Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengetahui faktor-faktor apakah yang menyebabkan
kurangnya inisiatif pada anak? (2) Intervensi apakah yang tepat untuk meningkatkan inisiatif pada anak
yang mengalami hambatan perkembangan personal-sosial?. Klien dalam kasus ini bernama A, anak laki-
laki berusia 4 tahun 10 bulan. A sekolah di TK A1 Khalifah Centre. Berdasarkan hasil tes psikologi,
kapasitas intelektual A tergolong masuk dalam kategori rata-rata (average) dengan skor IQ sebesar 109
(Stanford Binet). Berdasarkan hasil asessmen observasi, wawancara dan tes psikologi (tes Denver II)
diperoleh hasil bahwa pada aspek personal-sosial terletak pada/antara 75% sampai 90% dan gagal (Fail)
dilakukan oleh anak, sehingga memperoleh skor C (Caution). Selain itu, dalam kesehariannya klien
memiliki rentang perhatian yang pendek, ia juga terlihat tidak mampu bergaul dengan anak seusianya,
tidak memiliki inisiatif serta tampak selalu menirukan atau mengulang-ulang gerakan yang dilakukan
oleh temannya bila diajak bermain bersama. Penyelesaian masalah ini adalah menggunakan modifikasi
perilaku dengan menggunakan token ekonomi, untuk di sekolah bekerjasama dengan guru wali kelas A,
dan psikoedukasi terhadap orang tua. Hasil intervensi menunjukkan bahwa klien mengalami kemajuan
dalam bersosialisasi, semakin banyak berinteraksi dengan teman dan guru serta memunculkan inisiatif
dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
Kata kunci: Intervensi, Modifikasi Perilaku, Personal-Sosial
Al Abyadh
ISSN: 2620-7265
E-ISSN: 2775-7080
50
Pendahuluan
Fase kanak-kanak awal usia tiga, empat dan lima tahun adalah fase penuh energi,
antusiasme dan rasa ingin tahu. mereka tampaknya selalu bergerak terutama ketika mereka
sedang asyik melakukan sesuatu yang menarik perhatian mereka pada saat itu. Selama tahun-
tahun ini, keterampilan motorik mereka semakin sempurna. Kreatifitas dan imajinasi muncul
dalam segala hal, dari drama, karya seni, sampai bercerita. Kosakata dan keterampilan
intelektual berkembang secara pesat, memungkinkan anak untuk mengekspresikan gagasannya,
memecahkan masalah dan membuat rencana (Allen & Marrotz, 2010).
Pada proses awal yaitu pada masa anak-anak umur 2-6 tahun, anak belajar melakukan
hubungan sosial dan bergaul dengan orang-orang di luar lingkungan rumah, terutama dengan
anak-anak yang usianya sebaya. Mereka belajar menyesuaikan diri dan bekerja sama dalam
kegiatan bermain. Pada masa ini, sejumlah hubungan yang dilakukan anak dengan anak-anak
lain meningkat dan ini sebagian menentukan bagaimana gerak maju perkembangan sosial
mereka.
Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan
sosial. Menjadi orang yang mampu bermasyarakat (sozialized) memerlukan tiga proses.
Masing-masing proses terpisah dan sangat berbeda satu sama lain, tetapi salng berkaitan,
sehingga kegagalan dalam satu proses akan menurunkan kadar sosialisasi individu. Proses
tersebut adalah : 1. Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial, 2. Memainkan peran
sosial yang dapat diterima, dan 3. Perkembangan sikap sosial.
Berdasarkan studi preliminary terhadap A (klien) diketahui bahwa ia merupakan siswa yang
pendiam dan memiliki gerakan yang lamban. Ia selalu mendapat teguran dari guru karena tidak
memiliki inisiatif melaksanakan aktifitas tanpa harus diperintah. Misalkan saat datang ke
sekolah, orang tuanya akan mengantarkan A hingga gerbang sekolah, namun A tidak akan
bergerak maju menuju kelas apabila tidak di panggil oleh guru atau di antar oleh orang tuanya
hingga ke depan kelas. Selain itu A juga terlihat kurang mampu menjalin pertemanan dengan
teman-teman seusianya di taman kanakkanak. Dalam permainan kelompok dan melakukan
kegiatan bersama-sama dengan anak lain, A tampak tidak pernah mengusulkan ide-ide
permainan apa yang ingin dimainkan. Ia lebih banyak diam sambil mengikuti pilihan teman-
temannya. Saat mengikuti perlombaan, A mampu turut serta berpartisipasi, namun tidak terlihat
antusias. Ia hanya menunggu giliran untuk berlomba, serta terlihat duduk sendirian memisah
dari barisan anak-anak yang lain.
Hasil observasi dan wawancara orang tua klien diperoleh informasi bahwa A merupakan
anak tunggal. Saat berada di rumah, klien tidak diizinkan bermain dengan anak-anak lain yang
ada dilingkungannya. Kondisi lingkungan rumah yang berdekatan dengan pasar serta jalan raya
menyebabkan orang tua menjadi khawatir apabila klien meniru pola perilaku yang tidak baik.
Klien selalu bermain di rumah bersama robot-robotan yang ia miliki atau bermain bersama
orang tua. Berbeda halnya saat klien dititipkan di rumah neneknya. Disana, klien memiliki
saudara yang memiliki usia tidak terpaut jauh yang bisa diajak bermain. Tetapi aktivitas
bermain yang ia lakukan bersama saudaranya adalah videogame dari HP atau melihat film di
youtube.
52
Orang tua klien juga selalu menyediakan apapun yang dibutuhkan oleh klien. Tidak
jarang apabila klien membutuhkan sesuatu, orang tua selalu membantu klien dalam beberapa
aktivitas sederhana, seperti mandi, mengganti pakaian mengambil makanan dan lain
sebagainya. Selain itu, ayah klien juga memiliki pola asuh yang cukup tegas. Ayah cukup sering
memarahi apabila klien melakukan kesalahan sehingga membuat klien ragu-ragu setiap
melakukan sesuatu. Menurut Montessory (Hurlock, 1997) usia 3-6 tahun merupakan periode
sensitif atau masa peka pada anak, yaitu suatu periode dimana suatu fungsi tertentu perlu
dirangsang, diarahkan sehingga tidak terhambat perkembangannya. Masa-masa sensitif anak
pada usia ini mencakup sensitivitas terhadap keteraturan lingkungan, mengeksplorasi
lingkungan dengan lidah dan tangan, berjalan, sensitivitas terhadap obyek-obyek kecil dan
detail, serta terhadap aspek-aspek sosial kehidupan.
Apabila kita melihat tahap pencapaian perkembangan di usia klien yaitu 48 bulan, A
diharapkan mampu untuk berinteraksi dengan teman sebayanya dan mulai bermain dengan
kelompoknya (Tim Penyusun Yayasan Suryakanti, 2003). Namun, dalam kasus ini A
mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan temantemannya. A cenderung tampak
menyendiri apabila tidak ada seorangpun teman yang mengajaknya bermain, dan ia juga tidak
memiliki inisiatif untuk ikut bergabung bermain bersama.
Pola perilaku sosial lainnya yang seharusnya dimunculkan di masa kanakkanak awal
adalah kemunculan sikap bangga terhadap diri dan persaingan untuk mendapatkan penerimaan
sosial (Hurlock, 1997). Hal ini belum dimunculkan oleh klien. Saat berada di dalam kelas, klien
cenderung pasif dan kurang memunculkan inisiatif atau rasa keingintahuan dan upaya untuk
mendapat penerimaan.
Metode Penelitian
Metode asessmen dalam penelitian ini terbagi tiga yaitu observasi, wawancara dan tes
psikologi. Teknik observasi yang digunakan yaitu observasi partisipan, dimana peneliti turut
ambil bagian dalam peri-kehidupan. Pengamatan partisipatoris memungkinkan peneliti dapat
berkomunikasi secara akrab dan leluasa, sehingga memungkinkan untuk bertanya secara lebih
rinci dan detail (Rahayu & Ardani, 2004).
Alat observasi yang digunakan adalah anecdotal, pencatatan perilaku dilakukan
sesegera mungkin pada tingkah laku anak, peneliti mencatat secara teliti apa dan bagaimana
perilaku anak terjadi baik disekolah maupun dirumah. Hal-hal yang perlu diobservasi adalah
(1) Penampilan fisik klien, badan, warna kulit dan lain-lain,
(2) Gerakan tubuh atau penggunaan anggota tubuh seperti bagaimana postur tubuh klien, bagian
mana dari tubuh klien yang sering digunakan, (3) Ekspresi wajah, yaitu bagaimana ekspresi
wajah ketika berbicara,(4) Pembicaraan, yaitu bagaimana isi pembicaraan yang dilakukan, (5)
Reaksi emosi, yaitu bagaimana reaksi emosi klien
(6) Aktivitas yang dilakukan, misalnya jenisnya, lamanya, dengan siapa dan sebagainya, (7) dan
beberapa hal yang perlu diobservasi sesuai dengan tujuan observasi (Rahayu & Ardani, 2004).
Teknik wawancara yang digunakan adalah semi-structured interviews, peneliti
menggunakan wawancara yang dibuat berupa daftar pertanyaan, tetapi tidak berupa kalimat-
kalimat yang permanen (mengikat), dalam wawancara ini peneliti membawa kerangka-
kerangka pertanyaan untuk disajikan kepada significant others yaitu orangtua (ibu & ayah),
53
guru, maupun A sendiri. Tes psikologi yang diberikan kepada A berupa tes intelegensi, tes
proyektif dan tes kematangan sosial, tes tersebut adalah : Tes Stanford-Binet, tes Denver II
dan tes pendengaran.
Intervensi yang diberikan kepada klien yaitu Terapi Bermain (Play therapy) dan
modifikasi perilaku (Token ekonomi). Bermain merupakan suatu aktivitas yang
menyenangkan sekaligus memiliki unsur pendidikan bagi anak. Sejalan dengan ungkapan
tersebut, Mutiah (2012) menjelaskan bahwa bermain adalah kegiatan yang sangat penting bagi
pertumbuhan dan perkembangan anak. Dengan bermain, anak dapat mengenal dunianya,
mengembangkan konsep-konsep baru, mengambil risiko, meningkatkan keterampilan sosial,
dan membentuk perilaku (Montolalu, 2009). Play therapy (terapi bermain) adalah salah satu
alat yang sangat mendukung dalam membangun komunikasi bagi anak-anak yang bermasalah
untuk dapat mengungkapkan permasalahan yang sedang mereka hadapi dengan cara yang
menyenangkan, santai dan terbuka (Schaefer & Reid, 1986).
Selain dengan terapi bermain, bentuk intervensi yang akan digunakan adalah behaviour
change approaches. Sundel (2005) mengungkapkan bahwa terdapat dua spesifikasi dalam
pendekatan ini, di antaranya yaitu behaviour therapy dan cognitive behaviour therapy. Pada
kasus ini teknik penggunaan behaviour therapy yang digunakan adalah reinforcement, baik itu
dengan memberikan penguat positif berupa pujian atau dengan pemberian token economy.
Token economy (Zirpoli, 2012) adalah suatu teknik dalam pendekatan perilaku yang
memberikan token sebagai penguat untuk memunculkan suatu perilaku. Token ini akan
ditukarkan jika perilaku telah dimunculkan. Landasan intervensi pemberian stimulus dilakukan
berdasarkan Pedoman Pelaksanaan
Stimulasi, Deteksi, dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Pelayanan
Kesehatan Dasar yang diterbitkan oleh Kementrian Kesehatan RI (2012).
Tujuan dari pemberian intervensi yaitu untuk meningkatkan kemampuan inisiatif pada
aspek personal-sosial klien dalam aktifitas sehari-hari serta kemampuan berinteraksi dengan
orang lain. Adapun analisa fungsi permasalahan klien dengan model ABC, yakni :
Selain itu, intervensi juga akan diberikan kepada orang tua dan guru. Bentuk intervensi yang
akan diberikan kepada orang tua dan guru adalah psikoedukasi. Psikoedukasi merupakan upaya
untuk memberikan pemahaman dan/atau keterampilan sebagai usaha pencegahan dari
munculnya dan/atau meluasnya gangguan psikologis di suatu kelompok, komunitas atau
54
masyarakat serta kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan pemahaman bagi lingkungan
(terutama keluarga) tentang gangguan yang dialami seseorang setelah menjalani psikoterapi
(Himpsi, 2010).
Griffith (Walsh, 2010) mengemukakan bahwa psikoedukasi merupakan suatu intervensi yang
dapat dilakukan pada individu, keluarga, dan kelompok yang fokus pada mendidik
partisipannya mengenai tantangan signifikan dalam hidup, membantu partisipan
mengembangkan sumber-sumber dukungan serta dukungan sosial dalam menghadapi tantangan
tersebut, dan mengembangkan keterampilan coping untuk menghadapi tantangan tersebut
memiliki gangguan pendengaran. Dari seluruh pertanyaan dan instruksi yang diberikan, klien
mampu menjawab serta mengerjakan instruksi tersebut dengan baik tanpa kesalahan.
Selanjutnya pelaksanaan dan hasil intervensi terhadap klien adalah sebagai berikut :
Sesi I : Pemberian Stimulus
Lingkungan dengan play therapy yaitu dengan Membentuk kelompok bermain di mana
praktikan menjadi fasilitator. Mengajak klien ikut bermain dengan mengeluarkan mainan yang
akan dilakukan (Lotto game). Klien diperlihatkan sebuah video mengenai huruf dan angka. Lalu
praktikan meminta klien bersama-sama untuk menyebutkan huruf tersebut serta warna-warna
yang terdapat pada huruf dan angka yang diperlihatkan di dalam video Memberikan peran
kepada klien pada permainan, dan bermain bersama. Praktikan yang sebelumnya turut
berpartisipasi dalam permainan akan digantikan oleh salah seorang teman dan bergantian
dengan bebrapa teman lainnya. Memberikan semangat kepada klien dan pemain lainnya agar
dapat menyelesaikan permainan dengan waktu yang singkat dan menentukan pemain yang
tercepat menyelesaikan permainan sebagai pemenang
Sesi II : Pemberian Stimulus Lingkungan dengan play therapy, lalu melakukan tahapan kegiatan
yang sama dengan sesi I namun mengganti video huruf dan warna dengan pengenalan beberapa
hewan yang nantinya akan muncul di dalam permainan Sesi III : Reinforcement (Token
Economy dan pujian). Mengajak guru untuk menerapkan token economy dan pujian dengan
mempersilahkan klien untuk menentukan sendiri mainan yang ia inginkan setelah mampu
menyelesaikan sebuah tugas yang diberikan di dalam kelas.
Selanjutnya, apabila klien mampu menunjukkan hasil yang ia lakukan dkepada guru maka klien
akan diberi sebuah pujian dan mendapatkan satu stiker bintang yang nanti akan diletakkan di
gelas bintang. Saat klien mampu melakukan beberapa tugas yang membutuhkan inisiatif atau
keberanian, misal : berlari mendekati guru saat diminta berwudhu atau menjadi imam saat shalat
jama’ah, maka klien akan diberi 3 atau 4 bintang apabila ia mampu melakukan hal tersebut
dengan baik.
Adapun evaluasi yang dilakukan peneliti ditinjau dari analisis fungsional pada
permasalahan yang terjadi pada klien, peneliti menetapkan untuk mengevaluasi dengan
melakukannya menggunakan formulasi ABC.
Integrasi data perkembangan A akan dijelaskan pada beberapa aspek berikut : a. Aspek
Kognitif
A memiliki kecerdasan rata-rata setara dengan anak seusianya dengan skor Inteligensi sebesar
109 (skala Binet). Saat ini usia kronologis A adalah 4 tahun 10 bulan dengan usia mental 5
tahun 3 bulan. Hal ini berarti pada usia 4 tahun, kemampuan intelektual yang di miliki oleh A
berada di atas rata-rata kemampuan anak seusianya, dan setara dengan anak usia 5 tahun. A
memiliki kemampuan yang baik dalam memahami instruksi, akan tetapi ia memiliki rentang
perhatian yang pendek. Perhatiannya mudah terganggu pada hal-hal yang lebih menarik diluar
aktivitasnya. b. Aspek personal-sosial
Secara umum dapat dikatakan bahwa A memiliki keterampilan sosial yang buruk. Hal ini
terlihat dari ketidakmampuannya dalam bergaul dan bersikap dengan tepat sesuai dengan
kondisi lingkungannya. Dalam kesehariannya di sekolah, A sering terlihat diam saja jika tidak
diajak bermain oleh temannya. Ia akan melakukan kegiatan sendirian meski berada di
lingkungan bermain yang ramai. Sering kali A tampak selalu menirukan gerakan yang
dilakukan oleh temannya bila diajak bermain bersama. Ia tidak memiliki inisiatif untuk
melalukan kegiatan dan memulai percakapan terlebih dahulu dengan orang lain. A juga tidak
memiliki sikap terbuka ataupun sikap antusias. Selain itu, ia juga tidak pernah melawan apabila
diganggu oleh anak lain, ia juga terlihat pasrah bila barang miliknya diambil dan juga tidak
merasa frustasi atau kesal apabila tidak diikutsertakan dalam sebuah kegiatan kelompok.
c. Aspek Emosi dan perilaku
A merupakan anak yang pendiam dan tidak memiliki banyak perubahan emosi. Dalam
situasi normal, A selalu menunjukkan emosi yang datar tanpa ekspresi. Ia lebih banyak diam
sambil memperhatikan aktifitas orang lain. A memiliki perilaku yang buruk saat belajar. Ia
sering kali melakukan hal-hal yang tidak berkaitan dengan tugas seperti memainkan benda yang
ada di tangannya, atau hanya memandang ke satu arah seperti melamun.
Selain intervensi terhadap A, pemberian intervensi juga dilakukan kepada orang tua. Hal
ini bertujuan agar orang tua memahami hambatan yang dimiliki oleh A, serta mampu
melaksanakan intervensi modifikasi perilaku di rumah. Setelah pelaksanaan intervensi terhadap
orang tua dilakukan, diperoleh hasil bahwa orang tua A menyadari pentingnya meningkatkan
kemampuan anak dalam bersosialisasi dan membatasi waktu dalam menggunakan handphone
(HP) dan menonton TV. Selain itu, orang tua juga menyadari pentingnya memberikan
kepercayaan pada anak dalam melakukan setiap aktifitas yang mampu dilakukan oleh anak
57
secara mandiri. Saat ini, klien dan orang tua telah menyepakati bahwa penggunaan HP hanya
pada hari minggu dan hari libur saja. Adapun evaluasi hasil intervensi pada orang tua,
digambarkan pada tabel berikut.
kegiatannya saat berada di sekolah. Selain itu, klien juga terlihat mengalami kemajuan dalam
bersosialisasi. Kemajuan yang dicapai klien juga sangat dipengaruhi oleh orangtua, guru kelas,
dan teman klien. Orangtua klien sudah lebih menerima kondisi klien dan membantu
menstimulus klien untuk bersosialisasi. Guru pun semakin memahami kondisi klien sehingga
bisa lebih memberikan perhatian dan penanganan kepada klien. Selain itu, teman juga lebih
memahami klien dan menerima klien, mulai menyapa klien dan mengajak berbincang pada
klien.
Adapun saran yang dapat diberikan dalam menangani permasalahan inisiatif pada anak yang
mengalami hambatan perkembangan personal-sosial yaitu :
1. Orang tua diharapkan untuk dapat diberikan stimulus dan kesempatan terutama dalam
kaitannya pengembangan kemampuan sosial dan emosi anak. Stimulus yang dapat orang
tua lakukan adalah dengan lebih mengajak anak untuk bermain dengan teman-teman
seusianya. Jika anak menolak, maka ajaklah teman-teman untuk bermain bersama dengan
menyiapkan beberapa permainan yang juga memungkinkan ayah/ibu ikut serta dalam
permainan tersebut atau hal yang menarik lainnya untuk anak-anak. Rasa bahagia orangtua
ketika bermain bersama akan diterima oleh anak sebagai sinyal yang menjelaskan bahwa
lingkungannya adalah lingkungan yang menggembirakan.
2. Orang tua disarankan lebih banyak memberikan kesempatan pada anak untuk mengeksplor
dunianya, mencoba berbagai hal, mengalami kegagalan dan kesuksesan di mana ia akan
lebih banyak belajar dan lebih tangguh dalam menghadapi setiap tantangan dalam
perkembangannya. Memberikan keamanan adalah baik, namun selalu ingat untuk
memberikan stimulasi dan kesempatan sehingga ia dapat belajar untuk dapat melakukan
aktivitasnya secara mandiri tanpa bantuan dan arahan dari orang dewasa. Dengan begitu
diharapkan inisiatif dan kemandirian anak akan muncul dengan seiring waktu
3. Guru dapat memposisikan anak untuk duduk pada jarak terdekat dengan guru untuk
memudahkan anak ketika ia tidak memahami kagiatan yang akan dilakukan dan
mempermudah akses bagi anak untuk menunjukkan hasil kerjanya. Selain itu, guru juga
dapat mengajak siswa lain untuk memberikan contoh perilaku ketika akan melaksanakan
beberapa aktivitas atau tugas-tugas yang seharusnya dilakukan secara mandiri oleh anak.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, K.E., & Marrotz, L.R. (2010). Developmental profiles : Pre-birth throuhh twelve. Profil
perkembangan
anak : Prakelahiran hingga usia 12 tahun. Valentino (terj). Jakarta : PT Indeks.
Departement Kesehatan RI. (2012). Pedoman pelaksanaan: Stimulasi, deteksi, dan intervensi
dini tumbuh kembang anak di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Jakarta: Departemen
Kesehatan, Direktorat Jendral
Pembinaan Kementrian Masyarakat
Penerbit Erlangga
Mutiah, D. (2012). Psikologi bermain anak usia dini. Jakarta : kencana Prenada Media Group
Rahayu, I.T. & Ardani T.A., (2004), Observasi dan wawancara. Malang : Bayumedia
Publising Indonesia.
Schaefer, C.A. & Reid, S.E. (1986). Game play: Therapeutic use of chilhood games. New York:
John Wiley and Sons.
Sundel, M & Sundel, S.S. (2005). Behaviour change in the human services: Behaviour and
cognitive principles and applications. London:
Sage Pub, Inc.
Walsh, K. (2010). The importance of writing skills: Online tools to encourage success. 05
maret 2018, http://www.emergingedtech.com/20 10/11/the-|importance-of-
writingskillsonline-tools-to-encouragesuccess/
Zirpoli, T.J. (2012). Behaviour management positive application for teachers. Sixth Edition.
Boston : Pearson.
60
Definisi
Operasional Intervensi Modifikasi perilaku
Independent
Definisi
Operasional
Meningkatkan Inisiatif pada anak
Variable
Intervening
61
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh tingkat pemberian ASI dalam orientasi
Islam terhadap kognitif anak usia 4 – 6 tahun di kota Malang. Penelitian ini menggunakan
metode penelitian analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional secara deskriptif
atau dengan kata lain penelitian ini menggunakan jenis penelitian korelasional (correlational
research). Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini diambil dengan teknik cluster
random sampling. Sedangkan sampel sumber data dipilih secara purposive dan bersifat
snowball sampling. Instrumen pengumpulan data untuk menilai tingkat pemberian ASI yaitu
kuesioner pemberian ASI serta biodata orang tua dan anak. Untuk menilai tingkat kecerdasan
dilakukan tes IQ dengan instrumen tes WPPSI (Wechsler Preschool and Primary Scale of
Intelligence) yang dilakukan oleh psikolog. Analisis data pada penelitian ini adalah data
kuantitatif dan kualitatif. Analisis data kuantitatif dilakukan untuk melihat tingkat pemberian
ASI terhadap kognitif anak usia 4 – 6 tahun. Hal tersebut akan dideskripsikan melalui statistik
deskriptif yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Dari hasil penelitian tentang tingkat
pemberian ASI dalam orientasi Islam terhadap kognitif anak usia 4 – 6 tahun di kota Malang,
hanya 54% proporsi ibu yang lama memberikan ASI Eksklusif pada bayinya lebih dari 4 bulan.
Balita dengan riwayat tingkat pemberian ASI Eksklusif tidak lebih dari 4 bulan mempunyai
risiko 7,325 kali lebih besar untuk mengalami perkembangan yang menyimpang dibandingkan
dengan anak yang diberi ASI lebih dari 4 bulan.Anak dengan lama menyusui ≥ 6 bulan
mempunyai fungsi kognitif lebih tinggi daripada anak dengan lama menyusui < 6 bulan.
Berdasarkan tujuan dan hasil analisis sintesis dapat diperoleh beberapa kesimpulan bahwa
terdapat relevansi antara perspektif al-Qur’an tentang pemberian ASI dengan hasil penelitian.
A. Pendahuluan
Rendahnya praktik pola pemberian ASI eksklusif di Indonesia diduga karena banyak faktor
yaitu antara lain, mereka tidak tahu melakukan, dan mereka tahu tetapi tidak melakukan.
Padahal orang tua memegang peranan penting dalam perkembangan kognitif anak melalui
pemberian nutrisi yang adekuat.
Sebuah penelitian memperlihatkan bayi yang mendapat ASI kurang dari 3 bulan memiliki
IQ yang lebih rendah dibanding bayi yang mendapat ASI 6 bulan atau lebih. Pemberian
ASI yang lebih lama memberi keuntungan pada perkembangan kognitif anak.
65
Penelitan lain yang dilakukan secara prospektif terhadap bayi prematur yang mendapat ASI
memperlihatkan hasil tes IQ (usia 7-8 tahun) dengan poin 8.3 lebih tinggi dibanding bayi
prematur yang mendapat susu formula1.
Air Susu Ibu atau yang sering disingkat dengan ASI merupakan satu-satunya makanan yang
terbaik untuk bayi, karena memiliki komposisi gizi yang paling lengkap untuk
pertumbuhan dan perkembangan bayi. Melihat manfaat yang besar, maka pemberian ASI
Eksklusif sangat dianjurkan. Maksud ASI Eksklusif disini adalah pemberian ASI selama 6
bulan tanpa makanan tambahaan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih
dan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan tim sejak
lahir hingga bayi umur 6 bulan2.
Islam telah mengajarkan bagaimana seorang ibu seharusnya menyusui anaknya yang
disebut dengan Ar-radha’ah. Secara eksplisit dan lugas hal tersebut Allah SWT firmankan
dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqoroh: 233) yang mengisyaratkan bahwa Allah sangat
menganjurkan kaum ibu untuk menyusui putera-puterinya. Lebih tegas lagi, Quraish
Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menyatakan bahwa menyusui merupakan hak anak dan
kewajiban bagi ibu.3 Karena ibu pulalah yang akan menentukan terlahirnya generasi sehat,
cerdas dan berakhlak mulia salah satunya adalah dengan memilih untuk memberikan ASI
kepada anaknya. Pemberian ASI eksklusif ini sejalan dengan target pencapaian Millenium
Development Goals
(MDG’s) yaitu menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) dan meningkatkan derajat
kesehatan ibu. Begitu banyak kebaikan yang Allah janjikan di dunia dan di akhirat jika ibu
menyusui.
Seorang peneliti, James W. Anderson menyatakan bahwa IQ (tingkat kecerdasan) bayi
yang diberi ASI lebih tinggi lima angka daripada bayi lain yang tidak diberi ASI. ASI
sangat berperan dalam perkembangan otak karena gula dan lemak yang dikandungnya.
Berbagai hasil penelitian membuktikan betapa besar manfaat ASI pada kualitas anak di
kemudian hari. Ada hubungan antara pemberian ASI dengan perkembangan intelektual,
mengurangi risiko kanker, risiko kegemukan, risiko terkena beberapa penyakit kronis 4. ASI
mempunyai komposisi taurin, DHA, dan AA. Taurin adalah sejenis asam amino kedua
yang terbanyak dalam ASI yang berfungsi sebagai neurotransmitter dan berperan penting
untuk proses maturasi sel otak.
Untuk mendukung pemberian ASI Eksklusif di Indonesia, pemerintah mencanangkan
Gerakan Nasional Peningkatan Pemberian ASI (PP-ASI) yang salah satu tujuannya adalah
untuk membudayakan perilaku menyusui secara eksklusif pada bayi sampai dengan
berumur 4 bulan. Pada tahun 2004, sesuai dengan anjuran Badan Kesehatan Dunia (WHO),
pemberian
1
Hubertin Purwanti S, Konsep Penerapan ASI Eksklusif, (Jakarta: EGC, 2004), h. 127
2
Soetjiningsih, ASI Petunjuk Tenaga Kesehatan (Jakarta: EGC, 2012), h. 47
3
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 1 (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), h. 609
4
Depkes RI, Pedoman Deteksi Dini dan Stimulasi Dini Tumbuh Kembang Balita di Tingkat Pelayanan
Kesehatan Dasar (Jakarta: Depkes RI, 2007), h. 53
66
5
Abdul Bari, Buku Acuan Nasional Maternal dan Neonatal, (Jakarta: JNPK, 2008), h. 49
6
Depkes RI, Pedoman Deteksi Dini dan Stimulasi Dini Tumbuh Kembang Balita di Tingkat Pelayanan
Kesehatan Dasar, (Jakarta: Depkes RI, 2007), h. 37
67
Air Susu Ibu (ASI) adalah merupakan cairan alamiah yang Allah ciptakan tanpa ada
tandingannya untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi. Selain itu ASI mencegah
terjadinya penyakit infeksi maupun degeneratif. ASI juga sangat kaya akan sari-sari
makanan yang mempercepat pertumbuhan sel-sel otak dan perkembangan sistem
syaraf.
Pemberian ASI merupakan cara pemberian makanan yang utama untuk bayi. ASI
dipertimbangkan sebagai makanan pertama untuk bayi karena ASI menyediakan
semua kebutuhan nutrisional bagi bayi. ASI mengandung zat gizi yang pas dan sesuai
bagi bayi dan pemberian ASI pada bayi sejak lahir hingga ia berusia 4 – 6 bulan (ASI
eksklusif) sangat penting bagi tumbuh kembangnya secara optimal. 7
ASI eksklusif didefinisikan sebagai makanan dan minuman yang diterima oleh bayi
yang berasal hanya dari Air Susu Ibu (ASI) tanpa tambahan dari makanan atau
minuman lainnya termasuk air putih kecuali pemberian cairan melalui mulut baik
dalam bentuk tetes atau pun sirup yang terdiri dari vitamin, mineral maupun obat yang
diberikan kepada bayi sejak lahir (usia 0 bulan) hingga bayi berusia 6 bulan.
Menurut Dr. Utami Roesli, Sp.A. MBA IBCLC, di dalam ASI terkandung lebih dari
200 unsur zat yang sangat bermanfaat bagi pertumbuhan bayi. Zat – zat itu antara lain
putih telur, lemak, protein, karbohidrat, vitamin, mineral, hormon pertumbuhan,
berbagai enzim, zat kekebalan dan lain – lain.8
ASI eksklusif adalah “pemberian hanya ASI saja tanpa makanan dan minuman lain”,
ASI eksklusif dianjurkan sampai 4 – 6 bulan pertama kehidupan bayi. 9 Departemen
Kesehatan RI, mengadopsi pemberian ASI eksklusif seperti rekomendasi dari WHO
dan UNICEF, sebagai salah satu program perbaikan gizi bayi atau anak balita. Sasaran
program yang ingin dicapai dalam Indonesia Sehat 2010 adalah sekurang – kurangnya
80 % ibu menyusui memberikan ASI eksklusif pada usia 4 sampai 6 bulan, jadi
lamanya ASI yang optimal dan juga waktu yang tepat untuk memulai makanan
tambahan merupakan masalah penting bagi kesehatan masyarakat.
ASI begitu penting dalam pandangan islam. Allah SWT memberikan pahala yang
berlimpah pada ibu yang menyusui anaknya dan dibalas kebaikannya di dunia maupun
di akhirat. Anak yang sholeh dan sholehah terlahir dari ibu yang berakhlak baik serta
memberikan makanan yang halal dan terbaik untuk anaknya. Sehingga sari makanan
tersebut akan terus mengalir seiring dengan doa yang tulus saat ibu mengandung dan
menyusui. ASI menjadi jembatan cinta kasih antara ibu dan anak sehingga anak akan
tumbuh dan berkembang dengan baik.
ASI mengalirkan sari makanan ke seluruh tubuh sehingga membuat fisik sang anak
menjadi sehat dan cerdas. ASI mampu meningkatkan dan menyeimbangkan IQ
(Intelligence Quotient) dan ESQ (Emotional Spiritual Quotient) pada anak. Dengan
7
Utami Roesli, Mengenal ASI Eksklusif, (Jakarta: Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara, 2000), h. 58
8
Utami Roesli, Bayi Sehat Berkat ASI Eksklusif, (Jakarta: Elex Media Komputendo, 2009), h. 64
9
Depkes RI, Pedoman Deteksi Dini dan Stimulasi Dini Tumbuh Kembang Balita di Tingkat Pelayanan
Kesehatan Dasar, (Jakarta: Depkes RI, 2007), h. 28
68
demikian bayi yang diberikan ASI memiliki tingkat kecerdasan lebih tinggi
dibandingkan bayi yang tidak diberi ASI. 10
Ibu akan dimintai pertanggung – jawaban (almas’ uliyyah) oleh Allah SWT atas
kehidupan anaknya. Wahbah Az Zuhaily juga mempertegas keterangan tersebut,
kewajiban ini terkena baik bagi ibu yang masih menjadi istri dari bapak anak yang
disusui (Ar Radhi’) maupun istri yang sudah ditalak (Al Muthallaqah) dalam masa
‘iddah. Ibnu Abi Hatim dan Sa’id Ibn Zubair ketika membicarakan surat Al Baqarah
(2) ayat 233 juga mengatakan hal yang sama jika seorang suami yang menceraikan
istrinya dan mempunyai buah hati, maka ibu anak itulah yang lebih berhak untuk
menyusukan anak.11
Beberapa ayat dalam al-Qur’an saling menjelaskan tentang masa mengandung sampai
menyapih adalah 30 bulan. Ayat tersebut memberikan isyarat bahwa seorang bayi yang
berada dalam kandungan selama 6 bulan adalah genap dua tahun (24 bulan).
2. Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif adalah suatu proses berpikir, yaitu kemampuan individu untuk
menghubungkan, menilai, dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa. Jadi
proses kognitif berhubungan dengan tingkat kecerdasan intelegensi yang menandai
seseorang dengan berbagai minat terutama sekali ditujukan kepada ide-ide belajar.12
Dalam kehidupannya, mungkin saja anak dihadapkan pada persoalan-persoalan yang
menuntut adanya pemecahan. Menyelesaikan suatu persoalan merupakan langkah
yang lebih kompleks pada diri anak. Sebelum anak mampu menyelesaikan persoalan
anak perlu memiliki kemampuan untuk mencari cara penyelesaiannya. 13
Perkembangan kognitif merupakan dasar bagi kemampuan anak untuk berpikir. Hal
ini sesuai dengan pendapat Ahmad Susanto bahwa kognitif adalah suatu proses
berpikir, yaitu kemampuan individu untuk menghubungkan, menilai, dan
mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa.14 Jadi proses kognitif berhubungan
dengan tingkat kecerdasan (intelegensi) yang menandai seseorang dengan berbagai
minat terutama sekali ditujukan kepada ide-ide belajar.
Menyelesaikan suatu persoalan merupakan langkah yang lebih kompleks pada diri
anak. Sebelum anak mampu menyelesaikan persoalan anak perlu memiliki
kemampuan untuk mencari cara penyelesaiannya. Husdarta dan Nurlan berpendapat
bahwa perkembangan kognitif adalah suatu proses menerus, namun hasilnya tidak
merupakan sambungan (kelanjutan) dari hasil-hasil yang telah dicapai sebelumnya. 14
Hasil-hasil tersebut berbeda secara kualitatif antara yang satu dengan yang lain. Anak
akan melewati tahapan-tahapan perkembangan kognitif atau periode perkembangan.
10
Kusmayadi, Membongkar Kecerdasan anak (Mendeteksi Bakat dan Potensi Anak Sejak Dini), (Jakarta:
Gudang Ilmu, 2011), h. 52
11
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Vol 1, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), h. 42
12
Ahmad Susanto, Meningkatkan Perkembangan Anak, (Bandung: Araska Publisher, 2011), h. 48
13
Syaodih dan Agustin, Kecerdasan Jamak Anak Usia Dini, (Bandung: Rineka Karya, 2008),
h. 20 14 Ibid. h. 49
14
Husdarta dan Nurlan, Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak. (Yogyakarta: Andi Publisher, 2010), h. 169
69
B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik dengan menggunakan pendekatan
Cross Sectional secara deskriptif yaitu untuk mempelajari dimana kolerasi factor – faktor
resiko dan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada
15
Markum AH, Ilmu Kesehatan Anak, (Jakarta: FKUI, 2003), h. 71
70
suatu saat. 16 Atau dengan kata lain penelitian ini menggunakan jenis Penelitian
Korelasional (Correlational Research) yang bertujuan untuk mendeteksi atau mengungkap
sampai sejauh mana suatu fakta berkaitan atau berkorelasi dengan faktor lain yang
didasarkan pada koefisien korelasi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat tingkat
pemberian ASI terhadap kognitif pada anak usia 4 – 6 tahun di Kota Malang.
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini diambil dengan teknik cluster random
sampling. Kriteria Inklusi penelitian ini yaitu usia anak 5 tahun, status gizi balita baik
(diukur menggunakan program WHO Child Growth Standard 2006), lingkungan baik,
riwayat penyakit kronis tidak ada, anak diasuh oleh ibu sendiri/ ibu kandung, ibu
mengetahui riwayat anak dalam pemberian ASI Eksklusif. Sedangkan sampel sumber data
dipilih secara purposive dan bersifat snowball sampling. Menurut Sugiono 17 purposive
sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu,
misalnya orang tersebut dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan. Sedangkan
snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel yang pada mulanya jumlahnya kecil
tetapi makin lama makin banyak berhenti sampai informasi yang didapatkan dinilai telah
cukup.
Instrumen pengumpulan data untuk menilai tingkat pemberian ASI yaitu kuesioner
pemberian ASI serta biodata orang tua dan anak. Untuk menilai tingkat kecerdasan
dilakukan tes IQ dengan instrumen tes WPPSI (Wechsler Preschool and Primary Scale of
Intelligence) yang dilakukan oleh psikolog. Tes ini dikembangkan oleh seorang psikolog
David Wechsler pada tahun 1967, untuk menguji anak berusia 2 tahun 6 bulan hingga 7
tahun 3 bulan. Skala Wechsler terdiri atas 11 subskala yaitu 5 skala verbal dan 5 nonverbal
atau performance test. Skala verbal terdiri dari tes informasi, kosakata, aritmatika,
persamaan dan pemahaman serta skala nonverbal terdiri dari penelusuran rumah binatang
(animal house), penyelesaian gambar, mencari jejak, menyusun bentuk geometris dan
bentuk balok. Hasil akhir akan didapatkan skor IQ penuh atau full scaled IQ.
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu Instrumen
Regulasi Diri yang terdiri dari 30 butir pernyataan setelah peneliti melakukan validitas dan
reabilitas instrumen. Uji validitas instrumen dalam penelitian ini, dengan melakukan
construct validity dengan menanyakan pada expert judgement mengenai instrumen yang
telah dibuat apakah sesuai dengan konsep teori. Kemudian pengujian kesahihan butir
instrumen menggunakan koefisien antara skor butir dan skor total instrumen dengan rumus
product moment.
Sedangkan uji reliabilitas instrumen menggunakan teknik Alpha Cronchbach kemudian
hasil tersebut diinterpretasikan berdasarkan kriteria r. Keputusan suatu instrumen
dinyatakan reliabel atau tidak dengan cara membandingkan rxy dengan rtabel, jika rxy > rtabel
maka instrumen tersebut dikatakan reliabel. Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan
data dalam penelitian ini yaitu Instrumen Regulasi Diri yang terdiri dari 30 butir pernyataan
setelah peneliti melakukan validitas dan reabilitas instrumen. Uji validitas instrumen dalam
penelitian ini, dengan melakukan construct validity dengan menanyakan pada expert
judgement mengenai instrumen yang telah dibuat apakah sesuai dengan konsep teori.
16
Arikunto S, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 27
17
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 218
71
Kemudian pengujian kesahihan butir instrumen menggunakan koefisien antara skor butir
dan skor total instrumen dengan rumus product moment.
Sedangkan uji reliabilitas instrumen menggunakan teknik Alpha Cronchbach kemudian
hasil tersebut diinterpretasikan berdasarkan kriteria r. Keputusan suatu instrumen
dinyatakan reliabel atau tidak dengan cara membandingkan rxy dengan rtabel, jika rxy > rtabel
maka instrumen tersebut dikatakan reliabel.
C. Hasil Penelitian
Pada penelitian ini sebagian besar ibu memberikan ASI Ekslusif pada anak sebesar 64,1%.
Sedangkan yang tidak memberikan ASI Eksklusif sebesar 35,9 % (Tabel 1). Kenyataan
dilapangan menunjukan adanya berbagai hambatan atau permasalahan terhadap rendahnya
pemberian ASI Eksklusif. Faktor ibu seperti kurangnya pengetahuan tentang manfaat
menyusui secara eksklusif, adanya penyakit tertentu (Tuberculosis, Hepatitis), kurangnya
atau tidak adanya dukungan suami kepedulian keluarga dan masyarakat dalam
menyukseskan pemberian ASI Eksklusif, lemahnya informasi/ promosi tentang pemberian
ASI Eksklusif oleh tenaga kesehatan. Penyebab lain yang sangat berpengaruh pada
penurunan pemakaian ASI Eksklusif adalah gencarnya promosi susu formula pengganti
ASI yang menawarkan keunggulan semu.
Tabel 1:
Distribusi Frekuensi Pemberian ASI Ekslusif
ASI
Frekuensi %
Eksklusif
Ya 41 64,1
Tidak 23 35,9
Jumlah 64 100
Hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar anak memiliki tingkat kecerdasan
Avarage (rata-rata) yaitu sebesar 81,3%, sedangkan tingkat kecerdasan low avarage
(dibawah rata-rata) sebesar 18,7% (Tabel 2). Tes inteligensi bertujuan untuk
menginformasikan apakah seorang anak dapat lebih baik berpikir secara logis
dibandingkan dengan individu lain yang mengikuti tes tersebut. Setiap individu berbeda
satu sama lain, perbedaan tersebut yang paling mencolok terdapat pada domain inteligensi.
Tabel 2:
Distribusi Frekuensi Tingkat Kecerdasan Anak
Hasil penelitian diketahui bahwa anak yang diberikan ASI Eksklusif dan memiliki tingkat
kecerdasan average sebesar 87,8% (36 orang), sedangkan anak yang tidak diberikan ASI
Eksklusif dan memiliki tingkat kecerdasan average sebesar 69,6% (16 orang). Berdasarkan
72
hasil uji statistik dengan menggunakan Chi-square didapatkan p Value = 0,099 ( p value >
0,05) hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pemberian ASI Eksklusif
terhadap tingkat kecerdasan anak.
Berdasarkan nilai OR 3.150 CI 95% (0.867-11.442) maka bisa dilihat bahwa anak yang
diberikan ASI Eksklusif memiliki kemungkinan 3 kali lebih besar untuk memiliki tingkat
kecerdasan average (ratarata).
Selain tingkat pemberian ASI berdampak bagi perkembangan kognitif anak, pertumbuhan
anak juga tergantung dari lamanya pemberian ASI saat anak balita. Berikut ini adalah data
yang diperoleh dalam penelitian ini terkait pertumbuhan anak baik secara berat badan
maupun tinggi badan.
Tabel 4
Distribusi Responden Berdasarkan Berat Badan
Tabel menunjukkan bahwa dari 40 responden berdasarkan berat badan menurut umur
dimayoritaskan pada kategori sesuai standar yaitu 35 responden (87.5%).
Tabel 5
Distribusi Responden Berdasarkan Tinggi Badan
No Tinggi Badan Frekuensi %
1 Normal 33 82,5
2 Tidak Normal 7 17,5
Total 40 100
Tabel menunjukkan bahwa dari 40 responden berdasarkan tinggi badan menurut umur
dimayoritaskan pada kategori sesuai standar yaitu 33 responden (82.5%)
Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa dari 33 responden yang memiliki TB Normal,
sebagian besar 23 responden (71,4%) tidak diberikan ASI Eksklusif. Begitu juga halnya
pada 7 responden yang memiliki BB Tidak Normal sebagian besar tidak diberikan ASI
sebanyak 2 responden (28,6%).
D. Pembahasan
Hasil penelitian tingkat pemberian ASI terhadap kognitif anak usia 4 – 6 tahun ini
membuktikan bahwa anak – anak yang mendapatkan ASI > 6 bulan atau lebih, mempunyai
skor IQ yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak mendapatkan ASI. ASI
juga dapat meningkatkan prestasi akademik anak karena nutrisi yang essensial dari ASI
73
sangat efektif bagi pertumbuhan otak pada anak seperti long-chain polyunsaturated fatty
acids yang merupakan elemen struktural dari membran sel dan sangat penting bagi
pertumbuhan otak dan syaraf.
Penelitian tentang efek menyusui terhadap Intelligence Quotient (IQ) memperlihatkan
bahwa anak yang mendapat ASI mempunyai IQ 3-5 kali lebih tinggi dibandingkan anak
yang mendapat susu formula. Makin lama anak mendapatkan ASI, makin besar efek positif
pada IQ. Tingkat IQ lebih tinggi dikaitkan dengan kandungan nutrisi yang ditemukan pada
ASI.
Pemberian ASI dapat berpengaruh terhadap perkembangan intelektual anak, karena
menyusui memberikan perlekatan erat dan rasa nyaman yang berpengaruh terhadap
perkembangan emosi anak. Anak yang disusui mempunyai intelegensia dan emosi lebih
matang yang akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosialnya di masyarakat.
Analisis independent t-test Tabel 1 menunjukkan pengaruh signifikan lama menyusu
terhadap fungsi kognitif anak (p< 0,05). IQ anak menyusu ≥ 6 bulan lebih tinggi 8,84 poin
dibandingkan menyusu < 6 bulan.
Analisis independent t-test Tabel 2 menunjukkan variabel pengganggu yaitu usia
kehamilan saat persalinan, berat lahir anak, tingkat pendidikan orang tua, dan jumlah
penghasilan orang tua tidak berpengaruh terhadap variabel terikat yaitu fungsi kognitif
anak (p > 0,05).
Tabel 3 menunjukkan usia kehamilan saat persalinan (usia gestasi), berat lahir anak, tingkat
pendidikan orang tua, jenis pekerjaan orang tua dan jumlah penghasilan orang tua tidak
berpengaruh terhadap lama menyusu (p > 0,05).
Pada Tabel 4 ada hubungan antara fungsi kognitif orang tua dan kualitas stimulasi terhadap
fungsi kognitif anak (p < 0,05), sedangkan usia orang tua dan paritas ibu tidak berhubungan
dengan fungsi kognitif anak (p > 0,05).
Hasil Tabel 5 menunjukkan distribusi frekuensi lama menyusu dan fungsi kognitif orang
tua dengan fungsi kognitif anak. Fungsi kognitif anak dan orang tua dikategorikan sangat
superior (skor 140-160), superior (skor 120-139), rata-rata atas (skor 110-119), rata-rata
(skor 90-109), rata-rata bawah (skor 84-89) dan perbatasan (skor 68-83).
Analisis chi square Tabel 6 menunjukkan bahwa setelah fungsi kognitif anak dikategorikan
normal dan tidak normal, ternyata lama menyusu menjadi tidak berpengaruh terhadap
fungsi kognitif anak (p > 0,05), namun fungsi kognitif orang tua berpengaruh terhadap
fungsi kognitif anak (p < 0,001).
Pada variabel lama menyusu pada penelitian ini terbukti mempengaruhi fungsi kognitif
anak. IQ anak menyusu ≥ 6 bulan lebih tinggi 8,84 poin dibandingkan yang menyusu < 6
bulan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian pendapat bahwa lama menyusu ≥ 6
bulan meningkatkan 6,6-9,8 poin skor fungsi kognitif dibandingkan dengan anak yang
menyusu < 6 bulan.(13) Penelitian yang lain menunjukkan anak-anak yang menyusu ≥ 6
bulan memiliki IQ lebih tinggi dengan 110 ± 10 dibandingkan dengan anak-anak menyusu
< 6 bulan yaitu 108 ± 1. Menyusu selama 6 bulan dapat meningkatkan 5,2 poin skor fungsi
kognitif anak. Ada hubungan yang signifikan antara lama menyusu dengan peningkatan IQ
verbal, performance, dan IQ total. Lama menyusu mempengaruhi secara signifikan fungsi
kognitif anak.
74
Pada variabel pengganggu penelitian ini, yaitu: usia kehamilan saat persalinan, berat lahir
anak, tingkat pendidikan orang tua, jenis pekerjaan orang tua dan jumlah penghasilan orang
tua pada penelitian ini terbukti tidak berpengaruh terhadap lama menyusu anak. Hasil ini
tidak sesuai dengan penelitian tentang lama menyusu dipengaruhi oleh status merokok ibu
selama kehamilan, tingkat pendidikan orang tua, jenis pekerjaan orang tua dan jumlah
penghasilan orang tua.
Hasil analisis multivariabel dengan analisis regresi linier menunjukkan bahwa lama
menyusu tetap konsisten mempengaruhi fungsi kognitif anak setelah dikontrol dengan
fungsi kognitif orang tua, kualitas stimulasi, berat lahir anak, tingkat pendidikan orang tua
dan jumlah penghasilan orang tua. Analisis regresi logistik pada penelitian ini
menunjukkan bahwa lama menyusu tetap mempengaruhi fungsi kognitif anak, walaupun
pengaruhnya menjadi kecil setelah dikontrol dengan fungsi kognitif orang tua serta faktor
lain.
Keterbatasan dalam survei ini adalah kemungkinan adanya recall bias pada komposit
pertanyaan awal mulai menyusui, umur pemberian makanan selain ASI dan jenis makanan
yang pernah diberikan selain ASI. Keterbatasan pertanyaan dalam kuesioner juga
mempengaruhi hasil survei karena kuesioner yang disusun merupakan kuesioner program
kegiatan di puskesmas yang merupakan hasil adaptasi dinas kesehatan setempat sehingga
tidak ada uji validitas terhadap kuesioner.
Namun, survei ini juga memiliki kelebihan yaitu keseluruhan ibu yang memiliki bayi usia
0-6 bulan diambil datanya sehingga hasil yang diperoleh merupakan gambaran yang
sebenarnya bukan angka estimasi cakupan pemberian ASI eksklusif di kota Malang karena
pengambilan data pada seluruh populasi.
Meskipun cakupan pemberian ASI eksklusif dari tahun 2011 sampai dengan 2013
meningkat, akan tetapi persentase ibu-ibu yang gagal memberikan ASI eksklusif masih
tinggi (31,3%). Persentase ibu yang pernah menyusui bayinya masih lebih rendah dari
target cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi di bawah usia 6 bulan yaitu 80%.
E. Kesimpulan
Dari hasil penelitian tentang tingkat pemberian ASI dalam orientasi Islam terhadap kognitif
anak usia 4 – 6 tahun di kota Malang, hanya 54% proporsi ibu yang lama memberikan ASI
Eksklusif pada bayinya lebih dari 4 bulan. Balita dengan riwayat tingkat pemberian ASI
Eksklusif tidak lebih dari 4 bulan mempunyai risiko 7,325 kali lebih besar untuk mengalami
perkembangan yang menyimpang dibandingkan dengan anak yang diberi ASI lebih dari 4
bulan.
Sehingga kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya hubungan antara tingkat pemberian
ASI Eksklusif terhadap kognitif anak usia 4 – 6 tahun di kota Malang. Hal tersebut
dikarenakan ASI Eksklusif merupakan salah satu faktor dalam menentukan tingkat
kecerdasan atau kognitif pada anak. Faktor lain yang juga berperan besar dalam
menentukan tingkat kecerdasan yaitu lamanya pemberian ASI itu sendiri, status gizi,
genetik, dan lingkungan.
Anak dengan lama menyusui ≥ 6 bulan mempunyai fungsi kognitif lebih tinggi daripada
anak dengan lama menyusui < 6 bulan. Pengaruh lama menyusui terhadap fungsi kognitif
75
anak tidak dipengaruhi oleh usia kehamilan saat persalinan, berat lahir anak, tingkat
pendidikan orang tua dan jumlah penghasilan orang tua. Sedangkan faktor-faktor lain yang
secara terpisah mempengaruhi fungsi kognitif anak pada penelitian ini adalah fungsi
kognitif orang tua dan kualitas stimulasi.
Berdasarkan tujuan dan hasil analisis sintesis dapat diperoleh beberapa kesimpulan bahwa
terdapat relevansi antara perspektif al-Qur’an tentang pemberian ASI dengan hasil
penelitian dalam sains modern. Hasil penelitian semakin mempertegas kebenaran firman
Allah dalam al-Qur’an. Selain itu, ASI lebih berpotensi daripada susu formula dalam
peningkatan kecerdasan anak karena kandungan Taurin, DHA, dan AA yang berperan
dalam pembentukan sel otak dan sinapsis penghubung antar saraf, serta adanya faktor
bifidus dan zat imunologik. Anjuran pemberian ASI selama dua tahun pertama berpengaruh
terhadap perkembangan otak pada dua tahun pertama setelah kelahiran karena
perkembangan otak optimal terjadi pada dua tahun pertama.
Oleh karena manfaat ASI yang begitu besar terhadap tingkat pertumbuhan dan kecerdasan
anak, maka perlu adanya penyuluhan untuk menganjurkan pemberian ASI secara eksklusif.
Tidak hanya itu, tapi juga perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai sumber daya alam
yang mampu meningkatkan produksi ASI terutama bagi ibu yang mengalami gangguan
produksi ASI setelah melahirkan karena ASI sangat dibutuhkan dalam peningkatan
kecerdasan anak.
Daftar Pustaka
Abdul, Bari. 2008. Buku Acuan Nasional Maternal dan Neonatal. Jakarta: JNPK.
Almatsier S. 2011. Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Arief, M. 2010. Pengantar Metodologi Penelitian Untuk Ilmu Kesehatan. Surakarta: UNS
Press.
Arikunto S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Arisman, MB. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
Balia, LR. 2008. Kebutuhan Nutrisi Anak Untuk Pertumbuhan dan Perkembangannya.
Bandung: KKNM UNPAD.
Dedi, Mutadi. 2006. Gizi Untuk Bayi Air Susu Ibu, Susu Formula dan Makanan Tambahan.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Depkes RI. 2007. Pedoman Deteksi Dini dan Stimulasi Dini Tumbuh Kembang Balita di
Tingkat Pelayanan Kesehatan
Hegar, B. 2010. Nilai Menyusui, dalam Indonesia Menyusui. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Husdarta dan Nurlan. 2010. Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak. Yogyakarta: Andi Publisher.
Kusmayadi. 2011. Membongkar Kecerdasan anak (Mendeteksi Bakat dan Potensi Anak Sejak
Dini). Jakarta: Gudang Ilmu.
Maulana, Mirza. 2009. Seluk Beluk Merawat Bayi & Balita. Jogjakarta: Garailmu.
Purwanti S, Hubertin. 2004. Konsep Penerapan ASI Eksklusif. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Roesli, Utami, 2000. Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta: Pustaka Pembangunan Swadaya
Nusantara.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Vol.
1. Jakarta: Lentera Hati.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor – faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Soedjatmiko. 2009. Cara Praktis Membentuk Anak Sehat, Tumbuh Kembang Optimal, Kreatif
dan Cerdas Multipel. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suradi R. 2008. Manfaat ASI & Kerugian Susu Formula. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Tujuan Penelitian Untuk melihat pengaruh tingkat pemberian ASI dalam orientasi Islam
terhadap kognitif anak usia 4 – 6 tahun di kota Malang.
Subjek Penelitian Anak usia 5 tahun, status gizi balita baik (diukur menggunakan program
WHO Child Growth Standard 2006), lingkungan baik, riwayat penyakit
kronis tidak ada, anak diasuh oleh ibu sendiri/ ibu kandung, ibu
mengetahui riwayat anak dalam pemberian ASI Eksklusif
Metode penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik dengan
menggunakan pendekatan cross sectional secara deskriptif atau dengan
kata lain penelitian ini menggunakan jenis penelitian korelasional
(correlational research). Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini
diambil dengan teknik cluster random sampling. Sedangkan sampel
sumber data dipilih secara purposive dan bersifat snowball sampling.
Instrumen pengumpulan data untuk menilai tingkat pemberian ASI yaitu
kuesioner pemberian ASI serta biodata orang tua dan anak. Untuk menilai
tingkat kecerdasan dilakukan tes IQ dengan instrumen tes WPPSI
(Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence) yang dilakukan
oleh psikolog. Analisis data pada penelitian ini adalah data kuantitatif dan
kualitatif.
Definisi Perkembangan Kognitif anak (Perkembangan kognitif anak menunjukkan
Operasional perkembangan dari cara berpikir anak. Ada faktor yang mempengaruhi
Variabel perkembangan tersebut. Faktor yang mempengaruhi perkembangan
Dependent kognitif menurut Piaget bahwa “pengalaman yang berasal dari lingkungan
dan kematangan, keduanya mempengaruhi perkembangan kognitif anak”.
Sehingga perkembangan kognitif dipengaruhi oleh pertumbuhan sel otak
dan perkembangan hubungan antar sel otak.
78
e-mail:
aviyanni05@gmail.com, izaatinkamala@gmail.com,
assingkily27@gmail.com, rahmazahra2705@gmail.com
Abstract: This study aims to determine (1) intellectual abilities of mentally retarded children in
Demakijo State Elementary School (SD) 2 inclusive schools, (2) Obstacles faced by teachers when
teaching at Demaijo State Elementary School 2, (3) Teachers' efforts in dealing with intellectual
abilities of mentally retarded children in Demakijo State Elementary School 2. The type of approach
used in this study is qualitative research with a survey method. Data collection techniques used were
through observation and interviews with research subjects one mild retarded grade 1 student at
Demakijo State Elementary School 2. The results of the intelligence test with the Wechsler
Intelligence Scale For Children (WISC) obtained the results obtained scores of 57 Verbal IQ scores
included in the IQ score of 57 Mental Retardation category. IQ Performance Score 55 included in the
Mental Retardation category. With the total IQ obtained is 55 included in mental retardation. Based
on the analysis results contained in the table in general, mild mental retardation children are difficult
to manage and do not do the work. Efforts made by teachers when experiencing difficulties in
understanding the lessons conveyed by children with mild mental retardation AD is to provide
personal guidance, ask questions and answer, and several times be assertive.
e-mail:
aviyanni05@gmail.com, izaatinkamala@gmail.com,
assingkily27@gmail.com, rahmazahra2705@gmail.com
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) kemampuan intelektual anak tunagrahita di sekolah
inklusi Sekolah Dasar (SD) Negeri Demakijo 2, (2) Hambatan yang dihadapi guru ketika mengajar di SD Negeri
Demaijo 2, (3) Upaya guru dalam menangani kemampuan intelektual anak tunagrahita di SD Negeri Demakijo
2. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitataif dengan metode penelitian
82
adalah metode survei. Teknik pengumpulan data yang digunakanya itu melalui observasi dan
wawancara dengan subjek penelitian satu anak tunagrahita ringan kelas 1 SD Negeri Demakijo 2. Hasil dari tes
intelegensi dengan Wechsler Intelligence Scale For Children (WISC) mendapatkan hasil skor yang
didapatkan yaitu skor IQ Verbal 57 yang termasuk dalam kategori Retardasi Mental. Skor IQ Performance 55
yang termasuk dalam kategori Retardasi Mental. Dengan jumlah IQ total yang didapatkanya itu 55 termasuk
dalam Retardasi mental. Berdasarkan hasil analisis yang terdapat pada tabel secara umum anak tunagrahita
ringan susah diatur dan tidak mengerjakan tugas. Upaya yang dilakukan guru ketika mengalami kesulitan dalam
memahamkan pelajaran yang disampaikan anak tunagrahita ringan AD ialah dengan memberikan bimbingan
pribadi, melakukan tanyajawab, serta beberapa kali bersikap tegas.
PENDAHULUAN
Anak Berkebutuhan Khusus atau sering disebut ABK menurut Kementerian Pemberdayaan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia adalah “anak yang mengalami keterbatasan atau keluarbiasaan
baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional yang berpengaruh secara signifikan dalam proses
pertumbuhan atau perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak yang seusianya.” Jumlah data ABK
terbaru yang ada di Indonesia telah tercatat mencapai 1.544.184 anak dengan rincian 21,42% anak atau
sekitar 330.764 berada dalam usia 5-18 tahun. Namun dari jumlah tersebut, tidaks emua ABK merasakan
bangku sekolah. Hanya sekitar 85.737 ABK yang bersekolah sedangkan sekitar 245.027 ABK belum
mengenyam pendidikan di sekolah baik sekolah khusus atau sekolah inklusi (Dinie, 2016). Menurut
perkiraan World Health Organization (WHO) jumlah dari anak retardasi mental di Indonesia sekitar 7-
10% dari total jumlah anak (Syukrianti Syahda dan Mazdarianti, 2016).
Aziza Meria: (2015) menjelaskan pengertian tunagrahita yang umum digunakan di Indonesia untuk anak-
anak ABK atau dengan kata lain retardasi mental (keterbelakangan mental). Golongan anak retardasi
mental adalah seseorang yang memiliki IQ di bawah rata-rata (kurang dari 70). Prevalensi retardasi mental
1% dimana prevalensi lebih tinggi pada anak-anak dan remaja. Untuk jumlah penderita retardasi mental
di Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 9.251 orang pada tahun 2010 (Bunga Astria Paramashanti, 2016).
Tunagrahita sendiri dapat diklasifikasikan menjadi empat yakni tunagrahita ringan yang memiliki IQ 10-
55, tunagrahita sedang dengan IQ 55- 40, tunagrahita berat dengan IQ 40- 25, serta tunagrahita berat sekali
dengan IQ < 25. Definisi tunagrahita dirumuskan oleh Grossman (dalam Dinie, 2016) yang digunakan
AAMD (American Association on Mental Deficiency) yaitu “Mental retardaction refers to
significantly subaverage general intellectual functioning resulting in or adaptive behavior and
manifested during the developmental period”. Maksudnya tunagrahita merujuk pada fungsi
intelektual umum secara nyata berada di bawah rata-rata bersamaan dengan kekurangan tingkah laku
dalam penyesuaian diri dan berlangsung selama masa perkembangannya.
Untuk mendukung perkembangan anak tuagrahita baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun
psikomotoriknya dibutuhkan pendidikan khusus sesuai kebutuhan. Berdasarkan kebijakan pemerintah
dalam konteks kesetaraan pendidikan maka dibentuk sekolah inklusif. Pendidikan inklusi menyuguhkan
pendidikan dengan memberikan kesempatan pada semua peserta didik tanpa memandang perbedaan fisik,
intelektual, kemampuan, kedisabilitasan, dan sebagainya dalam rangka belajar bekerjasama menggali
kemampuan dan keterampilan (Sulthon, 2018).
83
METODE
Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitataif. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu observasi secara langsung oleh sample yang akan dituju serta
beberapa pihak yang terlibat. Menurut Prastowo yang dimaksud dengan penelitian kualitatif yaitu “
metode penelitian yang sistematis yang digunakan untuk mengkaji atau meneliti suatu objek pada latar
alamiah, tanpa ada manipulasi di dalamnya dan tanpa ada pengujian hipotesis dengan metode-metode
alamiah yang mana hasil penelitian yang diharapkan bukanlah generalisasi berdasarkan ukuran-ukuran
kuantitas, namun makna (segi kualitas) dari fenomena yang diamati” (Prastowo, 2018).
Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri Demakijo 2 yang terletak di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1 anak tunagrahita ringan kelas
1 SD serta guru kelas 1. Untuk pengumpulan data digunakan teknik observasi, wawancara, dan
dokumentasi. Penelitian ini menggunakan satu variabel yaitu anak tunagrahita ringan (X1) dan
kemampuan intelektual (Y) di SD Negeri Demakijo 2. Kemampuan intelektual anak tunagrahita dalam
84
penelitian ini diukur berdasarkan hasil dari psikolog serta observasi langsung oleh peneliti
dengan melihat proses pembelajaran yang ada di dalam kelas. Populasi dalam penelitian ini adalah satu
anak tunagrahita ringankelas 1 SD Negeri Demakijo 2. Sampel yang dipilih dalam penelitian ini yaitu
dengan cara survey terlebih dahulu oleh data sekolah yang ada di daerah Yogyakarta yang termasuk
sekolah inklusi serta survei melalui beberapa guru yang ada di sekolah terkait siswa yang termasuk
tunagrahita ringan.
Berdasarkan hasil analisis verbal dan performance yaitu AD dalam aspek kemampuan verbal menyerap
informasi sangat kurang, kemampuan dalam konteks pemahaman masuk dalam kategori kurang,
kemampuan dalam memahami konsep hitungan sangat kurang, serta konsentrasi ingatan masuk dalam
kategori sangat kurang. Sedangkan dalam Performance aspek kemampuan mengidentifikasi visual dan
ketelitian masuk dalam kategori kurang, aspek analisis sintesis dan berpikir abstrak masuk dalam kategori
sangat kurang, serta visio motorik mask dalam kategori sangat kurang. Jadi, untuk benang merah dalam
konteks analisis verbal dan performance apabila dirata-rata masuk dalam kategori sangat kurang.
Tabel 3. Hasil Analisis Perkembangan Kognitif di dalam Kelas (berdasarkan observasi dan wawancara)
Perkembangan Hasil Uraian Analisis Keterangan
Kognitif
Membaca AD dalam membaca perintah yang ditulis oleh Tercapai
guru di papan tulis bisa. Akan tetapi dalam
memahami maksud perintah itu masih belum
bisa. Misalnya pada saat guru menyuruh peserta
didik untuk menempelkan serpihan daun/
mozaik dari daun ked alam kotak. Setiap kotak
disuruh mengisi 10, akan tetapi Ad dalam
menaruh serpihan itu tidak sesuai dengan
perintah. Ada yang berlebihan hingga
bertumpuk. Ada pula yang kurang karena
serpihan yang diapilih terlalu besar. Ketika
ditanya, dia tahu disuruh mengisi sebanyak 10
tetapi pada kenyataannya tidak sesuai perintah
dia melaksanakannya.
86
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan di dalam kelas ternyata sama halnya dengan hasil analisis yang
dilakukan oleh psikolog. Hal ini dibuktikan bahwa dalam hal membaca, berhitung, menulis, serta tindakan
lainnya AD masuk dalam kategori kurang dalam hal verbal maupun performance-nya.
pada jenjang menengah menitikberatkan pada keterampilan yang dapat menjadi salah satu
pilihan pekerjaan di masa dewasanya kelak.
Namun jika AD memilih untuk tetap di sekolah umum, maka pembelajaran yang diberikan hendaknya
disesuaikan dengan kemampuannya. Pembelajaran yang diberikan hendaknya juga bersifat aplikatif atau
diambil dari hal-hal di lingkungannya serta dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. AD sebaiknya
juga mempunyai KKM tersendiri, sehingga dapat terus naik kelas. Penerimaan terhadap kemampuan anak,
serta fokus pada peningkatan kemampuan di luar akademik, merupakan langkah awal yang harus diambil.
Komunikasi dengan anak juga harus dijalin dengan baik, sehingga orangtua dapat mengetahui berbagai
peristiwa yang terjadi di sekolah, baik dengan teman maupun guru. Anak selalu dibimbing agar dapat
mengatasi dan menghadapi berbagai persoalan yang terjadi di sekolah, karena akan menjadi bekal dalam
menghadapi berbagai persoalan di masyarakat yang lebih luas. Selain itu dalam pembelajaran dapat
diberikan dengan lebih menyenangkan sehingga tidak timbul persepsi bahwa belajar adalah hal yang sulit;
serta ditekankan, bahwa belajar merupakan kebutuhan anak yang akan diperlukan di masa depan. b.
Hambatan Yang Dialami oleh Guru.
Guru kelas dalam menangani anak tunaghrahita ringan mengalami hambatan dalam menyampaikan
pelajaran. Dalam hal ini dikarenakan tidak adanya guru pendamping khusus yang membantu dalam
memahamkan materi yang sedang diajarkan. Selain itu, di dalam kelas tersebut kebetulan juga terdapat
anak berkebutuhan khusus lainnya, maka dari itu beliau hanya dapat membagi kemampuan pengkondisian
kelas sesuai dengan kemampuannya.
Hasil wawancara dengan wali kelas 1 SD Negeri Demakijo 2 yaitu:
"Umur AD 9 tahun, bapaknya namanya SB, Guyangan RT 08, RW 03, Donotirto Gamping, Pendidikan
SD, pekerjaan buruh, Ibunya SM, pendidikan SD, pekerjaan Ibu rumahtangga. Di sekolah jarang nulis,
kalau saya dekati atau sayakan dengan ku mau nulis tetap hanya bertahan sebentar, terus ngumpet di bawah
meja atau jalan-jalan di sekitarnya, atau main pensil, buku atau apalah itu, tetapi kalau disuruh gambar yo
selesai, kalau ada teman yang njahili dia marahmarah, hentak-hentakan kakinya, saya dekati pelan-pelan
baru mau diam terus mau duduk kembali, untuk nilai harian rata-rata blong, tetapi kalau ada PR sering
diajari orang tuanya, lho ini pas pelajaran di rumah dia dapat nilai, karena ibunya byatlaten, anaknya cuma
itu, kalau di SD memang sanya kurang telaten, dan itu perlu sekali pendamping". (Suwarni, S.Pd.,
wawancara, 8 April 2020).
Guru sering kali mendekati AD agar mau mengerjakan tugas yang diberikan. Selain itu guru kelas juga
seringkali membantu menyelesaikan tugas yang diberikan. Namun, terkadang guru kelas bersikap tegas
ketika AD berjalanjalan keluar kelas maupun berkeliling kelas atau mainan.
c. Upaya Yang Digunakan oleh Guru untuk Meningkatkan Keterampilan
Intelektual AnakTunagrahita Ringan.
Upaya yang dilakukan guru ketika mengalami kesulitan dalam memahamkan pelajaran yang disampaikan
anak tunagrahita ringan AD ialah dengan memberikan bimbingan pribadi seperti mendekati AD dan
membantu perlahan agar AD dapat paham maksud yang diminta dari tugas yang diberikan.
Namun, sesekali guru kelas bersikap tegas karena AD kurang fokus serta tidak memperhatikan perintah
yang diminta oleh guru kelas.
Guru memberikan instruksi baik melalui lisan atau perbuatan kepada AD saat berlangsungnya kegiatan
belajar mengajar. Guru kelas menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh AD. Seringkali guru kelas
melakukan tanyajawab dengan AD agar memancing pemahaman AD.
88
2. Pembahasan
Dari hasil penelitian yang telah didapatkan serta dari paparan hasil observasi dan wawancara yang
diperoleh, maka peneliti mendapatkan gambaran anak tunagrahita ringan di SD Negeri Demakijo 2 di
kelas. Peneliti mendapatkan gambaran terkait AD terhadap proses belajar di dalam kelas, hambatan yang
diperoleh guru kelas dalam menghadapi AD anak tunagrahita ringan, serta upaya yang dilakukan guru
kelas dalam menghadapi anak tunagrahita ringan. Di bawah ini merupakan pembahasan mengenai hasil
penelitian yang telah dilakukan: a. Deskripsi Tentang Kemampuan Intelektual Yang Terjadi Pada AD.
Hasil dari tes intelegensi dengan WISC mendapatkan hasil bahwa AD termasuk dalam anak tunagrahita
ringan dengan skor yang didapatkan yaitu skor IQ Verbal 57 yang termasuk dalam kategori Retardasi
Mental. Untuk skor IQ Performance 55 yang termasuk dalam kategori Retardasi Mental. Dengan jumlah
IQ total yang didapatkan yaitu 55 termasuk dalam Retardasi mental. Berbeda dengan kondisi anak normal,
anak tunagrahita secara nyata mengalami hambatan serta keterbelakangan perkembangan mental
intelektual di bawah rata-rata sehingga mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik
(Dinie, 2016).
Penjabaran yang diberikan oleh pihak psikolog yaitu AD mungkin akan mengalami hambatan yang sangat
besar dalam belajar dikarenakan kemampuan verbal (menyerap informasi, pemahaman berhitung,
konsentrasi) serta kemampuan performance (ketelitian, berfikir abstrak, visiomotorik) yang kurang. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa AD dalam hal membaca, menulis, bahkan berhitung masih mengalami
kesulitan atau lebih tepatnya adalah kurang fokus dalam hal bernalar. Hal itu sesuai dengan pendapat
Josephine (2016) bahwa beberapa karakteristik umum anak retardasi mental yaitu kurangnya pengetahuan
umum, kurang baiknya keterampilan membaca dan berbahasa, kesulitan dalam memahami gagasan yang
abstrak, kesulitan dalam melakukan generalisasi, serta rendahnya keterampilan motorik. Selain itu,
penelitian Fariz (2017) terhadap anak tunagrahita ringan atau retardasi mental ringan mengalami kesulitan
dalam yang bersifat konkrit yang ada hubungannya dengan kemampuan bernalar misalnya berhitung.
b. Hambatan Yang Dialami Guru KetikaMenghadapi Anak TunagrahitaRingan Di Kelas.
Berdasarkan hasil analisis yang terdapat pada tabel secara umum anak tunagrahita ringan susah diatur dan
tidak mengerjakan tugas. Dengan demikian, sangat diperlukan guru pendamping khusus karena untuk
mengkondisikan kelas dengan berbagai macam karakteranak yang berbeda ditambah dengan harus
memahami kondisi dari anak tunagrahita ringan sangat membutuhkan tenaga yang ekstra.
Adanya keterhambatan dalam konteks intelektual, maka anak tunagrahita membutuhkan bimbingan yang
lebih baik dari pihak guru maupun orangtua. Hal ini karena dalam proses pembelajaran, anak tunagrahita
tidak dapat langsung menangkap maksud dari konsep yang disampaikan. Selain itu, terkadang anak
tunagrahita ringan di dalam kelas menjadi tidak tertarik dalam hal menulis ataupun membaca. Pikiran yang
ada dalam benak mereka nampak kosong.
Anak tunagrahita atau anak retardasi mental merupakan salah satu jenis anak berkebutuhan khusus yang
condong terhadap disabilitas intelektual. Dalam hal ini proses pembelajaran tidak seperti layaknya anak
normal pada umumnya. Anak tunagrahita memiliki keterlambatan dan keterbatasan dalam perkembangan
mentalnya, sehingga mereka mengalami kesulitan untuk merawat diri sendiri serta cenderung bergantung
dengan lingkungan sekitar terutama orangtua (Irma, 2017).
Berdasarkan tinjauan bidang akademik, anak yang berkebutuhan khusus mengalami kesulitan dalam
memahami penjelasan yang disampaikan oleh guru. Kesulitan dalam belajar ditunjukkan ketika anak
89
mengalami kebingungan dalam menjawab soal-soal yang mengakibatkan anak tersebut tidak
menuliskan jawabannya pada buku latihan sama sekali (Agung, 2017).
c. Upaya yang Dilakukan Guru untuk Meningkatkan Kemampuan Intelektual Anak Tunagrahita Ringan.
Dalam mengatasi hambatan dalam menangani anak tunagrahita ringan di SD Negeri Demakijo 2 Kelas 1,
peran dari seorang guru sangatlah besar. Upaya yang dilakukan guru ketika mengalami kesulitan dalam
memahamkan pelajaran yang disampaikan anak tunagrahita ringan AD ialah dengan memberikan
bimbingan pribadi seperti mendekati AD dan membantu perlahan agar AD dapat paham maksud yang
diminta dari tugas yang diberikan. Guru sering melakukan tanya-jawab terhadap AD untuk memancing
pemahaman yang didapatkan dari pelajaran yang telah dipelajari. Namun, sesekali guru kelas bersikap
tegas karena AD kurang fokus serta tidak memperhatikan perintah yang diminta oleh guru kelas.
Guru memberikan instruksi baik melalui lisan atau perbuatan kepada AD saat berlangsungnya kegiatan
belajar-mengajar. Guru kelas menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh AD. Seringkali guru kelas
melakukan tanya-jawab dengan Ad agar memancing pemahaman AD.
Salah satu komponen manajemen pendidikan inklusif yaitu manajemen tenaga pendidik. Kompetensi yang
harus dimiliki oleh guru inklusif yaitu menyusun instrumen penilaian pendidikan khusus, melakukan
pendampingan untuk pendidikan kebutuhan khusus, memberikan bantuan layanan khusus, memberikan
bimbingan berkesinambungan terhadap siswa berkebutuhan khusus, serta memberikan bantuan kepada
siswa berkebutuhan khusus (Sumarni, 2019).
Monitoring diri oleh guru kelas yang mengampu anak regular dengan anak berkebutuhan khusus sangat
penting dilakukan. Tuntutan akan kompetensi kompleks dalam manajemen kelas, bekerja sangat
terstruktur, konsisten, serta memberikan penguatan terhadap anak didiknya merupakan peran yang harus
dilaksanakan oleh guru kelas yang mengampu anak regular dengan anak berkebutuhan khusus dalam satu
kelas. Guru yang memiliki pemahaman mendalam terkait anak berkebutuhan khusus dalamp engelolaan
kelas cenderung lebih aktif. Pemahaman yang mendalam oleh guru akan berdampak positif terhadap anak
berkebutuhan khusus. Begitupun sebaliknya apabila pemahaman guru yang kurang akan berdampak
negatif terhadap anak berkebutuhan khusus. Maka dari itu persepsi guru sangat mempengaruhi arah
pembelajaran di dalam kelas (Luh Ayu, 2017).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dari rumusan masalah yang telah diteliti maka kesimpulan dari penelitian ini
bahwa hasil dari tes intelegensi dengan WISC mendapatkan hasil bahwa AD termasuk dalam anak
tunagrahita ringan dengan skor yang didapatkanya itus kor IQ Verbal 57 yang termasuk dalam kategori
Retardasi Mental. Untuk skor IQ Performance 55 yang termasuk dalam kategori
Retardasi Mental. Dengan jumlah IQ total yang didapatkanya itu 55 termasuk dalam Retardasi mental.
Berdasarkan hasil analisis yang terdapat pada tabel secara umum anak tunagrahita ringan susah diatur dan
tidak mengerjaka ntugas. Sehingga dibutuhkan guru pendamping khusus untuk mengkondisikan kelas
dengan berbagai macam karakter anak yang berbeda ditambah dengan harus memahami kondisi dari anak
tunagrahita ringansangat membutuhkan tenaga yang ekstra.
Sedangkan untuk mengatasi hambatan dalam menangani anak tunagrahita ringan di dalam kelas, peran
dari seorang guru sangatlah besar. Upaya yang dilakukan guru ketika mengalami kesulitan dalam
memahamkan pelajaran yang disampaikan anak tunagrahita ringan AD ialah dengan memberikan
bimbingan pribadi seperti mendekati AD dan membantu perlahan agar AD dapat paham maksud yang
90
diminta dari tugas yang diberikan. Guru sering melakukan tanyajawab terhadap AD untuk
memancing pemahaman yang didapatkan dari pelajaran yang telah dipelajari. Namun, sesekali guru kelas
bersikap tegas karena AD kurang fokus serta tidak memperhatikan perintah yang diminta oleh guru kelas.
REFERENSI
Ardha, Ray Yulia. (2017). Keterampilan Sosial Anak Tunagrahita Ringan Di Sekolah Dasar Inklusi.
JASSI_anakku, Vol. 18, No. 2.
Arfani, Fariz Riza. (2017). Pengaruh Penggunaan Multimedia Interaktif Berbasis Adobe FlashTerhadap
Peningkatan Prestasi Belajar Tema 5 Anak Tunagrahita Ringan Kelas V Di SLB Negeri Surakarta
Tahun Pelajaran 2016- 2017. IJDS, Vol. 4, No. 1, pp.1-8, ISSN: 2355- 2158.
Desiningrum, Dinie Ratri. (2016). Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Psikosain.
Meria, Aziza. (2015). Model Pembelajaran Agama Islam Bagi Anak Tunagrahita di SDLB YPPLB Padang
Sumatera Barat. Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islam, Vol.11, No.2., DOI:
http://dx.doi.org/10.21111/ tsaqafah.v11i2.273..
Paramashanti, Bunga Astria, dkk. (2016). Dukungan Keluarga Berhubungan dengan Asupan Energi Anak
Retardasi Mental di SLB Negeri 01 Kabupaten Bantul. Journal Ners And Midwifery Indonesia,
Vol. 4, No. 3. ISSN 2354-7642. DOI: http://idx.doi.org/10.21927/jnkl.2016.4(3).163-168.
Prastowo, Andi, dkk. (2018). Pedoman Penulisan Skripsi. Yogyakarta: PGMI Press UIN SUKA.
Purnomo, Josephine Clarissa & Ika Febrian Kristiana. (2016). Hubungan Antara Dukungan Sosisal Suami
Dengan Stres Pengasuhan Istri Yang Memiliki Anak Retardasi Mental Ringan dan Sedang. Jurnal
Empati, Vol. 5 (30, 507- 512.
Raisasari, Irma Ivonita, dkk. (2017). Faktor-Faktor yang berhubungan dengan praktik ibu dalam personal
hygiene anak retardasi mental di Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri Semarang. Jurnal
Kesehatan Masyarakat (e- Journal), Vol.5, No.3.
Riadin, Agung, dkk. (2017). Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus Di Sekolah Dasar Negeri (Inklusi)
Di Kota Palangkaraya. Anterior Jurnal, Vol.17 Issue 1, p-ISSN:1412-1395; e-ISSN: 2355-3529.
Sulthon. (2018). Model Pelayanan Pendidikan Inklusi di Madrasah: Studi Kasus di Madrasah Ibtidaiyah
Ibtidaul Falah Dawe-Kudus. Al-Bidayah: Jurnal Pendidikan Dasar Islam, Vol. 10, No. 02, P-
ISSN: 2085-0034, E-ISSN: 2549-3388.
Sumarni. (2019). Pengelolaan Pendidikan Inklusif di Madrasah. Edukasi: Jurnal Penelitian Pendidikan
Agama dan Keagamaan, Vol. 17, No. 2, p-ISSN: 1693- 6418, e-ISSN: 2580- 247X.
Syahda, Syukrianti & Mazdarianti. (2016). Hubungan Dukungan Keluarga Terhadap Kemandirian Anak
Retardasi Mental di SDLB BangkinangTahun 2016. Jurnal Basicedu, Vol.2, No.1, ISSN 2580-
3735, e-ISSN 2580-1147.
Tirtayani, Luh Ayu. (2017). Upaya Pendampingan Anak Berkebutuhan Khusus Pada Lembaga-Lembaga
PAUD Di Singaraja, Bali. Proyeksi, Vol. 12(2) ISSN:1907-8455.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Disabilitas.
91
4. Populasi dalam penelitian ini adalah satu anak tunagrahita ringan kelas
1 SD Negeri Demakijo 2.
5. Sampel yang dipilih dalam penelitian ini yaitu dengan cara survey
terlebih dahulu oleh data sekolah yang ada di daerah Yogyakarta yang
termasuk sekolah inklusi serta survei melalui beberapa guru yang ada
di sekolah terkait siswa yang termasuk tunagrahita ringan.
Hasil Penelitian 1. Berdasarkan data hasil wawancara guru kelas, salah satu anak yang
termasuk kedalam kategori anak berkebutuhan khusus tunagrahita
ringan merupakan salah satu anak yang dipindahkan dari SD Negeri
Demakijo 1. Sesuai penjelasan guru kelas bahwa anak tersebut pada
awalnya disekolahkan oleh kedua orang tuanya di SD Negeri Demakijo
1 namun karena tidak dapat mengikuti maka oleh pihak sekolah
diminta anak tersebut untuk pindah dari sekolah tersebut.
2. Hasil tes intelegensi dengan WISC menyatakan bahwa AD
mendapatkan skor IQ Verbal 57 yang termasuk dalam kategori
Retardasi Mental. Skor IQ Performance 55 yang termasuk dalam
kategori Retardasi Mental.
3. Berdasarkan hasil analisis verbal dan performance yaitu AD dalam
aspek kemampuan verbal menyerap informasi sangat kurang,
kemampuan dalam konteks pemahaman masuk dalam kategori kurang,
kemampuan dalam memahami konsep hitungan sangat kurang, serta
konsentrasi ingatan masuk dalam kategori sangat kurang. Sedangkan
dalam Performance aspek kemampuan mengidentifikasi visual dan
ketelitian masuk dalam kategori kurang, aspek analisis sintesis dan
berpikir abstrak masuk dalam kategori sangat kurang, serta visio
motorik mask dalam kategori sangat kurang. Jadi, untuk benang merah
dalam konteks analisis verbal dan performance apabila dirata-rata
masuk dalam kategori sangat kurang.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dari rumusan masalah yang telah diteliti maka
kesimpulan dari penelitian ini bahwa hasil dari tes intelegensi dengan
WISC mendapatkan hasil bahwa AD termasuk dalam anak tunagrahita
ringan dengan skor yang didapatkanya itus kor IQ Verbal 57 yang
termasuk dalam kategori Retardasi Mental. Untuk skor IQ Performance 55
yang termasuk dalam kategori Retardasi Mental. Dengan jumlah IQ total
yang didapatkanya itu 55 termasuk dalam Retardasi mental. Berdasarkan
hasil analisis yang terdapat pada tabel secara umum anak tunagrahita
ringan susah diatur dan tidak mengerjaka ntugas. Sehingga dibutuhkan
guru pendamping khusus untuk mengkondisikan kelas dengan berbagai
macam karakter anak yang berbeda ditambah dengan harus memahami
kondisi dari anak tunagrahita ringansangat membutuhkan tenaga yang
ekstra.
93
ABSTRAK
Sekolah Dasar (SD) merupakan jenjang lanjutan pendidikan formal dasar setelah taman kanakkanan/
pendidikan anak usia dini “PAUD”. Dua hal penting yang saling memiliki keterkaitan dalam persiapan
pendidikan anak di sekolah dasar, yakni kematangan masuk sekolah (school maturity dan kesiapan masuk
sekolah (school readiness). Kematangan meliputi pertumbuhan fisik sedangkan kesiapan terkait
kualitas/keterampilan individu yang disebabkan oleh kematangan dan proses belajar. Variabel Y dalam
penelitian ini adalah kesiapan masuk sekolah dasar dan variabel X adalah inteligensi (IQ). Penelitian
bersifat deskriptif dan kuantitatif yang artinya penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis dan
menggambarkan hasil hubungan antara variabel kesiapan masuk SD dengan Inteligensi anak. Subyek
penelitian ini adalah calon siswa sekolah dasar dan Madrasah ibtidaiyah baik negeri maupun swasta di
Jawa Timur dengan jumlah 295 calon siswa dengan teknik purposive sampling. Alat pengumpul data
adalah dokumen hasil tes CPM, dan NST calon siswa. Hasil analisa Korelasi Pearson dengan
menggunakan bantuan program SPSS menunjukan hasil rxy= 0,342 dan p= 0,000, artinya hipotesis
diterima. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara inteligensi dengan kesiapan masuk
sekolah dasar.
ABSTRACT
Primary school is the advanced stage of formal basic education after completing kindergarten/ early
childhood education. The two crucial things that correlate with children’s preparation in primary school
are: school maturity and school readiness. Maturity encompasses physical growth while readiness related
to individual’s quality/creativity which is caused by maturity and learning process. The variable Y in this
research is primary school readiness and variable X is Intelligence Quotient (IQ). This research aims to test
hypothesis and to describe result of the correlation between primary school readiness and children’s
intelligence the so-called descriptive quantitative research. Subject of this research is prospective students
of primary school and Madrasah Ibtidaiyah for both public and private schools in East Java Province with
295 prospective students in total by using purposive sampling technique. Data collection tools are
document of CPM test and prospective students’ NST results. Result from Pearson’s Correlation Analysis
using SPSS Program, are rxy = 0,342 and p=0,000 which means hypothesis accepted.
PENDAHULUAN
Perkembangan merupakan sifat kodrati manusia, artinya setiap manusia akan mengalami perubahan
sepanjang kehidupan dari bertemunya sel sperma dari laki-laki dan sel telur dari perempuan menjadi janin
dalam kandungan seorang ibu. (Fatimah, 2010). Sedangkan menurut Santrock, (2002) Perkembangan
adalah gerakan/perubahan organisme memiliki pola tertentu dimulai dari pembuahan dan terus akan
berlanjut sepanjang siklus kehidupan sehingga dapat diprediksi kwalitas kehidupan selanjutnya, dan setiap
tahap perkembangan meliputi keuntungan dan
kerugian yang berinteraksi secara dinamis sepanjang rentang siklus kehidupan.
Masa anak-anak merupakan salah satu tahapan perkembangan manusia, yaitu antara paska periode
masa bayi (usia sejak dilahirkan hingga 24 bulan) dengan masa remaja. Pada tahap perkembangan anak-
anak terbagi dua periode, yaitu: periode awal anak-anak serta anak tengah dan akhir anak-anak. Pada
periode awal anak-anak ditandai dengan berakhirnya masa bayi hingga usia 5 atau 6 tahun disebut periode
pra-sekolah. Selanjutnya periode tengah dan akhir anak-anak, yakni rentang usia antara 6 tahun hingga 11
tahun, dan disebut periode anak sekolah dasar (Santrock, 2002). Sedangkan menurut Papalia, Old &
Feldman (2010) mengatakan masa anak terbagi menjadi tiga yaitu masa tiga tahun awal (pasca kelahiran
hingga menjelang usia 3 tahun), masa awal kanakanak yang disebut dengan masa pra-sekolah (mulai usia
3 tahun sampai dengan 6 tahun)/ dan masa
pertengahan anak-anak disebut masa sekolah dasar (usia 6/7 sampai dengan 11/12 tahun)
Sekolah Dasar (SD) adalah lembaga pendidikan format dasar yang merupakan perwujudan dari
kebijakan wajib belajar 9 tahun (SD dan SMP), merupakan hak setiap warga, dan dilindungi oleh undang-
undang. Sekolah Dasar (SD) adalah lembaga pendidikan formal dasar setelah mengikuti pendidikan di
taman kanak-kanan dan atau pendidikan usia dini “PAUD”. Berdasarkan peraturan menteri pendidikan
nasional republik Indonesia nomor 19 tahun 2007 tentang kebijakan dalam penerimaan siswa baru SD usia
minimal 6 tahun dan dibawah usia 6 tahun dilakukan atas dasar rekomendasi tertulis dari pihak yang
berkompeten, seperti konselor sekolah/ psikolog. Artinya setiap lembaga pendidikan sekolah dasar dalam
proses penerimaan peserta didik SD wajib merima tanpa melalui tes masuk dan lebih memprioritaskan
anak-anak yang berusia 6/7 tahun tanpa diskriminasi kondisi kemampuan calon siswa. Namun
mempertimbangkan tumbuh kembang anak dalam persiapan masuk sekolah dasar. kurang lebih 30% calon
siswa masih berusia dibawah 6.6 tahun telah didaftarkan sebagai siswa sekolah dasar (LPOA. 2015)
Menurut Edia (2012) dua hal penting yang memiliki keterkaitan yang kuat dalam mempersiapkan
anak sebelum masuk sekolah dasar, yakni; kematangan masuk sekolah (school
maturity), yang terkait dengan pertumbuhan fisik, seperti; tulang, otot, neuron dll dengan kesiapan masuk
sekolah (school readiness), terkait dengan keahlian atau kemampuan tertentu. Menurut Mariyati dan
Afandi, (2016) kesiapan anak masuk SD adalah ketrampilan yang telah dimiliki anak untuk melaksanakan
tugas-tugasnya secara akademik di SD, seperti: kemampuan dalam mengamati obyek, pemahaman
bahasa/kosakata, motorik halus, konsentrasi, memory dll. Anak-anak yang yang menunjukkan kesiapan
atau mencapai masa peka untuk belajar keterampilan secara akademik ratarata berusia 6/7 tahun walaupun
hal itu tidak terjadi pada semua anak (Supartini, 2006; dalam Mariyati dan Afandi 2016). Menurut Rowen
dkk (1980; dalam Sulistyaningsih, 2005), anak-anak yang memiliki kesiapan lebih tinggi akan
95
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesiapan anak untuk masuk sekolah dasar menurut
Kustimah (2007) ada 5 faktor yaitu kesehatan fisik, usia, tingkat kecerdasan, stimulasi yang tepat serta
motivasi. Lebih lanjut diperkuat oleh Papalia, Old & Feldman (2010) menyebutkan 3 faktor yang dapat
mempengaruhi kesiapan anak diantaranya adalah keturunan, lingkungan, kematangan tubuh dan otak. Hal
ini yang mendasari tujuan penelitian kali ini. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan adanya
hubungan antara inteligensi, usia dan jenis kelamin dengan kesiapan masuk sekolah dasar pada periode
anak pertengahan. Sedangkan jenis kelamin dimana didasarkan
akan fakta dilapangan tentang data siswa terbagi menjadi dua besar berdasarkan jenis kelamin.
Inteligensi menurut Suharnan (2005) merupakan bagian dari proses kognitif pada urutan yang lebih
tinggi. Sedangkan dalam Kamus Psikologi (Husamah, 2015) mengatakan inteligensi adalah kapasitas
umum dari seseorang yang dapat dilihat pada kesanggupan berpikir dalam mengatasi tuntutan kebutuhan-
kebutuhan baru. Lebih lanjut inteligensi menurut Sarwono, W. S., (2009) adalah kemampuan individu
untuk mengelola lebih jauh hal-hal yang sedang diamatinya. Ada 2 jenis kemampuan, yakni bersifat umum
96
dan khusus. inteligensi umum bukanlah gabungan atau kumpulan dari kemampuan khusus, namun
kemampuan umum dapat mendasari kemampuan-kemampuan
khusus. Kemampuan umum biasanya dinyatakan dalam IQ (intelligence Quotient).
Weschsler (1975; Suharnan (2005)) inteligensi yang dimiliki oleh individu sangat berkorelasi dengan
perilaku individu, yang disebut dengan perilaku inteligen. Ada empat karakteristik perilaku inteligen,
diantaranya: 1) Menyadari tindakan-tindakannya dan cara-cara yang ditempuh, 2) selalu memiliki tujuan
dalam berperilaku, 3) berfikir logis dan konsisten atau berfikir rasional, 4) hasilnya dapat memberikan
manfaat atau berguna dan memiliki nilai. Menurut Fatimah (2008) Tingkat IQ seseorang sangat
mempengaruhi kemampuan kognitifnya. Semakin tinggi nilai IQ seseorang semakin semakin tinggi pulah
tingkat kemampuan kognitifnya mengingat kematangan kognitif
merupakan salah satu aspek kesiapan masuk sekolah dasar.
Tinggi rendahnya IQ seorang dapat diukur dengan tes inteligensi. Tes IQ untuk usia anak saat ini
sangat banyak diantaranya; skala perkembangan bayi Bayley, tes BINET, APPSI, WISC, CPM, dll. Dalam
hal ini tes inleligensi yang dipakai adalah tes CPM.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat deskriptif dan kuantitatif, artinya dalam penelitian ini bertujuan untuk menguji
hipotesa dan menggambarkan adanya hubungan antara variabel dalam penelitian ini. Penelitian kuantitatif
diskriptif bermaksud untuk menggambarkan hasil uji kebenaran sebuah teori atas karakter suatu veriabel
(Martono, 2011). Hipotesa penelitian ini adalah; 1). Ada hubungan antara usia dengan kesiapan anak masuk
Sekolah Dasar, 2). Ada hubungan antara inteligensi dengan kesiapan anak masuk Sekolah Dasar, dan 3).
tidak ada hubungan antara jenis
kelamin dengan kesiapan anak masuk Sekolah Dasar.
Metode yang digunakan adalah sample jenuh atau keseluruhan data yang ada digunakan sebagai data
yang akan dianalisa lebih lanjut. Dan teknik pengambilan sample dalam penelitian ini adalah purposive
sampling yang artinya subjek dalam penelitian ini adalah peserta didik yang telah mengikuti tes persiapan
sekolah sebagai dasar pemetaan kelas oleh pihak sekolah. Data diperoleh seijin semuah pihak sekolah yang
terlibat/bekerjasama dengan lembaga psikologi di Surabaya, yakni Lembaga Pendidikan Orangtua dan
Anak “Padi Bersinar” sebagai data penelitian. Jumlah subyek kurang lebih 295 subyek dengan sebaran
sekolah dasar di jawa timur, diantaranya:
Probolinggo, Sidoarjo, Bangkalan, yang tergambarkan dalam tabel 1 dibawah ini:
Tabel 1.
Subyek Penelitian
Wilayah
Jumlah Siswa
Propolinggo (1 sekolah)
136
Bangkalan (1 sekolah) 92
97
Sidoarjo (3 sekolah) 67
Total 295
Data dalam penelitian ini terdiri dari empat variabel, yakni satu variabel Y (Kesiapan anak masuk
SD) dan tiga variabel X (usia, inteligensi dan jenis kelamin). Sedangkan alat untuk mengumpulkan data
berbentuk skor hasil tes dan dokumen, lebih lanjut akan dijelaskan di bawah ini;
1) NST sebagai alat untuk mengukur varibel Kesiapan masuk SD.
Nijmeedgse School Bekwaamheids Tes (NST) “tes Boekje Vorm A” merupakan salah satu alat tes
yang berfungsi mengukur kesiapan masuk sekolah dasar yang dipopulerkan oleh Monks, Rost, dan
Coffie (Supartini, 2006). Sulistiyaningsih (2005) menyebutkan NST bersifat non verbal yang yang
bertujuan untuk mengukur aspek-aspek kognitif, penilaian sosial, motorik halus dan kasar, serta
emosional anak. NST terdiri dari 10 sub tes yang telah diuji reliabelitasnya dari sample penelitian
sebanyak 343 siswa diusia 6-7 tahun didapat koefisien reliabilitas rxx= 0,851, artinya alat tes dapat
diterima/digunakan untuk mengukur
kesiapan masuk sekolah (Mariyati dan Afandi, 2016)
2) Tes CPM sebagai alat ukur varibel Inteligensi dalam penelitian ini.
Raven Coloured Progresssive Matrices yang lebih populer dengan tes CPM. Tes ini diperkenalkan
pada tahun 1938 dan merupakan tes penalaran induktif non-verbal yang dtimulannya berbentuk
gambar (matriks 3x3) dengan tingkat kesulitan yang semakin tinggi (Gregory, 2011). CPM
merupakan salah satu tes inteligensi untuk siswa yang masih menempuh pendidikan di sekolah dasar
(5-11 tahun). Tes ini merupakan tes non-verbal. CPM terdiri dari 36 matriks yang terdistribusi dalam
tiga kelompok, yakni; A, ab, B. Hasil uji reliabelitas CPM dengan menggunakan Cronbach’s- alpha
coefficient dari 1042 subyek penelitian (5-11 tahun) didapat koefisien reliabilitas rxx=0,88, artinya
alat tes tersebut masih dapat diterima/digunakan untuk mengukur iteligensi anak usia 5-11 tahun
(Kazem A. M., Alzubiadi, A. S., Al-kharusi, H. A., Yousif, Y. H., Al-sarmi, A. M., Al-bulushi, S. S.,
Al-jamali,
F.A., Al-mashhdany, S., Al-busaidi, O. B., Al-fori, S. M., Al-bahrani, W. A., & Al-shammary,
B.M., (2009)). Sedangkan menurut Raven, Courtt dan Raven (1986: dalam Gregory, 2011)
Reliabelitas tes CPM-warna berkisar 0,65 sampai dengan 0,94 dimana pada kelompok usia muda
memiliki reliabilitas lebih rendah
HASIL
Secara umum hasil analisa data nampak adanya peningkatan skor prosentasi perbandingan antara
subyek yang memiliki kesiapan dengan yang belum memiliki kesiapan berdasarkan skor IQ
(persentilCPM). Artinya semakin tinggi skor IQ (presentil CPM) semakin tinggi pula prosentase
kesiapannya. Atau sebaliknya semakin rendah skor IQ (presentil CPM) semakin rendah prosentase ke
tidak siapan siswa. Namun hanya pada skor IQ (presentil CPM) 5 tidak mengikuti pola diatas. Hasil
analisa data lebih jauh diperoleh gambaran seperti dibawah ini, diantaranya: 1) IQ presentil 5, skor
98
kesiapan 41% dari jumlah 44 pendaftar. 2) IQ presentil 10, skor kesiapan 21% dari
jumlah 28 pendaftar. 3) IQ presentil 25, skor kesiapan 28% dari jumlah 18 pendaftar. 4) 50 presentil 5,
skor kesiapan 53% dari jumlah 43 pendaftar. 5) IQ presentil 75, skor kesiapan 52% dari jumlah 50
pendaftar. 6) IQ presentil 90, skor kesiapan 60% dari jumlah 43 pendaftar. 7) IQ presentil 95, skor
kesiapan 65% dari jumlah 69 pendaftar. Penjelasan di atas dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini:
Presentil %
%
CPM N (skor (< skor
(skor kesiapan)
(IQ) N kesiapan) kesiapan)
5 44 18 41% 59%
10 28 6 0,21% 79%
25 18 5 0,28% 72%
50 43 23 53% 47%
75 50 26 52% 48%
90 43 26 60% 40%
95 45 65% 35%
Total
Sedangkan hasil analisa Korelasi Product Moment yang bertujuan untuk menguji hipotesis
asosiatif (uji hubungan) dengan bantuan program computer SPSS dari data usia dengan kematangan
dapat diperoleh hasil rxy=0,342 dan p=0,000. Nilai Signifikansi (0,000 < 0,01) lebih kecil dari taraf
signifikansi yang digunakan 1%. artinya hipotesa dapat diterima, yakni ada hubungan positif antara
Inteligensi dengan Kesiapan anak masuk SD. Nampak pada tabel 3. Hasil analisa correlation, dibawah
ini:
Salah satu faktor inteligensi dalam kesiapan anak masuk sekolah dasar dapat dijelaskan bahwa
anak-anak yang memiliki inteligensi tinggi cenderung memiliki perilaku inteligensi dalam mengambil
keputusan dan menyelesaikan masalah. Hal ini dibuktikan oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan
Siagian (2010) mengatakan ada perbedaaan antara iteligensi dengan kematangan sosial pada anak
retardasi mental di SLB/C Surakarta. Penelitian lain yang turut mendukung penelitian ini adalah yang
dilakukan oleh Widiastuti (2010) dengan judul “Hubungan Motivasi Belajar dan Hasil Tes Inteligensi
dengan Prestasi Belajar” mengatakan ada hubungan antara hasil
99
Serta penelitian yang dilakukan oleh Priyo dan Mariyati (2017) dengan judul “Kemampuan
Problem Solving dengan Kesiapan masuk sekolah Dasar”. Hasil dalam penelitian tersebut
menggambarkan siswa yang memiliki skor tes problem solving tinggi juga memiliki skor yang tinggi
pula dalam menyelesaikan tes kesiapan (NST) begitupula sebaliknya pada siswa yang skor tes problem
solving rendah juga diikuti dengan skor yang rendah pula. Problem solving merupakan salah satu
indikator/aspek inteleligensi. Kemampuan dalam menyelesaikan masalah dipengaruhi oleh aspek
kesadaran akan masalah yang dihadapi dan tujuan/menyelesaikan masalah yang dihadapi, diantaranya
melibatkan kesadaran penuh dalam mempersepsikan obyek/soal masalah yang dihadapi, pemahaman
bahasa serta pengalaman sehingga semua indra memiliki tingkat sensitivitas yang baik. Artinya dalam
hal ini mereka mampu melibatkan panca indara mereka khususnya indra visual dan pendengaran secara
optimal dalam melihat aitem-aitem soal secara detail. Sehingga mereka mampu mempersepsikan dan
memahami obyek/gambar soal sebagaimana semestinya, menggunakan pengetahuan dan berfikir secara
konvergen sehingga
Menurut Davidoff (1976) berfikir devergen adalah kemampuan individu dalam berfikir
kretif, memiliki banyak pilihan alternatif dalam menyelesaikan masalah, sedangkan berfikir konvergen
adalah suatu gaya berfikir yang menggunakan pengetahauan dan proses berfikir yang mengarah pada
satu titik dengan menggunakan susunan rumusan, teori, prinsip, atau hukum tertentu untuk mencari
jawaban yang lazim. Artinya, Anak yang memiliki inteligensi akan mengarahkan kesadarannya untuk
melibatkan pengalaman dan pengetahuannya dalam menjawab aitem-aitem dalam soal, seperti;
pengetahuan konsep perbandingan lebih panjang, lebih cepat, konsep bentuk dan obyek, dan seterusnya.
Tidak hanya itu saja, pada anak-anak yang memiliki inteligensi tinggi cenderung memiliki kosentrasi
dan memecahkan masalah yang lebih baik. artinya mereka mampu mengarahkan dan memilih panca
indra yang akan digunakan untuk menghasilkan gambaran masalah yang lebih tepat, menyimpan
informasi (gambar atau bahasa) dalam memori jangka pendek serta mampu mengoperasionalkan
pengalamannya dengan masalah yang dihadapinya sehingga mereka mampu menjawab aitem soal atau
pengetahuan baru akan
tersimpan dalam memori jangka panjang dan akan dimunculkan kembali saat dibutuhkan.
Sebaliknya anak-anak yang memiliki inteligensi rendah kurang mampu memilih dan
mengarahkan kesadaran panca indaranya terhadap obyek atau permasalahan yang dihadapinya, Ia juga
kurang mampu melakukan konsentrasi penuh terkait obyek dan lingkungannya sehingga mengalami
hambatan dalam melakukan proses penyimpanan ingatan jangka pendek, mereka juga kurang mampu
dalam melakukan proses berfikir logis dalam menggunakan teori/hukum tertentu dalam menjawab
permasalahan sehingga mereka juga cenderung mengalami kesulitan dalam memproses informasi
menjadi jawaban dari permasalahan serta proses pengalaman
menjadi ingatan jangka panjang atau pengetahuan baru.
100
Ada hubungan antara Inteligensi dengan kesiapan masuk sekolah dasar (r=0,342 dan
p=0,000). Nilai Signifikansi (0,000 < 0,01) lebih kecil dari taraf signifikansi yang digunakan 1%. Hasil
penelitian ini memiliki Implikasi pada pengembangan kasanah pengetahuan khususnya dibidang psikologi
perkembangan dan psikologi positif bagi siswa sekolah dasar. Tes Inteligensi dapat dipakai sebagai salah
satu dasar asesmen penerimaan siswa baru pada pendidikan formal Sekolah Dasar baik oleh para praktisi
psikologi maupun pengelola lembaga pendidikan Sekolah Dasar. Dan sebagai bahan edukasi orangtua
tentang kesiapan masuk sekolah dasar dalam
mendampingi buah hatinya ketika akan memasuki sekolah dasar.
Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan dengan sampel sejumlah 125 siswa
sekolah dasar (75 siswa perempuan dan 50 siswa laki-laki), hasilnya menyatakan bahwa kesiapan sekolah
dasar memiliki hubungan dengan inteligensi dan jenis kelamin tetapi tidak pada
kematangan sosial (Angenent, Huub; Man, Anton de, 1989).
“Results indicated that school readiness is related to intelligence and sex but not to social maturity.
The latter was found to be associated with sex of subject and intelligence.”
DAFTAR PUSTAKA
Angenent, H. & Man, A. De. (1989). Inteligence, Gender, Social Maturity, and School Readiness in
Dutch First-Graders. Social Behavior and Personality An Internasional Journal. 17(2):205209
Davidoff, L. L. (1976). Introduction to Psychology. New York: MacGraw-Hill Book Comp. Edia, L. 2012.
Fatimah, E. (2010). PsikologiPerkembangan: Perkembangan Peserta didik. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Gregory, R. J. (2011). Tes Psikologi: Sejarah, Prinsip dan Aplikasi, Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama
Husama. (2015). Kamus Psikologi. Yogyakarta: Andi Offset
Mariyati, L. I., & Affandi, G. R. (2016). Analisis Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test (NST) Secara
Empirik Berdasar Clasical Test Theory. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, Vol.04/No.2 Martono, N, 2011.
Metode Penelitian Kuantitatif, edisi revisi.Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Papalia, D.E., Old, S. W., & Feldman, R. D., 2010. Human Development : Psikologi Perkembangan bagian
I s/d IV. Jakarta:Kencana Prenada Media Group, alih bahasa:A.K. Anwar
Sudarmo, M. N. P., & Mariyati, L. I. (2018). Kemampuan Problem Solving dengan Kesiapan Masuk
Sekolah Dasar. Psikologia: Jurnal Psikologi, 2(1), 38-51.
101
4. Data dalam penelitian ini terdiri dari empat variabel, yakni satu
variabel Y (Kesiapan anak masuk SD) dan tiga variabel X (usia,
inteligensi dan jenis kelamin).
5. Dilakukannya tes NST (alat ukur untuk mengukur variable kesiapan
masuk SD), tes CPM (alat ukur variable inteligensi)
Hasil Penelitian Hasil dalam penelitian tersebut menggambarkan siswa yang memiliki skor
tes problem solving tinggi juga memiliki skor yang tinggi pula dalam
menyelesaikan tes kesiapan (NST) begitupula sebaliknya pada siswa yang
skor tes problem solving rendah juga diikuti dengan skor yang rendah pula.
Problem solving merupakan salah satu indikator/aspek inteleligensi.
Kemampuan dalam menyelesaikan masalah dipengaruhi oleh aspek
kesadaran akan masalah yang dihadapi dan tujuan/menyelesaikan masalah
yang dihadapi, diantaranya melibatkan kesadaran penuh dalam
mempersepsikan obyek/soal masalah yang dihadapi, pemahaman bahasa
serta pengalaman sehingga semua indra memiliki tingkat sensitivitas yang
baik. Artinya dalam hal ini mereka mampu melibatkan panca indara
mereka khususnya indra visual dan pendengaran secara optimal dalam
melihat aitem-aitem soal secara detail. Sehingga mereka mampu
mempersepsikan dan memahami obyek/gambar soal sebagaimana
semestinya, menggunakan pengetahuan dan berfikir secara konvergen
sehingga menjawab aitem soal secara obyektif dan tepat.
Kekuatan • Mengetahui tingkat kesiapan dengan menggunakan tes NST dan tes
Penelitian CPM
Kelemahan
Penelitian
Kesimpulan Hasil penelitian ini memiliki Implikasi pada pengembangan kasanah
pengetahuan khususnya dibidang psikologi perkembangan dan psikologi
positif bagi siswa sekolah dasar. Tes Inteligensi dapat dipakai sebagai
salah satu dasar asesmen penerimaan siswa baru pada pendidikan formal
Sekolah Dasar baik oleh para praktisi psikologi maupun pengelola
lembaga pendidikan Sekolah Dasar. Dan sebagai bahan edukasi orangtua
tentang kesiapan masuk sekolah dasar dalam mendampingi buah hatinya
ketika akan memasuki sekolah dasar.
Artikel Penelitian
104
Abstrak
Kualitas sumber daya manusia dipengaruhi oleh inteligensi anak. Skor kecerdasan intelektual yang tidak menetap pada usia
tertentu dapat berubah karena faktor genetik, gizi, dan lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan kadar
hemoglobin dengan kecerdasan intelektual anak. Penelitian observasional dengan desain potong lintang ini dilakukan pada
populasi siswa kelas VI Sekolah Dasar Negeri Giwangan Yogyakarta, tahun 2013. Penarikan sampel dilakukan dengan metode
simple random sampling terhadap 37 sampel siswa. Instrumen untuk mengukur kecerdasan intelektual dengan Cultural Fair
Intelligence Quotient Test yang dirancang untuk meminimalkan pengaruh kultural dengan memperhatikan prosedur evaluasi,
instruksi, konten isi, dan respons peserta. Tes dilakukan oleh Biro Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, kadar
hemoglobin diukur menggunakan Portable Hemoglobin Digital Analyzer Easy Touch secara digital.Variabel luar indeks massa
tubuh diukur langsung menggunakan parameter tinggi badan dan berat badan. Analisis menggunakan uji regresi linier. Hasil
penelitian menunjukkan indeks massa tubuh tidak berhubungan dengan kecerdasan intelektual (nilai p = 0,052). Anemia
berhubungan cukup dengan kecerdasan anak (r = 0,491) dan berpola positif, semakin tinggi kadar hemoglobin semakin tinggi
kecerdasan intelektual anak. Nilai koefisien determinasi 0,241 menerangkan bahwa 24,1% variasi anemia cukup baik untuk
menjelaskan variabel kecerdasan intelektual. Ada hubungan antara kadar hemoglobin dengan kecerdasan intelektual (nilai p =
0,002).
Kata kunci: Anak, kecerdasan intelektual, kadar hemoglobin
Abstract
Quality of human resources is influenced by the child’s intelligent. Intelligence Quotient (IQ) score will not settle at a certain age
and can change due to genetic factors, nutrition, and the environment. The objective is known relationship of anemia with IQ to
child. Method of observational study with cross sectional design. Population are students of class VI elementary school of
Giwangan Yogyakarta in 2013. Sample was taken by simple random sampling, obtained 37 students. Measuring of instruments
IQ with CFQT, hemoglobin was measured using a Portable Digital Analyzer Easy Touch is a digital gauge Hb, external variable
body mass index was measured directly using the parameters height and weight of children. Analysis using Linear Regression.
This research showed BMI was not associated with IQ (p value = 0.052). Relationship with the child’s intelligence anemia showed
enough relationship (r = 0.491) and a positive pattern, where the higher levels Haemoglobin as the higher IQ score of the child’s.
The coefficient of 0.241 explained 24.1 % variation anemia that is good enough to explain the variable IQ. There is a relationship
between hemoglobin levels with IQ (p value = 0.002).
Keyword: Children, intelligence quotient, hemoglobin levels
105
tap pada usia tertentu tetapi dapat berubah karena berba-gai sebab, seperti berbagai
perubahan besar dalam ke-lai kecerdasan intelektual adalah dengan tes inteligensiyang bertujuan untuk
memberi informasi apakah indi-vidu dapat bernalar lebih baik dibandingkan individulain. Kecerdasan
intelektual yang normal berkisar antara91Pendahuluan dunia sekitar, berpikir rasional, dan menggunakan
sum-ber daya secara efektif ketika menghadapi tantangan.Penelitian tahun 2008 menemukan 29.234 kasus
penu-runan kecerdasan intelektual pada anak sebagai dampakkesehatan di Yogyakarta. _Inteligensi adalah
kemampuan untuk memahami110. Skor kecerdasan intelektual tidak akan mene1,2 Salah satu cara untuk
meni--
Alamat Korespondensi: Yuni Kusmiyati, Jurusan Kebidanan PoltekkesKemenkes
Yogyakarta, Jl. Tatabumi No. 3 Godean Gamping SlemanYogyakarta, Hp.
082138781781, e-mail: yuni_kusmiyati@yahoo.co.id
115
Kesmas
hidupan, antara lain penyakit, genetik, gizi dan ling-kungan. Perubahan kecerdasan intelektual
mencermin-kan perubahan rcerdasan intelektual anak adalah anemia yang meru-pakan suatu keadaan
kadar hemoglobin lebih rendah darinilai normal (12 gram%). Anemia yang umum dite-mukan di Indonesia
disebabkan oleh kekurangan zat be-si.anak-anak di negara berkembang dengan prevalensi50dibutuhkan
dalam sintesis mielin.5%. Besi adalah salah satu zat yang sangat penting seFaktor gizi yang berperan
terhadap menurunnya ke-Kejadian anemia defisiensi besi banyak terjadi pada, Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional Vol. 8, No. 3, Oktober 2013
il dari kemampuan yang dinilai.6,7 Anemia dapat3,4 -
moglobin yang diukur dengan menggunakan Hemoglobin Digital Analyzer Easy Touchrandom sampling.
serta kemampuan belajar yang menurun dibandingkandengan anak yang sehat atau normal. Bankkan pemeriksaan
106
hemoglobin dan mengaku mudah lelah,
telektual anak. tahui hubungan antara anemia dengan
kecerdasan in-sentrasi saat pelajaran. Tujuan penelitian adalah menge-sering mengantuk di kelas sehingga
sulit untuk berkon-juta anak di Indonesia terkena anemia, yang menye-babkan kehilangan angka kecerdasan
dalam jangka panjang karena pa-ganggu. Selain itu, asupan oksigen yang terganggu jugastandar nasional,
namun pada tahun 2012 siswa di SDNitu mengalami penurunan prestasi Ujian Nasional. Ber-dasarkan
studi terdahulu, dari 20 siswa kelas VI padatahun 2011 memiliki kecerdasan intelektual di atas
108
100sebanyak 14 siswa dan 6 siswa kecerdasan intelektual dibawah 100 tapi masih dalam batas
normal dan 8 siswa diantaranya dicurigai anemia. Dengan pemeriksaan tang ini dilakukan terhadap
populasi seluruh siswa kelasseperti aktivitas fisik motorik, interaksi sosial, dan gang-VI SDN Giwangan
Yogyakarta yang berjumlah 67 orang.Besar sampel sebanyak 37 responden dihitung menggu-nakan rumus
109
beda proporsi dengan populasi yang sudahdiketahui. Teknik pengambilan sampel dengan da
anemia asupan oksigen ke seluruh tubuh menjadi ter-menghambat pertumbuhan dan perkembangan
anakbagai sistem transmiter elektron pada mitokondria dan sampai 15 poin, prestasi sekolah yang buruk,
dan keruKondisi anemia dapat membuat anak memiliki nilaiPenelitian observasional dengan desain
110
potong lin-SDN Giwangan Yogyakarta merupakan sekolah ber-(ADB) tahun 2012 menyatakan bahwa
sekitar
pucat, siswa mengatakan belum pernah melaku-Variabel independen adalah kadar he-4 yang meru-
_ 15Portablesimple poincon-)kecerdasan intelektual yang lebih rendah (10 guan konsentrasi. Asian
Development22
111
116
pakan alat untuk mengukur hemoglobin secara digital,lebih valid, cepat, dan simpel dibandingkan
hemometersahli dengan Variabel dependen kecerdasan intelektual diukurtesting timeCultural Fair Inte6 detikligence
Quotient Test, sampel darah yangdibutuhkan 2.6 ul. menggunakan (nimalisasi pengaruh kultural dengan
memperhatikanberbagai aspek termasuk prosedur evaluasi, instruksi,konten isi, dan respons peserta
dengan skala numerik.CFQT) yaitu tes inteligensi yang dirancang untuk memi
112
Hasil
umur menunjukkan sebagian besar subjek berjenis ke-uji regresi linier. Karakteristik subjek
berdasarkan jenis kelamin dan. Analisis data meliputi uji normalitas data dengan, uji korelasi dengan _ 18
tahun skala dataPearson, dan
Karakteristik Kategori n %
≥12 tahun
Tabel 2. Distribusi Kadar Hemoglobin, Nilai Kecerdasan Intelektual, dan Indeks Massa Tubuh
Kesmas
Development Programdan ekonomi.
SaranDaftar Pustaka1.jakan di bidang kesehatan ibu dan anak, untuk membu-at program
pencegahan anemia pada anak sekolah dengan pemberian tablet tambah darah. Bagi guru,
mem-berikan penyuluhan pada orangtua siswa tentang dam-pak anemia terhadap kecerdasan
anak dan cara pen-cegahan anemia dengan memberikan nutrisi yang banyakmengandung zat
besi atau memberikan zat besi padaanak. asap buangan kendaraan bermotor terhadap kesehatan masyarakat KotaYogyakarta.
Yogyakarta: LPPPM Universitas Janabadra; 2008. Gravitiani E, FailasuSantrock JW.Hamdun D. Psikologi belajar bahasa. Jurnal Al-‘Arabiyah UIN
Sunan Bagi kepala dinas kesehatan selaku pembuat kebi- Life span development. Jakarta: Erlangga; 2012.fudien A.
Valuasi ekonomi dampak timbal dari
2.3.Kalijaga Yogyakarta.2006; 2(2): 73-91.DeMaeyer EM. Pencegahan dan pengawasan anemia defisiensi besi.
4.
120
118
5.6.Jakarta: Widya Medika; 2002.Indonesia pada Rabu, 3 April 2013 dalam Kliping Berita KesehatanPusat Komunikasi Publik Setjen Kementerian
Kesehatan RepublikIndonesia tahun 2013. Harian umum Media Indonesia. 2013. Tinggi prevalensi anemia diGoudarzi A, Mehrabi, Gourdarzi K. The
eligence Qoutient (IQ) in under 17 years old students.fect of iron deficiency
8.9.
7. 10. Triasih S. Anemia defiesiensi besi: epidemiology and cognitive in chilAnemia on IntePakistan Journal of Biological Science. 2008; 11 (10):
1398-400.romaturation in infancy and childhood. Food and Nutrition Bu2003: 24 (4): 104-7al (ES) dan motivasi belajar terhadap hasil belajar siswa
pada mata pela-jaran ekonomi [skripsi]. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia;2012.dren with iron deficiency anemia. Yogyakarta: Medika
FakultasKedokteran UGM; 2005.Walter T. EDjaeni A. Ilmu gizi. Jakarta: Dian Rakyat; 2006Solehati D. Pengaruh kecerdasan intelektual (IQ),
kecerdasan emosion-fect of Iron-deficiency anemia on cognitive ski ls and neu-letin.--
13 .
1112 . Indrawati V. Pengaruh anemia terhadap konsentrasi belajar anak seko. Ristrini. Anemia akibat kurang zat besi keadaan, masalah, dan program
Mcgregor S, Ani C. A review of students the e
lah dasar. Jurnal Pendidikan Dasar. 2004; 5(1): 43-50.penanggulangannya. Medika. 1991; 1: 38-
40.cognitive development in children. The Journal of Nutrition, AmericanSociety for Nutritional Status. 2001; 131(2): 649-68S.fect of iron deficiency
on
14. Setiawan MB, Hakim A. Indeks pembangunan manusia. JurnalEconomica Universitas Islam Indonesia. 2013; 9(1): 18-26.
121
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan kadar hemoglobin
dengan kecerdasan intelektual anak.
Subjek Penelitian Penarikan sampel dilakukan dengan metode simple random sampling
terhadap 37 sampel siswa.
Metode penelitian Teknik pengambilan sampel dengan simple rando sampling. Variable
independent adalah kadar hemoglobin yang diukur dengan menggunakan
portable hemoglobin digital analyzer easy touch. Variable dependen
kecerdasan intelektual diukur menggunakan cultural fair intelligence
quotient test (CFQT). Analisis data meliputi uji normalitas data dengan
Kolmogorov Smirnov, uji korelasi dengan pearson, dan uji regresi linear.
Definisi Kecerdasan intelektual (kecerdasan intelektual adalah dengan tes
Operasional inteliginsi yang bertujuan untuk memberi informasi apakah individu dapat
Variabel bernalar lebih baik dibandingkan individu lain dan untuk skor normal
Dependent berkisar antara 91-110.
Cara & Alat Ukur Variabel dependen kecerdasan intelektual diukur menggunakan Cultural
Variable Fair Intelligence Quotient Test (CFQT) yaitu tes inteligensi yang
Dependent dirancang untuk meminimalisasi pengaruh kultural dengan
memperhatikan berbagai aspek termasuk prosedur evaluasi, instruksi,
konten isi, dan respons peserta dengan skala numerik. Tes dilakukan oleh
Biro Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Variabel luar yaitu
IMT/U didapatkan dengan cara mengukur berat badan menggunakan
timbangan digital dan tinggi badan dengan meteran yang ditempel di
dinding. Parameter BB/TB disesuaikan dengan tabel IMT/U 5 _ 18 tahun
skala data ordinal.
Definisi
Hemoglobin (anemia yang merupakan suatu keadaan kadar hemoglobin
Operasional
lebih rendah dari nilai normal (12 gram%)
Independent
122
Cara & Alat Ukur Variabel independen adalah kadar hemoglobin yang diukur dengan
Variable menggunakan Portable Hemoglobin Digital Analyzer Easy Touch yang
independent merupakan alat untuk mengukur hemoglobin secara digital, lebih valid,
cepat, dan simpel dibandingkan hemometer sahli dengan testing time 6
detik, sampel darah yang dibutuhkan 2.6 ul
Langkah 1. Besar sampel sebanyak 37 responden dihitung menggunakan rumus
Penelitian beda proporsi dengan populasi yang sudah diketahui.
2. Teknik pengambilan sampel dengan simple random sampling.
3. Variabel independen adalah kadar hemoglobin yang diukur dengan
menggunakan Portable Hemoglobin Digital Analyzer Easy Touch
yang meru pakan alat untuk mengukur hemoglobin secara digital, lebih
valid, cepat, dan simpel dibandingkan hemometer sahli dengan testing
time 6 detik, sampel darah yang dibutuhkan 2.6 ul.
4. Variabel dependen kecerdasan intelektual diukur menggunakan
Cultural Fair Intelligence Quotient Test (CFQT) yaitu tes inteligensi
yang dirancang untuk meminimalisasi pengaruh kultural dengan
memperhatikan berbagai aspek termasuk prosedur evaluasi, instruksi,
konten isi, dan respons peserta dengan skala numerik.
5. Tes dilakukan oleh Biro Psikologi Universitas Ahmad Dahlan
Yogyakarta
6. Variabel luar yaitu IMT/U didapatkan dengan cara mengukur berat
badan menggunakan timbangan digital dan tinggi badan dengan
meteran yang ditempel di dinding. Parameter BB/TB disesuaikan
dengan tabel IMT/U 5 _ 18 tahun skala data ordinal
7. Penelitian dilakukan pada tanggal 30 Maret 2013
8. Analisis data meliputi uji normalitas data dengan Kolmogorov
Smirnov, uji korelasi dengan Pearson, dan uji regresi linier.
Hasil Penelitian Penelitian ini membuktikan ada hubungan antara kadar hemoglobin
dengan kecerdasan intelektual anak. Hal ini sesuai dengan penelitian
terdahulu. Ada pengaruh asupan zat besi (Fe) dengan kemampuan
intelektual. Secara biologis, mekanisme yang terjadi dalam tubuh apabila
mengalami anemia defisiensi besi dapat menimbulkan masalah pada
prestasi kognitif.1 Hal ini disebabkan oleh cadangan zat besi dalam tubuh
menurun termasuk juga terjadinya penurunan zat besi dalam sistem saraf
pusat sama dengan sebelum produksi sel darah merah. Anemia terjadi
akibat penurunan kadar hemoglobin, sedangkan hemoglobin berfungsi
penting sebagai alat transportasi oksigen yang diperlukan pada banyak
reaksi metabolik tubuh yang sangat penting bagi pertumbuhan fisik dan
perkembangan otak.
Kekuatan • Sebagai temuan baru untuk mengetes anatar kadar homoglobin dengan
Penelitian tingkat intelektual anak.
123