Nasib Seorang Pendengar Setia

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 2

Nasib Seorang Pendengar Setia

Dokter : (dengan muka sedikit tegang) Terus terang saya angkat tangan, Pak. Setelah
menimbang segala asoek medis dan nonmedis yang saya catat selama Bapak
menjadi pasien saya,saya sampai pada dugaan kuat bahwa yang bias
menyembuhkan Bapak hanyalah Bapak sendiri.

Pak Darsono : Lho….?

Dokter : Apakah selama ini Pak Dar memendam masalah serius?

Pak Darsono : (menahan napas, mulutnya terkatup rapat)

Dokter : Kalau Pak Dar tidak menyadari atau tidak bersedia mengaku ada persoalan
yang menghantui pikiran Bapak,dan Bapak tidak kunjung bisa mengatasi
persoalan itu, saya khawatir kondisi kesehatan Bapak akan terus menurun
tanpa mengetahui penyakitnya apa.

Pak Darsono : (menghembuskan napas pelan) Ya. Saya memang memendam persoalan yang
serius

Dokter : Pernah Bapak menceritakannya pada orang lain?

Pak Darsono : Sulit saya menceritakannya.

Dokter : Pada ibu? Maksud saya…istri?

Pak Darsono : Saya tidak bisa cerita ke dia.

Dokter : Persoalan menyangkut…maaf, hubungan dengan wanita lain?

Pak Darsono : Bukan. Saya bukan tipe lelaki yang suka selingkuh.

Dokter : Jadi? Bagaimanapun Bapak harus bercerita. Kalau Bapak tak keberatan, saya
bersedia jadi pendengar setia.

Pak Darsono : Jangan. Jangan pernah menjadi pendengar setia.

Dokter : Kenapa?

Pak Darsono : Persoalan serius yang saya hadapi sekarang karena kebiasaan menjadi
pendengar setia

Dokter : Lho? Kok bisa?

Pak Darsono : dokter tahu, belasan tahun saya menjadi staf ahli Pak Imaluddin.

Dokter : Ya. Kesempatan itu kesempatan yang sangat berharga. Paling tidak, karier
Bapak cepat melejit, mengikuti perkembangan karier Pak Imaluddin.

Pak Darsono : Ah. Orang Cuma melihat segi enaknya saja.

Dokter : (bingung) Habis mesti melihat segi apanya lagi? Posisi Bapak adalah impian
semua orang
Pak Darsono : Kalau saja atasan saya bukan Pak Imaluddin… Dokter tahu bagaimana kegiatan
sehari hari saya?

Dokter : Ah saya tidak bisa membayangkan sekian banyak tanggung jawab. Pastilah
jadwal Bapak sudah terbagi rapi dari menit ke menit.

Pak Darsono : Kalau memang begitu, saya justru senang. Tapi yang terjadi pada saa adalah
kemubaziran waktu hanya untuk melakukan pertemuan pribadi dengan
beliau. Saya dipanggil hanya untuk mendengarkan beliau bicara. Beliau jarang
bicara masalah social, ekonomi, apalagi politik.

Dokter : Lalu bicara soal apa?

Pak Darsono : Dia senang melucu.

Dokter : Melucu…?

Pak Darsono : Ya,dia punya ribuan lelucon dan selalu cerita pada saya

Dokter : Lalu Bapak di minta menanggapi atau…

Pak Darsono : Ya, tertawa saja. Dia ceritakan lelucon, saya tertawa. Dia melucu lagi, saya
tertawa lagi. Kadang leluconnya sulit ditangkap, lalu dia tertawa duluan, baru
kemudian saya tertawa, meski tak tahu lucunya dimana. Atau belum selesai
melucu, dia sudah tertawa sendiri.

Dokter : Wah, itu baru lucu.

Pak Darsono : Pada tahun-tahun awal saya jadi stafnya, lelucon yang dibawakan masih lucu
dan membuat saya benar-benar tertawa. Lama-lama, dia suka mengarang
sendiri dan leluconnya banyak yang tidak lucu lagi. Tapi, bagaimanapun saya
harus tetap tertawa. Berusaha menjaga suasana ini.

Pak Darsono : Dia sambung dongengnya dengan tertawa terbahak-bahak berkepanjangan.


Saya pun harus ikut tertawa. Lama-lama, tertawa bukan lagi menjadi reaksi
atas kelucuan, melainkan sebagai tugas yang harus saya jalankan penuh
kepatuhan. Dalam tempo singkat, sempat saya perhatikan dia begitu girang
dengan dagelannya sendiri. Geli sendiri.. Syuur sendiri.

Anda mungkin juga menyukai