDIRI DI AMBANG PINTU, MENYAMPAIKAN KABAR.

055.Nuri : “Pak, dik Dimas sudah sampai di bandara.”

056.Pak Luhur : “Alhamdulillah...”

Adegan III

MALAM HARI DI RUANG KELUARGA. TERDENGAR SUARA SIMBAH NEMBANG ASMARADANA


DARI DALAM KAMAR, TIDAK TERLALU KERAS TAPI CUKUP JELAS TERDENGAR. SEMENTARA

PITUTUR | 6
SATRIA SEDANG MENERIMA TELEPON DENGAN AIR MUKA CEMAS, NADA BICARANYA KERAS
TAPI LIRIH SEPERTI BERBISIK.

“Gegaraning wong akrami, dudu bandha dudu rupa, amung ati pawitane, luput pisan kena
pisan, yen gampang luwih gampang, yen angel angel kalangkung, tan kena tinumbas arta”

057.Satria : “Gila kamu ya! Sudah! Jangan buat keadaan jadi tambah kacau! Tenang! Yang
tenang! Jangan ke sini! Pokoknya apapun yang terjadi jangan ke sini! Percaya
sama Aku! Jangan ke sini!”

DI SUDUT PINTU DARI ARAH DALAM RUMAH, NURI MEMPERHATIKAN GELAGAT SUAMINYA.
IA MEMBERANIKAN DIRI UNTUK MENDEKAT DAN BERTANYA.

058.Nuri : “Siapa to, Mas?”

059.Satria : (masih pada telepon) “Sudah, nanti aku hubungi lagi! (kepada Nuri) Bukan
siapa-siapa.”

060.Nuri : (cemas, memegang lengan suaminya) “Mas, aku ini istrimu, kalau ada
masalah, cerita sama aku, Mas.”

061.Satria : (menghempaskan Nuri) “Bukan urusanmu!”

SATRIA MELENGGANG KELUAR, NURI BERDIRI DENGAN LEMAS MENAHAN TANGIS YANG
MASIH LOLOS SUARA ISAKNYA. NIMAS MEMPERHATIKAN KAKAK IPARNYA DARI PINTU
DEPAN SETELAH MELIHAT SATRIA BERGEGAS KELUAR DENGAN TIDAK WAJAR, KEMUDIAN
NIMAS MENDEKAT DENGAN HATI BERGETAR.

062.Nimas : (geraknya melambat setelah dekat dengan Nuri, tangannya jelas ingin
menggapai, suaranya lirih) “Mbak...?”

NURI BERGEMING, BAHUNYA NAIK TURUN, BIBIRNYA BERGETAR, MATANYA BERKACA-


KACA. TAK MAMPU BERKATA-KATA, NURI BERPALING DAN BERLARI KE DALAM RUMAH.

063.Nimas : (memandang Nuri yang menjauh) “Mbak...”

NIMAS LEMAS, TIDAK TAHU HARUS BERBUAT APA. IA DUDUK. NAFASNYA BERAT. TERDIAM
BEBERAPA SAAT, SUARA TEMBANG SIMBAH MASIH TERDENGAR, DIULANG-ULANG. SAMPAI

PITUTUR | 7
AKHIRNYA SUASANA TERPECAH OLEH KEDATANGAN DIMAS, KAKAK KE DUA DARI NIMAS.
DIMAS DATANG DENGAN PAKAIAN FORMAL BIASA DAN MEMBAWA SEBUAH KOPER KECIL.

064.Dimas : “Assalamu’alaikum! Paaak! Dimas sudah sampai!” (kemudian masuk)

065.Nimas : “Wa’alaikumsalam (bersalaman, mencium tangan kakaknya) kok baru


sampai, Mas?”

066.Dimas : “Iya, Dik, tadi Mas mampir dulu ke rumah temen lama. Kok sepi ini pada
kemana ini?”

067.Nimas : “Bapak di belakang, Mas, Mas Satria baru saja keluar. Mas sudah makan? Tak
siapin makan dulu ya, Mas?”

068.Dimas : “Sudah, Mas sudah makan. Yasudah Mas ke belakang dulu, ya.”

069.Nimas : “Kok sajake seneng banget ada apa to, Mas?”

070.Dimas : “Mas habis nemu pencerahan, Dik, buat hidup Mas, buat masa depan Mas.
Buat masa depanmu juga! Sudah ya...”

DIMAS MASUK KE DALAM RUMAH. NIMAS KEMBALI DUDUK, MASIH LINGLUNG. SUARA
TEMBANG SIMBAH SUDAH TIDAK TERDENGAR.

071.Mbah Sastro : “Nduuuk...” (memanggil beberapa kali kemudian muncul dari dalam rumah)

072.Nimas : (kaget) “Eh! Simbah? Ada apa, Mbah?” (menghampiri Simbah, membantu
berjalan)

073.Mbah Sastro : “Temani Simbah ke sawah, Nduk...”

074.Nimas : “Ke sawah? Sekarang, Mbah? Ini sudah malam, Mbah...”

075.Mbah Sastro : “Malam pie ta, Nduk, ini kan sudah pagi...”

076.Nimas : “Ini sudah malam, Mbah, lho di luar gelap. Simbah duduk saja, Nimas mau
tanya sesuatu sama Simbah. (mengajak simbah duduk di sofa) Simbah barusan
nembang napa ta, Mbah?”

PITUTUR | 8
077.Mbah Sastro : “Itu tembang Asmarandana, Nduk, Macapat. Macapat itu termasuk tembang
alit. Banyak serat-serat Jawa yang merupakan kumpulan dari Macapat, Nduk.
Salah satunya, Serat Wulangreh, itu anggitane Sri Susuhunan Pakubuwana IV.
Dalam serat itu, Nduk, ada banyak sekali piwulang-piwulang, pitutur-pitutur,
untuk kadang kanoman, anak-anak muda, tentang kejujuran, kesabaran,
kepekaan terhadap tanda-tanda, ngangsu kawruh atau menimba ilmu.”

078.Nimas : “Wah, bagus berarti, Mbah, isinya.”

079.Mbah Sastro : “Kabudayan Jawa itu kesemuanya bagus, Nduk. Banyak ajaran-ajaran tentang
budi pekerti. Simbah seneng kamu mau mendengarkan ceramah Simbah terus,
Nduk.”

080.Nimas : “Lha yang tadi itu artinya apa to, Mbah?”

SIMBAH MENGULANG TEMBANG ASMARANDANA YANG TADI.

081.Mbah Sastro : “Gegaraning wong akrami, sebab orang membangun hubungan. Dudu
bandha dudu rupa, bukan harta dan bukan rupa. Amung ati pawitane,
hanyalah hati yang menjadi tolak ukur. Luput pisan kena pisan, kadang ya
kebeneran, kadang ya salah. Yen gampang luwih gampang, Yen angel angel
kalangkung, kalau dibilang mudah ya mudah, dibilang susah ya susah, seperti
itulah hubungan dalm rumah tangga. Tan kena tinumbas arta, kebahagiaan
dalam menjalani rumah tangga tidak bisa dibeli hanya dengan uang.”

MENDENGAR PENJELASAN SIMBAH, NIMAS TERINGAT DENGAN KAKAK IPARNYA. MATANYA


BERKACA-KACA. TIBA-TIBA TERDENGAR SUARA BAPAK DENGAN KERAS.

082.Pak Luhur : “Tidak bisa! Pokoknya tidak bisa!”

BAPAK MASUK DENGAN TERGESA-GESA. DISUSUL DENGAN DIMAS. MELIHAT MEREKA


BERDUA MASUK, NIMAS SEGERA MENGAJAK SIMBAH KEMBALI KE KAMAR.

083.Dimas : “Pak! Dengerin Dimas dulu!”

084.Pak Luhur : “Apanya yang harus didengerin, Le? Keputusan Bapak sudah bulat, kamu tidak
boleh meninggalkan pekerjaanmu itu!”

PITUTUR | 9
085.Dimas : “Dimas kan tidak meninggalkannya tanpa pikir panjang, Pak. Dimas habiskan
dulu kontraknya, setelah itu baru Dimas keluar. Dimas juga sudah punya
rencana untuk membangun bisnis sendiri, Pak.”

086.Pak Luhur : “Muka Bapakmu ini mau ditaruh mana, Le? Mau ditaruh mana!? Bapak sudah
pontang panting buat masukin kamu ke sana, sampai Bapakmu ini memohon-
mohon sama temen Bapak. Baru sebentar kamu kerja di sana terus mau
keluar? Tidak bisa! Pokoknya tidak bisa!”

087.Dimas : “Tidak dalam waktu dekat ini, Pak. Dimas kan sudah bilang, Dimas habiskan
dulu masa kontraknya, baru setelah itu Dimas keluar.”

088.Pak Luhur : “Cari kerja sekarang itu susah, Le! Lagian kamu mau bisnis, rumangsamu
bangun bisnis itu gampang? Susah, Le! Kalau kamu mau bangun bisnis,
keungan keluarga akan berantakan, kamu itu masih punya tanggungan bantu
Bapak untuk menyekolahkan adikmu, si Nimas. Sawah Bapak sudah habis
terjual, kalau kamu tetep mau keluar dari pekerjaanmu berarti tidak mau
membantu Bapak menyekolahkan adikmu. Berarti, adikmu, Nimas, tidak usah
melanjutkan sekolahnya.”

089.Dimas : “Pak, tolong mengerti penjelasan Dimas, Pak. Ini tidak seperti yang ...”

090.Pak Luhur : “Sudah cukup! Tidak perlu ada penjelasan lagi. Kamu keluar, Nimas tidak
melanjutkan sekolahnya. Titik.”

SUASANA TEGANG. DIAM. DIMAS TAMPAK SANGAT KESAL KEMUDIAN DIA MASUK KE
DALAM.

PINDAH KE DALAM KAMAR SIMBAH. NIMAS MENANGIS DI PANGKUAN SIMBAH


MERASAKAN KEADAAN YANG SEMRAWUT.

091.Mbah Sastro : “Ada apa ta, Nduk?” (mengelus-elus kepala cucunya)

092.Nimas : (sambil terisak-isak) “Nggak tahu, Mbah... Nimas bingung... Nimas merasakan
banyak masalah, tapi Nimas nggak tahu harus ngapain, Mbah... Nimas nggak
bisa mbantu apa-apa, Mbah, Nimas cuma... (semakin berat) Nimas...”

PITUTUR | 10
093.Mbah Sastro : “Bapakmu ta, Nduk?”

094.Nimas : (mengangguk, masih terisak) “... Mbak Nuri juga, Mas Satrio, Mas Dimas...
Nimas juga, Mbah...”

SIMBAH MELANTUNKAN TEMBANG PUCUNG DALAM SERAT WULANGREH SEMBARI


MENGUSAP-USAP KEPALA CUCUNYA. NIMAS LEBIH TENANG MENDENGARKAN TEMBANG
DAN PENJELASAN DARI SIMBAH.

“Pan ewuh wong tinitah dadi asepuh, tan kena ginampang, mring sadulurira ugi, tuwa
nenom aja beda traping karya.

Jer sadulur tuwa kang wajib pitutur, marang kadang taruna, wong anom wajibe wedi, sarta
manut wulange sadulur tuwa.

Yen dadi nom weruha ing enomipun, kang ginawe tuwa, dikaya banyu neng beji, den
awening paningale aja samar”

095.Mbah Sastro : “Jadi orang tua itu susah, Nduk, tidak boleh membeda-bedakan anaknya.
Termasuk juga jadi saudara tua, harus bisa mengayomi yang muda. Sebagai
wong enom, kamu wajib ndengerin apa yang disampaikan sama saudara-
saudaramu, apalagi Bapakmu, Nduk. Harus memegang tata krama sama orang
tua. Tapi untuk saudara tua dan orang tua, juga harus bisa bijak, jangan sampai
pandangannya samar, sehingga berlaku semena-mena.”

MBAH SASTRO MENATAP JAUH KE SUDUT RUANGAN, TERMENUNG SEBENTAR.

096.Mbah Sastro : “Besok temani Simbah ke sawah ya, Nduk.”

MALAM BERTAMBAH KELAM BERIRINGAN DENGAN TANGISAN NIMAS MENDENGAR


AJAKAN SIMBAHNYA TERSEBUT.

Adegan IV

RUANG KELUARGA TAMPAK TEMARAM. KOSONG. ADA SUARA BISIK-BISIK DARI DEPAN
RUMAH. SATRIA MENGGERET SEORANG PEREMPUAN MASUK DENGAN GERAK-GERIK TIDAK
INGIN DIKETAHUI ORANG LAIN. SEMENTARA ITU DITAMPAKKAN JUGA MBAH SASTRO DAN

PITUTUR | 11
NIMAS DI DALAM KAMAR SIMBAH. MBAH SASTRO TERJAGA DAN TERMENUNG,
SEDANGKAN NIMAS DIAM-DIAM MEMPERHATIKAN PERBUATAN KAKAK TERTUANYA.

097.Satrio : (setengah berbisik) “Gila kamu ya! Aku sudah bilang jangan datang ke sini!”

098.Niwang : “Biar, Mas! Aku memang gila, kalau aku tidak gila kamu pasti sudah ninggalin
aku!”

099.Satrio : “Aku nggak akan ninggalin kamu, percaya sama aku!”

100.Niwang : “Aku nggak butuh janji-janji manis, Mas! Aku butuh kamu nikahi,
SECEPATNYA!”

101.Satrio : “Kamu tu nggak tahu kondisiku! Aku nggak mungkin menikahi kamu dalam
waktu dekat, kita kan sudah bicarakan hal ini bahkan sebelum aku menikah
dengan istriku. Lagipula sekarang istriku sedang hamil muda!”

102.Niwang : (kelepasan, suaranya mengeras) “Aku juga hamil anakmu, Mas!”

NIMAS TERKEJUT, NAFASNYA TERLALU DALAM DAN BERAT SEHINGGA MENIMBULKAN


SUARA.

103.Satrio : (spontan membekap Niwang) “Goblok! Cari mati kamu, ya!?”

TANPA DIDUGA SIMBAH NEMBANG ASMARANDANA “GEGARANING WONG AKRAMI”


DIULANG-ULANG TERUS. NAFAS SATRIO TERSENGAL-SENGAL.

104.Satrio : (mengatur nafas) “Tidak apa-apa, itu Simbahku, dia memang biasa bangun
jam segini. Sekarang kamu cepat pergi, kita bicarakan lagi hal ini besok, tidak
sekarang.”

TIBA-TIBA LAMPU RUANGAN MENYALA. NURI BERDIRI DI AMBANG PINTU PENGHUBUNG


RUANGAN TENGAH DENGAN RUANG DALAM. MATANYA TERBELALAK. SATRIO DAN
NIWANG TIDAK BISA BERKATA-KATA.

105.Nuri : (suaranya bergetar) “Mas.... Siapa itu, Mas?”

NIMAS MENGETAHUI KEDATANGAN NURI. PINTU KAMAR SIMBAH TERBUKA, NIMAS


BERLARI SEKENCANGNYA MENGHAMPIRI NURI. NIMAS MENAHAN AIR MATA, IA MEMELUK

PITUTUR | 12
NURI DENGAN SELURUH PERASAANNYA. SATRIO DAN NIWANG MASIH TERDIAM. SIMBAH
MASIH TERUS NEMBANG.

106.Nuri : (suaranya semakin bergetar, kakinya mulai melemah) “Siapa itu... Mas?”

107.Niwang : (lantang menantang) “Aku Niwang, Mbak! Aku adalah perempuan yang
seharusnya menikah dengan Mas Satria.”

108.Nuri : (terjatuh, Nimas masih memeluknya erat sambil menangis) “Mas...?”

109.Niwang : “Aku sedang mengandung anaknya Mas Satria juga, Mbak!”

NURI TERBELALAK KEMUDIAN IA JATUH PINGSAN, TAK SEMPAT MENANGIS.

110.Nimas : “MBAK NURIIII....!!!” (suaranya lantang bergetar menyayat)

111.Satria : “Bangsat kamu! Gila! Pergi kamu sekarang! Pergi!”

112.Niwang : “Aku sedang mengandung anakmu, Mas!”

BAPAK DAN DIMAS MASUK NYARIS BERSAMAAN. SIMBAH MASIH TERUS DITAMPAKKAN
DAN MASIH NEMBANG. DIMAS LANGSUNG MENGHAMPIRI NURI DAN NIMAS YANG MASIH
TERUS MENANGIS HISTERIS.

113.Pak Luhur : (suaranya menggelegar) “SIAPA WANITA ITU, SATRIA!?”

TIDAK ADA YANG MENJAWAB.

114.Pak Luhur : “JAWAB SATRIA!”

115.Satria : (sangat ketakutan) “Ni... Niwang... Pak.”

116.Pak Luhur : “Jahanam! Perempuan jalang! Mau ngapain lagi kamu ke rumah ini!?”

117.Niwang : “Saya mengandung anaknya Satria, Pak!”

118.Pak Luhur : “Dasar perempuan jalang! Pelacur! Keluar kamu! Aku tidak percaya dengan
omonganmu! Keluar!”

BAPAK MENGELUARKAN NIWANG DENGAN PAKSA.

PITUTUR | 13
119.Niwang : (dari luar) “Baik, Pak, saya akan pergi. Tapi saya akan menuntut apa yang
memang menjadi hak saya!”

BAPAK MENDEKATI NURI DAN NIMAS. MEREKA MENCOBA MEMBANGUNKAN NURI. SATRIA
MASIH HANCUR HATINYA. LANGKAHNYA PELAN-PELAN MENDEKAT KE ARAH NURI.

120.Nimas : (melarang Satria mendekati Nuri. Suaranya keras bergetar. Setiap kali Nuri
melarang, setiap kali pula langkah Satria terhenti sejenak. Sampai langkah
Satria benar-benar terhenti.) “Jangan mendekat, Mas! Jangan mendekat!
Jangan... Jangan mendekat!” (menangis histeris)

BAPAK DAN DIMAS MEMBAWA NURI KE KAMARNYA. TINGGAL NIMAS YANG TERDUDUK DI
LANTAI DAN SATRIO YANG MEMANDANG DALAM TATAPAN KOSONG. PERLAHAN MEREKA
MULAI DIHILANGKAN, TINGGAL SIMBAH YANG TAMPAK BERSAMA TEMBANG YANG MASIH
IA NYANYIKAN.

Adegan V

PAGI HARI DI RUANG TENGAH. BAPAK, SATRIA, DAN DIMAS DUDUK DI SOFA. TIDAK ADA
MINUMAN DI ATAS MEJA. SUASANANYA TEGANG DAN CANGGUNG.

121.Dimas : “Sebenarnya... ada masalah apa to, Mas?”

122.Pak Luhur : (setelah beberapa saat Satria tidak menjawab) “Mau ditaruh mana muka
Bapak, Le!? Mau ditaruh mana!? .... Kamu sudah mempermalukan keluarga.”

SATRIO MASIH TERDIAM, JUGA DIMAS. BAPAK MENGATUR NAFASNYA.

123.Pak Luhur : “Benar perempuan itu sedang mengandung anakmu? (tidak dijawab) Le?
Bapak tanya sama kamu. Apa bener perempuan itu sedang mengandung
anakmu!?”

124.Satria : “Benar, Pak.”

125.Pak Luhur : (membuang muka, air mukanya masam sekali. Nafasnya tampak sangat
berat sampai butuh waktu untuk kembali bicara.) “Bapak lebih baik mati
daripada kewirangan, Le!”

PITUTUR | 14
BAPAK PERGI, MASUK KE DALAM. SATRIA DAN DIMAS KEMBALI DALAM SUASANA TEGANG
DAN CANGGUNG. LAMA MENAHAN AKHIRNYA DIMAS UNGKAPKAN JUGA PERASAAN KESAL
YANG MENGGANJAL DI HATINYA.

126.Dimas : “Kamu itu kok ya ndadak aneh-aneh to, Mas-Mas... Mbak Nuri itu kurang
apa?”

NIMAS LEWAT, MEMBAWAKAN MAKANAN UNTUK MBAK NURI.

127.Dimas : “Dik, sini dulu! (Nimas berhenti tapi tidak mau duduk karena ada Satria)
Bagaimana keadaan Mbak Nuri?”

128.Nimas : (menjawab ketus dan sepatah sepatah) “Sudah baik. Masih Lemes.... Ini.”
(menunjukkan makanan yang dibawa)

129.Dimas : “Yasudah kalau begitu, dirawat betul-betul ya.”

NIMAS MELANJUTKAN LANGKAH MENUJU KAMAR NURI. SUASANA KEMBALI LENGANG,


TEGANG. TIBA-TIBA TERDENGAR SUARA NAMPAN TERJATUH. KEMUDIAN DERAP LANGKAH
KAKI NIMAS KEMBALI KE RUANG TENGAH. SAMPAI DI RUANG TENGAH NIMAS LANGSUNG
TERDUDUK LEMAS SAMBIL MENUNJUK KE ARAH KAMAR NURI.

130.Nimas : (suaranya bergetar, sangat ketakutan) “Mbak Nuri, Mas!”

131.Satria : “Nuri kenapa?” (cemas, langsung berlari menuju kamar)

132.Dimas : “Mbak kenapa, Dik?” (menghampiri Nimas)

133.Nimas : (menangis) “Mbak Nuri, Mas... tangannya... Mbak Nuri menyobek nadinya
pakai pisau, Mas...”

134.Satria : (dari dalam, berteriak memanggil meminta bantuan) “DIMAAAAS!! CEPAT


KEMARI!!”

Adegan VI

SEBUAH RUANG GELAP. MUNCUL SEBERKAS SINAR. TAMPAK PAK LUHUR DUDUK DI SEBUAH
KURSI. PAK LUHUR MEMEGANG SEUTAS TALI DADUNG. BAPAK BERDIALOG SEMBARI
MERANGKAI DADUNG TERSEBUT MENJADI TALI GANTUNG.

PITUTUR | 15
DITAMPAKKAN KAMAR SIMBAH DAN SIMBAH YANG TERJAGA. SIMBAH NEMBANG
PANGKUR DALAM SERAT WULANGREH BARIS 1-12 TENTANG PITUTUR-PITUTUR JAWA
MENGENAI SIFAT MANUSIA YANG BAIK UNTUK KEHIDUPAN.

135.Pak Luhur : “Oalah Gusti... Kenapa jadi begini? .... Maafkan aku, Pak... Aku tidak pernah
mendengarkan pitutur-pitutur mu.... Harusnya buah memang tidak
menjauhkan diri dari pohonnya, harusnya aku mendengarkan pitutur-
pituturmu, Pak...

Duh, Satrio anakku... maafkan Bapak, Le... Kamu tidak salah, Le. Buah tidak
jatuh jauh dari pohonnya. Ibukmu dulu juga hamil di luar nikah, Le, karena
orang tua Ibukmu dulu tidak menyetujui hubungan kami...

Oalah, Gusti.... Aku kehilangan istri... sekarang aku kehilangan mantuku


yang sangat baik budinya.... sedangkan putraku... putraku yang selama ini aku
bangga-banggakan.... Duh Gusti...”

TALI TELAH TERANGKAI, BAPAK BERDIRI DI ATAS KURSI SEMBARI MEMEGANG TALI DI
LEHERNYA. TEMBANG PANGKUR MASIH BERKUMANDANG. TERDENGAR SUARA KURSI
DITENDANG DAN LAMPU MATI SEKETIKA. LANTUNAN TEMBANG MASIH BERKUMANDANG
HINGGA SELESAI.

SELESAI

Tegal, 11 Agustus 2018

Lanwicad

PITUTUR | 16
NO URUT 9

DIANG MATA HABANG


BABAK I

DI SAMPING PASAR BERINGHARJO, ADA SEBUAH DAERAH PECINAN YANG DIBERI NAMA JALAN
KETANDAN. MULAI PAGI HINGGA SORE JALAN TERSEBUT DISULAP MENJADI SEBUAH PASAR
YANG DISESAKI OLEH BARANG-BARANG DAGANGAN BERUPA KERAJINAN KUNINGAN DAN
BARANG-BARANG ANTIK. PARA PENGUNJUNG MENYUSUP DI SELA-SELA JALAN TERSEBUT.
SEMENTARA, PARA PENJUAL DENGAN KERAMAHAN YANG BERSALUT KERINGAT DI WAJAH
MENYAMBUT MEREKA DENGAN SABAR. TAK ADA YANG LUAR BIASA MEMANG. SEPERTI
ORANG-ORANG YOGYAKARTA PADA UMUMNYA, SEMUA ORANG HARUS BEKERJA DI SINI. TAK
PANDANG UMUR, SEMUA HARUS SALING BERSINGGUNGAN, MENYAPA, MENAWARKAN,
MENOLAK, ATAU DITOLAK. DAN PASAR TETAPLAH PASAR. MUSIK KARAWITAN MEMBAHANA
DENGAN SEMRAWUT DARI SEMBARANG RADIO TUA MILIK PARA PENJUAL DI PASAR TERSEBUT.
SEMENTARA PENGUNJUNG SEMAKIN BERJEJALAN MESKI TAK MENAMBAH PEMASUKAN KE
DOMPET-DOMPET PARA PENJUAL.

ADEGAN I

KETIKA PARA PENGUNJUNG SEDIKIT MENYURUT, DI TENGAH KERUMUNAN TAMPAK LAPAK


MASNAH, SEORANG WANITA PARUH BAYA DENGAN BARANG DAGANGAN BERUPA KUNINGAN
DARI KLATEN SERTA BATU-BATU MULIA DARI KALIMANTAN DENGAN EMBAN BUATAN
PENGRAJIN DI PACITAN. TAK ADA YANG MENARIK JUGA DARI BARANG DAGANGAN SI MASNAH.
MASNAHNYA SENDIRI JAUH KURANG MENARIK DARI BARANG DAGANGANNYA YANG
BERKILAU-KILAU TERKENA SINAR MATAHARI DARI SELA TERPAL ATAS PASAR. IA MENGIPAS-
NGIPASI DIRI DENGAN SEMBARANG KERTAS KORAN YANG IA COMOT ENTAH DARI MANA.
SIANG LUMAYAN PANAS. SEMENTARA ARUS KERUMUNAN SEMAKIN MENYULITKAN PARU-
PARUNYA UNTUK BERSAING MEREBUT SEEMBUSAN OKSIGEN YANG SEMAKIN DIKOTORI
UDARA BERPOLUSI. SESEKALI IA MENAWARI ORANG-ORANG YANG LEWAT. MEREKA
BERTANYA-TANYA PADA MASNAH, SEPERTI MEREKA BERTANYA-TANYA DAN MENAWAR
HARGA PADA PENJUAL DI SEBELAH LAPAK MASNAH. SESEKALI KESEPAKATAN TERJADI. UANG
DIKANTONGI, BARANG DIBAWA PERGI. SETELAHNYA KEMBALI LAGI DENYUT SESAK DAN
MEMBOSANKAN ITU. MASNAH KEMBALI LAGI HARUS MENGIPASI DIRINYA SENDIRI LAGI.
DUA ORANG GADIS DENGAN PAKAIAN YANG TAK BIASA MUNCUL DI ANTARA KERUMUMAN
TERSEBUT. BILA DIAMATI SECARA SAKSAMA, ORANG-ORANG AKAN MENGIRA BAHWA MEREKA
PARA PENARI YANG NYASAR. NAMUN TAK ADA JUGA ORANG-ORANG YANG MEMPEDULIKAN
DUA GADIS BERPARAS AYU ITU SEOLAH MEREKA MEMANG TIDAK KELIHATAN. SECARA SPESIFIK
MEREKA MEMAKAN PAKAIAN GALUH1 DENGAN HIASAN KEPALA DARI ADAT SUKU BANJAR.
RAUT DAN PRILAKU MEREKA SANTUN. TERLEBIH KETIKA MEREKA SINGGAH KE LAPAK MASNAH.
MATA MASNAH TERBELALAK MENYAMBUT KEDATANGAN DUA GADIS TERSEBUT. IA SEPERTI
DIHANTAM OLEH MEMORI YANG JAUH. TAPI BAGAIMANAPUN IA HARUS MELAYANI MEREKA
SESANTUN YANG BISA IA LAKUKAN.

MASNAH : Mencari apa?


GADIS I : Emban terbaik, bu. Untuk batu mulia sebesar 180 karat.
MASNAH : Waduh, mbak! Susah kalau batu permatanya sebesar itu ukurannya.
Memang batunya jenis apa, mbak?
GADIS II : Intan, bu.
MASNAH : Intan?! Yang benar, dong, mbak. Mana ada intan 180 karat? Yang
Trisakti saja sudah raib dan katanya nyantol di museum Belanda. Masa
mbak-mbak sekalian punya intan 180 karat? (TERTAWA MELECEHKAN)
GADIS I : (TERSENYUM MEMANDANG GADIS II) Sekarang memang tidak punya,
bu. Tapi kalau ibu mau kembali mendulang, bukan tidak mungkin ibu
yang mendapatkannya.
MASNAH : Ini arah omongannya ke mana, mbak?
GADIS I : Jangan berlagak bodoh, Masnah.

MASNAH TERDIAM KECUT MENDENGAR PERKATAAN TADI. DUA GADIS DI HADAPANNYA


MENATAPNYA TAJAM SEOLAH MEREKA MEMBIKIN RUANG TAK KASAT UNTUK MENGASINGKAN
MASNAH SENDIRIAN DI TENGAH KERUMUNAN. MASNAH PERSIS DIKEPUNG. GADIS II
KEMUDIAN MENGAMBIL SALAH SATU EMBAN YANG CUKUP BESAR. GADIS I MELETAKKAN BATU
MULIA KASAR YANG BELUM DIPOLES KE EMBAN TERSEBUT. WARNA BATU TERSEBUT MERAH
SEPERTI BAWANG MERAH. KETIKA EMBAN DAN BATUNYA BERSANDING SESUAI, GADIS I
MENARIK TANGAN KANAN MASNAH DAN MEMASANGKAN CINCIN TERSEBUT KE JARI
MANISNYA. TUBUH MASNAH BERGETARAN HEBAT.

MASNAH : (TERCEKAT) Intan Bawang Habang2!!!


GADIS I & II : Kembali, Masnah. Kembali!

KERUMUNAN MENDADAK BEKU PERGERAKANNYA. MATAHARI BAGAI BERSINAR DENGAN


CAHAYA SERUPA LUMPUR. RIBUT-RIBUT TANAH SEPERTI LONGSOR DAN HUJAN BERTINDIHAN
DI UDARA. TERIAKAN-TERIAKAN PANJANG MELENGKING DAN MENYEBAR. KEMUDIAN CAHAYA
SEMUANYA SAMA SEKALI MATI.
ADEGAN II

MASNAH TERBANGUN DI LAPAKNYA DENGAN TUBUH BERPELUH. HARI SUDAH SORE MENUJU
MAGHRIB. PASAR KETANDAN SUDAH HAMPIR SURUT KERIUHANNYA. HANYA BEBERAPA
PEDAGANG YANG WARA-WIRI MEMBERESKAN BARANG DAGANGANNYA, SEPERTI SI MARNI
YANG BERJUALAN BARANG-BARANG SEPERTI PRANGKO ANTIK, KARTU POS, KERAMIK, DAN
KUNINGAN.

MARNI : Tidak siap-siap tutup, bu?


MASNAH : (LESU) Capek, Mar! Aku sendiri baru bangun dari tidur siang.
MARNI : Siang apaan, ini sudah dekat Maghrib. Cepat dibereskan. Pulang. Sholat.
Istirahat. Bu Masnah sendiri kelihatan stres akhir-akhir ini. Kenapa, bu?
MASNAH : Tadi mimpi buruk tadi.
MARNI : Mimpi buruk?
MASNAH : Buruk sekali sampai-sampai aku sendiri susah bangunnya.
MARNI : Ketindih kali.
MASNAH : Di pasar jin lebih suka nimbrung belanja daripada nindih mbok-mbok
macam aku ini, Mar!
MARNI : (TERKIKIK) Ya sudah aku pulang duluan, bu. Cepetan, lho, ditutup
lapaknya. Sudah hampir Maghrib ini.
MASNAH : Iya…

ADEGAN III

MARNI BERLALU MENENTENG SEPEDA ONTHEL KEBANGGAANNYA DAN LANTAS KELUAR


MENUJU JALAN BESAR. MASNAH SENDIRI KEMUDIAN MERENGGANGKAN LENGAN DAN
PINGGULNYA LALU BERGEGAS MEMBERESKAN LAPAK.
SEORANG WANITA TUA LEWAT MEMANGGUL BUNTELAN BERISI SAYUR MAYUR YANG SUDAH
TIDAK SEGAR LAGI. NAMANYA MBAH TURI. USIANYA BARANGKALI SUDAH LEBIH DARI
TUJUHPULUH. KETIKA LEWAT DI DEPAN LAPAK MASNAH, MBAH TURI TERSENYUM DENGAN
PIPINYA YANG CEPOT DAN GIGI YANG SUDAH LUMAT SEMUA.

MASNAH : Mbah, sebentar…


MBAH TURI : Kenapa nak Masnah?
MASNAH : (MENYERAHKAN BUNGKUSAN NASI DAN BOTOL AIR MINERAL) Mbah
belum makan pasti. Ini bawa makan siang aku, ya mbah. Aku masak
sendiri jadi ndak mungkin basi. (MENGAMBIL UANG DAN
MENYELIPKANNYA PULA KE TANGAN MBAH TURI) Ini juga ada sedikit
rejeki buat mbah besok makan. Jadi kalau mbah capek, mbah ndak perlu
turun bekerja.
MBAH TURI : Aduh, terima kasih, nak Masnah. Mbah ndak pernah salah kalau pernah
bilang kalau hati nak Masnah itu kayak intan. Keras tapi berkilau. Sekali
lagi terima kasih.
MASNAH : Hati-hati di jalan, mbah…

ADEGAN IV

MBAH TURI BERLALU KE UJUNG JALAN DAN HILANG SAMA SEKALI. BEBERAPA ORANG
BERWAJAH CINA LEWAT. MEREKA TERSENYUM PADA MASNAH YANG JUGA BALIK TERSENYUM.
MEREKA KEMUDIAN HILANG MENUJU JALAN BESAR. SETELAH MEREKA HILANG DI DEPAN
PASAR, MASNAH BENAR-BENAR SENDIRIAN DI PASAR YANG MULAI GELAP. RAUTNYA SEPI.
MATANYA BAGAI MENYIMPAN LUKA SENDIRI. ADZAN MAGHRIB YANG TIBA-TIBA
BERKUMANDANG SEMAKIN MENGUCILKAN KEBERADAANNYA. SETELAH ITU IA MENUTUP
LAPAKNYA DENGAN MERANTAI PAPAN PENUTUPNYA DENGAN GEMBOK. SEMUA IA LAKUKAN
DENGAN GERAKAN SIGAP YANG MENYIRATKAN BAHWA IA TAK MEMERLUKAN SIAPAPUN
UNTUK MELAKUKAN HAL TERSEBUT UNTUKNYA. MASNAH PUN KEMUDIAN HILANG MENUJU
DEPAN PASAR. KE HIRUK PIKUK JALAN MALIOBORO. CAHAYA KEMUDIAN PERLAHAN REDUP
SAMPAI AKHIRNYA SAMA SEKALI MATI.

ADEGAN V

PASAR KETANDAN DI PAGI HARI. SEMUA KEMBALI PADA PENGATURAN AWAL DI PAGI HARI.
RIUH SESAK NAMUN BAGAIMANAPUN TERPAKSA BERDENYUT PASRAH. MASNAH SENDIRI
MENYAMBUT BEBERAPA BULE YANG MENAWAR-NAWAR BATU PERMATA JUALANNYA.
SEORANG LELAKI TAMPAK MENGAMATI KE ARAH DAGANGAN MASNAH DARI SALAH SATU
SUDUT PASAR. NAMANYA BUSRAN. PAKAIANNYA NECIS DAN RAPI. MATANYA TAMPAK BEGITU
TENANG TAPI TAK LEPAS-LEPAS MENUJU KE ARAH MASNAH. MASNAH BUKANNYA TIDAK TAHU
BAHWA IA DIPERHATIKAN. IA HANYA BERPURA-PURA BERSIKAP SETENANG MUNGKIN. LELAKI
ITU KEMUDIAN MENDEKATI DAGANGAN MASNAH. SEMENTARA MASNAH SENDIRI
MENYAMBUTNYA DENGAN PURA-PURA TAK MENARUH CURIGA.

MASNAH : Mampir, mas… Silakan lihat-lihat. Siapa tahu ada yang nyantol ingin
dibawa pulang.
BUSRAN : Saya mencari barang paling antik di sini ada, bu?
MASNAH : Jenisnya seperti apa dulu, mas? Barang untuk dipajang atau perhiasan
kayak cincin-cincin ini?
BUSRAN : Cincin.
MASNAH : Kalau di sini ada cincin mata Ruby dari Australia, mas…
BUSRAN : Wah, saya cari yang lokalan saja, bu.
MASNAH : Memang matanya pengen kayak apa? Ini ada satu bagus, Kalimaya.
BUSRAN : Yang namanya Trisakti ada, bu?
MASNAH : (MELONGO KEMUDIAN TERTAWA) Ada, mas! Ubek-ubek dulu museum
di Belanda!
BUSRAN : Kalau mungkin Putri Malu atau Diang Gringsing3?
MASNAH : (TAWANYA REDA DAN MENYADARI SESUATU YANG LAIN)
BUSRAN : Mungkin batu Diang Mata Habang4 ibu Masnah pernah dengar?
MASNAH : (KETUS) Siapa kamu?
BUSRAN : Saya Busran. Utusan dari Haji Jarkasi untuk menjemput ibu Masnah
kembali ke Kalimantan.
MASNAH : Bilang ke Haji Jarkasi kalau Masnah sudah pensiun mendulang.
BUSRAN : Kami semua sudah tahu akan hal itu. Saya datang ke sini pun untuk
mengubah hal tersebut.
MASNAH : Tak ada yang akan berubah dari keputusanku. Aku tetap berhenti.
BUSRAN : Apa yang sudah digariskan dalam darahmu tidak akan hilang. Ayahmu
seorang pendulang. Almarhum suamimu juga pendulang. Meskipun
ibumu asli perempuan Yogyakarta, hal itu bukan berarti tujuanmu ada di
sini, Bu Masnah.
MASNAH : (DIAM SEJENAK) Tujuanku sekarang membesarkan anakku sampai ia
berhasil.
BUSRAN : Basri sekarang sudah mendekati kepala dua dan meraih beasiswa di
UGM. Masih kurang berhasilkah ia sekarang? (JEDA) Maaf, saya
mengorek terlalu banyak tentang ibu. Sudah seminggu saya mencari-cari
ibu dan akhirnya mendapatkan ibu di salah satu sudut kota ini. Tuhan
tidak pernah bercanda memang tentang garis takdir ibu.
MASNAH : (SEDIKIT GERAM) Takdir macam apa, mas? Mendulang intan di
kubangan tanah berlumpur seharian dengan hasil yang tak menentu?
Lalu dibayang-bayangi oleh kecelakaan kerja akibat longsor hasil
penggalian? Itu takdir yang ingin coba kamu jelaskan padaku? (JEDA)
Kembalilah ke Haji Jarkasi dan katakan padanya aku tak akan kembali ke
Cempaka.
BUSRAN : Anda pasti kembali. (LEBIH MENDEKAT KE ARAH MASNAH) Anda tentu
tak meragukan reputasi Haji Imron ketika ia memberi petunjuk ke
kelompok pendulang untuk melakukan penggalian. Sebagai seorang
malim5 terhormat, ia berpesan untuk melibatkan Anda dalam proyek
pendulangan kali ini. Tentu Anda ingin menyelesaikan misi yang sudah
Anda tinggalkan, bukan?
MASNAH : Misiku saat memutuskan menjadi pendulang dulu itu adalah untuk
membantu perekonomian keluarga. Syukur-syukur bila perolehannya
besar sehingga dari keuntungannya kami bisa menabung untuk berangkat
haji. Tapi, ketika suamiku tewas di lubang dalam penggalian, semua itu
sudah pupus sama sekali.
BUSRAN : Anda lupa tentang legenda intan Diang Mata Habang yang pernah Anda
temukan?
MASNAH : Setelah menemukannya aku mendapatkan untung besar dan suamiku
mati. Bisa dikatakankah kalau aku beruntung?
BUSRAN : Intan sebesar 100 karat dengan kualitas tertinggi: Intan Bawang
Habang! Barangkali reputasi Anda sekarang sudah menyamai reputasi
Haji Matsam yang pernah menemukan intan Trisakti dulu itu.
MASNAH : (MELINTING ROKOK DAN MENYALAKANNYA) Apa kabarnya intan
temuanku itu?
BUSRAN : Dengar-dengar sudah dibawa dipotong menjadi beberapa bagian dan
dijual tersebar ke Eropa.
MASNAH : (TERSENYUM SINIS) Kita yang menemukan, tapi bisa-bisanya orang-
orang asing itu yang menikmati kemilaunya.
BUSRAN : Tapi mereka membayar, bukan?
MASNAH : Ini bisnis yang pelik dan aku sudah tak mau melanjutkan.
BUSRAN : Anda yakin?
MASNAH : (DIAM)
BUSRAN : Semua pendulang percaya bahwa Diang Mata Habang memang
sepasang, seperti mata. Haji Imron sendiri kali ini percaya bahwa intan itu
akan muncul untuk terakhir kalinya dengan karat yang lebih besar. Dan ia
meyakini, hanya di tangan Anda Diang Mata Habang akan muncul.
Ratusan proyek pendulangan dengan ratusan pekerja gagal menemukan
Diang Mata Habang yang satunya.
MASNAH : Terlalu banyak tahayul pula yang melingkupi kalian. Aku sudah tak lagi
mempercayai.
BUSRAN : Tidak. Tuhan tidak akan mengizinkan tahayul itu terjadi dan menyebar
dalam mimpi berulang pada Haji Imron bila hal itu memang tak menjadi
takdir Anda. Hati Anda sendiripun pasti tebersit keinginan untuk kembali
mendulang. Dan saya yakin, Anda pun kerap diganggu mimpi yang
bertujuan sama: mengembalikan Anda ke tanah pendulangan di
Cempaka! (JEDA) Saya akan kembali lagi ke sini besok. Pikirkanlah.
(PERGI)

ADEGAN VI

SEPENINGGAL BUSRAN, MASNAH MASIH TIDAK BERANJAK DARI TEMPATNYA SEMULA. IA


DUDUK DENGAN WAJAH TERMENUNG DAN MENGEMBUSKAN ROTOK LINTINGANNYA HINGGA
TANDAS. MARNI YANG SEDARI TADI MENGUPING PEMBICARAAN MEREKA BERDUA TIBA-TIBA
MENDEKAT.

MARNI : Bu Masnah ingin balik ke Kalimantan?


MASNAH : Tak tahulah aku, Mar…
MARNI : Mendulang lagi?
MASNAH : Belum kuputuskan.
MARNI : Kalau mendulang bisa bikin Bu Masnah cepat naik haji, ya jalani saja.

MASNAH TERDIAM MENATAP MARNI. MATANYA BERKACA-KACA. DI ISAPAN ROKOK


TERAKHIR MASNAH MENANGIS SEJADI-JADINYA. MARNI SEGERA MEMBAWA MASNAH KE
SUDUT PASAR YANG AGAK LEBIH LENGANG DAN LUPUT DARI PERHATIAN PENGUNJUNG
PASAR.

MARNI : Kenapa, bu?


MASNAH : Aku ndak tahu, Mar… Dadaku sakit kalau harus disuruh mendulang dan
berharap bisa naik haji lagi. Apa gunanya aku dapat intan 1000 karat
sekalipun dan naik haji 100 kali bolak-balik kalau tidak ada bapaknya Basri
menemani? Semenjak kecelakaan itu lima tahun lalu, aku hidup cuma
sekedar hidup, tok. Tidak punya impian neko-neko lain. Yang penting aku
dan Basri bisa makan dan hidup tenang, terus ia bisa bersekolah setinggi-
tingginya. Ndak banyak keinginan aku sekarang, Mar… Sekarang, dapat
tiga pembeli di lapak ini juga sudah syukur, Mar… Apalagi yang ingin aku
harapkan?
MARNI : Kalau memang Tuhan ingin membawa Bu Masnah pulang ke
Kalimantan, mau ndak mau, Bu Masnah memang harus pergi.
MASNAH : Aku, toh, sudah tua. Ingin apalagi Tuhan dari hidupku? Terus bagaimana
Si Basri?
MARNI : Ia pasti mengerti, bu…

MARNI MEMELUK MASNAH. KERUMUNAN MASIH BERSELIWERAN TAK PEDULI DI ANTARA


MEREKA. CAHAYA PERLAHAN REDUP DAN MATI.

ADEGAN VII

SORE MENDEKATI MAGHRIB. PASAR KETANDAN SUDAH LENGANG. HANYA MASNAH YANG
TERSISA SAMBIL MEMBERESKAN LAPAKNYA. SI BASRI, ANAK SEMATA WAYANGNYA DATANG
DENGAN TAS DI BAHU.

BASRI : Assalamualaikum, bu… (MENYALAMI MASNAH)


MASNAH : Walaikumsalam. Basri, ndak pulang ke rumah saja kamu, nak?
BASRI : Sekali-kali datang ke sini, toh, tidak apa-apa. (IKUT MEMBERESKAN
LAPAK)
MASNAH : Dari mana kamu?
BASRI : Kampus, bu. Ada rapat organisasi.
MASNAH : Ya sudah. Kebetulan juga ada yang ingin ibu bicarakan sama kamu.
BASRI : Mengenai apa, bu?
MASNAH : (RAGU) Bagaimana kalau ibu kembali ke Kalimantan Selatan? Ke
Banjarbaru?
BASRI : (DIAM) Ke Cempaka?
MASNAH : Betul.
BASRI : Kembali mendulang?
MASNAH : (MENGANGGUK)

MASNAH TAMPAK TAK INGIN MELANJUTKAN, DUDUK DI SUDUTAN, DAN MELINTING


ROKOKNYA. BASRI DIAM SAJA MELIHAT KELAKUAN IBUNYA ITU DAN IKUT DUDUK DI
SAMPINGNYA. IA MENGAMBIL SEBATANG ROKOK FILTER DAN MENYULUTNYA.

BASRI : Semenjak kematian abah lima tahun lalu, satu-satunya pegangan Basri
cuma ibu. Tapi sekarang Basri sudah besar. Kalau ibu ingin memutuskan
sesuatu, ibu tidak perlu khawatir lagi hal itu akan berimbas pada Basri.
Insha Allah Basri akan menerimanya.
MASNAH : Terima kasih, nak…
BASRI : Lalu bagaimana lapak ini?
MASNAH : Terserah mau kau apakan. Marni sendiri bilang kalau ia akan ikut
menjagakan dua lapak sekaligus kalau ibu tidak ada.
BASRI : Orang baik Marni itu.
MASNAH : Ya. Sesekali bantulah pula ia menjaga lapak ini. Bagaimanapun, ini lapak
kita berdua.
BASRI : Pasti, bu.

ADZAN MAGHRIB. CAHAYA MAKIN REDUP DI PASAR KETANDAN YANG CUMA ADA MEREKA
BERDUA.

BASRI : Sudah malam. Mari pulang, bu.

LAMPU PERLAHAN MATI

ADEGAN VIII

PAGI HARI DI PASAR KETANDAN. TERLALU PAGI MALAH. NAMUN, BEBERAPA LAPAK SUDAH
MULAI BEROPERASI DAN LAPAK MASNAH SALAH SATU YANG TUTUP. MASNAH SENDIRI SUDAH
DUDUK DI DEPAN LAPAKNYA YANG TUTUP DAN TAMPAK TAK BERNIAT INGIN MEMBUKANYA.
IA MONDAR-MANDIR MENUNGGU SESEORANG. BEBERAPA ORANG MENYAPANYA. IA
TERSENYUM TAPI KEMBALI LAGI MONDAR-MANDIR TAK KERUAN. BUSRAN KEMUDIAN
MUNCUL DARI SALAH SATU SUDUT DAN MASNAH LANGSUNG MENDATANGINYA.

BUSRAN : Jadi bagaimana?


MASNAH : Aku akan kembali ke Cempaka. Tapi, aku hanya akan bertahan paling
lama dua bulan setelah pendulangan pertama dilakukan. Apabila dalam
kurun waktu dua bulan Diang Mata Habang tetap tak ditemukan, aku
pulang ke Yogya. Apabila intan itu ditemukan kurang dari dua bulan,
setelah pembagian hasil yang disepakati, aku langsung pulang.
BUSRAN : Kita sepakat.
MASNAH : Baik. Kapan kita berangkat?
BUSRAN : Besok penerbangan pertama.
MASNAH : Jemput aku di kediamanku.
BUSRAN : Baik. (JEDA) Saya harus melaporkan ini pada Haji Jarkasi. Biar ia bisa
menggelar selamat di atas bakal luang5 penggalian.
MASNAH : Di mana tepatnya luang itu?
BUSRAN : Daerah Piring Panggal. Tepat di desa tempat kau dan suamimu dulu
pernah tinggal. Kelompok sendiri terdiri dari lima pendulang, satu malim,
dan seorang tetuha luang6 saja. Tidak banyak yang akan terlibat, sebab,
kami melakukannya untukmu. Penggalian pertama dilakukan di gubuk
bekas kediaman kalian dulu. (PERGI)
ADEGAN IX

MASNAH DUDUK DI DEPAN LAPAKNYA DAN MEMEJAMKAN MATA. DI PASAR ITU SAMA
SEKALI TAK ADA ORANG BERLALU LALANG. ADA SUARA-SUARA MOTOR DARI ARAH JALAN
BESAR. NAMUN, SUARA ITU PUN TERDENGAR SAYUP. IA MEMEJAMKAN MATA DAN TAMPAK
BERDAMAI DENGAN KEPUTUSAN SENDIRI.
DARI ARAH UJUNG PASAR KETANDAN, MBAH TURI MELINTAS DENGAN MEMANGGUL
BUNTELAN SAYUR UNTUL DIJUAL KE SIAPAPUN YANG BERKENAN. KETIKA DILIHATNYA
MASNAH, IA TERDIAM SEBENTAR INGIN MEMBELAI TAPI TAK JADI. AKHIRNYA MBAH TURI
HANYA MENGANGGUK DAN TERUS LEWAT. NAMUN, TEPAT PADA SAATNYA, MASNAH
MEMBUKA MATA.

MASNAH : Mbah Turi…


MBAH TURI : (BERBALIK)
MASNAH : Masnah mau pamit balik ke Kalimantan untuk beberapa waktu.
(MENDEKAT DAN MENYELIPKAN AMPLOP KE TANGAN MBAH TURI) Ini
untuk Mbah Turi. Simpan, Mbah. Untuk makan Mbah sehari-hari. Kalau
habis, minta Marni menyampaikan ke Basri kalau mbah butuh lagi. Mbah
jangan susah-susah berjualan lagi. Pikirkan kesehatan, mbah.

MBAH TURI MENERIMA AMPLOP TERSEBUT TANPA BERKATA APAPUN DAN MENYELIPKANNYA
DENGAN HATI-HATI KE BAGIAN DALAM BUNTELAN. MATANYA DENGAN LEKAT MENATAP
WAJAH MASNAH. DISAMBUTNYA WAJAH ITU DENGAN KEDUA TANGANNYA YANG KERIPUT.
LANTAS, DIKECUPNYA DAHI MASNAH. MBAH TURI LALU MENGARAHKAN DUA TELAPAK
TANGAN MASNAH KE TENGAH DADA MASNAH SENDIRI.

MBAH TURI : Atimu alus nanging tujuanmu lewih gedhe seko kuwi. 7

MBAH TURI BERLALU SAMBIL TAK LUPA BERBALIK SAMBIL TERSENYUM DENGAN DUA PIPINYA
YANG CEPOT KE ARAH MASNAH.

LAMPU PERLAHAN MATI

BABAK II

SEBUAH LAHAN PENDULANGAN INTAN DENGAN ALAT PENYARING TANAH DAN BATU YANG
TERBUAT DARI SUSUNAN KAYU DAN GALAM MEMBENTANG DARI SATU UJUNG KE UJUNG LAIN
DENGAN HASIL PENAMPUNGANNYA DIKELUARKAN KE ARAH TENGAH YANG BERBENTUK
KOLAM BERWARNA KERUH KEKUNINGAN. SUARA POMPA AIR BERGEMA STATIS. SELANG-
SELANG AIR DAN PIPA MEMOMPA SERTA MENGALIRKAN AIR BERCAMPUR TANAH KE ALAT
PENYARINGAN TERSEBUT. LIMA PEKERJA, TERMASUK MASNAH, MENGAYAK LINGGANGAN
MASING-MASING. MEREKA MEMUTAR-MUTAR TANAH, BATU, DAN AIR KERUH DI ATAS
LINGGANGAN TERSEBUT SEBELUM MENYORTIR BATU DAN TANAH KALAU-KALAU
MENGANDUNG INTAN. DARI BEBERAPA LUBANG YANG DIGALI, BEBERAPA ORANG
MEMANGGUL TANAH DAN BATU UNTUK DIBAWA KE ALAT PENYARING TERSEBUT.

ADEGAN I

SIANG DENGAN MATAHARINYA YANG NYALANG. MASNAH DAN EMPAT PEKERJA LAIN: RAJUL,
IJAI, RUSINAH, DAN KASPUL MENGENAKAN PENUTUP KEPALA MASING-MASING. MASNAH
SENDIRI MENGENAKAN BEDAK BASAH. SEMUANYA BERADA DI KOLAM PENDULANGAN ITU
DENGAN TUBUH SETENGAH TERENDAM. MEREKA TERUS MENGAYAK LINGGANGAN. SEDANG
HAJI JARKASI DAN HAJI IMRON MEMBELAKANGI MEREKA SAMBIL MEROKOK.

HAJI JARKASI : Kau yakin kesempatan kali ini akan berhasil.


HAJI IMRON : Aku tidak pernah meragukan firasat yang kudapat.
HAJI JARKASI : Ya, aku sendiri pun mengalami banyak firasat tersebut.
HAJI IMRON : Aku yakin dengan kembalinya Masnah, Diang Mata Habang akan
menampakkan wujudnya. Trisakti dan Putri Malu akan tersisih dengan
sejarah baru yang akan ditorehkan Diang Mata Habang!
HAJI JARKASI : Bila ternyata meleset dari prakiraan semula?
HAJI IMRON : Potong leherku bila ternyata hasilnya nihil. Bukankah terlalu jelas bagi
kita semua? Tangan Masnah sendiri yang akan menggenggam galuh
tersebut.
HAJI JARKASI : Tapi ini sudah seminggu dan hanya galuh-galuh kecil berkualitas rendah
yang kita dapatkan. Masnah sendiri belum mendapatkan sebiji kecil pun.
HAJI IMRON : Itu lebih baik daripada nihil sama sekali. Lagipula tangan Masnah terlalu
berharga dari galuh-galuh bernilai rendah tersebut. Masih segar dalam
ingatan bukan, bagaimana ia berhasil menemukan sebelah mata Diang
Mata Habang sebelumnya?
HAJI JARKASI : Ya terlalu segar dan menyakitkan baginya.
HAJI IMRON : Bila ingin mendapatkan kejayaan, harus ada yang dikorbankan.

ADEGAN II

SEBUAH KERIBUTAN KECIL TERDENGAR DARI ARAH KOLAM. RUSINAH, SALAH SATU DARI LIMA
PENDULANG WANITA DI PENDULANGAN TERSEBUT BERSERU KAGET. PARA PENDULANGAN
LAIN MENDEKAT.

HAJI JARKASI : Ada apa, Rus?!


RUSINAH : Intan… Eh, maksud saya galuh!
HAJI IMRON : Alhamdulillah! (PADA HAJI JARKASI) Mari mendekat!

HAJI IMRON DAN JARKASI AGAK MENDEKAT KE ARAH KOLAM. SEMENTARA, PARA PENDULANG
MERAPAT KE PINGGIR DAN MEMBIARKAN MALIM DAN TETUHA LUANG TERSEBUT
MENGAMATI DENGAN LEBIH SEKSAMA.

HAJI JARKASI : Galuh Bawang Habang7.


HAJI IMRON : Hitung berapa karat!
HAJI JARKASI : (MENGELUARKAN ALAT TIMBANGAN DAN LENSA KHUSUS) Sekitar 15
karat.
HAJI IMRON : Setidaknya kita bisa bernafas lega untuk beberapa bulan ke depan.
HAJI JARKASI : (MENGANGKAT INTAN KE HADAPAN MASNAH) Ini pertanda baik
untukmu. Ini hanya pecahannya, kuyakin. Setelah ini, Diang Mata
Habang akan jatuh ke tanganmu.
MASNAH : Jangan berharap terlalu banyak. Aku di sini hanya sementara. Dua bulan
batas waktuku.

MASNAH DAN EMPAT ORANG LAINNYA KEMBALI KOLAM DAN MENGAYAK LAGI
LINGGANGANNYA. MENINGGALKAN HAJI IMRON DAN HAJI JARKASI BERSAMA INTAN
MEREKA.

LAMPU PERLAHAN MATI

ADEGAN III

MASNAH DUDUK DI AREA PENDULANGAN SAMBIL MENIKMATI SANTAPAN MAKAN SIANGNYA


DI PINGGIR KOLAM. SAMBIL BERSANTAP MATANYA MENERAWANG JAUH. RUSINAH KEMUDIAN
MUNCUL DENGAN MEMBAWA BEKALNYA SENDIRI. IA KEMUDIAN DUDUK KE SAMPING
MASNAH SAMBIL MENATAP KE ARAH KOLAM YANG KERUH.

MASNAH : Rus, akan kau apakan uangmu nanti bila Diang Mata Habang akhirnya
diketemukan?
RUSINAH : Ditabung, mungkin. Ulun8 masih belum terlalu membutuhkan duitnya.
Ulun sendiri bekerja untuk abah dan uma9.
MASNAH : Berapa memangnya umurmu?
RUSINAH : Duapuluh tahun.
MASNAH : Kau seumuran dengan anakku. Aku jadi rindu padanya, tapi, sebulan lagi
aku akan bertemu dengannya setelah kontrak habis.
RUSINAH : Acil10 Masnah sendiri ingin menggunakannya untuk apa?
MASNAH : Naik haji mungkin. Tapi bila uangnya tak cukup, ada baiknya untuk
tabungan anakku saja. Siapa tahu ia setelah lulus kuliah ingin menikah.
RUSINAH : Uangnya pasti cukup.
MASNAH : Kenapa begitu yakin?
RUSINAH : Bila Diang Mata Habang itu ditemukan, di antara kita semua, Acil
Masnah-lah yang akan mendapat persenan paling tinggi. Katanya, proyek
ini dikhususkan untuk Acil Masnah sendiri. (JEDA)
MASNAH : Ya, aku tahu. Kupikir mereka bodoh memintaku kembali. Seolah tidak
ada pendulang lain saja. Tapi, akupun mengalami keresahan yang sama.
Berulang kali mimpi-mimpi aneh mendatangiku dalam wujud bermacam-
macam. Dua gadis yang barangkali jelmaan Siti Anggaini atau Putri
Sarahanjani yang bolak-balik mendatangiku. Kilau permata bersalut
darah. Tapi yang lebih aneh dari semua itu adalah Haji Jarkasi yang
bersedia membeli lahan ini untuk dijadikan pendulangan hanya untuk
mendapatkan Diang Mata Habang. Daerah Piring Panggal sendiri kurang
menonjol dari segi galuh yang dihasilkan.
RUSINAH : Bagaimanapun Haji Jarkasi adalah pebisnis dan ia membutuhkan uang
banyak. Ia ingin untung sebanyak-banyaknya dengan modal sesedikit
mungkin. Sebab itu ia menjadi tetuha luang sekaligus pemiik lahan. Sebab
itu ia meminta acil untuk datang ke sini. Ia percaya acil mampu menarik
galuh itu untuk datang sendiri.
MASNAH : Bukankah ia sudah menjadi salah satu orang paling kaya di tanah ini?
RUSINAH : Berkat Diang Mata Habang yang pernah acil dapatkan. Entah
bagaimana, ia membeli sendiri Diang Mata Habang itu untuk dirinya
sendiri dengan menggunakan perantara kenalannya dari luar. Uang
pembeliannya itu lantas ia bagikan sesuai dengan bagian para pekerjanya
masing-masing.
MASNAH : Dari mana kau mengetahui hal itu?
RUSINAH : Busran.
MASNAH : Kau akrab dengannya?
RUSINAH : (MENGANGGUK GANJIL) Ia kasihan melihat keadaan yang menimpa para
pendulang di bawah kuasa Haji Jarkasi.
MASNAH : Lalu di mana Diang Mata Habang yang pertama. Kenapa Haji Jarkasi
membutuhkan yang kedua?
RUSINAH : Sudah ia jual ke luar negeri. Sangat mudah bagi Haji Jarkasi untuk
memperoleh harga yang lebih tinggi lagi dari penjualan Diang Mata
Habang. Ia berhasil mengelabui identitas pembeli pertama dari Diang
Mata Habang karena memang ada orang luar negeri yang berani
memasang harga tinggi untuk Diang Mata Habang?
MASNAH : Lalu kenapa ia tidak langsung memberikan galuh tersebut pada pembeli
dari luar negeri itu? Kenapa ia harus membelinya lebih dulu?
RUSINAH : Ia pebisnis picik, cil. Ingat, ia ingin untung sebanyak-banyaknya.

SEMULA MATA MASNAH TAMPAK BINGUNG NAMUN TIBA-TIBA MEMBULAT GERAM ATAS
PEMAHAMANNYA SENDIRI. IA MELUDAH KE SAMPING SEOLAH JIJIK ATAS APA YANG SUDAH IA
LAKUKAN SELAMA INI.

MASNAH : Untuk apa ia membutuhkan uang sebanyak itu menurutmu, Rus?!


RUSINAH : Untuk menjadi kepala daerah dengan cara kotor. Memimpin daerah
dengan legalisasi penggunaan lahan dan sumber daya alam yang lebih
kotor lagi. Satu-satunya yang meraup untung hanya dirinya dan antek-
anteknya. Tapi percayalah, ia pasti sudah mengakali keuntungan para
bawahannya sendiri untuk membuat mereka merasa beruntung padahal
sebenarnya mereka diakali.
MASNAH : Selama ini aku telah diakali?!
RUSINAH : Kita semua sudah diakali.
MASNAH : Aku berhenti.
RUSINAH : Tidak ada jalan kembali, cil. Sekali berurusan dengan Haji Jarkasi, bila
kau membuatnya tak senang, kau bisa mati. Busran pernah
mengatakannya padaku. Dan sekali lagi, ia bahkan melakukan
pembunuhan tanpa ada siapapun yang terlibat.
MASNAH : Maksudmu?
RUSINAH : Getaran pompa air dari mesin yang bagus tentu berbeda dengan mesin
yang sudah ngadat. Cukup menyuruh pekerjanya menggali pendulangan
lebih dalam di hari hujan dengan alat pompa bergetaran tinggi di atasnya,
tentu pekerja tersebut akan langsung tertimbun tanah dan mati
kehabisan nafas.
MENDENGAR HAL ITU, MASNAH BERDIRI SEOLAH TAK PERCAYA DENGAN PENDENGARANNYA
SENDIRI. IA KEMUDIAN BERLARI KENCANG DARI AREA PENDULANGAN.

LAMPU PERLAHAN MATI

ADEGAN IV

MASNAH, RUSINAH, RAJUL, IJAI, DAN KASPUL BERKUMPUL DI SUATU TEMPAT DI SUDUT
PENDULANGAN SETELAH HARI LEPAS MALAM. CAHAYA SANGAT MINIM. MEREKA DUDUK
MELINGKAR DENGAN MASNAH DAN RUSINAH BERADA DI TENGAH. MEREKA MERENCANAKAN
SESUATU. RAJUL, IJAI, DAN KASPUL MASING-MASING MENAHAN WAJAH GERAM DAN TANGAN
TERKEPAL.

MASNAH : Apa kalian setuju?


RAJUL : Apa jaminannya kalau kami akan mendapat bagian sama rata?
MASNAH : Ada yang bisa menjamin bahwa aku tidak dendam sepanas-panasnya
pada Haji Jarkasi itu?
RUSINAH : Semua akan diatur sebisa mungkin. Yang jelas. Kita harus menunggu dan
berpura-pura Diang Mata Habang tidak pernah ditemukan. Setidaknya
bila kontrak Acil Masnah habis urusan bisa lebih cepat lagi.
IJAI : Bagaimana bila Diang Mata Habang benar-benar tidak pernah
ditemukan?
MASNAH : Jangan konyol. Aku sudah menemukannya.

MATA SEMUA ORANG TERTUJU PADA MASNAH. IA MENGELUARKAN SESUATU DARI BALIK
PENUTUP KEPALA DAN KETEBALAN RAMBUTNYA. INTAN DIANG MATA HABANG BERKILAU
DI TENGAH-TENGAH MEREKA.

MASNAH : Aku sudah menemukannya sejak hari pertama pendulangan.


KASPUL : Bagaimana mungkin?
MASNAH : Apa maksud mimpi-mimpi dan firasat yang kudapat bahkan saat aku
masih di Yogyakarta apabila aku tidak mendapatkan galuh ini di hari
pertama? Seperti yang kalian percayai galuh ini memang mendatangiku.
IJAI : Lalu kenapa tidak pernah melaporkannya pada Haji Jarkasi.
MASNAH : Aku bahkan bersyukur tidak pernah melaporkannya.
IJAI : Tapi kenapa?
MASNAH : Bila yang selama ini mendapat firasat yang kuat adalah aku dan Haji
Imron, mengapa galuh ini menjadi milik Haji Jarkasi? (JEDA) Tapi galuh ini
menjadi milik kita sekarang.
KASPUL : Bagaimana kami harus percaya dengan rencana ini?
MASNAH : Jangan dipikirkan, tapi, dilakukan.

LAMPU PERLAHAN MATI

ADEGAN V

HAJI JARKASI BOLAK-BALIK DI SEKITAR PENDULANGAN. WAJAHNYA RESAH. BUSRAN BERSAMA


DENGANNYA. PARA PENDULANG BERSAMA MASNAH MASIH ASYIK MENGAYAK LINGGANGAN
DAN MENYORTIR BATU.

HAJI JARKASI : Sebentar lagi kontraknya habis.


BUSRAN : Siapa?
HAJI JARKASI : Masnah. Dan sampai sekarang Diang Mata Habang belum ditemukan.
BUSRAN : Bukannya selain Diang Mata Habang, pendulangan kali ini cukup
menguntungkan?
HAJI JARKASI : Yang kucari bukan galuh-galuh kecil seukuran tahi cicak. Tapi galuh
Bawang Habang seukuran telur ayam!
BUSRAN : Pak, jagalah bicara. Ini daerah pendulangan bapak sendiri.
HAJI JARKASI : Ya, aku lupa pantangan tidak boleh berbicara kasar di sini. (JEDA)
Panggil Haji Imron sekarang.
BUSRAN : Baik. (PERGI)

ADEGAN VI

SEPENINGGAL BUSRAN. HAJI JARKASI KEMBALI MONDAR-MANDIR. IA MENATAP PADA


MASNAH YANG MENGAYAK PASIR DAN BATU DI LINGGANGAN. MEREKA BERDUA BERTATAPAN.

HAJI JARKASI : (TERIAK) Cobalah bekerja lebih keras lagi, Masnah! Temukan galuh
legendaris itu!
MASNAH : Saya sudah mencobanya, Haji.
HAJI JARKASI : Sebentar lagi kontrakmu akan habis. Bagaimana bila kau masih belum
juga menemukan Diang Mata Habang itu?
MASNAH : Berarti sudah suratannya saya kembali ke Yogyakarta dan berjualan
cincin permata saja.
HAJI JARKASI : Bah! (BERBALIK)
MASNAH : Meski uangnya tak seberapa, setidaknya saya tak perlu dibayangi
kecelakaan kerja seperti almarhum suami saya dulu.

ADEGAN VII

HAJI JARKASI CEPAT MEMANDANGI MASNAH. WAJAHNYA MERAH. MEREKA BERDUA SEMAKIN
SENGIT BERTATAPAN. BUSRAN KEMUDIAN DATANG BERSAMA HAJI IMRON. MELIHAT
KEDATANGAN HAJI IMRON, HAJI JARKASI LANGSUNG MENARIKNYA DARI KOLAM
PENDULANGAN KE SISI LAIN YANG LEBIH LANDAI.

HAJI JARKASI : Hitungan hari lagi ia pergi dan lehermu jadi taruhannya.
HAJI IMRON : Kukira itu hanya lelucon.
HAJI JARKASI : Tentang kematian, kau tahu aku sudah tidak bermain-main lagi. Kepada
siapapun, Imron. Siapapun!
HAJI IMRON : Bila begitu, tebaskanlah! Kurasa Diang Mata Habang tidak akan pernah
ditemukan.
HAJI JARKASI : Apa maksudmu?!
HAJI IMRON : Hari pertama sejak Masnah mulai ikut mendulang di sini, penglihatanku
akan keberadaan galuh tersebut menghilang. Tapi firasatku mengatakan
bahwa galuh itu memang tidak jauh. Atau… sama sekali sudah
ditemukan.

MENDENGAR HAL ITU, HAJI JARKASI MENEMPELENG HAJI IMRON. DARI IKAT PINGGANGNYA
DITARIKNYA SEBILAH PISAU PANJANG DAN IA ARAHKAN KE LEHER HAJI IMRON. MASNAH DAN
PARA PENDULANG LAIN MENGHENTIKAN KEGIATAN.

HAJI JARKASI : Kau mempermainkanku?!


HAJI IMRON : Dari dulu aku tidak pernah bermain-main. Kau tahu itu!
HAJI JARKASI : Lalu apa hasil dari penglihatan batinmu selama ini, hah?! Nihil! Diang
Mata Habang tidak pernah ditemukan!

HAJI JARKASI MENENDANG HAJI IMRON. HAJI IMRON MENCOBA MELAWAN TAPI SATU
SAYATAN DARI TEBASAN PISAU HAJI JARKASI MELUKAI KULIT DADANYA DAN MEMBUATNYA
TERJENGKANG MASUK KE KOLAM.

HAJI JARKASI : Kurasa sekarang penglihatan batinmu sudah sama sekali buta. Tak ada
guna juga kupertahankan orang sepertimu di dalam kelompokku!
HAJI IMRON : Jarkasi…
HAJI JARKASI : (BERSIAP MENGANGKAT PISAUNYA)
MASNAH : (TERIAK) Haji Imron tidak salah dengan penglihatan dan firasatnya!

ADEGAN VIII

HAJI JARKASI MENAHAN SERANGANNYA PADA HAJI IMRON. MASNAH MENDEKAT DAN
MELEPAS TUTUP KEPALANYA. DIKELUARKANNYA DIANG MATA HABANG DARI DALAM
GULUNGAN RAMBUTNYA.

MASNAH : Sudah kutemukan galuh ini sejak hari pertama.


HAJI JARKASI : Bangsat! Kau mempermainkanku! Kalian mempermainkanku!
MASNAH : Sebenarnyalah, kau sendiri sudah bermain-main dengan hak dan nyawa
suamiku sejak Diang Mata Habang pertama ditemukan.
HAJI JARKASI : Siapa yang mengatakannya padamu?
MASNAH : Busran mengatakannya pada Rusinah. Rusinah menyampaikannya
padaku.
HAJI JARKASI : (TERSENYUM DAN SEMAKIN MENEKAN HAJI IMRON DENGAN
PISAUNYA) Serahkan padaku atau dia mati?
MASNAH : Ambillah sendiri. Bahkan bila Haji Imron matipun, kau tidak akan
mendapatkannya sebelum mengejarku. (BERLARI)

ADEGAN IX

SUARA HUJAN TURUN MENDERAS. HAJI JARKASI KEMUDIAN MENGEJAR MASNAH YANG
BERLARI DAN MEMANJAT ALAT PENYARING TANAH. HAJI JARKASI MENCOBA UNTUK
MELAKUKAN HAL YANG SAMA. IJAI DAN RAJUL SUDAH MENGHALANGI TERLEBIH DAHULU. TAPI
MEREKA TERLUKA OLEH TEBASAN PISAU HAJI JARKASI. KETIKA HAJI JARKASI INGIN MEMANJAT
ALAT PENYARING RAKITAN ITU, RUSINAH MENYALAKAN MESIN AIR YANG LANGSUNG
MENGALIRKAN TANAH DAN PASIR BERLUMPUR. HAJI JARKASI TERJENGKAL DAN JATUH PADA
SALAH SATU LUBANG PENGGALIAN.

RUSINAH : Bila kita timbun dia, aku yakin ia akan mati kehabisan nafas.
IJAI : Betul, cil. Balaskan dendammu!
RAJUL : Satu lagi alat pompa dinyalakan, getarannya pasti akan memuatnya
tertimbun.
RUSINAH : Bagaimana, cil?
KASPUL : Sebelum ia kembali!
RUSINAH : Cil?!
IJAI : Putuskan sekarang!?

ADEGAN X

MASNAH MELEMPAR DIANG MATA HABANG KE KOLAM PENDULANGAN. IA BERJALAN TURUN


DARI ALAT PENYARINGAN. MATANYA LELAH. TAPI KERIBUTAN DI HATINYA PADAM.

MASNAH : Kalian akan dengan mudah menemukan lagi Diang Mata Habang yang
kubuang di kolam tersebut. (JEDA) Busran, aku ingin pulang sekarang.
Apapun yang menjadi keputusan kalian terhadap Haji Jarkasi dan galuh
tersebut, sekarang menjadi keputusan kalian. Aku mundur. Perkara
apapun yang menyangkut semua ini membuatku lelah.

MASNAH TURUN DAN LANGSUNG DISAMBUT BUSRAN. IA BERJALAN MENJAUH DARI AREA
PENDULANGAN. RUSINAH MENUJU KOLAM DAN MENGAMBIL DENGAN MUDAH DIANG MATA
HABANG ITU. HAJI JARKASI KELUAR DARI LUBANG DAN SUDAH DIHADANG IJAI DAN KASPUL.
RAJUL SENDIRI MEMBANTU HAJI IMRON BANGKIT. BUSRAN INGIN MENGIKUTI MASNAH TAPI
TERTAHAN. MASNAH KELUAR SAMA SEKALI DARI AREA PENDULANGAN SEKARANG.
SEMENTARA SEMUA YANG TERSISA DI SANA SALING MENATAP. TAK TAHU APA YANG HARUS DI
LAKUKAN DENGAN INTAN DI TANGAN RUSINAH TERSEBUT.

SELESAI

Yogyakarta, 18 Oktober 2018


Universitas Ahmad Dahlan

Keterangan:
1. Galuh : Bahasa Banjar untuk anak gadis
2. Intan Bawang Habang: Intan Bawang Merah atau dikenal juga sebagai intan berkualitas
paling tinggi
3. Diang Gringsing : diang artinya gadis desa dan gringsing artinya merinding. Ini adalah
nama yang diberikan pendulang di Kalsel saat menemukan intan dengan karat yang
besar baru-baru ini.
4. Diang Mata Habang : Dalam bahasa Banjar berarti gadis desa bermata merah.
5. Malim : dukun atau orang spiritual yang bisa menunjukkan keberadaan intan di suatu
lahan
6. Luang : Lubang
7. Atimu alus nanging tujuanmu lewih gedhe seko kuwi: Hatimu halus tapi tujuanmu lebih

besar dari itu.


8. Tetuha luang : Ketua lubang atau ketua kelompok pendulangan
9. Galuh Bawang Habang : Intan Bawang Merah. Intan dipanggil galuh oleh para pendulang
menurut kepercayaan turun temurun di sekitar area pendulangan.
10. Ulun: saya
11. Abah dan uma: ayah dan ibu
12. Acil: Bibi atau sebutan untuk menyebut wanita yang lebih tua atau umurnya setara
dengan orangtua.
20

Juara II Peksimida Jateng 2014

Indonesia Dalam Gerbong


(Sebuah Drama Fragmen)

Akhmad Sa’dullah

SINOPSIS CERITA

Diceritakan bahwa Minten adalah seorang wanita sederhana yang terpaksa harus menelan “pil pahit”
karena kehidupan mlarat yang harus ia rasakan setelah ia ditinggal pergi oleh sang suami. Kebenciannya
terhadap bangsa Indonesia sempat tumbuh manakala ia harus kehilangan anak semata wayangnya yang
meninggal gara-gara terkena busung lapar. Pada suatu waktu ia mendapatkan sebuah kesempatan untuk
berjalan-jalan ke dalam gerbong waktu. Disana ia melihat berbagai peristiwa. Ia juga diperlihatkan dengan
sosok-sosok manusia “bodong” disetiap gerbongnya. Gerbongnya sangat beraneka, ada warna merah, hijau,
biru, kuning. Ada yang berlambang burung gagak, kerbau, kucing garong, dan lainnya. Hal itu semakin
membuatnya benci dengan Indonesia. Ia semakin muak. Apalagi dia sempat harus kehilangan mayat anaknya
saat dia kembali pada dunia nyatanya. Usaha sang penyair untuk menyadarkan Minten pun tetap tak berhasil
hingga berujung putus asa. Hingga puncaknya Minten mengalami proses pertentangan batin antara CINTA
atau BENCI Indonesia. Ia tersadar karena batin yang menuntunnya. Tersadar untuk tidak lagi membenci negeri
Indonesia tercinta.

Tokoh dan Penokohan

Minten : Wanita desa yang sederhana, wanita keras kepala korban kebiadaban zaman.

Penyair : Wanita ningrat yang tidak diketahui namanya ini memang terlihat sok, kehadirannya terbilang
misterius.

Hakim : Tokoh yang tidak mampu memberi reaksi tegas, bertindak lamban.

Jaksa Penuntut : Tokoh ini mampu berargumen dengan tepat pada setiap terdakwa, Tapi berbelit-belit.

Entin : Penjual jajanan ini penyuka anak-anak.

1. Gerbong politik

Ruhut Sitompel : Seorang pengacara yang pandai bersilat lidah.

Angelina Sendok : Mantan putri kecantikan ini licik dan suka berakting sedih agar dikasihani.

Anas Ubanan : Dia manusia serakah, sekaligus otak dari kejahatan korupsi Hambalang.

Andi Malaria : Tokoh yang pandai berkelit dari kejahatannya.

Nazarumpil : Tokoh yang pembawaannya kalem dan santai, dia berani jujur dan mau membuka fakta yang
ada.

2. Gerbong Pajak

Gayater : Tokoh tertindas yang tidak mendapat keadilan setelah uangnya dicuri.

Antasreng : Makhluk rakus yang telah merampok uang orang lain ini mata duitan.

Budi Mlayanan : Lelaki bertubuh tambun ini juga sama rakusnya terhadap uang.
21

Melinda Dedemit : Wanita cantik ini mampu memanfaatkan kepandaiannya menjadi sebuah ide brilian untuk
membobol rekening orang lain.

Gayus Timbilen : Seorang mafia pajak yang pandai menggonta-ganti dandanannya ini tergolong orang licik
yang pandai berkelit seperti belut.

Tokoh figuran : Maling ayam dan seorang pemuda yang tersebutkan namanya.

3. Gerbong Artis

Julia Pesek : Wanita sexy ini sedikit arogansi di dalam kehidupannya. Buktinya ia secara menantang gemar
menghiasi majalah pria dewasa dengan pose-pose menantang.

Dewi Berisik : Dara cantik ini tak kalah sexynya dengan seorang Julia. Ia adalah rival terberat Julia yang
terkenal dengan goyang gergajinya.

Luna Mayet : Cewek modis yang satu ini punya sisi tomboy tersendiri. Ia juga punya sisi kecuekan sendiri
dibanding rekannya yang lain.

Nikita Mirzuki : Artis pendatang baru ini mulutnya comel. Ia suka bikin gara-gara dengan rekannya sesama
artis.

Farhad Kadas : Kritikannya yang pedas pada para terdakwa telah membuat geram. Ia pandai mencari
kejelekan orang lain.

Didi Nunu Towek : Seorang artis dan juga penari yang peduli dengan kebudayaan indonesia.

Setting Panggung Awal :

Konsep panggung menggunakan jenis panggung konvensional. Pada dekorasi panggung bagian
belakang (Back Drop) dan bagian sisi kiri kanan panggung yang digunakan sebagai pintu keluar masuknya
para pemain (Side Wings) didominasi penuh oleh kain hitam. Panggung ini telah dikonsep dengan dua
undakan (dua area panggung) dalam satu setting panggung. Tepat ditengah-tengahnya area panggung satu
dengan area panggung kedua telah dipasang layar panggung sebagai pembatas (Border), yaitu berupa tirai
kain yang berwarna coklat tua. Area panggung satu dibuat kosong tanpa dekorasi. Sedangkan area
panggung dua sudah didekorasi menyerupai ruang sidang sungguhan. Ada satu meja dan kursi hakim
berukuran paling besar yang diapit oleh dua macam bendera yang berbeda. Bendera merah putih berposisi
disebelah kanan, sedang bendera hijau berada disebelah kiri. Di atas meja Hakim yang dibungkus dengan
kain hijau itulah ada sebuah palu dan tumpukan map yang berisi berkas-berkas penting. Di atas back drop
telah dipasang patung Garuda Pancasila. Di samping kanan panggung terdapat meja kursi jaksa penuntut. Di
sampingnya lagi ada kursi tanpa meja. Di atas meja Jaksa Penuntut yang beralaskan kain berwarna hijau itu
juga terdapat tumpukan map yang berisi berkas-berkas penting. Sementara itu, di samping kiri panggung
terdapat empat kursi pesakitan. Terakhir sebagai pembatas antara area pertunjukan dengan area penonton
telah dipasang pagar-pagaran. Untuk mengatur seluk beluk pencahayaan diatas panggung telah digunakan
suatu alat yang bernama spot light yang meliputi :

1. Main light (Cahaya yang berfungsi sebagai penerangan panggung secara keseluruhan) yang ditaruh
diantara sisi kanan kiri panggung bagian belakang (Back Drop).

2. Fott light (Lampu untuk menerangi bagian bawah panggung) yang terdiri dari 2 lampu berwarna merah.
Lampu-lampu tersebut ditaruh di depan border.

3. Wing light (Lampu untuk menerangi sisi panggung) yang dipasang di kedua sisi panggung, tepatnya
dihadapan border. Ke dua lampu tersebut ditaruh di atas holder dengan ketinggian yang disesuaikan dengan
tinggi panggung.

4. Upper light (Lampu untuk menerangi bagian tengah panggung) yang dipasang tepat di atas panggung
dengan warna kuning.
22

PROLOG

Panggung sedianya masih kosong dari suguhan adegan para pemainnya. Layar panggung (pembatas
panggung satu dan dua) masih tertutup. Gelap masih menyelimuti tatanan panggung. Bunyi-bunyian kereta
api melintas pun terus diperdengarkan. Menyambut kedatangan para penonton yang sengaja ingin
menyaksikan acara pementasan ini.

BABAK 1

ADEGAN 1

Layar panggung masih dalam kondisi tertutup dan menutupi area panggung dua. Iringan musik
gending Jawa pun diperdengarkan. Dua Fott light berwarna merah menyala. Memberi kesan mistis pada
kemunculan adegan pertama pada area panggung satu. Suasana panggung semakin dibuat merinding
tatkala muncul tokoh Minten yang menyuarakan nyanyian sinden dengan kondisi suara yang terdengar
parau.

MINTEN

“Tak lelo lelo legong. Anak siji kok uwes mati. Ketampar mlarat dadine sekarat. Yo emang ngene nasibe wong
cilik. Ura duwe pangerepan seng reko-reko tapi tetep bae matine ora ketoro. Tak lelo lelo legong. Bocah siji
ndang cepeto masuk surgo.”(Dengan nada nyinden.)

Tak lama setelah nyanyian itu berhenti melantun, giliran upper light yang menyala menggantikan
posisi dua fott light yang dimatikan. Suasana panggung dibikin hanyut dalam kesedihan saat dihadirkannya
instrumen musik seruling yang menjadi lambang dari kesedihan seorang Minten. Semuanya itu semakin
dipertegas dengan rintihan seorang Minten yang menangis meratapi anak semata wayangnya yang telah
mati diatas pangkuannya akibat terkena busung lapar.

MINTEN

“Ya tuhan. Kenapa engkau tumpahkan air mata untuk ku mandikan di atas jasad anakku ini. Ibu macam apa
aku ini. Tidak bisa memberi makan pada anakku hingga dia harus merenggang nyawa dengan cara seperti ini.”

Masih dengan penyinaran lampu upper light dan masih pada dekorasi panggung yang sama. Selang
berapa menit kemudian datanglah seorang penyair yang datang dengan langkah mengendap-endap.
Matanya terus menajam pada sosok wanita di depannya, dan ia putari wanita itu dengan segala ekspresi
kecurigaan yang memoles diwajahnya. Setelah puas memandanginya, kemudian ia bertukar peran menjadi
sosok penyangga kesedihan. Ia merasa kasihan sendiri pada sosok wanita yang tengah menangisi anaknya
yang telah mati tersebut. Lalu sebagai tanda kepeduliannya ia pun mulai membacakan sebuah puisi
untuknya.

Puisi itu berbunyi :

SAJAK DALAM GERBONG

Dalam sebaris doa yang ku mantrakan tadi

Ku lihat wajah-wajah yang sumbang itu kian mendengki satu sama lain

Saling sikut di bantaran gerbong mafia

Ada mafia pajak, mafia politik, mafia hukum, mafia agama, mafia budaya, mafia artis dan mafia-
mafia lainnya yang terus mengunduh kibiran nafsu dunia

Mereka adalah manusia penunggang gerbong dengan segala tingkahnya yang sombong

PENYAIR

“Saya lihat sedari tadi kamu menangis. Ada apa gerangan?”


23

MINTEN

“Apa peduli kamu. Apa kamu tuhan hingga saya harus mengadu ke kamu!”(Dengan kondisi suara yang ketus.)

PENYAIR

“Ya barang kali kamu ingin berbagi cerita ke saya. Kalau-kalau saya bisa bantu.”

MINTEN

“Apa dengan bercerita akan membuat anak saya menjadi hidup kembali. Tidak kan?”(Ia melenguh kesal.)

PENYAIR

“Ya sudah. Saya ndak maksa.”(Sambil berjalan ke tepi panggung. Kemudian duduk santai disana, sambil
memandangi Minten dari kejauhan dengan ekspresi datar.)

MINTEN

“Hidup itu sudah susah. Eh...sekarang malah dibikin susah lagi sama pemerintah.”

PENYAIR

“Ini jamannya birokrasi. Jadi tunjukkan dong emansipasimu pada pemerintah. Jangan cuma bisanya mengeluh
dan nangis.”

MINTEN

“Saya geram melihat rakyat kecil seperti kami yang sekonyong-konyong dikerubuti masalah.(Jeda) Kapan ya
hidupku bisa mapan.”

PENYAIR

“Mapan belum tentu senang. Mlarat juga belum tentu nelongso. Tinggal kitanya, bisa mensyukuri tidak.”

MINTEN

(Tersenyum lebar.)“Tetep saja. Hidup itu perlu uang. Dan yang punya uang banyak hanya orang kaya. Bukan
kami.”

PENYAIR

(Tertawa)“Kalau semua orang mendadak jadi kaya, mau dibawa kemana kehidupan ini. Tidak ada lagi yang
mau payah bekerja.”

MINTEN

“Menjadi kaya bukankah memang impian semua orang. Kenapa juga ya pemerintah terkesan abot alot bantu
kami warga miskin.”

PENYAIR

“Bukan abot alot. Tapi lamban menangani.”

MINTEN

“Jika memang pemerintah peduli, kenapa juga selama bertahun-tahun tidak ada bantuan yang datang pada
kami?”

PENYAIR
24

“Nha itu. Itulah hebatnya orang-orang di bangsa ini. Tidak pernah absen telat untuk lomba korupsi.”(Ia
kembali bangkit dan berjalan mendekati Minten.)

MINTEN

(Mendadak ia langsung berubah ekspresi dalam api kemarahan.) “Mereka benar-benar lalim. Lalimmmm...
lalimmmm... Dzalim. Dasar koruptor edan.”

PENYAIR

“Makanya mulai sekarang kamu itu harus cermat dalam memilih pemimpin bagi bangsa ini. Kenali bibit, bebet,
dan bobotnya.”

MINTEN

“Sayangnya saya tidak mau mengenal mereka.”

PENYAIR

“Sebentar lagi pemilu. Pilihan suara kalian akan menentukan nasib bangsa ini lima tahun ke depan.”

MINTEN

“Tapi mencari pemimpin yang benaran jujur dan amanah terhadap rakyat itu susah. Apa lagi jaman sekarang.
Semua serba money politic.”

PENYAIR

“Kalau tidak seperti itu mana mungkin menang. Yang pake siasat seperti itu saja belum tentu menang.”

MINTEN

“Tapi kalau seperti ini terus fenomena yang ditampilkan hanya besar-besaran nominal uang. Mereka yang
menang belum tentu membawa citra kebaikan bagi bangsa ini.”

PENYAIR

“Itu resiko. Yang jelas banyak rakyat yang sudah mulai hilang kepercayaan terhadap aturan pemilu di bangsa
ini.”

MINTEN

“Termasuk saya. Semiskin apapun, saya tidak mau menjadi warga GOLPUT. Golongan penerima uang tunai.”

PENYAIR

“Munafiq.”

MINTEN

“Saya hanya tidak mau nama besar dari pancasila berubah menjadi pancasial. Saya tidak mau melihat bendera
merah putihku luntur menjadi warna kematian. Saya tidak mau rasa nasionalisme terhapuskan dari benak
para pemuda pemudi bangsa ini. Saya tidak...”

PENYAIR

“Stop. Kamu mau deklamasi? Dari tadi ngeyel terus.”

MINTEN
25

“Kenapa sih kamu sepertinya tidak suka dengan cara saya memprotes bangsa ini.”

PENYAIR

“Karena cara kamu kuno. Kamu itu manusia sok penyair. Kerjanya hanya mengkritik dan ngomongin kejelekan
bangsa ini. Tapi tanpa memberi solusi.”

MINTEN
“Terus apa bedanya sama kamu. Bukankah kamu yang penyair sesungguhnya.”

PENYAIR

“Saya memang penyair. Tapi tugasnya hanya menyadarkan, bukan hanya sekadar jual omongan.”

MINTEN

“Apa hasilnya sekarang? Apa sudah banyak orang yang tersadarkan lewat kata-katamu itu?”

PENYAIR

“Memang belum sih. Tapi setidaknya saya tidak membenci bangsa ini. Justru saya turut melestarikan budaya
bangsa ini lho...”

MINTEN

“Maksudnya?”

PENYAIR

“Kamu tidak lihat apa yang saya pakai sekarang.”

MINTEN

“Kebaya sama batik kan?”(Sang penyair mengangguk sebagai tanda iya.)

PENYAIR

“Batik termasuk salah satu warisan budaya bangsa yang menjadi incaran negara tetangga.”

MINTEN

“Tapi kenapa bangsa kita sepertinya tenang-tenang saja dan cenderung pasrah saat budaya kita diambil oleh
negara tetangga. Ironis sekali.”

PENYAIR
“Negara kita kaya akan kebudayaan, sedangkan negara tetangga miskin budaya. Makanya mereka berusaha
untuk memiliki sebagian dari kebudayaan kita.”

MINTEN

“Hhhhh alasan. Yang namanya budaya itu simbol suatu negara. Jika budaya kita sudah diklaim mereka, itu
sama saja menginjak-injak harga diri bangsa ini.”

PENYAIR

“Udah. Capek ngomong sama kamu.” (Dengan nada jengkel. Kemudian ia pergi meninggalkan panggung.
Sementara Minten masih utuh pada posisi duduk.)

Masih pada tatanan panggung yang sama. Lampu wing light menyala. Menyorot penuh pada sosok
Minten. Membuat silau kedua matanya. Kemudian secara respek ia tutup ke dua mata dengan tangannya.
Tak lama muncul suara misterius yang bilang “Masuklah ke dalam pintu gerbong di depanmu ini. Niscaya
kau akan tahu jawaban atas segala kerisauanmu selama ini Minten. Masuklah Minten. Masuklahhhh..” Dan
26

bersamaan dengan itu seketika lampu wing light mati menyala mati menyala mati, lalu segera digantikan
dengan lampu upper light yang menyala. Ada pula bunyi-bunyian kereta api melintas “Tut..tut...” yang turut
mengimbuhi suara misterius itu.

Minten terbengong sendiri. Pandangan matanya tak berhenti menggrayangi setiap sudut panggung,
dan mencari sumber suara itu. Kemudian rasa penasaran itu terus menuntun Minten hingga
mendekatkannya kearah side wings sebelah kiri. Tuk sekejap ia lalaikan tugasnya untuk segera
menguburkan sang anak. Di side wings itulah Minten kembali memunculkan ekspresi kebingungannya. Dan
terakhir ia beradegan terseret dan masuk kedalam side wings tersebut setelah ia menyentuhnya.

ADEGAN 2 (Gerbong Politik)

Lampu panggung padam, dan kemudian menyalalah bagian lampu main light dan wing light ketika
wanita bernama Minten itu tiba-tiba masuk dalam dunia yang sama sekali tak ia kenali, yaitu dunia politik.
Dimana semua orang yang ada di dalamnya berpakaian rapi dan resmi. Minten masuk panggung dari side
wings sebelah kanan. Sekarang ia sudah berada pada tatanan panggung yang menjelma jadi ruang
persidangan, lengkap dengan segala properti yang wajib ada di suatu pengadilan. Ia tengah berada pada
momentum persidangan. Anehnya hakim dan segala yang ada disitu diam membisu seperti patung ketika
Minten melewati sekumpulan orang yang mengaku pandai berpolitik itu. Terlihat jelas sosok Anas Ubanan,
Nazarumpil, Angelina Sendok, dan Andi Malaria yang sudah duduk di atas kursi pesakitan masing-masing.
Sementara Ruhut Sitompel duduk bersebelahan dengan Jaksa Penuntut. Dengan langkah ragunya Minten
mulai memberanikan diri untuk melangkah maju melewati mereka semua dan duduk membaur di barisan
penonton.

HAKIM

“Sidang saya buka.(Dibarengi dengan bunyi ketukan palu sebanyak tiga kali.)

Sebentar lagi kita akan mendengar posita dan petitum terkait kasus Hambalang.”

JAKSA PENUNTUT

“Ibu hakim, sungguh saya merasa heran dengan bangsa ini. Selama berpuluh-puluh tahun bangsa ini terpilih
menjadi negara terkorup nomor satu di Asia Tenggara.”

RUHUT SITOMPEL

“Bahkan yang mengherankan lagi para koruptor di bangsa ini pandai menyerukan aspirasi, hingga tipu
muslihat mereka tak mudah dipahami oleh kita semua. Mereka tak banyak bacot, tapi banyak bacok uang.”

HAKIM
“Bisa anda jelaskan apa maksud dari perkataan anda barusan.”

JAKSA PENUNTUT
“Saya rasa saya tak perlu banyak bicara lagi soal kasus yang sedang diperkarakan hari ini. Biarkan tanda bukti
yang bicara soal kebenaran yang ada.”

HAKIM
“Tapi tanda bukti hanya sebagai landasan berkilah. Meskipun semua bukti yang anda ajukan sudah berdasar
pada keautentikan. Perlu dipertegas lagi dengan argumen-argumen anda.”

JAKSA PENUNTUT
“Percuma. Karena saya rasa undang-undang di negara ini sudah mandul.”
HAKIM
“Saya jadi bingung dengan pernyataan anda. Sebenarnya anda sedang merendahkan negara anda sendiri, atau
sedang bermain teka-teki dengan kami?”
27

JAKSA PENUNTUT
“Memang begitu kan sifat hukum di negara kita. Serba teka-teki. Dan bisa jadi serba sabotase pula.” (Ia hirup
udara sebentar sebagai upaya penenangan diri.)

RUHUT SITOMPEL
“Saya rasa apa yang dibilang tuan jaksa ada benarnya juga ibu hakim. Buktinya korupsi di negara ini saja tidak
hanya dimonopoli oleh kalangan elit, tapi juga sudah merasuk pada kalangan akar rumput.”

JAKSA PENUNTUT
“Toh selama ini tidak ada upaya preventif yang berarti dari aparat pemerintah.”

NAZARUMPIL
“Kalian berdua terlalu banyak mengulur waktu. Kalaupun sudah punya bukti-bukti konkretnya, ya silahkan
sampaikan dakwaan anda segera.”

JAKSA PENUNTUT
“Rupanya anda sudah tak sabar menunggu putusan hukum yang saya yakin akan memenjarakan anda semua
dalam waktu yang tidak singkat di hotel Pro Deo.”(Tersenyum sinis.)

ANAS UBANAN
“Anda jangan terlalu yakin dulu. Sejauh ini kan belum ada bukti-bukti yang berhasil menyudutkan kami.”

ANDI MALARIA
“Saya yakin kalau saya sedang tidak menyalah gunakan kekuasaan atau bahkan melanggar hukum hanya demi
untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, maupun korporasi.”

JAKSA PENUNTUT
“Ibu Hakim, Berdasarkan bukti-bukti yang sudah saya pelajari, akhirnya saya berkesimpulan bahwa mereka
semua terlibat dalam kasus proyek Hambalang. Mereka sengaja bermain mata dengan petinggi partai paling
berkuasa di negara ini, untuk mengatur pemenang tender dalam proyek Hambalang. Dan sebagai konvesinya
mereka telah menerima suap dari pihak terkait.”

ANAS UBANAN
“Saya rasa dakwaan anda adalah sebuah serangan konyol. Mana mungkin kami menghianati rakyat. Kami kan
sudah bertekad untuk mewujudkan good goverment and clean goverment sebagai salah satu cita-cita
reformasi.”

NAZARUMPIL
“Saya rasa dalam dunia politik kami sendiri telah menduduki jabatan strategis dengan penghasilan yang tinggi.
Jadi tidak ada alasan buat korupsi.”

RUHUT SITOMPEL
“Justru karena faktor jabatan itulah yang menyebabkan kalian punya banyak kesempatan. Kesempatan untuk
meningkatkan kreativitas dalam berkorupsi.”

NAZARUMPIL
“Hati-hati kalau bicara. Salah-salah anda sendiri yang bakal kemakan hukum.”

RUHUT SITOMPEL
“Anda mengancam saya.”(Dengan nada meninggi, penuh emosi.)

HAKIM
28

“Tenang semuanya. (Sambil mengetukan palu) Biarkan saya yang menjadi penengah dalam sidang ini. Hanya
saya yang berhak memutuskan siapa-siapa saja yang berkesempatan untuk bicara.” (Suasana sempat
tersendat dalam kesenyapan selama 30 detik.)
“Silahkan Jaksa Penuntut, lanjutkan dakwaan anda.”

JAKSA PENUNTUT
“Ibu hakim berdasarkan keterangan dari para saksi yang saya tanyai serta bukti-bukti terkait, telah diduga
bentuk suap itu dilayangkan sebagai sarana untuk melancarkan usaha Anas Ubanan dalam pencalonannya
sebagai ketua umum partai penguasa di negeri ini.”

RUHUT SITOMPEL
“Sesungguhnya cara yang seperti itu lazim saja dalam suatu proses pemilihan untuk menjadi orang nomor satu
disebuah partai politik. Untuk bersaing mereka harus mempersiapkan sokongan dana.”

ANAS UBANAN
“Saya rasa itu semua hanyalah omong kosong. Bagi saya wajar bila kabar-kabar miring semacam itu sering kali
terdengar menjelang masa pergantian rezim.”

NAZARUMPIL
“Dan mengaitkan sebuah masalah yuridis dengan isu-isu politik. Sungguh cara yang relevan sekali.” (Sambil
mengacungkan jempol pada Ruhut dan Jaksa.)

RUHUT SITOMPEL
“Menurut saya bukan hanya nama Anas saja yang patut dicurigai ikut menikmati aliran dana pada proyek
prestisius semacam itu.”

JAKSA PENUNTUT
(Ia menganggukkan kepala.)“Saya membenarkan apa yang saudara Ruhut sampaikan barusan. Bahwasanya
memang ada keterlibatan antara saudara Nazarumpil dengan Andi Malaria dalam skandal kasus Hambalang
ini.”

RUHUT SITOMPEL
“Saya satu suara dengan anda tuan Jaksa. Posisi Nazarumpil sebagai Bendahara Umum akan memudahkan
peranannya untuk menjadi mesin uang pada saat pencalonan Anas Ubanan sebagai ketua umum partai
penguasa.” (Nampak wajah Nazarumpil yang mulai tegang karena tengah dipojokkan.)
“Kemudian Saudara Andi Malaria dalam hal ini merupakan salah satu rival Anas Ubanan dalam kompetisi
pencalonan ketua umum partai penguasa. Tak khayal jika kemudian saudara Andi turut ambil bagian untuk
melancarkan aksi solidaritas antar rival. Bukan begitu tuan-tuan politikus?”

ANDI MALARIA
“Saya tegaskan. Bahwa dakwaan anda mengenai saya pada dasarnya hanya berisi spekulasi yang melahirkan
spekulasi lainnya. Dan saya rasa itu...”

JAKSA PENUNTUT
“Tunggu. Tentu sebelum saya memunculkan asumsi mendasar tentang kasus ini, lebih dulu saya sudah
menghimpun bukti-bukti konkrit tentang kebejatan kalian. Dan saya sudah serahkan semua berkas-berkas
bukti itu pada KPK.”

ANDI MALARIA
“Dalam kasus pidana korupsi, kebenaran materiil menjadi salah satu prinsip utama untuk memaksimalkan
proses penyidikan. Lantas apakah anda sudah menemui bukti semacam itu?”

JAKSA PENUNTUT
29

“Orang-orang KPK adalah orang-orang cerdas, jadi saya sangat yakin kalau mereka bisa mengusut kasus ini
secara tuntas.”

NAZARUMPIL
“Saya tunggu segala pembuktian anda. Saya sudah siap dengan segala konsekuensinya jika memang nantinya
saya terbukti bersalah.”(Dengan gaya menantang.)

RUHUT SITOMPEL
“Tunggu sebentar semuanya. Setelah saya amati, saya merasa ada yang janggal pada diri Mbak Angel. Saya
merasa kalau dia sedang menyimpan suatu rahasia.”

ANGELINA SENDOK
“Tidak. Saya hanya sedikit tertekan saja.” (Tiba-tiba ia mulai menunjukkan kesedihannya dengan menangis.)

RUHUT SITOMPEL
“Jangan berkelit dalam sandiwara duka anda mbak Angel. Saya dan semua orang yang ada disini tahu persis
kalau anda tengah bersedih karena kehilangan suami. Tapi saya mohon jangan jadikan itu semua sebagai
tameng pencari muka.”

ANGELINA SENDOK
“Saya sedang tidak mencari muka. Bahkan juga tidak sedang mencari aman.”
HAKIM
“Saudara Angel apa anda ingin menyampaikan suatu kebenaran pada kami.”

ANGELINA SENDOK
“Kebenaran bukan hanya untuk diraba, tapi juga untuk dirasakan ibu Hakim. Dan saya berada disini bukan
untuk menuntut kebenaran itu. Tapi untuk meluruskan kebenaran yang terselubung.”

RUHUT SITOMPEL
“Ngomong apa kau sendok. Jangan sok suci deh.”

ANGELINA SENDOK
“Saya sedang tidak mengigau pak Ruhut. Saya hanya sedang mengharap pengertian kalian untuk menunda
sidang terhadap saya. Setidaknya sampai kesedihan ini merata dan segera mengering.”

JAKSA PENUNTUT
(Tersenyum kecut.)”Ini semua tidak ada sangkut pautnya dengan masalah anda mbak Angel. Jadi tolong
kesampingkan dulu segala urusan pribadi anda.”

ANGELINA SENDOK
“Kenapa semuanya tak peduli dengan apa yang saya rasakan. Kalian gelap mata.”

JAKSA PENUNTUT
“Saya tidak gelap mata mbak Angel. Karena berdasarkan pengamatan, saya melihat telah terjadi
penggelembungan nilai pada laporan keuangan proyek Hambalang. Tentunya hal semacam ini akan
menyebabkan kebocoran proyek infrastruktur dengan kerugian mencapai sekian persen.”

RUHUT SITOMPEL
“Dan saya rasa yang gelap mata disini adalah mbak Angel sendiri dan juga ketiga rekan anda. Karena kalian
sudah merampok uang negara. Hhhh...Dasar rampok.”

ANAS UBANAN
“Jaga mulut anda. Sedari tadi kerjaan anda hanya menginterupsi pembicaraan orang lain!”

ANDI MALARIA
30

“Dasar mulut pasar. Tidak pernah disekolahin apa itu mulut!”

RUHUT SITOMPEL
“Justru mulut saya dari dulu tidak pernah berhenti mengulas berbagai macam pelajaran. Makanya sekarang
jadi pintar bermain kata-kata seperti ini.”

NAZARUMPIL
“Sudah cukup semuanya. Hentikan perdebatan ini.(mengambil nafas) Saya ngaku salah. Tapi jujur keterlibatan
saya dalam kasus Hambalang hanya sebagai pelengkap saja. Karena otak dari perkara korupsi ini adalah
saudara Anas.”

ANAS UBANAN
“Penghianat kau Nazar.”

JAKSA PENUNTUT
“Sudah saya duga. Harusnya Anas itu malu sama uban dirambutnya.”

NAZARUMPIL
“Kesaksian saya disini bersifat imparsal. Anas menggunakan uang gelap itu untuk keperluan kongres Partai
Penguasa.”
ANDI MALARIA
“Saya yakin setelah ini pengajuan eksepsi saya bakal ditolak.”

ANGELINA SENDOK
“Sial rahasia kita semua sudah dibekuk dalam singgasananya pengadilan.”

RUHUT SITOMPEL
“Saya rasa disini yang sangat rentan sekali dalam kasus ini adalah keterlibatan mbak Angel, karena posisi dia
sebagai anggota DPR adalah yang menentukan anggaran.”

ANGELINA SENDOK
“Saya mengaku salah. Tapi tolong jangan penjarakan saya. Akan bersama siapa anak-anak jika saya dipenjara.”

ANAS UBANAN
“Sebelum kalian menjatuhkan somasi hukuman pada kami, ada satu fakta yang harus kalian tahu. Ada
keterlibatan orang istana dalam kasus ini. Mohon kalian selidiki dan temukan pelakunya demi keadilan hukum
di negara ini.”

Acara sidang belum terselesaikan. Dan penjatuhan hukuman untuk mereka juga belum dikeluarkan
putusannya. Namun acara sidang waktu itu segera terhentikan lantaran secara tiba-tiba Angelina Sendok
menjerit histeris dan kemudian pingsan. Sontak semua yang ada di ruang sidang segera berlari memberi
penyelamatan pada Angelina Sendok.

Sidang bubar begitu saja. Semua pemain meninggalkan panggung. Sementara itu untuk ke dua
kalinya kembali terdengar seruan gaib yang memanggil-manggil nama Minten, dibarengi dengan bunyi
kereta api lewat. Dari barisan penonton Minten kembali naik ke atas panggung yang masih dalam kondisi
lampu yang mati nyala mati nyala mati, dan kemudian menyalalah lampu upper light. Tatapan matanya
dipenuhi kebingungan. Ia putarkan pandangannya pada ruas-ruas panggung dan penonton. Hingga akhirnya
ia terpusat pada satu titik. Ia dekati satu titik itu. Dititik itu, tepatnya pada side wings sebelah kiri Minten
kembali mengulang fenomena yang sama, yaitu ia beradegan terseret dan masuk kedalam side wings
setelah ia menyentuhnya.

ADEGAN 3 (Gerbong Pajak)


31

Kembali lagi lampu panggung padam. Dan kembali nyala ketika Minten muncul dari balik side wings
sebelah kanan untuk kembali memasuki ruang sidang. Kali ini dengan situasi kasus yang berbeda, pun juga
tentunya dengan orang-orang yang berbeda pula. Bersama manusia-manusia berkoper ia dihadapkan pada
situasi sidang yang bertema “Gerpak” alias gerbong pajak. Minten sendiri dibuat bingung oleh kesibukan
mereka di atas panggung. Mereka sama sekali tak memperdulikan kehadiran Minten di atas panggung.
Dengan perasaan membingungkan Minten akhirnya segera melempar pandangannya pada penonton. Lalu
kembali ia duduk membaur bersama penonton.

Tak lama sang Hakim bersama Jaksa Penuntut hadir ke atas panggung dan menempati tempat
duduknya ketika manusia-manusia berkoper itu tengah sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada Budi
Mlayanan yang sedang menghitung-hitung uangnya, ada Melinda Dedemit yang sedang dandan, ada Gayus
Timbilen yang sedang telpon-telponan sambil menenteng kopernya, dan ada Antasreng yang sedang sibuk
membuat laporan hasil korupsi pada laptopnya. Sementara itu tepat dihadapan mereka, tepatnya di
samping tempat duduk Jaksa Penuntut ada Gayater yang sedang menangis tak jelas juntrungannya karena
kenapa.

HAKIM

“Sidang resmi saya buka. Tolong hentikan aktifitas kalian sekarang juga. Hargai posisi saya disini.”(Tidak ada
yang menggubris, semuanya masih asik dengan kesibukan masing-masing.)

JAKSA PENUNTUT

“Kalian dengar tidak apa yang dibilang sama ibu Hakim. Berhenti menyibukkan diri!”(Emosi)

Sontak setelahnya Budi, Antasreng, Gayus, dan Melinda langsung menghentikan aktifitas mereka
dan memilih diam di atas kursi pesakitan masing-masing.

GAYUS TIMBILEN

(Melirik ke arah Jaksa Penuntut dengan sedikit meledek.) “Wani pirooo?”

BUDI MLAYANAN

“Pengen duet ora kowe?”(Sambil ngipas-ngipaskan uangnya.)

JAKSA PENUNTUT

“Ora ngurus. Ora sudi aku ngemek duetmu. Duet curian kok dipelihara.”(Tertawa geli.)

GAYUS TIMBILEN

“Bilang saja ngiri. Anda kan ndak bakal punya uang sebanyak ini.”

HAKIM

“Sudah diam semuanya. Ini ruang sidang. Bukan pasar tiban. Jadi yang tertib dong.” (Kini giliran ia
memandangi Gayater yang sedari tadi terlihat sedang menangis.)

“Saudari Gayater kenapa anda menangis. Apakah anda sudah siap membacakan nota pembelaan anda?”

GAYATER

“Bagaimana saya tidak menangis ibu hakim. Uang saya milyaran rupiah digondol tuyul-tuyul
berkoper.”(Suaranya terdengar parau dan tersedak dalam isak tangisnya.)

HAKIM
32

“Bisa anda sebutkan siapa nama tuyul berkoper yang anda maksudkan tadi?”

GAYATER

”Mereka berempat adalah pencurinya. Melinda yang telah membobol rekening saya. Lalu Gayus yang telah
kabur ke pulau bali setelah mencuri semua uang saya yang ada di brankas. Dan terakhir Antasreng dan juga
Budi adalah orang yang telah menipu saya mentah-mentah. (Jeda) Mereka mencuri sejumlah uang yang
harusnya didepositkan ke saya. ”

BUDI MLAYANAN

“Atas dasar apa anda menganalogikan pemikiran semacam itu.”(Sambil menudingkan jarinya kearah
Gayater.)

“Apakah anda punya bukti yang menyatakan keterkaitan kami terhadap kasus yang anda perkarakan ini.”

ANTASRENG

“Ingat, anda tidak boleh berkata “asong” alias asal omong. Ini semua adalah uang dari hasil menang tender
bisnis yang baru kita rintis bersama-sama.”

GAYATER

“Mungkin saya tidak punya bukti yang konkrit. Tapi saya yakin, kalian telah menyembunyikan surat-surat
bodong itu. Hanya surat-surat bodong itu yang mampu membuktikan kalau kalian bersalah.

BUDI MLAYANAN

“Surat bodong yang mana. Kita sama sekali tak tahu menahu soal kasus anda. Apalagi surat-surat bodong apa
itu. Yang saya tahu wudel bodong. Ni... (Sambil memperlihatkan wudel alias pusarnya pada Gayater.)

GAYATER

“Kalian bener-bener sudah niat banget ya mencuri. Pertama harta milik orang lain kalian jumputi. Kedua kalian
alirkan dana samar itu ke saku kalian untuk dijadikannya sebagai pundi-pundi kekayaan. Dan terakhir kalian
tutupi surat-surat bodong itu dari penciuman pers.”

GAYUS TIMBILEN

“Jangan asal ya kalau bicara. Anda bisa saya tuntut karena telah melakukan pencemaran nama baik.”

ANTASRENG

“Saya itu orang berpendidikan. Jadi saya tahu bagaimana menempatkan kepribadian dengan sebaik-baiknya.”

GAYUS TIMBILEN

“Kami akan usut masalah ini sebagai kasus pencemaran nama baik.”

GAYATER

“Oh silahkan. Saya tidak takut. Lagi pula bukankah BPK telah mencatat lima pelanggaran hukum sebagai bukti
fatal yang kelak akan menyeret kalian kedalam penjara?”

MELINDA DEDEMIT

“Pelanggaran semacam apa yang anda maksudkan Gayater?” (Dengan gaya sok angkuhnya.)

GAYATER
33

“Ya pelanggaran mengenai tindak pidana kalian lah.”

MELINDA DEDEMIT

“Memangnya kita melakukan kejahatan apa? Korupsi?(Jeda) Korupsi hanyalah benalu sosial yang merusak
struktur pemerintahan. Jadi mana mungkin kita mendurhakai negara ini dengan tindakan korupsi.”

BUDI MLAYANAN

“Kami itu para politisi yang hidup dalam koalisi yang bersih. Jadi mana mungkin kami melakukan
penyimpangan yang dapat merugikan negara ini.”

ANTASRENG

“Kami yakin selama ini kami sudah berkilah demi nama reformasi.”

GAYATER

“Dasar singa berbulu domba. Mulut kalian bau kebohongan. Ngapain juga kalian berlindung dibalik nama
koalisi. Mau cari perlindungan? (Jeda) Atau mau cari massa dan mangsa.”(tersenyum kecut.)

“Becik ketitik olo ketoro. Sopo gawe olo wahyune bakal sirno. Ingat kata-kata itu.”(Pernyataan itu semakin
membuat mereka berkelamut dalam diam yang tuli.)

JAKSA PENUNTUT

“Katanya kalian orang terpelajar. Katanya kalian juga mengerti hukum. Bukankah juga katanya hukum itu
hanya bisa ditegakkan bila ada saksi dan bukti-bukti yang konkrit. Lalu siapa yang main rekayasa disini.”

MELINDA DEDEMIT

“Sekali lagi saya tekankan kalau uang yang kami dapat ini bukan dari hasil mencuri. Tapi dari hasil prestasi.”

GAYATER

“Hukum adalah lambang keadilan. Dan saya datang kemari mengharap keadilan itu. Tapi apa yang saya
dapat(Sambil menahan tangis yang hampir pecah) sebuah kebohongan yang terus mempertontonkan diri di
dalam pengadilan ini.”

JAKSA PENUNTUT

“Memangnya keadilan macam apa yang anda kehendaki?”

GAYATER

(Ia menggelengkan kepala, sambil menangis.)“Saya merasa rai gedeg terus dipandang oleh banyak orang
sebagai pihak yang benar. Lagi-lagi saya dipojokkan dan dianggap membual.”

HAKIM

“Tenang dulu saudari Gayater. Saya mengerti posisi anda seperti apa. Dan saya turut prihatin atas musibah
yang menimpa anda. Tapi...”(Ucapan itu tersendat.)

GAYATER

“Tapi saya mengharap keadilan disini. Bukan belas kasihan.”

Gayater yang kadung kecewa segera keluar dari ruang sidang, meninggalkan arena bermain
sandiwara di atas panggung. Dan bersamaan dengan itu, hadir pula 2 orang baru yang memasuki arena
panggung. Seorang pemuda dengan wajahnya yang penuh dengan luka-luka memar datang dengan kondisi
34

kedua tangan dipelintir kebelakang dan dipegang dengan sangat kuat oleh seorang pemuda lainnya. Di
hadapan sang Hakim, pemuda itu dilempar hingga terjungkal ke lantai. Wajahnya nampak memelas.

PEMUDA 2

“Ibu hakim. Dia baru saja ketahuan mencuri celana dalam milik istri saya. Beruntung massa segera datang dan
ikut membantu saya mengamankan maling ini. Jadi saya mohon penjarakan dia biar jera.”

HAKIM

“Kenapa anda bawa kemari. Harusnya anda bawa saja dia ke kantor polisi. Penjarakan dia disana.”

MINTEN

“Tapi sejauh ini apakah pemerintah sudah menyamaratakan sumber pangan bagi seluruh warga miskin yang
ada.”

PENYAIR

“Lantas apa dengan kamu membenci bangsa ini, maka semua akan berubah jadi baik?”(Minten hanya
terdiam. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu.)

“Ya sudah jangan terlalu dipikir. Sekarang kubur dulu anakmu.”(Sambil menyerahkan mayat Bayu. Kemudian
Penyair itu pergi meninggalkan arena panggung.)

Sepeninggalan sang penyair ia seperti mulai tergugah oleh sebuah rasa. Antara batin dan pikirannya
tak bisa menyatu dalam suatu ikatan. Pikirannya mengajarkan suatu kebencian, tetapi batinnya seperti tak
rela dan menentang buah pikirannya itu.

Lampu panggung mati nyala mati nyala. Suara musik semakin dramatis. Minten mulai diombang-
ambing dalam dua pilihan. Mendadak dia naik pada taraf kegilaannya. Dia merasa depresi. Secara tidak
sadar Minten menjatuhkan mayat anaknya. Kemudian ia mulai mengacak-ngacak rambutnya sendiri.
Sebentar ia menjerit. Sebentar ia tertawa. Dan sebentar ia menangis. Begitu seterusnya. Sampai akhirnya
dia tersadar ketika ia mendengar nyanyian “Tanah Airku” yang melantun dengan diiringi musik angklung.

Tanah airku tidak kulupakan. Kan terkenang selama hidupku. Biarpun saya pergi jauh. Tidak kan hilang
dari kalbu. Tanah ku yang kucintai. (Minten menumpahkan segala rasa sesal, emosi, dan sedihnya ke
dalam sebuah tangisan.)

Engkau kuhargai. Walaupun banyak negri kujalani. (Minten ikut menyanyi).

Yang masyhur permai dikata orang. Tetapi kampung dan rumahku. Disanalah kurasa senang. Tanahku
tak kulupakan. Engkau kubanggakan. (Segala campur aduk perasaan Minten berpuncak akhirnya.)

MINTEN

“Indonesia kebangsaanku telah banyak diterpa masalah. Mulai dari KKN dan nepotisme, Manipulasi dan
monopoli, Maraknya bisnis prostitusi dan angka kriminalitas, Penebangan liar, teror bom dan bencana,
kemiskinan dan kesenjangan sosial, rendahnya mutu pendidikan hingga maraknya angka pengangguran telah
menjadi bagian dari bangsa kita. Untuk itu marilah kita kita benahi bangsa Indonesia agar menjadi lebih
baik.”(Minten terus sesenggukan dalam tangisnya. Ia menyesal. Menyesal bukan karena nasibnya. Tapi
menyesal karena sempat membenci indonesia.)

Lampu panggung perlahan padam. Dan berakhirlah drama pertunjukan ini.


MATAHARI DI PERUT BUMI

Diego Nardianto

PARA PELAKU

Bandot (Munafik dan Penghasut), Jegur ( Wedus Culas), Jeder (Wedus Pendengki), Debug (Wedus
Pendusta), Wuss (Wedus Provokator), Bumi (Wedus Gegabah dan bodoh), Zika (Pemaksa
Kehendak), Rembes (Perduli), Tepluk (Gampang Terpedaya), Mbah Mili (Ekstrovert), Para Warga
(Pengadu dan lapang dada), Mendak, Gejug, Kiting: Polos dan Lugu.

SINOPSIS

Datang sebuah masa, dimana perut menjadi mulut. Kebutuhan menjadi tuhan. Maksiat
menjadi kiblat, binal menjadi moral. Pangkat menjadi hakikat. Matahari dipaksa bunuh diri diperut
bumi. Kalau sudah demikian genangan akan jadi endapan, subur akan jadi lumpur. Petani
kehilangan lahannya, agamawan kehilangan agamanya, anak-anak kehilangan kekanak-
kanakannya, tambang emas kehilangan kilaunya, pemimpin kehilangan kearifannya. Wedus-wedus
pun kehilangan kandangnya dan memilih tidur di istana. Saat itulah, ada yang mulai tersadar
bahwa ada maling yang datang dari barat, kembali kebarat. Ada kebakaran dan banjir dari barat
dan kembali ke barat. Maling itu leluasa masuk rumah kita karena ada yang melubangi didinding-
dindingnya. Maling itu telah mencuri matahari dan menyimpannya di perut bumi. Matahari di
langit akan digantikan dengan matahari buatan, aturan-aturan buatan, misi-misi buatan. Hal itu
berawal dari lahirnya mantra menyimpang yakni mantra pancagila. Mereka menyalahkan yang
benar dan membenarkan bagi yang salah. Jungkir balik sebuah peradaban dimulai dari pertemuan
tukar misi para pemimpin desa.
Koreksi:

1. Kalimat matahari di perut bumi kudu pinter2 jenengan masukan sebagai dialog yang perlu
disebut dalam beberapa adegan, minima di awal, dan ending. Agar ceritanya bener2
nyambung dan nyaut sama judul
2. Keterangan berekspresi atau parenting sangat minimlais muncul. Harusnya muncul di
adegan2 yang butuh penekanan.
3. Frame drama anda absurd dan nyastra, tetapi diolog2 yang dibangaun coraknya sama
sekali g puitis apalagi nyastra.
4. PENULIS BELUM TOBAT JUGA DARI CITARASANYA
a. Masih suka dialog panjang, tetapi bahasanya hambar ndak diatur iramanya terdengar
telinga
b. Konsitensi cerita, surealis tetapi nyapa penonton…gubrak…
c. Banyak adegan go apik2 tetapi ora di pertimbangkan betul daya manfaat dan
tikamanya.
d. Tidak bisa menangkap isu up do date menjadi susatu yang pantas jadi bahan renungan

BABAK 1

PEMBUKA

Setting panggung berbentuk prisma dengan bagian sisi kiri kanan panggung digunakan sebagai
pintu keluar masuknya para pemain yang didominasi penuh oleh kain hitam. Panggung
pementasan dikonsep dengan fleksibel, yang artinya segala properti dapat dibongkar pasang
untuk memudahkan setting panggung tiap adegan. Di sisi kiri dan kanan panggung di pasang
lampu sebagai pencahayaan (Right lighting I, Left lighting I dan Right lighting II red color, Left
lighting II red color) kemudian pencahayaan utama di bagian tengah atas dan depan atas (Center
lighting dan Front lighting).
Suasana panggung terasa mistis. Lampu warna merah menyala terang redup menyorot tatanan
panggung berulang-ulang (lighting II red color, Left lighting II red color). Terdengar suara bocah-
bocah merintih kesakitan lantaran kaki dan tangan mereka terikat disebuah pasungan. Mereka
meronta untuk berusaha membebaskan diri dari jeratan mantra yang mengikat mereka.
Dibarengi dengan rapalan mantra dari balik panggung (Kidung Wahyu kolosebo).

rumekso ingsun laku nisto ngoyo woro


kelawan mekak howo, howo kang dur angkoro
senajan syetan gentayangan, tansah gawe rubedo
hinggo pupusing jaman.
Nyirep geni wiso murko
Meper hardaning ponco, saben ulesing netro
Linambaran sih kawelasan, ingkang paring kamulyan
Sang hyang jati pengeran

Panggung kembali sunyi.

Adegan I

Ketika reformasi di depan mata. Mantra telah dirapalkan. Kunci telah terampas. Semua bebas
masuk dan pergi melangkah menghentakan kaki mengikuti kata hati yang tertutup. Dampak dari
mantra penguasa yang menggerogoti moral anak bangsa. (Bahasanya tidak nonjok dan
menggigit, seharusnya juga ada kata kunci yang lebih “bercitarasa” yang mewakili cerita adegan
ini. Kaitane yo opo karo reformasi, kaitane yo opo karo mantra. Kalimatmu ngadeg dewe-dewe
ora iso nyambung siji marang liyane. Tidak ada cantolane. Kesimpulanya kalimat-kaliamt di
adegan ini “MUNG GO APIK2, TAPI ORA ONO ESENSI SING NYANTOL KARO CRITANE)

Tatanan panggung disetting menyerupai tanah lapang tanpa dekorasi apapun. Masuklah bocah-
bocah dengan kepala tertutup wakul (Cepon) dengan karakter yang berbeda-beda, dengan
langkah kaki mengendap-endap mengikuti suara kentongan dan bunyi perkusi. Semakin dinamis
suara kentongan dan perkusi maka semakin cepat langkah kaki bocah-bocah tersebut. Lampu
tengah dan lampu depan (Center light dan Front light) menyala terang menyorot panggung
menandakan suasana siang hari. Kemudian mereka merapal mantra.

Siji-siji rojo pati, yo dek yo


Loro-loro ono maling, yo dek yo
Telu-telu umah kobong
Papat-papat banjir bandang
Limo-limo maling kewan, yo dek yo

Semua bocah tersebut berhamburan kesegala penjuru panggung (koregrafis panik) sambil
menyuarakan penggalan kata yang ada dalam mantra tersebut. Satu-persatu “Cepon” tersebut
di buka dari kepala meraka Kemudian dijadikan sebagai alas dan mematung.

Mendak : Ada maling..!!! ada maling..!!! ada maling..!!! (keterangan ekspresinya harus ada AGAR
PEMBACA DRAMA BISA MERASAKAN KEJADIAN REAL DI PANGGUNG)

Malingnya menerobos dari barat, kemudian kembali ke barat lagi. Aku tak paham
dengan apa yang maling itu lakukan, maling yang selama ini menggerogoti bumi
pertiwi. Terkadang kalian memang harus cerdik seperti ular, dan tulus seperti merpati.
Memangnya kau ini tahu aku sedang membahas apa, bukan perkara maling sandal
jepit, bukan masalah maling kotak amal masjid, bukan sekadar maling dana pendidikan.
Persetan dengan maling dana pembangunan. Sekali lagi aku bilang bukan maling
semacam itu. Malingnya sudah mencuri matahari dan menyimpanya di perut bumi.
Bayangkan apa yang akan terjadi? Kekacauan tatanan akan terjadi Yang harusnya
menyinari malah gelap hati, aturan dibuat sendiri dilanggar sendiri! Kaitanya matahari
diperut bumi dan maling ndak ada.
PAUSE. …(bahasa opo pause? Sudah diberi tahu tata bahasa juga dinilai, ngeyel ki bocah). Pakai
istilah mematung kan yo iso…

Gejug : Banjir datang..!! banjir datang..!! banjir datang..!! (ekspresinya apa dan bagiamana?)

Banjir itu menerjang dari barat, lalu surutnya juga kebarat lagi. Kenapa tidak utara
sama selatan, karena utara maupun selatan juga korban banjir. Bukan banjir yang di
omongkan orang-orang saat ini, bukan pula banjir yang merendam pemukiman warga
atau merendam puluhan hektar sawah petani. Banjir aliran dana segar yang mengaliri
proyek pembangunan. Banjir yang bermuara bukan di hulu sungai. Banjir lantaran
panasnya janji manis penguasa. Tidak usah kau menyalahkan banjir karena banjir
memang tidak bersalah. Airpun tidak bersalah karena antara air dan banjir itu sama
(kok tidak dikaitkan dengan isu-isu kriminal, kerusakan moral, yang lagi up to date?
Banjir itu telah meluluhlantahkan apa?). kaitanya matahari diperut bumi dan banjir,
ndak ada.

PAUSE. (bahasa opo to iki?)

Kiting : Kebakaran..!!! kebakaran..!!! kebakaran..!!!

Kebakaran itu dari arah barat, kemudian lenyap ke arah barat juga. Kebakaran yang
membuat kita berfikir untuk memadamkan dengan apa, Apakah ini kebakaran yang
ditimbulkan oleh matahari yang sekarang ada diperut bumi. Apakah kebakaran hutan
yang terjadi di Riau atau hutan yang ada di tanah air kita. Ini bukan kebakaran gedung-
gedung lantaran bom rakitan gembong teroris. Bukan pula kebakaran laju mesin
seharga 3,7 Milyar. Lagi-lagi ini bukan tentang kebakaran yang bisa padam dengan air.
Ini kebakaran orasi para penguasa negeri (ndak spesifik kasus yang dimaksud dan
kurang menohok). Kebakaran lantaran api itu sendiri. Kaitanya matahari diperut bumi
dengan tokoh kiting ndak ada.

PAUSE.
Zika : Embeeekk..!! Embeeekk..!! Embeeekk..!!

Aku memimpikan emas permata dan bergelimang harta, entah dari barat apa utara aku
tidak perduli. Yang penting aku ini tidak seperti mereka yang hanya bisa ngomongin
maling, banjir dan kebakaran itu. Di jaman yang serba modern Aku ingin berfoya-foya
dan bersuka ria. Aku ingin bisa terbang ke argentina, belanda bahkan swedia. Bukan
hanya pamong desa saja yang bisa bertamsya ke luar sana. Akupun hendak seperti itu.
Terserah dia mau bilang apa yang penting aku ingin seperti mereka. (Dialog ini
harusnya lebih bisa menggambarkan fenomena syahwat jadi kiblat, harta jadi dewa,
menteri rapat keleuar negri jalan-jalan sama ank istri, dsb)

Setelah mereka merapalkan mantra. Semua berkumpul lalu merapalkan mantra yang berbeda.
Dan kembali mengenakan wakul (cepon) di kepalanya.
E, dhayohe teka, e, gelarna kiasa
E, klasane bedhah, e, tambalen jadah
E, jadahe mambu, e, pakakna asu
E, asune mati, e, cemplungna kali
E, kaline banjir, e, kelekna pinggir

Zika : sudah cukup, cukup, aku bilang diam!!! (dengan nada teriak)

Melihat tingkah Zika, bocah-bocah yang sedang merapal mantra mulai ketakutan (koreografis
takut dengan teatrikal). Kemudian Zika membuang tutup (Cepon) kepalanya.

Zika : Aku ingin merapal mantra sesuai dengan keinginanku. Aku tidak sudi terjebak dalam
mantra-mantra kuno yang hanya menguntungkan mereka yang merapalnya. Mantra-
mantra yang jauh dari hingar-bingar. Aku ingin kebebasan dari jeratan mantra-mantra
sesat dan bikin melarat yang di buat dengan sepakat. Mantra yang membela mereka
yang berada dan menghujam yang tiada harta. Cita-cita ini harus terwujud tanpa adanya
pengaruh mantra sialan ini. Aku juga punya mantra untuk mengatur hidupku sendiri. Iya,
Mantra yang bisa membuat hal yang kasat mata jadi tampak nyata. Mantra yang bisa
membuat orang jadi gila harta. Iya, itu yang saya impikan. (tertawa puas)

(Bahasanya kurang menohok, kasus yang dijadikan bahan juga kurang sepsisfik.
Harusnya ini jadi wadah bagi penulis untuk mengungat ketimpangan-ketimpangan
keindonesian secara sepesifik dan lebih up to date. “Mantra” itu yang but siapa? Terus
juga harus dikorelasikan dengan judul dan nyambung (tidak jeglek) dengan cerita di
adegan2 seterusnya yang belum muncul. Kaitanya matahari di perut bumi dengan
fenomena zika ndak ada)

Kemudian Zika pergi meninggalkan panggung tanpa wakul (cepon) tutup kepala. Terlihat tiga
bocah di atas panggung tiba-tiba tergeletak. Lampu mati.

Adegan II

Beberapa wedus berlarian masuk dari sisi kanan dan kiri panggung sambil merapal mantra “Sing
eman ora keduman, sing keduman ora eman. Durjana saya ngambra-ambra, wong salah saya
bungah-bungah” di ucapkan berulang-ulang. Setting panggung di buat seperti padepokan.
Terlihat hanya ada beberapa kursi roda nampak berantakan di padepokan tersebut. Lampu
warna merah yang terpasang di sisi kiri dan kanan panggung mulai menyala terang-redup secara
berulang-ulang (Righ light dan Left light II red color). Wedus-wedus berebut mantra penguasa.
Kegaduhan tak terelakan. Tiba-tiba masuklah Bandot dengan gagah dari sisi panggung. Di ikuti
dengan perpindahan lampu warna mati dan lampu tengah dan depan menyala (Center lighting
dan Front lighting).

Bandot : (Mengamati sekitar). Semuanya, Siap Grak! (seketika Wedus-wedus tersebut telah siap
di depan kursi roda).
Baiklah murid-murid, selamat datang di Sekolah para elit dan berduit, sekolah RSBI yaitu
Rintisan Sekolah Bertarif internasional. Bukan sekadar mutu apalagi kulitas bahkan
kwantitas yang kita kedepankan melainkan gengsi besar-besaran yang kita pamerkan.

Mari kita mulai pelajaran pertama tentang mantra Pancagila (tertawa sinis).

Para Wedus : Mantra Pancagila? Mantra apa?(saling bertanya hingga suasana kelas menjadi ramai
dan gaduh).

Bandot : Iya benar sakali, mantra Pancagila. Yaitu pelajaran untuk menjadi penguasa yang kaya
raya.

Para Wedus : Penguasa? Kaya raya? Penguasa seperti Hary Azhar yang kaya raya, penguasa seperti
Nurhadi, penguasa seperti para Mentri. Aku mau, aku mau. (Saling memandang dan
kelas menjadi ramai).

Bandot : Bagus sekali, sekarang saya tanya, adakah diantara kalian yang tahu tentang mantra
Pancagila?

Para Wedus : Mantra penguasa pak guru, mantra untuk menjadi kaya raya pak guru, (saling
berebut menjawab pertanyaan) (dibolan baleni didepan sudah ada definisi kalau
mantara buat kaya raya)

Jegur : Pak guru bagaimana cara menguasai mantra Pancagila tersebut pak guru?

Bandot : (tertawa). Gampang sekali muridku, kalian hanya tinggal mempelajari mulai dari
tahapan pertama hingga tahapan terakhir.

Jegur : Saya bersedia mempelajarinya pak guru, ajari saya pak guru.

Para Wedus : Iya pak guru ajari kami pak guru.

Bumi : Zzzzzz... (Terlihat sedang tertidur)


Debug : Lihat pak guru aaa, calon pemimpin yang suka tidur aaa.

Bandot : Biarlah, biarlah Dia menikmati kursi impiannya itu. Semakin dia nyaman maka akan
semakin terlena, dan itu akan terjadi di desa yang akan Dia pimpin.

Jegur : Kita jadikan “duta” saja pak guru, macam penyanyi dangdut dan penghina polisi.

Jeder : Iya pak guru, di tandai saja pak guru.

Para Wedus : Iya pak guru, tandai saja pak guru. (kembali ramai)

Bandot : Tenang murid-murid, baiklah mulai hari ini saya nobatkan bumi jadi “duta” mimpi.

Para Wedus ; (bertepuk tangan dan ramai)

Jeder : Oya Pak guru, tahapan dasar dalam merapal mantra Pancagila itu bagaimana pak guru?

Bandot : (tertawa), tampaknya kalian sudah tidak sabar lagi dengan hal-hal yang hanya
menguntungkan diri kalian sendiri.

Tahapan pertama tentunya kalian harus mematikan hati nurani terlebih dahulu. Dengan
demikian kalian dapat menguasai keuangan yang maha kuasa.

Kemudian yang kedua kalian harus menutup telinga kalian rapat-rapat. Dengan begitu
maka akan terwujud korupsi yang adil dan merata bagi keluarga dan pejabat negara.

Para Wedus : Kami ingin menjadi penguasa yang kaya raya pak guru. Selanjutnya apa pak guru?

Bandot : Yang selanjutnya yaitu jangan pernah kalian mengulurkan tangan kebawah, apalagi
merangkul rakyat kecil yang miskin. Lebih baik kita gandeng saja keluarga kita untuk
menuju hal yang mulia dan saling melindungi agar tercipta persatuan mafia hukum
Indonesia. (BAHASA DITATA LEBIH PUITIS DAN NYASTRA AGAR LEBIH KENA)
Para Wedus : (Saling bersorak. Ramai dan gaduh kembali) Aku siap, aku akan selesai
mempelajari dalam waktu dan tempo yang sesingkat-singkatnya, aku akan kaya jika
menjadi penguasa. Terus apalagi pak guru? (Ketika satu orang sudah berdilog panjang,
ang satu berdiog pendek, jangan sama-sama panjang, pembaca akan kelingan rasa)

Bandot : Setelah kalian saling menjaga dan melindungi sanak saudara kalian maka kalian harus
menutup mata kalian. Jangan pernah memberikan rasa iba apalagi mengasihi kaum cilik.
Ingat, tutuplah mata kalian rapat-rapat dan jangan sekali-kali membukanya kecuali
dengan hal yang menguntungkan kalian, dengan begitu Kekuasaan Yang Dipimpin Oleh
Nafsu Kebejatan Dalam Persekongkolan dan Kepurak-purakan selamanya akan terjaga
dan akan selalu membudaya. (BAHASANYA DITATA LEBIH PUITIS AGAR LEBIH KENA)

Para Wedus : (dengan seksama menyimak)

Bandot : Yang terakhir yaitu Kenyamanan Sosial Bagi Seluruh Keluarga Pejabat dan Wakil
Rakyat. Tak usah kalian perduli dengan rakyat, tak usah kalian terlalu mengayomi rakyat
karena di sini kalian sudah mewakili rakyat, asal kalian ya dari rakyat. Jadi, kenyamanan
dan kekayaan kalian adalah bentuk dari perwakilan rakyat. Apa kalian paham? apa kalain
bersedia merapal mantra Pancagila? (BAHASA DITATA LEBIH PUITIS DAN NYASTRA,
DITATA BUNTI PERSAJAKAN DAN RIMA IRAMANYA “TENGOK NASKAH INDONESIAN
ODOL”. PERSAJAKANYA BAGUS )

Para Wedus : Paham pak guru. Kami Siap bersedia.

Bandot : Bersedia yang bagaimana murid-muridku?

Jegur : Bersedia untuk menjadi kaya lewat sektor di bagian timur pak guru?

Jeder : Bersedia menelanjangi moral para generasi muda yang tak berbusana pak guru?

Debug : kalau Oe bersedia menginflasi dan memanipulasi SDA untuk daur ulang aaa.
Wuss : Saya bersedia menanam gedung-gedung tinggi, meratakan tanah berbukit dan
mereklamasi pantai-pantai di batavia.

……… (CATATAN : BUNYI PESRSAJAKANYA DITATA AGAR LEBIH NACEP DIRASA”…….

Semua : (berbaris seperti upacara, menghadap penonton dan hormat) Kami para
predator negeri berjanji akan mencuri matahari dan memindahnkanya di perut bumi. Sebagai
ganti, matahari kami subtitusi dengan diksi dan aturan kami sendiri. Mantra kami sendiri.
Matikan hati demi kekayaan diri.

Lampu fokus menyorot Bumi yang dari awal tertidur di kursi dan perlahan mulai redup. Lampu
mati.

Adegan III

Setting panggung di buat menyerupai ruang kantor pamong desa. Terlihat di atas panggung
sebuah meja dengan tumpukan berkas-berkas, semua yang ada di ruang tersebut tampak
mewah. Terlihat seseorang yang sedang meluapkan kekecewaannya lantaran mengetahui sikap
Kepala Desa yang di anggap melakukan kesalahan dan merugikan desanya setelah bertukar misi.
Lampu tengah dan depan (Center light dan Front light) Menyala menyorot tatanan panggung
tersebut.

Rembes: Kacau! Amburadul! ini gawat, ini benar-benar gawat.


Tuan Bumi ini kenapa tidak teliti dengan hal semacam ini. Hal yang menyangkut
kesejahteraan dan kemaslahatan umat. Merakyat ya boleh, bloboh ya juga boleh, tapi ya
lihat situasi, lihat kondisi, jangan main asal setuju saja. Terus kalau sudah begini lantas apa
yang bisa saya lakukan. Bilangnya kerja nyata, kerja..kerja..kerja.. tapi ya jangan grusa
grusu. (KETERANGAN BEREKSPRESI)

Melihat Rembes ngedumel sendiri tiba-tiba masuklah Tepluk mengagetkanya.

Tepluk : Heh bocah!

Rembes: Eladalah, kranjingan ngagetin saja kau ini. (kaget)

Tepluk : Rem, ada apa to, kenapa wajahmu jelek gitu, kenapa badanmu cungkring gitu, kenapa
perutmu buncit gitu, kenapa kepalamu peang gitu, ganggu orang kerja saja. Ada apa
sebenarnya, hahh! (berlagak tegas)

Rembes: e, e, e, lah kok ngece, tidak tahu apa saya ini sedang pusing, saya ini sedang marah.
Lantaran sungainya kotor gitu, rakyatnya melarat gitu, emasnya di ambil gitu, andongnya
di ganti kereta cepat gitu, laki-lakinya LGBT gitu.

Tepluk : Woles kang, woles. Pusing kenapa to Rem, cerita dong, curhat dong Rem. (ala mamah
dedeh)

Rembes: Begini Pluk, saya heran dengan sikap tuan kita akhir-akhir ini.

Tepluk : Sikap tuan yang bagaimana kang?

Rembes: Masih ingat pas waktu lalu tuan Bumi pulang dari Desa tetangga?

Tepluk : Iya kang, kenapa?

Rembes: Ternyata tuan Bumi menandatangani berkas persetujuan tukar misi.

Tepluk : Ohhh..
Rembes: Kamu tau tidak isi dari berkas itu?

Tepluk : Tidak kang, kan saya tidak ikut kesana waktu itu.

Rembes: Ki bocah bloon! begini ceritanya. ternyata pas tuan Bumi menandatangani berkas itu,
tuan Bumi tidak tahu isi dan tujuan dari berkas itu sendiri, dan ini mengancam
kemaslahatan umat kita, desa kita ini. Dan tidak hanya berkas itu saja. Gaji dewan
perwakilan desa naik ya tanda tangan. Impor daging sapi dan beras dari desa lain juga
tanda tangan.

Tepluk : Ohhh gitu, oya kang Rembes tahu isi berkas itu,?

Rembes: Ya jelas saya tahu, dan ini akan memberi dampak negatif besar bagi desa ini, bayangkan
jika tambang yang kita punya dibagian timur itu semuanya dikuasai oleh desa lain, terus
anak cucu kita nanti bagaimana.

Tepluk : Bagaimana apanya kang? La kalau desa lain ingin memiliki tambang kita ya jangan boleh
wong itu tambang punya kita?

Rembes: Masalahnya tuan kita sudah memberikan izin akan hal itu melalui tukar misi kemaren.

Tepluk : Ohh gitu ya kang.

Rembes: Bayangkan Pluk, bayangkan (tiba-tiba dipotong Tepluk)

Tepluk : Sebentar kang tak bayangkan dulu,, (mlongo sambil berimajinasi). Siswi SMP digilir lima
pemuda Kang, gadis cilik Yuyun Kang dicekik dan disetubuhi, kemaluan Eno dipuaskan
dengan gagang cangkul Kang.

Rembes: Setan Alas, Bajingan. Emosi saya ini Pluk.

Tepluk : Sabar Kang sabar.


Rembes: Kalau begitu angan bayangin lagi. Begini Pluk, semisal ladang yang kamu punya itu
gembur tanahnya tiba-tiba di kuasai orang lain. apa yang hendak kau lakukan melihat hal
semacam itu?

Tepluk : Kalau ini saya yang emosi Kang, Gorok saja lehernya Kang, (terlihat emosi) enak saja
ladang punya kita mau di kuasai orang lain.

Rembes: Sabar Pluk sabar, itu Pluk yang saya maksut.

Tepluk : Lalu, apa hubunganya ladang saya dengan berkas itu kang?

Rembes: Eladalah, Tepluk, pluk,, otakmu itu lho Pluk, otakmu

Tepluk : Kenapa kang dengan otakku?

Rembes: Kamu itu pamong desa harusnya bisa mikir, pamong desa kok bloon.

Tepluk : Laaah wong saya di usung untuk jadi pamong desa ya saya nganut saja.

Rembes: Karepmu Pluk, karepmu. Sekarang saya tanya, apa tujuanmu mencalonkan diri jadi
pamong desa.

Tepluk : Begini kang. saya itu dijanjikan dapat uang banyak, bisa jadi kaya dan hidup mewah.
Ditawarin semacam itu tidak ada yang berani nolak pasti, termasuk saya. Hehe

Rembes: Terus tanggung jawab dan amanah yang kau emban?

Tepluk : Hehe kalau itu saya ikut-ikutan yang di atas saja dech. Kalau atasan iya, ya semuanya iya
aja jadi kan beres tanpa pusing lagi.

Rembes: Eladalaah, tobat, tobat. Berapa banyak yang kau keluarkan untuk simpatisan agar mau
mendukungmu.
Tepluk : Ya banyak kang, buat kampanya juga butuh dana besar, belum lagi memberi sumbangan
tiap warga agar mau memilih saya

Rembes: Kau bilang itu sumbangan. Itu namanya kecurangan dan bisa di tindak pidana.

Tepluk : Jangan di laporin ya kang, saya belum balik modal soalnya. Dan jangan bilang-bilang ya
kalau saya begitu.

Rembes: Sekarepmu. Tanpa saya ngomong masyarakat kita itu sudah paham dan sudah lumrah,
dengan adanya hal semacam itu hak mereka dapat di ganti dengan sumbangan yang
katamu itu tadi.

Tepluk : Hehehe. Kang emang tuan kita menandatangani berkas yang isinya tentang itu?

Rembes: Tentang maut.!!! Ya iyalah kan tadi saya sudah bilang. bukan hanya itu Pluk. Dengan
berkas itu mereka akan dengan mudahnya dapat keluar masuk ke desa kita ini tanpa
upeti, dan mereka bebas menjual dan membeli keanekaragaman yang ada di desa kita ini.

Tepluk : Oohh gitu, Penjajahan itu namanya kang ya? Apa ya istilahnya, kon-ol-nia-al ? apa ya
namanya?

Rembes: Kolonial Pluk. Coba bayangkan, ehh jangan bayangkan jangan, coba kamu lihat akhir-
akhir ini para muda mudi yang sekarang banyak tidak tahu dan bahkan enggan untuk
melesatrikan budaya kita.

Tepluk : Astagfirullahh (ngelus dada)

Rembes: Harga pangan selalu tinggi padahal kita bisa memproduksi sendiri.

Tepluk : Embeekk... (ngelus dada). Inalillahi.

Rembes: Itu karena mereka yang dari desa tetangga dengan mudahnya masuk dan membawa
produk untuk dipasarkan ke desa kita ini Pluk,
Tepluk : Embeekk.. (ngelus dada). Masyallah.

Rembes: Tahlilan saja yuk Pluk. Nyembelih Embeekk.

Tepluk : Loh memang siapa yang meninggal kang.

Rembes: Embeekk.. kesadaran kita yang meninggal Pluk, (sambil kesal) Tepluk.. Pluk.. mudeng
tidak apa yang tadi saya bicarakan, hah!!! embeekk.. embeekk.. embeekk. Memangnya
kampung kita kampung embeekk.

Tepluk : Ya jelas saya mudeng to kang.

Rembes: Apa? (terlihat kesal)

Tepluk : Mungkin tuan Bumi melakukan itu semua karena takut atau mungkin disuruh sama
Eyang kita kang. Eyang O’ok Bama

Rembes: Aduchh biyung, tobat,, tobat.. ora nyambung, bloon kok jadi pamong desa. Pluk.. Pluk
karepmu (terlihat kesal sambil keluar meninggalkan panggung)

Tepluk : Loh kang ko pergi, mau kemana kang,, ikutt.

Rembes: Embeekkk..!

Tepluk : Lah kok ngambek. Memangnya ada yang salah dengan omonganku (bertanya kepada
penonton). Gini-gini wakil rakyat lho, pamong desa. Cepat tua nanti kamu kang marah-
marah terus. Kang jika hendak shooping saya ikut. (mengejar Rembes). Embeeekk.. kang
embeekk.

(ada dialog yang diarahkan untuk menyinggung, pantesan saja perutnya bumi makin gede, orang
semua ditelan ke perutnya, bahkan kalau perlu matahari dilangit, diuntal juga. Aturan
ditelan juga)

Panggung kembali sepi dan kemudian Lampu mati.


Adegan IV

Ketika cahaya dari barat telah menerobos dan merobohkan dinding desa Air. Semua telah
musnah dalam lamunan kegelapan bocah-bocah desa. Lampu depan dan tengah menyala
menyorot adegan tersebut (Center and Front Lighting). Setting panggung menyerupai tanah
lapang tanpa dekorasi apapun. Terlihat adegan bocah-bocah yang sedang asyik memainkan
permainan congklak, lompat tali, engklek, cublak-cublak suweng, kapal otok-otok. Mereka
bermain dengan penuh keceriaan, seketika suasana menjadi mencekam lantaran kegaduhan
Wedus-wedus yang merampas hak bocah-bocah malang. Dibarengi dengan perpindahan lampu
warna merah menyala terang redup secara berulang-ulang (Right and Left Lighting II Red Color).
Tangisan bocah-bocah tersebut semakin keras dalam terjangan wedus-wedus beringas.
Kemudian lampu mati.

(sangat minimlais tidak bisa disebut sebagai “adegan”. Kalau mau hanya koregrafis boleh, tetapi
tetep harus ada “kata” yang terucap, walaupun sepatah dua patah kata. Atau kombinasi kata
yang bersahutan. Rekrostruksi kejadian juga harus detail))

Adegan: dialog+dialog, babak: adegan+adegan

KESAN DARI ADEGAN INI “MUNG KANGGO APIK2 TAPI ORA ONO APIK-APIKE BLAS…

PADAHAL DAH LIHAT PEMENTASAN 3 KELAS HARUSNYA ADA IMAJINASI LEBIH BRO…WADUH

Adegan V

Suasana sangat suram. Seperti matahari bersembunyi dibalik kabut. Seolah sangat sunyi tak ada
sama sekali suara mahluk berkutik. Suasana inilah yang menjadi pergunjingan warga di bagian
tengah di desa Air. Lantaran cuaca yang tak menentu. Hujan yang datang dan pergi tak pasti,
kemarau berkepanjangan membuat para warga gelisah. (bisa tidak lebih dikaitkan dengan
esensi atau saripatai dari matahari diperut bumi)
Setting panggung menyerupai pos ronda, dan terlihat beberapa makanan khas desa. Lampu
tengah dan depan menyala (Center light dan Front light) menyorot ke tatanan panggung
tersebut.

(PERSAJAKAN DAN RIMA IRAMA PADA ADEGAN INI DIBUAT LEBIH TERTATA AGAR LEBIH PUNYA
RASA. KAITKAN JUGA DENGAN KONTEKS, ATURAN YANG TAK BERATURAN, MUSIM YANG TAK
BERMUSIM, MATAHARI YANG TAK BERMAHARI, DSB)
Mbah Mili : Katelu, kapapat, kalima, kaenem, kapitu, ini gawat, bancana ini? (terlihat bingung
sambil memegangi sebuah primbon)

Warga 1 : Apanya yang gawat mbah?

Mbah Mili : Sekarang cuaca di Desa kita ini sudah tidak bisa diramalkan lagi.

Mbah 1 : Aku juga heran, kenapa iklim sekarang sudah tidak bersahabat lagi.

Warga 2 : Sudah wayahe mbah. Desa kita ini sedang mengalami degradasi musim dan
dekadensi kesenjangan iklim. Kebijakan pamong desa kita tidak terarah dan miskin inovasi.
Akibat pembangunan sungai-sungai yang tak tertata.

Warga 1 : Kenapa hal ini bisa terjadi? mongso rendeng sudah tidak jelas lagi, mongso ketiga
menjadikan kita semua susah. Hal semacam ini yang menyebabkan harga pangan di
pasaran semakin meroket.

Mbah Mili : Tidak perlu menyalahkan pamong desa, kita percaya saja dengan mereka. Toh mereka
melakukannya untuk kita rakyat kecil.

Warga 2 : Untuk kita yang bagaimana mbah, bukankah kebijakan-kebijakan pamong desa selalu
memberatkan kita mbah.
Mbah Mili : Kalau kita selalu menyalahkan pamong desa apa bedanya dengan kita yang hanya
berpangku tangan. Seharusnya kita mulai introspeksi, mengevaluasi situasi dan berani
melakukan redifinisi. Sehingga kita bisa meberikan sebuah revitalisasi menuju suatu
solusi definitif, guna mendapatkan outcome terbaik dari apa yang kita harapkan. Noto ati
lan pikiran kanggo golek dalan sing padang. Dimulai dari diri sendiri.

Warga 2 : Iya mbah, maaf jika saya lancang.

Warga 1 : Kata pak lurah dalam menanggulangi musim yang tidak sesuai dengan perkiraan kita,
pak lurah menyarankan untuk merapal mantra yang pak lurah sosialisasikan.

Warga 2 : Matra pak lurah? apa maksut kamu.

Warga 1 : Saya juga tidak paham mantra yang bagaimana. Ya pokoknya mantra pak lurah.

Mbah Mili: Sudah-sudah, jangan diperdebatkan lagi, jaga emosimu jangan mudah terhasut
(menunjuk warga 2), dan kamu (menunjuk warga 1), “Manungsa mung ngunduh wohing
pakarti”

Warga 1 : Ohhh begitu (padahal sebenarnya tidak tahu)

Warga 2 : Begini mbah, kita masih bisa tanam padi tanpa harus berpedoman sama Pranotomongso
mbah.

Warga 1 : Terus bagaimana caranya? Itu kan petunjuk kita dalam menyiasati musim tanam atau
musim panen kita.

Warga 2 : Begini mbah yang dimaksut pak lurah kita bisa gunakan mantra dari desa lain yang
sekarang sudah banyak dipasaran, untuk mempercepat panen kita mbah.

Warga 1 : Mempercepat masa panen padi, bukankah itu tidak masuk akal? Terus dampak dari
mantra yang bertentangan dengan kepercayaan kita itu apa bisa menjamin?
Mbah Mili: Di jaman yang serba modern ini, kita dituntut untuk beradaptasi dengan teknologi dan
perkembangan zaman.

Warga 2 : Benar sekali. perkembangan zaman yang semakin pesat memaksa kita untuk
bertransformasi ke era modern mbah.

Mbah Mili: Wayahe sudah tiba. Yang bisa dipercepat maka akan musnah dengan cepat pula.

Warga 2 : Saran dari pak lurah untuk mengatasi hal semacam ini kita juga harus nempur dari desa
tetangga mbah.

Warga 1 : Lho, bukannya desa kita ini mampu menghasilkan beras sendiri, kenapa harus nempur
dari desa tetangga?

Mbah Mili: Kalau sudah begini Keadaan masyarakat yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem
kerto tur raharjo hanyalah sebuah utopia.

Warga 2 : Sumber air juga susah mbah, ditambah aliran sungai tidak bisa lagi mengairi sawah-
sawah lantaran sudah tercampur bahan kimia. Banjir juga menggenangi area sawah dan
pemukiman lantaran curah hujan tinggi.

Warga 1 : Karena perusahaan industri yang selalu membuang limbahnya ke sungai mbah.
Kesadaran warga dan dukungan dari pamong desa juga kurang efektif mbah.

Mbah mili: Ya sudah jangan saling menyalahkan, ingat sedulur-sedulurku Gusti paring dalan
kanggo uwong sing gelem ndalan

Warga 1 : Lalu apa solusi yang tepat untuk menyiasati hal ini mbah?

Warga 2 : Jangan sampai kita petani kehilangan petaninya. Macam generasi muda sekarang yang
selalu mengidolakan kebudayaan luar dan menenggelamkan budayanya sendiri.
Mbah Mili: Iya, (dengan nada santai) di musim yang belum jelas ini mari kita tanam sawah-ladang
kita dengan sayuran. Itu yang bisa kita lakukan sekarang. Kalau memang harus
berpedoman dengan mantra pak lurah ya kita jalankan saja.

Warga 1 : Saya setuju dengan mbah Mili, hanya itu yang bisa kita lakukan.

Warga 2 : Bukankah ladang di sisi barat desa kita ini tengah di landa kebakaran mbah, apakah
bisa ditanam.

Mbah Mili: Kalau seperti itu kita bisa tanam di sawah-ladang yang dibagian timur desa kita ini saja.

Warga 2 : Di bagian timur sawah-ladang kita juga sudah di jadikan pertambangan mbah. Semua
tanah di bor dan dikeruk hasil buminya.

Mbah Mili: Kalau begitu jalan terakhir kita tanam di bagian tengah desa kita ini atau di bagian
utara sama selatan.

Warga 2 : Di bagian tengah juga demikian mbah, di bagian utara sama selatan semua sawah-
ladang diratakan dengan tanah diganti dengan bangunan-bangunan perkantoran.

Warga 1 : Habis dong lahan sawah-ladang yang kita punya.

Mbah Mili: Belum habis, pekarangan yang berada di belakang rumah kita masih ada lahan kosong.

Jadi kaya boleh, tetapi harus dermawan

Jadi miskin boleh, tetapi harus neriman

Jadi raja boleh, tetapi harus yang merakyat

Jadi rakyat boleh, tetapi jangan khianat


(Karakter mbah mili yang bijaksana ini yang harus di eksplore. Bahwa masih ada orangtua2 bijak.
Gaya bahasa yang baik juga perlu dipikirkan biar drama anda ketika di baja sangat
berkelas. Bukan naskah murahan)

Warga 1 : Apa bisa kita tanam dengan lahan sempit seperti itu.

Mbah Mili: Tidak apa-apa, walaupun sempit yang penting kita masih bisa meneruskan profesi
petani kita. Ayo kita gotong royong untuk desa ini. Desa tercinta kita.

Warga 1, 2 : iya mbah (serempak)

Warga 1 : Mbah, denger-denger banyak warga dari desa kita ini menjadi korban rekrutmen
pasukan Pemusnah Waktu, apa bener mbah?

Mbah Mili : Iya benar, itu mereka yang tergiur dengan hal-hal yang menguntungkan mereka
sendiri. Makanya kita harus bekerja sama dalam menanggulangi hal semacam itu, orang-
orang semacam itu akan merusak kesatuan Republik desa ini.

Warga 2 : Mereka menamakan dirinya benar, dan kita hanya bisa mempersalahkan mereka.

Warga 1 : Bahasa kekinianya Terorisme ya mbah ya?

Warga 2 : Iya itu namnya. Kenapa? Kamu hendak gabung dengan mereka.

Warga 1 : Ogah, nanti saya di musuhi orang-orang di seluruh jagad raya ini.

Warga 2 : Maka dari itu kita harus menjaga dan mencegah hal itu, seperti yang mbah Mili
bicarakan tadi.

Warga 1 : Gaji teroris per bulan berapa ya?

Warga 2 : Yang jelas lebih besar dari gaji anggota dewan pamong desa kita.
Mbah Mili: Sudah jangan di perdebatkan lagi.

Lampu semakin meredup perlahan dan akhirnya mati. Panggung kembali sunyi.

(KAITKAN DENGAN KONTEKS, ISU2 KEINDONESIAN YANG UP TO DATE. PENULIS NASKAH


DRAMA HARUS BISA SEPERTI DUKUN, FILINGNYA TAJEM. MAMPU MEMPREDIKSI ISU2 YANG
AKAN MASIH BISA BERTAHAN 2, 3.4 BULAN KE DEPAN BAHKAN BERPULUH TAHUN KEDEPAN.
INDONESIAN ODOL MENANG KARENA MAMPU MEMBAWA ISU2 UP TO DATE. INDONESIA
DALAM GERBONG MENANG KARENA FILING TERHADAP KASUS TINGGI. )

Adegan VI

Terlihat para sarjana penguasa sedang beradu mantra untuk mengokohkan ruang kegelapan
yang mereka bangun demi kepentingan masing-masing. Di tengah panggung terdapat sebuah
meja bundar tanpa sudut. Di atas meja terlihat lampu bohlam menggelantung menyala redup
menyorot meja. Di tengah meja terdapat tumpukan berkas-berkas yang sudah lusuh dan usang.
Di sekeliling meja nampak beberapa orang duduk di atas kursi roda sambil memandang ke arah
tumpukan berkas tersebut. Lampu tengah (Center light) menyala mengarah ke atas panggung.
Salah satu dari mereka memulai pembicaraan.

Jegur : Salam sejahtera untuk yang disejahterakan, salam bagi kita semua yang selalu sehat di
tengah kesenjangan perekonomian Desa. Kepada pemimpin Desa yang budiman. Maksud
dari saya mengundang tuan-tuan di atas panggung sederhana ini karena berbagai hal.
Sebelumnya perkenalkan saya Jegur dari Desa Api. Kemudian silahkan anda tuan untuk
memperkenalkan diri kepada penonton. (sambil menunjuk orang di sebelahnya)

(DULU SUDAH PERNAH SAYA KOMENTARI, TIDAK USAH MENYAPA PENONTON, DRMA INI AKAN
KEHILANGAN ANGKER DAN WIBAWA YANG SUDH DI BANGUN DARI AWAL. EH KOK TETEP
SAJA YA).
Wuss : Haik, arigato tuan Jegur atas kesempatannya no, salam sejahtera untuk yang di
sejahterakan no, saya tidak ragu lagi dengan apa yang saya perjuangkan ini no, saya di
sini membawa misi perdamaian orang kaya no. perkenalkan nama saya Wuss dari Desa
Angin no.

Jeder : Terimakasih semua, salam sejahtera untuk yang di sejahterakan, boleh dikatakan ini
semacam ancaman atau sebagai keuntungan buat kita. Sebelumnya perkenalkan nama
saya Jeder dari Desa Petir. Saya di sini membawa misi kejutan.

Jegur : Bagus-bagus, beri tepuk tangan kepada mereka ya. Sekarang lanjut anda tuan.

Debug : Terimakasih aaa tuan Jegur, salam sejahtera aaa untuk yang di sejahterakan aaa.
Sekarang bukan lagi lewat kekuatan melainkan lewat akal pikiran aaa. Baiklah
perkenalkan aaa nama Oe Debug dari Desa Tanah aaa, Oe disini membawa misi
kebahagiaan semu aaa.

Jegur : Bravo, luar biasa. Kita beri tepuk tangan sekali lagi kepada tuan-tuan yang sedang
memperjuangkan desanya masing-masing ini. (maksudnya buat satire tetapi malah jadi
garing karena menyapa penonton)

Wuss : Lantas tunggu apa lagi no, mari kita mulai saja ritual ini tuan-tuan no.

Jegur : Tunggu dulu. Apa tidak seharusnya kita menunggu tuan Bumi datang kesini.

Debug : Kebiasaan yang terus membudaya aaa. Lamban dan lelet aaa.

Debug : Sembari menunggu tuan Bumi aaa apa yang hendak kita lakukan? Oe tidak bisa hanya
memandang benda tersebut saja aaa.

Wuss : Haik, kita tunggu setengah putaran lagi saja no. Mungkin tuan Bumi sedang ada masalah
di tempat asalnya no.
Jegur : Baiklah, sembari menunggu tuan Bumi kita persiapkan saja misi kita supaya saat ritual
dimulai kita bisa langsung tanggap.

Jeder : Misi yang saya bawa tentang kejutan. Disini saya akan memberikan kejutan-kejutan yang
saya bawa dari Desa saya untuk Desa tuan-tuan sekalian. Kejutan dari dunia hiburan, Kita
juga bisa bertukar kejutan itu bukan?

Debug : Oe disini membawa misi kebahagiaan semu aaa, dimana nanti setiap Desa tuan-tuan
akan Oe bagi kebahagiaan ini aaa melalui sektor perdagangan aaa. Bukankah produk yang
paling terkenal itu dari Desa Oe aaa. Cintailah produk-produk yang bermutu aaa. Made in
China.

Wuss : Haik, kalau saya, membawa misi perdamaian orang kaya no. Dimana nanti yang
mendapat keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran hanya dari golongan orang-orang
kaya no. Kalau yang tidak punya modal banyak mana bisa sejahtera no.

Jegur : Luar biasa misi anda tuan-tuan, saya juga tidak kalah dengan tuan-tuan, saya disini
membawa misi tentang penguasaan di sektor timur dari Desa Air dimana tuan Bumi
tinggal, semua aset pertambangan emas dan batu bara hendak saya beli berapapun
jumlah yang mereka minta saya kasih.

Jeder : Kita tau kalau di Desa Air banyak sekali muda-mudi yang gemar meniru budaya dari Desa
saya, hal tersebut adalah peluang bisnis yang menjajikan bukan.

Debug : Di Desa Oe barang bekas banyak aaa, seperti alat transportasi kereta cepat, nanti Oe jual
saja sama tuan Bumi dengan harga tinggi pasti Dia mau aaa.

Jegur : Tenang saja Tuan-tuan, Desa Air merupakan Desa yang melimpah akan sumber dayanya,
apapun yang kita butuhkan tinggal datang saja kesana. Semua bakal aman jika kita
mengenal pamong Desanya yang gila harta itu.
Selang beberapa saat masuklah seseorang dengan kursi rodanya yang mendekat ke arah mereka
berkumpul. Dengan melantunkan tembang modern berjudul pesawat tempur (Iwan Fals).

Jegur : Panjang umur. Bravo, baru saja anda di bincangkan tuan. Selamat datang tuan Bumi.

Jeder : Mari silahkan tidak usah sungkan.

Bumi: Maaf tuan-tuan atas keterlambatan saya. Banyak kendala yang saya lalui dalam perjalanan
ke sini tuan. Selain itu juga banyak pekerjaan yang belum selesai saya kerjakan. Demi
kemajuan Desa jadi saya harus selalu kerja, kerja dan kerja. Untuk kerja nyata. Karena saya
memimpikan desa saya dapat maju dan berkembang.

Debug : Sudah paham kami tuan aaa. Tak usah kau perjelas lagi sekiranya kami juga maklum
akan hal itu aaa.

Bumi: Terimakasih sudah memaklumi budaya saya tuan-tuan. Budaya bermimpi.

Jeder : Baiklah tuan-tuan, tanpa berfikir panjang lagi mari kita mulai ritualnya.

Debug : Apakah tuan Bumi sudah siap aaa dengan mantranya tuan?

Bumi: Apa sebaiknya tidak kita bicarakan lebih dalam lagi tuan-tuan?

Jegur : Apa yang hendak kau pertimbangkan lagi tuan Bumi? Dari empat putaran yang lalu kami
di sini menunggu untuk bisa saling tukar mantra dengan misi yang kita bawa.

Wuss : Apakah anda ingin mempermainkan kami no tuan Bumi no?

Bumi: Bukan maksut saya seperti itu, segala sesuatu bukannya harus melalui kesepakatan terlebih
dahulu. Karena ini juga merupakan mimpi saya untuk desa tercinta.

Jeder : Jadi maksut anda, anda tidak setuju untuk bertukar misi tuan?

Jegur : Apakah anda menghendaki perseteruan di antara kita terjadi.


Bumi: Bukan semacam itu.

Wuss : Sabar tuan-tuan no. Kita beri kesempatan tuan Bumi untuk menjelaskan hal ini no.

Debug : Bukan begitu tuan Bumi aaa, semua tergantung pada anda aaa, jika anda mau bertukar
misi kita akan baik-baik saja aaa.

Bumi: Ini tidak ada dalam perjanjian kita, apakah tuan-tuan ingin membodohi saya yang bodoh ini.

Wuss: Tenangkan dirimu tuan Bumi, buat apa kita berseteru dengan masalah ini no, kita kan bisa
membicarakannya baik-baik no.

Jegur : Baiklah kalau tuan Bumi yang minta, silahkan tuan Bumi apa yang hendak engkau
sampaikan kepada kami.

Bumi: Saya bersedia merapal mantra dan beradu misi tapi dengan beberapa syarat kepada tuan-
tuan yang ada disini.

Jeder : Tidak masalah tuan Bumi, katakan saja apa yang hendak jadi permintaanmu tuan.

Bumi: Di masa kepemimpinan saya ini, saya memimpikan desa yang maju seperti desa-desa yang
tuan-tuan pimpin. Saya akan melakukan apa saja asal desa saya bisa maju dan
berkembang sesuai dengan mimpi saya.

Jegur : Oohhh tentu, itu sangat mudah sekali tuan bumi. Apa yang hendak kau inginkan dari
kami. Dengan senang hati kami akan kasih. Demi kelancaran kita semua tentu hal tersebut
harus ada imbalanya bukan. Semacam simbiosis mutualisme.

Bumi: Iya saya sangat setuju akan hal Itu tuan-tuan. Apapun akan saya berikan, akan saya sanggupi
asal desa yang saya impikan bisa maju. Berapa yang Tuan-tuan minta saya penuhi.

Jegur : Bukan rupiah yang kami minta tuan. Kami hendak memanfaatkan sumber daya yang ada
pada desa anda tuan.
Bumi: Memanfaatkan? Memanfaatkan yang bagaimana tuan?

Jegur : Tenang tuan Bumi, tenang. Kami tidak akan meminta apa yang ada di desa anda, kami
juga tidak meminta wilayah di desa anda. Biarakan semua itu pada tempatnya karena kami
hanya mengolahnya. Bukankah itu tidak mengurangi wilayah anda tuan.

Bumi: Oohh begitu rupanya. Kalau semacam itu saya setuju. Berarti tuan-tuan bersedia membantu
agar desa saya menjadi lebih maju.

Jegur, Jeder, Debug, Wuss : iya kami setuju. (tertawa bersamaan)

(semua yang ada dipertemuan tertawa lantang). Dibarengi Lampu mati, suara tertawa masih
terdengar dari kegelapan panggung.

Adegan VII

Terlihat Mendak dengan mata tertutup meronta-ronta lantaran kedua tangan dan kakinya
terikat dan di pasung. Korban dari degradasi moral dan dekadensi kepribadian zaman yang
menggerogoti kehidupan masa kecilnya (NGOMONG OPO TO KI PENULISE, NDAK TEKNIS
TERLALU KONSEPTIS, KALAU DAH WILAYAH ADEGAN ITU WILAYAH TEKNIS). Teriakan-teriakan
ketakutan terdengar dari mulut bocah tersebut. Beberapa Wedus masuk untuk membunuh
moralnya. Dengan setting panggung tanpa dekorasi apapun, lampu depan menyala (Front light).

Mendak : Saya tidak bersalah. Jangan ganggu saya. Saya tidak sudi ikut dengan kalian. Saya mohon
pergi, (sambil terus menangis dan meronta) .

Biarkan saya tetap di jalan yang saya pilih. Biarkan saya tumbuh dengan jalan yang saya
tempuh. Saya ingin menunjukan kepada jagad raya bahwa saya ada, saya tidak buta, saya
tidak tuli,saya tidak bisu. Barangkali kaki dan tangan saya terikat tapi saya punya tekad
yang kuat dalam jiwa yang tidak akan pernah sirna.
Bandot : Sudahlah bocah, lebih baik kau ikuti saja reformasi ini. Dari pada kau selalu terkurung
dalam tempurung. Apakah dengan keyakinanmu itu kau akan bebas dari reformasi ini.
Reformasi untuk menuju yang lebih baik.

Mendak : Saya mohon pergilah, berhenti melucuti moral saya, menjauhlah dari pikiran saya,
menjauhlah dari jati diri yang saya bangun. tolooong!! toloooong!!

Bandot : Teriaklah yang keras, karena teriakanmu tidak akan ada yang bisa mendengar. Akui saja
jika zamanmu sudah berakhir, karena semua sudah bermetamorfosis ke sesuatu yang
baru

Mendak : Apa yang sebenarnya kau inginkan?

Bandot : Banyak yang saya inginkan, banyak. Saya tidak segan-segan melumpuhkan semua sendi
dalam tubuhmu itu. Saya akan melucuti budaya dan kepercayaanmu. Bodohnya kau ini.
Hahaha

Teriakan Mendak semakin menjadi-jadi. Dia berusaha melepaskan diri dari pasungan tapi tetap
saja tubuk kecilnya tak mampu menerobos ke dalam cahaya terang dan semakin masuk ke
dalam kegelapan yang mengurungnya.

(ADEGAN INI SAMA SEKALI TIDAK PRAGMATIS, SINETRON INDOSIAR BANGET. PENYIKSAAN
SECARA PSIKIS JAUH LEBIH BERASA DARI ADEGAN FISIK. KASUSNYA APA JUGA NDAK
NYAMBUNG JEK. SALAHNYA DIMANA? SALAHNYA LEBIH DOMINAN PENYERANGAN FISIK TETAPI
TIDAK ADA PENYERANGAN PSIKOLOGIS.)

ENDING ITU ADALAH PENENTU. KALAU MANUSIA NASIBNYA SUULKHOTIMAH ATAU KHUSNUL
KHOTIMAH TERGANTUNG ENDING. NASKAH YO PODO, BERKESAN ORANE TERGANTUNG
ENDING. NEK MEH DIPRESENTASI DAYA TARIK AWALAN KUI 40 %, DAYA KESAN ENDING KUI 60
%. ADEGAN AKHIR JAUH LEBIH JELEK DARI SEMUA ADEGAN.
Juara III Peksimida Jateng 2012

INDONESIAN ODOL

Anik Pemetik Bintang

Tokoh dan penokohan:

1. Lidah

Seorang perempuan ramah dengan gaya sederhana yang setiap derap langkah anggunnya
membuat orang kagum akan pesonanya. Wajahnya yang cantik seakan memancarkan
kepribadiannya yang bersahaja, dengan sifatnya yang sabar dan apa adanya, namun tegas
dan lugas tutur katanya.

2. Jigong

Pria bertubuh tambun dengan wajah bulat, doyan makan dan suara ‘ngebass’nya . Dia
suka menyembunyikan kesalahannya tetapi selalu membuka kesalahan orang lain.

3. Gingsul

Wanita cantik nan seksi, tetapi matrealistis, sedikit keterbelakangan mental, selalu
tersenyum dalam kondisi dan keadaan apapun.

4. Agnes Maunikah

Sosok intertainer sejati yang multitelent, berparas jelita namun agresif dengan semua
lelaki.

5. Nanang Pamansyah

Lelaki tampan yang berwibawa dengan dialek Jawa Timur, membuat para wanita selalu
nyaman bersamanya karena logatnya yang berbeda dengan artis kebanyakan.

6. Ahmad Phoni

Seorang duda nyentrik, genit dengan rambut botak, tetapi bagian depan berponi lurus
yang membuat wajahnya terlihat imut.

7. VJ Kuda Nil
Seorang lelaki yang selalu percaya diri akan penampilannya yang sebenarnya pas-pasan,
namun apapun yang dia katakan, harus dianggap benar oleh orang lain, padahal yang
dikatakan biasa saja.

8. Para Penonton

Orang yang menonton acara INDONESIAN ODOL.

9. Warta

Salah seorang yang menjadi juri Vodlock pada acara INDONESIAN ODOL. Merupakan juri
yang suka melebih-lebihkan ucapannya.

10. FPI (Fron Pencari idola)

Adalah musisi yang suka mengubah syair dan mengaransemen lagu menjadi lagu-lagu
bernilai kebenaran dan kebaikan, walaupun sedikit dipaksakan dan menyindir.
Penampilannya sangat nyentrik memakai jubah dan surban.

11. Cemash

Adalah Boy Band beranggotakan tujuh orang ganteng yang gokil. Tutur katanya yang
menusuk dan sombong selalu membuat hati dan gigi juri serta penonton cenat-cenut.
Namun demikian grup Boy Band yang khas dengan baju biru bergambar bintang ini selalu
cemas, gelisah, dan galau.

PROLOG

Fenomena bintang, nampaknya sudah menjadi umum. Siapa saja pasti ingin jadi
bintang. Tidak peduli ia tukang sapu, tukang tipu, tukang-tukang yang lainnya atau bahkan
tukang nilap uang rakyat. Melihat fenomena itu, salah satu stasiun televisi swasta alias yang
tidak menjadi jawatan negara bernama LCTI (Lihat Cermati Teliti Indonesia) mencoba
menangkap fenomena sosial itu menjadi sebuah suguhan menarik trekmas dalam program
siarannya INDONESIAN ODOL. Negeri ini butuh idola yang rajin sikat gigi, agar mulut segar dan
tidak terjangkit kuman karena negeri ini butuh idola yang mampu menggali dan mengenali
potensi negaranya untuk dkemudian meramunya menjadi sebuah jamuan yang menyegarkan.
Dalam watu sekejab, masyarakat berantusias untuk mengikuti ajang bergengsi INDONESIAN
ODOL ini. Karena mereka ingin mengunji peruntungan, menjajal kelihaian mereka dan yang
jelas, mereka ingin narsis di televisi. Dengan persaingan yang ketat, beribu-ribu masyarakat
yang mendaftar, diseleksi oleh juri dan yang lolos hanya tiga orang yang mewakili daerah
masing-masing, kepentingan masing-masing, keluarga masing-masing, kelompok masing-
masing, bahkan partai masing-masing. Tibalah pada babak penentuan, yaitu babak final, 20 Mei
2012, pukul 17.00 WIB, saatnya acara INDONESIAN ODOL dimulai.

BABAK 1

ADEGAN 1

Kegaduhan terjadi di atas panggung, diselingi hentakan musik lagu kebangsaan


INDONESIAN ODOL. Sorak-sorai para pendukung masing-masing kontestan pun tak ingin
ketinggalan, mewarnai kegaduhan dan semakin meriah pula suasana panggung. Lampu turut
mewarnai panggung dengan permainan matanya yang berkedip-kedipsemakin memeriahkan
suasana.

Tiba-tiba lampu frezze, musik berubah menjadi lagu “Alamat Palsu’ yang di aransemen
ulang dan dinyanyikan ulang oleh grup paduan suara FPI (Fron Pencari Idola):

FPI : Alamat Palsu

Kemana-kemana, kemana?

ku harus mencari kemana?

dimana-dimana, dimana?

ku harus mencari dimana?

Seorang Idola.. yang tak suka berdusta.. dan berguna, bagi Negara

Kesana-kemari mencari figur Idola

Tetapi negeriku selalu menderita

Sayang…para koruptor merajalela

Odolnya..odolnya dimana? Kuharus mencari odolnya dimana?

Agar negeriku tak bau mulutnya..

bau mulutnya sampai manca negara

(Bernyanyi khas gaya Ayu Ting-Ting yang berjudul “Alamat Palsu”) lagu belum selesai tiba-tiba
di hentikan oleh Host, yakni VJ Kuda Nil. Lampu fade in.
VJ Kuda Nil : Stop…stop.. berhenti, bahasa inggrisnya mandeg! Berhenti! Kok jadi lagu
dangdut sih…lagunya, “nylekit dan menyinggung”. Aduh jangan lagu yang
menyindir dong, nanti kalau wakil rakyat negeri sebelah marah, kemudian BBM
dinaikkan bagaimana? Hmmm…..atut…ceyemmmm! (dengan ekspresi gigit jari
seperti anak kecil).

FPI : Lo… setiap lagu itukan harus diarahkan pada kebenaran. Harus bernilai dakwah!
Telinga kita, mata kita, hati kita harus dipaksa untuk mendengar hal-hal baik!
Oke deh VJ Kuda Nil lagunya kami ganti. Jamaah….Oh jamaah… Alhamdulillah
(menirukan gaya khas Ustad Maulana yang melambai).

Sorot lampu yang tadinya diam tanpa berkedip, mulai berkedip-kedip dengan meriah. Sorot
lampu begerak dengan lincah. Lagu berjudul Ekspresi (Musik khas Indonesian Odol)
menghentak. Menghidupkan suasana. Pelan-pelan musik lirih, lampu berkedip melamban,
musik dan lampu berhenti.

VJ Kuda Nil : Selamat malam masyarakat Waktu Indonesia Barat! Selamat tidur masyarakat
Waktu Indonesia Timur! Selamat pagi masyarakat Indonesia Tengah, selamat ngapain
aja buat seluruh penghuni jagad raya dan alam baka. Selamat malam Pak Hakim dan Pak
Jaksa, yang sedang pusing mau nerima sogokan dari para koruptor atau mau jujur!
Selamat malam para wakil rakyat negeri tetangga yang sedang membengkakan anggaran
negara untuk membangun gedung DPR! Apa kabarnya seluruh masyarakat Indonesia?
Setelah lolos seleksi yang ketat, akhirnya kita dapat menyaksikan penampilan mereka
malam ini.

Para penonton : Hu.........hu...........(berteriak)

Amad Phoni : eh, Nil... kamu itu kebanyakan gaya, pakai baju kok compang-camping, rok panjang
seperti itu, nggak enak dilihat. Lihat aku ini...keren, jas nya ”Haris Pamer” merek terkenal
selalu jadi trendseter. Dan kalo nyapa itu satu saja, ”selamat malam semuanya” tidak
perlu disebutkan satu persatu, repot (sambil membetulkan poninya).

VJ Kuda Nil : lho! Sebagai publik figur dan tokoh masyarakat, sebagai ”bacotis alias cangkemis” alias
pemimpin di acari ini saya ini harus adil. Negeri ini butuh pemimpin yang adil. Punya
kebiasaan baik pakai odol, kaya saya, biar bau mulutnya nggak kemana-mana. Kasiahan
rakyatnya pada mau pingsan. Kalau saya sapa dan saya berikan ucapan selamat (gaya Gus
Dur), semalat (gaya Megawati) dan selamat untuk semua masyarakat (gaya Soeharto),
mereka pasti senang, walaupun hanya ucapan selamat, apalagi kalau saya beri uang,
ngantri mereka. Dan Amad Phoni... jangan sok kamu, baju saya ini lima juta, saya beli dari
Iwan Gunawan.
Nanang. P : heh! Wes to.. ojo ngono ki, nanti nek ada arek-arek cilik lihat, ngisin-ngisii tenan lho yooo...
(dengan dialek Jawa Baratnya)

Agnes. M : buruan Nil, gue udah nggak sabar pengen jalan-jalan nyari gendengan buat dugem ntar
malem, gue mau nyari cowok, gue udah pengen nikah bengetttttt. (Agnes Maunikah
berbicara dengan bahasa alay nya)

VJ Kuda Nil : langsung saja, kita sambut dengan tepuk tangan yang meriah... inilah dia... jagoan kalian
dari Indonesia bagian Timur... Gingsul....... (diiringi musik ’ngebit’, Gingsul masuk
panggung sambil membetulkan rok nya yang minimalis dan selalu tersenyum)

Gingsul : (menyanyikan lagu ”Panggung Sandiwara” yang di populerkan Achmad Albar yang telah
sedikit digubah syairnya oleh FPI (Fron Pencari Idola)

Panggung Sandiwara

Negeriku ini, panggung sandiwara

Ceritanya mudah berubah

Kisah mahabrata sampai tragedi wisma atlit

Setiap wakil rakyat punya satu peranan

Yang harus dipermainkan

Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura

Peran korupsi bikin rakyat mati terdesak

Perang yang jujur bikin rakyat mabuk kepayang

Negeriku ini, penuh peranan

Negeriku ini, bagaikan jembatan kehancuran

Mengapa pemimpinku, bersandiwara

Mengapa rakyatku, korban sandiwara

Huwo....hiye...............

Lagu seleai dinyanyikan seluruh penonton bersorak sorai. Lampu fokus dan hanya tertuju pada Gingsul,
dewan juri dan VJ Kuda Nil.
Nanang. P : Stop!!! Stop!!! Stop!!! (tetapi Gingsul tetap bernyanyi tidak memperdulikan Nanang
Pamansyah) Stop!!!!!!! (nada bicaranya semakin meninggi, tetapi Gingsul tetap
melanjutkan menyanyinya bahkan semakin asyik dengan memainkan microponenya)

Nanang Pamansyah memberikan setumpuk uang untuk Gingsul, Nanang Pamansyah menuju kepanggung
sambil memberikan uang itu untuk Gingsul, seketika itu Gingsul diam dan menerima uang dari Nanang
Pamansyah sambil senyum-senyum.

Nanang. P : nah, baru mau berhenti nyanyi kamu ya,,, aduh!!! Kalau lihat uang dulu baru bisa diajak
ngomong. Gimana ini??? Kok finalis INDONESIAN ODOL seperti ini??? memberikan yang
terbaik untuk rakyat tapi karena imbalan yang lebih banyak dari pada apa yang telah dia
berikan untuk rakyat. Kamu ini nyanyi nya fals, tidak ada ’kriuk-kriuknya’. Aduh,
masyarakat kita ini tidak selektif dalam memilih idola, masa orang kayak gini dipilih jadi
finalis, udah mata duitan, pakaiannya tidak mencerminkan budaya kesopanan, suaranya
pas-pasan. Aduh, gimana ini? Udah males aku, silahkan Amad Phoni kalok mau nambahi
(Nanang berbicara dengan nada menggebu-gebu karena kekecewaannya pada Gingsul
dengan logat Jawa Baratnya).

Gingsul tetap pada gaya andalannya, tersenyum walaupun dia dikomentari pedas oleh Nanang
Pamansyah, dia cuek saja karena sudah senang mendapat banyak uang dari Nanang Pamansyah.

Amad Phoni : wow.... (sambil tercengang dan memainkan poninya)

Gingsul : kenapa mas Phoni? Kok ’wow’?

Ahmad phoni : Gingsul, malam ini kamu sungguh cantik sekali. Emm... kamu tahu tidak kenapa malam ini
kamu begitu cantik bak Putri Indonesia ? (Sambil menelan ludah)

Gingsul : hmmm.. nggak tahu mas, kenapa ya mas....

Ahmad Phoni : karena kamu terlahir sebagai Putri di hatiku!

Agnes M. : Huweekkkkkkkkkkk......mau nikah, upsss...mau muntah maksudnya!

Nanang. P : Amad Phoni terpesona melihatmu menyanyi dengan memakai rok minimu itu (sambil
tersenyum menyindir).

Amad Phoni : akan lebih terpesona kalau lihat isi rok Gingsul. Kamu manis sekali Gingsul, makannya
apa? Boleh minta nomor hp nya? Tapi kamu tidak rajin gosok gigi ya? Kamu suka senyum
tapi ada cabenya tu, kelihatan. Begini manis,,, (sambil merayu Gingsul dengan tatapan
menggoda) Saat kamu menyampaikan sebuah pesan pada audiens, kemudian
menyampaikan tujuan kamu berdiri disitu, kamu harus bisa bertanggungjawab dengan
apa kamu sampaikan, jangan sampai kamu ingkar dengan ucapanmu sendiri. paham?

Gingsul : masalah nomor HP, maaf.. saya tidak punya BB. Ia mas, saya paham, berikutnya saya
akan lebih hati-hati dalam bertutur kata (sambil cengar-cengir, sejak masuk panggung
senyam-senyum terus untuk memamerkan gigi gingsulnya supaya terlihat).

Angnes. M : nyanyinya udah dari hati banget, tapi ’pice control’nya kurang, kalo nyanyi tu
artikulasinya yang jelas supaya penonton tahu kamu bicara apa, jangan senyam-senyum!
Kaya gue dong, jadi yang lihat itu tau lagu yang lo nyanyiin, next harus lebih bagus ya?
Ok?

VJ Kuda Nil : ya.. itulah penampilan dari Gingsul. Ngomong-ngomong, Gingsul sudah tahu belum kalau
di acara INDONESIAN ODOL tidak boleh memakai rok mini, karena ada Amad Phoni yang
suka berimajinasi, dia lihat aku yang pakai rok panjang saja ngiler apalagi lihat kamu pakai
minimalis. Negera ini adalah negera yang sopan, tidak seperti negeri tetangga yang artis-
artisnya pada telanjang dada dan gemar memperlihatkan paha.

Amad Phoni : tapi aku suka... hahahha (Amad Phoni tertawa terbahak-bahak dengan membetulkan
poninya)

VJ Kuda Nil : kalau memberikan komentar itu yang bagus, yang membangun, pedas tidak apa-apa tapi
bisa merubah ke arah yang lebih baik, jangan mentang-mentang yang dikomentari cantik,
seksi, terus komentarnya jadi bagus-bagus. Ok, setelah ini ada Jigong yang akan unjuk gigi,
tapi sebelum Jigong bernyanyi, kita saksikan pesan-pesan berikut ini.

ADEGAN 2

Suasana panggung ramai dengan musik Ost. INDONESIAN ODOL, penonton sibuk mainan
HP, mengirim SMS voting, mendukung masing-masing bintang favoritnya. Lampu menari dan
berkedip-kedip mengikuti musik yang menghentak.

VJ Kuda Nil : pe.. pe.. pe.. mi.. mi.. mir.. sa.. sa.. sa.. pemirsa... (menirukan gaya Tukul Arwana) kembali
lagi di acara kesayangan kita, INDONESIAN ODOL. Penampilan berikutnya dari Jigong....
(diiringi tepuk tangan pendukung Gingsul).

Jigong menyanyikan lagu ”Cari Jodoh” milik grup band Wali yang telah digubah syair dan diaransemen
ulang oleh FPI (Fron Pencari Idola).
Lampu muali bekedip. Musik yang harmonis dan menghentak. Para juri ikut manggut-manggut.

Jigong : Cari Jodoh

Timur melarat, selatan jadi sengasara

Tak juga aku temukan, tak juga aku dapatkan

....

Ibu-ibu, bapak-bapak pejabat tolong rakyatku

Kasihani aku, karena cuma negeriku

Yang tak maju-maju

Pengumuman-pengumun siapa yang memimpin negeriku

Kasihani rakyatmu, karena rakyatmu

yang TKI Cuma jadi babu..

O...O...O..yang tak maju-maju

O...O..O..Cuma jadi babu

Musik berhenti. Lampu tenang, fokus menyorot ke Jigong, Juri, dan VJ kudanil. Penonton bersorak sorai. FPI
mengucapkan syukur.

VJ Kuda Nil : langsung saja, komentar dari Mas Nanang Pamansyah

Nanang. P : kalok nyanyi itu mbok ngaca dulu, sampean nyanyi kaya gitu membicarakan aib orang,
tapi anda sendiri apa sudah baik?

Jigong : lhoh, saya ini orang penting di negeri ini, disegani banyak orang,, anda ini baru jadi juri saja
sudah sombong, saya ini ikut acara ini hanya iseng saja, untuk menyalurkan bakat
menyanyi saya, kalah menang tidak masalah untuk saya. Saya ini tidak mungkin
melakukan kesalahan, karena saya sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah,
saya ini orang pandai, pendidikan saya sampai s3 di Belanda. Kalau saya bersalah saya
bersedia dihukum sesuai dengan apa yang telah saya lakukan.

Agnes. M : Jigong, kamu mau nggak sama aku? Aku lagi nyari suami ni...
Amad Phoni : Agnes Maunikah itu nggak pandang bulu, semua laki-laki dia godain, nggak lihat apa itu
Jigong nggak pernah silat gigi, uangnya banyak tapi bau nya minta ampun.

Agnes. M : itu nggak jadi masalah buat gue, masalah buat lo?? yang penting kantong gue penuh.
Kartu kredit ada yang bayar, ATM ada yang isi terus, nggak pernah limit deh pokoknya.
(Agnes Maunikah merayu Jigong dengan bahasa ’alay’nya.)

Nanang. P : wes ta... jangan ribut didepan umum, melanggar kode etik kesopanan. Kita bahas
penampilan Jigong saja. Kalok nyanyi itu ”ojo mblenjani” artine jangan ingkar, semisal
kalok aku nyanyi ada lirik ”tidak kenal koruspi” ya kamu harus menjauhi korupsi, jangan
malah mencari tahu caranya dan menghimpun anggota untuk bersekongkol
melancarkan aksi korupsinya. Sudah, Agnes Maunikah kayaknya udah ndak sabar mau
ngomong.

Agnes. M : tadi pada saat ’over tun’ kurang bagus, terus gini, pada lirik ” Pengumuman-pengumun
siapa yang memimpin negeriku Kasihani rakyatmu, karena rakyatmu yang TKI Cuma jadi
babu.” itu kamu disitu kurang banget penekanannya. Seharusnya diberi penekanan agar
para pempimpin negara sebelah itu bisa sadar akan nasib para TKI yang Cuma jadi babu.
Cuma-Jadi-Babu! (dengan gaya bicara terpenggal dan menekan) gitu. Ok?

Amad Phoni : kalau saya tidak setuju dengan pendapat dua juri ini, saya suka penampilan kamu malam
ini, kedepannya ditingkatkan lagi ya Jigong, OK?

Nanang. P : nggak bisa gitu Mad,,, kita sebagai juri harus jujur apa adanya, kalau kualitasnya ndak
bagus tapi kita puji, nanti terbang dia... jadi lupa daratan. Kalau saya lihat, teknik
menyanyimu itu sudah bagus, tapi kurang jujur, untuk apa pingin terbang tapi tidak ada
langkah untuk menuju ke langit. Percuma penapilanmu seksi, wajahmu cantik, tapi
kualitasmu ’cemen’. Dan satu lagi, jangan lupa gosok gigi, Indonesia butuh Odol bukan
idola. Indonesia butuh Odol agar gigi-giginya kuat dan ulutnya nggak ”ember”, nggak bau.
Oke...

VJ Kuda Nil : oke, setelah kita saksikan penampilan dari kedua finalis INDONESIAN ODOL, inilah
penampilan terakhir yaitu dari Lidah... tapi sebelum itu, kita lihat di deretan kursi
penonton ada tamu istimewa, kamera, coba sorot ke arah pukul sembilan (sambil
menunjuk ke kursi penonton). Yak, kita kedatangan tamu spesial ini nampaknya, ada Boy
Band yang sedang digandrungi remaja, Cemes... beri tepuk tangan yang meriah untuk
Cemes. Yak, mungkin nanti kita bisa minta Cemes untuk perform dipanggung ini.
Bagaimana penonton? Sejutu??? (dengan menyodorkan micropone ke arah penonton)

Penonotoon menjawab dengan lantang dan kompok ”setuju”, penoton semakin bersemangat karena
sebentar lagi Cemes akan menghibur penonton di Studio LCTI.
VJ Kuda Nil : OK, langsung saja untuk penampilan terakhir dari finalis INDONESIAN ODOL. Lidah.....
(Lidah masuk panggung diiringi senyuman manisnya untuk penonton danjuri, sambil
berjalan anggun dengan pakaian sopan)

Lidah : (Lidah bernyanyi lagu ”Kolam Susu” yang sedikit digubah liriknya, dia bernyanyi dari hati
dengan ekspresi yang tepat, dengan kejujuran dan kepolosannya yang apa adanya)

Kolam Susu

bukan lautan hanya kolam susu,

Air dan jala cukup menghidupimu,

Tiada badai tiada topan kau temui

Umpan dan ikan menghampiri dirimu

Orang bilang tanah kita tanah surga,

tapi hasil buminya entah kemana

Orang bilang negeri ini negeri subur

Insinyur pertanian kok jual bubur

Musik berhenti. Lampu tenang, fokus menyorot ke Lidah, Juri, dan VJ Kuda Nil. Penonton bersorak sorai
memberikan standyng up close untuk Lidah karena penampilannya yang memukau. FPI mengucapkan
syukur.

VJ Kuda Nil : wah... luar biasa, malam ini kamu benar-benar memberikan penampilan terbaikmu...
tapi kalau boleh tahu, sebelum juri memberikan komennya, saya pengin tahu, saingan
terberat Lidah siapa kira-kira? langsung saja, silahkan Amad Poni untuk memberikan
komentarnya.

Penonton : luar biasa apanya??? Wong biasa saja kok.

VJ Kuda Nil : tidak usah mendengarkan omongan mereka, mereka itu tidak penting. Jawab pertanyaan
saya tadi Lidah...

Lidah : saingan terberat saya tentu saja semua peserta.


VJ Kuda Nil : wah, nampaknya Lidah tidak banyak bicara tetapi memberikan perform yang memukau
untuk penonton... (Lidah hanya menjawab dengan senyuman)

Nanang. P : bagus ini kalau ada finalis yang seperti ini, tidak banyak bicara tapi bisa membuat
penonton terpukau dengan penampilannya. Dia ndak banyak ngomong tapi usahanya
untuk memberikan yang terbaik untuk masyarakat bisa kita lihat malam ini, usahanya
maksimal sehingga penampilannya tidak mengecewakan. Nah, sekarang jarang lhoh, ada
orang yang seperti Lidah ini.

Amad Phoni : kamu nyindir saya ya? Saya memang banyak ngomong, tapi saya juga punya prestasi,
nggak tong kosong nyaring bunyinya.

Nanang. P : lhoh! Yang nyindir kamu iku yo siapa? Wong aku ndak nyindir siapa-siapa, kalok kamu
marah berarti kamu ngrasa.

Amad Phoni : oh gitu, OK. Aku nggak ngrasa tersindir, berarti aku nggak salah dong!

Nanang. P : iya, saya dan masyarakat itu tidak butuh banyak omong, yang penting buktikan dengan
tindakan atas apa yang diucapkan. Udah, gitu aja, ndak usah ribet. Gitu aja kok repot
(menirukan gaya Butet Kartarajasa).

VJ Kuda Nil : betul, betul, betul! (meniru gaya Upin dan Ipin) saya dukung Nanang Pamansyah, kamu
benar, kita tidak butuh banyak ngomong, yang penting buktikan dengan tindakan. Waktu
lomba bilangnya ini itu, kalau saya menang, saya akan sumbangkan uang saya ke panti
asuhan, kemana-kemana, tapi setelah menang ya lupa sama janjinya. Dan itu tidak hanya
terjadi satu dua kali, itu dari INONESIAN ODOL pertama hingga kemarin juga masih
seperti itu, ’jangan banyak cakap macam tu tapi tak ada bukti’ (menirukan bahasa Ipin
Upin). Agnes Maunikah, dia banyak ngomong tapi punya prestasi, jadi artis Internasional,
mengalahkan Justin Bibir, hebat dia. Lha kamu? Apa Amad Phoni?

Amad Phoni : jangan salah, saya juga artis Internasional. Foto saya ada dimana-mana, kamu pengan
lihat? Ini lho ada semua (sambil memamerkan fotonya di bandara Korea yang ada di BB
nya).

Agnes. M : Amad Phoni juga hebat, dia artis Internasional juga, kalo gue artis Internasional yang
dikenal dunia karena suara gue yang bagus. Tapi Amad Phoni, dikenal dunia karena dia
suka ’plesiran’ ke luar negeri, keliling dunia ngabisin uang negara, disana cuman foto-foto
sama El, Al dan Dul, nggak ada juntrungannya.

Amad Phoni : oh, kalian sekongkol buat bantai saya? Oke, tunggu pembalasan saya. Saya foto-foto itu,
hanya sebagain dari waktu tugas saja, tujuan saya keluar negeri itu ya untuk stady
banding dapur rekaman disana seperti apa, gitu, bukan untuk jalan-jalan.
Agnes. M : kalo cuman lihat dapur rekaman kanapa nggak lewat fb atau email foto-foto aja? Kenapa
harus kesana? Bilang aja pengen exis kaya gue. Terus ngapaian anak-anakmu ikut? Pasti
pake uang menejemen mu ya?aduh, payah...

Amad Phoni : oh, nggak, itu pake uang saya pribadi.

VJ Kuda Nil : kok jadi bahas Amad Phoni yang ’plesiran’ ke luar negeri, komentarnya buat Lidah apa?

Nanang. P : Amad Phoni harus di ’sumpel’ uang dulu, baru bisa diam, kaya Gingsul. Gini,
penampilanmu bagus, tapi saya yakin kamu bisa memberikan yang lebih dari ini, terus
belajar, jangan malu untuk bertanya. Ok?

Lidah : baik mas, mohon bimbingannya. Kalau saya melakukan kesalahan, mohon tegur saya
mas...

Agnes. M : bicara soal kesalahan, gue pengen nanya dulu, menurut lo, apa si yang kurang dari
penampilan lo malam ini?

Lidah : saya salah masuk pada reff kedua mbak Agnes.

Agnes. M : nah,,,, (Agnes bicara dengan nada keras sehingga sampai semua penonton kaget) ini ada
lagi sifat yang gue suka dari Lidah. Dia selain tidak ’tong kosong nyaring bunyinya’
(berbicara pelan dengan penekanan) tetapi juga mau mengakui kesalahannya, udah
jarang banget orang kaya lo. Zaman sekarang, semua orang sibuk mencari kesalahan
orang lain tetapi nggak mau mencari kesalahannya sendiri dan memperbaikinya. Ok,
penampilanmu ’perfect’, ’I like it’.

Amad Phoni : saya ’no commend’.

VJ Kuda Nil : ya, itulah komentar-komentar dari kedua juri, yang satu ’ngambek’ nggak mau komentar.
Ketiga finalis kita sudah menunjukkan kebolehannya. Sebentar lagi kita akan
menyaksikan penampilan dari bintang tamu spesial, Cemes.... tapi setelah pesan-pesan
berikut ini.

ADEGAN 3

Suasana panggung semakin ramai dengan lagu ”Cinta Cenat-Cenut” dari Sm*sH yang sedikit
digunah liriknya, penonton bertepuk tangan dengan semangatnya yang menggebu-gebu karena
melihat idola mereka. Lampu menari dan berkedip-kedip mengikuti musik yang menghentak,
menyorot personil Cemes yang beranggotakan tujuh pria tampan.

Cemes : Cinta Cenat-cenut


Kenapa negriku cenat-cenut tak ada kamu

ilerku netes tiap ingin adil di negriku

Kenapa dari dulu masih seperti itu

siapakah yang bisa memajukan negriku...

Kenapa harus hutang negara tetangga

Pahadal kita ini negara yang kaya raya...

Kenapa tak manfaatkan sumber daya saja

Jadi tak perlu ngirim TKI untuk tambahan devisa...

Negriku mlaraaaatttt.....

Oh.. sedihnya... oh... galaunya... oh... cemasnya...

Vj Kuda Nil : yak... setelah menyaksikan penampilan dari Cemes, tibalah saatnya pengumuman
siapakah yang akan menjadi ’The Next INDONESIAN ODOL???’

Warta : VJ Kuda Nil...

Buah pinang terbang melayang

yang menang pasti yang beruang.

VJ Kuda Nil : tentu saja tidak begitu, juri kita sportif, ada masyarakat yang mengirimkan sms, suara juri
vodlock yang ada disini juga ambil andil dalam memutuskan pemenang.

FPI : Insya Allah, semuanya adil, saya harap tidak ada kerusuan disini, tolong semuanya jaga
sikap dan emosinya di kendalikan agar acara dapat berjalan dengan hikmat. Banyaklah
Istigfar agar kita semua selalu dapat mengontrol emosi.

VJ Kuda Nil : baiklah, sekarang, saatnya juri vodlock memberikan penilaian kepada ketiga finalis.

Para Juri Vodlock secara serentak memberikan penilaiannya untuk para finalis.

VJ Kuda Nil : yak, selesai. Dukungan sms kita tutup. Kita tunggu hasil diskusi ketiga juri, perolehan suara
dari juri vodlock dan polling sms. Kita panggil finalis INDONESIAN ODOL, inilah meraka....
finalis INDONESIAN ODOL, ada Gingsul.... (dengan intonasi meninggi diiringi tepuk tangan
penonton) berikutnya.... Jigong... (dengan intonasi meninggi diiringi tepuk tangan
penonton)... dan yang terakhir Lidah.... (dengan intonasi meninggi diiringi tepuk tangan
penonton). Dan dari ketiga finalis ini, hanya ada satu pemenang yang akan mendapatkan
hadiah spesial persembahan dari... ’YA SUTRALAH’ (produk kondom) ”dari pada aborsi
atau membuang bayi, lebih baik ikut program KB atau ikut program NDBM (Nikah Dulu
Baru ML). Buat anak kok coba-coba!!!”. ( Vj Kuda Nil membacakan motto iklan tersebut
dengan gaya seperti Yu Liat Perez). Hadiahnya berupa paket odol seumur hidup, odol anti
bau mulut akibat makan uang rakyat, di perkaya kalsium agar gigi kuat dari godaan
keserakahan, anti gupis dan anti bau gijong. Dengan bonus hadiah berupa sepeda gunung
keluaran terbaru, agar terhindar dari kemacetan, terhindar dari polusi udara, dan
terhindar dari kemelaratan karena tidak perlu beli BBM.

Sponsor dari produk kondom ’ ’YA SUTRALAH’ ditampilkan dilayar kaca.

Vj Kuda Nil : hadiah untuk juara dua, di sponsori oleh... ’CIDERA KARYA CLAMITAN’ ”ingat, barang
mahal, hanya untuk kalangan terbatas karena kita pandang bulu, dapat ditempatkan
dimanapun anda berada, untuk anda yang sedang di bui, jangan khawatir, kami jamin
anda batah di dalam bui karena ada kami dari ’C K C’ kami siap menyulap rumah
tahanan jadi tempat nyaman., lengkap dengan alat krimbat, ruang karaoke, dapur cantik
dan spa. You are next, yang lain jelas ketinggian!!!”. (Vj Kuda Nil membacakan motto
iklan menirukan gaya Cemes). Hadiahnya berupa paket odol selama 10 tahun dan motor
keluaran terbaru, supaya pemenang juara 2 terhindar dari kemacatan, tetapi perlu
merogoh kocek untuk membeli BBM.

Iklan dari produk furniture merek ’CIDERA KARYA CLAMITAN’ dengan motto iklannya ditampilkan dilayar
kaca.

Vj Kuda Nil : yak , berikutnya yang terakhir hadiah untuk juara III persembahan dari... produk
minuman energi ”untuk para koruptor yang sudah ketahuan belangnya, yang mau
melarikan diri, jangan lupa, minum ’AKU BINA ENERGI’ Roso!!! Roso!!!”. (Vj Kuda Nil
membacakan motto iklan dengan gaya Vega Donor Si). Dengan hadiah berupa mobil
mewah keluaran terbaru, bersiap-siaplah untuk terkena macet dan menabunglah karena
harus membeli pertamaxs, jangan pakai BBM bersubsidi ya,,, kan premium untuk rakyat
yang tidak mampu.

Iklan dari produk minuman energi merek ’AKU BINA ENERGI’ dengan motto iklannya ditampilkan dilayar
kaca.
Vj Kuda Nil : sebelum saya mengumumkan siapa pemenangnya, kita saksikan terlebih dahulu pesan-
pesan berikut ini.

ADEGAN 4

Suasana panggung semakin mendebarkan dan musik mengalun dengan tempo yang
mengalun merdu seolah memecahkan ketegangan finalis yang sedang mengunggu penentuan,
lampu menyorot pada VJ Kuda Nil yang berdiri dipanggung.

VJ Kuda Nil : bagaimana penonton??? Mau di goyang???

Penonton : mau, mau, mau

VJ Kuda Nil : kalau tadi kita baru saja menyaksikan performance produk lokal, sekarang kita saksikan
produk luar negeri… inilah dia, Ledy Gagal (suara VJ Kuda Nil meninggi diiringi tepuk
tangan meriah dari penonton).

Penonton dan VJ Kuda Nil menunggu kedatangan Lady Gagal namun tak kunjung datang, mereka
menggunjing karena keterlambatan kedatangan Ledy Gagal.

Penonton : oh Lady Gagal…. Tanpamu aku galauuuu….

VJ Kuda Nil : tenang semuanya, Lady Gagal akan segera datang

Penonton : kapan?

VJ kuda Nil : sebentar lagi

Penonton : sepertinya tidak hanya Reong ponorogo, angklung dan lagu-lagu saja yang dibajak negara
luar, tapi ada satu lagi

Warta : apa’an tu??? (menirukangaya Jaja Miharja)

Penonton : kemoloran, katanya mau datang segera tapi sampai sekarang tidak datang juga

VJ Kuda Nil : pemirsa, ada kabar ’up to date’ tentang Lady Gagal

Warta : apa’an tu??? (gaya menirukan Jaja mMiharja)


VJ Kuda Nil : saya baru saja di telepone sama pihak menegement Ledy Gagal, katanya dia gagal
manggung disini karena tidak dapat izin dari FPI (Fron Pencari Idola).

Penonton : saya teruhannya nyawa kesini jauh-jauh untuk melihat Ledy Gagal ’live’, ko tidak jadi
pentas, saya kecewa, saya tidak trima

VJ Kuda Nil : kita sudah berusaha sekuat tenaga untuk tampilnya Lady Gagal ini, saya juga sudah
nanam saham buat malam ini, tapi ko gagal, kita trima saja

Warta : mungkin karena Lagy Gagal mau nyebrang kali code tapi tidak bisa karena jembatannya
roboh dan belum di betulkan, atau mau ’nebeng’ burung besi milik Rusia tapi takut ada
salak lagi yang menghalangi.

VJ Kuda nil : sudah, sudah, alangkah baiknya jika kita sama-sama ikhlas saja lah.. tidak perlu kecewa.
Sekarang kita lanjutkan acara ini dengan perasaan bahagia. Kita itu negara yang bineka
tunggal ika, berbeda tapi satu, (VJ Kuda Nil berbicara dengan nada pelan untuk
memberikanpenekanan pada setiap kata) jadi kita cam kan baik-baik makna kalimat itu.
Ok, kita lanjutkan setelah iklan yang mau lewat.

ADEGAN 5

Suasana panggung semakin panas dengan musik menegangkan, lampu menyorot para
finalis yang sudah berdiri dipanggung menunggu detik-detik penentuan.

VJ Kuda Nil : yak…. Langsung saja, hasil dari polling sms, ketiga juri dan juri vodlock, di olah sehingga
menghasilkan data yang menjadi pertimbangan dan sebagai penentu, siapakah yang
akan menjadi ‘The Next INDONESIAN ODOL???’. Yak… perolehan suara sebanyak 33 %
didapatkan oleh Gingsul…. Perolehan suara sebanyak 32% didapatkan Lidah… dan 35%
untuk Jigong. Dengan begitu jadi pemenang kita malam hari ini adalah Jigong….

Penonton ramai bertepuk tangan, tiba-tiba Warta naik ke atas panggung dan berteriak menggunakan
micropone “Instrusi pak ketua” namun petonton tetap riuh, Warta berteriak semakin lantang ”instruksi,
ketua macam apa kok budeg macam ini”, serentak semuanya terdiam dan kaget.

Warta : saya tidak terima kalau Jigong yang menang, dia curang. Tadi saya liat orang ini (sambil
menunjuk Jigong) ngasih uang ke Amad Phoni, dia nyogok Amad Phoni!!! (semua
penonton kaget mendengar hal itu) Kamu tidak pantas jadi pemenang!!! Saya punya
fotonya, ini lihat (sambil memperlihatkan fotonya ke penonton).
Amad Phoni : Ok, pemenangnya kita ganti, Gingsul, bukan Jigong.

Warta : lah, macam itu baru benar (berbicara sambil bergaya seperti hotman paris hutapea). Dia
cantik, seksi, dia pantas jadi pemenang.

VJ Kuda Nil : saya tidak menyangga kalau Amad Phoni mau menerima uang haram. Keluar saja kamu
dari sini!!!

Amad Phoni meninggalkan panggung bersama Jigong, dengan wajah malunya, karena sudah mengingkari
ucapannya sendiri.

VJ Kuda Nil : pemenang pada malam hari ini adalah Gingsul….

Penonton ramai bertepuk tangan, lagi-lagi tiba-tiba ada yang naik ke atas panggung dan berteriak-teriak,
“Instrusi pak ketua” namun petonton tetap riuh, Nanang pamansyah berteriak semakin lantang ”instruksi”,
serentak semuanya terdiam dan kaget.

Nanang. P : Gingsul itu tidak layak jadi pemenang, saya tadi lihat dia di kamar mandi sedang berbuat
tidak senonok dengan VJ Kuda Nil!!! (penonton kaget) Pemenang INDONESIAN ODOL
harus orang yang benar-benar bias jadi panutan bagi masyarakat, yang rajin gosok gigi,
agar rakyat tidak mencium bau busuk mulutnya, orang yang dapat menjaga nama
baiknya, keluarganya dan nama baik rakyatnya. Yang bisa bersikap adil, berwibawa dan
selalu bersyukur atas apa yang dia dapatkan, jangan yang suka protes, yang suka minta ini
itu, yang manut sana-sini.

VJ Kuda Nil dan Gingsul keluar panggung dengan wajah malunya, sudah menghujam Amad Phoni tapi
ternyata di sendiri tidak berakhlaq.

Nanang. P : pemenangnya adalah Lidah, dia berhak mendapatkan hadiah utama, paket odol seumur
hidup. Hadiah untuk juara kedua dan ketiga berhak dibawa pulang oleh Lidah, karena
hanya dia satu-satunya orang jujur di acara ini.

Lidah : pertama-tama saya ucapkan terima kasih terlebih dahulu untuk semua pihak yang telah
mendukung saya, tapi sebelumnya saya minta maaf, saya tidak bersedia menerima
hadiah dari acara ini.

Nanang. P : lho, kenapa?


Lidah : saya lebih memilih untuk menggunakan produk dalam negeri, setiap hari saya
mengunyah kinang agar mulut saya terhidar dari kuman. Kalau saya menggunakan odol
seumur hidup, saya hidup, tapi bagaimana nasib petani sirih, tembako dan penjual
kinang? Mereke dan keluarganya akan mati kelaparan karena orangtua mereka pulang
tanpa membawa sesuap nasi. Kalau bukan kita yang memberdayakan potensi alam
Indonesia dan menggunakan produk alami, siapa lagi?

Nanang. P : tapi itu sudah menjadi hak kamu, kamu boleh gunakan untuk apa saja

Lidah : apa semua hak harus digunakan? Kalau kita punya sendiri, untuk apa meminta,
meminjam, menerima dan menggunakan hak itu? Tidak bukan?

Nanang. P : sebagai generasi muda, kamu mempunyai jiwa mulia, jarang saya temui pemuda
sepertimu, yang tidak hanya nyanyi-nyanyi iwak peyek dengan jogetan yang senonok
tetapi kritis terhadap apa yang terjadi. Tida banyak bicara, tidak mengkritik siapapun,
tidak menuntut apapun, tetapi selagi kamu bisa lakukan, kamu lakukan sendiri. Hebat.

Lidah : saya mau belajar jadi pemimpin untuk diri saya sendiri mas, setelah itu baru saya pimpin
orang lain. Saya ingin mengenali lingkungan saya sendiri sebelum saya mengenali tanah
air saya.

Nanang. P : kita ini terlalu lama hidup di dunia hitam, sampai-sampai kita lupa dengan warna putih
yang bersih, kita tidak becus memadu padankan hijau, kuning, biru, jingga untuk
mewarnai Indonesia. Sampai saat ini kita buntu, belum bisa mencari jalan keluar atas
masalah-masalah yang sedang kita alami. Kita berpelosok pada jurang kehancuran, lihat
saja, kita hormati penghianat, pengecut, penjilat tapi kita curigai, kita buang kita musuhi
ketulusan. Tidak ada yang mendukung Lidah, padahal hanya dia satu-satunya kandidat
yang rajin gosok gigi dengan odol, yang rajin mengontrol dirinya sendiri dari nasfu duniawi
dan selalu menjaga kejujuran.
EPILOG

Akhirnya INDONESIAN ODOL dimenangkan oleh Lidah karena hanya dia yang rajin gosok gigi. Agnes
meninggalkan studio LCTI karena ’ngebet’ mau nikah, Ahmad Phoni dan Jigong digelandang pihak yang
berwajib karena melanggar aturan main. VJ Kuda Nil bersama dengan Gingsul pergi meninggalkan studio
di arak FPI dengan telanjang, tanpa baju sehelai benangpun, karena telah melanggar norma. Sedangkan
Nanang Pamansyah sedih, terharu, dan kecewa karena pemenang INDONESIAN ODOL yaitu Lidah,
memiliki wajah yang mirip dengan mantan istrinya, Krisdarwanti, dia terkenang kembali saat mantan
istrinya selingkuh. Disisi lain, FPI (fron pencari idola) marah dan mengamuk di panggung, mereka anarkis
karena mereka kesal dengan kedatangan Lady Gagal dan kecewa dengan keputusan juri yang berubah-
ubah. Penonton meninggalkan studio. Indonesian Odol diadakan untuk mencari Idola yang ”ber-odol”.
Odol diperlukan untuk menghilangkan bau mulut yang timbul karena makan uang rakyat, menyegarkan
mulut agar dapat memberikan kesegaran pula untuk orang-orng disekitarnya, untuk menghilangkan
kuman-kuman penggoda yang menggoyahkan hawa nafsu dan memperkuat gigi untuk selalu menjaga
kejujuran.
Sarapan Terakhir
Andrian Eka Saputra
Universitas Negeri Yogyakarta
Andrizian78@gmail.com

Pelaku:
Abah, usia 70 tahun, bekas tentara.
Ibu, usia 60 tahun, ibu rumah tangga.
Hasan, usia 24 tahun, mahasiswa.
Yanti, usia 40 tahun, pembantu rumah tangga.

1
PAGI HARI. RUANGAN TENGAH SEBUAH RUMAH,
TERDAPAT DUA BUAH PINTU MASING-MASING MENUJU
KAMAR SANG ANAK DAN KAMAR ORANG TUA. DI BELA-
KANG, TAMPAK DINDING DENGAN BEBERAPA FOTO
DALAM PIGURA (FOTO KELUARGA, FOTO HITAM PUTIH
SEORANG PRIA BERSERAGAM LORENG), SERTA RAK
BERISI BUKU-BUKU AGAMA.
ABAH DUDUK BERSANDAR DI KURSI. TERHIDANG
BEBERAPA CAMILAN DAN SECANGKIR MINUMAN
HANGAT. IBU DUDUK DI KURSI RODA, DI PANGKUAN-
NYA BEBERAPA POTONG UBI REBUS MENUNGGU GILIR-
AN DIKUPAS. KEDUANYA BERUSIA LANJUT.
PINTU KAMAR HASAN DIBIARKAN TERBUKA. HASAN
MENGEPAK BAJU-BAJU DI DALAM KAMAR. AKTIVITAS-
NYA SESEKALI TERLIHAT DARI PINTU.

Antologi Naskah Drama 1


1. Abah : Diperiksa lagi, jangan sampai ada yang ter-
tinggal.
2. Hasan : Sudah, Bah.
3. Abah : Jangan sampai seperti kakakmu dulu.
4. Hasan : (TERTAWA) Insyaallah tidak.
5. Abah : Kakakmu juga memberikan jawaban seru-
pa. Merepotkan sekali kakakmu waktu itu.
Pagi buta aku harus buru-buru ke kantor
pos, mengirimkan barang-barang yang ter-
tinggal.
6. Hasan : (KELUAR KAMAR MENUJU RAK BUKU)
Abah tenang saja. Hasan sudah membuat
semacam check-list barang apa saja yang akan
Hasan bawa. Tak banyak, hanya beberapa
baju, perlengkapan salat, juga (MENGAMBIL
BEBERAPA JUDUL BUKU AGAMA DARI
RAK) beberapa buku.
7. Abah : Quran jangan lupa!
8. Hasan : Mana mungkin Hasan meninggalkan pe-
doman Ilahi itu. Di perjalanan nanti, tentu
Hasan akan membacanya.
9. Abah : Alhamdulillah kalau kau tak melupakan-
nya. (BERBINCANG KEPADA ISTRINYA)
Nah!

IBU TAK MENANGGAPI.

10. Abah : Ah, ibumu terlalu asyik dengan ubi-ubi itu.


Usia telah merenggut pendengarannya. San,
aku bersyukur padamu. Tuhan telah meng-
anugerahkan anak-anak yang insyaallah ti-
dak lalai terhadap agama.
11. Hasan : Sudah kewajiban kami, Bah. (MASUK
KAMAR).
12. Abah : Alhamdulillah. (JEDA) San, apa kau melihat
Yanti?

2 Sarapan Terakhir
13. Hasan : Tadi kulihat Simbok berangkat ke pasar.
Entah sudah pulang atau belum Hasan tak
tahu. Ada apa, Bah?
14. Abah : Mau minta tolong supaya dia menjerang
air untuk mandi ibumu.
15. Hasan : Biar Hasan saja, Bah.
16. Abah : Kau tak terburu?
17. Hasan : Keretaku masih beberapa jam lagi, masih
cukup banyak waktu untuk berbagi ke-
bahagiaan di rumah ini, Bah.
18. Abah : Cukup, cukup, cukup. Cukup semalam saja
abah menangis, tak mau lagi pagi ini aku
menangis karena ocehanmu. Sana, jerang-
lah sepanci besar untuk ibumu dan aku.
19. Hasan : Baik, Bah.

HASAN KE DAPUR. ABAH BERSANDAR MENATAP


LANGIT-LANGIT. IBU TAK SENGAJA MENJATUHKAN UBI
REBUS.

20. Ibu : Eh! Jatuh.


21. Abah : (MENGHAMPIRI IBU) Bahkan jemarimu
turut bersedih atas rencana Hasan, ya?
22. Ibu : Apa?
23. Abah : Hasan jadi pergi.
24. Ibu : Hasan … pergi?
25. Abah : Kau harus merestuinya.
26. Ibu : Kita sendiri lagi.
27. Abah : Empat tahun terakhir ini juga seperti ini,
bukan? (MENGHELA NAPAS) Masih ada
Yanti.
28. Ibu : Yanti?
29. Abah : Ia akan merawatmu, memandikanmu, meng-
ganti bajumu, memasak untuk kita, menya-
pu lantai.

Antologi Naskah Drama 3


30. Ibu : Bukan anakku.
31. Abah : Memang. Ia bekerja untuk kita. Makanlah,
ubi akan memulihkanmu.

ABAH MENUJU KURSI.

32. Abah : Sepuluh tahun lalu, Subhan berpamitan.


Kini giliran Hasan. Ah, semua seperti bu-
rung saja; meninggalkan sarang, lalu ter-
bang mengarungi angkasa dan mencari
cara untuk membuat sarang lagi.
33. Hasan : (MASUK) Atau kembali ke sarang yang
lama.
34. Abah : Sementara sang induk, kita tak pernah tahu
nasibnya setelah sarang mereka diting-
galkan. San, ketahuilah, telah kusiapkan
modal untukmu membuka kios sembako
di pasar. Kiosnya sudah kubeli, tinggal kau
kelola saja, dan insyaallah itu cukup untuk
menghidupimu. Atau kalau kau ingin kerja
kantoran, kau bisa masuk ke perusahaan
temanku dan kau tak perlu sampai jauh-
jauh ke Jakarta. Kalau kau mau, kau tak
perlu pergi.
35. Hasan : Abah, sudahlah. Selagi Hasan masih muda,
Hasan ingin menapaki dunia. Lagi pula
Bang Subhan akan pulang, bukan?
36. Abah : Kalau saja kita semua bisa berkumpul di
rumah ini, tanpa perlu kau pergi setelah
kepulangan Subhan, barangkali aku dan
ibumu bisa menanti ajal dengan tenang.
37. Hasan : Abah, Hasan benar-benar minta maaf. Tapi,
Hasan tak bisa berlari lagi, kini telah tiba
saat bagi Hasan untuk…terbang.

4 Sarapan Terakhir
38. Abah : Ya, ya, ya, aku bisa mengerti itu, San. Hanya
saja Abah masih belum mengerti kenapa
kau ngotot sekali. Ada apa sebenarnya?
39. Hasan : Abah tak perlu mengkhawatirkan Hasan.
Hasan akan baik-baik saja. Bukankah bulan
depan Bang Subhan dan keluarga kecilnya
akan mulai menetap di rumah ini?
40. Abah : Tak lengkap bila tanpa kau, Hasan. Empat
tahun lalu kau meninggalkan rumah ini
untuk kuliah di kota. Untung saja ada Yanti,
ia cukup menemani hari-hari sepi kami.
41. Hasan : Bang Subhan akan pulang, Bah. Dan ia tak
akan pergi lagi.
42. Abah : Berjanjilah, kau akan kembali.
43. Hasan : (MEMELUK ABAH) Tak perlu aku berjanji,
Bah. Hasan yakin kita akan berkumpul
kembali.
44. Abah : Raihlah apa yang kau citakan. (MELEPAS
PELUKAN) Apa semua telah kau masuk-
kan ke dalam tas?
45. Hasan : Insyaallah sudah, Bah.

DARI ARAH PINTU, MASUK YANTI.

46. Yanti : Assalamualaikum. Maaf, Pak, tadi antre


beli daging.
47. Abah : Apa pesananku ada?
48. Yanti : Madu pesanan Bapak, ada. Namun, param
urutnya hanya tinggal merek Mawar.
49. Abah : Ah, bukan persoalan, sama hangatnya. Eh,
hari ini kau mau masak apa, Yan?
50. Yanti : Tadi saya membeli daging ayam, Pak.
51. Abah : Masak opor saja! Seperti ketika lebaran!
52. Hasan : Bukankah Abah tidak boleh memakan ma-
kanan bersantan?

Antologi Naskah Drama 5


53. Yanti : Rencana mau saya masak sup saja, Pak.
Atau Bapak ada pikiran lain tentang menu
sarapan?
54. Abah : Sesekali tak apalah opor. Lagi pula ini hari
istimewa, bukan? Perlu masakan istimewa
untuk mengantar keberangkatanmu, San.
55. Hasan : Aduh, Bah. Tidakkah itu berlebihan?
56. Abah : Sekadar ungkapan syukur atas keberang-
katanmu, San. Ungkapan syukur atas pe-
kerjaan baru yang kini ada di depanmu,
atas tanggung jawab baru yang harus kau
pikul. Nah, sekarang lanjutkan mengepak,
Abah akan mandi dulu. O iya, perhatikan
juga ibumu. Barangkali ubinya jatuh lagi.

HASAN MEMANDANG ABAH DAN IBUNYA, SEOLAH


ADA SESUATU YANG TENGAH IA RASAKAN.

2
RUANGAN TENGAH. ABAH, HASAN, DAN IBU DU-
DUK SEMEJA, MENANTI MENU SARAPAN. YANTI BOLAK-
BALIK MEMBAWA MASAKAN DARI DAPUR KE MEJA.

57. Abah : Kerupuknya, Yan. Apa semuanya sudah


kau persiapkan, San?
58. Hasan : Sudah, Bah.
59. Abah : Hanya seransel itu?
60. Hasan : Tak perlu banyak-banyak, Bah.
61. Abah : Kau yakin? Dari pada kau harus membelinya
di sana, lebih baik kau tabung saja peng-
hasilanmu. Kudengar di Jakarta harga-harga
tak bersahabat seperti di kota ini, lo.
62. Hasan : Begitulah rezeki, Bah.
63. Abah : Ah, tahu apa kamu tentang rezeki?

6 Sarapan Terakhir
64. Hasan : Bukankah hidup, mati, jodoh, dan rezeki,
semuanya sudah ada yang mengatur, Bah?
65. Abah : Lalu?
66. Hasan : Begitu pula rezeki di daerah ini, Tuhan telah
mengatur rezeki untuk kota ini sedemikian
rupa, berbeda dengan rezeki di Jakarta.
Boleh jadi harga kebutuhan di kota ini
bersahabat dengan dompet kita, namun
penghasilan yang didapat di kota ini pun
juga menyesuaikan standar harga kebutuh-
an yang berlaku di kota ini. Begitu pun
yang berlaku di Jakarta, harga kebutuhan
yang mahal, sejalan dengan penghasilan
yang didapat.
67. Abah : Ah, apa benar seperti itu? Kudengar di sana
kehidupannya sangat keras.
68. Hasan : Yang kudengar dari kawan-kawan peran-
tau seperti itu, Bah. Masalah keras atau
tidak, itu bergantung pada bagaimana kita
menjalaninya. Kalau kita bersyukur, semua
akan ada jalannya. Kalau kita bersyukur….
69. Abah : Kita akan bahagia. Kau mengingat benar
petuah itu, San. Ayo sambil sarapan, San.
70. Abah : (KEPADA IBU) Kau mau lauk apa?
71. Ibu : Hah?
72. Abah : Lauk?
73. Ibuh : Ayam.
74. Hasan : Biar Hasan yang mengambilkannya untuk
Ibu.
75. Abah : Yan, ayo sekalian makan bersama.
76. Yanti : Saya masih ada cucian di belakang, Pak.
77. Abah : Alah, ayolah. Mumpung masih hangat, se-
tidaknya cicipilah masakanmu sendiri.
78. Yanti : Baik, Pak. Nanti saya akan makan, namun

Antologi Naskah Drama 7


sekarang masih ada pekerjaan yang harus
saya selesaikan.
79. Abah : Baiklah, aku tak memaksamu. Eh, San, ngo-
mong-ngomong bagaimana tempat kerjamu
nanti?
80. Hasan : Entahlah, Bah. Hasan sendiri belum me-
miliki gambaran.
81. Abah : Lo, bagaimana bisa? Bukankah kau sendiri
yang mendaftar kerja.
82. Hasan : Ah itu, saya mendaftarnya di kampus kok,
Bah. Dan kemarin dapat info agar besok
Hasan datang ke kantor. Dan alamatnya
jelas kok.
83. Abah : Jaga diri baik-baik di sana. Kubaca di koran
dan sering kusaksikan di televisi, beberapa
kota di negara ini baru tidak aman. Pen-
curian, penjambretan, bahkan kini ada ledak-
an bom di mana-mana. Dan Jakarta, bukan-
lah suatu pengecualian.
84. Hasan : (MENGHELA NAPAS) Iya, Bah.
85. Abah : Apa itu, mengatasnamakan agama sebagai
alasan untuk perilaku terkutuk.
86. Hasan : Maksud, Abah?
87. Abah : Kau lihat, para pelaku peledakan itu meng-
atasnamakan agama untuk mengafirkan
orang lain. Yang sejalan, aman; yang tidak,
binasa!
88. Hasan : Bukankah sejalan atau tidak, itu tergantung
dari mana semua dilihat kan, Bah?
89. Abah : Iya, Abah tahu. Hanya saja, Abah menya-
yangkan kenapa agama menjadi landasan
untuk perbuatan kekerasan.
90. Hasan : Pada zaman Rasul dulu, ada peperangan
juga kan, Bah?

8 Sarapan Terakhir
91. Abah : Ada. Dan itu melawan kezaliman, kejahat-
an, juga kekafiran....
92. Hasan : Melawan hal-hal buruk untuk menegakkan
agama Allah.
93. Abah : Nah, itu. Pikiranmu kini sungguh maju, San.
Benar-benar ilmu yang kau dapat selama
kuliah, telah membuat Abah terkagum. Abah
masih ingat, kau dulu waktu SMA masih
suka balapan liar, pulang larut malam, urak-
an, jarang beribadah, namun kini kau lain.
Kau mengerti bagaimana cara untuk hidup.
Eh, kepada siapa kau belajar semua itu?
94. Hasan : Eh, hanya sekadar obrolan bersama kawan-
kawan saja kok, Bah. Dan membaca bebe-
rapa buku.
95. Abah : Amalkan semua yang kau pelajari itu.
Sebarkan kebaikan itu kepada siapa saja.
96. Hasan : Insyaallah, Bah.
97. Abah : Abah dan ibumu hanya bisa memberimu
doa.
98. Hasan : Itu lebih dari cukup, Bah. Cinta kasih Abah
selama ini telah mengantar Hasan siap ter-
bang meninggalkan sarang, sebagaimana
yang Abah katakan tadi.
99. Ibu : San, kau jadi pergi?
100. Hasan : Insyaallah, Bu.
101. Abah : Kalian hanya menambah rasa sendu saja.
Aku jadi ingat masa mudaku dulu. Aku
berpamitan, bersujud di kaki nenekmu.
Barangkali seperti inilah perasaan kakekmu
saat itu.
102. Hasan : Abah, Ibu, jangan bersedih. Hasan berjanji,
kita akan bertemu lagi.

Antologi Naskah Drama 9


103. Abah : Jika itu yang digariskan Tuhan. Di mana
pun kau nanti bekerja atau tinggal, jangan
berhenti menjadi orang baik. Junjunglah
tinggi kejujuran, itu akan menyelamatkan-
mu di dunia ini.
104. Hasan : (TERTUNDUK).
105. Abah : Jam berapa nanti keretamu?
106. Hasan : Sebelas siang, Bah.
107. Abah : Tiga jam lagi. Tiketnya sudah kau siapkan?
108. Hasan : Sudah, Bah. Tinggal berangkat saja.
109. Abah : Jaga dirimu baik-baik di sana. Ikutilah arus
hidup, jangan menentang kebaikannya dan
jangan terhanyut pada kebusukannya.
110. Hasan : Abah.
111. Abah : Iya, aku mengerti. Kau bisa menempatkan
dirimu baik-baik di sana. Aku hanya tak
ingin kau seperti anak-anak muda lain di
luar sana. Pelan-pelan mereka terjerumus
ke dalam paham-paham sesat. Dan lagi-
lagi, atas nama agama.
112. Hasan : Sesat dan tidaknya itu tergantung dari po-
sisi mana paham itu dilihat, Bah. Bagi para
penganut paham itu, semua akan dilihatnya
sebagai kebusukan jika tak sejalan dengan
paham yang dianutnya. Paham yang di-
anutnyalah yang ia percayai sebagai kebaik-
an. Bah, maafkan Hasan, bukan maksud
Hasan menggurui, namun kebaikan dan ke-
busukan, tak ubahnya pedang bermata gan-
da, semuanya dapat menebas kenyataan.
113. Abah : Tapi jika semua itu tak sejalan dengan hal-
hal wajar yang telah berlaku di masyarakat?
San, kau pernah belajar sejarah, bukan? Kau
tahu yang terjadi pada tahun 1965? Ke-

10 Sarapan Terakhir
anehan. Keasingan. Hal-hal yang di luar
keumuman tak mendapat tempat dalam
masyarakat kita. Itu dipandang buruk.
114. Hasan : Bisa juga sebaliknya, Abah. Bisa jadi hal-
hal yang wajar di masyarakatlah yang se-
benarnya busuk, bukan pahamnya. Dan
masyarakat itu sebenarnya perlu dicerah-
kan. Dan untuk tahun 1965-an, kupikir
masyarakat terlalu….
115. Abah : Astaghfirullah. San!
116. Hasan : Maaf, Abah. Hasan hanya ingin mengutara-
kan apa yang ada di pikiran Hasan.
117. Abah : Yanti! Yanti!
118. Yanti : (MASUK) Iya, Pak? Ada apa?
119. Abah : Tolong ibu kau ajak jalan-jalan sebentar.
120. Yanti : Bukankah sebentar lagi Mas Hasan akan
berangkat?
121. Abah : Tolong sebentar saja. Aku tak ingin ia ada
di sini, dalam perbincangan kami.
122. Yanti : Baik, Pak. (MENDORONG KURSI RODA)
Mari, Bu.
123. Abah : (BERDIRI) San, tadinya aku sudah cukup
ikhlas, rela melepas keberangkatanmu.
Namun, terkait pandanganmu yang terakhir
tadi, abah minta maaf jika harus menahan
keberangkatanmu barang beberapa menit
lagi. Abah tak suka dengan pandanganmu
tadi. Kau anggap setiap paham memiliki
kebaikannya masing-masing, Abah setuju.
Dalam Quran yang selalu kita baca, juga
menyampaikan hal itu. “Untukmu agama-
mu, untukku agamaku”, toleransi sudah
disampaikan secara gamblang di sana. Aku
hanya tak setuju saja dengan caramu ber-
bicara tentang tahun-tahun kelabu 1965.
Antologi Naskah Drama 11
124. Hasan : Maaf, Bah. Hasan hanya menyampaikan
pemikiran atas peristiwa waktu itu.
125. Abah : Kau tak tahu apa-apa! Kau bahkan belum
dilahirkan saat hal itu terjadi!
126. Hasan : Hasan tahu, Bah.
127. Abah : Tahu apa kamu? Apa pun yang kamu tahu,
itu tak cukup menjelaskan apa yang se-
benarnya terjadi waktu itu. Dari mana pula
kau mengetahui itu? Buku-buku? Diskusi?
Kebenaran yang kau baca hanya didasarkan
pada siapa yang menulis bukunya dan siapa
yang memimpin diskusimu. Siapa?
128. Hasan : Tak perlu Abah mengetahui itu, sudah men-
jadi rahasia umum atas semua hal itu. Dan
sudah menjadi rahasia umum pula bahwa
Abah ….
129. Abah : Cukup!
130. Hasan : Maaf, Bah. Bukan maksud Hasan menguak
masa lalu Abah.
131. Abah : Cukup, cukup… Abah hanya ingin men-
jalani masa tua Abah dalam kedamaian.
Abah tak ingin mengingat lagi luka-luka itu.
Mengingat teman-teman Abah yang juga
menjadi korban!

KEDUANYA SAMA-SAMA DIAM SELAMA BEBERAPA


SAAT.

132. Hasan : Setengah jam lagi Hasan harus berangkat,


Bah. Sebelum ketinggalan kereta.
133. Abah : Kau masih akan melanjutkan niatmu?
134. Hasan : Tak kendur sedikit pun. Bah, semua masa
lalu itu kini telah terkubur, dibiarkan tanpa
penyelesaian. Maka tak heran, Bah, jika kini
di berbagai daerah timbul pergolakan, pe-

12 Sarapan Terakhir
ledakan, juga huru-hara lainnya, dan ku-
duga semua itu muncul karena ketidak-
puasan mereka atas kenyataan saat ini. Ke-
wajaran yang sesat adalah tempat di mana
agama harus ditegakkan dan menjadi pelita
atas kegelapan.
135. Abah : San, jangan katakan kalau kau kini bagian
dari mereka.
136. Hasan : Mereka siapa, Bah?
137. Abah : Mereka yang berpihak pada apa yang telah
dan akan mengacaukan negeri ini.
138. Hasan : Hasan tak pernah berpikir demikian, Bah.
Hasan berpihak pada kebenaran.
139. Abah : Kebenaran siapa?
140. Hasan : Tentu saja kebenaran Ilahi. Dan juga semua
ini kulakukan demi Abah, dan keluarga ini.
141. Abah : Apa yang kau bicarakan?
142. Hasan : Abah, ketahuilah bahwa Hasan tak pernah
sampai hati untuk mengatakan hal ini kepada
Abah. Namun, kepergian Hasan hari ini
adalah cara untuk membukakan pintu surga
bagi keluarga ini, menebus kesalahan Abah
di masa lalu.
143. Abah : Kesalahan apa? Semasa hidup Abah merasa
tak pernah melakukan keburukan. Semua
perintah-Nya kulakukan, semua larangan-
Nya kutinggalkan.
144. Hasan : Sewaktu belum mengetahuinya, aku selalu
membanggakan Abah. Mantan tentara yang
dikenal gagah berani, menjaga kedaulatan
negara. Bahkan foto itu, Bah, foto yang se-
lalu Hasan banggakan setiap kali teman-
teman Hasan bertamu ke rumah ini. Seakan
tak ada yang lebih membahagiakan lagi

Antologi Naskah Drama 13


dibandingkan dengan melihat muka ka-
gum teman-temanku. Hingga pelan-pelan
meracuni impian kami untuk menjadi
seperti Abah. Namun, begitu mengetahui
kenyataan, semua itu terasa kosong. Begitu
mengetahui keterlibatan Abah dalam peris-
tiwa itu, kekaguman yang dulu kurasakan
berangsur menjadi sebuah hal yang semu.
Abah ternyata tak seperti impian masa kecil
kami. Hasan tetaplah menaruh hormat ke-
pada Abah sebagai kepala keluarga, namun
di sisi lain, masa lalu Abah telah membebani
hati Hasan. Maka, kali ini izinkan Hasan
menebus masa lalu Abah.
145. Abah : Apa kau tak melihat dengan siapa kau ber-
bicara?
146. Hasan : Hasan berkata dalam kesadaran penuh,
Bah. Ini adalah wujud cinta Hasan terhadap
Abah, terhadap keluarga ini untuk melaku-
kan hal yang, bahkan tak bisa dilakukan
oleh Bang Subhan.
147. Abah : Lalu kalau kau menganggap masa lalu Abah
sebagai sebuah kesalahan, sebuah aib, apa
yang akan kau lakukan untuk menebusnya?
Tindakan Abah di masa lalu, semata untuk
menegakkan kebaikan! Para pengacau itu
telah membunuh pimpinan Abah, menyik-
sanya dengan kejam, dan tak memberi am-
punan sama sekali. Mereka hendak mene-
barkan kemurkaan di negeri ini, mengaki-
batkan perang saudara, dan akhirnya demi
kedaulatan negeri ini, demi ketentraman
rakyat, Abah memilih terlibat pada apa
yang kini kau sebut jihad! Itulah jalan jihad

14 Sarapan Terakhir
Abah, di masa lalu Abah ikut memerangi
kemurkaan! Memerangi kebusukan! Jadi,
mana yang kau sebut kesalahan pada masa
lalu Abah? Dan apa yang akan kau lakukan
untuk menebusnya?
148. Hasan : Dengan mengorbankan diri di jalan Tuhan.
149. Abah : Abah tak paham arah pembicaraanmu.

HASAN BERDIRI.

150. Hasan : Sebagaimana Ismail dan Ibrahim; Hasan


sebagai Ismail, dan Abah sebagai Ibrahim.
Begitulah sederhananya, demi kesempur-
naan Abah sebagai hamba Tuhan. Hasan
menyadari, pembantaian yang pernah Abah
lakukan di masa lalu akan selalu menjadi
bayangan gelap yang bernaung di rumah
ini. Maka, ketika tawaran itu datang kepa-
da Hasan, sebaik mungkin Hasan menyam-
butnya, dan menjadikan itu jawaban atas
kegundahan Hasan selama ini. Hasan telah
siap!
151. Abah : Siap apa?
152. Hasan : Hasan akan menebus masa lalu Abah de-
ngan menjadi bunga api.
153. Abah : Bunga api? (BERPIKIR) Astaghfirullah… kau
berniat bunuh diri?
154. Hasan : Iya, menjadi bunga api yang menjilati orang-
orang kafir.
155. Abah : Astaghfirullah al-adzim, setan mana yang
meracuni pikiranmu! Sadarlah, San!
156. Hasan : Sudahlah, Bah. Relakan kepergian Hasan.
157. Abah : Jadi, semua ini telah kau rencanakan?
158. Hasan : Ya, Bah. Aku minta maaf jika ini menjadi
kabar buruk yang harus Abah ketahui. Na-

Antologi Naskah Drama 15


mun, Hasan tak melihat adanya keburukan
dalam rencana ini.
159. Abah : Ya, Tuhan, apa kesalahanku hingga memi-
liki anak dengan pikiran seperti ini? Hasan,
urungkan niatmu!
160. Hasan : Maaf, Bah. Hasan harus melakukannya ka-
rena hanya itulah satu-satunya cara meng-
halalkan rumah ini, semenjak pembantaian
yang Abah lakukan.
161. Abah : Jadi kau pikir selama ini Abah menghidupi
rumah ini bukan dalam keadaan halal?
162. Hasan : Hasan hanya melihat darah di rumah ini,
Bah. Darah orang-orang tak berdosa yang
dibantai Abah dan kawan-kawan Abah.
163. Abah : Mereka berdosa!
164. Hasan : Dosa dan tidak berdosa bukan hak manusia
yang menentukan.
165. Abah : Begitu pula kafir atau tidak kafir, bukan
hak manusia yang menentukan!
166. Hasan : Tapi bukti menunjukkan bahwa kekafiran
mereka itu nyata!
167. Abah : (MENGHELA NAPAS) Astaghfirullah....
astaghfirullah...
168. Hasan : Maafkan Hasan, Bah. Ini jalan yang Hasan
percayai dan akan Hasan tempuh. Hasan
telah memikirkannya berulangkali. Mung-
kin ini adalah pertemuan terakhir kita di
dunia ini, Bah. Besok, ketika aku telah men-
jadi bunga api, dan ketika Abah mendengar
berita itu di televisi, berbahagialah, Bah.
Itu artinya aku telah mengetuk pintu surga
untuk keluarga kita. Dosa Abah di masa
lalu akan diampuni, dan di surga nanti, kita
telah dijanjikan bidadari yang dengan kasih

16 Sarapan Terakhir
sayang akan melayani. Kita akan bertemu
lagi, Bah.
169. Abah : Maka bunuhlah abahmu ini jika kau me-
mang berniat begitu! Bukankah menurut-
mu, aku juga orang-orang yang layak bina-
sa, bukan? Ayo! Anak durhaka! (MELEM-
PAR BEBERAPA BARANG KE ATAS MEJA
KE ARAH HASAN).
170. Hasan : Abah tetaplah ayahku. Dan wujud baktiku
kepada Abah adalah menyelamatkan Abah
dengan cara yang kupercayai. Maafkan aku,
Bah. (BERLARI PERGI).
171. Abah : Hasan!

ABAH MENCOBA BANGKIT, NAMUN JUSTRU TER-


SUNGKUR DARI KURSI YANG IA DUDUKI.

3
ABAH DAN IBU TENGAH MENONTON TELEVISI, ME-
LIHAT LIPUTAN PERISTIWA PENGEBOMAN DI JAKARTA.

172. Ibu : Asap.... Kebakaran lagi, ya? (SAMBIL ME-


NGUPAS UBI REBUS) Oh, sepertinya bu-
kan.
173. Abah : (DIAM).
174. Ibu : Apakah Hasan baik-baik saja di sana?
175. Abah : (DIAM).
176. Ibu : Kau ini kenapa? Diam saja dari tadi.
177. Abah : Anakmu….
178. Ibu : Hasan, baik-baik sajakah?
179. Abah : Aku tak tahu.
180. Ibu : Semoga saja dia jauh dari ledakan itu.
181. Abah : Andai saja dia ada di rumah ini, kita akan
menua secara utuh, sebagaimana saat dulu

Antologi Naskah Drama 17


membesarkan mereka. (MULAI ME-
NANGIS).
182. Ibu : Eh, malah menangis.
183. Abah : (BERBICARA SENDIRI) Hahaha... anakku
telah berada di surga. Kelak ia akan me-
nyambut kita di depan pintu, dan keluarga
ini akan berkumpul lagi secara utuh.
184. Ibu : Kau ini kenapa?
185. Abah : (TAWANYA PERLAHAN TERASA SE-
DIH) Surga… apa yang Hasan ketahui ten-
tang surga?
186. Ibu : Kenapa kau teriak-teriak tentang surga?
187. Abah : Setiap hari kita selalu berdoa agar kelak ke-
luarga kita akan dipertemukan lagi di surga.
Aku selalu yakin, menanamkan kebaikan
setiap hari, memastikan anak-anak kita ber-
bakti dan tetap pada jalan Ilahi. Namun seka-
rang, aku tak yakin doa-doa itu akan di-
kabulkan.
188. Ibu : Kau teriak-teriak seperti orang gila saja.
189. Abah : Karena aku tak begitu yakin, surga yang kita
lihat akan sama dengan yang dilihatnya.
190. Ibu : Siapa?
191. Abah : Hasan. Ia terlalu pintar untuk membuat sur-
ganya sendiri.
192. Ibu : Tentu saja sama.
193. Abah : Entahlah.

KEDUANYA DIAM. HANYA TERDENGAR SUARA PEM-


BAWA ACARA DI TELEVISI MENYIARKAN BERITA LEDAK-
AN BOM DI IBU KOTA.

194. Ibu : Ah, jatuh. (KEPADA ABAH) Tolong ambil-


kan ubiku.

18 Sarapan Terakhir
195. Abah : (DIAM, MULAI MENANGIS).
196. Ibu : Hei …!

ABAH TETAP DIAM.


-SELESAI-

Andrian Eka Saputra. Lahir di Boyolali pada 15


Desember 1995. Kuliah di Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Yogyakarta. Alamat rumah di
Tumang Kulon, RT 02/RW 12, Cepogo, Cepogo,
Boyolali, Jawa Tengah. Nomor HP 085732866683.

Antologi Naskah Drama 19


LORONG PELANGI
Nur Afifah

M.Haryanto

1
NUR AFIFAH - M. HARYANTO
Sinopsis

Berbeda adalah kekayaan kita sesungguhnya, tetapi kita sering tidak siap menerima
perbedaan. Perjalanan anak-anak kecil dalam menelusuri berbagai lorong mendapatkan
hasil yang beragam. Terdapat 4 lorong dengan karakter yang berbeda,disetiap warnanya
nampak keberagaman yang menuai konflik. Anak-anak tersebut merasa semakin penasaran
dengan warna lorong yang bervariasi. Berawal dari bermain Egrang (permainan tradisional)
dan memutuskan untuk berpisah demi mengungkapkan kebenaran hingga pada akhirnya
anak tersebut memutuskan untuk segera keluar dari lorong serta kembali bertemu dengan
kebermaknaan.

Seting Panggung Awal :

Konsep panggung menggunakan jenis panggung proscenium (panggung bingkai).


Adanya jarak yang sengaja diciptakan untuk memisahkan pemain dan penonton ini dapat
digunakan untuk menyajikan cerita seperti apa adanya. Aktor dapat bermain dengan
leluasa seolah-olah tidak ada penonton yang hadir melihatnya. Pemisahan ini dapat
membantu efek artistik yang diinginkan terutama dalam gaya realis yang menghendaki
lakon seolah-olah benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata. Untuk mengatur seluk
beluk pencahayaan diatas panggung telah digunakan suatu alat yang bernama Spot light
yang meliputi :

1. Main light : Cahaya yang berfungsi untuk menerangi panggung secara


keseluruhan

2. Front light : Lampu untuk menerangi panggung dari arah depan

3. Foot light : Lampu untuk menerangi bagian bawah panggung

4. Upper light : Lampu untuk menerangi bagian tengah panggug,biasanya


ditempatkan tepat diatas panggung

2
NUR AFIFAH - M. HARYANTO
BABAK 1
Adegan I (Lorong Putih)

Lampu padam, tidak lama kemudian lampu main light menyala. Setelah itu
munculah 3 anak kecil yang sedang bermain egrang (permainan tradisional yang terbuat
dari bambu). Berjalan kekanan dan kekiri panggung,dengan santainya mereka me-
nyanyikan lagu Dari Sabang sampai Merauke Ciptaan R.Suharjo yang telah digubah syair
oleh anak tersebut serta terdengar suara langkah anak kecil yang sedang bermain Egrang.

( Anak 1,Anak 2,dan Anak 3 bernyanyi sembari bermain Egrang )

Dari Sabang sampai Merauke (dengan lirik yang di gubah)

(Dari Sabang sampai Merauke


Berbeda keyakinan
Saut menyaut saling menghasut
Itulah negeriku

Negeriku tanah airku


Apa kabar dirimu
Ku ingin melihatmu bersatu
Bukan saling beradu)

Anak 1 : Turun turun turun !


Anak 2 : Naik naik naik. . .
Anak 3 : Turun turun turun !
Anak 2 : Ah, kamu itu sukanya ikut-ikutan saja (memandang anak 3)
Sudah nyaman diatas, aku tidak mau turun. Jika sudah dibawah untuk keatasnya
lagi susah, butuh tipu daya, sikut sana,sikut sini (sembari mempraktikkan didepan
temannya) dan menguras tenaga (memandang anak 3 serta menaikkan bahunya
dengan ekspresi nyentrik)
Anak 3 : Ahahaha, bukannya negeri kita sudah menjadi negeri yang ikut-ikutan?
(menatap anak 2)
Anak 1 : Hmm. . . Aku lelah (menundukkan kepala, sembari turun dari permainan egrang,

3
NUR AFIFAH - M. HARYANTO
namun alat permainan egrang masih tetap dipegang)
Anak 3 : (mengulang dialog serta menirukan ekspresi dan tindakan anak 1 sembari tertawa
malu)
Anak 2 : Diatas lebih enak. Banyak fasilitas.
Jangan menyerah jangan menyerah. . . (menirukan gaya D’Masiv)
Berjuanglah semestinya ! Yeyyy…yeyyy…yeyyyy (sembari bersorak-sorak penuh
kegembiraan)
Anak 3 : Apa ? Ha ha ha (sembari tertawa penuh keraguan)
Anak 2 : Kita harus berjuang, agar kita pintar ! (dengan nada tegas dan turun dari permainan
egrang,namun alat permainan egrang masih tetap dipegang)
Anak 3 : Buat apa ?
Anak 2 : E…e…e….
Kok buat apa? (sembari melirik Anak 3)
Negara kita negara berkembang, aku ingin memajukannya. Berarti aku harus jadi
orang pintar (meninggikan suaranya untuk menarik perhatian)
Anak 1 : Adu..duuu..duuuuh...
Aja keminter mengko keblinger ! Aja cidra mundak cilaka! (kebijakan Jawa) Itu kata
kakekku. Negara kita sudah banyak orang pintar, kamu tidak perlu jadi orang pintar!
(dengan suara tegas sembari mendekati anak 2 untuk menepuk bahunya)
Anak 3 : Kalau sudah banyak orang pintar kenapa kita harus belajar ? (kembali naik untuk
bermain egrang)
Anak 1 : Jangan jadikan pintar sebagai alasan ! (dengan nada tegas)
Anak 3 : Terus apa ?
Anak 1 : Kita harus bisa jadi orang jujur ! (dengan suara tegas)
Anak 3 : Orang jujur ? Kenapa?
Anak 1 : Negara kita sudah banyak orang pintar,tapi kekurangan orang jujur !
Sing eman ora keduman, sing keduman ora eman.
Sing bejat munggah pangkat, sing ngrumat diborgol kawat (kebijakan Jawa)
(dengan nada nyentrik sembari menatap anak 2 dan 3)
Anak 3 : Oh iya ya,yang mengambil uang negara kan orang pintar, yang memanipulasi berita
juga orang pintar, yang lupa pada jatidiri bangsa orang pintar, yang menjual aset
negara juga orang pintar, yang menganggap budaya asing lebih baik dari budaya

4
NUR AFIFAH - M. HARYANTO
nusantara juga kata orang pintar? Tapi syukur, dengan kepintarannya mereka
masuk bui! Hahaha (sembari tertawa terbahak-bahak) Ups… (menutup mulut
dengan kedua tangannya)
Anak 1 : Bui ? Kata siapa?
Itukan bahasa koran saja! Bahasa media! Faktanya?
Anak 2 : Hhhmmmm (menirukan gaya Nisa Sabyan sembari meletakkan kedua telapak
tangannya di dada)
Anak 3 : Huuuuu…uuuu…haaaa…huuuu…haaaa (menyorakki anak 2)
Anak 2 : Tidak,mereka tuh hanya masuk TV dan Koran (menyanggah pendapat anak 3
dengan ekspresi meledek)
Anak 1 : Berarti kalau kita mau masuk TV dan Koran kita harus pintar berbuat jahat pada
negara ya? (bertanya dengan suara nyinyir kepada anak 2 dan anak 3)
Anak 2 : Oh… Tidak, tidak, tidakkkk... (menirukan gaya komedian Sule)
Masih banyak cara yang baik
Anak 1 : Baik ? Apa yang baik? Bukankah negara kita semakin buruk?
Anak 3 : Buruk apanya?
Anak 1 : Pilihan hidupnya
Anak 2 : . . .
Anak 1 : Generasi bangsa sekarang banyak yang memilih tenar daripada memilih benar
Anak 3 : Memangnya generasi bangsa harus jadi orang benar ya?
Anak 2 : . . .
Anak 1 : Mereka lebih banyak nyinyir tapi kurang berpikir
Anak 3 : Dasar bangsa pemilih! (sembari menghentakkan kakinya hingga berbunyi “prok
prokk-prokkk”)
Anak 1 : Memilih bikini daripada kebaya, memilih friedchicken daripada ayam goreng,
memilih steak daripada rendang, memilih black coffe daripada kopi hitam, memilih
lagu korea daripada macapat, memilih gadget daripada permainan tradisonal,
memilih jadi orang lain daripada memilih jadi anak budaya Indonesia, memilih tenar
daripada benar, lebih suka cengar-cengir daripada berpikir. Masih mau mengakatan
mereka tidak berpikir? Sebab pilihan dimulai dari pikiran!
Anak 3 : Mikir! Mikir! Mikir! (sembari meletakkan telunjuk dikepalanya)
Anak 2 : Mereka tidak berpikir ! (sembari menghentakan alat permainan egrang hingga

5
NUR AFIFAH - M. HARYANTO
berbunyi “prok-prokk-prokk”)
Anak 1 : Kamu salah,mereka juga berpikir (sembari menghentakan alat permainan egrang
hingga berbunyi “prok”)
Anak 2 : Berpikir apa? (sembari menghentakan kaki hingga berbunyi “prok-prokk”)
Anak 1 : Berpikir bagaimana bisa menjadi wakil rakyat, untuk bisa memelaratkan rakyat!
Berpikir bagaimana bisa sekolah diluar negeri agar pulang bisa meremehkan budaya
negeri. Berpikir ilmu budaya untuk memusnahkan budaya. Berpikir yang penting
otak jenius tapi tidak perlu religius? Belajar budaya barat agar katanya lebih
bermartabat.
Anak 2 : Memangnya kita harus belajar budaya asing ya?
Anak 1 : Iya,karena disana kiblat semua pengetahuan, bahkan nyaris jadi Tuhan.
Anak 3 : Oh gitu ya…
Jadi kita harus ikut-ikutan bergaya seperti mereka?
Anak 1 : Bukan begitu,kamu salah
Anak 3 : Apa? (sembari menghentakan alat permainan egrang hingga berbunyi “prok”)
Anak 1 : . . .
Anak 2 : Kenapa harus budaya orang asing?
Budaya bangsa kita sendiri bagaimana?
Anak 1 : Ya aku tidak tahu.
Anak 2 : Kamu salah ! Kamu harus tahu !
Segala sesuatu yang bagus untuk orang lain belum tentu bagus buat kita!
Anak 1 : Aku benar (sembari menghentakan alat permainan egrang hingga berbunyi “prok-
prokk-prokkk” sembari menatap anak 2)
Anak 2 : Kamu salah (dengan ekspresi jengkel dan saling berhadapan dengan Anak 1)
Anak 1 : Kamu! (dengan ekspresi jengkel dan saling berhadapan dengan Anak 2)
Anak 3 : Jangan saling menyalahkan, kita akan terasa benar jika dalam porsi masing-masing.
Kita harus bisa memegang jatidiri! Tradisi! (dengan suara tegas sambil memegang
dada)
Anak 3 : Kita harus bisa menjaga tradisi bangsa kita !
Anak 1 : Tradisi apa Teknologi? (menatap anak 3)
Anak 3 : Tradisi ! (dengan nada tegas)
Anak 1 : Kearifan lokal atau wawasan global? (menatap anak 2)

6
NUR AFIFAH - M. HARYANTO
Anak 2 : Kearifan lokal (dengan nada tegas)
Anak 1 : Lantas kenapa tradisi kini dikebiri dan teknologi dipuja puji? (sembari menatap anak
2 dan anak 3)
Anak 2 : Waduh (sembari meletakkan telunjuk diotaknya sembari berpikir)
Oh iya ya... Kita seperti diusir pelan-pelan dari rumah kita sendiri. Lepas dari
Belanda, jatuh ke pelukan Jepang, setelah merdeka mahkota bagi bangsa dinikmati
sebagai “bancak-an” (bahasa Jawa: santapan ramai-ramai). Kini perlahan kita
sudah menjelma menjadi orang lain.
Anak 1 : Kalau begitu, berbudaya apa berwawasan dunia?
Anak 2 : . . . (terdiam lalu dengan ekspresi jengkel anak 2 menghentakan alat permainan
egrang hingga berbunyi “prok-prokk-prokkk”)
Anak 1 : Kamu salah! (dengan nada tegas sembari saling bertatapan dengan anak 2)
Anak 2 : Aku benar! (dengan nada tegas sembari saling bertatapan dengan anak 1)
Anak 1 : Kamu salah! (dengan nada tegas sembari saling bertatapan dengan anak 2)
Anak 2 : Aku benar! (dengan nada tegas sembari saling bertatapan dengan anak 1)
Anak 3 : Sudah-sudah! Jika kebenaran selalu diperebutkan, siapa yang mau disalahkan ?
Anak 1 dan 2 : Ya..Kamulah (sambil menunjuk anak 3 dengan kompak)
Anak 3 : Penyakit kita adalah penyakit merasa paling benar. Semua ingin didengar tapi tidak
mau belajar mendengar. Merasa sudah berasa tapi tidak punya rasa, merasa punya
hati tapi tidak punya hati, merasa sudah berbudaya akan tetapi sering
menyepelakan budaya, merasa sudah Indonesia tetapi tidak Indonesia,merasa
sudah berpikir namun masih suka nyinyir serta mirisnya lagi merasa pancasila tapi
belum pancasilais. Ah....sudahlah (sambil memalingkan muka).

Tidak lama kemudian datanglah seorang Kakek misterius berbaju hitam dengan mata
sayub-sayub serta membawa kayu sebagai alat untuk mempermudah langkahnya.

Kakek : Mikir apik atine ojo burik


Tumindak becik ben dalan uripe dadi resik
Ora mosak masik (kebijakan Jawa)
Uhuk uhukk (sembari terbatuk Kakek menghampiri anak-anak)
Anak 1 : Kakek siapa?
Kakek : Kesejatian! Uhuk... Uhukk... (batuk)

7
NUR AFIFAH - M. HARYANTO
Lebih tepatnya jati diri yang hilang!
Anak 1 : Kami harus bagaimana?
Kakek : Lihat dan masuklah dalam lorong-lorong itu ! Belajarlah melihat perbedaan!
Lorongnya berbeda-beda,namun jawabannya hanya satu. Akan nampak kearifan
dalam dunia kekinian. Uhuk-Uhukk (sambil terbatuk)
Anak 1 : . . . (terdiam serta berekspresi kebingungan)
Anak 2 : Untuk apa? (dengan ekspresi yang polos dan ingin tahu)

Hening . . .
Tidak lama kemudian tiba-tiba Kakek berdialog menggunakan bahasa Jawa hingga
membuat anak tersebut merasa semakin kebingungan.

Kakek : Ngluruk tanpo bolo


sakti tanpo aji-aji
sugih tanpo bondo
menang tanpo ngasorake (kebijaksanaan Jawa)
Anak 2 : Maksudnya kek?
Kakek : . . .

Tidak lama kemudian lampu dengan perlahan redup dan asap mulai mengepul dari sisi
panggung hingga menyeluruh serta kakek tersebut menghilang dengan sendirinya tanpa
sepengetahuan anak-anak tersebut

Hening

Tidak lama kemudian, lampu Front Light menyala,nampak anak-anak tersebut langsung
berdiri didepan lorong pilihannya masing-masing kemudian lampu kembali padam (fade
out).

Adegan II ( Lorong Oranye )

Tidak lama kemudian tirai hitam di Lorong Orange dibuka secara perlahan. Lampu
Main light dan Front light kembali menyala. Setelah itu terlihat anak kecil yang sedang

8
NUR AFIFAH - M. HARYANTO
bernyanyi, tidak lama kemudian datanglah Pemuda yang memakai pakaian adat dan
pemuda yang memakai setelan jaz modern menghampir anak kecil.

Anak kecil : (bernyanyi lagu yang berjudul 17 Agustus tahun 1945 Ciptaan Habib
Muhammad Husein Muthahar yang telah digubah syairnya)

17 Agustus tahun 1945 (dengan lirik yang di gubah)

(Ayo Pemuda-Pemudi mari kita bersatu


Menjunjung tinggi negara biar bisa maju
Jangan meragu mari kita maju
Mari ungkapkan kebenaran yang sejujurnya

Jujur saja . . .
Pemuda sekarang lupa berjuang
Jati diri juga sudah ditentang
Coba kita, lestarikan
Biar kebhinekaan diagungkan

Pemuda 1 : Stop ! Berhenti


Anak kecil : Apa?
Pemuda 1 : Kamu nyanyi buat apa?
Anak kecil : Menyemangati untuk pemuda Indonesia (sembari memutar badannnya dan
bergaya nyentrik)
Pemuda 2 : Generasi bangsa kita tidak hanya butuh semangat.
Anak kecil : Saya salah?
Pemuda 1 : Halah sudah tahu salah masih saja pura-pura bodoh.
Heh... (sembari memalingkan muka)
Anak kecil : Hhhmmm (menirukan gaya Nisa Sabyan sembari meletakkan kedua telapak
tangannya di bagian dada)
Pemuda 1 : (memperhatikan gaya anak kecil serta mencoba untuk menirukannya)

9
NUR AFIFAH - M. HARYANTO
Pemuda 2 : Ibu kota harus suci,baik.
Anak kecil : Untuk apa? (sembari mendekati pemuda 2)
Pemuda 2 : Memakmurkan rakyatnya
Anak kecil : (memalingkan muka)
Pemuda 2 : Sebagai generasi bangsa,kamu harus bersumpah untuk memakmurkan rakyat
Anak kecil : Hahaha (tertawa terbahak-bahak)
Saya tahu apa tentang rakyat !
Bagaimana mungkin saya bisa bersumpah,sedangkan usia saya masih anak-anak
sembari menundukkan kepala)
Pemuda 2 : Nah... Justru itu yang harus ditanamkan sejak dini.
Sebab awal mulanya terbentuk generasi bangsa bisa dilihat dari kecil .
Anak kecil : Jadi saya harus bagaimana?
Pemuda 1 : E.e..e... Kok harus bagaimana
Ya kamu harus bersumpah sebagai calon pemuda Indonesia
Anak kecil : Hmmm... Seperti itu ya ?

Lampu padam,tidak lama kemudian datanglah anak kecil tersebut untuk membacakan
Sumpah Pemuda yang telah diplesetkan dan disesuaikan dengan fenomena bangsa
didepan pemuda 1 dan pemuda 2. Anak tersebut memakai jaz,celana boxer serta dasi
kupu-kupu diatas kepalanya.

Anak kecil : (membacakan sumpah pemuda yang telah diplesetkan dan disesuaikan dengan
fenomena bangsa)

SAMPAH PEMUDA

1.Kami putera-puteri Indonesia mengaku bergerak menyatu menegakkan


tongkat narsis
2.Kami putera-puteri Indonesia berbangsa satu bangsa yang bercerai-berai
agar ramai dibincangkan
3.Kami putera-puteri Indonesia mengaku berbahasa satu bahasa alay untuk
kemajuan zaman

10
NUR AFIFAH - M. HARYANTO
Pemuda 1 : E.e..e... Anak kecil sudah pandai mengubah isi sumpah pemuda
Pemuda 2 : O.o..o… Tidak boleh seperti itu
Anak kecil : Saya tidak mengubah isi sumpah pemuda ! Saya hanya ingin membuang
sampah pemuda yang ada dipikiran saya.
Pemuda 2 : Oh... Seperti itu (sembari mengangguk-anggukkan kepala)
Anak kecil : Hahaha... (tertawa terbahak-bahak)
Pemuda 1 : E.... Dasar anak kecil !
Tidak boleh menertawakan orang yang lebih tua,nanti kualat !
Anak kecil : Oops ! (sembari menutup mulut dengan kedua tangannya)
Saya tidak bermaksud menyindir,hanya saja membuang sampah pemuda yang
ada dipikiran saya
Pemuda 1 : Untuk apa?
Anak kecil : Loh.loh..loh... Kok untuk apa?
Ya sudah jelas ! Saya harus membuang sampah pemuda yang ada dipikiranku.
Pemuda 1 : Untuk apa?
Anak kecil: Sebab sebelum kita bersumpah kita harus bisa membuang sampah-sampah yang
ada dipikiran kita !
Pemuda 2 : Oooo.....
Anak kecil : Sumpah jangan bercampur dengan sampah! Budaya jangan dicampur dengan
buaya !

Lampu panggung kembali padam (fade out).

Adegan III ( Lorong Merah )

Tidak lama kemudian tirai hitam di Lorong Merah dibuka secara perlahan (lampu
fade in menyala). Tidak lama kemudian lampu Upper light menyala serta menyorot ke
sepasang nenek dan kakek yang sedang membatik sembari menyanyi tembang Jawa.

Nenek Pembatik : (menyanyi tembang Jawa)

Aja turu sore kaki. Ono dewa nglanglang jagad. Nyangking bokor
kencanane. Isine donga katulak (sambil mencanting dan meniupnya)

11
NUR AFIFAH - M. HARYANTO
Pembatik 1 : Sudah mbah!Bosen, lagu kuno kok dinyanyikan terus...
Nenek Pembatik : (cuek dan terus bernyanyi) Aja turu sore kaki...
Pembatik 2 : (nenek belum selesai, sudah dipotong) lagu pengundang demit kok
dinyanyikan mbah! Musrik!
Nenek Pembatik : Ana dewa..nglanglang jagad, nyangkir bokor kencanane!
Seandainya kalian tahu artinya..uhuk..uhuk... (terbatuk)
Pembatik 3 : Apa to mbah artinya?
Nenek Pembatik : Aja turu sore kaki, artinya jangan tidur terlalu sore! Anak muda jangan
terburu-buru seneng-seneng, jangan gampang menyerah!
Ana dewa nglanglang jagad, artinya ada malaikat yang mencatat doa
dan permohonan hambanya yang mau bermunajat! Nyngkir bokor
kencanane artinya membawa kabulnya kesejahteraan!
Pembatik 1, 2, dan 3 : Oh... Pantes!
Kakek pembatik : Tembang warisan leluhur ini, nasibnya sama seperti warisan Jawa lainya.
Tersingkir, difitnah sebagai pemanggil setan! Sebaliknya, padahal isinya
doa!
Pembatik 2 : Ternyata yang membunuh kebudayaan itu anak bangsa negara kita ya
mbah (sambil menggoreskan canting di kain batik)
Nenek Pembatik : Keris di fitnah mistik, padahal teknologi antariksa orang barat itu meniru
titanium pada pamor keris. Gamelan difitnah pengundang arwah,
padahal di Barat untuk mengobati orang depresi dan sakit jiwa terapinya
dengan bermain gamelan dan mendengarkannya! Apa tidak bahaya ?
Orang Barat berbondong-bondong datang untuk melihat candi, kita orang
Indonesia malah mencuri batu-batu candi. Cilaka! (sembari menepukkan
tangan didahi lalu menggelengkan kepalanya)
Pembatik 3 : Bagaimana dengan Batik mbah?
Kakek : Uhuk...uhuk...(batuk). Seorang pembatik kok tidak tahu nasibnya batik.
Sebagaimana wakil rakyat yang tidak tahu nasibnya rakyat! Sebagaimana
orang Jawa yang tidak tahu Jawa!
Pembatik 2 : (sambil meledek) Modiarr... Kena marah kan? kamu si bertanya yang
aneh begitu!
Nenek pembatik : Aja turu sore kaki! (sembari bernyanyi dan menjawab pertanyaan dari

12
NUR AFIFAH - M. HARYANTO
pembatik 3) Batik ia bukan cuma jasad berwarna tetapi kedalaman jiwa.
Pembatik 2 : (sambil meledek) Modiaar... Siap-siap diceramahi lagi !
(sambil membesarkan nyala api dalam tungku batik)
Nenek Pembatik : Kenali bukan cuma sebagai titik. Bukan cuma sebagai garis. Kita baru
merasa memiliki batik ketika diakui sebagai milik bangsa lain? Batik ingin
jadi hak milik, bukan cuma ketika dilirik.
Kakek Pembatik : Budaya adalah sebuah pesan. Seni berfilosofi tinggi bukan cuma barang
mati untuk komoditi. Tolong kenali... Bukan sekadar peninggalan, akan
tetapi sebagai masa depan (meneruskan penjelasan dari nenek)
Pembatik 2 : Cie... Kompak, seperti Romeo and Juliet!
Pembatik 1 : Mbah, mbah...kok bisa bilang batik jangan cuma jadi barang komoditi.
Kapitalisme itu penting to mbah! Perut harus kenyang!
Pembatik 3 : Apa kita bisa kenyang hanya dengan nembang Jawa?
”Aja turu sore kaki...” (sembari mencoba mengingat dan menyanyikannya)
Nenek Pembatik : Oalah... Anak muda sekarang dikasih nasihat susah mencerna ! Matanya,
telinganya, mulutnya kebanyakan... ”KOAX”
Pembatik 1, 2, 3 : Hoax... Mbah.. Hoax... Bukan koax!
Nenek Pembatik : Setiap budaya mempunya nyawa. Batik punya makna. Jangan sekadar
memakai batik tapi tidak tahu maknanya. Dan yang lebih penting, jangan
demi untuk banyak pakai pewarna yang merusak alam. Itu artinya jiwa
kita belum terbatik.
Kakek Pembatik : Lihat sungai ! Warnanya coklat. Sumur-sumur warga tercemar. Ikan-ikan
pada mati. Itu bertentangan dengan filosofi batik. (sembari menatap
pembatik 1,pembatik 2,dan pembatik 3)
Nenek Pembatik : Kita lihat Sultan Jogja, dirayu milyaran pun tetap pada pendirinnya. Tidak
bersedia di jogja ada jalan Tol. La wong jalan milik rakyat kok rakyat mau
lewat harus bayar! Juga tidak mau atmosfer budaya juga tergerus.
Filosofi hidup harus dijaga, budaya harus dijaga sebagaimana kita
menjaga bendera kita!
Pembatik 2 : Orang tidak mungkin dipaksa mengerek bendera dengan perut
lapar, mbah!
Nenek Pembatik : Akan tetapi sangat nista menjual bendera bangsa karena perut, tole!

13
NUR AFIFAH - M. HARYANTO
Lampu panggung kembali padam (fade out).

Adegan IV ( Lorong Biru )

Tidak lama kemudian tirai hitam di Lorong Biru dibuka secara perlahan. Lampu
main light dan front light menyala ketika Bu Putri menghampiri Bu Tiara. Setting
panggung terlihat seperti ruangan guru, nampak tumpukan buku di berbagai meja.

Bu Putri : Kurikulum 2004 (KBK) diganti dengan kurikulum 2006 (KTSP),setelah itu ganti lagi
menjadi Kurikulum 2013, eh 2013 mau ganti lagi?
Bu Tiara : Apa yang dicari? (dengan nada cuek sembari bermain HP)
Bu Putri : Yang dari pelosok belum sempat ganti kurikulum. Eh tiba-tiba sudah mau ganti
lagi?
Bu Tiara : Apa yang dicari? (dengan nada cuek sembari bermain HP)
Bu Putri : Ada ujian nasional, diprotes. Tidak ada ujian nasional tidak ada motivasi.
Bu Tiara : Apa yang dicari? (masih dengan nada cuek sembari bermain HP)
Bu Putri : Pendidikan behavioris ganti humanis, humanis ganti kognitif, kognitif ganti
pendidikan karakter.
Bu Tiara : Hhmmm (dengan gaya Nisa Sabyan)
Apa yang dicari ? (masih dengan nada cuek sembari bermain HP)
Tidak lama kemudian datanglah Bu Tata yang ikut bergabung dalam pembicaraan

Bu Tata : Jatidiri?
Bu Putri : Kita pernah punya segalanya. Hanya saja lupa dimana menyimpanya !
Bu Tiara : Sekarang kita dengungkan pendidikan karakter dimana-mana. Seminar-seminar,
forum-forum, dari TK sampai Kuliah semuanya dilabeli pendidikan karakter.
Ujung-ujungnya cuma jualan sertifikat! Itu yang kita cari? (sembari menaikkan
alisnya keatas secara bersamaan)
Bu Tata : Pertama, kita lupa untuk memanusiakan manusia. Sibuk mencela,suka sikut sana
sikut sini hanya demi popularitas semata! Yang kedua,pribadi yang harus
bermanfaat bagi orang lain !

14
NUR AFIFAH - M. HARYANTO
Bu Tiara : Adu.duu..duuhhhh... Harus pilih 1 atau 2 ya? (sembari mempraktikkan
menggunakan tangan kanannya)
Bu Putri : Kita harus berkarakter? Sebenaranya permainan tradional sudah mengajarkan
karakter, kejujuran, tanggung jawab, sportivitas, kerjasama tim. Itu yang dicari?
Bu Putri : Sebenarnya lagu tradisional itu sudah mengajarkan religiositas, sifat amanah, serta
filosofi hidup? Itu kan yang kita cari?
Bu Tata : Kembali ke jati diri bangsa, itu jalan utamanya!
Bu Putri : Kurikulum kita setiap 5 tahun diperbarui. Hasilnya? Kemanusian kita terlantar,
budaya kita terlupakan !
Bu Tiara : Bertahun-tahun kita dibius opium, dibuat tidur kekenyangan, saat bangun apa
yang kita miliki sebagai bangsa telah diperkosa bergilir (sambil geleng geleng
kepala)
Bu Tata : Kita ganti metode mengajar leluhur kita dengan metode-metode asing. Jigsaw,
Snawballplaying, sosiodarama. Padahal itu semua sudah ada di kita. Hanya saja
bahasanya yang berbeda! Katanya sih biar kekinian.
Bu Putri : Bahaya! Gawat! (tepuk jidat)
Bu Tata : Ada anak manusia disusui susu sapi. Ada anak Indonesia diasuh internet.
Lebih tepatnya diasuh untuk menjadi robot!
Bu Tiara : Bahaya ! Akhirnya muncul genarasi yang tidak punya unggah-ungguh, sopan
santun, teposeliro bahkan perikemanusiaan!
Bu Putri : Bagaiamana bisa jadi manusia Indonesia yang seutuhnya?
Bu Tata : La.. Itu,Itu.. Mungkin itu yang kita cari! Awal mula dari korupsi ya dari sekolah!
Awal mula kejahatan ya dari sekolah! Awal mula hilangnya jatidiri bangsa, budaya
bangsa ya.. Dari itu tadi! (dengan suara tegas)
Bu Putri : Hhmmm (gaya Nisa Sabyan)
Sekarang enak ya,kurikulumnya terbarui
Bu Tiara : Iya… ( Cuek )
Bu Putri : Siswa Ibu sudah mampu memahaminya kan?
Bu Tiara : Iya ( Sambil mainan HP )
Bu Putri : Pakai teknik atau metode apa,Bu?
Bu Tiara : Open Phone
Bu Putri : Untungnya ?

15
NUR AFIFAH - M. HARYANTO
Bu Tiara : Ya pasti adalah
Bu Putri : . . .
Bu Tiara : Enak aja,Bu (Sambil mainan HP dan tersenyum sinis)
Bu Putri : Kurikulum itu jantungnya pendidikan,siswa adalah detaknya. Jika kurikulum
terbarui,setidaknya detak jantung dalam pendidikan semakin baik.
Bu Tiara : Iya (dengan nada cuek)
Bu Putri : Lantas dengan cara open phone bisa memperbaik generasi?
Bu Tiara : Iya (dengan nada cuek)
Bu Putri : Zaman memang semakin maju,maju dalam pemikiran yang diharapkan. Jika
seterusnya mengandalkan pemikiran mesin,jangan-jangan kita akan terbodohi dan
menjadi generasi manusia mesin
Bu Tiara : I . . . Ya (sambil mengingat pertanyaan dari Bu Putri, kemudia meralat
jawabannya) Maksud saya jangan sampai seperti itu
Bu Putri : (tersenyum)
Bu Tiara : (masih asyik dengan HPnya )
Bu Putri : Lantas Peran guru di zaman yang semakin canggih ini untuk apa? Sebagai status
belaka?
Bu Tiara : Iya
Bu Putri : Apa Bu Tiara salah satu dari mereka?
Bu Tiara : . . . (terdiam)

Lampu panggung kembali padam (fade out).

Adegan V ( Di depan Lorong - lorong )

Tidak lama kemudian lampu menyala kemudian lampu padam kembali,kejadian itu
terulang hingga tiga kali. Setelah itu lampu Foot light dan Upper light menyala. Terlihat
ketiga anak tersebut bertemu lagi dengan membawa permainan tradisional (Egrang) serta
memainkannya. Ketiga anak tersebut dengan santainya bermain Egrang dari satu sisi
menuju kesisi lain sembari menyanyikan lagu Balonku ada lima yang telah digubah syair
oleh anak tersebut. Terdengar suara langkah anak kecil yang sedang bermain egrang.

16
NUR AFIFAH - M. HARYANTO
Balonku ada lima (dengan lirik yang digubah)

(Budaya negeriku
Berbagai macam jenisnya
Aduhai pusing kepalaku
Diriku harus bagaimana
Ada yang baru di daerahku
Dari game online misalnya
Aduhai pusing kepalaku
Hati teriris merasakannya
Bagaimanakah selanjutnya
Ah. . .
Aku tidak ingin kena dampaknya
Lebih baik ku main saja
Daripada harus mengikutinya)

Anak 2 : Berhenti!
Anak 1 dan Anak 2 : (Mematung)

Hening,tidak lama kemudian anak 1,anak 2, anak 3 dengan kompak berhitung.

Anak 1, 2, dan 3: Siji-siji rojo pati, yo dek yo. Loro-loro ono maling, yo dek yo. Telu-telu umah
kobong. Papat-papat banjir bandang. (bahasa Jawa)

Kembali hening,tidak lama kemudian Anak 1, anak 2, anak 3 berjajar rapi didepan lorong-
lorong tersebut.
Anak 2 : Turun turun. . .
Anak 3 : Naik naik. . .
Anak 2 : Turun-turun. . .
Anak 1 : Diatas aja ah lebih enak ! Bisa melihat kesalahan dari atas
Anak 2 : Dibawah juga bisa melihat kesalahan yang diatas
Anak 3 : Sudah jangan saling memaksakan, jangan jadikan pertengkaran sebagai tradisi.
Kalian ingin menjadikan pertengkaran sebagai tradisi ? Hhmmm (sembari
menirukan gaya Nisa Sabyan)
Anak 1 : Diatas enak,aku tidak ingin turun ! (dengan ekspresi cemberut)
Anak 2 : Sudah saatnya bergilir. Kini, kita harus turun ! (turun dari permainan egrang)

17
NUR AFIFAH - M. HARYANTO
Kita harus siap kebawah untuk mengklarifikasi apa yang sudh kita dapat ketika
masuk dalam lorong-lorong itu (sembari menunjuk lorong-lorong yang sudah anak
1, anak 2, anak 3 masuki,biar tahu apa yang harus kita perbuat (dengan ekspresi
geram)
Anak 3 : Masalahnya banyak,namun hanya ada satu solusi yang tepat.
Anak 2 : (bergegas untuk menaiki alat egrang)
Apa ? (sembari mendekati anak 3 dan menepuk bahunya)
Anak 3 : Semuanya pasti beragam, dari situlah kita harus bisa menerimanya (sembari
menunjuk lorong-lorong yang ada disekitar anak 1, anak 2, dan anak 3).
Menerima bukan berarti harus menyamakan, namun kita harus bisa memahami apa
yang sekiranya baik untuk diri kita dan untuk memakmurkan bangsa !
Anak 2 : Wah.. Wahh...wahhh.... Betul-betul-betul (menirukan gaya Upin dan Ipin)
Anak 1 : Yo… yo… yo…
Kita main lagi aja yuk (dengan nada pelan untuk mengawali bernyanyi sembari
menghentakan kakinya hingga terdengar bunyi “prok-prok”)

Tidak lama kemudian anak 1, anak 2, anak 3 dengan kompak berjalan membentuk formasi
yang unik untuk bernyanyi lagu Jawa.

Anak 1, anak 2, anak 3 : (bernyanyi lagu Jawa)

E, dhayohe teka, e, gelarna klasa! E, klasane bedhah, E, mergo morale bedhah, E, tambalen
sumpah, E sumpah pemudaku, E ingatlah selalu!

Hening,lampu padam tidak lama kemudian lampu menyala kembali kejadian itu sampai
tiga kali hingga membuat anak tersebut kebingungan. Tidak lama kemudian nampak anak-
anak hitz yang telah mengelilingi ketiga anak tersebut

Anak hitz 1 : Kalian siapa? (memandang ketiga anak tersebut)


Anak 1 : Kami anak Jawa
Anak hitz 2 : Itu permainan apa? (sembari melirik alat permainan egrang)
Anak 2 : Egrang
Anak Hitz 2 : Tinggi ya?
Anak 3 : Ya,kita harus main ini

18
NUR AFIFAH - M. HARYANTO
Tradisi dapat dikenal jika kita tidak melupakan dan meninggalkan
Anak Hitz 3 : Tidak canggih !
Anak 3 : Tapi asyik
Anak Hitz : Permainan murah dan murahan! Lihat ini alat pendengar musik
dari Eropa? hahahha (sembari tertawa terbahak-bahak bersama kawan
kawannya)
Anak 1 : Tidak semuanya yang dari Barat itu dapat bermanfaat (menatap anak hitz)
Anak 3 : Tidak semua yang kamu anggap baik juga bisa baik untuk orang lain
(menatap anak hitz dan berucap dengan tegas)

Terdengar suara tawa anak 1, anak 2, dan anak 3 kemudian anak-anak tersebut bersiap
untuk kembali bermain Egrang dan menyanyikan lagu Syantik yang dipopulerkan oleh Siti
Badriah yang syairnya telah digubah oleh anak tersebut sembari berjalan dari sisi
panggung hingga kesisi panggung yang lain “Prok-prokk-Prokkk” (terdengar suara ketukan
langkah mereka kemudian lampu padam tidak lama kemudian lampu main light
menyala,nampak anak hitz yang terganti dikelilingi anak 1,anak 2,dan anak 3)

Syantik (dengan lirik yang digubah)

(Memang lagi tenar…

Hy saudaraku
Cobalah berpikir baik dulu
Jangan pernah engkau ragu
Kutahu engkau pasti mampu
Hy saudaraku
Urungkanlah niatmu
Bertindak sebodoh itu
Jangan lupa berpikir dulu
Memang sudah gila
Negeriku tercinta
Maunya tenar saja
Tapi karir entah gimana

Memang sudah tradisi


Sukanya caci maki

19
NUR AFIFAH - M. HARYANTO
Tanpa lihat situasi
Sampai sibuk kesana kemari)

Anak 1 : Kita menang!


Anak Hits 1 : Kalian kalah !
Kita yang menang, dasar kampungan! norak! (gaya tukul arwana)
Anak 3 : Inilah hebatnya permainan asli Indonesia, mengajarkan pendidikan
demokrasi! Kalau ada yang kalah dinegeri ini kemudian marah, waktu kecil
pasti tidak tahu permainan tradisonal. Pemimpin negeri harus belajar dari
anak-anak! Dari sumpah masalalunya! Warisan nenek moyangnya!
Anak 2 : Menang ora umuk (bahasa Jawa : Menang tidak sombong)
Kalah ojo ngamuk (bahasa Jawa : Jika kalah jangan marah)
Anak 1 : Ini yang namanya, anak-anak kehilangan ke kanak-kanakanya !
Anak 2 : Petani kehilangan lahannya!
Anak 3 : Agamawan kehilangan agamanya!
Anak 2 : Pribadi yang tidak mempunyai prinsip!
Anak 1 : Sumpah yang kehilangan sumpahnya!
Anak 1, 2, 3 : Indonesia yang kehilangan Indonesia! Nusantara yang kehilangan
nusantaranya! Sumpah menjadi Sampah! (dengan nada lebih tegas dan
kompak)

Hahahaha (anak 1,anak 2,dan anak 3 tertawa terbahak-bahak kemudian mereka


meninggalkan panggung sembari mengejek anak hitz yang sibuk mendengarkan musik
melalui alat pendengar)

Lampu padam (fade out)

-SELESAI-

20
NUR AFIFAH - M. HARYANTO
Juara 1 Penulisan Laon PEKSIMINAS 2020

TERCATAT HAK CIPTA DI KEMENHAM

CILUK BA
Fildzah Rahmatina Universitas Pekalongan

Emha Jayabrata
DRAMATIS PERSONAL (DRAMATIC PERSONAL)

1. Mbah Kakung: pengasuh panti asuhan


2. Mbah Putri : pengasuh panti asuhan
3. Anti : anak tertua di panti (diharapkan jadi penerus)
4. Tole : anak panti yang mempunyai cita-cita tinggi
5. Sri : anak tertua ke 2 di panti
6. Lastri : anak panti yang bergaya kekinian
7. BUTET : anak panti yang berasal dari batak
8. Dirman : mantan anak panti
9. Warno : perangkat desa
10. Utusan RT : orang suruhan dari RT
11. Dodi : anak panti

SINOPSIS

CILUK BA ADALAH KATA-KATA YANG SERING DIGUNAKAN UNTUK MENGGODA ANAK-


ANAK KECIL YANG BELUM DEWASA PEMIKIRANNYA. BEGITUPUN JUGA TUHAN YANG
SERING MENGUJI SIFAT KEKANKAN MANUSIA DENGAN “CILUKBA” SKENARIONYA.
TAKDIR NEGERI INI JUGA PENUH DENGAN CILUKBA. REFORMASI YANG DIHARAPKAN
SEBAGAI GERBANG PERUBAHAN HANYALAH SEBUAH AKSI, LUPA DIAMALKAN SEBAGAI
JATI DIRI. SETELAH GERBANG DI JEBOL PAKSA OLEH ANAK-ANAK MUDA, KORUPSI-
KORUPSI JENIS BARU BERMUNCULAN DENGAN KEMASAN YANG BERBEDA. RELIGI
TELAH DIPOLITISI, PECI-PECI MENJAMUR DI PODIUM JANJI-JANJI. RAKYAT SEMAKIN
MALAS MENGEREK BENDERA DENGAN PERUT LAPAR.

BERRSIKAP ANTI-KORUPSI HANYALAH UPAYA CITRA DIRI, SEMENTARA SEMUANYA


HANYA SIBUK DENGAN URUSAN SENDIRI? PARA WAKIL RAKYAT MENDADAK PUNYA
HOBI BARU BERBURU. MANUSIA REFORMASI MENJADI SEMAKIN SIBUK “BER-CILUK BA”
DENGAN SUARA HATINYA. DIANGKAT SEBAGAI PEJABAT ITU BUKAN UNTUK
MELAKSANAKAN TANGGUNG JAWAB, TETAPI SEBAGAI KESEMPATAN UNTUK
MENGEMBALIKAN MODAL.

PERISTIWA CILUK BA INILAH YANG TERJADI DI PANTI ASUHAN INI. CERITA TENTANG
SEPASANG PENGASUH RENTA DAN ANAK-ANAK PANTI ASUHAN. ANAK-ANAK YANG
DIBESARKAN DENGAN IDEALISME REFORMASI MORAL. AKAN TETAPI, TUHAN MEMANG
HUMORIS. SEPASANG JOMPO RENTA DIAJAK BERMAIN PETAK UMPET DENGAN
TRAGEDI TAK TERDUGA.
SETTING PANGGUNG AWAL :

KONSEP PANGGUNG MENGGUNAKAN JENIS PANGGUNG PROCENIUM


(PANGGUNG BINGKAI). PENONTON MENYAKSIKAN AKSI AKTOR DALAM LAKON
MELALUI SEBUAH BINGKAI ATAU LENGKUNG PROSCENIUM. BINGKAI YANG
DIPASANGI KAIN HITAM INILAH YANG MEMISAHKAN WILAYAH AKTING PEMAIN
DENGAN PENONTON YANG MENYAKSIKAN PERTUNJUKAN DARI SATU ARAH.
PANGGUNG INI DIBUAT DENGAN SATU ARAH PANDANGAN SAJA, DIMANA
PANGGUNG AKAN BERADA DI DEPAN SEMENTARA LETAK PENONTON AKAN
BERSEBERANGAN DENGAN MUKA PANGGUNG, SEHINGGA ADEGAN HANYA
DAPAT DILIHAT DARI ARAH MUKA ATAU DEPAN SAJA.

JARAK YANG SENGAJA DICIPTAKAN UNTUK MEMISAHKAN PEMAIN DAN


PENONTON INI DAPAT DIGUNAKAN UNTUK MENYAJIKAN CERITA SEPERTI APA
ADANYA. AKTOR DAPAT BERMAIN DENGAN LELUASA. PEMISAHAN INI DAPAT
MEMBANTU EFEK ARTISTIK YANG DIINGINKAN TERUTAMA DALAM GAYA
REALISME YANG MENGHENDAKI LAKON SEOLAH-OLAH BENAR-BENAR TERJADI
DALAM KEHIDUPAN NYATA.

UNTUK TATANAN PENCAHAYAAN MENGGUNAAN :

1. Flood light : untuk mengatur cahaya keseluruhan, karena flood light ini
menghasilkan cahaya yang dapat menyebar dan cocok untuk
menyinari backdrop.

2. Beam light : untuk mengatur pencahayaan tengah panggung, cahaya lampu ini
tidak terlalu menyebar.

3. Foot light : untuk pencahayaan dari bawah panggung.

4. Front light : untuk pencahayaan dari depan panggung.


BABAK 1

ADEGAN 1

TATANAN PANGGUNG TERDIRI DARI RUANG TAMU DI SEBELAH KANAN YANG


LETAKNYA LEBIH TINGGI DARI HALAMAN DEPAN SEBELAH KIRI. RUANG TAMU
TERLETAK DI DEPAN KAMAR MBAH KAKUNG, DAN KAMAR ANAK-ANAK BERADA
DI DALAM DEKAT DENGAN DAPUR. DARI RUANG TAMU HANYA TERLIHAT PINTU
KAMAR MBAH KAKUNG. RUANG TAMU DENGAN TATANAN MEJA KURSI JUGA
BERALASKAN KARPET. TERDAPAT LUKISAN ZAMAN KAKEK MASIH MUDA, JAM
DINDING DAN FOTO MBAH KAKUNG, MBAH PUTRI BESERTA ANAK ASUHNYA.
HALAMAN DEPAN ADA POHON BESAR YANG RINDANG, DIBAWAHNYA TERDAPAT
KURSI KAYU PANJANG DENGAN WARNA YANG MULAI USANG.

SEBUAH TERAS PANTI ASUHAN. BANGUNANNYA SUDAH TUA, SETENGAH ABAD


LAMANYA. PAPAN BERTULISKAN “PANTI ASUHAN” SUDAH TERHAPUS HURUF “P”
DAN KATA “HAN”. TERLETAK DI PINGGIR KOTA, TAK JAUH DARI PEMUKIMAN
WARGA. LAMPU DI DEPAN PANTI DENGAN NYALA YANG TIDAK KONSISTEN
HAMPIR PADAM. BEBERAPA SUDUT TAMPAK BERDEBU DENGAN SARANG LABA-
LABA AGAK TEBAL.

(LAMPU BEAMLIGHT MENYALA. DINI HARI, DI RUANG TAMU MBAH KAKUNG DAN
MBAH UTI BELUM JUGA TIDUR, MALAH SEMAKIN MENGHAYATI ALUNAN
TEMBANG NYA. DILIHATNYA MEREKA SEDANG RINDU, RINDU TENTANG
KEHIDUPAN MASA LALU YANG BEGITU TENTERAM DAN DAMAI. MEREKA RINDU
KEPADA ANAK-ANAK ASUHNYA YANG SEKARANG SUDAH BISA LEPAS DARI
KEHIDUPAN PANTI ASUHAN NAMUN MEREKA TAK KUNJUNG KEMBALI).

MBAH KAKUNG : 1Lamun sira anggeguru kaki, Amiliha manungsa kang nyata, Ingkang
becik martabate
MBAH PUTRI : Jaman sekarang susah mencari orang baik, yang jahat pun terlihat
baik
MBAH KAKUNG : 2Sarta kawruh ing kukum Kang ngibadah lan kang irangi Sokur
oleh wong tapa
MBAH PUTRI : Orang yang jujur dikasuskan, yang berkasus diberi jabatan

(ANTI DATANG UNTUK MENEGUR MBAH KAKUNG DAN MBAH UTI YANG
SEDANG BERSAHUTAN NEMBANG UNTUK BERHENTI DAN SEGERA TIDUR)

ANTI : Mbah Kung, Mbah Ti sudah malam.. Ngapain to nembang- nembang


terus? Mending waktunya buat istirahat. (MENDEKAT PADA MBAH
KAKUNG DAN MBAH PUTRI. MASIH BERDIRI)

MBAH KAKUNG DAN MBAH PUTRI MENGHIRAUKAN ANTI


MBAH KAKUNG : Ingkang wus manungkul Tan mikir paweweh ing liyan, Iku pantes sira
guranana kaki Sartane kawruhana, (MBAH KAKUNG TETAP
MELANJUTKAN TEMBANGANNYA)
MBAH PUTRI : Banyak sapi menyusui bayi manusia. Internet jadi guru` dan ibu asuh
bagi manusia, akhirnya naluri sebagai manusia sendiri hilang.
MBAH KAKUNG : Tanah Jawa bakal dikalungi wesi. Ono perahu biso mabur.
Itu kata simbah-simbah kita dulu. Hari ini benar-benar terjadi.
ANTI : Mbah kakung sama mbah putri iki ngapain to, mbok ya sudah. Hari
semakin larut. Sekarang ini sudah tidak zamannya nembang-
nembang begitu juga.
MBAH KAKUNG : Sing eman ora keduman, sing keduman ora eman (BERKATA
SAMBIL MENGHELA NAPAS)
MBAH PUTRI : Yang peduli masuk bui, yang tak peduli naik kursi.
ANTI : Mbah ti, sudah to! (RAUT WAJAH LELAH, LESU,
DAN TETAP SABAR)
MBAH PUTRI : Nah ini, anak sekarang, susah mendengar piwulang. Tapi kalau lihat
“yufub”ndak ingat waktu.
ANTI : Youtube mbah ti ...bukan yufub! Padahal jamannya anti kecil masih
mainan ciluk ba dan petak umpet.
MBAH PUTRI : Jangankan kamu, aparat saja sudah bermain ciluk ba. Para
pengambil kebijakan juga bermain ciluk ba dengan kebijakannya.
MBAH KAKUNG : Mula, kali ilang kedunge. kita sudah dibuat ciluk ba oleh zaman.
MBAH PUTRI : Itulah yang membuat mbah uti sama mbah kung takut, was-was
dengan kondisi saat ini. Banyak yang mau jadi donatur
mengatasnamakan instansi.
MBAH KAKUNG : Tetapi minta nota kosong to mbah?
MBAH PUTRI : Wani piro? (SAMBIL TERTAWA)
MBAH KAKUNG : Sing gede kesasar, sing cilik kepleset!
MBAH PUTRI : Yang besar salah jalan, yang kecil tergelincir!
MBAH KAKUNG : Korupsi seperti tidak ada habis-habisnya, calon koruptor baru terus
tumbuh dengan usia yang lebih muda. Dalam sistem birokrasi, para
birokrat muda mencontoh para pendahulunya seolah korupsi menjadi
hal yang lumrah.
ANTI : Mbah, mbah…kalau mau panti ini bisa direnovasi. Bisa bagus! Tapi
simbah berdua selalu menolak bantuan nota-nota kosong itu! bosan
makan tempe terus!
MBAH KAKUNG : “Akeh wong mbambung, akeh wong limbung”
MBAH PUTRI : Banyak yang tidak peduli halal dan haram, benar dan salah, asal bisa
kenyang! Serendah itu to kamu melihat simbah?
ANTI : Mbah, ndak mungkin kita bisa mengerek bendera dengan perut
lapar!
MBAH PUTRI : orang yang hanya memikirkan perut, derajadnya lebih rendah dari
apa yang keluar dari perut!
MBAH KAKUNG : 22 tahun reformasi. Harapanya kita bisa bebas dari korupsi! Duh
Gusti!
ANTI : Diangkat sebagai seorang pejabat itu bukan untuk melaksanakan
tanggungjawab, tapi adalah sebagai kesempatan untuk
mengembalikan modal yang sudah dihabiskan untuk mencapai posisi
itu, plus keuntungan yang diimpikan.
MBAH PUTRI : Bagaimana akan bersikap anti-korupsi, jika sejak muda hanya sibuk
dengan urusan sendiri? Anti….anti…(MENGGELENGKAN KEPALA)

ANTI HANYA TERDIAM SESAAT

MBAH KAKUNG : Lamun siro anggeguru kaki (AKAN MENYELESAIKAN


TEMBANG)

ANTI : (ANTI MEMOTONG) Iya..ya mbah manut..tetapi mbok


sudah istirahat nembangnya dah malam....
MBAH KAKUNG : Tembang-tembang zaman dulu banyak makna, pedoman hidup.
Dibandingken lagu “gerudak-geruduk” zaman sekarang.
MBAH PUTRI : Terkenal dengan cepat, menghilang dalam sesaat.
MBAH KAKUNG : Pada era ini, menebak isi hati yang asli jadi semakin sulit.
ANTI : Padahal di era ini manusia rajin membagi isi hati di jendela “story”.
Sangat mudah menggeser “lathi”. Kemarin memuji, besok membenci.
Begitu to Mbah Kung? Mbah Putri? (SAMBIL BERGAYA)
MBAH PUTRI : Betul, inilah zaman goro-goro. Akeh udan salah mongso. Akeh lindu
lan grahono.
MBAH KAKUNG : Ini lo, sebab kenapa korupsi tidak hilang-hilang. Menghargai jatidiri
saja kita korupsi.
ANTI : Iya..iya mbah wes to...panas kupingku mbah! Eh mbah, tadi Pak
Dirman kesini ada apa to? Penampilanya berubah sekarang mobilnya
juga bagus. Ediaann...! pengen aku!
MBAH PUTRI : Dia berubah! Dulu kami merawatnya, saat kami menemukanya
didepan pintu!
ANTI : Sejak jadi wakil rakyat berubah ya mbah! Bukanya dia itu juga dulu
aktivis 98 mbah?
MBAH KAKUNG : Anti, saat manusia memberikan makan “asu” selama 3 hari saja, Ia
kan mengingat selama 3 tahun. Tetapi saat manusia diberi makan
selama 3 tahun, Ia bisa melupakanmu selama 3 hari.
MBAH PUTRI : Bisa jadi hari besok mbah kung dan mbah uti juga akan dilupakan
oleh anak-anak panti! Termasuk, oleh...
ANTI : Termasuk siapa mbah? (MELETAKKAN KEMOCENGNYA)
MBAH KAKUNG : Mbah kakung dan mbah putri dilupakan ya ndak apa-apa! Tapi
jangan lupakan ajaran kejujuran dan kemanusiaan kami!
MBAH PUTRI : Jangan terlalu berharap sama manusia mbah kung. Ujung-ujungnya
kecewa. Berharap kepada Tuhan saja yang tidak mengecewakan.
ANTI : Lah ini foto kang Dirman kok coret?
MBAH PUTRI : Hmm...(MEMANDANG MBAH KUNG)
MBAH KAKUNG : Ayo tidur sudah malam...huk..huk...(MBAH KAKUNG
MENGGANDENG MBAH PUTRI KE KAMAR, SAMBIL
BATUK BATUK)
MBAH PUTRI : Bumi pertiwi makin penuh basa basi. Licik manfaatkan situasi
demi kantung pribadi. Reformasi (MENGHELA NAFAS SAMBIL
BERJALAN KE KAMAR)

TIDAK LAMA KEMUDIAN, LAMPU PADAM.

ADEGAN 2

FLOOD LIGHT MENYALA TERANG. PAGI HARI. DATANGLAH SEORANG ANAK


BERNAMA TOLE SEDANG MEMERAGAKAN GAYA SEBAGAI PEMIMPIN UPACARA
SEMBARI BERJALAN MENUJU RUANG TAMU.

TOLE : Siap grak! Hormat grak! Tegap grak!

KEMBALI KE SUDUT RUANG TAMU DAN BERJALAN KE TENGAH LAGI. SEAKAN-


AKAN MEMBAWA TEKS NASKAH PANCASILA.

TOLE : Pancasila

1. Ketuhanan Yang Maha Esa


2. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan
3. Persatuan Indonesia
4. Kemanusiaan yang adil dan beradab
5. Keadilan sosial hanya bagi yang berada,

Eh eh lupa bukan bukan... Opo yoo ( KEBINGUNGAN DENGAN


MULUT MANYUN SEMBARI BERFIKIR)

(DIAM SEJENAK)

Sepertinya ada yang salah ini.. Ulangi lagi saja.

Pancasila

1. Ketuhanan Yang Maha Esa


2. Kemanusiaan yang adil dan beradap
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

DATANGLAH SRI SECARA TIBA-TIBA, SEBAGAI KAKAK TOLE DENGAN


MEMBAWA SAPU DAN KEMOCENG. LALU MEMBERSIHKAN RUANG TAMU.

SRI : Cilukbaa... begitu baru josss.. Tapi ini sambil dipegang yo


cah baguss ( MEMBERIKAN KEMOCENG)
TOLE : Eh mbak Sri... bikin kaget saja (MENGAMBIL KEMOCENG
SECARA PAKSA)
SRI : Jangan ngambek, kan mbak Sri cuma mainan cilukba
TOLE : Cilukba? Kayak wakil rakyat saja mbak sri ini (WAJAH BERPALING)
SRI : Lah kok jadi wakil rakyat le ?
TOLE : Yaiyalah wakil rakyat kan sukanya bermain cilukba dengan aturan-
aturannya. Yang terlihat baik tiba-tiba masuk penjara. Yang dipilih jadi
duta pancasila ternyata malah tidak hafal pancasila.
SRI : Oalah, bener yo le..
TOLE : Makanya mulai sekarang Tole ngapalin mbak, siapa tau mbesok
Tole jadi duta pancasila ( MEYAKINKAN DIRI MENEGAPKAN
BADANNYA )
SRI : Oh, Kamu pingin jadi duta pancasila to jebule..
TOLE : Ndak cuman duta pancasila mbak. Tapi presidennya sekaligus
SRI : Loh loh.. Masak dua duanya le.. Itu namanya rakus jabatan kamu (
TERKEJUT MENGHETIKAN PEKERJAANNYA DAN MELIHAT KE
ARAH TOLE )

TOLE : Endak kok mbak..


SRI : Lah itu buktinya. Kamu pingin jadi kedua-duanya
TOLE : Jadi begini mbak.. Tole mau jadi duta pancasila yang terrrrrrbaik, baru
naik lagi jadi presidennya.
SRI : Hmm.... (GELENG-GELENG)
TOLE : Biar ndak malu-maluin.Terus kalau mau jadi presiden, Tole sudah
pinter mbak. Berusaha dari bawah dulu, lalu bisa lebih meningkat.
Banyak Presiden yang hafal pancasila bahkan undang- undang tetapi
kelakuan mereka tidak berpancasila tidak menaati undang - undang.
Nah yang jadi duta pancasila malah tidak hafal pancasila. Jadi
kesempatan buat Tole untuk memperbaikinya. Tole tidak mau seperti
itu. Katanya keadilan sosial tapi tetap saja tidak adil, katanya
Kemanusiaan, eh penggusuran dimana-mana.
TOLE : Ohya bener juga, Mbah Sujiwo Tedjo bilang kalau pancasila itu tidak
ada. Bener to mbak. Di era pertama kita komunis, era kedua rasionalis
dan selanjutnya liberalis
SRI : Lah dalah .. kok jadi pinter-pinter ngene kalian lee.. (BERTEPUK
TANGAN)
TOLE : Stop! Stop! ( BERUSAHA MENAHAN )
SRI : Kenapa to !!
TOLE : Tole tidak gila tepuk tangan! Nanti malah jadi besar kepala kayak
wakil –wakil kita!

(MBAH KAKUNG DAN MBAH PUTRI TIBA-TIBA DATANG)

MBAH KAKUNG : Pancasila itu bukan itu di hafal, tetapi diamalkan!


MBAH PUTRI : Reformasi itu juga bukan cuma sebagai aksi! Tetapi jadikan jati diri!
TOLE : Betul mbah, kita harus berubah! Doakan saya jadi presiden ya mbah!
(MENGAMBIL PECI DAN MEMAKAINYA)
SRI : Sekarang mbak paham le.. Cita-cita mu memang bagus. Tinggi.
Jempoool! yo Lee.. Semoga bisa tercapai. Dan jangan lupakan
mbakmu ini. Angkat mbak sebagai menteri yo Lee.. sebab, aku ini kan
ketua partai di panti ini. Jadi sudah sepantasnya naik jabatan lagi.
TOLE : Nah ini ni, penyakit orang indonesia. Sukanya
Netopisme!
SRI : Netopisme ? nepotisme kali le..
TOLE : Iya mbak bener lah itu. Banyak orang bisa terpilih karena bapaknya,
karena omnya, pakliknya.. kalau aku mau jadi yang sebenarnya mbak,
berusaha sendiri tidak mau seperti itu.
SRI : Iya le, mbak tau niatmu sudah baik. tapi apa gak takut. Sekarang
kan dunia semakin kejam Le, sainganmu juga gak sedikit.
TOLE : Tenang mbak. Rumput yang paling kuat tumbuhnya terdapat diatas
tanah yang paling keras.
SRI : Walah tekatmu memang mantap Le. Bagus kalau begitu.
TOLE : Iya dong. Harus selalu optimis mbak

DATANGLAH SESEORANG UTUSAN DARI RT YANG MEMBAGI - BAGIKAN SURAT.

UTUSAN RT : Assalamu'alaikum
SRI, TOLE : Waalaikumsalam (BERJALAN MENUJU LUAR PINTU).
UTUSAN RT : Pagi Mbak, mas. Saya dari utusan Pak RT untuk membagikan surat
pemberitahuan. Nah ini buat pengurus panti (MEMBERIKAN
SURAT)
SRI : Njih Pak, matursuwun
UTUSAN RT : Sami-sami mbak, monggo, wassalamualaikum
SRI, TOLE : waalaikumsalam
TOLE : Surat apa ya mbak?
SRI : Ya belum tau Le, memangnya mbak ini dukun.. Sudah nanti kita
tanyakan saja sama mbah kung. Biar mbah kung membacanya dulu.
Oiya le, kamu selesaikan ruang tamu saja. Kamar mbah kung biar mbak
saja.
TOLE : Ndak usah mbak, Tole saja. Mbak Sri pasti capek sudah bersih-bersih di
belakang juga.
SRI : Sudah manut mbak saja.
TOLE : Siap mbak Sri !! (TANGAN HORMAT)

SRI, TOLE MASUK KE DALAM. DI RUANG TAMU SUDAH ADA MBAH KUNG SAMA
MBAH UTI. TOLE SAMBIL MEMBERSIHKAN RUANG TAMU, SEDANGKAN SRI
MENYERAHKAN SURAT KEPADA MBAH KUNG DAN MBAH UTI.

SRI : Nah mbah Kung, mbah Uti kebetulan ini dapat surat dari pak RT.
(MENYERAHKAN SURAT KEPADA MBAH KUNG )
MBAH KAKUNG : Kenapa? Ada titipan anak lagi ya?
SRI : Kurang tau mbah Kung, mungkin kemarin menitipkan anak,
sekarang menitipkan donasinya
MBAH PUTRI : Enak sekali donasi, mereka yang berdesak-desakan sampai mati,
tak kunjung medapatkannya sama sekali.
MBAH KAKUNG : Memang kejahatan makin bertambah demi mendapat jatah. Para
pekerja di PHK tanpa upah, pengangguran dimana-mana, sampai
rela menggadaikan sertifikat orang tua.
SRI : Kok tega ya mbah, hati nurani sudah hilang karena uang.
MBAH PUTRI : Cukup mereka saja, kita jangan..

MBAH KAKUNG MEMBUKA SURAT TERSEBUT, WAJAHNYA TIBA-TIBA PUCAT DAN


DUDUK DIKURSI DENGAN LEMAS

MBAH KAKUNG : Gemblung (SAMBIL MEMEGANG DADA)!


MBAH PUTRI : Mbah….(MEREKA MENANGIS BERPELUKAN)

SRI DAN TOLE KAGET! LAMPU PADAM

ADEGAN 3
DI HALAMAN TERDAPAT ANAK-ANAK SEDANG BERMAIN LOMPAT TALI. DISITU
TERLIHAT BAHWA YANG MAIN HANYALAH ANAK YANG BERTUBUH TINGGI-
TINGGI SAJA, SEDANGKAN YANG PENDEK TETAP JADI YANG JAGA (MEMEGANGI
KARET). TAK LAMA KEMUDIAN, LASTRI DATANG DENGAN MEMBAWA GADGET
DAN HENDAK BERMAIN TIK TOK.

LASTRI : Bagaikan langit. Di sore hari. Berwarna biru. Sebiru hatiku.


(BERAMIN TIK TOK, BERJALAN LENGGAK-LENGGOK DENGAN
EKSPRESI WAJAH LAYAKNYA ORANG SELFIE, MELETAKKAN
GADGET DISEBUAH PAGAR GUNA MEREKAM DIRI. LALU
MELAKUKAN AKSINYA LAGI DENGAN VIDEO)

MELIHAT GAYA LASTRI, ANAK-ANAK YANG TADINYA MAIN LOMPAT TALI JADI
BERHENTI DAN BERMAIN CILUKBA DARI ARAH BELAKANG. MEREKA IKUT-
IKUTAN TANPA PERMISI, SETELAH DIKETAHUINYA LASTRI TIBA-TIBA BERHENTI.

ANAK-ANAK : Ciluk.. ba, ciluk.. ba, ciluk.. ba (MEMBUKA TUTUP WAJAH MEREKA
DENGAN KEDUA TANGAN TANPA BERSUARA DENGAN MAKSUD
MENGGANGGU LASTRI)
LASTRI : Heh kalian itu lho.. Ganggu saja!! Kalau mau ikutan bilang dong.
Jangan asal main cilukba-cilukba, dasar kuno.... Jadi jelek iki lho.
Padahal sudah bagus. (MENDEKATI GADGET NYA, MENGATUR
ULANG VIDEONYA)
BUTET : Kau ini sedang apa Sulastri?
LASTRI : Sedang apa sedang apa. aku iki lagi main tik tok. Uh dasar ndeso.
Kudet. Ndak tau mainan kekinian zaman now. Sudah sana kalian kan
mainnya karet. Percuma kalau aku ajak buat main tik tok. (BERGAYA
SOMBONG)
DODI : Apa? Main tik tok?
TOLE : Tiktok itu mengajarkan kita menjadi orang lain!
LASTRI : Kok?
TOLE : Korupsi pada ranah religi pasca reformasi juga terjadi. Korupsi sendiri
berasal dari memanipulasi penampilan menjadi terlihat sempurna
didepan orang lain.
LASTRI : Asal kalean tau. Iki kui lagi ngehit. Piral. Aku wes “mop on” dari
mainan jadul seperti kalian. Mainan kok ya masih jingkrak jingkrok.
Loncat-loncat koyo kanguru. Ganti dong ganti ( NADA SUARA
MENINGGI)
BUTET : Sombong kali kau ini !! Bukannya kau tak punya HP!!
(NADA ORANG BATAK)
ANAK-ANAK : Iya tu. HP mencuri. HP mencuri. Seperti hpnya mbak Anti
BUTET : Malu kali jika jadi kau ni. Barang mencuri saja sombong kau. Dasar
anak kekinian. Bergaya bukan punya sendiri pula. (MENERTAWAKAN
LASTRI)
LASTRI : Ndak kok. Aku sudah bilang mbak Anti
BUTET : Mana buktinya. Macam mana Lastri. Itu saja terkunci dan kau tak
bisa membukanya (MENERTAWAKAN LASTRI )
LASTRI : (TERDIAM. PURA-PURA MEMAINKAN HP)
ANAK-ANAK : Lastri pencuri. Lastri pencuri ( NYANYI SAMBIL TEPUK-TEPUK)
LASTRI : Sssttt diamm. Sudah diam. Nanti aku kasih permen satu satu. Tapi
jangan bilang-bilang kalau hp nya aku ambil. (SUARA PELAN
MEMBUNGKAM TEMAN-TEMANNYA SATU PERSATU. SUARA
KESAL DAN MENGANCAM)
DODI : Loh, kamu malah korupsi
ANAK-ANAK : Lastri korupsi-Lastri korupsi(TERIAK-TERIAK )

MENDENGAR KERIBUTAN, ANTI DATANG

ANTI : Eh, Eh, ada apa ini? Dodi, kok tau korupsi?
DODI : Tau mbak, kalo Dodi nonton tv pasti ada yang korupsi. Nah seperti
Lastri tadi mbak..

BUTET : Hoo Lastri kecil-kecil sudah korupsi, nanti kau bakal masuk bui.
Mampusss...

LASTRI : Kata siapa mampus? Fenomena yang ada, orang yang masuk bui
malah jadi petinggi. Lastri bakal jadi orang terpandang dan bayak uang.
Di sekolah juga korupsi.. seperti korupsi waktu, hihi (TERTAWA
CEKIKIKAN)

TOLE : Awas ini Negara hukum!

ANTI : Hukum tunduk pada politik. Penegakan hukum tergantung warna baju
politik! Lihat TV! Baca Koran! Biar tidak gampang heran!

DODI : Ternyata manusia juga sering bermain ciluk ba. Ketika hati berkata A,
tetapi karena uang, kebencian, fanatisme itu semua diganti dengan
huruf B.

ANTI : Kalian itu ada-ada saja bicaranya! Sok tua! Sok dewasa!

ANAK-ANAK : Maling….maling….(NYANYI SAMBIL MENABUH MEJA)

ANAK-ANAK TETAP MELANJUTKAN NYANYI, BERMAIN DAN LASTRI SAMBIL TUTUP


TELINGA BERLARI MASUK KE KAMAR. TIDAK LAMA KEMUDIAN, LASTRI DATANG
KEMBALI BERSAMA MBAH PUTRI.

MBAH PUTRI : Cucu-cucu mbah ti harus pada akur, ayo pada minta maaf sesama
teman-teman.
LASTRI : Teman-teman, Lastri minta maaf. Kan Cuma mengambil hp (
MENUNDUKKAN KEPALA DAN MENGULURKAN TANGANNYA)
BUTET : Tak mau aku! Mencuri!
TOLE : Sudahlah! semuanya sudah dibrantas!
BUTET : Wani piro? (SAMBIL MELEDEK)
MBAH KAKUNG : Pemberantasan cuma imajinasi, sebab bui sejati hanya untuk
kelas teri
MBAH PUTRI : Sudah, sudah . Sedulur iku apik lamun kabeh darbe panjangka amrih
rahayu. Yang salah ya mengaku salah. Yang benar tidak gampang
menyalahkan. Kita sudah teralu sering saling tuding. Akeh wong
ngaku-aku, njabane putih njerone dhadhu. Jangan sampai kita begitu
ya, tetap jadi orang baik luar dalamnya (DUDUK DIBANGKU TAMAN
DAN DIKELILINGI ANAK-ANAK)
ANTI : (MENUNDUK)
ANAK-ANAK : Iya mbah ti..
MBAH PUTRI : Nah sekarang mainan bersama-sama lagi, yang rukun (MBAH PUTRI
KEMBALI MASUK KEDALAM)

ANAK-ANAK KEMBALI MENERUSKAN BERMAIN LOMPAT TALI. ANTI


MENGINGATKAN ANAK-ANAK YANG SEDANG BERMAIN UNTUK ISTIRAHAT.

ANTI : Anak-anak.. Ayoo mainannya sudah ya, waktunya istirahat


ANAK-ANAK : Yahhhh ( WAJAH LESU)
BUTET : Kakak Anti.. Beri kami kesempatan untuk bermain lagi lah ,ini
Sulastri baru ikutan main (MEMOHON PADA ANTI)
ANTI : Hei.. Masih ada lain waktu lagi. Sudah nanti kalian kecapean

DATANGLAH MBAH KAKUNG DAN MENGIZINKAN MEREKA UNTUK BERMAIN


KEMBALI.

MBAH KAKUNG : Sudah - sudah.. Kalian boleh main lagi. Tidak apa-apa Anti, biarken
mereka puas bermain dulu.
ANAK-ANAK : Yeeee (KEMBALI BERMAIN)
ANTI : Mbah Kung, kan sekarang memang sudah waktunya mereka
istirahat kan. Tumben mbah Kung malah mengizinkan mereka
bermain lagi. (MERASA BINGUNG)
KAKEK : Untuk kali ini boleh Lasmi, mereka biar merasaken dulu, Mumpung
mereka masih bisa menikmati suasana seperti ini, ditempat ini
(DENGAN MATA BERKACA-KACA)
ANTI : Maksud mbah kung? Bukannya besok-besok mereka kan masih
bisa bermain (SEMAKIN BINGUNG)

MBAH KAKUNG MENJADI SEDIH, BERDIRI DIAMBANG PINTU MEMANDANG


SUNGGUH BAHAGIANYA, CERIANYA ANAK- ANAK YANG SEDANG BERMAIN DI
HALAMAN PANTI. TANPA MEREKA TAHU BAHWA HARI ITU ADALAH HARI
TERAKHIR MEREKA UNTUK BISA BERMAIN DI HALAMAN PANTI. MBAH KAKUNG
MASIH TERDIAM.

ANTI : Mbah kung..


MBAH KAKUNG : Tidak ada cerita yang tidak berawal dan tidak berakhir.Semono uga
papan iki
ANTI : Punten mbah kung, Anti mau masuk dulu... (TIBA-TIBA ANTI PAMIT
MASUK DENGAN TERBURU-BURU)
MBAH PUTRI : Kung.. (DATANG MENGELUS DADA MBAH KAKUNG, SAMBIL
MEMANDANGI SEBUAH SURAT)
MBAH KAKUNG : Ulah siapa ini? Kok tega...
MBAH PUTRI : Hanya bisa pasrah kepada Yang Maha Kuasa.
MBAH KAKUNG : Setiap perbuatan ada balasannya
MBAH PUTRI : Jadilah bunga yang tetap memberikan keharumannya bahkan
kepada tangan yang merusaknya! Gitu to! (SAMBIL MEMELUK
MBAH KUNG)

ADEGAN 4

DINI HARI, MBAH KAKUNG DAN MBAH PUTRI MELAKUKAN HAL YANG SAMA.
BERSENANDUNG TEMBANG JAWA DI RUANG TAMU. HANYA LAMPU
BEAMLIGHT MENYALA. DI MEJA TERDAPAT BEBERAPA FOTO KENANGAN
YANG DIAMBIL DARI DINDING UNTUK DIKEMASI.

ALUNAN MUSIK GAMELAN PENGIRING MENYALA.

MBAH PUTRI : ( DUDUK , MEMEGANG BERSAMA FOTO YANG


DIAMBIL DARI DINDING)

Lir-ilir, lir-ilir…
Tandure wis sumilir…
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten
anyar… Cah angon-cah angon penekno
blimbing kuwi…
Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro…

MENDENGAR SUARA ORANG NEMBANG, ANTI KEMBALI KELUAR KAMAR.


ALUNAN LIR ILIR TETAP BERJALAN LIRIH.

ANTI : Walah.. wes...penyakitnya simbah nular ini (MENDEKAT MBAH


KAKUNG DAN MBAH PUTRI, GELENG-GELENG )
MBAH PUTRI : Biasa! Suakanya usil! Ngatur-ngatur!
MBAH KAKUNG : Wataking manungsa iku kepengen kuwasa, kabeh kepengen
dikuwasai
ANTI : Loh, kenapa to kek, ini semua foto juga kok pada
diberesi? (PANIK)
MBAH PUTRI : Wong cilik bisa apa ya kung (WAJAH SEDIH, MENGEMAS
FOTO-FOTO)
ANTI : Mbah kung, mbah ti apa yang terjadi?
MBAH KAKUNG : Anti, malam ini dan besok bisa jadi malam terakhir kita tidur di panti
ini. Karena mbah kung tempo hari dapat surat pemberitahuan bahwa
besok akan ada penggusuran. Dan panti ini.. Salah satu tempat
sasaran penggusuran itu
ANTI : Bagaimana mungkin mbah kung, kenapa bisa seperti itu, dan mbah
kung baru memberitahu Anti. Jadi ini alasan mbah kakung
membiarkan anak-anak bermain lama - lama di halaman panti dan
mbah kung bilang semua ini akan menjadi kenangan.. Kenapa mbah
kung tidak terus terang sama Anti.. (KAGET DAN MENJADI LEMAS)
MBAH KAKUNG : Mbah kung tidak ingin membuat kalian panik.
MBAH PUTRI : Mbah ti masih berharap kepada pahlawan-pahlawan mbah putri ini.
(MASIH MEMANDANG FOTO, KEMUDIAN MEMASANG KEMBALI
FOTO KE DINDING)
ANTI : Mbah kung sama mbah uti berharap mantan anak-anak panti yang
sekarang sudah sukses. Sudah jadi pejabat, wakil rakyat, dokter kesini
menolong panti ini?
MBAH PUTRI : Iya Anti...
MBAH KAKUNG : Jangan terlalu berharap pada manusia mbah ti...nanti kecewa.
Berharap kepada Tuhan saja yang tidak mengecewakan!
MBAH PUTRI : Kita ini manusia biasa! Mereka ini kita yang membesarkan! Apa ndak
sedih kalau melihat salah satu pengusur itu orang yang pernah kita
kasih makan?
ANTI : Hmm...(IA MEMBUANG MUKA DAN MENUNDUK)

MBAH KAKUNG : Hidup memang CILUK BA!

MBAH PUTRI : Tuhan memang punya selera humor yang tinggi!

MBAH KAKUNG : Njabane putih jerone dadhu!

MBAH PUTRI : Dia berubah! Nenek kaget!

MBAH KAKUNG : Yang jahat naik pangkat, yang mulya dipenjara! (WAJAH MEREKA
LESU DAN PUCAT)
SEDANG ASIK MENGOBROL. TIBA-TIBA PAK DIRMAN DATANG.

DIRMAN : Mbah Kung, mbah Uti ! Sudahlah menyerah. Waktu tua, sudah
waktunya hidup senang-senang!

MBAH KUNG : ada yang lebih bernilai dari uang. Yaitu bermanfaat buat orang lain!

MBAH PUTRI : Kamu berubah! Bukanya dulu kamu yang paling lantang teriak tentang
keadilan.

DIRMAN : Bagaiamana mungkin bisa mengerek bendera dengan perut lapar!


Mbah....mbah..!!

MBAH KAKUNG : Para wakil rakyat mendadak punya hobi baru, berburu. Kalau raja-raja
dulu untuk melatih kepempinan dan fokusnya dengan berburu di hutan.
Pemimpin sekarang perburuan menjadi paling kaya, menjadi hobi para
abdi negara.

DIRMAN : Nyerah saja! Hukum saja nyerah didepan saya!

MBAH PUTRI : Ileng ngger! Kami berdua ini yang memungut dan merawatmu!

MBAH KUNG : Ingat, siapa juga yang melobi warga untuk memilihmu! Kami! Orang
tuamu!

DIRMAN : Diangkat sebagai seorang pejabat itu bukan untuk melaksanakan


tanggungjawab, tapi adalah sebagai kesempatan untuk mengembalikan
modal yang sudah dihabiskan untuk mencapai posisi itu, plus
keuntungan yang diimpikan. (EKSPRESI CULAS)

MBAH KUNG : Pergi! Pergi! (MELEMPAR PERABOTAN)

DIRMAN : Awas.....!!! Awas !! Kalian!! (MENUDING DENGAN MATA MELOTOT)

MBAH KUNG DAN MBAH PUTRI MENANGIS BERPELUKAN. MENDENGAR


KEGADUHAN, TOLE TERBANGUN DAN HANYA DIAMBANG PINTU

TOLE : Kek..nek jadi dolanan tadi iku dolanan terakhir? (MENANGIS)


MBAH KAKUNG DAN MBAH PUTRI : Malam ini terakhir! (MENJAWAB DENGAN
SEREMPAK SAMBIL MEMEGANG PAPAN NAMA PANTI ASUHAN)
TOLE : Surat-surat panti ini kan lengkap kek, kenapa kita di gusur?
MBAH PUTRI : Le...dalam hidup ini. Yang benar bisa terlihat salah. Yang salah bisa
terlihat benar.
MBAH KAKUNG : Masalah paling besar bangsa ini bukanlah karena kurangnya tanah
lapang
MBAH KAKUNG : Namun karena kurangnya hati-hati yang lapang.
MBAH PUTRI : Ayo tidur mbah, nanti malam kita mengadu, menghadap yang kuasa!

TULISAN PANTI ASUHAN YANG MBAH PUTRI PEGANG DIBERIKAN KEPADA TOLE.
TOLE MERENUNGI PAPAN PANTI ASUHAN DENGAN DIIRINGI SUARA ALAT MUSIK
SENDU. KEMUADIAN LAMPU REDUP, IRINGAN MUSIK SEMAKIN SAYU.

ADEGAN 5

PAGI BUTA, TERDENGAR SUARA GADUH DAN DOBRAKAN PINTU. TOLE


LANGSUNG TERBANGUN, MEMBANGUNKAN TEMAN-TEMAN DAN LAINNYA.
SEMUA TAMPAK BINGUNG DAN PANIK.

TOLE : Butet, Dodi, Andi, Oni.. ayo bangun ! Petugas datang, kita akan digusur.
Ayo bangun !
BUTET : Macam mana Le, kita mau digusur ? he kawan-kawan. bangun !!
(NAMPAK KAGET, PANIK )
TOLE : Iya, bangunkan yang lainnya, lalu kemas-kemas. Biar Tole bangunkan
mbak Anti dan mbah kung.

TOLE LANGSUNG MENUJU KAMAR MBAK ANTI DAN MBAH KUNG

TOLE : Mbak Anti, mbak Sri !!! (HANYA MENDAPATI MBAK SRI)
MBAK SRI : Kenapa Le, ada apa ribut-ribut? (TERBANGUN, LANGSUNG PANIK )
TOLE : Mbak, kita akan digusur mbak, kita akan digusur !!! (TERGESA-GESA,
DAN LANGSUNG KE KAMAR MBAH KUNG )
MBAK SRI : Hah? Kejam sekali

SETELAH BERLARI MENUJU KAMAR MBAH KUNG. TAK LAMA KEMUDIAN,


TERDENGAR SUARA TERIAKAN TOLE MEMANGGILI MBAH KUNG DAN MBAH UTI.
DILIHATNYA MBAH KAKUNG DAN MBAH UTI TERGELETAK DIBAWAH LANTAI.
DITANGANNYA MBAH KAKUNG MENGGENGGAM FOTO DARI SEBUAH ALBUM
YANG DICORET. SEDANGKAN DITANGAN MBAH UTI MENGGENGGAM FOTO MBAK
ANTI. MENJADI GADUH SELURUH ISI PANTI.

TOLE : Mbah kakung, mbah uti... (TERIAK TOLE DAN MENANGIS


SEJADINYA)

MBAK SRI DATANG BERSAMA ANAK PANTI LAINNYA. TOLE LANGSUNG


MENDAPATI FOTO-FOTO TERSEBUT .

TOLE : Mbak Anti ! (MENGAMBIL FOTO DARI TANGAN MBAH UTI DAN
TERKEJUT)
MBAK SRI : Kang Dirman ! (MENDAPATI FOTO DARI TANGAN MBAH KAKUNG).
ANAK PANTI : Mbak anti, mbak anti dimana mbak, mbak anti !!! (MONDAR – MANDIR
MENCARI MBAK ANTI)

(SELURUH ANAK PANTI KESANA – KEMARI MENCARI KEBERADAAN MBAK ANTI


YANG MENGHILANG ENTAH KEMANA. MUSIK MENGIRINGI KECEMASAN MEREKA)

FOOT LIGHT MENYALA, MENYOROT BAGIAN SILUET YANG MEMPERLIHATKAN


SEORANG PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI SEDANG BERDUAAN, LAKI-LAKI
TERSEBUT MEMBELAI KEPALA SI PEREMPUAN DAN KEMUDIAN BERPELUKAN.

SUARA DIBALIK SILUET

SILUET PEREMPUAN : Ciluk ba!


SILUET LAKI-LAKI : Mana sertifikat pantinya?
SILUET PEREMPUAN : Wani piro? (SAMBIL MELEDEK)
SILUET LAKI-LAKI : Enak Jamanku To? (SAMBIL MELEDEK ULANG)
SILUET PEREMPUAN : Yang lebih penting dari kebenaran adalah kemenangan!
(GAYA DIPLOMASI)

SELESAI
Keterangan :

1
Jaman sekarang susah mencari orang baik, yang jahatpun terlihat baik
2
Orang yang jujur dikasuskan, yang berkasus diberi jabatan
3
banyak sapi menyusui bayi manusia. Internet jadi guru dan ibu asuh bagi manusia,
akhirnya naluri sebagai manusia sendiri hilang.
4
dipakaikan kalung besi
5
Ada Perahu yang bisa terbang
6
Nenek-nenek
7
ini sedang apa sih, tolonglah sudahi
8
bersenandung
9
yang hemat tidak mendapat bagian, yang mendapat bagian tidak hemat
10
ajaran
11
tidak
12
sungai kehilangan sumber air
13
berani berapa?
14
Yang besar salah jalan, yang kecil tergelincir
15
Tuhan
16
jika kamu mencari guru
17
ikut tapi ya sudah istirahat bersenandungnya sudah malam....
18
Dibandingkan lagu “urakan”
19
cerita”
20
lidah
21
gara-gara. Banyak hujan salah waktu. Banyak lindu dan gerhana.
22
sudah. panas telingaku mbah
23
gila...! ingin aku!
“anjing”
24
Lutfiatul Fauziyah
Muhamad Haryanto
SINOPSIS
Pada sesuatu desa terpencil, terdapat sebuah sendang yang bernama Sendang Kamulyan.
Konon airnya akan tetap mengalir ketika masih banyak orang-orang berhati mulia yang
guyub rukun menjaga desa. Oleh karena itu, diberi nama Sendang Kamulyan. Sebagian
menganggap sebagai mitos. Sebagian meyakini bahwa sendang tersebut adalah pemelihara
karakter generasi desa agar tidak keropos. Ki Tirta dan Mbok Bawuk telah bersumpah
menjaga mata air. Pada akhirnya, kemuliaan hati warga desa pun diuji. Semua berubah
ketika orang-orang kota dengan sifat tamaknya datang mencoba merampok desa. Datanglah
masa penuh tipu, yang salah menjadi benar, yang benar menjadi salah. Lokalitas tergilas,
karakter mulia menjadi kandas seiiring munculnya penghambaan pada urusan perut.
Puncaknya yang ikut barat menjadi kiblat, yang ikut adat dianggap sesat. Pemuda mulia
yang diharapkan sebagai penerus penjaga mata air menghilang dengan miserius. Orang kota
memainkan situasi agar tanah desa bisa di jual dengan murah. Para pemuda dibuat tidak
nyaman kemudian pergi meninggalkan desa. Semakin surutlah mata air Sendang kamulyan.

DRAMATIC PERSON
Ki Tirta (Pawang Sendang Kamulyan – Mencintai desa dan bijaksana), Mbok Bawuk (Istri Ki
Tirta – Mencintai desa dan setia), Anak Ki Tirta (Pengkhianat –Psikopat), Putu Lanang
(Hedonis –Kritis), Putu Wedok (Hedonis – berpikiran pendek), Mak Ripah (Orang Kaya di
Desa– Pemarah dan sombong ), Jumadi (warga desa), Sitir (Warga desa realistis), Samat
(warga desa biasa), Ranu (pindahan dari kota), Banyu (pemuda yang mencintai budaya ),
Pengamen (Orang yang vocal menyampaikan kritikan melalui lagu)

TATA PANGGUNG
Konsep panggung menggunakan jenis panggung procenium (panggung bingkai). Bingkai
yang dipasang kain hitam inilah yang memisahkan wilayah akting pemain dengan penonton
yang menyaksikan pertunjukan dari satu arah. Panggung ini dibuat dengan satu arah
pandangan. Panggung berada di depan, sementara letak penonton berseberangan dengan
muka panggung. Adapun tatanan pencahayaan menggunaan: 1. Flood light (mengatur
cahaya keseluruhan), 2. Hair light (untuk mengatur pencahayaan tengah panggung), 3. Foot
light (pencahayaan tipis dari bawah panggung), 4. Front light (pencahayaan dari depan
panggung).

1
BABAK 1
ADEGAN 1

TAMPAK SENDANG KAMULYAN DIKELILINGI POHON BERINGIN BESAR DENGAN DAUN


MULAI MENGERING DAN BERGUGURAN. AKAR-AKARNYA MENJUNTAI DAN MELILIT
BEBATUAN SENDANG. PADA SISI KANAN SENDANG TERDAPAT JAJARAN KENDI-KENDI
YANG TERBUAT DARI TANAH LIAT DAN SEBELAHNYA TERDAPAT TEMPAT KHUSUS YANG
DIGUNAKAN UNTUK MELETAKKAN DUPA DAN SESAJI. PADA SUATU PAGI KELUARGA
JURU KUNCI MATA AIR SEDANG MEMBICARAKAN KELANGSUNGAN DESA YANG
MENGALAMI KRISIS AIR.

Ki Tirta :(NEMBANG MASKUMAMBANG SAMBIL MENYALAKAN KEMENYAN)


Kelek-kelek biyung Sira aneng ngendi?
Enggal tulungana
Awakku kecemplung warih
Gelagepan wus meh pejah
Putu Wedok : “Mbah, apakah Tuhan itu ada? Kita berdoa terus kok masih miskin saja.”
(SAMBIL MEMANDANGI MBOK BAWUK YANG SEDANG MENGISI AIR DI
KEDALAM KENDI)
Mbok Bawuk : “Seandainya semua yang diinginkan manusia terkabul, mungkin kita
menjadi lupa cara berdoa.” (MENGISI KENDI DENGAN AIR)
Putu Wedok : “Katanya Tuhan itu Maha Pemurah, Maha Kaya. Kok Pelit, minta sepatu
baru saja tidak dikabulkan! Huh!” (DENGAN CEMBERUT SEMBARI
MEMINDAHKAN KENDI YANG SUDAH TERISI OLEH AIR)
Mbok Bawuk : “Hus! Bocah gemblung! Rezeki itu bukan cuma uang atau barang. Kita bisa
rukun dan saling menjaga saja sudah termasuk rezeki.” (GELENG-GELENG
KEPALA)
Ki Tirta : “Rumah bocor yang sering kita keluhkan, adalah impian mereka yang tidak
punya rumah!”
Putu Wedok : “Mbah, Putumu kan ya pingin seperti yang lain, punya iphone, nongkrong
di cafe, selfie sambil haha hihi, joget tiktok!” (DENGAN GAYA MANJA).

2
Bagaimana kalau tanah belakang rumah kita jual saja Mbah? Tetangga-
tetangga sudah jual lo! Apa arti ngumpul jika tidak ada wakul (nasi).”
Putu Lanang : (TIBA-TIBA DATANG) “Setuju! Setuju! Jual saja Mbah, biar kita kaya.”
(DENGAN GAYA TENGIL)
Mbok Bawuk : “Oalah bocah keblinger!” (MENGGEPLAK DAN SI PUTU MENGADUH)
Putu Wedok : “Lo… lo… piye to, Simbah iki. Bocah pinter kok dikatai keblinger! Saya itu
ranking satu lo, Mbah.” (SAMBIL MENGACUNGKAN JARI TELUNJUKNYA)
Mbok Bawuk : “Pintar itu tidak dilihat dari ranking, tetapi dari perilaku. Pintar itu dari
karakter. Harga kita seharga karakter kita. Harga kita seharga penghargaan
kita pada orang lain.” (KELUAR DARI KOLAM MATA AIR)
Ki Tirta : “Lagi pula puncak tertinggi dari kecerdasan karakter kita adalah rasa saling
menghargai” (MENYAHUT SEMBARI MEMPERSIAPKAN SESAJI)
Mbok Bawuk : “Kita ini memang berbeda. Tetangga kaya, kita miskin. Berbeda warna
kulit, tetapi tidak boleh pelit. Berbeda agama, tetapi tidak boleh semena-
mena. Perbedaan itu indah! Keberagaman itu berkah! Karakter muaranya!”
(MENGUSAP KEPALA PUTU)
Putu Lanang : “Apa arti karakter Mbah, kalau laper? Logika tidak bisa ada tanpa logistik.”
(MENGIKUTI MBOK BAWUK)
Mboh Bawuk : “Hust…jangan sampai rasa lapar mematikan kemanusianmu. Jangan
sampai rasa lapar menutup matamu pada saudara sekelilingmu!”
Ki Tirta : “Anak muda kok nglokro! Jiwanya loyo! Tiru yang baik-baik!”
Putu Lanang : “Mbah, siapa yang harus kami tiru? Kami cari di media sosial tidak
ketemu.” (DUDUK DI BEBATUAN DI SAMPING KI TIRTA)
Putu Wedok : “Facebook, Instagram, Youtube, di TV?
Putu Lanang : “Dor… dor... dor!” ada jendral “ngedor” anak buahnya (SAMBIL BERGAYA
MENEMBAK). “Houm….ho`oh tenan” ada dukun pakai baju orang sholeh adu
sakti dengan pesulap” (SAMBIL MEMBAKAR KEMENYAN).
Putu Wedok : “Pembunuhan, pencurian, pencabulan, penipuan, korupsi, KDRT”. (SAMBIL
MENGHITUNG DENGAN JARI) “Parahnya lagi, itu semua dilakukan oleh
orang-orang tercitrakan hebat. Orang terkenal Tuoop… markotop!”
(MENGACUNGKAN JEMPOLNYA)

3
Putu Lanang : “Orang yang dipercaya sebagai guru, penolong anak yatim, rajin
memotivasi, malah mencabuli. Ada artis yang kelihatan mesra malah tega
mencekik, membanting, dan melempar bola billiard pada istrinya
(MELEMPAR KACANG REBUS KE PUTU WEDOK). Rakyatnya bejat aparatnya
cacat.
Putu Wedok : “Yang paling perlu belajar karakter itu aparat bukan rakyat! Orang yang
harusnya momong rakyat, malah memiskinkan rakyat. Pajak tinggi membuat
kita hampir mati! Terus siapa yang masih bisa dipercaya?”
Putu Lanang : “BBM naik mendadak katanya biar rakyatnya mandiri, apa kita tidak perlu
membayar pajak biar pemerintah mandiri?”
Putu Wedok : “Waduh… waduh… Kebohongan dimana-mana! Semua sibuk saling
mencela. Parahnya, dilakukan tanpa rasa berdosa.”
Mbah Bawuk : “Hukuman terberat bagi pendosa itu, ketika tak mampu lagi merasakan
dosa!” (SEMBARI MEMBERSIHKAN DEDAUNAN DAN BEBERAPA SAMPAH)
Putu Lanang : “Hukuman terberat bagi pembohong itu ketika tak mampu membedakan
mana kebohongan dan mana “ke-bo-ko-ngan”, hahaha” (SEMUA TERTAWA).
Ki Tirta : “berbohong seperti candu. Sekali melakukan akan terus dilakukan. Bohong
itu kentut! Brut… brut.. (SAMBIL GEOL PINGGANG)”
Mbok Bawuk : “Geolanmu itu lho pak… jadi inget masa muda! Malam pertama!
Ki Tirta : “Sst…ada Putu kita lo! Tapi, apa kalian tahu sebab masalah tadi?
Putu Wedok : “Apa itu mbah?”
Mbok Bawuk : “Karena manusia hanya memikirkan dirinya sendiri. Tidak mau memikirkan
orang lain. Parahnya, yang beda harus sama. Padahal, taman akan lebih
indah jika beraneka warna!”
Putu Lanang : “Wih… Simbah itu walau tidak sekolah tapi tetap pintar! Setuju Mbah. Sifat
indivisualis dan serakah itu awal dari rusaknya kita! Kesetiaan pada budaya
desa dan menjaga alamnya itu penting!
Mbok Bawuk : “Nah! Semangat muda seperti ini lho, yang harusnya ada di setiap jiwa
pemuda-pemudi. Peduli desa ini!”
Ki Tirta : (KEMBALI NEMBANG) “Kelek… kelek… biyung siro ono ngendi..
Enggal tulungono…awakku kecemplung…wareh…”

4
Mbok Bawuk : “Saat masing-masing tenggelam dalam derasnya air sungai kehidupan.
Semua sibuk menyelamatkan diri. Tidak peduli tetangga, saudara, sedang
“gelagepan”. Padahal ketika tangan yang satu merangkul tangan yang lain,
kemungkinan selamat lebih besar.”
Ki Tirta : “Yang bisa berenang, menolong yang tidak bisa berenang. Tidak usah
melihat warna baju dan suku.”
Mbah Bawuk : “Tapi coba… amati, orang-orang kota itu datang, membawa paham baru,
kemudian kita sibuk berseteru.” (DUDUK DI BEBATUAN SENDANG)
Ki Tirta : “Orang kota datang ke desa dengan sombong katanya untuk mengajari
orang desa hidup yang baik! Akan tetapi, faktanya orang desalah yang justru
mengajari orang-orang kota cara menjadi orang baik! Tepo seliro, saling
berbagi, setia pada tanah air, kesederhanan, ikhlas dan gotong royong!
Mereka apa punya?”
SEMUA TERDIAM
Ki Tirta : (KEMBALI NEMBANG DENGAN MATA BERKACA-KACA)
Kelek-kelek biyung Sira aneng ngendi?
Enggal tulungana
Awakku kecemplung warih
Gelagepan wus meh pejah
Mbok Bawuk : “Para pemanjat pohon akan mencari pelindung pada pohon itu sendiri lalu
merenggut buahnya.” (MEMINDAHKAN AIR KEDALAM KENDI LAIN)
Ki Tirta : “Mereka yang sudah dapat buahnya, berlomba-lomba pamer di sosial
media.” (MENABURKAN KEMENYAN)
Putu Lanang : “Nge-vlog pamer harta, hai gaes… ini tas dan mobil baru aku, aku sekali
makan ratusan juta”. (SAMBIL MENIRUKAN GAYA ARTIS YOUTUBE)
Ki Tirta : “Ada uang tidak boleh sombong. Tidak punya uang jangan nyolong. Tidak
banyak uang juga jangan suka bohong!” (MENGELUS KEPALA SANG PUTU)
DATANGLAH SEORANG WANITA DENGAN RAUT WAJAH KESAL MEMBAWA DERIGEN
KOSONG
Mak Ripah : “Kula nuwun… permisi… Ki Tirta..”
Semua : “Mangga…mangga.” (SEMUANYA MENJAWAB)
Mak Ripah : “Saya mau protes, Ki!” (DENGAN TERBURU-BURU DAN EMOSI)

5
Ki Tirta : “Ada apa, ta?” (BERDIRI)
Mak Ripah : “Kenapa air Sendang Kamulyan di desa ini kering semua ki? Sebagai juru
kunci penjaga mata air Sendang Kamulyan, kok malah leha-leha! Makan gaji
buta!” (SAMBIL MENJATUHKAN DERIGEN)
Ki Tirta : (MENGHELA NAFAS). “Saya sedang memikirkan itu.”
Mak Ripah : “Jangan hanya difikirkan saja. Visi tanpa eksekusi itu halusinasi. Desa kita
sudah kekurangan air. Ternakku dan kebunku juga membutuhkan air. Kalian
kerja seumur hidup saja tidak bisa setara dengan ternak-ternakku!”.
(BERSEDEKAP)
Ki Tirta : “Hmmm…” (MENGEHLA NAFAS) “Tenang dulu, masalah sampean adalah
masalah saya juga, ini masalah bersama” (MENCOBA MENENANGKAN).
Mak Ripah : “Nah itu! Kenapa Ki Tirta diam saja? Kami semua kekurangan air. Sebagai
juru kunci kerjanya apa? Katanya sakti?” (MENUJUK SENDANG LALU PERGI)
Ki Tirta : “Orang sakti itu orang yang menghargai orang lain. Orang sakti itu yang
saling meringankan bukan memberatkan. Sakti itu dari dalam hati yang
muncul sebagai budi perkerti biar Gusti selalu menyertai!”
Mak Ripah : “Ceramah…ceramah…ceramah ! Males…aku!” (SAMBIL BERGEGAS PERGI)

KI TIRTA DAN MBAH BAWUK BERPANDANGAN DAN MENGELUS DADA. TERDIAM


MEMIKIRKAN NASIB DESA. SUDAH HAMPIR SETAHUN AIR SENDANG HILANG
BERANGSUR-ANGSUR. LAMPU FOODLIGHT MEREDUP BERGANTI LAMPU BEAMLIGHT
WARNA KEBIRUAN MEMBERIKAN SEBUAH KESAN KEKALUTAN DAN KEBINGUNGAN.
Mbok Bawuk : Kelek-kelek biyung Sira aneng ngendi?
Enggal tulungana
Awakku kecemplung warih
Gelagepan wus meh pejah
Putu Lanang : “Jadi apakah Tuhan itu ada Mbah?” (MENDEKATI KI TIRTA)
Putu Wedok : “Kenapa banyak yang jahat munggah pangkat? Akeh wong mulyo
kinunjoro?”(MENYUSUL)
Ki Tirta : “Sendang itu sendang keramat! Mata airnya akan terus hilang seiring
menghilangnya orang-orang berhati mulya di desa ini. Kalau sendirian, kita
hanya setetes. Kalau bersama-sama kita adalah kolam, bahkan lautan.

6
Mata air itu akan hilang seiring hilangnya watak mulia dan rasa saling
memiliki desa. Jika airnya tinggal setetes dua tetes, jangan-jangan… uhuk…
uhuk.” (BATUK)
Putu lanang : “Oh… makanya namanya Sendang Kamulyan ya Mbah…”
Ki Tirta : “Iya…bener. ingat ya…Sepira ajine manungsa, isa disawang saka kepiye
carane wong iku ngajeni karo wong liyo… uhuk… uhuk…”(KEMBALI
BATUK)”
MBOK BAWUK MENGAMBILKAN AIR DAN MENGUSAP-USAP PUNGGUNG KI TIRTA
Putu Lanang : “Mesrane cah…” (TERTAWA MALU)
Ki Tirta : “Maturnuwun Ya, Wuk… walaupun saya miskin, kamu masih mau
melayani…”
Mbok Bawuk : “Kabeh uwong iso ngancani wayah senengmu. Nanging ora kabeh uwong
isa ngancani wayah susahmu. Ujian tebesar bagi orang yang ingin hidup
bersama, ya perasaan saling menerima dan menghormati yang beda.”
(MEREKA SALING MENYANDARKAN TUBUH RINGKIHNYA).
TIDAK LAMA LAMPU PADAM.
ADEGAN 2
SEBUAH GUBUK TUA DAN SEDERHANA. DI RUANG TAMU TERDAPAT MEJA KECIL DAN
SATU KURSI KAYU PANJANG YANG SUDAH LAPUK. SISI KANAN TERDAPAT JENDELA DAN
SEBELAH SISI KIRI TERPAJANG FOTO ZAMAN DULU BERSAMA SANG ANAK. LAMPU
FLOODLIGHT MENYALA REDUP. PADA MALAM HARI KI TIRTA DAN MBOK BAWUK SEDANG
NGINANG (MENCAMPUR KAPUR, DAUN SIRIH, GAMBIR, DAN TEMBAKAU)
Ki Tirta : “Jujur di awal akan terasa lebih baik daripada berbohong di sepanjang
jalan.” (DATANG LALU DUDUK DI KURSI)
Mbok Bawuk : “Pae, apa tidak lebih baik kita jujur dan terbuka pada warga?” (SEMBARI
NGINANG)
Ki Tirta : “Tembok-tembok dan dinding rumah sudah mulai bicara.” (MENGHELA
NAFAS)
Mbok Bawuk : “Ketidakpercayaan warga desa kepada kita ada dimana-mana! Aduh…
aduh piye iki pak?” (PANIK)

7
Ki Tirta : “Yen wis dadi niat, ora kena sambat! Kita sudah kehilangan anak kita,
warga sudah kehilangan sumur-sumurnya. Tinggal Sendang Kamulyan, mata
air satu-satunya yang tersisa mulai kering.”
Mbok Bawuk : “Pada malam itu, orang-orang suruhan kepala desa dan orang-orang kota
bergerilya menutup sumber mata air di sumur warga. Sendang Kamulyan
sebagai harapan satu-satunya tiba-tiba hilang airnya.”
Ki Tirta : “Ini semua agar kita tidak betah di desa ini. Agar sawah-sawah mengering.
Agar mau dijual dengan harga murah. Anak-anak muda terlanjur ringkih dan
cengeng karena goda kesenangan dunia. Mereka yang berjiwa pengecut
kabur ke kota. Minggat dari masalah!”
Mbok Bawuk : “Anak kita yang mememergoki orang suruhan Pak Lurah, sudah berbulan-
bulan tidak ada kabarnya. Anak yang akan jadi juru kunci Sendang
Kamulyan. Anak yang akan jadi penerus kita. Harapan kita, harapan desa!
Anak kita pae… anak kita” (MENANGIS MENCIUMI PAKAIN ANAKNYA)
MBOK BAWUK KEMUDIAN MENGAMBIL FOTO ANAKNYA YANG TELAH MENGHILANG.
Ki Tirta : “Apa arti desa tanpa anak muda? Apa arti hari tua tanpa penerus?.”
(MENATAP MBOK BAWUK YANG TENGAH MELIHAT FOTO SANG ANAK)
“Walau tak kunjung kembali, hatiku mengatakan anak kita masih hidup,
Mbok.”
Mbok Bawuk : “Tapi dimana? Sudah lama! Pae ndak tahu rasanya!” (MENATAP KI TIRTA
MEMELAS)
Ki Tirta : “Tahu mbok. Bapak tahu! Hmmm… kita baru tahu arti kebersamaan saat kita
kehilangan! Anak nakal yang kita marahi, adalah impian mereka yang tidak
punya anak!”
MBOK BAWUK MENGUSAP FOTO ANAKNYA
Mbok Bawuk: “Istri yang di tinggal suami itu janda, suami yang ditinggal istri itu duda, anak
yang ditinggal orang tua itu yatim piatu, tetapi kenapa tidak ada sebutan
orang tua yang ditinggal anaknya? Ya, itu karena tidak dapat dibayangkan.
Bapak tahu rasanya? Ndak tahu ta?” (MENGHELA NAPAS DAN MENANGIS)
Ki Tirta : “Aku tahu Mbok, tahu… Ini nasib kita sebagai penjaga mata air. Mata air
kemuliaan. Dunia sudah egois, jangan kita ikut egois!” (DENGAN PANDANGAN
SEDIH)

8
Mbok bawuk : “Orang egois tidak pernah sadar kalau dirinya egois. Begitupun orang yang
tak berperasaan, dia tidak akan pernah tau kalau tingkahnya bisa menyakiti
orang lain.” (DUDUK DI SEBELAH KI TIRTA)
Ki Tirta : “Pandawa menang atas Korawa dengan mengorbankan rakyat.”
Mbok Bawuk : “Perasaan merasa benar ketika berbuat salah, sudah ada sejak dulu.”
Ki Tirta : “Sekarang ada tokoh agama, rela menipu jamaah atas nama ibadah.
Ngasong sana, ngasong sini (GAYA MARAH-MARAH. Lalu ada juga yang ingin
kaya dengan cepat menipu sana dan sini. Apa namanya Mbok?”
Mbok Bawuk : “Bimo…? Bimo… bimomo? Ah lupa Pae. Yang jelas tidak berkah!”
Ki Tirta : “Berkah kui ora katon nanging biso di roso” (MENYESAP KOPI).
Mbok Bawuk : “Anak muda kita itu sukanya cari yang mudah, walau tidak berkah!” (SAMBIL
MENGUNYANG KINANG DENGAN KESAL)
Ki Tirta : “Mental itu, sudah jadi wabah bagi anak muda desa Mbok!” (MENGAMBIL
KETELA REBUS YANG ADA DI DEPANNYA)
Mbok Bawuk: “Gusti Pangeran, tidak menjanjikan kalau hidup itu gampang, tetapi Gusti
Pangeran berjanji didalam kesulitan ada kemudahan. Kalau dengan kedua
tangan sendiri masalah desa tidak teratasi. Dengan puluhan tangan semua
pasti teratasi. Apalagi jika pemuda-pemuda desa bersatu!”
Ki Tirta : “Gunung tidak bisa dipindahkan hanya dengan kata-kata, gunung bisa
dipindahkan dengan kebersamaan. Anak Putu kita harus paham!”
Mbok Bawuk: “Anak kita satu-satunya, calon penerus juru kunci mata air sudah hilang. Kita
kehilangan panah!”
Ki Tirta : “Anak panah yang sesungguhnya adalah doa. Hanya doa yang bisa
mengubah takdir.”
Mbok Bawuk: “Apakah ruwatan juga termasuk doa?”
Ki Tirta : “Doa itu banyak caranya. Tradisi dan ritual itu ada karena dari dulu nenek
moyang kita menjadikan jalan bersama, agar kita bisa bersatu dari cara
berdoa dan Tuhan kita yang beda!”
Mbok Bawuk: “Lhoh…lhoh…apa Tuhan itu masih ada?”
Ki Tirta : “Hus…Nyebut…nyebut…pitakonmu kok begitu?” (SEDIKIT MARAH)

9
Mbok Bawuk: “Pak, bagi mereka Tuhan dianggap tidak ada. Mereka lebih memilih
mengundang penyanyi dengan rok seksi, dan tonjolan dada yang
mengundang birahi dari pada ritual kenduri?”
Ki Tirta : “Iya..iya aku baru paham, pitakonmu?”
Mbok Bawuk : “ Tradisi berdoa, berubah jadi hura-hura! Oalah….!”
Ki Tirta : “Ruwatan dianggap memuja setan. Kenduri dianggap tidak sesuai religi.
Tembang macapat dianggap pemanggil demit. Sedekah bumi dianggap sesat.
Keris dianggap piranti dukun. Pakai blangkon dicurigai, Celananya bolong-
bolong dijadikan idola. Yang joget-joget di media sosial dipuja-puji seperti
nabi. Yang beda diungkit-ungkit agar tidak satu rakit”
Mbok Bawuk : (TERDIAM DENGAN PANDANGAN KOSONG) “Mungkin Sendang Kamulyan
itu marah! Ngambek!”
Ki Tirta : “Alam adalah bahasa Tuhan kepada manusia! Percayalah!”
TIDAK LAMA LAMPU PADAM
ADEGAN 3
LAMPU FOODLIGHT MENYALA TERANG. SIANG HARI YANG CERAH TERLIHAT KI TIRTA
SEDANG BERBINCANG MENGAJARI PUTUNYA TENTANG KEHIDUPAN. MEREKA
MEMBAWA TAMPAH KECIL YANG BERISI SESAJI DIANTARANYA WEWANGIAN
KEMENYAN, BUNGA, KOPI DAN BUBUR UNTUK MEREKA LETAKKAN DEKAT SENDANG.
Putu Lanang dan Putu Wedok : “Kami prince dan princess Indonesia, mengaku berjoget
yang satu, joget tiktok Indonesia. Kami prince dan princess Indonesia,
mengaku mengidolakan oppa, oppa korea. Kami prince dan princess
Indonesia menjunjung bahasa asing, bahasa gaul sedunia!” (POSISI BERDIRI
TEGAK SAMBIL CENGENGESAN)
Ki tirta : (DATANG MEMBAWA SESAJI KE SENDANG)“ Bocah gila! Kuwalat kalian!
Sejatine urip iku saka gusti pangeran, bali marang Gusti Pangeran. Ucapan
kalian itu akan diperhitungkan Tuhan.” (BERJALAN MENUJU SENDANG).
Putu Lanang : (MENATAP TAMPAH YANG BERISI SESAJEN YANG IA BAWA). Berarti Simbah
akan di perhitungkan tuhan, karena memberi sesaji kepada setan.. Ada
kembang kuburannya.. huu takut!” (BERKIDIK TAKUT)
Ki tirta : “Ini kembang KANTHIL, artinya kanthi laku. Sanepan perlambang agar kita
menjaga perilaku.”

10
Putu Lanang : (MENGANGGUK PAHAM) “Terus ini apa? Baunya menyengat seperti punya
Mbah Dukun.” (MENUNJUK DENGAN PENASARAN)
Ki Tirta : “Ini disebut kemenyan yang bermakna talining iman, urubing cahya kumara,
kukuse ngambah swarga, ingkang nampi Dzat ingkang Maha Kuwaos. Ini juga
sanepan, perlambang.”
Putu Lanang : “Jadi sesaji ini ditujukan untuk siapa? Putu masih belum mudeng Mbah!”
Ki Tirta : (TERSENYUM LALU MENYURUH PUTUNYA UNTUK DUDUK). “Sesaji ditujukan
bukan untuk menyembah setan tetapi sedekah bumi. Sedekah sebagai
ucapan terimakasih kepada alam. Sebab manusia tidak ada artinya tanpa
alam. Wujud kesantunan kita sebagai penumpang di dunia!”
(MBOK BAWUK DATANG )
Mbok Bawuk : “Ini… lihat Le! Simbah suka nginang juga ada maknanya? Ngerti ora?”
Ki Tirta : (MELIHAT PUTU LANANG BINGUNG) “Enjet Kapur, daun sirih, gambir dan
tembakau itu kalau berpadu dan disatukan bisa mengutakan gigi. Rasa sepet,
pahit, getas, artinya jadi manusia harus tabah menghadapi yang susah-susah.
Jangan cuma maunya senang-senang” (SAMBIL MENGUNYAH KINANG)
Putu Lanang : “Orang jawa itu penuh sanepan ya mbah?”
Ki Tirta : “Iya.. Ingat sejarah dunia mencatat, bangsa yang besar itu pasti penuh
perlambang! Nusantara itu bangsa agung, le! Keagungan itu perlu diikat
dengan bersatu! Seperti kinang ini.”
Putu Lanang : “Terus, kenapa Simbah selalu membawa keris? Teman-teman selalu
mengejek jika Simbah punya Jin.” (CEMBERUT)
Ki Tirta : “Keris itu pemberi nasihat dalam diam. Dibuat dengan baja, besi, pamor
(dari batu meteor). Itu adalah simbol dari raga, jiwa, dan ruh. Seperti sumpah
para pemuda. Pemuda yang bisa menyeimbangkan jiwa raga dan ruh, akan
menjadi berharga seperti keris. Keris juga sebagai pengingat , kalau nilai diri
orang tidak dilihat dari make up dan glowingnya, tapi dari hatinya. Dari sifat
welas asih kepada sesama. Sayang, orang sekarang sudah tidak punya ‘keris
kemulyaan’ dalam dirinya.” (MENGHELA NAPAS).
Putu Lanang : “Oh…begitu Mbah” (MENGANGGUK).
Ki Tirta : “Seperti sebuah rumah, bagian yang berbeda-beda justru membuat rumah
kuat. Desa pun demikian karakter dan pemikiran yang berbeda-beda

11
membuat desa menjadi lebih kuat. Maka kita harus saling menghargai dan
perbedaan adat, agama, dan tradisi yang berbeda-beda.”
TIBA-TIBA MEREKA DIKAGETKAN OLEH SEORANG WARGA YANG HENDAK MENGISI AIR
DI SENDANG KAMULYAN. WAJAHNYA TERLIHAT PANIK DAN KEBINGUNGAN.
Warga : “Elah dalah…! Ki… Ki.. Airnya Ki...” (BERTERIAK PANIK)
TIDAK LAMA LAMPU PADAM
ADEGAN 4
LAMPU FLOODLIGHT MENYALA REDUP. BEBERAPA WARGA BERJAGA DI SEBUAH SAUNG
YANG TERBUAT DARI BAMBU YANG MENJADI POS RONDA. PADA KANAN SAUNG
TERDAPAT KENTONGAN. MEREKA TERLIHAT SEDANG BERMAIN CATUR DAN SESEKALI
MENEGUK KOPI SEMBARI BERBINCANG TENTANG PEMIMPIN MEREKA.
Jumadi : “Pintar saja tidak cukup, harus benar. Benar saja tidak cukup, harus punya
karakter.” (MEMANDANG POSTER CALON KEPALA DESA BARU)
Sitir : “Pemimpin kita baik , wajahnya saja terlihat alim.”
Samat : (MENYESAP KOPI) “Penampilan luar orang belum tentu menggambarkan
pribadinya, bahkan seringkali kita terkecoh kalau hanya melihat penampilan
seseorang. Yang dibaliho berpeci belum tentu juga hatinya santri. Yang di media
sosial baik hati, belum tentu juga di dunia nyata terpuji.”
Jumadi : (MELIRIK) ”Tumindak becik ojo karana dilirik. Aja tumindak ala mung karana
ora ana sapa-sapa.”
Ranu : “Mulakno, lebih enak seperti aku ini lho….main game dan main Instagram.
Dunia maya, apa saja ada!” (SAMBIL BERMAIN GAWAI)
Sitir : “Orang-orang melarikan diri ke dunia maya, sebagai obat pelarian dari perihnya
dunia! Perih! Hanya dia…dia..dia..dia.” (SAMBIL MEMAINKAN GAWAINYA
DENGAN BERNYANYI LAGU DANGDUT YANG SEDANG VIRAL)
Jumadi : “Zaman berubah, watak manusia ikut berubah!”
Samat : “Pintu yang berbeda, beda juga kuncinya. Zaman berbeda, penyakitnya beda,
obatnya beda ta ya?”(MENCIBIR)
Sitir : “Anakku kemarin sakit ibunya merengek meminta diantarkan dokter. Padahal
dulu kita sakit demam diminumkan temulawak. Sembuh!” (GELENG-GELENG
KEPALA)
Samat : “Sekarang, obat macam-macam. Penyakitnya juga macam-macam! Jancok!”

12
Sitir : “Bukan cuma penyakit fisik saja yang macam-macam, penyakit psikis, moral,
sosial juga!”
Jumadi : “Kita itu selalu fokus pada masalah lahir! Anak-anak kita kalau panas 3 hari
langsung kita bawa ke dokter. Tetapi berhari-hari, berbulan-bulan anak kita
kecanduan gadget, game online, metaverse, tiktok kita diam saja”.
Samat : “Betul bangun tidur harus ada HP. Makan sambil lihat HP. Mau makan
bukannya berdoa, difoto dan diunggah dulu! Cekrek-cekrek upload pamer sana-
sini.
Sitir : “Yang kasihan itu dolanan Jawa juga! Permainan tradisional sudah jarang yang
tahu!”
Jumadi : “Padahal permainan tradisional mengajarkan budi pekerti, sportivitas,
kerjasama, dan toleransi.”
Samat : “Kalah ora ngamuk, menang ora umuk! Kalah tidak marah, menang tidak
sewenang-wenang!”
Sitir : “Sayang zaman sekarang memang apa-apa harus ada HP. Sekolah saja harus
pakai HP karena pandemi. Anakku yang sekolah aku yang pusing.” (MENEPOK
JIDATNYA)
Jumadi : “Halaman-halaman buku menjadi kertas berdebu yang dimakan kutu, karena
anak-anak kita dibesarkan oleh gadget dan jadi penyembah teknologi.”
Ranu : “Nah ini wabah yang sesungguhnya. Wabah mental. Perusak karakter!”
(MENUNJUK SAMAT)
Samat : “Kok nujuknya saya lho, sampeyan ini! Jancok!
Sitir : “Ngomong-ngomong wabah. Saya setuju desa kita tidak boleh mati karena
Korona. Tetapi, sepertinya pemimpin kita lupa kita juga bisa mati karena
kelaparan.”
Jumadi : “Korona, korupsi, BBM non subsidi itu sama penangkalnya!”.
Semua : “Apa itu?”
Ranu : “Apa hayo?” (GAYA TENGIL)
Jumadi : “Cuci tangan dan tutup mulut.” (GAYA TENGIL MENYINDIR)
Semua : “Hahaha… Raimu!” (TERTAWA BERSAMA)
Samat : “Orang-orang baik pilihannya hanya ada dua, bui atau sembunyi”
(MEMBANDINGAN 2 BUAH CATUR PUTIH DAN HITAM).

13
TIBA-TIBA PENGAMEN DENGAN GAYA NYENTRIK DATANG. MENGGUNAKAN IKAT
KEPALA BERMOTIF MERAH PUTIH (DASI PRAMUKA) DAN MEMAKAI JAKET KULIT HITAM.
PENGAMEN MENGHAMPIRI SAUNG SEMBARI MENGGENJRENGKAN GITARNYA.
Pengamen : (MENYANYI DENGAN NADA BERJUDUL BONGKAR)
Ini kisah desa Wilwatikta
Ngakunya bhineka tapi suka mencela
Rakyat kecil makin sengsara
Banyak masalah musuhan solusinya
(SEMUA) Ho o ya o ya o ya sukar 2x
Samat : (MENIMPALI DENGAN NADA OJO DI BANDINGKE)
Wong saiki kok do tawur-tawuran
Mabuk-mabukan yo mesti salah
Ku harap engkau mengerti
Negeri ini… butuh generasi
Negeri ini… butuh saling mengerti
Ranu : “Stop… stop… nyanyi ya nyanyi saja! Ini nyindir siapa, ta?” (SALING
BERPANDANGAN DAN TERSENYUM)
Semua : “Ha…ha…ha” (SEMUA TERTAWA)
Pengamen : (MEMETIK MENGGEJRENG GITAR) “Apa masih penting desa kita punya
pemimpin atau tidak?”
Jumadi : “Ribet. Ruwet! Mereka harusnya mengasuh kita! Tetapi sepertinya malah
warga yang mengasuh pamong desa!” (MELEPAS IKAT KEPALANYA)
Ranu : “Memang seperti apa si wajah kepemimpinan kita?” (MENDENGUS)
Pengamen : “Satu! Pemimpin kita itu manja!” (MENGACUNGKAN JARI TELUNJUKNYA)
Jumadi : “Harus dituruti dan tidak mau dikritisi! Kritis sama dengan penjara, itu
resikonya.”
Pengamen : “Dua! Gaya hidup mereka!”
Ranu : “Anggaran beli gorden saja setara harga jalan raya di pantura. Studi belajar
toleransi studinya sampai ke Eropa!”
Jumadi : “Studi belajar toleransi keluar negeri? Waduh!”
Pengamen : “Padahal nenek moyang kita sudah lama mengajarinya!” (SAMBIL
MENGGENJRENG GITAR)

14
Samat : “Padahal negeri kita ini guru besarnya toleransi! Masternya keberagaman dan
kerukunan? Barat saja iri kita punya pancasila! Kok kita malah meniru barat?”
PAK BANYU YANG SUDAH DATANG DAN SEDIKIT MENDENGARKAN PERCAKAPAN
MEREKA MENEPIKAN SEPEDANYA DI SAMPING. IA TERLIHAT MENGENAKAN BLANGKON
DAN KAIN BAJU LURIK DAN MEMBAWA BUBUR SENGKALA DALAM RANTANG UNTUK DI
BAGIKAN DAN MENYELA.
Banyu : “Makanya apa yang kita punya harus dijaga bersama!”
Sitir : “Desa lain sibuk memperbaiki diri, kita sibuk mencitrakan diri!”
Banyu : “Menjalani hidup untuk mendapat penilaian baik manusia pasti melelahkan.
Semua disulap agar mengkilap, meski sebetulnya banyak yang berkarat.”
(DUDUK MENIMBRUNG)
Banyu : “Sudah... jangan terlalu dipikirkan, ini saya bawa bubur sengkala untuk tolak
bala.”(MENYODORKAN BUBUR)
Ranu : “Masih percaya mitos?” (MENATAP SINIS)
Banyu : “Percaya atau tidaknya tergantung niat kita. Niatnya untuk sedekah apa
salahnya?”
Samat : “Salahnya, kita suka debat, tidak suka saling jabat! (MENYALAMI SATU-SATU
DENGAN TENGIL). Sing penting wareg! Rukun!” (SEMBARI MAKAN BUBUR YANG
DIBAWAKAN OLEH BANYU)
BANYU MENEPUK PUNDAK SEMUANYA
Banyu : “Wong Jawa Panggone Pasemon, Semu Sinamun Ing Samudana.”
Ranu : “Apa itu artinya?”
Banyu : “Itu peribahasa, perlambang, nasihat dalam bentuk halus dan tidak mendikte”
(MELANJUTKAN TANPA MEMPERDULIKAN RANU)
Ranu : “Apa tidak bisa berbahasa yang mudah dimengerti! Mbok jangan rasis!”
(SEDIKIT EMOSI)
Banyu : “Hmm…nasib..nasib…ngomong bahasa Jawa, harus siap dibilang kejawen. Saya
hanya ingin berekspresi sebagai orang Jawa. Saya lahir dan dibesar di Jawa.
Diperintah Tuhan jadi orang Jawa. Maka saya mencintai dan mendalami budaya
saya.”
Samat : “Diajak bicara pakai bahasa daerah, katanya rasis! berpakaian adat katanya
kuno. Elah dalah… jati diri kita sudah kemalingan!” (PENEPOK JIDATNYA)

15
Ranu : “Ada ayam besar sedikit, diberi namanya ayam Bangkok! Ada kuda bagus,
diberi nama kuda Australi! Kapan kita percaya diri menyebut bangsa sendiri?”
(SAMBIL MENGGEBRAK BIDAK CATUR)
Banyu : “Ora perlu dadi barat kanggo munggah pangkat. Ora perlu dadi londo ben
mulyo. Ajaran kita ajaran jadi manusia yang baik. Jadi generasi pancasila harus
baik pada sesame.”
Jumadi : “Betul! Kata Gus Dur tidak penting apapun agamamu atau sukumu, kalo kamu
bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, karena orang tidak
pernah tanya apa agamamu.”
Ranu : “Itu dengarkan, Eyang Jumadi sudah bersabda….hahaha!”
Samat : “Kita butuh anak muda yang bisa memimpin desa. Tapi sayangnya anak-anak
muda semua lari ke kota. Lari dari masalah. Ini bencana bagi desa! Tidak ada
yang mau jadi petani!”
Sitir : “Kita kekeringan berbulan-bulan. Sumur-sumur tidak keluar airnya. Hutan desa
dibabad. Anak-anak kita sepi dari tempat ibadah. Anak-anak muda lebih merasa
bergengsi di tempat ngopi, asik selfie daripada berjuang mencerdaskan diri.
Berijazah tetapi tidak berpikir. Bertetangga tapi tidak menghargai sesama. Kita
tidak punya kamulyan. Anak muda kita mumet, desa kita ruwet!”
Jumadi : “Saat kita hanya memikirkan perut, kita gampang terhasut, desa kita juga jadi
carut marut! Ujung-ujungnya kita saling sikut!”
Samat : “Pantas Sendang Kamulyan makin kesini makin cemberut.”
Ranu : “Kok bisa ta…ngomong belakangnya bisa ut…ut..ut..hehe”
SEMUA TERTAWA
Banyu : “Hilangnya rasa bersalah, ketika berbuat salah. Hilangnya rasa malu, ketika
berbuat memalukan. Itu wabah yang sebenarnya di desa ini.”
Jumadi : “Hukuman terberat bagi pendosa ketika tak mampu lagi merasakan dosa.”
Samat : “Ingin cepat kaya, dengan menipu orang. Pamer harta di media, tanpa rasa
empati terhadap yang susah.” (GELENG-GELENG)
Banyu : “Padahal zaman Ibu bapak kita dulu, kalau masak saja masakannya dibagikan
kepada tetangga! Tetangga dirumah sakit, satu kampung menjenguk!”
Sitir : “Sekarang, kita sengaja mengeraskan bunyi sendok dan garpu di samping orang
yang lapar.” (BERGAYA CULAS)

16
Banyu : “Jahat! Itulah wabah sebenarnya! Wabah karakter bagi desa ini. Hilangnya
karakter dan jiwa kebersamaan. Mewabahnya jiwa hedonis, kebiasaan narsis,
lupa pada nilai moralis!”
TIBA-TIBA DATANG BEBERAPA WARGA MEMBAWA BARANG-BARANG.
Samat : “Lihat tetangga kita satu persatu meninggalkan desa. Pemudanya sibuk menjual
harta orang tua demi tuntutan gaya. Ini lebih bahaya dari korona.”
Banyu : “Tanah dan sawah dijual murah. Cinta pada desa juga mulai goyah.”
Samat : “Iya, air sudah mulai langka, ternak-ternak banyak yang mati. Pilihannya cuma
dua mati tak punya nasi atau jual tanah walau rugi” (BERPAMITAN KEMUDIAN
PERGI)
ADEGAN 5
DI SEBUAH RUANGAN YANG GELAP, SEMPIT DAN KUMUH SAYUP-SAYUP TERDENGAR
SUARA RINTIHAN SESEORANG. TIBA-TIBA DUA ORANG MISTERIUS MEMBUKA PINTU
DENGAN KERAS. MUNCULAH CAHAYA TERANG DI BALIK PINTU MENERANGI SEISI
RUANGAN. ORANG MISTERIUS BERTOPENG ITU MENDEKAT KEMUDIAN MEMBUKA
TOPENG
Anak Ki Tirta : “Bangunnnnn!”..(MEMBENTAK DAN MENENDANG TUBUH TUA PENUH
LUKA)
KI TIRTA PERLAHAN MEMBUKA MATANYA. WAJAHNYA TERLIHAT BABAK BELUR PENUH
DENGAN DARAH. TUBUHNYA DIIKAT DI KURSI MULUTNYA TERSUMPAL DENGAN KAIN.
KI KIRTA MENATAP ORANG ITU DENGAN TERKEJUT.
Ki Tirta : (MERINGIS SAKIT ) “Kamu ngger? Masih hidup? (MENATAP TAK PERCAYA)
Saaa.. laahhku app aaa ta, ngger?” (TERBATA-BATA)
Anak Ki Tirta : (MENDEKAT DAN MENGELUS WAJAH PENUH DARAH ITU). “Hahaha Bapak
tidak salah! Jusru aku melas dengan bapak” (MENATAP JIJIK ) Lihat! Bapak
bau, kotor, dekil, pakaianmu lebih pantas menjadi kain lap. Ha..ha..ha..
(MENGUSAP WAJAH KI TIRTA YANG BERDARAH DENGAN JARI, KEMUDIAN
MENCICIPI DARAHNYA SAMBIL TERTAWA). Bapak dan Simbok ini egois
hanya demi mengabdi pada desa, sampai rela anaknya miskin!”
Ki Tirta : “Kami hanya menjalankan amanah untuk kelangsungan desa.”

17
Anak Ki Tirta : “Amanah..amanah..amanah… Khotbah… khotbah.. khotbah! Tidak mungkin
menggendong amanah kalau perut lapar Pak!” (MEMBETAK DAN
MENENDANG MEJA)
Mbok Bawuk : “Barang siapa yang hanya mementingkan perut, derajatnya tidak lebih
tinggi dari apa yang keluar dari perut.”
Ki Tirta : “Yang lari mengejar dunia, dunia akan lari darinya! Yang…” (BELUM
SELESAI SUDAH DI BENTAK)”
Anak Ki Tirta : “Stop….ssst… Diam!” (DENGAN MATA MELOTOT, KEMUDIAN TERTAWA
BENGIS)
Mbok Bawuk : “Kamu berubah ngger! Ini bukan anakku! Gusti, ini bukan anakku.. bukan…”
(MENANGIS)
Anak Ki Tirta : (MENGGEBRAK MEJA) “Jangan cengeng Mbok! Kita puluhan tahun jadi
orang baik. Tuhan tidak baik juga pada kita. Puluhan tahun berdoa, kita
masih miskin saja. Puluhan tahun melayani masyarakat desa, kita sering di
hina warga desa. Jadi orang miskin harus tidak boleh masuk rumah sakit.
Antri-berjam-jam, di ping pong sana sini. Jadi orang miskin tidak boleh
sekolah. Katanya sekolah gratis, tetapi yang miskin iurannya membuat
kantong kempis. Ingat Mbok, Pak!! Si Sumi, Istriku sampai meninggalkanku
karena aku miskin. Aku diselingkuhi, karena tidak bisa menafkahi.Orang-
orang desa menertawakanku! Bedebah! Hah….!” (MEMBENTAK KESAL)
TANPA PERDULI UCAPAN KI TIRTA ORANG KOTA YANG AWALNYA HANYA DIAM DATANG
SAMBIL BERTEPUK TANGAN MELEDEK. KULIT KI TIRTA YANG BERDARAH DITABUR
DENGAN GARAM. KI TIRTA BERTERIAK.
Orang Kota : “Dialog drama orang tua dan anak yang dahsyat (SAMBIL BERTEPUK
TANGAN). Ssst… lebih sakit mana, kehilangan mata air, atau kehilangan anak
baikmu? Atau lebih sakit garam ini?” (MENABUR GARAM, KI TIRTA BERTERIAK
KESAKITAN)
Anak Ki Tirta : “Sudah! Sudah cukup….itu bapakku…hahaha..” (EKSPRESI PSIKOPAT)
Ki Tirta : (SAMBIL KESAKITAN) “Masa lalu adalah guru dengan pengalamannya. Masa
kini menjadi guru dengan pilihannya. Masa depan menjadi guru dengan
misterinya! Awas, nanti menyesal!”

18
(MBOK BAWUK YANG SEJAK AWAL MENCOBA LEPAS DARI IKATAN SECARA DIAM-DIAM
BERHASIL LEPAS DAN LARI SAAT ANAK KI TIRTA DAN ORANG KOTA BALIK BADAN)
Orang Kota : “Hei….jangan lari!”
Anak Ki Tirta : “Mbok….!”
TIDAK LAMA LAMPU PADAM

ADEGAN 6
LAMPU BEAMLIGHT WARNA MERAH MENYOROT AREA SENDANG KAMULYAN. DUPA
DAN SEJAJI BERCECERAN DI TEPI SENDANG. PANCURAN SENDANG HANYA TERSISA
TETESAN. AKAN TETAPI, BUKAN TETESAN BENING, MELAINKAN TETESAN BERWARNA
MERAH DARAH.
Mbok Bawok : (MEMEJAMKAN MATA, MERINTIH KESAKITAN DAN DUDUK DI TEPI KOLAM)
Kelek-kelek biyung Sira aneng ngendi? Enggal tulungana. Awakku
kecemplung warih. Gelagepan wus meh pejah!
ANAK KI TIRTA DATANG DENGAN TERTAWA
Anak Ki Tirta : (TERTAWA JAHAT) “Mbok.. aku sayang dengan Simbok.. Kasihan hidup
miskin terus.. sini Mbok biar penderitanmu selesai” (MENUSUK)
Mbok Bawok : (BERBALIK DENGAN NAFAS TERCEKAT) “Ibu pertiwi sudah benar-benar
mati dibunuh oleh anak-anaknya sendiri.” (JATUH DAN TERGELETAK
DENGAN BERLUMURAN DARAH).
Anak Ki tirta : (TERTAWA SEPERTI ORANG GILA) “Hahaha…dah Simbok..sampai ketemu di
surga. Itu pun kalau Tuhan benar ada seperti kata Bapak!” (TERTAWA
SEPERTI PSIKOPAT).
TIBA-TIBA SUARA TEMBAKAN TERDENGAR DENGAN KERAS. ANAK KI TIRTA JATUH
TERSUNGKUR. ORANG KOTA ITU PERLAHAN KELUAR BALIK BADAN DAN TERSENYUM
TIPIS MENDEKATI ANAK KI TIRTA YANG SUDAH TIDAK BERNYAWA.
Orang kota : (TERAWA) “Desa dan kedua orang tua saja dibunuh sampai mati. Orang
yang rela menghianati tanah kelahirannya tidak layak dipercaya”.

TIDAK LAMA LAMPU PADAM


-----TAMAT-----

19
LAMPIRAN
DAFTAR ISTILAH

1. Kelek-kelek…dst (Tembang Maskumabang ciptaan Sunan Kalijaga saat bertapa jaga kali.
Didalamnya terdapat doa agar tidak hanyut dalam aliran kehidupan yang hina)
2. Akeh wong mulyo kinunjoro : banyak orang mulia dipenjara
3. Sepira ajine manungsa, isa disawang saka kepiye carane wong iku ngajeni karo wong
liyo : harga diri seseorang bisa dilihat dari bagaimana cara orang itu bisa menghargai
orang lain
4. Kabeh uwong iso ngancani wayah senengmu. Nanging ora kabeh uwong isa ngancani
wayah susahmu : semua orang bisa menemani dirimu disaat senang, namun tidak
semua orang bisa menemanimu disaat susah
5. Yen wis dadi niat, ora kena sambat : jika sudah menjadi niat, jangan mengeluh
6. Berkah kui ora katon nanging biso di roso : berkah itu tidak terlihat tapi bisa dirasakan
7. Sejatine urip iku saka gusti pangeran, bali marang Gusti Pangeran : hidup itu dari Tuhan
dan akan Kembali kepada Tuhan
8. kanthi laku : menjaga perilaku
9. Tumindak becik ojo karana dilirik. Aja tumindak ala mung karana ora ana sapa-sapa :
Berbuat baik jangan hanya karena ada yang melihat, jangan berbuat jahat meskipun
tidak ada yang melihat.
10. Wong saiki kok do tawur-tawuran
Mabuk-mabukan yo mesti salah : Orang sekarang asik tawuran dan mabuk-mabukan
11. Sing penting wareg! : yang penting kenyang
12. Wong Jowo Panggone Pasemon, Semu Sinamun Ing Samudana : orang Jawa
cenderung semu atau terselubung, ditutup kata-kata tersamar
13. Desa mawa cara, negara mawa tata : desa mempunyai adat sendiri, negara mempunyai
hukum sendiri
14. Ora perlu dadi barat kanggo munggah pangkat. Ora perlu dadi londo ben mulyo : tidak
perlu menjadi seperti orang Barat agar naik pangkat, tidak perlu menjadi seperti orang
bule agar mulia
15. Kamulyan : kemuliaan
16. Ruwet : rumit, sulit

20

Anda mungkin juga menyukai