Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PEMINANGAN DALAM ADAT SUKU BUGIS

Disusun Oleh:

Muh. Refaqi Irhamsyah (H1A122336)

Erlin Asrianti (H1A122152)


Muh. Furqan (H1A122056)

Iffah Al Khairiyyah (H1A122166)


Samsul (H1A122230)

Artha Utamy (H1A122129)

Muh. Thauriq E. Kine (H1A122340)


Fitry Yani (H1A122161)

Arya Wulandari (H1A122130)

FAKULTAS HUKUM
PRODI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas semua kehendaknya,
sehingga penulis berhasil menyelesaikan tugas makalah dengan tepat waktu yang
berjudul "PEMINANGAN DALAM ADAT SUKU BUGIS."
Dalam penyusunan makalah ini, semua isi ditulis berdasarkan jurnal referensi dan apa
yang terjaadi disekitar yang berkaitan dengan peraturan daerah yang ada di lingkungan
sekitar. Apabila dalam isi makalah ditemukan kekeliruan atau informasi yang kurang
valid, penulis sangat meminta maaf atas kekurangan dari isi makalah.
Akhir kata, penulis makalah mengucapkan terima kasih.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................................... 2


DAFTAR ISI ....................................................................................................................................... 3
BAB I ................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ............................................................................................................................... 4
1.1 LATAR BELAKANG ........................................................................................................ 4
1.2 RUMUSAN MASALAH ....................................................................................................... 4
1.3 TUJUAN............................................................................................................................. 4
BAB II.................................................................................................................................................. 5
2.1 MEMINANG DALAM ADAT SUKU BUGIS .......................................................................... 5
2.2 TATA CARA MEMINANG DALAM ADAT SUKU BUGIS ....................................................... 5
BAB III ................................................................................................................................................ 9
PENUTUP........................................................................................................................................... 9
3.1 KESIMPULAN .................................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Masyarakat Indonesia memiliki satu semboyan yang sangat luar biasa, yakni Bhinneka
Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda akan tetapi tetap satu. Semboyan ialah setidaknya
mencerminkan dua hal yang sangat mendasar yaitu: Pertama, adanya kenyataan bahwa
masyarakat Indonesia terdiri dari aneka ragam suku bangsa, agama, budaya, bahasa, dan lain
sebagainya, dan Kedua, adanya suatu komitmen bahwasanya keanekaragaman tersebut
membentuk suatu kesatuan yang bulat dan menunggal yakni masyatakat Indonesia. Masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang bersifat majemuk, baik dalam cakupan nasional maupun
daerah. Kemajemukan itu sifatnya multi dimensional, ada yang ditimbulkan oleh perbedaan suku,
tingkat sosial, pengelompokkan organisasi politik, bahkan melahirkan akulturasi dan asimilasi
budaya di berbagai daerah.
Bahkan adat istiadat dalam pernikahan suku Bugis di berbagai daerah telah mengalami
pergeseran nilai seiring perkembangan zaman dan Pengaruh era globalisasi. Tanggapan miring
pun tidak terelakkan, namun hal tersebut seharusnya disikapi secara arif dan bijaksana. Untuk
itu, perlu reinterpretasi makna adat pernikahan suku Bugis yang sesungguhnya, mengambil nilai-
nilai baru yang sesuai dengan semangat dan prinsip adat istiadat suku Bugis. Kata peminangan
berasal dari kata pinang atau meminang (kata kerja). Meminang sinonimnya ialah melamar, yang
dalam bahasa Arab biasa disebut Khitbah. Menurut etimologi, meminang atau melamar artinya
diantara lain ialah meminta wanita untuk dijadikan istri, sedangkan menurut terminologi,
peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang laki-
laki dan seorang perempuan. Dan didalam tradisi masyarakat Bugis. Peminangan biasa dikenal
dengan istilah Madduta atau Massuro, yaitu pihak keluarga laki-laki mendatangi pihak keluarga
perempuan dengan maksud dan tujuan untuk meminta anak perempuannya menjadikan istri dari
keluarga pihak laki- laki. Biasanya sebelum melakukan acara Madduta dikenal dengan istilah
Mammanumanu yaitu pihak keluarga laki-laki atau calon mempelai laki-laki melihat-lihat atau
memantau dan mencari informasi tentang asal- usul perempuan yang akan dilamar atau
dipinang.

Masyarakat pada dasarnya telah menentukan tentang tata cara tertentu untuk dapat
melangsungkan perkawinan. Pada prinsipnya tentang tata cara paling umum yang dilakukan
masyarakat ialah melalui peminangan. Dalam hal peminangan pada tiap masyarakat yang ada di
terdapat kesamaan, namun perbedaan hanyalah kira-kira terdapat pada alat atau sarana
pendukung proses peminangan tersebut.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa itu Meminang Dalam Adat Suku Bugis?
2. Bagaimana Tata Cara Meminang Dalam Adat Suku Bugis?

1.3 TUJUAN
1. Mengetahui Apa Itu Meminang Dalam Adat Suku Bugis.
2. Mengetahui Tata Cara Meminang Dalam Adat Suku Bugis.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 MEMINANG DALAM ADAT SUKU BUGIS


Meminang dalam bahasa Bugis disebut dengan Madduta atau Massuro. Madduta adalah
pengiriman utusan untuk mengajukan lamaran dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan
yang telah disepakati oleh pihak keluarga laki-laki. Utusan itu harus orang yang dituakan dan tahu
seluk-beluk Madduta. Ia harus pandai membawa diri agar keluarga sigadis tidak merasa
tersinggung. Setelah pihak perempuan melakukan pertemuan atau dengan keluarganya dan
setuju untuk melanjutkan pembicaraannya, maka utusan dari pihak laki-laki tersebut langsung
menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu meminang si perempuan pada acara Madduta,
pihak keluarga perempuan mengundang keluarga terdekatnya, utamanya keluaraga yang pernah
diundang Massita-sita (bermusyawarah) pada waktu pembicaraan Mammanumanu serta orang-
orang yang dianggap dapat memberikan pertimbangan dalam peminangan.

2.2 TATA CARA MEMINANG DALAM ADAT SUKU BUGIS


1. Massuro Atau Madutta
Pada acara Madduta atau Massuro, pihak perempuan mempersiapkan acara
penyambutan pihak laki-laki, pembicaraan ini dalam proses Madduta adalah:
1. Pihak laki-laki mengutarakan maksud kedatangannya setelah dipersilahkan oleh pihak
perempuan secara resmi.
2. Menyatakan kesepakatan antara pihak perempuan dan pihak laki-laki untuk melanjutkan
kepada proses selanjutnya, yakni acara Mappasiarekeng atau Mappetu ada.

Duta ini disebut Mallino atau utusan resmi karena mereka ingin langsung berhadapan dengan
orang tua atau wakil dari orang tua anak gadis yang akan dilamar. Pertemuan ini di dahului
dengan pembicaraan keadaan hidup sehari-hari dan sebagainya akan tetapi pembicaraan yang
bersangkut paut dengan kedatangannya, sebagai pembuka maksud perkunjungan keluarlah
ungkapan pantun-pantun.

Beberapa dialog antara To Madduta dan To Riadduta yang dibawakan pada pertemuan
utusan atau wakil dari kedua keluarga yaitu:

1. To Madduta: Duanni kuala sappo unganna panasae belo-belo kanukue.


2. To Madduta: Jejaroro bunga rositta tepu tabakka toni engkana ga sappona.
3. To Riaddu: Dekga pasak riliputa balanca rikampotta mulinco mabela.
4. To Madduta: Engkana pasak riliputta balanca ri kamponta naekiya nyawani kusappa.
5. To Riadduta: Iganaro elo ribungata bunga tammadaunge bung tammattakkewe
6. To Maduuta: Taroni tammadaung taroni tammatakkek belo-belo temmalatek.
Secara bebas kami terjemahkan maksudnya sebagai berikut:

1. To Madduta: Dengan hati yang jujur, suci, murni. Kami datang membawa berita bahagia
menyampaikan niat suci kami.
2. To Madduta: Kembang ros itu cukup mekarlah sudah, apakah belum ada yang
menyimpangnya.
3. To Riadduta: Apakah tidak ada gadis di negeri tuan, sehingga jauh mencari. To Madduta:
Ada juga gadis cantik di negeri kami, tetapi bukan kecantikan yang kami cari, melainkan
budi pekerti yang baik.
4. To Riadduta: Siapakah yang akan memetik anak kami, anak yang belum tahu apa-apa.
5. To Madduta: Biarlah tidak tahu apa-apa, karena perhiasan yang tak kunjung layu, akan
kujadikan pelita hidupku.
Bagi masyarakat bugis pinangan seorang dianggap sah apabila telah diutarakan secara jelas
dan tegas pada acara madduta atau massuro. Oeleh karena itu, madduta pada prinsipnya wadah
pelamaran secara langsung dari pihak laki-laki dan sekaligus penerimaan atau penolakan dari
pihak perempuan . dengan demikian, madduta pada prinsipnya sejalan dengan tuntunan islam
dalam melakukan peminangan. Dikatakan demikian karena dalam Islam peminangan atau
pelamaran dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung, bahkan dapat dilakukan
secara tertulis atau dengan sindiran.
Dapatlah disimpulkan bahwa maksud baik To Madduta telah di terima baik oleh pihak To
Riaddutai. Artinya pihak perempuan menerima dengan baik lamaran baik lamaran pihak laki-
laki. Namun, tentunya masih banyak hal yang bersangkutan paut dengan pelaksanaan pernikahan
yang perlu dimusyawarahkan lebih lanjut agar dapat diperoleh kata sepakat. Misalnya, hal
tentang uang belanja, hari pernikahan, dan uang mahar. Untuk itu baik pihak perempuan maupun
pihak laki-laki, masih perlu bermusyawarah dengan keluarga masing-masing.

Dalam ushaa menetapkan hak-hak yang bertalian deangan pernikahan seperti apa yang
dijelaskan tadi, dalam proses madduta harus ada tahapan yang harus dilalui diantaranya:
1. Mappettu Ada Atau Mappasiarekeng

Walaupun pihak perempuan sudah menerima lamaran pihak laki-laki, pihak perempuan
masih perlu memusyawarahkan maksud kedatangan To Madduta. Orang tua perempuan
berusaha menemui keluarga terdekatnya untuk memberitahukan hal tersebut. Setelah mereka
sepakat untuk menerima baik lamaran pihak laki-laki, ditetapkanlah hari pelaksanaan Mappettu
Ada. Sejatinya mappettu ada atau mappasiarekeng tujuannya hanya untuk menguatkan
kesepakatan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan pada acara madduatta atau massuro.
Oleh karena itu, apabila pada acara madduta atau massuro, lamaran laki-laki dinyatakan telah
diterima oleh pihak perempuan, maka pada acara mappasiarekeng ditegaskan kembali dengan
membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan perkawinan. Dengan
demikian, setelah mappasiarekeng kedua belah pihak tidak bisa menyalahi atau mebatalkan
kesepakatan, sehingga pihak perempuan tidak dapat membatalkan penerimaan lamaran,
demikian pula pihak laki-laki tidak dapat menarik kembali lamarannya. Mappetu ada atau
mappasiarekeng adalah prosesi terakhir dari tahap peminangan meneurut adat bugis. Oleh
karena itu, mappettu ada atau mappasiarekeng pada dasarnya merupakan acara untuk
memepersaksikan pernyataan kesepakatan untuk melangsungkan perkawinan antara kedua
belah pihak.
Dalam acara Mappettu Ada, dibicarakan dan diputuskan segala sesuatu yang bertalian
dengan upacara pernikahan, yang antara lain meliputi hal-hal berikut:
A. Tanra Esso (Penentuan Hari)

Dalam Penentuan acara puncak atau pesta hari pernikahana sangat perlu
dipertimbangkan beberapa faktor seperti waktu-waktu dianggap luang bagi keluarga pada
umumnya. Jika pihak keluarga baik laki-laki atau perempuan berstatus petani biasanya
merekamemilih waktu sesudah panen. Jika lamaran itu terjadi pada saat musim tanam padi,
biasanya mereka memilih waktu sesudah panen. Disamping itu juga dipertimbangkan hari lahir
perempuan karena yang lebih banyak menentukan hari jadi pernikahan pesta adalah perempuan.
B. Doi Menre/Belanca (Uang Belanja)

Doi Menre merupakan biaya yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan
dalam rangka pelaksanaan pesta pernikahan yang akan diadakan. Doi Menre sebagai ketetapan
Ade’ (Adat), dalam budaya perkawinan masyarakat Bugis disebut dengan istilah nanre api
nalireng cemme (habis termakan api). Oleh karena itu apabila terjadi perceraian sebelum
hubungan seksual antara suami istri, Doi Menre tidak dikembalikan karena telah dibelanjakan
sehubungan diadakannya upacara pesta perkawinan. Doi Menre (uang belanja) di kalangan
masyarakat Bugis sangat sensitive dan sangat menentukan diterima atau tidaknya suatu lamaran
dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan. bahkan Doi Menre menjadi ukuran dari strata
sosial calon mempelai perempuan dan menjadi ukuran dari kedadaan sehari-harinya. (orang
berbeda). Kendatipun demikian, jumlah Doi Menre sangat relatif berdasarkan kesepakatan kedua
belah pihak.
Dalam budaya perkawinan masyarakat bugis, seorang laki-laki melamar seorang
perempuan yang tingkatan strata sosialnya bangsawan, sedang dia bukan bangsawan, maka Doi
Menre yang diberikan harus tinggi, karena termasuk di dalamnya pangelli darah (pembeli darah),
sekalipin tidak dijelaskan secara trasnparan. Demikian pula halnya dengan perempuan yang
berada, atau punya pangkat dan jabatan serta terpandang ditengah-tengah masyarakat, maka Doi
Menrenya juga harus tinggi, maka menjadi kebanggan bagi pihak keluarga perempuan. demikian
pula sebaliknya, jika Doi Menre agak rendah, maka dinilai negatif atau menjadi pembicaraan.
C. Sompa (Mahar)

Sompa atau mahar adalah pemberian berupa uang atau harta dari pihak laki-laki kepada
pihak perempuan sebagai syarat sahnya perkawinan menurut ajaran Islam. Bentuk sompa ini
beragam.

Di Kabupaten Bulukmba, selain uang dan emas, biasanya juga sompanya berupa tanah,
rumah, pohon cengkeh, dan pohon kelapa(tidak termasuk tanah, hanya pohon beserta
buahnya).Sompa berupa tanah umumnya dijumpai pada golongan bangsawan, yang merupakan
kebiasaan yang telah dipertahankan dalam perkawinan adat Bugis pada umumnya. Hal ini
sekaligus melambangkan tanda kebesaran suatu kerabat dan tingkat sosial seseorang dalam hal
ini menyangkut perkawinan Adat Bugis. Sedangakan dui’ menre adalah uang antaran yang harus
diserahkan oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan untuk membiayai
prosesi pesta perkawinan.
Sompa berupa tanah umumnya dijumpai pada golongan bangsawan, yang merupakan
kebiasaan yang telah dipertahankan dalam perkawinan adat Bugis pada umumnya. Hal ini
sekaligus melambangkan tanda kebesaran suatu kerabat dan tingkat sosial seseorang dalam hal
ini menyangkut perkawinan Adat Bugis. Sedangakan dui’ menre adalah uang antaran yang harus
diserahkan oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan untuk membiayai
prosesi pesta perkawinan.

2. Mappasiarekeng dan Mappaenre Balanca


Ada orang yang menggabungkan upacara Mappasiarekeng dan Mappaenre Balanca dengan
acara Madduta. Hal itu tergantung pada kemampuan, kesempatan, dan kesepakatan laki-laki
dengan pihak keluarga perempuan.

Rombongan Mappasiarekeng/Pappenre Belanca terdiri atas lai-laki dan perempuan yang


masing-masing berpakaian adat dan dipimpin oleh orang tua dengan berpakaian jas hitam leher
tertutup. Rombongan pihak laki-laki disambut oleh pihak wanita. Masing- masing kedua belah
pihak berpakaian adat. Rombongan pihak laki-laki membawa barang-barang berikut:
1. 7 ikat daun sirih (tiap ikat berisi 7 lembar)
2. 7 ikat pinang merah
3. 7 biji gambir
4. 7 bungkus kapur
5. 7 bungkus tembakau

Selain barang-barang tersebut, dibawa pula barang-barang berikut:

1. Cincin
pemberian sebuah cincin, itu ditandakan sebagai ikatan kedua belah pihak, yakni
dimaksudkan bahwa setelah pihak laki-laki menyerahkan cincin ini berarti sang wanita
telah diikat, dan ikatan itu menandahkan bahwa wanita tidak diperbolehkan menerima
lamaran laki-laki lain. Dan selama proses antara acara mappasiarekeng dengan
melaksanakan akad nikah, pihak wanita tidak lagi bebas melakukan tindakan apapun
yang bisa merusak dan menimbulkan fitnah. Selanjutnya penyerahan seperangkat alat
shalat dimaknakan sebagai syariat Islam. Seperangkat alat shalat dimaksudkan sebagai
pertanda bahwa sang calon suami siap membimbing keluarganya menjadi keluarga yang
Islami, yang ditandai dengan mendirikan shalat sebagai tiang agama.

2. 1 atau 2 lembar baju dan sarung.


BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Haq, Wulan Arie Chantika. "Madduta Dan Mappacci Dalam Perkawinan Adat Masyarakat
Bugis Lontara." (2021).
PATUROHMAH, IPAH. DO’I MENRE DALAM PERKAWINAN ADAT BUGIS (Studi Kasus di
Desa Taman Jaya Kec Sumur Kab Pandeglang). Diss. Universitas Islam Negeri" Sultan
Maulana Hasanuddin" BANTEN, 2017.

Anda mungkin juga menyukai