Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

STANDARISASI OBAT BAHAN ALAM


BERDASARKAN FARMAKOPE HERBAL EDISI 2

OLEH:

FADLY IRWINSYAH
520011002

ESTRINA ENDANG
(520011144)

WIDIA SARI
(520011164)

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


PROGRAM STUDI ILMU FARMASI UNIVERSITAS
PANCASAKTI
2022
MAKALAH

STANDARISASI OBAT BAHAN ALAM


BERDASARKAN FARMAKOPE HERBAL EDISI 2

OLEH:

FADLY IRWINSYAH
520011002

ESTRINA ENDANG
(520011144)

WIDIA SARI
(520011164)

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


PROGRAM STUDI ILMU FARMASI UNIVERSITAS
PANCASAKTI
2022

i
LEMBAR PENGESAHAN MAKALAH

STANDARISASI OBAT BAHAN ALAM BERDASARKAN


FARMAKOPE HERBAL EDISI 2

Oleh :
FADLY IRWINSYAH
520011002

ESTRINA ENDANG
(520011144)

WIDIA SARI
(520011164)

Disetujui Oleh

Makassar, 14 April 2022


Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Jurusan Farmasi Universitas Pancasakti Makassar

Dosen Pembimbing

Hesty Setiyawati. S.Farm. M.Si

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan

karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul

“Standarisasi Obat Bahan Alam Berdasarkan Farmakope Herbal Edisi

2”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmakologi

Analitik pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Jurusan Farmasi

Universitas Pancasakti Makassar. Makalah ini tentu tidak akan pernah ada jika

tidak didukung dan dibantu oleh mereka yang banyak terlibat dalam penulisan

makalah ini. Oleh karena itu, penulis ingin ucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT. Karena atas berkat Rahmat dan Hidayah-Nya

sehingga saya masih diberi kesehatan dan kesempatan untuk

dapat menyelesaikan Makalah ini.

2. Ibu Hesty Setiyawati. S.Farm. M.Si, selaku Dosen

Pembimbing mata kuliah Farmakognosi Analitik Universitas

Pancasakti Makassar.

Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat.

Makassar, April 2022

Penulis

iii
STANDARISASI OBAT BAHAN ALAM BERDASARKAN
FARMAKOPE HERBAL EDISI 2
Fadly Irwinsyah, Estrina Endang, Widia sari

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan


Jurusan Farmasi

Universitas Pancasakti Makassar

fadlyirwansyah26@gmail.com

ABSTRAK

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran bahan tersebut
yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman. Obat tradisional yang secara medis dapat dipertanggungjawabkan terus
dibina dalam rangka perluasan dan pemerataan kesehatan. Pengembangan obat
tradisional sebagai warisan budaya bangsa terus ditingkatkan dan didorong
pengembangan serta penemuan obat-obatan termasuk budidaya obat tradisional
dengan tiga syarat yaitu aman, berkhasiat, dan bermutu.
Standardisasi suatu sediaan obat (ekstrak atau simplisia) adalah suatu
persyaratan yang dapat diwujudkannya reprodusibilitas terhadap kualitas farmasetik
maupun terapetik. Dalam upaya standardisasi tersebut perlu ditentukan persyaratan
standard yang diharuskan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Kata Kunci: Bahan Alam, Standarisasi Obat Bahan Alam.

iv
SECONDARY METABOLITES (ESSENTIAL OILS)
Fadly Irwinsyah, Estrina Endang, Widia sari

Faculty of Mathematics and Science


Department of Pharmacy
Universitas Pancasakti Makassar

fadlyirwansyah26@gmail.com

ABSTRACT

Traditional medicine is an ingredient or ingredient in the form of plant


material, animal material, mineral material, preparation of extracts (galenic) or a
mixture of these materials which have been used for generations for treatment based
on experience. Traditional medicines that are medically accountable will continue to
be fostered in the context of health expansion and equity. The development of
traditional medicines as the nation's cultural heritage continues to be improved and
encouraged by the development and discovery of medicines, including the cultivation
of traditional medicines with three conditions, namely safe, efficacious, and quality.
Standardization of a drug preparation (extract or simplicia) is a requirement
that can be realized reproducibility of pharmaceutical and therapeutic quality. In this
standardization effort, it is necessary to determine the standard requirements required
by the applicable laws and regulations.

Keywords: Natural Ingredients, Standardization of Natural Medicines.

v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN..............................................................................ii

KATA PENGANTAR .........................................................................................iii

ABSTRAK ............................................................................................................iv

ABSTRACT ..........................................................................................................v

DAFTAR ISI ........................................................................................................vi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................2
C. Tujuan Penelitian.....................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Bahan Alam...........................................................................3
B. Standarisasi Obat Bahan Alam................................................................4
C. Cara Standarisasi Obat Bahan Alam.......................................................6
BAB III REVIEW JURNAL
A. Pendahuluan...........................................................................................12
B. Metode Penelitian..................................................................................13
C. Hasil dan Pembahasan...........................................................................18
D. Kesimpualan...........................................................................................20
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................21
B. Saran......................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................22

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau
campuran bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk
pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional yang secara medis
dapat dipertanggungjawabkan terus dibina dalam rangka perluasan dan
pemerataan kesehatan. Pengembangan obat tradisional sebagai warisan
budaya bangsa terus ditingkatkan dan didorong pengembangan serta
penemuan obat-obatan termasuk budidaya obat tradisional dengan tiga syarat
yaitu aman, berkhasiat, dan bermutu. Pemerintah Indonesia serius dalam
mengembangkan obat tradisional karena pertumbuhan dari tahun ke tahun
semakin meningkat sehingga perlu pengaturan dan standardisasi yang baik.
Penggunaan obat tradisional di Indonesia sudah berlangsung sejak ribuan
tahun yang lalu, sebelum obat modern ditemukan dan dipasarkan. Hal itu
tercermin antara lain pada lukisan di relief Candi Borobudur dan resep
tumbuhan obat yang ditulis dari tahun 991 sampai 1016 pada daun lontar di
Bali.
Obat dari bahan alam berbeda dengan obat modern yang mengandung
satu atau beberapa zat aktif beridentitas dan jumlah jelas, obat tradisional/obat
herbal mengandung banyak kandungan kimia dan umumnya tidak diketahui
atau tidak dapat dipastikan zat aktif yang berperan dalam menimbulkan efek
terapi atau menimbulkan efek samping. Pengelompokan dan penandaan obat
bahan alam Indonesia menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
berdasarkan tingkat pembuktian khasiat, persyaratan bahan baku yang
digunakan, dan pemanfaatannya, obat bahan alam Indonesia dikelompokkan
menjadi tiga kelompok, yaitu: jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan bahan alam?
2. Apa yang dimaksud dengan standarisasi obat bahan alam?
3. Bagaiamana cara standarisasi obat bahan alam?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari bahan alam.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan standarisasi obat bahan
alam.
3. Untuk mengetahui bagaimana cara standarisasi obat bahan alam.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Bahan Alam

Bahan alam merupakan bahan atau material yang ada di alam sekitar.
Bahan alam terdapat di alam dan ditemukan di tanah atau bagian dari hewan
atau tumbuhan. Bahan alam mudah ditemukan disekitar lingkungan. Bahan
alam juga dapat diperoleh dekat tempat tinggal kita. Bahan alam merupakan
bahan yang tak terbatas dan mudah ditemukan hampir di lingkungan sekitar.
(Fauziah, 2013)
Obat tradisional secara turun-temurun telah digunakan untuk
kesehatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional telah digunakan oleh
berbagai aspek masyarakat mulai dari tingkat ekonomi atas sampai tingkat
bawah, karena obat tradisional mudah didapat, harganya yang cukup
terjangkau dan berkhasiat untuk pengobatan, perawatan dan pencegahan
penyakit. Untuk meningkatkan mutu suatu obat tradisional, maka pembuatan
obat tradisional haruslah dilakukan dengan sebaik-baiknya mengikutkan
pengawasan menyeluruh yang bertujuan untuk menyediakan obat tradisional
yang senantiasa memenuhi persyaratan yang berlaku. Keamanan dan mutu
obat tradisional tergantung dari bahan baku, bangunan, prosedur, dan
pelaksanaan pembuatan, peralatan yang digunakan, pengemasan termasuk
bahan serta personalia yang terlibat dalam pembuatan obat tradisional.
(Tukan)

3
B. Standarisasi Obat Bahan Alam

Obat tradisional sudah sangat pesat perkembangannya di Indonesia.

Peredaran obat tradisional di Indonesia harus memenuhi persyaratan dan

aturan yang telah ditetapkan dalam KEPMENKES No.

661/MENKES/SK/VII/1994. Berdasarkan aturan tersebut, maka sangat

penting untuk melakukan suatu prosedur yaitu Standarisasi Obat Tradisional.

Standardisasi suatu sediaan obat (ekstrak atau simplisia) adalah suatu

persyaratan yang dapat diwujudkannya reprodusibilitas terhadap kualitas

farmasetik maupun terapetik. Dalam upaya standardisasi tersebut perlu

ditentukan persyaratan standard yang diharuskan peraturan dan perundang-

undangan yang berlaku. (Parwata, 2017)

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) Standarisasi adalah proses

merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar (dilakukan oleh

pihak terkait). Bahan alam seringkali diperoleh dari berbagai sumber dan

lokasi tempat tumbuh, varietas berbeda, umur tanaman berbeda, dan masa

panen yang berbeda, sehingga akan terdapat variasi kandungan kimia dan efek

yang dihasilkan. Tumbuham sebagai sumber bahan baku obat bahan alam

dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tumbuhan liar dan tumbuhan

budidaya. Tumbuhan liar adalah tumubuhan yang tumbuh secara alami, tanpa

sengaja ditanam, contohnya Tempuyung (Sonchus arvensis L.) dan Ki Rinyuh

(Eupatorium inufolium Kunth.). Sedangkan tumbuhan budidaya adalah

4
tumbuhan yang sengaja ditanam oleh manusia, baik dalam skala kecil maupun

besar, contoh Buah Naga (Hylocereus sp) dan Pisang (Musa sp ). Sehubungan

4
dengan kompleksnya hal-hal yang melekat pada tumbuhan yang digunakan

sebagai bahan baku obat bahan alam maka perlu dilakukan standardiasasi

terhadap bahan baku untuk menjamin konsistensi mutu, keamanan dan efek

obat bahan alam tersebut. Bahan alam dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu

tumbuhan, hewan, dan mineral. Dalam bidang farmasi, 90-96% bahan alam

yang digunakan berasal dari tumbuhan. (Ramadhan, 2017)

Pada pelaksanaan standardisasi perlu juga dilakukan dengan berbagai

macam metode (pengujian multifaktorial). Standardisasi suatu sediaan obat

(ekstrak atau simplisia) tidaklah sulit bila senyawa aktif yang berperan telah

diketahui dengan pasti. Standardisasi dapat didasarkan atas senyawa aktif,

kelompok senyawa aktif maupun atas dasar senyawa karakter (bila senyawa

aktif belum diketahui dengan pasti). Bila digunakan senyawa karakter pada

upaya standardisasi, maka dalam hal ini hanyalah bertujuan untuk dapat

membantu menentukan kualitas bahan obat tersebut. Senyawa karakter yang

dipakai haruslah spesifik dan digunakan selama senyawa aktif belum

diketahui dengan pasti. Standardisasi dapat dilakukan secara fisika,kimia,

maupun biologi. (Parwata, 2017)

5
C. Cara Standarisasi Obat Bahan Alam

Dalam standarisasi ada beberapa parameter yang harus diukur atau

dianalisis agar bahan obat atau sediaan obat dapat dijamin keamanannya bagi

konsumen atau masyarakat pengguna. Adapun parameter-parameter tersebut

dikelompokkan menjadi dua yaitu (Parwata, 2017):

1. Parameter non spesifik : berfokus pada aspek kimia, mikrobiologi, dan

fisisyang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan stabilitas,

meliputi : kadarair, cemaran logam berat, aflatoksin, dan lain-lain.

2. Parameter spesifik : berfokus pada senyawa atau golongan senyawa yang

bertanggungjawab terhadap aktivitas farmakologis. Analisis kimia

yangdilibatkan ditujukan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif terhadap

senyawaaktif.

Menurut (Parwata, 2017) dalam bukunya, Standardisasi bahan atau

sediaan obat tradisional (simplisia atau ekstrak) adalah stuatu persyaratan

dapat diwujudkannya reprodusibilitas terhadap kualitas farmasetik maupun

terapetik. Pada upaya standardisasi tersebut perlu ditentukan persyaratan

standard yang diharuskan. Pada pelaksanaan standardisasi tersebut perlu pula

dilakukan dengan berbagai macam metode (pengujian multifaktorial). Adapun

persyaratan yang harus dikontrol dalam standarisasi ini diantaranya adalah:

1. Sifat sediaan obat

Penggunaan simplisia atau ekstrak kering sebagai bahan obat, harus

diperhatikan kelarutannya, hal ini dipengaruhi oleh derajad kehalusan partikel.

6
Hal ini dapat dilakukan dengan metoda uji mempergunakan berbagai macam

ayakan atau banyaknya partikel per satuan luas secara mikroskopis). Secara

organoleptis tentang warna dan bau (uji rasa dilakukan bila telah dipastikan

bahwa sediaan tidak toksik). Pengujian warna sediaan didasari atas warna

pembanding ekstrak standard atau suatu zat pembanding tertentu. Pada

pengujian warna tersebut dapat dipergunakan metode spektrofotometri pada

panjang gelombang tertentu.

2. Pengujian Identitas

Pengujian identitas sangat penting dilakukan untuk mengetahui zat

atau senyawa yang mempunyai efek bioaktivitas farmakologis dari sediaan

atau bahan obat. Penentuan atau pengujian secara kualitatif dapat dilakukan

dengan screening fitokimia terhadap senyawa metabolit sekundernya

(golongan senyawa aktif tanaman) dengan mempergunakan reaksi-reaksi

pengendapan maupun reaksi-reaksi warna dengan pereaksi-pereaksi tertentu

atau menggunakan metode kromatografi. Metode kromatografi (KLT/KLT-

densitometri) merupakan salah satu metode yang mempunyai arti yang

penting karena dapat mendeteksi senyawa-senyawa atas dasar kromatogram

secara keseluruhan(fingerprint) sebelum dipisahkan lebih lanjut. Disamping

kromatografi lapis tipis dapat pula dilakukan dengan kromatografi cair kinerja

tinggi (KCKT/HPLC) dan kromatografi gas (GC).

7
Secara kuantitatif yaitu penentuan kadar kandungan aktif tanaman obat

dapat dilakukan dengan spektroskopi atau KLT-densitometri. Secara garis

besarnya kandungan kimia tanaman obat ada 2 yaitu:

 Senyawa aktif : senyawa-senyawa yang mempunyai aktivitas

farmakologis seperti senyawa fenol,flavonoid, terpen,saponin, alkaloid

dan Steroid.

 Senyawa inert : senyawa-senyawa /zat tambahan yang baik dalam

formulasi obat seperti : selulosa, lignin, pati,albumin dan pewarna.

3. Pengujian kemurnian ekstrak/sediaan

Uji kemurnian dilakukan untuk melihat cemaran-cemaran atau

senyawa-senyawa ikutan yang diakibatkan dari proses pembuatan dari tahap

awal sampai tahap akhir. Adanya cemaran atau senyawa ikutan ini dapat

disebabkan karena kadar air yang melebihi standar yang dapat menyebabkan

terjadinya reaksi enzimatis atau reaksi hidrolisis terhadap metabolit sekunder

sehingga nantinya dapat mempengaruhi efek farmakologis dari metabolit

sekunder tersebut.

4. Kadar air

Salah satu prasyarat kemurnian dan kontaminasi dari sediaan obat

adalah penetapan kadar airnya. Kadar air yang tidak sesuai dengan standar

dapat mempengaruhi kualitas herbal karena air merupakan salah satu media

tumbuhnya mikroorganisme. Adanya mikroorganisme (seperti : jamur

8
ataupun bakteri) dapat mengakibatkan terjadinya perubahan metabolit

sekunder aktif

8
dari sediaan obat tersebut karena terjadinya reaksi enzimatis atau reaksi

hidrolisis terhadap metabolit sekunder sehingga nantinya dapat mempengaruhi

efek farmakologis dari metabolit sekunder tersebut.

Penetapan kadar air dapat dilakukan dengan beberapa metode

tergantung pada senyawa kimia didalamnya seperti misalnya dengan oven

biasa, piknometer, titrasi dan destilasi. Kalau dalam sediaan diduga ada

minyak atsiri, penentuan kadar air biasanya dapat dilakukan dengan metoda

destilasi.

5. Logam berat

Kadar logam berat perlu ditentukan untuk menghindari efek yang tidak

diinginkan. Untuk keperluan ini dapat digunakan kadar logam berat secara

total maupun secara individual (Spektrofotometer Serapan Atom).

6. Senyawa logam

Sediaan simplisia atau ekstrak tanaman obat dapat tercemar dengan

senyawa-senyawa logam (anorganik) pada saat budidaya atau selama proses

penyiapannya. Adanya senyawa-senyawa logam ini dapat dilakukan

pengujian tentang kadar abu atau kadar abu sulfat.

7. Kontaminan alkali dan asam

Pengujian terhadap kontaminan tersebut penting, bila berpengaruh

terhadap stabilitas ekstrak. Prosedur yang sederhana adalah dengan mengukur

pH sediaan dalam bentuk larutan dalam air atau suspensi. Untuk kepertluan

tersebut dapat digunakan kertas indikator maupun pH meter (pH meter

9
merupakan alat yang lebih cocok bila dibanding dengan kertas indikator,

karena warna kertas indikator dapat terpengaruh dengan warna dari sediaan).

8. Susut pengeringan.

Pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur 105ᵒC selama 30

menit atau sampai berat konstan, yang dinyatakan sebagai nilai persen. Dalam

hal tertentu (jika simplisia atau ekstrak tidak mengandung minyak atsiri dan

sisa pelarut organik menguap) maka hasil pengukuran identik dengan kadar

air.

9. Kadar residu pestisida.

Kandungan sisa pestisida baik itu organo klor atau organo fosfat atau karbaril

atau pestisida lain kemungkinan ada dalam sediaan. Hal ini diduga akibat

pencemaran pada saat budidaya, panen atau pasca panen dari tanaman obat

tersebut. Kandungan cemaran pestisida dapat diukur dengan spektroskopi,

GC, HPLC dan GC-MS.

10. Cemaran mikroba

Adanya cemaran mikroba diduga terjadi pada saat penyiapan bahan

(pengeringan) atau pada saat pembuatan. Identifikasi adanya mikroba yang

patogen dilakukan secara analisis mikrobiologis seperti misalnya dengan

metoda difusi agar.

11. Cemaran Kapang, khamir, dan aflatoksin.

Adanya cemaran mikroba diduga terjadi pada saat budidaya, panen, proses

pengeringan atau selama proses pembuatan. Analisis adanya cemaran jamur

10
secara mikrobiologis dan adanya aflatoksin dapat dilakukan dengan

kromatografi lapis tipis atau metoda difusi agar.

12. Parameter sepsifik.

Parameter ini meliputi :

1) Identitas ekstrak (nama ekstrak, nama latin tumbuhan, bagian

tumbuhan yang digunakan, nama Indonesia, dan senyawa aktif yang

bertanggung jawab dalam aktivitas dalam ekstrak tersebut),

2) Uji toksisitas dan organoleptik (bentuk, warna, bau, dan rasa),

3) Kelarutan senyawa aktif dalam pelarut tertentu

Standarisasi produk Obat tradisional biasanya dilakukan dalam pengembangan obat

tradisional mulai dari jamu, OHT sampai menjadi sediaan fitofarmaka.

11
BAB III
REVIEW JURNAL

JURNAL FITOFARMAKA INDONESIA, VOL. 4 NO.2


FEBRUARI 2016.
“STANDARISASI EKSTRAK AIR DAUN
JATI BELANDA DAN TEH HIJAU”

Ahmad Najib, Abd. Malik, Aktsar Roskiana Ahmad, Virsa Handayani,


Rezki Amriati Syarif, Risda Waris

Fakultas Farmasi, Universitas Muslim Indonesia

A. PENDAHULUAN
Obat tradisional dibuat dalam bentuk ekstrak karena tanaman obat tidak lagi
praktis jika digunakan dalam bentuk bahan utuh (simplisia). Ekstrak tersebut bisa
dalam bentuk ekstrak kering, ekstrak kental dan ekstrak cair yang proses
pembuatannya disesuaikan dengan bahan aktif yang dikandung serta maksud
penggunaannya (Anam et al., 2013).
Pengembangan obat tradisional diusahakan agar dapat sejalan dengan
pengobatan modern. Berbagai penelitian dan pengembangan yang memanfaatkan
kemajuan tekhnologi juga dilakukan sebagai upaya peningkatan mutu dan keamanan
produk yang diharapkan dapat lebih meningkatkan kepercayaan terhadap manfaat
obat tradisional
tersebut. Pengembangan obat tradisional juga didukung oleh Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, tentang fitofarmaka, yang berarti diperlukan adanya
pengendalian mutu simplisia yang akan digunakan untuk bahan baku obat atau
sediaan
galenik (BPOM, 2005; Tjitrosoepomo, G., 1994).

12
12
B. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Farmakognosi-Fitokimia Fakultas
Farmasi Universitas Muslim Indonesia pada bulan November-Februari 2016.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah batang pengaduk, cawan porselin, Chamber
(Camag®), gelas piala 250 ml Pirex®), gelas ukur 25 ml dan 100 ml
(Pirex®), desikator, kertas saring Whatman no 42, kertas saring bebas abu,
krus silikat, Labu Erlenmeyer (Pirex®), pipet volume (Pirex®), rotary
vacuum evaporator (Buchi® Rotavapor R-220), tabung reaksi (iwaki Pirex®),
spektrofotometri serapan atom (Aurora®), sendok tanduk, tanur (Furnace ®),
dan timbangan analitik (Kern®). Bahan-bahan yang digunakan adalah
aquadest, aluminium foil, kertas saring, etanol 70%, asam nitrat (p.a), asam
sulfat, larutan baku timbale (II) nitrat, larutan baku cadmium, dan sampel
daun jati belanda dan teh hijau.
C. Prosedur Penelitian
1. Penyiapan alat dan bahan
Alat dan bahan disiapkan sesuai dengan kebutuhan penelitian yang akan
dilaksanakan.
2. Pengambilan dan Pengolahan Sampel
Sampel daun jati belanda dan teh hijau yang telah diperoleh dibersihkan dari
kotoran yang melekat dengan cara dicuci dengan air mengalir kemudian
dikeringkan dengan cara diangin-anginkan pada tempat yang tidak terkena
sinar matahari langsung kemudian dipotong kecil-kecil, diserbukan dan siap
untuk diekstraksi.
3. Metode ekstraksi
Ditimbang 500 gr daun jati belanda dan teh hijau, kemudian dimasukan
kedalam bejana maserasi. Dituang secara perlahan pelarut etanol kedalam
bejana maserasi yang berisi serbuk daun jati belanda dan teh hijau. Kemudian

13
biarkan cairan penyari merendam serbuk simplisia selama 3 hari sesekali
dilakukan pengadukan, dilakukan remaserasi hingga bening. Selanjutnya
disari kedalam wadah baru sehingga diperoleh ekstrak cair. Hasil penyarian
dari ekstrak diuapkan dengan menggunakan rotavapor dibawah titik didih
hingga diperoleh ekstrak kental (Ditjen POM, 2000).
4. Penetapan parameter spesifik
a. Parameter identitas ekstrak
Parameter identitas ekstrak dilakukan dengan tujuan memberikan
identitas objektif dari nama tumbuhan. Deskripsi tata nama mencakup
nama ekstrak, nama latin tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan
serta nama Indonesia tumbuhan (Depkes RI, 2000).
b. Uji organoleptik
Uji organoleptik merupakan pengenalan awal yang sederhana
seobjektif mungkin. Uji organoleptik dilakukan dengan pengamatan
terhadap bentuk, warna, bau, dan rasa (Depkes RI, 2000).
c. Uji senyawa yang larut dalam air
Sejumlah 5 gram ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml air-
kloroform menggunakan labu bersumbat sambil dikocok selama 6 jam
pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring.
Uapkan 20 ml filtrate hingga kering dalam cawan dangkal berdasar
rata yang telah ditara. Residu dipanaskan pada suhu 105 ºC hingga
bobot tetap. Hitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam air
terhadap berat ekstrak awal (Depkes RI, 2000).
d. Kadar senyawa yang larut dalam etanol
Sejumlah 5 gram ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml
etanol (95%) menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali
dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam.
Disaring cepat dengan menghindari penguapan etanol, kemudian

14
diuapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan penguap yang telah
ditera, residu

14
dipanaskan pada suhu 105ºC hingga bobot tetap. Dihitung kadar dalam
persen senyawa yang larut dalam etanol terhadap berat ekstrak awal
(Depkes RI, 2000).
e. Uji kandungan kimia ekstrak
Profil KLT ekstrak
a) Uji terpenoid
Fase gerak dibuat campuran heksan±etilasetat (1:1) dimasukkan ke
dalam chamber dan dibiarkan sampai jenuh. Pada plat KLT GF254 p
ditotolkan kira-kira 5 Pl sari heksan dan dimasukkan pada chamber,
dielusi sampai tanda, diambil dan dibiarkan sampai kering. Ekstrak
mengandung terpenoid bebas bila dilihat dibawah sinar UV 365 nm
berfluoresensi hijau / berwarna merah ungu atau biru dengan pereaksi
asam sulfat pekat 10 % dalam methanol (sthahl Egol, 1969).
b) Uji Alkaloid
Dibuat fase gerak etilasetat ± metanol ± air (100:13,5:10) dimasukkan
dalam chamber, dibiarkan sampai jenuh. Pada plat KLT GF254 p
ditotolkan kirakira 5 Pl masing ± masing sari etil asetat, air, masukkan
dalam chamber, dielusi sampai tanda, diambil dan dibiarkan sampai
kering. Ekstrak mengandung alkaloid bebas bila dilihat dibawah sinar
UV 365 nm berfluoresensi hijau / berwarna jingga dengan pereaksi
Dragendorf (sthahl Egol, 1969).
c) Uji Flavonoid
Dibuat fase gerak kloroform ± etilasetat (6 : 4) dimasukkan dalam
chamber, dibiarkan sampai jenuh. Pada plat KLT GF254 p ditotolkan
kira-kira 5 Pl masing ± masing sari etil asetat, air, lalu dimasukan
dalam chamber, dielusi sampai tanda. Ekstrak mengandung flavonoid
bebas bila dilihat dibawah sinar UV 365 nm berfluoresensi hijau /
berwarna biru atau kuning dengan pereaksi sitro borat (sthahl Egol,
1969).

15
15
5. Penetapan parameter non spesifik
a. Penetapan susut pengeringan
Ekstrak ditimbang secara seksama sebanyak 1 g sampai 2 g dan
dimasukan kedalam botol timbang dangkal tertutup yang sebelumnya
telah dipanaskan pada suhu 105ºC selama 30 menitdan telah ditara.
Sebelum ditimbang, ekstrak diratakan dalam botol timbang, dengan
menggoyangkan botol hingga merupakan lapisan setebal kurang 5 mm
sampai 10 mm, kemudian dimasuka kedalam ruang pengering. Dibuka
tutupnya, keringkan pada suhu 105ºC hingga botol tetap. Sebelum
setiap pengeringan, biarkan botol dalam keadaan tertutup mendingin
dalam eksikator hingga suhu kamar. Kemudian keringkan kembali
pada suhu penetapan hingga bobot tetap (Depkes RI, 2000).
b. Kadar air
Metode gravimetri
Masukan lebih kurang 1 gram ekstrak dan ditimbang seksama dalam
wadah yang telah ditara. Keringkan pada suhu 105ºC selama 5 jam
dan ditimbang. Lanjutkan pengeringan dan timbang pada jarak 1 jam
sampai perbedaan antara 2 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari
0,25 % (Depkes RI, 2000).
c. Kadar abu
1. Penetapan kadar abu total
Lebih kurang 2 gram sampai 3 gram ekstrak yang telah digerus
dan ditimbang seksama, dimasukan kedalam krus silikat yang telah
dipijarkan dan ditara, ratakan. Pijarkan perlahan-lahan hingga arang
habis, dinginkan, timbang. Jika cara ini arang tidak dapat dihilangkan,
tambahkan air panas. Saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan
sisa kertas dan kertas saring dalam krus yang sama. Masukan filtrat
kedalam krus. Uapakan, pijarkan ingga bobot tetap. Timbang, hitung

16
kadar abu terhada bahan yang telah dikeringkan diudara (Depkes RI,
2000).
2. Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam
Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu, didihkan dengan
25 ml asam sulfat encer P selama 5 menit, bagian yang tidak larut
asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, dicuci
dengan air panas, pijarkan hingga bobot tetap,timbang. Hitung kadar
kadar abu yang tidak larut dalam asam terhadap bahan yang telah
dikeringkan di udara (Depkes RI, 2000).
3. Cemaran logam berat
Spektrofotometer AAs (Pb dan Cd)
a. Pembuatan kurva baku Pd dan Cd
Dari larutan baku Pb(NO3)2 dipipet 5 ml kemudian
dicukupkan volumenya hingga 50 ml dengan HNO3 2% dari larutan
ini dipipet 1 ml, 2 ml, 3 ml, 4 ml, dan 5 ml. kemudian dimasukan
kedalam labu tentukur 50 ml dan dicukupkan volumenya hingga batas
tanda. Diperoleh larutan baku dengan konsentrasi 2 bpj, 4 bpj, 6 bpj, 8
bpj dan 10 bpj. Dari larutan baku Cd (NO3)2 1000 bpj dipipet 5 ml
kemudian dicukupkan volumenya hingga 50 ml dengan HNO3 2%
(100 bpj). Dari larutan ini dipipet 1 ml, 2 ml, 3 ml, 4 ml dan 5 ml.
kemudian dimasukan kedalam labu tentukur 100 ml dan dicukupkan
volumenya hingga batas tanda. Diperoleh larutan baku dengan
konsentrasi 0,1 bpj, 0,2 bpj, 0,3 bpj, 0,4 bpj dan 0,5 bpj.
b. Larutan uji
Ditimbang dengan teliti 5 g sampel kemudian dimasukan
dalam beker gelas, ditambahkan 5 ml HNO3 p.a dan 1 ml HClO4 p.a
lalu didestruksi pada suhu 200ºC sampai diperoleh larutan jernih,
didinginkan dan disaring menggunakan kertas whatman No 40-41.

17
Dimasukan dalam labu ukur 50 ml, dan cukupkan volumenya dengan
aquadest.
c. Pengukuran kadar logam
Kadar logam pb diukur menggunakan spektrofotometer serapan atom
pada panjang gelombang 217 nm, sedangkan kadar cadmium diukur
pada panjang gelombang 288,8 nm.
4. Bobot jenis
Gunakan piknometer bersih, kering dan telah dikalibrasi dengan
menetapkan bobot piknometer dan bobot air yang baru didihkan pada
suhu 25ºC. Atur hingga suhu ekstrak cair lebih kurang 20ºC,
masukkan
ke dalam piknometer. Atur suhu piknometer yang telah diisi hingga
suhu 25ºC, buang kelebihan ekstrak cair dan ditimbang. Kurangkan
bobot piknometer kosong dari bobot piknometer yang telah diisi.
Bobot
jenis ekstrak dengan bobot air, dalam piknometer pada suhu 25ºC.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji orngoleptik pada daun jati belanda dan teh hijau merupakan
ekstrak kering bewarna hijau kekuningan serta rasa yang sepat dikarenakan
kedua tanaman ini kaya akan senyawa tannin yang memberikan rasa sepat
pada indera pengecapan. Kadar sari larut air pada jati belanda 12,88% dan teh
hijau 40,89%, sedangkan kadar sari larut etanol pada jati belanda 12,05 %,
dan pada teh hijau 4,23%.
Hasil pada pengujian kadar sari larut air memenuhi persyaratan mutu
karena memiliki kadar lebih besar dari 6% (>6%). Hasil yang berbeda
ditunjukkan pada pengujian kadar sari larut etanol hal ini karena ekstrak yang
digunakan adalah ekstrak air.

18
Hasil kadar abu total jati belanda sebesar 37,62% dan teh hijau 36,84
%. Kadar abu tidak larut asam yaitu pada jati belanda sebesar 2,55% dan teh
hijau 3,54%. Penetapan susut pengeringan pada ekstrak merupakan salah satu
persyaratan yang harus dipenuhi dalam standardisasi tumbuhan yang
berkhasiat obat dengan tujuan dapat memberikan batas maksimal (rentang)
tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Pada uji
susut pengeringan ini dilakukan pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada
suhu 105°C selama 30 menit. Pada suhu 105°C air akan menguap dan

19
senyawa-senyawa yang mempunyai titik didih yang lebih rendah dari air akan
ikut

19
menguap juga (Depkes RI 2000). Adapun hasil dari penetapan susut
pengeringan pada ekstrak jati belanda yaitu 4,04% dan teh hijau 0,47%. Untuk
parameter susut pengeringan tidak ada syarat atau rentang nilai yang
diperbolehkan.

D. KESIMPULAN
Ekstrak jati belanda maupun teh hijau berdasarkan pengujian standarisasi
meliputi parameter spesifik dan no-spesifik memenuhi standarisasi mutu
bahan baku.

20
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahantumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campurandari bahan-bahan
tersebut, yang secara tradisional telah digunakanuntuk pengobatan
berdasarkan pengalaman.
2. Standarisasi adalah sebuah alat untuk melakukan kontrol kualitasterhadap
seluruh proses pembuatan obat tradisional dari tahap penyiapan raw material,
bahan jadi (ekstrak), proses produksi obattradisional, dan obat tradisional itu
sendiri.
3. Tujuan dari standarisasi obat tradisional yaitu keseragama,
keberadaansenyawa aktif, kesamaan dosis, dan mencegah pemalsuan.
B. Saran
Penulis mengharapkan adanya kritikan yang membangun untuk
makalah ini agar dapat lebih baik lagi dalam membuat suatu makalah untuk
kedepannya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, L., Nurhanisah, H., & Muftianti, A. (2019). PEMANFAATAN MEDIA BAHAN
ALAM MELALUI METODE BUZZ GROUP (DISKUSI KELOMPOK KECIL)
DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA BERKARYA SENI RUPA
MOZAIK DIKELAS III. Collase.
Fauziah, N. (2013). PENGGUNAAN MEDIA BAHAN ALAM UNTUK
MENINGKATKAN KREATIVITAS ANAK. media.neliti.
Najib, A., Malik, A., Ahmad, A. R., Handayani, V., Syarif, R. A., & Waris, R. (n.d.).
STANDARISASI EKSTRAK AIR DAUN JATI BELANDA DAN TEH HIJAU.
Jurnal Fitofarmaka Indonesia.
Parwata, I. M. (2017, Februari). OBAT TRADISIONAL. From simdos.unud.ac.id:
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/0f79c797b6756c7aba83bf7b
f577170e.pdf
Ramadhan, A. K. (2017, Maret 21). Peran Standardisasi Dalam Konsistensi Mutu,
Keamanan, dan Efek Obat Bahan Alam. From www.itb.ac.id:
https://www.itb.ac.id/berita/detail/5442/peran-standardisasi-dalam-konsistensi-mutu-
keamanan-dan-efek-obat-bahan-alam
Tukan, A. (n.d.). Standarisasi Obat Tradisional. From academia.edu:
https://www.academia.edu/39680778/Standarisasi_Obat_Tradisional

22

Anda mungkin juga menyukai