Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH SEJARAH ISLAM ASIA TENGGARA

“Dinamika Islam di Indonesia”

DISUSUN OLEH: KELOMPOK 4


FANADA NAZHIFAH (12180321914)
RAISA KAMILLA MAIZANDA (12180323661)
RISMA SWARDANI (12180321753)

DOSEN PENGAMPU:
ISMAIL PANE, S.Ud., M.Ag

PROGRAM STUDI GIZI


FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

Dengan menyebut Nama Allah SWT, Puji syukur Alhamdulillah penyusun


mengucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat,
karunia dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “DINAMIKA ISLAM DI INDONESIA”.

Penyusunan makalah ini digunakan untuk memenuhi tugas mata kuliah


Sejarah Islam Asia Tenggara yang dibimbing oleh Bapak Ismail Pane, S.Ud.,
M.Ag. Kami berharap dengan adanya makalah ini kami bisa termotivasi untuk
lebih dalam mempelajari mengenai Sejarah Islam Asia Tenggara yaitu Pengantar
Pemahaman atas Sejarah Islam.

Pepatah mengatakan tidak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu kami
sadar dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan, kami mohon
maaf dan meminta kepada Bapak dosen, kiranya sudi memberikan kritik dan saran
untuk perbaikan selanjutnya. Sekian dari kami semoga tugas ini sesuai dengan apa
yang diharapkan dan dapat bermanfaat bagi yang membacanya.

Pekanbaru, 18 Maret 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................2
1.3 Tujuan.............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................3
2.1 Islam di Indonesia pada Fase Kerajaan-kerajaa pada Abad XIII s/d
XX M…....................................................................................................3
2.2 Islam di Indonesia Fase Kolonialisme...........................................16
2.3 Islam di Indonesia Fase Kemerdekaan..........................................22
2.4 Ideologi Trans Nasional di Indonesia............................................26
2.5 Diskursus Relasi Agama dan Negara............................................28
BAB III PENUTUP.................................................................................31
3.1 Kesimpulan...................................................................................31
3.2 Saran.............................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................33

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara yang paling banyak penduduk
muslimnya. Umat Islam menjadi agama yang banyak dianut oleh penduduk
Indonesia, ada banyak peran ulama dalam mensyiarkan agama Islam baik dari
Arab maupun India yang keduanya memiliki ciri-ciri tersendiri ketika berdakwah.
Para dai mempengaruhi tidak hanya kepercayaan mereka terhadap Tuhan, namun
sistem kemasyarakatan sampai mempengaruhi hukum yang mereka gunakan.

Berbicara mengenai hukum yang berlaku di Indonesia sebelum atau


sesudah masuknya Islam sangatlah luas, dikarenakan sebelum masuknya Islam di
Indonesia telah terdapat beberapa kepercayaan dan agama yang dianut yang
secara otomatis kepercayaan dan agama mereka mempengaruhi terhadap norma
atau hukum yang mereka pakai. Setelah masuknya Islam pun hukum yang dipakai
oleh masyarakat Indonesia banyak di pengaruhi oleh Prancis dan Belanda
dikarenakan negara tersebut pernah menjajah Indonesia selama ratusan tahun.
Dalam sistem hukum yang dipakai Indonesia yaitu ada dua yang mengatur
hubungan publik dan privat.

Sejarah pemberlakuan hukum Islam pada masa penjajahan kurang


mendapat gerak dikarenakan penjajah Belanda menganggap kehadirah hukum
Islam dapat mengganggu eksistensinya, maka dari itu sebisa mungkin membuat
hukum Islam semakin sempit penerapananya. Kemerdekaan Indonesia menjadi
angin segar bagi penerapan hukum Islam di Indonesia, dengan memunculnya teori
exit yang menghendaki tidak diberlakukannya teori receptie. (Karim, 2016).

Dari fase kemerdekaan sampai saat saat ini hukum Islam masih eksis
menjadi hukum yang diakui oleh negara dan memberikan sumbangan terhadap
pembangunan hukum di Indonesia. Selain itu umat Islam di Indonesia sudah
memiliki lembaga peradilan yang mengadili permasalahan perkawinan,
kewarisan, dan wakaf. (Karim, 2016).

Dinamika pemberlakuan hukum Islam di Indonesia dari fase ke fase


semakin melebar yang mulanya hanya berkaitan dengan kekeluargaan dewasa ini

1
merambah pada sistem ekonomi. Dalam tulisan ini penulis akan menguraikan
bagaimna dinamika Islam di Indonesia.

Islam merupakan salah


satu agama yang masuk
dan berkembang di
Indonesia. Hal ini tentu
bukanlah sesuatu yang
asing bagi Anda, karena di
massa media mungkin
Anda sudah sering
mendengar atau membaca
bahwa Indonesia adalah
negara yang memiliki
penganut agama Islam
terbesar di dunia. Agama
Islam masuk ke Indonesia

2
dimulai dari daerah pesisir
pantai, kemudian
diteruskan ke daerah
pedalaman oleh para ulama
atau penyebar ajaran Islam.
Dari latar belakang
tersebut, penulis dalam
makalah ini akan
membahas tentang proses
masuk
dan berkembangnya Islam
di Indonesia
Islam merupakan salah
satu agama yang masuk
dan berkembang di
Indonesia. Hal ini tentu
3
bukanlah sesuatu yang
asing bagi Anda, karena di
massa media mungkin
Anda sudah sering
mendengar atau membaca
bahwa Indonesia adalah
negara yang memiliki
penganut agama Islam
terbesar di dunia. Agama
Islam masuk ke Indonesia
dimulai dari daerah pesisir
pantai, kemudian
diteruskan ke daerah
pedalaman oleh para ulama
atau penyebar ajaran Islam.

4
Dari latar belakang
tersebut, penulis dalam
makalah ini akan
membahas tentang proses
masuk
dan berkembangnya Islam
di Indonesia
Islam merupakan salah
satu agama yang masuk
dan berkembang di
Indonesia. Hal ini tentu
bukanlah sesuatu yang
asing bagi Anda, karena di
massa media mungkin
Anda sudah sering

5
mendengar atau membaca
bahwa Indonesia adalah
negara yang memiliki
penganut agama Islam
terbesar di dunia. Agama
Islam masuk ke Indonesia
dimulai dari daerah pesisir
pantai, kemudian
diteruskan ke daerah
pedalaman oleh para ulama
atau penyebar ajaran Islam.
Dari latar belakang
tersebut, penulis dalam
makalah ini akan
membahas tentang proses
masuk
6
dan berkembangnya Islam
di Indonesi
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana Islam di Indonesia pada fase Kerajaan-kerajaan pada abad XIII
s/d XX M?
1.2.2 Bagaimana Islam di Indonesia fase Kolonialisme (Kolonial Jepang dan
Belanda) ?
1.2.3 Bagaimana Islam di Indonesia Fase Kemerdekaan (Orde Lama, Orde Baru,
Orde Reformasi) ?
1.2.4 Bagaiamana Ideologi Trans Nasional di Indonesia ?
1.2.5 Bagaimana Diskursus relasi agama dan negara ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui Islam di Indonesia pada fase Kerajaan-kerajaan pada abada
XIII s/d XX M.
1.3.2 Memahami Islam di Indonesia fase Kolonialisme (Kolonial Jepang dan
Belanda)
1.3.3 Mengetahui Islam di Indonesia Fase Kemerdekaan (Orde Lama, Orde
Baru, Orde Reformasi).
1.3.4 Mengetahui Ideologi Trans Nasional di Indonesia
1.3.5 Memahami Diskursus relasi agama dan negara.

7
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Islam di Indonesia pada Fase Kerajaan-kerajaan pada Abad XIII s/d XX
M
Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau abad ketujuh
sampai abad kedelapan Masehi. Ini mungkin didasarkan pada penemuan batu
nisan seorang wanita muslimah yang bernama Fatimah binti Maimun di daerah
dekat Surabaya bertahun 475 H atau 1082M. Sedang menurut laporan seorang
Musafir Maroko, Ibnu Batutah yang mengunjungi Samudera Pasai dalam
perjalanannya ke negeri Cina pada tahun 1345 M. Agama Islam yang bermahzab
Syafi’i telah mantap disana selama se abad, oleh karena itu berdasarkan bukti ini
abad ke XIII dianggap sebagai awal masuknya agama Islam ke Indonesia
(Zubaidah, 2016).
Daerah yang pertama-pertama dikunjungi ialah:
1. Pesisir Utara pulau Sumatera, yaitu di Peureulak Aceh Timur, kemudian
meluas sampai bisa mendirikan kerajaan Islam pertama di Samudera Pasai,
Aceh Utara.
2. Pesisir Utara pulau Jawa kemudian meluas ke Maluku yang selama
beberapa abad menjadi pusat kerajaan Hindu yaitu kerajaan Majapahit.
Pada permulaan abad ke XVII dengan masuk Islam-nya penguasa kerajaan
Mataram, yaitu: Sultan Agung maka kemenangan agama Islam hampir
meliputi sebagian besar wilayah Indonesia.
Sejak pertengahan abad ke XIX, agama Islam di Indonesia secara bertahap
mulai meninggalkan sifat-sifatnya yang Singkretik (mistik). Setelah banyak orang
Indonesia yang mengadakan hubungan dengan iMekkah dengan cara menunaikan
ibadah haji, dan sebagiannya ada yang bermukim bertahun-tahun lamanya
(Zubaidah, 2016)..
Daerah yang sedikit sekali disentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha adalah
daerah Aceh, Minangkabau di Sumatera Barat dan Banten di Jawa. Agama Islam
secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama, sosial dan politik penganut-

8
penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut agama Islam itu telah
menunjukkan dalam bentuk yang lebih murni. Di kerajaan tersebut agama Islam
tertanam kuat sampai Indonesia merdeka. Salah satu buktinya yaitu banyaknya
nama-nama Islam dan peninggalan-peninggalan yang bernilai ke-Islam-an
(Zubaidah, 2016).
Di kerajaan Banjar, dengan masuk Islam-nya raja Banjar, perkembangan
Islam selanjutnya tidak begitu sulit, raja menunjukkan fasilitas dan kemudahan
lainnya yang hasilnya membawa kepada kehidupan masyarakat Banjar yang
benar-benar bersendikan Islam. Secara konkrit kehidupan keagamaan di kerajaan
Banjar ini diwujudkan dengan adanya Mufti dan Qadhi atas jasa Muhammad
Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang Fiqih dan Tasawuf (Zubaidah, 2016).
Islam di Jawa, pada masa pertumbuhannya diwarnai kebudayaan Jawa, ia
banyak memberikan kelonggaran pada sistem kepercayaan yang dianut agama
Hindu-Budha. Hal ini memberikan kemudahan dalam islamisasi atau paling tidak
mengurangi kesulitan-kesulitan. Para wali terutama Wali Songo sangatlah berjasa
dalam pengembangan agama Islam di pulau Jawa (Zubaidah, 2016).
Menurut buku Babad Diponegoro, yang dikutip Ruslan Abdulgani
dikabarkan bahwa Prabu Kertawijaya penguasa terakhir kerajaan Mojopahit,
setelah mendengar penjelasan Sunan Ampel dan Sunan Giri, maksud agama Islam
dan agama Budha itu sama, hanya cara beribadahnya yang berbeda. Oleh karena
itu ia tidak melarang rakyatnya untuk memeluk agama baru itu (agama Islam),
asalkan dilakukan dengan kesadaran, keyakinan, dan tanpa paksaan atau pun
kekerasan (Zubaidah, 2016).

1) Kerajaan Samudera Pasai


Aceh yang secara geografis terletak di utara pulau Sumatera, dipandang
sebagai daerah pertama yang menerima Islam di Nusantara. Konon kerajaan Islam
Perlak telah berdiri sejak abad ke-9 M (Azra, 1999). Pendapat ini dikemukakan
antara lain oleh Yunus Jamil dan Hasymi, yang konon telah didirikan pada
225H/845M. Pendirinya adalah para pelaut pedagang Muslim asal Persia, Arab
dan Gujarat yang mula-mula datang untuk mengIslamkan penduduk setempat.
Namun menurut Azra, sampai saat ini belum ada bukti akurat yang bisa

9
dipegangi, bahwa pada pertengahan abad ke-9M telah terdapat entitas politik
Muslim di kawasan ini yang disebut “Kesultanan Perlak” (Azra, 1999).
Kerajaan Islam berikutnya adalah Samudera Pasai yang merupakan
kerajaan kembar. Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut Aceh, dan diperkirakan
mulai berdiri pada awal atau pertengahan abad ke-13M, sebagai hasil dari proses
islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang
Muslim sejak abad ke-7 dan ke-8 M dan seterusnya. Keberadaan kerajaan ini
dibuktikan oleh adanya batu nisan terbuat dari granit asal Samudera Pasai. Di batu
nisan itu tertulis nama raja pertama kerajaan itu, Malik al-Saleh, yang meninggal
pada bulan Ramadhan tahun 696 H, diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297
M. Malik al-Saleh adalah pendiri kerajaan sekaligus raja pertama kerajaan ini. Hal
ini diketahui melalui cerita lisan secara turun-temurun yang kemudian dibukukan
dalam Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Melayu, dan juga hasil penelitian atas
beberapa sumber yang dilakukan sarjana-sarjana Barat (Helmiati, 2014).
Menurut P.M. Holt, Ann K.S. Lambton, Bernard Lewis (ed.) dalam karya
The Cambridge History of Islam menyatakan tidak banyak informasi dapat
diperoleh tentang kesultanan ini. Informasi tentang kerajaan ini diperoleh dari
laporan Marcopolo, seorang pengembara yang dalam perjalanannya dari Cina ke
Persia tahun 1292 M, dia menyatakan telah mengunjungi enam dari delapan
negara vasal yang ada di Sumatera. Menurutnya, hanya satu di antara delapan
negara itu yang telah memeluk Islam yaitu Ferlec yang kemudian dikenal dengan
Perlak. Para pedagang Muslim telah mengislamkan masyarakat perkotaan,
sementara masyarakat yang di pedalaman masih melanjutkan tradisi lama mereka
(Helmiati, 2014).
Informasi lainnya diperoleh dari catatan Cina pada awal tahun 1282 yang
memberikan laporan tentang adanya utusan dari Sa-mu-ta-la (Samudera) ke
kaisaran Cina dengan nama Islam yaitu Sulaiman dan Husein. Interaksi antara
penduduk pribumi dengan pedagang Muslim dari Arab, Persia dan India memang
pertama kali terjadi di daerah ini. Karena itu, diperkirakan proses islamisasi sudah
berlangsung sejak interaksi itu terjadi (Helmiati, 2014).
Menurut catatan Ibnu Batutah, seorang pelancong Maroko yang
melakukan perjalanan ke Samudera Pasai, sultan Samudera-Pasai adalah seorang

10
Muslim yang baik yang menerapkan hukum Islam dengan mazhab Syafi’i.
Begitupula penduduk kerajaan menjalankan ajaran Islam dengan baik. Kerajaan
Samudera Pasai juga mengenal adanya lembaga-lembaga keagaamaan yakni qadhi
dan mufti (Yakin, 2015). Kerajaan Samudera Pasai menjadikan hukum Islam
sebagai hukum kerajaan baik pada bidang pidana maupun perdata (Rosman,
2016).
Kerajaan Islam tertua ini menjadi pusat kegiatan keagamaan yang utama di
kepulauan Nusantara kala itu. Di sini pula peradaban dan kebudayaan Islam
tumbuh dan mekar. Sebagai kota dagang yang makmur dan pusat kegiatan
keagamaan yang utama di kepulauan Nusantara, Pasai bukan saja menjadi
tumpuan perhatian para pedagang Arab dan Parsi, tetapi juga menarik perhatian
para ulama dan cendikiawan dari negeri Arab dan Parsi untuk datang ke kota ini
dengan tujuan menyebarkan agama dan mengembangkan ilmu pengetahuan
(Helmiati, 2014).
Ilmu-ilmu yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam antara
lain ialah dasar-dasar ajaran Islam, hukum Islam, Ilmu Kalam atau Teologi, Ilmu
Tasawuf, Ilmu Tafsir dan Hadis, dan berbagai ilmu pengetahuan lain yang penting
bagi penyebaran agama Islam seperti ilmu hisab, mantiq (logika), nahu (tata
bahasa Arab), sejarah, astronomi, ilmu ketabiban dan lain-lain. Selain ilmu
pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, kesusasteraan Arab dan Parsi
turut pula diajarkan (Hamid, 1983).
Kerajaan ini bertahan sampai tahun 1521 ketika Portugis kemudian
menguasainya selama tiga tahun. Setelah itu, pada tahun 1524 M, kerajaan ini
dianeksasi oleh raja Aceh, Ali Mughayat Syah, untuk selanjutnya barada di bawah
kekuasaan kesultanan Aceh Darussalam. Sehubungan dengan kegiatan
kebudayaan dan penyebaran agama Islam, setelah Pasai mengalami kemunduran,
pusat kegiatan kebudayaan dan penyebaran agama Islam pindah ke Malaka (1400-
1511 M) dan setelah Malaka ditaklukkan Portugis, pusat kegiatan tersebut
berpindah ke Aceh Darussalam (1516-1700 M) (Helmiati, 2014).

2) Kesultanan Aceh Darussalam

11
Kesultanan Aceh Darussalam diduga berdiri pada abad ke-15 M di atas
puing-puing kerajaan Lamuri oleh Sultan Muzaffar Syah (1465-1497 M). Menurut
Anas Machmud, dialah yang membangun kota Aceh Darussalam, dan pada masa
pemerintahannya Aceh mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan karena
saudagar-saudagar Muslim yang sebelumnya berdagang dengan Malaka
memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Portugis (1511
M) (Helmiati, 2014).
Dari kesultanan ini, Islam kemudian tersebar ke berbagai negeri-negeri
Melayu lainnya. Pengaruh dan kekuasaan kesultanan Aceh Darussalam pada saat
itu sangat dirasakan di kepulauan Sumatera dan semenanjung tanah Melayu,
terutama ketika kesultanan itu dibawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1608-1637). Seluruh serangan yang dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkis
oleh sultan-sultan Aceh. Mereka juga telah menanamkan pengaruh Islam.
Islampun berkembang dengan pesat dan mendapat dukungan dari penguasa di
Haramayn (Mekah dan Madinah), dan memperoleh keabsahan dari sana
(Helmiati, 2014).
Penerapan hukum Islam di kerajaan Aceh Darussalam menyatu dengan
peradilan negara yang memiliki beberapa tingkatan. Pada tingkat pertama /
kampung dipimpin oleh Keucik, ia berwenang atas perkara-perkara ringan,
sedangkan perkara-perkara berat diselesaikan oleh Balai Hukum Muhkim.
Adapun peradilan tingkat kedua (peradilan banding) disebut Oeloebalang, apabila
putusan Oeloebalang dirasa tidak memuaskan maka bisa ditempuh banding
kepada peradilan ketiga yaitu Panglima Sagi. Keputusan Panglima Sagi dapat
dimintakan banding kepada sultan pengadilan tertinggi yang pelaksanaannya
dilakukan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung terdiri dari atas Malikul
Adil, Orang Kaya, Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bandahara, dan
Faqih/Ulama (Koto, 2011).
Lembaga pendidikan yang merupakan pusat pengembangan pendidikan
Islam di Kerajaan Aceh adalah: Balai Seutia Hukama, Lembaga ilmu
pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendekiawan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan. Departemen yang mengurus masalah
pendidikan dan pengajaran dise but Balai Jamaah Himpunan Ulama, yaitu

12
kelompok studi para ulama untuk bertukar pikiran membahas persoalan-persoalan
pendidikan (Ramayulis, 2012).
Jenjang dan struktur pendidikannya pun sudah tersusun sebagaimana lembaga
pendidikan formal saat ini. Jenjang pendidikannya yaitu:
a. Meunasah (madrasah), terdapat di kampung dan berfungsi seperti sekolah
dasar. Materi yang diajarkan meliputi menulis dan membaca huruf Arab,
ilmu agama, bahasa melayu, akhlak, dan sejarah Islam;
b. Rangkang, setingkat madrasah tsanawiyah. Jenjang pendidikan ini
diselenggarakan di tiap mukim. Materi yang diajarkan adalah bahasa Arab,
ilmu bumi, sejarah, ilmu hisab, akhlak, dan lain-lain;
c. Dayah, terdapat di daerah Ulubalang setingkat madrasah aliyah.
Terkadang dilak- sanakan di masjid, materi yang diajarkan bahasa Arab,
fikih, tauhid, tasawuf, ilmu bumi, sejarah dan tata negara, ilmu pasti, dan
faraid;
d. Dayah Teuku Cik, disamakan dengan perguruan tinggi. Pada jenjang ini
diajarkan fikih, tafsir, hadis, tauhid, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah
dan tata negara, mantik, ilmu falak, dan filsafat (Ramayulis, 2012).
Aceh mulai mengalami kemunduran setelah Sultan Iskandar Tsani
berpulang ke rahmatullah. Sebagai penggantinya, beberapa orang sultanah
(pemimpin wanita) menduduki singgasana pada tahun 1641-1699. Mereka adalah
Sultanah Safiat al-din, Sultanah Nakiyat al-Din, Sultanah Zakiyat al-Din, dan
Sultanah Kamala al-Din. Kepemimpinan para sultanah ini mendapat perlawanan
dari kaum ulama Wujudiyah yang berujung dengan datangnya fatwa dari Mufti
Besar Mekah yang menyatakan keberatannya akan kepemimpinan wanita
(Helmiati, 2014).
Kemunduran kesultanan Aceh selain disebabkan oleh faktor internal juga
sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal. Sejak awal abad ke-16, kesultanan Aceh
terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan, pertama dengan Portugis, lalu
sejak abad ke-18 dengan Inggris dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh
terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung
Melayu kepada Inggris (Helmiati, 2014).

13
3) Kesultanan Demak
Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama dan terbesar di pulau Jawa
sekaligus menjadi pelopor penyebaran agama Islam di Jawa dan Indonesia.
Berdirinya kerajaan demak menjadi tanda bahwa Islam mulai terintegrasi kepada
ranah politik (Fadhilah, 2020). Kerajaan Demak terletak Jawa Tengah yang sangat
menguntungkan dalam perdagangan dan pertanian pada masa itu. Wilayah Demak
berada di tepi selat antara Pegunungan Muria dengan Jawa. Selat tersebut dapat
dilalui kapal dagang dari Semarang yang ingin mengambil jalan pintas ke
Rembang, namun sejak abad ke-17 tidak lagi dapat dilalui (T. A. Ahmad, 2019).
Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Fatah putra Raja Majapahit
Kertabumi Brawijaya V. Raden Fatah belajar Islam kepada Raden Rahmat (Sunan
Ampel) kemudian menikah dengan putri Sunan Ampel bernama Nyai Ageng
Malaka (Dewi, 2017). Demak sebelumnya merupakan kadipaten di bawah
Majapahit yang dikenal dengan nama Bintara atau Glagahwangi. Kekuasaan
Raden Fatah merupakan hadiah dari Raja Kertabumi Brawijaya V. Raden Fatah
memanfaatkan wilayahnya dengan mendirikan pesantren sehingga hampir seluruh
penduduk memeluk Islam (Syifa’ & Haq, 2017). Raden Fatah beserta istrinya
membuat pemukiman muslim dengan pondok pesantren sebagai basis kegiatan
dakwah di Glagahwangi.
Raden Fatah minta izin Wali Songo untuk mengislamkan Brawijaya V raja
Majapahit terakhir. Sunan Ampel yang merupakan wali tertua berunding dengan
Wali Songo lain, keputusan rundingan tersebut mengamanatkan agar Majapahit
tidak diserang sebelum Sunan Ampel meninggal dunia (Ngationo, 2018). Setelah
berdirinya kerajaan Demak, Wali mendapatkan jabatan penting di kerajaan seperti
pujangga, ngiras kinarya pepunden, karyawan terhormat, dan jaksa penjaga
perdata atau undang-undang (Anafah, 2011). Raden Fatah menyusun kitab Jugul
Muda yang merupakan kodifikasi hukum Islam dari beberapa kita fikih, terutama
kitab Muharrar, Taqrib, dan Tuhfah sebagai landasan kitab undang-undang
Kerajaan Demak dilengkapi salokantara yang berisi 1044 contoh kasus hukum
(Syifa’ & Haq, 2017). Para wali mengawasi Raden Fatah dalam memegang
kekuasaan. Sunan Giri (Muhammad Ainul Yakin) beserta Sunan Kudus (Sayyid
Ja’far Shadiq Azmatkhan) merumuskan undang-undang peradilan, pengadilan,

14
hingga masalah siyasah (politik) dan jinayah (pidana). Selain itu Sunan Giri
bersama Sunan Ampel merumuskan hukum terkait munakahat dan muamalah.
Kerajaan Demak memiliki dua naskah undang-undang resmi yakni Serat Angger-
angger Suryangalam dan Serat Suryangalam yang berisi ketentuan perdata,
pidana, dan hukum acara yang bersumber pada hukum Islam. Bahkan naskah
tersebut menjadi salah satu rujukan kerajaan-kerajaan Islam berikutnya. Serat
Angger-Angger Suryangalam berisi tata hukum Islam yang mengatur lembaga
peradilan. Naskah ini juga mengatur perkara perdata seperti perpajakan, jual beli,
hutang piutang, dan sengketa tanah. Selain ini juga diatur hukum pidana seperti
pencurian, melukai dan/atau membunuh orang lain, merampk, dan menghina
orang lain di depan umum. Sedangkan Serat Suryangalam berisikan peraturan-
peraturan yang diserta dengan nasehat dan ajaran Islam (Anafah, 2011).
Dalam melakukan tugas pendidikan Islam kepada masyarakat, para wali
menggunakan masjid sebagai sarana pengembangan pendidikan Islam. Masjid
Agung Demak adalah Masjid tertua di pulau Jawa yang menjadi pusat dan
lambang keraja- an. Selain sebagai tempat ibadah, masjid Agung Demak juga
digunakan sebagai pusat bertukar pendidikan Islam. Selain di masjid Agung,
pendidikan agama juga diadakan di masjid-masjid umum. Masjid-masjid ini
dipimpin oleh seorang badal yang ditugas- kan oleh kerajaan. Badal kemudian
digelari Kyai Ageng yang bertugas menjadi seo- rang guru. Pendidikan agama
yang dilaksanakan di masjid-masjid diperuntukkan bagi masyarakat umum,
sementara keluarga kerajaan belajar agama secara langsung dari wali-wali yang
digelari sunan, baik di istana maupun di rumah para wali (Nursyarief, 2014).

4) Kesultanan Pajang
Kesultanan Pajang adalah pelanjut Kesultanan Demak, yang didirikan oleh
Jaka Tingkir, yang berikutnya lebih dikenal dengan gelar Sultan Adiwijaya.
Kesultanan ini merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di daerah
pedalaman pulau Jawa. Dengan berdirinya Kesultanan Pajang, sejarah Islam di
Jawa memperlihatkan babak baru. Kekuasaan politik yang semula berpusat di
pesisir sekarang berpindah ke daerah pedalaman. Peralihan pusat politik itu,
membawa akibat yang sangat besar bagi perkembangan peradaban Islam di Jawa.

15
Kesusasteraan dan kesenian keraton yang sudah maju di Demak dan Jepara lambat
laun dikenal di pedalaman Jawa. Pengaruh agama Islam yang kuat di Pesisir
menjalar dan tersebar di daerah pedalaman (Helmiati, 2014).
Pada awal berdirinya tahun 1549, wilayah Kesultanan Pajang hanya
meliputi sebagian Jawa Tengah saja, karena negeri-negeri Jawa Timur banyak
yang melepaskan diri sejak kematian Sultan Trenggono. Di bawah pemerintahan
Sultan Adiwijaya, kekuasaan Kesultanan Pajang berhasil meluas ke berbagai
daerah pedalaman sampai ke Madiun (1554), Blora dan Kediri. Ia juga berhasil
menjalin hubungan yang baik dengan raja-raja di Jawa Timur. Pada tahun 1581,
Sultan Adiwijaya dan para adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri Kedaton oleh
Sunan Prapen. Pertemuan itu dihadiri oleh para adipati dari Japan, Wirasaba,
Kediri, Surabaya, Pasuruan, Madiun, Sidayu, Lasem, Tuban, dan Pati. Dalam
kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang di atas negeri-
negeri Jawa Timur. Ia mendapatkan pengakuan kekuasaan sebagai raja Islam dan
sultan dari raja-raja terpenting di Jawa Timur (Helmiati, 2014).
Perpindahan kekuasaan Kesultanan Demak ke Pajang tidak membawa
perubahan berarti terhadap sistem pengajaran dan pendidikan Islam (Nata, 2011).

5) Kerajaan Mataram
Kerajaan Mataram berdiri sejak runtuhnya Kesultanan Pajang di Jawa
tengah. Raja pertamanya adalah Sutowijoyo yang bergelar “Panembahan Senopati
Sayidin Panotogomo”. Kerajaan Mataran meraih puncak kejayaan pada masa
Raden Mas Ransang, raja pertama yang menerima pengakuan dari Mekkah
sebagai seorang sultan, kemudian memperoleh gelar “Sultan Agung
Anyakrakusuma Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman”(Syifa’ & Haq, 2017).
Kerajaan Mataram menerapkan ajaran Hindu di masa awal berdirinya.
Ajaran Hindu mempengaruhi sistem peradilan masa itu yang secara umum
membagi perkara menjadi pradata dan padu. Pradata merupakan perkara yang
menjadi urusan negara sedangkan perkara yang bukan urusan pengadilan raja
disebut Padu (Syifa’ & Haq, 2017). Perubahan sistem peradilan terjadi ketika
kerajaan Mataram berubah menjadi kerajaan Islam. Sultan Agung memasukkan
hukum Islam dalam Peradilan Pradata dan menempatkan orang-orang yang

16
memahami hukum Islam di lembaga peradilan. Prinsip keislaman konsisten
diterapkan Sultan Agung pada lembaga yang ada di bawah kekuasaan kerajaan.
Ketika kondisi masyarakat siap menerima hukum Islam dan memiliki pemahaman
yang cukup maka Peradilan Pradata diubah menjadi Peradilan Surambi yang
diselenggarakan di Serambi Masjid Agung (Koto, 2011).
Sultan Agung menerapkan hukum perdata dan hukum pidana di Kerajaan
Mataran Islam dengan mengambil landasan dari kitab-kitab qishas. Alun-alun
Yogyakarta pada masa lalu menjadi tempat pelaksanaan hukum rajam bagi pezina
dan potong tangan bagi pencuri. Kesultanan mataram mampu menerapkan perdata
dan pidana Islam yang mengakomodasi hukum adat Jawa (Suadi & Candra,
2016).
Kerajaan Mataran Islam membuat tingkatan jabatan dalam keagaman
mulai dari tingkat desa hingga pemerintah pusat. Jabatan keagamaan tingkat desa
terbagi menjadi Kaum, Amil, Modin, Kayim, Lebai dan sebagainya. Pada tingkat
Kewedanan (Kecamatan) ada jabatan Penghulu Naib. Kemudian pada tingkat
Kabupaten ada Penghulu Kabupaten dan pada tingkat Pemerintahan Pusat ada
Kanjeng Penghulu atau Penghulu Ageng yang memilki wewenang sebagai hakim
Peradilan Agama (Gunaryo, 2006).
Dalam bidang pendidikan, Kerajaan Islam Mataram membuat beberapa
keten- tuan khusus, yaitu setiap desa harus menyediakan beberapa tempat
pengajian Alquran. Di tempat itulah, diajarkan huruf hijaiyah, barazanji, dan
dasar-dasar keis- laman lainnya seperti praktik ibadah, rukun iman, dan rukun
Islam. Selain itu, pihak kesultanan menghimbau kepada para orang tua agar
memerintahkan anak-anak me- reka yang telah berusia 7 tahun agar belajar
mengaji (Nata, 2011).

6) Kesultanan Cirebon/Priangan
Islam mulai berkembang di Cirebon sekitar tahun 1470-1475 M. Kerajaan
Islam pertama di Jawa Barat adalah Kesultanan Cirebon yang didirikan oleh
Syarif Hidayatullah yang dikenal dengan sebutan “Sunan Gunung Jati”. Syarif
Hidayatullah merupakan pengganti sekaligus keponakan Pangeran Walang
Sungsang. Cirebon dipilih oleh Sunan Gunung Jati sebagai pusat aktifitas

17
penyebaran Islam berdasarkan pertimbangan sosial politik dan ekonomi. Cirebon
memiliki keunggulan geostrategis, geopolitik, geoekonomi dibandingkan daerah
lain di Jawa Barat. Dari Cirebon Islam bisa berkembang luas ke wilayah Jawa
Barat lain seperti Majalengka, Sunda Kelapa, Kuningan dan Banten (Sumitro,
2005).
Di Cirebon ada tiga bentuk peradilan yang berdiri yakni Peradilan Agama,
Peradilan Drigama, Peradilan Cilaga. Peradilan Agama berwenang menangani
perkara yang dapat dijatuhi hukuman badan atau hukuman mati. Peradilan
Drigama berwenang menangani perkara perkawinan dan waris dengan
berpedoman pada hukum Jawa Kuno dan diselesaikan berdasar hukum adat.
Sementara Peradilan Cilega atau Peradilan Wasit merupakan peradilan yang
berwenang menangani perkara niaga (R. Ahmad, 2015).
Pepakem adalah kompilasi hukum perundang-undangan Jawa Kuno yang
bermuatan kitab hukum Raja Niscaya, Undang-Undang Mataram, Jaya Lengkara,
Kontra Menawa, dan Adilulah. Pengadilan diputuskan menurut undang-undang
Pepakem yang dilaksanakan oleh tujuh menteri sebagai perwakilan dari tiga
sultan, yakni Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon. Produk
pemikiran hukum Islam dalam Pepakem terbagi menjadi tiga bidang hukum,
yakni kelembagaan peradilan, hukum acara, dan hukum materiil. Elaborasi ketiga
bidang menunjukan adanya inkulturasi hukum Islam dalam hukum adat.
Terikatnya hukum adat dengan hukum Islam menempatkan hukum Islam menjadi
tidak terpisahkan dari hukum di Kesultanan Cirebon (Satibi, 2014)

7) Kerajaan Banten
Banten merupakan penghasil merica dan memiliki pelabuhan yang biasa
disinggahi kapal-kapal dagang Cina, India, dan Eropa untuk berlabuh. Lokasi
Banten yang strategis membuka jalan bagi masuk dan berkembangnya Islam
(Sumitro, 2005). Wilayah Banten pada mulanya dikuasai kerajaan Pajajaran
sebelum akhirnya ditaklukan oleh tentara Demak, Sunan Gunung Jati, dan
Hasanuddin.
Sunan Gunung Jati memberi amanat kepada putranya Pangeran
Hasanuddin untuk membangun kesultanan Banten dengan mengangkatnya sebagai

18
sultan pertama. Sultan Hasanuddin menjadikan Banten kuat dengan dan pemeluk
agama Islam semakin banyak. Kekuasaan Banten semakin luas mencakup Serang,
Pandeglang, Lebak, hingga Tangerang (Muslimah, 2017). Sultan Hasanuddin
memberikan andil besar dalam meletakkan pondasi Islam dengan mendirikan
masjid, pesantren tradisonal, dan mengirim ulama ke berbagai daerah untuk
menyebarkan ajaran Islam.
Peradilan Banten dibuat berdasarkan hukum Islam. Pada abad ke 17 M,
hanya ada satu pengadilan yang dipimpin oleh Qadhi. Satu-satunya peraturan
yang masih mengingatkan pada pengaruh Hindu ialah hukuman mati yang
dijatuhkan oleh Qadhi dengan pengesahan Raja. Qadhi bertanggungjawab dalam
penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, Qadhi juga memiliki tugas
menegakkan hukum Islam seperti hudud (Suadi & Candra, 2016). Pada tahun
1651-1680M Sultan Ageng menerapkan hukuman potong tangan untuk pencurian
harta senilai 1 gr emas. Qadhi juga menghukum orang yang menggunakan opium
dan tembakau, kemudian hukuman berat terhadap pelanggaran seksual (Azra,
1995).

8) Kesultanan Johor-Riau dan Riau Lingga


Kesultanan Riau Lingga merupakan kerajaan Islam yang berdiri di
Kepulauan Riau pada paruh pertama abad ke-19. Secara historis kemunculan
kerajaan ini bisa dirunut dari sejarah Kerajaan Malaka dan Johor. Ketika
Kesultanan Malaka berdiri pada abad ke-15 M, Riau Lingga merupakan daerah
kekuasaan Malaka. Di saat Malaka runtuh karena serangan kolonial Portugis,
muncul kerajaan Riau Johor yang menggantikan posisi Malaka sebagai
representasi kekuatan politik puak Melayu di kawasan tersebut. Ketika itu Riau
Lingga termasuk wilayah yang berada di kekuasaan Riau Johor (Helmiati, 2014).

9) Kerajaan Makassar-Sulawesi Selatan


Kerajaan Makassar biasa disebut Kerajaan Gowa dan Tallo merupakan
kerajaan kembar yang letaknya saling berbatasan. Kedua kerajaan memiliki
hubungan baik sehingga banyak orang luar hanya mengenal sebagai kerajaan
Makassar (Harun, 1995). Islam masuk ke Sulawesi Selatan melalui dua tahapan

19
yakni perdagangan dan penerimaan oleh raja. Islam masuk melalui perdagangan
karena adanya hubungan pedagang Sulawesi dengan saudagar Muslim. Islam
diterima secara langsung oleh Raja Gowa-Tallo pada 22 September 1605 M. I
Malingkaang Daeng Mannyonri adalah Raja Tallo sekaligus merangkap sebagai
Tumabbicara Butta atau Mangkubumi Kerajaan Gowa merupakan raja pertama
yang masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Abdullah Awwalul
Islam. Kemudian diikuti I Mangngerengi Daeng Manrabbia yakni raja Gowa XIV
juga memeluk Islam dan berganti nama menjadi Sultan Alauddin (Nelmawarni &
Djohar, 2013).
Kerajaan Gowa dan Tallo menjadi kerajaan terkuat setelah datangnya
Islam. Perpindahan agama menjadi Islam secara masal terjadi setelah keluarnya
dekrit Sultan Alauddin pada 9 November 1607 M yang berbunyi: “Kerajaan
Gowa-Tallo menjadikan Islam sebagai agama kerajaan dan seluruh rakyat yang
bernaung dibawah kerajaan harus menerima Islam sebagai agamanya”. Raja
Gowa memegang kendali kekuasaan kehakiman. Baru pada saat pemerintah raja
Gowa XV (1637-1653) ketika Malikus Said berkuasa, raja menempatkan Parewa
Syara’ (Pejabat Syari’at/Pengadilan tingkat II) dipimpin oleh kali (Qadhi) yaitu
pejabat tinggi dalam syariat Islam di pusat kerajaan (Pengadilan tingkat III).
Setiap Paleli memiliki pejabatan bawahan yang disebut Imam dibantu seorang
Khatib dan seorang Bilal (Pengadilan Tingkat I) (R. Ahmad, 2015).
Seperti halnya kerajaan Islam pada umumnya, masjid menjadi pusat
pengem- bangan agama Islam di Sulawesi Selatan. Pada masa pemerintahan raja
Gowa ke-15 (1637-1653), Sultan Malikussaid (I Mannuntungi Daeng Mattola
Karaeng Lakiung), tiap-tiap negeri memiliki masjid dan di tiap-tiap kampung
memiliki langgara'. Selain sebagai tempat ibadah, masjid dan langgar juga
digunakan sebagai tempat pengajian agama bagi anak-anak muda di tempat itu.
Guru yang mengajarkan Alquran dan ilmu-ilmu Islam lainnya disebut anrong-
gurunta atau gurunta (Nursyarief, 2014).
Selain itu, penulisan dan penyalinan buku-buku agama Islam dari bahasa
Melayu ke bahasa Makassar giat dilaksanakan. Berbagai lontara yang asalnya dari
bahasa Melayu diduga berasal dari zaman permulaan perkembangan Islam di
Sulawesi Selatan (abad ke-17 dan 18) yang sampai saat ini masih populer di

20
kalangan orang tua-tua Bugis-Makassar. Lontara yang dimaksud antara lain: (1)
Lontara perkawinan antara Sayidina Ali dengan Fatimah, putri Rasululullah, (2)
Lontara Nabi Yusuf dan percintaan Laila dan Majnun, (3) Sura' Bukkuru yang
dalam bahasa Bugis dikenal dengan lontara Pau-paunna Sultanul Injilai, (4) Budi
Istihara, (5) Kitta' Faraid (Kitab Hukum Pewarisan), (6) Kitta' Nika (Kitab Hukum
Perkawinan), (7) Lontara'na Sehe Maradang, (8) Lontara tentang peperangan Nabi
Muhammad dengan raja Hindi, (9) Berbagai mukjizat Nabi Muhammad, dan (10)
Lontara tentang wewenang kali (kadhi) menurut sara' dan banyak yang lain
(Nursyarief, 2014).

2.2 Islam di Indonesia Fase Kolonialisme


Dengan datangnya pedagang-pedagang Barat ke Indonesia yang berbeda
watak dengan pedagang-pedagang Arab, Persia, dan India yang beragama Islam,
kaum pedagang Barat yang beragama Kristen melakukan misinya dengan
kekerasan terutama dagang teknologi persenjataan merekayang lebih ungggul
daripada persenjataan Indonesia. Tujuan merekaadalah untuk menaklukkan
kerajaan-kerajaan Islam di sepanjang pesisir kepulauan Nusantara. Pada mulanya
mereka datang ke Indonesia untuk menjalin hubungan dagang, karena Indonesia
kaya dengan rempah-rempah, kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan
tersebut (Zubaidah, 2016).
Waktu itu kolonial belum berani mencampuri masalah Islam, karena
mereka belum mengetahui ajaran Islam dan bahasa Arab, juga belum mengetahui
sistem sosial Islam. Pada tahun 1808 pemerintah Belanda mengeluarkan instruksi
kepada para Bupati agar urusan agama tidak diganggu, dan pemuka-pemuka
agama dibiarkan untuk memutuskanperkara-perkara di bidang perkawinan dan
kewarisan (Zubaidah, 2016).
Tahun 1820 dibuatlah Statsblaad untuk mempertegaskan instruksiini, dan
pada tahun 1867 campur tangan mereka lebih tampak lagi,dengan adanya instruksi
kepada Bupati dan Wedana, untuk mengawasi Ulama-ulama agar tidak melakukan
apapun yang bertentangan dengan peraturan Gubernur Jendral. Lalu pada tahun
1882, mereka mengatur lembaga peradilan agama yang dibatasi hanya menangani

21
perkara-perkara perkawinan, kewarisan, perwalian, dan perwakafan (Zubaidah,
2016).
Apalagi setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi
penasehat urusan Pribumi dan Arab, pemerintahan Belanda lebih berani membuat
kebijaksanaan mengenai masalah Islam di Indonesia, karena Snouck mempunyai
pengalaman dalam penelitian lapangan di negeri Arab, Jawa, dan Aceh. Lalu ia
mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan politik Islam. Dengan politik
itu, ia membagi masalah Islam dalam tiga kategori, yaitu: (Zubaidah, 2016)
a. Bidang agama murni atau ibadah
Pemerintahan kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam
untuk melaksanakan agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan
pemerintah Belanda.
b. Bidang sosial kemasyarakatan
Hukum Islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan
adat kebiasaan.
c. Bidang politik
Orang Islam dilarang membahas hukum Islam, baik Al-Qur’an maupun
Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan dan ketata
negaraan.

Hukum Islam mulai termajinalkan pada masa Belanda akibat politik


hukum Belanda. Rekayasa intelektual Belanda secara sistematik memarjinalkan
Hukum Islam. Perkembangan hukum Islam pada masa penjajahan kolonial
Belanda dapat diklasifikasi kedalam dua fase. Pertama, Belanda memberi toleransi
penuh melalui VOC dengan memberikan ruang bagi hukum Islam untuk
berkembang secara penuh (Receptie In Complexu). Kedua, Belanda melakukan
intervensi hukum Islam dengan menghadapkan pada hukum adat (Receptie).
Tujuan Belanda pada fase kedua adalah untuk menerapkan hukum Belanda
(Hafizd, 2021).
Periode pernerimaan hukum Islam secara penuh (Receptio In Complexu)
merupakan periode ketika hukum Islam berlaku penuh atas umat Islam (Thalib,
1980). Belanda yang menguasai sebagian wilayah Nusantara mengakui

22
keberlakuan hukum Islam (Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan). Periode
ini berlangsung sekitar tahun 1602 hingga 1800 M. Belanda bahkan membuat
berbagai kumpulan hukum sebagai pedoman pejabat dalam menyelesaikan
masalah hukum rakyat pribumi (Hafizd, 2021).
Periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat (Receptie) merupakan
periode ketika hukum Islam baru bisa diterima apabila diterima oleh hukum adat.
Teori receptie dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgranje (1857-1936),
penasehat pemerintah Hindia Belanda dalam urusan Islam. Hukum Islam baru
bisa diakui jika telah menjadi bagian dari hukum adat, sikap sebelumnya yang
menerima teori Receptie In Compexu merupakan ketidakpahaman pemerintah
terhadap situasi masyarakat muslim pribumi yang dianggap merugikan Belanda.
Orang-orang pribumi diarahkan untuk tidak memegang kuat agama Islam karena
pada umumnya mereka yang kuat memegang agama Islam (Hukum Islam) sulit
dipengaruhi budaya barat. Pemerintah Belanda berusaha menjadikan rakyat
pribumi lebih dekat kepada budaya Eropa dan pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda bahkan mencegah munculnya gerakan Pan Islamisme
(Hafizd, 2021).
Eksistensi hukum Islam pada pemerintahan Jepang tidak mendapat
perubahan. Jepang mengambil keputusan untuk mempertahankan beberapa
peraturan yang ada. Adat istiadat dan praktik ibadah keagamaan tidak dicampuri
sama sekali untuk mencegah perlawanan yang tidak diinginkan. Jepang lebih
fokus pada upaya menghapus simbol-simbol pemerintahan colonial Belanda di
Indonesia. Pengaruh kebijakan pemerintahan Jepang terhadap perkembangan
hukum tidak begitu signifikan (Hatta, 2017).
1) Pendidikan Islam Masa Kolonial Belanda
Kondisi pendidikan Islam pada zaman Belanda sangat memprihatinkan.
Umat Islam terus-menerus mendapatkan tekanan dan perlakuan yang tidak
menggembira- kan. Namun, umat Islam pantang menyerah, tetap berjuang hingga
akhirnya pendi- dikan Islam mengalami kebangkitan dan kemajuan (Nursyarief,
2014).
Kemajuan pendidikan tersebut terinspirasi oleh gerakan yang lahir di
Timur Tengah, khususnya Mesir dan Saudi Arabiyah oleh orang-orang yang

23
pulang dari menuntut ilmu di kedua negara tersebut. Munculnya gerakan-gerakan
tersebut menyebabkan pendidikan Islam bergerak ke arah yang lebih maju
walaupun di sisi lain pemerintah kolonial tidak mendukungnya. Usaha tersebut
tidak bisa dikatakan gagal, karena banyaknya lembaga-lembaga pendidikan Islam
yang bermunculan yang me rupakan pembaruan pendidikan Islam pada masa itu
(Nursyarief, 2014).
Pertama: Jamiat Khair, Konsep Pendidikan Konfergensi
Al-Jamiatul Khairiyah yang lebih dikenal dengan Jamiatul Khair didirikan
di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905. Organisasi ini membangun lembaga
pendidikan walaupun bercorak Islam, tapi merupakan gabungan antara sistem
pendidikan Islam dan model Barat. Pelajarannya tidak semata-mata bersifat
agama, tetapi diterapkan juga kurikulum berhitung, sejarah, ilmu bumi dengan
bahasa pengantar bahasa Melayu. Bahasa Inggris merupakan bahasa wajib
pengganti bahasa Belanda. Sedang- kan pelajaran bahasa Arab sangat ditekankan
sebagai alat untuk memahami sumber- sumber Islam (Nursyarief, 2014).
Kedua: Taman Siswa Taman siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada
tangga 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Konsep pendidikan Taman Siswa meliputi:
(Nursyarief, 2014)
a. Sistem among.
Sistem ini didasarkan pada: a) kodrat hidup anak, kodrat anak ini terwujud
sebagai bakat anak. Pendidik dalam hal ini harus bertindak seperti "pamong".
Hal tersebut dilakukan dengan berdiri di belakang anak, tetapi tetap
memengaruhi dengan memberi kesempatan kepada anak untuk
mengembangkan diri. Pendidik baru turun tangan bila anak memang perlu
bimbingan dan tuntunan agar anak tidak menyimpang, Inilah maksud dari
semboyan Ki Hajar Dewantara yang sering disebut dengan "Ing Ngarso Sung
Tuladha, Ing Madya Mangunkarse, Tut Wuri Handayani"; b) dasar yang
kedua yaitu kemerdekaan, bahwa peserta didik harus diberi kesempatan untuk
mengembangkan potensi dalam dirinya. Anak dididik untuk mengembangkan
cipta, rasa, dan karsanya sendiri.
b. Teori Tri Pusat Pendidikan. Dalam penafsirannya mengenal pendidikan,
Ki Hajar Dewantara mengungkapkan adanya Tri Pusat Pendidikan, yaitu

24
pendidikan dapat diperoleh melalui tiga tempat yaitu: dari lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.
c. Kebudayaan Nasional. Bahan pengajaran dan kurikulum didasarkan dan
digali dari kebudayaan nasional, pendidikan budi pekerti mendapat
perhatian yang lebih besar karena merupakan proses awal pembentukan
watak kepribadian anak. Untuk pendidikan budi pekerti ini, dapat
ditempuh melalui pendidikan formal (etika), pendidikan agama, dan
pelajaran kesenian. Oleh karena itu, pelajaran kesenian juga mendapatkan
perhatian yang besar. Yang dimaksud kesenian di sini adalah segala
macam bentuk kesenian nasional.

Ketiga: Indonesisch Nederland School


Mohamad Syafei mendirikan sekolah INS (Indonesisch Nederlandse
School) di Sumatra Barat pada tahun 1926. Tujuannya adalah mendidik anak-anak
agar dapat berdiri sendiri atas usaha sendiri dengan jiwa yang merdeka.
Pendidikan yang diberikan adalah pendidikan teori dan pendidikan praktik. Materi
yang diberikan bervariasi sesuai dengan tingkatannya masing-masing. Untuk
tingkat ruang rendah, teori 75% dan praktik 25 %. Sedangkan untuk tingkat ruang
dewasa masing-masing 50%, sehingga para pengamat cenderung untuk
menggolongkan INS sebagai sekolah kerja (doesschool). Tujuan utamanya
pendidikan dan pengajaran berdasarkan prinsip aktif dengan mengutamakan
peranan pekerjaan tangan (Nursyarief, 2014).
Keempat: Muhammadiyah
Organisasi ini didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan tanggal 20 November
1921 di Yogyakarta (). Adapun pembaruan yang dilaksanakan Muhammadiyah
adalah de- ngan melakukan modernisasi pesantren. Setelah berdiri selama delapan
tahun, Muhammadiyah mendirikan dua macam lembaga pendidikan, yaitu
Madrasah Dini- yah yang hanya memberikan pelajaran agama dan sekolah yang
memberikan pelajar- an agama dan pelajaran umum. Modernisasi yang kedua
adalah mendirikan sekolah model Belanda, namun tetap menjadikan pelajaran
agama Islam sebagai kurikulum wajibnya (Nursyarief, 2014).
Kelima: Persatuan Islam

25
Persatuan Islam (PERSIS) didirikan secara resmi pada tanggal 12
September 1923 di Bandung oleh sekelompok orang Islam yang berminat dalam
studi dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh Zamzam dan Muhammad
Yunus. Berbeda dengan organisasi lain yang berdin pada awal abad ke-20,
PERSIS mempunyai ciri khas tersendiri di mana organisasi ini di samping sebagai
organisasi pendidikan, juga dititikberatkan pada pembentukan faham keislaman.
Di dalamnya, Muhamad Natsir menerapkan ide pembaruannya yang disebut
pendidikan integralistik. Sistem pendi- dikan terpadu yang tidak memisahkan
pengetahuan agama dan umum (Nursyarief, 2014).

2) Pendidikan Islam Zaman Penjajahan Jepang


Kehadiran Jepang menjajah Indonesia sangatlah singkat. Namun, Jepang
tetap memberikan pengaruh terhadap perkembangan pendidikan Islam. Salah
satunya adalah umat Islam lebih leluasa mengembangkan pendidikannya karena
peraturan pemerintah Belanda yang diskriminatif tidak diberlakukan lagi.
Selanjutnya, sistem pendidikan Islam saat itu masih sama dengan sistem zaman
Belanda, yaitu di sam- ping sistem pendidikan pesantren, juga terdapat sistem
pendidikan klasikal, yaitu sistem pendidikan Belanda yang memuat pelajaran
agama (Nursyarief, 2014).
Di tahun-tahun awal penjajahannya, Jepang bahkan menampakkan diri
seolah- olah membela kepentingan Islam. Ini merupakan siasat untuk kepentingan
Perang Dunia II. Mereka menempuh kebijakan di antaranya: (Nursyarief, 2014)
a. Kantor Urusan Agama yang pada zaman Belanda disebut Kantoor Voor
Islamistis-che Zaken dipimpin oleh orang-orang orientalis Belanda, diubah
menjadi Sumubi yang dipimpin oleh ulama Islam sendiri, yaitu KH.
Hasyim Asy'ari dari Jombang
b. Beberapa pondok pesantren besar sering dikunjungi Jepang dan mendapat
ban- tuan:
c. Sekolah negeri mendapat pelajaran budi pekerti yang isinya identik
dengan ajaran Islam:
d. Jepang juga mengizinkan pembentukan barisan Hisbullah untuk
memberikan la- tihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam:

26
e. Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin
oleh K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir, dan Bung Hatta
f. Para ulama Islam bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin nasionalis
diizinkanmembentuk barisan Pembela Tanah Air (Peta). Pembela Tanah
Air inilah yangmenjadi cikal bakal TNI saat ini
g. Umat Islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut
Majelis Ala
h. Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan.

Walaupun Jepang berusaha mengambil hati umat Islam dengan


memberikan kebebasan dalam melaksanakan praktik agama dan mengembangkan
pendidikan, ulama tidak semudah itu tunduk kepada pemerintah Jepang apabila
hal tersebut bertolak belakang dengan akidah Islam. Misalnya perjuangan K.H.
Ahmad Dahlan dan para santri dalam menentang kebijakan kufur pemerintah
Jepang yang memerin tahkan setiap orang untuk menghadap ke Tokyo setiap
pukul 07.00 untuk menghor mati kaisar Jepang yang mereka anggap keturiman
Dewa Matahari. Akibat sikap ter- sebut beliau ditangkap dan dipenjarakan Jepang
selama 8 bulan (Nursyarief, 2014).
2.3 Islam di Indonesia Fase Kemerdekaan
1) Masa Orde Lama
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) merupakan perwakilan
daerah seluruh kepulauan Indonesia. Dalam sidang PPKI, M. Hatta berhasil
meyakinkan bahwa tujuh kata dalam anak kalimat yang tercantum dalam sila
pertama Pancasila “Ketuhanan yang maha Esa dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan segala konsekuensinya
dihapuskan dari konstitusi. Namun hal yang sedikit melegahkan hati para
nasionalis Islam adalah keputusan tentang diadakannya Kementerian Agama yang
akan menangani masalah keagamaan. ( Rahman, 2017).

Meskipun Departemen Agama dibentuk, namun hal tersebut tidak


meredakan konflik ideologi pada masa setelahnya. Setelah dikeluarkannya
maklumat tentang diperkenankannya mendirikan partai partai politik, tiga
kekuatan yang sebelumnya bertikai muncul kembali, yaitu; Majelis Syuro

27
Muslimin Indonesia (Masyumi) 7 November 1945 lahir sebagai wadah aspirasi
umat Islam, Partai Sosialis yang mengkristalkan falsafah hidup Marxis berdiri 17
Desember 1945, dan Partai Nasional Indonesia yang mewadahi cara hidup
nasionalis “sekuler” muncul pada 29 Januari 1946. Partai-partai yang berdiri pada
saat itu dapat dikategorikan dalam tiga aliran utama ideologi yang ada tersebut.
(Rahman, 2017).

Sejak tahun 1950 sampai 1955 PNI dan Masyumi terlibat perselisihan
mengenai peran Islam dan peran komunis. Tetapi kalangan muslim sendiri saling
berseberangan. Misalnya pada tahun 1952 Nahdatul Ulama (NU) menarik diri dari
Masyumi dan menjadi partai politik yang mandiri. Terjadi pula perselisihan antara
kaum tua dan kaum muda dan antara Muhammadiyah dan NU mengenai orientasi
keagamaan. Pergolakan yang tidak terselesaikan antara beberapa partai politik
yang mengantarkan sebuah pemilihan nasional (pemilu) tahun 1955 yang terbukti
sebagai sebuah peristiwa yang menentukan dalam sejarah Indonesia. Pemilihan
umum tahun 1955 tersebut mengkonsolidasikan bentuk baru ideologi Indonesia
dan organisasi sosial, bahkan mengembangkan sebuah kelanjutan dari masa lalu
yang nyata Indonesia. Sejak masa itu sampai sekarang, beberapa partai muslim
telah berjuang untuk menyadari bahwa meskipun Indonesia secara mayoritas
dalam adalah sebuah masyarakat muslim, namun partai muslim merupakan
sebuah mirioritas politik. (Rahman, 2017).

Perdebatan mengenai hasil perundangan terakhir Piagam Jakarta terus


berlanjut hingga periode pasca kemerdekaan dan menjadi argumen bagi gerakan-
gerakan separatis, seperti Darul Islam di Jawa Barat dari 1948 hingga 1962 dan
juga di Sulawesi Selatan dan Aceh. Dalam Majelis Konstituante, sejak
berakhirnya pemilu 1955 yang dilaksanakan berdasarkan UUDS 1950, kalangan
islamis melahirkan tantangan lain bagi negara model Pancasila ini. Karena tidak
ada satu pihak pun yang memenuhi 2/3 suara yang dibutuhkan untuk pengesahan,
Soekarno akhirnya membubarkan Majelis Konstituante dengan mengeluarkan
Dekrit Presiden pada 5 Mei 1959. (Mudzar, 2003).

Perkembangan Islam pada masa orde lama, (masa berlakunya UUD 1945,
Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950) berada pada tingkat pengaktualisasian

28
ajaran agama untuk dijadikan sebuah dasar dalam bernegara. Sehingga pergolakan
ideologi antara golongan muslim dan golongan nasionalis saling tarik ulur untuk
memperjuangkan berlakunya rumusan ideologi masing-masing. Sedangkan pada
masa demokrasi terpimpin (1959 - 1966) golongan Islam mendapat tekanan
melalui dominasi peranan golongan komunis yang membonceng kepada
pemerintah. (Mudzar, 2003).

2) Masa Orde Baru

Munculnya orde baru dianggap sebagai kemenangan bagi umat Islam


karena ada andil dalam pembentukannya. Sehingga umat Islam menaruh banyak
harapan pada pemerintah, khususnya kesempatan untuk berkiprah di bidang
politik. Namun realitasnya hal tersebut tidak mendapat perhatian dari pemerintah
masa baru orde baru karena pemerintah orde baru lebih berorientasi pada
pembangunan ekonomi. Hal ini semakin menguat lagi dengan adanya campur
tangan pemerintah terhadap partai politik, pemerintah menghendaki partai politik
diciutkan menjadi dua ditambah partai golkar. Partai Islam disatukan ke dalam
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan partai-partai nasional serta partai
Kristen dan Katolik digabungkan dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
(Yatim, 2008)

Awal 1970-an merupakan periode penting bagi perkembangan Islam di


Indonesia. Menjelang diadakannya pemilihan umum pertama pada masa orde
baru, Nurcholis Madjid sebagai intelektual menggagas perlunya pembaraan
pemikiran dalam Islam. Gagasan Cak Nur tersebut rrtenunjukkan secara jelas
penolakan terhadap pandangan yang menjadikan Islam sebagai landasan ideologi
politik dengan jargon “Islam yes, partai Islam no”. Selain beliau, masih ada
beberapa pembaharu seperti Harun Nasution dan Abd Rahman Wahid juga
berperan dalam gagasan tersebut. Di samping perkembangan pemikiran keislaman
oleh cendikiawan Muslim di Lingkungan Islam seperti di IAIN, pesantren,
organisasi Islam, corak pemikiran di IAIN mulai pertengahan 1980-an sampai
dengan pertengahan 1990-an, menjadi salah satu kiblat perkembangan pemikiran
Islam di Indonesia. Perkembangan pemikiran keagamaan di IAIN ditandai dengan
maraknya kajian keagamaan yang menggunakan pendekatan ilmu sosial.

29
Pada bidang pendidikan Islam, pesantren merupakan institusi pendidikan
keagamaan yang pertama di Indonesia. Pada awalnya pesantren lebih merupakan
lembaga keagamaan daripada lembaga pendidikan agama. Seiring dengan
perkembangan zaman pesantren berkembang menjadi lembaga pendidikan agama
yang mengajarkan materi keagamaan, namun pada perkembangan selanjutnya
pesantren mengadopsi sistem modern sehingga pesantren tidak hanya
mengajarkan ilmu keagamaan, tetapi juga pelajaran umum dengan menggunakan
teknologi maju.

Pada masa ini pula, perkembangan yang perlu dicatat adalah munculnya
ide reformasi fiqh yang diusulkan oleh ulama Indonesia, misalnya Hasbi al-
Shiddieqy dan Hazairin, yang keduanya meninggal dunia pada 1975. Hasbi al-
Shiddieqy mengajukan konsep “Fiqh Indonesia” dan berusaha menekankan
pentingnya merevisi fiqh tradisional yang tidak mempertimbangkan karakteristik
komunitas Islam di Indonesia. Sedangkan Hazairin mengajukan konsep “Fiqh
Mazhab Nasional” dengan rujuan agar lebih relevan dengan adat dan budaya di
Indonesia (Rahman, 2017). Selain itu konsep “Reaktualisasi Ajaran Islam” juga
disampaikan oleh Munawir Sjadzali sebagai upaya reinterpretasi terhadap doktrin
Islam. Menyusul konsep “ Fiqh Sosial” yang diajukan oleh Ali Yafie. (Yatim,
2008).

3) Masa Reformasi

Runtuhnya Orde baru pada 21 Mei 1998, bersamaan dengan munculnya


berbagai gerakan sosial. Isu Piagam Jakarta dan tuntutan untuk memperbesar
peran syariah dalam negara kembali muncul ke permukaan. Khusus untuk isu
penerapan syariah, secara umum ada dua tipe gerakan Islam yang berargumen
tentang hal tersebut. Namun, perubahan struktural yang dibawa oleh pengesahan
otonomi daerah 1999 menambah kerumitan situasi ini karena kebijakan tersebut
memberikan ruang bagi komunitas lokal untuk menerapkan syariah di tingkat
kabupaten dan provinsi, tanpa memperhatikan sikap dan posisi pemerintahan
pusat. ( Efendi, 1998).

Menyusul lengsernya rezim Soeharto, muncul kembali seputar hubungan


Islam, negara, masyarakat serta peran Islam dalam Indonesia Baru. Banyak partai

30
Islam seperti PPP dan Partai Bulan Bintang (PBB) yang berpartisipasi dalam
Pemilu 1999, kembali mengusung isu Piagam Jakarta dalam sidang Tahunan
MPR. Namun usaha untuk mengamandemen UUD 1945 dengan memasukkan
kembali tujuh kata dalam Piagam Jakarta gagal diwujudkan karena seimia fraksi
lain di MPR menolaknya. (Efendi, 1998).

Selama periode ini pula sejumlah daerah di Indonesia menuntut penerapan


syariat Islam secara formal. Selain Aceh yang sudah diberikan hak otonomi untuk
menerapkan syariat Islam, provinsi-provinsi lain (misalnya provinsi Sulawesi
Selatan, Riau, Banten dan beberapa kabupaten lain) juga menyampaikan tuntutan
untuk menerapkan syariat Islam. Sekalipun tuntutan tersebut disuarakan dari
waktu ke waktu, tidak terdapat konsep yang jelas tentang syariat yang akan
diberlakukan. Oleh karena itu, penerapan syariat Islam pada faktanya bukanlah
masalah yang sederhana. Di antara kerumitan yang muncul di dalamnya adalah
kalangan umat Islam sendiri masih terjadi perdebatan sengit mengenai apa yang
dimaksud dengan syariat dan bagaimana bentuk konkrit rumusan syariat.
(Rahman, 2017).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa persoalan hubungan Islam, negara, dan


masyarakat yang mewarnai perkembangan Islam di Indonesia masih sangat
kontroversial, seringkali bersifat simbolik yang menyelubungi persoalan politik
dan sosial lainnya, tanpa adanya kejelasan sikap dan pandangan para tokohnya,
yang mendasari penolakah terhadap klaim dan penegasan pihak lain yang
ditentangnya. Selain itu, meskipun Islam tidak pemah menjadi agama resmi
negara, diskursus keislaman mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan
negara, kendati masih adanya ambivalensi di kalangan kelompok Islam sendiri.

2.4 Ideologi Trans Nasional di Indonesia


Menurut bahasa, ideologi berasal dari dua kata dalam bahasa Latin, yakni
“idea” yang artinya konsep, ide, gagasan, pemikiran, atau keyakinan, kemudian
“logos” berarti ilmu atau logika, sedangkan menurut istilah, ideologi dapat disebut
sebagai ilmu yang mempelajari tentang sesuatu yang berhubungan dengan ide
atau keyakinan seseorang. Pada konteks keagamaan, ideologi mempunyai makna
penting dalam memberikan tuntunan, baik berupa arahan, motivasi, tanggung

31
jawab, serta komitmen bagi setiap individu terhadap keyakinan yang dianutnya,
bahkan di era kontemporer saat ini, ideologi juga berfungsi sebagai penggagas
pemikiran-pemikiran baru, sehingga mendorong lahirnya suatu gerakan yang
dikategorikan sebagai gerakan keagamaan, salah satunya gerakan ideologi Islam.
(Karim, 2016).

Islam adalah agama terakhir yang diwahyukan Allah kepada Nabi


Muhammad SAW, ajarannya sendiri juga sudah dinyatakan final oleh para
pengikutnya hingga akhir zaman, akan tetapi dalam praktiknya di lingkungan
sosial, penganut ajaran Islam memiliki perbedaan dalam menafsirkan, memahami,
dan mengamalkan isi kandungan dari ayatayat Al-Qur’an, sehingga berimplikasi
pada munculnya paham, aliran, dan gerakan-gerakan keagamaan baru, yang
mempunyai ciri khas berbeda pada tiap-tiap ajaran yang disampaikan, meskipun
semuanya berpedoman pada satu kitab suci dan kapanpun tidak pernah berubah.
Di samping itu, menyampaikan ajaran Islam merupakan suatu keharusan bagi
setiap muslim kepada muslim lainnya, namun dengan catatan perlu pemahaman
yang matang agar apa yang disampaikan sudah sesuai yang diajarkan Rasulullah.
(Mahamid, 2022).

Sekarang ini, berbagai macam kegiatan spiritual keagamaan dilakukan,


dalam rangka menegakkan agama Islam dengan cara-cara damai dan
transformatif, yang kemudian melabeli diri mereka sebagai “Gerakan Ideologi
Islam”. Sementara itu, usaha gerakan tersebut dalam mewujudkan kesejahteraan
hidup bagi pemeluknya, seringkali diidentikkan dengan sebuah gerakan politik
yang berorientasi pada kekuasaan, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Maka, dalam beberapa diskusi terkini yang membahas tentang gerakan Islam,
menggunakan dua istilah untuk membedakan cakupannya, antara lain gerakan-
gerakan yang mempunyai pengaruh hanya sampai pada tingkat nasional, disebut
“Gerakan Ideologi Islam Nasional”, seperti Nahdlatul Ulama (NU),
Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Gerakan Islam Indonesia (GII),
Hidayatullah, dan sebagainya, sedangkan kelompokkelompok Islam yang
memiliki jaringan hingga ke ranah global atau internasional, dinamai sebagai
“Gerakan Ideologi Islam Transnasional”, contohnya gerakan Salafi, Wahabi, dan
Hizbut Tahrir. (Mahamid, 2022).

32
Secara eksplisit, gerakan-gerakan ideologi yang diberi istilah “Islam
Transnasional” lebih ramai diperbincangkan, baik di dunia akademik maupun
ruang-ruang publik, seiring wacana kebangkitan Organisasi Masyarakat (Ormas)
yang mempresentasikan gerakan ideologi Islam transnasional, yaitu Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI), walaupun ide awal dari istilah tersebut tidak spesifik langsung
merujuk pada kelompok HTI, melainkan dari agama Islam sendiri yang pada
hakikatnya bersifat transnasional, sebab masuknya Islam pertama kali ke
Indonesia juga dibawa oleh orang asing. Di sisi lain, ormas-ormas seperti NU dan
Muhammadiyah, yang notabenenya merupakan gerakan ideologi Islam nasional
dan moderat, tampil sebagai garda terdepan dalam memfilter masuknya pengaruh
transnasional yang dianggap tidak sesuai dengan budaya masyarakat muslim di
Indonesia yang terkenal humanis, toleran, dan tidak mudah untuk menyalahkan
pendapat orang lain. (An-Na’im,2007).

Maka dari itu, sudah sepatutnya semua gerakan Islam di Indonesia, baik
yang tergolong nasional maupun transnasional, bersatu padu dan saling
melengkapi dalam hal pemikiran ataupun sumbangan khazanah keilmuan lainnya,
selama tidak bertentangan dengan syariat. Terlebih lagi, di era kemajuan teknologi
saat ini, berdakwah bisa dilakukan dengan beragam cara, tidak melulu harus
berdiri di mimbar, yakni dengan memanfaatkan siaran televisi dan radio. Selain
itu, bisa juga berdakwah melalui tulisan, seperti membuat buku dan poster-poster
Islami, bahkan lebih modern lagi, komunikasi dakwah melalui film,yang secara
tidak langsung mempertemukan antara mubalig dan penonton, sekaligus
mengambil ibrah dari apa yang mereka saksikan. Dari sekian metode
penyampaian dakwah tersebut, diharapkan mampu memberikan warna bagi
kemajuan Islam, khususnya di Indonesia, dan menjadikan para pemeluknya
semakin taat dalam beragama.

2.5 Diskursus Relasi Agama dan Negara


Dalam Islam, hubungan agama menjadi perdebatan yang cukup hangat dan
berlanjut hingga kini di antara para ahli. Perdebatan itu telah berlangsung sejak
hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini. Ketegangan perdebatan
tentang hubungan (agama dan negara diilhami oleh hubungan yang agak

33
canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara (dawlah). Dalam bahasa
lain, hubungan antara agama dengan politik (siyasah) dikalangan umat Islam,
terlebih lebih dikalangan sunni yang banyak diatur oleh masyarakat Indonesia,
pada dasarnya bersifat ambigous atau ambivalen. Hal demikian itu karena ulama
sunni sering mengatakan bahwa pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan
antara agama dan negara. Sementara terdapat pula ketegangan pada tataran
konseptual maupun tataran praktis dalam politik, sebab seperti itu yang dilihat
terdapat ketegangan dan tarik ulur dalam hubungan agama dan politik. (Azra,
1999).

Sumber dari hubungan yang canggung di atas, berkaitan dengan kenyataan


bahwa di dalam pengertian terbatas pada hal-hal yang berkenaan dengan bidang-
bidang ilahiyah, yang bersifat sakral dan suci. Sedangkan politik kenegaraan
(siyasah) pada umumnya merupakan bidang prafon atau keduniaan. (Azra, 1999).

Selain hal-hal yang disebutkan di atas, kitab suci Alquran dan hadis
tampaknya juga merupakan inspirasi yang dapat menimbulkan pemahaman yang
berbeda. Kitab suci sendiri menyebutkan dunya yang berarti dunia dan yang
berarti agama. Ini juga menimbulkan kesan dikotomis antara urusan dunia dan
akhirat, atau agama dan negara yang bisa diperdebatkan oleh kalangan para ahli.
(Azra, 1999).

Tentang hubungan antara agama dan negara dalam Islam, menurut


Munawir Sjadzali, ada tiga aliran yang menanggapinya. Pertama, aliran yang
menganggap bahwa agama Islam adalah agama paripurna yang mencakup segala-
galanya, termasuk masalah-masalah negara. Oleh karena itu, agama tidak dapat
dipisahkan dari negara, dan urusan negara adalah urusan agama serta sebaliknya.
(Gunawan, 2017).

Aliran kedua, mengatakan bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan


negara, karena Islam tidak mengatur kehidupan bernegara atau pemerintahan.
Menurut aliran ini Nabi Muhammad saw tidak punya misi untuk mendirikan
negara. Aliran ketiga berpendapat bahwa Islam tidak mencakup segalagelanya,
tapi mencakup seperangkat prinsip dan tata nilai etika tentang kehidupan
bermasyarakat termasuk bernegara. Oleh karena itu, dalam bernegara, umat Islam

34
harus mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai dan etika yang diajarkan
secara garis besar oleh Islam. Hussein Muhammad, menjelaskan bahwa dalam
Islam ada dua model hubungan antara agama dan negara. Model pertama, ia
disebut sebagai hubungan integralistik, dan yang kedua disebut hubungan
simbiosis mutualistik. (Gunawan, 2017).

Hubungan integralistik dapat diartikan sebagai hubungan totalitas, di mana


agama dan negara mempunyai hubungan yang merupakan suatu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Kedua merupakan dua lembaga yang menyatu (integral).
Ini juga memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik
dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali dalalm Islam
bahwa tidak mengenal pemisahan agama, politik atu negara. Konsep seperti ini
sama dengan konsep teokrasi. (Gunawan, 2017).

Model hubungan kedua adalah hubungan simbiosis-mutualistik. Model


hubungan agama dan negara model ini, menurut Hussein Muhammad,
menegaskan bahwa antara agama dan negara terdapat hubungan yang saling
membutuhkan. Menurut pandangan ini, agama harus dijalankan dengan baik dan
tertib. Hal ini hanya terlaksana bila ada lembaga yang bernama negara. Sementara
itu, negara juga tidak dapat dibiarkan berjalan sendiri tanpa agama. Sebab tanpa
agama, akan terjadi kekacauan dan amoral dalam bernegara. (Gunawan, 2017).

35
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum Islam di Nusantara ada sejak masa kerajaan Islam. Politik
kekuasaan menjadi salah faktor utama diterapkannya hukum Islam. Raja yang
beragama Islam menerapkan hukum Islam di wilayah kekuasaannya dan
menyebarkannya. Para raja dan ulama membuat berbagai kitab undang-undang
berlandaskan hukum Islam untuk diterapkan dalam lembaga peradilan.
Pendidikan Islam pada masa sebelum penjajahan ditandai dengan
islamisası yang sangat pesat. Hal tersebut berhasil membentuk masyarakat Islam
yang mendorong lahirnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia pada masa
sebelum penjajahan.
Pendidikan Islam masa penjajahan terbagi dua, yaitu pendidikan Islam
masa Kolonial Belanda dan pendidikan Islam masa penjajahan Jepang Walaupun
pendi dikan Islam masa Kolonial Belanda sangat memprihatinkan, namun
gerakan-gerakan pembaruan Islam tetap muncul dan membawa pendidikan Islam
ke arah yang lebih baik Pada masa penjajahan Jepang umat Islam leluasa
mengembangkan pendidikan karena dihapusnya peratutan Belanda yang
diskriminatif.
Pendidikan Islam pasca kemerdekaan menunjukkan perkembangan
pendidikan Islam yang sangat pesat Di awal Orde Lama, pendidikan Islam sudah
tidak termargi- nalkan lagi. Pada masa Orde Baru, pendidikan Islam telah masuk
kepada sistem pendidikan nasional. Pada masa reformasi, berbagai kebijakan
pemerintah yang tidak hanya berlaku bagi lembaga pendidikan di bawah naungan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tapi juga berlaku pada semua lembaga
pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama menunjukkan sudah tidak
tampaknya dikotomi pendidikan dan diskrimanasi pemerintah terhadap
pendidikan agama.
Ideologi Trans nasional di Indonesia sudah sepatutnya menggerakkan
Islam di Indonesia, baik yang tergolong nasional maupun transnasional, bersatu
padu dan saling melengkapi dalam hal pemikiran ataupun sumbangan khazanah
keilmuan lainnya, selama tidak bertentangan dengan syariat

36
Relasi antara agama dan negara dalam pemikiran Islam yaitu, Islam
memberi prinsip-prinsip terbentuknya suatu negara dengan adanya konsep
khalifah, dawlah, atau hukumah.

3.2 Saran
Penulisan makalah ini diharapkan mampu memberikan pemahaman
tentang bagaimana Dinamika Islam Di Indonesia, yang membahas tentang Islam
di Indonesia pada fase Kerajaan-kerajaan pada abada XIII s/d XX M, Islam di
Indonesia fase Kolonialisme (Kolonial Jepang dan Belanda), Islam di Indonesia
Fase Kemerdekaan (Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi) , Ideologi Trans
Nasional di Indonesia, Diskursus relasi agama dan negara. Pemahaman terkait
dengan hal ini perlu ditingkatkan mengingat belum sempurnanya isi makalah ini,
penulis berharap kita semua tetap belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan
dari berbagai sumber ilmu.

37
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, R. 2015. Peradilan Agama di Indonesia. YUDISIA: Jurnal Pemikiran


Hukum Dan Hukum Islam, 6(2), 311–339
Ahmad, T. A. 2019. Transformasi Islam Kultural Ke Struktural (Studi Atas
Kerajaan Demak). Journal of Chemical Information and Modeling.
Anafah, N. 2011. Legislasi Hukum Islam di Kerajaan Demak (Studi Naskah Serat
Angger-Angger Suryangalam dan Serat Suryangalam). Al-Manahij, 5(1)
An-Na'im, Abdullah Ahmed. 2007. Islam dan Negara Sekalar: Menegosiasikan
Masa Depan Syariah. Cet. I; Bandung: Mizan
Azra, Azyumardi. 1999. Islam Reformis, Dinamika Intelektual dan Gerakan.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Dewi, T. T. 2017. Peranan Sultan Fatah dalam Pengembangan Agama Islam di
Jawa.
Efendi, Bachtiar. 1998. Islam dan Negara. Jakarta: Paramadina.
Fadhilah, N. 2020. Jejak Peradaban dan Hukum Islam Masa Kerajaan Demak.
Al- Mawarid, 2(1), 33–46.
Gunaryo, A. 2006. Pergumulan politik & hukum Islam: reposisi peradilan agama
dari peradilan" pupuk bawang" menuju peradilan yang sesungguhnya.
Yogyakarta: Kerjasama Pustaka Pelajar dan Pascasarjana IAIN Walisongo
Semarang
Gunawan, Edi. 2017. Relasi Agama Dan Negara: Perspektif Pemikiran Islam,
Vol. 11, No. 2 : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado.
Hafizd, J.Z., 2021. Sejarah Hukum Islam di Indonesia: Dari Masa Kerajaan
Islam Sampai Indonesia Modern. Jurnal Tamaddun: Jurnal Sejarah dan
Kebudayaan Islam, 9(1).
Hamid, Ismail. 1983. Kesusasteraan Melayu Lama dari Warisan Peradaban
Islam. Petaling Jaya, Selangor: Fajar Bakti Sdn. Bhd
Harun, M. Y. 1995. Kerajaan Islam Nusantara abad XVI & XVII. Kurnia Kalam
Sejahtera
Hatta, A. 2017. Daya Serap Hukum Islam Di Indonesia Pada Bidang PRivat.
NUKHBATUL ‘ULUM : Jurnal Bidang Kajian Islam, 3(1), 12–18
Helmiati. 2014. Sejarah Islam Asia Tenggara. Pekanbaru: Lembaga Penelitian
dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Islam Negeri Sultan
Syarif Kasim Riau

38
Karim, Syahrir. Islam Ideologis dan Gerakan Politik Islam Kontemporer. Jurnal
Politik Profetik 4, no. 2 (2016): 137–151, http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/view/2745
Koto, A. 2011. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Mahamid, Likulli, Nginwanun, Mochammad. Gerakan Ideologi Islam
Transnasional Di Indonesia Dalam Film Jkdn Karya Nicko Pandawa.
Jurnal Muslim Heritage. Vol. 7 No, 1. Jakarta ; Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
Mudzar, Mohammad Atho. 2003. Islam and Islamic Law in Indonesia: A
SocioHistorical Approach. Jakarta: Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Departemen Agama RI
Muslimah. 2017. Sejarah Masuknya Islam dan Pendidikan Islam Masa Kerajaan
Banten Periode 1552-1935. Jurnal Studi Agama Dan Masyarakat, 13(1),
136–162
Nelmawarni, & Djohar, I. 2013. Laporan Penelitian Tiga Tokoh Minangkabau
Pembawa Islam ke Sulawesi Selatan. Padang
Ngationo, A. 2018. Peranan Raden Patah dalam Mengembangkan Kerajaan
Demak pada Tahun 1478-1518. Kalpataru: Jurnal Sejarah Dan
Pembelajaran Sejarah, 4(1), 17–28
Nursyarief, A. 2014. Pendidikan Islam di Indonesia dalam Lintasan Sejarah
(Perspektif Kerajaan Islam). Lentera Pendidikan: Jurnal Ilmu Tarbiyah
Dan Keguruan, 17(2), pp.256-271
Rahman, Rasyid, Abd. Perkembangan Islam Di Indonesia Masa Kemerdekaan
(Suatu Kajian Historis. Journal of Cultural Sciences. Vol.12, No.2.
Departemen Ilmu Sejarah, Universitas Hasanuddin: Lensa Budaya.
Ramayulis. 2012. Sejarah Pendidikan Islam: Perubahan Konsep, Filsafat, dan
Metodologi dari Era Nabi saw. Sampai Ulama Nusantara. Jakarta: Kalam
Mulia
Rosman, E. 2016. Legislasi Hukum Islam Di Indoensia (Sejarah Dan Relevansi
Praktis Pembaharuan Hukum Nasional). ALHURRIYAH, 1(1)
Satibi, I. 2014. Produk Pemikiran Hukum Islam di Kerajaan Islam Cirebon Abad
Ke-18 M Studi atas Hukum Adat Pepakem). SAINTIFIKA ISLAMICA,
1(2), 110–138
Suadi, A., & Candra, M. 2016. Politik Hukum: Perspektif Hukum Perdata dan
Pidana Islam serta Ekonomi Syariah. Jakarta: Prenadamedia Group
Sumitro, W. 2005. Perkembangan hukum Islam di tengah dinamika sosial politik
di Indonesia. Malang: Bayumedia Pub

39
Syifa’, & Haq, N. S. N. N. 2017. Politik Hukum Islam Era Kesultanan. Jurnal
Reflektika. 13(1), 1–19
Yakin, A. U. 2015. Islamisasi dan Syariatisasi Samudera-Pasai Abad Ke-14
Masehi. ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman, 9(2), 269–294
Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Cet. XX. Jakarta: PT. Raja
Grafmdo Persada, 2008.
Zubaidah, Siti. 2016. Sejarah Peradaban Islam. Medan: Perdana Publishing

40

Anda mungkin juga menyukai