Anda di halaman 1dari 3

TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN

A. TATA CARA PEMBAYARAN

TATA cara pembayaran PBB yang dipungut pemerintah pusat diatur dalam Pasal 11 ayat (5) UU PBB.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pembayaran PBB dapat dilakukan di bank, kantor pos, giro, dan tempat
lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan.

Selanjutnya, mengacu pada Pasal 11 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No.242/PMK.03/2014
tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak (PMK 242/2014), pembayaran dan penyetoran
pajak termasuk PBB dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).

Selain dengan SPP, pambayaran dan penyetoran PBB juga dapat dilakukan menggunakan sarana
administrasi lain yang disamakan dengan SSP. Adapun sarana administrasi lain yang dimaksud
berdasarkan Pasal 11 ayat (3) PMK 242/2014. Sarana administrasi lain itu meliputi bukti penerimaan
negara (BPN), bukti pemindahbukuan (Pbk) atas pembayaran, atau bukti penerimaan pajak lainnya yang
ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang penggunaanya akan dinyatakan sah
jika telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Untuk bukti Pbk baru
dinyatakan sah apabila telah ditandatangani oleh pejabat yang berwenang untuk menerbitkan bukti Pbk.

Adapun tata cara pembayaran PBB yang dipungut oleh pemerintah daerah diatur dalam peraturan
masing-masing daerah sebagaimana ditekankan dalam Pasal 101 ayat (4) UU PDRD. Untuk tenggat
waktu pembayaran juga ditetapkan oleh pemerintah daerah, misalnya dalam hal ada perpanjangan
jatuh tempo pembayaran PBB. Simak Jatuh Tempo Pembayaran PBB-P2 Diperpanjang Sampai Oktober
2020.

Namun, apabila wajib pajak masih belum juga melunasi pembayaran PBB baik yang dipungut
pemerintah pusat maunpun daerah sampai waktu jatuh tempo maka berdasarkan Pasal 13 UU PBB dan
Pasal 102 UU PDRD, otoritas pajak dan pemerintah daerah dapat melakukan penagihan dengan surat
paksa.

Selain itu, untuk memudahkan wajib pajak, saat ini sudah banyak pemerintah daerah yang menerapkan
pembayaran PBB melalui sistem elektronik atau online. Pembayaran tersebut dilakukan melalui aplikasi
tertentu sesuai dengan yang ditetapkan oleh masing-masing

Contoh Simulasi Cara Bayar PBB

Rumus penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan : Tarif x NJKP

Jika NJKP = 40% x (NJOP – NJOPTKP)

Maka besarnya PBB adalah

0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP)


0,2% x (NJOP-NJOPTKP)

Jika NJKP = 20% x (NJOP – NJOPTKP)

Maka besarnya PBB adalah

= 0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP)

= 0,1% x (NJOP-NJOPTKP)merintah.

B. PENAGIHAN

KETENTUAN penagihan PBB yang dipungut oleh pemerintah pusat mengacu pada Pasal 11 Undang-
Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB). Berdasarkan ketentuan
tersebut, jangka waktu pembayaran pajak terutang ditentukan berdasarkan jenis surat terutang yang
merupakan dasar penagihan pajak tersebut.

Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) UU PBB, otoritas pajak melakukan penagihan pajak dengan
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang diterbitkan atas dasar Surat Pemberitahuan Obyek
Pajak (SPOP). Namun, untuk membantu wajib pajak, SPPT dapat diterbitkan berdasarkan data objek
pajak yang telah ada pada Ditjen Pajak (DJP). Selain itu, merujuk pada Pasal 10 ayat (2) UU PBB, otoritas
pajak juga dapat melakukan penagihan pajak dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP) apabila wajib pajak
tidak memenuhi kewajiban perpajakan yang berlaku. Penagihan dengan SKP tersebut dilakukan apabila
wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP pada waktunya walaupun sudah ditegur secara tertulis atau
apabila jumlah pajak yang terutang ternyata lebih besar dari jumlah pajak dalam SPPT yang dihitung atas
dasar SPOP.

Untuk penagihan pajak yang terutang dengan SPPT, berdasarkan pada Pasal 11 ayat (1) UU PBB, pajak
yang terutang tersebut harus dilunasi dalam jangka waktu paling lambat enam bulan. Jangka waktu
tersebut terhitung sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak yang bersangkutan. Sementara itu,
sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) UU PBB, untuk penagihan pajak yang terutang dengan SKP, pajak yang
terutang tersebut harus dilunasi paling lambat dalam waktu satu bulan. Jangka waktu yang dimaksud
juga terhitung sejak tanggal diterimanya SKP oleh wajib pajak. Lebih lanjut, sesuai Pasal 11 ayat (3) UU
PBB, apabila seorang wajib pajak terlambat atau kurang dalam melakukan pembayaran pajak yang
terutang padanya maka terhadap wajib pajak tersebut akan dikenai denda administrasi. Adapun denda
yang dikenakan, sebesar 2% setiap bulannya dihitung sejak tanggal jatuh tempo sampai tanggal
dilakukannya pembayaran dalam jangka waktu paling lama 24 bulan.

Sebagaimana diatur Pasal 11 ayat (4) UU PBB, untuk penagihan denda administrasi dan pokok pajaknya
dilakukan melalui Surat Tagihan Pajak (STP). Adapun dalam penagihan yang dilakukan, meliputi denda
administrasi beserta jumlah hutang pajak yang belum atau yang kurang dibayarnya. Denda administrasi
tersebut harus dilunasi paling lambat dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya STP oleh wajib
pajak. Selain itu, mengacu pada ketentuan Pasal 14 UU PBB, menteri keuangan juga dapat melimpahkan
kewenangan untuk melakukan penagihan PBB kepada gubernur, bupati, atau wali kota madya.
Selanjutnya, ketentuan penagihan PBB yang dipungut oleh pemerintah daerah (PBB-P2) diatur dalam
Pasal 101 UU PDRD. Sesuai dengan pasal tersebut, kepala daerah memiliki kewenangan untuk
menentukan tanggal jatuh temponya pembayaran dan penyetoran PBB yang terutang.

Mengenai penetapan tanggal jatuh temponya, berdasarkan Pasal 101 ayat (1) UU PDRD, harus sudah
ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 30 hari kerja setelah saat terutangnya pajak. Sementara itu,
untuk penetapan tanggal jatuh setelah diterimanya SPPT oleh wajib pajak tidak boleh lebih dari enam
bulan sejak tanggal diterimanya SPPT tersebut. Berdasarkan Pasal 101 ayat (2) UU PDRD, untuk dasar
penagihan pajak melalui SPPT, SKPD (Surat Ketetapan Pajak Daerah), SKPDKB (Surat Ketetapan Pajak
Daerah Kurang Bayar), SKPDKBT (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan), STPD (Surat
Tagihan Pajak Daerah), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan putusan banding
yang menyebabkan jumlah PBB yang harus dibayar bertambah maka pajak yang terutang tersebut harus
dilunasi dalam jangka waktu paling lama satu bulan. Jangka waktu di atas mulai terhitung sejak tanggal
diterbitkannya dasar penagihan tersebut. Selain itu, berdasarkan Pasal 101 ayat (3) UU PDRD, kepala
daerah juga diberi kewenangan untuk memberikan persetujuan kepada wajib pajak agar dapat
mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya apabila wajib pajak tersebut telah memenuhi
persyaratan yang ditentukan. Namun, untuk pengangsuran atau penundaan pembayaran tersebut,
dikenakan bunga sebesar 2% untuk setiap bulannya sampai pembayaran dilunasi.

Secara keseluruhan, perbedaan antara penagihan PBB oleh pemerintah pusat dan daerah terletak pada
pihak yang berwenang untuk melakukan penagihan tersebut. Jika dibandingkan dengan penagihan PBB
oleh pemerintah pusat, ketentuan penagihan PBB oleh pemerintah daerah atau PBB-P2 cenderung lebih
beragam. Hal ini dikarenakan tergantung dari ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah daerahnya
masing-masing seperti mengenai tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran PBB.

Anda mungkin juga menyukai