Anda di halaman 1dari 105

PENGANTAR

Reformasi adalah momen yang diharapkan dapat membawa Indonesia berubah. Namun,
setelah sekian tahun reformasi berlangsung, belum ada lompatan signifikan yang membawa
bangsa Indonesia pada perubahan yang diinginkan: yakni perubahan riil yang memberikan
pengaruh positif pada tatanan hidup masyarakat, pada kehidupan perekonomian rakyat, serta
pada tegaknya kembali martabat dan harga diri bangsa di sisi bangsa lain.

Bagaimana ini dapat terjadi? Banyak apalogi yang terlontar dari kalangan elit untuk
membebaskan diri dari tanggungjawab yang merupakan kelanjutan dari salah urus bangsa
selama 32 tahun sebelumnya. Persatuan dan kesatuan dalam keanekaragaman budaya dan
daerah pun mengalami ancaman. Ketidakpuasan daerah diwacanakan menjadi upaya
membebaskan diri dari pemerintahan pusat RI. Adakah ini karena bangsa Indonesia mulai
kehilangan arah dalam memandang konsep bangsa?

Ada baiknya jika kita merenungkan kembali konsep keindonesiaan yang digulirkan oleh
Sutan Takdir Alisjahbana. Konsep yang sangat visioner dalam memandang Indonesia ini
mendapat tantangan dari banyak tokoh budaya dan pendidik Indonesia pada masa itu.
Polemik – yang kemudian kita sebut sebagai Polemik Kebudayaan – ini membuka pandangan
dan wawasan bangsa Indonesia bahwa benar-benar ada perbedaan nyata dalam memandang
titik tolak Indonesia sebagai bangsa. Perbedaan ini akan menentukan langkah bangsa
Indonesia ke depan.

Sedemikian ramainya pembicaraan tentang polemik yang terjadi saat itu, tetapi tidak semua
orang mengenal pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana dan pemikiran orang-orang yang
berseberangan dengannya. Polemik ini menjadi acuan yang sangat relevan saat ini untuk
dikaji kembali. Tujuannya agar kita bisa melihat kembali konsep budaya Indonesia yang
semakin carut marut ditelan oleh masalah-masalah yang berkepanjangan.

Untuk itu, PT. Balai Pustaka (Persero) kembali menerbitkan buku Polemik
Kebudayaan untuk menjembatani kesenjangan pemikiran yang bisa jadi bahan “terlewat”
oleh generasi sekarang. Menjadi suatu hal yang penting jika seluruh warga
Indonesia kembali menelusuri perjalanan pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana dan kawan-
kawan. Pemikiran tentang semangat yang melandasi lahirnya bangsa Indonesia. Dengan
pijakan yang kuat ini, kita dapat mempunyai pandangan jauh ke depan yang kuat untuk
membangun bangsa Indonesia menjadi lebih baik dan menjadi lebih bermartabat dan sejajar
di hadapan bangsa-bangsa lain.

Balai Pustaka

Daftar Isi :
 Sekapur Sirih dari Pengumpul - Achdiat K. Mihardja
 Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru[1] Indonesia – Prae-Indonesia - Sutan Takdir
Alisjahbana
 Persatuan Indonesia - Sanusi Pane
 Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru - Tuan Sutan Takdir Alisjahbana
 Sambungan Baru - Purbatjaraka
 Semboyan yang Tegas (Kritik Terhadap Beberapa Prasaran Kongres Permusyawaratan
Perguruaan Indonesia) - Sutan Takdir Alisjahbana
 Kongres Pendidikan Nasional (Menyambut Pandangan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana) -
R. Sutomo
 Sekali Lagi (Semboyan yang Tegas) - Sutan Takdir Alisjahbana
 Mencari Perbandingan (Verhouding) - Tjindarbumi
 Didikan Barat dan Didikan Pesantren (Menuju ke Masyarakat yang Dinamis) - Sutan
Takdir Alisjahbana
 Perbedaan Pandangan Hidup - R. Sutomo
 Kata Penutup (Kepada Tuan Dr. Sutomo) - Sutan Takdir Alisjahbana
 Kritik Atas Kritik - Adinegoro
 Synthese antara Barat dan Timur - Sutan Takdir Alisjahbana
 Pertukaran dan Pertikaian Pikiran (Antara Sutan Takdir Alisjahbana, Adinegoro, dan Dr.
Sutomo Tentang Peradaban dan Kemajuan Bangsa Kita untuk Masa Depan) - Dr. M.
Amir
 Pembaruan Adab (Pesan Kepada Tuan-Tuan Sutan Takdir Alisjahbana, Dr. Sutomo, dan
Sanusi Pane) - Ki Hajar Dewantara
 Pekerjaan Pembangunan Bangsa Sebagai Pekerjaan Pendidikan - Sutan Takdir
Alisjahbana
 Menyambut Karangan Sutan Takdir Alisjahbana - Dr. M. Amir
 Jiwa dan Penjelmaan, Isi dan Bentuk - Sutan Takdir Alisjahbana
 Riwayat Singkat

Sekapur Sirih dari Pengumpul - Achdiat K. Mihardja


Sisa-sisa susunan masyarakat feodal masih besar pengaruhnya atas kehidupan jiwa dan
kebudayaan bangsa kita. Di dalam susunan masyarakat feodal, kehidupan ekonomi, sosial,
dan politik semata-mata dikuasai oleh sesuatu kelas yang hanya kecil jumlahnya, tetapi
sangat besar kekuasaannya. Yakni, kelas bangsawan yang berpusat pada raja yang
memerintah secara absolut dan sewenang-wenang atas kerugian rakyat jelata yang merupakan
suatu kelas yang jauh lebih besar jumlahnya tapi merana dalam kesengsaraan dan
kemiskinan. Di dalam keadaan merana demikian, jiwanya menjadi “mati”, statis, dan tidak
ada harapan yang dicita-citakannya selain dari pembebasan di balik kubur atau mencari-cari
sekadar obat “pelipur lara” di dalam macam-macam ketakhayulan dan mistik yang sederhana.
Sebaliknya, kelas yang berkuasa mempertahankan kedudukannya dengan jalan mengadakan
bermacam-macam peraturan yang lambat laun menjadi adat dan kebiasaan.

Orang-orang tua memegang adat, ahli agama menjaga supaya adat-adat itu tetap dipegang
teguh dan dianggap “suci” yang “tiada lapuk kena hujan, tiada lekang kena panas”. Bahkan
raja dikemukakan sebagai orang yang “suci”, wakil Tuhan di dunia, kepala agama, dan lain-
lain. tiap pelanggaran adat akan terbentur pada hukum-hukum yang didasarkan pada
kepercayaan dan ketakhayulan. Padahal semua itu semata-mata untuk menjamin kedudukan
kelas yang berkuasa.

Di dalam kungkungan adat demikian, jiwa orang-orang tidak mungkin berkembang dengan
bebas. Dari hari ke hari, tahun ke tahun, abad ke abad orang hidup persis mengikuti saluran-
saluran adat yang berlaku turun-temurun. Pikiran tidak mungkin kritis, perasaan tidak
mungkin berkembang menurut kodrat kepribadiannya. Dan hal itu tidak mungkin
menimbulkan sikap hidup dan pandangan dunia yang sanggup mendorong manusia untuk
menguasai alam sekelilingnya guna keperluan dirinya sendiri. Tidak ada kegiatan atau
dinamika untuk mencari, menyelidiki, dan menguasai seperti manusia Faust atau Promoteus.
Segalanya serba tenang dan tenteram, dan kalau ada yang dicari itu hanyalah harmoni yang
harus menjadi dasar utama bagi segala bentuk kehidupan. Harmoni dengan alam, harmoni
dengan sesama mahluk.
Mudah dimaklumi bahwa kebudayaan yang dilahirkan oleh masyarakat seperti yang terlukis
di atas itu statis sifatnya.

Kolonialisme menggunakan sisa-sisa susunan masyarakat feodal sebagai sendi-sendi


pendukung susunan kekuasaan. Kapitalisme modern yang telah dalam mencengkeramkan
kuku imperealismenya di sini, tidak seimbang membawa kekayaan bagi kebudayaan kita,
baik duniawi maupun rohani, bila dibandingkan dengan kerugian-kerugian yang ditimbulkan.
“Isme” tersebut, yang di tanah leluhurnya dengan semboyan-semboyannya “liberte, egalite,
fraternite” sejak tahun 1789 telah berhasil menggulingkan secara revolusioner segala dasar
dan tiang feodalisme dan absolutisme (sekalipun tak lama kemudian untuk sementara muncul
lagi berupa kekuasaan Napoleon), di sini tetap tidak membawa perubahan-perubahan yang
nyata di dalam soal-soal kemasyarakatan, politik, dan kebudayaan. Demokrasi, liberalisme,
dan parlementarisme, ketiga hasil dari Revolusi Borjuis di Perancis tidak sampai menjadi
milik masyarakat bangsa kita. Demikian pula rasionalisme, individualisme, dan materialisme.

Demikianlah halnya dalam zaman kolonial.

Akan tetapi, di dalam pertemuan dengan kapitalisme yang berkebudayaan Barat itu,
muncullah dari lubuk kebudayaan feodal yang statis itu, orang-orang yang terbuka matanya.
Mereka melihat kebudayaan baru yang dihadapinya, diselidikinya, diperiksanya, dan
dibanding-bandingkannya dengan kebudayaannya sendiri. Maka mereka pun lantas berani
menantang segala cacat dan kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam kebudayaannya
sendiri. Untuk pertama kalinya, timbullah pertentangan dan kegelisahan dalam kebudayaan
statis itu. Orang-orang itu mau menghancurkan segala belenggu adat yang selama ini
mencekik jiwanya dan mengekang hidup kebudayaannya sendiri. Mereka timbul sebagai
“reactief element” di dalam tesis yang statis itu.

Polemik antara Sutan Takdir Alisjahbana dengan lawan-lawannya adalah salah satu
pernyataan tentang adanya unsur-unsur reaksi dalam kebudayaan feodal yang sudah beku itu.
Namun, sekalipun para polemis itu berhadap-hadapan sebagai pihak yang berselisih, dalam
satu hal mereka itu adalah sependapat bahwa kebudayaan kita yang telah beku itu harus
dibikin cair supaya mungkin bergerak lagi, mengalir terus ke arah muara kesempatan.

Tiap kebudayaan yang hendak diwariskan kepada suatu angkatan tidak bisa diterima secara
pasif, apabila kebudayaan itu mau segar, bertunas, serta hidup terus dengan subur. Jika tidak
ada kegiatan mencipta yang memberi kehidupan baru kepada kebudayaan itu sesuai dengan
keadaan masyarakat yang telah berubah, yang membawa pula nilai-nilai dan ukuran-ukuran
baru, maka kebudayaan itu akan merana, lantas mati sama sekali pada akhirnya. Nilai-nilai
dan ukuran-ukuran lama dari kebudayaan yang hendak diwariskan itu harus dikaji, dikupas,
dan diperiksa. Mengkaji, mengupas, dan memeriksa yang demikian itu adalah syarat-syarat
untuk hidupnya suatu kebudayaan, sebab hanya dengan cara demikian itu akan mungkin
bertunas segar. Oleh karena itulah, kami dengan sengaja menyusun polemik yang
berlangsung pada beberapa tahun yang lalu, karena pada hemat kami, polemik merupakan
suatu peristiwa penting dalam sejarah kebudayaan kita. Dalam polemik, untuk pertama
kalinya nilai-nilai dan ukuran kebudayaan kita yang sudah lapuk itu dikaji, dikupas, dan
diperiksa dengan mendalam dan teratur. Di samping itu, oleh karena justru pada saat bangsa
kita sedang membentuk kebudayaan baru yang harus sesuai dengan masyarakat modern dan
jiwa modern seperti sekarang ini, pokok-pokok pikiran yang dikenakan dalam polemik
tersebut, cukup penting mendapat perhatian bangsa kita pada umumnya serta para ahli atau
peminat kebudayaan pada khususnya.

Maksud kami hendak menyusun kumpulan ini dengan kumpulan kedua, ialah yang terdiri
atas karangan-karangan para ahli lain yang juga pernah mengupas soal Timur-Barat yang
menjadi pokok persoalan dalam polemik ini. Memang, suatu politik burung unta memandang
Timur-Barat itu bukan soal bagi kebudayaan kita sekarang. Tentu saja kita maksudkan
dengan istilah “Timur-Barat” itu bukan suatu pengertian yang sempit, yang semata-mata
didasarkan pada pertentangan warna kulit, atau letak benua, melainkan terutama sekali pada
perbedaan masyarakat dan kebudayaannya. Seorang dialektikus Sutan Syahrir, pernah
berkata dalam “Renungan Indonesia” nya bahwa kita tidak usah pilih-pilih antara Timur dan
Barat, sebab kedua-duanya akan silam dan sekarang ini sedang tenggelam ke masa silam.
Maksud Syahrir ialah Barat yang kapitalistis dan Timur yang feodalistis.

Dengan menyetujui pendapat Syahrir tersebut, timbullah soal yang hangat bagi kita. Kalau
tidak Timur tidak Barat, apakah harus kita pilih? Di antara bermacam-macam pendapat dan
ramalan, historis materialisme dengan dialektikanya telah memberikan suatu ramalan yang
tegas, tetapi tidak berarti bahwa kita telah bebas dari kewajiban untuk menyelidiki,
mengupas, dan memeriksa dengan seksama segala kenyataan dan peristiwa yang berlaku,
karena hanya dengan cara demikianlah kita tidak akan terikat oleh suatu dogma, suatu hal
yang menjadi syarat penting untuk perkembangan kebudayaan kita.

Kami yakin bahwa polemik ini besar artinya sebagai anjuran untuk lebih memperdalam lagi
penyelidikan serta mempertegas lagi pendirian kita soal tersebut.

Bersama Comte kami bersemboyan “Savoir pour prevoir”, mengetahui untuk dapat melihat
serta bertindak ke arah masa depan, sebab zaman modern tidak mengizinkan lagi kita hidup
dengan lebih menoleh ke belakang menurut saluran adat yang mengikat jiwa manusia tetapi
tetap ke depan, dengan menggunakan budi dan pikirannya yang bebas-lepas, menyiasati
segala kenyataan-kenyataan. Jika ada sesuatu yang mengikat itu hanyalah semata-mata
kewajiban dan rasa tanggung jawab kita terhadap kemajuan kemanusiaan dalam arti yang
sebenar-benarnya.

Oleh karena itulah, kami dengan insyaf mengumpulkan polemik ini. Kumpulan kedua
menyusul.

Jakarta, Juli 1948

Pengumpul,

Achdiat K. Mihardja
Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru[1] Indonesia – Prae-
Indonesia - Sutan Takdir Alisjahbana
Berbicara tentang masyarakat dan kebudayaan baru, yang dimaksud tentu adalah masyarakat
dan kebudayaan Indonesia Raya, yakni masyarakat dan kebudayaan yang tergambar dalam
hati semua penduduk kepulauan ini, terutama yang mengharapkan tempat yang layak bagi
negeri dan bangsanya, berdampingan dengan bangsa lain di muka bumi ini. Untuk
membicarakan masyarakat dan kebudayaan Indonesia Raya, pertama sekali kita harus
memahami arti Indonesia sejelas-jelasnya, terlepas dari segala bungkusan dan tambahan yang
mengaburkannya.

Sesungguhnya, arti kata “Indonesia” sekarang ini sudah sangat kacau. Menurut para ahli
bangsa, kata “Indonesia” dipakai untuk melingkupi seluruh penduduk di daerah yang
membentang dari Pulau Formosa sampai ke Pantai Samudra Hindia, dari Madagaskar sampai
ke Nieuw Guinea. Dalam pergaulan sehari-hari di negeri kita kata itu telah sangat populer.

Bagaimanapun menggembirakannya kepopuleran –menjadi lazimnya- kata “Indonesia” itu,


tetapi satu hal tidak boleh kita lupakan: lantaran kepopuleran atau kelaziman itu artinya
menjadi amat meluas sehingga menjadi kabur.

Segala yang ada dan yang terjadi, segala yang pernah ada dan pernah terjadi di lingkungan
kepulauan kita ini, diberi nama “Indonesia”.

Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teungku Umar, dan lain-lain telah dijadikan pahlawan
Indonesia. Borobudur telah menjadi bukti keluhuran Indonesia di masa silam, musik gamelan
sudah menjadi musik Indonesia, buku Hang Tuah sudah menjadi buku hasil kesusastraan
Indonesia.

Padahal ketika Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teungku Umar, dan lain-lain itu berjuang,
dahulu belum ada dan belum tercium perasaan keindonesiaan. Diponegoro berjuang untuk
Tanah Jawa, itu pun sepertinya tidak dapat kita katakan untuk seluruh Tanah Jawa. Tuanku
Imam Bonjol berjuang untuk Minangkabau. Teungku Umar untuk Aceh. Siapa yang dapat
menjamin sekarang ini baik Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, ataupun Teungku Umar tidak
akan menyerang bagian kepulauan yang lain sekiranya mereka dulu mendapatkan
kesempatan?

Jiwa yang melahirkan Borobudur yang luhur itu tidak ada sangkut pautnya dengan semangat
yang bernyala-nyala dalam dada para penganjur cita-cita keindonesiaan dalam abad kedua
puluh ini.

Apa pula hubungannya musik gamelan dengan perasaan keindonesiaan. Bahkan buku Hang
Tuah menurut ukuran sekarang jelas dapat dikatakan anti-Indonesia, sebab di dalamnya
terdapat bagian-bagian yang menghina suku bangsa dalam wilayah kepulauan ini.[2]
Sesungguhnya orang telah mengacaukan, mencampuradukkan segala eksistensi dan
peristiwa dalam lingkungan kepulauan ini dengan segala eksistensi dan peristiwa yang
dipengaruhi oleh munculnya – atau setidaknya yang erat kaitannya dengan – semangat baru
di lingkungan kepulauan ini, yaitu semangat keindonesiaan.

Ke dalam pengertian “Indonesia” itu, diam-diam orang memasukkan beberapa hal yang sama
sekali tak ada kaitannya dengan perasaan keindonesiaan. Hal itu lebih banyak merugikan
daripada menguntungkan. Bahkan sesungguhnya mengaburkan tali persatuan yang terasa
oleh seluruh penduduk kepulauan ini. Ia memberi hak memakai kata Indonesia kepada
mereka yang tidak berhak memakainya.

Tumbuhnya masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang sejati, yang sesungguhnya


digerakkan oleh semangat keindonesiaan dihambatnya. Hal ini dikarenakan pengertian
Indonesia yang sejati telah kabur, menjadi cerai-berai. Untuk mempercepat dan
mengukuhkan tumbuhnya masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang sejati, perlu sekali
pengertian keindonesiaan itu dibersihkan sehingga menjadi jelas juga hakikatnya.

Kita mesti membuat kata “Indonesia” ini menjadi jelas. Jika perlu kita tidak boleh takut
memakai pisau untuk membuang benalu dan parasit pada pohon keindonesiaan itu.

“Indonesia” yang timbul di kalangan bangsa kita, tidak dapat kita lepaskan dari perasaan dan
semangat keindonesiaan. Semangat keindonesiaan itu merupakan ciptaan generasi abad
kedua puluh, sebagai penjelmaan kebangkitan jiwa dan tenaga.

Semangat Indonesia itu sesuatu yang baru, menurut isi dan menurut bangunnya. Ia tidak
bertopang pada masa silam. Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang kebesarannya dulu
menguasai sebagian besar dari kepulauan ini, bukan pelopor keindonesiaan. Sebab waktu itu,
suatu wilayah sama sekali tidak suka dikuasai oleh wilayah lain. Baik di dalam bangunan
Sriwijaya maupun di dalam bangunan Majapahit tidak ada sedikit pun hakikat semangat
Indonesia, yaitu kemauan untuk bersatu yang didesak oleh kesadaran akan kepentingan dan
cita-cita bersama.

Semangat Indonesia juga bukan berdasarkan asal bangsa atau ras yang satu, sebagaimana
menurut hasil penelitian para ahli Barat. Meskipun penelitian di kemudian hari membuktikan
bahwa yang mendiami kepulauan ini bukan hanya satu jenis bangsa[3], semangat Indonesia
akan tetap hidup. Sebab ia lahir dari dasar semangat membaja suatu generasi muda yang
lebih kukuh dari segala teori keturunan. Setinggi-tingginya teori keturunan yang mati itu
hanya dapat memberi kekuatan dan kepercayaan kepada mereka yang lemah, yang perlu
dorongan dari belakang. Namun bagi mereka yang kuat tulang belakangnya, adalah
mengatasi segala dorongan kemauan, cita-cita, dan keyakinan yang bernyala-nyala, yang
berkobar-kobar di dalam hatinya.

Sangat perlu dikatakan dengan tegas, bahwa sejarah Indonesia dimulai pada abad kedua
puluh, ketika lahir generasi baru di wilayah Nusantara ini, yang dengan sadar ingin
menempuh jalan baru untuk bangsa dan negerinya. Zaman sebelum itu, zaman hingga akhir
abad kesembilan belas, ialah zaman pra- Indonesia, zaman jahiliyah keindonesiaan, yang
hanya mengenal sejarah Hindia Belanda atau Oost Indische Compagnie, sejarah Mataram,
sejarah Aceh, sejarah Banjarmasin, dan lain-lain.

Zaman pra-Indonesia, zaman jahiliyah Indonesia, itu setinggi-tingginya hanya dapat


menegaskan pandangan dan pengertian tentang lahirnya zaman Indonesia. Namun, zaman
Indonesia sama sekali bukan kelanjutan atau terusan dari zaman sebelumnya. Sebab dalam isi
dan bentuknya, keduanya berbeda: Indonesia yang dicita-citakan oleh generasi baru bukan
kelanjutan dari Mataram, bukan kelanjutan kerajaan Banten, bukan kerajaan Minangkabau,
atau Banjarmasin.

Menurut susunan pikiran ini, kebudayaan Indonesia pun tidak mungkin merupakan
kelanjutan kebudayaan Jawa, kelanjutan kebudayaan Melayu, kelanjutan kebudayaan Sunda,
atau kebudayaan yang lain. Pekerjaan Indonesia muda bukanlah merestorasi Borobudur dan
Prambanan,[4] bukan pula mendirikan bangunan lain yang serupa dengan itu. Pekerjaan yang
pertama dapat kita serahkan kepada para ahli purbakala, yang akan mencari batu yang telah
dimakan zaman, yang akan membalik buku-buku tua untuk mengetahui bagaimana bentuk
asli bangunan-bangunan itu. Sementara, pekerjaan yang kedua (mendirikan bangunan lain
yang serupa dengan yang sebelumnya, cat.peny.) ialah pekerjaan mereka yang kepandaiannya
hanya mengulang dan meniru. Indonesia Muda yang kuat degup jantungnya, yang darah
mudanya deras mengalir, hanya akan membuka mata, membuka telinga, membuka pikiran,
untuk segala hal yang diterimanya. Dengan jalan demikian, informasi dari seluruh dunia
kemudian dicerna di dalam jiwanya.

Dan ia akan menciptakan sesuatu yang dimilikinya sendiri, cap Indonesia.

Sebab dalam hati kecilnya ia yakin seyakin-yakinnya bahwa tinggi rendahnya vonis sejarah
atas dirinya bukan bergantung pada berapa banyak puja-puji, menghormati dan meniru yang
lama. Namun, pada apa yang dapat dibangunnya, yang lahir dari dasar jiwanya sendiri, yang
setara bahkan melebihi zaman lampau.

Jadi, bagaimanakah hubungan kebudayaan Indonesia yang sedang akan timbul, dengan
kebudayaan zaman pra-Indonesia?

Tentang hal ini pun, ada baiknya kita perjelas. Sebab dalam ketidakjelasan ia dapat
menyimpan dan melindungi bibit kedaerahan yang sama sekali belum lenyap dalam
masyarakat kita.

Pada pikiran saya, pandu-pandu kebudayaan Indonesia harus bebas benar dari warisan
kebudayaan zaman pra-Indonesia. Bebas bukan berarti tidak tahui seluk
beluknya. Bebas hanya berarti tidak terikat. Sebab siapapun yang belum dapat melepaskan
dirinya dari kebudayaan Jawa akan berusaha memasukkan semangat kejawaan ke dalam
kebudayaan Indonesia. Yang belum terlepas dari kebudayan Melayu akan berupaya
memasukan semangat kemelayuan ke dalam kebudayaan Indonesia dan demikian seterusnya.
Bagi mereka yang berpikir demikian, kebudayaan Indonesia ialah kebudayaan Jawa atau
kebudayaan Melayu yang sedikit baru.

Hal itu berarti menimbulkan perselisihan dalam lingkungan Indonesia Muda sendiri. Suku
Jawa tak akan senang jika yang disebut kebudayaan Indonesia ialah kebudayaan Melayu yang
diubah sedikit. Sebaliknya, suku yang lain pun tidak akan senang jika kebudayaan Indonesia
merupakan kebudayaan Jawa yang diubah sedikit.

Sesungguhnya, mengaitkan ke masa yang sudah lampau berarti membangkitkan perselisihan.


Sebab pada zaman pra-Indonesia bangsa yang mendiami kepulauan Nusantara ini tak pernah
mempunyai kemauan, cita-cita, dan pikiran bersatu dan berhubungan sehingga tak pernah
melahirkan kebudayaan dengan semangat demikian.

Berarti kemauan bersatu yang mengandung semangat Indonesia tidak sedikit pun berurat akar
ke masa yang silam, tetapi sebaliknya bertumpu ke masa yang akan datang dengan harapan
agar mampu berdampingan secara bersama bangsa-bangsa lain di kemudian hari. Dengan
meyakini bahwa yang diharapkan dan dicita-citakan itu hanya mungkin tercapai dengan
bersatu melakukan pekerjaan bersama-sama.

Maka sudah selayaknya mewujudkan cita-cita persatuan yang tidak berurat akar pada masa
yang silam, tetapi pada harapan kemuliaan di kemudian hari, tidak terpaku mencari ramuan di
masa yang silam.

Ramuan untuk masyarakat dan kebudayaan Indonesia di masa yang akan datang harus kita
cari sesuai dengan kebutuhan kemajuan masyarakat Indonesia yang sempurna. Tali persatuan
bangsa kita terutama sekali berdasarkan atas kepentingan bersama. Hakikat kepentingan
bersama ialah bersama-sama mencari alat dan berupaya keras agar masyarakat kepulauan
Nusantara yang berabad-abad mandeg, mati, menjadi dinamis, menjadi hidup. Karena hanya
masyarakat yang dinamis yang dapat berlomba di lautan dunia yang luas.

Sudah sewajarnya pula alat untuk menumbuhkan masyarakat yang dinamis terutama sekali
kita cari di negeri yang dinamis pula susunan masyarakatnya. Bangsa kita perlu alat-alat yang
telah menjadikan negeri-negeri yang berkuasa di dunia dewasa ini mencapai kebudayaan
yang tinggi seperti sekarang: Eropa, Amerika, dan Jepang.

Demikian saya meyakini bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang tumbuh sekarang
ini akan terdapat sebagian besar unsur Barat, unsur yang dinamis. Hal itu bukan suatu
kehinaan bagi sebuah bangsa. Bangsa kita pun bukan baru sekali ini mengambil unsur-unsur
dari luar: kebudayaan Hindu, kebudayaan Arab.

Dan sekarang tiba waktunya mengarahkan pandangan kita ke Barat.

Jika dulu begitu banyak pengaruh kebudayaan Hindu dan Arab atas negeri kita ini, pastilah
sekurang-kurangnya pengaruh Barat akan sama dengan pengaruh kedua kebudayaan itu.
Namun, tidak mustahil bahwa pengaruh itu dapat lebih besar lagi.
Bayangkanlah jarak antara Hindustan dengan negeri kita sepuluh abad yang lalu, sekurang-
kurangnya harus ditempuh dengan waktu sebulan pelayaran. Sedang jarak antara negeri kita
dengan Eropa sekarang ini (tahun 1935, cat.peny.) hanya butuh waktu tiga hari penerbangan.
Hubungan dan pergaulan antara bangsa kita dengan bangsa Barat sekarang ini jauh lebih erat
ketimbang dengan guru-guru bangsa saat membangun Borobudur seribu tahun silam.

Ucapan yang secara gamblang mengatakan bahwa masyarakat dan kebudayaan bangsa kita
harus tumbuh mengarah ke Barat, boleh jadi akan membangkitkan amarah beberapa golongan
di negeri sekarang ini. Sebab ada di antaranya yang dengan tidak sengaja dan tidak sadar
meninabobokan rakyat banyak dengan ucapan-ucapan kosong dan tidak berarti: Timur halus
budinya, sedangkan Barat egoistis, materialistis, dan intelektualistis. Mereka yang
mempunyai anggapan seolah-olah semua orang dari Timur wali yang suci dan semua orang
Barat penjahat yang tidak berarti demikian pasti akan kaget mendengar ucapan yang
mengatakan bahwa orang Timur harus berguru kepada orang Barat.

Sekalipun tidak enak didengar, semboyan bahwa kita harus belajar pada Barat, meskipun
menyedihkan, dalam hal ini rasanya kita tidak dapat memilih.

Sebab semangat keindonesiaan yang menghidupkan kembali masyarakat bangsa kita, yang
berabad-abad seolah mati ini, pada hakikatnya kita peroleh dari Barat : Budi Utomo, lahir
seperempat abad silam di kalangan rakyat yang mendapat didikan Barat dan bergaul dengan
Barat. Cara berorganisasi yang dipakai sebagai pengganti persatuan menurut keturunan dan
tempat tinggal yang terdapat dalam pra-Indonesia ialah dengan cara Barat. Bahkan dalam
segala pergerakan kebangkitan bangsa kita menggunakan organisasi cara modern, yang
tampil memimpin adalah mereka yang mendapat didikan Barat atau sekurang-kurangnya
yang dapat pengaruh Barat. Malah “Indonesia” yang kita banggakan sekarang ini kita peroleh
dari bangsa Barat.

Apabila nyata kepada kita bahwa semangat kesadaran, semangat kebangkitan, semangat
kebangsaan yang kita namakan semangat keindonesiaan itu sebagian besar berasal dari Barat
atau sekurang-kurangnya dengan perantaraan Barat, wajarlah bila masyarakat dan
kebudayaan yang dilahirkan banyak mengandung unsur kebaratan. Jika tidak demikian,
tidaklah sesuai dengan jiwa dengan bentuk, semangat dengan kerangkanya. Dalam keadaan
demikian pastilah kedua-duanya, baik semangat maupun bentuk tidak sehat tumbuhnya.
Semangat kurang kuat getarnya sehingga tidak melahirkan bentuk yang sesuai dengan
dirinya. Sebaliknya,bentuk yang membaluti semangat itu adalah bentuk yang mati, yang di
dalamnya tidak menyala-nyala jiwa yang hidup, yang sesuai dengan dirinya.

Jelas bagi kita bahwa semangat keindonesiaan semestinya, tidak bisa tidak, akan melahirkan
masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang berbeda dari masyarakat dan kebudayaan pra-
Indonesia.

Hal itu sama sekali bukan berarti bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang tumbuh
itu tidak terdapat unsur pra-Indonesia sedikit pun. Pertentangan semangat Indonesia dengan
semangat pra-Indonesia bukanlah pertentangan seratus persen, bukan pertentangan dalam
segala hal. Dalam membangun bentuk yang sesuai dengan hakikatnya itu, semangat
Indonesia pasti akan menyerap beberapa unsur dari nilai-nilai masyarakat yang silam yang
sesuai dengan dirinya. Dalam masyarakat Indonesia akan terdapat bagian-bagian yang berasal
dari masa pra-Indonesia, meskipun bagian-bagian itu akan mendapat arti yang berbeda, yang
modern, dan sesuai dengan semangat baru.

Lagipula kita harus ingat bahwa di samping kebudayaan pra-Indonesia yang banyak
mengandung semangat Barat atau universal dewasa ini, untuk sementara masih tetap akan
hidup kebudayaan pra-Indonesia berupa kebudayaan daerah. Kebudayaan Jawa, kebudayaan
Sunda, kebudayaan Melayu, dan lain-lain untuk sementara belum mati, malah boleh jadi
beberapa diantaranya akan mencapai kemajuan pula.

Meskipun demikian ada kemungkinan sekali waktu dari kebudayaan daerah-daerah itu untuk
naik ke permukaan dan ikut mewarnai kebudayaan Indonesia. Sebelum itu terjadi dan umum
berlaku, kita harus jelas dan tegas membedakan Indonesia dengan kebudayaan pra-Indonesia.
Kebudayaan mereka yang telah terlepas dari pikiran kedaerahan dari kebudayaan mereka
yang masih terikat dengan tempat dan suasana sekitarnya. Bagi generasi muda yang merasa
dirinya sebagai pembangun kebudayaan Indonesia, yang menghadapi kemegahan kebudayaan
silam dan kebudayaan yang hidup di daerah-daerah, perbedaan itu bukanlah sekadar memiliki
nilai teoritis. Baginya, perbedaan itu mengandung arti yang sangat dalam. Sebab untuk
melepaskan yang lama, yang kecil merana itu, dengan penuh kesadaran ia menunjukkan
kegembiraan masa mudanya, rasa percaya diri yang besar atas tenaga dan kecakapan diri
untuk melahirkan sesuatu yang lebih besar dan luhur dari segala yang pernah timbul dan
tumbuh di negerinya.

Lihat mata yang gemerlap bercahaya, muka yang merah berseri-seri, dan gigi yang
putih yang belum membenam mengigit bibir!

Tidak terdengarkah Tuan napas berat turun naik, jantung memukul berdegup sampai
ke leher?

Lihat, lihatlah panji-panji bergelung-gelung ditiup angin!

Lihat, lihatlah tali yang kuat penuh irama mengayun ke hadapan untuk maju ke muka?

Dengar, dengarlah tanah menggelegar dientak sepatu menderap!

Dengar, dengarlah tempik kegirangan memenuhi udara!

Itulah generasi baru yang tiada tertahan menuju ke puncak kemenangan tempat mata lepas
jauh memandang, tempat jiwa bebas mengisap udara yang segar, tempat matahari tak
terhalang menjatuhkan sinar emasnya.

Pujangga Baru Tahun III nomor 2, Agustus 1935


Persatuan Indonesia - Sanusi Pane
Dalam karangan “Menuju Masyarakat dan dan Kebudayaan Baru dalam Pujangga Baru”,
yang dikutip juga dalam Suara Umum ini, Tuan Sutan Takdir Alisjahbana membagi sejarah
kita dalam dua bagian, zaman pra-Indonesia, sampai akhir abad ke-19, dan zaman Indonesia,
yakni setelah masa itu. Zaman Indonesia tidak dapat dianggap kelanjutan atau terusan zaman
pra-Indonesia.

Tuan Sutan Takdir Alisjahbana rupanya tidak cukup menunjukkan kenyataan bahwa sejarah
adalah rangkaian waktu yang timbul dari waktu sebelumnya. Zaman sekarang ialah
kelanjutan dari zaman sebelumnya. Manusia tidak mampu menciptakan kekinian yang baru
sama sekali. Hal yang demikian itu sama dengan mengadakan barang dari yang tidak ada.

Dalil di atas itu berlaku dalam semua bidang kehidupan, dalam bidang ekonomi, sosial, dan
budaya.

Dalam bidang ekonomi kita tidak usah pergi kepada Karl Marx untuk mengetahui bahwa
susunan ekonomi senantiasa merupakan kelanjutan atau terusan yang sebelumnya. Kelanjutan
itu tampak dalam banyak hal, bahkan dalam lawan yang menggantikannya. Namun kita tidak
usah menganut Hegel, supaya tahu bahwa antara antitesis dengan tesis ada hubungan sejarah
sehingga boleh dipakai kata kelanjutan.

Demikian pula halnya dalam ranah sosial.

Dalam ranah budaya, ambil saja Pujangga Baru sebagai contoh. Kalau tidak ada Pujangga
Lama, tidak mungkin timbul Pujangga Baru. Memang Pujangga Baru bertentangan dalam
banyak hal, tetapi pertentangan itu membuahkan kelanjutan.

Antara anak pedati yang berpantun di dalam hati dengan Sutan Takdir Alisjahbana ada
pertalian sejarah.

Bentuk jiwa kita sekarang bukan baru dalam segala-galanya. Kita tidak perlu pergi
kepada Jung untuk mengetahui bahwa kita mewarisi pengalaman nenek moyang kita.

Tuan Sutan Takdir Alisjahbana menyebut bahwa dalam zaman Majapahit, Diponegoro, dan
Teungku Umar, belum ada keindonesiaan.

Pikiran ini kurang benar menurut pendapat kami. Keindonesiaan pada waktu itu pun sudah
ada, keindonesiaan dalam adat, dalam seni. Hanya bangsa Indonesia belum muncul, orang
Indonesia belum sadar bahwa mereka sebangsa. Sungguh boleh disebut ada imperialisme
Sriwijaya, Majapahit, Mataram, tetapi hal itu tidak bertentangan dengan keindonesiaan. Di
Belanda pun ada pertentangan, ada hegemoni daerah (lebih) dulu, tetapi siapa dapat
menyangkal bahwa kebangsaan Belanda yang sekarang pada waktu itu sudah ada dan hanya
menanti pengakuan yang wujud?
Kebangsaan Indonesia sudah ada semenjak dahulu kala. Sekarang dirasakan dan diwujudkan.

Dengan demikian, nyata kesalahan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana dalam caranya
mengemukakan masalah.

Sebaliknya, ia seharusnya berkata: Bagaimanakah kita harus memperbarui kebudayaan kita


sehingga sesuai dengan perasaan kebangsaan sekarang?

Tentu kita harus mengakui bahwa setiap daerah berbeda kemajuannya dalam lembaga, adat,
seni, dan sebagainya. Walaupun pada dasarnya sama, tetapi kita tidak pernah mengatakan
bahwa kita sanggup membangun kebudayaan yang baru sama sekali, yang tidak berhubungan
dengan masa silam. Kebudayaan yang ”baru” itu bersendikan kebudayaan ”lama”.

Tentang bentuk kebudayaan baru dan cara membangunnya itulah yang dapat menimbulkan
perselisihan paham. Dan disinilah letak soal yang harus diperbincangkan.

Kita harus berdiri pada sendi ini, supaya pembicaraan tidak kisruh, supaya kita saling
mengerti.

Singkatnya, kita menolak visi sejarah Tuan Sutan Takdir Alisjahbana, pandangannya tentang
sejarah. Sekarang kita membicarakan kebudayaan baru.

Dasar pendapat Tuan Sutan Takdir Alisjahbana ialah kita harus belajar pada Barat.

Di Benua Barat, orang terpaksa berjuang menaklukkan kekuatan alam untuk


mempertahankan diri. Di sana agaknya harus demikian sehingga orang harus menggunakan
dan menambah kekuatannya.

Dengan demikian, timbul materialisme, yakni orang mengutamakan jasmani, dan lahir
intelektualisme dan pengetahuan praktis karena orang terpaksa menyempurnakan akal.

Dalam susunan yang mementingkan keselamatan tubuh jasmani itu tumbuh dengan
sendirinya individualisme: orang mementingkan diri sendiri.

Kebudayaan Barat berkembang atas dasar materialisme, intelektualisme, dan individualisme


itu. Ekonominya berkembang, melahirkan industri, perdagangan, dan imperialisme dalam
bentuk modern. Pengetahuannya kian hari kian maju. Individualisme menimbulkan
persaingan yang tidak terbatas dalam sektor ekonomi dan sosial. Dalam seni berwujud l’art
pour l’art, seni untuk seni.

Setelah Benua Barat menyempurnakan ketiga senjata itu, kenyataan menuntut perlu
diwujudkan asas yang baru, organisasi yang menjaga agar dalam lingkup kebudayaan berlaku
keadilan dalam segala lapangan kehidupan. Barat telah sanggup mempertahankan diri,
menyelamatkan tubuh jasmani. Ia hanya belum berusaha, agar tiap orang selamat sejahtera.

Ibarat orang yang mencari makanan. Makanan sudah cukup tapi membagikannya belum adil
sehingga ada orang yang berlebihan dan ada yang kelaparan.
Begitulah keadaan Benua Barat pada masa sekarang. Bagaimana di Timur?

Di Timur, lebih baik: India Raya, orang tidak usah berusaha keras mempertahankan diri,
mencari jalan menaklukan alam, sebab alam tidak begitu ganas seperti di Barat.

Materialisme, intelektualisme, dan individualisme boleh dibilang tidak terlalu penting. Orang
tidak terpaksa benar menceraikan dirinya dari alam yang harus dilawan.

Manusia justru merasa dirinya menyatu dengan alam sekelilingnya.

Pengetahuan praktis tidak muncul. Teknik tak seberapa maju. Begitu pula ekonomi.

Di atas kita mengatakan: tidak terlalu penting, tidak terlalu terpaksa benar, dan sebagainya.

Keperluan dan paksaan mempertahankan diri serta menentang alam memang ada. Karena
itulah mungkin kemajuan dalam budaya di Timur perbedaannya bertingkat-tingkat. Namun,
meskipun ada tingkatan itu, semua bangsa di Timur mampu mencapai tingkat yang setinggi-
tingginya, kalau seandainya mengikuti jalannya sendiri. Tingkat tertinggi itu ada di lapisan
teratas dalam kebudayaan di India dan di Indonesia, yaitu lapisan yang berpusatkan
kesunyatan, mistik, manusia bersatu dengan alam harus meniadakan keinginan jasmaninya
dan membersihkan jiwanya.

Sampai disini kita membicarakan sejarah yang diikuti oleh Barat dan Timur secara sendiri-
sendiri dan kini muncul pertanyaan: adakah garis yang harus dan dapat diikuti oleh seluruh
dunia?

Manusia mempunyai tubuh dan jiwa. Karena itu keperluannya pun dua macam, yaitu lahir
dan batin. Kewajibannya dua pula, yaitu memelihara dan menyempurnakan kehidupan tubuh
jiwanya. Agar mampu melakukan kewajiban itu, ia harus memakai dan menyempurnakan
akal.

Barat, sebagaimana kita lihat, mengutamakan jasmani, akibatnya lupa pada jiwa. Akalnya
dipakai untuk menaklukkan kekuatan alam. Ia bersifat Faust, ahli pengetahuan (Goethe),
yang mengorbankan jiwa asalkan menguasai jasmani.

Timur lebih mementingkan rohani sehingga lupa pada jasmani. Akal dipakainya untuk
mencari jalan menyatukan diri dengan alam. Ia bersifat Arjuna yang bertapa di Indrakila.

Haluan yang sempurna ialah menyatukan Faust dengan Arjuna. Memadukan materialisme,
intelektualisme, dan individualisme dengan spiritualisme, perasaan, dan kolektivisme.

Asas dan persatuan itu harus kelihatan dalam segala sendi kehidupan, dalam bidang ekonomi,
sosial, seni, dan pengetahuan.

Maka tidak boleh tidak perbedaan bentuk antara semua bangsa tentu tetap ada karena
pengaruh masalah hawa nafsu dan tempat, meskipun pada dasarnya sama.
Ke arah itulah kita di Indonesia ini harus menuju, jadi memperkaya (bukan mengubah) dasar
kebudayaan kita.

Hal itu perlu, bukan saja karena hendak mengikuti ukuran yang lepas dari perbedaan daerah
dan zaman, yang absolut, tetapi karena paksaan kekinian juga.

Dengan demikian sudah jelas arti kebudayaan Barat bagi kita. Sekarang perlu dijelaskan
landasan Indonesia yang harus diperluas itu.

Tuan Sutan Takdir Alisjahbana terus melihat perbedaan daerah dan isme kesukuan.

Di atas telah diuraikan bahwa asas kebudayaan di sini satu. Atas asas yang satu itu daerah-
daerah di Indonesia memiliki sejarahnya masing-masing. Adakalanya terjadi pertukaran
unsur, karena ada kerajaan yang meluaskan kekuasaannya atau karena hal lain.

Ada negeri yang erat dengan negeri lain, ada daerah yang tidak seberapa hubungannya
dengan daerah asing.

Ringkasnya: pada asas yang satu itu tidak sama kemajuannya dan pesatnya (tempo)
kebudayaan berkembang di masing-masing daerah sehingga sekarang ada perbedaan daerah.

Kewajiban kita ialah memetik manfaat yang sebaik-baiknya yang sesuai dengan zaman
sekarang dan masa yang akan datang, dari semua hasil kemajuan yang tersebut itu dan
membuatnya jadi dasar Indonesia Raya (yang harus diperluas dengan asas Barat).

Dasar dalam kalimat itu tidak bertentangan dengan asas yang disebut sebelumnya, karena
unsur yang dimaksud itu ialah hasil kemajuan asas yang terdahulu sehingga tidak bisa
dikatakan dasarnya berubah.

Dalam mengambil unsur itu perlu pengetahuan yang luas tentang Indonesia keseluruhan dan
perasaan yang terdalam tentang kebudayaan. Harus jauh dari semua rasa kedaerahan, yaitu
perasaan yang timbul dari kepicikan pengetahuan tentang kebudayaan yang ada di sini dahulu
dan sekarang, serta harus bisa memahami tuntutan zaman.

Maka tidak dapat disangkal tidak banyak orang yang sanggup melakukan pekerjaan itu
sebagaimana mestinya. Masih banyak yang bersemangat kedaerahan dalam menjalankan
kewajiban itu.

Oleh karena itu, karangan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana itu besar nilainya, karena
menyuluhinya dengan terang. Makna karangan itu berjasa sebagai penentang semangat
kedaerahan.

Suara Umum nomor 276, 4 September 1935


Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru - Tuan Sutan Takdir
Alisjahbana
Dalam Bintang Timur dan Suara Umum termuat karangan yang membicarakan karangan saya
yang berjudul seperti di atas ini. Kedua karangan itu berisi tuduhan bahwa saya hendak
menciptakan sesuatu yang dalam semua hal baru, yang tidak sedikit pun bersangkut paut
dengan yang lain.

Tuduhan yang demikian sama sekali tidak pada tempatnya. Saya pun sadar bahwa sejarah itu
sesuatu yang berlanjut dan tidak berhenti. Bahwa tiap-tiap masa dalam sejarah itu
berkelanjutan dengan masa yang sebelumnya.

Pembagian sejarah Nusantara ini dalam bagian pra-Indonesia dengan bagian Indonesia,
bukan sekali-kali berarti zaman Indonesia itu tiba-tiba jatuh dari langit, tiba-tiba terjadi dari
ketiadaan. Hal yang demikian sama sekali tidak terkandung dalam pra. Kalau kita membagi
sejarah dalam pra-sejarah, kita sadar bahwa zaman sejarah itu kelanjutan dari pra-sejarah.
Demikian juga pemakaian ”pra” itu di tempat yang lain, seperti: pra-akil balig dengan akil
balig, pra-logis dengan logis, pra itu hanya menunjukkan bahwa ada suatu ciri khas dari
zaman sesudahnya yang belum terdapat pada zaman sebelumnya. Demikian juga halnya
dengan pembagian Indonesia dan pra-Indonesia. Dalam zaman keindonesiaan terdapat
semangat Indonesia yang belum ada pada zaman pra-Indonesia.

Apakah semangat Indonesia itu? Semangat Indonesia ialah kemauan yang timbul pada abad
kedua puluh di kalangan rakyat yang berjuta-juta ini untuk bersatu. Dengan jalan demikian
hendak berusaha bersama-sama menduduki tempat yang layak di sisi bangsa-bangsa lain.
Kemauan dan cita-cita yang dijunjung dengan kesadaran semacam ini tidak pernah terjadi di
lingkungan kepulauan ini sebelum abad kedua puluh.

Kehendak bersatu dan cita-cita mulia bersama yang dijunjung dengan sadar inilah ciri khas
zaman Indonesia abad kedua puluh. Zaman sebelum itu yang belum mempunyai kemauan
dan cita-cita secara sadar saya sebut dengan nama pra-Indonesia.

Semangat keindonesiaan yang hidup di kalangan rakyat Indonesia sekarang tentu akan
melahirkan kebudayaan sendiri. Kebudayaan baru itu akan berbeda dengan kebudayaan pra-
Indonesia. Perbedaan itu bukan berarti bahwa dalam kebudayaan Indonesia tidak terkandung
unsur zaman pra-Indonesia sama sekali. Perbedaan itu hanya berarti bahwa kebudayaan
Indonesia harus sesuai dengan semangat Indonesia. Yang utama ialah semangat
keindonesiaan untuk membangun kebudayaan sendiri. Dalam mengambil dan mencari
ramuan tentu ada juga ramuan yang akan diambilnya dari zaman pra-Indonesia. Meskipun
bukan menjadi keharusan.[1] Ia dapat, bahkan akan sangat banyak, mengambil ramuan dari
luar, khususnya dari Barat. Sebab hakikat semangat Indonesia itu bersaudara dengan
semangat dinamis Barat.

Kekeliruan Tuan Sanusi Pane dalam pikiran saya ialah, ia tidak mengerti arti semangat
keindonesiaan. Dan sebab itu, mencampuradukkan arti ”Indonesia” seperti arti yang dipakai
ahli bangsa-bangsa dengan arti Indonesia yang dipakai oleh pergerakan kebangkitan
penduduk kepulauan ini. Hal itu nyata sekali dalam ucapannya:

Tuan Sutan Takdir Alisjahbana menyebut bahwa dalam zaman Majapahit, Diponegoro,
Teungku Umar, belum ada keindonesiaan. Pikiran ini menurut pendapat kami kurang benar.
Keindonesiaan pada waktu itu pun sudah ada, keindonesiaan dalam adat, dalam seni. Hanya
bangsa Indonesia belum sadar bahwa mereka sebangsa.

Keindonesiaan yang dimaksud Tuan Sanusi Pane yang ada pada zaman Majapahit,
Diponegoro, Teungku Umar itu ialah keindonesiaan menurut ahli bangsa-bangsa.
Keindonesiaan yang dimaksudnya itu adalah keindonesiaan yang tidak disadari,
keindonesiaan yang terdapat juga di Filipina, Malaka, dan lain-lain.

Sedangkan keindonesiaan yang saya pisahkan dari pra-Indonesia itu ialah keindonesiaan yang
disadari, yang lahir dalam abad kedua puluh ini. Keindonesiaan seperti yang saya maksud
sampai sekarang belum terdapat di Malaka, dan lain-lain.

Satu hal juga hendak saya tunjukkan terkait dengan pandangan Tuan Sanusi Pane bahwa
pekerjaan pembangunan kebudayaan baru itu termasuk pekerjaan kreativitas secara spontan.
Apabila Pujangga Baru bernyanyi ia tidak usah teringat dan terikat akan dendang anak pedati.
Ia bernyanyi menurut getar jiwanya sendiri, sebab baginya yang terpenting ialah suara
kalbunya dan tidak sekalipun menyentuh cara bernyanyi generasi sebelumnya.

Tuan Seanusi Pane membicarakan juga soal Barat dan Timur.

Saya tidak setuju dengan pandangan Tuan Sanusi Pane bahwa Barat mementingkan jasmani
dan Timur mementingkan rohani. Menurut pikiran saya, baik Timur maupun di Barat orang
mementingkan rohani dan jasmani. Dalam hal rohani orang Barat tidak kalah dari orang
Timur.

Namun, dalam hal jasmani orang Barat dapat mengalahkan orang Timur. Hal itu disebabkan
oleh perbedaan cara berpikir antara Barat dengan Timur. Selanjutnya tentang soal Barat-
Timur ini saya mengajak pembaca untuk sementara membaca karangan saya “Synthese Barat
dan Timur” yang termuat dalam surat kabar ini belum lama berselang. Di kemudian hari saya
berharap akan dapat menerangkannya lebih lanjut.

Catatan Sanusi Pane :

Setelah Tuan Sutan Takdir Alisjahbana menjelaskan makna pra-Indonesia dan Indonesia ini
lebih lanjut, hilanglah salah terima dari pihak saya tentang pendapatnya dalam hal
perjalanan sejarah. Sementara itu saya tidak setuju dengan : Dalam mengambil dan mencari
ramuan tentu ada juga ramuan yang akan diambil dari zaman Pra-Indonesia. Namun hal itu
bukan keharusan dan sebagainya.
Menurut pikiran saya hal itu bukan saja harus, tapi terpaksa, karena ke-ada-an yang sudah
ada di sini tidak bisa dihapuskan.

Boleh jadi perselisihan tentang masalah ini pun cuma karena saja.

Tentang arti keindonesiaan itu, saya tidak merasa mencampuradukkan paham ilmu dan
politik. Keindonesiaan dari dulu sudah ada, sekarang pun masih ada. Hanya sekarang terasa
perlunya mengemukakan keindonesiaan itu sehingga boleh dikatakan bahwa baru
sekaranglah lahir bangsa Indonesia, kalau kita hanya mementingkan masalah psikologis dan
hal-hal berkepentingan sama yang ada di dalamnya.

Tentang cara Pujangga Baru bernyanyi acc, memang pujangga tidak usah tahu bahwa ia
berkaitan dengan masa silam. Namun bukan berarti tak ada hubungannya. Walaupun orang
misalnya tidak tahu bagaimana cara darahnya mengalir, toh darahnya mengalir juga. Dan
kita tak perlu tahu bahwa kita berusus untuk bisa mencerna makanan.

Dari soal Timur dan Barat itu saya tidak melihat alasan untuk mengubah pendapat saya.
Supaya jangan salah terima, saya jelaskan lagi bahwa saya sama sekali bukan menyebut
bahwa Timur lebih tinggi dari Barat, atau sebaliknya. Kedua-duanya sama belum hidup
dengan cara yang sepatutnya, menurut pikiran saya.

Dalam hal ini boleh jadi ada salah terima pula, karena makna jasmani dan rohani
barangkali tidak jelas atau tidak jauh berbeda.

Dan sekiranya hal yang di atas itu menimbulkan perselisihan, saya menghormati pendirian
Tuan Sutan Takdir Alisjahbana yang sebagai penulis memang dibolehkan, kalau bukan
harus, berpendirian ekstrem. Sebagai penulis amatir saya pun merasa bahwa seorang yang
kreatif seringkali melebih-lebihkan, sebagai reaksi atas hal yang ada atau sudah ada.

Catatan Sutan Takdir Alisjahbana :

1) Ucapan “bukan keharusan” berarti bahwa dalam bagian kebudayaan Indonesia satu per
satu harus selalu terdapat unsur zaman pra-Indonesia. Namun, dalam kumpulan kebudayaan
umumnya tentu selalu ada unsur zaman yang lalu. Sebagai contoh, menurut pikiran saya
mungkin di sebuah lukisan, sebuah roman, sebuah lagu, atau lain-lain yang tidak sedikit pun
mengandung unsur pra-Indonesia.

Sambungan Baru - Purbatjaraka


Karangan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana di dalam Pujangga Baru tahun III nomor 2
Agustus 1935, buat saya, yang kurang paham bahasa Melayu agak sulit dimengerti. Karena
hal yang diuraikannya sangat menarik minat saya, saya perlu mengartikan seluas-luasnya.
Dengan alasan demikian, saya minta izin untuk menjelaskan pendapat pribadi saya. Namun,
setelah karangan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana disambut oleh Bintang Timur No. 198, 2
September 1935, dan oleh Tuan Sanusi Pane di Suara Umum No. 276, 4 September 1935[1],
saya tidak perlu memberi keterangan panjang lebar lagi, cukup pendek saja.

Di dalam karangannya, Tuan Sutan Takdir Alisjahbana kadang-kadang meniadakan


hubungan zaman masa silam dengan zaman sekarang ini. Oleh Tuan Sanusi Pane hal itu
diartikan begitu juga. Namun, kadang-kadang Tuan Sutan Takdir Alisjahbana mengakui juga
adanya hubungan atau kelanjutan itu. Sebenarnya, seperti Tuan Sanusi Pane telah berkata,
kelanjutan itu ada, dan tidak boleh dihilangkan. Oleh karena ada kelanjutan itu, saya
berkeyakinan bahwa jalannya sejarah tidak boleh tidak, harus diselediki dan diketahui. Inilah
alasannya orang menengok ke belakang. Pengetahuan yang diperoleh dari menengok ke
belakang agar dapat melihat keadaan sekarang, yakni zaman kebaratan di tanah kita ini. Jika
kita menengok telah ke belakang kemudian melihat keadaan yang sekarang ini, barulah bisa
mulai mengatur hari yang akan datang. Sebab jika tidak begitu – hanya melihat zaman
sekarang saja, hal itu saya rasa ada bahayanya, yakni kita lantas terus jalan membarat saja.
Apakah kita berpikir bahwa kita harus bisa mengejar bangsa Barat? Barangkali untuk
sementara bisa. Di Barat tentu juga sudah jalan terus lagi, entah kembali entah terus. Kalau
demikian, kelak jadinya kita terpaksa selalu mengejar saja.

Menurut perasaan saya, yang berguna buat tanah air dan bangsa kita ini ialah mengetahui
jalannya sejarah dari dulu sampai sekarang. Dengan pengetahuan ini kita sekuat tenaga
berusaha mengatur hari yang akan datang. Sebab hanya dengan pengetahuan inilah orang
dapat memilih mana yang baik, mana yang tidak baik buat tanah air dan bangsa kita kelak.

Adapun pendapat Tuan Sutan Takdir Alisjahbana bahwa apa yang kita lakukan sekarang
tidak harus berakar pada zaman silam, tetapi pada zaman yang akan datang, itulah sepanjang
pikiran saya, terbalik belaka. Ada juga yang menyebutnya waringin sungsang, yakni pohon
yang akarnya tumbuh di tempat pupusnya mesti keluar. Namun, istilah ini biasanya dipakai
orang di dunia mistik: di sana keadaannya memang serba terbalik dengan kehidupan di dunia
ini.

Pendek kata: janganlah mabuk kebudayaan kuno, tetapi jangan mabuk kebaratan. Ketahuilah
dua-duanya, pilihlah mana yang baik dari keduanya itu, supaya kita bisa memakainya dengan
selamat di hari yang akan datang kelak. Inilah tugas berat untuk penganjur kita yang mau
memperhatikan nasib bangsa ini, bangsa Indonesia kelak.

Catatan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana:

Tuan Purbatjaraka mengatakan bahwa saya kadang-kadang meniadakan, kadang-kadang


mengakui adanya kelanjutan zaman silam dengan zaman sekarang. Saya keberatan dengan
”kadang-kadang” yang dipakai Tuan Purbatjaraka. Menurut perasaan saya, ”kadang-
kadang” menunjukkan sesuatu yang sangat semaunya sendiri. Padahal menurut pikiran
saya, nyata benar, kadangkala ada hubungan antara masa yang silam dengan masa yang
sekarang, dan kadangkala tidak.

Dalam arti mutlak masa yang sekarang selalu berhubungan dengan masa yang silam.
Sejarah berlanjut terus. Tidak ada satu kekosongan antara dua bagian sejarah, sebab
hakikat sejarah ialah perjalanan waktu yang tidak ada hentinya.

Namun, sejarah selalu dibagi-bagi orang menurut ciri khas yang terdapat dalam penggalan
sejarah. Revolusi Perancis, misalnya, dianggap orang sebagai suatu batas dalam sejarah.
Bentuk pemerintahan kuno telah tertutup, lenyap, tidak berlanjut lagi. Sejarah baru pun
dimulai. Dalam arti ini pulalah saya berkata, bahwa zaman pra-Indonesia tidak berlanjut
dengan zaman Indonesia. Zaman pra-Indonesia sudah tertutup dan sekarang mulai zaman
Indonesia. Antara kedua zaman itu ada perbedaan : yang satu mengandung semangat
Indonesia yang insaf dan sadar, yang lain tidak. Dalam perbedaan ini pun saya menyadari
bahwa perbedaan tentang kebudayaan dan sejarah bukanlah seperti perbedaan dalam
matematika : Lingkaran dengan segitiga selalu jelas perbedaannya. Sebaliknya, zaman pra-
Indonesia dengan zaman Indonesia ada bent uk peralihannya meskipun batas keduanya
menjadi kabur.

Hubungan antara zaman yang silam dengan zaman yang baru itu tidak ada sama sekali,
apabila kita hanya menemui pencipta kebudayaan baru orang per orang. Seorang pencipta
kebudayaan baru mencipta menuruti getar jiwanya.

Ia tidak usah sedikit pun memedulikan kebudayaan nenek moyang dulu. Yang terpenting,
malah satu-satunya yang penting, baginya ialah gerak jiwanya sendiri. Ucapan ini sama
sekali tidak bersangkut paut dengan hal-hal yang tidak disadari di dalam jiwanya itu. Kalau
kita berbicara tentang masalah yang tidak disadari itu, maka terlampau lebarlah pintu yang
akan terbuka bagi dugaan-dugaan. Akhirnya, segala sifat manusia akan muncul padanya.

Masalah-masalah yang tidak disadari hidup dalam jiwa seseorang pencipta baru dapat kita
ketahui, apabila ciptaannya sudah selesai. Baru kita dapat membandingkan , berapa banyak
ia terpengaruh oleh zaman yang silam, berapa banyak ia terpengaruh oleh kebudayaan
asing. Pengaruh asing tak selalu kurang dari pengaruh zaman yang silam.

Saya tidak pernah berkata bangsa kita harus selalu mengejar Barat dari belakang. Bukan
pekerjaan kita membeo pada Barat. Kita hanya mesti secepatnya memperoleh sifat dinamis
Barat yang melahirkan kebudayaan Barat yang dinamis. Bangsa kita hanya mungkin
mempunyai harapan untuk masa yang akan datang, apabila semua yang dicapai oleh Barat
itu membutuhkan waktu berabad-abad, dapat menjadi milik kita dalam waktu yang
singkat. Sesudah itu pastilah kita akan mencari jalan sendiri, bersama-sama atau tidak
bersama-sama dengan bangsa lain di muka bumi.

Kalau saya berkata bahwa kebudayaan yang baru itu bukan berakar di masa yang silam,
tetapi di masa yang akan datang, maka maksud saya bahwa segala daya cipta dalam
kebudayaan baru itu hanya terjadi menurut keperluan masyarakat yang akan datang. Tenaga
pendorongnya ialah cita-cita penduduk kepulauan ini untuk mampu duduk sejajar di
pergaulan bangsa di masa yang akan datang. Generasi muda menatap ke depan, apa yang
mau dikejarnya dan bukan menengok ke belakang, apa yang sudah ditinggalkannya.

Saya tidak pernah berkata bahwa generasi baru tidak usah tahu kebudayaan lama. Saya
hanya berkata bahwa generasi baru harus bebas, jangan terikat pada kebudayaan lama.
Generasi baru harus mengetahui sebanyak mungkin tentang semua kebudayaan dunia dan di
dalamnya tentu mencakup kebudayaan nenek moyang sendiri.

[1] Mengucapkan banyak terima kasih kepada Tuan Armijn Pane yang telah suka memberi
pertolongan memberi nomor dan tanggal kabar kedua tersebut di atas.

Semboyan yang Tegas (Kritik Terhadap Beberapa Prasaran


Kongres Permusyawaratan Perguruaan Indonesia) - Sutan
Takdir Alisjahbana
Sebagai kongres yang pertama, Permusyawaratan Perguruan Indonesia yang berlangsung di
Solo tanggal 8, 9, dan 10 Juni ini boleh dikatakan berhasil. Saya katakan berhasil terutama
sekali yang saya maksudkan ialah berhasil mendirikan sebuah badan pengurus perkumpulan
yang permanen, yang tetap akan menghubungkan beberapa perguruan bangsa Indonesia.
Silaturahmi dan kerja sama yang lahir dari perkumpulan itu akan bermanfaat bagi perguruan
bangsa Indonesia di kemudian hari.

Namun, sementara itu ada suatu hal yang kurang menggembirakan hati saya. Bangsa kita
terkenal bangsa yang sangat hati-hati. Biar lambat, asal selamat, itulah semboyannya.
Sebelum mengerjakan sesuatu, dipikirkannya segala akibatnya dulu. Orang hendak bepergian
melihat hari baik dan hari buruk, merenung berhasil atau tidak perjalanannya. Memakan
waktu berhari-hari lamanya. Maka di dalam prasaran yang diucapkan oleh beberapa
pembicara pada kongres itu terbayang pula oleh saya sifat bangsa kita yang sangat hati-hati
itu. tentu hati-hati ada faedahnya, tetapi satu hal jangan dilupakan. Orang yang terlalu hati-
hati kalah dalam berlomba dengan orang yang kalau perlu berani menerima risiko segala
perbuatannya.

Kehati-hatian yang saya maksud terkait dengan masalah ini ialah kecenderungan anti-
intelektualisme, anti-individualisme, anti-egoisme, anti-materialisme yang mendominasi isi
pidato sebagian besar dari pembicara itu, bahkan ada yang berlebihan. Tuan Drs. Sigit
menunjukkan anggapan bahwa pengetahuan ialah kekuatan bahaya anarkis yang dilahirkan
pikiran liberal, bahaya pendidikan yang individualistis, bahaya terlalu mengedepankan hak
individu (baca dalilnya yang ke-2, 3,4 , dan 5).
Ki Hajar Dewantara berkata, bahwa ”kecerdasan pikiran dan ilmu pengetahuan itu selalu kuat
berpengaruh atas pertumbuhan egoisme dan cinta kebendaan (baca: dalil 3). Ia pun berkata
bahwa mengasah daya pikir delapan jam di sekolah melahirkan intelektualisme, tapi
menyebabkan terpisahnya sekolah dari kehidupan keluarga, maka sia-sialah usaha pendidikan
budi pekerti dan budi khalayak di ruang keluarga itu.”

Dr. Sutomo mendirikan perguruan pemerintah sebab di samping perguruan itu disandarkan
kepada kebutuhan pemerintah, ia pun terutama mementingkan kecerdasan akal (dalil 1 dan
2).

Tuan Sutopo Adisaputra berkata dalam dalilnya yang ke-6 bahwa pengajaran umum yang
diberikan pemerintah ”sebagian besar hanya mementingkan kemajuan pikiran untuk
menguasai pemikiran teoritis.”

Tuan Dr. Wediodiningrat memukul habis-habisan kecerdasan otak cara sekarang. Sebab,
katanya kecerdasan itu membangkitkan pertempuran batin antara ”aku” yang satu dengan
”aku” yang lain. Maka dianjurkannya melebur perasaan ”aku” yang mendatangkan pendirian
bagi manusia dan menghindari kekacauan bagi dunia.

Terhadap pendirian yang jelas berdasarkan agama Buddha ini saya hanya bisa
mengemukakan bahwa perasaan ”aku” bukanlah penderitaan, tetapi kenikmatan. Pergulatan
”aku” itu bukanlah kekacauan, tetapi kegelisahan semangat untuk bangkit. Dunia tidak
pernah kacau, selalu ada di dalamnya tenaga penyeimbang. Dapat mengikuti otak terbang
setinggi mungkin, itulah rahmat terbesar yang diberikan kepada manusia.

Timbulnya perbedaan paham itu karena perbedaan kepercayaan, perbedaan agama. Orang
Islam sulit dapat sepaham dengan orang Buddha tentang soal ”aku”.

Yang hendak saya nyatakan sekarang hanyalah bahwa prasaran itu kebanyakan mengandung
semangat anti-inteletualisme, anti-egoisme, dan anti-materialisme. Di samping yang negatif,
yang anti itu ternyata kebanyakan menghendaki kembali kepada yang lama, lari ke pesantren.
Bukan suatu kebetulan Tuan Dr. Sutomo, Ki Hajar Dewantara, dan Sutopo Adisaputra sama-
sama mempropagandakan pesantren dalam prasarannya, meskipun misalnya pesantren yang
dikemukakan Dr. Sutomo tidak sama dengan pesantren yang dikehendaki oleh Ki Hajar
Dewantara. Kalau saya tidak keliru, Dr. Sutomo mengemukakan pesantren terutama sekali
untuk menekan biaya menyebarkan kecerdasan. Bagi Ki Hajar Dewantara, pesantren adalah
pusat pendidikan budi pekerti, sebagai lawan sistem sekolah Barat.

Maka menurut pikiran saya, dalam pendirian anti-intelektualisme, anti-materialisme, dan pro-
pesantren ini, ada terselip kesalahan berpikir, kesalahan analisis, kesalahan mengemukakan
persoalan.

Intelektualisme, individualisme, egoisme, dan materialisme bukanlah soal masyarakat


Indonesia, tetapi soal masyarakat Barat. Dalam kecerdasan otaknya yang tinggi melambung,
dalam nafsunya yang tak terbatas, dalam kebebasan manusia sebagai individu untuk berpikir
dan berbuat sekehendak hati, dunia Barat mendapat kekayaan dan kekuasaan luar biasa.
Namun sebaliknya, dalam hal itu juga dunia Barat ambruk terpuruk. Akibatnya, dunia Barat
menjadi kacau: persaingan yang hebat dalam segala bidang kehidupan, pertarungan sengit
antarbangsa, antarkelas, dan antarmanusia.

Umumnya kaum terpelajar kita sekarang mengarahkan matanya ke Barat. Buku ahli-ahli
Barat dipelajari, teori ahli-ahli Barat dikaji. Dan rupa-rupanya dalam hal tersebut tanpa
disadari persoalan Barat dijadikan persoalan bangsanya sendiri. Inteletualisme,
individualisme, egoisme, dan materialisme yang mengacaukan dunia Barat itu tampak
baginya sebagai momok yang seolah-olah juga mengacau di negerinya sendiri. Dan mereka
pun tanpa sengaja turut berteriak-teriak bersama ahli Barat, memukul intelektualisme,
individualisme, egoisme, dan materialisme yang sebenarnya baru merajalela di Barat.

Kalau kita kaji benar, persoalan bangsa kita bukannya soal intelektualisme, bukan soal
egoisme, dan bukan pula soal materialisme. Kalau kita analisis masyarakat kita dan sebab-
sebab kekalahan bangsa kita berlomba dengan bangsa-bangsa di dunia, nyatalah kepada kita
bahwa mandeknya, matinya, tiada bersemangatnya masyarakat bangsa kita karena selama
berabad-abad kurang memakai otaknya, kurang sifat egoismenya, (yang saya maksudkan
dalam arti positif), kurang sifat materialismenya. Dalam hal kecerdasan berabad-abad bangsa
kita menjadi parasit, hidup seperti benalu yang menempel ke masa silam. Bangsa kita tidak
mau mengasah otak dan berpikir kreatif, hanya mengikuti arus kebiasaan.

Perasaan pribadi, kepribadian di dalam bangsa kita dimatikan. Karena dalam masyarakat kita
yang lama, setiap orang terikat oleh bermacam-macam ikatan: adat istiadat, takhayul, pikiran,
dan pandangan yang bukan-bukan.

Setiap orang terikat dalam ikatan keluarga, dalam ikatan orang sedesa, dalam ikatan agama
sehingga pribadinya tidak dapat berkembang dengan sempurna. Pembaruan yang lahir karena
perasaan tidak senangnya generasi baru terhadap kehidupan generasi lama tidak dapat
direalisasikan, karena individu sangat terikat, tidak bisa bergerak. Tentang egoisme boleh kita
katakan bahwa bangsa kita terlampau murah hati, terlampau penderma. Di negeri kita tak ada
orang mati kelaparan, di negeri kita orang hidup tolong-menolong, di negeri kita siapa pun
bebas mencari rejekinya dan mengumpulkan kekayaan sekehendak hatinya. Dan bangsa yang
hidup dengan uang segobang, yang mempunyai pakaian, yang selalu melekat di badan dalam
keadaan kering dan basah, yang tidur di kolong jembatan, di dalam gubug reyot, bangsa yang
serupa itu tak dapat kita katakan bangsa yang diperhamba materialisme. Justru sebaliknya.

Sesungguhnya soal bangsa kita yang sebenarnya adalah soal kurangnya kecerdasan, soal
kurang hidupnya individu, soal terlampau pemurahnya (kurang egoismenya) tiap-tiap orang,
soal kurang giatnya orang mengumpulkan harta dunia. Masyarakat bangsa kita yang statis
hanya dapat menjadi dinamis kalau kecerdasan bangsa kita diasah setajam mungkin, apabila
individu dalam bangsa kita dihidupkan sehidup-hidupnya, apabila sifat pemurah hati yang
terlampau besar di kalangan bangsa kita itu dikurangi, apabila di kalbu bangsa kita dibangun
pemahaman betapa besarnya kebutuhan lahir yang sesungguhnya diperlukan dan halal bagi
segala manusia di dunia ini. Dan sesungguhnya masyarakat bangsa kita telah mulai dinamis
dalam dua-tiga puluh tahun terakhir ini. Itu karena pendidikan ala Barat yang dipandang
sinis: intelektualistis, individualistis, egoistis, dan materialistis.

Berkat didikan Barat itu, bangsa kita mulai memakai otaknya, mulai mempertimbangkan
sendiri semua masalah, mulai berontak sebagai manusia yang ikut arus kebiasaan. Terhadap
semua masalah, masyarakat di kalangan bangsa kita mulai timbul pikiran baru, orientasi baru:
dalam hal politik, sosial, kebudayaan, dan agama.

Dengan menerima didikan Barat, di kalangan bangsa kita mulai hidup individu, mulai lahir
kepentingan pribadi. Bangsa kita mulai tahu hak-haknya sebagai manusia yang dianugerahi
perasaan dan pikiran sendiri. Ia mulai berani melepaskan dan memutuskan semua ikatan adat,
ikatan takhayul, ikatan kebiasaan, dan lain-lain. Ia mulai merasa dirinya sebagai manusia
bebas.

Melalui didikan Barat ia mulai memikirkan dirinya sendiri. Tidak takut mengemukakan
pendapat pribadi. Mulai sadar haknya sebagai manusia dan sebagai anggota bangsa. Ia mulai
berjuang bagi kepentingan dirinyadan kepentingan bangsanya.

Berkat didikan Barat, bangsa kita mulai tidak mau hanya asal sekadar hidup. Kaum yang
mendapat didikan Barat yang materialistis itu tidak dapat dan tidak sudi hidup dengan uang
segobang sehari. Pakaiannya tidak cukup lagi hanya sehelai saja dan mulai berminat tinggal
di rumah yang layak. Ia mulai menghargai uang dan harta, dan mulai bekerja keras untuk
mengumpulkan uang dan harta, yang sebenarnya menjadi hak dan kewajiban tiap-tiap orang.

Didikan Barat yang baru setetes diterima bangsa kita hanya dalam dua-tiga puluh tahun
terakhir ini telah mulai melahirkan ahli pikir bangsa kita. Pelopor bangsa kita yang
melahirkan pengalaman pribadinya sendiri, pahlawan kita yang berjuang untuk
mempertahankan kepentingan dirinya dan golongannya, kaum tani, saudagar, dan hartawan
bangsa yang dengan segala daya upaya mengumpulkan bagiannya dan bagian bangsanya dari
harta dunia ini.

Baru sedikit tergugah kecerdasan bangsa Indonesia, baru sebagian kecil individu bangsa kita
yang sadar, baru sedikit bangsa kita yang mulai memikirkan kepentingan dirinya dan
golongannya sendiri, dan baru sedikit pula bangsa kita yang mulai berlomba mengumpulkan
harta dunia yang sama sekali tidak terkutuk itu, dan sekarang kaum pendidik bangsa kita
sudah mulai khawatir dan berteriak: Saliblah intelektualisme, saliblah individualisme,
saliblah egoisme, saliblah materialisme.

Pembaca jangan keliru, bukan saya berpihak pada intelektualisme, bukan saya menyukai
individualisme, bukan saya gila akan egoisme, dan bukan saya memuja materialisme. Saya
pun tahu bahwa yang dimaksud orang adalah dampak negatifnya, yaitu keburukan dan tidak
enaknya akibat terlampau tajamnya otak, terlampau hidupnya individu, terlampau
menonjolnya perasaan kepentingan diri sendiri, dan terlampau rakusnya mengumpulkan harta
dunia. Dalam pikiran saya, orang terlalu cepat mengedepankan kekhawatiran, ketakutan, dan
berteriak-teriak. Kita belum perlu merasa cemas dan takut bahaya intelektualisme,
individualisme, egoisme, dan materialisme. Bahaya itu adanya di dunia Barat. Kepentingan
bangsa kita yang pertama dan terutama ialah membangun kecerdasan, menghidupkan
individu, membangkitkan kesadaran akan kepentingan sendiri, dan mendorong orang bekerja
keras dan berjuang untuk penghidupan yang layak di kolong langit ini.

Justru kecemasan dan ketakutan kita itu akan besar bahayanya jika kita menjadi seorang yang
tak berani berjalan di jalan raya sebab takut digilas mobil. Karena cemas dan takut isiko
berjalan di jalan raya itu, lalu menempuh jalan hutan dan akibatnya tertinggal di belakang.
Dalam segala sesuatu akan ada risikonya, ada yang kurang enak, dan kurang baiknya. Orang
yang hendak memakan mangga enak harus memetiknya dengan kulitnya yang pahit rasanya.
Siapa yang tidak mau menerima kulitnya, ia tidak akan merasakan nikmatnya daging mangga
yang nyaman itu.

Dan Indonesia Muda yang ingin mendudukkan bangsanya sejajar dengan bangsa-bangsa lain
di dunia ini, tak boleh terlalu khawatir memikirkan risiko. Ia harus menguatkan tekad apa
yang dikehendakinya, apa yang dicita-citakannya, dan kapalnya terus dilayarkan menuju ke
arah cita-cita itu.

Indonesia sekarang perlu putra-putra yang tajam pikirannya, individu yang mempunyai
pikiran, pandangan, dan perasaan sendiri, yang tahu mengemukakan dan mempertahankan
kepentingan dan haknya, yang senantiasa berjuang keras memperbaiki kehidupan dan
penghidupannya lahir batin. Untuk mencapai semua itu, maka suara negatif yang terdengar
pada kongres Permusyawaratan Perguruan Indonesia di Solo itu:

anti-intelektualisme

anti-individualisme

anti-egoisme

anti-materialisme

harus diganti dengan semboyan positif yang gembira berapi-api:

Otak Indonesia harus diasah menyamai otak Barat!

Individu harus dihidupkan sehidup-hidupnya!

Kesadaran akan kepentingan diri harus disadarkan sesadar-sadarnya!

Bangsa Indonesia harus dianjurkan mengumpulkan harta dunia sebanyak mungkin!

Ke segala penjuru bangsa Indonesia harus berkembang!


Kongres Pendidikan Nasional (Menyambut Pandangan Tuan
Sutan Takdir Alisjahbana) - R. Sutomo
Di dalam karangan yang bertajuk ”Semboyan Tegas”, Tuan Sutan Takdir Alisjahbana
mengkritik beberapa prasaran Kongres Permusyawaratan Perguruan Indonesia, yang
berlangsung di Solo tanggal 8, 9, dan 10 Juni 1935. Tuan Sutan Takdir Alisjahbana
menyayangkan bahwa beberapa prasaran itu terlalu banyak mengandung semangat anti-
intelektualisme, anti-egoisme, anti-individualisme, dan anti-materialisme. Karena berisi suara
negatif, maka harus diganti dengan semboyan yang tegas, yang positif.

Penulis pun merasa kurang puas terhadap hasil Kongres, (cat. Peny) walaupun mengakui
hasil yang telah diperoleh dari Kongres Pendidikan Nasional tersebut.

Sebagai salah seorang pemrasaran pada kongres tersebut, wajiblah saya menerima kritik ini.

Dalam kesempatan ini juga, hendak saya pakai untuk memaparkan pikiran dan cita-cita saya
lebih luas dan lebih dalam.

Dengan begitu saya harap beberapa ”kekurangan” pada kongres bangsa yang pertama itu
mendapat perbaikan sehingga dapat dilakukan lebih sempurna dan lebih memuaskan.

Sama dengan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana, saya juga merasa kurang puas terhadap hasil
kongres perguruan yang pertama ini. Sebab, sidang dibangun ala Barat, seperti kongres di
Eropa. Orang tidak ada kesempatan berbicara agak panjang dan memuaskan. Oleh karena
itu, seharusnya kongres lebih dahulu menentukan inti yang mau dibicarakan, harus dikaji
masak-masak, disaring, dan diambil hal yang perlu-perlu dan pentingnya. Satu misal:

Dalam kongres ilmiah yang diadakan di Jakarta pada bulan Oktober yang akan datang ini
terlalu banyak dokter yang akan memajukan pandangannya, usulnya, atau pengalamannya di
dalam sesi ”kedokteran”. Maka ditetapkan seorang pembicara hanya akan mendapat waktu
dua puluh menit untuk berbicara dan bertukar pikiran. Dalam waktu itu, termasuk menyajikan
film dan sebagainya. Orang-orang sibuk mengatur dan menyusun pidatonya, agar dapat
tercapai maksudnya dalam waktu sesingkat itu. Karena itu, sebulan sebelum kongres dibuka,
orang-orang yang berkepentingan sudah mendapat pokok-pokok pembicaraan masing-
masing. Sesudah kongres itu, beberapa majalah menyediakan tempatnya untuk melanjutkan,
mengupas soal-soal, yang boleh jadi belum begitu terungkap.

Karena organisasi yang sedemikian ini tidaklah mudah dicapai, terutama belum terbiasa di
kalangan bangsa kita. Maka, alangkah baiknya kalau dalam kongres pendidikan kita tempo
hari, pada tiap-tiap malam dimajukan hanya seorang pemrasaran. Sedangkan untuk
mencukupi keperluan para pendebat yang datang dari seluruh Indonesia, waktu berbicara
jangan terlalu singkat. Akan tetapi, rupanya mengingat tempo, hal itu tidak memuaskan.

Karena kurangnya waktu, ditambah pula karena kebanyakan dari pendengar belum
mempelajari persoalan yang dibicarakan, bangsa kita pun umumnya masih belum dapat
berbicara secara teknis, yaitu berbicara tentang apa yang harus dibicarakan saja, yang
berhubungan dengan soal yang perlu penjelasan, maka beberapa kalangan di antara
pendengar belum puas rasanya dengan hasil kongres yang pertama itu sehingga banyak lagi
saudara yang tidak dapat ”merasakan” dan ”mendekati” kehendak dan kemauan para
pemrasaran pada kongres itu.

Tuan Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan kongres ini bersuara anti-intelektualisme, itu
kurang benar. Seluruh pemrasaran adalah orang yang mendapat didikan ala Barat. Tidak satu
pun dari mereka yang tidak mengaku, menghormati atau merasa heran bagaimana cara
”mengolah kecerdasan” seperti yang dilakukan oleh Barat itu. Dr. Radjiman berpendapat
bahwa cara memelihara ”akal” adalah ketelitian (perfect). Pujian yang kita akui sungguh pada
tempatnya. Bagaimana mungkin ada yang berpendapat seolah-olah pemrasaran cenderung
anti-intelektualisme?!

Saya kira tidak lain karena para pemrasaran menunjukkan “buahnya” intelektualisme itu.
Dengan kecerdasan akal kemajuan alat kemanusiaan yang lainnya tidak sama. Kecerdasan
alat kemanusiaan yang lain itu jauh di belakang kecerdasan intelektualisme tadi. Tudingan itu
agaknya tertuju kepada kita yang baru berkembang sebagai bangsa. Jangan sampai menimpa
diri kita. Jangan sampai kita juga ikut merasakan beberapa ”kesedihan dan kesakitan”
masyarakat seperti di Benua Eropa, yang waktu ini sedang sibuk mencari jalan baru, untuk
melenyapkan pengaruh intelektualisme, yang wujud dan akibatnya sungguh merusak. Di
mata internasional, kecerdasan kita masih terbelakang sekali. Hal ini dapat menguntungkan
kemajuan kita juga agar kita waspada dan bijak. Bukankah di dalam evolusi kita dapat
melompati beberapa fase perkembangan tingkat kecerdasan itu, yang di Barat harus dialami
dengan pahit dan getirnya? Seandainya kita sebagai bangsa sudah mampu membuat atau
membeli kapal terbang, tentu kapal yang modern akan menjadi pilihan kita. Sedangkan
bahaya, kesulitan, dan kecelakaan akibat kapal terbang yang kuno tak akan menjadi
pengalaman dan risiko kita.

Maksud pemrasaran di dalam sarannya tidak lain hanya mengimbau kepada bangsa kita:
Marilah Saudara, kita menyusun perguruan nasional yang lebih sempurna sifatnya daripada
perguruan di Benua Barat, yang berlangsung di negeri ini, yang oleh ahli-ahli pendidik
bangsa Eropa pun sudah diakui kekurangan dan kesalahannya. Guna memenuhi
”kekurangan” itu, Taman Siswa menunjukkan salah satu ciri perguruan itu, yang
menunjukkan nilai tambah perguruan. Yaitu, kecakapan murid dalam menunjukkan perasaan
yang halus, yang berwujud, berupa ”menari” atau ”menyanyi yang merdu”. Perasaan ini
mendekatkan perasaan cinta kita kepada bangsa, sehingga tumbuh dengan sendirinya
kecintaan kepada tanah air dan bangsa itu. Membangun kemauan untuk bekerja dengan
semangat, ikhlas, dan tulus hati untuk kemegahan nusa dan bangsa.

Momen ini bagi bangsa kita yang sadar, adalah momen yang tepat sekali. Namun, merupakan
momen dengan beban berat. Momen yang meminta kita, penuntun bangsa, dengan hati ikhlas,
keluhuran budi, kegembiraan, dan tekad yang kuat, bergerak dan berjuang, serta berkorban
mengabdikan diri untuk keperluan nusa dan bangsa serta mengejar keadilan dan kebenaran.
Tidak cukup kiranya, kalau penuntun bangsa itu, yaitu mereka yang menjadi tulang belakang
masyarakat Indonesia, hidupnya cuma punya ”alat yang tajam” seperti kecerdasan.
Sedangkan ”manusianya”, orangnya, aku-nya sama sekali tidak mendapat pemeliharaan dan
didikan yang dapat mengembangkan jiwanya yang memungkinkan orang itu, individu yang
memakai kecerdasannya, perasaannya, budinya, dan semua kemampuannya, guna keperluan
dan keelokan nusa dan bangsa. Kita memerlukan bangsa yang kaya, bukan karena
kecerdasannya saja, yang dipelihara sebaik-baiknya dan mencapai kecerdasan setinggi-
tingginya. Namun, yang paling utama kita perlu memiliki ”Manusia Indonesia” yang
memiliki semua sifat yang baik dan luhur, hingga ”aku”-nya yang menjadi pemimpin dan
mengolah semua kemampuan itu. kita pun dapat bergerak sekuat-kuatnya, bekerja seaktif-
aktifnya, guna menyempurnakan masyarakat kita.

Tuan Sutan Takdir Alisjahbana berpendapat antara lain bahwa suara yang diperdengarkan
oleh para pemrasaran di Solo itu seolah-olah bersifat negatif, karena mengandung
jiwa anti belaka. Maka sesungguhnya para pemrasaran, setelah menunjukkan kekurangan
pelajaran secara Barat, sebagaimana yang ditemui di tanah air kita itu, masing-masing dari
mereka itu lantas memajukan skemanya sendiri untuk pembangunan perguruan nasional
kita: begitu terinci pembicaraan salah seorang dari antara pemrasaran, Tuan Sutopo
Adisaputro sehingga orang merasa terbawa ke bidang khusus yang orang tidak dapat
mengikutinya.

Anti-intelektual? Bukan itu maksud kita. Yang kita minta pada kongres tidak lain sebaiknya
perguruan nasional jangan mementingkan kecerdasan otak belaka, karena otak itu hanya
salah satu ”instrumen” dari adanya ”aku”.

Juga amat keliru kalau orang menyangka, jika Dokter Radjiman di dalam prasarannya
bersifat ”anti-individualisme”. Maksudnya jauh dari itu. ”Aku”-nya kanak-kanak itu sempit
sekali, lebih sempit dari perasaan ”individu”, perasaan aku dari seorang yang telah dewasa.
Pada saat bangsa kita yang jumlah penduduknya berjuta-juta, kecerdasannya umumnya masih
pada taraf kanak-kanak meskipun dasar peradaban ada di dalam roh kita. Karena itu
masyarakat kita memerlukan pemimpin yang memiliki perasaan ”aku” yang tidak terbatas
sehingga semua kesulitan, kesedihan, kemelaratan, penghinaan, kekecewaan, dan seterusnya
ikut diderita oleh pemimpin bangsa kita, yang ber-”aku” besar
itu. Para pemrasaran dengan prasarannya memberi jalan agar rasa ”keindividuan” bangsa
kita mampu berkembang dengan sempurna. Akibatnya semua keluh kesah rakyat yang
dipikul dan pahit getirnya yang terasa begitu hebat, dapat berubah dan dapat menimbulkan
semangat hidup, yang bergerak dan beraksi dengan tujuan menghancurkan segala rintangan
yang menghalangi perjalanan hidup bangsa kita. Pendek kata, diharapkan terlahir kembali
kaum ”ksatria” di tengah masyarakat sebagai pahlawan yang mau menjalankan kewajiban,
tanpa mengharap ”upah” dari pekerjaannya. Pengharapan para pemrasaran ini adalah
pengharapan yang mutlak karena tanpa kehadiran golongan yang dimaksudkan itu, cita-cita
kita untuk memerdekakan dan memuliakan nusa dan bangsa akan tinggal kandas di tengah
jalan saja.

Anti-individualisme, seperti dikatakan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana bukan maksud kita.
Namun, kita mengharap adanya pribadi, ”aku” yang mahabesar perasaan ”aku”-nya sehingga
seluruh ”kelahiran perasaan” bangsa kita dirasakan dan diketahui sedalam-dalamnya dan
seterang-terangnya (oleh pribadi ”aku” tersebut. cat. peny.)

Terbayang di wajah saya, sewaktu menulis karangan ini, misalnya para nabi dengan
sahabatnya, juga beberapa pahlawan dan pujangga dari berbagai negeri dan lintas waktu,
yang karena besar perasaan ”aku”-nya dapat memperbaiki dunia umumnya dan tanah air
khususnya. Kemal Pasya, Mussolini, Hitler, Ghandi, Lenin, dan lain-lain, tidak lain
merupakan beberapa ”aku” dari masing-masing negerinya, yang merasakan benar kerusakan
negeri dan bangsanya sebagai kerusakan dan kesakitan dirinya sendiri sehingga mereka terus
berjuang sekuat tenaga untuk mengubah nasib masyarakatnya.

Kembali pada awal karangan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana, nyatalah bahwa Tuan ini juga
belum begitu dapat menerima kemauan saya dengan sistem pondok itu. Bukan untuk
meringankan biaya saja yang mendorong saya mau mempropagandakan sistem pondok itu.
Di dalam prasaran saya tersebut pada halaman 36 dari risalah “Soal Pengajaran dan
Pendidikan” tertulis keterangan yang demikian bunyinya:

“…pun bukan saja kepentingannya. Malah kepentingan pondokan itu jangan terlampau
diletakkan pada mahal atau murah biayanya, karena itu tergantung pada yang memakainya.
Yang terpenting ialah pengaruhnya atas pendidikan anak-anak kita. Dalam pondok, bukan
hanya pengajaran anak-anak itu terpelihara, tetapi juga kehidupan sehari-harinya akan
mendapat tuntunan dan pengawasan, dan seterusnya...”

Jelaslah bagi pembaca bahwa bukan perkara biaya saja yang mendorong saya memajukan
”pondok” itu. Yang mendorong saya agar bangsa kita secepatnya membangun beberapa buah
pondok, terutama sekali di kota-kota besar, karena kebanyakan anak-anak kita, yang
bersekolah di HIS, apalagi yang memilih Mulo dan AMS, tinggal berada di luar pengawasan
orangtuanya sendiri. Kebanyakan dari anak-anak kita yang bersekolah karena sedikitnya
tempat yang mempunyai sekolah yang sesuai dengan minatnya, hidup di luar pengawasan
orangtuanya yang amat berharga. Mereka, anak-anak itu, pada kenyataannya sudah mondok,
hanya saja tanpa pengawasan dan pendidikan yang kita harapkan bagi bangsa kita, agar
jiwanya, sukmanya terpelihara juga. Di samping itu tujuannya untuk menjaga anak-anak itu
pada ”masa menuju dewasa” masa usia puber, di saat seharusnya anak-anak itu mendapat
tuntunan dan batasan. Begitulah keterangan di dalam prasaran saya, terdapat pada halaman
37:

”...bagaikan air yang mendapat jalan dan tangkis yang baik dapatlah mengalir langsung.
Begitulah hendaknya karena tuntunan dan pendidikan dalam pondok itu, anak-anak kita
yang menghadapi pancaroba itu dapat melalui masa yang berbahaya tadi dengan selamat,
dan selanjutnya akan hidup berbahagia…”

Orang takut dengan adanya pondok, dikira lari ke zaman purbakala, sedang kebanyakan dari
anak-anak kita pada kenyataannya sudah mondok.
Orang menghargai setinggi-tingginya pengaruh orangtua terhadap pendidikan anak-anak kita,
sedang di dalam keadaan sehari-hari pengaruh itu sudah sedikit sekali, karena anak-anak,
apalagi anak-anak priyayi, orang bangsawan, serta hartawan harus keluar rumah guna
mencari kepintaran itu. Untuk belajar membaca dan menulis saja orang menggunakan
seorang guru. Apalagi untuk menjaga, menuntun, dan memberi teladan akan berkembangnya
sukma si murid, kehadiran guru lebih diperlukan.

Penjagaan inilah bagi pemrasaran pada kongres itu menjadi hal yang terpenting. Apa
perlunya anak yang pintar, yang bersinar kecerdasannya kalau tidak dapat memakainya
sebaik-baiknya, karena “aku”-nya tidak terpelihara dan terdidik. Kerugian besarlah yang
menjadi bagian kita. Siapa yang suka membuka telinganya, suka memakai matanya, serta
membuka hatinya, bersiaplah menghadapi kekecewaan yang besar di dalam pergaulan hidup
kita. Karena, kebanyakan anak-anak kita yang tengah belajar itu selain ”mengolah”
intelektualnya, hidupnya tidak terpelihara sama sekali, ibarat tanaman yang hidup di tengah-
tengah hutan.

Sebelum membicarakan persangkaan yang ketiga, bahwa beberapa prasaran cenderung anti-
egoisme, sebaiknya saya terangkan lebih dulu tentang pesantren dan pondoknya. Karena di
dalam kongres yang baru berakhir ternyata banyak yang kurang mengerti di antara para
pendebat tentang ”hikayat” pesantren yang saya maksudkan itu.

Pada zaman nenek saya, yaitu pada kira-kira pertengahan abad ke-19, pesantrenlah tempat
perguruan yang asli. Karena belum terdesak oleh sekolah pemerintah gubernemen, pesantren
ribuan jumlahnya. Pengaruh perguruan itu terhadap masyarakat kita, peradaban rakyat, tidak
dapat diabaikan. Hubungan antara santri-santri dewasa (istilah
sekarang mahasiswa dari universitas; di dalam pondok-pondok yang besar juga diajarkan
ilmu lahir dan batin, yang di waktu ini jarang didapati di tanah air kita) erat sekali.
Umpamanya, di waktu menanam dan menuai padi, di waktu ada kematian, di waktu bulan
Puasa, hubungan yang erat itu nyata benar. Pesantren dan pondoknya mempersatukan anak-
anak muda kita dari segala lapisan masyarakat. Anak petani, anak saudagar, anak bangsawan
berkumpul di dalam pondok itu. Keadaan lahir dan batinnya mendapat bimbingan yang sama
dari guru sehingga pemuda-pemuda itu, yang di kemudian hari memegang pekerjaan yang
beraneka warna di dalam masyarakat, merasa satu karena ikatan lahir dan batin yang telah
diletakkan, ditanam di dalam pondok dan pesantren itu. Sikap hidup bangsa kita di waktu itu,
dari lapisan mana pun, tidaklah terpecah belah, terpisah satu sama lain seperti sekarang.

Apakah yang tampak sekarang?

Anak-anak dari sekolah desa terpisah dari anak-anak sekolah standar, sedang anak-anak dari
sekolah HIS atau ELS sudah merasa dirinya lebih tinggi daripada anak-anak lainnya. Manfaat
pondok dan sistem pesantren itu sungguh tidak dapat diabaikan.

Selain itu, lihatlah buah dari perguruan kita yang asli itu. Coba bercakap dengan para kiai itu.
Sungguh mengherankan, siapapun yang berdekatan dengan mereka, logika mereka,
pengetahuan dari buku-buku yang mereka pelajari, merupakan pengetahuan yang sungguh
”hidup”. Janganlah orang memandang ”cara mengaji” saja yang oleh beberapa para pendebat
dipandang buruk. Pertimbangkan juga semua untung dan rugi yang diperoleh dari perguruan
pesantren dan yang dapat diperoleh dari Barat yang lazim pada waktu ini. Barulah orang
mendapat bandingan yang sepadan. Bandingkan kegembiraan orang-orang yang hanya
keluaran pesantren dengan orang didikan Barat yang lazim sekarang. Orang akan heran
bahwa mereka yang disebut pertama itu bisa memasuki semua lapangan pekerjaan, bisa
menduduki pekerjaan-pekerjaan yang seakan-akan bersifat merdeka, sedang angan-angan
anak-anak kita zaman sekarang kebanyakan hanya akan mencari pekerjaan.

Tiba pada pasal anti-egoisme yang dikemukakan oleh Tuan Sutan Takdir Alisjahbana.
Egoisme dan kecenderungan mencari aman untuk diri sendiri, adalah salah satu pondasi,
kecenderungan dasar yang terdapat pada kita. Ini dasar kita sebagai individu, harus ditimbang
dengan berkembangnya perasaan ”aku” yang lebih luas, dengan berkembangnya altruisme,
yaitu sifat yang mementingkan kebutuhan orang lain. Sedang egoisme itu seolah-olah bersifat
merusak, karena menghalangi perkembangan ”perdamaian” di dalam hubungan kita dengan
kita. Oleh karena itu, di dalam pengajaran apa saja, di dalam ilmu filsafat, ilmu pendidikan,
dan juga di dalam agama, tidak ada aliran yang memajukan berkembangnya perasaan
egoisme, ”aku” yang sempit itu.

Barangkali diantara kita ada yang mengira bahwa bangsa kita tidak terlalu egois seperti
bangsa lain. Itu dugaan yang keliru. Mereka yang sungguh-sungguh hidup di antara rakyat,
mengetahui dengan nyata bahwa altruisme (sifat mengedepankan kepentingan orang lain)
yang tampak di dalam masyarakat kita itu, semata-mata karena ikatan dari adat
kebiasaan. Altruisme mengandung rasa ”berkorban”, dan berkorban itu menimbulkan
kegembiraan hati, kerelaan yang tidak terbatas dan yang tidak mengharap buahnya untuk
keuntungan diri sendiri karena hasil pengorbanan itu. Maka dilihat dari sudut ini, pastilah
orang akan memperbaiki pendapatnya bahwa bangsa kita itu tidak begitu egoistis.

Maksud para pemrasaran bukan berarti anti-egoistis merupakan sikap yang negatif. Namun,
mereka menyeru dengan cara mendidiknya, agar di kalangan kita muncul pahlawan-
pahlawan, ksatria, dan pujangga, yang mengembangkan sifat altruisme-nya yang menjadi
dasarnya si aku. Oleh karena itu, hiduplah di tengah-tengah rakyat dan masyarakat kita,
tenaga-tenaga yang menyediakan diri untuk memuliakan dan menghiasi nusa dan bangsa,
dengan hiasan yang timbul dari keluhuran budi, kehalusan rasa, kemurahan hati, karena
sinarnya si aku, yang tidak dibatasi oleh sifat asli egoisme itu.

Tuduhan yang keempat, yaitu tentang anti-materialisme, pada hakikatnya kita akui
kebenarannya. Karena pada waktu itu yang menjadi soal pembicaraan ialah soal perguruan
nasional! Soal ini, diakui oleh bulatnya Kongres, baru dijawab dengan puas bahwa kita dapat
membentuk guru-guru, kiai-kiai, yang suka hidup dengan sederhana, tetapi toh penuh
kesenangan dan kegembiraan di dalam hidupnya, karena panggilan hidup, yaitu memberi
penerangan bagi bangsa kita yang miskin. Guru-guru ini, karena kemiskinan masyarakat kita
yang hidup dalam kegelapan tidak cukup tersedia. Kalau mereka memilih pekerjaan itu,
karena faktor ”penghasilanlah” yang menjadi tujuannya. Perguruan kita akan kandas di
tengah jalan. Pada masa ini banyak kaum terpelajar dan akademisi yang mengabdikan dirinya
di dalam perguruan nasional, yang kemudian juga berjasa besar di dalam kalangan itu. Akan
tetapi, masuknya bukan tujuan hidup, tetapi karena keterpaksaan oleh keadaan zaman yang
serbasusah ini. Masalah perguruan bangsa kita tidak boleh disandarkan pada keadaan yang
sementara ini.

Bukankah lebih baik dan sempurna, apabila calon-calon guru kita itu sebelum memegang
jabatan dan kewajiban yang amat berat itu mengetahui hal ini dan dididik dulu sehingga
mereka tidak begitu terikat hidupnya oleh materialisme kebutuhan duniawi, yang dapat
mengganggu perjalanan kemajuan?

Karena itu para pemrasaran mengharap adanya guru-guru dan perguruan yang pertama yang
terutama sekali memelihara dan mendidik si aku yang hidup, kata Dokter Radjiman.
Akibatnya guru-guru kita khususnya, dan pemimpin masyarakat umumnya, di dalam berbagai
bidang, seperti kaum politisi, hartawan, pujangga, dapat hidup senang, rela dan setia,
mempunyai cinta dan ketetapan hati, meskipun keadaan berubah serta kurang (secara
materi, cat.peny.), karena mereka sendiri tidak merasa dan mengakui akan ”kekurangan” itu.
Ada perasaan hidup di dalam hati sanubari yang berkilau sinarnya. Hal yang akan memaksa
bangsa kita tunduk dan menghormati mereka adalah kekayaan batinnya, bagus jiwanya, dan
keindahan sukmanya!

Perguruan nasional kita harus memiliki guru-guru yang demikian sifatnya. Perguruan kita
harus dapat menyiapkan pemuda-pemuda yang tulus menyediakan dirinya menjadi pekerja
sukarela guna menuntun dan menerangi masyarakat kita.

Kalau kita tidak sanggup menyediakan pemikul-pemikul obor kemajuan dan keadaan seperti
itu, janganlah mengharapkan datangnya Indonesia Merdeka yang mulia. Jangan
mengharapkan Indonesia Merdeka – sekarang juga!

Sekali Lagi (Semboyan yang Tegas) - Sutan Takdir Alisjahbana


Tuan Dr. Sutomo menyambut kritik saya terhadap beberapa prasaran kongres
Permusyawaratan Perguruan Indonesia. Selain kritik, kesempatan itu dipakainya untuk
membentangkan pikiran dan cita-citanya. Soal yang dipercakapkan menjadi kabur: kita sulit
untuk membedakan di mana Tuan Dr. Sutomo menyambut kritik, dan di mana ia
membeberkan pikiran dan cita-citanya.

Dan sesungguhnya setelah membaca karangan Tuan Dr. Sutomo itu, sulit bagi saya untuk
mengambil kesimpulan: setuju atau tidakkah Tuan Dr. Sutomo dengan Semboyan Tegas yang
saya ajukan? Di seluruh karangan itu ia menyangkal bahwa prasaran itu bersifat negatif,
tetapi di samping itu ia mencoba menegaskan kritik saya bahwa beberapa prasaran itu
sesungguhnya bersifat negatif.

Kritik saya yang mengatakan prasaran itu cenderung negatif, cenderung anti-intelektualisme,
anti-individualisme, anti-egoisme, dan anti-materialisme, saya dasarkan atas sikap dalil-dalil
yang dikemukakan oleh pembicara masing-masing itu sendiri. Dalam sikap dalil-dalil yang
saya sebut itu membuktikan bahwa pembicara-pembicara itu memikirkan soal perguruan dan
masyarakat Barat yang menurut anggapan mereka intelektualistis, individualistis, egoistis,
dan materialistis. Atas pikiran itu disusunlah perguruan bagi bangsa Indonesia, yang menurut
cita-citanya tak mengandung kesalahan-kesalahan di Barat itu. Atau dengan kata lain, yang
tidak intelektualistis, individualistis, egoistis, dan materialistis. Pendirian inilah yang saya
katakan pendirian negatif, pendirian yang terlampau banyak mengandung kata ”tidak”.

Tuan Dr. Sutomo sama sekali tidak menyangkal kritik saya ini. Malah ia berkata pada
karangan yang kedua ... Maka sesungguhnya pemrasaran, sesudah menunjukkan kekurangan
pelajaran secara Barat, seperti yang ditemukan di tanah air kita itu, satu-satunya dari
mereka, lantas memajukan skemanya sendiri untuk pembangunan perguruan nasional kita in
detail.

Justru inilah yang saya kritik. Inilah yang saya katakan negatif. Menurut pikiran saya untuk
menyusun perguruan nasional kita, bukankah kita harus mengambil titik tolak kekurangan
pengajaran ala Barat. Titik tolak kita haruslah kebutuhan masyarakat kita, itu yang saya
namakan positif.

Masyarakat kita sekarang butuh kecerdasan. Asahlah kecerdasan setajam-tajamnya.

Masyarakat kita kekurangan individu yang hidup. Hidupkanlah individu sehidup-hidupnya.

Dalam masyarakat kita, orang kurang giat mengumpulkan dan memakai harta dunia. Didiklah
bangsa kita mengumpulkan dan memakai harta dunia yang tersedia untuk semua umat.

Inilah yang menjadi pokok masalah bagi bangsa kita. Inilah yang terutama sekali harus
diperhatikan perguruan bangsa kita, apabila ingin berjalan cepat, hendak mendudukkan
bangsanya sejajar dengan bangsa-bangsa lain.

Perbedaan paham tentang positif dna negatif itu hanya perbedaan penekanan, perbedaan
mana yang lebih penting. Namun, perbedaan penekanan ini melahirkan perbedaan titik tolak,
malah menimbulkan perbedaan tujuan.

Mereka yang memikirkan kesalahan pengajaran cara Barat: lari dari Barat. Mereka yang
memikirkan keperluan masyarakat sendiri, bersikap : bergegas mengejar ke Barat.

Menurut keyakinan saya, keadaan dan susunan masyarakat bangsa kita


berubah mendekati Barat, agar kita dapat berlomba dan bertarung dengan Barat. Timur hanya
mungkin berhadapan dengan Barat apabila ia secepatnya merebut ”alat” atau ”instrumen”
yang membuat Barat kuat dan berkuasa.

Tuan Dr. Sutomo berkata pula bahwa pemrasaran dalam prasarannya tak hanya berseru pada
bangsa kita: Marilah Saudara, kita bangun perguruan nasional, yang lebih sempurna
sifatnya daripada perguruan di Benua Barat, daripada yang ala Barat, yang berlaku di
negeri kita ini, yang oleh para ahli pendidik bangsa Eropa pun sudah diakui kekurangan dan
kesalahannya.

Apabila benar kesimpulan yang dibuat oleh Tuan Dr. Sutomo ini tentang maksud
pemrasaran dalam prasarannya dapatlah saya memakainya sebagai alasan yang lebih kuat
lagi untuk menegaskan kritik saya bahwa semua prasaran itu bersifat negatif.

Perguruan bangsa kita tidak bermaksud menyempurnakan perguruan Barat yang diadakan
untuk masyarakat Barat, ataupun perguruan Barat yang diadakan di negeri kita. Kewajiban
bangsa kita tidak lebih dan tidak kurang menyeleksi keperluan dan kebutuhan masyarakat
kita. Dan berdasarkan keperluan dan kebutuhan itu, membangun perguruan kita lebih kurang
sempurna dari perguruan secara Barat. Yang harus kita ketahui ialah bahwa perguruan itu
memenuhi keperluan dan kebutuhan masyarakat kita.

Cocok benar dengan pendirian negatif itu, Tuan Dr. Sutomo berkata: Apa gunanya anak yang
pintar, yang bersinar kecerdasannya, kalau tidak dapat memakainya dengan sebaik-baiknya,
karena ”aku”-nya tiada terpelihara dan terdidik itu.

Ucapan yang demikian, menurut pikiran saya lebih cocok diucapkan oleh orang Barat yang
telah bersinar kecerdasannya. Bagi orang Indonesia yang belum merasakan sinar
kecerdasannya lebih cocok, lebih positif, mengucapkan: ”Bangsa saya kalah berlomba dan
berjuang karena kurang cerdas. Karena itu, saya harus segera mengasah kecerdasan”.

Sementara itu dalam beberapa minggu belakangan ini suara negatif yang terdengar di Solo itu
telah dijawab oleh satu suara positif di Jakarta.

Dalam ceramahnya yang singkat tentang Ruang, Pendidik-nya di Kayu Tanam di hadapan
Perguruan Rakyat di Jakarta, Tuan Syafei dengan nyata menganalisis masyarakat Indonesia.
Cacat masyarakat Indonesia akibat pasifnya bangsa Indonesia. Pasifnya bangsa Indonesia itu
karena alam Indonesia terlampau pemurah. Susunan keluarga Indonesia memberi kesempatan
kepada anggota keluarga yang pemalas untuk menjadi benalu. Dalam susunan pemerintahan
negeri kita sekarang ini, bangsa kita bekerja tidak sesuai dengan didikan yang diperoleh di
bangku sekolah tetapi didikan menurut perintah saja.

Berdasarkan analisis ini, dengan tegas dikemukakannya semboyan yang positif: Pendidikan
harus bersifat aktif, membangun daya pikir kreatif, membangun inisatif dengan semangat
bekerja dan berusaha sendiri.

Dalam susunan pikiran yang demikian, pengalaman tentang intelektualisme, individualisme,


egoisme, dan materialisme yang hanya merajalela di Barat tak mungkin mendapat tempat.
Sebab pikiran itu secara langsung terutama tertuju bagi kebutuhan masyarakat kita.

Demikian saya menegaskan kritik saya kepada beberapa prasaran kongres Permusyawaratan
Perguruan Indonesia. Dalam karangan yang berikut saya akan mengemukakan pandangan
tentang pikiran dan cita-cita Dr Sutomo sendiri.
Mencari Perbandingan (Verhouding) - Tjindarbumi
Polemik yang dilakukan antara Tuan Sutan Takdir Alisjahbana di Jakarta dengan Tuan
Sutomo di sini menarik hati benar. Bukan saja karena halus budi bahasa yang disampaikan
oleh kedua belah pihak, tetapi pula lebih-lebih karena dari masing-masing pihak tidak
menyerang untuk mencari kemenangan, msemata-mata hanya untuk mencari kebenaran saja.

Polemik yang begini namanya sehat dan suara seperti itu sayangnya sangat jarang terdengar.

Tuan Sutan Takdir Alisjahbana mengkritik pengajaran nasional di bagian filsafat bangsa kita.
Yang dikritiknya, menurut pendapat kita, yaitu kekalahan filosofi Timur yang dipandangnya
sebagai suatu kekurangan di dalam kemajuan bangsa kita. Ini ada benarnya, tetapi juga
kurang tepat untuk di cap kesalahan atau kekurangan. Sesunggunya bangsa Timur dan bangsa
Indonesia ini pada khususnya harus banyak meniru orang Barat di dalam beberapa bagian
filsafatnya, misalnya, di dalam mementingkan ilmu pengetahuan (teknik, kepandaian, dan
lain-lain), energi, dan seterusnya. Namun, jangan lupa bahwa bangsa Barat sendiri tidak
mengenal kesabaran, tidak mengenal, dan tidak tahu akan ketentraman hati. Orang Barat
membawa ilmu pengetahuan, energi, kemajuan, dan kekuatan hati kepada bangsa timur,
tetapi orang Barat terang-terangan pula meminjam ilmu Timur dalam hal kesabaran, damai,
dan ketentraman hati.

Tuan Sutan Takdir Alisjahbana dalam menguraikan pandangannya memberikan contoh-


contoh yang nyata. Diuraikan bagaimana bangsa kita harus mengejar intelektualisme, harus
memburu individualisme. Agar tidak terus-terusan menjadi pekerja rutin alias sleurmens, kata
Tuan Sutan Takdir Alisjahbana.

Keterangan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana jelas dan nyata. Ditujukannya pula batas-batas
filosofi Barat yang tidak harus diikuti.

Kesopanan Barat banyak yang sudah melewati batas sehingga dampaknya haruslah menjadi
peringatan bagi bangsa yang hendak meniru.

Banyak keterangan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana yang dapat disepakati meski di sana sini
keterangannya itu harus mendapat uraian yang lebih jelas lagi.

Tidak ada salahnya bangsa Indonesia ini menyediakan dirinya mengikuti aliran falsafah
orang Barat. Bangsa yang meniru tidak selalu dipandang kecil dan kurang. Ini dibuktikan
oleh Kerajaan Jepang.

Tiruan yang sempurna tak harus mengurangi keaslian, kebangsaannya sendiri. Bangsa
Indonesia mempunyai kesempatan yang bagus sekali untuk mengambil alih falasfah orang
Barat tanpa perlu mengalami kepahitan dan kegetirannya seperti yang digambarkan oleh naik
turunnya gelombang kemajuan di dunia Barat.

Kebesaran Kerajaan Jepang barangkali banyak sekali dibimbing oleh kepandaian bangsa
Jepang di dalam meniru yang mutakhir. Pekerjaan mereka tidak setengah-setengah. Baru-
baru ini dikirimkan kepada kita dari Jepang beberapa gambar kota di Tanah Jepang yang
semuanya boleh disebut meniru gaya Barat. Rumah-rumah di kota besar semuanya
menyerupai bangunan kota gaya Barat. Sedangkan di malam hari, jalan-jalan raya sampai
lorong-lorong diberi penerangan cahaya neon. Di beberapa perusahaan, sampai kepada
perusahaan film, ditiru benar-benar usaha dan jejak orang Barat dan Amerika (Hollywood).
Semua usaha ini bukan hanya harus dilihat menguntungkan di satu pihak saja.

Pemuda-pemuda bangsa kita yang baru pulang dari Eropa menceritakan baru kali ini orang-
orang di Eropa hormat kepada bangsa kulit berwarna. Lain sekali sambutan dan tata krama
orang Barat kepada Indonesia di Eropa sesudah Kerajaan Jepang mengajukan protesnya
kepada dunia yang sopan..

Mahasiswa-mahasiswa bangsa kita yang berjalan-jalan di Paris, semua diperlakukan tanpa


mendapat perbedaan. Kata mereka, itu karena pengaruh Kerajaan Jepang di mata dunia.

Satu hal yang hilang di dalam pandangan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana, yaitu tidak
diuraikannya kelanjutan bagaimana yang harus dilakukan di dalam pengajaran nasional. Tuan
Sutan Takdir Alisjahbana membicarakan (mengkritik) bagian filsafat bangsa kita (Timur) dan
mengemukakan kebaikan dan keuntungannya filsafat bangsa Barat di dalam perjuangan
hidup. Namun, Tuan Sutan Takdir Alisjahbana sedikit pun tidak menyinggung urusan
pengajaran nasional.

Ini yang kita rasa sebagai kekurangan di dalam pandangannya yang penting itu. Tuan Sutan
Takdir Alisjahbana adalah seorang pengajar. Jadi, pandangannya di dalam perguruan
mempunyai dasar yang bagus, mempunyai otoritas.

Bagi kita, misalnya lagi, banyak pasal yang harus dijadikan percobaan di dalam mengusung
teori-teori Barat di dalam praktik pengajaran nasional. Misalnya begini:

Di dalam sekolah Barat dipentingkan individualisme di dalam aliran kebangsaan masing-


masing. Seorang murid bangsa Eropa dididik untuk menjadi manusia utama.

Sekarang anak Belanda, umpamanya, harus menjadi seorang michiel Adriaan S. zoon de
Ruyter. Di Hindia ini kepada anak-anak murid ditunjukkan kebesaran pahlawan-pahlawan,
Yan Pietterzoon Choen dan Van Heutz, setidaknya anak-anak murid itu, jika sudah besar,
harus menjadi de Ruyter kedua, Choen kedua dan Van Heutz kedua.

Kita bertanya: Bolehkan anak-anak kita dididik semacam itu? Kita rasa tidak mungkin
terjadi.

Pun di dalam keilmuan banyak hal yang tidak mudah untuk menumbuhkan bangsa kita
menjadi seorang Lorenstz (di dalam ilmu pengetahuan alam), J. H. Van ”T” Hoff (ahli
kimia), seorang J. Molles chott (pelopor di dalam ilmu pengetahuan alam, materialisme dan
kedokteran), dan seterusnya.
Kita tahu bagaimana kaum dokter bangsa kita membanting tulang untuk mencari nama di
dalam cabang ilmu pengetahuan sekarang ini.

Pandanan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana banyak mengandung kepentingan. Bukan saja
kepentingan pikiran yang diletakkan di dalam pandangan itu, tetapi juga angan-angan seperti
ini menunjukkan satu tradisi di dalam kemajuan. Yaitu, yang sewaktu-waktu perlu
mengajukan beberapa pikiran jika keadaan sudah memaksa. Pengajaran nasional rupanya
sudah sampai di suatu tingkat, di mana perlu jawaban-jawaban tegas terhadap asal usul dan
hak hidup ke atas!

Dari sudut ini, kita senang sekali melihat pentingnya suara Tuan Sutan Takdir Alisjahbana,
itu dengan pengetahuan bahwa di dalam perkara yang menjadi pertikaian harus dicari
perbandingan yang benar.

Suara Umum, 9 Juli 1935

Didikan Barat dan Didikan Pesantren (Menuju ke Masyarakat


yang Dinamis) - Sutan Takdir Alisjahbana
Pada malam ke-2 Kongres Permusyawaratan Perguruan Indonesia di Solo baru-baru ini amat
menghebohkan debat antara Dr. Satiman dengan pidato Dr. Sutomo yang mengemukakan
didikan cara pesantren.

Dr. Satiman tidak percaya bahwa pesantren bisa memajukan bangsa Indonesia. Kalau
pesantren bisa, tentu keadaan bangsa Indonesia tidak seperti sekarang ini. Pemimpin seperti
Dr. Sutomo, Cipto, dan lain-lain bukan keluaran pesantren, melainkan keluaran perguruan
Barat yang dicemooh itu.

Dr. Sutomo dengan mudah menjawab, pemimpin seperti Ir. Soekarno, Cipto, dan Dr. Satiman
itu kebetulan lulusan didikan Barat.

Mereka, menurut anggapannya, hasil didikan Barat yang keliru. Mereka lahir di Indonesia
meskipun lulusan perguruan Barat.

Oleh karena Dr. Satiman mengucapkannya dengan amarah dan karena kurang pandai
berpidato, sehingga serangan Dr. Satiman itu dianggap orang serangan pribadi, serangan yang
ditujukan kepada Dr. Sutomo dan bukan kepada buah pemikirannya.

Namun, bagi saya pertentangan ini bukan pertentangan pribadi. Di balik yang kurang
tersusun baik itu, sebenarnya terbentang perbedaan paham. Dr. Sutomo orang yang percaya
manfaat didikan cara Barat. Dr. Sutomo orang yang tidak suka didikan Barat dan ia seorang
idealis didikan bangsa kita sebelum masyarakat kita dicampuri usaha Barat seperti sekarang
ini. Bukan kebetulan.
Dr. Sutomo sendiri berkata bahwa didikan seperti yang diberikan oleh HIS kepada bangsa
kita merupakan racun bagi bangsa kita.

Pendirian ini dijelaskan oleh Dr. Sutomo dalam karangannya yang ketiga untuk membalas
kritik saya. Tentang perguruan cara pesantren yang dipujinya itu ia berkata:

Pada zaman nenek saya, yaitu kira-kira pertengahan abad ke-19, pesantrenlah tempat
perguruan kita yang asli. Karena belum terdesak oleh sekolah Gubernemen, pesantren
ribuan jumlahnya. Pengaruh perguruan itu terhadap masyarakat kita, peradaban rakyat,
tidak dapat diabaikan. Hubungan antara santri-santri dewasa (istilah sekarang mahasiswa
dari universitas; di dalam pondok-pondok yang besar juga diajarkan ilmu lahir dan batin,
yang di waktu ini jarang didapati di tanah air kita) erat sekali. Umpamanya, di waktu
menanam dan menuai padi, di waktu ada kematian, di waktu bulan Puasa, hubungan yang
erat itu nyata benar. Pesantren dan pondoknya mempersatukan anak-anak muda kita dari
segala lapisan masyarakat. Anak petani, anak saudagar, anak bangsawan berkumpul di
dalam pondok itu. Keadaan lahir dan batinnya mendapat bimbingan yang sama dari guru
sehingga pemuda-pemuda itu, yang di kemudian hari memegang pekerjaan yang beraneka
warna di dalam masyarakat, merasa satu karena ikatan lahir dan batin yang telah
diletakkan, ditanam di dalam pondok dan pesantren itu. Sikap hidup bangsa kita di waktu itu,
dari lapisan mana pun, tidaklah terpecah belah, terpisah satu sama lain seperti sekarang.

Berbeda dengan didikan pesantren yang menyatukan itu, Dr. Sutomo mengeluhkan didikan
Barat sekarang:

Anak-anak dari sekolah desa terpisah dari anak-anak sekolah standar, sedang anak-anak
dari sekolah HIS atau ELS sudah merasa dirinya lebih tinggi daripada anak-anak lainnya.

Pada kesempatan lain pula katanya:

Orang akan heran bahwa mereka yang disebut pertama itu bisa memasuki semua lapangan
pekerjaan, bisa menduduki pekerjaan-pekerjaan yang seakan-akan bersifat merdeka, sedang
angan-angan anak-anak kita zaman sekarang kebanyakan hanya akan mencari pekerjaan.

Sebelum membandingkan didikan pesantren dengan didikan cara Barat, saya hendak
menyatakan terlebih dahulu bahwa angan-angan anak-anak zaman sekarang ingin menjadi
pegawai bukan semata-mata kesalahan didikan Barat. Orang lupa akan keadaan masyarakat
di negeri kita yang serba ganjil ini. Masyarakat kita bercorak dua, bercorak Barat dan
bercorak asli. Hidup ala Barat lebih sempurna alatnya dari hidup sebagaimana aslinya
(bangsa Indonesia, cat.peny.) Keluar dari pergaulan corak asli masuk menjadi pegawai dalam
pergaulan Barat, dengan kata lain: menjadi pegawai dalam pemerintahan (gouvernement atau
perusahaan Barat) berarti mendapat penghidupan yang lebih sempurna, lebih menyenangkan
daripada hidup rakyat kebanyakan. Bukan kebetulan kaum terpandang dalam masyarakat kita
adalah kaum priyayi atau kaum pegawai. Hidup sebagai pegawai lebih senang daripada hidup
sebagai rakyat biasa, sebab pendapatannya rata-rata lebih besar daripada pendapatan rakyat
yang berjuta-juta. Dengan demikian, dalam masyarakat kita menjadi pegawai berarti hidup
senang. Ingin hidup senang merupakan sifat umumnya manusia, yang tidak jelek. Karena
banyak pendapatannya, kaum pegawai itu pula yang dapat memberi didikan yang sempurna
kepada anaknya. Hampir semua kaum terpelajar, hampir semua bunga bangsa kita sekarang
ini ialah putra kaum pegawai.

Saya sama sekali tidak bermaksud mempropagandakan baiknya menjadi pegawai, tetapi
sewaktu kita mencela kaum pegawai, hal ini tidak boleh kita lupakan sama sekali.

Semangat menjadi pegawai ini akan lenyap dengan sendirinya, apabila kesenangan hidup
menjadi pegawai itu lenyap, atau jika pekerjaan kepegawaian yang lebih mudah itu berkurang
jumlahnya sehingga permintaan menjadi pegawai tidak dapat dipenuhi.

Hal yang terakhir ini telah terjadi dalam zaman meleset ini. Meskipun orang ingin menjadi
pegawai, pekerjaan tidak ada, atau kalaupun ada gajinya tidak lebih dari yang dapat dicari
dengan tidak menjadi pegawai. Dalam keadaan seperti ini, pemuda-pemuda yang dididik di
sekolah Barat itu kelihatan menyerbu ke perusahaan swasta. Di perusahaan swasta pun
pemuda-pemuda itu bersaing dengan mereka yang tidak mendapat didikan Barat.

Siapa yang berjalan-jalan di Senen, Jakarta, akan mengetahui bahwa di antara pedagang di
sana banyak yang keluaran sekolah Barat atau sekolah pegawai. Banyak diantara mereka
yang pandai bahasa Belanda. Dan hasilnya, bangsa Indonesia perlahan-lahan dapat
berpengaruh dalam perdagangan di samping bangsa Tionghoa.

Keterangan ini hanya sekadar untuk menyatakan bahwa sekolah Barat bukan yang terutama
menimbulkan semangat menjadi pegawai di kalangan bangsa kita.

Kesalahan terbesar terletak pada keadaan masyarakat: dahulu terlampau mudah orang yang
berpendidikan Barat itu mendapat pekerjaan yang baik gajinya.

Zaman meleset mengubah keadaan itu. Ia mendesak, melecut kaum terpelajar kita agar
berusaha sendiri. Sebab itu, hiduplah zaman meleset!

Sementara itu, saya pun bukan orang yang dalam semua hal menyukai didikan cara Barat
yang diberikan kepada bangsa kita sekarang ini. Namun, rasa tak senang itu tidak
menyebabkan bangkit sikap anti-intelektualisme, anti-individualisme, anti-egoisme, anti-
materialisme. Malah kalau bisa hendaklah intelektual diasah lebih tajam, individualisme
dihidupkan lebih hidup, perasaan menjaga kehormatan diri dikobarkan lebih nyata, kegiatan
mengumpulkan harta dunia lebih dihidupkan. Lebih dari segalanya harus bersikap aktif,
berani, tekun, dan giat bekerja. Sebab pemuda yang akan membangun masyarakat Indonesia
baru harus banyak inisiatif yang dipimpin oleh otak tajam, pengetahuan yang luas, dan
semangat yang dapat mengeringkan lautan.

Tuan Dr. Sutomo sangat memuji semangat persatuan yang ditanamkan oleh didikan pesantren
di kalangan rakyat Indonesia di zaman yang lalu antara petani, saudagar, dan bangsawan.
Masyarakat kita katanya waktu itu tidak terpecah belah, karena ke dalam hati mereka itu, kiai
memasukkan tali ikatan lahir dan batin.
Dalam pujian terhadap semangat persatuan dan kesatuan yang solid itu, Tuan Dr. Sutomo
lupa bahwa persatuan itu adalah kelembutan rasa, keelokan suatu masyarakat yang statis.
Tiap orang merasa senang, sebab makanan cukup. Hubungan setiap orang diikat oleh tradisi
yang tidak berubah-ubah. Persaingan dan perjuangan hidup tidak ada, dalam masyarakat
tidak ada ketegangan. Semua orang mempunyai waktu dan kesempatan untuk melamum dan
tertidur ... atas pimpinan kiai. Karena kiai merupakan tokoh sentral, ialah yang berpikir untuk
si petani, untuk saudagar, maupun si bangsawan.

Individu si petani, si saudagar, si bangsawan menjadi mati, sebab ia tidak perlu putar otak
untuk berpikir, tak usah berusaha dan berjuang mati-matian antara sesamanya untuk bisa
hidup.

Agaknya tidak berlebihan jika saya berkata bahwa semangat persatuan yang berpusat pada
kiai dan pesantren-lah yang menyebabkan jatuhnya bangsa kita.

Ketika dari seberang lautan datang bangsa yang hidup individunya, yang biasa
bekerja, berpikir, dan berjuang, maka bangsa kita tidak mampu memperhatikannya.

Sebabnya semangat persatuan yang lemah lembut dan idealis itu hanya tidak berbahaya bagi
suatu bangsa. Namun, apabila bangsa itu bertemu dengan bangsa yang anggotanya aktif, yang
di antara sesamanya biasa mati-matian saling bersaing dan berjuang, akan celakalah nasib
bangsa yang tampaknya amat indah persatuan masyarakatnya itu.

Sebaliknya, dari didikan cara pesantren, maka didikan cara Barat, kata Tuan Dr. Sutomo, bisa
memecah belah masyarakat kita. Ucapannya itu saya akui kebenarannya. Namun, apabila
Tuan Dr. Sutomo mengatakan terpecah belah persatuan yang berpusat pada kiai itu racun
bagi bangsa kita, justru saya menyebut perpecahan persatuan yang demikian itu merupakan
obat yang paling mujarab.

Sebab, sekalipun indah bentuk persatuan yang demikian, tetapi itu persatuan yang sangat
lemah. Masalahnya, ia hanya berpusat dan bertumpu pada seorang saja, dan bukan pada tiap-
tiap anggota persatuan itu. Anggota masyarakat menjadi pasif, mereka tidak pernah berani
membantah apa yang dikatakan kiainya. Tradisi menjadi undang-undang besi yang tidak
boleh dilanggar siapa pun. Pembaruan tidak mungkin terjadi dalam masyarakat, karena
generasi muda tidak diberi kesempatan dan kebebasan untuk berpikir dan mencari sendiri.

Aliran-aliran yang baru langsung segera ditolak, karena setiap orang hanya percaya kepada
kiai saja.

Ikatan persatuan yang semacam ini bisa dibilang ikatan yang mati, karena tak lain ikatan itu
disebut tradisi, adat istiadat yang turun temurun yang dipegang oleh kiai. Ikatan itu bukanlah
keyakinan yang berkobar-kobar dalam hati tiap manusia berupa produk pikiran dan perasaan
sendiri.
Masyarakat yang mandek, pasif, dan lembek serupa itu hanya mungkin menjadi dinamis,
menjadi aktif, menjadi berapi-api, semangat bekerja apabila aturan itu dihancurkan, apabila
tali pengikat yang lemah itu diputuskan sama sekali.

Dan yang datang memecah belah persatuan dan kelemah-lembutan rasa dan keindahan dalam
masyarakat kita itu tak lain melalui didikan Barat. Mereka yang mendapat didikan Barat
merasa dirinya tidak pada tempatnya lagi berada dalam persatuan yang berpusat pada kiai itu.
Mereka percaya pada diri sendiri, mereka mau berpikir sendiri. Mereka sangsi akan
kehebatan adat istiadat, mereka meragukan kebenaran kata para orangtua.

Karena keraguan itu, mereka menjauhkan diri, mencari jalan sendiri, mereka hendak menguji
sendiri.

Ahli-ahli Barat mengatakan bahwa golongan bangsa kita yang mendapat didikan Barat
tercerabut dari akar budayanya, terlepas dari masyarakatnya sendiri. Bagi saya ucapan itu
bukan hinaan tetapi pujian. Sebab hanya mereka yang dapat melepaskan diri darinya dari
tradisi lama, dengan keyakinan penuh mampu membangun yang baru. Sesungguhnya bukan
secara kebetulan kebanyakan pemimpin bangsa Indonesia yang ada belakangan ini semuanya
produk didikan cara Barat yang dianggap memecah belah masyarakat. Sebab didikan Barat
mengajar mereka berpikir sendiri, mengajar mereka mengkritik dan membantah kiai, serta
memberanikan mereka membuang segala adat dan tradisi yang mengikat kaki dan tangan
bangsa kita untuk mulai berlomba dengan bangsa lain.

Dr. Sutomo mengatakan bahwa orang-orang seperti Dr. Satiman, Cipto, Hatta, dan lain-lain
itu merupakan pengecualian. Namun, menurut saya, apabila didikan pesantren itu dulu rata-
rata dalam prosentase sebanyak didikan Barat dalam 30 tahun ini menghasilkan pemimpin,
pasti keadaan bangsa Indonesia tidak seperti sekarang ini.

Kita tidak boleh berharap bahwa semua orang yang mendapat didikan Barat akan menjadi
Pahlawan, akan menjadi pembaru. Tunjukkan didikan Barat yang berhasil serupa itu!

Namun, hasil yang didapat dengan didikan Barat dalam dua-tiga puluh tahun ini telah lebih
dari cukup memberi harapan dan keyakinan kepada kita bahwa dengan jalan itu akan maju ke
muka.

Di Indonesia olehnya (didikan Barat, cat.peny.) sudah bertiup angin baru, angin kebangkitan!

Saya hanya dapat setuju dengan sistem pesantren seperti dipropagandakan itu apabila
maksudnya terutama sebagai jalan termudah dan tercepat untuk membasmi buta huruf dan
membawa pengetahuan ke desa. Sebab dengan kepandaian membaca dan menulis serta
pengetahuan modern akan terbukalah mata orang di desa. Terbuka mata berarti robohnya
tradisi lama, robohnya pengultusan kepada kiai, hidupnya individu manusia, terpecahnya
persatuan yang mandek dan pasif sehingga lenyaplah kekolotan.

Namun, apabila dengan pesantren itu orang hendak memasukkan kiai yang baru, yang
pengetahuannya amat terbatas (Dr. Sutomo menghendaki orang menjadi kiai modern itu
orang yang menamatkan sekolah kelas dua dan tak perlu pandai bahasa Belanda, sebab
katanya bahasa Belanda melahirkan mental pegawai Sic!) apabila dengan pesantren ini akan
diperhatikan persatuan yang lama seperti yang terdapat di kalangan bangsa kita dulu, pada
pikiran saya sistem pesantren itu banyak bahayanya ketimbang manfaatnya. Ia akan mendidik
bangsa kita menjadi kambing yang baik hati, sedangkan dunia penuh dengan macan yang
aktif gembira dan berani.

Dalam usaha untuk menyejajarkan bangsa kita dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi
sekarang ini, pada pikiran saya janganlah terlampau idealis, jangan terlampau banyak
mengambil teladan pada masa jatuhnya bangsa kita.

Mengambil contoh teladan pada masa negeri kita jatuh dan menjadi tidak berarti, itu pun
perbuatan yang negatif.

Kita harus mengambil contoh dan teladan bagaimana Eropa, Amerika, dan Jepang mencapai
derajat yang begitu maju seperti sekarang ini.

Pendirian yang demikianlah yang positif. Ia menjadi jalan lurus menuju tempat yang dituju.

Janganlah kita menengok ke belakang, tetapi hendaklah kita maju ke depan!

Catatan:

Baik karangan ”Semboyan Yang Tegas” maupun karangan ”Didikan Barat dan
Didikan Pesantren” ini lahir dri suatu susunan pikiran yang nyata tentang masyarakat
Indonesia di kemudian hari. Susunan pikiran itu akan digambarkan dalam
majalah Pujangga Baru bulan Agustus 1935.

Perbedaan Pandangan Hidup - R. Sutomo


Kritik Tuan Sutan Takdir Alisjahbana tentang pembicaraan dalam Kongres Perguruan
Nasional, saya sambut dengan beberapa karangan dan balasan, guna menjelaskan
pengharapan, keinginan, dan cita-cita kita terhadap Perguruan Nasional kita.

Sambutan ini saya lakukan dengan gembira karena saya sangka bahwa selisih pendapat itu
timbul karena kurang terang dan jelasnya pandangan kita tentang soal ini.

Di dalam karangan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana yang berikutnya, nyatalah dengan
seterang-terangnya bahwa perselisihan ini asalnya karena pandangan hidup dari Tuan
berlainan sekali dengan wawasan pendapat saya.

Perbedaan dalam pandangan ini masih menumbuhkan rasa saling menghormati.

Namun, perselisihan ini terjadi pula karena nyata bahwa Tuan Sutan Takdir Alisjahbana tidak
begitu menguasai masalah yang dibicarakannya. Menyedihkan pula, karena jelas dengan
karangannya yang belakangan ini, beliau tidak dapat menerima karangan saya di dalam
lingkungannya sehingga karangannya itu kacau balau susunannya.

Oleh karena itu, dengan hati yang pilu, kita berpisah di sini. Saya tidak akan dapat
menyediakan pena saya seterusnya.

Pokok kesalahan ini yang meringankan kekeliruannya karena Tuan Sutan Takdir Alisjahbana
mengira dan yakin bahwa didikan Barat sudah dilakukan di tanah kita ini. Padahal di dalam
sekolah Barat di negeri ini seperti E.L.S. dan sebagainya, pendidikan itu tidak terdapat di
dalam kurikulumnya.

Di dalam sekolah pemerintahan yang diberikan kepada kita, hanya pengajaranlah yang
dilakukan, sedang pendidikan adalah suatu soal yang seakan-akan tidak ada tempat di dalam
sekolah itu.

Hal semacam ini, bagi kita, adalah soal yang patut diperbaiki, hingga kelak kita mendapati
bangsa Indonesia yang halus perasaannya, luhur budinya, berani dan tetap mantap sikapnya.
Orang-orang seperti ini akan dapat memakai kecerdasannya yang ditajamkan setajam-
tajamnya, dan dengan sebaik-baiknya.

Begitulah maksud kita dengan mengadakan perguruan cap Ki Hajar Dewantara dengan
asramanya, cap Sutopo Adisaputra dengan pendidikannya, dan model Sutomo dengan
pondoknya itu.

Dalam karangan saya berjudul ”Nationaal Onderwijs Congres” termuat berturut-turut tiga
kali, tamat pada tanggal 26 bulan yang lalu, saya telah coba menjelaskan atas tuduhan Tuan
Sutan Takdir Alisjahbana yang mengatakan bahwa kongres anti-intelektualisme. Kembali
sekarang, Tuan ini masih juga melakukan tuduhan itu.

Sebelum ini pada karangan saya menyambut ”Pewarta Deli” telah saya terangkan pula.

Sekali lagi saya ulangi bahwa kita sama sekali tidak anti-intelektualisme, malah sebaliknya,
asal saja kecerdasan yang setajam-tajamnya itu dapat menjadi alat seseorang atau bangsa
yang terpelihara jiwanya dengan sebagus-bagusnya atau terdidik sebaik-baiknya.

Tanda-tanda bahwa Tuan Sutan Takdir Alisjahbana tidak mengetahui perbedaan dan kaitan
arti kata pengajaran dan pendidikan itu, tampak jelas di dalam karangannya yang terakhir
yang berjudul ”Didikan Barat dan Didikan Pesantren”.

Saya bertanya: Kapankah kita menerima didikan Barat?

Nyata lagi, ketidakmampuan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana membedakan arti kata ”didikan”
dan ”perguruan”, kita kutip catatan karangannya itu, yang berbunyi demikian:

Dr. Satiman tidak percaya bahwa pesantren bisa memajukan bangsa Indonesia. Kalau
pesantren bisa, tentu keadaan bangsa Indonesia tidak seperti sekarang ini. Pemimpin seperti
Dr. Sutomo, Cipto, dan lain-lain bukan keluaran pesantren, melainkan keluaran perguruan
Barat yang dicemooh itu.

Dr. Sutomo dengan mudah menjawab, pemimpin seperti Ir. Soekarno, Cipto, dan Dr.
Satiman itu kebetulan lulusan didikan Barat yang keliru. Mereka lahir di Indonesia meskipun
lulusan perguruan Barat.

(Spasi dari saya penulis sendiri, cat.peng.)

Nyata di atas itu bahwa artian kata ”didikan” dan ”perguruan” dicampuradukkan saja.
Dikatakan bahwa Dr. Cipto dan sebagainya hasil didikan Barat, padahal mestinya :
hasil perguruan Barat. Kita akui bahwa kita keluaran perguruan Barat.

Oleh karena itu, terasa sungguh-sungguh kekurangannya, yaitu pendidikan, yang perlu sekali
bagi kecerdasan manusia. Ketiadaan pendidikan inilah yang menyebabkan kurang
semangatnya kaum intelektual kita mengabdikan dirinya untuk nusa dan bangsanya.
Kekurangan ini, telah diakui oleh siapa pun di antara kita yang berjuang di kalangan rakyat,
pun oleh kaum akademik sendiri yang menyatakan kekecewaannya terhadap kaum intelektual
kita itu.

Kekurangan ini akan lenyap dengan sendirinya kalau kaum intelektual kita dapat didikan di
dalam perguran sehingga diperoleh orang-orang Indonesia yang cinta pada nusa dan
bangsanya, orang-orang yang aktif, yang giat bekerja dengan senang, rela dan gembira, serta
berbudi luhur pula untuk memperbaiki wujud masyarakat kita, sebagaimana telah saya
terangkan pula dalam karangan saya yang berjudul ”Pergerakan yang Hidup”.

H.I.S. saya cela sekeras-kerasnya. Saya umpamakan racun bagi anak Indonesia. Pencelaan ini
oleh Tuan Sutan Takdir Alisjahbana dikaitkan dengan pendapat saya terhadap pesantren kita.
Hubungan ini adalah keliru karena Tuan Sutan Takdir Alisjahbana mengambil saya di luar
ikatannya.

Adapun H.I.S. yang saya cela itu, karena dia sebagai perguruan sekolah dasar tidak mampu
mengirimkan lulusannya ke sekolah menengah dan selanjutnya. Hanya 30 persen yang dapat
meneruskan pelajarannya. Inilah suatu kegagalan yang nyata!

Tuan Sutan Takdir Alisjahbana menerangkan tentang mengapa kita lebih suka menjadi
priyayi dengan begini:

Bukan kebetulan kaum terpandang dalam masyarakat kita adalah kaum priyayi atau kaum
pegawai. Hidup sebagai pegawai lebih senang daripada hidup sebagai rakyat biasa, sebab
pendapatannya rata-rata lebih besar daripada pendapatan rakyat yang berjuta-juta. Dengan
demikian, dalam masyarakat kita menjadi pegawai berarti hidup senang.

Keterangan ini, dengan menyesal, juga tidak dapat saya terima baik.
Bagi bangsa Indonesia, terutama bagi orang Jawa, keinginan menjadi priyayi itu bukanlah
tertarik karena besar pendapatannya.

Sejak dahulu, bangsa kita yang ingin menjadi priyayi atau “santono” raja, bukan besarnya
gaji yang dicari, tetapi mencari kehormatan.

Orang-orang keluaran pondok di zaman purbakala, apabila mereka ingin kehormatan, ia


mencari penghidupan sebagai priyayi. Mereka yang ingin mencari penghidupan yang mewah,
mencari perlindungan sebagai orang dagang.

Rakyat yang berjuta, tidak bisa dibandingkan keadaannya dengan kaum pegawai. Rakyat
tidak memperoleh pengajaran dan pendidikan. Bandingkanlah priyayi kita dengan saudagar
kita.

Di tanah Jawa sini masih umum, kebanyakan priyayi dan bangsawan masih memandang
rendah pada orang-orang yang merdeka, meskipun berharta benda. Pendapat Tuan Sutan
Takdir Alisjahbana tentang ini juga keliru, tidak dikaitkan dengan sejarah.

Keliru pula apabila Tuan Sutan Takdir Alisjahbana mengira yang dalam masyarakat kita
menjadi pegawai, berarti mendapat hidup senang. Keliru dan menandakan pula ketidaktahuan
beliau ini di dalam pergerakan kaum buruh kita, yang di dalam sejarahnya sudah mengalami
beberapa pemogokan hebat, umpama saja dalam kalangan pegadaian, kereta api, trem,
kalangan pabrik bengkel, keributan di kalangan pabrik gula, dan seterusnya.

Sementara itu, dalam membaca karangan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana yang dimuat
dalam Suara Umum tanggal 11 yang baru lalu menimbulkan keraguan saya, apakah kira-kira
Tuan Sutan Takdir Alisjahbana juga membaca balasan-balasan terhadap karangannya
ataupun karangan saya yang menyangkut hal ini.

Keraguan timbul, karena dalam karangannya itu masih terdapat kalimat begini:

Sementara itu, saya pun bukan orang yang dalam semua hal menyukai didikan cara Barat
yang diberikan kepada bangsa kita sekarang ini. Namun, rasa tak senang itu tidak
menyebabkan bangkit sikap anti-intelektualisme, anti-individualisme, anti-egoisme, anti-
materialisme. Malah kalau bisa hendaklah intelektual diasah lebih tajam, individualisme
dihidupkan lebih hidup, perasaan menjaga kehormatan diri dikobarkan lebih nyata, kegiatan
mengumpulkan harta dunia dihidupkan lebih besar.

Pembaca yang teliti tentu mengakui bahwa hal ini telah saya terangkan, pertama dalam
karangan saya membalas Tuan Sutan Takdir Alisjahbana ke-2 yang dengan judul
“Pergerakan yang Hidup”.

Dalam penutupannya, beliau mengatakan:

Dan lebih dari segalanya harus bersikap aktif, berani, tekun, dan giat bekerja. Sebab
pemuda yang akan membangun masyarakat Indonesia baru harus banyak inisiatif yang
dipimpin oleh otak tajam, pengetahuan yang luas, dan semangat yang dapat mengeringkan
lautan.

Ini menunjukkan dengan jelas perbedaan paham saya dengan beliau.

Dalam keyakinan saya, sifat aktif dan sebagainya itu bukan hanya berasal dari otak yang
tajam. Tengoklah kepada bangsa Tionghoa dan Arab yang datangnya di sini tidak dengan
kepandaian yang tinggi, tetapi akhirnya dapat mendesak kita.

Yang dapat membangun masyarakat Indonesia Baru itu bukan cuma karena otak yang tajam
– sebab mudah pula egoistis- tetapi otak yang tajam disertai budi luhur, perasaan yang halus
dan etika yang baik, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk membentuk masyarakat Indonesia
Baru di desa-desa, tidak perlu kepandaian tinggi, melainkan perlu sifat-sifat yang luhur, sifat
berkorban, berjuang dengan semangat, rela, dan tulus ikhlas.

Tuan Tjindarbumi, dalam artikelnya yang seakan-akan mendukung pendirian Tuan Sutan
Takdir Alisjahbana, rupanya lupa mengemukakan bahwa bangsa Jepang dapat berdiri teguh
dan tegak itu, karena orang Jepang berjuang dengan memakai alat-alat Eropa, alat Barat,
intelek kulonan, sedang mereka itu tetap menghidupkan budayanya. Inilah kekuatan bangsa
Jepang yang harus ditiru. Peniruan ini dapat tercapai dengan mudah, kalau kita kembali lagi
mengadakan perguruan yang mempunyai pendidikan ala pesantren dan pondok-pondok
seperti zaman dulu.

Untuk mengupas soal itu, orang harus belajar menguasai latar belakang sejarah. Cara
penyelidikan yang seperti ini perlu diteliti untuk memperoleh pengertian tentang apa yang
dibicarakan. Namun, Tuan Sutan Takdir Alisjahbana lalai di dalam beberapa hal tersebut di
atas dan beliau juga kurang seksama membaca balasan saya sehingga selalu mengemukakan
beberapa hal yang telah berulang-ulang dijawab.

Tuan Sutan Takdir Alisjahbana antara lain mengatakan:

Dalam masyarakat kita, orang kurang kuat dan kurang berani mengemukakan kepentingan
dirinya. Bangkitkanlah kesadaran akan kepentingan diri. Dalam masyarakat kita, orang
kurang semangat mengumpulkan dan memakai harta dunia. Didiklah bangsa kita
mengumpulkan dan memakai harta dunia yang teruntuk bagi semua umat.

Saya bertanya lagi pada Tuan Sutan Takdir Alisjahbana. Bagaimana mungkin kita dapat
mendidik keberanian untuk mengedepankan kepentingan diri sendiri, membangkitkan
kesadaran akan kepentingan diri, kalau perguruan tidak disertai dengan pendidikan. Sedang
perguruan Barat itu, umumnya sama sekali tidak mementingkan pendidikan itu.

Meskipun demikian halnya, di dalam karangan-karangan yang terakhir Tuan Sutan Takdir
Alisjahbana yakin bahwa sekolah secara Barat seperti yang diperlukan sekarang ini, sudah
mengandung unsur didikan juga. Katanya :
Sementara itu pun saya bukan orang yang dalam segala hal senang akan didikan cara Barat,
yang diberikan pada bangsa kita sekarang ini.

Tuan Sutan Takdir Alisjahbana rupanya tak dapat memisahkan dan menghubungkan arti kata
pendidikan dan pengajaran itu, karena itu sudah tentu sulit untuk bertukar pikiran lebih jauh.

Menurut metode dan buku-buku manakah, ilmu pengajaran atau teori membangun jiwa, yang
dipakai di sekolah secara Barat sehingga jiwa para lulusan dari sekolah itu dapat berkembang
dan dikobarkan untuk mengabdikan dirinya pada kebenaran?!

Jiwanya pun tunduk kepada kesucian, melawan seaktif-aktifnya, sedinamis-dinamisnya pada


segala hal yang kurang adil dan benar, cinta akan hal yang baik dan menjalani semua
perjalanan yang menyokong dan menyusun ”manusia dengan masyarakatnya”.

Karena Tuan Sutan Takdir Alisjahbana kurang memperhatikan sejarah, timbullah dugaan dan
pendapat yang tidak-tidak. Disangka bahwa masyarakat kita keadaannya lemah lembut dan
manis, lebih lagi ia menetapkan sikapnya seperti berikut:

Tampaknya tidak berlebihan jika saya katakan bahwa semangat persatuan yang berpusat
pada kiai dan pesantren itulah yang menyebabkan jatuhnya bangsa kita.

Sejarah menunjukkan jatuhnya bangsa ini sesungguhnya adalah sikap acuh tak acuh dengan
keberadaan pesantren. Karena sebelum agama Islam datang di negeri ini, masyarakat kita di
Pulau Jawa sudah amat rusak keadaannya. Zaman Hayam Wuruk dan Gajah Mada sudah
lampau. Sedangkan waktu itu dunia berada dalam keadaan terpecah belah, memenuhi
ketegangan karena percekcokan dan peperangan antara sesama kita. Hal itu menyebabkan
timbulnya kelemahan dan kehancuran kita.

Jika Tuan Sutan Takdir Alisjahbana berkenan membaca brosur saya, mau menangkap awal
pidato saya, yang mengambil pepatah sabda Swami Vivekananda, tentu Tuan Sutan Takdir
Alisjahbana akan memahami cita-cita dan kemauan saya terhadap para kiai dan para
intelektual kita itu. Keadaan dan sikapnya tidak jauh berbeda seperti di India, di mana juga
ulama-ulama hidup karena kebodohan rakyat dan kaum intelektual telah tercabut dari akar
budayanya, jauh dari memikirkan dan menolong kesulitan dan kemelaratan rakyat. Tentulah
Tuan Sutan Takdir Alisjahbana akan mengerti bahwa maksud saya dengan “yang disebut
kiai” itu tidak lain ialah semua pemuka di kalangan bangsa kita di bidang apa saja, yang
dengan semangat, tulus hati, cinta dan tidak mementingkan diri sendiri, mengabdikan dirinya
untuk nusa dan bangsa. Itulah orang-orang yang berwatak kiai.

Begitulah sari karangan dari saya tentang hal ini.

Dari majelis luhur Taman Siswa diajukan pertanyaan khusus, bagaimanakah kita memperoleh
guru-guru untuk sekolah rakyat jelata itu. Baru timbul jawaban saya bahwa guru bagi sekolah
itu tidak perlu menguasai bahasa Belanda, karena kalau kita memakai guru-guru yang
mendapat pelajaran dan mengerti bahasa Belanda pastilah bangsa kita yang miskin ini tidak
sanggup untuk memikul biayanya. Sudah amat jelas bahwa umumnya orang yang mendapat
pengajaran bahasa asing secara pengajaran Barat ini, kebanyakan adalah orang-orang yang
memikirkan dirinya sendiri dan tercerabut dari akar budayanya dalam gaya hidupnya,
pandangan hidupnya. Asing pada masyarakatnya. Itulah sebabnya untuk sekolah rakyat
jelata, saya menghendaki calon-calon guru yang tidak mendapat pelajaran Bahasa Belanda.

Cipto yang berulang-ulang disebut namanya, semua pemimpin pergerakan kita yang
terkemuka, yang waktu ini sudah meninggal dunia atau masih memegang peranan yang aktif
yang semuanya mendapat pengajaran secara Barat, semua merasakan ”kecelakaan” karena
tercerabut dari akar budayanya itu, yang dipuji-puji Tuan Sutan Takdir Alisjahbana, mereka
segera mendidik dirinya, rohaninya, sukmanya sebagai orang Timur!

Cipto umpamanya ”tidur” dengan Baghawad Gita. Dan dalam kehidupannya sehari-hari
beliau menunjukkan sikap orang ksatria yang sejati.

Sukarno dalam melakukan propaganda bagi rakyat menyatakan terlampau


”kejawaannya” dengan mengambil contoh-contoh dari Wayang Purwa sehingga bangsa kita
dari kepulauan lain di seberang merasa kurang puas (maremnya-Jawa).

Cokroaminoto almarhum dan Agus Salim menyandarkan cita-cita mereka pada agama Islam,
sedang Samaun dan Muso, pemuka-pemuka kaum komunis, suka sekali bertapa dan
“meguru”. Ali Archam dan Sarjono, keduanya pemuka komunis juga, merekalah yang
seakan-akan berhaluan berpikir bebas di dalam sikap hidupnya.

Cocok betul dengan keadaan di Mesir, Turki, India, dan Jepang.

Pemuka-pemuka rakyat yang siap menyediakan dirinya untuk menyusun masyarakat yang
baru, mereka dengan sendiri dapat mempergunakan alat (instrumen) nya seperti kecerdasan
dengan setajam-tajamnya, dapat memakai pengajaran dari Barat yang diperolehnya untuk
keperluan nusa dan bangsa di segala bidang, seperti pengajaran, kesenian, kesusastraan,
politik, dan seterusnya, karena bertemu lagi dengan “jiwanya”, karena mengembangkan
“rohnya” dengan didikan asli itu. Hal itu meyakinkan mereka kembali untuk tetap
bersemangat, tulus ikhlas dengan keluhuran budi dan kehalusan perasaan sehingga rela
berkorban untuk nusa dan bangsa. Dengan berkembangnya roh ini, karena tambahan didikan
itu, barulah lahir di kalangan masing-masing bangsa yang tersebut di atas: pahlawan-
pahlawan dan pemimpin-pemimpin sejati, yang membangunkan masyarakat agar bergerak
dan berjuang seaktif-aktifnya. Karena sinar roh, bangsa itu berkembang sehingga keadaan
menjadi dinamis seperti diharapkan oleh Tuan Sutan Takdir Alisjahbana.

Oleh karena itu, agar pengecualian ini, -Cipto, Hatta, dan lain-lainnya-, menjadi peraturan,
supaya pengecualian itu menjadi kebiasaan, prasaran pada National Onderwijs Kongres
mementingkan penambahan pendidikan di dalam sekolah nasional kita. Dan didikan itu
seharusnya cocok dengan kehendak roh kita.

Dalam penutup karangannya Tuan Sutan Takdir Alisjahbana berseru:

Janganlah kita menengok ke belakang, tetapi hendaklah melihat ke depan!


Seruan ini suatu bukti bahwa Tuan Sutan Takdir Alisjahbana mengabaikan berpikir wajar,
berpikir secara pengetahuan sehingga pandangannya menjadi dangkal.

Di dalam kemajuan apa pun juga, di dalam ilmu mana pun kemajuan baru tercapai, dapat
berjalan terus, dapat ”melihat ke depan” dengan selamat dan bahagia, kalau lebih dulu
menengok ke belakang.

Sekianlah saya tutup dari pihak saya pertukaran pikiran ini dan kalau di dalamnya ada yang
janggal atau kurang baik, haraplah Tuan Sutan Takdir Alisjahbana dan Pembaca memberi
maaf.

Kata Penutup (Kepada Tuan Dr. Sutomo) - Sutan Takdir


Alisjahbana
Jakarta, 21 Juli 1935

Sedih hati saya memikirkan bahwa pertukaran pikiran yang berlangsung tertib harus berakhir
seperti ini. Meski dalam beberapa hal, saya ada pertentangan pikiran dengan Tuan Dr.
Sutomo. Tapi saya yakin betul di sisi lain banyak pula hal yang saya sepaham dengan beliau.
Dalam karangan saya ”Synthese anatar Barat dan Timur” yang ditulis sebelum membaca
karangan Tuan Dr. Sutomo yang terakhir, saya katakan bahwa saya lebih dekat dengan Tuan
Dr. Sutomo daripada Ki Hajar. Jika dibandingkan dengan Tuan Dr. Rajiman, maka saya jauh
lebih dekat lagi dengan Tuan Dr. Sutomo. Bagi saya, suatu keyakinan yang pasti bahwa pada
beberapa pemimpin di Surabaya lebih besar unsur dinamikanya daripada pemimpin-
pemimpin di di Jawa Tengah yang lebih bersandarkan pada mistik.

Kesalahan terbesar dalam bertukar pikiran antara saya dengan Tuan Dr. Sutomo tentang
prasaran Kongres Perguruan Indonesia di Solo, menurut saya, karena Tuan Dr. Sutomo
memborong segala pikiran dan pandangan pembicara yang lain dan menjadi pikirannya.
Seolah-olah ia sependapat dengan –misalnya- Tuan Dr. Rajiman.

Namun sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Tuan Dr. Sutomo sudah memberi cap hebat
pada perbedaan pikiran antara beliau dengan saya: perbedaan pandangan hidup.

Yang lebih menyedihkan hati saya lagi dalam bertukar pikiran ini adalah cara Tuan Dr.
Sutomo dalam karangannya terakhir. Ia tak lagi menangkis alasan saya dengan alasan yang
lain, atau bukan lagi mengakui argumen dengan argumen secara ksatria. Namun, ia
memukulkan palunya, kapaknya kepada diri saya sebagai pribadi. Ia mengatakan bahwa saya
tak mampu mengupas masalah yang dibicarakan. Saya tak bisa membedakan pengertian
mendasar pengajaran dengan pendidikan.

Dengan caranya yang menunjukkan ketidakmampuan atau kebodohan saya itu, ia hendak
membebaskan dirinya ketimbang memberi jawaban yang beralasan. Bukankah orang yang
tak bisa, orang yang tak mampu, tak perlu diladeni, sebab ucapannya –seperti kata orang di
Jakarta- ”ngaco” saja.
Kembali pada perbedaan antara pengajaran dan pendidikan. Menurut saya, kedua hal itu sama
sekali tidak bertentangan. Malah pengajaran tak lebih dan tak kurang adalah alat pendidikan
yang sangat penting. Di mana orang mengajar di sana orang mendidik. Sebab arti mendidik
ialah membangun jiwa, memberi kesempatan sebaik-baiknya kepada disposities yang baik
yang terdapat dalam jiwa untuk berkembang. Setiap pengajaran tak disangkal mengandung
unsur pendidikan. Pengajaran ilmu tumbuh-tumbuhan dapat menimbulkan perasaan relijius,
pengajaran sejarah dapat membangun semangat kepahlawanan. Pengetahuan pun
berpengaruh atas sikap keberanian. Seseorang yang tahu sikapnya lebih berani dri seorang
yang tidak tahu.

Saya tahu bahwa di samping pengajaran ada lagi alat pendidikan. Dan saya pun tahu bahwa
alat-alat yang itu juga perlu. Bahkan saya pun tidak menyetujui semua cara pendidikan yang
diberikan sekolah ala Barat di negeri kita sekarang ini. Dalam salah satu karangan saya
sebelumnya, saya menunjukkan bahwa sifat aktif harus lebih dikobarkan di kalangan bangsa.

Apabila Tuan Dr. Sutomo bertanya kepada saya, ada atau tidaknya unsur pendidikan (bukan
sekadar pengajaran, cat.peny.) pada sekolah ala Barat yang ada di negeri kita ini, saya akan
menjawab: Ya, seratus kali. Ya.

Boleh jadi pendidikan itu berbeda dengan yang dikehendaki oleh Tuan Dr. Sutomo. Boleh
jadi pendidikan itu tidak mengikuti buku suci tertentu. Namun, di samping perbedaan itu, ada
hal-hal baik, yang sifatnya umum dan berlaku sepanjang masa.

Pada sekolah Barat pun murid-murid dididik menjauhkan yang jahat dan melakukan yang
baik, jangan penakut dan harus berani, melindungi yang benar dan melawan yang tidak benar,
dan lain-lain.

Kita boleh berbeda paham tentang intensitas –tentang cukup atau kurangnya- pendidikan sifat
yang baik itu satu per satu. Namun, siapa yang mengatakan bahwa perguruan Barat yang ada
di negeri kita ini tidak mengandung unsur pendidikan. Ia jelas mempunyai pengertian yang
sangat picik tentang makna pendidikan. Atau, ia dengan sengaja hendak menyesatkan orang
banyak.

Tidak percuma guru-guru sekolah Perguruan Barat itu mendapat pengajaran dalam hal
pedagogi (kependidikan dan bukan semata-mata didaktik atau ilmu mengajar).

Barangkali Tuan Dr. Sutomo membedakan pengajaran dan pendidikan setajam itu berkaitan
dengan soal pendidikan neutral (netral, cat.peny.) dan bijzonder onderwijs (pendidikan
khusus, cat.peny.). Kalau benar demikian, saya hendak mengingatkan bahwa pendidikan
netral bukan sekali-kali berarti pendidikan tanpa watak.

Tidak, saya tidak perlu khawatir disebut orang tak sanggup dan tak mampu membedakan
pengertian yang mendasar seperti itu. Malah selain ucapan yang dinyatakan Tuan Dr.
Sutomo, saya pun pernah menerima ucapan yang lain-lain.
Tuan Sutan Takdir Alisjahbana adalah seorang pengajar. Jadi pandangannya di dalam
perkara perguruan, mempunyai dasar yang bagus (mempunyai otoritas),”kata Tuan
Tjindarbumi dalam Suara Umum tanggal 9 Juli 1935. Antara catatan Redaksi Bintang
Timur terbaca oleh kita: ”Ucapan yang begini menandakan tidak menghargai lawan, sedang
Dr. Sutomo tahu bahwa Sutan Takdir Alisjahbana orang yang memahami hal pengajaran.

Malah waktu saya mula-mula berkenalan dengan Tuan Dr. Sutomo pada kongres Perguruan
Indonesia di Solo baru-baru ini, dengan spontan dan tanpa alasan apa pun, Tuan Dr. Sutomo
berkata: ”Saya sudah kenal Tuan yang menulis artikel-artikel yang apik. Itulah generasi
muda.”

Dan kebetulan sekali, saya masih menyimpan sebuah surat Tjindarbumi tertanggal 9 Maret
1932, terkait dengan sebuah karangan di Suara Umum yang berhubungan dengan soal
pengajaran. Antara lain tertulis dalam surat itu:

Bukanlah untuk menyenangkan hati Anda atau maksud lain, jika saya dengan ini
memberitahukan bahwa Dr. Sutomo sangat memuji karya Anda. Saya berharap akan lebih
banyak lagi karangan yang begitu bagus dimuat dalam koran kami, yang pasti akan
berakibat baik untuk surat kabar.

Tidak. Pembaca jangan keliru. Bukan maksud saya minta dihargai. Maksud saya dengan
catatan ini adalah untuk menandakan adanya suatu sentilan, suatu mentalitas yang umum
pada semua kiai baik modern maupun kolot. Apabila seseorang berbeda pandangan dengan
pendapat kiai kolot, orang itu mendapat cap: kaum muda, kaum sesat, dan kadang-kadang
kaum kafir. Kiai modern mempunyai istilah yang modern pula: tidak kuasa, tidak mampu.

Namun, pada hakikatnya kedua macam itu sama sifatnya; sama tujuann6a: mau menang
sendiri dan tidak bisa mendengar pendapat dan pikiran di luar pikirannya sendiri.

Dan generasi muda harus berjuang melawan mentalitas seperti itu. Sudah terlalu lama bangsa
kita menjadi hamba kiai, hamba tradisi, hamba takhayul, dan lain-lain. Itulah penyebab
jatuhnya bangsa kita.

Masyarakat yang baru harus segera terbentuk, dari manusia bebas , dari devrijemensch, sebab
masyarakat semacam itulah yang mampu melawan badai dan topan.

Karangan ini sudah terlalu panjang. Saya mau menjawab satu hal lagi. Tuan Dr. Sutomo
mengatakan saya tidak mempunyai historische zin, tidak pandai berpikir ilmiah. Terhadap
tuduhan itu, saya hendak berkata singkat dan tegas: generasi baru tidak boleh menjadi hamba
sejarah. Bukan sejarah yang menentukan apa yang kita kerjakan. Malah sebaliknya, sejarah
harus ikut dari belakang, harus mencatat apa yang dikerjakan oleh generasi muda yang baru.
Bukan sejarah yang sudah lenyap, yang sudah mati, tetapi jiwa yang hidup, yang bergelora di
dalam dada.
Tidak seperti Tuan Dr. Sutomo, saya tidak akan menutup karangan ini dengan meminta maaf,
sebab saya merasa tidak bersalah: saya dengan tulus dan ikhlas menyatakan yang terasa di
hati saya. Dan minta maaf voor de vorm, untuk pemanis pembicaraan, saya rasa tidak perlu.

Pada penutup karangan ini saya hendak mengucapkan semoga pendidikan seperti yang dicita-
citakan oleh Dr. Sutomo itu berhasil. Ucapan selamat itu bukan karena saya percaya bahwa ia
mungkin mengadakan pendidikan seperti katanya ”aturan” menghasilkan pemimpin seperti
Cipto, Hatta, Sukarno, dan lain-lain. Dan menurut pendapat saya, ucapan seperti itu tidak
lebih dari sekadar penipuan: saya sudah mengucap syukur kepada Tuhan, bila satu sekolah
melahirkan satu pemimpin, tokoh pembaharuan, atau satu pahlawan yang sejati, sebab orang
semacam itu pada pikiran saya tak bisa dibuat borongan berlusin-lusin.

Ucapan semoga berhasil itu berdasarkan keyakinan saya bahwa sesungguhnya dengan
pendidikan yang gurunya pagi-pagi mencari nafkah dan malamnya mengajar murid-murid
bisa secepatnya dan terutama dengan biaya semurah-murahnya memerangi buta huruf di
desa-desa. Jika mata orang di desa telah terbuka dan telah lebih luas pengetahuan dan
pandangan mereka tentang dunia, lambat laun mereka akan menolak kiainya juga, mereka
akan melepaskan setiap ikatan yang menghambar langkah.

Catatan R. Sutomo

1) Melalui Tuan Dermawan Lubis saya berkenalan dengan seorang pemuda di Solo,
yang sungguh saya hormati dan saya puji karangan-karangannya dalam Pujangga
Baru. Meski pada mulanya saya tidak tahu bahwa dialah penulis artikel-artikel dalam
”Suara Umum” ini.

Hal itu dibenarkan oleh Redaksi Suara Umum yang kemudian saya minta keterangan-
keterangan tentang Tuan Sutan Takdir Alisjahbana terutama sekali berulang-ulang
tentang pengajarannya.

2) Saya juga paham sebagaimana Tuan Sutan Takdir Alisjahbana bahwa di dalam
pengajaran juga ada ”pendidikan”. Namun, di dalam pengajaran ala Barat itu tidak
ada kurikulum pendidikan yang sistematis. Pada salah satu rapat di kalangan para
cendikia yang dihadiri antara lain oleh guru sekolah menengah juga oleh seorang
Kepala Guru, saya diberi jawaban seperti ini: ”Maar dokter de opvoeding krijgt men
thuis”. Namun, pendidikan itu ditemukannya di rumah!

Pendapat ini adalah pendapat umum dari orang Barat, yang tidak dapat saya setujui
sebagai orang Timur dan untuk pergaulan hidup kita yang masih primitif dan
sederhana ini. Seharusnya pada sekolah-sekolah nasional kita diberi pendidikan yang
sistematis dan punya tujuan yang jelas yang tersusun tegas. Dan pendidikan yang
disertai penghayatan yang dijalankan dalam kehidupan, yang dipraktikkan cuma
dapat dilakukan dalam masyarakat kita kalau guru dengan murid-muridnya di luar
waktu belajar hidup bersama. Konsekuensinya, pada para guru itu diminta syarat-
syarat yang seratus kali lebih berat daripada sekarang. Sekarang guru itu memberikan
pendidikan di sekolah, akan tetapi di luar waktu sekolah guru itu bisa seorang
”manusia yang jahat”. Maksud saya dengan pondok-pondok ialah agar pengajaran dan
kehidupan guru menjadi perpaduan yang harmonis. Ini perlu bagi kita, karena
sebagian besar pemuda-pemuda kita yang belajar, hidup di luar lingkungan keluarga,
artinya di luar pengawasan orang tua. Sehingga kita perlu pondok, tempat anak-anak
selain mendapat makan dan minum, terutama sekali mendapat pendidikan untuk
mencerdaskan jiwanya dengan bercermin pada perilaku dan kehidupan si guru, kiai.

Tidak bisa pendidikan kolonial, yang memberikan pendidikan ala Barat, yang
memberikan pendidikan itu pada kita melalui guru-gurunya. Kehidupan jiwa Barat,
ideal dan kemanusiaannya sering bertentangan dengan pendapat kita. Mereka tidak
menjiwai apa yang disebut pendidikan sejati yang cocok bagi kita. Siapa yang percaya
pada pendapat yang sebaliknya, menunjukkan ketidakmampuannya melihat realitas,
keadaan yang nyata.

Memiliki keahlian pekerjaan itu bisa baik sekali. Ini dapat saya pastikan dari
pengalaman saya sendiri, dari pergaulan saya setiap hari dengan kolega guru-guru
sekolah N.I.A. Namun, pendidikan itu tidak ”hidup”, ”tidak berjiwa”. Di dalam negeri
yang merdeka di mana guru dan murid menjadi satu, perbedaan itu tampak nyata dan
dapat dirasakan.

3) Bangsa yang tidak mendengar kata kiai, menghormati serta memujinya, tak
mengikuti pemegang-pemegang obornya, bangsa yang seperti itu akan terkutuk dan
akan hidup dalam kekeliruan dan kegelapan. Tuan Sutan Takdir Alisjahbana belum
mengerti arti kiai yang saya maksud.

4) Siapa yang mau membangun atau merobohkan, hendak memecahkan suatu


masalah apa pun, harus mempelajari sejarah agar sedikit peluang melakukan
kesalahan. Tanpa cara bekerja yang seperti ini, berarti tidak ilmiah. Barangkali Tuan
Sutan Takdir Alisjahbana belum menyadari hal itu, maka saya persilakan
mengunjungi beberapa perpustakaan sekolah-sekolah tinggi di Jakarta dan membaca
berbagai tesis orang yang pandai-pandai. Saya yakin pendapatnya akan berubah.

Jawaban saya yang pendek ini adalah bukti bahwa saya tidak merendahkan pribadi
Tuan Sutan Takdir Alisjahbana bahkan saya tetap memuji dan menghormati gayanya
dan ekspresi buah pikiran beliau, tetapi isi buah penanya tidak dapat saya setujui.

Kritik Atas Kritik - Adinegoro


Sekarang ini golongan yang hampir secara dasarnya Dr. Cipto dan Sutan Takdir
Alisjahbana belum terkemuka, karena pujangga-pujangganya belum begitu menyadari dasar-
dasarnya. Melainkan, masih dalam zaman mengkritik dan mencari jalan keluar ke lapangan
yang amat lebat yang belum ada menara yang menunjukkan jalan dan tujuan. Namun, kita
yakin pergeseran dalam pandangan itu baru bisa terjadi jika segala permasalahan itu telah
menemukan sintesisnya (sebagaimana umumnya yang terjadi pada dialektika, cat.peny.)

Kelak akan tampak jelas perbedaan pendirian antara pandangan para ahli pendidik kita, yang
satu atas dasar kemandekan yang menginginkan tertib damai, dan yang lain berdasar
dinamika yang mementingkan kondisi perjuangan hidup, tidak mau lari kembali ke benteng
masa lalu. ”Terbang” kembali ke zaman Majapahit”. Seperti kata Cipto.

Kita memang tidak sepaham dengan kritik Sutan Takdir Alisjahbana yang mengatakan bahwa
soal intelektualisme, individualisme, egoisme, dan materialisme itu bukan masalah
masyarakat Indonesia, karena ini masalah yang universal. Ditemui di semua bangsa, di semua
budaya, dahulu dan sekarang. Hanya saja kita jangan lupa bahwa penekanannya saja yang
mesti dibedakan setiap kali mempertimbangkan masalah itu secara kebudayaan.

Bahaya intelektualisme, individualisme, egoisme, dan materialisme itu memang ada dalam
masyarakat kita, bukan cuma mimpi, hanya saja tidak sebesar di masyarakat Barat.

Kita tidak heran dengan pendirian dan pemahaman pentolan-pentolan yang berbicara di
Kongres Pendidikan Nasional itu, karena memang itu dasar filosofisnya, hanya berbeda
sedikit antara satu dengan lainnya.

Antara Sutomo dengan Ki Hajar perbedaannya hanya dalam tingkatannya, sedang dasar
filosofinya tinggi dan khas sekalipun berpaling juga dari inti, membenarkan dunia dan
menafikan dunia. Dalam batinnya tak membedakan antara rohani dan inti, tetapi inti itulah
rohani ibarat kulit telur dengan isinya menyatu. Dengan pembatasan filosofis lebih jelas kalau
kita bilang bahwa dasar filosofis Tuan-tuan ialah ”idealisme yang terkurung” tidak dalam
posisi yang berlawanan.

Memang mungkin begitu bila mengingat bahwa filosofi aliran Hindu umumnya meniadakan
duniawi dan tujuan terakhirnya nirwana.

Maka berkaitan dengan ini kita sebutkan apa yang Dr. Cipto katakan: ”Haluan itu ialah
melahirkan diri dari kemauan zaman sekarang” vlucht uit het heden (Haluan itu bagai terbang
ke masa lalu, cat. peny.). Sudah, memangnya barangkali begitu kalau mengingat, bahwa
”hinduistische” filofosi ialah pada umumnya meniadakan duniawi dan tujuan yang paling
terakhir ialah : nirwana.

Maka berhubung dengan ini kita sebut apa yang Dr. Cipto bilang:

Mereka bukan salah analisis atau salah mengemukakan masalah. Kalaupun ada salahnya
ialah karena berlainan dasar filosofi antara Dr. Cipto (dalam Suara Umum) dan Sutan
Takdir Alisjahbana (dalam Bintang Timur).

Yang menimbulkan keheranan bukan lantaran ”salahnya” itu, melainkan karena semua
pembicara tersebut mencela intelektualisme padahal mereka sendiri berasal dari pendidikan
intelektual. Bukan dari sekolah anti-intelektualisme.
Kita sudah kemukakan bahwa menurut pendapat kita tidak betul jika masalah intelektualisme,
individualisme, egoisme, materialisme bukan masalah masyarakat Indonesia. Malah kalau
kita perhatikan dasar-dasar keagamaan, baik dari Pihak Kristen atau Islam, materialisme itu
diperangi juga, dilawan sebagai musuh dalam kemajuan keimanan manusia. Permusuhan
terhadap sifat-sifat yang empat itu juga muncul dari agama Hindu. Sifat materialisme adalah
sifat yang hanya mementingkan kemajuan kebendaan. Orang yang materialis tidak bisa
diharap mau memperhatikan kemauan sosial, dan apa pun yang tidak mendatangkan
keuntungan berupa uang atau benda, baginya tidak berharga.

Demikian juga bangsa yang berdasarkan materialisme ibarat satu bangsa yang tidak
mempunyai perasaan untuk kemajuan bidang lain kecuali ”mata duitan”.

Apakah intelektualisme bersarang dalam batinnya? Kalau mengikuti haluan itu pada keadaan
seseorang, mestinya dia mempunyai otak besar. Hanya melulu otak, tanpa perasaan
kemanusiaan. Akibatnya, segala perbuatannya hanya dilakukan tanpa ada perasaan.
Intelektualisme menghargai apa yang ada di pikiran saja. Ia tidak mewakili kepentingan
perasaan. Inilah pendirian yang dalam bahasa Belanda disebut ”intelektualisme dingin”.
Meskipun manusia itu mempunyai “jantung hati” yang punya rasa gembira atau iba, tetapi
perasaan itu tidak dipedulikan, hanya terpaku pada otak saja, pada keningnya yang lebar.
Otak besar saja berbahaya bagi kita, sama dengan “perut besar” dan tabiat rakus,
sebagaimana halnya materialisme.

Individualisme yang berkawan karib sekali dengan egoisme ialah sekutu materialisme, karena
tujuan hidupnya sendiri-sendiri, bermusuhan dengan sosial. Kalau suatu bangsa meletakkan
dasar pandangan hidup materialistis, kelak akan terjerumus ke lembah kapitalisme dan
imperealisme, yang menggilas kaum lemah, dan memperbesar perbedaan kelas dalm
masyarakat – yang sudah pasti selalu ada perbedaan kelas-kelas itu.

Sebagai obat penawar, Tuan Sutan Takdir Alisjahbana memberi resep yang boleh jadi
menyesatkan. Meski kita maklum apa yang dimaksudnya dengan: “Otak Indonesia harus
diasah menyamai otak Barat, individu harus dihidupkan sehidup-hidupnya dan kepentingan
diri harus disadarkan sesadar-sadarnya, serta bangsa Indonesia harus didorong memakai
dan mengumpulkan harta dunia sebanyak mungkin,” tetapi anjuran penulis tersebut bisa
menyesatkan orang banyak.

Oleh karena itu, harus diperbaiki susunan langkah kritiknya.

Kalau salah langkah, dapat terjerumus ke dalam lembah yang tidak diinginkan siapa pun.
Batas-batas tujuannya sudah hilang dalam garis-garis yang digambarkannya itu. Sebab amat
luas kaburnya. Penulis bahkan bisa menyesatkan orang-orang yang dikritik. Mengapa harus
tepat betul apa yang dimaksud?

Di manakah titik temu antara kedua macam pandangan itu?


Kalau kita anggap keduanya betul, bagaimana baiknya menurut pikiran kita agar orang tidak
keliru terhadap dua pandangan yang tampaknya berseberangan itu? hal itu perlu perhatian
khusus.

Uraian berikut bukan lagi untuk mengadu perbandingan dan kritik, melainkan untuk
menunjukkan hal-hal yang positif sebagaimana dikehendaki oleh Sutan Takdir Alisjahbana
sejak awal. Kita tidak mengatakan bahwa pandangan yang satu bersifat negatif. Anti-
intelektualisme dan anti-materialisme itu hanya negatif dalam istilahnya. Namun, positif
dalam wujudnya. Ibarat pertentangan penjuru angin, timur dan barat, serta dunia Timur dan
dunia Barat.

Dalam hal ini kita pakai istilah “Timur”, tidak semata-mata berarti Timur bermusuhan
dengan Barat, melainkan ada makna lain. Ada perbedaan dan ada persamaan Barat dan Timur
yang perlu dipahami bersama. Dapat dijelaskan bahwa kita sama-sama sepaham dengan
analisis kedua belah pihak yang bertentangan, meskipun salah satu mengatakan pihak lain
salah analisis.

Kalau perhatian tertuju pada ucapan anti saja, maka kita belum bisa mengatakan anti itu
berarti negatif. Sebab, arti anti pada suatu pendirian itu juga merupakan hasil pendirian yang
positif.

Umpamanya, seseorang disebut anti internasionalisme, karena dia pro-nasionalisme. Atau,


orang menyebut dia anti-imperealisme, karena dia pro-keadilan yang dapat diperoleh dengan
cara aman. Anti materialisme karena pro-idealisme.

Orang yang selalu pro saja, kalau tidak mengenal anti berarti negatif juga, karena tidak akan
tahu ada bahaya yang bisa mengancam pergerakannya. Orang pro-persatuan, umpamanya,
juga harus tahu pendirian orang yang anti-persatuan, agar pandangannya tidak berat sebelah
dan mengetahui ranjau-ranjau di jalannya.

Yang kita kehendaki ialah kepuasan dengan tidak berat sebelah dalam pemahaman kita.

Apakah sebenarnya yang dimaksud oleh Tuan Sutan Takdir Alisjahbana, sebagaimana
tercantum dalam resep yang diberikan sebagai petunjuk bagi kita?

Otak Timur mesti sama dengan otak Barat, kepentingan harus disetel ala Barat, gaya hidup
harus diputar sama dengan kehidupan orang Barat. Dalam resep itu rasanya ada semacam
kekeliruan, karena tidak dibedakan antara kultur dengan civilisatie (peradaban, cat.peny.),
dua hal yang saling timbal balik, tetapi jelas berbeda, ibarat pohon kayu dengan kulitnya.
Pohon itu memiliki nilai, tetapi kulitnya juga penting.

Sutan Takdir Alisjahbana menghendaki kemajuan, sama seperti pemrasaran yang dikritiknya,
tetapi kemajuan yang dimaksudnya adalah peradaban bukan kebudayaan, “kulitnya” bukan
“kayunya”. Ada bangsa yang hanya mempunyai civilisatie, tetapi tidak berkultur, ibarat satu
manusia yang “berwajah cantik tetapi berhati busuk”.
Sebaliknya ada juga bangsa yang berbudaya tinggi, tetapi belum merata peradabannya,
misalnya bangsa Tionghoa. Bangsa yang sudah memiliki keduanya misalnya bangsa Jepang,
kebudayaan Timur dengan peradaban Barat! Budaya Timur tak dapat diubah menjadi budaya
Barat, tetapi peradabannya bisa sama.

Para pemimpin kita harus pandai membedakan antara budaya dan peradaban Barat yang
dpertukarkan, “dapat dipindah-pindah” kata ahli filosofi Graf Keyserling dalam bukunya,
“Die Neue Entstehende Welt” (Dunia yang Baru Terwujud).

Perbedaan kultur dengan peradaban ibarat manusia dengan pakaiannya. Misalnya, bangsa
Jepang sekarang. Ia tetap berkultur Timur, tetapi berperadaban Barat.

Orang Jepang sudah mampu menyamakan kedudukannya dengan bangsa Eropa, karena
peradaban Barat sudah dipindahkan ke Jepang, meski kulturnya masih tetap seperti dulu, ala
Tiongkok.

Budaya ialah yang erat melekat pada jiwa setiap bangsa yang ditampakkan dalam
karakternya, dalam wataknya yang tidak dapat diubah mengikuti barang tiruan. Namun,
pengetahuannya, tekniknya, cara hidupnya, jelas sekali bisa berubah. Perhatikan saja bangsa
kita sekarang sudah bisa makan memakai sendok, bisa mengemudikan motor, memakai
pakaian mentereng, dan bisa menjalankan perusahaan-perusahaan besar, meskipun kita tetap
tinggal dalam lingkungan budaya Timur. Kecerdasan Barat, kebutuhan hidup ala Barat, tetapi
hati tetap Timur.

Apa yang benar-benar berupa peradaban, contohnya, di bidang teknik. Kita belum tahu
seberapa jauh kemajuan teknik mampu merasuk sampai ke sumsum bangsa kita. Boleh jadi
pengaruhnya tidak akan terlalu sama seperti yang berlaku di Barat. Sebab reaksinya
berlainan. Kalaupun kita sudah menjadi bangsa yang mulai menyukai bidang teknik, tidak
berarti menjadi seperti bangsa Jerman yang terkenal sebagai bangsa yang ahli teknologi.

Teknik itu bisa terus berganti dan dapat dilihat dari bukti sehari-hari.

Sepeda dan motor ialah bukti teknik yang sangat populer. Orang kita tidak heran melihat
sepeda, bahkan sudah menjadi kebutuhan sehari-hari. Demikian juga dengan lampu listrik,
gramofon, dan telepon, dengan mudah kita mampu menyesuaikan.

Bukankah sudah banyak bangsa kita yang amat berhasil belajar di sekolah-sekolah dengan
kurikulum teknik. Tidakkah sudah banyak montir bangsa kita yang ahli dalam urusan teknik
dan mesin-mesin?

Beberapa orang Barat yang ahli pertukangan dan telah memimpin tukang-tukang bangsa
Indonesia, tercengang melihat mereka begitu cepat menguasai bidang teknik. Akan tetapi,
jangan bermimpi kita bisa mencetak orang menjadi Kant kedua atau Goethe Indonesia,
karena itu masuk di wilayah budaya yang spesifik Barat.
Orang kita bisa menjadi ahli pikir, yang mungkin saja akan sama modernnya dengan Tagore
dan Ki Hajar yang lebih dalam serta lebih tersusun filosofinya.

Faktanya sampai saat ini pahlawan-pahlawan pikiran alias para filosof bangsa kita berbeda
dengan Barat. Tentu kemajuannya pun kelak tetap akan berbeda terus dari kemajuan jiwa dan
pikiran Barat. Sementara kalau peradaban bisa sama dengan peradaban Barat.

Ringkasnya, budaya tidak dapat berpindah tempat. Boleh dibilang Borobudur tidak bisa
dihasilkan oleh Benua Barat. Sebaliknya, bangunan-bangunan zaman purbakala yang terdapat
di Yunani tidak bisa ditiru oleh bangsa kita. Kesenian dan filosofi tidak bisa disamakan
dengan teknik, karena bukan termasuk golongan peradaban yang bisa berpindah-pindah.

Dalam tiap jiwa dan wataknya tersimpan pembawaan-pembawaan yang spesifik. Di Eropa
lain dengan di sini, dan lahir sesuai dengan hukum alamnya masing-masing. Ibarat pohon
yang berbuah dan berbunga menurut sifatnya. Pohon rambutan tidak akan berbuah mangga
dan sebaliknya. Anak itik tidak mungkin menjadi ayam, dan sebaliknya.

Buah apel kalau ditanam di Indonesia bisa tumbuh, tetapi tidak bisa berbuah, karena hawa
dan tanah di sini berbeda. Demikian juga budaya Barat, kalaupun bisa kita tiru di sini tidak
akan berbuah. Namun, secara teknis ada satu kondisi yang tidak berhubungan dengan jiwa
kebangsaan yang dapat tumbuh dan diminati orang di sini. Demikian juga hal-hal lain yang
masuk wilayah peradaban.

Kita membenarkan dalil-dalil Ki Hajar dan para ahli pikir lainnya dari bangsa kita yang
bersuara filosofis di kongres pendidikan nasional yang baru berlalu, karena mereka
membicarakan masalah budaya dan bahaya-bahaya yang dapat merusak budaya bangsa
Indonesia, sedang Sutan Takdir Alisjahbana hanya mengemukakan peradaban. Di sinilah
perselisihan terjadi, padahal perselisihan itu tidak bertentangan, tetapi berdampingan satu
dengan lainnya. Budaya Timur tidak dapat diganti atau diubah menjadi budaya Barat, tetapi
peradaban Barat dapat dipindahkan ke dunia Timur.

Kalau orang berbicara masalah budaya, orang berselimut dalam satu kesadaran yang oleh
orang Belanda dinamakan ”enerlijke geestesgesteldheid, behoorende, tot een bepaalde
cultuur-ideaal,” kondisi semangat batinnya sudah terpenuhi oleh budaya yang ideal. Orang
Jawa dan daerah lain di Indonesia budayanya telah diwarnai oleh budaya Hindu zaman
Majapahit yang menurut akal dianggap sebagai warisan budaya Majapahit, hingga Dr. Cipto
bilang ”de Majapaiter Ki Hajar”.

Bagaimana bangkitnya budaya Indonesia di kemudian hari tentu berkaitan dengan kesadaran
bangsa kita tentang keinsafan (pandangan, cat.peny.) hidupnya, kemerdekaan jiwanya. Itu
menjadi makanan otak pahlawan-pahlawan pikiran kita khususnya falsafah budaya yang akan
menentukan kemajuan budaya di zaman yang serba tak menentu ini. Akan tetapi, satu hal
yang sudah pasti adalah kita butuh peradaban ala Barat. Bidang pendidikan kita harus
difokuskan pada apa yang masih kurang. Kemajuan bangsa Indonesia menjadi berat karena
terlalu mengikuti budaya. Oleh karena itu, mulai sekarang kekurangan-kekurangan pada
bidang itu mesti diperbaiki, agar terhindar dari kemajuan yang berat sebelah, yang tidak
harmonis.

Inilah garis besar jawaban atas masalah yang terbentang di depan kita, kalau ditilik hanya
pada sisi filosofisnya.

Synthese antara Barat dan Timur - Sutan Takdir Alisjahbana


Menjawab Tuan Adinegoro.

Jiwa di belakang teknik Barat.

Jiwa Indonesia dan jiwa Jepang.

Semboyan lepas dari India.

Kritik saya terhadap beberapa prasaran Permusyawaratan Perguruan Indonesia di Solo


dibicarakan oleh Tuan Adinegoro (Jamaluddin) dalam Pewarta Deli. Kritik saya itu
dikritiknya pula. Oleh karena soal yang dikemukakan dalam kritik saya dulu mengenai soal
”Barat” dan ”Timur”, maka kita berharap Tuan Adinegoro akan memberi pandangan yang
nyata dan jelas. Sebab di antara jurnalis kita sekarang ini, ia terhitung orang yang telah jauh
mengkaji soal jiwa dan kebudayaan, terutama soal ”Timur” dan ”Barat”.

Terus terang, saya agak kecewa membaca pandangannya yang dimuat dalam Pewarta Deli 27
Juni, 1,2,3 Juli yang membahas soal itu terkait dengan kritik saya. Kekecewaan itu bukan
karena ia tidak sepaham dengan saya. Sama sekali bukan. Tetapi, karena pandangan Tuan
Adinegoro tidak memperlihatkan pendirian yang jelas. Beberapa hal dicampur aduk seolah-
olah inti permasalahan baginya masih kabur, belum terang-benderang.

Sementara itu, kritiknya justru memberi kesempatan kepada saya melihat masalah itu dengan
sudut pandang yang lebih luas dan mendalam.

Tuan Adinegoro membantah ucapan saya yang mengatakan masalah individualisme,


intelektualisme, egoisme, dan materialisme bukan masalah bangsa kita. Katanya itu masalah
bangsa kita, karena masalah itu sifatnya umum. Saya pun tahu, itu masalah umum.

Dalam pandangan saya, setiap bangsa mempunyai sekumpulan masalah yang mendesak yang
harus diselesaikan. Itu yang amat perlu diperhatikan.

Agar menjadi jelas, sebaiknya kita pakai analogi sederhana. Bangsa Indonesia sekarang harus
memasak nasi. Yang perlu dilakukan pertama adalah menghidupkan api. Bagi bangsa Barat
nasi itu sudah masak, api pun sudah menyala. Masalahnya bagi bangsa Barat adalah
bagaimana menjaga supaya nasi tidak hangus. Demikian pula, bagi Barat bukan masalah
membesarkan api, tapi bagaimana mengecilkan api.
Kalau bangsa Indonesia sekarang harus berpikir keras, bagaimana mengecilkan api
(baca: intelektualisme, individualisme, egoisme, materialisme). Maka yang saya takuti nasi
Indonesia tak pernah bisa masak, sebab apinya pun tidak pernah hidup.

Dalam karangan itu juga Tuan Adinegoro membandingkan pandangan saya dengan Dr. Cipto
Mangunkusumo, sedang Dr. Sutomo disejajarkan dengan Ki Hajar Dewantara. Yang pertama
membenarkan dunia, yang kedua menafikan dunia. Yang pertama dasar filosofisnya dualistis,
yang kedua monistis, yang pertama menyatakan perjuangan hidup, yang kedua
mementingkan tertib damai.

Dalam karangannya itu jelas diungkapkan bahwa saya bertentangan paham dan pandangan
hidup dengan Dr. Sutomo dan Ki Hajar. Meskipun secara sepintas pertentangan yang
digambarkannya itu terlampau tajam, terlampau keras, tetapi ada benarnya. Tidak ada
manusia di dunia ini yang 100 persen statis dan 100 persen dinamis. Perbedaannya terletak
pada perbandingan mana yang lebih banyak antara sifat kemandekan dan kedinamisan itu.
Yang seorang lebih dinamis dari yang lain.

Dalam hal itu benar, bahwa pendirian saya lebih dekat kepada Dr. Cipto, sedangkan Dr.
Sutomo lebih dekat kepada Ki Hajar. Sebaliknya, antara saya dengan Ki Hajar lebih besar
perbedaannya daripada saya dengan Dr. Sutomo. Cipto lebih dekat ke Barat, sedang Ki Hajar
lebih dekat ke India.

Namun, tiga hari sesudah itu Tuan Adinegoro telah beralih pendirian. Yang tiga hari sebelum
itu dikatakannya bertentangan, sekarang dikatakannya masing-masing saling melengkapi.

Boleh jadi hal itu karena ia membaca buku Graf Keyserling Die Neue Entstehende
Welt (Dunia yang Baru Terwujud).

Dalam buku tersebut, menurut Tuan Adinegoro, dibedakan antara kebudayaan dengan
peradaban. Adinegoro menghendaki agar kaum terpelajar kita mampu membedakan
keduanya itu.

Bacalah bagaimana Adinegoro membedakan kebudayaan dan peradaban.

Dalam resep itu rasanya ada semacam kekeliruan, karena tidak dibedakan antara kultur
dengan civilisatie (peradaban, cat.peny.), dua hal yang saling timbal balik, tetapi jelas
berbeda, ibarat pohon kayu dengan kulitnya. Pohon itu bernilai untuk selama-lamanya,
tetapi kulitnya pun bernilai juga.

Sutan Takdir Alisjahbana menghendaki kemajuan, sejalan seperti prasaran yang dikritiknya,
meskipun yang dimaksudnya adalah kemajuan peradaban bukan kebudayaan, “kulitnya”
bukan “kayunya”.

Ada bangsa yang hanya mempunyai peradaban saja tidak berkebudayaan, ibarat satu
manusia yang “bermuka cantik, hatinya busuk”.
Ada pula sebaliknya, bangsa yang berbudayaan tinggi, tetapi belum seragam peradabannya,
misalnya bangsa Tionghoa. Bangsa yang sudah memiliki keduanya adalah bangsa Jepang,
budaya Timur dengan peradaban Barat.

Budaya Timur tak bisa diubah menjadi budaya Barat, tetapi peradabannya bisa sama.

Dalam karangan selanjutnya, perbedaan itu lebih ditegaskan sebagai berikut:

Budaya itu rapi melekat pada jiwa bangsa-bangsa dan jiwa bangsa itu tampak dalam
karakternya, dalam tabiatnya, dan itu tidak dapat diubah-ubah seperti barang tiruan. Tapi,
pengetahuannya, tekniknya, gaya hidupnya, jelas sekali dapat berubah-ubah. Perhatikan
saja, bangsa kita sekarang sudah terbiasa makan memakai sendok, sudah bisa naik motor,
memakai pakaian yang mentereng, dan bisa menjalankan perusahaan-perusahaan besar.
Tapi kita tetap tinggal dalam lingkungan perasaan Timur. Kecerdasan Barat, cara hidup
secara Barat, tetapi hati Timur.

Seperti dituturkan Adinegoro ini, perbedaan antara kebudayaan dengan peradaban sangat
kacau dan kabur. Dan apabila Tuan Adinegoro mengatakan bahwa teknik, ilmu pengetahuan,
masuk bagian peradaban yang bisa dipindah-pindahkan dan ditukar-tukar bagai pakaian, yang
berpindah-pindah, maka Adinegoro tampaknya kurang mengerti akan hakikat teknik dan ilmu
pengetahuan Barat sekarang ini.

Ilmu Pengetahuan Alam yang melahirkan teknik merupakan sesuatu yang sangat khas dari
kebudayaan Barat sekarang ini. Saya mau mengutip pernyataan Tuan Adinegoro bahwa
teknik dan ilmu pengetahuan itu bisa dianggap sebagai kulit kayu, namun jangan sekali-kali
kita lupa, hanya pohon kina yang mungkin menghasilkan kulit kina. Pohon beringin
bagaimanapun akan tetap menghasilkan kulit beringin.

Mengapa ilmu pengetahuan dan teknik yang kagumi muncul dan tumbuhnya di Barat.
Mengapa tidak di tepi Sungai Gangga?

Pertanyaan serupa itu membawa kita kepada inti masalah. Bukan kebetulan teknik dan ilmu
pengetahuan lahir di Barat dan tidak di India dan Pulau Jawa. Sebabnya tidak lain dan tidak
bukan, karena jiwa India dan bangsa kita tidak mampu, tidak cakap menghasilkan yang
demikian, karena tidak cukup memiliki syarat-syarat yang diperlukan untuk melahirkan
teknik dan ilmu pengetahuan yang serupa itu.

Ilmu pengetahuan dan teknik Barat itu sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari jiwa, pendirian
hidup, dari falsafah hidup ala Barat. Barat melepaskan dirinya dari alam dan diri yang
terlepas dari alam ini ingin menguasai alam, ingin memakai alam untuk dirinya. Pendirian
serupa ini berasal dari bangsa Samied (agama Yahudi, Nasrani, dan Islam).

Sebaliknya, filsafat India ingin menyatukan diri dan melebur diri dalam alam. Orang yang
ingin bersatu dan mencari harmoni dengan alam tak akan pernah mampu menguasai alam.
Selama pendirian tentang menguasai alam belum menjadi darah daging bangsa kita, selama
itu pula ilmu pengetahuan dan teknik itu tak akan hidup subur di negeri kita ini.

Orang sering mengeluh bahwa kaum terpelajar bangsa kita sekarang ini kurang produktif,
meski mereka telah begitu banyak menimba ilmu pengetahuan dari Barat. Kalau
dibandingkan dengan ahli-ahli Barat, ilmu pengetahuan yang ada di dada mereka itu amat
sedikit membuahkan hasil. Hal ini sebenarnya tidak usah mengherankan. Umumnya kaum
terpelajar dan ahli-ahli ilmu pengetahuan kita belum mempunyai jiwa Barat yang gelisah
mencari di laut, di udara, dan di dalam tanah, yang setiap hari berusaha mencapai yang
setinggi mungkin dan sesempurna mungkin, yang belum puas sebelum keinginannya tercapai.
Hari ini merampungkan pekerjaan, besok telah mencari jalan lagi untuk memperbaiki hasil
pekerjaan yang kemarin. Puncak gunung yang menjulang, langit, kutub yang dingin diliputi
es, stratosfer yang jauh di awang di jelajahi, untuk memenuhi rasa ingin tahu yang tak
tertahankan, sekalipun itu membahayakan dirinya. Seperti orang Barat di lapangan rumput
berlomba memecah rekor, demikianlah di lapangan pengetahuan, mereka berlomba mengejar
setinggi-tingginya yang bisa tercapai. Pendapat yang mengherankan segera disusul oleh
pendapat yang lebih menghebohkan lagi.

Dalam karangan ”China tegen de Westerkim” (China Menyongsong Cakrawala Barat), J.J.L.
Duyvendak berkata :

Er is ware grootheid in de rustige beheersching van natuurkrachten, in de onvermoeide,


volhardende energie die ruimte en tijd weet te overwinnen, en die niet een keer, maar
onophoundelijk, elke minuut, de begonnen taak met de toewijding voortzet. Er is geestelijke
grootheid in een ekonomisch gedreven machine, in een goed gevoerde administratie, in een
sluitende rekening in een welonder-houden straat en in een zindelijk lichaam. Elke techniesch
volmaakt werktuig eischt toewijding. Waarheidsliefde, zelf discipline. Met gelijke
bewondering kan ik denken aan een vliegtuig, een stofzuiger, de boekhouding van een groote
bank, het ingewikkeld system van seinen en wissels op een spoorlijn, of het wisslend lichtspel
van vuurtorens. De geest, die dit tot stand brengt is groot. Hij moge van de aard aardsch zijn,
hij moge dit leven bij uitsek belangrijk achten, hij moge geloven in het “nu hier en straks”
maar hij is moedig en heft den ontembaren drift iets goeds tot stand te brengen. Hij knoeit
niet en transigeert niet, en hij heeft de kracht zuiver te handelen ten bate van iets grooters
dan een persoonlijk belang.

(Terdapat keagungan sejati di dalam ketenangan menguasai kekuatan-kekuatan alam yang tak
terduga, dalam kekuatan yang tak letih-letihnya penuh ketekunan, yang dapat mengalahkan
ruang dan waktu, dan tak cuma satu kali, tapi terus menerus, tiap menit, melanjutkan dengan
khidmat tugas yang telah dimulai. Terdapat keagungan batiniah dalam sebuah mesin yang
digerakkan secara ekonomi, dalam satu pemerintahan yang dilaksanakan dengan baik, dalam
sebuah jalan yang terawat baik, dalam sebuah rekening yang cocok, dan dalam tubuh yang
bersih. Setiap alat yang secara teknis sempurna menurut kesungguhan, cinta kebenaran, dan
disiplin diri sendiri. Dengan kekaguman serupa saya dapat memikirkan sebuah pesawat
terbang, suatu penyedot debu, tata buku sebuah bank besar, sistem rumit dan peluit di rel
kereta api, atau permainan cahaya silih berganti dari menara suar. Semangat yang
mewujudkan ini pastilah besar. Dia mungkin bersifat duniawi, dia mungkin menganggap
hidup ini sangat penting, ia mungkin percaya pada “dunia dan akhirat”, namun dia berani dan
memiliki kecenderungan tidak mudah tunduk untuk melaksanakan sesuatu yang baik, dia
tidak berbohong dan tidak berkompromi, dia mempunyai kekuatan untuk bertindak murni,
untuk kebaikan sesuatu yang besar ketimbang kepentingan pribadi).

Sesungguhnya besar, kuat, giat, dan gembira di dalam jiwa itulah yang melahirkan ilmu
pengetahuan dan teknik di Barat.

Dan selama jiwa yang besar, kuat, dan giat, gembira, serta suka berkorban seperti jiwa Barat
itu belum terdapat di kalangan bangsa Indonesia, jangan harap bangsa Indonesia dapat
menghidupkan ilmu pengetahuan dan teknik sebesar dan seluhur yang telah dicapai Barat.

Sekali lagi, ilmu pengetahuan dan teknik Barat sebagai ilmu pengetahuan tidak bisa
dipertukarkan seperti pakaian yang melekat di badan manusia. Ilmu pengetahuan dari jiwa
yang aktif. Jika jiwanya tidak ada, ia tidak akan ada pula. Hanya pohon kina yang mungkin
menghasilkan kulit kina yang berkhasiat baik.

Malah, jika tanpa jiwa tersebut di belakang semuanya itu, meriam, kapal terbang, dan
sebagainya yang dilahirkan oleh ilmu pengetahuan Barat pun tidak ada gunanya. J.J.L.
Duyvendak berkata tentang bangsa Tionghoa dalam peperangan dengan Jepang dalam tahun
1894-1895:

Men had een vloot toegerust met westersche bewapening, maar zij bleek volstrekt
waardeloos. Haar organisatie was niet in orde haar geest deugde niet, en men begon te
begrijpen, dan men nog niets had aan oorlogscheppen met kannonen, als de mannen achter
het kanon niet van een nieuwen geest waren bezield.

(Orang menyiapkan suatu armada dengan persenjataan Barat, tapi ternyata sama sekali tidak
berharga. Organisasinya tidak beres, semangatnya tidak bagus, dan orang mulai mengerti
bahwa tidak ada gunanya kapal-kapal perang dan meriam-meriam apabila orang-orang yang
berada di belakang meriam-meriam itu belum menghayati semangat baru).

Bangsa kita harusnya menyadari bahwa kita tidak mungkin menguasai ilmu pengetahuan dan
teknik yang setinggi dan seluhur Barat, apabila bangsa kita tidak mau berubah dari akar-
akarnya, dari dasar jiwanya. Ucapan Tsjhen Toesjioe, pemimpin majalah Pemuda Baru yang
menjadi pembimbing semangat Renaissance di Tiongkok, yang tegas dan nyata ini,
hendaknya disadari oleh bangsa kita yang masih pusing kepala memikirkan perpaduan Timur
dan Barat.

...bahwa semua perubahan dan reformasi di Tiongkok tidak akan bermanfaat kecuali jika
orang siap mengubah seluruh dasar kebudayaan yakni filsafat, sikap hidup. Tidak hanya
dalam soal material, teknik, seni memerintah, Tiongkok kurang daripada Barat, tapi juga
filsafat hidupnya tidak benar.
Tidak akan membantu bila orang yang telah mengambil alih suatu barang tunggal dari
Barat, bila orang mau mencapai apa yang telah dicapai oleh Barat maka orang harus
menganggap peradaban Barat sebagai sebuah keseluruhan yang lengkap dan menjadikan
falsafah hidup Barat sebagai miliknya. (China tegen de Westerkim).

...dat alle veranderingen en hervormingen in China niets zouden baten, tenzij men bereid was
den grondslag van de geheele cultuur te veranderen, d.i de philosophie, de levenshouding.

Het hielp niet of men van den Westersche beschaving als een integraal geheel te beschouwen
en de Westersche levensphilosophie tot de zijne te maken. (China tegen de Westerkim).

Tiongkok negeri yang setinggi itu budayanya, demikian teriak pemudanya.

Banyak kaum terpelajar bangsa kita yang masih berteriak : Perpaduan antara Barat yang
materialistis, intelektualistis, dan individualistis dengan Timur yang tinggi kebatinannya,
luhur budinya.

Saya ingin mengingatkan kaum terpelajar kita akan suatu hal. Jangan terjebak pada
pernyataan bahwa Barat itu hanya intelektualistis, individualistis, sedangkan Timur itu
agamais, luhur kebatinannya, dan mulia rohaninya. Pandangan yang demikian menipu diri
sendiri. Tidak benar bahwa Barat hanya besar dalam hal lahiriah, kebendaan, dan otak.
Kebudayaan yang sehebat kebudayaan Barat sekarang ini tidak mungkin dapat berdiri jika
ditopang oleh budi yang luhur, batin yang mulia pula. Kita hanya bergaul dengan orang-
orang dagang, dengan kaum buruh bangsa Eropa. Di jalan-jalan kita melihat pakaian
perempuan Barat yang mencolok mata. Di restoran, kita melihat pelaut Eropa mabuk-
mabukan. Dengan melihat sekilas kita langsung menyimpulkan bahwa orang Barat tidak
mempunyai kehidupan batin, moral Barat tidak berapa tinggi bahwa Barat tidak mempunyai
keluhuran budi. Namun, kita lupa bahwa selain mereka, yang setiap hari kelihatan dalam
pergaulan di negeri kita ini, masyarakat Eropa itu ada juga dari kalangan ahli filsafat, ahli
agama, kaum pujangga.

Bangsa kita maunya segera pulang kampung jika dipindahkan kerja di tempat yang agak jauh
sedikit dari tempat lahirnya. Padahal Zending dan Missie (penyebar agama Kristen dan
Katolik, cat.peny.) dari Eropa menyebar ke seluruh dunia, dari pusat Tanah Toraja sampai ke
pusat Tiongkok dan Afrika untuk membawa agamanya, keluhuran batin, tanpa peduli pada
kesulitan, kemiskinan, bahkan bahaya maut sekalipun. Apakah itu pertanda bahwa Barat
tidak punya jiwa luhur?

Di samping para ahli ilmu pengetahuan, para ahli teknik, dalam sejarah Barat pun kita temui
ada ahli mistik: Agustinus, Bernard van Clairvaux, Eckehart, Ruusbroec Madame Guyon,
Luther, Calvijn, Muller, dan lain-lain.

Boleh jadi mistik Barat berbeda dari mistik Timur. Boleh jadi, mistik Nasrani berbeda dari
mistik Buddha. Pada hakikatnya, dua-duanya merupakan upaya jiwa yang mencari kehidupan
abadi dengan asal mula kehidupan.
Sebenarnya Barat secara lahir dan batinnya luhur dan mulia. Barat adalah pohon rindang
yang bercabang ke segala penjuru, dan tiap cabang penuh bertaburan daun, kembang, dan
buah yang berharga.

Sementara itu, bangsa Indonesia secara umum dalam beberapa ratus tahun terakhir ini secara
lahir dan batin sangat tak berharga. Apakah yang dihasilkan oleh bangsa kita dalam seratus
tahun belakangan ini dalam dunia kebatinan yang mempunyai arti internasional? Saya tidak
bertanya tentang hal yang berhubungan dengan kebudayaan, seperti teknik.

Bangsa Indonesia ibarat pohon yang sudah mati, dahannya tidak berdaun, tidak berkembang,
dan tidak berbuah. Kalaupun ada daun, kembang dan buahnya itu sangat kecil dan merana
sehingga boleh dikatakan tak berarti di mata dunia.

Dalam kenyataan ini, satu hal pula yang harus diingat: hanya dua benda hidup yang dapat
dikawinkan.

Berkaitan dengan soal perpaduan Barat dan Timur sering benar kaum terpelajar bangsa kita
mengambil contoh pada Jepang. Tuan Adinegoro sendiri berkata, Jepang berbudaya Timur
tapi berperadaban, hati Jepang hati Timur, tetapi intelektualitasnya Barat.

Yang amat keliru dalam hal ini adalah istilah “Barat” dan “Timur”. Jepang memang termasuk
bangsa Asia seperti bangsa Indonesia, tetapi jiwa Jepang, sikap hidup sama sekali berbeda
dengan jiwa, dengan sikap hidup bangsa Indonesia.

Demikianlah, Jepang sama sekali tidak dapat dijadikan contoh bagi bangsa kita.

Contohnya agama Buddha yang memberi jalan melebur diri aku dalam jiwa dunia, tetapi di
Jepang menjadi lain benar karena dipengaruhi oleh agama Shinto. Agama Buddha di Jepang
berbeda dengan aslinya di India sebagai suatu ajaran hidup yang praktis dan toh bersifat
memuliakan dan tidak hanya sebagai filsafat abstrak. Jadi, Jepang sama sekali tidak bisa
dijadikan contoh bagi bangsa kita. Demikianlah Jepang tidak sekali-kali dapat dijadikan
contoh bagi bangsa kita.

Ketika Barat memaksa Jepang membuka beberapa pelabuhannya pada pertengahan abad
silam, mereka bertemu dengan suatu bangsa yang hidup jiwanya, enerjik, penuh vitalitas
yang setiap saat siap berjuang. Ketika itu jiwa Jepang yang aktif mirip benar dengan jiwa
Barat yang membuahkan ilmu pengetahuan dan teknik. Seperti kata Dr. A.D.A. de Kat
Angelino dalam bukunya Staatkundig en Bestuurszorg in Ned. Indie:

Menjelang perjumpaan dengan Barat pada pertengahan abad yang lalu, Jepang telah berada di
tengah suatu evolusi yang menuju ke arah yang sama sebagaimana peristiwa-peristiwa yang
akan terjadi segera memerintahkan para pemimpin nasional untuk dapat menetapkan
sejumlah aturan.
(Aan de vooravond van de ontmoeting met het Westen in het midden der vorige eeuw was
Japan derhalve reeds midden in een evolutie, die in dezelfde richting wees als de komende
gebeurtenissen den nationale leiders gebiedend zouden voorschrijven).

Dan di tempat lain katanya pula:

”Bahkan pada tahun 1600, sebelum dimulainya evolusi, -yang akan membuat feodalisme dan
eksklusifisme – kelompok yang menyesuaikan diri kepada tuntutan-tuntutan suasana
persatuan yang dinamis dari masyarakat luas – Jepang sudah diorganisasi dengan cara
intensif sebagaimana yang belum dikenal oleh negara Timur atau abad Pertengahan yang
lain. Tepat seperti kata Ballard, ”dan sungguh suatu kebetulan bahwa Jepang berpotensi
menjadi sebuah adi kuasa dari suatu waktu sebelum terciptanya politik kebanyakan negara
yang mencakup Eropa modern.”

Kekuatannya tetap ditangguhkan, tetapi dia ada di sana.

Dan sebagaimana dibuktikan dengan benar, semenjak itu negeri itu tidak berhenti di jalan
kemajuan, perkembangannya lebih lanjut memberikan sumbangan untuk meningkat lagi ke
jenjang yang lebih tinggi memisahkan sesuatu kekuatan besar yang potensial dari yang
sebenarnya.

Semua itu dikerjakan oleh rakyat atas tenaga sendiri. Karena itu juga terdapat perubahan-
perubahan yang bagi banyak orang tidak dimengerti antara tahun 1867 dan 1876 dan banyak
menimbulkan pergeseran-pergeseran.

Zelfs in 1600, voor de evolutie begon, die feodaliteit en groepsexclusivisme zou doen
aanpassen aan de eischen van den dynamische eenheidsfeer der grootmaatschappij, was
Japan georganiseerd op een intensieve wijze als geen andere Oostersche of Middleeeuwsche
staat heft gekend. Terecht zegt Ballard: “and the real truth is that Japan has been potentially
a Great Power from a date antecedent to the political creation of most the states comprising
modern Europe.

Her strength remained in abeyance, but it was there nevertheless…”

En zooals juist werd aangetoond, sindsdien stond het land niet stil op den weg van den
vooruitgang : zijn verdure ontwikkeling droeg er het hare toe bij om nog een groot aantal
treden te beklimmen, die een potentieele van een werkelijke grootmacht scheiden. Dat alles
deed het volk uit eigen kracht. Daarom ook konden die nog steeds voor velen onbegrijpelijke
hervomingen tusschen 1867-1876 veel frictie tot stand komen.

Bisa kita katakan bahwa meskipun Jepang tak bertemu dengan Barat, mereka dengan
kekuatan sendiri mampu mencapai kemajuan Barat. Sebab mereka sedang di jalan perubahan
menuju ke arah itu. pertemuan dengan Barat itu hanya mempercepat perubahan itu.

Beda sekali dengan bangsa Indonesia. Ketika Barat bertemu kita, bangsa kita jiwanya tidak
hidup, tidak berenergi, tidak mempunyai vitalitas yang menjadi pokok ilmu pengetahuan
Barat dan teknik Barat. Ketika itu bangsa Indonesia sudah menjadi bangsa yang banyak
melamun, yang tidak punya kemauan kuat. Agama Hindu yang datang dari India sudah
terlalu merasuki kalbu bangsa kita. Agama Islam yang lain sekali hakikatnya dari agama
Hindu itu tak membuang filsafat India yang sudah berurat berakar di kalangan bangsa kita.
Hanya satu jalan yang terbuka bagi bangsa kita untuk maju ke depan, yaitu : lepas dari bius
pesona filsafat India yang melahirkan jiwa yang nrimo. Bukan harmoni dengan alam, bukan
meleburkan aku dalam jiwa alam yang menjadi tujuan.

Bangsa kita harus mengambil sikap hidup baru: menguasai alam, berjuang melawan alam.
Tujuan itu dapat dikejar dengan menghidupkan Islam yang baru siuman atau dengan meniru
sikap hidup orang Barat yang pada hakikatnya bersaudara dengan sikap hidupnya orang Islam
ataupun Semietis. Bangsa kita harus mengambil levenshouding baru: menguasai alam,
berjuang dengan alam. Tujuan itu dapat dikejar dengan menghidupkan Islam
yang nuchter atau dengan mengambil levenshouding Barat yang pada hakikatnya bersaudara
denganlevenshouding Islam (Semietis).

Tentang semboyan lepas dari India ini, di kemudian hari saya berharap akan menjelaskan
lebih lanjut.

Pertukaran dan Pertikaian Pikiran (Antara Sutan Takdir


Alisjahbana, Adinegoro, dan Dr. Sutomo Tentang Peradaban dan
Kemajuan Bangsa Kita untuk Masa Depan) - Dr. M. Amir
I

Berhubung dengan pembicaraan-pembicaraan dalam Kongres Pendidikan tahun ini, penerbit


Pujangga Baru, penulis prosa terkenal, Sutan Takdir Alisjahbana, menangkis roh dan haluan
kongres yang tersebut, yang dilukiskan oleh beliau dengan perkataan (sifat-sifat) : anti-
intelektualisme, anti-individualisme, anti-egoisme, anti-materialisme.

Oleh semangat yang negatif, yang anti itu, nyata kebanyakan pemrasaran menghendaki
kembali kepada kepunyaan yang lama, lari dari pesantren. Dalam haluan mereka, kata Sutan
Takdir Alisjahbana, ada terselip kesalahan berpikir, kesalahan analisis sebab
intelektualisme, individualisme, egoisme, dan materialisme itu bukanlah persoalan
masyarakat Indonesia, tapi persoalan masyarakat Barat ... soal Barat dijadikannya (oleh
kaum terpelajar kita) soal bangsanya sendiri. Bagaimana persoalan bangsa Indonesia
sendiri?

Sesungguhnya persoalan bangsa kita yang sesungguhnya ialah masalah kekurangan


intelektualitas, soal kurang hidupnya individu, soal terlampau pemurahnya (kurang
egoismenya) orang, soal kurang giatnya orang mengumpulkan harta dunia.

Obat mujarabnya ialah, menurut Sutan Takdir Alisjahbana: ”didikan Barat”.


Dengan didikan Barat itu, bangsa kita mulai memakai otaknya... mulai lahir kehidupan
pribadi ... ia mulai memikirkan diri sendiri ... telah mulai menimbulkan ahli pikir bangsa
kita, pelopor bangsa kita. Didikan Barat itu tidak berlebihan, malah masih kekurangan.

Kekurangan ini harus menjadi titik tolak pendidikan nasional.

Masyarakat kita sekarang perlu mengasah kecerdasan setajam mungkin. Masyarakat kita
kurang kuat dan kurang berani mengemukakan kepentingan pribadinya. Kesadaran
kepentingan pribadi harus dibangunkan. Masyarakat kita kurang giat mengumpulkan dan
memakai harta dunia. Bangsa kita dididik mengumpulkan dan memakai harta dunia untuk
semua umat.

Itulah yang dinamakan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana : ”pokok persoalan bagi bangsa kita”,
itulah ”kebutuhan masyarakat yang positif”. Dengan indah Sutan Takdir Alisjahbana
melukiskan cita-cita kebaratannya itu:

Masyarakat yang mandeg, pasif, dan lembek serupa itu hanya mungkin menjadi dinamis,
aktif, bersemangat, giat gembira jika persatuan itu dihancurkan, apabila tali pengikat yang
melemahkan itu diputus sama sekali. Dan yang mampu memutuskan kehalusan budi dan
keindahan dalam masyarakat kita itu hanyalah didikan Barat. Mereka yang mendapat
didikan Barat merasa dirinya tak punya tempat lagi dalam ikatan yang terpusat pada kiai itu.
Mereka percaya pada diri sendiri, mereka mau berpikir sendiri. Mereka tidak khawatir
kehilangan kiainya, mereka tidak perlu keutamaan tradisi, keutamaan adat istiadat, mereka
menyangsikan kata-kata para orangtua. Oleh karena itu, mereka menjauhkan diri. Mereka
mau mencari jalan sendiri. Mereka mau menemukan jalannya sendiri, mereka hendak
memeriksa sendiri.

Dalam polemiknya dengan Adinegoro dari Pewarta Deli, Sutan Takdir Alisjahbana
menguraikan dan menerangkan isi keberatan yang dipujinya itu. adapun uraian ini amat
penting, juga untuk mengetahui dasar semboyan Sutan Takdir Alisjahbana yang tegas tadi.
Katanya : ”bukan kebetulan teknik dan ilmu pengetahuan lahir di Barat, dan tidak di India
dan Pulau Jawa.” Apa sebab? ”Syarat-syarat yang diperlukan tidak ada di sini, yaitu kemauan
kuat untuk menguasai alam.

Ilmu pengetahuan dan teknik Barat itu sesuatu yang tidak terpisah dari jiwa, dari sikap
hidup, dari falsafah hidup Barat, Barat melepaskan diri dari alam dan diri yang terlepas
dari alam itu mau mengolah alam bagi dirinya. Pendirian seperti ini berasal dari bangsa
Semiet (agama Yahudi, Nasrani, dan Islam). Sebaliknya, filsafat India menyatakan mau
melebur diri dengan alam. Orang yang mau menyatu, mencari harmoni dengan alam, tidak
punya kekuatan untuk menguasai alam.

Setelah menguraikan perbedaan roh Barat dan Timur begitu, Tuan Sutan Takdir Alisjahbana
menarik konklusi bagi bangsa Indonesia:

Hanya satu jalan yang terbuka bagi bangsa kita untuk maju ke depan, yaitu : lepas dari
pesona filsafat India yang melahirkan jiwa yang nrimo. Bukan harmoni dengan alam, bukan
meleburkan aku dalam jiwa alam yang harus menjadi tujuan. Bangsa kita harus mengambil
sikap hidup baru: menguasai alam, berjuang melawan alam. Tujuan itu dapat dikejar
dengan menghidupkan Islam yang baru siuman atau dengan mengambil sikap hidup ala
Barat yang pada hakikatnya bersaudara dengan sikap hidup Islam (Semietis).

Sebagai penutup Sutan Takdir Alisjahbana menulis tentang semboyan lepas dari India ini, di
kemudian hari saya akan menerangkan lebih lanjut.

II

Sekalian saya kutip sari-sari karangan Sutan Takdir Alisjahbana supaya jangan hilang
semerbak bau prosanya, sebisa-bisanya saya pakai perkataan beliau sendiri.

Tentu saja semboyan yang begitu tegas, kritik yang begitu tepat dan tajam, harus ditimbang
benar-benar. Dalam pers bangsa kita, saya menjumpai karangan-karangan Adinegoro dan
Raden Sutomo yang membalas kritik atas kritik Sutan Takdir Alisjahbana itu.

Mula-mula Adinegoro mencatat bahwa perselisihan paham Sutan Takdir Alisjahbana dengan
para pemrasaran Kongres Pendidikan Nasional disebabkan oleh perbedaan dasar
filosofi, antara Sutomo dengan Ki Hajar perbedaannya hanya dalam tingkatan, padahal
sebenarnya dasar filosofinya tinggi dan khas sekalipun berpaling juga dari intinya, tidak
membenarkan dunia melainkan menafikan dunia. Dan lagi, kata Adinegoro, keduabelah
pihak tidak membedakan antara kebudayaan dan peradaban.

Kita membenarkan argument-argumen Ki Hajar dan lain-lain ahli pikir bangsa kita yang
bersuara filosofis di Kongres Pendidikan Nasional yang baru lewat, karena mereka
membicarakan persoalan budaya dan bahaya-bahaya apa yang bisa merusak budaya bangsa
Indonesia, sedang Sutan Takdir Alisjahbana hanya mengemukakan peradaban. Di sinilah
perselisihan terjadi. Padahal, perselisihan itu bukan pertentangan melainkan berdampingan
satu dengan yang lain. Budaya Timur tidak bisa dijadikan atau diubah menjadi budaya
Barat, tetapi peradaban Barat bisa dipindahkan ke dunia Timur.

Setelah menunjuk contoh Jepang yang peradabannya sudah diadaptasi dari Barat ... akan
tetapi, kulitnya masih seperti dulu, alat Tiongkok, Adinegoro menulis:

Budaya itu erat melekat pada jiwa bangsa-bangsa dan jiwa bangsa itu tampak dalam
karakternya, dalam wataknya, dan itu tidak dapat diubah-ubah seperti barang tiruan. Tapi,
pengetahuannya, tekniknya, cara penghidupannya, sudah jelas sekali kelihatan dapat
berubah...

Akhirnya Adinegoro menulis :

Akan tetapi, satu hal yang sudah pasti bagi kita. Kita butuh peradaban secara Barat,
pendidikan kita harus difokuskan pada apa yang masih kurang. Bangsa Indonesia sebetulnya
kemajuannya telah berat sebelah karena terlalu mengikuti budaya. Oleh karena itu, mulai
sekarang kekurangan di bidang itu harus ditambah, agar terhindar dari kondisi yang berat
sebelah, yang tidak harmonis.

Sekian garis besar paham Adinegoro. Sekarang kita lihat paham Tuan Dr. Sutomo, yaitu
seorang pemrasaran pada Kongres Pendidikan yang tersebut di atas. Apa sebab, tanya beliau,
para pemrasran “seakan-akan cenderung anti-intelektualisme”.

Saya kira karena mereka menunjukkan buah intelektualisme itu. Kecerdasan akal tiap
manusia itu berbeda, maka tidak sama berkembangnya.

Lihat kata beliau, betapa benua Eropa yang sekarang ini sedang sibuk mencari jalan baru
untuk melenyapkan pengaruh intelektualisme, yang sungguh destruktif wujud dan
akibatnya. Kesalahan Eropa itu, menurut anggapan Dr. Sutomo tidak perlu terjadi di
Indonesia.

Bukankah di dalam evolusi kita dapat melompati beberapa tahap perkembangan tingkat-
tingkat kecerdasan itu, yang di Barat dapat terwujud bersama pahit dan getirnya.

Maksud para pemrasaran ialah agar ”terlahir kembali kaum ksatria di kalangan kita sehingga
muncul pahlawan di kalangan masyarakat yang hanya menjalankan kewajiban saja sebagai
ksatria tanpa mengharapkan upah pekerjaannya.” Sebagai contoh, Dr. Sutomo menyebut
nabi-nabi dengan sahabat-sahabatnya, Kemal Pasya, Mussolini, Hitler, Gandhi, Lenin. Dalam
karangannya berturut-turut, Dr. Sutomo mengemukakan perbedaan perguruan dan
pendidikan, yang diabaikan oleh Sutan Takdir Alisjahbana.

”Oleh karena itu, amat terasa kekurangannya : pendidikan, yang perlu sekali bagi kecerdasan
tiap manusia. Ketiadaan pendidikan inilah yang menyebabkan kurang semangatnya kaum
intelek mengabdikan diri untuk nusa dan bangsa.”

Melalui pendidikan nasional ini akan muncullah pemuka masyarakat yang siap mengabdikan
dirinya untuk membangun masyarakat baru, mereka dapat mempergunakan kecerdasannya
setajam-tajamnya, dapat mempersembahkan pengajaran yang diperolehnya dari Barat untuk
keperluan nusa dan bangsa di semua bidang seperti pendidikan, kesenian, kesusatraan ,
politik, dan seterusnya, karena bertemu lagi dengan jiwanya karena mengembangkan rohnya
dengan didikan asli itu.

III

Tidak dapat dipungkiri lagi, Sutan Takdir Alisjahbana telah mengemukakan soal kebaratan
dengan jelas dan menunjukkan kebaratan (roh Barat) itu sebagai satu obat mujarab, yang
membawa bangsa kita ke tingkat yang lebih tinggi, tingkat Barat yang penuh kegiatan,
kepandaian, ilmu pengetahuan, pertukangan, dan berbagai tanda peradaban lainnya itu.
Ia tidak saja memuji roh Barat, melainkan menampik roh India yang menghambat kemajuan
bangsa kita ke arah Barat tadi. Alasan Sutan Takdir Alisjahbana menampik mereka, untuk
mengukuhkan dalil beliau: bangsa kita, untuk memperoleh kemajuan, harus melepaskan sikap
hidup ala India (Hindu-Budhistis) dan mengambil sikap hidup Islam dan Barat (Eropa) yang
kedua-duanya bersaudara, Semietis itu.

Pembaca lihat sendiri bahwa pendirian Sutan Takdir Alisjahbana ini bukan masalah pondok,
pesantren, bahasa, dan lain-lain soal teknik pengajaran atau ilmu pendidikan melainkan
masuk ke arena falsafah kebudayaan.

Kegigihan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana mempersoalkan pendidikan itu sampai ke urat
akarnya, tidak berarti Tuan Sutan Takdir Alisjahbana mengabaikan berpikir ilmiah sehingga
pandangannya dinilai dangkal, (anggapan Dr. Sutomo), melainkan sebaliknya: ia mau
mengkaji sedalam-dalamnya, mengambil konsekuensi dari haluan pikirannya itu habis-
habisan. Keteguhan hati Sutan Takdir Alisjahbana berpikir sendiri dan mencari sendiri ini
harus dipuji. Beliau sebagai Penerbit Pujangga Baru dan penulis terkenal berhak dan
berkewajiban ikut andil mendirikan peradaban baru dan memikirkan asas-asasnya.

Suara seperti yang dikeluarkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana sudah lama dinanti. Pada
setiap kongres kebudayaan di Jawa Timur –belum nasional- yang dicap kaum Jawa Hindu
(Hindu-Javaansch) bertolak belakang dengan haluan Barat yang rasionalistis itu. Dalam
disertasi Mr. Jonkman bertahun-tahun yang lalu sudah menyinggung masalah perguruan dan
pendidikan nasional itu. Demikian pula Mr. Creutzberg dalam pidato besar beliau dan Dr. De
Kat Angelino dalam kitab injil kolonialnya sudah mengupas pula masalah itu. Akan tetapi,
dari pihak kita belum pernah menguraikan dasar kebudayaan kita di masa lalu, masa
sekarang, dan di masa yang akan datang.

”Soal” budaya belum ada, kulturkamp (perjuangan tentang haluan peradaban) belum lahir,
semua peradaban daerah (pulau-pulau) sama-sama hidup, menunggu kelak dipadukan
menjadi peradaban nasional!

Akan tetapi, bangsa yang sadar tidak saja memikirkan susunan pemerintahan dan bagaimana
mencari uang, melainkan susunan peradabannya. Anehkah jika kelompok Pujangga Baru,
idealis muda, tampil ke depan, menunjukkan oplossing (jalan keluarnya) sekali? Saya
khawatir apakah jalan itu bisa didapat begitu mudah. Saya ragu apa sakit dan lemahnya
peradaban dan roh (sebagai motor peradaban) kita itu dapat diobati dengan satu semboyan
saja, walaupun tegas. Apakah betul kebaratan, roh Barat, perjalanan ke Barat, keluhuran budi,
kebudayaan, sikap hidup secara Islam bisa menjadi obat mujarab, sebagai terapi pencucian
besar-besaran (therapia sterilisans magna)?

Meskipun demikian, suara Sutan Takdir Alisjahbana harus dipikirkan, diperbandingkan, dan
dipertimbangkan. Kebetulan saya sebelum bertolak ke Eropa iseng-iseng menulis tentang
Barat dan Timur dalam Pewarta Deli sehingga tertarik juga hati dan pena
mempertimbangkan soal ini. Bagian pengajaran dan pendidikan tidak akan saya singgung,
sebab itu terra incognita bagi saya (untuk sementara saya simpan dulu).
Dalam karangan ini akan saya uraikan makna dan isi beberapa pemahaman yang telah
dipakai oleh beberapa penulis di atas, agar lama-lama jelas permasalahan tentang kemajuan
dan peradaban itu. kalau kita lihat Sutan Takdir Alisjahbana banyak mengambil dalil-dalil
dari Prof. Duyvendak dan Dr. De Kat Angelino. Sebaliknya, Dr. Sutomo memakai dalil-dalil
Swami Vivekananda, Tagore, dan Adinegoro membuka kitab Graf Keyserling... semua untuk
memperjelas pendirian masing-masing tentang soal peradaban itu.

Tampaklah bagi pembaca, betapa sulitnya, banyak sudut pandang persoalan tersebut. Akan
tetapi, persoalan ini memang tidak dapat dibicarakan dan dipikirkan terlalu mendalam, kalau
kita segan atau takut mengkaji satu per satu isi makna pemahaman itu.

IV

Di tengah-tengah perang pena yang diuraikan di karangan saya pertama adalah peradaban.
Cita-cita Sutan Takdir Alisjahbana ialah peradaban Barat (Eropa) yang serba lebih kuat dan
bagus itu. Cita-cita Dr. Sutomo ialah peradaban nasional, yang melahirkan pemimpin
nasional yang dibina melalui perguruan nasional. Cita-cita Adinegoro ialah kebudayaan
nasional dengan peradaban Barat. Dr. Sutomo kerap kali memakai kata peradaban dalam
pidato beliau. Apakah sama makna peradaban, civilisation, dan kultur itu? Apakah perbedaan
”peradaban” Barat (Eropa) dengan Timur (Indonesia) atau perbedaan peradaban internasional
dengan peradaban nasional.

Dapatkah peradaban “Barat” itu tercapai, dipinjam, dimiliki melalui pendidikan perguruan?
Sesuaikah peradaban Barat itu jika dipakai, dipinjam, dimiliki, ditiru oleh bangsa kita atau
berbahayakah dia dan apa bahayanya? Sebaliknya, bagian mana dari unsur peradaban Barat
itu yang perlu ditolak dan apa yang mesti dipadukan, diisap inti atau sari-sarinya dan
bagaimana taman Timur kita itu dipercantik, dipupuk, disiangi, digunting, agar tetap senang
hati bangsa kita bersenda gurau dalam tamannya sendiri itu? Demikianlah beberapa
pertanyaan yang bergantung pada ide ”peradaban” dan ”kemajuan itu”.

Mari kita perhatikan arti kata civilisatie dan kultur. Artinya kita berziarah ke taman
etimologi. Kedua itu dipakai dalam sejarah peradaban, dalam ilmu kitab Eropa, civilisation di
Perancis dan Inggris, dan kultur di Jerman.

Sejak kapan dan apakah sama artinya? Anehnya dalam sejarah kata civilisation, bahwa kata
kerja civiliser (Perancis) dan civilize (Inggris) dan kata peserta civilize (civilized) jauh lebih
dulu dipakai orang daripada substantif: civilisation itu, yaitu sejak akhir abad XVI.

Montaigne dalam buku beliau ”Essais” mengenal kata itu. Lima puluh tahun sesudah itu,
Descartes memakai dalam bukunya Discours de la Methode kata le civilize lawan
kata sauvage (beradab lawan katanya liar). Kemudian Voltaire dalam Essai sul les
moeurs (1740) dan Rousseau dalam Contrat Social 91762) memakai civilise itu,
akan tetapi civilization belum lahir.
Penulis-penulis Perancis itu membagi bangsa-bangsa di dunia yang dikenalnya atas beberapa
tingkat atau derajat. Yang paling rendah dijuluki bangsa sauvages (buas, liar), lebih tinggi
sedikit disebut bangsa barbares (biadab), di tingkat yang tinggi ada yang disebut civilite,
politesse, dan akhirnya mempunyai police. Kata civilite tergolong sudah tua, di samping
kata civil, civilien. Dalam bahasa latin disebut urbanus, civilis (dari kota, lawan katanya dari
kampong, udik).

Kapan lahir kata civilization pada tahun 1766! Dalam satu tahun itu terbit satu buku di kota
Amsterdam karangan Boulanger, berjudul ”L’Antiquite de Voille par ses Usages”. Dalam
buku ini dijumpai (saya kutip di sini karangan Prof. Febvre dari Strassbourg dalam ceramah
beliau di depan Centre Internasional de Sinthest, Paris, 1929). “Tatkala suatu bangsa yang
liar beralih menjadi beradab, tidaklah perlu melarikan diri dari tindakan peradaban yang
memberikan kepadanya undang-undang yang pasti yang tidak bisa dicabut kembali. Harus
membuat dia memandang perundang-undangan yang diberikan kepadanya sebagai suatu
peradaban yang berlanjut.”

Sekarang kita kaji kapankah kultur lahir. Tahunnya tidak diketahui orang. Asalnya tentu dari
bahasa Perancis, culture. Dalam bahasa Perancis di abad XIII culture juga berarti “formation
de l’esprit” membangun semangat, membangun roh budaya, sastra, dan budaya ilmu
pengetahuan (la culture des letters, la culture des sciences).

Pertama kali ditemukan dalam kamus besar yang diterbitkan oleh Adeling (1793).

Kultur: Kemuliaan atau pemurnian bersama dari suatu bangsa atau setiap manusia sehingga
pernyataan ini mencakup di dalamnya soal pencerahan, kemuliaan akal, melalui
pembebasan segala prasangka maupun segala polesan pemuliaan, pemurnian, kesusilaan.

Agar karangan ini tidak terlalu panjang, saya ringkas saja bahwa soal kultur itu dibahas oleh
Herder dalam Ideenjur Philosophie der Geschichte der Menschheit (1784-1791), oleh Kant
(Ide zu einer allgemeine Geschichte in Weltburgerlicher; Abbsicht 1785), oleh Schiller,
Goethe, Wilhem von Humboldt (Ueber die Kawi Sprache, 1836), oleh Novalis, Fichte,
pendeknya oleh banyak pujangga klasik Jerman.

Mula-mula arti budaya ialah kumpulan semua kemajuan, kemajuan benda, moral, otak, yang
dicapai oleh manusia pada umumnya. Budaya juga berarti peradaban otak dari suatu
masyarakat, suatu negara atau suatu bangsa, pendeknya, ide peradaban itu dirangkaikan
dalam ide kebangsaan.

Adinegoro telah menunjukkan perbedaan kultur dengan zivilisation. Beliau sebagai bekas
murid dari sekolah-sekolah tinggi di Jerman memang mengetahui ranjau-ranjau problematik
ini.

Wilhem von Humboldt telah mengemukakan tingkat-tingkat peradaban dalam studi beliau
tentang bahasa Kawi di Pulau Jawa (1836). Tingkat-tingkat itu beliau namai; zivilisation
kultur, bildung. Kata zivilisation yang dipakainya mengacu pada: kemajuan adat istiadat,
organisasi masyarakat, untuk mengangkat harkat manusia, menumbuhkan rasa kemanusiaan,
persahabatan antarmanusia dan antarbangsa.

Kata kultur berarti raffinement, kehalusan budi, tidak mengusahakan keperluan sehari-hari,
apa saja yang bermanfaat untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan seni. Lebih tinggi lagi
kata bildung, yaitu keadaan kecerdasan dan moral yang sempurna yang hanya dimiliki oleh
beberapa orang saja.

Di zaman sekarang ada beberapa paham yang bertolak belakang tentang


makna kultur dan zivilisation. Spengler malah menganggap bahwa zivilisation adalah bagian
dari kultur. Tapi yang menandakan kemunduran, decadentie, seorang ahli sejarah yang lain,
Rangke mengaitkan dan menyamakan kultur dengan nationaliteitt (kebangsaan). Maklum,
setiap falsafah budaya itu berdasar pada falsafah hidup bangsa masing-masing!
(Perhatikanlah haluan-haluan Thomas Mann, Spengler, Troeltsch, Littrickert, Sprangler,
Mehlis, dan lain-lain); Ernst Bernheim memaknai kultur: segala yang bukan berasal dari
alam, yang dibuat oleh manusia, dari benda alam itu, dan zivilisation berarti moral
(kebajikan): manusia memerintah diri sendiri dan bergaul baik dengan sesama manusia. Fr.
Meinechke menyebut kultur adalah semua nilai jiwa yang membedakan manusia dari derajat
binatang. Dalam Historiche Zeitschrift 1927, ia memberi definisi begini:

“Kebudayaan adalah pemberitahuan dan terobosan suatu unsur batiniah yang ada saling
keterkaitan berbagai sebab secara umum, penyebabnya dan nilainya di dalam sejarah.”

Di antara kehidupan secara alami, hewan, manusia, dan kehidupan secara kebudayaan
ditempatkanlah peradaban. Kata beliau, peradaban berisi intelegensia, akal, kecerdasan yang
ditujukan pada kebutuhan alamiah. Peradaban itu sebagai lawan kata budaya, tidak pakai
”jiwa”.

Fueter dalam Histoire de Historiographie Modern, menerangkan bahwa culture (Perancis)


sama dengan bildung (Jerman) dan kultur sama dengan civilisation (Perancis) dan
kata zivilisation (Jerman) itu mempunyai makna kedua-duanya.

Jadi, dapat ditetapkan bahwa arti kultur itu berbeda menurut zaman dan cita-cita masing-
masing pujangga dan kaum terpelajar. Suatu saat berarti umum secara kemanusiaan, di saat
lain artinya kurang luas, hanya terbatas milik bangsa atau masyarakatnya sendiri. Ada yang
berarti kemajuan perbedaan dan pertukangan, dan ada yang berarti kemajuan roh (jiwa, seni,
ilmu) semata-mata. Perbedaan antara kultur dengan zivilisation hanya ada di Jerman, tetapi di
dalam buku-buku Perancis dan Inggris orang memakai civilisation saja.

VI

Agar tidak meragukan dan memperpanjang kajian, kita pakai saja peradaban, sinonim
dari civilisation (Perancis dan Inggris) tadi. Di dalamnya mencakup agama, ilmu
pengetahuan, ekonomi, seni, urusan negara, urusan masyarakat, dan teknik. Maka jelaslah
bahwa setiap masyarakat – mulai dari yang amat ”primitif” – mempunyai peradaban sendiri,
sedikit banyak, rendah atau tinggi tingkatnya.

Jelas pula bahwa peradaban itu ada yang berpindah, ada yang dipinjam, pendeknya senantiasa
berubah oleh percampuran, hubungan, dan kemajuan bangsa-bangsa. Pembaca ketahui bahwa
ide kemajuan itu, terutama dibangun oleh ahli biologi di abad yang lalu: Lamarck dengan
kitabnya Philosophie Zoologique 1809 dan Darwin dengan bukunya Origin of Species,
melemparkan ide evolusi ke dunia ilmu pengetahuan. Adapun hukum alam (kemajuan yang
bertingkat-tingkat) itu dipakai oleh ahli pikir untuk menjelaskan perjalanan sejarah dunia.

Sebelum Darwin, sudah berpikir Spencer (filsuf Inggris) tentang hakikat kemajuan.
“Mengapa manusia yang beradab jauh sekali berbeda dari manusia biadab?” tanya Spencer.

Perbedaan itu tidak saja tentang peradaban (culture) melainkan juga tentang urusan jiwa
(constitution). Kemajuan peradaban ialah buah dari kemajuan dan Specer mengakui
kebenaran pendapat Lamarck, yaitu bahwa semua kemampuan yang dipelajari dan diperoleh
seumur hidup dapat diwariskan kepada keturunan yang akan datang. Spencer memahami pula
kebenaran teori Darwin tentang natural selection yang (seleksi alam, cat.peny.) dan survival
of the fittest (yang paling cakaplah yang mampu bertahan hidup), tetapi yang terpenting
adalah faktor Lamarck.

Menurut hukum Lamarck, golongan manusia yang lebih kuat dan tekun menggali ilmu dan
kecakapan serta mewarisi turun-temurun kecakapan itu, tentu lebih mudah bertahan hidup
ketimbang kaum yang enggan berusaha dan suka nrimo saja. Kemajuan
kaum neodarwinist menyerang anggapan Lamarck.

Pengaruh mereka atas ilmu bangsa-bangsa besar juga. Induk dari anthropologist Amerika
Franz Boas menulis dalam kitabnya Mind of Primitive Man (1911) bahwa tak ada perbedaan
yang penting antara wujud roh orang beradab. Kelebihan orang beradab hanya
kelebihan culture (peradaban, pengajaran) bukan kelebihan wujud jiwa. Jadi, menurut
anggapan neodarwinist kemajuan manusia itu sebetulnya kemajuan peradaban. Kalau
diuraikan soal kemajuan dengan cara begitu, tentu jawabnya mesti dicari dalam hal keadaan
lingkungan, milieu.

Akan tetapi, ahli jiwa lebih mementingkan faktor pembawaan diri, bakat, dan keturunan. Di
sini tampak perbedaan antara ”nature” dan ”nurture”, alam lawan asuhan, pembawaan
lawan pendidikan. Mereka yang menganggap manusia dibangun seperti mesin (mekanistis,
seperti anggapan neodarwinist) tentu yakin pentingnya lingkungan dan pengasuhan dan tidak
begitu mempermasalahkan pembawaan dan keturunan. Kalau benar anggapan teori
lingkungan itu berarti semua orang dari bangsa A dapat ”dididik” jadi bangsa B.

Soal lingkungan atau keturunan ini amat sulit diputuskan. Betul William Stern
menggabungkan kedua teori (nativisme dan conditionnalisme) dalam satu teori konvergensi
(sama-sama penting, saling mempengaruhi), tetapi banyak juga ahli jiwa sekarang yang
condong pada pengaruh alam (Galton, Langen, dan sebagainya). Menurut mereka ini, bangsa
hanya dapat dimajukan kalau ada wujudnya dan kemajuan itu dibatasi oleh jiwa juga!

Pendeknya: motor, asal kemajuan, evolusi, tidak kita ketahui. Entah faktor Darwin (seleksi
alam) entah faktor Lamarck (warisan kecakapan yang diperoleh) entah barang gaib, yang
mendorong manusia bersatu haluan, elan vital (Bergson), nisus (Alexander), God (Lloyd
Morgan), holistic tendency (Smuts), entelchie (Von Fries), dan lain-lain?

Dan tingkat-tingkat peradaban yang dapat dilampaui separuhnya menurut anggapan Dr.
Sutomo, apakah itu? Berpuluh-puluh ahli sosiologi memutar otak mencari tingkat-tingkat itu.
Comte sendiri dengan age-theologique, age-metaphysique dan age-positiviste. Vico, Spencer,
Durkheim, Hildebrand, List, Morgan, dan lain-lain telah berspekulasi, tak ada pembagian
yang rasanya dapat dibenarkan oleh semua kaum terpelajar. Ahli jiwa sudah lama mengetahui
bahwa soal peradaban itu disulitkan oleh penilaian: buruk, baik, tinggi, dan rendah.

Setiap manusia, setiap bangsa mempunyai ukuran nilai sendiri, cita-cita peradaban sendiri.
Ukuran nilai itu berasal dari sentiment perasaan juga, bukan dari akal, pikiran, atau otak.
Apakah ukuran yang cepat, nyata, positif tentang tinggi rendah, mundur-majunya suatu
peradaban? Memang ada unsur peradaban yang dapat diukur, dihitung dengan statistik,
seperti hidup-mati, sakit, kejahatan, kekayaan, pandai membaca, menulis, jumlah buku,
jumlah terpelajar, jumlah keturunan, dan lain-lain. (Alfredo Niceforo: Les indices numeriques
de la civilisation et du progress. Paris 1922), tetapi bagaimana mengukur jiwa?

Les caracteristiques spirituelles d’une civilisation et surtout certaines caracteristiques


spirituelles d’ondre moral et politique echappent en grand partie a un systeme
numerique. (Niceforo)

(Suatu ciri khas watak kejiwaan dari suatu peradaban dan terutama watak kejiwaan yang
lepas dari susunan moral dan politik dan pada bagian besar dari susunan angka). (Niceforo).

VII

Perjalanan kita ke arah etimologi, biologi, sosiologi, dan ilmu lainnya itu perlu sekali sebagai
penduluan; kita mencari alat, instrument mendekati masalah yang dikemukakan oleh Sutan
Takdir Alisjahbana tadi: peradaban Eropa dan jiwa Eropa yang patut ditiru, dimiliki oleh
bangsa kita.

Sejak awal perlu dikemukakan bahwa peradaban Eropa itu acap kali dikritik oleh ahli-ahli
pikir yang tidak merasa puas, saya sebutkan saja oleh Rosseau, Tolstoi, Nietzche,
Kierkegaard, dan di zaman kita seperti Eucken, Rathenau, Keyserling, yang
memerangi Kemegahan, keintelektualan, dan permesinan dalam peradaban itu. “Krisis”
dalam peradaban Eropa ada tiga pokoknya.
Pertama, menguasai alam, memperkaya benda dan kesenangan secara tidak seimbang, hati
menjadi miskin. Pendeknya orang Barat sukar mencapai perpaduan, persatuan antara
kehidupan benda dan kehidupan jiwa.

Reaksi kekenyangan ini ialah haluan: kembali ke alam – Rousseau, Tolstoi.

Kedua, pergaulan diri dengan masyarakat: nafsu keakuan kuat dan semua disamaratakan,
diatur, diurus, diberi nomor. Akhirnya setiap orang kehilangan karakter.

Reaksi Nietszhe dengan mengharap kehadiran Uebermensch (alias Superman, cat.peny.).

Ketiga, melawan dengan agama. Moralitas kehidupan beragama itu tidak seiring sejalan
dengan peradaban teknis atau kemajuan intelek dan masyarakat.

Kaum agama sadar bahwa soal batin itu bersifat pribadi, dalam kalbunya sendiri, agama
Kristen tidak berdasar peradaban, kemajuan yang merdeka. Ia bukan berdasarkan kemajuan,
melainkan berdasar ”verlossing” (atau pembebasan dosa, cat.peny.) (1 Johanes 5:19, Matius
16:26), derajat manusia tidak ditentukan oleh biadab atau beradab, melainkan karena dosa
warisan.

Peradaban Kristen yang tertua bersifat pertapaan (ascetisch), menurut roh Paulus. Sifat itu
masuk dalam urusan Katolik Roma. Dengan aturan selibat (pendeta tidak boleh kawin) dan
kehidupan di dalam biara. Di abad pertengahan timbullah haluan seni gotik. Gothisch
katedraal – yang menadahkan menara ke langit, melarikan diri dari dunia.

Peradaban Kristen berubah oleh renaissance dan reformatie. Renaissance bersifat


kemanusiaan dan duniawi kembali dan reformatie lebih bersifat pribadi dalam urusan ibadat
(persoonlijk). Sungguhpun begitu, reformatie menganggap semua kesenangan duniawi adalah
dosa, lebih-lebih lagi mahzab calvinisme. Di samping peradaban Kristen tumbuhlah
peradaban duniawi renaissance. Humanisme, ilmu pengetahuan yang terpisah benar dengan
agama di abad XIX. Sekarang gereja mencari perpaduan baru dengan peradaban.

Jadi, peradaban Barat yang tampak dari luar dan dari jauh begitu indah dan kokoh, sempurna,
dan batu bulat itu, ternyata di dalamnya sedang retak, bercela jauh dari harmonis sehingga
orang memakai kata krisis peradaban. Orang Barat mencari pula, sama dengan kita, orang
Timur yang sadar.

VIII

Tuan Sutan Takdir Alisjahbana berencana: reguklah roh Barat, gunakan sikap hidup ala
Eropa yang berani, semangat dan kuat dan bernafsu menguasai alam. Tinggalkan dan
lemparkan, cabut dari urat-akarnya mentalitas Hindu yang pasif, nrimo, dan suka meleburkan
diri dalam alam nirwana.
Sebelum dikaji roh Barat dan Timur ini satu per satu, patutlah saya dari pihak ilmu jiwa
bertanya: dapatkah seseorang atau sesuatu dasar hidup sembarangan saja, juga kalau syarat-
syaratnya tidak ada dalam tabiatnya, dalam peradaban, dalam sejarahnya, dalam pembawaan
dirinya?

Pertanyaan ini hanya dapat dijawab dengan tepat: Ya, oleh mereka yang yakin akan
keutamaan milieu nurture, lingkungan pendidikan, pengasuhan, seperti telah saya terangkan
(baca: VI, neodarwinisme).

Ingatlah bahwa roh Barat yang tampak sekarang adalah hasil kemajuan yang lama dan
istimewa: di atas lapisan peradaban Yunani Roma berdiri peradaban Katolik Roma di abad
pertengahan dan pada abad inilah tumbuh roh renaissance dan humanisme yang menjadi
peradaban sekarang, yang spesifik Barat itu, yang berbeda dari peradaban lain seperti Yahudi,
Buddha, Islam, atau apa pun.

Saya tahu Tuan Sutan Takdir Alisjahbana tentu menguasai ilmu sejarah peradaban terutama
memikirkan contoh yang diberi oleh renaissance di Barat. Dengan tiba-tiba roh abad
pertengahan, zaman ningrat, feudal, pemerintahan papa dan pandita, ikatan ke atas ke bawah,
berjenjang-jenjang turun naik secara hirarkis, zaman peradaban, yang cuma hidup untuk
memuji akhirat, mendirikan jenjang tinggi menghubungkan dunia dengan langit (seperti kata
Prof. Perrero, ahli sejarah Italia dalam satu ceramahnya di Paris baru-baru ini), betapa tiba-
tiba roh mistik, roh “Timur” ini ditinggalkan, dilemparkan orang, diganti dengan roh “Barat”,
roh baru yang mendorong meneliti isi bumi sampai ke ujungnya.

Tentu Tuan Sutan Takdir Alisjahbana bertanya: Kenapa tidak dapat bangsa kita
mengganti roh seperti itu, bukankah kita sedang ber-renaissance pula? Tidak dapatkah kita
lakukan, seperti pujangga baru di Italia, Perancis, Inggris dulu kala...?

Tiba di pintu-pintu surga melalui tangga dari abad pertengahan dengan cepat semangat
kemanusiaan balik lagi, turun ke bumi, bertekad untuk menyelidiki dan merebut harta-
hartanya, mempelajari peperangan dan politik, menyingkap rahasia kehidupan dan sejarah.
(Perrero)

Marilah saya bentangkan secara psikologis lahirnya roh renaissance di Eropa! Kemajuan
peradaban modern itu tidak disebabkan oleh faktor luar, seperti perubahan iklim, agama
baru, atau pendapat politik.

Memang banyak faktor sejarah bekerja sama: percetakan buku, perkembangan membaca
menulis, pemerintahan demokratis, tetapi hal-hal ini bukan penyebab melainkan akibat dari
perubahan besar itu. penyebab kemajuan itu terletak pada evolusi jiwa manusia.

Selama manusia hidup dengan bercocok tanam, berburu, menangkap ikan, peperangan
antarsuku, dan melakukan adat kebiasaan, belum perlu berpikir secara abstrak. Tak ada
masalah yang perlu dipikir. Kehidupannya sehari-hari diatur oleh naluri, keperluan, dan adat
yang tetap. Itulah sebabnya penduduk-penduduk yang tunduk pada tanah, seperti di India,
Cina, dan Mesir, berabad lamanya tidak mengubah adat istiadat, agama, bahasa, pikiran, dan
perasaan mereka.

Begitu pula Eropa setelah kekaisaran Rum berkembang dan ditetapkan (konsolidasi),
kerajaan Rum itu didiami oleh orang bercocok tanam yang diperintah oleh undang-undang
(hukum Romawi) dan adat istiadat, pada masa itu kemajuan otak dan moral hampir tak ada.
Berabad-abad lamanya tak ada penemuan baru, perubahan perasaan, perubahan senjata, dan
perkakas.

Memang ada satu perubahan yang hebat, yaitu kedatangan agama Kristen, tetapi pengaruh
agama ini hanyalah memelihara keadaan, tidak menyebabkan perubahan besar. Yang
menimbulkan pikiran kreatif yang kita sebut renaissance itu karena kerajaan Romawi
diserang oleh bangsa-bangsa Barbar dari utara. Oleh ancaman yang mahahebat ini semua
orang Rum, dari jenderal sampai ke ahli hukum dan pendeta, terpaksa berpikir, mencari
solusi akibat masalah baru di wilayah politik dan sosial.

Benua Eropa di masa itu, walaupun dipersatukan oleh gereja Romawi, oleh undang-undang
Romawi, oleh bahasa dan peradaban Romawi, pada hakikatnya terbagi atas ratusan kerajaan
feodal yang saling berperang. Dimana-mana ada peradaban dan perselisihan dalam
lingkungan persatuan dan peradaban Romawi: menurut anggapan ilmu jiwa perlu tiga puluh
angkatan (generasi) yang terus berjuang keras untuk mengubah pikiran dan perasaan sesuatu
bangsa sampai jiwanya berubah, yaitu berhasil berubah baru (mutatie).

Ini artinya perlu seribu tahun berusaha, menyelidiki, membongkar barulah timbul individu
yang tidak berhenti mencari, memeriksa, menyelidiki, membongkar segala ikatan adat,
mencoba barang baru, digerakkan oleh ketidakpuasan rohani, yang menjadi akar semua
kemajuan!

Aksi beberapa generasi untuk menumbuhkan roh baru, Eropa baru, yang berhenti bermimpi
dan giat bekerja, sebab akhirnya telah banyak jiwa, yang sudah bangun, yang tidak senang
bermimpi lagi, yang sudah lazim berpikir abstrak. Jadi gerakan renaissance (1400-1600)
yang ”tiba-tiba” muncul pada hakikatnya satu kejadian psikologis yang lama dan lambat laun
juga!

IX

Saya masih ingat satu pengajaran dari almarhum Annie Besant dalam bukunya tentang ilmu
politik: suatu bangsa tak mungkin meminjam pengalaman bangsa lain! Jadi, bangsa kita harus
berusaha, mencari, merasakan sendiri, menuju renaissance sendiri. Teori Psikologi yang
menyebut 30 generasi berusaha sebelum menjadi bangsa Barat sekarang – tak perlu
mengecilkan hati. Pertama, kemajuan kita tidak mulai di tahun 1908 (mulai pergerakan
rakyat) atau semenjak kedatangan orang Barat
di archipel (kepulauan, cat.peny.). Kedua, cita-cita matang itu tidak perlu berisi matang -
seperti Barat – sekarang.
Tuan Sutan Takdir Alisjahbana mempertentangkan dua pandangan hidup: Barat (Eropa,
Islam – Semietis) dan India (Hindu-Buddhistis Majapaitisme). Kata beliau, roh Islam itu
bersaudara dengan roh Barat (semietis).

Saya tidak paham ilmu agama-agama, tetapi tidaklah roh Barat itu berbeda, bertentangan
dengan roh Islam, roh Israiliat (Yahweh), dan roh Buddha, yaitu tentang individualisme? Di
Eropa, seseorang benar-benar bisa merdeka, juga dalam agama; di Asia pikiran dan filsuf
tidak merdeka, melainkan terikat dan selalu berkaitan dengan orang banyak (massa), dengan
bangsa (ras), dengan masyarakat, dengan agama. Kalau saya tidak salah, di agama Islam
sendiri, kesadaran agama tidak terlepas dari masalah orang banyak, sesama makhluk.

Akan tetapi, di luar soal agama, saya akui bersama Tuan Sutan Takdir Alisjahbana dan
Adinegoro –baca pasal II- perbedaan dasar hidup Eropa dengan dasar hidup India. Tuan
Sutan Takdir Alisjahbana menerangkan bahwa Barat menguasai alam dan Timur mencari
harmoni dengan alam. Adinegoro mengemukakan dasar filosofi Timur ”berpaling dari inti,
tidak berpihak pada dunia, melainkan menafikan dunia”, ”tidak mendua”. Adapun sifat-sifat
filosofi India memang benar dan tepat sekali dilukiskan oleh kedua penulis itu. Ahli pikir
India berbeda dengan filsuf Iran, Tiongkok, dan Eropa yang menyuruh tunduk pada dunia
dan menerima kehidupan.

Ahli pikir Barat menyuruh menerima dunia dan menerima kehidupan. Menurut anggapan
Barat dunia bukan tempat duka cita, gelap gulita, maya, tapi juga berharga dan perlu
diusahakan, diperbagus, ditetapkan, dan ditolong. Sesama manusia, bangsa seluruh dunia,
masyarakat mesti saling menolong, itulah etika Barat menurut dasar hidup tadi. Lagunya
lebih merdu, lebih optimis, penuh pengharapan, dan lebih mengikuti gairah hidup, yang ada
dalam diri kita semua.

Ahli pikir India menganggap dunia ini kesusahan, bentuk (palsu, maya) saja, nafsu hidup itu
harus ditahan, dihambat, dan secepatnya dibunuh. Dunia ini tidak penting, yang penting ialah
menyempurnakan jiwa, supaya yivatnam bertemu dengan atman yang besar, tidak perlu lagi
bersenang-senang di tengah penjelmaan (reinkarnasi, metafisika).

Sebagian lagi: dasar pikiran India yang monistis dan mistik, dasar Barat mendua dan fanatik
terhadap suatu ajaran. Memang, ada juga ahli pikir Barat yang
berhaluan monisme dan mistik seperti neo-platonisten, Bruno, Spinoza, Fichte Schelling, dan
Hegel, tetapi sampai sekarang dasar yang lazim dipakai ialah dualisme, haluan yang sepadan
dengan etika dunia dan berpihak pada kehidupan dunia tadi.

Akan tetapi, sejak pertengahan abad yang lalu ahli pikir di Eropa dan India sudah mulai
mencari jalan, haluan baru, untuk menyempurnakan dasar filsufi itu supaya lebih
menyenangkan. Barat mulai sadar bahwa dasar hidup rahasia kehidupan seperti hanya
diberikan oleh pengalaman mistik (uniomystiek). India mulai mengakui bahwa mistik yang
sedalam-dalamnya tidak mempunyai etika, kebaikan amal, dasar untuk hidup sehari-hari
bersama sesama manusia! Siapa yang mempelajari paham Ram Mohan Rai (1772-1833).
Debendranath Tagore (1817-1905), Keshab Candra Sen (1838-1884) Dayanand Sarasvati
(1824-1883), Ramakrisna (1834-1886), Svarnin Vivekananda (1862-1912), dan
Rabindranath Tagore (lahir 1861) tentu mengetahui bahwa mereka menyuruh berusaha
dalam dunia, untuk dunia, membawa etika ke dalam mistik Timur.

Akan tetapi, ahli-ahli pikir ini memulai filsafatnya dengan mistik asli, walau menghargai roh
Barat. Barat dan Timur berusaha mulai dari pihak atau dasar masing-masing. Baik juga saya
salin, apa yang ditulis oleh Albert Schweitzer tentang soal Barat dan Timur ini.

Pemikiran Eropa menganut pada penerimaan dunia dan kehidupan yang tak perlu kedalaman
karena belum cukup intens menggeluti penafian dunia, kehidupan, dan etika.

Dalam pemikiran India, setelah lama bergulat, akhirnya ada penerimaan dunia dan kehidupan
yang etis melawan penafian dunia dan kehidupan. Masalah yang menjadi urusan kita jadi
dibeberkan pihak lain.

Pemikiran Eropa membiarkan diri dipimpin oleh kesadaran bahwa pandangan dunia dengan
menerima dunia dan kehidupan yang etis sangat bernilai adanya karena isinya.

Pemikiran India telah ditentukan oleh kesadaran lain bahwa mistik adalah cara sempurna
memandang dunia. Pemikiran Eropa jadinya harus mengusahakan suatu pandangan dunia
dari penerimaan etis dunia dan kehidupan yang bersifat mistik; pemikiran India ke arah itu,
memberikan kepada mistik sebagai isi suatu penerimaan dunia dan kehidupan yang etis.
Lagi-lagi masalah yang berurusan dengan dengan pemikiran kita di dalam pemikiran India
dibeberkan adanya dari pihak lain. (Alb. Schweitzer. De Pandangan Dunia Para Pemikir
India, 1935).

Karangan ini sudah berlebihan panjangnya. Perjalanan kita sudah jauh, sampai ke berbagai
aliran filsafat. Akan tetapi, saya rasa perlu juga memperlihatkan banyak seginya soal yang
dihidangkan dengan gembira, sebagai ”semboyan yang tegas,” oleh Tuan Sutan Takdir
Alisjahbana.

Namun, bagaimana tentang cita-cita “kebaratan” tadi, untuk Indonesia? tanya pembaca.
Kalau isi kebaratan itu rasional, lugas, teknik , ilmu pengetahuan, dan menerima hidup, saya
rasa tak ada bangsa kita yang tidak bercita-cita.

Berilah kami barang-barang itu agak banyak sedikit, sebab perlu bagi kami. Akan tetapi, cita-
cita Tuan Sutan Takdir Alisjahbana untuk melemparkan saja unsur peradaban India dan
memakai (meminjam, memiliki) ”roh Barat” dan atau Islam untuk mencapai peradaban yang
lebih tinggi untuk bangsa kita; itu belum begitu jelas modus operandinya (cara bekerjanya)
bagi saya. Dengan berharap banyak, saya menanti keterangan yang lebih jelas.
Bagi mereka yang takut pada momok kebaratan itu karena takut menghacurkan kenasionalan,
boleh saya beri rujukan bahwa perjalanan peradaban di berbagai negeri dunia sekarang
berjalan ke dua jurusan, sekali jalan: ke haluan nasional dan ke haluan internasional. Selama
cita-cita nasional hidup di dunia Timur, perjalanan ke Barat itu tidak akan berbahaya.

Pembaruan Adab (Pesan Kepada Tuan-Tuan Sutan Takdir


Alisjahbana, Dr. Sutomo, dan Sanusi Pane) - Ki Hajar Dewantara
Sejak setengah abad yang lalu dapat dikatakan, kita hidup dalam zaman pembaruan. Setiap
waktu kita dapat melihat bermacam cara hidup baru, yang saat ini disebut orang sebagai
”adat”, tetapi sebenarnya tak pernah ditemukan dalam masa sepuluh atau dua puluh tahun
sebelumnya.

Perubahan-perubahan, mulai yang kecil hingga besar, tampak di dalam suatu adat istiadat
atau kebiasaan. Perubahan ini sering kali terlihat, ketika membandingkan adat atau kebiasaan
itu di suatu tempat; yang dulu semata-mata saja wujudnya, tetapi sekarang berbeda-beda.
Akan tetapi, sebaliknya, dapat juga kita lihat, di dalam zaman perubahan ini ada juga sifat-
sifat kebiasaan dan adat istiadat dari rakyat kita, yang hampir sama sekali tidak berubah.

Sesudah kita menetapkan tiga macam keadaan itu, yaitu timbulnya adat baru, berubahnya
adat lama, dan kekalnya beberapa adat atau kebiasaan. Teringat kita pada pengalaman dan
pengetahuan masing-masing bahwa sering kali pergantian adat pada umumnya menimbulkan
penyesalan, ada pula yang membesarkan hati kita. Menyesali pergantian adat kadang-kadang
akan dapat merugikan diri kita pribadi, kegembiraan sering kali kita rasai juga, karena
terlepasnya adat yang mengikat kemerdekaan kita, sungguh akan memberi rasa bahagia pada
kita.

Terkait dengan itu terikat teringat pula bahwa sering kali kita melawan atau sedikitnya
menghalangi terjadinya perubahan adat, sebab akan merasa rugi. Akan tetapi acap kali juga
kita sendiri menganjurkan pergantian itu, bahkan sering kali dengan sifat radikal atau
revolusioner, di mana kita merasa harus membebaskan diri kita dari ikatan adat, yang
menghalang-halangi kemajuan kita.

Di dalam perlawanan manusia, menentang lakunya zaman itu, sebenarnya kita amat
merasakan pengaruhnya pada jiwa, yang berwatak sendiri-sendiri; macam-macamnya watak
boleh kita ringkas sebagai tiga tipe: watak konservatif, watak liberal, dan watak radikal,
sedangkan warnanya watak (kalau tipe dari Spranger boleh kita sebut ”warna’-nya jiwa)
dengan sendirinya menuntut kita masing-masing ke jurusan sosial, politik, agama, kesenian,
ekonomi, dan pengetahuan. Warna dari jiwa kita, yang amat berhubungan dengan perasaan
kita dan acapkali amat kuat itu, lalu menimbulkan macam-macam pandangan, aliran,
golongan, partai, perhimpunan, dan sebagainya.

Buah perlawanan kita terhadap pergantian adat itu amat bergantung pada beberapa keadaan,
yang boleh diringkas menjadi dua, yaitu zaman dan alam atau dengan kata yang lebih populer
yaitu waktu dan ruang (tijd en ruimte).
Di dalam pandangan ini bahwa kemauan kita sebagai manusia tidak lain adalah bagian dari
kemauan alam, sebagai kumpulan beberapa alat atau mesin kecil dari mesin alam yang
mahabesar. Kita bergerak meskipun merasa sebagai ”kemauan” kita sendiri, tetapi pada
hakikatnya gerak kita, kemauan kita yang ”subyektif” itu, tidak lain ialah sebagian dari
lakunya alam, yang seluruhnya dan bagian-bagiannya berlaku menurut hukum alam, yang
disebut hukum sebab akibat atau dengan kata lain hukum karma.

Oleh karena hukum alam ini tak akan menyalahi asasnya dan peraturan yang mahatertib,
maka kita manusialah dengan angan-angan kita yang bermacam-macam itu, perasaan kita
yang sering kali berkobar-kobar dan kemauan kita yang kita rasai sudah benar semua itu,
yang sebenarnya belum bisa manunggal (bersatu) dengan kodrat alam.

Dari itu pulalah kita selalu merasa susah dan senang menurut berpisah atau berkumpul kita
dengan lakunya alam. Walaupun demikian keadaannya, seharusnya kita mengetahui bahwa
kita manusia yakni makhluk yang berjiwa luhur dan yang berdiri sebagai bagian dari alam
yang mengandung kekuatan acap kali lemah dan hina itu, kerap kali berkuasa untuk turut
memberi aliran pada ”zaman” turut mewujudkan sifat ”alam” juga. Inilah sebabnya ada
kalimat ”kita manusialah yang mengubah alam dan zaman”. Malah ada yang menyebutkan
”Tuhan itu adanya di dalam diri kita”.

Sifat dan wujud alam dan zaman, di situ terletak juga sifat wujudnya hidup khalayak, di situ
terletak pula rupa dan warna adab dan budaya kita; di situ juga terletak sifat hidup kita
manusia masing-masing.

Dari keterangan di atas itu cukup menggambarkan angan-angan kita dengan lakunya
pembaruan adab dalam arti yang luas.

Kami memberi pandangan di atas semua itu karena hebohnya bertukar pikiran antara Tuan
Sutan Takdir Alisjahbana, Dr. Sutomo, dan Tuan Sanusi Pane di dalam Suara
Umum dan Bintang Timur yang terbukti menarik perhatian pers kita.

Seharusnya hal ini juga menarik perhatian semua kaum intelektual. Aliran Tuan Sutan Takdir
Alisjahbana (tentu kita semua tahu siapa Sutan Takdir Alisjahbana itu, juga siapa Sanusi
Pane) sebenarnya tidak sedikit yang mengikuti. Hanya saja karena aliran itu sifatnya (dalam
hakikatnya tidak) amat bertentangan dengan ”moderate” (tengah-tengah) maka jaranglah kita
dengan suara ”baru” itu dengan cara yang blak-blakan seperti uraian Sutan Takdir
Alisjahbana, yang terus terang dan berlandaskan akal sehat itu (cat.peny.).

Sanggahan terhadap Tuan Sutan Takdir Alisjahbana ada yang kurang enak didengar (karena
berbasis ”sentimen”), itu sudah wajar juga, karena Tuan Sutan Takdir Alisjahbana amat
radikal. Sungguhpun kita tidak dapat mengamini semua sikap Tuan Sutan Takdir Alisjahbana
dan sering kita sependapat dengan Dr. Sutomo, yang menjunjung adat kebangsaan yang patut
diluhurkan (Tuan Sutan Takdir Alisjahbana tidak suka menoleh ke belakang, ke alam ”Pra-
Indonesia”), tetapi patut sekali kita perhatikan adanya aliran ”Indonesia-Futura” (Indonesia
kelaknya; maaf kemerdekaan kami ini), agar kita tidak terikat di dalam alam-individu kita,
meskipun alam kita itu kita namakan alam ”Indonesia-Realita” (Indonesia Nyata).

Kami tidak tahu siapa yang akan menang; aliran ”futura” (bukan futurisme) atau ”aliran
realita”; anak cucu kitalah yang akan dapat menetapkan. Akan tetapi, keturunan kita niscaya
akan berterima kasih dan akan bisa menghargai pihak kita, asalkan mereka tahu bahwa
pertentangan yang sudah berakhir itu, berlangsung dengan kejujuran dan ketulusan.

Tambahan : Sesudah karangan di atas itu diset, muncullah pandangan dari Tuan Sutan Takdir
Alisjahbana yang menjawab kritik Tuan Sanusi Pane di Suara Umum (dengan catatannya
yang tersebut belakangan) yang bagi kami sebagai suatu bukti, bahwa perbedaan cita-cita
antara satu dengan yang lain (kita berdiri sejajar dengan Tuan Sanusi Pane) sungguh masih
”overbrugbaar”, tidak begitu jauh seperti perkiraan kita. Ini berarti bahwa mereka itu masih
dapat bekerja sama.

Pekerjaan Pembangunan Bangsa Sebagai Pekerjaan Pendidikan


- Sutan Takdir Alisjahbana
Ketika M. Hatta dalam masa perselisihan terkait dengan dimatikannya Partai Nasionalis
Indonesia oleh Mr. Sartono cs, dari negeri Belanda menulis bahwa ia setiba di Indonesia akan
bekerja di lapangan ilmu pendidikan sosial, oleh beberapa pihak ditertawakan. Malah ada
yang mengatakan bahwa ia sudah melempem dan takut berjuang di gelanggang politik.
Namun, ia tidak memedulikan tuduhan itu bahkan perkumpulan yang dilahirkannya dengan
sengaja dinamakan : Pendidikan Nasionalis Indonesia.

Sesungguhnya siapa yang dapat melepaskan dirinya dari perasaan panas hati, siapa yang
tidak segan dengan sekejam-kejamnya mengadakan kritik terhadap dirinya dan bangsanya,
siapa yang rela melihat kemenangan lawan atas dirinya karena lawannya lebih cakap, siapa
yang mengakui bahwa kejadian-kejadian dalam masyarakat pun menurut hukum sebab dan
akibat. Ia tidak malu mengakui bahwa kedudukan bangsa kita yang rendah sekarang ini sudah
sepantasnya karena kurang cakap. Selama beberapa abad tentang hal-hal yang terpenting
dalam perlombaan dan perjuangan bangsa.

Kurangnya kecakapan bangsa kita dalam ilmu teknik dan berperang, berakibat bangsa kita
dapat ditaklukkan oleh bangsa Barat. Kekurangmampuan dan kekuranguletan di bidang
ekonomi menyebabkan kita dapat dikalahkan oleh bangsa Eropa dan bangsa Tionghoa.
Kurangnya semangat meneliti dan mengetahui membuat bangsa kita tercecer dalam ilmu
pengetahuan.

Pengakuan dan kesadaran yang sedalam-dalamnya akan kurang kesanggupan, kecakapan, dan
keuletan bangsa kita, selain akan memberi pandangan yang benar tentang keadaan riil, akan
memberi pijakan kepada kita untuk memperbaiki keadaan kita dalam perlombaan dan
pertarungan bangsa.
Kesombongan yang menyanjung diri sendiri hanya mampu memuaskan hati kita sekejap saja,
dengan panas hati kita menghasut diri sendiri dan orang lain untuk melakukan sesuatu dengan
mata gelap. Namun, siapa pun yang mau bergerak membangun bangsa dengan sungguh-
sungguh, tentu akan mengakui bahwa kebesaran suatu bangsa tidak mungkin bertumpu pada
dasar yang selemah dan serapuh itu.

Sesungguhnya pekerjaan membangun bangsa menuntut syarat-syarat yang lebih penting:


manusia itu sendiri satu per satu mesti tumbuh ke segala penjuru. Dan pekerjaan
menumbuhkan manusia ialah melalui pendidikan, yang menghendaki analisis yang tidak
memandang perhitungan yang sangat hati-hati dan teristimewa minat dan perasaan kasih
sayang tiada terhingga.

Demikianlah siapa yang pernah menghadapi pekerjaan pembangunan bangsa seperti


pekerjaan pendidikan yang mahabesar ia pasti akan sadar bahwa lapangan pekerjaan itu
sangat luas dan sangat sulit. Sebab tiada ada bagian yang boleh diabaikan. Sebagaimana
pekerjaan pendidikan manusia per individu mengenai seluruh kehidupannya, demikianlah
pula pendidikan suatu bangsa mengenai bangsa itu di seluruh lapangan kehidupannya, di
seluruh lapangan kebudayaannya. Sebabnya kehidupan suatu bangsa dan kebudayaannya,
sebagai penjelmaan kehidupannya itu, ialah suatu totalitas, satu kesatuan yang padu, yang
selesai, yang af.

Ada hubungan erat, hubungan fungsional antara kehidupan ekonomi dengan kehidupan seni,
antara semangat perdagangan dan agama, antara hukum dan adat istiadat, antara pertanian
dengan cara berpikir, antara semangat dengan pakaian.[1] Karena di belakang semua
penjelmaan itu berdiri manusia yang mencari jawaban tentang kehidupannya dan
hubungannya dengan dunia sekitarnya dan soal-soal akhirat: soal hidup dan mati dan soal
ketuhanan.

Boleh jadi pada setiap anggota bangsa hal itu tidak tampak benar, tetapi hal itu pasti ada pada
kehidupan pribadinya sekarang yang besar-besar, dan sekurang-kurangnya tampak pada
setiap cabang kebudayaan yang penting yang dapat diambil dari lingkungannya, dengan tidak
merusak artinya yang dalam, sebab hal itu berarti melepaskannya dari akarnya: jiwa yang
hidup dan bergerak.

Jiwa yang hidup dan bergerak, kata saya! Meskipun kita tidak bisa menganggap bangsa sama
dengan jiwa tiap-tiap manusia. Bagi orang yang tahu menggerakkan pikirannya, akan nyata
bahwa setiap bangsa pada setiap zaman mempunyai “jiwa”nya, yang bersatu dan berkumpul
pada ahli pikirnya, pada para pahlawannya dalam arti dipakai oleh Thomas Garlyle, dan yang
memberi arti dan harga kepada segala sesuatu dalam lingkungan bangsa itu.

Berbicara tentang “jiwa” bangsa, saya tidak percaya pada “jiwa” bangsa yang tetap, saya
tidak percaya pada “jiwa” bangsa sebagai “keputusan hati” atau pada psyhische dispositie,
yang tetap dan tidak berubah-ubah, terkait pada ras yang ditentukan oleh keturunan. Sebab
sekalipun menarik teori tentang ras, semuanya harus dikembalikan kepada hipotesis yang
jauh dari pasti. Bagi saya ”jiwa” bangsa hanya suatu pengertian sejarah, sesuatu yang hanya
dapat diselidiki ke masa silam. Ke mana dia kelak akan berjalan, tidak dapat ditetapkan, telah
masuk alam mimpi dan cita-cita.[2]

Dalam pandangan seperti ini, politik, ekonomi, hukum, seni, pendeknya seluruh bidang
kebudayaan masing-masing tidak memiliki arti dan nilai yang sebenarnya kalau ia tidak
dianggap sebagai penjelmaan-penjelmaan ”jiwa” yang satu. Seorang Indonesia bisa menjadi
guru besar ternama. Namun, kalau kedudukannya bukan sebagai penjelmaan jiwa seluruh
bangsanya di bidang ilmu pengetahuan, gelar guru besar itu hanya berarti bagi dirinya
sendiri. Kalau kaum pekerja bangsa kita ternyata cakap bekerja dalam pabrik General Motor,
hal itu belum menggembirakan hati kita, jika kecakapan itu bukan menjadi gambaran
kemajuan seluruh ”jiwa” bangsa kita dalam hal mesin-mesin.

Kalau kita sudah belajar melihat kehidupan bangsa sebagai satu kesatuan demikian, pekerjaan
membangun kebudayaan yang baru, yang sesuai dengan kebudayaan internasional.

Sebagai suatu kesatuan kebudayaan yang baru, tidak bisa sekadar barang tempelan, tidak bisa
barang lama ditambah dan dikurangkan, yang di ”permak”. Seperti kita belum mendapat
sehelai baju kalau badan baju si A ditempel dengan tangan baju si B, leher baju si C, dan
kantong baju si D, demikian pula belum bisa menjadi suatu kebudayaan, kalau kita tempel-
tempelkan berbagai macam bagian kebudayaan. Borobudur, pesawat terbang, Zweedsche
gymnastiek, dan Cindua Mato belum menjadi suatu kesatuan budaya, sebab masing-masing
lahir dari akar, dari pusat jiwa yang berbeda.

Sesungguhnya, tiap-tiap generasi yang benar-benar hidup, bukan penjiplak yang kerdil, harus
memiliki daya cipta, harus merasakan dan melahirkan dari pokok-pokoknya, dari aslinya
yang benar. Terutama dalam zaman pancaroba seperti kita alami sekarang ini, di saat kita
kehilangan tempat berpijak dan bergantung, sebab pandangan hidup yang lama tidak mampu
mengusung kita melalui topan dan gelombang zaman, kita harus tiba pada pandangan dan
hidup yang baru, yang sesuai dengan zaman dan yang diperhitungkan, yang siap dan sanggup
untuk berjuang dan bertarung di zaman modern.

Dan dari pandangan hidup yang baru ini, sebagai inti, sebagai pusat, sebagai jiwa yang
mempunyai strukurnya sendiri, harus tumbuh kebudayaan baru yang lengkap dan yang
mempunyai bentuk sendiri pula.

Dalam pandangan semacam ini nyata kepada kita, betapa Dr. M. Amir mempermudah soal ini
dalam karangannya ”Jiwa Pemuda” yang termuat dalam surat-surat kabar:

”Satu pertanyaan: mampukah jiwa pemuda mengikuti kemajuan dan perubahan yang besar
itu? Mampukah jiwa zaman tengah diubah menjadi jiwa modern? Kalau perubahan itu secara
luar biasa, tentu gampang. Setiap orang kita dapat diajar makan dengan sendok dan garpu,
diajar bersepatu, berdasi, berdansa rumba, lambeth walk atau palace glide, itu urusan lahir.
Akan tetapi, mungkinkah anak Indonesia menjadi orang Barat 100 persen? Di luar dan di
dalam? Saya rasa tidak. Tidak saja karena mangga tidak menghasilkan batang pisang dan
sebaliknya, melainkan juga karena masa lalu, tidak dapat dibuang seperti cita-cita pujangga
Sutan Takdir Alisjahbana yang mau membuang zaman jahiliyah atau pra-Indonesia dan
mendirikan masyarakat Barat 100 persen yang baru, yang giat, yang kuat. Saya katakan tidak
mungkin, sebab dalam jiwa setiap manusia tersimpan semua pengalaman. Tidak saja pada
manusia satu-satu, melainkan juga pengalaman kemanusiaan mulai dari tingkat hewan yang
rendah sampai kepada hewan yang berupa monyet (bukan monyet betulan, lo) sampai ke
manusia biadab dan beradab dan tidak ada pengalaman yang tidak disimpan dalam
lapisan instinct atau pikiran atau perasaan. Dalam jiwa bangsa Indonesia yang paling
modern yang telah menimba ilmu ke Baltimore, Leiden, atau Cairo, ada tersimpan pusaka tua
dari bangsanya.”

Tentang mudah atau tidak, bagi Indonesia Muda jangan menjadi soal. Orang yang hendak
mencari jalan dengan mudah, sebaiknya pakai saja baju pesiarnya lalu mengayunkan
tongkatnya untuk pergi berjalan-jalan sambil bersiul-siul di tepi pantai melihat matahari turun
ke laut.

Yang menjadi soal bagi Indonesia Muda hanyalah semata-mata: harus atau
tidak revolusi jiwa dan kebudayaan itu. Ia yakin bahwa hal itu mesti, maka hal itu pun mesti
pula mungkin. Seperti kata Dr. Yan Romein.

(Karena pada kisaran zaman ini hanya itu yang mungkin dapat dicapai dengan menginginkan
yang mustahil, artinya menganggap sebagai mungkin. Terdapat di dalam sejarah pemborosan
seperti di dalam alam yang membiarkan bermilyar-milyar sel-sel telur ini hilang ketika
kemudian menjelma menjadi seseorang. Sejarah menuntut sebuah tumpukan hebat dari
tenaga-tenaga untuk melanjutkan perubahan yang pada awalnya tampak tidak dikehendaki
maupun tanpa tujuan. Kemudian dari satu hanyalah sesudah banyak kemunduran meraih yang
hakiki).

Want op deze overgangen der tijden kan het mogelijke alleen bereikt worden door het
onmogelijke te willen, dat wil zeggen voor mogelijk te houden. Er heerscht in de geschiedenis
soortgelijke verspilling als in de natuur. Laat deze milliarden eicellen verloren gaan tegen
dat zij een individu voorbrengt, de geschiedenis eischt een geweldige opeenhooping van
krachten om een in den beginner schijnbaar even ongewenschte als doelloze verandering
door te zetten om ook dan nog daarvan allen maar, na veel terugslag, het wezenlijke te
behouden.[3]

Saya tidak pernah mengatakan bahwa kita 100 persen harus menjadi orang Barat dan uraian
yang di atas pun jelas menunjukkan bahwa saya tidak menghendaki manusia dan kebudayaan
tiruan.

Tiap-tiap kebudayaan ialah sesuatu yang utuh seperti pisang hanya berbuah sekali.
Kebudayaan Mesir kuno, Romaawi, dan Yunani tidak akan kembali lagi, demikian pula
kebudayaan kita yang lama. Di tempat yang lain dan waktu yang lain akan timbul struktur
”jiwa” dan kebudayaan yang lain. Kalau saya di mana-mana memuji kebudayaan Barat,
pujian saya itu seperti dalam semua karangan saya terutama sekali tertuju kepada sifatnya
yang terdepan, yaitu nasionalisme, individualisme, dan positivisme, yang memberi dinamika
kepada manusia dan masyarakat Barat.

Rasionalisme, individualisme, dan positivisme ini pun menurut pikiran saya tidak sekali-kali
dapat dianggap mati-kaku-kolot, alias statis, tetapi hidup-cair-
bergerak, dinamis. Rasionalisme yang hidup-cair-bergerak, yang dinamis bisa muncul dalam
diri yang tidak rasional; dalam pikiran saya susunan negara fasisme, yang mengembalikan
sifat-sifat yang tidak rasional bagi sesuatu bangsa yang dalam masa yang cepat harus
mengejar kekalahannya, ialah yang paling rasional dan paling dapat dipahami. Demikian pula
individualisme yang hidup-cair-bergerak tidak berlawanan dengan ikatan masyarakat, malah
boleh jadi menjamin kebebasan yang lebih besar kepada tiap-tiap individu daripada
cara hantam kromo belangenharmoni liberale school Adam Smith. Tentang positivisme,
dengan sepenuh hati saya dapat mengutip di sini ucapan J. Hoogveld dalam “Tijdschrift voor
zielkunde en opvoedingsleer”.

”Bahwa tapal batas antara pengetahuan positif dan filosofis selalu akan bergeser.
Perkembangan yang selalu maju dari ilmu positif mengambil dari filsafat sebagian dari
tugasnya. Metode-metode baru penyelidikan dan alat-alat bantu baru kemudian sering
memberikan suatu jawaban yang secara eksperimen tetap adanya, di mana tadinya hanya
penalaran dapat sampai kepada jawaban.

Ketakutan bahwa filsafat akan dirampas dari semua bidang tidaklah perlu ada, karena
terdapat kepastian bahwa banyak pertanyaan jelas tidak pernah bisa dipecahkan oleh
penyelidikan pengalaman. Kebalikannya, seorang filsuf harus sangat bergembira mengenai
pertumbuhan pengetahuan positif lantaran data-data pengalaman selalu merupakan bantuan
bagi pemikiran ”lebih lanjut”. Semakin aman dasarnya, semakin lebih bagus terjamin
konstruksi yang lebih tinggi. Orang menamakan filsafat ibu dari semua ilmu pengetahuan,
dan selayaknya dalam makna ini, biasanya dia membangkitkan pertanyaan dan pertanyaan
adalah senantiasa ibu dari penelitian.”[4]

Demikian pula rasionalisme, individualisme, dan positivisme yang hidup-cair-bergerak, yang


dinamis akan lain penjelmaannya di negeri yang musim dingin berganti dengan musim panas
di negeri tropis yang panas dan hijau sepanjang tahun.

Tentang perbandingan ”tampang mangga yang tidak menghasilkan batang pisang dan
sebaliknya,” menurut anggapan saya Tuan Dr. Amir di sini terlampau mempopulerkan
uraiannya sehingga ia tiba kepada konklusi yang ia sendiri tidak akan mungkin
membuktikannya, bahkan tidak akan mau menerimanya.

Setahu saya belum ada teori yang dapat diterima orang sekarang yang mengumpulkan sifat
tiap-tiap bangsa di dunia, yang tak mungkin berubah-ubah. Malah psikologi bangsa-bangsa
(rassenpsychologie), seperti saya katakan tadi, masih bergantung di awang-awang, sebab
pokok pengertian ras sangat kabur dan hipotesis. Dan kalau ada bangsa yang tidak berubah,
sebaiknya jangan dipercaya, seperti dikatakan J. Huizinga:
”Tesis ras sebagai argumen dalam pertarungan budaya selalu bersifat memuji diri sendiri.
Apakah pernah seorang ahli teori ras mengalami dengan terkejut dan malu bahwa ras di mana
ia tergolong di dalamnya harus dinamakan bersifat rendah diri? Selalu halnya ialah
mengangkat diri sendiri dan sesamanya, di atas dan dengan merugikan orang lain.”

De ras-these als argument in den cultuurstrijd is altijd eigen lof. Heeft ooit een
rastheoreticus met schrik en schaamte bevonden, dat het ras, waartoe hij sich rekende, het
minderwaardige moest heeten? Het is altijd te doe nom verheffing van zich en de zijnen,
boven en ten koste van andere.”[5]

Seperti sudah dikatakan pada awal karangan ini saya tidak menerima sifat-sifat bangsa,
sebagai psychische dispositie dan kalau saya berkata tentang jiwa bangsa, maka artinya tidak
lain daripada suatu pengertian sejarah, yang selalu, tak pernah berhenti berubah. Dalam
semua bangsa terdapat segala sifat manusia, alles is in alleen, tetapi pada suatu tempat dan
suatu waktu sifat-sifat itu bisa tersusun sebagai suatu struktur.

Selanjutntya, tidak pernah saya mengatakan bahwa anak Indonesia modern itu harus 100
persen lain dari nenek moyangnya. Bahwa kedua-duanya manusia saja telah cukup
menyatakan sangat banyak persamaannya.[6]

Namun, tentang ada persamaan serupa itu bukanlah dengan nenek moyang saja, tentu banyak
juga dengan bangsa-bangsa yang lain. Struktur jiwa kanak-kanak tidak sama dengan struktur
jiwa orang tua, demikian pulalah struktur jiwa kita tidak mungkin sama dengan struktur jiwa
nenek moyang kita.

Bagi seorang kanak-kanak, sebuah kelereng atau gundu lain artinya bagi orang tua. Hal ini
dapat kita bawa ke bidang kebudayaan. Keris pusaka nenek moyang saya yang bertuah dan
dulu tiap malam Jumat diasapi dengan kemenyan, saya gantungkan di dinding untuk hiasan
dinding.

Arca Syiwa, tetapi dari zaman moyang ke zaman saya, ia melompat dari satu kebudayaan
tulus khidmat sekarang menari-nari di sisi arca perempuan bertelanjang di atas lemari buku
saya. Sesungguhnya kedua-duanya masih keris, keduanya masih Syiwa, tetapi dari zaman
nenek moyang ke zaman saya melompat satu kebudayaan ke dalam kebudayaan yang lain
strukturnya, lain sifatnya, lain tujuannya. Yang mula-mula suci, heilig, sekarang menjadi
biasa menjadi duniawi atau profaan, (ontheiligd).

Karangan ini sudah terlampau panjang, sedangkan msaih banyak segi-segi soal ini yang
belum saya percakapkan. Namun, kepalang saya menyambut karangan Dr. M. Amir dan
kebetulan pula, karena sesuai dengan susunan karangan ini, teringat saya akan pertanyaan Dr.
Amir tiga-empat tahun yang lalu, yaitu berhubungan dengan polemik saya dengan almarhum
Dr. Sutomo dan dengan Adinegoro, yang demikian bunyinya:

Namun, bagaimana tentang cita-cita “kebaratan” tadi, untuk Indonesia? tanya pembaca.
Kalau isi kebaratan itu rasional, lugas, teknik , ilmu pengetahuan, dan menerima hidup, saya
rasa tak ada bangsa kita yang tidak bercita-cita. Berilah kami barang-barang itu agak banyak
sedikit, sebab perlu bagi kami. Akan tetapi, cita-cita Tuan Sutan Takdir Alisjahbana untuk
melemparkan saja unsur peradaban India dan memakai (meminjam, memiliki) ”roh Barat”
dan atau Islam untuk mencapai peradaban yang lebih tinggi untuk bangsa kita; itu belum
begitu jelas modus operandinya (cara bekerjanya) bagi saya. Dengan berharap banyak, saya
menanti keterangan yang lebih jelas.[7]

Seperti telah nyata dari awal karangan ini, maka jawaban saya kepada pertanyaan ini: cara
bekerjanya tidak lain adalah mendidik manusia baru, mendidik jiwa baru, suatu cabang dari
kebudayaan internasional sekarang dan yang memakai tiang-tiang agung rasionalisme,
individualisme, dan positivisme, atau dengan pendek: pemikiran modern sebagai lawan
pemikiran primitive. (Kalau tidak ada halangan kelak saya akan khusus membicarakan soal
pemikiran primitif dan pemikiran modern ini bagi masyarakat kita). Sebab keadaan ekonomi,
politik, sosial rakyat yang berjuta, yang hidup tanpa bercita-cita, tanpa berkemauan, di batas
hidup dan mati, tidak mungkin berubah kalau manusianya tidak berubah.

Seribu sekolah perdagangan tidak akan menghidupkan kedudukan saudagar, kalau sekolah itu
hanya sekadar memberi pengetahuan tentang perdagangan dan tidak mengubah manusia itu
sendiri menjadi makhluk ekonomi (homo economicus) yang bekerja menurut cara ekonomi
modern. Kalau demikian di bidang ekonomi tidak berbeda dengan di bidang ilmu
pengetahuan, politik, sosial, seni, dan lain-lain. Sesungguhnya, apabila pemimpin politik,
pemimpin ekonomi, pemimpin sosial, seni, dan lain-lain, semua menyadari bahwa masing-
masing mau mencapai yang dikehendakinya, kalau mereka bersama-sama mendidik jiwa
lebih keras lagi, bersama-sama meyakini jiwa bangsanya, jika hal itu dilakukan masing-
masing dengan sadar, boleh jadi pekerjaan yang mahaberat itu menjadi ringan.

Lidworsky yang banyak menyelidiki tentang sifat kemajuan manusia, memberikan kepada
ilmu pedagogi modern suatu alat pendidikan, yaitu motievencultuur: memberikan kepada
manusia suatu motif atau kumpulan motif yang dahsyat, dan ia akan dapat melakukan
perbuatan yang mengagumkan.

Bukankah sering terjadi, bahwa seseorang yang lemah tiba-tiba mampu mengangkat dirinya
dan menjadi mahakuat, setelah jiwanya memiliki cita-cita yang luhur? Tidakkah demikian
juga halnya pada suatu bangsa, tidakkah tiap-tiap nabi, pemimpin membawa cita-cita,
harapan, mimpi baru bagi umat yang terjatuh ke dalam lembah dan dengan cita-cita, harapan,
mimpi baru itu membawa umat ke tingkatan yang tinggi, tiada terduga-duga selama ini.

Menentukan adanya kekurangan-kekurangan dari keberadaannya yang terikat pada dunia,


yang jasmaniah, terhadap pelajaran pemberontakan, mendorong adanya gagasan pencari jejak
maupun pemimpin untuk berbicara dengan begitu, tetapi semuanya meninggalkan mulanya
suatu kemampuan mimpi kepercayaan mereka yang tidak dapat diselewengkan, sinar
kemauan, kekuatan sugestif dan duka cerita yang berupa takdir. Adalah itu wajah-wajah
mimpi yang karenanya membuat mungkin yang tidak mungkin. Menguasai secara tidak dapat
dimatikan dan wajah mimpi juga membawa kepada guncangan hebat yang selalu kembali
dari susunan kemanusiaan, di dalam mana hakikat yang telah menjadi tetap, pasti berhimpun
bersama apa yang tidak kelihatan, untuk dari dasar membuat tempat baru.[8]
Dan dalam sinar cita-cita, harapan, mimpi serupa ini, maka Indonesia[9] mendapat arti yang
nyata dan berharga.

Indonesia adalah nama manusia baru, yang menyadari kedudukannya sebagai makhluk yang
terpilih oleh Tuhan, berhak dan wajib menguasai, memakai, dan mengatur alam sekelilingnya
dan karena kecakapannya berpikir yang menjadi kelebihannya atas makhluk yang lain dapat
membedakan dirinya menjadi subyek dan obyek dan dengan jalan demikian senantiasa dapat
menimbang, menyelidiki, dan memuliakan dirinya dan perbuatannya, dan karena itu mungkin
terjadi kepadanya kemajuan yang tak ada hentinya.

Indonesia adalah nama kebudayaan baru yang dilahirkan oleh manusia baru, berpadu dan
bersatu melingkungi seluruh bidang kehidupan manusia dan yang dalam garis-garisnya yang
besar bersamaan dengan kebudayaan internasional sekarang.

Indonesia adalah nama negeri tempat manusia Indonesia dan kebudayaan Indonesia, sebagai
suatu tahap ke arah persekutuan dunia yang menjadi cita-cita semua orang yang besar-besar
di segala zaman.

[1] Siapa yang mengerti bahwa kebudayaan itu sesuatu yang lengkap , akan mengerti pula
bahwa Kemal Pasya bukan main-main ketika ia menghapuskan tarbus dan pakaian kuno di
Turki.

Dan berhubungan dengan ini kita dapat berbesar hati melihat keputusan ketua pengurus besar
Parindra untuk memakai pakaian Indonesia, setelah pertukaran Sunan di Solo (lihat
gambarnya di Suara umum, Tempo, Darmokondo).

[2] Berhubungan dengan soal ras dan sifat-sifatnya “jiwa”nya ada juga faedahnya, kalau saya
kutip di sini beberapa kalimat dari buku Prof. Wolff Schoemaker Aesthetiek en oorsprong
der Hindu-kunst op Java.

Orang Jawa tulen dalam perkembangan antropologi tercecer di belakang budaya bangsa-
bangsa Eropa dan Asia bukan berabad-abad melainkan ribuan tahun.

Dan di tempat lain katanya …dan adalah satu hal yang telah dipastikan oleh antropologi
bahwa di Jawa tipe otokton masih berkuasa, bahwa rakyat Jawa diambil secara keseluruhan
tidak terlalu jauh dari dasar protomorfis-nya yang sudah diturunkan menurut hukum Mendel.

Tipe-tipe lebih beradab, lebih cerdas di kalangan orang Jawa yang harus dibedakan dari
rakyat biasa sebenarnya memperlihatkan ciri-ciri khas ras Kaukasis dalam hal ini terutama
Hindu, Eropa, dan barangkali Arab. Jadi, baru terwujud pada zaman Paska Hindu. Sifat ras
tidak berbohong. Dan sebab di mana rakyat Jawa berada, keterbelakangannya dan kelemahan
ekonominya, ketidakmampuannya menciptakan karya-karya seni di zaman Paska Hindu juga
tidak lantaran penindasan berabad-abad lamanya (orang dalam hal ini kembali memutar balik
sebab dan akibat). Dan bukan lantaran kekurangan pendidikan, tapi lantaran sifat tabiat
rasnya yang alamiah.

Keterbelakangan budaya dari ras berada dalam hubungan keharusan dengan keadaan
antroplogisnya yang relatif masih primitif.

Meski bagaimana sekalipun hati-hatinya ia mengeluarkan pandangannya dan meskipun kita


tidak sekali-kali hendak menuduhnya berat sebelah dan kurang obyektif, tetapi hubungan
yang dibuatnya antara ras sebagai pengertian antropologis dengan sifat-sifat jiwa, harus kita
tolak ke dunia hipotesis, yang tidak mungkin dapat dibuktikan. Dan seandainya benar,
susunan pikirannya itu, kita pun masih tetap tinggal optimistis, sebab menurut penyelidikan
ahli-ahli yang terkini, seperti dalam masyarakat manusia dalam biologi pun evolusi itu tidak
lurus jalannya, tetapi melompat-lompat. Yang paling belakang boleh tiba-tiba melompati
yang terdepan.

[3] Yan Romein: Het onvoltooid verleden.

[4] Kutipan ini saya kutip dari Fr. S. Rombouts: Nieuwe banen in psychologie en paeda-
gogiek.

[5] J. Huizinga: In de schaduwen van morgan.

[6] Tentang arti prae-Indonesia, lihat karangan saya dalam Pujangga Baru Tahun III No. 2
dan pertukaran pikiran dengan Sanusi Pane dalam Pujangga Baru Tahun III No. 3.

[7] Pujangga Baru Tahun III No. 12

[8] Reme Fulbp-Miller: Fuhrer, Schwarmer, and Rebellen, die grossen Wunschtraume der
Menschheit.

[9] Dalam wasiat almarhum Ki Hajar Dewantara menyebut Indonesia seperti saya lukiskan
ini Indonesia-Futura dan ia merasa dirinya lebih senang dalam Indonesia –Realita, yang
tersimpul dalam tri-contheorinya. Di kemudian hari saya akan kembali kepada soal ini,
barangkali berhubung dengan sinkretisme dan kebudayaan.

Menyambut Karangan Sutan Takdir Alisjahbana - Dr. M. Amir


Apakah masih dapat dipakai dalam peradaban kita unsur-unsur yang diwarisi dari zaman
dulu, bangsa-bangsa dulu, misalnya zaman Buddha- atau lebih baik kita hapuskan roh-roh
yang sudah lapuk itu dan kita pakai roh baru yang kita tiru atau pinjam dari roh Barat, dari
Eropa-Amerika?
Inilah soal peradaban yang telah dijawab oleh pujangga Sutan Takdir Alisjahbana dengan
pasti.

Kata beliau: Jauhkan roh Buddha dan pakailah roh Islam dan roh Barat, yang dua bersaudara
itu, sebab roh Buddha itu melemahkan semangat, karena cita-citanya lenyap lebur dalam
surga nirwana saja. Berhubung dengan semboyan yang begitu tepat dan tajam, pernah saya
tanyakan beberapa tahun yang lalu, bagaimana pujangga menjalankan cita-cita itu
(menghapuskan unsur peradaban Hindu) sebab jelas bagi saya sejak dulu bahwa zaman
gilang gemilang atau zaman keemasan tak mungkin dilupakan atau dihapus begitu saja.

Dalam nomor terakhir dari ”Pujangga Baru” dijawabnya dengan akan mendidik Indonesia
satu per satu ke arah cita-cita kebaratan itu, hlm. 207: Cara bekerjanya dengan mendidik
manusia baru, mendidik jiwa baru, yang akan menjadi pusat, menjadi motor kebudayaan
baru, sebagai cabang kebudayaan internasional sekarang dan memakai tiang-tiang agung
rasionalisme, individualisme dan positivisme, atau dengan pendek: pemikiran modern
sebagai lawan pemikiran primitif.”

Jawab ini menandakan bahwa beliau menganggap enteng soal pengaruh unsur Hindu-Buddha
dalam peradaban kita.

Padahal beliau juga tahu bahwa bahasa Indonesia lebih-lebih bahasa Jawa dan Kawi, banyak
sekali meminjam kata-kata dan istilah dari dunia India, termasuk arca-arca yang indah di
Jawa Tengah, tari wayang yang banyak ragam isinya itu. Pendeknya, peradaban Jawa yang
ada sekarang ini tak mungkin begitu halus dan kaya jika sekiranya tak mendapat pengaruh
dari Hindu. Juga peradaban Sumatera, misalnya yang sekarang sedang diselidiki oleh kaum
arkeologi mendapat pengaruh, dan mungkinlah ini kelak terbukti bertambah besar
pengaruhnya kalau dikaji lebih jauh.

Buat saya jelas bahwa pengaruh Hindu-Buddha tak dapat dihilangkan lagi dari peradaban
kita, sebagaimana halnya pengaruh Yunani dan Romawi tak akan penah musnah dari
peradaban Eropa.

Literatur India itu ialah warisan budaya klasik kita yang setua-tuanya dan berbahagialah
pujangga kita apabila ia dapat berkecimpung dalam Ramayana dan Mahabarata, dalam Veda
dan Purana, serta banyak lagi buah pikiran dan seni lama-lama itu.

Agar tidak ragu-ragu harus saya kemukakan bahwa peradaban dan seni warisan budaya klasik
kita ini yang berasal dari India yang kita pelajari dan puja-puja rohnya, ialah peradaban yang
telah lalu, sepertinya juga seni di Paris, di Bagdad, di Cordoba sudah tergolong masuk masa
yang silam. Meskipun begitu, agama Hindu tidak kita pakai lagi walaupun tampang dan awak
kita berlainan dengan orang Hindu itu. Walau masyarakat kita, terikat oleh hadist dan syara’
maka akan miskin kepustakaan kita apabila ”dibuang” saja seni-seni Hindu-Buddha itu dan
ditempelkan saja Dante, Goethe, dan Shakespeare di badan peradaban kita.

Pujangga Sutan Takdir Alisjahbana yang kagum melihat kegiatan dan ketangkasan Barat
sekarang, kurang menghargai warisan Hindu-Buddha, yang masih dipupuk di keraton Solo
dan Yogya di Istana Mangkunegoro misalnya! Beliau lupa bahwa sejarah itu sendiri dapat
dipotong-potong atau beberapa ruas dalam teorinya dalam pikiran kita, tetapi sebetulnya
sejarah itu bak air sungai yang selalu mengalir terus, zaman berganti akan tetapi pengaruh
setiap zaman itu tetap masuk jadi darah daging, tak dapat dipotong dari jiwa bangsa.

Sebaliknya, walaupun saya yakin akan ketinggian seni dan ilmu Islam di zaman gilang
gemilangnya, di Cairo, di Bagdad, di Cordoba, baik jugalah saya pujikan, supaya pujangga-
pujangga kita jangan mengabaikan budaya klasik kita yang pertama, yaitu peradaban India.
Bukan kita hendak memeluk agama Hindu atau Buddha. Bukan pula hendak menyembah
para dewata, akan tetapi kepustakaan, filsafat, seni mereka yang mengalir dari Sungai
Gangga sampai ke Sungai Berantas dan ke pesisir Kalimantan dan Bali, itulah warisan
budaya yang masih digunakan sebagai bahan-bahn peradaban dan bahasa kita. Bahasa
Sanskerta dan Kawi yang kaya itu rasanya boleh diambil untuk memperkaya bahasa
Indonesia kita.

Bagaimana dengan peradaban Islam dan peradaban Barat? Sudah jelas pengaruh kedua-
duanya akan bertambah besar dalam zaman sejarah sekarang ini. Warisan budaya Arab,
warisan budaya Barat, ilmu pengetahuan, dan filsafat Barat mempengaruhi kita dengan kuat.
Tetapi lain sekali sikap bangsa yang mengasimilasi daripada bangsa yang meniru. Asimilasi
artinya berdiri atas peradaban sendiri dan memakai unsur asing yang berguna, yang serasi
dengan badan. Meniru ialah menjadi orang Barat dari luar, memakai cepiau-nya, dasinya,
garpunya.

Saya bukan bermaksud mengecilkan nilai peradaban Barat yang selalu pelajari juga di
benuanya sendiri, tetapi saya yakin jalan kemajuan bangsa kita walaupun banyak meminjam
atau meniru dari Barat itu, akhirnya tidak akan serupa dengan Barat. Sebab roh bangsa kita
berlainan dan sejarah masyarakat kita tidak menempuh tangga-tangga yang sama dengan di
Barat. Peradaban Barat berdasar hellenisme, diperkaya oleh adab Rum, oleh peradaban
Kristen di abad pertengahan, oleh renaissance, reformatie, dan humanisme, oleh ilmu
merdeka di zaman sekarang. Itulah tangga-tangga yang tak ada pada kita. Tangga-tangga kita
ialah animisme, Melayu Polenesia; Hindu-Buddhisme-Islam; peradaban Barat.

Walaupun kita duduk dalam rumah atau restoran a la Eropa, makan, minum, dan berdansa
seperti mereka, saya rasa pustaka kita tetap berlainan dengan pustaka Barat. Ini bukan
perkara tinggi-rendah melainkan perkara berbeda. Saya rasa musik Beethoven tidak dapat
dibandingkan dengan gamelan, seni kita sendiri itu.

Menurut hemat saya belum tentu bahwa tanah-tanah Asia, seperti Jepang, Tiongkok, India ,
akan menjalani tingkat-tingkat kemajuan persis seperti Eropa dulu, belum tentu semua
pendapat-pendapat Eropa dan pranata hidup Eropa akan kita tiru di Asia ini –sedang tanah
Rusia yang terletak antara Benua Asia dan Eropa telah mencari jalan sendiri tentng
memajukan siasat dan ekonomi negerinya. Memang budaya meniru-niru dalam kemajuan
bangsa tidak layak diteruskan dengan membabi-buta!
Kalau di sini ada adat, keyakinan-keyakinan, pranata hidup, tradisi, kehalusan budi, pidato –
piagam, primbon; dan lain-lain yang berisi unsur-unsur asli, peradaban asli – saya tidak
mengerti, mengapa unsur-unsur asli itu akan dibuang saja – hanya karena kita kagum melihat
pabrik, kantor, kapal api, Barat!

Setiap bangsa kalau ia ingin tetap hidup merdeka, haruslah mencapai peradaban yang
bercorak sendiri, kalau tidak ia terhapus dari muka bumi ini. Peradaban itu walaupun lebih
lemah, lebih kolot, lebih ke abad pertengahan, lebih primitif, dan lain-lain daripada peradaban
Barat, itu semua tidak mengapa, asal peradaban itu serasi dan memberi rasa kesenangan pada
orang yang memikulnya.

Malah peradaban Barat sendiri yang sekarang telah berurat berakar dalam kekuasaan Kristen,
tidak pula tetap, dia sendiri mengenal krisis peradaban yang mencari jalan baru pula.

Saya kunci pendapat-pendapat saya ini tentang perkembangan kebudayaan dengan beberapa
dalil.

1. Setiap bangsa harus berikhtiar mempertahankan kebudayaan sendiri yang telah berurat
berakar dalam jiwanya.
2. Ia hanya boleh memakai unsur peradaban dunia atau peradaban Barat yang serasi dengan
jiwanya.
3. Peradaban India telah mempengaruhi kita telah memberikan beberapa unsur pada
peradaban dan perpustakaan kita, yang rasanya tidak layak lagi dikeluarkan dan
dilemparkan dari peradaban itu.

Pembaca, perhatikan betapa orang Barat yang rata-rata sudah beragama Kristen sampai
sekarang mempelajari dan merenungi keindahan peradaban Yunani yang
memang heindensch (kafir) itu; dengan jalan begitu “pustaka tua” tersimpan dan ada satu
rantai emas, yang menyambung tingkat-tingkat peradaban.

Itulah juga sebabnya saya amat bergirang hati membaca roman sejarah karangan Matu Mona
yang berjudul Zaman Gemilang (diterbitkan oleh Centrale Courant, Medan) yang bermain di
zaman Hindu-Buddha di abad XIII itu. Kebetulan pujangga Matu Mona mendapat inspirasi
dari kemegahan dan kehausan peradaban purbakala itu. Dengan indah digambarkannya
zaman kebesaran itu, tidak saja kebesaran budi dan pikiran, melainkan juga kebesaran
kerajaan duniawi, kehebatan laskar dan armada, serta pemerintahan dan diplomasi.

Baiklah saya terangkan di sini bahwa pujangga kita yang hebat-hebat, seperti Mohammad
Yamin, Sanusi Pane, dan Amir Hamzah semua telah mengarungi lautan budaya klasik Hindu-
Buddha bukan karena mereka menyembah berhala atau memikirkan kayangan atau nirwana,
melainkan oleh karena mereka sadar akan nilai ”pustaka tua”.

Saya sendiri adalah murid dari sekolah Barat, telah saya tempuh sekolah Barat itu dari tingkat
pertama sampai tingkat terakhir. Masyarakat Barat tidak saja saya pelajari di negeri kita ini
melainkan juga bertahun-tahun di Eropa sendiri. Saya rasa tak ada orang yang berani
mengatakan bahwa saya benci akan pengetahuan, kesenian, peradaban Barat.
Meskipun begitu saya yakin bahwa kemajuan batin bangsa kita – sungguhpun otak kita
diasah di laboratorium cara Barat akan maju, akan tumbuh menurut garis-garis sendiri-
seperti kemajuan jiwa Jepang, Tiongkok, dan India (tiga bangsa yang besar di Asia ini) yang
mengarah ke Barat, tetapi pada hakikatnya tetap tinggal berdasar ketimuran sendiri. Sekali
lagi, tidak jadi masalah kita pakai sendok garpu, mesin, dan perkakas Barat, tidak ada
salahnya kita membaca Shakespeare, Dante, dan Goethe, amat bermanfaat kita mengagumi
lukisan Rembrant dan Da Vinci, amat senang kita mendengar musik Beethoven dan Wagner-
namun demikian, kita wajib mencari seni sendiri, peradaban sendiri, pustaka sendiri.

Sekian dulu.

Jiwa dan Penjelmaan, Isi dan Bentuk - Sutan Takdir Alisjahbana


Apakah kita dapat pakai dalam peradaban kita unsur-unsur yang diwariskan oleh zaman dulu,
bangsa-bangsa dulu, misalnya zaman Buddha - atau lebih baik kita hapusakan roh-roh yang
sudah lapuk itu. dan kita pakai roh baru yang kita tiru atau pinjam dari roh Barat, dari Eropa,
dan Amerika?

Apakah disimpulkan oleh Dr. M. Amir soal yang menjadi pokok pertukaran pikiran, yang
sudah berlangsung beberapa tahun yang lalu ketika habis Kongres Pendidikan Nasional yang
pertama di Solo dan sekarang diteruskan.

Namun, dengan kesimpulan yang semacam ini pertukaran pikiran tidak akan mungkin
memuaskan, sebab syarat polemik yang pertama-tama yaitu tetapnya kata-kata dan isi kata-
kata yang dipakai, tidak sekali-kali terdapat padanya.

Pertama kali kita harus bertanya, apakah yang dimaksudkan dengan ”zat-zat” itu sering
diulanginya dalam karangannya itu, tetapi tidak sekali juga ia berusaha menjelaskan artinya.
Dalam kesimpulan itu juga dipakainya ”roh-roh”, yang tidak juga dijelakannya maksudnya.
Kita dapat bertanya. Samakah artinya itu? Wallahu alam! Namun, dalam seluruh
karangannya itu Dr. Amir mencampuradukkan kedua kata itu dan sekali-kali diselanya juga
dengan yang lain seperti ”pengaruh”.

Namun, kutipan berikut agaknya dapat menolong kita sekadarnya:

Padahal Sutan Takdir Alisjahbana tau juga, bahwa bahasa Indonesia lebih-lebih bahasa Jawa
dan Kawi, banyak sekali meminjam kata-kata dan istilah dari dunia India, sehingga arca-arca
yang indah di Jawa Tengah, tari wayang yang banyak ragam dan isinya itu.

Inikah yang dikatakannya “roh” itu? Kata-kata, istilah, arca, tari, wayang, dan lain-lain?
Alangkah tipisnya roh itu melekat dan mudahnya berpindah-pindah? Kalau saya memakai
dalam karangan ini kata-kata dari seratus bahasa (boleh jadi lebih sebabnya kalau tiap-tiap
kata itu diusut asalnya sampai seribu, dua ribu, atau sepuluh ribu tahun, boleh jadi kita tiba
kepada sejarah kata yang ganjil-ganjil), maka menurut logika yang di atas saya memakai
seratus roh.[1]
Benar pulakah, kalau saya menyuruh anak saya belajar tari Serimpi kepada Tuan Dr.
Purbatjaraka, bahwa saya telah mempunyai roh Jawa atau roh Hindu sekali?

Kebetulan tahun yang lalu saya menghadiri perayaan malam Natal golongan Katolik bangsa
Indonesia. Ketika itu dipertunjukkan tari Serimpi, yaitu seorang gadis berpakaian Serimpi
tetapi berlambang Maria. Kalau orang bertanya kepada saya, roh apa yang ada pada
pertunjukkan malam itu, maka saya akan berkata dengan tidak ragu-ragu roh Katolik yang
berpusatkan Paus di Roma dan bukan roh Jawa. Gerak-gerik badan dan pakaian Serimpi
hanya sekadar alat untuk menyatakan roh Katolik itu dan orang Jawa yang masih mempunyai
roh kejawaan asli akan mencibir melihat ”perusak” seni Serimpi asalnya itu. Malah sebelum
pertunjukkan itu dimulai, pastor yang berpidato ketika itu, mengatakan bahwa pertunjukkan-
pertunjukkan yang biasa diadakan di kampung dan di tempat lain itu hanya dongeng belaka,
yang tidak berarti, tetapi pertunjukkan malam itu, yaitu untuk mendalamkan perasaan
keagamaan, perasaan agama Katolik.

Jika ada seorang Indonesia ahli kuno yang memakai separuh dari umurnya akan menyelidiki
menurut ilmu pengetahuan barang-barang kuno di Sumatera, saya pun berkata bahwa roh
orang itu Barat, yang haus pengetahuan, bukan sekali-kali roh kebudayaan kuno yang
diselidikinya itu.

Dalam karangan saya ”Pekerjaan Pembangunan Bangsa sebagai Pekerjaan Pendidikan” (PB
Tahun VI Nomor 12) sudah saya nyatakan bahwa bagi saya roh atau jiwa suatu kebudayaan
itu ialah pandangan hidup dan sikap hidup dan cita-cita tentang dunia dan akhirat. Jiwa atau
roh itulah yang memberi sifat atau karakter kepada sesuatu kebudayaan dan jiwa atau roh
itulah pula yang menetapkan stijl atau gaya kebudayaan itu.

Dilihat dari roh atau jiwa ini tiap-tiap kebudayaan suatu keseluruhan, sesuatu yang
selesai dan lengkap. Kalau kita berkata tentang kebudayaan Katolik, ada suatu pandangan
dan sikap hidup, suatu kumpulan cita-cita dunia akhirat, yang menjadi pusat dari segala
sesuatu di dalam lingkungan Katolik. Kalau kita berkata, kebudayaan Tionghoa yang
bergambar dalam sejarah Tiongkok dan memperlihatkan bekasnya kepada segala sesuatu
dalam dunia Tionghoa sehingga kelihatan bedanya dari segala sesuatu pada bangsa lain.

Nyatalah bahwa roh atau jiwa seperti saya pakai itu jauh lebih dalam maknanya daripada
yang dimaksud oleh Dr. Amir. Dan betapa kacau uraiannya itu karena ia tidak menyadari
benar kata-kata yang dipakainya, terutama ”roh”itu, kelihatan pada kutipan di bawah ini.

Literatur India itu ialah warisan budaya klasik kita yang setua-tuanya dan berbahagialah
pujangga kita, apabila ia dapat berkecimpung dalam Ramayana dan Mahabarata, dalam Veda
dan Purana, serta banyak lagi buah pikiran dan seni lama-lama itu.

Sangat khas dalam karangan Dr. Amir ini, ialah amat gemar memakai kata yang tidak
relevan, yang kabur artinya. ”Berkecimpung” sesungguhnya indah bunyinya, tetapi apakah
maknanya? Mempelajari, mengetahui sesuatukah, ataukah mengambil rohnya? Tidak pernah
saya mengatakan bahwa tidak ada faedahnya sedikit pun kita mempelajari dan mengetahui
Ramayana, Mahabarata, Veda, dan Purana. Malah dalam PB tahun VI Nomor 3 dan 4 saya
sendiri berusaha mempelajari cerita Rama namun, di sini pun kita harus jelas membedakan
bahwa mempelajari dan mengetahui belum berarti mengambil roh-nya.

Boleh jadi benar seorang Indonesia mempelajari bahasa sansekerta dan membaca segala
buku-buku Hindu yang tua-tua itu sampai karya para filsuf Hindu zaman sekarang ini, dengan
maksud agar dapat menyerangnya setepat-setepatnya, memerangi sehebat-hebatnya.

Kita sendiri tahu bahwa umumnya sekarang ini pengetahuan kaum orientalis dan kaum
Zending (penyebar Kristen) dan missi (penyebar Katolik) tentang kebudayaan bangsa Jawa
(dan juga bangsa kita yang lain-lain) lebih besar dari pengetahuan yang terdapat di kalangan
bangsa kita sendiri. Namun, siapa berani mengatakan bahwa mereka itu mempunyai roh
Jawa?

Karena ia tidak berusaha membedakan roh dengan penjelmaan, karena ia mencampuradukkan


isi dan bentuk, karena ia dengan sangat dangkal bermain-main dengan kata-kata yang tidak
dipahami benar maknanya, maka tidak heran ketika tiba pada pandangan tentang sejarah yang
kacau sebagai berikut:

Pujangga Sutan Takdir Alisjahbana yang kagum melihat kegiatan dan kepiawaian Barat
sekarang, kurang menghargai unsur-unsur Hindu-Buddha, yang masih diperam dan dipupuk
di Keraton Solo dan Yogya di Istana Mangkunegoro misalnya! Beliau lupa, bahwa sejarah itu
sendiri dapat dipotong-potong atas beberapa ruas dalam teorinya, dalam pikiran kita, akan
tetapi sebetulnya sejarah itu sendiri bak air sungai yang selalu mengalir terus menerus, zaman
berganti zaman, akan tetapi pengaruh setiap zaman itu masuk jadi darah daging, tak bisa
dipotong lagi dari jiwa bangsa.

Perhatikanlah kata-kata ”bak air sungai yang selalu mengalir yang terus menerus” dan
bandingkan dengan sambungannya: ”zaman berganti zaman” dan sebagainya. ”Sedangkan
beliau menyangkal saya memotong-motong sejarah: (saya menyebut zaman sebelum ada
pergerakan modern zaman pra-Indonesia, lihat, karangan saya ”Indonesia-pra-Indonesia”
dalam PB Tahun III Nomor 2 dan pertukaran pikiran dengan Sanusi Pane dalam nomor 3)
beliau sendiri mengatakan: ”zaman berganti zaman” kalau semuanya terus
berkesinambungan, apakah yang berganti-ganti?

Nyata pula kepada kita bahwa di sini pun Dr. M. Amir mencampuradukkan dua pasal, yaitu
perjalanan sejarah sebagai perjalanan waktu (dan kalau mau sebagai rentetan sebab dan
akibat) dengan sejarah sebagai perubahan dan pertukaran anggapan, pikiran, dan cita-cita
manusia. Sejarah sebagai yang pertama tentu terus berkesinambungan, tetapi tidak sebagai
yang kedua, yaitu sejarah sebagai perubahan jiwa manusia.

Seorang anak menurut waktu meneruskan sejarah orang tuanya, tetapi tentang isi jiwanya
boleh jadi ia berlainan benar dengan orang tuanya. Ambil contoh di zaman kita sendiri. Jiwa
orang tua kita bernenek moyang pada zaman Melayu Polynesia, tetapi si anaknya yang
mendapat didikan Barat bisa dengan tiba-tiba bernenek moyang kepada jiwa Eropa Barat.
Di antara pemuda kita bukan sedikit yang jiwanya lebih dekat ke bangsa Barat daripada ke
bangsa Toraja, malahan lebih dekat daripada kepada orang tuanya sendiri. Contoh yang lain,
Marxisme yang tumbuh di Eropa Barat tiba-tiba menjelma dan menjadi sempurna di Rusia
yaitu di daerah Kristen-Yunani. Di mana kesinambungannya?

Sesungguhnya siapa yang memandang bukan semata-mata sebagai pergantian waktu, tetapi
sebagai perubahan anggapan, pikiran, kemauan, dan cita-cita manusia, tidak boleh tidak akan
melihat sejarah sebagai perubahan yang tiada habis-habisnya. Makin besar perubahan dalam
sesuatu zaman makin pentinglah zaman itu dalam sejarah.

Malah saya maju selangkah lagi: sejarah mengandung arti perubahan dan perbedaan,
pertentangan antara kemauan dan kemauan. Kita tidak berkata-kata tentang sejarah di dalam
dunia tumbuh-tumbuhan sebab tumbuh-tumbuhan tiada berkemauan dan tiada kuasa
mengubah sekitarnya dan dirinya. Demikian juga dunia hewan, termasuk di kalangan bangsa
yang primitif, sebab mereka cuma meneruskan apa yang ditetapkan oleh nenek moyangnya.
Mereka tidak berani menempuh jalan baru. Sejarah yang sebenarnya baru timbul dalam
masyarakat yang ada pertentangan, ketika suatu golongan melawan golongan lain, ketika
suatu keturunan berlawanan kemauan dengan keturunan yang sebelumnya.

Kebetulan sekali dalam beberapa hari ini saya membaca sebuah roman Turki modern Ankara
karangan Yakub Kad Karaosmanoglu (Wereld bibliotheek, 1938) yang melukiskan
perjuangan bangsa Turki mendirikan negeri baru atas pimpinan Kemal Pasya. Yang menarik
hati ialah percakapan antara Nesj Sjabit yang berumur kira-kira 35 tahun dengan istrinya
Selma Hanim tentang Yildiz, yaitu seseorang gadis Turki baru berusia 23 tahun.

”Betapa hidupnya dan betapa pintarnya,” gumam Selma Hanim.

”Ya, begitulah generasi muda sekarang, begitu dia bangkit dan jaya,” kata Nesj Sjabit.

“Berapa usianya menurut hematmu?”

”O, saya pikir, kira-kira dua puluh dua atau dua puluh tiga.”

”Kalau begitu, mengapa kamu begitu menekankan pemilahan generasi antara kamu dengan
dia?”

”Sangat sederhana, Yildiz sama sekali tidak ingat dari zaman di mana aku tumbuh dewasa,
apa yang telah kupelajari, dan di mana aku pertama kali belajar mengenal dunia. Ia tidak tahu
mengenai tarbuz, teralis jendela, atau cadar wanita. Ia tidak tahu aksara-aksara lama. Kisah-
kisah dari masa ketika emas dan perak masih menjadi alat tukar. Baginya tidak lebih
hanyalah dongeng-dongeng zaman pra-sejarah. Bila kamu tanya dia bagaimana rupanya
sebuah negeri dengan seorang sultan, dia bilang: ”Apakah itu bukan seperti Bagdad di zaman
Harun Al Rasyid? Bukan main besarnya waktu dapat menimbulkan jarak antara dua
manusia!”

”Ini adalah suatu kerenggangan jarak kebudayaan.”


”Bukan, itu adalah suatu kerenggangan dalam semangat, watak, mentalitas, dan kurun
zaman...apapun yang kamu katakan, kamu tidak dapat membuatnya sampai satu dari generasi
kita dapat membuatnya.”

Dalam negeri yang sangat cepat berubah seperti di negeri Turki dalam empat puluh tahun ini,
waktu yang tiga belas tahun saja dapat membuat jurang yang dalam antara manusia, padahal
sama-sama modern. Kejadian yang serupa ini kelihatan di seluruh negeri Timur.

Menarik pula bagaimana Dr. M. Amir melukiskan tentang cara menerima kebudayaan Barat
dan Islam. “Bagaimana pula tentang peradaban Islam dan peradaban Barat? Sudah teranglah
kedua-duanya pengaruhnya akan bertambah besar, yaitu pengaruh dalam zaman sejarah
sekarang ini warisan budaya Arab, warisan budaya Barat mempengaruhi kita dengan kuat,
akan tetapi lain sekali sikap bangsa yang asimilasi daripada bangsa yang meniru. Asimilasi
artinya berdiri atas peradaban sendiri dan memakai unsur asing yang berguna, yang serasi
dengan badan. Meniru ialah menjadi orang Barat dari luar, memakai cepiau-nya, dasinya,
garpunya”.

Siapa yang mengikuti karangan saya sejak awal, baginya akan jelas bahwa saya tidak pernah
mempersoalkan tentang asimilasi atau meniru itu. Di mana-mana sampai dalam roman Layar
Terkembang, saya terang-terangan menyerang orang yang meniru. Di sini, sikap itu hendak
saya jelaskan lagi: meniru senantiasa salah, malah meniru nenek moyang pun tidak kurang
salahnya. Jatuhnya bangsa lain disebabkan oleh semangat meniru itu.

Saya kagum akan pepatah, peribahasa, kata adat Minangkabau, tetap geli rasanya hati
mendengar dan melihat orang yang tak puas-puasnya melahap isi pidato dan karangannya.
Maka dari getaran jantung yang hidup sekalian buah kesusastraan yang permai itu menjadi
krenyotan bibir. Hal ini berlaku dalam ranah kebudayaan, orisinalitas, keaslian pikiran dan
perasaan tidak ada serambut sehingga dalam beratus-ratus tahun kebudayaan kita hampir
tidak kelihatan kemajuannya. Tradisi berpuasa, mematikan segala gerak, kata nenek moyang
menjadi kata yang tak mungkin berubah lagi, manusia menjadi hamba.

”Asimilasi artinya berdiri sendiri atas peradaban sendiri dan memakai unsur asing yang
berguna, yang serasi dengan badan.”

Alangkah manisnya bunyi kalimat itu, namun, maafkan kalau saya tidak puas dengan bunyi
yang manis saja. Saya ingin mengetahui, apakah yang disebut peradaban Indonesia itu? Yang
manakah dari unsur asing yang serasi dengan badan Indonesia. Dr. M. Amir sudah memakai
kata “roh”, “zat”, sekarang ditambahnya pula dengan satu lagi: ”badan”.

Saya hendak bertanya : ilmu pengetahuan Barat yang dituntut oleh Dr. M. Amir dari tingkat
yang rendah sampai tingkat yang tinggi sampai-sampai ke negeri Belanda itu serasikah ia
dengan ”badan” Indonesia itu? Kalau cara berpikir ketimuran (keindonesiaan asli) itu kita
sebut mistik, tradisional, terang sekali bahwa ilmu pengetahuan itu tidak serasi. Terang sekali
pula, bahwa roh ilmu pengetahuan itu tidak terdapat dalam tingkat-tingkat animisme Melayu
Polynesia dan Hindu-Buddhisme. Agaknya inilah sebabnya bahwa kebanyakan kaum
akademisi kita steril dan pendiriannya serta pengetahuannya tidak pernah mengatasi dari
yang dipelajarinya dari guru besarnya waktu sekolah.

Selanjutnya pula kata Dr. M. Amir:

Menurut timbangan saya belum lagi tentu, bahwa tanah-tanah Asia seperti Jepang, Tiongkok,
India akan menjalani tingkat-tingkat kemajuan persis seperti Eropa dulu, belum lagi tentu,
bahwa semua pendapatan Eropa dan pranata Eropa akan kita tiru di Asia ini – sedangkan
tanah Rusia yang terletak antara benua Asia dan Eropa telah menunjukkan, bahwa ia mencari
jalan sendiri tentang memajukan siasat dan ekonomi negerinya.

Sayang tentang kutipan ini pun saya mengatakan bahwa ia tidak lebih dari permainan kata.
Apakah yang mengatakan, bahwa Jepang, Tiongkok, India akan menjalani tingkat-tingkat
kemajuan seperti Eropa dulu? Dan kalau Dr. M. Amir masih sanksi rupanya tentang itu, baik
saya tegas: pasti tidak.

Tidak ada dua kebudayaan yang persis sama tingkat-tingkat kemajuannya. Malah saya
hendak maju selangkah lagi: tingkat-tingkat kemajuan bangsa Minangkabau, bangsa Sunda,
dan bangsa Jawa (ketiga-tiganya dalam lingkungan Indonesia) lagi tidak lagi persis sama.

Dr. M. Amir mengatakan bahwa Rusia mencari jalan sendiri. Padahal ia tahu, bahwa
Marxisme seperti di Rusia itu bukan asli di lahirkan di Rusia. Tetapi ia dilahirkan di Eropa
Barat. Selangkah lagi kita maju, kita dapat berkata bahwa sebenarnya kapitalisme dengan
komunisme dua saudara, kedua-duanya anak manusia Eropa Barat, anak manusia sebagai
imperialis.[2]

Kekacauan susunan pikiran karena tidak memahami kata-kata yang dipakainya itu nyata pula
dalam ucapannya tentang membuang barang yang asli, yaitu :

Kalau di sini ada adat, keyakinan-keyakinan, pranata, tradisi, kehalusan budi, pidato-piagam,
primbon, dan lain-lain, yang berisi zat-zat asli, perbedaan asli – saya tidak mengerti mengapa
zat-zat itu akan dibuang-buang saja – sebab kita kagum melihat pabrik, kantor, kapal api
Barat.

Tentu saja ia tidak mengerti, tidak mungkin akan dapat mengerti, kalau adat istiadat,
keyakinan, dan sebagainya, dan pabrik, kantor, kapal api itu, dipandangnya dari luar belaka.

Apa bedanya memanggil dukun yang membalik-balik buku primbon dengan memanggil
dokter Barat? Bukankah sama saja sebab kedua-duanya toh hendak menyembuhkan orang
yang sakit?

Namun, jika orang menganggap dukun dengan primbon-nya itu sebagai penjelmaan cara
berpikir yang primitif, dan dokter itu sebagai penjelmaan rasionalisme, maka orang pasti akan
memilih. Orang rasionalis atau ketularan rasionalisme, akan membuang dukun dengan
primbonnya dan memanggil dokter. Orang yang masih berpikir primitive atau yang
bersifat mistik akan merasa lebih aman pada dukun dan primbonnya yang asli.
Demikian juga adat istiadat, pranata, dan lain-lain. Kalau orang memilih jiwa modern yang
aktif, yang berjuang, menaklukkan dan menguasai dalam segala bidang maka dia pasti akan
melepaskan pranata dan adat-istiadat yang menghambat langkah dalam kancah ekonomi,
politik, masyarakat, kebudayaan, dan lain-lain. Hal ini bukan sekali-kali karena gila
membuang, tetapi karena perubahan jiwa menghendaki bentuk baru, yang sesuai dengan jiwa
baru pula.

Sebaliknya, tentu mungkin pula orang tetap memakai adat istiadat atau nilai pranata yang
lama itu. Namun, meskipun yang lama itu tidak dibuang, jangan sekali-kali disangka bahwa
kedudukannya tidak berubah dalam struktur kebudayaan. Saya ambil contoh yang mudah.
Dukun-dukun kita memakai daun kumis kucing, dokter zaman sekarang memakai daun kumis
kucing pula. Orang yang hanya melihat dari luar mengatakan, bahwa dokter-dokter modern
mempertahankan obat asli, namun, yang sudah belajar melihat sesuatu yang lahir itu
penjelmaan roh, ia akan insyaf bahwa memakai kumis kucing oleh dukun itu tidak sama
dengan memakai kumis kucing oleh dokter. Yang pertama memakainya karena menuruti
nenek moyangnya, yang kedua oleh sebab ia tahu bahwa dalam kumis kucing itu terdapat
unsur-unsur yang baik untuk penyakit tertentu.

Dalam karangan saya dalam PB Tahun VI Nomor 12 saya ambil contoh keris bertuah yang
tiap malam Jumat diasapi oleh nenek moyang saya dengan kemenyan, tetapi sekarang saya
gantung sebagai hiasan dinding. Keris tetap seperti itu sejak dulu, tetapi cara menganggapnya
berbeda, pendirian saya dengan nenek moyang saya tidak sama.

Hal ini dihubungkan dengan Dr. M. Amir dengan karangan Matu Mona yang bernama Zaman
Gemilang yang bermain di zaman Hindu-Buddha dan tentang Mohammad Yamin, Sanusi
Pane, dan Amir Hamzah yang menerangi (perhatikan! Di sini dipakainya ”menerangi” yang
tidak relevan pula) lautan budaya klasik Hindu-Buddha. Dalam hal ini pun ia
mencampuradukkan isi dan bentuk, batin dan lahir, roh dan zat. Zaman Gemilang karangan
Matu Mona itu jauh lebih dekat rohnya kepada roman sejarah Barat daripada kepada hikayat
Seri Rama. Demikian juga karangan Yamin dan lain-lain.

Pembicaraan karangan Dr. M. Amin ini sengaja saya panjangkan. Sengaja pula saya cetakkan
seluruh karangannya di halaman majalah ini supaya orang dapat membandingkan sendiri.

Dalam surat kabar, dalam pidato-pidato sering kita mendengar uraian yang serupa ini. Dan
umumnya pendirian yang serupa ini tidak sedikit pun mendapat bantahan.

Di kalangan bangsa kita belum terbiasa mengungkapkan polemik yang menyentuh pada
pokok dan akar persoalan. Lagipula kata-kata seperti meniru Barat, adat-istiadat Timur dan
yang semacamnya bagi bangsa kita telah menjadi bahasa umum, amat mudah disebut, tapi
tidak mudah dipahami. Sedangkan kata ”Barat” seolah-olah mengandung pengertian
kekejaman, nafsu tamak, rakus, dan kebendaan. Kata ”Timur” menjadi kata sakti yang
mengandung segala kehalusan budi, ketenteraman, kemanusiaan, ketuhanan, semua yang
indah-indah dan mulia lainnya. Lupa, lupa benar orang bahasa kehalusan dan kejahatan sejak
dunia berkembang ada di mana-mana, sama banyak. Tamak, rakus, peperangan, penindasan,
dan lain-lain bukan hanya memonopoli Barat. Sebaliknya, kehalusan budi, ketenteraman,
ketuhanan, dan sebagainya bukan hanya terdapat di Timur.

Malah hingga abad keduapuluh ini di India, yang sangat dipuja oleh sebagian bangsa
Indonesia masih ada delapan puluh juta manusia yang ditindas dan dihina yang agaknya sulit
dicari bandingannya dalam sejarah penjajahan dunia Barat. Lupa pula orang bahwa teknik
dan ilmu pengetahuan Barat yang diinginkan itu tidak bisa sama sekali dipisahkan dengan
filsafat. Kesenian, adat-istiadat, pendeknya dan sikap pandangan hidup Barat. Dalam
semangat Ghandi, Tagore, dan lain-lain, tidak akan mungkin lahir pesawat terbang, rumah
sakit yang lengkap, bank yang rapi teratur, pertanian yang rasional. Siapa yang membaca
rencana perjalanan Dr. Sutomo dari awal sampai akhir, akan sadar betapa kecewanya ia
(sebelum ia pergi ke Hindustan ia amat gemar mengutip dari karangan-karangan
Vivekananda, Tagore, dan lain-lain) ketika telah berkenalan dengan India: di mana-mana ada
kotoran, keteledoran, sampai-sampai ke dekat kaum terpelajarnya dan pemimpin-
pemimpinnya.

[1] Yang sebenarnya ialah tiap-tiap kata asing yang masuk dalam suatu bahasa
menyesuaikan dirinya dengan struktur bahasa yang dimasukinya itu, dan putuslah
hubungannya dengan bahasa yang asli. Hubungannya dengan bahasa yang asli itu hanya
penting bagi orang yang gemar akan sejarah kata, lain tidak.

[2] Kalau saya memakai kata “imperialisme” di sini maka jangan diartikan dengan kata
imperialis dan imperialisme dalam politik dan ekonomi. Manusia imperialis bagi saya ialah
manusia Barat, yang menaklukkan dan menguasai ke segala bidang kehidupan: ekonomi,
politik, ilmu pengetahuan, agama, kesenian, olahraga, dan lain-lain. Maka dalam arti yang
serupa ini baik kapitalis maupun sosialis kedua-duanya sama-sama imperialis. Berbeda
dengan orang Timur yang bukan penakluk tapi mencari harmoni dengan segala sesuatu di
sekitarnya.

Riwayat Singkat
Adinegoro

Jebolan sekolah jurnalistik di Jerman. Pemimpin Redaksi Harian Pewarta Deli, Medan.
Pernah menjadi Kepala Jawatan Penerangan Sumatera. Pernah duduk dalam Pemimpin
Redaksi Mingguan Mimbar Indonesia Jakarta.
Dr. M. Amir

Lahir tahun 1900. Tahun 1924 tamat sekolah Stovia. Tahun 1928 mendapat gelar doktor
obat-obatan di Eropa. Terkenal sebagai psikiater. Juga sebagai penulis. Banyak karangannya
di berbagai surat kabar atau majalah baik yang mengenai lmu kedokteran, maupun tentang
soal-soal kebudayaan, politik, dan lain-lain. Di antaranya di dalam majalah-
majalah Peninjauan dan Pujangga Baru.

Ki Hajar Dewantara

Lahir tahun 1889. Sekolah: Stovia, kemudian mendapat akte L.O. di Den Haag. Turut duduk
dalam pucuk pimpinan ”Indische Partij” bersama-sama dengan Douwes Dekker. 1913
diasingkan ke negeri Belanda. 1922 mendirikan perguruan nasional Taman Siswa di Yogya.
Pada awal revolusi menjadi menteri pengajaran dalam kabinet presidentieel Sukarno-Hatta.
Banyak karangan-karangannya tentang pengajaran, pendidikan, dan kebudayaan, terutama
dalam majalah-majalah Pusara, Wasita, dan lain-lain.

Dr. R. M. Ngb. Purbatjaraka

Lahir tahun 1884. Tahun 1926 mendapat gelar doktor dalam ilmu bahasa dan filsafat di
Leiden. Terkenal sebagai ahli penyelidik Sejarah dan Kebudayaan Indonesia Kuno,
teristimewa pula sangat terkenal sebagai seorang ahli bahasa Jawa Kuno. Buku ujiannya ialah
”Agastya in den Archipel”. Banyak lagi karangannya sebagai hasil penyelidikan, baik yang
berupa buku, maupun yang dimuat dalam majalah Bat. Gen. v. Kunsten en Weten-
schappen, dan lain-lain. Sekarang guru besar di Universitas Gajah Mada, Yogya.

Sanusi Pane

Lahir 1905. Sekolah: Mulo, Sekolah Guru ”Gunung Sari”. 1933-1934 pemimpin Perguruan
Rakyat, di Bandung. 1936-1941 pemimpin redaksi Harian ”Kebangunan”, Jakarta. Pernah
menjabat kepala redaksi Balai Pustaka. Karangannya banyak sekali, baik yang berupa
kumpulan sajal (Madah Kelana), sandirwara, atau esai mengenai kesusastraan dan ilmu
bahasa, maupun mengenai politik dan kebudayaan umumnya.

Sutan Takdir Alisjahbana


Lahir 1908. Kepala Redaksi Balai Pustaka. Penerbit dan pemimpin majalah Pujangga Baru.
Tahun 1941 lulus sekolah tinggi kehakiman, Jakarta. Menulis beberapa roman, di
antaranya Layar Terkembang. Di samping itu, sajak-sajak dan banyak sekali esai dan polemik
tentang kebudayaan, bahasa, dan pendidikan. Tahun 1948, mengunjungi Kongres Filsafat di
Amsterdam.

Dr. Sutomo

Lahir tahun 1988. Tahun 1908, ketika masih menjadi pelajar sekolah dokter di Jakarta, turut
mendirikan perkumpulan ”Budi Utomo”. Di tahun 1919 melanjutkan pelajarannya pada
Universitas Amsterdam. Tahun 1923 kembali ke tanah air, menjadi guru N.I.A.S., Surabaya.
Mendirikan ”Indonesische Studieclub”, kemudian PBI (Persatuan Bangsa Indonesia), yang
pada akhirnya dilebur dengan perkumpulan-perkumpulan lain menjadi “Parindra”. Pernah
menerbitkan majalah Suluh Indonesia, Suluh Rakyat Indonesia, dan terakhir Harian Suara
Umum. Di samping menulis dalam surat kabar dan majalah, juga menulis brosur-brosur di
antaranya tentang perguruan dan pendidikan. Tahun 1938 meninggal dunia di Surabaya.

Tjindarbumi

Pernah belajar pada Stovia di Jakarta. Kemudian bekerja di lapangan jurnalistik. Beberapa
tahun memimpin redaksi Harian Suara Umum, Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai