Anda di halaman 1dari 16

ADAT PERNIKAHAN JENEPONTO

D
I
S
U
S
U
N
OLEH:

DISUSUN OLEH :
HESTI DAMARA
WAHYUNI
REZKI ADITYA
AMRUL FIRDAUS
NURISFA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga PENULIS diberi kekuatan untuk menyelesaikan makalah ini walaupun dalam
bentuk yang sederhana.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak hambatan dan
kesulitan. Namun berkat bantuan dari berbagai pihak sehingga makalah ini dapat terselesaikan
oleh PENULIS. Pada kesempatan ini PENULIS menyampaikan terima kasih kepada,
1. Masywir, S.Pd selaku guru Bahasa Daerah yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing
PENULIS sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
2. Orang tua PENULIS yang memberi dukungan moril maupun materi dalam menyelesaikan
makalah ini.
3. Semua rekan yang memberikan bantuannya kepada penulis sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
PENULIS pun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, PENULIS memohon maaf jika terdapat kesalahan-kesalahan yang tidak berkenan di
hati pembaca dan mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi PENULIS khususnya dan pembaca pada
umumnya.

PENULIS
DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR ............................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang........................................................................................................................ .... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................... .... 1
C. Tujuan ..................................................................................................................................... .... 2
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 3
A. Bahan dan Perlengkapan............................................................................................................... 3
B. Proses Pelaksanaan Upacara......................................................................................................... 3
1. Upacara pra pernikahan .......................................................................................................... .... 4
2. Resepsi atau Pesta Pernikahan ................................................................................................ .... 10
3. Upacacara Pasca Pernikahan ................................................................................................. .... 14
C. Nilai - nilai ............................................................................................................................ .... 16
BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 18
A. Kesimpulan................................................................................................................................ 18
B. Saran ......................................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan adalah sesuatu yang di lakukan setiap insan ketika sudah menginjak usia
dewasa. pernikahan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena
pernikahan bukan hanya merupakan peristiwa yang harus ditempuh atau dijalani oleh dua
individu yang berlainan jenis kelamin, tetapi lebih jauh adalah pernikahan sesungguhnya proses
yang melibatkan beban dantanggung jawab dari banyak orang, baik itu tanggung jawab keluarga,
kaum kerabat, bahkan kesaksian dari seluruh masyarakat yang ada di lingkungannya. Prosesi
pernikahanpun berbeda satu sama lain pada setiap daerah. Ada yang melakukan
prosesi pernikahan secara glamour dan adapula yang melakukannya dengan sangat sederhana.
Tidak terkecuali suku-suku pedalaman yang ada di seluruh penjuru dunia ,termasuk suku-suku
yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah suku bugis. Suku Bugis adalah masyarakat asli dari
Provinsi Sulawesi Selatan. Suku Bugis tersebar di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan,
seperti Kabupaten Jeneponto, Luwu, Bone, Wajo, Pinrang, Barru, dan Sidenreng
Rappang. Seperti suku – suku yang lainnya yang ada di nusantara , masyarakat bugis juga
memiliki tradisi dalam proses pernikahan. Mulai dari lamaran, pra akad nikah, akad nikah,
sampai dengan pasca akad nikah. Semuanya terangkai dalam suatu proses yang cukup unik dan
kompleks.
Berdasarkan paparan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap prosesi adat
pernikahan suku Jeneponto
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja alat-alat dan perlengkapan yg digunakan dalam upacara pernikahan orang Jeneponto ?
2. Bagaimana proses-proses upacara pernikahan orang Jeneponto?
3. Nilai-nilai apa saja yang terkandung di dalamnya?
1

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui alat-alat dan perlengkapan yang digunakan dalam upacara pernikaha orang
Jeneponto
2. Untuk mengetahui proses-proses upacara pernikahan orang Jeneponto
3. Untuk mengetahui nilai-nilai apa saja yang terkandung di dalam upacara pernikahan orang
Jeneponto .
BAB II
PEMBAHASAN
Mappabotting adalah upacara adat pernikahan orang Jeneponto di Selawesi Selatan. Secara garis
besar, pelaksanaan upacara adat ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu upacara pra pernikahan,
pesta pernikahan, dan pasca pernikahan.
A. Bahan-bahan dan Perlengkapan
Bahan-bahan yang digunakan dalam upacara pernikahan orang Jeneponto di antaranya adalah:
a. Sompa, yaitu mahar atau mas kawin dalam bentuk uang real sebagai syarat sah peminangan
menurut Islam.
b. Dui’ ménré atau dui’ balanca, yaitu sejumlah uang belanja dari mempelai pria sebagai syarat sah
peminangan menurut adat. Uang tersebut digunakan membiayai pesta pernikahan mempelai
wanita.
c. Cicing passiok, yaitu cincin emas dari mempelai pria untuk mengikat mempelai wanita.
d. Sarung sutera sebagai hadiah untuk kedua belah pihak keluarga mempelai.
e. Seperangkat peralatan dalam acara mappacci seperti daun pacar, bantal, pucuk daun pisang,
lilin, bekkeng (tempat daun pacar dari logam), wenno (padi yang disangrai), dan daun nangka.
f. Berbagai macam makanan dan kue-kue tradisional eperti beppa puteh, nennu-nennu,palopo,
barongko, paloleng, sanggarak, lapisi, cangkueng, badda-baddang, dan lain-lain sebagainya.
g. Bosara, yaitu tempat menyimpan kue-kue tradisional orang Jeneponto dan sebagainya.
B. Proses Pelaksanaan Upacara

Secara garis besar, pelaksanaan upacara adat pernikahan orang Jeneponto di Sulawesi Selatan
dibagi menjadi tiga tahap, yaitu upacara pra pernikahan, resepsi/pesta pernikahan, dan pasca
pernikahan.

1. Upacara Pra Pernikahan

Pada tahap pra pernikahan ini, dilaksanakan beberapa kegiatan, yaitu:


1. Pemilihan Jodoh
Proses paling awal menuju pernikahan dalam adat orang Jeneponto adalah pemilihan jodoh.
Orang orang Jeneponto umumnya mempunyai kecenderungan memilih jodoh dari lingkungan
keluarga sendiri karena dianggap sebagai hubungan pernikahan atau perjodohan yang ideal.
Pria yang akan menikah dapat memilih jodoh dari luar lingkungan kerabat. Adapun perjodohan
ideal selain dari kerabat adalah perjodohan yang didasarkan pada kedudukan assikapukeng, yaitu
kedua mempelai memiliki stratifikasi sosial yang sederajat di dalam masyarakat, baik dilihat dari
segi keturunan (bangsawan atau orang biasa), pendidikan, kedudukan dalam struktur
pemerintahan, maupun harta kekayaan. Setelah jodoh yang telah dipilih dirasa sudah cocok,
maka proses selanjutnya adalah mammanu’-manu’
2. Mammanu’-manu’ (penjajakan)
Mammanu’-manu’ atau biasa juga disebut mappése-pése, mattiro, atau mabbaja laleng adalah
suatu kegiatan penyelidikan yang biasanya dilakukan secara rahasia oleh seorang perempuan
dari pihak laki-laki untuk memastikan apakah gadis yang telah dipilih sudah ada yang
mengikatnya atau belum. Kegiatan penyelidikan ini juga bertujuan untuk mengenali jati diri
gadis itu dan kedua orang tuanya, terutama hal-hal yang berkaitan dengan keterampilan rumah
tangga, adab sopan-santun, tingkah laku, kecantikan, dan juga pengetahuan agama gadis tersebut.
Jika menurut hasil penyelidikan belum ada yang mengikat gadis itu, maka pihak keluarga laki-
laki memberikan kabar kepada pihak keluarga gadis bahwa mereka akan datang menyampaikan
pinangan.
3. Madduta atau massuro (meminang)
Madduta atau massuro artinya pihak laki-laki mengutus beberapa orang terpandang, baik dari
kalangan keluarga maupun selain keluarga, untuk menyampaikan lamaran kepada pihak keluarga
gadis. Utusan ini disebut To Madduta sedangkan pihak keluarga gadis yang dikunjungi
disebut To Riaddutai. To Madduta memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan
diterima atau tidaknya suatu pinangan. Oleh karena itu, To Madduta harus berhati-hati,
bijaksana, dan pandai membawa diri agar kedua orang tua gadis itu tidak tersinggung.
Kegiatan madduta biasa juga disebut dengan istilah mappetu ada, yaitu pertemuan antara kedua
belah pihak keluarga untuk merundingkan dan memutuskan segala sesuatu yang bertalian dengan
upacara pernikahan putra-putri mereka. Hal-hal yang dibicarakan dalam acara mappettu
ada tersebut di antaranya mahar (meliputi dui’ menré dan sompa) dan tanré esso (penentuan
hari). Pembicaraan harus dimulai dari masalah mahar karena merupakan tahap yang paling
prinsipil dan menjadi penentu diterima atau ditolaknya sebuah pinangan.
Mahar dalam adat pernikahan orang Bugis dikenal sangat tinggi karena seorang laki-laki yang
akan menikah tidak hanya diwajibkan memberi sompa atau mahar sebagai kewajiban seorang
muslim, tetapi juga diwajibkan memberikan dui’ menré (uang naik) atau dui’ balanca (uang
belanja) kepada pihak keluarga perempuan. dui’ menré merupakan uang petindih, yaitu uang
jemputan kepada pihak perempuan sebagai salah satu syarat sahnya pinangan atau pertunangan
menurut adat. Dalam pembicaraan ini terjadi tawar-menawar antara To Madduta dengan To
Riaddutai,
Besar kecilnya jumlah dui’ menré dalam pernikahan orang Bugis sangat dipengaruhi oleh status
sosial pihak perempuan. Semakin tinggi status sosial keluarga perempuan semakin besar pula
jumlah dui’ menré yang harus diserahkan oleh pihak laki-laki. Oleh karena itu, pihak laki-laki
yang diwakili oleh To Madduta harus pandai-pandai melakukan negosiasi kepada pihak
keluarga perempuan. Jika kedua belah pihak telah menuai kesepakatan bersama masalah jumlah
mahar berarti pinangan To Madduta diterima.
Setelah pinangan diterima, acara mappettu ada dilanjutkan dengan membicarakan masalah tanré
esso atau penentuan hari pernikahan. Penentuan hari pada saat ini biasanya disesuaikan dengan
penanggalan Islam. Setelah penentuan hari pernikahan selesai, selanjutnya ditentukan lagi hari
untuk pertemuan berikutnya guna mengukuhkan kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat.
Acara mappettu ada kemudian ditutup dengan jamuan makan bersama, di mana rombongan To
Madduta disuguhi berbagai hidangan makanan yang terdiri diri kue-kue khas Bugis yang pada
umumnya manis rasanya sebagai simbol pengharapan agar kehidupan kedua calon mempelai
selalu manis (senang) di kemudian hari.
4. Mappasiarekeng (mengukuhkan kesepakatan)
Mappasiarekeng berarti mengukuhkan kembali kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat
sebelumnya. Acara ini dilaksanakan di tempat mempelai perempuan. Pengukuhan kesepakatan
ditandai dengan pemberian hadiah pertunangan dari pihak mempelai pria kepada pihak mempelai
wanita sebagai passio’ atau pengikat berupa sebuah cincin emas dan sejumlah pemberian
simbolis lainnya seperti tebu sebagai simbol kebahagiaan, panasa (buah nangka) sebagai
simbol minasa (pengharapan), sirih pinang, sokko (nasi ketan), dan berbagai kue-kue tradisional
lainnya.
Pada acara mappasiarekeng tersebut pihak laki-laki juga menyerahkan dui’ menré yang
jumlahnya berdasarkan kesepakatan kepada pihak perempuan untuk digunakan dalam pesta
pernikahan. Penyerahan dui’ menré dan hadiah-hadiah lainnya diwakili oleh kerabat atau sahabat
terdekat orang tua mempelai laki-laki.
5. Mappaisseng dan mattampa (menyebarkan undangan)
Mappaisseng adalah mewartakan berita mengenai pernikahan putra-putri mereka kepada pihak
keluarga yang dekat, para tokoh masyarakat, dan para tetangga. Pemberitahuan tersebut
sekaligus sebagai permohonan bantuan baik pikiran, tenaga, maupun harta demi kesuksesan
seluruh rangkaian upacara pernikahan tersebut. Pemberian bantuan harta biasanya dilakukan oleh
pihak keluarga dekat.
Sementara itu, mattampa atau mappalettu selleng (mappada) adalah mengundang seluruh sanak
keluarga dan handai taulan yang rumahnya jauh, baik dalam bentuk lisan maupun tertulis.
Kegiatan ini biasanya dilakukan sekitar satu hingga sepuluh hari sebelum resepsi pernikahan
dilangsungkan. Tujuan dari mengundang seluruh sanak keluarga dan handai taulan tentu saja
dengan harapan mereka bersedia memberikan doa restu kepada kedua mempelai.
6. Mappatettong sarapo/baruga (mendirikan bangunan)
Mappatettong sarapo atau baruga adalah mendirikan bangunan tambahan untuk tempat
pelaksanaan acara pernikahan. Sarapo adalah bangunan tambahan yang didirikan di samping
kiri/kanan rumah induk sedangkan baruga adalah bangunan tambahan yang didirikan terpisah
dari rumah induk. Pada kedua bangunan tersebut biasanya diberi dinding yang terbuat dari
anyaman bambu yang disebut dengan wolasuji dan di atasnya digantung janur kuning. Di dalam
kedua bangunan tambahan tersebut juga dibuatkan pula lamming atau pelaminan sebagai tempat
duduk mempelai dan kedua orang tuanya.
Jika dalam pesta tersebut terdapat pementasan kesenian seperti kecapi Bugis, musik gambus,
atau orkes, biasanya dibuatkan panggung di samping pelaminan.
Pendirian sarapo atau baruga biasanya dilakukan tiga hari sebelum pesta pernikahan
dilangsungkan oleh para kerabat dan tetangga dekat secara bergotong-royong. Saat
ini, sarapo atau baruga sudah jarang digunakan karena tersedianya persewaan gedung atau
tenda-tenda yang lengkap dengan segala peralatannya.
7. Mappassau botting dan cemmé passili’ (merawat dan memandikan pengantin)
Mappasau botting berarti merawat pengantin. Kegiatan ini dilakukan dalam satu ruangan tertentu
selama tiga hari berturut-turut sebelum hari “H” pernikahan. Perawatan ini dilakukan dengan
menggunakan berbagai ramuan seperti daun sukun, daun coppéng (sejenis anggur),daun pandan,
rempah-rempah, dan akar-akaran yang berbau harum. Sementara itu, cemmé passili’ berarti
mandi tolak balak, yaitu sebagai bentuk permohonan kepada Allah SWT agar kiranya kedua
mempelai dijauhkan dari segalam macam bahaya atau bala. Upacara ini biasanya dilaksanakan
sehari sebelum hari “H” pernikahan, yaitu sekitar pukul 10.00 pagi. Setelah mandi tolak bala,
mempelai wanita masih harus melaksanakan ritual maccéko, yaitu mencukur bulu-bulu halus.
8. Mappanré temme (khatam al-Quran) dan pembacaan barzanji
Sebelum memasuki acara mappaci, terlebih dilakukan acara khatam al-Quran dan pembacaan
barzanji sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT dan sanjungan kepada Nabi
Muhammad SAW. Acara ini biasanya dilaksanakan pada sore hari atau sesudah shalat ashar dan
dipimpin oleh seorang imam. Setelah itu, dilanjutkan acara makan bersama dan sebelum pulang,
para pembaca barzanji dihadiahi kado, yaitu nasi ketan berwarna kuning yang dibungkus dengan
daun pisang sebagai oleh-oleh untuk keluarga di rumah.
9. Mappacci atau tudammpenni (mensucikan diri)
Pada malam menjelang hari “H” pernikahan, kedua mempelai melakukan
kegiatan mappaci atau tudammpenni di rumah masing-masing. Acara ini dihadiri oleh kerabat,
pegawai syara’, orang-orang terhormat, dan para tetangga. Kata mappaci berasal dari
kata pacci, yaitu daun pacar(lawsania alba). Dengan demikian, mappacci dapat diartikan
mensucikan diri pada malam menjelang hari “H” pernikahan.
Tata cara pelaksanaan pacci yaitu mula-mula orang yang telah ditunjuk mengambil
sedikit daun pacci dari dalam bekkeng kemudian meletakkan atau mengusapkannya pada kedua
telapak tangan calon mempelai yang dimulai dari telapak tangan kanan ke telapak tangan kiri
dengan disertai doa semoga calon mempelai kelak dapat hidup bahagia. Pada saat orang-orang
tersebut meletakkan pacci, sesekali (inang pengantin) yang duduk di samping mempelai
menghamburkan wenno kepada calon mempelai maupun kepada orang-orang yang
melettakkan pacci. Kemudian kepada orang telah memberikan pacci dihadiahi rokok sebagai
penghormatan atau ucapan terima kasih doa restu yang telah diberikan kepada calon mempelai.
10. Ripasau
Sementara dalam kesibukan mempersiapkan pesta pernikahan maka diadakan pula persiapan-
persiapan yang tak kalah pentingnya yaitu perawatan pengantin (ripasau/mappasau). Biasanya
perawatan ini dilakukan sebelum hari pernikahan (3 hari berturut-turut atau karena keterbatasan
waktu hanya dilakukan 1 kali saja pada saat sebelum kegiatan mappacci).
Ripasau atau mappasau ini dilakukan pada satu ruangan tertentu yang terlebih dahulu
dipersiapkan dengan memasak berbagai macam ramuan yang terdiri dari daun sukun,
daun coppeng, daun pandan, rampa para’pulo dan akar-akaran yang harum dalam belanga yang
besar. Namun sebelum kegiatan ini, terlebih dahulu pengantin dipakaikan bedak basah atau lulur
yang terdir atas beras yang telah direndam dan telah ditumbuk halus bersama kunyit dan akar-
akaran yang harum ditambah dengan rempah-rempah. Ramuan ini kemudian dilulurkan ke
seluruh permukaan badan. Dahulu kala ritual ini dilaksanakan selama 40 hari, dewasa ini hanya 3
hari atau 7 hari atau malah hanya 1 kali sebelum acara tudampenni atau mappacci.

11. Cemme passili’, Mappassili’


Disebut juga cemme tula’ bala yaitu permohonan kepada Allah SWT agar kiranya dijauhkan
dari segala macam bahaya atau bala, yang dapat menimpa khususnya bagi calon mempelai.
Prosesi ini dilaksanakan di depan pintu rumah dengan maksud agar kiranya bala atau bencana
dari luar tidak masuk ke dalam rumah dan bala yang berasal dari dalam rumah bisa keluar.
Sesudah cemme passili’ atau mappassili’ selesai maka calon mempelai baik itu laki-laki
maupun perempuan disilakan mandi seperti biasa.

12. Macceko
Macceko berarti mencukur rambur-rambut halus yang ada pada dahi dan di belakang telinga,
agar supaya “dadasa” yaitu riasan hitam pada dahi yang akan dipakai pada calon mempelai
perempuan pada waktu dirias dapat melekat dengan baik. Acara macceko ini hanya
diperuntukkan bagi calon mempelai perempuan. Dahulu kala model dadasa ini berbeda antara
perempuan yang bangsawan dan perempuan dari kalangan biasa.

2. Resepsi atau Pesta Pernikahan


Secara garis besar, upacara atau resepsi pernikahan dibagi menjadi dua tahap yaitu mappénré
bottingdan marola.
1. Mappénré Botting (mengantar pengantin)
Mappénré botting adalah mengantar mempelai pria ke rumah mempelai wanita untuk
melaksanakan beberapa serangkaian kegiatan seperti madduppa botting, akad nikah,
dan mappasiluka. Mempelai pria diantar oleh iring-iringan tanpa kehadiran kedua orang tuanya.
Adapun orang-orang yang ikut dalam iring-iringan tersebut di antaranya indo’ botting, dua
orangpasseppi (pendamping mempelai) yang terdiri dari anak laki-laki, beberapa kerabat atau
orang-orang tua sebagai saksi-saksi pada acara akad nikah, pembawa mas kawin, dan pembawa
hadiah-hadiah lainnya.
2. Madduppa botting (menyambut kedatangan pengantin)
Madduppa botting berarti menyambut kedatangan mempelai pria di rumah mempelai wanita.
Acara penyambutan tersebut dilakukan oleh beberapa orang yaitu dua orang paddupa atau
penyambut (satu remaja pria dan satu wanita remaja), dua orang pakkusu-kusu (perempuan yang
sudah menikah), dua orang pallipa sabbé (orang tua pria dan wanita setengah baya mengenakan
sarung sutra sebagai wakil orang tua mempelai wanita), seorang wanita pangampo
wenno (penebar wenno), serta satu atau dua orang paddupa botting yang bertugas menjemput
dan menuntun mempelai pria turun dari mobil menuju ke dalam rumah. Sementara itu, seluruh
rombongan mempelai pria dipersilakan duduk pada tempat yang telah disediakan untuk
menyaksikan pelaksanaan acara akad nikah.
3. Akad nikah
Orang Bugis di Sulawesi Selatan umumnya beragama Islam. Oleh karena itu, acara akad nikah
dilangsungkan menurut tuntunan ajaran Islam dan dipimpin oleh imam kampung atau seorang
penghulu dari Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Sebelum akad nikah atau ijab qabul
dilaksanakan, mempelai laki-laki, orang tua laki-laki (ayah) atau wali mempelai wanita, dan dua
saksi dari kedua belah pihak dihadirkan di tempat pelaksanaan akad nikah yang telah disiapkan.
Setelah semuanya siap, acara akad nikah segera dimulai.
Seperti halnya adat pernikahan suku bangsa lain yang menganut ajaran Islam, pelaksanaan akad
nikah dilangsungkan berdasarkan urutan acara seperti berikut yaitu dimulai dari pembacaan ayat
suci al-Quran, kemudian dilanjutkan pemeriksaan berkas pernikahan oleh penghulu, dan penanda
tanganan berkas oleh kedua mempelai, wali, dan saksi-saksi. Khusus untuk mempelai wanita,
penanda tanganan berkas dilakukan di dalam kamar karena ia tidak boleh keluar kamar selama
proses akad nikah berlangsung.
Setelah itu, acara dilanjutkan dengan penyerahan perwalian dari orang tua atau wali mempelai
wanita kepada imam atau penghulu untuk proses ijab kabul. Ijab kabul dimulai dengan khutbah
nikah oleh imam atau penghulu. Kemudian mempelai pria duduk berhadap-hadapan dengan
imam atau penghulu sambil berpegangan ibu jari (jempol) tangan kanan. Dengan bimbingan
imam, mempelai pria mulai mengucapkan beberapa bacaan seperti istigfar, dua kalimat syahadat,
shalawat, dan ijab kabul. Sighat atau kalimat ijab kabul yang disampaikan oleh mempelai pria
harus jelas kedengaran oleh para saksi untuk sahnya akad nikah. Oleh karena itu, tak jarang
mempelai pria harus mengulanginya hingga dua tiga kali.
4. Mappasikarawa atau mappasiluka (persentuhan pertama)
Setelah proses akad nikah selesai, mempelai pria dituntun oleh orang yang dituakan menuju ke
dalam kamar mempelai wanita untuk ipasikarawa (dipersentuhkan). Kegiatan ini disebut
dengan mappasikarawa, mappasiluka atau ma’dusa’ jénné, yaitu mempelai pria harus
menyentuh salah satu anggota tubuh mempelai wanita. Kegiatan ini dianggap penting karena
menurut anggapan sebagian masyarakat Bugis bahwa keberhasilan kehidupan rumah tangga
kedua mempelai tergantung pada sentuhan pertama mempelai pria terhadap mempelai wanita.
Setelah acara mappasikarawa selesai, kedua mempelai kemudian melakukan acara menyembah
kepada kedua orang tua mempelai wanita dan keluarga-keluarga lainnya.
5. Nasehat pernikahan dan perjamuan
Setelah kedua mempelai duduk bersanding di pelaminan, selanjutnya diadakan acara nasehat
pernikahan. Tujuan dari acara ini adalah untuk menyampaikan petuah, pesan, dan nasehat kepada
kedua mempelai agar mereka mampu membangun rumah tangga yang sejahtera, rukun, dan
damai. Nasehat pernikahan biasanya disampaikan oleh seorang ustadz yang telah
mempraktekkan cara membangun rumah tangga yang sejahtera dan bahagia sehingga dapat
dijadikan teladan bagi kedua mempelai.
Selanjutnya upacara mappénré botting ditutup dengan upacara jamuan santap bersama. Pada
zaman dahulu, upacara perjamuan dilakukan dengan cara melantai atau lesehan. Hidangan nasi
dengan berbagai lauk-pauknya serta kue-kue tradisional khas Bugis digelar di lantai yang diberi
alas kain panjang berwarna-warni. Namun, sejak adanya persewaan gedung dan tenda dengan
segala perlengkapannya, perjamuan dilakukan dengan cara prasmanan. Dengan selesainya
upacara perjamuan, maka seluruh rangkaian acara mappénré botting telah selesai. Rombongan
mempelai pria berpamitan kepada pihak keluarga mempelai wanita. Sementara itu, pengantin
pria tidak ikut serta dalam rombongannya karena ia harus melakukan acara mapparola bersama
mempelai wanita.
6. Marola atau mapparola
Marola atau mapparola adalah kunjungan balasan dari pihak mempelai wanita ke rumah
mempelai pria. Pengantin wanita diantar oleh iring-iringan yang biasanya membawa hadiah
sarung tenun untuk keluarga suaminya. Setelah mempelai wanita dan pengiringnya tiba di rumah
mempelai pria, mereka langsung disambut oleh seksi padduppa (penyambut) untuk kemudian
dibawa ke pelaminan. Kedua orang tua mempelai pria segera menemui menantunya untuk
memberikan hadiah paddupa berupa perhiasan, pakaian, dan sebagainya sebagai tanda
kegembiraan. Biasanya, beberapa kerabat dekat turut memberikan hadiah berupa cincin atau kain
sutera kepada mempelai wanita, kemudian disusul oleh tamu undangan
memberikan passolo (kado).
Setelah pemberian hadiah selesai, acara dilanjutkan dengan nasehat pernikahan oleh seorang
ustadz yang tujuannya sama seperti nasehat pernikahan di tempat mempelai wanita. Selanjutnya,
upacara mapparola ditutup dengan perjamuan kepada rombongan mempelai wanita dan para
tamu undangan. Mereka disuguhi berbagai macam hidangan makanan dan kue-kue tradisional
Bugis. Usai acara perjamuan, kedua mempelai bersama rombongannya massimang (mohon diri)
kepada kedua orang tua mempelai pria untuk kembali ke rumah mempelai wanita.
3. Upacara Pasca Pernikahan
Setelah upacara pernikahan dilangsungkan, masih terdapat sejumlah kegiatan yang juga perlu
dilakukan sebagai bagian dari adat pernikahan orang Jeneponto di antaranya adalah mallukka,
ziarah kubur, dan massita béseng.
1. Mallukka botting (melepas pakaian pengantin)
Setelah tiba di rumah mempelai wanita, busana adat pengantin dan segala aksesoris yang
dikenakan oleh kedua mempelai dilepaskan. Pengantin pria kemudian mengenakan celana
panjang berwarna hitam, kemeja panjang berwarna putih, dan kopiah. Sementara pengantin
wanita mengenakan rok atau celana panjang, kebaya, dan kudung. Setelah itu, pengantin pria
dilingkari tubuhnya dengan tujuh lembar sarung sutera untuk kemudian dilepas satu persatu dan
dilemparkan ke arah bujang atau gadis-gadis yang ada di sekelilingnya. Menurut kepercayaan
orang Bugis, bujang atau gadis yang terkena lemparan sarung tersebut diharapkan segera
mendapat jodoh.
2. Marola wekka dua
Pada marola wekka dua ini, mempelai perempuan biasanya hanya bermalam satu malam saja dan
sebelum matahari terbit kedua mempelai kembali ke rumah mempelai perempuan.
3. Ziarah kubur
Sehari setelah pernikahan berlangsung, kedua pengantin baru tersebut bersama keluarga sang
istri melakukan ziarah ke makam-makam leluhur. Kegiatan ini dimaksudkan sebagai
penghormatan dan rasa syukur bahwa keluarga mereka telah melaksanakan pesta pernikahan.
4. Massita béseng (bertemu besan)
Massita béseng adalah kunjungan kedua orang tua pengantin laki-laki bersama beberapa kerabat
dekat ke rumah pengantin wanita untuk bertemu dengan besannya (orang tua pengantin wanita).
Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada malam harinya yakni seusai acara mallukka atau satu
hari setelah pesta pernikahan selesai. Tujuannya adalah untuk bersilaturrahmi dan saling
mengenal antarkedua keluarga secara lebih dekat. Dalam kunjungan tersebut rombongan orang
tua pengantin pria membawa lisek rantang (isi rantang) yang terdiri dari dua belas macam lauk-
pauk dan kue-kue tradisional Bugis untuk keluarga pengantin wanita. Acara silaturrahmi
biasanya ditutup dengan jamuan santap siang/malam bersama antara kedua belah pihak keluarga
sebagai tanda syukur kepada Allah SWT atas terselenggaranya upacara pernikahan dengan
sukses. Acara santap bersama ini menandai berakhirnya seluruh rangkaian upacara pernikahan.
5. Cemme-cemme atau mandi-mandi
Sudah menjadi tradisi bagi suku Bugis bahwa setelah upacara pernikahan yang banyak
menguras tenaga dan pemikiran maka rombongan dari kedua belah pihak pergi mandi-mandi di
suatu tempat.
C. Nilai-Nilai

Nilai-nilai yang terkandung di dalam upacara adapt pernikahan orang orang Jeneponto di
antaranya adalah:
1. Sakralitas. Nilai ini terlihat jelas dari pelaksanaan berbagai macam ritual-ritual khusus seperti
mandi tolak bala, pembacaan berzanji, acara mappacci, dan lain sebagainya. Ritual-ritual
tersebut dianggap sacral oleh orang Bugis dan bertujuan untuk memohon keselamatan kepada
Allah SWT.
2. Penghargaan terhadap kaum perempuan. Nilai ini terlihat pada keberadaan proses peminangan
yang harus dilakukan oleh mempelai pria. Hal ini menunjukkan suatu upaya untuk
menghargaikaum perempuan dengan meminta restu dari kedua orang tuanya. Nilai penghargaan
terhadap perempuan juga dapat dilihat dengan adanya pemberian mahar berupa mas
kawin dan dui’ balanca yang cukup tinggi dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
Keberadaan mahar sebagai hadiah ini merupakan isyarat atau tanda kemuliaan perempuan.
3. Kekerabatan. Bagi orang orang Jeneponto, pernikahan bukan sekedar menyatukan dua insan
yang berlainan jenis menjadi hubungan suami-istri, tetapi lebih kepada menyatukan dua keluarga
besar. Dengan demikian, pernikahan merupakan salah satu sarana untuk menjalin dan
mengeratkan hubungan kekerabatan.
4. Gotong-royong. Nilai ini terlihat pada pelaksanaan pesta pernikahan yang melibatkan kaum
kerabat, handai taulan, dan para tetangga. Mereka tidak tidak saja memberikan bantuan berupa
pikiran dan tenaga, tetapi juga dana untuk membiayai pesta tersebut.
5. Status sosial. Pesta pernikahan bagi orang Bugis bukan sekedar upacara perjamuan biasa, tetapi
lebih kepada peningkatan status sosial. Semakin meriah sebuah pesta, semakin maka semakin
tinggi status sosial seseorang. Oleh karena itu, tak jarang sebuah keluarga menjadikan pesta
pernikahan sebagai ajang untuk meningkatkan status sosial mereka.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mappabotting merupakan upacara adat pernikahan orang orang Jeneponto di Sulawesi Selatan.
Pernikahan menurut orang orang Jeneponto bukanlah sekedar untuk menyatukan kedua
mempelai pria dan wanita, tetapi lebih daripada itu adalah menyatukan dua keluarga besar
sehingga terjalin hubungan kekerabatan yang semakin erat. Untuk itulah, budaya pernikahan
orang Jeneponto perlu tetap dipertahankan karena dapat memperat hubungan silaturrahmi
antarkerabat.
B. Saran
Karena suku Bugis mempunyai adat pernikahan yang sangat unik dan sangat kompleks, maka
masyarakat Bugis khususnya dan masyarakat di Indonesia umumnya harus bangga dan menjaga
adat istiadat tersebut supaya tidak punah.

Anda mungkin juga menyukai