Anda di halaman 1dari 6

Hukum Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional merupakan salah satu yang menjadi pusat perhatian terkait
kegiatan ekonomi yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan pesat. Perhatian dunia
terhadap bisnis internasional juga semakin meningkat dengan semakin berkembangnya arus
perdagangan barang, jasa, modal, dan tenaga kerja antar negara. Ruang lingkup hukum
perdagangan internasional cukup luas dikarenakan sifatnya lintas batas. Dahulu, hubungan
perdagangan hanya terbatas pada satu wilayah negara tertentu, tetapi akibat dari
berkembangnya arus perdagangan maka hubungan dagang tersebut turut melibatkan para
pedagang dari negara lain. Adapun kegiatan ekspor-impor didasari oleh kondisi bahwa tidak
ada satu negara yang benar-benar mandiri karena satu sama lain saling membutuhkan dan
saling mengisi dan juga masing masing negara memiliki keunggulan tersendiri untuk saling
melengkapi. Setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda, baik sumber daya alam,
iklim, geografis, demografi, struktur ekonomi, dan struktur sosial. Sehingga dengan
perbedaan-perbedaan tersebut menyebabkan variasi komoditas yang dihasilkan. Oleh sebab
itu, negara-negara perlu menjalin suatu hubungan perdagangan untuk memenuhi kebutuhan
tiap-tiap negara.
Sejarah Perdagangan Internasional ( Zaman Kolonial – Pasca Perang Dunia II)
1. Periode Kolonial Sebelum Abad ke -19 (1500-1750)
Awal mulanya perdagangan internasional sebenarnya berkembang di Eropa yang kemudian
di Asia dan Afrika. Perdagangan antara negara negara di dunia atau disebut perdagangan
internasional ini pada awalnya didasari oleh pemahaman prinsip pembagian kerja menurut
David Ricardo dalam Marthin Khor Kok Peng. Maksud dari prinsip pembagian kerja secara
internasional ialah maksudnya bahwa masing masing negara memiliki keunggulan masing
masing dan kemudian hal ini dikenal dengan teori keunggulan komparatif. Maksudnya ialah
setiap negara mengkhususkan diri pada kegiatan ekonomi yang didasarkan pada keunggulan
kompatif. Contohnya, Portugal mengkhususkan diri kepada produksi anggur karena memang
di negara tersebut sangat cocok iklimnya untuk menanam anggur, sedangkan di Inggris lebih
mengkhususkan atau memfokuskan diri pada produksi bahan pakaian wol karena di Inggris
biaya produksinya jauh lebih murah. Kemudian pada akhirnya kedua negara tersebut akan
mempertukarkan hasil produksinya melalui perdagangan internasional yang diharapkan dapat
menguntungkan semua pihak. Namun ternyata seiring berjalannya waktu, tujuan tersebut
mengalami pergeseran karena ternyata ada rasa ingin unggul juga dibidang lain. Hal inilah
yang terjadi pada negara Inggris, dimana pengusaha Inggris ingin memperluas usahanya tidak
hanya dibidang wol melainkan juga dibidang produksi anggur yang mana tentunya ini akan
bermaksud ntuk menyaingi Portugis. Hal ini muncul karena Inggris merasa perlu untuk lebih
kuat dari Portugis sebab Inggris juga ingin merasa lebih kuat dari Portugis baik dari segi
militer mauoun permodalan dan penguasaan pasar. Dan dari sinilah awal kemunculan benih
pemikiran imperialisme dan kolonialisme dalam sistem kapitalisme yang pada akhirnya
membawa dampak buruk terhadap negara negara dunia ketiga baik di Asia maupun Afrika.
Indonesia sendiri mengenal dunia Barat melalui perdagangan yang diawali sejak kedatangan
Portugis dan kemudian penjajahan Belanda. Seperti kita ketahui bahwa motivasi di awal
bangsa Barat tersebut hanyalah sekedar mencari rempah rempah untuk diperdagangkan di
Eropa karena negara kita kaya akan rempah rempah. Namun, lambat laun motivasi tersebut
bergeser menjadi bagaimana caranya menguasai Indonesia baik untuk mencapai segi
kepentingan penguasaan politik maupun militer dan akhirnya berambisi untuk menguasai
ekonomi yang lebih luas. Dari situlah kemudian mereka berusaha menerapkan paham
merkantilisme. Paham merkantilisme beracuan pada pangkal tolak bahwa kesejahteraan
perekonomian suatu negara dapat dicapai apabila negara tersebut memiliki cadangan emas
yang besar yang bisa dicapai dengan mengekspor lebih banyak daripada mengimpor. Maka
dengan demikian tercapailah tujuan surplus ekspor melalui peningkatan ekspor dan
pembatasan impor yang merupakan tujuan utama dan bukan peningkatan pendapatan nasional
atau kesejahteraan rakyat.
2. Periode Zaman Keemasan Perdagangan Bebas
Masa keemasan pernah terjadi di Eropa ketika akhir perang Napoleon tahun 1815 hingga saat
meletusnya Perang Dunia I tahun 1914. Pada periode tersebut perdagangan internasional
berjalan dengan bebas tanpa ada hambatan atau pembatasan, sehingga setiap negara di Eropa
dapat melakukan kegiatan perdagangannya berdasarkan keunggulan komperatif masing
masing negara. Namun tidak dengan bangsa lainnya di luar Eropa terutama di Asia dan
Afrika karena bangsa tersebut merupakan bangsa yang wilayahnya menjadi jajahan dari
negara negara Eropa. Sehingga kekuasaan ekonomi maupun politik pada periode ini yang
memegang adalah bangsa Eropa sementara Bangsa Asia dan Bangsa Afrika tidak memiliki
kekuasaan di negaranya sendiri. Dalam periode ini juga diwarnai oleh kekuatan landasan
filsafat perdagangan liberal berdasarkan teori keunggulan komparatif, dimana bahwa suatu
negara akan mengkhususkan diri pada produksi dan ekspor sebab negara tersebut mempunyai
: cost yang lebih rendah daripada negara mitra dagangnya.
3. Fragmentasi dan Disintegrasi di Eropa
Perdagangan internasional yang dimana sistemnya berlandaskan liberalisme, pada saat itu
mengalami fragmentasi selama satu abad setelah mengalami era keemasan dari tahun 1914
hingga 1915. Adanya berbagai macam distorsi diakibatkan karena telah diterapkannya
kebijaksanaan yang menyimpang dari paham liberal dimana kebijakan disortif malah
mengarakan perekonomian kepada kegiatan yang mengesampingkan mekanisme pasar.
Menurut H.S. Kartadjoemana, periode disintergrasi sistem perdagangan bebas 1914-1945
(dari Perang Dunia I tahun 1914 hingga berakhirnya Perang Dunia II tahun 1945) adalah
sebagai bentuk disintegrasi karena tidak terciptaya suasana yang dapat mengembalikan
sepenuhnya keadaan dan sistem yang berlaku pada periode zaman keemasan perdagangan
internasional maupun sistem aternatif yang koheren. Pada saat Perang Dunia I (1914-1918),
negara negara Eropa telah melakukan langkah langkah swasembada di semua bidang
berkaitan dengan suasana ketegangan yang semakin meningkat. Dalam sektor pertanian,
negara negara Eropa menerapkan larangan impor, subsidi, dan peningkatan tarif. Hal inilah
yang menyebabkan distorsi perdagangan internasional di sektor pertanian, sehingga
menimbulkan ketegangan dengan negara negara mitra dagang, baik di Eropa maupun di luar
Eropa.
Di tahun 1922 – 1927, adanya peningkatan investasi yang cukup besar di Amerika Serikat
terutama di bidang industri otomotif peluasaan penggunaan tenaga listrik disertai
pengembangan proyek tenaga listrik dan juga peningkatan yang pesat di bidang konstruksi di
Amerika Serikat. Tahun 1929, krisis terjadi secara menyeluruh di Amerika Serikat. Hal ini
ditimbulkan karena situasi investasi dalam bidang bidang penting mengalami kebangkrutan
yang akhirnya ternyata dirasakan oleh negara negara lainnya. Impor Amerika tahun 1929
berjumlah $ 4,4 miliar turun secara drastis menjadi $ 1,3 miliar tahun 1932. Tentunya
keadaan seperti ini akan mempunyai dampat terhadap pereknomian mitra dagangnya. Pada
periode tahun 1990, ternyata masih banyak hal yang belum dipulihkan, terutama dalam
bentuk proteksi yang berlebihan di bidang pertanian di negara maju. Reaksi terhadap krisis
depresi di bidag perdagangan bersifat primitif dan parokial. Di tahun 1930, Kongres Amerika
Serikat merupakan legislasi yang dikenal sebagai Smoot-Hwaley Tarif Act 1930, yang
merupakan suatu langkah yang sama sekali tidak menunjang upaya untuk meningkatkan
kegiataan ekonomi yang terhenti karena penurunan kegiatan di seluruh dunia. Akhirnya,
Kongres Amerika Serikat menetapkan untuk menerapkan kebijakan proteksi di sektor
pertanian. Karena dianggap akan mampu untuk membawa perkembangan di bidang industri.
Kemudian kebijakan proteksi tersebut menjalar ke sektor sektor lainnya yang mencakup
sektor manufaktur.
4. Periode Perdagangan Internasional Pasca Perang Dunia II 1945
Berakhirnya Perang Dunia II Tahun 1945 ternyata menyebabkan keadaan yang tidak menentu
bagi perdagangan internasional, dan banyak hal yang seharusnya mendukung kelancaran
perdagangan mengalami keruskan yang cukup banyak akibat peperangan. Negara negara
sekutu sebagai pihak yang merupakan pihak pemenang dalam Perang Dunia II tahun 1945
telah berusaha melakukan pembenahan dan perbaikan dalam perdagangan internasioal.
Negara negara Sekutu juga mengkehendaki kembali penerapan penerapan elemen positif
yang dulu terjadi di masa keemasan perdagangan internasional supaya adanya peningkatan
kegiatan perdagangan internasional kembali.Mereka juga setuju untuk menerapkan sistem
hubungan internasional yang lebih teratur dan lebih menjamin perdamaian serta kesejahteraan
ekonomi dan sosial. Intinya yang ingin dicapai ialah pencegahan pencegahan akses tindakan
sepihak yang tidak menguntungkan masyarakat dunia seperti tindakan proteksi, dan
pembatasan perdagangan yang dilakukan oleh negara negara Eropa pada periode fragmentasi
perdagangan internasional. Maka dari itu, untuk mencegah terulangnya malapetaka tersebut,
telah dibentuk Organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan juga badan badan
internasional dibawahnya. Begitu juga dengan masalah keuangan, melalui Konferensi Breton
Woods tahun 1944, masyarakat internasional secara aktif dan relatif menyetujui didirikannya
Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF). Kemudian dalam hal
menentukan rencana atau mengadakan rekonstruksi bagi negara negara yang mengalami
kerusakan akibat Perang Dunia II, mendirikan Bank Dunia atau International Bank for
Reconstruction and Development (IBRD) tahun 1944. Dan pada akhirnya ketika negara
negara sudah mulai bangkit dari kejadian Perang Dunia II, sepakat untuk menata
perekonomian baik dalam bidang keuangan maupun perdagangan yaitu ditunjukkan dengan
diadakannya pertemuan di Jenewa tahun 1947 yang mana perundingan tersebut menghasilkan
suatu Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan (Genaral Agreement on Tariff and
Trade / GATT). Dimana kemudian semenjak tahun 1947, negara negara yang merupakan
anggota GATT secara terus menerus menyelenggarakan perundingan internasional hingga
terbentuknya WTO melalui Perundingan Putaran Uruguay di Marrakech (Marocco) tahun
1994.

Prinsip prinsip Hukum Perdagangan Internasional dalam Ketentuan GATT-WTO


1. Prinsip Non Diskriminasi (Non Discrimination Principle)
Prinsip ini juga meliputi :
a. Prinsip Most Favoured Nation (MFN)
Diatur dalam Article 1 Section (1) GATT 19477 yang berjudul General Favoured
Nation Treatment, merupakan prinsip Non Diskriminasi terhadap produk sesama
negara negara anggota WTO. Intinya bahwa prinsip ini hendak menekankan
semua negara anggota terikat untuk memberikan negara negara lainnya prlakuan
yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan ekspor impor serta menyangkut
biaya biaya lainnya. Perlakuan yang sama tersbut harus dijalankan dengan segera
dan tanpa syarat (immediately and unconditionally) terhadap produk yang berasal
atau yang ditujukan kepada semua anggota GATT.
b. Prinsip National Treatment (NT)
Diatur dalam Article III GATT 1947 berjudul “ National Treatment on
International Taxation and Regulation” yang mengatakan bahwa “this standard
provides for inland parity that is say equality for treatment between nation and
foreigners”. Dimana prinsip ini tidak mengkehendaki adanya diskriminasi antar
produk dalam negeri dengan produk serupa dari luar negeri. Maksudnyta jika
suatu produk impor telah memasuki wilayah suatu negara karena diimpor, maka
produk impor itu harus mendapat perlakuan yang sama, seperti halnya perlakuan
pemerintah terhadap produk dalam negeri yang sejenis.
2. Prinsip Resiprositas ( Reciprocity Principle)
Prinsip ini diatur dalam Article GATT 1947 yang mensyaratkan bahwa adanya
perlakuan timbal balik diantara sesama negara anggota WTO dalam kebijaksanaan
perdagangan internasional. Maksudnya ialah apabila suatu negara dalam
kebijaksanaan perdagangan internasionalnya menurunkan tarif masuk atas produk
impor dari suatu negara, maka negara pengekspor produk tersebut wajib juga
menurunkan tarif masuk untuk produk dari negara yang pertama tadi.

3. Prinsip Penghapusan Hambatan Kuantitatif


Prinsip yang menginginkan adanya transparansi dalam perdagangan internasional, dan
biasanya prinsip ini juga disebut sebagai “prinsip transparansi”. Pada dasarnya prinsip
ini menekankan masalah terkait adanya pembatasan terhadap ekspor atau impor dalam
bentuk apa pun (biasanya masalah penetapan kuota impor atau ekspor, pengawasan
pembayaran produk produk impor atau ekspor) yang mana hal ini dianggap tidak adil
dan pada umumnya dilarang, karena akan menimbulkan prasangka diskriminasi
bahkan dapat memicu peluang bersifat subjektif.
Namun ada beberapa pengecualian dari prinsip penghapusan hambatan tersebut:
a. Negara yang memang memiliki kesulitan neraca pembayaran diizinkan untuk
melakukan pembatasan impor dengan cara kuota (tercantum dalam pasal XII -XIV
GATT 1947)
b. Apabaila industri domestik negara pengimpor menanggung kerugian yang serius
akibat meningkatnya impor produk sejenis, maka negara tersebut boleh tidak
tunduk pada prinsip ini (tercantum dalam pasal XIX GATT 1947)
c. Demi kepentingan kesehatan publik, keselamatan dan keamanan nasional
pengimpor, negara diberi izin untuk membebaskan diri dari kewajiban tunduk
pada prinsip ini (tercantum dalam pasal XX dan XXI GATT 1947)
4. Prinsip Perdagangan yang Adil (Fairness Principle)
Dalam perdagangan internasional prinsip fairness ini bertujuan untuk melarang
dumping (Article VI 1947) dan juga subsidi (Article XVI 1947). Tujuannya ialah agar
suatu negara tidak menerima keuntungan tertentu ketika melaksanakan suatu
kebijaksanaan sementara menimbulkan kerugian bagi negara lainnya. Prinsip ini
bermaksud untuk menghapuskan prakti praktik persaingan curang dalam kegiatan
ekonomi seperti dumping dan subsidi. Dumping atau yang dikenal dengan
istilah predatory pricing, dimana produsen menjual rugi barang dalam waktu periode
tertentu yang bertujuan untuk “membunuh” pesaing lainnya yang juga menjual
barang yang sama. Ketika pesaingnya terlempar, barulah sang predator menaikkan
harganya sedikit demi sedikit dan pada akhirnya ia akan memonopoli barang tersebut.
Tentu perilaku seperti ini bukan hanya akan merusak kompetisi, tapi juga merugikan
konsumen secara keseluruhan. Namun, definisi dumping di hampir seluruh yurisdiksi
sangatlah berbeda dengan konsep dumping itu sendiri. Suatu produk diindikasikan
dumping apabila produk tersebut dijual di negara lain (ekspor) di bawah harga pasar.
Harga pasar adalah harga rata-rata produk tersebut di negara asalnya, meskipun harga
jual barang tersebut sebenarnya kompetitif. Sampai saat ini, Indonesia belum
memiliki undang-undang yang khusus mengatur mengenai dumping. Dumping hanya
sedikit disinggung dalam beberapa pasal di Undang-Undang No.10/1995 tentang
Kepabeanan. Pasal 18 Undang-Undang No.10/1995 menyebutkan Bea Masuk Anti
Dumping dikenakan terhadap barang impor dalam hal harga ekspor barang tersebut
lebih rendah dari harga normalnya dan impor barang tersebut menyebabkan kerugian
terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang
tersebut. Subsidi ialah bantuan yang pemerintah berikan kepada eksportir atau
produsen dalam negeri, dalam bentuk berupa modal, keringanan pajak serta fasilitas
lainnya yang pada akhirnya mengakibatkan kerugian pada pihak negara importir
maupun eksportir. Jika terjadi kerugian tersebut bagi negara importir pada akhirnya
akan memicu adanya kegiatan dumping sedangkan pada sisi eksportir akan
menimbulkan ketidakmandirian karena pada akhirnya akan selalu bergantung pada
bantuan pemerintah.
5. Prinsip Tarif Mengikat (Binding Tariff Principle)
GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui tarif
(menaikkan tingkat tarif bea masuk) dan tidak melalui upaya upaya perdagangan lainnya.
(non tariff comercial measures) prinsip ini juga diatur dalam Article II section (2) GATT-
WTO 1995, bahwa setiap negara anggota WTO harus mematuhi berapa pun besarnya
tarif yang telah disepakatinya atau disebut juga dengan prinsip tarif mengikat. Hal ini
bertujuan agar dapat melakukan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui
kenaikan tarif bea masuk. Tentu bahwa perlindungan melalui tarif ini menerangkan
dengan jelas tingkat perlindungan yang diberikan masih memungkinkan adanya
kompetensi yang sehat. Keterikatan terkait tarif ini maksudnya adalah tingkat tarif
dari suatu negara terhadap suatu produk tertentu. Tingkat tarif ini menjadi komitmen
negara tersebut yang sifatnya mengikat. Oleh karena itu, apabila sutau negara yang
telah menyatakan komitmennya atas suatu tarif maka ia tidak dapat semena -mena
menaikkan tingkat tarif yang telah disepakati, kecuali diikuti dengan negosiasi
mengenai pemberian kompensasi dengan mitra-mitra dagangnya.
Sumber buku: Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, (Depok: Penerbit
PTRajagrafindo Persada),2018.

Anda mungkin juga menyukai