Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring dengan berkembangnya teknologi produksi bahan kimia serta
teknologi pengolahan bahan pangan dan farmasi, bahan pemanis sintetis telah
banyak digunakan sebagai alternatif pengganti gula. Namun, penggunaan pemanis
sintetis ini masih menuai kontroversi karena efek samping yang dihasilkan, salah
satunya yaitu bersifat karsinogenik. Maka dari itu, diperlukan produk berupa
pemanis buatan yang berasal dari bahan alami dan aman bagi kesehatan. Salah
satu produk pemanis yang telah banyak digunakan ialah xylitol.
Xylitol adalah senyawa kimia dengan rumus molekul C5H12O5 yang
merupakan gula alkohol berantai lima karbon. Xylitol pertama kali ditemukan
pada tahun 1981 oleh seorang ahli kimia Jerman bernama Emil Fischer. Xylitol
memiliki sifat diantaranya memiliki bentuk berupa padatan kristal putih, larut
dalam etanol dan metanol, tidak berbau dan memiliki berat molekul 152,15 g/mol.
Di antara gula alkohol lainnya, xylitol memiliki lebih banyak manfaat. Xylitol
mempunyai banyak manfaat diantaranya sebagai suplemen untuk mengatasi
metabolisme tulang, antimikroba pada infeksi telinga dan infeksi saluran
pernapasan, sebagai penghambat bakteri penyebab karies gigi, bahan pemanis
campuran untuk beberapa produk seperti permen karet dan pasta gigi dan bahan
pemanis untuk penderita diabetes. Selain di bidang kesehatan dan makanan,
penggunaan xylitol juga banyak ditemukan dalam industri kosmetik sebagai zat
tambahan dan dalam bidang kecantikan yaitu dapat meningkatkan pembentukan
kolagen dalam tubuh serta dapat melindungi kulit dari peradangan (Chukwuma,
2016).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, kebutuhan xylitol di Indonesia
terus meningkat setiap tahunnya. Kebutuhan ini dipenuhi melalui impor, karena
sampai saat ini belum terdapat pabrik xylitol yang beroperasi di Indonesia. Dari
tahun 2010 hingga tahun 2012, impor xylitol mengalami peningkatan rata-rata
sebesar 53%. Kebutuhan xylitol di Indonesia mencapai 1936,07 ton pada tahun
2012 dan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan hingga mencapai

1
7457,75 ton pada tahun 2025. Menurut pasar global, berdasarkan CAGR
(Compound Annual Growth Rate) konsumsi xylitol pada tahun 2025 diperkirakan
akan tumbuh sebesar 6% dari tahun 2022–2025, sehingga akan mencapai 282.490
ton. Selain itu, berdasarkan data (Grand View Research,2021) pasar global xylitol
juga diperkirakan akan mencapai $1,37 milliar pada tahun 2025. Hal ini
membuktikan bahwa xylitol memiliki peluang yang besar dibidang ekspor.
Kebutuhan xylitol di Indonesia yang terus meningkat tidak diiringi dengan
ketersediaan industrinya. Padahal bahan baku di indonesia cukup melimpah,
xylitol dihasilkan dari xylan yang diperoleh dari hemiselulosa yang berasal dari
berbagai tanaman seperti serat kayu, tongkol jagung, ampas tebu, kulit gandum
dan sekam padi. Dari beberapa bahan baku tersebut, sekam padi memiliki
ketersediaan yang paling besar di Indonesia. Hal ini karena, tanaman padi sangat
berlimpah dan menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia, serta limbahnya
belum dimanfaatkan secara maksimal. Dimana, sekitar 20% dari berat padi
merupakan sekam padi. Sekam padi ialah limbah dari tanaman padi yang
merupakan bahan berlignoselulosa yang mengandung xylan sebanyak 29,91%
yang dapat dikonversi menjadi xylosa untuk memproduksi xylitol. Berdasarkan
data dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2019, Indonesia dapat memproduksi
padi sebanyak 54.604.033,34 ton dengan sentra tanaman padi yang menyebar
hampir di seluruh provinsi. Di Provinsi Kalimantan Selatan sendiri yang
merupakan lokasi untuk pendirian pabrik, memproduksi padi sebesar 1.342 861,82
ton. Sehingga, terdapat sekitar 268.572,36 ton sekam padi di Kalimantan Selatan
yang belum dimanfaatkan dan dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan
xylitol.
Berdasarkan manfaat yang dihasilkan xylitol dan ketersediaan sekam padi
di Indonesia, maka pendirian pabrik xylitol perlu dipertimbangkan. Pemenuhan
kebutuhan xylitol di Indonesia juga masih bergantung pada impor karena belum
terdapat pabrik yang memproduksi xylitol di Indonesia. Selain dapat mengurangi
ketergantungan impor dan menambah devisa negara yang dapat memperbaiki
defisit neraca perdagangan di Indonesia. Pendirian pabrik xylitol ini juga
diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat Indonesia dengan

2
mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia karena tersedianya lapangan
pekerjaan.
1.2 Analisis Pasar
Kebutuhan xylitol untuk keperluan beberapa industri di Indonesia masih
bergantung impor dari negara luar seperti Jepang, Kanada dan China. Data impor
tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.1

2500

2000
y = 444,71x - 893080
R² = 0,8004
1500
Jumlah

1000

500

0
2009 2010 2011 2012
Tahun

Gambar 1. 1 Grafik Impor Xylitol di Indonesia


Berdasarkan Gambar 1.1 dapat dilihat adanya fluktuasi kegiatan impor
xylitol di Indonesia. Pada tahun 2009 terjadi penurunan kegiatan impor hingga
tahun 2010, kemudian terjadi peningkatan pada tahun 2011 hingga 2012. Dari
Gambar 1.1 didapatkan persamaan regresi linier yaitu y = 444,71x - 893080,
sehingga diperkirakan kebutuhan impor xylitol Indonesia pada tahun 2025 sebesar
7457,75 ton/tahun. Dikarenakan, pabrik xylitol ini direncanakan untuk memenuhi
kebutuhan ekspor. Maka, berikut adalah data dan proyeksi kebutuhan xylitol di
pasar global yang dapat dilihat pada Tabel 1.1
Tabel 1. 1 Kebutuhan Xylitol di Pasar Global
Tahun Jumlah (ton)
2020 242.000
2022 266.500
(Industry Experts, 2020)

3
Berdasarkan Tabel 1.1, dapat diperkirakan kebutuhan xylitol pada tahun
2025 di pasar global sebesar 282.490 ton. Adapun data pabrik xylitol yang telah
berdiri di beberapa negara pada Tabel 1.2 yang dijadikan pertimbangan tambahan
dalam menentukan kapasitas pabrik xylitol ini

Tabel 1. 2 Pabrik Xylitol yang telah Berdiri


Nama Pabrik Negara Kapasitas (ton/tahun)
Nikken Chemicals Jepang 50.000
Sunopta Kanada 10.000
Yucheng Futian Pharmacy China 10.000
Futaste China 35.000
Total 105.000
Rata-rata 26.250
(Independent Commodity Information Services, 2014)
Penentuan kapasitas produksi pabrik xylitol dapat menggunakan data
acuan pabrik xylitol yang telah berdiri. Data kapasitas produksi dapat dilihat pada
Tabel 1.2, dimana rata-rata produksi xylitol sebesar 26.250 ton/tahun. Pada Tabel
1.1 dan Tabel 1.2, dapat dilihat bahwa kapasitas pabrik yang telah berdiri baru
memenuhi 50% dari kebutuhan xylitol pasar global. Maka dari itu, untuk
memenuhi kebutuhan xylitol di Indonesia dan pasar global pada tahun 2025,
pabrik ini didirikan dengan kapasitas produksi 50% dari rata-rata produksi xylitol
di dunia yaitu sebesar 10000 ton/tahun. Dimana, pabrik ini akan memenuhi 100%
kebutuhan xylitol di Indonesia dan 0,89% untuk kebutuhan pasar global.
Dalam menentukan kapasitas produksi, ketersediaan bahan baku menjadi
salah satu hal yang harus dipertimbangkan. Pada pabrik xylitol ini digunakan
bahan baku berupa sekam padi yang diperoleh dari limbah tanaman padi. Padi
merupakan makanan pokok di Indonesia, sehingga sentra tanaman padi menyebar
hampir di seluruh provinsi. Persebaran produksi padi di Indonesia dapat dilihat
pada Tabel 1.3 sebagai berikut.

4
Tabel 1. 3 Produksi Padi di Indonesia
Provinsi Produksi (Ton)
Sumatera 10.931.055,97
Jawa 30.328.885,14
Bali 579.320,53
Nusa Tenggara Barat 1.402.182,39
Nusa Tenggara Timur 811.724,18
Kalimantan Barat 847.875,13
Kalimantan Tengah 443.561,33
Kalimantan Selatan 1.342 861,82
Kalimantan Timur 253.818,37
Sulawesi 7.227.907,83
Maluku 166.143,95
Papua 265.283,07
Indonesia 54.604.033,34
(Badan Pusat Statistik, 2019)

Berdasarkan Tabel 1.3 dapat dilihat bahwa total produksi padi di


Indonesia pada tahun 2019 mencapai 54.604.033,34 ton dengan luas panen
sebesar 10.677.887,15 ha dan rata-rata produksi 5,11 ton/ha. Diperkirakan, sekitar
20% dari berat padi merupakan sekam padi (Prasetyoko, 2001 dalam Indra, 2013).
Pada pabrik ini, sekam padi yang dibutuhkan untuk menghasilkan xylitol dengan
kapasitas produksi 10.000 ton/tahun ialah sebanyak 110.441 ton sekam padi per
tahun nya. Dapat diketahui jumlah sekam padi dari total produksi di Indonesia
yaitu sebesar 10.920.807 ton. Dengan demikian, terdapat sekitar 11 juta ton sekam
padi di Indonesia yang belum dimanfaatkan dengan optimal. Di Kalimantan
Selatan yang merupakan lokasi pendirian pabrik dapat dilihat bahwa total
produksi padinya pada tahun 2019 mencapai 1.342.861,82 ton. Sehingga, terdapat
sekitar 268.572,36 ton sekam padi di Kalimantan Selatan yang belum
dimanfaatkan dan dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan xylitol.

5
1.3 Pemilihan Lokasi
Dalam mendirikan suatu pabrik atau industri, pemilihan lokasi merupakan
salah satu faktor penting untuk dipertimbangkan. Pendirian pabrik xylitol ini akan
dibangun di Provinsi Kalimantan Selatan tepatnya di Kecamatan Kuala Lupak,
Kabupaten Barito Kuala. Pemilihan lokasi pabrik ini merupakan upaya untuk
mengoptimalkan SDA lokal dan meningkatkan strategi pembangunan industri di
Indonesia, khususnya di Pulau Kalimantan. Adapun lokasi pabrik dapat dilihat
pada Gambar 1.2

Gambar 1. 2 Lokasi Pabrik (Google Earth, 2019)


Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi pabrik
diantaranya ketersediaan bahan baku, utilitas, kondisi geografis, sarana dan
prasana transportasi, tenaga kerja.
1. Ketersediaan Bahan Baku
Pada Tabel 1.3 dapat diketahui bahwa produksi padi tertinggi di Pulau
Kalimantan berada di Provinsi Kalimantan Selatan yaitu sebesar 1.342 861,82 ton.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik pada tahun 2019 yang ditunjukkan pada Tabel
1.5, dimana produksi padi tertinggi terdapat di Kabupaten Barito Kuala yaitu
sebesar 284.559 ton. Sehingga dapat diketahui jumlah sekam padi dari total
produksi yaitu sebesar 56.911,8 ton. Jumlah sekam padi di Kabupaten Barito
Kuala baru memenuhi 50% dari kapasitas pabrik, sehingga sekam padi dapat
diperoleh dari daerah sekitar pabrik seperti Kota Banjar. Sekam padi dapat

6
diperoleh dari penggilingan padi Sentra Pelayanan Pertanian Padi Terpadu (SP3T)
Salat Makmur.

Tabel 1. 4 Produksi Padi di Provinsi Kalimantan Selatan


Kabupaten/Kota Produksi (ton)
Barito Kuala 284.559
Banjar 245.196
Tapin 161.648
Hulu Sungai Tengah 134.653
Hulu Sungai Selatan 124.999
Tanah Laut 117.728
Hulu Sungai Utara 96.296
Tabalong 56.611
Tanah Bumbu 55.193
Kota Baru 20.172
Balangan 19.924
Banjarmasin 19.774
(Badan Pusat Statistik,2019)

2. Utilitas
Utilitas merupakan sarana penunjang untuk mendukung proses produksi
yang meliputi air dan listrik. Dikarenakan lokasi pabrik berada di pinggir laut,
maka dapat memanfaatkan air laut untuk kebutuhan pabrik. Kemudian untuk
kebutuhan listrik dapat dipenuhi oleh PT. PLN (Persero) Unit Pelaksana
Pengendalian Pembangkitan Barito (UPDK BARITO).

3. Infrastruktur
Sarana dan prasarana transportasi di Kabupaten Barito Kuala dapat melalui
jalur air dengan memanfaatkan sungai dan laut dalam pendistribusian barang baik
untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal, perdagangan antar pulau hingga
perdagangan internasional. Sedangkan untuk transportasi jalur darat dapat melalui
jalan trans antar provinsi Kalimantan.

7
4. Kondisi Geografis
Secara astronomis, Kabupaten Barito Kuala terletak antara 2˚29’50” -
3˚30’18” Lintang Selatan dan 114˚20’50” - 114˚50’18” Bujur Timur. Berdasarkan
posisi geografisnya, kabupaten ini memiliki batas-batas : sebelah utara berbatasan
dengan Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Tapin, sebelah selatan
berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Banjar
dan Kota Banjarmasin dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kapuas
Provinsi Kalimantan Tengah.

5. Tenaga Kerja
Tenaga kerja dapat dipenuhi dari SDM yang terdapat di Provinsi
Kalimantan Selatan. Menurut Data Badan Pusat Statistik tahun 2019, di
Kalimantan Selatan terdapat sekitar 65.819 siswa SMA dan 55.793 siswa SMK
serta terdapat 49 perguruan tinggi yang 3 diantaranya merupakan perguruan tinggi
negeri. Hal ini membuktikan bahwa masih banyak sumber daya manusia yang
akan terjun ke dunia kerja. Sedangkan untuk tenaga kerja ahli yang tidak tersedia
dapat diperoleh dari luar daerah.

Tabel 1. 5 Angkatan Kerja di Provinsi Kalimantan Selatan


Angkatan
2016 2017 2018 2019 2020*
Kerja
Bekerja 1.965.088 1.975.161 2.021.666 2.036.736 2.083.319
Pengangguran 113.296 98.956 95.278 91.730 103.648
Total 2.078.384 2.074.117 2.116.944 2.128.466 2.186.967
(Badan pusat Statistik, 2020)

Berdasarkan Tabel 1.5, dapat dilihat bahwa jumlah angkatan kerja pada
tahun 2020 di Provinsi Kalimantan Selatan terjadi peningkatan dan diperkirakan
akan terus meningkat hingga tahun 2025.

6. Harga Tanah dan Upah Minimum Lokal


Faktor lain yang mendukung dalam penentuan lokasi pabrik yaitu harga
tanah dan upah karyawan. Harga tanah di Kalimantan Selatan pada tahun 2019
sebesar Rp.275.000/m2 dengan proyeksi kenaikan harga tanah sekitar 10% per

8
tahun, sehingga harga tanah pada tahun 2025 adalah sebesar Rp.487.179/m 2.
Kemudian untuk upah minimum kerja tahun 2019 di Kalimantan Selatan sebesar
Rp.2.651.781/bulan pada tahun 2019. Berdasarkan keputusan Gubernur
Kalimantan Selatan Nomor 188.44/0734/KUM/2020, pada tahun 2021 ditetapkan
Upah Minimum Provinsi (UMP) Kalimantan Selatan sebesar Rp.2.877.448. Upah
karyawan di proyeksi mengalami kenaikan maksimal tiap tahun sebesar 8,5%
menurut peraturan pemerintah (PP) nomor 78 pasal 44 Ayat 1 dan ayat 2 tahun
2015 tentang pengupahan, sehingga upah karyawan pada tahun 2025 adalah
sebesar Rp.3.987.368. Sedangkan untuk harga tanah pada tahun 2025 di lokasi
pendirian pabrik yaitu Kabupaten Barito Kuala diperkirakan adalah sebesar
Rp.531.468/m2. Lalu untuk upah karyawan pada tahun 2025 sebesar
Rp.3.987.368, dimana nilainya sama dengan besarnya upah karyawan di Provinsi
Kalimantan Selatan. Kabupaten Barito Kuala memiliki harga tanah dan upah
karyawan yang rendah jika dibandingkan dengan kabupaten lain seperti Tabalong
dan Banjarmasin, dimana Kabupaten Tabalong memiliki harga tanah sebesar Rp.
3.865.224/m2 dan upah karyawan sebesar Rp.4.469.818. Sedangkan Kabupaten
Banjarmasin memiliki harga tanah sebesar Rp. 2.657.342/m2 dan upah karyawan
sebesar Rp.4.388.010. Sehingga dengan harga tanah dan upah karyawan yang
rendah, perusahaan dapat mempertahankan biaya operasional dan investasi modal
yang rendah.

Anda mungkin juga menyukai