Anda di halaman 1dari 10

 

  BAB II

  TINJAUAN PUSTAKA

 
Pati merupakan karbohidrat rantai panjang yang termasuk jenis
 
polisakarida. Menurut Dziedzic dan Kearsley (1995) dalam Suarni (2013), Pati terdiri
dari dua  senyawa polimer glukosa, yaitu amilosa dan amilopektin pendapat ini
diperkuat
  oleh Jacobs dan Delcour (1998) dalam Herawati (2011). Pati merupakan
homopolimer glukosa dengan ikatan α- glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya,
 
tergantung dari panjang rantai C-nya serta lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri
 
dari 2 fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi
 
yang tidak larut disebut amilopektin (Risnoyatiningsih, 2011).
  Amilosa merupakan suatu polimer rantai tunggal tidak bercabang, terbentuk dari 500-
20.000 monomer α-D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-1,4 glikosidik. Sedangkan
amilopektin adalah suatu polimer rantai bercabang terbentuk dari 100.000 monomer glukosa
yang dihubungkan oleh ikatan α-1,4 glikosidik pada rantai utama dan α-1,6 glikosidik pada
percabangannya (Kunamneni, 2005). Kandungan amilosa pada tepung sorgum termasuk dalam
kategori sedang dan sesuai untuk pangan yaitu mendekati terigu (20-25%). Rasio amilosa dan
amilopektin sangat menentukan produk akhir dari suatu bahan makanan (Suarni, 2012).
Sebagian besar karbohidrat, terutama golongan monosakarida dan beberapa golongan
disakarida, mempunyai sifat mereduksi terutama dalam suasana basa. Golongan tersebut biasa
dikenal dengan gula pereduksi, contoh dari gula pereduksi diantaranya yaitu: glukosa, fruktosa,
galaktosa, laktosa dan maltosa.(Kinanti, 2017)

2.1 Hidrolisis Pati


Hidrolisis adalah proses dekomposisi kimia dengan menggunakan bantuan air untuk
memisahkan ikatan kimia dari substansinya. Sedangkan Hidrolisis pati adalah proses
pemecahan molekul amilum menjadi bagian-bagian penyusun amilum yang lebih sederhana
seperti dekstrin, isomaltosa, dan glukosa (Terahara, 2004).
Produk hasil hidrolisis pati umumnya dikarakterisasi berdasarkan tingkat derajat
hidrolisisnya dan dinyatakan dengan nilai DE (Dekstrosa Equivalen) yang menunjukkan
prosentase dekstrosa murni dalam total padatan substrat yang dihirolisis. Hidrolisis pati
menjadi sirup glukosa melalui tiga tahapan, yaitu gelatinisasi, likuifikasi, dan sakarifikasi
(Rahmawati, 2015)

 
 

Faktor-faktor
  yang dapat mempengaruhi proses hidrolisis pati antara lain yaitu konsentrasi
substrat, konsentrasi
  enzim, suhu, pH dan lama proses hidrolisis. Enzim mempunyai spesifitas
yang tinggi, sehingga kinerja enzim akan optimal jika substrat yang digunakan cocok dan
 
dalam konsentrasi yang tepat. Selain itu konsentrasi enzim juga berpengaruh terhadap
 
likuifikasi sebab efektivas kerja enzim berbanding lurus dengan konsentrasi enzim, sehingga
semakin optimal
  kerja enzim, maka proses hidrolisis juga akan semakin cepat (Jariyah, 2002).
 
2.1.1 Gelatinasi
 
Gelatinisasi merupakan proses awalan sebelum likuifikasi. Gelatinisasi adalah proses
 
pembengkakan granula pati akibat pemanasan yang memutus ikatan hidrogen pada ikatan
  Pembengkakan granula tersebut bersifat irreversible atau tidak bisa kembali lagi
glikosida pati.
ke
  bentuk semula. Likuifikasi yang dilakukan tanpa gelatinisasi terlebih dahulu akan
membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan substrat yang telah mengalami
gelatinisasi (Mitsuki, 2005)
Proses Likuifikasi diawali dengan gelatinisasi pati atau pemanasan granula pati dengan
air hingga mengembang dan rusak, suhu pada gelatinasi diatur pada kisaran 66 C, sehingga
pati dapat terlarut yang ditandai dengan menurunnya viskositas larutan. (Ruiz, 2011)

2.1.2 Likuifikasi
Likuifikasi merupakan proses hidrolisis pati menjadi molekul-molekul yang lebih kecil
seperti maltosa, glukosa, dan dekstrin dengan menggunakan enzim α-amilase. Likuifikasi pati
umumnya dilakukan hingga dekstrosa equivalen mencapai 15-20% atau sampai larutan
berwarna merah bata jika direaksikan dengan larutan iodin. (Misset, 2003)
Likuifikasi merupakan proses pencairan gel pati untuk memperoleh viskositas yang
lebih rendah dengan cara menghidrolisis pati menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana
dari oligosakarida atau dekstrin melalui bantuan enzim α-amilase.
Aktivitas enzim α-amilase menentukan cepat lambatnya proses likuifikasi. Enzim ini
akan bekerja lebih cepat jika menggunakan substrat yang berbentuk gel atau yang sebelumnya
telah digelatinisasi. Likuifikasi dapat dilakukan pada suhu 105°C, pH 6 selama 5 menit atau
pada suhu 95-97°C, pH 6 selama 1-3 jam dengan menggunakan α-amilase termostabil. Enzim
α-amilase ini memecah ikatan α -(1,4) glikosidik secara acak pada bagian dalam substrat dan
menghasilkan gula reduksi dan dekstrin dengan rantai glukosa jumlah kecil. (Norman, 2001)
α-amilase

 
 

(C6H12O5)1000
  + 400H2O 50(C6H12O5)10 + 100(C12H22O11) + 100(C6H12O6) Pati
Air
  Dekstrin Maltosa Glukosa

  (Robi’a, 2015).

2.1.3 Sakarifikasi
 
Pada tahap sakarifikasi dekstrin hasil likuifikasi akan dihidrolisis lebih lanjut oleh enzim
 
tunggal (glukoamilase) maupun enzim campuran (glukoamilase dan pullulanase) yang biasa
 
disebut dextrozyme untuk dikonversi menjadi glukosa. (Whitehurts, 2002) Sakarifikasi dapat
 
dilakukan pada suhu antara 55-60°C dengan pH 4.5 yang mana proses tersebut membutuhkan
waktu antara  24-72 jam. (Goodfrey, 1996)

  glukoamilase
  (C6H12O5)10 + 10 H2O 10(C6H12O6)

Dekstrin Air Glukosa

(Robi’a, 2015).

2.2 Enzim
Enzim adalah suatu protein yang bertindak sebagai katalisator reaksi biologis atau lebih
sering disebut sebagai biokatalisator (Mahartantri, 2005). Menurut Winarno dan Fardianz
(1984), dengan adanya katalisator enzim suatu reaksi dapat dipercepat kira-kira 1012 sampai
1020 kali jika dibandingkan dengan reaksi tanpa katalisator. Berdasarkan hukum Michaelis-
Menten kecepatan reaksi akan meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi substrat.
Kecepatan reaksi akan terus meningkat dengan nilai yang semakin kecil hingga mencapai titik
batas dimana enzim jenuh dengan substrat. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja enzim
adalah :

a. Konsentrasi enzim
Konsentrasi enzim secara langsung mempengaruhi kecepatan laju reaksi enzimatik. Pada
suatu konsentrasi substrat tertentu, laju reaksi bertambah dengan bertambahnyakonsentrasi
enzim (Poedjiadi, 1994).
b. Konsentrasi substrat
Laju reaksi enzimatik akan meningkat dengan bertambahnya konsentrasi substrat
rendah,bagian aktif enzim hanya menampung substrat sedikit. Bila konsentrasi substrat
diperbesar, makin banyak substrat yang berhubungan dengan enzim pada bagian aktif,
sehingga konsentrasi enzim-substrat makin besar dan menyebabkan besarnya laju

 
 

reaksi.Namun
  pada batas konsentrasi substrat tertentu, semua bagian aktif telah dipenuhi
substrat.  Dalam kondisi ini, bertambahnya konsentrasi enzim–substrat, sehingga jumlah
hasil reaksinya pun tidak bertambah (Poedjiadi, 1994). Hubungan antara konsentrasi
 
substrat dengan laju reaksi enzim ditunjukkan dalam Gambar 1
 

  Gambar 2. 1 Hubungan antara konsentrasi substrat dengan laju reaksi enzim

c. Suhu
Suhu dapat meningkatkan laju reaksi enzimatik sampai batas tertentu. Suhu yang terlalu
tinggi (jauh dari suhu optimum suatu enzim) akan menyebabkan enzim terdenaturasi.
Bila enzim terdenaturasi, maka bagian aktifnya akan terganggu dan dengan demikian
konsentrasi efektif enzim menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan laju reaksi enzimatik
menurun (Poedjiadi, 1994).

Gambar 2. 2 Hubungan suhu dengan aktivitas enzim (Shahib, 2005)

d. pH
Enzim Struktur ion enzim bergantung pada pH lingkungan. Enzim dapat berbentuk ion
positif dan ion negatif (zwitter ion). Dengan demikian perubahan pH akan mempengaruhi
efektivitas bagian aktif enzim dalam membentuk kompleks enzim–substrat. Selain itu,

 
 

pH yang
  tinggi dapat menyebabkan terjadinya proses denaturasi dan ini akan
menghakibatkan
  menurunnya aktivitas enzim. Enzim menunjukkan aktivitas maksimum
pada kisaran pH antara 4,5–8,0 (Winarno, 1986)
 

 
2.2.1 Enzim α-amilase
Enzim
  α-amilase (α -1,4- glukan 4- glukanohidrolase) merupakan endoenzim yang

menghidrolisis
  ikatan α-(1,4)-glikosida dari bagian dalam secara acak baik pada amilosa
maupun amilopektin. Enzim α-amilase disebut juga dengan α-retaining double displacement.
 
α-amilase dibedakan menjadi dua golongan yaitu termostabil (tahan panas) dan termolabil
 
(tidak tahan panas). α-amilase yang termostabil dapat diperoleh dari Bacillus lichenoformis,
 
Bacillus subtilis, Bacillus stearothermop Hilus dan Bacillus amyloliquefaciens, sedangkan
yang
  termasuk termolabil dihasilkan dari jamur seperti Aspergilus oryzae dan Aspergilus niger.
α-amilase termodifikasi dapat bekerja pada suhu hingga 105-110ºC dengan kisaran pH 5.1-5.6
selama 60-180 menit. (Sivaramakrishnan, 2006)

Aktivitas enzim α-amilase dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya adalah
pH dan suhu. Enzim α-amilase mempunyai kondisi optimum pada suhu 90-105°C dengan pH
5.6-6.0. Suhu yang terlampau tinggi dari kondisi optimum akan menganggu dan merusak
enzim, sedangkan pemberian suhu yang terlampau rendah dari kondisi optimum akan
menyebabkan gelatinisasi pati tidak sempurna. (Richardson, 2002).

Aktivitas α-amilase ditentukan dengan mengukur hasil degradai pati, biasanya dari
penurunan kadar pati yang larut atau dari kadar amilosa bereaksi dengan iodium akan berwarna
coklat. Selain itu keaktivan α-amilase dapat dinyatakan dengan cara pengukuran viskositas dan
jumlah pereduksi yang terbentuk. (Winarno, 1995).

Cara kerja α-amilase pada molekul amilosa terjadi 2 tahap pertama, degradasi amilosa
menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi ini terjadi sangat cepat
dan diikuti dengan menurunnya viskositas dengan cepat. Yang kedua, relatif sangat lambat
yaitu pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir yang terjadi secara tidak acak.
Sedangkan cara kerja α-amilase pada molekul amilopektin akan menghasilkan glukosa,
maltosa, dan α-limit dextrin. Jenis α- limit dextrin yaitu oligosakarida yang terdiri dari 4 atau
lebih residu gula yang mengandung ikatan α-1,6. (Winarno, 1995)

Mekanisme kerja enzim α-amilase dalam memecah pati amilosa dan amilopektin dapat
dilihat pada. Gambar 2.3

 
 

  Gambar 2. 3 Mekanisme kerja α-amilase.


  (Rahmawati, A.Y., 2015)
2.2.2 Glukoamilase
 
Glukoamilase yang dikenal juga dengan amiloglukosidase (AMG) atau α-(1,4)-D-
 
glukan glukohidrolase. Glukoamilase dapat dihasilkan dari jamur: Aspergillus spp, Rhizopus
oryzae, Rhizopus niveus, dari yeast: Saccharomycopsis fibuligera, Saccharomyces diasticus,
dan dari bakteri : Clostridium acetobutylicum. Glukoamilase yang dihasilkan dari aspergillus
awanori dan Aspergillus niger tergolong thermostabil dan mempunyai kisaran pH yang lebih
optimal. Kedua mikroba tersebut sekarang secara universal digunakan untuk sakarifikasi pati.
Glukoamilase murni banyak digunakan untuk pembuatan sirup glukosa dari maltodekstrin
yang diproduksi oleh α-amilase dari pemurnian pati.
Enzim glukoamilase bersifat eksoamilase, yaitu dapat memotong ikatan α-1,4 pada pati.
Disamping itu glukoamilase juga dapat memotong ikatan α-1,6, sehingga molekul-molekul pati
dapat dikonversikan menjadi molekul-molekul glukosa bebas. Enzim glukoamilase
(amiloglukosidase) mempunyai suhu optimum 500C – 600C dan pH optimum 4,0 – 5,0
(Winarno, 1995).
Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas dan stabilitas enzim glukoamilase
diantaranya adalah:
- Suhu, kondisi suhu optimum untuk enzim ini adalah 40-60°C.
- Nilai pH optimum untuk aktivitas enzim ini adalah 4,5.
- Waktu reaksi yang diperlukan untuk hidrolisis pati sekitar 48-96 jam

(Rahmawati, A.Y., 2015)

2.3 Sorgum
Sorgum merupakan tanaman asli dari wilayah-wilayah tropis dan subtropis di bagian
Pasifik Tenggara dan Australia, wilayah yang terdiri dari Australia, Selandia Baru dan Papua.

 
 

Sorgum merupakan
  tanaman dari keluarga Poaceae dan marga Sorghum. Sorgum sendiri
memiliki 32  spesies. Diantara spesies-spesies tersebut, yang paling banyak dibudidayakan
adalah spesies Sorghum bicolor. Tanaman ini sekeluarga dengan tanaman serealia lainnya
 
seperti padi, jagung dan gandum serta tanaman lain seperti bambu dan tebu (Daru, 2003).
 
Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) merupakan tanaman pangan penting kelima setelah
padi, gandum,
  jagung, dan barley, dan menjadi makanan utama lebih dari 750 juta orang di

daerah
  tropis setengah kering di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Di Indonesia sorgum
merupakan tanaman sereal pangan ketiga setelah padi dan jagung. Sorgum merupakan bahan
 
pangan pendamping beras yang mempunyai keunggulan komparatif terhadap serealia lain
 
seperti jagung, gandum, dan beras. Komoditas ini mempunyai kandungan nutrisi dasar yang
tidak kalah  penting dibandingkan dengan serealia lainnya, dan mengandung unsur pangan
fungsional.
  Biji sorgum mengandung karbohidrat 73%, lemak 3,5%, dan protein 10%,
bergantung pada varietas dan lahan pertanaman.

Gambar 2. 4 Tanaman Sorgum merah.

Kandungan amilosa tepung varietas sorgum termasuk sedang dan sesuai untuk pangan,
mendekati terigu (20-25%). Rasio amilosa dan amilopektin sangat menentukan produk akhir
dari suatu bahan makanan. Sifat amilograf bahan pangan memberikan petunjuk dalam
pemilihan varietas yang sesuai dengan produk yang diinginkan. Pada awal gelatinisasi, waktu
yang dibutuhkan berkisar antara 29,0-29,5 menit. Sementara suhu awal gelatinisasi berkisar
antara 72,5-76,5°C. Berikut adalah sifat amilograf dari beberapa varietas tepung sorgum.
Tabel 2. 1 Sifat Amilograf tepung sorgum.

Awal gelatinase Granul pati pecah Viskositas


Varietas Waktu Suhu Waktu Suhu Viskositas Dingin Balik
(menit) (°C) (menit) (°C) (BU) (BU) (BU)
Kawali 29,5 76,5 42,5 92 360 650 600

 
 

Numbu   29,0 74,5 40 93 270 720 640


Span   29,5 72,5 42 92,5 380 650 600
Sumber: Suarni dan Firmansyah (2005)
 

  Tabel 2. 2 Perbandingan Kandungan Nutrisi Tepung Sorgum dan Terigu.

  Tepung Terigu Tepung Sorgum


Kandungan UPCA-SI Isiap Dorado
  Nutrisi
Abu 9%) 0.47 0.68 0.62
  Protein (%) 11.74 6.98 7.90
Lemak (%) 1.04 1.27 1.19
Pati (%)   74.77 76.81 76.35
Serat Kasar (%) 0.88 1.90 1.79
 
(Sumber: Suarni, 2004).
  Analisis Produk
2.4
Standar mutu gula cair dapat di lihat di bawah ini :
Tabel 2. 3 Standar mutu gula cair menurut SNI 01-2978-1992

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan


1. Keadaan
1.1 Bau Tidak Berbau
1.2 Rasa Manis
1.3 Warna Tidak berwarna
2. Air % b/b Maks. 20
3. Abu %b/b Maks.1
4. Gula pereduksi dihitung sebagai %b/b Min. 30
D-Glukosa
5. Pati Tidak ada
6. Cemaran Logam :
6.1 Timbal ppm Maks. 1
6.2 Tembaga ppm Maks. 10
6.3 Seng ppm Maks. 25
7. Arsen Ppm Maks. 0,5
8. Cemaran Mikroba :
8.1 Angka lempeng total Koloni/g Maks. 5 x 102
8.2 Bakteri coliform APM/g Maks. 20
8.3 E.coli APM/g Kurang dari 3
8.4 Kapang Koloni/g Maks. 50
8.5 Khamir Koloni/g Maks. 50

Produk dianalisis untuk kadar gula total dan gula reduksi dengan dua metode analisis sebagai
berikut :

 
 

2.4.1 Analisis
  Kadar Gula Total menggunakan Portable Brix
Portable
  Brix Meter merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengukur
besarnya konsentrasi larutan yang terkandung di dalam suatu larutan. Satuan skala
 
pembacaan Portable Brix Meter adalah %Brix. Brix adalah zat padat kering yang terlarut
 
dalam suatu larutan yang dihitung sebagai sukrosa. Brix juga dapat didefinisikan sebagai
prosentase massa
  sukrosa yang terkandung di dalam massa larutan sukrosa. Sedangkan
massa
  larutan sukrosa adalah massa sukrosa yang ditambah dengan massa pelarutnya. (Eko,
2010)
 
Menurut Rohman dan Soemantri (2007) ,kadar gula total merupakan kandungan gula
 
keseluruhan dalam suatu bahan pangan yang terdiri dari gula pereduksi dan gula non-pereduksi.
  terhitung pada kadar gula total yaitu gula reduksi dan non-reduksi, yang terdiri
Sehingga yang
dari
  golongan monosakarida, disakarida, oligosakarida dan polisakarida. Gula pereduksi
diantaranya yaitu glukosa, fruktosa, galatoksa, laktosa dan maltosa.
2.4.2 Analisis Kadar Glukosa menggunakan Asam Dinitrosalisilat
Analisa residu glukosa sebagai gula reduksi dilakukan menggunakan reagen asam
dinitrosalisilat (DNS). Dalam analisa ini terlebih dahulu dibuat kurva standar glukosa. Metode
DNS adalah metode penentuan kadar gula reduksi dengan menggunakan pereaksi asam 3,5 –
dinitrosalisilat. Menurut Miller (1959) metode ini digunakan untuk menguji keberadaan gugus
karbonil bebas atau yang biasa disebut dengan gula reduksi. Gugus karbonil didapatkan dari
reaksi oksidasi gugus aldehid dalam glukosa atau gugus keton dalam fruktosa. Selain reaksi
oksidasi, dalam kondisi basa juga terjadi reaksi reduksi, yaitu asam 3,5 – Asam dinitrosalisilat
(DNS) menjadi 3 – amino, 5 – asam nitrosalisilat. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :
oksidasi

✓ Gugus aldehid → gugus karbonil

reduksi

✓ Asam 3,5 – dinitrosalisilat → 3 – amino, 5 – asam nitrosalisilat

Reaksi di atas menunjukkan bahwa 1 mol gula (gugus aldehid) akan bereaksi dengan 1
mol asam 3,5 – dinitrosalisilat. Reaksi oksidasi glukosa dapat dipengaruhi oleh oksigen terlarut,

 
 

karena itu ditambahkan


  sulfit ke dalam larutan pereaksi DNS untuk menyerap oksigen terlarut
tersebut. Selain
  itu juga ditambahkan NaOH untuk menciptakan kondisi basa.

Anda mungkin juga menyukai