Makalah Peminangan Dalam Adat Suku Bugis
Makalah Peminangan Dalam Adat Suku Bugis
Disusun Oleh:
FAKULTAS HUKUM
PRODI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas semua kehendaknya,
sehingga penulis berhasil menyelesaikan tugas makalah dengan tepat waktu yang
berjudul "PEMINANGAN DALAM ADAT SUKU BUGIS."
Dalam penyusunan makalah ini, semua isi ditulis berdasarkan jurnal referensi dan apa
yang terjaadi disekitar yang berkaitan dengan peraturan daerah yang ada di lingkungan
sekitar. Apabila dalam isi makalah ditemukan kekeliruan atau informasi yang kurang
valid, penulis sangat meminta maaf atas kekurangan dari isi makalah.
Akhir kata, penulis makalah mengucapkan terima kasih.
DAFTAR ISI
Masyarakat pada dasarnya telah menentukan tentang tata cara tertentu untuk dapat
melangsungkan perkawinan. Pada prinsipnya tentang tata cara paling umum yang dilakukan
masyarakat ialah melalui peminangan. Dalam hal peminangan pada tiap masyarakat yang ada di
terdapat kesamaan, namun perbedaan hanyalah kira-kira terdapat pada alat atau sarana
pendukung proses peminangan tersebut.
1.3 TUJUAN
1. Mengetahui Apa Itu Meminang Dalam Adat Suku Bugis.
2. Mengetahui Tata Cara Meminang Dalam Adat Suku Bugis.
BAB II
PEMBAHASAN
Duta ini disebut Mallino atau utusan resmi karena mereka ingin langsung berhadapan dengan
orang tua atau wakil dari orang tua anak gadis yang akan dilamar. Pertemuan ini di dahului
dengan pembicaraan keadaan hidup sehari-hari dan sebagainya akan tetapi pembicaraan yang
bersangkut paut dengan kedatangannya, sebagai pembuka maksud perkunjungan keluarlah
ungkapan pantun-pantun.
Beberapa dialog antara To Madduta dan To Riadduta yang dibawakan pada pertemuan
utusan atau wakil dari kedua keluarga yaitu:
1. To Madduta: Dengan hati yang jujur, suci, murni. Kami datang membawa berita bahagia
menyampaikan niat suci kami.
2. To Madduta: Kembang ros itu cukup mekarlah sudah, apakah belum ada yang
menyimpangnya.
3. To Riadduta: Apakah tidak ada gadis di negeri tuan, sehingga jauh mencari. To Madduta:
Ada juga gadis cantik di negeri kami, tetapi bukan kecantikan yang kami cari, melainkan
budi pekerti yang baik.
4. To Riadduta: Siapakah yang akan memetik anak kami, anak yang belum tahu apa-apa.
5. To Madduta: Biarlah tidak tahu apa-apa, karena perhiasan yang tak kunjung layu, akan
kujadikan pelita hidupku.
Bagi masyarakat bugis pinangan seorang dianggap sah apabila telah diutarakan secara jelas
dan tegas pada acara madduta atau massuro. Oeleh karena itu, madduta pada prinsipnya wadah
pelamaran secara langsung dari pihak laki-laki dan sekaligus penerimaan atau penolakan dari
pihak perempuan . dengan demikian, madduta pada prinsipnya sejalan dengan tuntunan islam
dalam melakukan peminangan. Dikatakan demikian karena dalam Islam peminangan atau
pelamaran dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung, bahkan dapat dilakukan
secara tertulis atau dengan sindiran.
Dapatlah disimpulkan bahwa maksud baik To Madduta telah di terima baik oleh pihak To
Riaddutai. Artinya pihak perempuan menerima dengan baik lamaran baik lamaran pihak laki-
laki. Namun, tentunya masih banyak hal yang bersangkutan paut dengan pelaksanaan pernikahan
yang perlu dimusyawarahkan lebih lanjut agar dapat diperoleh kata sepakat. Misalnya, hal
tentang uang belanja, hari pernikahan, dan uang mahar. Untuk itu baik pihak perempuan maupun
pihak laki-laki, masih perlu bermusyawarah dengan keluarga masing-masing.
Dalam ushaa menetapkan hak-hak yang bertalian deangan pernikahan seperti apa yang
dijelaskan tadi, dalam proses madduta harus ada tahapan yang harus dilalui diantaranya:
1. Mappettu Ada Atau Mappasiarekeng
Walaupun pihak perempuan sudah menerima lamaran pihak laki-laki, pihak perempuan
masih perlu memusyawarahkan maksud kedatangan To Madduta. Orang tua perempuan
berusaha menemui keluarga terdekatnya untuk memberitahukan hal tersebut. Setelah mereka
sepakat untuk menerima baik lamaran pihak laki-laki, ditetapkanlah hari pelaksanaan Mappettu
Ada. Sejatinya mappettu ada atau mappasiarekeng tujuannya hanya untuk menguatkan
kesepakatan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan pada acara madduatta atau massuro.
Oleh karena itu, apabila pada acara madduta atau massuro, lamaran laki-laki dinyatakan telah
diterima oleh pihak perempuan, maka pada acara mappasiarekeng ditegaskan kembali dengan
membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan perkawinan. Dengan
demikian, setelah mappasiarekeng kedua belah pihak tidak bisa menyalahi atau mebatalkan
kesepakatan, sehingga pihak perempuan tidak dapat membatalkan penerimaan lamaran,
demikian pula pihak laki-laki tidak dapat menarik kembali lamarannya. Mappetu ada atau
mappasiarekeng adalah prosesi terakhir dari tahap peminangan meneurut adat bugis. Oleh
karena itu, mappettu ada atau mappasiarekeng pada dasarnya merupakan acara untuk
memepersaksikan pernyataan kesepakatan untuk melangsungkan perkawinan antara kedua
belah pihak.
Dalam acara Mappettu Ada, dibicarakan dan diputuskan segala sesuatu yang bertalian
dengan upacara pernikahan, yang antara lain meliputi hal-hal berikut:
A. Tanra Esso (Penentuan Hari)
Dalam Penentuan acara puncak atau pesta hari pernikahana sangat perlu
dipertimbangkan beberapa faktor seperti waktu-waktu dianggap luang bagi keluarga pada
umumnya. Jika pihak keluarga baik laki-laki atau perempuan berstatus petani biasanya
merekamemilih waktu sesudah panen. Jika lamaran itu terjadi pada saat musim tanam padi,
biasanya mereka memilih waktu sesudah panen. Disamping itu juga dipertimbangkan hari lahir
perempuan karena yang lebih banyak menentukan hari jadi pernikahan pesta adalah perempuan.
B. Doi Menre/Belanca (Uang Belanja)
Doi Menre merupakan biaya yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan
dalam rangka pelaksanaan pesta pernikahan yang akan diadakan. Doi Menre sebagai ketetapan
Ade’ (Adat), dalam budaya perkawinan masyarakat Bugis disebut dengan istilah nanre api
nalireng cemme (habis termakan api). Oleh karena itu apabila terjadi perceraian sebelum
hubungan seksual antara suami istri, Doi Menre tidak dikembalikan karena telah dibelanjakan
sehubungan diadakannya upacara pesta perkawinan. Doi Menre (uang belanja) di kalangan
masyarakat Bugis sangat sensitive dan sangat menentukan diterima atau tidaknya suatu lamaran
dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan. bahkan Doi Menre menjadi ukuran dari strata
sosial calon mempelai perempuan dan menjadi ukuran dari kedadaan sehari-harinya. (orang
berbeda). Kendatipun demikian, jumlah Doi Menre sangat relatif berdasarkan kesepakatan kedua
belah pihak.
Dalam budaya perkawinan masyarakat bugis, seorang laki-laki melamar seorang
perempuan yang tingkatan strata sosialnya bangsawan, sedang dia bukan bangsawan, maka Doi
Menre yang diberikan harus tinggi, karena termasuk di dalamnya pangelli darah (pembeli darah),
sekalipin tidak dijelaskan secara trasnparan. Demikian pula halnya dengan perempuan yang
berada, atau punya pangkat dan jabatan serta terpandang ditengah-tengah masyarakat, maka Doi
Menrenya juga harus tinggi, maka menjadi kebanggan bagi pihak keluarga perempuan. demikian
pula sebaliknya, jika Doi Menre agak rendah, maka dinilai negatif atau menjadi pembicaraan.
C. Sompa (Mahar)
Sompa atau mahar adalah pemberian berupa uang atau harta dari pihak laki-laki kepada
pihak perempuan sebagai syarat sahnya perkawinan menurut ajaran Islam. Bentuk sompa ini
beragam.
Di Kabupaten Bulukmba, selain uang dan emas, biasanya juga sompanya berupa tanah,
rumah, pohon cengkeh, dan pohon kelapa(tidak termasuk tanah, hanya pohon beserta
buahnya).Sompa berupa tanah umumnya dijumpai pada golongan bangsawan, yang merupakan
kebiasaan yang telah dipertahankan dalam perkawinan adat Bugis pada umumnya. Hal ini
sekaligus melambangkan tanda kebesaran suatu kerabat dan tingkat sosial seseorang dalam hal
ini menyangkut perkawinan Adat Bugis. Sedangakan dui’ menre adalah uang antaran yang harus
diserahkan oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan untuk membiayai
prosesi pesta perkawinan.
Sompa berupa tanah umumnya dijumpai pada golongan bangsawan, yang merupakan
kebiasaan yang telah dipertahankan dalam perkawinan adat Bugis pada umumnya. Hal ini
sekaligus melambangkan tanda kebesaran suatu kerabat dan tingkat sosial seseorang dalam hal
ini menyangkut perkawinan Adat Bugis. Sedangakan dui’ menre adalah uang antaran yang harus
diserahkan oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan untuk membiayai
prosesi pesta perkawinan.
1. Cincin
pemberian sebuah cincin, itu ditandakan sebagai ikatan kedua belah pihak, yakni
dimaksudkan bahwa setelah pihak laki-laki menyerahkan cincin ini berarti sang wanita
telah diikat, dan ikatan itu menandahkan bahwa wanita tidak diperbolehkan menerima
lamaran laki-laki lain. Dan selama proses antara acara mappasiarekeng dengan
melaksanakan akad nikah, pihak wanita tidak lagi bebas melakukan tindakan apapun
yang bisa merusak dan menimbulkan fitnah. Selanjutnya penyerahan seperangkat alat
shalat dimaknakan sebagai syariat Islam. Seperangkat alat shalat dimaksudkan sebagai
pertanda bahwa sang calon suami siap membimbing keluarganya menjadi keluarga yang
Islami, yang ditandai dengan mendirikan shalat sebagai tiang agama.
3.1 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Haq, Wulan Arie Chantika. "Madduta Dan Mappacci Dalam Perkawinan Adat Masyarakat
Bugis Lontara." (2021).
PATUROHMAH, IPAH. DO’I MENRE DALAM PERKAWINAN ADAT BUGIS (Studi Kasus di
Desa Taman Jaya Kec Sumur Kab Pandeglang). Diss. Universitas Islam Negeri" Sultan
Maulana Hasanuddin" BANTEN, 2017.