Latar Belakang
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan ini dibentuk untuk mendorong pemulihan ekonomi
nasional (PEN) akibat pandemi Covid-19. Tujuan ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) untuk
meningkatkan pertumbuhan perekonomian Indonesia yang berkelanjutan sekaligus mendukung
percepatan pemulihan ekonomi dengan menciptakan kondisi fiskal yang optimal yang berfokus pada
perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak.
UU HPP juga menjadi tonggak reformasi sistem perpajakan Indonesia yang lebih berkeadilan dan
berkepastian hukum. Reformasi ini dijalankan di sektor administratif dan kebijakan perpajakan yang
konsolidatif.
Upaya reformasi ini dapat dilihat dari perubahan regulasi pajak existing seperti Pajak Pertambahan Nilai
(PPN), Pajak Penghasilan (PPh), Bea Cukai hingga Ketentuan Tata Cara Perpajakan (KUP). Terdapat pula
penambahan regulasi seperti pajak karbon dan program pengungkapan sukarela. Nantinya, UU ini
mampu mendorong perluasan basis perpajakan serta meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.
Dalam sektor struktural, UU HPP bertujuan meningkatkan kemudahan berusaha dan iklim investasi,
memperluas lapangan pekerjaan, hingga percepatan pertumbuhan ekonomi. Dalam sektor sistem
keuangan, reformasi pajak diharapkan dapat sistem keuangan yang inklusif, sehat, dan mampu melayani
dinamika aktivitas ekonomi sosial secara efisien
Kemudian pada sektor fiskal, reformasi ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas belanja negara
untuk perlindungan masyarakat rentan, mampu menyediakan fasilitas publik yang berkualitas, hingga
meningkatkan efektivitas pertumbuhan ekonomi. Terakhir, dalam sektor tata kelola negara, reformasi
pajak diharapkan dapat menciptakan sistem demokrasi yang matang, birokrasi yang efisien dan efektif,
serta membangun hubungan pemerintah dan daerah yang konstruktif
Asas Keadilan, kesederhanaan, efisiensi, kepastian hukum, kemanfaatan, dan kepentingan nasional
Kunci Perubahan :
Pasal 7 ayat (1) diubah
(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit:
a. Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya
digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
d. Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah
dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluar
(2a) Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan
keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya,
paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluar.
Batas peredaran bruto tidak dikenai pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi Bagi orang pribadi
pengusaha yang menghitung PPh dengan tarif final 0,5% (PP 23/2018) dan memiliki peredaran bruto sampai
Rp 500 juta setahun tidak dikenai PPh.
G. Tarif Pajak
Kunci Perubahan :
(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:
Tarif PPh Badan ditetapkan tetap menjadi 22%, yang berlaku untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya.
Terhadap pelaku usaha UMKM berbentuk badan dalam negeri tetap diberikan insentif penurunan tarif
sebesar 50% sebagaimana diatur dalam Ps 31E. Bagi WP orang pribadi dengan peredaran bruto tertentu,
diberikan pengecualian pengenaan pajak terhadap peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta. Oleh karena
itu sesuai dengan salah satu tujuan UU HPP untuk mengoptimalkan penerimaan negara dengan
mempertimbangkan asas keadilan, Pemerintah perlu mempertahankan tarif PPh badan mulai Tahun Pajak
2022 sebesar 22%.
I. Waktu Pemberlakuan
Pengaturan kembali ketentuan PPh pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan berlaku
mulai Tahun Pajak 2022.
a. C-Efficiency PPN Indonesia 63,58% artinya Indonesia baru bisa mengumpulkan 63,58% dari total PPN
yang seharusnya bisa dipungut. Hal ini karena masih terdapat barang dan jasa yang belum masuk ke
dalam sistem. Selain itu juga disebabkan masih banyaknya fasilitas PPN yang diberikan.
b. Untuk memperluas basis pemajakan maka non BKP dan non JKP menjadi BKP dan JKP dan
pengurangan beberapa kriteria fasilitas yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
c. Tingginya tax expenditure (65% dari total tax expenditure 2019)
barang eks non-BKP (kebutuhan pokok) diberikan fasilitas tidak dipungut atau dibebaskan dari
pengenaan PPN, yang diberikan secara selektif dan terbatas.
Jasa eks non-JKP diberikan fasilitas tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN, yang
diberikan secara selektif dan terbatas.
1. Tarif PPN Indonesia masih dibawah rata-rata tarif global (15,4%), negara OECD (19%) atau
negara BRICS (17%).
2. Tarif PPN Indonesia masih di bawah tarif PPN negara-negara tetangga di Asia:
a. Philipina – 12%
b. Arab Saudi – 15 %
c. Korea Utara – 17%
d. Pakistan – 17%
e. India – 18%
3. Kenaikan tarif PPN secara bertahap dari 10% menjadi 11% dan kemudian 12% ditujukan untuk
meningkatkan penerimaan negara dalam memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini yaitu dalam
rangka mengatasi dampak pandemi Covid-19 dalam bentuk vaksin, bantuan sosial, dan lain-lain.
M. Tarif PPN
a. sebesar 11% (sebelas persen) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022
b. sebesar 12% (dua belas persen) yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
Sebelumnya:
(3) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling
rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen).
(4) Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
Sebelumnya:
(3) Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima
persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
N. Waktu Pemberlakuan
Masih terdapat peserta Pengampunan Pajak yang belum mendeklarasikan seluruh aset pada saat
Pengampunan Pajak dan apabila ditemukan oleh DJP akan dikenai PPh final (PP-36/2017) yang dirasakan
terlalu tinggi ditambah sanksi sebesar 200% (Pasal 18 ayat (3) UU TA)
Kondisi I. Masih terdapat WP OP yang belum mengungkapkan seluruh penghasilan dalam SPT
Tahunan 2016 s.d.2020
Kondisi II. Dengan adanya data dari pertukaran data otomatis (AEOI) dan data perpajakan dari
ILAP, sedangkan WP belum mendeklarasikan seluruh aset dan penghasilan, sehingga perlu
diberikan kesempatan secara sukarela untuk memenuhi kewajiban pajak.
a. Kondisi I
Bagi peserta TA (OP atau Badan) yang belum melaporkan seluruh harta dalam Surat Pernyataan
Harta (SPH), apabila harta tersebut ditemukan oleh DJP akan dianggap penghasilan dan dikenai
PPh Final 25% (Badan); 30% (OP); 12,5% (WP Tertentu) dari Harta Bersih Tambahan (PP-
36/2017) ditambah sanksi 200%.
b. Kondisi II
Terhadap WP OP yang belum melaporkan penghasilan Tahun Pajak 2016-2020 sesuai ketentuan
akan dikenai PPh sesuai tarif yang berlaku ditambah sanksi administrasi. Sebuah program yang
bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak dan diselenggarakan
berdasarkan asas kesederhanaan, kepastian hukum, serta kemanfaatan. Asas kesederhanaan,
kepastian hukum, serta kemanfaatan. Program ini berupa pemberian kesempatan kepada Wajib
Pajak untuk melaporkan atau mengungkapkan
1) Pembayaran Pajak Penghasilan berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum
sepenuhnya dilaporkan oleh peserta program Pengampunan Pajak (Kebijakan I)
P. Pajak Karbon
Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan
hidup. Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan
hidup:
Kebijakan peta jalan pajak karbon ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Subjek pajak karbon: orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon
dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
Obyek pajak karbon : Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau
aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu.
a. Tarif pajak karbon ditetapkan Rp30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
b. Implementasi pertama kali 1 April 2022 untuk badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik
tenaga uap batubara.
R. Cukai
a. Penegasan dengan penambahan jenis Barang Kena Cukai hasil tembakau berupa rokok elektrik.
c. Penegakan Hukum Pidana Cukai dengan mengedepankan Pemulihan Kerugian Pendapatan Negara.
d. Wajib Bayar diberikan kesempatan untuk mengembalikan kerugian pada pendapatan negara dengan
membayar sanksi: