Bab Ii Kajian Pustaka: Perpustakaan - Uns.ac - Id Digilib - Uns.ac - Id Perpustakaan - Uns.ac - Id Digilib - Uns.ac - Id
Bab Ii Kajian Pustaka: Perpustakaan - Uns.ac - Id Digilib - Uns.ac - Id Perpustakaan - Uns.ac - Id Digilib - Uns.ac - Id
id
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1. Pemahaman Konseptual Matematis (PKM)
PKM mengacu pada pemahaman meliputi konsep-konsep matematika
yang terintegrasi dan fungsional. Siswa yang memiliki PKM baik, lebih
memahami mengapa suatu konsep matematika dikatakan penting untuk digunakan
pada konteks tertentu. Mereka mengorganisasikan pengetahuan mereka ke dalam
satu kesatuan utuh, yang memungkinkan mereka untuk belajar konsep baru
dengan menghubungkan konsep tersebut dengan konsep yang sudah mereka
ketahui (Kilpatrick, et.al., 2001: 118). Samuelsson (2010) menyatakan bahwa
PKM terkait dengan kemampuan pengkonsepan matematis, operasi matematis,
dan relasi matematis. Dalam penelitiannya, Samuelsson (2010) mengukur PKM
siswa dengan menggunakan instrumen soal sebagaimana dalam Gambar 2.1.
35 29 23 17 …
1 2 4 5 7 8 …
Pada soal tersebut, Samuelsson mengukur PKM siswa terkait dengan pola
bilangan sederhana. Samuelsson meminta siswa untuk mencari nilai pada kolom
yang kosong. Kemungkinan siswa menjawab soal tersebut dengan berbagai cara.
Siswa dapat menjawab dengan mengilustrasikan persoalan ke dalam garis
bilangan dan mencantumkan seluruh bilangan asli dalam interval yang sesuai
dengan pertanyaan kemudian menentukan bilangan yang tepat. Siswa
commit to user
kemungkinan dapat menjawab dengan langsung mencari selisih antara 2 bilangan
13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14
15
16
17
3. Pendekatan ketiga.
Siswa kemungkinan memecahkan masalah menggunakan permisalan dengan
memisalkan sebagai jumlah sepeda roda 2 dan adalah jumlah sepeda roda
tiga. Dengan demikian diperoleh, yang menyatakan jumlah
sepeda, dan yang menyatakan jumlah roda sepeda.
Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh solusi yaitu 28 sepeda roda dua
dan 8 sepeda roda tiga. Solusi ketiga ini dinilai solusi yang yang paling
canggih, karena siswa melakukan perhitungan dengan pendekatan aljabar.
Selanjutnya, indikator yang signifikan untuk mengukur KSM menurut
Kilpatrick et al. (2001) meliputi.
1. Memahami situasi.
2. Merepresentasikan/memformulasikan masalah secara matematika.
3. Menentukan strategi pemecahan masalah yang sesuai.
4. Memecahkan masalah.
Adapun indikator untuk mengetahui apakah seorang siswa mempunyai
kompetensi strategis matematis (KSM) menurut Widjajanti (2011) antara lain adalah
jika ia mampu:
1. memahami masalah,
2. menyajikan suatu masalah secara matematik dalam berbagai bentuk (numerik,
simbolis, verbal, atau grafis),
3. memilih rumus, pendekatan atau metode yang tepat untuk memecahkan masalah,
4. memeriksa kebenaran penyelesaian masalah yang telah diperoleh.
Dengan demikian, merujuk kepada pendapat tersebut, dalam penelitian ini
kompetensi strategis (KSM) didefinisikan sebagai suatu kecakapan yang
berkenaan dengan penggunaan strategi dalam aktivitas pemecahan masalah, yang
meliputi memahami suatu masalah, merepresentasi, dan memecahkan masalah.
Adapun karena kesesuaiannya dengan definisi, dalam penelitian ini indikator yang
digunakan untuk mengukur KSM siswa adalah sebagai berikut.
a. Memahami masalah.
b. Merepresentasikan masalah secara matematis, simbolis, verbal, atau grafis.
c. Menentukan strategi pemecahan masalah yang tepat.
commit to user
d. Mengaplikasikan rumus atau pendekatan untuk memecahkan masalah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18
Mengacu kepada indikator tersebut, salah satu soal untuk mengukur KSM
siswa dalam penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 2.3.
Luas persegi ABCD adalah 64 cm2. Titik-titik tengah sisi ABCD dihubungkan,
sehingga membentuk persegi EFGH. Titik tengah sisi-sisi persegi EFGH
adalah J,K,L dan M. Luas daerah yang diarsir adalah …cm2
a. 23
b. 24
c. 32
d. 36
19
A F
B
J K J J K
E G A F
L M L
M M
D H C
(a) (b)
Gambar 2.4 Alternatif Jawaban Siswa
3. Model Pembelajaran
Menurut Soekamto (Trianto, 2014: 24) model pembelajaran adalah
kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematik dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu
dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan para guru dalam
merancang dan melaksanakan pembelajaran. Joyce dan Weill (Huda, 2015: 73)
mendefinisikan model pembelajaran sebagai rencana atau pola yang dapat
digunakan untuk membentuk kurikulum, mendesain materi-materi instruksional,
dan memandu proses pembelajaran di ruang kelas atau di setting yang berbeda.
Hamzah dan Muhlisrarini (2014: 153) mengungkapkan model pem-
belajaran dapat diartikan sebagai landasan praktik pembelajaran hasil penurunan
teori psikologi pendidikan dan belajar, yang dirancang berdasarkan proses analisis
yang diarahkan pada implementasi kurikulum dan implementasinya pada tingkat
commit to user
operasional di depan kelas. Selajutnya, menurut Arends (Suprijono, 2010) model
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20
21
22
23
24
25
26
masalah, kerja sama tim, dan berkomunikasi. Berikut adalah karakteristik PBL
menurut Arends (2008: 42).
a. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pembelajaran berdasarkan masalah
mengorganisasikan pengajaran di sekitar masalah yang kemungkinan terjadi
dalam lingkungan siswa. Siswa dihadapkan pada situasi kehidupan nyata,
berdasarkan situasi diharapkan siswa mampu menemukan suatu masalah dan
memungkinkan munculnya berbagai solusi untuk menyelesaikan permasalahan.
b. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Meskipun pembelajaran berdasarkan
masalah berpusat pada pelajaran tertentu, namun permasalahan yang diteliti
merupakan permasalahan dalam konteks nyata, sehingga tidak menutup
kemungkinan adanya keterkaitan antar disiplin ilmu dalam menyelesaikan
masalah tersebut.
c. Penyelidikan autentik (ilmiah). Pembelajaran berdasarkan masalah
mengharuskan siswa untuk melakukan penyelidikan autentik untuk
menemukan solusi nyata untuk masalah nyata. Siswa diharapkan mampu
menganalisis dan menetapkan masalah, kemudian mengembangkan hipotesis
dan membuat prediksi, mengumpulkan dan menganalisis informasi,
melaksanakan percobaan (bila diperlukan), dan menarik kesimpulan.
d. Menghasilkan produk dan mempublikasikan. Dalam pembelajaran berdasar-
kan masalah diharapkan siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam
bentuk karya nyata atau peragaan yang dapat mewakili penyelesaian masalah
yang mereka temukan.
e. Kolaborasi. Pembelajaran berdasarkan masalah ditandai oleh siswa yang
saling bekerja sama, membentuk grup (temawork) dalam kelompok-
kelompok kecil, bekerja sama dan memberi motivasi, yang secara
berkelanjutan dalam penugasan yang lebih kompleks dan meningkatkan
pengembangan ketrampilan sosial.
Berdasarkan uraian tersebut, terdapat tiga ciri utama model pembelajaran PBL.
Adapun ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut.
a. Pertama, pembelajaran berbasis masalah merupakan rangkaian aktivitas
pembelajaran. Dapat dikatakancommit
bahwatodalam
user aplikasi PBL, terdapat sejumlah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27
28
29
30
fokus akademik, arahan dan kontrol guru, harapan yang tinggi untuk kemajuan
siswa, waktu, dan dampak netral dari pembelajaran.
Adapun sintaks model pembelajaran langsung menurut Kardi & Nuh
(Trianto, 2014: 95) ditunjukkan dalam Tabel 2.10.
Tabel 2.10 Sintaks Pembelajaran Langsung
Fase-fase Pembelajaran Perilaku Guru
Fase 1 Guru menjelaskan tujuan pembelajaran khusus,
Menyampaikan tujuan dan informasi latar belakang pelajaran, pentingnya
mempersiapkan siswa pelajaran, dan mempersiapkan siswa untuk
belajar.
Fase 2 Guru mendemonstrasikan ketrampilan dengan
Demonstrasi pengetahuan benar, atau menyajikan informasi tahap demi
dan ketrampilan tahap.
Fase 3 Guru merencanakan dan memberi bimbingan
Membimbing pelatihan pelatihan awal
Fase 4 Guru mengecek apakah siswa telah berhasil
Mengecek pemahaman dan melakukan tugas dengan baik, dan memberikan
memberikan umpan balik umpan balik
Fase 5 Guru mempersiapkan kesempatan melakukan
Memberikan kesempatan pelatihan lanjutan, dengan perhatian khusus pada
untuk pelatihan lanjutan dan penerapan kepada situasi lebih kompleks dan
penerapan kehidupan sehari-hari.
Dalam penerapan model pembelajaran langsung, seorang guru menjelas-
kan materi melalui interaksi langsung, siswa mendengarkan dengan teliti dan
mencatat pokok-pokok bahasan yang dirasa penting (Hamzah & Muhlisrarini,
2014). Menurut Herman (Hendrayana, 2015) berkaitan dengan pemahaman siswa,
dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan pendekatan langsung, guru tidak
memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun sendiri pengetahuan-
nya. Siswa tidak berpartisipasi secara aktif sehingga pembelajaran dengan
pendekatan langsung tidak meninggalkan makna dan pemahaman yang mendalam
yang berakibat pada kompetensi matematika siswa lemah.
Selain itu, ketidakbermaknaan dalam pembelajaran langsung membuat
siswa tidak dapat menyerap pengetahuan dengan baik (Ausuble & Robinson,
1969: 53). Downing (1994) menyatakan apakah suatu materi yang diberikan
bermakna adalah berdasarkan siswa dan materi itu tersebut, bukan pada metode
penyampaian presentasi (whethercommit to is
material user
meaningful depends on the learner
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
31
and the material, not the method of presentation). Oleh sebab itu, diperlukan suatu
kebermaknan dalam pembelajaran. Hal ini mengakibatkan pendekatan pembelajaran
ini tidak terlalu diapresiasi dalam matematika. Meskipun demikian, pembelajaran
dengan pendekatan langsung mempunyai kelebihan, yaitu tidak banyak meninggalkan
salah konsep berkenaan dengan matematika, khususnya siswa dengan kemampuan
rendah (Hendrayana, 2015). Hal ini dikarenakan guru menjelaskan langsung suatu
konsep kepada siswa.
Selain kekurangan tersebut, Shoimin (2014: 66 – 67) menyatakan pembelajaran
langsung memiliki kelebihan diantaranya.
a. Guru dapat lebih mengendalikan isi materi dan urutan informasi yang
diterima siswa.
b. Merupakan cara yang paling efektif untuk menyampaikan materi/konsep
kepada siswa yang berprestasi rendah.
c. Menekankan kegiatan mendengarkan dan melihat melalui ceramah dan
demonstrasi sehingga sesuai untuk siswa dengan kecenderungan gaya belajar
seperti ini.
d. Dapat diterapkan secara efektif dalam kelas besar maupun kecil.
e. Siswa dapat mengetahui tujuan pembelajaran dengan jelas
f. Waktu untuk kegiatan pembelajaran dapat dikontrol dengan ketat
g. Model ini menekankan ketercapaian akademik
h. Kinerja siswa dapat dipantau dengan cermat
i. Umpan balik bagi siswa berorientasi akademik
j. Dapat digunakan untuk menekankan poin-poin penting atau kesulitan yang
mungkin dihadapi siswa
Berdasarkan uraian tersebut, dalam penelitian pembelajaran langsung
didefinisikan sebagai pembelajaran yang dilakukan dengan mentrasfer ilmu secara
langsung kepada siswa dengan cara penjelasan (ekspositori) atau demonstrasi
yang bertahap langkah demi langkah dengan siswa mendengarkan dan mencatat
pokok bahasan yang dirasa penting. Sintaks pembelajaran langsung dalam
commit
penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 2.11.to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
32
33
Adapun jenis kelamin (sexes) berkaitan erat dengan istilah gender. Istilah
gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan
perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan yang
bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil
(Puspitawati, 2013). Menurut Nobelius (2004) gender dapat diartikan sebagai
perbedaan peran, fungsi, status dan tanggungjawab pada laki-laki dan perempuan
sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya yang tertanam lewat proses
sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Berbeda dengan jenis
kelamin yang dikatagorikan menjadi laki-laki dan perempuan atau male dan
female, gender dikatagorikan menjadi maskulin dan feminim. Adapun maskulin
berarti seseorang yang bersifat sebagaimana laki-laki dan feminim adalah
seseorang yang bersifat sebagaimana perempuan. Berdasarkan uraian tersebut
dalam penelitian ini pembahasan teori dibatasi pada perbedaan jenis kelamin (sex
difference) yang didefinisikan sebagai kenampakan tubuh secara biologi,
kromosom, keadaan hormonal, dan organ seksual internal maupun eksternal
antara laki-laki dan perempuan yang merupakan bawaan sejak lahir.
Penelitian yang mengkaji persepsi, kognisi, memori dan fungsi syaraf
manusia, tidak terlepas dari persepsi perbedaan jenis kelamin. Perbedaan ini
kemungkinan dikarenakan oleh perbedaan faktor sosial dan bawaan seperti
genetik dan hormonal pada masing-masing jenis kelamin. Dengan demikian,
pembahasan perbedaan sifat bawaan dan kinerja otak antara laki-laki dan
perempuan tidak terlepas dari pengaruh hormon.
Hormon-hormon sanggup menentukan apa yang dilakukan otak. Hormon
membantu mengarahkan perilaku-perilaku sosial, pengasuhan, seksual, dan
agresif (Brizendine, 2007: 15). Hormon adalah zat kimia yang dikeluarkan oleh
satu atau lebih kelenjar endokrin (Steinberg, 1999: 23). Kelenjar adalah organ
yang menstimulus bagian tubuh tertentu untuk merespon sesuatu. Suatu homon
hanya mampu menstimulus sel tubuh tertentu. Lebih lanjut, hormon diatur secara
umum oleh kelenjar pituitari di hipotalamus (bagian otak yang mengatur aktivitas
pituitari). Selama masa kanak-kanak, terjadi perkembangan kelenjar pituitari,
commit to user
hiputalamus, dan gonad. Gonad memproduksi hormon seksual yaitu androgen dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
34
35
dengan otak perempuan yang mayoritas lebih tebal pada belahan kiri, yang mana
berhubungan erat dengan komunikasi.
Selanjutnya, Zaidi (2010) menyatakan rasio antara orbitfrontal cortex
(area yang berkaitan dengan pengaturan emosi) dengan amygdala (area yang
berkaitan dengan produksi reaksi emosional) lebih besar secara signifikan pada
otak perempuan daripada otak laki-laki. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
rata-rata perempuan lebih cakap dalam mengontrol emosional mereka. Selain itu,
perempuan memilki ketajaman dalam membau dan rata-rata memiliki sistem
limbik dalam yang lebih luas daripada laki-laki. Hal ini menyebabkan perempuan
lebih mampu mengekspresikan perasaannya daripada laki-laki. Perempuan
mengalami peningkatan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain.
Namun, di sisi lain, sistem limbik dalam yang lebih luas ini menjadikan
perempuan mudah depresi, terutama ketika terjadi perubahan hormonal yang
signifikan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perempuan memiliki
kemampuan yang lebih dalam mengatur emosi dan mengekspresikan
perasaaannya daripada laki-laki, namun juga memiliki tingkat kecenderungan
depresi yang lebih besar daripada laki-laki.
Steinberg (1999: 74) juga menyatakan bahwa remaja perempuan
memiliki kemampuan verbal yang lebih baik, sedangkan remaja laki-laki memiliki
kemampuan spasial dan matematika yang lebih baik daripada perempuan. Lebih
lanjut, Steinberg (1999: 198) menyatakan pula bahwa meskipun pada usia sekolah
dasar siswa perempuan meperoleh skor matematika yang lebih baik daripada
siswa laki-laki, namun pada siswa sekolah tingkat menengah dan tingkat atas,
siswa laki-laki lebih banyak mengambil kelas matematika, dan lebih berprestasi
dalam matematika daripada perempuan. Hallinan dan Sorensen (Steinberg, 1999:
198) menyatakan beberapa pejelasan psikologi berkaitan dengan kegagalan
remaja perempuan dalam matematika, diantaranya bahwa: (1) perempuan
memandang prestasi matematika sebagai bagian dari peran laki-laki dan sebagai
kosekuensinya, perempuan memiliki sikap negatif terhadap matematika, (2)
perempuan memiliki sangat sedikit role-model ilmuan matematika perempuan,
commit
sehingga mereka tidak bercita-cita to user
untuk memasuki dunia matematika atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
36
mendalami ilmu matematika, (3) perempuan menerima tekanan dari teman laki-
laki mereka untuk tidak mengungguli laki-laki dalam kelas matematika.
Menurut Brizendine (2007: 34) selama dalam rahim, anak perempuan
tidak mengalami gelombang testosteron yang menciutkan pusat-pusat untuk
komunikasi, observasi, dan pemprosesan emosi, sehingga potensi mereka untuk
mengembangkan keterampilan dalam bidang-bidang ini lebih baik daripada
ketrampilan anak laki-laki yang dilahirkan. Selanjutnya, Brizendine (2010)
menyatakan laki-laki memiliki pusat otak yang lebih luas untuk gerak otot dan
penyerangan. Sirkuit otak laki-laki yang dimulai pada masa pubertas secara
hormonal berorientasi untuk melindungi pasangan dan mempertahankan ambisi.
Hal ini sejalan dengan pendapat William dan Best (Santrock, 2003: 374) yang
menyatakan laki-laki secara luas diyakini lebih dominan, mandiri, agresif,
berorientasi pada prestasi, dan mampu bertahan, sementara perempuan secara luas
diyakini lebih mengasihi, bersahabat, rendah diri, dan lebih menolong di saat-saat
sedih. Berdasarkan hal tersebut tersebut dapat diketahui bahwa secara psikologi,
perempuan memiliki sifat bawaan yang berorientasi pada komunikasi dan
pemprosesan emosi, sedangkan laki-laki berorientasi lebih pada kekuatan dan sifat
agresif.
Selain faktor biologi dan psikologi, faktor sosial juga memiliki pengaruh
terhadap perbedaan kemampuan matematika antara laki-laki dan perempuan.
Kartono (1992: 3) mengemukakan dunia wanita dipandang sebagai dunia ‘yang
memelihara’, sedangkan dunia laki-laki lebih banyak dicirikan dengan: dunia
kerja, penaklukan, ekspansi, dan agresivitas. Lebih lanjut, Kartono (1992: 3)
mengungkapkan bahwa sumber utama ‘dunia yang memelihara’ dari kaum wanita
berpangkal dari kehadiran seorang bayi. Dengan demikian seorang remaja
perempuan akan mengembangkan dinamika adaptif pada situasi baru, untuk
menyesuaikan diri: yaitu mengembangkan pola-pola tipis kewanitaan dan khas
keibuannya. Hal ini mendorong kecenderungan olah rasa dan kemampuan verbal
pada perempuan lebih berkembang.
Selain faktor bawaan pada laki-laki dan perempuan, perlu dikaji pula dari
commit
segi perkembangan psikologi anak. to user
Hal ini dikarenakan subjek dalam penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
37
ini adalah siswa SMP pada kelas VII dengan usia rata-rata 12 – 13 tahun.
Berdasarkan teori perkembangan psikologi anak, usia tersebut tergolong usia pra-
pubertas (12 – 14 tahun). Masa pra-pubertas merupakan masa peralihan menuju
masa pubertas (14 – 18 tahun). Masa pertumbuhan sekusal pada perempuan
dimulai pada usia 10 – 13 tahun dan berakhir pada usia 16 tahun, sedangkan pada
laki-laki dimulai pada usia 12 sampai 15 tahun dan berakhir pada usia18 tahun
(WHO, 2011: 6). Pada masa pra-pubertas mulai terjadi kematangan seksual yang
berhubungan dengan kelenjar endokrin. Peristiwa kematangan seksual pada
perempuan terjadi 1,5 tahun sampai 2 tahun lebih awal daripada laki-laki. Dalam
masa pra-pubertas ini, selain terjadi perubahan fisik juga terjadi perubahan
emosional, seperti munculnya perasaan-perasaan negatif, diantaranya: ingin selalu
menentang lingkungan, menarik diri dari masyarakat, kebutuhan untuk tidur
semakin besar, tidak tenang dan gelisah. Selain itu, beberapa aktivitas anak pada
masa ini yang cukup mengundang perhatian serius adalah di saat perkembangan
jasmani yang belum selaras dan keadaan batin yang belum seimbang (Ahmadi dan
Sholeh, 2005: 121-123).
Berdasarkan uraian tersebut, tinjauan dalam penelitian ini yaitu jenis
kelamin didefinisikan sebagai kenampakan tubuh secara biologi, kromosom,
keadaan hormonal, dan organ seksual internal maupun eksternal antara laki-laki
dan perempuan yang merupakan bawaan sejak lahir. Dengan demikian indikator
jenis kelamin (sexes) adalah kenampakan fisik secara biologi antara laki-laki dan
perempuan.
38
siswa perempuan dalam kelas kontrol. Sedangakan pada siswa laki-laki tidak
tampak adanya peningkatan pemahaman konseptual antara kelas eksperimen dan
kelas kontrol.
Hasil penelitian Cahyaningsih dan Gufron (2016) menyatakan bahwa
penggunaan model pembelajaran PBL memberikan pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap karakter kreatif dan berpikir kritis dalam pembelajaran
matematika siswa. Penelitian ini memiliki persamaan dengan penelitian
Cahyaningsih dan Gufron tersebut yaitu mengkaji penggunaan model PBL dalam
pembelajaran, namun dalam penelitian tersebut pengaruh penggunaan penggunaan
model ditekankan pada karakter kreatif dan berpikir kritis siswa, sedangkan dalam
penelitian ini dikaji pengaruh model pembelajaran PBL yang ditekankan pada
PKM dan KSM. Adapun karakter kreatif dan berpikir kritis memiliki kaitan
dengan kompetensi strategis siswa dalam memecahkan suatu permasalahan
matematika. Dengan kata lain, karakter kreatif dan berpikir kritis berkaitan
dengan KSM siswa.
Hasil Penelitian Sintawati (2015) menyatakan bahwa PBL efektif dalam
pembelajaran ditinjau dari prestasi dan kemampuan berpikir kreatif. Penelitian ini
memliki persamaan dengan penelitian Sintawati tersebut yaitu sama-sama
mengkaji efektifitas pembelajaran PBL. Adapun, kemampuan berpikir kreatif
dinilai akan berdampak pada peningkatan KSM siswa.
Hasil penelitian Afrilianto (2012) yang menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan peningkatan pemahaman konsep dan kompetensi strategis matematis
antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metaphorical
thinking, dengan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Siswa
menunjukkan sikap yang positif terhadap pembelajaran dengan pendekatan
metaphorical thinking. Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian
Afrilianto tersebut yaitu sama-sama mengkaji variabel terikat berupa pemahaman
konseptual matematis (PKM) dan kompetensi strategis matematis (KSM). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa PKM dan KSM dapat meningkat sejalan
commit
dengan efektiftias model pembelajaran to user
yang diterapkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
39
C. Kerangka Berpikir
Merujuk pada uraian deskripsi variabel yang dikaji dalam kajian teori,
serta melihat variabel bebas penelitian yang terdiri dari model pembelajaran RMT,
PBL, DL, dan variabel terikat berupa PKM dan KSM yang ditinjau berdasarkan
perbeadaan jenis kelamin, maka penyusunan kerangkan berpikir pada penelitian
ini adalah sebagai berikut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
4.a Kaitan Masing-masing Jenis Kelamin dengan PKM pada Setiap Model
Pembelajaran
Pembelajaran RMT memiliki karakteristik berupa guru memediasi
siswa dalam kegiatan pembelajaran, sehingga siswa dapat membentuk alat
psikologi matematis. Hal ini dinilai dapat membantu kesulitan siswa dalam
memahami suatu konsep. Dengan menerapkan RMT siswa akan mudah
dalam memahami konsep, serta dapat mengolah informasi yang diperoleh
pada situasi-situasi kontekstual. Namun, berdasarkan hasil penelitian
Hendrayana (2015) diketahui bahwa pada pembelajaran RMT, PKM siswa
laki-laki tidak mengalami peningkatan yang signifikan, sedangkan PKM
siswa perempuan mengalami peningkatan yang sginifikan. Berdasarkan
uraian tersebut, dimungkinkan dalam pembelajaran RMT, PKM siswa
perempuan akan lebih baik daripada PKM siswa laki-laki.
Adapun pembelajaran PBL adalah pembelajaran yang berorientasi
pada suatu masalah untuk dipecahkan siswa. dalam proses pembelajarannya
siswa dituntut untuk melakukan analisis dan berpikir tingkat tinggi. Dengan
demikian siswa akan terlatih untuk mandiri dan kreatif dalam menentukan
strategi pemecahan masalah. Melalui proses pemecahan masalah tersebut,
diharapkan siswa mampu membentuk konsep yang berkaitan dengan
masalah yang diberikan. Berdasarkan kajian teori, seperti; Brizedine (2007,
2010), Zaidi (2010), dan Santrock (2003), laki-laki memiliki kemampuan
analisis, matematis, dan spasial yang lebih baik daripada siswa perempuan.
Hal ini mengakibatkan, melalui pembelajaran PBL siswa laki-laki akan
lebih mudah dalam memahami konsep yang dipelajari daripada siswa
commit PKM
perempuan. Dengan demikian to user siswa laki-laki yang dikenai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
52
pembelajaran PBL akan lebih baik daripada PKM siswa perempuan yang
dikenai pembelajaran PBL.
Pembelajaran DL adalah pembelajaran yang berpusat pada guru.
Kegiatan pembelajaran yang mendominasi pembelajaran DL adalah guru
menjelaskan materi pelajaran dengan siswa mendengarkan dan mencatat apa
yang dijelaskan guru. Meskipun berdasarkan teori, di antaranya: Brizedine
(2007, 2010), Zaidi (2010), dan Santrock (2003), kemampuan matematika
siswa laki-laki lebih baik daripada siswa perempuan, namun karena siswa
perempuan cenderung menyukai pembelajaran formal, dimungkinkan
melalui pembelajaran DL, PKM siswa laki-laki akan sama dengan siswa
perempuan.
Berdasarkan uraian tersebut, dimungkinkan PKM siswa perempuan
akan lebih baik daripada PKM siswa laki-laki pada pembelajaran RMT.
Namun, pada pembelajaran PBL, PKM siswa laki-laki akan lebih baik
daripada PKM siswa perempuan. Pada pembelajaran DL, PKM siswa laki-
laki akan sama baiknya dengan PKM siswa perempuan.
53
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir sebagaimana yang telah
diuraikan sebelumnya, dalam penelitian ini diajukan beberapa hipotesis sebagai
berikut:
1.a Model Pembelajaran RMT menghasilkan PKM yang lebih baik dibandingkan
dengan pembelajaran dengan model pembelajaran PBL, model pembelajaran
commit
RMT akan menghasilkan PKM yang to userbaik daripada model pembelajaran
lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
54
DL, dan model pembelajaran PBL menghasilkan PKM yang lebih baik
dibandingkan dengan model pembelajaran DL.
1.b Model pembelajaran RMT menghasilkan KSM yang sama baiknya dengan
model pembelajaran PBL, model pembelajaran RMT dan model
pembelajaran PBL menghasilkan KSM yang lebih baik daripada model
pembelajaran DL.
2.a Siswa laki-laki memperoleh PKM yang sama baiknya dengan siswa
perempuan.
2.b Siswa laki-laki memperoleh KSM yang lebih baik dibandingkan dengan siswa
perempuan.
3.a Pada masing-masing jenis kelamin, siswa laki-laki yang dikenai model
pembelajaran RMT akan menghasilkan PKM yang sama baiknya dengan
siswa laki-laki yang dikenai model pembelajaran PBL, dan siswa laki-laki
yang dikenai model pembelajaran RMT akan menghasilkan PKM yang lebih
baik daripada siswa laki-laki yang dikenai model pembelajaran DL, siswa
laki-laki yang dikenai model pembelajaran PBL akan menghasilkan PKM
yang lebih baik dibandingkan dengan siswa laki-laki yang dikenai model
pembelajaran DL. Selanjutnya, siswa perempuan yang dikenai pembelajaran
RMT akan memperoleh PKM yang lebih baik dibandingkan siswa perempuan
yang dikenai pembelajaran PBL dan DL, dan siswa perempuan yang dikenai
pembelajaran PBL akan memperoleh PKM yang lebih baik daripada siswa
perempuan yang dikenai pembelajaran DL.
3.b Pada masing-masing jenis kelamin, siswa laki-laki yang dikenai model
pembelajaran PBL akan menghasilkan KSM yang lebih baik daripada siswa
laki-laki yang dikenai model pembelajaran RMT. Siswa laki-laki yang
dikenai model pembelajaran RMT dan siswa laki-laki yang dikenai model
pembelajaran PBL akan menghasilkan KSM yang lebih baik dibandingkan
dengan siswa laki-laki yang dikenai model pembelajaran DL. Selanjutnya,
siswa perempuan yang dikenai pembelajaran RMT akan memperoleh KSM
yang sama baiknya dengan siswa perempuan yang dikenai pembelajaran
commit toyang
PBL. Kemudian, siswa perempuan userdikenai pembelajaran RMT dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
55
commit to user