Anda di halaman 1dari 17

Negoisasi Budaya Pasangan Pernikahan Diaspora

Fadhil Maliky Islah1, Riza Akhdisholikhah2


Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
1
fadhil.m.i@mail.ugm.ac.id, 2riza.akhdisholikhah@mail.ugm.ac.id

Abstract

Diaspora refers to a nation or ethnic population who is forced or compelled to leave their
homeland and spread in various parts of the world with certain motives. However, they still
want to maintain a sentimental and material connection that is lacking in their home
country. The development of Internet technology has played a role in increasing the
occurrence of diaspora, especially in diaspora marriages. The article set out to provide an
overview of the phenomenon of diaspora marriage related to the challenges that will be
faced by diaspora marriage couples. Cultural negotiations and communication effectiveness
are the main keys in living this cross-cultural married life.

Keywords: Marriage, Diaspora and Cultural Negotiations

Abstrak

Diaspora merujuk pada bangsa atau penduduk etnis yang terpaksa atau tedorong untuk
meninggalkan tanah airnya dan menyebar di berbagai belahan dunia dengan motif tertentu.
Namun, mereka tetap mau mempertahankan hubungan sentimental dan material yang
kurang dengan negara asalnya. Perkembangan teknologi Internet turut berperan dalam
peningkatan terjadinya diaspora, khusunya pada pernikahan diaspora. Artikel berangkat
untuk memberikan gambaran mengenai fenomena pernikahan diaspora terkait dengan
tantangan yang akan dihadapi oleh pasangan pernikahan diaspora. Negoisasi budaya dan
efektivitas komunikasi menjadi kunci utama dalam menjalani kehidupan pernikahan lintas
budaya ini.

Kata kunci: Pernikahan, Diaspora, dan Negoisasi Budaya

Pengantar

Fenomena globalisasi dan selesainya perang dingin telah mendorong

berkembangnya kajian transnasional dalam Hubungan Internasional. Kajian tersebut

berimpilkasi pada ragam unit analisis pada aktor non negara yang disebut diaspora.

Fenomena diaspora ikut serta dalam mewarnai kehidupan sejarah masyarakat, termasuk

Indonesia. Diaspora merupakan istilah yang merujuk kepada bangsa atau penduduk etnis

yang terpaksa atau terdorong untuk meningggalkan tanah air etnis tradisional mereka
penyebaran mereka di berbagai belahan dunia; dan memungkinkan perkembangan budaya

dari penyebarannya (Sujatmiko, 2014).

Fenomena diaspora juga terjadi pada keberlangsungan pernikahan pada pasangan

beda negara. Banyak penelitian terdahulu telah mengupas fenomena ini. Pernikahan yang

dilakukan dapat terjadi bila calon pasangan memiliki sudut pandang yang sama. Pada

penelitian yang dilakukan oleh Kibria (2012) mengenai pernikahan diaspora Muslim

Bangladesh, khsusnya di antara orang Bangladesh-British dan Bangladesh-Amerika

mengatakan bahwa pernikahan ditentukan dari domisili calon pasangan karena domisili

dan sejarah akan membentuk sudut pandang yang akan mempengaruhi dalam

pengambilan keputusan terkait pernikahan diaspora.

Pernikahan terjadi seringkali berlandaskan pada pasangan yang memiliki

karakteristik yang mirip misalnya dalam hal usia, tingkat pendidikan, latar belakang, etinis,

agama, dan status sosial (Smits, 1996). Prefensi terkait calon pasangan membuat individu

lebih menyukai pasangan dari latar belakang sosial yang sama. Pola pernikahan juga terkait

dengan pemenuhan kebutuhan bersama, usia, daya tarik fisik, kestabilan ekonomi, pesona,

dan kepemilikan rumah (Górny & Kępińska, 2004).

Pola pernikahan tersebut bertambah kompleks ketika terjadinya pernikahan

diaspora. Peleburan dan negoisasi dua identitas budaya yang dilakukan oleh pasangan

diaspora merupakan hal yang kompleks. Pada penelitian yang dilakukan oleh Indriani &

Mulyana (2021) mengatakan bahwa pola bahasa yang dimiliki oleh keluarga budaya

campuran antara orang Indonesia dan Australia adalah menggunakan bahasa Inggris

murni, bahasa campuran, tata bahasa Inggris tidak terstruktur, pujian dan penghargaan,

dan kata-kata cabul atau makian. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pasangan yang

menjalaninya. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk menuliskan artikel ini untuk

mengupas faktor risiko yang terjadi pada kehidupan pernikahan diaspora.

Pembahasan

Diaspora

Istilah diaspora berasal dari Bahasa Yunani yaitu, diaspeirein atau speiro berarti benih

yang tersebar (Karim, 2003). Kata diaspora juga dekat dengan kata dispersion dalam Bahasa

Inggris yang berarti penyebaran. Istilah diaspora dapat diartikan para perantau yang
meninggalkan tanah kelahirannya untuk pergi ke daerah lain, untuk mencari Pendidikan,

pengahsilan, dan kehidupan yang lebih baik daripada di tempat asalnya (Cohen, 1997).

Dengan kata lain, diaspora dapat didefinisikan sebagai orang yang tersebar di berbagai

tempat atau orang yang menetap dan tinggal jauh dari tanah air mereka (Ember et al., 2004).

Diaspora akan selalu berkaitan dengan negara yang dikunjunginya (nation state) dan

keaslian dirinya dari negara asal (indigenous) (Clifford, 1994).

Pada awalnya, diaspora dikonsepkan sebagai kondisi orang Yahudi dalam

pembuangan, melintasi multietnis, religi, dan komunitas negara yang hidup di luar wilayah

historisnya. Namun, pergeseran mengenai konsep diaspora terjadi. Sekarang, diaspora

dikonsepkan sebagai hibriditas, perpindahan, dan kreolisasi untuk merayakan kekuatan

progresif seperti posisi, menjalani kerja sama, dan segala kegiatan yang diperlukan

berkaitan dengan identitas dan wilayah (Carter, 2005). Sheffer (1986) menyebutnya dengan

istilah diaspora modern yang merujuk pada kelompok etnis minoritas migran asal yang

bertempat tinggal; dan bertindak di negara tuan rumah, tetapi mempertahankan hubungan

sentimental dan material yang kuat dengan tanah air atau negara asal mereka.

Missbach (2011, 2012) mendefnisikan diaspora sebagai proses formasi identitas

sekumpulan orang, individu, maupun komunitas yang berada di luar tanah asalnya sebagai

bentuk aspirasi dan rekognisi di tengah kondisi politik negara asal maupun negara

penerima. Status seseorang atau kelompok dapat disebut sebagai diaspora bukan perihal

faktor pendorong migrasi atau lama mereka menetap, melainkan kondisi pasca migrasi dan

proses kelompok tersebut beradaptasi.

Missbach (2012) memaparkan bahwa terdapat tiga komponen umum yang melekat

pada proses formasi identitas diaspora, yaitu politik jarak jauh, kesamaan nasib, nostalgia

atas tanah leluhur. Politik jarak jauh atau nasionalisme jarak jauh merupakan upaya

diaspora untuk tetap terhubung dengan tanah air melalui berbagai media telekomunikasi

dalam merumuskan aspirasi dari tempat mereka berada. Kemudian kesamaan nasib, dalam

artian pendatang mengalami alienasi dan sulit berasimilasi dengan masyarakat di negara

penerima, sehingga membentuk ikatan yang didasarkan atas pengalaman yang sama.

Terakhir, ikatan emosional berupa nostalgia terhadap pengalaman diaspora tentang bekas

tanah air mereka yang tetap menjadi elemen penting dalam kesadarannya.
Mobilitas Masyarakat Global

Pada waktu lalu, individu cenderung untuk menghabiskan sebagiian besar

waktunya di unit fungsional kecil, seperti sekolah, lingkungan rumah, atau tempat kerja,

dan memiliki aktivitas spasial yang terbatas (Hagerstrand, 1970; Kalmijn, 1998). Sehingga

kemungkingan untuk menemukan pasangan dari lingkungan sekitar atau tetangga menjadi

lebih besar (Houston et al., 2005). Namun, cakupan konteks tempat bertemunya calon

pasangan kian berkembang dan meluas hingga ke konteks pernikahan (Kalmijn & Flap,

2001). Hal tersebut dapat difasilitasi dengan adanya perkembangan teknologi.

Perkembangan teknologi, internet menjadi sarana mobilisasi untuk terjadinya

diaspora. Pada skala nasional, teknologi membantu masyarakat untuk bekerja, bersantai,

dan memungkinkan terjadinya interaksi secara real time dengan orang lain di lokasi berbeda.

Teknologi komunikasi membantu terbangunnya hubungan tanpa kontak fisik, sehingga

seseorang bisa bertemu dengan orang lain di wilayah domestiknya, termasuk calon

pasangan (Brinkerhoff, 2009). Sedangkan, pada skala internasional, sarana internet dan

kemudahan mobilitas untuk menempuh perjalanan jauh (berbeda negara) untuk bekerja,

belajar, dan bepergian dapat meningkatkan bertemunya calon pasangan dari luar negeri

(Piper, 2003). Proses modernisasi membawa orang lebih cenderung memiliki sikap positif

untuk menikahi seseorang dari luar kelompoknya (Uunk, 1996). Pada zaman migrasi,

pindah ke negara lain telah menjadi sesuatu yang lumrah (Castles & Miller, 1998). Teknologi

yang semakin berkembang diharapkan dapat membuat keterbukaan pandangan terhadap

konsep pernikahan dengan seseorang dari luar negeri.

Pernikahan Internasional

Pernikahan internasional telah menarik perhatian peneliti dari beragam bidang

psikologi (Seto & Cavallaro, 2007), sosiologi (Lee & Bean, 2004), dan komunikasi

(Thompson & Collier, 2006). Pernikahan lintas negara mengindikasikan sebuah

kebebasan dalam memilih pasangan, meskipun melalui perizinan keluarga kedua

mempelai. Indikasi tersebut dikaitkan dengan pola hybrid yang dikemukakan oleh

Cherlin (2014). Pola hybrid dapat dianalisis sebagai pergeseran dari praktik tradisional
bahwa hanya orang tua yang memilih pasangan nikah untuk anak yang sudah dewasa

menjadi keputusan bersama. Keputusan pemilihan pasangan masih menggunakan

tradisi masukan orang tua pada proses pertimbangannya (Kuzembayeva, 2020).

Pola hybrid memperkenalkan De-tradisionalisasi, yaitu adaptasi tradisi budaya

di berbagai negara ketika orang tua membuat keputusan tentang pasangan anaknya.

Proses pemilihan pasangan suami istri telah dimodernisasi, sebab orang tua dan anak

bisa memberi masukan tentang pilihan pasangan pernikahan sebagai tanggapan atas

tuntutan global; pada intinya, pengaruh orang tua sebagai tradisi tidak sepenuhnya

hilang, melainkan terwujud sebagai proses pengambilan keputusan yang saling

menguntungkan (Giddens, 1994). Penelitian telah mampu memprediksi kualitas

hubungan yang berhasil antara pasangan menikah berdasarkan sejauh mana keluarga

dan teman menyetujui pasangan tersebut (Baxter & Widenmann, 1993). Usia tampaknya

menjadi faktor lain yang terlibat dalam tingkat pengaruh orang tua pada pemilihan

pasangan pernikahan terhadap anaknya, usia yang lebih tua dikaitkan dengan

pertimbangan yang kurang bisa diterima anak (Cherlin, 2014).

Pernikahan internasional tidak lepas dari dimensi gender terkait asal dan tujuan

geografisnya. Pada studi tentang pengantin pesanan di Rusia melaporkan bahwa calon

suami dari pengantin pesanan mencari pasangan yang memiliki nilai tradisi keluarga

yang kuat, sesuatu yang tidak dapat mereka temuka secara lokal. Sedangkan, calon istri

mencari pasangan yang stabil dalam ekonomi dan bersedia membangun keluarga,

sejenis suami yang sulit ditemukan di negara asal mereka. Hal ini berarti bahwa

pengantin pesanan tidak selalu Wanita miskin yang mencoba melarikan diri dari

kehiduppan yang tidak menguntungkan, tetapi juga Wanita kelas menengah yang tidak

dapat menemukan pasangan yang cocok di negara mereka sendiri (Minervini &

McAndrew, 2006).

Hipergami tetap menjadi perhatian utama wanita dalam pernikahan

internasional (Bélanger & Linh, 2011; Jones & Shen, 2008). Pada pernikahan

transnasional, hipergami menjadi faktor kunci bagi wanita dari negara kurang makmur

memilih pasangan yang berasal dari negara yang lebih Makmur (Bélanger & Linh, 2011);

peristiwa tersebut menjelaskan alasan wanita lebih mungkin dibandingkan pria untuk

menikahi seseorang dari negara yang berbeda (Jones & Shen, 2008). Ketika pernikahan
internasional secara bertahap meningkat jumlahnya di seluruh dunia (Bélanger & Linh,

2011; Jones & Shen, 2008; Seah, 2012), maka fenomena tersebut dapat dianggap

memberdayakan wanita, karena memengaruhi transformasi dinamika kekuasaan dalam

pandangan komunitas transnasional yang lebih egaliter dan lebih dihargai dibandingkan

negara asalnya (Bélanger & Linh, 2011). Jika pria dievaluasi berdasarkan kenyamanan

dan status finansialnya, maka wanita tunduk pada ekspektasi gendernya, termasuk usia

setelah menikah, hipergami, dan memiliki anak.

Istilah lain pernikahan internasional adalah marriage migration. Fenomena migrasi

pernikahan di Cina dan Asia Timur merupakan salah satu bentuk migrasi yang

umumnya dilakukan oleh Wanita. Bagi Wanita, hal tersebut merupakan penawaran

dalam bentuk mobilitas social yang lebih baik. Fenomena ini memiliki efek negatif pada

rasio jenis kelamin di daerah pengirim, sehingga membuatnya kekurangan Wanita.

Ketika komunikasi dan perjalanan menjadi lebih mudah, area dan populasi tempat orang

memilih pasangan pernikahan akan ikut tumbuh. Perkembangan ekonomi modern juga

ikut serta berperan dalam fenomena migrasi pernikahan jarak jauh. Hasilnya, baik Cina

ataupun Asia Timur memilih daerah yang lebih kaya dan pria yang lebih mampu untuk

menikahinya (Davin, 2007).

Fenomena pernikahan lintas negara juga terjadi di Swedia. Peningkatan

pernikahan migran di Swedia terjadi antara tahun 1990 dan 2004. Proporsi yang

substansial dari semua perkawinan migran di Swedia adalah pria, sementara

kebanyakan literatur yang ada tentang migrasi pernikahan berfokus hampir secara

eksklusif pada wanita. Pola asal geografis pernikahan migran sangat gender, dengan

migran pria dan wanita di Swedia yang berasal dari berbagai wilayah di dunia.

Fenomena menunjukkan bahwa mekanisme yang berbeda mendasari migrasi

pernikahan pria dan wanita (Niedomysl et al., 2010).

Negoisasi Budaya Pernikahan Diaspora

Negoisasi budaya sudah menjadi risiko dan proses yang pasti dilewati oleh

pasangan pernikahan diaspora. Perbedaan negara menunjukkan bahwa kedua pasangan

membawa budaya berbeda yang membutuhkan masa adaptasi. Pada pasangan akan

dibangun proses komunikasi antar budaya yang kompleks dan dinamis, sebab identitas
budaya merupakan orientasi bersama yang dibuktikan dalam bentuk komunikasi

(Collier, 2005). Dinamika pernikahan menggambarkan proses identitas budaya

(kebangsaan, etnis, ras, kelas, dan gender) mempengaruhi komunikasi dan proses

identitas dinegosiasikan, dibuat, dibentuk, dan diperkuat melalui interaksi dengan

anggota keluarga masing-masing. Molina, Estrada, dan Burnett (2004) menambahkan

bahwa pernikahan lintas negara dipandang positif jika dapat memperkaya kualitas

hubungan dengan mematahkan batas budaya dan ras.

Pada skala luas, pasangan antar budaya akan menegosiasikan identitas relasional

dan budaya mereka dengan komunitas dan masyarakat di sekitarnya (Thompson &

Collier, 2006). Pasangan juga menegosiasikan identitas mereka dalam hubungan internal,

terutama pada pasangan yang sudah memiliki anak sebelumnya (negoisasi pengasuhan

anak) (Galvin, 2003). Identitas relasional dan pengaruh di lingkungannya harus

dinegosiasikan seperti tempat tinggal, keuangan, politik, prinsip, kebiasaan makan dan

minum, peran gender, sikap mengenai waktu, agama, dan stress (Martin & Nakayama,

2007). Pasangan yang menikah antar budaya terkadang prihatin mengenai kondisi

mereka dalam komunitas barunya (Crohn, 1995).

Penelitian menyelidiki karakteristik pernikahan wanita Korea Selatan dan tentara

Amerika Serikat melaporkan bahwa masih ada stigma terhadap pernikahan tentara

militer Amerika dan istri Asia pada komunitas Asia (Kim, 1998). Wehrly et al. (1999)

melaporkan bahwa pernikahan ras kulit putih dan kulit hitam tidak dianggap sebagai

masalah dalam hubungan mereka, tetapi menjadi masalah ketika pasangan berinteraksi

dengan masyarakat luas yang masih memunculkan stigma dan prasangka terhadap

warna kulit. Demikian pula, dalam studi yang meneliti negosiasi identitas relasional dan

budaya di antara 12 pasangan kulit hitam dan putih, Thompson dan Collier (2006)

mengidentifikasi tema berulang bahwa pasangan memisahkan diri dari label rasial

dengan menolak dan/atau menegosiasikan identitas rasial mereka di komunitas yang

lebih besar. Berdasarkan hal tersebut, penting untuk memahami kesiapan pasangan

menikah dalam menghadapi budaya dan identitas ralasional mereka dengan teman,

kolega, kerabat, atau komunitas pasangan, terutama ketika hubungan mereka ditolak

oleh nilai dan norma yang berbeda dari anggota komunitas mereka (Romano, 1997).

Penolakan hubungan pasangan oleh orang tua, kerabat, dan komunitas lain mungkin
menjadi tema umum dalam pernikahan diaspora.

Pengambilan keputusan juga merupakan proses berkelanjutan dengan interaksi

terhadap pasangan, anak, orang tua, dan teman serta komunitasnya. Penelitian

menjelaskan bahwa keputusan terhadap tempat tinggal dan bahasa yang digunakan di

rumah berdampak pada distribusi kekuasaan dalam sebuah pernikahan. Suami (militer

AS) seringkali berharap kepada istrinya (Korea Selatan) untuk pindah ke negara asalnya,

belajar bahasa Inggris dan budaya baru. Keputusan tersebut membuat istri akan

melewati masa akulturasi, berbeda dengan suami yang mengecualikan dirinya dari

belajar bahasa dan budaya istrinya (Kim, 1998). Keputusan terhadap domisili dan bahasa

merupakan tantangan umum di antara berbagai hubungan pernikahan. Pasangan

bernegosiasi satu sama lain seputar topik keluarga, sehingga setiap pasangan mampu

mengidentifikasi pola yang muncul dari identitas relasional dan budaya sesama.

Peran Gender pada Pernikahan Diaspora

Pengalaman diaspora selalu berkaitan dengan gender. Kehidupan pernikahan

diaspora pada Wanita digambarkan sebagai hal yang penuh perjuangan menyakitkan.

Perjuangan mencakup ketidakamanan material dan spiritual dalam pengasingan;

tuntutan keluarga dan pekerjaan; serta klaim patriarki lama dan baru. Wanita yang

berdiaspora dipengaruhi oleh budaya dan tradisi secara selektif. Nilai fundamental

berupa kesopanan dan religi, pola sosial dan logat, makanan, tubuh, dan tata cara

berpakaian dipelihara dan diadaptasi dalam jaringan relasi di negara yang dikunjungi

(Clifford, 1994). Pada pernikahan diaspora, wanita jauh lebih berisiko terkait undang-

undang pernikahan migrasi secara umum (Charsley & Wray, 2015; Moret et al., 2021).

Risiko bagi pengantin diaspora wanita yang bermigrasi dihambat oleh hukum

pernikahan migran yang berkontribusi pada stigmatisasi dan diskriminasi berdasarkan

narasi perbedaan (Leutloff-Grandits, 2019).

Berbeda dengan Wanita, pengantikan diaspora laki-laki membentuk kasus

hierarki kekuasaan berdasarkan gender. Penelitian mengenai pria yang menikah dengan

migran dari Turki di Denmark dan dari Pakistan di Inggris Raya (Charsley et al., 2016;

Charsley & Liversage, 2015; Charsley & Wray, 2015) menunjukkan bahwa pernikahan

pria migran juga rentan terhadap rasa tidak aman dan konflik dalam pernikahan
mereka. Pernikahan tersebut mungkin bertentangan dengan ekspektasi peran gender

dan persepsi tentang maskulinitas mereka. Pengertian maskulinitas perlu dilihat dalam

kaitannya dengan posisi sosial yang diambil pria dalam keluarga dan kemitraan serta

dalam masyarakat dan tidak dianggap sebagai fitur esensialis.

Gagasan hegemoni maskulinitas menyiratkan bahwa pria lebih berkuasa dalam

masyarakat maupun keluarga (Connell, 1987, 1995). Diasumsikan bahwa pria memiliki

modal budaya dan ekonomi yang cukup untuk mengambil peran sebagai pembuat

keputusan utama di ruang publik dan sebagai pencari nafkah utama keluarga. Posisi

subordinat dalam masyarakat etnis minoritas dalam budaya dan ekonomi membuat

maskulinitas mereka di bawah tekanan (Leutloff-Grandits, 2019).

Penelitian menyelidiki harapan terkait gender dalam pernikahan lintas budaya.

Teori transnasional membantu menafsirkan bahwa pengaruh gender sosio-budaya

negara asal modal awal wanita dan pria dalam mengembangkan identitas gender

mereka ketika pindah ke luar negeri (Koyama, 2015; Levitt, 2011). Terbukti, ada berbagai

cara kompleks gender memengaruhi peran, aspirasi, dan ekspektasi pernikahan lintas

budaya (Cherlin, 2009; Coontz, 2005).

Strategi Penyelesaian Masalah Pernikahan Diaspora

Tantangan dalam pernikahan diaspora mengarahkan pasangan untuk

mengembangkan strategi penyelesaian masalah untuk menghadapi tekanan dan konflik

pernikahan. Penelitian melaporkan bahwa pasangan menggunakan waktu berkualitas

bersama untuk mengurangi konflik dan masalah pernikahan, sekaligus meningkatkan

kepuasan pernikahan di antara pasangan lintas budaya (Sharaievska et al., 2013). Peneliti

juga menemukan bahwa wanita pernikahan campuran menghadapi konflik dan masalah

pernikahan melalui upaya mengadopsi budaya pasangannya (Troy et al., 2006).

Akibatnya, pasangan mengungkapkan ikatan dan rasa keintiman yang lebih baik

dengan pasangan mereka.

Endler dan Parker (1990) membagi strategi koping bagi pasangan pernikahan

menjadi tiga bagian, yakni koping berorientasi tugas, koping berorientasi emosi, dan

koping berorientasi penghindaran. Koping berorientasi tugas mencakup upaya untuk

mendefinisikan kembali masalah untuk meminimalkan perbedaan dan efek dari situasi
yang penuh tekanan. Kemudian koping berorientasi emosi merupakan upaya

mengalihkan respons emosional terhadap penyebab stres. Terakhir, koping berorientasi

penghindaran mencoba menghindari situasi yang menyusahkan atau menjauhkan diri

dari masalah. Dainton (2015) menyimpulkan bahwa komunikasi yang efektif dalam

pernikahan antar budaya membantu meningkatkan kepuasan dan komitmen kehidupan

pernikahan. Selain itu, komunikasi yang efektif merupakan faktor penting untuk

menjaga pasangan tetap Bersama (Tili & Barker, 2015). Studi lain menyarankan bahwa

berbagi keyakinan spiritual, mengenali akar budaya pasangan, dan menjadi akrab

dengan budaya pasangan adalah cara penting untuk mengurangi tekanan dan konflik

pernikahan (Lu et al., 2013; Silva et al., 2012) Satu studi mengidentifikasi bahwa

pasangan antar budaya perlu menghargai perspektif budaya satu sama lain sebagai

strategi koping yang efektif (Bustamante et al., 2011). Penggunaan strategi berfungsi

untuk mempertahankan atau mendapatkan kembali keadaan keseimbangan psikologis

di antara pasangan (Lazarus & Folkman, 1984).

Pernikahan diaspora membutuhkan proses adaptasi, Silva, et al. (2012)

menekankan bahwa dukungan keluarga dan masyarakat merupakan faktor penting

untuk meningkatkan upaya pribadi dalam mengatasi masalah pernikahan. Penelitian

menunjukkan bahwa kurangnya penerimaan keluarga besar dan hubungan yang

bermasalah dalam jejaring sosial menciptakan hambatan mengatasi situasi sulit dalam

kehidupan pernikahan (Sharaievska et al., 2013). Beberapa penelitian juga menekankan

pentingnya kompetensi dalam komunikasi antar budaya dengan menunjukkan rasa

hormat dan membuka pikiran untuk mengelola perbedaan budaya dan konflik

(Troy et al., 2006). Strategi penyelesaian masalah yang efektif dapat memperkuat

kedekatan dan keintiman dan mengurangi konflik dan tekanan perkawinan.

Diskusi

Pernikahan diaspora memiliki kelekatan dengan istilah pernikahan internasional,

pernikahan lintas budaya, pernikahan transnasional, pernikahan migrasi, dan

pernikahan campuran. Semua unsur tersebut tercantum dalam fenomena pernikahan

diaspora. Penulis mendefinisikan pernikahan diaspora cenderung lebih dekat dengan

pernikahan internasional. Pelaku diaspora (orang yang berpindah negara) yang


disatukan dalam pernikahan dengan orang bertempat tinggal negara tujuan telah

melakukan pengobanan untuk mau meninggalkan negara asalnya dan melakukan

negoisasi budaya untuk beradaptasi di lingkungan yang baru. Pernikahan diaspora sama

dengan pernikahan pada umumnya yakni memiliki tantangan dalam menjalaninya

sebagai dinamika membangun keluarga. Hanya saja, tantangan yang dialami oleh

pasangan pernikahan diaspora lebih kompleks.

Tantangan utama dalam pernikahan diaspora merupakan adanya perbedaan

budaya, nilai, dan norma yang dibawa oleh masing-masing pasangan. Sehingga dapat

menyebabkan konflik dan masalah dalam pernikahan (Moriizumi, 2011; Tili & Barker,

2015). Perbedaan budaya dan hambatan bahasa merupakan tantangan yang lebih besar

bagai pasangan antar budaya daripada pasangan yang homogen secara ras (Fu et al.,

2001). Kurangnya kefasihan bahasa dapat menciptakan konflik dalam kehidupan

pernikahan melalui ketidakmampuan berkomunikasi secara efektif antara pasangan

(Sharaievska et al., 2013).

Layaknya perbedaan budaya bahasa yang dapat menimbulkan konflik.

Perbedaan ekspektasi berbasis budaya juga dapat menciptakan ketegangan bagi

pasangan antar budaya. Sharaievska et al. (2013) menemukan bahwa ekspektasi yang

berbeda mengenai perilaku dalam situasi sosial dapat menciptakan tekanan yang lebih

besar dalam pernikahan antar budaya. Studi lain mengidentifikasi harapan dan persepsi

negatif yang berbeda mengenai komunikasi dan kurangnya rasa hormat terhadap

kepercayaan budaya pasangan sebagai faktor yang dapat memengaruhi stabilitas

pernikahan secara negatif (Tili & Barker, 2015). Harapan dan norma yang terbentuk

dalam latar belakang budaya yang berbeda dapat menumbuhkan stereotip negatif dan

tidak diinginkan di antara pasangan. Demikian pula, norma sosial yang terbentuk dalam

kelompok budaya yang berbeda dapat menjadi penyebab meningkatnya konflik dalam

kehidupan keluarga (Choi, 2016). Prinsip dan keyakinan agama yang berbeda juga dapat

menciptakan ketegangan dan permasalahan dalam kehidupan pernikahan (Kalmijn et

al., 2005).

Sebuah studi menunjukkan bahwa pasangan yang menikah antar budaya

memiliki persepsi diskriminasi rasial yang lebih tinggi daripada pasangan yang menikah

dalam kelompok komunitas ras mereka (Lewis & Yancey, 1995). Pengalaman semacam
itu dapat memengaruhi kesehatan mental pasangan secara negatif. Peneliti lain telah

mengusulkan wanita imigran yang menghadapi diskriminasi dan ketidakstabilan

berdasarkan sumber pendapatan mungkin memiliki tingkat kerentanan yang tinggi

dalam pernikahan mereka (Yang & Shin, 2008; Zhang & Van Hook, 2009).

Konflik dan tekanan pernikahan dapat menyebabkan efek negatif pada

kesejahteraan wanita dalam pernikahan diaspora (Zhang & Van Hook, 2009). Secara

khusus, wanita yang mengalami konflik dan tekanan dalam kehidupan pernikahan

akan menghadapi kesepian, kecemasan, dan kepuasan rendah terhadap kualitas

kehidupan pernikahannya. Dalam proses adaptasi, penelitian mendukung bahwa

konflik dan masalah pernikahan merupakan faktor penyebab terjadinya depresi dan

kecemasan pribadi, masalah psikologis dan emosional, dan kesulitan keuangan (Silva et

al., 2012). Penelitian juga mencatat bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

konflik dan rendahnya kepuasan pernikahan di antara pasangan lintas negara

(Sharaievska et al., 2013). Konsekuensi negatif tersebut dapat memperparah kehidupan

seseorang dengan merusak, mengurangi kesejahteraan sosial dan psikologis, serta

menyebabkan perceraian (Yang & Shin, 2008).

Penutup

Pernikahan diaspora secara otomatis menjelaskan proses terjadinya negoisasi

budaya antar pasangan yang berbeda negara. Setiap pasangan menjadi representasi bagi

budaya tempat mereka berasal. Negoisasi budaya mengharuskan kedua pasangan mau

berkorban mengalami akulturasi budaya dan bahasa dengan tetap masih memegang

preferensi tradisi dan prinsip budaya negara asal. Negoisasi budaya yang gagal,

kurangnya kefasihan bahasa, dan ekspektasi yang berbeda terhadap kehidupan

pernikahan dan sosial akan menimbulkan konflik bagi pasangan diaspora. Konflik yang

semakin memuncak tanpa penyelesaian yang efektif akan menyebabkan kurangnya

kesejahteraan sosial dan psikologis pasangan diaspora, bahkan dapat berujung dengan

perceraian. Berdasarkan hal tersebut, penulis mengharapkan pada masyarakat yang

ingin mencari calon pasangan dari luar negeri dan akan melangsungkan pernikahan

diaspora agar mengetahui betul mengenai budaya calon pasangan dan melakukan

negoisasi terhadap budaya yang dianggap tidak bisa diterima.


Pernyataan

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Budi Andayani, Dr., M.A., Psikolog atas saran
konstruktif terhadap artikel ini.

Pendanaan
Penulis tidak memperoleh bantuan pendanaan dalam menyusun artikel ini.

Kontribusi Penulis
Artikel ini merupakan bagian dari tugas akhir dari perkuliahan Psikologi Keluarga di
Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Pernyataan Konflik Kepentingan


Penulis menyatakan bahwa tidak konflik kepentingan yang dapat memengaruhi penulisan
artikel ini.

Orcid ID
Fadhil Maliky Islah https://orcid.org/0000-0001-5528-0300
Riza Akhdisholikhah https://orcid.org/0000-0002-8123-7418

Daftar Pustaka

Baxter, L. A., & Widenmann, S. (1993). Revealing and not revealing the status of romantic
relationships to social networks. Journal of Social and Personal Relationships, 10(3), 321–
337. https://doi.org/10.1177/0265407593103002.
Bélanger, D., & Linh, T. G. (2011). The impact of transnational migration on gender and
marriage in sending communities of Vietnam. Current Sociology, 59(1), 59–77.
https://doi.org/10.1177/0011392110385970
Brinkerhoff, J. M. (2009). Digital diasporas. Cambridge University Press.
Bustamante, R. M., Nelson, J. A., Henriksen, R. C., & Monakes, S. (2011). Intercultural
Couples: Coping With Culture-Related Stressors. The Family Journal, 19(2), 154–164.
https://doi.org/10.1177/1066480711399723
Carter, S. (2005). The geopolitics of diaspora. Area, 37(1), 54–63.
https://doi.org/10.1111/j.1475-4762.2005.00601.x
Castles, S., & Miller, M. J. (1998). The Migratory Process and the Formation of Ethnic
Minorities. In S. Castles & M. J. Miller (Eds.), The Age of Migration: International
Population Movements in the Modern World (pp. 19–47). Macmillan Education UK.
https://doi.org/10.1007/978-1-349-26846-7_2
Charsley, K., Bolognani, M., Spencer, S., Jayaweera, H., & Ersanilli, E. (2016). Marriage
Migration and Integration. University of Bristol.
Charsley, K., & Liversage, A. (2015). Silenced Husbands: Muslim Marriage Migration and
Masculinity. Men and Masculinities, 18(4), 489–508.
https://doi.org/10.1177/1097184X15575112
Charsley, K., & Wray, H. (2015). Introduction: The Invisible (Migrant) Man. Men and
Masculinities, 18(4), 403–423. https://doi.org/10.1177/1097184X15575109
Cherlin, A. J. (2009). The Marriage-Go-Round: The State of Marriage and the Family in America
Today (1 st ed). Knopf Doubleday Publishing Group.
Cherlin, A. J. (2014). First Union Patterns Around the World: Introduction to the Special
Issue. Population Research and Policy Review, 33(2), 153–159.
https://doi.org/10.1007/s11113-013-9320-7
Choi, Y.-J. (2016). Immigrant women’s acculturation stress and coping strategies in Korea: A
qualitative analysis. International Journal of Intercultural Relations, 55, 79–85.
https://doi.org/10.1016/j.ijintrel.2016.09.001
Clifford, J. (1994). Diasporas. Anthropology, 9(3), 302–338.
https://doi.org/10.1525/can.1994.9.3.02a00040
Cohen, R. (1997). Global Diasporas: An Introduction. Routledge.
https://doi.org/10.4324/9780203928943
Collier, M. J. (2005). Theorizing cultural identifications: Critical updates and continuing
evolution. In Theorizing about intercultural communication (pp. 235–256). Sage.
Connell, R. W. (1987). Gender and power. Society, the person and sexual politics. New Literary
Observer Publishing.
Connell, R. W. (1995). Masculinitie. University of California Press.
Coontz, S. (2005). Marriage, a history: From obedience to intimacy or how love conquered marriage.
Viking.
Crohn, J. (1995). Mixed matches: How to create successful interracial, interethnic, and interfaith
relationship. Fawcett Columbine.
Dainton, M. (2015). An Interdependence Approach to Relationship Maintenance in
Interracial Marriage: Maintenance and Interracial Marriage. Journal of Social Issues,
71(4), 772–787. https://doi.org/10.1111/josi.12148
Davin, D. (2007). Marriage Migration in China and East Asia. Journal of Contemporary China,
16(50), 83–95. https://doi.org/10.1080/10670560601026827
Ember, M., Ember, C. R., & Skoggard, I. (2004). Encyclopedia of Diasporas: Immigrant and
Refugee Cultures Around the World. Volume I: Overviews and Topics; Volume II: Diaspora
Communities. Springer Science & Business Media.
Endler, N. S., & Parker, J. D. A. (1990). Multidimensional Assessment of Coping: A Critical
Evaluation. Journal of Personality and Social Psychology, 58(5), 844–854.
https://doi.org/10.1037/0022- 3514.58.5.844.
Fu, X., Tora, J., & Kendall, H. (2001). Marital Happiness and Inter-Racial Marriage: A Study
in a Multi-Ethnic Community in Hawaii. Journal of Comparative Family Studies, 32(1),
47–60. https://doi.org/10.3138/jcfs.32.1.47
Galvin, K. (2003). International and Transracial Adoption: A Communication Research
Agenda. Journal of Family Communication, 3(4), 237–253.
https://doi.org/10.1207/S15327698JFC0304_5
Giddens, A. (1994). Living in a post-traditional society. In Reflexive modernization: Politics,
tradition and aesthetics in the modern social order (pp. 56–109). Stanford University
Press.
Górny, A., & Kępińska, E. (2004). Mixed marriages in migration from the Ukraine to Poland.
Journal of Ethnic and Migration Studies, 30(2), 353–372.
https://doi.org/10.1080/1369183042000200740
Hagerstrand, T. (1970). ‘What about people in regional science? Papers of the Regional Science
Association, 24(1), 7–21.
Houston, S., Wright, R., Ellis, M., Holloway, S., & Hudson, M. (2005). Places of possibility:
Where mixed-race partners meet. Progress in Human Geography, 29(6), 700–717.
https://doi.org/10.1191/0309132505pp578oa
Indriani, S. S., & Mulyana, D. (2021). Communication Patterns of Indonesian Diaspora
Women in Their Mixed Culture Families. Journal of International Migration and
Integration, 22(4), 1431–1448. https://doi.org/10.1007/s12134-021-00812-6
Jones, G., & Shen, H. (2008). International marriage in East and Southeast Asia: Trends and
research emphases. Citizenship Studies, 12(1), 9–25.
https://doi.org/10.1080/13621020701794091
Kalmijn, M. (1998). Intermarriage and Homogamy: Causes, Patterns, Trends. Annual Review
of Sociology, 24(1), 395–421. https://doi.org/10.1146/annurev.soc.24.1.395
Kalmijn, M., de Graaf, P. M., & Janssen, J. P. G. (2005). Intermarriage and the risk of divorce
in the Netherlands: The effects of differences in religion and in nationality, 1974–94.
Population Studies, 59(1), 71–85. https://doi.org/10.1080/0032472052000332719
Kalmijn, M., & Flap, H. (2001). Assortative Meeting and Mating: Unintended Consequences
of Organized Settings for Partner Choices. Social Forces, 79(4), 1289–1312.
https://doi.org/10.1353/sof.2001.0044
Karim, K. H. (2003). The media of diaspora volume 7 (Vol. 7). Routledge.
Kibria, N. (2012). Transnational marriage and the Bangladeshi Muslim diaspora in Britain
and the United States. Culture and Religion, 13(2), 227–240.
https://doi.org/10.1080/14755610.2012.674957
Kim, B. L. (1998). Marriages of Asian women and American military men. In Re-
visioning family therapy: Race culture, and gender in clinical practice (pp. 309–319).
Guilford Press.
Koyama, J. (2015). Constructing Gender: Refugee Women Working in the United States.
Journal of Refugee Studies, 28(2), 258–275. https://doi.org/10.1093/jrs/feu026
Kuzembayeva, A. (2020). Marriage among U.S. International Students: Meanings and
Aspirations. Marriage & Family Review, 56(8), 689–714.
https://doi.org/10.1080/01494929.2020.1737623
Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. Springer Publishing
Company.
Lee, J., & Bean, F. D. (2004). America’s Changing Color Lines: Immigration, Race/Ethnicity,
and Multiracial Identification. Annual Review of Sociology, 30(1), 221–242.
https://doi.org/10.1146/annurev.soc.30.012703.110519
Leutloff-Grandits, C. (2019). When men migrate for marriage: Negotiating partnerships and
gender roles in cross-border marriages between rural Kosovo and the EU. Journal of
Ethnic and Migration Studies, 47(2), 397–412.
https://doi.org/10.1080/1369183X.2019.1625133
Levitt, P. (2011). Constructing gender across borders: A transnational approach. In Analyzing
gender, intersectionality, and multiple inequalities: Global, transnational and local contexts
(pp. 163–183). Emerald.
Lewis, R., & Yancey, G. (1995). Biracial marriages in the United States: An analysis of
variation in family member support. Sociological Spectrum, 15(4), 443–462.
https://doi.org/10.1080/02732173.1995.9982111
Lu, Y., Marks, L. D., Nesteruk, O., Goodman, M., & Apavaloaie, L. (2013). Faith, Conversion,
and Challenge: A Qualitative Study of Chinese Immigrant Christian Marriage (in the
USA). Journal of Comparative Family Studies, 44(2), 227–247.
https://doi.org/10.3138/jcfs.44.2.227
Martin, J. N., & Nakayama, T. K. (2007). Intercultural communication in contexts. McGraw-
Hill.
Minervini, B. P., & McAndrew, F. T. (2006). The Mating Strategies and Mate Preferences of
Mail Order Brides. Cross-Cultural Research, 40(2), 111–129.
https://doi.org/10.1177/1069397105277237
Missbach, A. (2011). The Acehnese diaspora after the Helsinki Memorandum of
Understanding: Return challenges and diasporic post-conflict transformations. Asian
Ethnicity, 12(2), 179–201. https://doi.org/10.1080/14631369.2011.571836
Missbach, A. (2012). Politik jarak jauh diaspora Aceh. Penerbit Ombak.
Molina, B., Estrada, D., & Burnett, J. A. (2004). Cultural Communities: Challenges and
Opportunities in the Creation of “Happily Ever After” Stories of Intercultural
Couplehood. The Family Journal, 12(2), 139–147.
https://doi.org/10.1177/1066480703261962
Moret, J., Andrikopoulos, A., & Dahinden, J. (2021). Contesting categories: Cross-border
marriages from the perspectives of the state, spouses and researchers. Journal of
Ethnic and Migration Studies, 47(2), 325–342.
https://doi.org/10.1080/1369183X.2019.1625124
Moriizumi, S. (2011). Exploring Identity Negotiations: An Analysis of Intercultural Japanese-
U.S. American Families Living in the United States. Journal of Family Communication,
11(2), 85–104. https://doi.org/10.1080/15267431.2011.554359
Niedomysl, T., Östh, J., & van Ham, M. (2010). The Globalisation of Marriage Fields: The
Swedish Case. Journal of Ethnic and Migration Studies, 36(7), 1119–1138.
https://doi.org/10.1080/13691830903488184
Piper, N. (2003). Wife or worker? Worker or wife? Marriage and cross-border migration in
contemporary Japan. International Journal of Population Geography, 9(6), 457–469.
https://doi.org/10.1002/ijpg.309
Romano, D. (1997). Intercultural marriage: Promises and pitfalls (2nd ed.). Intercultural.
SEAH, M. (2012). “THE FAMILY” AS AN ANALYTICAL TOOL: Cases from International
Marriages and Marriage Migration in East Asia. International Journal of Sociology of the
Family, 38(1), 63–84.
Seto, A., & Cavallaro, M. (2007). Cross-National Couples in the Mainland United States. The
Family Journal, 15(3), 258–264. https://doi.org/10.1177/1066480707301315
Sharaievska, I., Kim, J., & Stodolska, M. (2013). Leisure and Marital Satisfaction in
Intercultural Marriages. Journal of Leisure Research, 45(4), 445–465.
https://doi.org/10.18666/jlr-2013-v45-i4-3894
Sheffer, G. (1986). A new field of study: Modern diasporas in international politics. Modern
Diasporas in International Politics, 8.
Silva, L. C., Campbell, K., & Wright, D. W. (2012). Intercultural Relationships: Entry,
Adjustment, and Cultural Negotiations. Journal of Comparative Family Studies, 43(6),
857–870. https://doi.org/10.3138/jcfs.43.6.857
Smits, J. (1996). Marriage patterns and social openness. Katholieke Universiteit Nijmegen.
Sujatmiko, E. (2014). Kamus IPS. Aksara Sinergi Media.
Thompson, J., & Collier, M. J. (2006). Toward Contingent Understandings of Intersecting
Identifications among Selected U.S. Interracial Couples: Integrating Interpretive and
Critical Views. Communication Quarterly, 54(4), 487–506.
https://doi.org/10.1080/01463370601036671
Tili, T. R., & Barker, G. G. (2015). Communication in Intercultural Marriages: Managing
Cultural Differences and Conflicts. Southern Communication Journal, 80(3), 189–210.
https://doi.org/10.1080/1041794X.2015.1023826
Troy, A. B., Lewis-Smith, J., & Laurenceau, J.-P. (2006). Interracial and intraracial romantic
relationships: The search for differences in satisfaction, conflict, and attachment style.
Journal of Social and Personal Relationships, 23(1), 65–80.
https://doi.org/10.1177/0265407506060178
Uunk, W. (1996). Who marries whom? The role of social origin, education and high culture in mate
selection of industrial cocieties during the twentieth century. University of Nijmegen.
Wehrly, B., Kenney, K. R., & Kenney, M. E. (1999). Counseling multiracial families. Sage.
Yang, J., & Shin, K. (2008). Vulnerability, Resilience and Well-being of Intermarriage: An
Ethnographic Approach to Korean Women. 10(2), 46–63.
Zhang, Y., & Van Hook, J. (2009). Marital Dissolution Among Interracial Couples. Journal of
Marriage and Family, 71(1), 95–107. https://doi.org/10.1111/j.1741-3737.2008.00582.x

Anda mungkin juga menyukai