Anda di halaman 1dari 43

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka
1. Pemahaman Konseptual Matematis (PKM)
PKM mengacu pada pemahaman meliputi konsep-konsep matematika
yang terintegrasi dan fungsional. Siswa yang memiliki PKM baik, lebih
memahami mengapa suatu konsep matematika dikatakan penting untuk digunakan
pada konteks tertentu. Mereka mengorganisasikan pengetahuan mereka ke dalam
satu kesatuan utuh, yang memungkinkan mereka untuk belajar konsep baru
dengan menghubungkan konsep tersebut dengan konsep yang sudah mereka
ketahui (Kilpatrick, et.al., 2001: 118). Samuelsson (2010) menyatakan bahwa
PKM terkait dengan kemampuan pengkonsepan matematis, operasi matematis,
dan relasi matematis. Dalam penelitiannya, Samuelsson (2010) mengukur PKM
siswa dengan menggunakan instrumen soal sebagaimana dalam Gambar 2.1.

State the pattern and state the number that is missing.


43 46 49 52 …

35 29 23 17 …

1 2 4 5 7 8 …

Gambar 2.1 Contoh Soal Pemahaman Konsep

Pada soal tersebut, Samuelsson mengukur PKM siswa terkait dengan pola
bilangan sederhana. Samuelsson meminta siswa untuk mencari nilai pada kolom
yang kosong. Kemungkinan siswa menjawab soal tersebut dengan berbagai cara.
Siswa dapat menjawab dengan mengilustrasikan persoalan ke dalam garis
bilangan dan mencantumkan seluruh bilangan asli dalam interval yang sesuai
dengan pertanyaan kemudian menentukan bilangan yang tepat. Siswa
commit to user
kemungkinan dapat menjawab dengan langsung mencari selisih antara 2 bilangan

13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

14

untuk mencari bedanya dan menentukan bilangan yang tepat.


Siswa yang memiliki PKM yang baik berkenaan dengan barisan bilangan bulat
dapat dengan mudah menentukan bilangan yang sesuai.
Dalam pengukurannya, PKM memiliki indikator yang disampaikan oleh
beberapa peneliti ahli. Kilpatrick, et al. (2001: 119) mengungkapkan indikator
yang signifikan dalam mengukur PKM siswa adalah: (1) merepresentasikan
situasi matematika ke dalam cara yang berbeda, (2) mengetahui representasi yang
berbeda akan berguna pada tujuan/konteks yang berbeda pula, (3) meng-
hubungkan konsep yang saling berkaitan dengan tepat, (4) mengetahui hubungan
antar konsep matematika, (5) mengetahui persamaan dan perbedaan dari konsep
yang memiliki keterkaitan. Menurut Widjajanti (2011) indikator yang dapat
digunakan untuk mengetahui apakah seorang siswa telah mempunyai PKM antara
lain adalah mampu: (1) menyatakan ulang konsep yang telah dipelajari; (2)
mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan dipenuhi tidaknya persyaratan
membentuk konsep tersebut; (3) memberikan contoh atau non-contoh dari konsep
yang dipelajari; (4) menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk
representasi matematis; (5) mengaitkan berbagai konsep; dan (6) mengembangkan
syarat perlu dan atau syarat cukup suatu konsep.
Merujuk pada uraian tersebut, dalam penelitian ini PKM didefinisikan
sebagai suatu kecakapan yang terkait dengan kemampuan pengkonsepan
matematis, yang meliputi operasi matematis, representasi matematis, dan relasi
matematis yaitu mengaitkan antar konsep, dan pengembangan suatu konsep.
Adapun indikator yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur PKM
siswa dalam materi luas dan keliling segiempat dan segitiga adalah sebagai
berikut.
1. Melakukan operasi matematis berkaitan dengan konsep yang sesuai.
2. Mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan dipenuhi tidaknya persyaratan
membentuk konsep tersebut.
3. Memberikan contoh atau non-contoh dari konsep yang dipelajari.
4. Merepresentasikan konsep matematika ke dalam cara yang berbeda.
5. Menghubungkan konsep yang saling berkaitan.
6. Mengembangkan syarat perlucommit to user
dan atau syarat cukup suatu konsep.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

15

Kemudian, indikator-indikator tersebut direpresentasikan dalam soal


berkenaan dengan PKM siswa pada materi luas dan keliling segiempat dan
segitiga. Soal berikut merupakan salah satu soal untuk mengukur PKM siswa
berkenaan dengan materi luas segiempat dan segitiga.
Perhatikan Gambar 2.2 berikut:

Gambar 2.2 Contoh Soal PKM


Pada gambar di atas, bangun datar yang memiliki luas sama adalah bangun… .
a. (i), (ii), dan (iv) c. (iii) dan (vi)
b. (ii), (v), dan (vi) d. (ii) dan (v)
Pada soal tersebut, diukur PKM siswa berkenaan dengan indikator
menghubungkan konsep yang saling berkaitan. Siswa mampu menentukan bangun
datar yang memiliki luas sama apabila dia mampu mengaplikasikan rumus
mencari luas pada bangun datar yang berbeda. Dengan demikian, siswa yang
memiliki PKM yang baik dapat mengetahui bahwa bangun datar (iii), dan (iv)
memiliki luas yang sama.

2. Kompetensi Strategis Matematis (KSM)


Kilpatrick et al. (2001: 126) menyatakan KSM adalah kemampuan yang
dibangun dari tiga macam kemampuan, yaitu kemampuan merumuskan;
merepresentasikan; dan memecahkan masalah. Karakteristik mendasar yang
diperlukan selama proses pemecahan masalah adalah fleksibilitas. Fleksibilitas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

16

seseorang dapat berkembang melalui perluasan pengetahuan yang diperlukan


untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak rutin. Kilpatrick et al. (2001:
127) menyatakan, KSM tidak hanya dapat dicapai siswa dengan menggunakan
pendekatan masalah-masalah nonrutin, namun dapat juga dicapai melalui
fleksibilitas pemberian alasan, guess-and-check, aljabar, atau metode lain yang
sesuai dengan tuntutan dari suatu masalah atau situasi yang diajukan.
Selannjutnya, Suh dan Seshaiyer (2014: 77 – 78) menyatakan bahwa KSM
mencakup problem solving, problem formulation yang mengharuskan adanya
penyelesaian suatu masalah dengan melakukan representasi secara matematis,
numerik, simbolik, lisan, maupun secara grafik.
Kilpatrick et al. (2001) memberikan contoh butir tes berkenaan dengan
KSM, yaitu: “A cycle shop has a total of 36 bicycles and tricycles in stock.
Collectively there are 80 wheels. How many bikes and how many tricycles are
there?” (sebuah toko sepeda menjual 36 sepeda yang terdiri dari sepeda roda dua
dan sepeda roda tiga. Jika seluruh roda dijumlahkan, diperoleh total 80 roda.
Berapa jumlah sepeda roda dua dan sepeda roda tiga dalam toko tersebut?)
Permasalahan ini terdapat dipecahkan dengan beberapa pendekatan solusi,
diantaranya sebagai berikut.
1. Pendekatan pertama.
Siswa kemungkinan berpikir dengan memperhatikan bahwa terdapat 36
sepeda, berarti, terdapat paling sedikit roda (hal ini terjadi
apabila seluruh sepeda merupakan sepeda roda 2). Karena terdapat roda
secara keseluruhan, padahal toko tersebut menjual 36 sepeda yang terdiri dari
sepeda roda 2 dan sepeda roda 3, maka sebanyak roda adalah roda
milik sepeda roda 3. Sehingga terdapat sepeda roda dua dan
sepeda roda tiga.
2. Pendekatan kedua.
Siswa kemungkinan memecahkan massalah dengan melakukan perkiraan
jumlah sepeda roda dua dan jumlah sepeda roda tiga, kemudian dicari jumlah
total roda hingga diperoleh jumlah yang sesuai. Cara kedua ini tidak salah,
commit to user
namun strategi tersebut dinilai kurang tepat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

17

3. Pendekatan ketiga.
Siswa kemungkinan memecahkan masalah menggunakan permisalan dengan
memisalkan sebagai jumlah sepeda roda 2 dan adalah jumlah sepeda roda
tiga. Dengan demikian diperoleh, yang menyatakan jumlah
sepeda, dan yang menyatakan jumlah roda sepeda.
Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh solusi yaitu 28 sepeda roda dua
dan 8 sepeda roda tiga. Solusi ketiga ini dinilai solusi yang yang paling
canggih, karena siswa melakukan perhitungan dengan pendekatan aljabar.
Selanjutnya, indikator yang signifikan untuk mengukur KSM menurut
Kilpatrick et al. (2001) meliputi.
1. Memahami situasi.
2. Merepresentasikan/memformulasikan masalah secara matematika.
3. Menentukan strategi pemecahan masalah yang sesuai.
4. Memecahkan masalah.
Adapun indikator untuk mengetahui apakah seorang siswa mempunyai
kompetensi strategis matematis (KSM) menurut Widjajanti (2011) antara lain adalah
jika ia mampu:
1. memahami masalah,
2. menyajikan suatu masalah secara matematik dalam berbagai bentuk (numerik,
simbolis, verbal, atau grafis),
3. memilih rumus, pendekatan atau metode yang tepat untuk memecahkan masalah,
4. memeriksa kebenaran penyelesaian masalah yang telah diperoleh.
Dengan demikian, merujuk kepada pendapat tersebut, dalam penelitian ini
kompetensi strategis (KSM) didefinisikan sebagai suatu kecakapan yang
berkenaan dengan penggunaan strategi dalam aktivitas pemecahan masalah, yang
meliputi memahami suatu masalah, merepresentasi, dan memecahkan masalah.
Adapun karena kesesuaiannya dengan definisi, dalam penelitian ini indikator yang
digunakan untuk mengukur KSM siswa adalah sebagai berikut.
a. Memahami masalah.
b. Merepresentasikan masalah secara matematis, simbolis, verbal, atau grafis.
c. Menentukan strategi pemecahan masalah yang tepat.
commit to user
d. Mengaplikasikan rumus atau pendekatan untuk memecahkan masalah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

18

Mengacu kepada indikator tersebut, salah satu soal untuk mengukur KSM
siswa dalam penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 2.3.

Luas persegi ABCD adalah 64 cm2. Titik-titik tengah sisi ABCD dihubungkan,
sehingga membentuk persegi EFGH. Titik tengah sisi-sisi persegi EFGH
adalah J,K,L dan M. Luas daerah yang diarsir adalah …cm2
a. 23
b. 24
c. 32
d. 36

Gambar 2.3. Contoh Soal KSM dalam Penelitian

Pada soal ini diukur kemampuan siswa dalam memahami masalah,


merepresentasikan masalah, menentukan strategi pemecahan masalah dan
mengaplikasikan rumus atau pendekatan dalam memecahkan masalah. Soal ini
menekankan pengukuran pada kemampuan siswa dalam pengaplikasian rumus
atau pendektakan untuk memecahkan masalah. Hal ini dikarenakan dalam soal
tersebut siswa dituntut untuk mengaplikasikan rumus luas persegi, belahketupat,
segitiga, atau siswa juga dapat menyelesaikan soal tersebut dengan
mengaplikasikan pendekatan perbandingan sisi segitiga istimewa.
Terdapat beberapa alternatif jawaban, diantaranya untuk mencari luas
arsiran perlu diketahui terlebih dulu luas persegi EFGH baik dengan
menggunakan rumus persegi atau rumus belah ketupat dengan panjang diagonal
adalah panjang sisi persegi ABCD. Selanjutnya luas arsiran dapat diketahui
dengan mengurangi luas EFGH dengan 2 kali segitiga siku-siku dan samakaki
JFK. Adapun panjang sisi segitiga tersebut adalah setengan panjang EF. Panjang
EF dapat dicari dengan menerapkan pendekatan perbandingan sisi pada segitiga
istimewa dengan besar sudut 900, 450, 450. Dengan demikian siswa yang mampu
menerapkan pendekatan yang tepat akan mengetahui bahwa luas arsiran adalah 24
cm2.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

19

Selain itu, alternatif jawaban yang mungkin digunakan siswa adalah


dengan membagi daerah arsiran (Gambar 2.4.a) menjadi sebuah bangun persegi
dan 2 segitiga siku-siku sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2.4. Kemudian
menggabungkan 2 segitiga tersebut menjadi belah ketupat dengan panjang
diagonal AF dan JM. Karena panjang AF sama dengan serta panjang JM sama

dengan , dan berdasarkan soal diketahui bahwa AB = AD = 8 cm, maka siswa

dapat menentukan luas arsiran yaitu: ( ) .

A F
B

J K J J K

E G A F

L M L
M M

D H C

(a) (b)
Gambar 2.4 Alternatif Jawaban Siswa

3. Model Pembelajaran
Menurut Soekamto (Trianto, 2014: 24) model pembelajaran adalah
kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematik dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu
dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan para guru dalam
merancang dan melaksanakan pembelajaran. Joyce dan Weill (Huda, 2015: 73)
mendefinisikan model pembelajaran sebagai rencana atau pola yang dapat
digunakan untuk membentuk kurikulum, mendesain materi-materi instruksional,
dan memandu proses pembelajaran di ruang kelas atau di setting yang berbeda.
Hamzah dan Muhlisrarini (2014: 153) mengungkapkan model pem-
belajaran dapat diartikan sebagai landasan praktik pembelajaran hasil penurunan
teori psikologi pendidikan dan belajar, yang dirancang berdasarkan proses analisis
yang diarahkan pada implementasi kurikulum dan implementasinya pada tingkat
commit to user
operasional di depan kelas. Selajutnya, menurut Arends (Suprijono, 2010) model
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

20

pembelajaran mengacu pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk di


dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran,
lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas. Melalui model pembelajaran
guru dapat membantu peserta didik mendapatkan informasi, ide, ketrampilan, cara
berpikir dan mengekspresikan ide.
Berdasarkan uraian tersebut, dalam penelitian ini model pembelajaran
didefinisikan sebagai kerangka pembelajaran yang menggambarkan prosedur kegiatan
siswa dengan guru yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu dan berfungsi
sebagai pedoman bagi guru dalam melakukan aktivitas pembelajaran. Model
pembelajaran yang dikaji dalam penelitian ini meliputi: (1) model pembelajaran RMT
yang didefinisikan dengan model pembelajaran yang menggunakan metode RMT,
model pembelajaran PBL, dan model pembelajaran DL.

4. Model Pembelajaran Rigorous Mathematical Thinking (RMT)


Pembelajaran RMT berawal dari permasalahan yang terjadi di Amerika
berupa keprihatinan akan pendidikan matematika Amerika Serikat yang tertinggal
dari negara-negara industri lainnnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Kinard (2007) pembelajaran RMT sesuai untuk meningkatkan kemampuan
matematika siswa SMP terutama pada siswa yang memiliki riwayat kegagalan
dalam pembelajaran matematika.
Hakim dan Budiarto (2015) mengemukakan Rigorous Mathematical
Thinking (RMT) merupakan teori yang dikembangkan oleh Kinard berdasarkan
teori sosiokultural Vygotsky tentang alat psikologis dan Zone of Proximal
Development (ZPD) dan teori Mediated Learning Experience (MLE) yang
dikemukakan oleh Feurstein. Adapun ZPD adalah istilah Vygotsky untuk
rangkaian tugas yang terlalu sulit untuk dikuasai anak seorang diri tetapi dapat
dipelajari dengan bantuan dan bimbingan orang dewasa atau anak yang terlatih
(Santrock, 2007: 264). Disamping itu, Feurstein (2006) menyatakan Mediated
Learning Experience (MLE) adalah suatu cara di mana siswa distimulasi dalam
lingkungan yang dibentuk oleh agen mediasi. Dalam hal ini agen mediasi
biasanya adalah orang tua, guru, saudara, atau orang yang berniat untuk
commit to user
membantu proses belajar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

21

Menurut Kinard (2007) pembelajaran RMT adalah metode untuk


memperoleh proses berpikir matematis rigor pada siswa, dan proses berpikir rigor
itu sendiri dibutuhkan dalam berpikir tingkat tinggi dan pengembangan konsep
matematika dan ilmu pengetahuan lainnya. Selanjutnya, Kinard (2007: 1)
mendefinisikian berpikir matematis rigor sebagai perpaduan dan pemanfaatan
operasi mental untuk: (1) memperoleh pengetahuan tentang pola dan hubungan,
(2) menerapkan peralatan dan skema kontekstual yang diperoleh secara kultural
untuk menguraikan lebih jauh pengetahuan-pengetahuan berkenaan dengan
pengelompokan, hubungan, aturan dan representasi abstrak untuk membentuk
pemahaman dan pengertian berkenaan dengan pengetahuan tersebut, (3) merubah
dan memperumum pemahaman yang diperoleh sebelumnya menjadi konsep yang
koheren, logis, dan saling berkaitan, (4) mengaplikasikan konsep tersebut, untuk
memcahkan masalah, mengetahui kaitan konsep tersebut dengan berbagai konteks
dan aktivitas manusia, (5) melakukan pemeriksaan kritis, analisis, intropeksi dan
refleksi diri yang berkesinambungan.
Konstruksi dari penerapan pembelajaran RMT adalah dinamika
pembelajaran yang mengurutkan kerangka kerja dan mengatur kecenderungan
untuk melakukan kegiatan dalam kultur sosial matematika melalui penemuan,
pendefinisian, dan pengaturan aspek kualitatif dan kuantitatif dari objek atau
kejadian dalam kegiatan sehari-hari manusia. Adapun dalam proses pembelajaran
RMT tersebut, Kinard (2007) mendefinisikan Rigorous Engagement (Ikatan
Rigor) sebagaimana dijelaskan pada Gambar 2.4 yang merupakan representasi
kegiatan dalam pembelajaran RMT yang harus dipenuhi antara guru dengan
siswa, guru dengan materi, dan siswa dengan materi. Ketiga jalinan tersebut
dipenuhi dengan cara guru memberikan mediasi kepada siswa. Mediasi dalam hal
ini merupakan bimbingan atau pendampingan yang dilakukan agen mediasi
(mediator) yaitu guru atau orang yang lebih berpengalaman. Mediasi dalam
penelitian ini dilakukan dengan pembibingan dan pemberian serangkaian tugas
kognitif, dalam penelitian ini digunakan Lembar Aktivitas Siswa (LAS) sebagai
tugas kognitif yang terdiri dari beberapa pertanyaan yang terstruktur. LAS
commit toyang
tersebut terdiri dari serangkaian sub-materi user saling berkaitan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

22

Gambar 2.5. Rigorous Engagement

Kinard (2007:1) menjelaskan kegaiatan dalam pembelajaran RMT


meliputi: (1) mediasi siswa untuk mengerjakan serangkaian tugas kognitif sebagai
alat psikologi umum berdasarkan struktur, relasi dan fungsi rangkaian tugas
kognitif tersebut, (2) mediasi siswa untuk mengerjakan tugas kognitif berikutnya
dengan menggunakan alat psikologi yang telah diperoleh untuk mengkonstruksi
proses berpikir tingkat tinggi, (3) mediasi siswa untuk secara sitematis mem-
bentuk konsep matematis dari pengalamannya, (4) mediasi siswa untuk me-
nemukan dan memformulasikan pola dan hubungan matematika dalam proses
kognitif mereka, (5) mediasi siswa untuk memahami konsep matematika yang
spesifik, (6) mediasi siswa untuk mengaitkan konsep-konsep spesifik tersebut dan
membentuk suatu pemahaman matematika. Adapun, Kinard (2007: 3) men-
jelaskan pembelajaran RMT terdiri dari 3 tahap dengan langkah-langkah
sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2.6.
Dalam penelitian ini model pembelajaran RMT didefinisikan sebagai
serangkaian kegiatan pembelajaran yang menerapkan metode untuk membangun
Rigorous Mathematics Thinking (RMT) sebagaimana langkah-langkah yang
dikonstruksikan oleh Kinard (2007). Dalam kegiatan pembelajarannya, siswa
dimediasi untuk membangun skema dan memunculkan pemahaman serta
pengertian akan suatu konsep dengan memanfaatkan dan memadukan operasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

23

mental yang dimilikinya berdasarkan fase-fase pembelajaran RMT. Sintaks model


pembelajaran RMT dalam penelitian ini ditunjukkan dalam Tabel 2.7.
Tabel 2.6 Fase-fase Pembelajaran RMT
Fase-fase Pembelajaran Perilaku Siswa
Fase 1 - Siswa dimediasi untuk memahami model-
Cognitive Development model yang diberikan pada tugas individu
(Pengembangan kognitif) atau tugas kognitif lain sebagai alat
psikologi umum berdasarkan hubungan
struktur-fungsi.
- Siswa dimediasi untuk mengerjakan tugas
individu atau tugas kognitif lain melalui
penggunaan alat psikologi untuk
membangun proses kognitif tingkat tinggi.
Fase 2 - Siswa dimediasi untuk secara sistematis
Content as Process membangun konsep dasar yang diperlukan
Development (Isi sebagai dalam matematika dari pengalaman dan
pengembangan proses) bahasa sehari-hari.
- Siswa dimediasi untuk menemukan dan
memformulasikan pola dan hubungan
matematika yang terdapat pada lembar
tugas atau tugas kognitif yang lain.
- Siswa dimediasi untuk memahami alat
psikologi matematis yang spesifik (sebagai
contoh, sistem bilangan, garis bilangan,
sistem koordinat, bahasa matematika, dsb)
sesuai masing-masing hubungan struktur-
fungsi mereka.
Fase 3 - Siswa dimediasi untuk mempraktikkan
Cognitive Conceptual penggunaan dari masing-masing alat
Construction Practice psikologi untuk mengorganisir atau
(mempraktikkan mengatur penggunaan fungsi kognitif untuk
susunan/bentuk konsep membangun pemahaman konsep secara
kognitif yang diperoleh). matematika.

Dalam implementasinya, pembelajaran RMT menggunakan metode belajar


berpasangan dengan teman satu bangku. Hal ini dikarenakan untuk memudahkan
mediasi guru kepada siswa. Selain itu, melalui pembelajaran berpasangan
diharapkan akan menfasilitasi siswa untuk bertukar pikiran dengan teman sebaya,
sehingga kemampuan sosialnya akan terlatih. Meskipun dalam penelitian ini
pembelajaran RMT dilakukan secara bepasangan, namun intensitas bimbingan
guru tetap diperhatikan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

24

Tabel 2.7. Sintaks RMT dalam Penelitian


Jenis Kegiatan Langkah-langkah
Pendahuluan - Guru membuka pelajaran
- Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan aktifitas
yang akan dilaksanakan, serta memotivasi siswa.
- Guru melakukan apersepsi dengan mengingatkan
konsep yang sudah dipelajari pada tingkat Sekolah
Dasar.
Inti - Guru mempersilakan siswa untuk membentuk kelompok
diskusi yang terdiri dari 2 orang (antar teman satu meja).
- Guru membimbing siswa untuk melakukan serangkaian
aktivitas berkaitan dengan pengenalan awal materi yang
diajarkan sebagai alat psikologi umum berdasarkan
hubungan struktur dan fungsi materi yang diberikan.
- Guru meminta siswa untuk mengerjakan LAS berkenaan
dengan materi yang diajarkan sebagai tindak lanjut dari
aktivitas sebelumnya, serta sebagai media untuk
penggunaan alat psikologi yang telah diperoleh
sebelumnya.
- Guru memediasi siswa secara sistematis membangun
konsep dasar yang dibutuhkan berdasarkan LAS yang
diberikan, serta menemukan dan menformulasikan
konsep tersebut secara matematika.
- Guru membimbing siswa untuk mengaitkan beberapa
konsep yang spesifik berdasarkan hubungan struktur dan
fungsi khusus.
- Guru memberikan tugas atau pertanyaan lanjutan yang
berisi permasalahan kontekstual.
- Guru membimbing siswa untuk menganalisis kaitan
konsep materi dengan situasi-situasi yang nyata, dan
memediasi siswa untuk menggunakan alat psikologi
yang telah diperoleh untuk memecahkan suatu
permasalah yang diberikan.
- Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengkomunikasikan hasil diskusi.
Penutup - Guru bersama-sama dengan siswa menarik kesimpulan
berkaitan dengan materi yang dipelajari.
- Guru bersama-sama dengan siswa melakukan refleksi
pembelajaran.
- Guru melakukan evaluasi yang terdiri dari 2 nomor
sebagai pengukuran ketercapaian materi pada hari tsb.
- Guru memberikan PR yang berkaitan dengan materi
yang telah dipelajari dan materi berikutnya.
- Guru menutup pembelajaran dengan salam.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

25

5. Problem Based Learning (PBL)


Problem Based Learning (PBL)/pembelajaran berbasis masalah
merupakan sebuah rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada
proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah (Sanjaya, 2006: 212).
Pembelajaran berbasis masalah berlandaskan aspek psikologi kognitif yang
berangkat dari asumsi bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku
sebagai akibat adanya suatu pengalaman.
Karatas (2013: 249) mengungkapkan bahwa pemecahan masalah diakui
sebagai keterampilan hidup yang penting melibatkan berbagai proses termasuk
menganalisis, menafsirkan, penalaran, memprediksi, evaluasi dan refleksi. Lebih
jauh menurut Karatas (2013: 249) pemecahan masalah merupakan pusat
kurikulum matematika. Hal ini berdasarkan pada keterampilan yang diperoleh
siswa terkait erat dengan lingkungan belajar dan peran yang diberikan kepada
siswa. Dengan demikian PBL merupakan proses pembelajaran di mana siswa akan
tertantang untuk melakukan pemecahan atau mencari solusi atas suatu
permasalahan. Oleh sebab itu, dalam proses tersebut terjadi serangkaian aktivitas
berupa menalar, menafsirkan, menganalisis, memprediksikan, serta mengevaluasi
atau merefleksi sehingga diperoleh suatu pengetahuan baru berkenaan dengan
permasalahan yang dikaji.
Menurut Savery (2015) PBL memberikan peningkatan kemampuan siswa
untuk beradaptasi terhadap perubahan, terbiasa dengan permasalahan dan
membuat keputusan pada setiap situasi yang tidak mendukung, memberi alasan
yang kritis dan kreatif, dapat mengadopsi pendekatan yang menyeluruh dan
universal, mampu menumbuh kembangkan rasa empati antar siswa dengan
mengapresiasi gagasan antar teman, dapat mendorong kolaborasi yang produktif
dalam kelompok belajar, serta dapat mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan
yang dimiliki masing-masing siswa sehingga dapat meningkatkan kemampuan
refleksi diri. Woods (Amir, 2015: 13) menyatakan PBL lebih dari sekedar ling-
kungan yang efektif untuk mempelajari pengetahuan tertentu. Ia dapat membatu
commit sepanjang
pebelajar untuk membangun kecakapan to user hidupnya dalam memecahkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

26

masalah, kerja sama tim, dan berkomunikasi. Berikut adalah karakteristik PBL
menurut Arends (2008: 42).
a. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pembelajaran berdasarkan masalah
mengorganisasikan pengajaran di sekitar masalah yang kemungkinan terjadi
dalam lingkungan siswa. Siswa dihadapkan pada situasi kehidupan nyata,
berdasarkan situasi diharapkan siswa mampu menemukan suatu masalah dan
memungkinkan munculnya berbagai solusi untuk menyelesaikan permasalahan.
b. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Meskipun pembelajaran berdasarkan
masalah berpusat pada pelajaran tertentu, namun permasalahan yang diteliti
merupakan permasalahan dalam konteks nyata, sehingga tidak menutup
kemungkinan adanya keterkaitan antar disiplin ilmu dalam menyelesaikan
masalah tersebut.
c. Penyelidikan autentik (ilmiah). Pembelajaran berdasarkan masalah
mengharuskan siswa untuk melakukan penyelidikan autentik untuk
menemukan solusi nyata untuk masalah nyata. Siswa diharapkan mampu
menganalisis dan menetapkan masalah, kemudian mengembangkan hipotesis
dan membuat prediksi, mengumpulkan dan menganalisis informasi,
melaksanakan percobaan (bila diperlukan), dan menarik kesimpulan.
d. Menghasilkan produk dan mempublikasikan. Dalam pembelajaran berdasar-
kan masalah diharapkan siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam
bentuk karya nyata atau peragaan yang dapat mewakili penyelesaian masalah
yang mereka temukan.
e. Kolaborasi. Pembelajaran berdasarkan masalah ditandai oleh siswa yang
saling bekerja sama, membentuk grup (temawork) dalam kelompok-
kelompok kecil, bekerja sama dan memberi motivasi, yang secara
berkelanjutan dalam penugasan yang lebih kompleks dan meningkatkan
pengembangan ketrampilan sosial.
Berdasarkan uraian tersebut, terdapat tiga ciri utama model pembelajaran PBL.
Adapun ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut.
a. Pertama, pembelajaran berbasis masalah merupakan rangkaian aktivitas
pembelajaran. Dapat dikatakancommit
bahwatodalam
user aplikasi PBL, terdapat sejumlah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

27

kegiatan yang harus dilakukan siswa. Siswa tidak diperkenankan untuk


sekedar mendengarkan, mencatat, atau menghafal materi pelajaran. Siswa
dituntut untuk aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data,
hingga akhirnya menyelesaikan permasalahan.
b. Kedua, aktivitas pembelajaran diarahkan untuk memecahkan suatu perma-
salahan. Pembelajaran ini menempatkan permasalahan sebagai inti dari proses
pembelajaran, yang berarti tanpa adanya masalah tidak akan ada proses
pembelajaran.
c. Ketiga, pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan
berpikir ilmiah. Proses berpikir dengan menggunakan metode ilmiah yang
merupakan proses berpikir deduktif-induktif yang dilakukan secara sistematis
dan empiris.
Menurut Ibrahim & Nuh (Trianto: 2014: 72), sintaks PBL ditunjukkan
pada Tabel 2.8.
Tabel 2.8. Sintaks PBL
Fase-fase Pembelajaran Perilaku guru
Fase 1 - Guru membahas tujuan pembelajaran
Memberikan orientasi - Guru menyampaikan logistik penting
masalah kepada siswa - Guru mengajukan fenomena atau demonstrasi
atau cerita untuk memunculkan masalah
- Guru memotivasi siswa untuk terlibat aktif
dalam kegiatan pemecahan masalah
Fase 2 - Guru membantu siswa mendefinisikan dan
Mengorganisasikan siswa mengorganisasikan tugas-tugas belajar terkait
untuk belajar dengan permasalahan tersebut.
Fase 3 - Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan
Membimbing informasi yang sesuai, melaksanakan
penyelidikan individu dan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan
kelompok solusi pemecahan masalah
Fase 4 - Guru membantu siswa dalam merencanakan dan
Mengembangkan hasil menyiapkan hasil karya seperti laporan, video,
karya model
- Guru membantu siswa untuk berbagi tugas
dengan temannya.
Fase 5 - Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi
Menganalisis dan atau evaluasi terhadap penyelidikan dan proses-
mengevaluasi proses proses yang mereka gunakan.
mengatasi masalah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

28

PBL dinilai memiliki kelebihan dalam meningkatkan proses berpikir


analitis dan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Disamping kelebihan
pada PBL terdapat kelemahan berkenaan dengan model pembelajaran ini,
kelemahan tersebut adalah bagi siswa dan guru yang tidak siap dengan pem-
belajaran ini dapat meninggalkan beban kognitif matematika pada siswa dengan
kemampuan rendah. Beban kognitif merupakan kelebihan informasi pada memori
kerja (working-memory) (Hendrayana, 2015). Beban kognitif dapat terjadi karena
siswa dituntut untuk mengaktifkan materi prasyarat terkait masalah yang diberi-
kan, kemudian dituntut untuk dapat mengarahkan diri (Hendrayana, 2015: 9).
Perlu diketahui bahwa tidak semua siswa mempunyai pemahaman yang baik dan
skema yang lengkap terkait dengan materi prasyarat, khususnya bagi siswa
dengan kemampuan matematika rendah dan sedang.
Berdasarkan uraian tersebut, PBL dalam penelitian ini didefinisikan
sebagai proses pembelajaran di mana siswa dihadapkan dengan serangkaian
permasalah, sedemikian sehingga siswa akan tertantang dan melakukan kegiatan,
seperti: menalar, menafsirkan, menganalisis, memprediksikan, serta mengevaluasi
atau merefleksi untuk memcahkan suatu permasalah, sehingga diperoleh suatu
pengetahuan baru berkenaan dengan permasalahan yang diberikan. Merujuk pada
definisi dan sintaks PBL, dalam penelitian ini, penerapan model pembelajaran
PBL dilakukan dengan sintaks sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2.9.

6. Pembelajaran Langsung/Direct Learning (DL)


Pembelajaran langsung adalah pembelajaran yang mengenalkan
pemahaman konsep dan kompetensi strategi dengan mentransfer ilmu kepada
siswa secara langsung, baik melalui metode penjelasan (ekspositori) maupun
metode demonstrasi (Hendrayana, 2015: 7 – 8). Arends (Shoimin, 2014: 63 – 63)
mengemukakan bahwa model pembelajaran langsung adalah model pembelajaran
yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajara siswa berkaitan dengan
pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik,
yang dapat diajarkan dengan pola commit
kegiatantoyang
userbertahap langkah demi langkah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

29

Tabel 2.9 Sintaks PBL dalam Penelitian


Jenis Kegiatan Langkah-langkah
Pendahuluan - Guru membuka pelajaran
- Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan aktifitas
yang akan dilaksanakan, serta memotivasi siswa.
- Guru melakukan apersepsi dengan mengingatkan
konsep yang sudah dipelajari pada tingkat Sekolah
Dasar.
Inti - Guru meminta siswa untuk membaca materi secara
singkat kemudian membagi siswa ke dalam beberapa
kelompok kerja.
- Guru memunculkan suatu permasalahan dan mendorong
siswa untuk bertanya. Kemudian, guru memberikan
Lembar Aktivitas Kelompok yang berisi permasalah
untuk didiskusikan solusi pemecahannya.
- Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi
dan referensi seluas-luanya dalam kegiatan pemecahan
masalah.
- Guru memberikan kesempatan kepada masing-masing
kelompok untuk mengkomunikasikan hasil diskusi
kepada siswa lainnya.
- Guru mendorong siswa/kelompok lain untuk
menanggapi, mengevaluasi atau memberi saran terkait
hasil karya yang dipresentasikan.
Penutup - Guru bersama-sama dengan siswa menarik kesimpulan
berkaitan dengan materi yang dipelajari.
- Guru bersama-sama dengan siswa melakukan refleksi
dari pembelajaran yang dilakukan.
- Guru melakukan evaluasi yang terdiri dari 2 nomor
sebagai pengukuran ketercapaian materi pada hari tsb.
- Guru memberikan PR yang berkaitan dengan materi
yang telah dipelajari dan materi berikutnya.
- Guru menutup pembelajaran dengan salam.

Karakteristik model pembelajaran langsung menurut Kardi dan Nur


(Shoimin, 2014: 64) adalah sebagai berikut.
a. Adanya tujuan pembelajaran dan pengaruh model pada siswa termasuk
prosedur penilaian belajar.
b. Sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran.
c. Sistem pengelolaan dan lingkungan belajar model yang diperlukan. Dalam hal ini
model pembelajaran yang memperhatikan variabel-variabel lingkungan, yaitu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

30

fokus akademik, arahan dan kontrol guru, harapan yang tinggi untuk kemajuan
siswa, waktu, dan dampak netral dari pembelajaran.
Adapun sintaks model pembelajaran langsung menurut Kardi & Nuh
(Trianto, 2014: 95) ditunjukkan dalam Tabel 2.10.
Tabel 2.10 Sintaks Pembelajaran Langsung
Fase-fase Pembelajaran Perilaku Guru
Fase 1 Guru menjelaskan tujuan pembelajaran khusus,
Menyampaikan tujuan dan informasi latar belakang pelajaran, pentingnya
mempersiapkan siswa pelajaran, dan mempersiapkan siswa untuk
belajar.
Fase 2 Guru mendemonstrasikan ketrampilan dengan
Demonstrasi pengetahuan benar, atau menyajikan informasi tahap demi
dan ketrampilan tahap.
Fase 3 Guru merencanakan dan memberi bimbingan
Membimbing pelatihan pelatihan awal
Fase 4 Guru mengecek apakah siswa telah berhasil
Mengecek pemahaman dan melakukan tugas dengan baik, dan memberikan
memberikan umpan balik umpan balik
Fase 5 Guru mempersiapkan kesempatan melakukan
Memberikan kesempatan pelatihan lanjutan, dengan perhatian khusus pada
untuk pelatihan lanjutan dan penerapan kepada situasi lebih kompleks dan
penerapan kehidupan sehari-hari.
Dalam penerapan model pembelajaran langsung, seorang guru menjelas-
kan materi melalui interaksi langsung, siswa mendengarkan dengan teliti dan
mencatat pokok-pokok bahasan yang dirasa penting (Hamzah & Muhlisrarini,
2014). Menurut Herman (Hendrayana, 2015) berkaitan dengan pemahaman siswa,
dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan pendekatan langsung, guru tidak
memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun sendiri pengetahuan-
nya. Siswa tidak berpartisipasi secara aktif sehingga pembelajaran dengan
pendekatan langsung tidak meninggalkan makna dan pemahaman yang mendalam
yang berakibat pada kompetensi matematika siswa lemah.
Selain itu, ketidakbermaknaan dalam pembelajaran langsung membuat
siswa tidak dapat menyerap pengetahuan dengan baik (Ausuble & Robinson,
1969: 53). Downing (1994) menyatakan apakah suatu materi yang diberikan
bermakna adalah berdasarkan siswa dan materi itu tersebut, bukan pada metode
penyampaian presentasi (whethercommit to is
material user
meaningful depends on the learner
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

31

and the material, not the method of presentation). Oleh sebab itu, diperlukan suatu
kebermaknan dalam pembelajaran. Hal ini mengakibatkan pendekatan pembelajaran
ini tidak terlalu diapresiasi dalam matematika. Meskipun demikian, pembelajaran
dengan pendekatan langsung mempunyai kelebihan, yaitu tidak banyak meninggalkan
salah konsep berkenaan dengan matematika, khususnya siswa dengan kemampuan
rendah (Hendrayana, 2015). Hal ini dikarenakan guru menjelaskan langsung suatu
konsep kepada siswa.
Selain kekurangan tersebut, Shoimin (2014: 66 – 67) menyatakan pembelajaran
langsung memiliki kelebihan diantaranya.
a. Guru dapat lebih mengendalikan isi materi dan urutan informasi yang
diterima siswa.
b. Merupakan cara yang paling efektif untuk menyampaikan materi/konsep
kepada siswa yang berprestasi rendah.
c. Menekankan kegiatan mendengarkan dan melihat melalui ceramah dan
demonstrasi sehingga sesuai untuk siswa dengan kecenderungan gaya belajar
seperti ini.
d. Dapat diterapkan secara efektif dalam kelas besar maupun kecil.
e. Siswa dapat mengetahui tujuan pembelajaran dengan jelas
f. Waktu untuk kegiatan pembelajaran dapat dikontrol dengan ketat
g. Model ini menekankan ketercapaian akademik
h. Kinerja siswa dapat dipantau dengan cermat
i. Umpan balik bagi siswa berorientasi akademik
j. Dapat digunakan untuk menekankan poin-poin penting atau kesulitan yang
mungkin dihadapi siswa
Berdasarkan uraian tersebut, dalam penelitian pembelajaran langsung
didefinisikan sebagai pembelajaran yang dilakukan dengan mentrasfer ilmu secara
langsung kepada siswa dengan cara penjelasan (ekspositori) atau demonstrasi
yang bertahap langkah demi langkah dengan siswa mendengarkan dan mencatat
pokok bahasan yang dirasa penting. Sintaks pembelajaran langsung dalam
commit
penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 2.11.to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

32

Tabel 2.11 Sintaks Pembelajaran Langsung dalam Penelitian


Jenis Kegiatan Langkah-langkah
Pendahuluan - Guru membuka pelajaran.
- Guru menginformasikan pentingnya memahami materi
pelajaran dengan menganalogikan kepada fakta-fakta di
kehidupan.
- Guru memotivasi siswa.
- Guru melakukan apersepsi dengan mengingatkan
konsep yang sudah dipelajari pada tingkat atau
pertemuan sebelumnya.
Inti - Guru menjelaskan materi secara baik langkah demi
langkah.
- Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
bertanya mengenai materi yang disampaikan.
- Guru memberikan soal latihan untuk dikerjakan siswa.
- Guru membahas soal latihan dengan meminta siswa
untuk menyampaikan jawaban di depan kelas.
Penutup - Guru bersama-sama dengan siswa menarik kesimpulan
berkaitan dengan materi yang dipelajari.
- Guru bersama-sama dengan siswa melakukan refleksi
dari pembelajaran yang dilakukan.
- Guru melakukan evaluasi yang terdiri dari 2 nomor
sebagai pengukuran ketercapaian materi pada hari tsb.
- Guru memberikan PR yang berkaitan dengan materi
yang telah dipelajari dan materi berikutnya.
- Guru menutup pembelajaran dengan salam.

7. Perbedaan Jenis Kelamin (Sex Difference)


Jenis kelamin mengacu kepada perbedaan secara biologi, kromosom,
keadaan hormonal, dan organ seksual internal maupun eksternal antara laki-laki
dan perempuan (Nobelius, 2004). Menurut Hungu (Jati & Yunanto, 2013: 114),
jenis kelamin (sexes) didefinisikan sebagai perbedaan antara perempuan dan laki-
laki secara biologis sejak seseorang lahir. Dengan demikian, jenis kelamin
berkaitan erat dengan kenampakan tubuh dan fungsi reproduksi antara laki-laki
dan perempuan, di mana laki-laki memproduksi sperma sementara perempuan
menghasilkan sel telur dan secara biologis mampu menstruasi, hamil, dan
menyusui. Perbedaan biologis ini tidak dapat dipertukarkan dan secara permanen
tidak dapat berubah, meskipun secara fisik dapat diubah namun fungsi
reproduksinya tidak dapat berubah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

33

Adapun jenis kelamin (sexes) berkaitan erat dengan istilah gender. Istilah
gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan
perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan yang
bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil
(Puspitawati, 2013). Menurut Nobelius (2004) gender dapat diartikan sebagai
perbedaan peran, fungsi, status dan tanggungjawab pada laki-laki dan perempuan
sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya yang tertanam lewat proses
sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Berbeda dengan jenis
kelamin yang dikatagorikan menjadi laki-laki dan perempuan atau male dan
female, gender dikatagorikan menjadi maskulin dan feminim. Adapun maskulin
berarti seseorang yang bersifat sebagaimana laki-laki dan feminim adalah
seseorang yang bersifat sebagaimana perempuan. Berdasarkan uraian tersebut
dalam penelitian ini pembahasan teori dibatasi pada perbedaan jenis kelamin (sex
difference) yang didefinisikan sebagai kenampakan tubuh secara biologi,
kromosom, keadaan hormonal, dan organ seksual internal maupun eksternal
antara laki-laki dan perempuan yang merupakan bawaan sejak lahir.
Penelitian yang mengkaji persepsi, kognisi, memori dan fungsi syaraf
manusia, tidak terlepas dari persepsi perbedaan jenis kelamin. Perbedaan ini
kemungkinan dikarenakan oleh perbedaan faktor sosial dan bawaan seperti
genetik dan hormonal pada masing-masing jenis kelamin. Dengan demikian,
pembahasan perbedaan sifat bawaan dan kinerja otak antara laki-laki dan
perempuan tidak terlepas dari pengaruh hormon.
Hormon-hormon sanggup menentukan apa yang dilakukan otak. Hormon
membantu mengarahkan perilaku-perilaku sosial, pengasuhan, seksual, dan
agresif (Brizendine, 2007: 15). Hormon adalah zat kimia yang dikeluarkan oleh
satu atau lebih kelenjar endokrin (Steinberg, 1999: 23). Kelenjar adalah organ
yang menstimulus bagian tubuh tertentu untuk merespon sesuatu. Suatu homon
hanya mampu menstimulus sel tubuh tertentu. Lebih lanjut, hormon diatur secara
umum oleh kelenjar pituitari di hipotalamus (bagian otak yang mengatur aktivitas
pituitari). Selama masa kanak-kanak, terjadi perkembangan kelenjar pituitari,
commit to user
hiputalamus, dan gonad. Gonad memproduksi hormon seksual yaitu androgen dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

34

estrogen. Meskipun androgen identik dengan hormon laki-laki dan estrogen


identik dengan hormon perempuan, namun kedua hormon ini dimiliki baik oleh
laki-laki atau perempuan yang merupakaan bawaan sejak lahir. Selanjutnya, pada
masa remaja, laki-laki memproduksi androgen lebih besar daripada perempuan,
sebaliknya perempuan memproduksi estrogen lebih besar daripada laki-laki.
Petersen dan Taylor (Steinberg, 1999: 74) mengungkapkan karena seseorang
dengan tingkat androgen lebih tinggi memiliki kemampuan spasial dan
matematika yang lebih baik, dimungkinkan laki-laki memiliki kemampuan spasial
yang lebih baik daripada perempuan.
Zaidi (2010) mereview dari berbagai penelitian dalam bidang anatomi
dan menyatakan bahwa terdapat perbedaan berdasarkan jenis kelamin antara
antomi otak laki-laki dan otak perempuan. Dalam artikel tersebut, terdapat
perbedaan di antaranya pada ukuran dan berat otak serta luasan bagian-bagian
otak. Otak laki-laki 10% lebih luas dengan berat 11% – 12% lebih berat daripada
otak perempuan. Kepala laki-laki 2% lebih besar daripada kepala perempuan. Ini
berkaitan dengan fisik laki-laki yang memiliki massa otot dan tubuh yang lebih
besar. Cerebellum adalah area otak yang berkaitan dengan perawakan dan
keseimbangan. Pons adalah bagian yang terhubung dengan cerebellum yang
membantu dalam mengontrol kesadaran. Adapun bagian cerebellum dan pons ini
lebih luas pada otak laki-laki daripada otak perempuan. Kemudian pada rasio
Inferior-Periental Lobule (IPL) terdapat perbedaan yang signifikan atara IPL laki-
laki dan perempuan. IPL laki-laki lebih besar daripada IPL perempuan. IPL
berubungan dengan kemampuan matematika dan spasial. Karena perbedaan ini
dimungkinkan kemampuan matematika dan spasial laki-laki lebih baik daripada
perempuan. Selanjutnya, cerebral hemispheres merupakan level tertinggi dari
sistem syaraf pusat. Berdasarkan mayoritas penelitian pada bidang sistem syaraf,
otak laki-laki lebih luas pada semua bagian daripada perempuan, meskipun otak
laki-laki lebih menonjol pada frontal dan occipital poles. Belahan otak laki-laki
lebih tebal pada belahan otak bagian kanan. Hal ini kemungkinan menjadi alasan
bahwa laki-laki lebih baik dalam kemampuan spasial dan matematika. Berbeda,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

35

dengan otak perempuan yang mayoritas lebih tebal pada belahan kiri, yang mana
berhubungan erat dengan komunikasi.
Selanjutnya, Zaidi (2010) menyatakan rasio antara orbitfrontal cortex
(area yang berkaitan dengan pengaturan emosi) dengan amygdala (area yang
berkaitan dengan produksi reaksi emosional) lebih besar secara signifikan pada
otak perempuan daripada otak laki-laki. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
rata-rata perempuan lebih cakap dalam mengontrol emosional mereka. Selain itu,
perempuan memilki ketajaman dalam membau dan rata-rata memiliki sistem
limbik dalam yang lebih luas daripada laki-laki. Hal ini menyebabkan perempuan
lebih mampu mengekspresikan perasaannya daripada laki-laki. Perempuan
mengalami peningkatan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain.
Namun, di sisi lain, sistem limbik dalam yang lebih luas ini menjadikan
perempuan mudah depresi, terutama ketika terjadi perubahan hormonal yang
signifikan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perempuan memiliki
kemampuan yang lebih dalam mengatur emosi dan mengekspresikan
perasaaannya daripada laki-laki, namun juga memiliki tingkat kecenderungan
depresi yang lebih besar daripada laki-laki.
Steinberg (1999: 74) juga menyatakan bahwa remaja perempuan
memiliki kemampuan verbal yang lebih baik, sedangkan remaja laki-laki memiliki
kemampuan spasial dan matematika yang lebih baik daripada perempuan. Lebih
lanjut, Steinberg (1999: 198) menyatakan pula bahwa meskipun pada usia sekolah
dasar siswa perempuan meperoleh skor matematika yang lebih baik daripada
siswa laki-laki, namun pada siswa sekolah tingkat menengah dan tingkat atas,
siswa laki-laki lebih banyak mengambil kelas matematika, dan lebih berprestasi
dalam matematika daripada perempuan. Hallinan dan Sorensen (Steinberg, 1999:
198) menyatakan beberapa pejelasan psikologi berkaitan dengan kegagalan
remaja perempuan dalam matematika, diantaranya bahwa: (1) perempuan
memandang prestasi matematika sebagai bagian dari peran laki-laki dan sebagai
kosekuensinya, perempuan memiliki sikap negatif terhadap matematika, (2)
perempuan memiliki sangat sedikit role-model ilmuan matematika perempuan,
commit
sehingga mereka tidak bercita-cita to user
untuk memasuki dunia matematika atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

36

mendalami ilmu matematika, (3) perempuan menerima tekanan dari teman laki-
laki mereka untuk tidak mengungguli laki-laki dalam kelas matematika.
Menurut Brizendine (2007: 34) selama dalam rahim, anak perempuan
tidak mengalami gelombang testosteron yang menciutkan pusat-pusat untuk
komunikasi, observasi, dan pemprosesan emosi, sehingga potensi mereka untuk
mengembangkan keterampilan dalam bidang-bidang ini lebih baik daripada
ketrampilan anak laki-laki yang dilahirkan. Selanjutnya, Brizendine (2010)
menyatakan laki-laki memiliki pusat otak yang lebih luas untuk gerak otot dan
penyerangan. Sirkuit otak laki-laki yang dimulai pada masa pubertas secara
hormonal berorientasi untuk melindungi pasangan dan mempertahankan ambisi.
Hal ini sejalan dengan pendapat William dan Best (Santrock, 2003: 374) yang
menyatakan laki-laki secara luas diyakini lebih dominan, mandiri, agresif,
berorientasi pada prestasi, dan mampu bertahan, sementara perempuan secara luas
diyakini lebih mengasihi, bersahabat, rendah diri, dan lebih menolong di saat-saat
sedih. Berdasarkan hal tersebut tersebut dapat diketahui bahwa secara psikologi,
perempuan memiliki sifat bawaan yang berorientasi pada komunikasi dan
pemprosesan emosi, sedangkan laki-laki berorientasi lebih pada kekuatan dan sifat
agresif.
Selain faktor biologi dan psikologi, faktor sosial juga memiliki pengaruh
terhadap perbedaan kemampuan matematika antara laki-laki dan perempuan.
Kartono (1992: 3) mengemukakan dunia wanita dipandang sebagai dunia ‘yang
memelihara’, sedangkan dunia laki-laki lebih banyak dicirikan dengan: dunia
kerja, penaklukan, ekspansi, dan agresivitas. Lebih lanjut, Kartono (1992: 3)
mengungkapkan bahwa sumber utama ‘dunia yang memelihara’ dari kaum wanita
berpangkal dari kehadiran seorang bayi. Dengan demikian seorang remaja
perempuan akan mengembangkan dinamika adaptif pada situasi baru, untuk
menyesuaikan diri: yaitu mengembangkan pola-pola tipis kewanitaan dan khas
keibuannya. Hal ini mendorong kecenderungan olah rasa dan kemampuan verbal
pada perempuan lebih berkembang.
Selain faktor bawaan pada laki-laki dan perempuan, perlu dikaji pula dari
commit
segi perkembangan psikologi anak. to user
Hal ini dikarenakan subjek dalam penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

37

ini adalah siswa SMP pada kelas VII dengan usia rata-rata 12 – 13 tahun.
Berdasarkan teori perkembangan psikologi anak, usia tersebut tergolong usia pra-
pubertas (12 – 14 tahun). Masa pra-pubertas merupakan masa peralihan menuju
masa pubertas (14 – 18 tahun). Masa pertumbuhan sekusal pada perempuan
dimulai pada usia 10 – 13 tahun dan berakhir pada usia 16 tahun, sedangkan pada
laki-laki dimulai pada usia 12 sampai 15 tahun dan berakhir pada usia18 tahun
(WHO, 2011: 6). Pada masa pra-pubertas mulai terjadi kematangan seksual yang
berhubungan dengan kelenjar endokrin. Peristiwa kematangan seksual pada
perempuan terjadi 1,5 tahun sampai 2 tahun lebih awal daripada laki-laki. Dalam
masa pra-pubertas ini, selain terjadi perubahan fisik juga terjadi perubahan
emosional, seperti munculnya perasaan-perasaan negatif, diantaranya: ingin selalu
menentang lingkungan, menarik diri dari masyarakat, kebutuhan untuk tidur
semakin besar, tidak tenang dan gelisah. Selain itu, beberapa aktivitas anak pada
masa ini yang cukup mengundang perhatian serius adalah di saat perkembangan
jasmani yang belum selaras dan keadaan batin yang belum seimbang (Ahmadi dan
Sholeh, 2005: 121-123).
Berdasarkan uraian tersebut, tinjauan dalam penelitian ini yaitu jenis
kelamin didefinisikan sebagai kenampakan tubuh secara biologi, kromosom,
keadaan hormonal, dan organ seksual internal maupun eksternal antara laki-laki
dan perempuan yang merupakan bawaan sejak lahir. Dengan demikian indikator
jenis kelamin (sexes) adalah kenampakan fisik secara biologi antara laki-laki dan
perempuan.

B. Kajian Penelitian Relevan


Hasil penelitian oleh Hendrayana (2015) yang membandingkan pengaruh
pembelajaran RMT terhadap PKM, KSM, dan BKM (Beban Kognitif Matematis)
dengan pembelajaran langsung, dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa
pembelajaran RMT mempunyai pengaruh yang lebih baik dibandingkan dengan
pembelajaran langsung terhadap PKM, KSM, dan BKM siswa. Adapun dilihat
dari faktor jenis kelamin, siswa perempuan dalam kelas eksperimen memperoleh
commit
peningkatan pemahaman konseptual yangto user
secara signifikan lebih baik daripada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

38

siswa perempuan dalam kelas kontrol. Sedangakan pada siswa laki-laki tidak
tampak adanya peningkatan pemahaman konseptual antara kelas eksperimen dan
kelas kontrol.
Hasil penelitian Cahyaningsih dan Gufron (2016) menyatakan bahwa
penggunaan model pembelajaran PBL memberikan pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap karakter kreatif dan berpikir kritis dalam pembelajaran
matematika siswa. Penelitian ini memiliki persamaan dengan penelitian
Cahyaningsih dan Gufron tersebut yaitu mengkaji penggunaan model PBL dalam
pembelajaran, namun dalam penelitian tersebut pengaruh penggunaan penggunaan
model ditekankan pada karakter kreatif dan berpikir kritis siswa, sedangkan dalam
penelitian ini dikaji pengaruh model pembelajaran PBL yang ditekankan pada
PKM dan KSM. Adapun karakter kreatif dan berpikir kritis memiliki kaitan
dengan kompetensi strategis siswa dalam memecahkan suatu permasalahan
matematika. Dengan kata lain, karakter kreatif dan berpikir kritis berkaitan
dengan KSM siswa.
Hasil Penelitian Sintawati (2015) menyatakan bahwa PBL efektif dalam
pembelajaran ditinjau dari prestasi dan kemampuan berpikir kreatif. Penelitian ini
memliki persamaan dengan penelitian Sintawati tersebut yaitu sama-sama
mengkaji efektifitas pembelajaran PBL. Adapun, kemampuan berpikir kreatif
dinilai akan berdampak pada peningkatan KSM siswa.
Hasil penelitian Afrilianto (2012) yang menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan peningkatan pemahaman konsep dan kompetensi strategis matematis
antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metaphorical
thinking, dengan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Siswa
menunjukkan sikap yang positif terhadap pembelajaran dengan pendekatan
metaphorical thinking. Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian
Afrilianto tersebut yaitu sama-sama mengkaji variabel terikat berupa pemahaman
konseptual matematis (PKM) dan kompetensi strategis matematis (KSM). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa PKM dan KSM dapat meningkat sejalan
commit
dengan efektiftias model pembelajaran to user
yang diterapkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

39

Hasil penelitian Samuelsson (2010) yang menyatakan bahwa tidak terdapat


perbedaan yang berarti antara metode pembelajaran langsung dengan PBL ketika
mengukur kelancaran prosedural. Siswa mengalami peningkatan yang jauh lebih
baik pada pemahaman konsep, kompetensi strategis, dan penalaran adaptif dalam
pembelajaran menggunakan metode PBL. Dengan demikian, dalam penelitian
Samuelsson diperoleh temuan bahwa PKM dan KSM siswa pada pembelajaran
PBL mengalami peningkatan daripada PKM dan KSM siswa pada pembelajaran
langsung (tradisional).
Penelitian Ajai dan Imoko (2015) yang mengkaji tentang perbedaan jenis
kelamin terhadap penguasaan dan daya ingat matematika melalui pembelajaran
PBL. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antara siswa laki-laki dan
perempuan yang dikenai pembelajaran aljabar dengan menggunakan PBL tidak
menunjukkan perbedaan penguasaan dan daya ingat matematika yang signifikan.
Oleh sebab itu, siswa laki-laki dan perempuan dapat saling bersaing atau
berkolaborasi dalam matematika.
Hasil penelitian Kiptum, et.al (2013) yang mengkaji pengaruh jenis
kelamin terhadapa atitut belajar matematika siswa. Dalam penelitian tersebut,
dilakukan serangkaian wawancara kepada 300 siswa (terdiri dari 150 siswa laki-
laki dan 150 siswa perempuan) untuk mengehatu persepsi masing-masing siswa
terhadapa pelajaran matematika. Hasil penelitian Kiptum et.al tersebut
menunjukkan bahwa siswa laki-laki lebih banyak beranggapan bahwa pelajaran
matematika adalah pelajaran yang penting daripada siswa perempuan. Hal ini
berarti bahwa siswa laki-laki cenderung memiliki sikap positif terhadap
matematika daripada siswa perempuan.

C. Kerangka Berpikir
Merujuk pada uraian deskripsi variabel yang dikaji dalam kajian teori,
serta melihat variabel bebas penelitian yang terdiri dari model pembelajaran RMT,
PBL, DL, dan variabel terikat berupa PKM dan KSM yang ditinjau berdasarkan
perbeadaan jenis kelamin, maka penyusunan kerangkan berpikir pada penelitian
ini adalah sebagai berikut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

40

1.a. Kaitan Model Pembelajaran dengan PKM Siswa


PKM adalah suatu pemahaman atau penguasaan siswa terhadap konsep-
konsep, operasi, dan relasi matematis. PKM dinilai memiliki peranan yang sangat
penting karena konsep merupakan dasar dari suatu alur pemikiran. Apabila
seorang siswa memiliki PKM yang baik maka siswa tersebut dapat dengan mudah
mengingat kembali konsep yang telah dipahaminya. Dalam pembelajaran,
penggunaan model pembelajaran untuk meningkatkan keefektifan pembelajaran
dalam kelas adalah suatu unsur yang perlu diperhatikan oleh guru (pendidik).
Penggunaan model pembelajaran berpengaruh dalam peningkatan PKM.
Berdasarkan dengan hasil temuan pada penelitian Hendrayana (2015)
Afrilianto (2012), dan Samuelsson (2010), PKM dapat meningkat sejalan
dengan model pembelajaran yang diterapkan dalam kelas. Model
pembelajaran PBL merupakan salah satu model pembelajaran yang
menggunakan pendekatan tidak langsung. Dewasa ini, PBL mendapat
berbagai apresiasi dan banyak direkomendasikan oleh kalangan peneliti
pendidikan. Berdasarkan hasil penelitian Cahyaningsih dan Gufron (2016),
Sintawati (2015), dan Samuelsson (2010) diketahui bahwa PBL memberikan
efek positif terhadap kemampuan matematika siswa daripada pembelajaran
DL. Adapun dalam hasil penelitian Samuelsson (2010), siswa yang dikenai
model pembelajaran PBL memperoleh PKM yang lebih baik daripada siswa
yang dikenai pembelajaran konvensional (DL).
Dalam praktiknya, pembelajaran PBL dilakukan dimulai dengan
pengajuan suatu permasalahan untuk dipecahkan siswa. Siswa akan tertantang
untuk memecahkan permasalah yang baru mereka jumpai, sehingga pola pikir
analisis mereka akan terasah. Namun, karena PBL lebih menitik-beratkan
kepada pemecahan masalah, ada kemungkinan dengan menggunakan
pendekatan PBL konsep yang diberikan dapat meningkat namun tidak dapat
mengendap secara permanen (dalam waktu yang lama). Selain itu, siswa yang
kurang memiliki pemahaman terhadap materi prasyarat dimungkinkan akan
mengalami kesulitan dalam membentuk konsep matematisnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

41

Berbeda dengan PBL, model pembelajaran RMT menfasilitasi siswa


dengan mediasi sehingga siswa dapat menskema materi-materi prasyarat yang
dibutuhkan dalam membangun konsep yang saling berkaitan. Adapun mediasi-
mediasi yang diberikan guru memiliki intensitas bertahap dan berkelanjutan.
Dengan demikian, secara berkelanjutan siswa dapat membangun pemahamannya
secara mandiri. Dengan kata lain, RMT adalah model pembelajaran yang
menjembatani pendekatan langsung dengan pendekatan yang tidak langsung.
Berdasarkan hasil penelitian Hendrayana (2015) model pembelajaran RMT
memberikan efek postif yang lebih baik terhadap PKM daripada model
pembelajaran DL. Dengan demikian, dimungkinkan pembelajaran RMT akan
memberikan efek yang lebih baik terhadap PKM daripada model
pembelajaran PBL dan DL.
Berdasarkan uraian di atas, dimungkinkan siswa yang dikenai model
pembelajaran RMT akan memperoleh PKM yang lebih baik daripada siswa
yang dikenai model pembelajaran PBL, siswa yang dikenai model
pembelajaran RMT dan siswa yang dikenai model pembelajaran PBL akan
memperoleh PKM yang lebih baik daripada siswa yang dikenai model
pembelajaran DL.

1.b. Kaitan Model Pembelajaran dengan KSM Siswa


Matematika memiliki kaitan erat dengan kegiatan pemecahan
masalah. Diharapkan melalui pembelajaran matematika, siswa dapat
menggunakan matematika sebagai alat dalam memecahkan permasalahan
yang dijumpai sehingga matematika dapat mengantarkan siswa kepada keber-
hasilan hidup. KSM dibangun dari tiga komponen kemampuan, yaitu: me-
rumuskan, merepresentasikan dan memecahkan masalah. Tiga komponen
kemampuan ini merupakan aktifitas penting untuk mencapai kompetensi dalam
kehidupan nyata. Komponen tersebut meliputi: (1) kemampuan merumuskan; (2)
kemampuan merepresentasikan; (3) kemampuan pemecahan masalah. Dalam
pembelajaran, penggunaan model pembelajaran untuk meningkatkan keefektifan
commit
pembelajaran dalam kelas adalah suatutounsur
user yang perlu diperhatikan oleh guru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

42

(pendidik). Penggunaan model pembelajaran berpengaruh dalam peningkatan


KSM. Hal ini sejalan dengan hasil temuan pada penelitian terdahulu,
diantaranya Hendrayana (2015) dan Afrilianto (2012), dan Samuelsson
(2010) yang menyatakan bahwa KSM dapat meningkat sejalan dengan model
pembelajaran yang diterapkan dalam kelas.
Model pembelajaran PBL merupakan salah satu model pembelajaran
yang bertumpu pada suatu masalah yang diajukan guru dalam kegiatan
pembelajaran. Dewasa ini, PBL mendapat berbagai apresiasi dan banyak
direkomendasikan oleh kalangan peneliti pendidikan. Dalam praktiknya,
pembelajaran yang dilakukan dimulai dengan pengajuan suatu permasalahan
untuk dipecahkan siswa. Siswa akan tertantang untuk memecahkan
permasalah yang baru mereka jumpai, sehingga pola pikir analisis mereka
akan terasah. Karena PBL menitikberatkan kepada analisis dan pemecahan
masalah pada siswa, ada kemungkinan dengan menggunakan model
pembelajaran PBL dapat menigkatkan KSM siswa. Hal ini berdasarkan pada
hasil penelitian Samuelsson (2010) yang menunjukkan bahwa KSM siswa
yang dikenai model pembelajaran PBL lebih baik secara signifikan daripada
KSM siswa yang dikenai model pembelajaran DL.
Namun, dalam praktiknya pembelajaran PBL dinilai hanya sesuai
untuk siswa dengan kemampuan matematika yang tinggi. PBL dinilai akan
mengakibatkan bertambahnya beban kognitif pada siswa dengan kemampuan
matematika rendah. Siswa dengan kemampuan matematika rendah akan
kesulitan dalam mengasosiasi konsep karena kurangnya pemahaman materi
materi prasyarat. Dengan demikian siswa dengan kemampuan matematika
rendah akan kesulitan dalam kegiatan pemecahan masalah yang diajukan.
Berbeda dengan PBL, model RMT menfasilitasi siswa dengan mediasi
yang dapat menskema materi-materi prasyarat yang dibutuhkan dalam
membangun konsep yang baru. Adapun mediasi-mediasi yang diberikan guru
memiliki intensitas yang bertahap. Secara berkelanjutan siswa dapat dengan
mandiri membangun pemahamannya. Karena adanya mediasi dari guru,
commit to user
mengakibatkan model pembelajaran ini sesuai untuk siswa dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

43

kemampuan matematika rendah. Apabila pemahaman siswa sudah melekat


pada fungsi kognitifnya, maka kemmapuan matematika siswa akan
meningkat, begitu juga dengan kemampuan dalam menentukan strategi-
strategi pemecahan masalah. Dengan kata lain KSM siswa yang dikenai
pembelajaran RMT akan meningkat. Hal ini berdasarkan hasil penelitian
Hendrayana (2015) yang menyatakan bahwa model pembelajaran RMT
memberikan efek postif yang lebih baik terhadap KSM daripada model
pembelajaran DL.
Berdasarkan uraian tersebut, dimungkinkan siswa yang dikenai model
pembelajaran RMT akan memperoleh KSM yang sama baiknya dengan siswa
yang dikenai model pembelajaran PBL, siswa yang dikenai model
pembelajaran RMT dan siswa yang dikenai model pembelajaran PBL akan
memperoleh KSM yang lebih baik daripada siswa yang dikenai model
pembelajaran DL.

2.a Kaitan jenis kelamin (sex difference) dengan PKM Siswa


PKM adalah suatu pemahaman atau penguasaan siswa terhadap
konsep-konsep, operasi, dan relasi matematis. Dalam penguasaan konsep,
operasi dan relasi, dibutuhkan suatu pendekatan atau proses berpikir yang
terstruktur. Dengan adanya pola pikir yang terstruktur siswa dengan mudah
mengaitkan hubungan antara satu konsep dengan konsep lainnya.
Perbedaan jenis kelamin merupakan salah satu aspek yang
berpengaruh dalam pembelajaran. Hal ini dikarenakan siswa laki-laki dan
siswa perempuan memiliki kecenderungan yang berbeda dalam pembelajaran.
Berdasarkan pada kajian teori, seperti: Brizedine (2007, 2010), Zaidi (2010),
Kartono (1992), Santrock (2003), menunjukkan bahwa berdasarkan potensi
alamiahnya, laki-laki lebih menyukai hal-hal yang bersifat menantang,
membutuhkan tingkat kreativitas yang tinggi, dan cenderung agresif. Selain
itu, berdasarkan perbedaan otak laki-laki yang lebih mengacu kepada
kemampuan spasial dan logis matematis, mengakibatkan siswa laki-laki
memilki kemampuan penalaran dan matematika yang lebih berkembang.
commit to user
Berdasarkan potensi alamiah dan pengaruh perbedaan hormon, meng-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

44

akibatkan laki-laki cenderung memiliki kemampuan matematika yang lebih


menonjol, sedangkan perempuan lebih menonjol pada kemampuan bahasa
dan cenderung menyukai hal yang bersifat verbal dan formal. Selain itu,
kemampuan komunikasi dan pengaturan emosi pada perempuan lebih ber-
kembang daripada laki-laki (Brizedine, 2007; 2010; Zaidi, 2010; Kartono,
1992; Santrock, 2003).
Meskipun demikian, berdasarkan teori perkembangan psikologi anak,
perempuan mengalami masa pra-pubertas 1,5 sampai 2 tahun lebih awal
daripada laki-laki, yaitu pada usia 10 – 12 tahun, sedangkan laki-laki
mengalami masa pra-pubertas pada usia 13 – 15 tahun. Dengan kata lain pada
usia SMP yaitu antara 12 sampai 15 tahun siswa perempuan telah mengalami
masa pra-pubertas, sedangkan siswa laki-laki masih mengalami masa pra-
pubertas. Karena pada masa pra-pubertas ini biasanya diwarnai dengan
munculnya perasaan-perasaan negatif, mengakibatkan pada tingkat SMP
perempuan lebih baik dalam hal keseksamaan berpikir dan emosional serta
memiliki kecenderungan untuk melanggar peraturan yang lebih kecil daripada
laki-laki. Dengan demikian, siswa perempuan cenderung melakukan sesuatu
sesuai dengan alur atau peraturan yang sudah ditentukan. Hal ini
mengakibatkan siswa perempuan memiliki kemampuan yang baik dalam hal
ketepatan, ketelitian, kecermatan, dan keseksamaan berpikir.
Karena perempuan memiliki kemampuan yang baik dalam hal ketepatan,
ketelitian, kecermatan, dan keseksamaan berpikir mengakibatkan siswa
perempuan juga baik dalam memahami, mengoperasikan, dan mengaitkan
hubungan antar konsep. Dengan kata lain, penguasaan siswa perempuan
terhadap konsep-konsep, operasi, dan relasi matematis akan sama baiknya
dengan siswa laki-laki. Hal ini dimungkinkan akan mengakibatkan siswa
perempuan memiliki PKM yang sama baiknya dengan siswa laki-laki.

2.b Kaitan Jenis Kelamin (sex difference) dengan KSM Siswa


KSM dibangun dari tiga komponen kemampuan, yaitu: merumuskan,
merepresentasikan dan memecahkan masalah. Tiga komponen kemampuan
commit
ini merupakan aktifitas penting untuktomencapai
user kompetensi dalam kehidupan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

45

nyata. Komponen tersebut meliputi: (1) kemampuan merumuskan; (2)


kemampuan merepresentasikan; (3) kemampuan pemecahan masalah. Dalam
pencapaian KSM dibutuhkan suatu strategi pemecahan yang membutuhkan
kemampuan penalaran dan analisis, serta kreativitas yang baik. Dengan
adanya kemampuan penalaran dan analisis serta kreativitas tersebut akan
membantu siswa dalam menentukan strategi dan melakukan proses
pemecahan permasalahan.
Perbedaan jenis kelamin merupakan salah satu aspek yang berpengaruh
dalam pembelajaran. Hal ini dikarenakan siswa laki-laki dan siswa perempuan
memiliki kecenderungan yang berbeda dalam pembelajaran. Berdasarkan pada
kajian teori, seperti: Brizedine (2007, 2010), Zaidi (2010), Kartono (1992),
Santrock (2003), menunjukkan bahwa berdasarkan potensi alamiahnya, laki-laki
lebih menyukai hal-hal yang bersifat menantang, membutuhkan tingkat kreativitas
yang tinggi, dan cenderung agresif. Selain itu, berdasarkan perbedaan otak laki-
laki yang lebih mengacu kepada kemampuan spasial dan logis matematis,
mengakibatkan siswa laki-laki memilki kemampuan penalaran yang lebih
berkembang. Berdasarkan potensi alamiah dan pengaruh perbedaan hormon,
mengakibatkan laki-laki cenderung memiliki kemampuan matematika yang lebih
menonjol, sedangkan perempuan lebih menonjol pada kemampuan bahasa dan
cenderung menyukai hal yang bersifat verbal dan formal. Selain itu,
kemampuan komunikasi dan pengaturan emosi pada perempuan lebih ber-
kembang daripada laki-laki (Brizedine, 2007; 2010; Zaidi, 2010; Kartono, 1992;
Santrock, 2003).
Berdasarkan hasil kajian Zaidi (2010) belahan otak laki-laki lebih dalam
pada belahan kanan yang erat hubungannya dengan kemampuan matematis dan
spasial, sedangkan pada perempuan, belahan otak kiri perempuan lebih dalam
daripada belahan kanan. Adapun belahan otak bagian kiri erat kaitannya dengan
kemampuan berkomunikasi. Hal ini mengakibatkan kemampuan laki-laki
berkaitan kegiatan merumuskan, merepresentasikan dan memecahkan masalah
akan lebih berkembang daripada perempuan. Selain itu, laki-laki juga dinilai
commit
memiliki kemampuan penalaran dan to user serta kreativitas yang lebih baik
analisis,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

46

daripada perempuan. Hal ini mengakibatkan bahwa dimungkinkan siswa laki-


laki akan memiliki KSM yang lebih baik dibandingkan dengan siswa
perempuan.

3.a Kaitan Setiap Model Pembelajaran dengan PKM pada Masing-masing


Jenis Kelamin
Dalam penerapan model pembelajaran dalam kelas, seorang guru
dinilai perlu memperhatikan karakteristik siswa. Salah satu hal yang perlu
diperhatikan adalah perbedaan jenis kelamin. Perbedaan jenis kelamin
menyebabkan perbedaan pada kecenderungan pembelajaran antara siswa
laki-laki dan siswa perempuan.
Model pembelajaran RMT menekankan pada mediasi dan
pembentukan alat psikologi yang dapat digunakan sebagai alat dalam
membangun suatu kesatuan konsep. Namun, berdasarkan hasil penelitian
Hendrayana (2015) PKM siswa laki-laki tidak mengalami peningkatan yang
signifikan melalui pembelajaran RMT.
Pembelajaran PBL merupakan pembelajaran yang bertumpu pada
kegiatan pemecahan masalah. melalui kegiatan pemecahan masalah tersebut
diharapkan siswa mampu membentuk pemahamannya terhadap materi
terkait. Berdasarkan kajian teori, seperti; Brizedine (2010), Zaidi (2010), dan
Santrock (2003), dimungkinkan siswa laki-laki cenderung menyukai model
pembelajaran yang menantang dan membutuhkan kreativitas dalam proses
pembelajaran. Model pembelajaran PBL dinilai sesuai untuk siswa laki-laki
dalam mengembangkan pemahaman konseptual matematisnya. Meski
demikian PKM siswa laki-laki belum tentu dapat berkembang dengan baik,
melihat dalam PBL suatu konsep materi tidak ditekankan secara mendalam.
Dalam penerapan model pembelajaran langsung (DL), seorang guru
menjelaskan materi melalui interaksi langsung, siswa mendengarkan dengan
teliti dan mencatat pokok-pokok bahasan yang dirasa penting. Hal ini dinilai
tidak mengasah kreativitas dan kemampuan amalitis siswa laki-laki, se-
hingga mengakibatkan siswacommit to user
laki-laki akan cenderung mudah bosan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

47

pembelajaran DL. Hal ini mengakibatkan PKM siswa laki-laki dimungkinkan


tidak mengalami peningkatan dalam pembelajaran DL.
Berdasarkan uraian tersebut, dimungkinkan siswa laki-laki yang
dikenai model pembelajaran RMT akan menghasilkan PKM yang sama
baiknya dengan siswa laki-laki yang dikenai model pembelajaran PBL.
Siswa laki-laki yang dikenai model pembelajaran RMT dan siswa laki-laki
yang dikenai model pembelajaran PBL akan menghasilkan PKM yang lebih
baik dibandingkan dengan siswa laki-laki yang dikenai model pembelajaran
DL.
Model pembelajaran RMT menekankan pada mediasi dan
pembentukan alat psikologi yang dapat digunakan sebagai alat dalam
membangun suatu kesatuan konsep. Berdasarkan kajian Brizedine (2007)
dan Zaidi (2010) belahan otak kiri perempuan yang mana berhubungan
dengan kemampuan komunikasi lebih dalam daripada belahan otak kanan,
menyebabkan memampuan komunikasi pada perempuan lebih berkembang.
Selain itu, berdasarkan Kartono (1992), dunia wanita dipandang sebagai
dunia ‘yang memelihara’, dinilai mengakibatkan perempuan lebih menyukai
pembelajaran yang menekankan komunikasi dan pembimbingan di
dalamnya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Hendrayana (2015) yang
menyatakan PKM siswa perempuan mengalami peningkatan yang signifikan
melalui pembelajaran RMT.
Model pembelajaran PBL melibatkan siswa perempuan dalam
aktifitas pemecahan masalah. PBL menekankan kebermaknaan pembelajaran
melalui serangkaian kegiatan diskusi, pengamatan dan pemecahan masalah.
Dengan kata lain, PBL tidak hanya menfasilitasi siswa perempuan untuk
mengembangkan kemampuan analisisnya, tetapi juga kemampuan komuni-
kasi. Namun, karena PBL menuntut siswa perempuan untuk membangun
sendiri pemahamannya melalui kegiatan pemecahan masalah, mengakibat-
kan pemahaman konsep yang tertanam melalui PBL dinilai tidak sedalam
sebagaimana dalam pembelajaran RMT.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

48

Dalam penerapan model pembelajaran langsung (DL), seorang guru


menjelaskan materi melalui interaksi langsung, siswa mendengarkan dengan
teliti dan mencatat pokok-pokok bahasan yang dirasa penting. Hal ini dinilai
tidak memberikan pemahaman konsep yang mendalam kepada siswa
perempuan, karena siswa perempuan hanya memperoleh pengetahuannya
melalui pembelajaran yang cenderung monoton dan kurang menfasilitasi
siswa perempuan untuk mengembangkan pemahaman konseptualnya melalui
kegiatan komunikasi (seperti diskusi atau mediasi). Hal ini mengakibatkan
siswa perempuan akan cenderung mudah bosan dalam pembelajaran DL,
sehingga dimungkinkan PKM siswa perempuan tidak mengalami pening-
katan dalam pembelajaran DL.
Berdasarkan uraian tersebut, dimungkinkan siswa perempuan yang
dikenai model pembelajaran RMT akan memperoleh PKM yang lebih baik
daripada siswa perempuan yang dikenai model pembelajaran PBL dan siswa
perempuan yang dikenai model pembelajaran DL. Siswa perempuan yang
dikenai model pembelajaran PBL akan memperoleh PKM yang lebih baik
daripada siswa perempuan yang dikenai model pembelajaran DL.

3.b Kaitan Setiap Model Pembelajaran dengan KSM pada Masing-masing


Jenis Kelamin
Dalam penerapan model pembelajaran dalam kelas, seorang guru
dinilai perlu memperhatikan karakteristik siswa. Salah satu hal yang perlu
diperhatikan adalah perbedaan jenis kelamin. Perbedaan jenis kelamin
menyebabkan perbedaan kecenderungan pembelajaran antara siswa laki-laki
dan siswa perempuan. Berdasarkan uraian sebelumnya siswa laki-laki
cenderung sesuai dengan model pembelajaran yang menantang dan
membutuhkan pemikiran.
Dalam penerapan model pembelajaran langsung (DL), seorang guru
menjelaskan materi melalui interaksi langsung, siswa mendengarkan dengan
teliti dan mencatat pokok-pokok bahasan yang dirasa penting. Hal ini dinilai
tidak mengasah kreativitascommit
dan to user
kemampuan amalitis siswa laki-laki,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

49

sehingga mengakibatkan siswa laki-laki akan cenderung mudah bosan dalam


pembelajaran DL. Hal ini mengakibatkan KSM siswa laki-laki dimungkin-
kan tidak mengalami peningkatan dalam pembelajaran DL.
Berbeda dengan pembelajaran DL, model pembelajaran RMT
menekankan pada mediasi dan pembentukan alat psikologi yang dapat
digunakan sebagai alat dalam membangun suatu kesatuan konsep.
Berdasarkan hasil penelitian Hendrayana (2015) diketahui bahwa melalui
pembelajaran RMT, KSM siswa laki-laki tidak mengalami peningkatan yang
signifikan. Di sisi lain melalui pemberian LAS pada pembelajaran RMT,
dinilai dapat meningkatkan dan memfasilitasi kemampuan berpikir siswa
laki-laki dibandingkan dengan pembelajaran DL, yang hanya menerapkan
penjelasan dari guru.
Pembelajaran PBL merupakan pembelajaran yang bertumpu pada
kegiatan pemecahan masalah. melalui kegiatan pemecahan masalah tersebut
diharapkan siswa mampu membentuk pemahamannya terhadap materi
terkait. Berdasarkan kajian teori, seperti; Brizedine (2010), Zaidi (2010), dan
Santrock (2003), yang mengkaji tentang potensi alamiah laki-laki
berdasarkan pengaruh hormon dan struktur otak, dimungkinkan siswa laki-
laki cenderung menyukai model pembelajaran yang menantang dan
membutuhkan kreativitas dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran
PBL dinilai sesuai untuk siswa laki-laki dalam mengembangkan kompetensi
strategis matematisnya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Samuelsson
(2010) yang menyatakan siswa laki-laki yang dikenai model pembelajaran
PBL memperoleh KSM yang lebih baik daripada siswa laki-laki yang
dikenai pembelajaran konvensional (DL).
Berdasarkan uraian tersebut, dimungkinkan siswa laki-laki yang
dikenai model pembelajaran PBL akan menghasilkan KSM yang lebih baik
daripada siswa laki-laki yang dikenai model pembelajaran RMT. Siswa laki-
laki yang dikenai model pembelajaran RMT dan siswa laki-laki yang dikenai
model pembelajaran PBL akan menghasilkan PKM yang lebih baik
commit toyang
dibandingkan dengan siswa laki-laki userdikenai model pembelajaran DL.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

50

Model pembelajaran RMT menekankan pada mediasi dan


pembentukan alat psikologi yang dapat digunakan sebagai alat dalam
membangun suatu kesatuan konsep. Berdasarkan kajian Brizedine (2007)
dan Zaidi (2010) belahan otak kiri perempuan yang mana berhubungan
dengan kemampuan komunikasi lebih dalam daripada belahan otak kanan,
menyebabkan memampuan komunikasi pada perempuan lebih berkembang.
Selain itu, berdasarkan Kartono (1992), dunia wanita dipandang sebagai
dunia ‘yang memelihara’, dinilai mengakibatkan perempuan lebih menyukai
pembelajaran yang menekankan komunikasi dan pembimbingan di
dalamnya. Berdasarkan hasil penelitian Hendrayana (2015) diketahui KSM
siswa perempuan mengalami peningkatan yang signifikan melalui
pembelajaran RMT. Dengan kata lain model pembelajaran RMT dapat
meningkatkan KSM pada siswa perempuan.
Model pembelajaran PBL melibatkan siswa perempuan dalam
aktifitas pemecahan masalah. PBL menekankan kebermaknaan pembelajaran
melalui serangkaian kegiatan diskusi, pengamatan dan pemecahan masalah.
Dengan kata lain, PBL tidak hanya menfasilitasi siswa perempuan untuk
mengembangkan kemampuan analisisnya, namun juga kemampuan
komunikasi. Melalui kegiatan diskusi ini, dimungkinkan kemampuan analisis
siswa perempuan akan meningkat, dan mengakibatkan KSM siswa
perempuan akan meningkat pula.
Dalam penerapan model pembelajaran langsung (DL), seorang guru
menjelaskan materi melalui interaksi langsung, siswa mendengarkan dengan teliti
dan mencatat pokok-pokok bahasan yang dirasa penting. Hal ini dinilai tidak
memfasilitasi siswa perempuan dalam kegiatan pemecahan masalah, karena siswa
perempuan hanya memperoleh pengetahuannya melalui pembelajaran yang
cenderung monoton. Hal ini mengakibatkan siswa perempuan akan cenderung
mudah bosan dalam pembelajaran DL. Hal ini mengakibatkan KSM perempuan
dimungkinkan tidak mengalami peningkatan dalam pembelajaran DL.
Berdasarkan uraian tersebut, dimungkinkan siswa perempuan yang
dikenai model pembelajarancommit
RMTto akan
user memperoleh KSM yang sama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

51

baiknya dengan siswa perempuan yang dikenai model pembelajaran PBL.


Siswa perempuan yang dikenai model pembelajaran RMT dan siswa
perempuan yang dikenai model pembelajaran PBL akan memperoleh KSM
yang lebih baik daripada siswa perempuan yang dikenai model pembelajaran
DL.

4.a Kaitan Masing-masing Jenis Kelamin dengan PKM pada Setiap Model
Pembelajaran
Pembelajaran RMT memiliki karakteristik berupa guru memediasi
siswa dalam kegiatan pembelajaran, sehingga siswa dapat membentuk alat
psikologi matematis. Hal ini dinilai dapat membantu kesulitan siswa dalam
memahami suatu konsep. Dengan menerapkan RMT siswa akan mudah
dalam memahami konsep, serta dapat mengolah informasi yang diperoleh
pada situasi-situasi kontekstual. Namun, berdasarkan hasil penelitian
Hendrayana (2015) diketahui bahwa pada pembelajaran RMT, PKM siswa
laki-laki tidak mengalami peningkatan yang signifikan, sedangkan PKM
siswa perempuan mengalami peningkatan yang sginifikan. Berdasarkan
uraian tersebut, dimungkinkan dalam pembelajaran RMT, PKM siswa
perempuan akan lebih baik daripada PKM siswa laki-laki.
Adapun pembelajaran PBL adalah pembelajaran yang berorientasi
pada suatu masalah untuk dipecahkan siswa. dalam proses pembelajarannya
siswa dituntut untuk melakukan analisis dan berpikir tingkat tinggi. Dengan
demikian siswa akan terlatih untuk mandiri dan kreatif dalam menentukan
strategi pemecahan masalah. Melalui proses pemecahan masalah tersebut,
diharapkan siswa mampu membentuk konsep yang berkaitan dengan
masalah yang diberikan. Berdasarkan kajian teori, seperti; Brizedine (2007,
2010), Zaidi (2010), dan Santrock (2003), laki-laki memiliki kemampuan
analisis, matematis, dan spasial yang lebih baik daripada siswa perempuan.
Hal ini mengakibatkan, melalui pembelajaran PBL siswa laki-laki akan
lebih mudah dalam memahami konsep yang dipelajari daripada siswa
commit PKM
perempuan. Dengan demikian to user siswa laki-laki yang dikenai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

52

pembelajaran PBL akan lebih baik daripada PKM siswa perempuan yang
dikenai pembelajaran PBL.
Pembelajaran DL adalah pembelajaran yang berpusat pada guru.
Kegiatan pembelajaran yang mendominasi pembelajaran DL adalah guru
menjelaskan materi pelajaran dengan siswa mendengarkan dan mencatat apa
yang dijelaskan guru. Meskipun berdasarkan teori, di antaranya: Brizedine
(2007, 2010), Zaidi (2010), dan Santrock (2003), kemampuan matematika
siswa laki-laki lebih baik daripada siswa perempuan, namun karena siswa
perempuan cenderung menyukai pembelajaran formal, dimungkinkan
melalui pembelajaran DL, PKM siswa laki-laki akan sama dengan siswa
perempuan.
Berdasarkan uraian tersebut, dimungkinkan PKM siswa perempuan
akan lebih baik daripada PKM siswa laki-laki pada pembelajaran RMT.
Namun, pada pembelajaran PBL, PKM siswa laki-laki akan lebih baik
daripada PKM siswa perempuan. Pada pembelajaran DL, PKM siswa laki-
laki akan sama baiknya dengan PKM siswa perempuan.

4.b Kaitan Masing-masing Jenis Kelamin dengan Kompetensi Strategis


Matematis (KSM) pada Setiap Model Pembelajaran
Pembelajaran RMT memiliki karakteristik berupa guru memediasi
siswa dalam kegiatan pembelajaran, sehingga melalui hal tersebut siswa
dapat membentuk alat psikologi matematis. Hal ini dinilai dapat membantu
kesulitan siswa dalam memahami suatu konsep. Secara berkelanjutan
kemampuan siswa berkaitan dengan kompetensi strategis dalam kegiatan
pemecahan masalah dapat meningkat. Hal ini dikarena melalui
pembelajaran RMT siswa dimediasi untuk membentuk suatu konsep sebagai
alat psikologi yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah. Namun,
berdasarkan hasil penelitian Hendrayana (2015), KSM siswa laki-laki tidak
mengalami peningkatan yang signifikan, sedangkan KSM siswa perempuan
mengalami peningkatan yang sginifikan dalam pembelajaran RMT. Dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

53

demikian melalui pembelajaran RMT, KSM siswa perempuan akan lebih


baik daripada KSM siswa laki-laki.
Adapun pembelajaran PBL adalah pembelajaran yang berorientasi
pada suatu masalah untuk dipecahkan siswa. Dalam proses pembelajarannya
siswa dituntut untuk melakukan analisis dan berpikir tingkat tinggi. Dengan
demikian siswa akan terlatih untuk mandiri dan kreatif dalam menentukan
strategi pemecahan masalah. Karena siswa laki-laki memiliki kemampuan
analisis yang lebih baik daripada siswa perempuan, maka melalui
pembelajaran PBL, KSM siswa laki-laki akan lebih baik daripada KSM
siswa perempuan.
Pembelajaran DL adalah pembelajaran yang berpusat pada guru.
Kegiatan pembelajaran yang mendominasi pembelajaran DL adalah guru
menjelaskan materi pelajaran dengan siswa mendengarkan dan mencatat apa
yang dijelaskan guru. Dalam pembelajaran DL kemampuan pemecahan
masalah tidak terlalu diperhatikan, karena guru hanya menjelaskan materi
secara langusng. Karena kemampuan analisis siswa laki-laki lebih baik
daripada siswa perempuan, maka dimungkinkan, pada pembelajaran DL,
KSM siswa laki-laki akan lebih baik daripada KSM siswa perempuan.
Berdasarkan uraian tersebut, pada pembelajaran RMT, KSM siswa
perempuan akan lebih baik daripada KSM siswa laki-laki. Pada
pembelajaran PBL, KSM siswa laki-laki akan lebih baik daripada KSM
siswa perempuan. Pada pembelajaran DL, KSM siswa laki-laki akan lebih
baik daripada KSM siswa perempuan.

D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir sebagaimana yang telah
diuraikan sebelumnya, dalam penelitian ini diajukan beberapa hipotesis sebagai
berikut:
1.a Model Pembelajaran RMT menghasilkan PKM yang lebih baik dibandingkan
dengan pembelajaran dengan model pembelajaran PBL, model pembelajaran
commit
RMT akan menghasilkan PKM yang to userbaik daripada model pembelajaran
lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

54

DL, dan model pembelajaran PBL menghasilkan PKM yang lebih baik
dibandingkan dengan model pembelajaran DL.
1.b Model pembelajaran RMT menghasilkan KSM yang sama baiknya dengan
model pembelajaran PBL, model pembelajaran RMT dan model
pembelajaran PBL menghasilkan KSM yang lebih baik daripada model
pembelajaran DL.
2.a Siswa laki-laki memperoleh PKM yang sama baiknya dengan siswa
perempuan.
2.b Siswa laki-laki memperoleh KSM yang lebih baik dibandingkan dengan siswa
perempuan.
3.a Pada masing-masing jenis kelamin, siswa laki-laki yang dikenai model
pembelajaran RMT akan menghasilkan PKM yang sama baiknya dengan
siswa laki-laki yang dikenai model pembelajaran PBL, dan siswa laki-laki
yang dikenai model pembelajaran RMT akan menghasilkan PKM yang lebih
baik daripada siswa laki-laki yang dikenai model pembelajaran DL, siswa
laki-laki yang dikenai model pembelajaran PBL akan menghasilkan PKM
yang lebih baik dibandingkan dengan siswa laki-laki yang dikenai model
pembelajaran DL. Selanjutnya, siswa perempuan yang dikenai pembelajaran
RMT akan memperoleh PKM yang lebih baik dibandingkan siswa perempuan
yang dikenai pembelajaran PBL dan DL, dan siswa perempuan yang dikenai
pembelajaran PBL akan memperoleh PKM yang lebih baik daripada siswa
perempuan yang dikenai pembelajaran DL.
3.b Pada masing-masing jenis kelamin, siswa laki-laki yang dikenai model
pembelajaran PBL akan menghasilkan KSM yang lebih baik daripada siswa
laki-laki yang dikenai model pembelajaran RMT. Siswa laki-laki yang
dikenai model pembelajaran RMT dan siswa laki-laki yang dikenai model
pembelajaran PBL akan menghasilkan KSM yang lebih baik dibandingkan
dengan siswa laki-laki yang dikenai model pembelajaran DL. Selanjutnya,
siswa perempuan yang dikenai pembelajaran RMT akan memperoleh KSM
yang sama baiknya dengan siswa perempuan yang dikenai pembelajaran
commit toyang
PBL. Kemudian, siswa perempuan userdikenai pembelajaran RMT dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

55

siswa perempuan yang dikenai model pembelajaran PBL akan memperoleh


KSM yang lebih baik daripada siswa perempuan yang dikenai pembelajaran
DL.
4.a Pada pembelajaran RMT, siswa perempuan memperoleh PKM yang lebih baik
daripada siswa laki-laki. Pada pembelajaran PBL, siswa laki-laki memperoleh
PKM yang lebih baik daripada siswa perempuan. Pada pembelajaran DL,
siswa laki-laki akan memperoleh PKM yang sama baiknya dengan siswa
perempuan.
4.b Pada pembelajaran RMT siswa perempuan akan memperoleh KSM yang lebih
baik daripada siswa laki-laki. Pada pembelajaran PBL siswa laki-laki
memperoleh KSM yang lebih baik daripada siswa perempuan. Pada
pembelajaran DL, siswa laki-laki memperoleh KSM yang lebih baik daripada
siswa perempuan.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai