Anda di halaman 1dari 7

A.

Latar Belakang

Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan ini dibentuk untuk mendorong pemulihan ekonomi
nasional (PEN) akibat pandemi Covid-19. Tujuan ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) untuk
meningkatkan pertumbuhan perekonomian Indonesia yang berkelanjutan sekaligus mendukung
percepatan pemulihan ekonomi dengan menciptakan kondisi fiskal yang optimal yang berfokus pada
perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak. 

UU HPP juga menjadi tonggak reformasi sistem perpajakan Indonesia yang lebih berkeadilan dan
berkepastian hukum. Reformasi ini dijalankan di sektor administratif dan kebijakan perpajakan yang
konsolidatif.

Upaya reformasi ini dapat dilihat dari perubahan regulasi pajak existing  seperti Pajak Pertambahan Nilai
(PPN), Pajak Penghasilan (PPh), Bea Cukai hingga Ketentuan Tata Cara Perpajakan (KUP). Terdapat pula
penambahan regulasi seperti pajak karbon dan program pengungkapan sukarela. Nantinya, UU ini
mampu mendorong perluasan basis perpajakan serta meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.

Dengan disahkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Kementerian Keuangan optimis mampu


menaikan penerimaan pajak hingga 10% dibandingkan tahun ini. Sedangkan proyeksi untuk rasio pajak
2022 juga diperkirakan mampu meningkat 9% dari PDB.

Dalam sektor struktural, UU HPP bertujuan meningkatkan kemudahan berusaha dan iklim investasi,
memperluas lapangan pekerjaan, hingga percepatan pertumbuhan ekonomi. Dalam sektor sistem
keuangan, reformasi pajak diharapkan dapat sistem keuangan yang inklusif, sehat, dan mampu melayani
dinamika aktivitas ekonomi sosial secara efisien

Kemudian pada sektor fiskal, reformasi ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas belanja negara
untuk perlindungan masyarakat rentan, mampu menyediakan fasilitas publik yang berkualitas, hingga
meningkatkan efektivitas pertumbuhan ekonomi. Terakhir, dalam sektor tata kelola negara, reformasi
pajak diharapkan dapat menciptakan sistem demokrasi yang matang, birokrasi yang efisien dan efektif,
serta membangun hubungan pemerintah dan daerah yang konstruktif

B. Sistematika RUU HPP

BAB I : Asas, tujuan, dan ruang lingkup (pasal 1)

BAB II : Ketentuan umum dan tata cara perpajakan (pasal 2)

BAB III : Pajak Penghasilan (pasal 3)

BAB IV : Pajak pertambahan nilai (pasal 4)

BAB V : Program pengungkapan sukarela WP (pasal 5-12)

BAB VI : Pajak Karbon (pasal 13)

BAB VII : Cukai (pasal 14)

BAB VIII : Peralihan (pasal 15)

BAB IX : Penutup (pasal 16-19)


C. Asas dan Ruang Lingkup

Asas Keadilan, kesederhanaan, efisiensi, kepastian hukum, kemanfaatan, dan kepentingan nasional

D. Ruang lingkup dan Pemberlakuan :

a. Perubahan UU PPh Berlaku tahun pajak 2022

b. Perubahan UU PPN berlaku mulai 1 April 2022

c. Perubahan UU KUP Berlaku mulai tanggal diundangkan

d. Program pengungkapan sukarela berlaku 1 Januari s.d 30 Juni 2022

e. Pajak Karbon mulai berlaku 1 April 2022

f. Perubahan UU Cukai berlaku mulai tanggal diundangkan

E. Materi Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

1. Penggunaan NIK sebagai NPWP Orang Pribadi


Bertujuan mempermudah WP orang pribadi melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban.
Penggunaan NIK sebagai NPWP tidak serta merta menyebabkan setiap orang pribadi membayar
pajak. Pembayaran pajak dilakukan apabila:
 Penghasilan setahun di atas batasan PTKP
 Peredaran bruto di atas Rp 500juta/tahun bagi pengusaha yang membaya PPh
Final 0,5% (PP-23/2018).
2. Besaran sanksi pada saat pemeriksaan dan sanksi dalam upaya hukum
a. sanksi pemeriksaan dan WP tidak menyampaikan SPT/membuat pembukuan.
b. sanksi setelah upaya hukum namun keputusan keberatan/pengadilan menguatkan
ketetapan DJP
3. Kuasa Wajib Pajak
Untuk keadilan dan kepastian hukum, kuasa Wajib Pajak dapat dilakukan oleh siapapun,
sepanjang memenuhi persyaratan kompetensi menguasai bidang perpajakan. Pengecualian syarat
diberikan jika kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah/semenda 2 (dua)
derajat.
4. Penegakan Hukum Pidana Pajak dengan mengedepankan Pemulihan Kerugian Pendapatan
Negara
a. Demi keadilan dan kepastian hukum, hingga tahap persidangan, Wajib Pajak diberikan
kesempatan untuk mengembalikan kerugian pada pendapatan negara dengan membayar
pokok pajak dan sanksi, sebagai pertimbangan untuk dituntut tanpa penjatuhan pidana
penjara.
b. Perubahan sanksi yang harus dibayar:

F. Penghasilan Tidak Kena Pajak

Kunci Perubahan :
Pasal 7 ayat (1) diubah

Pasal 7 ayat (3) diubah

Pasal 7 ayat (2a) ditambah

(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit:

a. Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya
digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
d. Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah
dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluar

(2a) Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan
keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya,
paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluar.

Batas peredaran bruto tidak dikenai pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi Bagi orang pribadi
pengusaha yang menghitung PPh dengan tarif final 0,5% (PP 23/2018) dan memiliki peredaran bruto sampai
Rp 500 juta setahun tidak dikenai PPh.

G. Tarif Pajak

Kunci Perubahan :

Pasal 17 ayat (1) (2) (2b) dan (3) diubah

Pasal 17 ayat (2) ditambah

Pasal 17 ayat (2a) dihapus

(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:

a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagai berikut:


Lapisan Penghasilan Kena Pajak
 Tarif Pajak sampai dengan Rp60.000.000,00 : 5% (lima persen)
 Di atas Rp60.000.000,00 s.d. Rp250.000.000,00 : 15% (lima belas persen)
 Di atas Rp250.000.000,00 s.d. Rp500.000.000,00 : 25% (dua puluh lima persen)
 Di atas Rp500.000.000,00 s.d. Rp5.000.000.000,00 : 30% (tiga puluh persen)
 Di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) : 35% (tiga puluh lima persen)
b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang
mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022.
 Perubahan tarif ini tidak menambah beban PPh bagi orang pribadi yang berpenghasilan s.d.
Rp5 miliar setahun.
 Masyarakat berpenghasilan sampai dengan 4,5jt per bulan tetap tidak membayar PPh sama
sekali.
 Data dari SPT tahun 2019, dari 11,5 juta WP yang melaporkan SPT hanya 4,9 juta WP yang
membayar pajak
 Masyarakat dengan penghasilan di atas 4,5jt per bulan, mayoritas akan membayar pajak
yang lebih rendah.

H. Tarif PPh Badan

Tarif PPh Badan ditetapkan tetap menjadi 22%, yang berlaku untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya.
Terhadap pelaku usaha UMKM berbentuk badan dalam negeri tetap diberikan insentif penurunan tarif
sebesar 50% sebagaimana diatur dalam Ps 31E. Bagi WP orang pribadi dengan peredaran bruto tertentu,
diberikan pengecualian pengenaan pajak terhadap peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta. Oleh karena
itu sesuai dengan salah satu tujuan UU HPP untuk mengoptimalkan penerimaan negara dengan
mempertimbangkan asas keadilan, Pemerintah perlu mempertahankan tarif PPh badan mulai Tahun Pajak
2022 sebesar 22%.

I. Waktu Pemberlakuan

Pengaturan kembali ketentuan PPh pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan berlaku
mulai Tahun Pajak 2022.

J. Latar Belakang Perubahan UU PPN

a. C-Efficiency PPN Indonesia 63,58% artinya Indonesia baru bisa mengumpulkan 63,58% dari total PPN
yang seharusnya bisa dipungut. Hal ini karena masih terdapat barang dan jasa yang belum masuk ke
dalam sistem. Selain itu juga disebabkan masih banyaknya fasilitas PPN yang diberikan.
b. Untuk memperluas basis pemajakan maka non BKP dan non JKP menjadi BKP dan JKP dan
pengurangan beberapa kriteria fasilitas yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
c. Tingginya tax expenditure (65% dari total tax expenditure 2019)

K. Barang dan Jasa Tidak Kena PPN

Pasal 4A ayat (2) diubah :

barang eks non-BKP (kebutuhan pokok) diberikan fasilitas tidak dipungut atau dibebaskan dari
pengenaan PPN, yang diberikan secara selektif dan terbatas.

Pasal 4A ayat (3) diubah :

Jasa eks non-JKP diberikan fasilitas tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN, yang
diberikan secara selektif dan terbatas.

L. Kenaikan Tarif PPN

1. Tarif PPN Indonesia masih dibawah rata-rata tarif global (15,4%), negara OECD (19%) atau
negara BRICS (17%).
2. Tarif PPN Indonesia masih di bawah tarif PPN negara-negara tetangga di Asia:
a. Philipina – 12%
b. Arab Saudi – 15 %
c. Korea Utara – 17%
d. Pakistan – 17%
e. India – 18%
3. Kenaikan tarif PPN secara bertahap dari 10% menjadi 11% dan kemudian 12% ditujukan untuk
meningkatkan penerimaan negara dalam memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini yaitu dalam
rangka mengatasi dampak pandemi Covid-19 dalam bentuk vaksin, bantuan sosial, dan lain-lain.

M. Tarif PPN

Perubahan Pasal 7 ayat (1) dan (3)

Penambahan ayat (4)

Perubahan dan Penambahan Pasal 7 :

(1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu:

a. sebesar 11% (sebelas persen) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022
b. sebesar 12% (dua belas persen) yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.

Sebelumnya:

(1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen)

(3) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling
rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen).

(4) Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.

Sebelumnya:

(3) Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima
persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

(4) Tidak ada

N. Waktu Pemberlakuan

Pengaturan kembali ketentuan PPN pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan


berlaku mulai 1 April 2022, kecuali ketentuan pada Pasal 7 ayat (1) huruf b (paling lambat 1
Januari 2025).

O. Latar Belakang dan Skema Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak


1. Latar Belakang

Masih terdapat peserta Pengampunan Pajak yang belum mendeklarasikan seluruh aset pada saat
Pengampunan Pajak dan apabila ditemukan oleh DJP akan dikenai PPh final (PP-36/2017) yang dirasakan
terlalu tinggi ditambah sanksi sebesar 200% (Pasal 18 ayat (3) UU TA)

Kondisi I. Masih terdapat WP OP yang belum mengungkapkan seluruh penghasilan dalam SPT
Tahunan 2016 s.d.2020

Kondisi II. Dengan adanya data dari pertukaran data otomatis (AEOI) dan data perpajakan dari
ILAP, sedangkan WP belum mendeklarasikan seluruh aset dan penghasilan, sehingga perlu
diberikan kesempatan secara sukarela untuk memenuhi kewajiban pajak.

2. Pengaturan Saat Ini

a. Kondisi I

Bagi peserta TA (OP atau Badan) yang belum melaporkan seluruh harta dalam Surat Pernyataan
Harta (SPH), apabila harta tersebut ditemukan oleh DJP akan dianggap penghasilan dan dikenai
PPh Final 25% (Badan); 30% (OP); 12,5% (WP Tertentu) dari Harta Bersih Tambahan (PP-
36/2017) ditambah sanksi 200%.

b. Kondisi II

Terhadap WP OP yang belum melaporkan penghasilan Tahun Pajak 2016-2020 sesuai ketentuan
akan dikenai PPh sesuai tarif yang berlaku ditambah sanksi administrasi. Sebuah program yang
bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak dan diselenggarakan
berdasarkan asas kesederhanaan, kepastian hukum, serta kemanfaatan. Asas kesederhanaan,
kepastian hukum, serta kemanfaatan. Program ini berupa pemberian kesempatan kepada Wajib
Pajak untuk melaporkan atau mengungkapkan

kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui:

1) Pembayaran Pajak Penghasilan berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum
sepenuhnya dilaporkan oleh peserta program Pengampunan Pajak (Kebijakan I)

2) pembayaran Pajak Penghasilan berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan


dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020 (Kebijakan II).

Program dilaksanakan selama 6 bulan (1 Januari 2022 s.d. 30 Juni 2022).

P. Pajak Karbon

Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan
hidup. Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan
hidup:

a. peta jalan pajak karbon.

b. peta jalan pasar karbon.


Peta jalan pajak karbon memuat:

a. strategi penurunan emisi karbon;

b. sasaran sektor prioritas;

c. keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan; dan/atau

d. keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya.

Kebijakan peta jalan pajak karbon ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Subjek pajak karbon: orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon
dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.

Obyek pajak karbon : Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau
aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu.

Q. Tarif Pajak Karbon

a. Tarif pajak karbon ditetapkan Rp30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).

b. Implementasi pertama kali 1 April 2022 untuk badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik
tenaga uap batubara.

R. Cukai

a. Penegasan dengan penambahan jenis Barang Kena Cukai hasil tembakau berupa rokok elektrik.

b. Merubah prosedur penambahan pengurangan jenis Barang Kena Cukai.

c. Penegakan Hukum Pidana Cukai dengan mengedepankan Pemulihan Kerugian Pendapatan Negara.

d. Wajib Bayar diberikan kesempatan untuk mengembalikan kerugian pada pendapatan negara dengan
membayar sanksi:

Anda mungkin juga menyukai