Anda di halaman 1dari 7

JOKOWI DAN BAHASA INDONESIA*

(Sebuah Kajian Politik Bahasa pada Era Industri 4.0)


Asep Jejen Jaelani**
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Kuningan
asep.jejen.jaelani@uniku.ac.id

Sari
Perencanaan bahasa sudah selayaknya menjadi kewajiban penuh
pemerintah melalui kebijakan bahasa dan politik bahasa. Peristiwa Sumpah Pemuda
merupakan tonggak sejarah politik bahasa Indonesia. Berbagai politik bahasa
Indonesia sudah dikeluarkan oleh pemerintah. Pada tahun 2019 pemerintah
Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019
tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Setelah dikaji, Perpres ini tidak
mengakomodasi perubahan zaman dan juga teknologi pada era industri 4.0.
Masyarakat 4.0 banyak “disibukkan” dengan media sosial, yang mana penggunaan
bahasa di media sosial banyak yang tidak mengindahkan kesantunan berbahasa.
Dalam Perpres tersebut hanya mengatur bahwa “penggunaan bahasa Indonesia
harus memenuhi kriteria bahasa Indonesia yang baik dan benar”. Padahal sebaiknya
dan seharunya berbunyi “penggunaan bahasa Indonesia harus memenuhi kriteria
bahasa Indonesia yang baik, benar, dan santun”.

Kata kunci: Perencanaan bahasa, politik bahasa, Peraturan Presiden

Pendahuluan
Hakikat bahasa adalah dinamis. Arti kata dinamis dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) adalah penuh semangat dan tenaga sehingga cepat
bergerak dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan dan sebagainya. Dari
definisi itu dapat disimpulkan bahwa bahasa akan terus bergerak dan berubah
mengikuti serta menyesuaikan perkembangan zaman. Untuk itu, maka keberadaan
bahasa perlu direncanakan. Haugen (1966) adalah seorang akademikus yang pertma
kali memperkenalkan istilah Language Planning dan memberikan definisi bahwa
perencanaan bahasa adalah evaluasi dari perubahan bahasa. Perencanaan itu tidak
semata-mata meramalkan masa depan berdasarkan apa yang diketahui pada masa
lampau, tetapi perencanaan tersebut merupakan usaha yang terarah untuk
memengaruhi masa depan suatu bahasa (A.S, 2015:40). Lebih lanjut Moeliono

*Makalah disampaikan dalam Gelar Wicara Semarak Bulan Bahasa 2019 PBSI Uniku
**Lektor pada Program Studi PBSI Uniku
(dalam A.S, 2015:40) menyatakan bahwa perencanaan bahasa Indonesia memiliki
tiga dimensi yakni 1) perencanaan yang menyangkut bahasa Indonesia, 2)
perencanaan yang menyangkut bahasa daerah, dan 3) perencanaan yang
menyangkut bahasa asing yang digunakan tujuan tertentu.
Berdasarkan paparan di atas, siapa yang berwenang merencanakan bahasa?
Wenisten (dalam Wardough, 2006:356) mengatakan bahwa perencanaan bahasa
merupakan kewenangan pemerintah, berjangka panjang, berkesinambungan, dan
upaya sadar untuk mengubah fungsi bahasa di dalam masyarakat agar dapat
memecahkan masalah dalam komunikasi. Dari pengertian tersebut maka
perencanaan bahasa menjadi kewenangan pemerintah yang dilakukan secara sadar,
teratur, dan berkesinambungan melalui elemen-elemennya untuk memperbaiki
bahasa yang telah dipilih oleh negara sebagai bahasa yang dipakai secara luas oleh
masyarakat.
Tulisan sederhana ini mencoba memaparkan perkembangan politik bahasa
nasional dari mulai Sumpah Pemuda hingga era industri 4.0.

Perencanaan Bahasa
Spolsky (1998:66) mengatakan bahwa language planning adalah setiap
usaha untuk memodifikasi/mengubah bentuk bahasa dan penggunaannya. Berbeda
dengan Spolsky, Moeliono (dalam Shinta, 2010:41) mengatakan bahwa
perencanaan bahasa adalah usaha untuk membimbing perkembangan bahasa ke
arah yang diinginkan oleh para perencana. Lebih lanjut pendapat Heryanto (dalam
Shinta, 2010:41) berkenaan dengan perencanaan bahasa bahwa persoalan yang
mendasar adalah pemahaman tentang bahasa yang baik dan benar itu sendiri adalah
hal yang sudah benar.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
perencanaan bahasa adalah tindakan sengaja pihak penguasa/pemerintah yang
bersifat sentralistik untuk mengubah bentuk dan fungsi penggunaan bahasa yang
diterapkan dalam masyarakat.

*Makalah disampaikan dalam Gelar Wicara Semarak Bulan Bahasa 2019 PBSI Uniku
**Lektor pada Program Studi PBSI Uniku
Politik Bahasa
Politik bahasa adalah pengolahan bahasa secara menyeluruh dengan
kebijaksaan nasional mengenai kebahasaan dan kesastraan. Politik bahasa tidak
diartikan secara sempit, yaitu tentang politik sich, tetapi pembicaraan tentang
kebudayaan dan kebangsaan suatu bangsa (Badudu, 1985:1). Lebih lanjut Amran
Halim (dalam Badudu, 1985: 4) menyebutkan tujuan politik bahasa adalah: a)
perencanaan dan perumusan kerangka dasar kebijaksaan di dalam kebahasaan; b)
perumusan dan penyusunan ketentuan- ketentuan serta garis-garis kebijaksaan
umum mengenai penelitian, pengembangan, pembakuan, dan pengajaran bahasa,
termasuk sastra; c) penyusunan rencana pengembangan kebijaksaan nasional.
Lewat politik kebijakan, bahasa dapat ditingkatkan fungsi dan
kedudukannya sehingga sangat tidak masuk akal suatu bahasa mampu berkembang
dan mengekspansikan diri tanpa didukung oleh kebijakan (perundang - undangan,
peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan menteri, keputusan menteri,
dan sebagainya) (Juanda, 2015:691).
Dari paparan di atas, begitu pentingnya politik bahasa nasional untuk
keberlangsungan dan pemertabatan bahasa Indonesia.

Perkembangan Politik Bahasa Indonesia


Tonggak sejarah politik bahasa Indonesia adalah pergerakan secara
simbolik para pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 yang kemudian
dikenal dengan nama Sumpah Pemuda. Perkembangan politik bahasa Indonesia
dalam kurun waktu sembilan puluh satu (91) tahun (1928-2019) terus bergerak dan
berkembang. Berikut diuraikan perkembangan politik bahasa Indonesia dalam
bentuk Undang-Undang, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Instruksi Menteri,
kegiatan kebahasaan, dan kebijakan pemerintah sampai dengan tahun 2019 sebagai
berikut.
1) Indonesia sebagai bahasa resmi negara yang ditandai adanya UUD 1945
(Pasal 36);
2) TAP MPR No. II/MPR/1988 tentang GBHN;
3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional

*Makalah disampaikan dalam Gelar Wicara Semarak Bulan Bahasa 2019 PBSI Uniku
**Lektor pada Program Studi PBSI Uniku
4) Instruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Nomor 20, tanggal
28 Oktober 1991, tentang Pemasyarakatan Bahasa Indonesia dalam
Rangka Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Bangsa;
5) Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
Nomor I/U/1992, tanggal 10 April 1992, tentang Peningkatan Usaha
Pemasyarakatan Bahasa Indonesia dalam Memperkukuh Persatuan dan
Kesatuan Bangsa;
6) Surat Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur, Bupati, dan Walikota
seluruh Indonesia, Nomor 1021/SJ, tanggal 16 Maret 1995, tentang
Penertiban Panggunaan Bahasa Asing;
7) Pencangan Disiplin Nasional oleh Presiden Soeharto pada tanggal 20
Mei 1995 yang salah satu butirnya adalah penggunaan bahasa Indonesia
dengan baik dan benar;
8) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional;
9) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan;
10) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa
Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden/dan atau Wakil Presiden serta
Pejabat Negara Lainnya;
11) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi;
12) Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa
Indonesia.

Jokowi dan Bahasa Indonesia


Di akhir masa jabatannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan
sebuah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2019 tentang
Penggunaan Bahasa Indonesia. Pada klausul menimbang dalam peraturan tersebut
disebutkan bahwa Perpres ini dikeluarkan untuk melaksanakan pasal 40 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara,
serta Lagu Kebangsaan. Keluarnya Perpres 63 tahun 2019 ini “mengingkari” pasal

*Makalah disampaikan dalam Gelar Wicara Semarak Bulan Bahasa 2019 PBSI Uniku
**Lektor pada Program Studi PBSI Uniku
73 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. Pada pasal 73 berbunyi “Peraturan
pelaksanaan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-Undang ini diselesaikan
paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Jadi,
seharusnya Perpres tentang penggunaan bahasa itu paling lambat keluar bulan Juli
tahun 2011.
Terlepas dari lambatnya keluar perpres dari ketentuan undang-undang, kita
sebagai bangsa Indonesia tetap mengapresiasi Perpres 63 tahun 2019 ini sebagai
bagian mengahadapi era industri 4.0. Secara umum, terdapat 18 kemampuan yang
dibutuhkan untuk dapat melaksanakan aktivitas pekerjaan di era revolusi industri
4.0. Kemampuan-kemampuan itu adalah (1) persepsi sensorik, (2) mengambil
informasi, (3) kemampuan mengenali pola-pola atau kategori-kategori, (4)
membangkitkan pola/kategori baru, (5) memecahkan masalah, (6) memaksimalkan
dan merencanakan, (7) mencipta (kreativitas), (8) mengartikulasikan atau
menampilkan output, (9) berkoordinasi dengan berbagai pihak, (10) menggunakan
bahasa untuk mengungkapkan gagasan, ( 11) menggunakan bahasa untuk
memahami gagasan, (12) mengindera sosial dan emosional, (13) membuat
pertimbangan sosial dan emosional, (14) menghasilkan output emosional dan
sosial, (15) motorik halus/ketangkasan, (16) motorik kasar, (17) navigasi, dan
(18) mobilitas (Yamnoon, 2018). Dari 18 kemampuan-kemampuan tersebut,
terdapat 2 kemampuan yang harus bermodalkan bahasa, yakni menggunakan
bahasa untuk mengungkapkan gagasan dan menggunakan bahasa untuk memahami
gagasan.
Menyikapi kesiapan bahasa Indonesia menghadapi era industri 4.0 dalam
Perpres 63 tahun 2019, ada hal yang kurang di dalam pasal 2 ayat (1). Dalam pasal
2 ayat (1) berbunyi “Penggunaan Bahasa Indonesia harus memenuhi kriteria Bahasa
Indonesia yang baik dan benar”. Seharusnya (atau lebih baiknya) menjadi
“Penggunaan Bahasa Indonesia harus memenuhi kriteria Bahasa Indonesia
yang baik, benar, dan santun.” Mengapa harus ada kata “santun”? Menilik bahasa
yang kerap digunakan dalam media sosial, seperti facebook, twitter, atau media
sosial lainnya, setidaknya telah membuka pemikiran kita tentang arti pentingnya
moralitas bahasa. Maksudnya, bagaimana cara penggunaan bahasa itu

*Makalah disampaikan dalam Gelar Wicara Semarak Bulan Bahasa 2019 PBSI Uniku
**Lektor pada Program Studi PBSI Uniku
tersampaikan, sikap berbahasa, dan estetika bahasanya. Moral bahasa menjadi
sangat penting dalam pranata sosio-kultural masyarakat. Tidak sedikit bahasa yang
digunakan dalam media sosial begitu memaksakan kata-kata yang cenderung
bermakna kasar. “Saling serang” menggunakan bahasa kerap terjadi dalam
komunikasi jejaring sosial. Gaya bahasa sarkasme pun sering terlontar menyambut
lawan bicara di dunia maya ini. Hal ini kalau dibiarkan akan merusak keutuhan
berbangsa dan bernegara.
Pengguna bahasa sering tidak memedulikan kesantunan berbahasa. Padahal,
bahasa Indonesia lahir sesuai dengan citra bangsa Indonesia yang sangat
menjunjung etika budaya timur, yaitu kesopansantunan dalam bahasa Indonesia
sebagai warisan budaya. Bahasa memiliki kemampuan untuk meningkatkan
kemampuan manusia sampai titik homo humanus, yakni manusia berbahasa dengan
jiwa yang halus, mempunyai rasa kemanusiaan, dan berbudaya.
Pengguna bahasa wajib memahami tentang tata cara berbahasa (linguistic
etiquete). Seperti yang dinyatakan Nababan (2013:53), bahwa tindak laku
berbahasa seseorang itu akan mengikuti norma kebudayaan induknya. Sistem
tindak laku berbahasa itu sering disebut dengan linguistic etiquete yang berkaitan
dengan (1) apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu; (2)
ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi sosiolinguistik tertentu;
(3) kapan dan bagaimana menggunakan giliran berbicara dan menyela pembicaraan
orang lain; dan (4) kapan harus diam tidak berbicara.
Saya kira sebagai bentuk tanggung jawab untuk menjaga moralitas bangsa
Indonesia lewat bahasa, maka Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia harus
menelaah, mengkaji, dan menyempurnakan Perpres 63 tahun 2019 tentang
penggunaan bahasa Indonesia. Sesuai semangat Sumpah Pemuda bahwa bangsa
Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia, sudah selayaknya
masyarakat pengguna bahasa mengamalkan salah satu butir Sumpah Pemuda
tersebut. Jangan sampai karena kebablasan kebebasan berbahasa mengganggu
keutuhan bangsa. Selamat Hari Sumpah Pemuda.

*Makalah disampaikan dalam Gelar Wicara Semarak Bulan Bahasa 2019 PBSI Uniku
**Lektor pada Program Studi PBSI Uniku
Daftar Pustaka

Aronoff, Mark dan Janie Rees Miller. Editor. 2001. The Handbook of
Linguistics.Carlton, Victoria: Blackwell.

A.S, Kasno. 2015. Perencanaan Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi.


Jurnal Pujangga, 1(2): 38-53.

Badudu, J.S. (1985). Cakrawala Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.

Coulmas, Florian. 2005.Introduction to Sociolinguistics: The Study of


Speaker’s Choice. Cambridge: Cambridge University. Press.

Eastman, Carol. M.1983. Language Planning: An Introduction. Sanfransisco:


University of Sanfrancisco.

Fishman, Joshua, A. 1974. Sociolinguistics. Rowley, Mass: Newbury House


Publ.

Juanda. 2015. Politik Bahasa Indonesia dari Prakemerdekaan dan


Pascakemerdekaan. Jurnal Tuturan, 4(1): 688-703.

Moeliono, Anton. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan


Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta:Jambatan.

---------------.2000. “Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia dalam Era


Globalisasi”. Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi: Pemantapan
Peran Bahasa sebagai SaranaPembangunan Bangsa. Jakarta: Pusat
Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Muslich, Masnur dan Suparno. 1988. Bahasa Indonesia: Kedudukan, Fungsi,


Pembinaan, dan Pengembangannya. Bandung: Jemmars.

Nababan. 2013. Sosiolinguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Shinta, Qorinta. 2010. Politik dan Perencanaan Bahasa di Indonesia Suatu


Tinjauan Sosiolinguistik. Jurnal teknologi Informasi dan Komunikasi,
1(1): 39-43.

Spolsky, bernard. 1998. Sociolinguistics. Oxford University Press: Oxford.

Wardhaugh, Ronald . 2006.Introduction to Sociolinguistics. Fith Edition.


Carlton, Victoria: Blackwell Publishing.

Yamnoon, S. (2018). Education 4.0, Teaching and Learning in 21 th Century.


Lobbury Thailand: Thepsatri Rhajabat University.

*Makalah disampaikan dalam Gelar Wicara Semarak Bulan Bahasa 2019 PBSI Uniku
**Lektor pada Program Studi PBSI Uniku

Anda mungkin juga menyukai