Anda di halaman 1dari 20

“STUDI ETNOFARMASI TUMBUHAN YANG BERKHASIAT OBAT DI

DESA KARANGSARI”

PROPOSAL

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya Farmasi (Amd. Far)

pada Program Studi DIII Farmasi

Di susun Oleh :

MUHAMAD PIKI

NIM : 33178K1728

PROGRAM STUDI DII FARMASI

STIKES MUHAMMADIYAH KUNINGAN

2019/2020
LEMBAR PERSETUJUAN

Proposal Karya Tulis Ilmiah Ini Dengan Judul “Studi etnofarmasi tumbuhan yang

berkhasiat obat desa Karangsari” telah disetujui oleh dosen pembimbing untuk

diseminarkan.

Nama : Muhamad Piki

NIM : 33178K1728

Program Studi : D-III Farmasi

Dilaksanakan pada : Hari, Tanggal :

Tempat : STIKES Muhammadiyah Kuningan

Menyetujui,

Pembimbing

Nur Azizah, M.Farm,.Apt

NIDN. 040611180003
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan hidayah-Nya
penyusunan Karya Tulis Ilmiah (KTI) ini yang berjudul “Studi etnofarmasi tumbuhan
yang berkhasiat obat di desa Karangsari” dapat tersusun atas dorongan pembimbing dan
semua pihak.
Adapun penyusunan Karya Tulis Ilmiah (KTI) ini dimaksudkan untuk memenuhi
salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Ahli Madya Farmasi (A.Md.Far) pada
Program D3 Farmasi. Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah (KTI) ini cukup mengalami
kesulitan dan hambatan, namun berkat dorongan dan arahan dari pembimbing akhirnya saya
dapat menyelesaikannya, untuk itu sudah selayakanya saya ucapkan terimakasih kepada yang
terhormat:
1. Bapak Wawang Anwarudin, M.Sc., Apt selaku Direktur Akademi Farmasi
Muhammadiyah Kuningan,
2. Ibu Nur Azizah, M.Farm.,Apt selaku Dosen Pembimbing Karya Tulis Ilmiah (KTI),
3. Seluruh Dosen, Staf Tata Usaha Akademi Farmasi Muhammdiyah Kuningan yang telah
membantu saya selama ini,
4. Kedua Orang Tua yang senantiasa membantu dalam do’a dan memberikan motivasi
kepada saya dalam segala hal,
5. Teman-teman angkatan 2016 yang telah membantu serta memberikan semangatnya selama
menuntut ilmu di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Kuningan,
6. Dan seluruh pihak yang telah terlibat dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah (KTI) ini.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah (KTI) ini masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik di masa yang akan
datang.
Saya berharap penulisan Karya Tulis Ilmiah (KTI) ini dapat bermanfaat bagi pembaca
pada umumnya dan khususnya bagi saya sendiri.

Kuningan, Mei 2020

Penulis
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan …………………………………………………. i
Kata Pengantar ………………………………………………………. ii
Daftar Isi …………………………………………………………….. iii
Daftar tabel .......................................................................................... iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………………………………………….
1.2 Perumusan Masalah …………………………………….
1.3 Batasan Masalah …………………………………………
1.4 Tujuan Penelitian ……………………………………….
1.5 Manfaat Penelitian ……………………………………...
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tumbuhan Obat …………………………………………
2.2 Etnofarmasi ……………………………………………..
2.2.1 Definisi Etnofarmasi ………………………….
2.2.2 Sejarah Etnofarmasi ………………………….
2.2.3 Etnofarmasi Masyarakat Etnik Sunda ……….
2.3 Karangsari ...…………………………………………….

BAB 3 METODE PENELITIAN


3.1 Jenis Penelitian ………………………………………….
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian …………………………..
3.3 Populasi dan Sampel …………………………………….
3.4 Instrumen Penelitian …………………………………….
3.5 Teknik Pengumpulan Data ………………………………
3.6 Analisis Data …………………………………………….
3.7 Jadwal Penelitian ………………………………………..
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Perekaman data hasil penenlitian .......................................................


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Sudah menjadi kebiasaan dari sejak dahulu manusia memanfaatkan tumbuhan untuk

memenuhi kebutuhan hidup, tidak sesdikit manusia memanfaatkan tumbuhan untuk bahan

makanan, kosmetik bahkan pengobatan. Negara indonesia memiliki kekayaan alam yang

sangat melimpah termasuk tumbuhan dan tanaman berkhasiat obat, oleh karena itu indonesia

sering memanfaatkan tumbuhan obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah

kesehatan (windari 2006).

Di indonesia penggunaan obat herbal sudah di lakukan sejak dahulu dan di lestarikan

secara turun-temurun. Konsep mengenai sakit, sehat dan keragaman jenis tumbuhan yang di

gunakan sebagai obat tradisional terbentuk melalui proses sosialisai dan di yakinin

kebenarannya (sosro kusumo 1998).

Langkah awal yang sangat membantu untuk mengetahui dan mengenali tradisi

pengobatan tradisional tumbuhan obat suatu daerah yaitu dengan cara melakukan pendekatan

secara ilmiah (kuntorini 2005). Salah satu pendekatan tersebut yaitu etnofarmasi, maka dari

itu salah satu daerah yang akan di lakukan pendekatan ilmiah tersebut yaitu di desa

karangsari, desa ini terletak dekat dengan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC)

kecamatan Darma-Kuningan , desa ini terletak lebih dekat dengan alam di bandingkan

perkotaan,jadi masih banyak masyarakatdesa yang menggunakan tumbuhan sebagai obat

sebelum menggunakan obat modern, banyak masyarakat desa karangsari yang memanfaatkan

tumbuhan untuk pengobatan berbagai penyakit, selain untuk meneruskan tradisi nenek

moyang akses yang cukup jauh untuk pergi ke pusat pelayanan kesehatan menjadi alasan

warga desa karangsari untuk lebih memilih obat herbal atau tradisional di bandingkan
pengobatan modern.

Oleh karena itu, peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian studi etnofarmasi

tumbuhan yang berkhasiat obat di desa Karangsari kecamatan Darma-Kuningan, agar

pengetahuan dan tradisi yang sudah ada tetap terjaga dan dapat di gunakan sebagai referensi

dasar pengembangan bahan obat baru.


1.2 Perumusan masalah

1. Apa saja tumbuhan berkhasiat obat yang digunakan oleh masyarakat desa

Karangsari ?

2. Apakah bagian tumbuhan yang digunakan ?

3. Bagaimana cara menggunakan tumbuhan obat tersebut?

4. Khasiat apa saja yang dimiliki oleh tumbuhan obat tersebut?

1.3 Batasan masalah

Hanya mengetahui tentang jenis tumbuhan obat yang ada di masyarakat desa

Karangsari dengan bagian tumbuhan yang digunakan, cara penggunaan, serta khasiat yang

terdapat dalam tanaman tersebut.

1.4 Tujuan penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui jenis tumbuhan yang ada di

masyarakat desa Karangsari sebagai obat serta mengetahui bagian tanaman yang digunakan,

cara penggunaan serta khasiatnya.

1.5 Manfaat penelitian

1. Manfaat bagi peneliti

a. Menambah wawasan khususnya tentang etnofarmasi.

b. Mengetahui jenis tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan, cara penggunaan serta

khasiat tumbuhan obat yang digunakan oleh desa Karangsari.

2. Manfaat bagi masyarakat

Sebagai masukan dalam upaya pengembangan dalam pemanfaatan tumbuhan obat di desa

Karangsari.

3. Bagi institut pendidikan

Hasil karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu kajian dasar untuk

penelitian lanjutan dan bahan bacaan di perpustakaan.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan obat

Di indonesia penggunaan tumbuhan sebagai obat herbal sudah di lakukan sejak

dahulu dan di lestarikan secara turun-temurun. Konsep mengenai sakit, sehat dan keragaman

jenis tumbuhan yang di gunakan sebagai obat herbal terbentuk melalui proses sosialisai

masyarakat dan di yakinin kebenarannya (sosro kusumo 1998).

Tumbuhan obat adalah tumbuhan yang salah satu atau seluruh bagian pada tumbuhan tersebut

mengandung zat aktif yang berkhasiat bagi kesehatan yang dapat dimanfaatkan sebagai

penyembuh penyakit (Dalimarta, 2000: Wijayakusuma, 2008). Menurut Moeljono (1998),

tumbuhan obat merupakan salah satu hasil hutan yang bermanfaat dari segi ekologi, sosial

budaya, maupun ekonomi yang harus dikelola dengan memperhatikan kebutuhan generasi

masa kini dan masa mendatang.

Bagian tumbuhan yang digunakan adalah daun, buah, bunga, akar, rimpang, batang

(kulit) dan getah (resin). Ada dua cara membuat ramuan obat dari tumbuhan yaitu dengan

cara direbus dan ditumbuk. Sementara itu, penggunaan ramuan obat ada tiga cara yaitu

diminum, ditempelkan, atau dibasuhkan dengan air pencuci. Penggunaan dengan cara

diminum biasanya untuk pengobatan organ tubuh bagian dalam, sedangkan dua cara lainnya

untuk pengobatan tubuh bagian luar (Kusuma dan Zaky, 2005)


2.2 Etnofarmasi

2.2.1 Definisi etnofarmasi

Etnofarmasi adalah ilmu interdisipliner yang berkaitan dengan studi tentang

kefarmasian dalam suatu etnis / kelompok masyarakat (Pieroni et al, 2002).

Kegiatannya meliputi identifikasi, klasifikasi, dan kategorisasi bahan alam dimana

pengobatan mandiri berasal (etnobiologi), cara penyajian untuk sediaan

farmasetika (etnofarmasetika), efek yang ditimbulkan dari sediaan tersebut

(etnofarmakologi), dan efek sosiomedical dari penggunaannya (etnomedicine) (Pieroni et al,

2004).

Etnofarmasi adalah bagian dari ilmu farmasi yang mempelajari penggunaan

obat dan cara pengobatan yang dilakukan oleh etnik atau suku bangsa tertentu, ruang

lingkup etnofarmasi meliputi obat serta cara pengobatan menggunakan bahan alam.

Komunitas etnik suatu daerah mempunyai kebudayaan dan kerifan lokal yang khas

sesuai dengan daerahnya masing-masing, hal tersebut berdampak pada pengetahuan

obat dan pengobatan tradisionalnya. Berbagai etnik atau suku bangsa di indonesia

mempunyai pengalaman empiris masing-masing dalam mengatasi gangguan

kesehatan. Pengetahuan empirik etnis berbeda pada setiap wilayah tergantung pada

sifat khas dan keaifan budaya (cultural wisdom) masing-masing. Masyarakat etnik

tradisional umumnya mempunyai budaya tradisional juga, termasuk dalam

pemeliharaan kesehatan. Budaya tradisional yang kuat menyebabkan pengetahuan

obat dan cara pengobatan juga diperoleh secara turun temurun, terbatas dalam

pengetahuan jenis penyakit dan cara penanggulangannya. Kehidupan yang menyatu

dengan alam dan keyakinan bahwa dirinya merupakan bagian dari alam

menumbuhkan kesadaran bahwaalam adalah penyediaan obat bagi dirinya dan

masyarakat (Moelyono, 2017).


2.2.2 Sejarah etnofarmasi

Etnofarmasi mempelajari penggunaan obat dan cara pengobatan yang dilakukan oleh

etnik atau suku bangsa tertentu. Ruang lingkup enofarmasi meliputi obat serta cara

pengobatan menggunakan bahan alam. Penggunaan bahan alam untuk obata-obatan sudah

berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu, para ahli kesehatan bangsa Mesir kuno pada 2500

sebelum masehi telahmenggunakan tumbuhan obat. Hal itu terdokumentasi dalam Code of

Hammurabi, sejumlah besar resep penggunaan produk tumbuhan untuk pengobatan berbagai

penyakit, gejala- gejala penyakit dan diagnosisnya tercantum dalam Papyrus Ebers. Bangsa

yunani kuno juga banyak menyimpan catatan mengenai penggunaan tanaman obat yaiut

Hyppocrates (466 sebelum masehi), Theophratus (372 sebelum masehi) dan Pedanios

Dioscorides (100 tahun sebelum masehi) membuat himpunan keteragan terinci mengenai

tumbuhan obat dalam De Meteria Medica, berisi uraian sekitar 600 jenis tumbuhan obat yang

digunakan obat oleh meysarakat etnik Yunani dan Mediterranean. Pada tahun 1542, seorang

dokter masa Reinaissance yang bernama Leonhart fuchs menulis De Historia Stirpium yang

memuat tentang 400 jenis tumbuhan yang digunakan oleh bangsa Jermasn dan Austria. Jhon

ray (1686-1704) dalam Historia Plantarum, memperkenalkan sebutan spesies bagi tumbuhan

yang digunakan sebagai obat oleh masyarakat. Pengetahuan sistematika tumbuhan makin

berkembang hingga pada tahun 1753 Carl linnaeus dalam Spesies Plantarum mengenal

sistem penanaman binomial untuk tumbuhan. Sejak saat itu jenis tumbuhan yang digunakan

sebagai obat menjadi lebih jelas dan spesifik sehingga pada tahun 1895 Jhon w. Harsberger

memperkenalkan istilah etnobotani yang kemudian lebih mengerucut pada bagian-bagian

yang khas, antara lain etnofarmakognosi (Moektiwardoyo, 2010).

Pengetahuan etnofarmasi banyak memberi arahan pendahuluan dalam pencarian obat

baru. Obat tradisional sebagai produk pengetahuan etnis tentang obat-obatan seringkali

merupakan cikal bakal penemuan obat baru. Pemanfaatan tumbuhan sebagai obat, secara
tradisional telah lama dilakukan oleh berbagai suku di seluruh Indonesia, perbedaan adat dan

kebiasaan antar suku di Indonesia merupakan kekayaan budaya bangsa yang tak ternilai.

Kondisi yang demikian juga dapat dirincikan dari keragaman jenis tumbuhan yang

digunakan, ramuan obat tradisional dan cara pengobatannya. Pengetahuan tentang

etnomedisin masyarakat antar suku dari ekologiyang berbeda serta keragaman jenis

tumbuhan yang digunakan oleh masing-masing suku menarik untuk dikaji sehingga perlu

upaya penggalian sebagai pengembangan etnomedisin. Informasi penggunaan tumbuhan

obat oleh masyarakat atau suku asli setempat sangat penting untuk perkembangan obat

karena banyak ekstrak tumbuhan untuk obat modern ditemukan melalui pendekatan ini

(Koehn dan Carter, 2005).

Pengetahuan etnofarmasi juga tidak terlepas dari budaya khas dan lingkungan

etniknya, sehingga tidaklah mengherankan untuk mengatasi gangguan penyakit yang sama

etnik yang berbeda menggunakan tumbuhan yang bebeda pula. Kelompok etnik tradisional

mempunyai ciri dan jati diri yang sudah jelas sehingga kemungkinan besar presepsi dan

konsepsi masyarakat terhadap sumber daya alam, khususnya sumber daya alam nabati akan

berbeda tiap kawasan termasuk presepsi dan konsepsi pemanfaatan tumbuhan sebagai obat.

Perkembangan dan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai dampak terhadap

perkembangan budaya manusia. Dampak terhadap budaya terlihat dengan jelas melalui

perubahan budaya tradisional yang berpegang teguh pada ajaran dan adat istiadat leluhur

menjadi budaya yang lebih dinamis dengan pola pikir yang lebih praktis. Masyarakat pada

segmen ini berpendapat bahwa obat alam selayaknya juga memperhatikan nilai-nilai

keamanan dan kemanfaatan. Sejalan dengan itu, lahirlah konsep pengembangan obat

tradisional yaitu konsep herbalisme. Dalam konsep herbalisme, pengguaan obat alam tidak

lagi berdasarkan empiris, turun-temurun dan menggunakan bahan baku simplisia, tetapi telah

menggunakan bahan baku ekstrak tumbuhan. Dengan menggunakan bahan bauk ekstrak,
maka keamanan dan kemanfaatan sediaan herbal dapat lebih terjamin karena dosis sediaan

dapat diperhitungkan dengan akurat serta pada ekstrak dapat dilakukan standarisasi

(Moelyono, 2017)

Indonesia memiliki biodiversitas tertinggi setelah Brazil (Moelyono, 2014).

Selain biodiversitas, Indonesia juga ditinggal oleh ratusan suku bangsa. Dua suku

terbesar Indonesia, yaitu Jawa dan Sunda, memiliki sistem pengobatan tradisional yang

khas. Tradisi pengobatan Jawa yang terpusat di keraton bersifat top- down, sementara

Sunda yang tidak memiliki sistem pengobatan tradisional terpusat bersifat bottom-

up (Moelyono, 2014). Etnomedisin Jawa diwakili dengan produk jamu (Elfahmi et

al., 2014; Stevensen, 1999). Etnomedisin Sunda dikenal dengan istilah ubar

kampung (Moelyono, 2014). Penelitian eksploratif terkait dengan etnomedisin Sunda

semakin berkembang, seperti penelitian yang dilakukan oleh Roosita et al. (2008).
2.2.3 Etnofarmasi masyarakat etnik sunda

Tat ar Sun da m em il iki bel asan kampung adat (Disparbud Jabar, 2009;

Kusumahdilaga, 2011). Setiap kampung adat memiliki kesamaan dalam aspek tradisi

secara umum, yaitu mengakarkan budayanya pada falsafah Sunda Wiwitan dan ajaran Ki

Sunda (Indrawardana, 2014). Sebagian besar kampung adat juga merupakan

representasi falsafah Sunda Wiwitan dan agama Islam (Indrawardana, 2014; Prawiro,

2013; Saefullah, 2013). Walaupun demikian, perbedaan geografis dan berbagai faktor

lainnya menjadikan masing-masing kampung adat memiliki ciri khas yang membedakan

satu dengan yang lainnya.

Etnofarmasi masyarakat etnik Sunda merupakan pengetahuan etnofarmasi yang

meliputi pengetahuan obat dan cara pengobatan tradisional masyarakat adat etninsunda.

Masyarakat adat etnik Sunda terdiri atas beberapa kelompok masyarakat adat yang masing-

masing masih memegang teguh tradisi kehidupan dan keagamaan. Beberapa kelompok

masyarakat adat etnik sunda antara lain masyarakat adat Baduy, masyarakat adat Sunda

Kasepuhan, masyarakat adat Kampung naga, dan beberapa kelompok masyarakat adat

lainnya yang berada diwilayah Tatar sunda. Tatar sunda merupakan bekar wilayah kerajaan

Sunda yang berdiri pada tahun 669 hingga 1579 Masehi, sebuah kerajaan yang menggantikan

kerajaan Tarumanagara yang kemudian terpecah menjadi dua yaitu kerjaan Sunda dan

kerajaan Galuh. Kedua kerajaan tersebut dipisahkan oleh sungai citarum, kerajaan Sunda

berada di bagian barat sungai sedangkan kerajaan Galuh berada di sebelah timur sungai

citarum. Kemudian pada waktu kerajaan Sunda berada dibawah pimpinan raja Sanjaya ,

kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh berhasil di satukan kembali, berdasarkan sejarah wilayah

yang dikenal sebagai Tatar sunda ialah wilayah bekas kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh.

Dalam geografi dikenal nama Dataran Sunda yaitu dataran pada masa lampau yang

terbentang dari barat ke timur antara lembah brahmanadapura di Myanmar sekarang hingga
Maluku (Moelyono, 2017).

Konsep etnofarmasi etnik Sunda berbeda dengan konsep obat dan pengobatan etnik

Jawa, perbedaannya etnik Jawa menggunakan tumbuhan oleh kelompok penguasa atau

penghuni keraton dengan adat istiadat keraton yang kemudian diikuti oleh rakyatnya sehingga

dapat dikatakan bahwa konsep penggunaan obat dan cara pengobatannya adalah top down.

Sedangkan pada etnik Sunda konsep penggunaan obat dan cara pengobatan bersumber dari

kearifan lokal masyarakat setempat yang kemudia naik kepermukaan diikuti oleh masyarakat

lain di luar komunitas adatnya. Karena berasal dari masyarakat adat yang umumnya tinggal di

kampung, maka etnofarmasi masyarakat etnik Sunda disebut ubar kampung dengan konsep

top up. Ubar kampung merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat Tatar Sunda untuk

mendeskripsikan pengertian obat tradisional dalam bahasa Sunda. Ubar berarti obat,

sedangkan kampung berarti tempat bermukimnya masyarakat Tatar Sunda dalam lingkungan

yang tradisional. Dengan demikian ubar kampung dapat diartikan sebagai obat yang

digunakan oleh masyarakat Tatar Sunda di tempat bermukim tradisionalnya. Ubar kampung

yang digunakan umumnya berasal dari tumbuhan yang digunakan turun-temurun berdasarkan

pengalaman empiris. Pengetahuan etnofarmakognosi masyarakat Tatar Sunda masih tetap

jumawa dengan falsafah ubar kampungnya, masyarakat etnik Sunda dengan latar belakang

budaya khasnya sepakat bahwa rasa sakit dan tidak sehat adalah gangguan yang harus diatasi.

Masyarakat etnik Sunda sangat akrab dengan alam dan lingkungannya, sehingga untuk

mengatasi sakit dan gangguan kesehatan mereka begitu percaya menyerahkan penyembuhan

kepada Sang Pencipta melalui alam dan lingkungannya (Moelyono, 2017)


2.3 Karangsari

Desa karangsari merupakan bagian dari wilayah kecamatan Darma kabupaten

Kuningan. Luas wilayahnya yaitu 279,90 km2 dan mempunyai 3 dusun yaitu : dusun pahing,

dusun manis dan dusun segog serta 12 rt dan 3 rw. Mata pecarian di desa ini yaitu

meyoritasnya sebagi petani dan minoritas sebagai tenaga pendidik dan wirausahawan.
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasi partisipan dengan menggunakan

metode kualitatif yang dimaksudkan untuk mengetahui penggunaan tumbuhan obat di desa

Karangsari. Penelitian ini dilakukan dengan berkomunikasi secara langsung dengan

responden melalui wawancara, sehingga memungkinkan untuk bertanya secara lebih rinci

dan detail terhadap tumbuhan obat yang akan diteliti.

3.2 Waktu dan tempat penelitian

Penelitian ini di lakukan pada bulan Juni- Juli 2020 di desa Karangsari kecamatan

Darma-kuningan.

3.3 Populasi dan sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat desa Karangsari, kecamatan

Darma, kabupaten Kuningan, provinsi Jawa barat. Dalam penelitian ini dilakukan di desa

Karangsari didasarkan beberapa pertimbangan, yaitu : (1) desa terletak dekat dengan Taman

Nasional Gunung Ciremai (TNGC) dan lokasinya mudah untuk dijangkau. (2) masyarakat

desa Karangsari masih memanfaatkan tumbuhan sebagai obat secara tradisional. (3) memiliki

potensi budidaya tumbuhan yang berkhasiat obat untuk dikembangkan menjadi obat baru.

Penentuan responden dilakukan dengan teknik purposive sampling yang terdiri dari

masyarakat yang mengerti akan penggunaan tumbuhan yang berkhasiat obat dengan batasan

tentang jenis tumbuhan dan kegunaannya sebagai obat serta cara pengggunaanya, kemudian

dilanjutkan dengan teknik snowball sampling. Adapun responden yang diwawancarai pada

penelitian ini melibatkan informan kunci yaitu Ema Rukinah sebagai sesepuh desa
Karangsari, Abah Bahri sebagai tabib yang pengobatannya menggunakan tumbuhan herbal

sebagai obat, Bapa Aen sebagai pelestari tumbuhan yang berkhasiat di desa Karangsari. Serta

informan non kunci meliputi masyarakat desa Karangsari yang menggunakan tumbuhan obat.

3.4 Instrumen penelitian

Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei dan wawacara, bahasa yang

digunakan adalah bahasa indonesia dan bahasa sunda disesuaikan dengan bahasa yang

digunakan di desa Karangsari. Instrumen tabel perekaman data pemanfaatan tumbuhan yang

berkhasiat obat di desa Karangsari kecamatan Darma - Kuningan adalah sebagai berikut :

Tabel 3.1 Perekaman data hasil penenlitian

No Jenis tumbuhan Bagian yang Cara Khasiat

digunakan penggunaan
1
2
3

3.5 Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik :

 Tahap observasi

Tahap observasi ini diperoleh informasi dari masyarakat desa Karangsari terhadap

orang-orang yang mengerti dan memahami penggunaan tumbuhan berkhasiat obat.

 Tahap wawancara

Tahap ini dilakukan melalui tanya jawab dengan informan secara tatap muka

langsung untuk mengetahui lebih jelas tentang penggunaan tumbuhan yang berkhasiat obat di

desa Karangsari. Adapun pertanyaan yang akan diajukan, yaitu :

1. Tumbuhan apa saja yang digunakan sebagai obat ?

2. Bagian tumbuhan manakah yang digunakan?


3. Bagaimana cara penggunaannya?

4. Khasiat apa yang dimiliki oleh tumbuhan obat tersebut?

 Tahap dokumentasi

Pada tahap ini dilakukan proses pemotretan tumbuhan obat menggunakan kamera

untuk dijadikan dokumentasi penelitian.

 Tahap keputustakaan

Tahap ini dilakukan pemotretan terhadap data tumbuhan dan observasi tentang

penggunaan tumbuhan yang berkhasiat obat di desa Karangsari . Selain itu juga menyelidiki

benda-benda tertulis seperti literature, dokumen-dokumen tertulis dan peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan penelitian.

3.6 Analisis data

Analisis data pada penelitian ini menggunakan teknik analisis kualitatif. Analisis ini

merupakan analisis berdasarkan data mengenai responden yang mengetahui penggunaan

tumbuhan yang berkhasiat obat. Data yang diperoleh berdasarkan wawancara dikelompokkan

berdasarkan jenis tumbuhan, bagian yang digunakan, cara penggunaan serta khasiatnya untuk

mengobati penyakit.

3.7 Jadwal Penelitian

Tabel 3.2 Jadwal Penelitian


Waktu Pelaksanaan
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul
No UraianKegiatan
1 Pengajuan Judul
2 Penyusunan
Proposal
3 Bimbingan
Proposal
4 Sidang Proposal
5 PKL
6 Penelitian
7 Pengolahan Data
8 Penyusunan KTI
9 Bimbingan KTI
10 Sidang KTI
11 Perbaikan KTI
12 Penyerahan KTI

Anda mungkin juga menyukai