Abstract
Diaspora refers to a nation or ethnic population who is forced or compelled to leave their
homeland and spread in various parts of the world with certain motives. However, they still
want to maintain a sentimental and material connection that is lacking in their home
country. The development of Internet technology has played a role in increasing the
occurrence of diaspora, especially in diaspora marriages. The article set out to provide an
overview of the phenomenon of diaspora marriage related to the challenges that will be
faced by diaspora marriage couples. Cultural negotiations and communication effectiveness
are the main keys in living this cross-cultural married life.
Abstrak
Diaspora merujuk pada bangsa atau penduduk etnis yang terpaksa atau tedorong untuk
meninggalkan tanah airnya dan menyebar di berbagai belahan dunia dengan motif tertentu.
Namun, mereka tetap mau mempertahankan hubungan sentimental dan material yang
kurang dengan negara asalnya. Perkembangan teknologi Internet turut berperan dalam
peningkatan terjadinya diaspora, khusunya pada pernikahan diaspora. Artikel berangkat
untuk memberikan gambaran mengenai fenomena pernikahan diaspora terkait dengan
tantangan yang akan dihadapi oleh pasangan pernikahan diaspora. Negoisasi budaya dan
efektivitas komunikasi menjadi kunci utama dalam menjalani kehidupan pernikahan lintas
budaya ini.
Pengantar
berimpilkasi pada ragam unit analisis pada aktor non negara yang disebut diaspora.
Fenomena diaspora ikut serta dalam mewarnai kehidupan sejarah masyarakat, termasuk
Indonesia. Diaspora merupakan istilah yang merujuk kepada bangsa atau penduduk etnis
yang terpaksa atau terdorong untuk meningggalkan tanah air etnis tradisional mereka
penyebaran mereka di berbagai belahan dunia; dan memungkinkan perkembangan budaya
beda negara. Banyak penelitian terdahulu telah mengupas fenomena ini. Pernikahan yang
dilakukan dapat terjadi bila calon pasangan memiliki sudut pandang yang sama. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Kibria (2012) mengenai pernikahan diaspora Muslim
mengatakan bahwa pernikahan ditentukan dari domisili calon pasangan karena domisili
dan sejarah akan membentuk sudut pandang yang akan mempengaruhi dalam
karakteristik yang mirip misalnya dalam hal usia, tingkat pendidikan, latar belakang, etinis,
agama, dan status sosial (Smits, 1996). Prefensi terkait calon pasangan membuat individu
lebih menyukai pasangan dari latar belakang sosial yang sama. Pola pernikahan juga terkait
dengan pemenuhan kebutuhan bersama, usia, daya tarik fisik, kestabilan ekonomi, pesona,
diaspora. Peleburan dan negoisasi dua identitas budaya yang dilakukan oleh pasangan
diaspora merupakan hal yang kompleks. Pada penelitian yang dilakukan oleh Indriani &
Mulyana (2021) mengatakan bahwa pola bahasa yang dimiliki oleh keluarga budaya
campuran antara orang Indonesia dan Australia adalah menggunakan bahasa Inggris
murni, bahasa campuran, tata bahasa Inggris tidak terstruktur, pujian dan penghargaan,
dan kata-kata cabul atau makian. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pasangan yang
menjalaninya. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk menuliskan artikel ini untuk
Pembahasan
Diaspora
Istilah diaspora berasal dari Bahasa Yunani yaitu, diaspeirein atau speiro berarti benih
yang tersebar (Karim, 2003). Kata diaspora juga dekat dengan kata dispersion dalam Bahasa
Inggris yang berarti penyebaran. Istilah diaspora dapat diartikan para perantau yang
meninggalkan tanah kelahirannya untuk pergi ke daerah lain, untuk mencari Pendidikan,
pengahsilan, dan kehidupan yang lebih baik daripada di tempat asalnya (Cohen, 1997).
Dengan kata lain, diaspora dapat didefinisikan sebagai orang yang tersebar di berbagai
tempat atau orang yang menetap dan tinggal jauh dari tanah air mereka (Ember et al., 2004).
Diaspora akan selalu berkaitan dengan negara yang dikunjunginya (nation state) dan
pembuangan, melintasi multietnis, religi, dan komunitas negara yang hidup di luar wilayah
progresif seperti posisi, menjalani kerja sama, dan segala kegiatan yang diperlukan
berkaitan dengan identitas dan wilayah (Carter, 2005). Sheffer (1986) menyebutnya dengan
istilah diaspora modern yang merujuk pada kelompok etnis minoritas migran asal yang
bertempat tinggal; dan bertindak di negara tuan rumah, tetapi mempertahankan hubungan
sentimental dan material yang kuat dengan tanah air atau negara asal mereka.
sekumpulan orang, individu, maupun komunitas yang berada di luar tanah asalnya sebagai
bentuk aspirasi dan rekognisi di tengah kondisi politik negara asal maupun negara
penerima. Status seseorang atau kelompok dapat disebut sebagai diaspora bukan perihal
faktor pendorong migrasi atau lama mereka menetap, melainkan kondisi pasca migrasi dan
Missbach (2012) memaparkan bahwa terdapat tiga komponen umum yang melekat
pada proses formasi identitas diaspora, yaitu politik jarak jauh, kesamaan nasib, nostalgia
atas tanah leluhur. Politik jarak jauh atau nasionalisme jarak jauh merupakan upaya
diaspora untuk tetap terhubung dengan tanah air melalui berbagai media telekomunikasi
dalam merumuskan aspirasi dari tempat mereka berada. Kemudian kesamaan nasib, dalam
artian pendatang mengalami alienasi dan sulit berasimilasi dengan masyarakat di negara
penerima, sehingga membentuk ikatan yang didasarkan atas pengalaman yang sama.
Terakhir, ikatan emosional berupa nostalgia terhadap pengalaman diaspora tentang bekas
tanah air mereka yang tetap menjadi elemen penting dalam kesadarannya.
Mobilitas Masyarakat Global
waktunya di unit fungsional kecil, seperti sekolah, lingkungan rumah, atau tempat kerja,
dan memiliki aktivitas spasial yang terbatas (Hagerstrand, 1970; Kalmijn, 1998). Sehingga
kemungkingan untuk menemukan pasangan dari lingkungan sekitar atau tetangga menjadi
lebih besar (Houston et al., 2005). Namun, cakupan konteks tempat bertemunya calon
pasangan kian berkembang dan meluas hingga ke konteks pernikahan (Kalmijn & Flap,
diaspora. Pada skala nasional, teknologi membantu masyarakat untuk bekerja, bersantai,
dan memungkinkan terjadinya interaksi secara real time dengan orang lain di lokasi berbeda.
seseorang bisa bertemu dengan orang lain di wilayah domestiknya, termasuk calon
pasangan (Brinkerhoff, 2009). Sedangkan, pada skala internasional, sarana internet dan
kemudahan mobilitas untuk menempuh perjalanan jauh (berbeda negara) untuk bekerja,
belajar, dan bepergian dapat meningkatkan bertemunya calon pasangan dari luar negeri
(Piper, 2003). Proses modernisasi membawa orang lebih cenderung memiliki sikap positif
untuk menikahi seseorang dari luar kelompoknya (Uunk, 1996). Pada zaman migrasi,
pindah ke negara lain telah menjadi sesuatu yang lumrah (Castles & Miller, 1998). Teknologi
Pernikahan Internasional
psikologi (Seto & Cavallaro, 2007), sosiologi (Lee & Bean, 2004), dan komunikasi
mempelai. Indikasi tersebut dikaitkan dengan pola hybrid yang dikemukakan oleh
Cherlin (2014). Pola hybrid dapat dianalisis sebagai pergeseran dari praktik tradisional
bahwa hanya orang tua yang memilih pasangan nikah untuk anak yang sudah dewasa
di berbagai negara ketika orang tua membuat keputusan tentang pasangan anaknya.
Proses pemilihan pasangan suami istri telah dimodernisasi, sebab orang tua dan anak
bisa memberi masukan tentang pilihan pasangan pernikahan sebagai tanggapan atas
tuntutan global; pada intinya, pengaruh orang tua sebagai tradisi tidak sepenuhnya
hubungan yang berhasil antara pasangan menikah berdasarkan sejauh mana keluarga
dan teman menyetujui pasangan tersebut (Baxter & Widenmann, 1993). Usia tampaknya
menjadi faktor lain yang terlibat dalam tingkat pengaruh orang tua pada pemilihan
pasangan pernikahan terhadap anaknya, usia yang lebih tua dikaitkan dengan
Pernikahan internasional tidak lepas dari dimensi gender terkait asal dan tujuan
geografisnya. Pada studi tentang pengantin pesanan di Rusia melaporkan bahwa calon
suami dari pengantin pesanan mencari pasangan yang memiliki nilai tradisi keluarga
yang kuat, sesuatu yang tidak dapat mereka temuka secara lokal. Sedangkan, calon istri
mencari pasangan yang stabil dalam ekonomi dan bersedia membangun keluarga,
sejenis suami yang sulit ditemukan di negara asal mereka. Hal ini berarti bahwa
pengantin pesanan tidak selalu Wanita miskin yang mencoba melarikan diri dari
kehiduppan yang tidak menguntungkan, tetapi juga Wanita kelas menengah yang tidak
dapat menemukan pasangan yang cocok di negara mereka sendiri (Minervini &
McAndrew, 2006).
internasional (Bélanger & Linh, 2011; Jones & Shen, 2008). Pada pernikahan
transnasional, hipergami menjadi faktor kunci bagi wanita dari negara kurang makmur
memilih pasangan yang berasal dari negara yang lebih Makmur (Bélanger & Linh, 2011);
peristiwa tersebut menjelaskan alasan wanita lebih mungkin dibandingkan pria untuk
menikahi seseorang dari negara yang berbeda (Jones & Shen, 2008). Ketika pernikahan
internasional secara bertahap meningkat jumlahnya di seluruh dunia (Bélanger & Linh,
2011; Jones & Shen, 2008; Seah, 2012), maka fenomena tersebut dapat dianggap
pandangan komunitas transnasional yang lebih egaliter dan lebih dihargai dibandingkan
negara asalnya (Bélanger & Linh, 2011). Jika pria dievaluasi berdasarkan kenyamanan
dan status finansialnya, maka wanita tunduk pada ekspektasi gendernya, termasuk usia
pernikahan di Cina dan Asia Timur merupakan salah satu bentuk migrasi yang
umumnya dilakukan oleh Wanita. Bagi Wanita, hal tersebut merupakan penawaran
dalam bentuk mobilitas social yang lebih baik. Fenomena ini memiliki efek negatif pada
Ketika komunikasi dan perjalanan menjadi lebih mudah, area dan populasi tempat orang
memilih pasangan pernikahan akan ikut tumbuh. Perkembangan ekonomi modern juga
ikut serta berperan dalam fenomena migrasi pernikahan jarak jauh. Hasilnya, baik Cina
ataupun Asia Timur memilih daerah yang lebih kaya dan pria yang lebih mampu untuk
pernikahan migran di Swedia terjadi antara tahun 1990 dan 2004. Proporsi yang
kebanyakan literatur yang ada tentang migrasi pernikahan berfokus hampir secara
eksklusif pada wanita. Pola asal geografis pernikahan migran sangat gender, dengan
migran pria dan wanita di Swedia yang berasal dari berbagai wilayah di dunia.
Negoisasi budaya sudah menjadi risiko dan proses yang pasti dilewati oleh
membawa budaya berbeda yang membutuhkan masa adaptasi. Pada pasangan akan
dibangun proses komunikasi antar budaya yang kompleks dan dinamis, sebab identitas
budaya merupakan orientasi bersama yang dibuktikan dalam bentuk komunikasi
(kebangsaan, etnis, ras, kelas, dan gender) mempengaruhi komunikasi dan proses
bahwa pernikahan lintas negara dipandang positif jika dapat memperkaya kualitas
Pada skala luas, pasangan antar budaya akan menegosiasikan identitas relasional
dan budaya mereka dengan komunitas dan masyarakat di sekitarnya (Thompson &
Collier, 2006). Pasangan juga menegosiasikan identitas mereka dalam hubungan internal,
terutama pada pasangan yang sudah memiliki anak sebelumnya (negoisasi pengasuhan
dinegosiasikan seperti tempat tinggal, keuangan, politik, prinsip, kebiasaan makan dan
minum, peran gender, sikap mengenai waktu, agama, dan stress (Martin & Nakayama,
2007). Pasangan yang menikah antar budaya terkadang prihatin mengenai kondisi
Amerika Serikat melaporkan bahwa masih ada stigma terhadap pernikahan tentara
militer Amerika dan istri Asia pada komunitas Asia (Kim, 1998). Wehrly et al. (1999)
melaporkan bahwa pernikahan ras kulit putih dan kulit hitam tidak dianggap sebagai
masalah dalam hubungan mereka, tetapi menjadi masalah ketika pasangan berinteraksi
dengan masyarakat luas yang masih memunculkan stigma dan prasangka terhadap
warna kulit. Demikian pula, dalam studi yang meneliti negosiasi identitas relasional dan
budaya di antara 12 pasangan kulit hitam dan putih, Thompson dan Collier (2006)
mengidentifikasi tema berulang bahwa pasangan memisahkan diri dari label rasial
lebih besar. Berdasarkan hal tersebut, penting untuk memahami kesiapan pasangan
menikah dalam menghadapi budaya dan identitas ralasional mereka dengan teman,
kolega, kerabat, atau komunitas pasangan, terutama ketika hubungan mereka ditolak
oleh nilai dan norma yang berbeda dari anggota komunitas mereka (Romano, 1997).
Penolakan hubungan pasangan oleh orang tua, kerabat, dan komunitas lain mungkin
menjadi tema umum dalam pernikahan diaspora.
terhadap pasangan, anak, orang tua, dan teman serta komunitasnya. Penelitian
menjelaskan bahwa keputusan terhadap tempat tinggal dan bahasa yang digunakan di
rumah berdampak pada distribusi kekuasaan dalam sebuah pernikahan. Suami (militer
AS) seringkali berharap kepada istrinya (Korea Selatan) untuk pindah ke negara asalnya,
belajar bahasa Inggris dan budaya baru. Keputusan tersebut membuat istri akan
melewati masa akulturasi, berbeda dengan suami yang mengecualikan dirinya dari
belajar bahasa dan budaya istrinya (Kim, 1998). Keputusan terhadap domisili dan bahasa
bernegosiasi satu sama lain seputar topik keluarga, sehingga setiap pasangan mampu
mengidentifikasi pola yang muncul dari identitas relasional dan budaya sesama.
diaspora pada Wanita digambarkan sebagai hal yang penuh perjuangan menyakitkan.
tuntutan keluarga dan pekerjaan; serta klaim patriarki lama dan baru. Wanita yang
berdiaspora dipengaruhi oleh budaya dan tradisi secara selektif. Nilai fundamental
berupa kesopanan dan religi, pola sosial dan logat, makanan, tubuh, dan tata cara
berpakaian dipelihara dan diadaptasi dalam jaringan relasi di negara yang dikunjungi
(Clifford, 1994). Pada pernikahan diaspora, wanita jauh lebih berisiko terkait undang-
undang pernikahan migrasi secara umum (Charsley & Wray, 2015; Moret et al., 2021).
Risiko bagi pengantin diaspora wanita yang bermigrasi dihambat oleh hukum
hierarki kekuasaan berdasarkan gender. Penelitian mengenai pria yang menikah dengan
migran dari Turki di Denmark dan dari Pakistan di Inggris Raya (Charsley et al., 2016;
Charsley & Liversage, 2015; Charsley & Wray, 2015) menunjukkan bahwa pernikahan
pria migran juga rentan terhadap rasa tidak aman dan konflik dalam pernikahan
mereka. Pernikahan tersebut mungkin bertentangan dengan ekspektasi peran gender
dan persepsi tentang maskulinitas mereka. Pengertian maskulinitas perlu dilihat dalam
kaitannya dengan posisi sosial yang diambil pria dalam keluarga dan kemitraan serta
masyarakat maupun keluarga (Connell, 1987, 1995). Diasumsikan bahwa pria memiliki
modal budaya dan ekonomi yang cukup untuk mengambil peran sebagai pembuat
keputusan utama di ruang publik dan sebagai pencari nafkah utama keluarga. Posisi
subordinat dalam masyarakat etnis minoritas dalam budaya dan ekonomi membuat
negara asal modal awal wanita dan pria dalam mengembangkan identitas gender
mereka ketika pindah ke luar negeri (Koyama, 2015; Levitt, 2011). Terbukti, ada berbagai
cara kompleks gender memengaruhi peran, aspirasi, dan ekspektasi pernikahan lintas
kepuasan pernikahan di antara pasangan lintas budaya (Sharaievska et al., 2013). Peneliti
juga menemukan bahwa wanita pernikahan campuran menghadapi konflik dan masalah
Akibatnya, pasangan mengungkapkan ikatan dan rasa keintiman yang lebih baik
Endler dan Parker (1990) membagi strategi koping bagi pasangan pernikahan
menjadi tiga bagian, yakni koping berorientasi tugas, koping berorientasi emosi, dan
mendefinisikan kembali masalah untuk meminimalkan perbedaan dan efek dari situasi
yang penuh tekanan. Kemudian koping berorientasi emosi merupakan upaya
dari masalah. Dainton (2015) menyimpulkan bahwa komunikasi yang efektif dalam
pernikahan. Selain itu, komunikasi yang efektif merupakan faktor penting untuk
menjaga pasangan tetap Bersama (Tili & Barker, 2015). Studi lain menyarankan bahwa
berbagi keyakinan spiritual, mengenali akar budaya pasangan, dan menjadi akrab
dengan budaya pasangan adalah cara penting untuk mengurangi tekanan dan konflik
pernikahan (Lu et al., 2013; Silva et al., 2012) Satu studi mengidentifikasi bahwa
pasangan antar budaya perlu menghargai perspektif budaya satu sama lain sebagai
strategi koping yang efektif (Bustamante et al., 2011). Penggunaan strategi berfungsi
bermasalah dalam jejaring sosial menciptakan hambatan mengatasi situasi sulit dalam
hormat dan membuka pikiran untuk mengelola perbedaan budaya dan konflik
(Troy et al., 2006). Strategi penyelesaian masalah yang efektif dapat memperkuat
Diskusi
negoisasi budaya untuk beradaptasi di lingkungan yang baru. Pernikahan diaspora sama
sebagai dinamika membangun keluarga. Hanya saja, tantangan yang dialami oleh
budaya, nilai, dan norma yang dibawa oleh masing-masing pasangan. Sehingga dapat
menyebabkan konflik dan masalah dalam pernikahan (Moriizumi, 2011; Tili & Barker,
2015). Perbedaan budaya dan hambatan bahasa merupakan tantangan yang lebih besar
bagai pasangan antar budaya daripada pasangan yang homogen secara ras (Fu et al.,
pasangan antar budaya. Sharaievska et al. (2013) menemukan bahwa ekspektasi yang
berbeda mengenai perilaku dalam situasi sosial dapat menciptakan tekanan yang lebih
besar dalam pernikahan antar budaya. Studi lain mengidentifikasi harapan dan persepsi
negatif yang berbeda mengenai komunikasi dan kurangnya rasa hormat terhadap
pernikahan secara negatif (Tili & Barker, 2015). Harapan dan norma yang terbentuk
dalam latar belakang budaya yang berbeda dapat menumbuhkan stereotip negatif dan
tidak diinginkan di antara pasangan. Demikian pula, norma sosial yang terbentuk dalam
kelompok budaya yang berbeda dapat menjadi penyebab meningkatnya konflik dalam
kehidupan keluarga (Choi, 2016). Prinsip dan keyakinan agama yang berbeda juga dapat
al., 2005).
memiliki persepsi diskriminasi rasial yang lebih tinggi daripada pasangan yang menikah
dalam kelompok komunitas ras mereka (Lewis & Yancey, 1995). Pengalaman semacam
itu dapat memengaruhi kesehatan mental pasangan secara negatif. Peneliti lain telah
dalam pernikahan mereka (Yang & Shin, 2008; Zhang & Van Hook, 2009).
kesejahteraan wanita dalam pernikahan diaspora (Zhang & Van Hook, 2009). Secara
khusus, wanita yang mengalami konflik dan tekanan dalam kehidupan pernikahan
konflik dan masalah pernikahan merupakan faktor penyebab terjadinya depresi dan
kecemasan pribadi, masalah psikologis dan emosional, dan kesulitan keuangan (Silva et
al., 2012). Penelitian juga mencatat bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
Penutup
budaya antar pasangan yang berbeda negara. Setiap pasangan menjadi representasi bagi
budaya tempat mereka berasal. Negoisasi budaya mengharuskan kedua pasangan mau
berkorban mengalami akulturasi budaya dan bahasa dengan tetap masih memegang
preferensi tradisi dan prinsip budaya negara asal. Negoisasi budaya yang gagal,
pernikahan dan sosial akan menimbulkan konflik bagi pasangan diaspora. Konflik yang
kesejahteraan sosial dan psikologis pasangan diaspora, bahkan dapat berujung dengan
ingin mencari calon pasangan dari luar negeri dan akan melangsungkan pernikahan
diaspora agar mengetahui betul mengenai budaya calon pasangan dan melakukan
Pendanaan
Penulis tidak memperoleh bantuan pendanaan dalam menyusun artikel ini.
Kontribusi Penulis
Artikel ini merupakan bagian dari tugas akhir dari perkuliahan Psikologi Keluarga di
Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Orcid ID
Fadhil Maliky Islah https://orcid.org/0000-0001-5528-0300
Riza Akhdisholikhah https://orcid.org/0000-0002-8123-7418
Daftar Pustaka
Baxter, L. A., & Widenmann, S. (1993). Revealing and not revealing the status of romantic
relationships to social networks. Journal of Social and Personal Relationships, 10(3), 321–
337. https://doi.org/10.1177/0265407593103002.
Bélanger, D., & Linh, T. G. (2011). The impact of transnational migration on gender and
marriage in sending communities of Vietnam. Current Sociology, 59(1), 59–77.
https://doi.org/10.1177/0011392110385970
Brinkerhoff, J. M. (2009). Digital diasporas. Cambridge University Press.
Bustamante, R. M., Nelson, J. A., Henriksen, R. C., & Monakes, S. (2011). Intercultural
Couples: Coping With Culture-Related Stressors. The Family Journal, 19(2), 154–164.
https://doi.org/10.1177/1066480711399723
Carter, S. (2005). The geopolitics of diaspora. Area, 37(1), 54–63.
https://doi.org/10.1111/j.1475-4762.2005.00601.x
Castles, S., & Miller, M. J. (1998). The Migratory Process and the Formation of Ethnic
Minorities. In S. Castles & M. J. Miller (Eds.), The Age of Migration: International
Population Movements in the Modern World (pp. 19–47). Macmillan Education UK.
https://doi.org/10.1007/978-1-349-26846-7_2
Charsley, K., Bolognani, M., Spencer, S., Jayaweera, H., & Ersanilli, E. (2016). Marriage
Migration and Integration. University of Bristol.
Charsley, K., & Liversage, A. (2015). Silenced Husbands: Muslim Marriage Migration and
Masculinity. Men and Masculinities, 18(4), 489–508.
https://doi.org/10.1177/1097184X15575112
Charsley, K., & Wray, H. (2015). Introduction: The Invisible (Migrant) Man. Men and
Masculinities, 18(4), 403–423. https://doi.org/10.1177/1097184X15575109
Cherlin, A. J. (2009). The Marriage-Go-Round: The State of Marriage and the Family in America
Today (1 st ed). Knopf Doubleday Publishing Group.
Cherlin, A. J. (2014). First Union Patterns Around the World: Introduction to the Special
Issue. Population Research and Policy Review, 33(2), 153–159.
https://doi.org/10.1007/s11113-013-9320-7
Choi, Y.-J. (2016). Immigrant women’s acculturation stress and coping strategies in Korea: A
qualitative analysis. International Journal of Intercultural Relations, 55, 79–85.
https://doi.org/10.1016/j.ijintrel.2016.09.001
Clifford, J. (1994). Diasporas. Anthropology, 9(3), 302–338.
https://doi.org/10.1525/can.1994.9.3.02a00040
Cohen, R. (1997). Global Diasporas: An Introduction. Routledge.
https://doi.org/10.4324/9780203928943
Collier, M. J. (2005). Theorizing cultural identifications: Critical updates and continuing
evolution. In Theorizing about intercultural communication (pp. 235–256). Sage.
Connell, R. W. (1987). Gender and power. Society, the person and sexual politics. New Literary
Observer Publishing.
Connell, R. W. (1995). Masculinitie. University of California Press.
Coontz, S. (2005). Marriage, a history: From obedience to intimacy or how love conquered marriage.
Viking.
Crohn, J. (1995). Mixed matches: How to create successful interracial, interethnic, and interfaith
relationship. Fawcett Columbine.
Dainton, M. (2015). An Interdependence Approach to Relationship Maintenance in
Interracial Marriage: Maintenance and Interracial Marriage. Journal of Social Issues,
71(4), 772–787. https://doi.org/10.1111/josi.12148
Davin, D. (2007). Marriage Migration in China and East Asia. Journal of Contemporary China,
16(50), 83–95. https://doi.org/10.1080/10670560601026827
Ember, M., Ember, C. R., & Skoggard, I. (2004). Encyclopedia of Diasporas: Immigrant and
Refugee Cultures Around the World. Volume I: Overviews and Topics; Volume II: Diaspora
Communities. Springer Science & Business Media.
Endler, N. S., & Parker, J. D. A. (1990). Multidimensional Assessment of Coping: A Critical
Evaluation. Journal of Personality and Social Psychology, 58(5), 844–854.
https://doi.org/10.1037/0022- 3514.58.5.844.
Fu, X., Tora, J., & Kendall, H. (2001). Marital Happiness and Inter-Racial Marriage: A Study
in a Multi-Ethnic Community in Hawaii. Journal of Comparative Family Studies, 32(1),
47–60. https://doi.org/10.3138/jcfs.32.1.47
Galvin, K. (2003). International and Transracial Adoption: A Communication Research
Agenda. Journal of Family Communication, 3(4), 237–253.
https://doi.org/10.1207/S15327698JFC0304_5
Giddens, A. (1994). Living in a post-traditional society. In Reflexive modernization: Politics,
tradition and aesthetics in the modern social order (pp. 56–109). Stanford University
Press.
Górny, A., & Kępińska, E. (2004). Mixed marriages in migration from the Ukraine to Poland.
Journal of Ethnic and Migration Studies, 30(2), 353–372.
https://doi.org/10.1080/1369183042000200740
Hagerstrand, T. (1970). ‘What about people in regional science? Papers of the Regional Science
Association, 24(1), 7–21.
Houston, S., Wright, R., Ellis, M., Holloway, S., & Hudson, M. (2005). Places of possibility:
Where mixed-race partners meet. Progress in Human Geography, 29(6), 700–717.
https://doi.org/10.1191/0309132505pp578oa
Indriani, S. S., & Mulyana, D. (2021). Communication Patterns of Indonesian Diaspora
Women in Their Mixed Culture Families. Journal of International Migration and
Integration, 22(4), 1431–1448. https://doi.org/10.1007/s12134-021-00812-6
Jones, G., & Shen, H. (2008). International marriage in East and Southeast Asia: Trends and
research emphases. Citizenship Studies, 12(1), 9–25.
https://doi.org/10.1080/13621020701794091
Kalmijn, M. (1998). Intermarriage and Homogamy: Causes, Patterns, Trends. Annual Review
of Sociology, 24(1), 395–421. https://doi.org/10.1146/annurev.soc.24.1.395
Kalmijn, M., de Graaf, P. M., & Janssen, J. P. G. (2005). Intermarriage and the risk of divorce
in the Netherlands: The effects of differences in religion and in nationality, 1974–94.
Population Studies, 59(1), 71–85. https://doi.org/10.1080/0032472052000332719
Kalmijn, M., & Flap, H. (2001). Assortative Meeting and Mating: Unintended Consequences
of Organized Settings for Partner Choices. Social Forces, 79(4), 1289–1312.
https://doi.org/10.1353/sof.2001.0044
Karim, K. H. (2003). The media of diaspora volume 7 (Vol. 7). Routledge.
Kibria, N. (2012). Transnational marriage and the Bangladeshi Muslim diaspora in Britain
and the United States. Culture and Religion, 13(2), 227–240.
https://doi.org/10.1080/14755610.2012.674957
Kim, B. L. (1998). Marriages of Asian women and American military men. In Re-
visioning family therapy: Race culture, and gender in clinical practice (pp. 309–319).
Guilford Press.
Koyama, J. (2015). Constructing Gender: Refugee Women Working in the United States.
Journal of Refugee Studies, 28(2), 258–275. https://doi.org/10.1093/jrs/feu026
Kuzembayeva, A. (2020). Marriage among U.S. International Students: Meanings and
Aspirations. Marriage & Family Review, 56(8), 689–714.
https://doi.org/10.1080/01494929.2020.1737623
Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. Springer Publishing
Company.
Lee, J., & Bean, F. D. (2004). America’s Changing Color Lines: Immigration, Race/Ethnicity,
and Multiracial Identification. Annual Review of Sociology, 30(1), 221–242.
https://doi.org/10.1146/annurev.soc.30.012703.110519
Leutloff-Grandits, C. (2019). When men migrate for marriage: Negotiating partnerships and
gender roles in cross-border marriages between rural Kosovo and the EU. Journal of
Ethnic and Migration Studies, 47(2), 397–412.
https://doi.org/10.1080/1369183X.2019.1625133
Levitt, P. (2011). Constructing gender across borders: A transnational approach. In Analyzing
gender, intersectionality, and multiple inequalities: Global, transnational and local contexts
(pp. 163–183). Emerald.
Lewis, R., & Yancey, G. (1995). Biracial marriages in the United States: An analysis of
variation in family member support. Sociological Spectrum, 15(4), 443–462.
https://doi.org/10.1080/02732173.1995.9982111
Lu, Y., Marks, L. D., Nesteruk, O., Goodman, M., & Apavaloaie, L. (2013). Faith, Conversion,
and Challenge: A Qualitative Study of Chinese Immigrant Christian Marriage (in the
USA). Journal of Comparative Family Studies, 44(2), 227–247.
https://doi.org/10.3138/jcfs.44.2.227
Martin, J. N., & Nakayama, T. K. (2007). Intercultural communication in contexts. McGraw-
Hill.
Minervini, B. P., & McAndrew, F. T. (2006). The Mating Strategies and Mate Preferences of
Mail Order Brides. Cross-Cultural Research, 40(2), 111–129.
https://doi.org/10.1177/1069397105277237
Missbach, A. (2011). The Acehnese diaspora after the Helsinki Memorandum of
Understanding: Return challenges and diasporic post-conflict transformations. Asian
Ethnicity, 12(2), 179–201. https://doi.org/10.1080/14631369.2011.571836
Missbach, A. (2012). Politik jarak jauh diaspora Aceh. Penerbit Ombak.
Molina, B., Estrada, D., & Burnett, J. A. (2004). Cultural Communities: Challenges and
Opportunities in the Creation of “Happily Ever After” Stories of Intercultural
Couplehood. The Family Journal, 12(2), 139–147.
https://doi.org/10.1177/1066480703261962
Moret, J., Andrikopoulos, A., & Dahinden, J. (2021). Contesting categories: Cross-border
marriages from the perspectives of the state, spouses and researchers. Journal of
Ethnic and Migration Studies, 47(2), 325–342.
https://doi.org/10.1080/1369183X.2019.1625124
Moriizumi, S. (2011). Exploring Identity Negotiations: An Analysis of Intercultural Japanese-
U.S. American Families Living in the United States. Journal of Family Communication,
11(2), 85–104. https://doi.org/10.1080/15267431.2011.554359
Niedomysl, T., Östh, J., & van Ham, M. (2010). The Globalisation of Marriage Fields: The
Swedish Case. Journal of Ethnic and Migration Studies, 36(7), 1119–1138.
https://doi.org/10.1080/13691830903488184
Piper, N. (2003). Wife or worker? Worker or wife? Marriage and cross-border migration in
contemporary Japan. International Journal of Population Geography, 9(6), 457–469.
https://doi.org/10.1002/ijpg.309
Romano, D. (1997). Intercultural marriage: Promises and pitfalls (2nd ed.). Intercultural.
SEAH, M. (2012). “THE FAMILY” AS AN ANALYTICAL TOOL: Cases from International
Marriages and Marriage Migration in East Asia. International Journal of Sociology of the
Family, 38(1), 63–84.
Seto, A., & Cavallaro, M. (2007). Cross-National Couples in the Mainland United States. The
Family Journal, 15(3), 258–264. https://doi.org/10.1177/1066480707301315
Sharaievska, I., Kim, J., & Stodolska, M. (2013). Leisure and Marital Satisfaction in
Intercultural Marriages. Journal of Leisure Research, 45(4), 445–465.
https://doi.org/10.18666/jlr-2013-v45-i4-3894
Sheffer, G. (1986). A new field of study: Modern diasporas in international politics. Modern
Diasporas in International Politics, 8.
Silva, L. C., Campbell, K., & Wright, D. W. (2012). Intercultural Relationships: Entry,
Adjustment, and Cultural Negotiations. Journal of Comparative Family Studies, 43(6),
857–870. https://doi.org/10.3138/jcfs.43.6.857
Smits, J. (1996). Marriage patterns and social openness. Katholieke Universiteit Nijmegen.
Sujatmiko, E. (2014). Kamus IPS. Aksara Sinergi Media.
Thompson, J., & Collier, M. J. (2006). Toward Contingent Understandings of Intersecting
Identifications among Selected U.S. Interracial Couples: Integrating Interpretive and
Critical Views. Communication Quarterly, 54(4), 487–506.
https://doi.org/10.1080/01463370601036671
Tili, T. R., & Barker, G. G. (2015). Communication in Intercultural Marriages: Managing
Cultural Differences and Conflicts. Southern Communication Journal, 80(3), 189–210.
https://doi.org/10.1080/1041794X.2015.1023826
Troy, A. B., Lewis-Smith, J., & Laurenceau, J.-P. (2006). Interracial and intraracial romantic
relationships: The search for differences in satisfaction, conflict, and attachment style.
Journal of Social and Personal Relationships, 23(1), 65–80.
https://doi.org/10.1177/0265407506060178
Uunk, W. (1996). Who marries whom? The role of social origin, education and high culture in mate
selection of industrial cocieties during the twentieth century. University of Nijmegen.
Wehrly, B., Kenney, K. R., & Kenney, M. E. (1999). Counseling multiracial families. Sage.
Yang, J., & Shin, K. (2008). Vulnerability, Resilience and Well-being of Intermarriage: An
Ethnographic Approach to Korean Women. 10(2), 46–63.
Zhang, Y., & Van Hook, J. (2009). Marital Dissolution Among Interracial Couples. Journal of
Marriage and Family, 71(1), 95–107. https://doi.org/10.1111/j.1741-3737.2008.00582.x