Anda di halaman 1dari 3

Artikel:

Keterjebakan Kepala Sekolah di Era Otonomi


Daerah

Judul: Keterjebakan Kepala Sekolah di Era Otonomi Daerah


Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian MANAJEMEN
SEKOLAH / SCHOOL MANAGEMENT.
Nama & E-mail (Penulis): Fredrik A. Kande
Saya Mahasiswa di Universitas Negeri Yogyakarta
Topik: Keterjebakan Kepala Sekolah di Era Otonomi Daerah
Tanggal: 22 April 2008

Keterjebakan Kepala Sekolah di Era Otonomi Daerah Oleh: Fredrik A. Kande*)

Otonomi daerah yang digulir sejak tahun 2001 merupakan "angin segar" bagi
daerah. Dengan otonomi masing-masing daerah memiliki keleluasaan untuk
mengatur rumah tangga sendiri dengan memanfaatkan berbagai sumber daya
yang dimiliki. Pada sisi lain otonomi tidak serta- merta memberi dampak positif
bagi daerah. Dalam bidang pendidikan, justru sejumlah persoalan baru muncul
yang memberi kesan, bahwa kondisi ini tidak pernah diprediksi sebelumnya
oleh para pencetus konsep otonomi daerah.

Para kepala sekolah (khusus sekolah negeri) baik di tingkat SD, SMP dan SMA
atau yang sederajad berhadapan dengan persoalan baru, sebagai konsekuensi
dari kewenangan Bupati/Walikota dalam menetapkan kebijakan-kebijakan
daerah. Kalau sebelum otonomi daerah kepala sekolah memiliki keleluasaan
untuk memimpin sekolah dengan menggerakan sumber daya sekolah,
walaupun dengan cara yang terbatas, namun saat otonomi daerah suasana
tersebut tidak lagi berlangsung. Kepala sekolah tidak cukup memiliki
keleluasaan apalagi keberanian untuk menggerakkan sumber daya sekolah.

Fenomena di atas merepresentasikan kuatnya intervensi Bupati/ Walikota


terhadap kepala sekolah. Tidak sedikit kepala sekolah di berbagai daerah yang
dipindahkan ke sekolah lain, ditarik ke dinas, atau bahkan dikembalikan
sebagai guru biasa. Yang cukup menggelikan adalah pengangkatan kepala
sekolah pada sekolah tertentu, sangat bergantung pada sejauhmana
kedekatan dan dukungan politik kepada Bupati/Walikota, saat Pilkada atau
melalui program-programnya yang populis. Dalam hubungan dengan ini posisi
kepala sekolah menjadi strategis, namun tidak meningkatkan mutu manajemen
sekolah. Soalnya, posisi yang strategis tersebut tidak memiliki relevansi
dengan misi pendidikan.

Pada satu sisi, wajar, kalau kepala sekolah ikut memberi kontribusi bagi
keberhasilan Bupati/Walikota dalam suksesi. Kalau dilakukan dengan suatu
kesadaran bahwa kontribusi tersebut pada gilirannya akan memberi dampak
kepada meningkatnya mutu sekolah. Namun realitas menunjukkan, bahwa
dalam kasus ini kepala sekolah memiliki posisi tawar yang sangat lemah,
karena terhisap secara kedinasan pada Bupati/Walikota.

Kondisi di atas akan berakibat pada sikap apatis kepala sekolah dalam
mengelola berbagai sumber daya sekolah bagi peningkatan mutu sekolah.
Idealisme untuk menciptakan budaya mutu di sekolah tidak tumbuh, justru
terperangkap dalam bayang-bayang kekuasaan Bupati/Walikota. Idealisme
kepala sekolah terkerangkeng dalam struktur kekuasaan yang sangat
determinan. Walaupun kekuasaan itu sendiri tidak mutlak. Sikap penolakan
dalam hati mengindikasikan kekuasaan yang sangat determinan atas kepala
sekolah tidak mutlak. Namun sistem memaksanya untuk taat.

Otonomi pendidikan

Hal-hal yang dikemukakan di atas, jelas sangat bertentangan dengan


semangat otonomi pendidikan. Otonomi pendidikan justru menekankan peran
kepala sekolah. Ini sejalan dengan kebijakan desentralisasi pendidikan yang
dilaksanakan pemerintah sejak tahun 1999. Pada level pendidikan dasar dan
menengah telah dilaksanakan program pengelolaan sekolah yang memberikan
otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong sekolah membuat
keputusan-keputusan secara partisipatif untuk memenuhi kebutuhan sekolah.
Bahwa dengan demikian sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam
mengelola berbagai sumber daya bagi terciptanya kemandirian. Dengan
kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-
program yang tentu saja lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang
dimilikinya. Demikian pula dengan pengambilan keputusan partisipatif, rasa
memiliki warga sekolah meningkat, yang pada gilirannya meningkatkan rasa
tanggung jawab terhadap sekolahnya (Depdiknas,2005).

Dalam semangat desentralisasi pendidikan dan otonomi daerah, sudah


semestinya, pengangkatan kepala sekolah didasarkan pada profesionalitas
dan kompetensinya. Sebab tuntutan manajemen sekolah di era ini cukup
tinggi. Misalnya, kompetensi yang diharapkan dimiliki kepala sekolah, antara
lain: memiliki landasan dan wawasan pendidikan, memahami sekolah sebagai
sistem, memahami manajemen berbasis sekolah, mampu merencanakan
pengembangan sekolah, mengelola kurikulum, mengelola tenaga
kependidikan, mengelola sarana dan parasarana, mengelola kesiswaan,
mengelola keuangan, mengelola hubungan sekolah-masyarakat, mengelola
sistem informasi sekolah, mengembangkan budaya sekolah, memiliki dan
melaksanakan kreatifitas, inovasi, dan jiwa kewirausahaan, melakukan
monitoring dan evaluasi, melaksanakan supervisi, menyiapkan, melaksanakan
dan menindaklanjuti hasil akreditasi, dan membuat laporan akuntabilitas
sekolah (Slamet, 2005).

Kompetensi kepala sekolah tersebut diharapkan akan menunjang pelaksanaan


desentralisasi pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu layanan
dan kinerja pendidikan, baik pemerataan, kualitas, relevansi, dan efisiensi,
pendidikan. Bukankah kepemimpinan sekolah yang baik mencerminkan tingkat
kesiapan sekolah untuk melaksanakan desentralisasi pendidikan secara
konsisten. Karena itu kepemimpinan sekolah perlu mendapat dukungan politik
dari Bupati/Walikota.

Harapan tersebut ternyata mengalami benturan di lapangan. Persoalan ini


semakin intens ketika dikaitkan dengan masih minimnya komitmen pemerintah
daerah dalam mengalokasikan anggaran bagi sektor pendidikan.

Kepala Sekolah Korban

Tabrakan kepentingan otonomi pendidikan dengan otonomi daerah tak dapat


dihindari. Kepala sekolah menjadi korban. Akibatnya mereka berhadapan
dengan situasi keterjebakan di antara kepentingan sekolah (otonomi
pendidikan) dan bias otonomi daerah. Atau antara kepentingan kependidikan
dan kehendak Bupati/Walikota. Ini tidak berarti bahwa Bupati/Walikota tidak
memiliki consern pada dunia pendidikan, tetapi kewenangan Bupati/Walikota
yang sangat determinan berpeluang melahirkan kesewenangan yang jelas
tidak sejalan dengan misi pendidikan. Pada pihak lain pengalaman di berbagai
daerah juga telah membuktikan bahwa kewenangan yang sangat determinan
tidak mengefektifkan kinerja pendidikan. Kalau dicermati lebih jauh kondisi ini
tidak hanya sekedar menghambat kinerja pendidikan, tetapi justru sudah
memasuki ranah kemanusiaan, sehingga patut dipersoalkan.

Situasi keterjebakan yang dihadapi kepala sekolah memiliki dampak yang


cenderung akan meningkat. Diprediksi bahwa peran kepala sekolah yang
minimal dalam manajemen sekolah dapat mempengaruhi penurunan mutu
PBM, diikuti dengan penurunan mutu keluaran, yang pada gilirannya
berdampak pada memburuknya kinerja pendidikan.

Perlindungan

Mengatasi kondisi ini, sekiranya para kepala sekolah dapat meminta


perlindungan kepada pihak-pihak, seperti Asosiasi Kepala Sekolah dan
pemerintah pusat. Bila perlu Asosiasi Kepala Sekolah dapat dibangun dari
situasi keterjebakan ini untuk melakukan advokasi. Sementara bagi pemerintah
pusat, kiranya dapat memberikan perlindungan atas kepala sekolah dengan
memikirkan ulang model koordinasi yang lebih efektif antara Kepala Sekolah,
Kepala Dinas, Bupati/Walikota dan pemerintah pusat.

Kebijakan sebagai Persoalan

Apa yang penulis kemukakan di atas, baru merupakan salah satu dari sekian
banyak persoalan yang muncul, sebagai akibat logis dari penerapan kebijakan
otonomi daerah sekaligus otonomi pendidikan. Kalau kita belajar dari negara-
negara lain, seperti Cina dan Chili, pernah menerapkan kebijakan
desentralisasi pendidikan, sekaligus otonomi daerah. Namun implementasi
skenario kebijakan semacam ini tidak meningkatkan kinerja pendidikan.
Mungkinkah, karena para menggagas konsep otonomi daerah dan
desentralisasi pendidikan disemangati oleh gerakan reformasi, sehingga
kurang menimbang kapasitas kelembagaan maupun sumber daya manusia,
tidak saja pada level daerah tetapi juga di pusat. Ataukah penerapan otonomi
pendidikan sekaligus otonomi daerah adalah pilihan yang tak terhindarkan
sebagai konsekuensi dari sejarah bangsa kita yang mengalami "patahan,"
sehingga serta-merta melakukan loncatan.

Kita butuh waktu yang tidak singkat untuk memperbaiki kinerja pendidikan
melalui skenario kebijakan otonomi pendidikan sekaligus otonomi daerah. Atau
jika lama, kita putar haluan, kita butuh skenario lain untuk memperbaiki kinerja
pendidikan. Katakanlah otonomi daerah tetapi sentralisasi pendidikan.
Bukankah, kebijakan otonomi pendidikan sekaligus otonomi daerah merupakan
"loncatan" yang cukup jauh?

*) Mahasiswa S2 Manajemen Pendidikan Univ. Negeri Yogyakarta

Saya Fredrik A. Kande setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan
digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan
ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

Anda mungkin juga menyukai